Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 14

Setelah termenung beberapa saatnya, akhirnya ia ulapkan tangannya.

“Undang ia ke ruang tengah.”

Pelayan itu menjura kemudian mengundurkan diri.

Kwan Tiong Gak segera singkirkan cawan awak dan bangun berdiri.

“Bila orang-orang Bu-lim terpaksa harus berurusan dengan orang-orang dari pemerintahan, ini berarti kerepotan sudah menjelang datang, kalian tunggulah sebentar di sini, aku akan pergi menemui mereka sendiri….”

“Hamba dengan kedua orang Bu su istana Jendral pernah saling mengenal, bagaimana kalau aku menemani Cong Piauw-tauw pergi menemui mereka?”

“Baiklah!” Kwan Tiong Gak mengangguk. Ia lantas melangkah keluar.

Sebelum berlalu Liem Toa Lek membisik sesuatu ke sisi telinga Phoa Ceng Yan, ujarnya.

“Tangan kanan dari Tok Say ini mempunyai asal usul yang tidak  kecil, jikalau tidak  ada urusan  penting ia  tak

 akan datang kemari, Hu Cong Piauw-tauw serta Nyoo-ya harap tunggu sebentar di sini, bila ada urusan akan kukirim orang untuk memberi kabar.”

“Ehmm… kalau ada urusan cepat-cepat beritahu kepadaku,” sahut Phoa Ceng Yan mengangguk, wajhnya kelihatan sangat keren.

“Soal ini hamba tahu.”

Ia putar badan dan cepat-cepat mengejar Kwan Tiong Gak menuju ke ruang tengah.

Belum sempat kedua orang itu ambil duduk, seorang lelaki anggota perusahaan telah mengiringi seorang  lelaki berusia pertengahan berjalan masuk ke dalam ruangan.

Cukup ditinjau dari pakaian yang dikenakan sudah bisa diketahui dia adalah seorang pembesar, bahkan wajahnya sangat asing belum pernah dijumpai.

Tetapi ada satu hal Liem Toa Lek merasa yakin yaitu orang yang datang adalah seorang ahli tenaga lweekang, terbukti kedua keningnya menonjol tinggi.

Dengan cepat ia berebut maju ke depan seraya menjura.

“Siauw-te adalah Liem Toa Lek, ketua piauw su dari Liem Wie Piauw-kiok cabang kota Kay Hong.”

Lelaki berusia pertengahan itupun merangkap tangannya membalas hormat.

“Telah lama siauwte mengagumi nama saudara, hanya saja karena urusan tugas terlalu banyak tak ada waktu datang berkunjung.”

Sinar matanya segera dialihkan ke atas wajah Kwan Tiong Gak, sambungnya.

 “Tentunya saudara ini adalah Kwan Cong Piauw-tauw bukan?”

“Caye benar adalah Kwan Tiong Gak, tolong tanya siapakah nama besar kawan?”

“Siauwte she Jen bernama Pek To, selama ini mengikuti terus di sisi Tok Say dan jarang berkelana dalam dunia kangouw, aku rasa belum tentu Kwan Cong Piauw-tauw pernah mendengar namaku,” kata si lelaki berusia pertengahan itu sambil tertawa.

Dalam hatinya Kwan Tiong Gak menggulangi nama itu berulang kali, Jen Pek To, Jen Pek To, nama ini benarbenar terasa sangat asing sekali dalam pendengarannya.

Walaupun di hati ia heran, diluaran jawabnya.

“Jen-heng dapat mengikuti di sisi Tok Say, memakai jubah kebesaran yang cemerlang tentu seorang jago silat yang maha lihay, siauwte merasa sangat kagum.”

Jen Pek To tersenyum.

“Nama besar Kwan Piauw-tauw-pun telah menggemparkan seluruh kolong langit, aku sebagai seorang petugas yang makan gaji pemerintahan dapat berkawan diri dengan diri Kwan-heng, hal ini merupakan keuntungan bagi orang she Jen selama tiga generasi. Kata-kata kagum dari Kwan heng tak berani siauwte terima….”

Ia tertawa terbahak-bahak, sambungnya, “Tak ada urusan tak akan menaiki kuil Sam Poo Tien, kedatangan siauwte kali ini karena ada satu urusan yang hendak disampaikan kepada diri Kwan-heng.”

“Jen heng silahkan mengutarakan,” kata Kwan Tiong Gak dengan air muka serius.

 “Siauw-te berharap Kwan-heng suka mengikuti kami untuk mengunjungi istana Jendral.”

“Jen-heng! Sebelum aku orang she Kwan menyanggupi undanganmu, dapatkah aku bertanya dulu akan satu persoalan?” perlahan lahan Kwan Tiong Gak menghembuskan napas panjang.

“Asal siauwte tahu tentu akan kujawab.”

“Kalau begitu bagus sekali, siauwte ingin bertanya kepada Jen heng, undangan untuk aku orang she Kwan dalam kunjungannya ke istana Jendral ini merupakan undangan pribadimu sendiri ataukah perintah dari Tok Say?”

“Urusan ini adalah atas perintah Tok Say, tetapi karena siauwte sudah lama mengagumi nama besar Kwan heng, aku rasa apabila hanya mengirim seorang tentara kroco untuk datang menyampaikan undangan tersebut takut-takut hal ini akan melukai nama besar Kwan-heng, aku oleh sebab itu siauwte datang sendiri untuk mengundang Kwan-heng suka menghadap sebentar.”

“Aku orang she Kwan merasa sangat berterima kasih atas maksud baik dari Jen heng…..” Kwan Tiong Gak tertawa hambar.

Ia merandek sejenak, kemudian sambungnya. “Sekarang juga kita hendak berangkat?”

“Tidak salah. Sekarang Tok Say sedang menanti dalam istana.”

“Bagus sekali, aku orang she Kwan akan meninggalkan pesan dahulu kepada mereka kemudian segera berangkat.”

 Jen Pek To tersenyum.

“Siauwte akan menanti di ruangan.”

Habis berkata ia putar badan dan berlalu dari ruangan tengah.

Kwan Tiong Gak segera berpaling dan memandang sekejap ke atas wajah Phoa Ceng Yan, sikapnya kelihatan amat serius.

“Saudara Phoa, agaknya urusan makin lama berubah semakin rumit. Tok Say adalah seorang pembesar yang pegang pimpinan tertinggi dari ketentaraan asalkan ia hadiahkan nama jelek dan berdosa buat kita, maka perusahaan Liong Wie Piauw-kiok segera akan tutup pintu, undangan sang pembesar yang disampaikan Jen Pek To ini bagaimanapun juga harus aku hadiri…..”

“Bagaimana kala siauwte mengiringi kepergian Toako?”

Dengan cepat Kwan Tiong Gak menggeleng. “Sekalipun mereka ingin tangkap aku seketika itu juga,

kitapun tak bisa turun tangan melawan, bahkan jika didengar dari nada ucapan Jen Pek To, agaknya mereka hanya menggundang aku seorang, kalian lebih baik di rumah saja.”

Ia tersenyum sejenak, kemudian tambahnya. “Kepergianku ini akan mendatangkan rejeki atau

celaka saat ini susah ditentukan, tetapi perduli sudah terjadi peristiwa apapun kalian tidak boleh bergerak secara gegabah.”

“Aaaaai…… siauwte tidak becus tak dapat melindungi barang  kawalan  ini,  sehingga  mendatangkan  banyak

 kesulitan buat toako.” perlahan lahan Phoa Ceng Yan menghela napas panjang.

“Soal ini tak akan kusalahkan dirimu.”

Dengan langkah lebar Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok ini melangkah keluar.

Melihat munculnya Kwan Tiong Gak, sambil tersenyum Jen Pek To segera menyambut.

“Bila Kwan heng masih ada urusan, berangkat rada terlambat pun tidak mengapa.”

“Haaa……..haaa…….haaa…… siauwte hanya meninggalkan beberapa pesan saja, kita segera boleh berangkat.” Kwan Tiong Gak mendongak dan tertawa tergelak.

Ia merebut jalan dulu ke muka memimpin keluar dari kantor Piauw-kiok.

Selama di tengah perjalanan Kwan Tiong Gak tidak banyak bicara lagi, sedangkan Jen Pek To sendiripun tidak memberi penjelasan.

Menanti mereka tiba di depan pintu istana Jendral, Jen Pek To baru berhenti seraya bisiknya lirih.

“Kwan-heng, ada pepatah mengatakan si miskin tak ingin bergaul dengan si kaya, rakyat tidak ingin bergaul dengan kaum pembesar, sewaktu berjumpa dengan Tok Say nanti, harap Kwan heng bisa sedikit menahan sabar.

“Tok Say adalah pembesar kelas satu dalam pemerintahan, kekuasaan-nya meliputi hampir satu keresidenan, siauwte sebagau seorang rakyat jelata mana berani bersikap kurang ajar.”

“Siauwte percaya Tok Say sudah mengundang Kwanheng berjumpa di dalam istananya, tentu beliau tidak

 mengandung maksud jahat, asalkan Kwan-heng bisa bertindak sopan aku rasa tak bakal mendatangkan banyak kerepotan.”

Mendengar petunjuk itu Kwan Tiong Gak tersenyum dan merangkap tangannya menjura.

“Terima kasih atas petunjuk-petunjuk dari Jen-heng!”

Buru-buru Jen Pek To bongkokkan badannya balas memberi hormat.

“Nama besar Kwan-heng sudah terkenal di seluruh Bu-lim, siauw-te percaya tak akan memadahinya, harap Kwan-heng suka menanti sejenak di luar istana agar siauwte dapat masuk untuk memberi laporan terlebih dahulu, sekalipun penjagaan dalam istana Jendral  sangat ketat, akupun tak akan membiarkan mereka melukai kehormatan Kwan-heng.”

Selesai berkata ia melangkah masuk ke dalam istana.

Tidak selang beberapa saat kemudian pintu istana terbuka lebar-lebar, disusul Jen Pek To dengan cepat menyongsong datang.

“Tok Sat menanti kedatangan Kwan-heng di ruang kedua, silahkan mengikuti siauwte” bisiknya.

Demikianlah dengan mengikuti dari belakanag Jen Pek To, Kwan Tiong Gak melangkah masuk ke dalam istana dan mengambil kesempatan itu ia memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu.

Tampak ruangan istana sangat luas, atap hijau dengan lantai yang mengkilap, setiap pintu masuk berdirilah seorang tentara berseragam lengkap serta seorang lelaki berpakaian preman.

 Agaknya tentara-tentara penjaga pintu itu sudah memperoleh pendidikan yang keras, perawakannya ratarata kekar berotat, kepalanya memakai topi perak dengan pakaian perang bersisik, pinggangnya  tergantung sebilah golok dan tangannya mencekal sebuah tombak panjang, sikapnya penuh kewibawaan.

Sedangkan si lelaki berpakaian preman tadi menggembol golok atau pedang, pakaiannya ringkas dengan sebuah kantong piauw tergantung di atas pinggangnya.

Jikalau ditinjau dari kegagahannya maka tentara itu jauh lebih keren, tapi dalam pandangan Kwan Tiong Gak ia mengerti si lelaki berpakaian ringkas itulah baru seorang jago benar-benar.

Agaknya kedudukan Jen Pek To dalam istana tidak rendah, setiap kali ia melewati pintu tentara serta lelaki berpakaian ringkas itu tentu memberi hormat kepadanya.

Setelah melewati tiga buah halaman serta ruangan, sampailah mereka di depan sebuah ruangan yang beralaskan batu giok.

Ketika mereka baru saja tiba di depan pintu dua orang lelaki kekar berpakaian ringkas warna hitam dan menggembol senjata di pinggang telah menyongsong kedatangannya seraya berseru.

“Harap saudara suka tinggalkan senjata tajam serta senjata rahasia di luar ruangan.”

Kwan Tiong Gak adalah seorang jago kawakan yang pernah menggetarkan enam karesidenan di daerah utara, pengalaman di dalam Bu Lim sangat luas dan badai seberapa besarpun pernah ia alami.

 Walaupun suasana di dalam istana Tok Say ini amat ketat, sikap Kwan Tiong Gak tetap tenang saja, ia hanya tersenyum dan melepaskan pisau belati serta kedua belas batang Kiem Leng Piauw-nya.”

“Ini adalah peraturan istana, harap Kwan-heng jangan tersinggung.” buru-buru Jen Pek To berbisik memberi penjelasan.

“Ehmm…… memang seharusnya begini”.

Kedua orang lelaki yang menghadang di tengah jalan tadi setelah menerima pisau belati serta Kiem Leng Piauw segera menyingkir ke samping.

Jen Pek To pun melangkah maju ke muka seraya bisiknya.

“Tok Say menanti di dalam ruangan, silahkan Kwanheng masuk!”

“Terima kasih atas perhatianmu.”

Ia melangkah naik keatas tangga batu dan masuk ke dalam ruangan.

Dengan sepasang mata yang tajam Kwan Tiong Gak mendongak dan memandang sejenak kemudian menunduk kembali.

Tetapi dalam sekali pandangan itulah secara garis besarnya ia dapat melihat jelas situasi di dalam ruangan tersebut.

Seorang kakek tua berusia lima puluh tahunan dengan memelihara jenggot hitam dan memakai jubah kulit bercelana hitam duduk di sebelah kiri meja berukiran bunga, di samping kanannya duduk seorang lelaki berusia pertengahan yang memakai jubah warna hijau.

 Sewaktu masih berada di Peking, Kwan Tiong Gak pernah berjumpa dengan lelaki berjubah hijau itu, karena dia bukan lain adalah Liuw Thayjien yang merupakan langganannya yang minta perlindungan dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok.

Tampak Jen Pek To maju dua langkah ke muka dan menjura ke arah si lelaki berjenggo hitam itu kemudian lapornya.

“Lapor Tok Say, Kwan Tiong Gak telah datang menghadap.”

Si Kakek tua itu mendehem sejenak lalu meletakkan kantong tembakaunya dan ulapkan tangan kiri.

Jen Pek To segera mengundurkan diri dari sana. Menanti si orang she Jen mengundurkan diri, Kwan

Tiong Gak baru maju ke depan seraya jatuhkan diri berlutut.

“Rakyat jelata Kwan Tiong Gak menghunjuk hormat buar Tok Say Thayjien….!”

“Cepat bangun, pertemuan ini adalah pertemuan pribadi, tak perlu menjalankan penghormatan berlebihan.”

“Terima kasih atas kebaikan Thayjien!”

Perlahan-lahan Kwan Tiong Gak bangun dan berdiri di samping dengan kepala tertunduk, tangan lurus ke bawah.

Si kakek tua itu memperhatikan sekejap diri Kwan Tiong Gak setelah itu sinar matanya dialihkan ke arah Liuw Thayjien.

“Liuw Nian-heng, apakah kau pernah berjumpa dengan Kwan Cong Piauw-tauw ini?”

 “Sewaktu berada di ibukota Siauwte pernah berjumpa sekali ketika siauwte datang berkunjung ke kantor perusahaan Liong Wie Piauw-kiok-nya.”

Si kakek berjenggot hitam itu tersenyum, ia berpaling kembali ke arah Kwan Cong Piauw-tauw.

“Kwan Tiong Gak!” serunya. “Aku dengar daganganmu luar biasa besarnya, di dalam enam karesidenan daerah utara semuanya tersebar kantor-kantor cabangmu??”

“Hal ini hanya memperoleh bantuan dari kawan belaka sehingga pekerjaan hamba membuka perusahaan ekspedisi Liong Wie Piauw-kiok memperoleh kemajuan, Thayjien terlalu memuji.”

“Ehm…..! Namamu sungguh terkenal dalam kolong langit” kembali si kakek berjenggot hitam itu tertawa. “Teringat sewaktu tahun yang lalu Ciu Thay Lang menteri urusan ketentaraan dari ibukota datang berkunjung kemari iapun pernah mengungkap soal namamu.”

“Ciu Thayjien mengatakan soal apa?” seru Kwan Tiong Gak agak terperanjat.

“Ia mengatakan hubunganmu sangat luas sekali, nama besarmu cemerlang dan tersohor, enama karesidenan di daerah utara tak ada yang tidak kenal nama besarmu.”

“Aaaah! Thayjien terlalu memuji.”

“Setelah kau memiliki nama besar sedemikian tersohor, sebagian besar jago-jago kangouw di daerah utara tentu kau kenali semua bukan…..?”

“Lapor Tok Say Thayjien, hamba tidak bisa dikatakan kenal dengan mereka semua, aliran yang berbeda sukar untuk    bergaul    bersama,    hamba    adalah    seorang

 pedagang jarang sekali berhubungan dengan orangorang kangouw.”

“Baiklah! Kalau begitu kita bicarakan dalam soal perdagangan saja… ”

Kalau didengar dari nada ucapan tersebut kurang beres, Kwan Tiong Gak mendongak, dilihat selembar wajah Tok Say Thayjien yang semula penuh dihiasi senyuman saat ini, telah berubah jadi penuh kewibawaan, hatinya kontan jadi tergetar keras.

Tetapi, bagaimanapun juga dia adalah seorang yang sering menjumpai peristiwa-peristiwa tegang, badai sebagaimana dahsyatpun pernah dijumpainya, sekalipun sangat jarang dia berhubungan dengan orang-orang dari kalangan pembesar pemerintahan, tapi dalam kegugupan ia tidak sampai jadi kacau, buru bur ia menjura.

“Tok Say Thayjien terlalu memuji, hamba bernyali kecil mana berani melampaui kewibawaan serta kekuatan Tok Say? jikalau Tok Say membutuhkan tenaga hamba, silahkan diutarakan saja, sekalipun terjun ke lautan api tak akan kutolak.”

Agaknya si pembesar urusan tentara ini paling suka mendengar kata-kata sanjungan dari Kwan Tiong Gak, senyuman kembali menghiasi wajahnya.

“Kalau begitu sangat bagus sekali, jikalau demikian adanya aku masih ingin minta bantuanmu tentang satu hal.”

Kwan Tiong Gak buru-buru jatuhkan diri berlutut.

“Tok Say terlalu memuji, hamba tidak berani menerimanya.”

 “Haaa…….haaa……..haaa……….. memang rada cengli semisalnya kau bisa memperoleh nama besar di dalam dunia persilatan, watakmu sangat mengembirakan sekali, tetapi kaisar tak akan membiarkan tentaranya kelaparan, di dalam permulaan tahun rasanya orangorang dalam piauw-kiok kalianpun kebanyakan mulai beristirahat untuk melewati tahun baru.”

Ia merandek sejenak, lalu serunya.

“Sediakan tiga ratus tahil perak sebagai uang jasa.”

Seorang tentara mengiakan, dengan membawa sebuah nampan kumala diatasnya tersusun tiga puluh batang emas murni berjalan mendekat. Kwan Tiong Gak melirik sekejap ke arah tumpukan emas murni itu, sedang dalam hati pikirnya.

“Ehm…..suatu balas jasa yang sangat besar, sekali persen tiga ratus tahil emas, gayanya sebagai pembesar susah ditandingkan dengan orang lain.”

Buru-buru serunya, “Hadiah dari Tok Say tak berani hamba terima, bilamana ada urusan silahkan diperintahkan saja, asalkan hamba bisa melakukan tentu tak akan kutolak.”

“Kwan-heng, lebih baik kau terima saja,” mendadak Jen Pek To menimbrung dari samping. “Sewaktu Tok Say berperang ke utara, berperang ke selatan, banyak orang pandai yang merupakan tulang punggung beliauw selama itu, karenanya terhadap orang-orang pintar, beliau merasa sangat sayang dan kagum.”

Sekalipun terang-terangan Kwan Tiong Gak mengerti setelah ia terima tiga ratus tahil emas murni itu berarti pundaknya bertambah lagi dengan sebuah beban seberat  seribu  kati,  tetapi  ucapan  Jen  Pek  To  sudah

 sangat jelas sekali, mau ditolakpun sungkan, terpaksa dengan keraskan kepala ia sambut kepingan emas tersebut.

“Pemberian Tok-Say akan hamba terima dengan hati syukur!” katanya lambat-lambat.

Si Kakek berjenggot hitam itu tersenyum dan mengangguk.

“Kalian orang-orang yang belajar ilmu silat lebih mengutamakan kejadian serta keberanian, soal ini aku sering dapat dengar dari Pek to…..!”

Mendengar ucapan tersebut Kwan Tiong Gak segera merasakan hatinya agak tergerak, pikirnya.

“Dengan kedudukannya yang tinggi sebagai Tok Say, ternyata memanggil Jen Pek To langsung dengan namanya, jelas hubungan mereka berdua melebihi antara majikan dengan bawahannya.”

Terdengar si pembesar berjenggot hitam ini mendehem perlahan kemudian sambungnya lebih lanjut.

“Padahal urusan inipun mempunyai sangkut paut dengan perusahaan Liong Wie Piauw mkiok kalian.”

Di hati Kwan Tiong Gak masih bikin perhitungan, pikirnya.

“Topi ini sudah kukenakan di kepala sungkan berdiripun tak dapat, terpaksa aku harus menerimanya.”

Setelah mengambil keputusan iapun berkata.

“BIla Thayjien ada perintah silahkan dijelaskan, sudah seharusnya hamba mengerjakan sebaik-baiknya.”

“Pek to!” si pembesar berjenggot hitam itu berpaling dan   memandang   sekejap   Jen   Pek   To   yang   ada

 dibelakangnya/ “Aku lihat lebih baik kau saja yang membicarakan persoalan ini dengan Kwan Cong Piauwtauw, bagaimana akhirnya kau segera beri laporan kepadaku.”

“Hamba terima perintah,” dengan hormat Jen Pek To menjura.

Ia lantas berjalan ke sisi Kwan Tiong Gak seraya berkata, “Kwan-heng, mari kita bercakap-cakap di kamar samping!”

Kwan Tiong Gak bangun berdiri untuk  memberi hormat lalu dengan mengikuti dari belakang Jen Pek To mengundurkan diri ke kamar sebelah.

“Kwan-heng, silahkan duduk” seru Jen Pek To kemudian sambil tertawa setelah tiba di dalam ruangan samping. “Walaupun Siauwte sudah lama mengikuti Tok Say, rasanya masih belum kehilangan sifat dan semangat seorang Bu lim.”

Kwan Tiong Gak mengerling sekejap keadaan dalam ruangan itu perlahan-lahan ia melepaskan nampan kumala tadi ke atas meja.

“Jen-heng, ketiga ratus tahil emas ini siauwte terima karena menuruti perkataan Jen-heng saja.

Mendengar ucapan itu Jen Pek To tersenyum.

“Soal emas adalah suatu persoalan kecil cuma benda ini adalah hadiah Tok Say buat Kwan-heng, walaupun Kwan-heng tidak membutuhkannya, ada seharusnya dibawa pulang untuk dihadiahkan buat anak buah perusahaanmu.”

“Tentang persoalan ini untuk sementara waktu tak usah kita bicarakan dulu, maksud Tok Say mengundang

 kehadiran aku orang she Kwan kali ini tentunya ada persoalan yang sangat berat bukan?” potong Kwan Tiong Gak kemudian dengan nada berat.

“Secara lapat-lapat agaknya Tok Say sudah pernah mengungkap persoalan ini, ia ingin memohon bantuan dari Kwan-heng, cukup berdasarkan hal ini bisa kita ketahui seberapa tingginya Tok Sat memandang diri Kwan-heng.”

“Aaakh….! Kesemuanya ini adalah mengandalkan budi kebaikan Jen-heng yang terlalu memuji diriku, disini siaute mengucapkan terima kasih terlebih dahulu” seru Kwan Tiong Gak tertawa getir.

“Nama besar Kwan-heng sudah menggemparkan seluruh kolong langit, semua jago di dalam Bu Lim memandang kagum terhadap dirimu, bilamana siauwte mohon bantuan sudahlah sepatutnya.”

Diam-diam Kwan Tiong Gak berpikir keras setelah mendengar ucapan tersebut.

“Orang mengatakan keadaan Bu Lim bahaya, penuh kelicikan dan susah dihadapi, tidak nyana orang yang bekerja dalam pemerintahan-pun ternyata licik, susah diduga.”

Di hati berpikir demikian, di luar ia berkata.’

“Di bawah pimpinan Tok Say Thayjien ternyata mempunyai jago semacam Jen-heng, siauwte benarbenar dibikin tidak paham bantuan apakah sebetulnya yang ingin kalian minta?”

“Apabila urusan ini tiada sangkut pautnya dengan Kwan-heng, sudah pasti Tok Say tak akan mencari Kwan-heng.”

 “Jadi maksudmu urusan ini ada sangkut paut dengan hilangnya peta lukisan pengangon kambing milik Liuw Thayjien….”

Setelah ucapan ini meluncur keluar, Kwan Tiong Gak baru merasa kata-kata ini diutarakan terlalu cepat, tetapi untuk diubahpun sudah tak gampang lagi.

Tampak sepasang mata Jen Pek To memancarkan cahaya berkilat.

“Agaknya Kwan-heng pun telah mengetahui soal lenyapnya lukisan pengangon kambing itu.”

“Siauwte hanya mendengar sedikit kabar angin, tetapi tidak berani begitu memastikan dan semakin tak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi,” sahut Kwan Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok setelah termenung sejenak.

“Jen Pek To tertawa hambar.

“Urusan ini justru salahnya terletak pada selembar surat tanda terima yang terjatuh ke tangan Tok-Say, walaupun tanda terima itu ditulis oleh Liuw Thayjien, tetapi tercantum pula nama dari Phoa Hu Cong Piauwtauw dari perusahaan kalian.”

“Ooouw…….lalu apa yang dikatakan oleh Tok Say?” “Sebagai seorang pembesar pemerintahan, ia tidak

mengetahui bagaimana urusan yang menyangkut dunia persilatan, ketika melihat tercantumnya nama besar Phoa Hu Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauwkiok, beliau jadi gusar dan memerintahkan cayhe untuk menyegel perusahaan kalian serta tangkap seluruh piauw-su yang ada untuk diperiksa.”

“Tok Say Thayjien sebagai seorang pembesar tingkat satu sudah tentu mempunyai kekuasaan sebesar ini, tapi

 rasanya perusahaan kami sudah ternoda dengan nama yang berdosa bukan.”

“Untuk mengecap siapa berdoa harus diperiksa darimana bencana itu berasal, apalagi tanda terima tersebut pada saat ini sudah berada di tangan Tok Say, ia menuduh kalian bersekongkol dengan kaum penjahat untuk memeras dan memaksa sang majikan menyerahkan barangnya.”

Sepasang mata Kwan Tiong Gak berputar dan memandang wajah Jen Pek To tajam tajam, dirasakan sepasang mata busu ini tajam, wajahnya gagah dan merupakan seorang jago yang susah dihadapi, ia segera tertawa tergelak.

“Dan bagaimana menurut pandangannya Jen-heng sendiri?”

“Pandangan aku orang she Jen sudah tentu berbeda dengan pandangan Tok-Say, menurut sistim Bu-lim urusan ini sebenarnya sangat biasa, mencantumkan nama di atas surat pernyataan hanya bermaksud sebagai saksi belaka, tetapi lain menurut pandangan orang-orang pemerintahan, walaupun Tok-Say hanya seorang panglima perang yang menguasai tentara, tetapi sewaktu peperangannya ke daerah selatan ia memperoleh pujian dari sang kaisar dan kini memperoleh kekuasaan untuk memerintah di sekitar karesidenan Lu, Shia, Kan dan sekitarnya, Kwan heng sebagai seorang penduduk yang sudah lama berdiam di ibukota tentu mengerti bukan apabila ucapan siauwte bukan omong kosong belaka.”

“Sekalipun kekuasaan Tok Say mencakup daerah yang luas, tapi kita dari perusahaan Liong Wie Piauwkiok pun merupakan rakyat baik-baik, rasanya Tok Sat

 tak akan turunkan perintah untuk menjatuhkan hukuman pancung kepala kepada kami.”

Jen Pek To sekali lagi tersenyum.

“Tok Say adalah seorang yang pandai dan mengerti dalam membereskan satu persoalan, setelah mendapat penjelasan dari Siauwte akhirnya ia bisa berubah niat dan mengirim siauwte untuk mengundang datang Kwanheng agar suka menghadap bahkan menghadiahkan pula tiga ratus tahil emas murni untukmu, walaupun dengan suksesnya Kwan-heng dalam perdagangan tidak memandang sebelah matapun terhadap ketiga ratus tahil emas murni ini, tapi hadiah yang tidak kecil jumlahnya tersebut boleh membuktikan apabila Tok Say kami masih pandang tinggi diri Kwan-heng.”

“Budi Jen-heng akan aku orang she Kwan catat di hati, entah urusan apakah yang diperintahkan Tok Say kepada aku orang she Kwan? harap Jen-heng suka memberikan penjelasan.”

“Sudah tentu tentang lukisan pengangon kambing itu…..”

“Kini dimanakah lukisan pengangon kambing itu?” “Jika kamipun tahu dimanakah lukisan pengangon

kambing itu sekarang berada, aku rasa pada saat ini kami tidak perlu mencari diri Kwan Cong Piauw-tauw lagi.”

Kwan Tiong Gak termenung sejenak, lalu ujarnya. “Jen-heng, dapatkah kau menceritakan kisah

seluruhnya dengan jelas?”

“Baik! Tentang tercantumnya nama besar Phoa Hu Cong Piauw-tauw dari perusahaan kalian di atas tanda terima rasanya Kwan heng sudah mengetahui bukan?”

 “Aku tahu”

“Liuw Thayjien sebagai sahabat karib dari Tok Say memang seorang lelaki yang sangat pegang  janji, setelah surat tanda terima itu ia tulis sendiri sebagaimana janjinya ia serahkan pula lukisan pengangon kambing itu.”

“Sebelum terjadinya peristiwa ini apakah Jen-heng sama sekali tidak tahu?”

“Tidak tahu” Jen Pek To menggeleng berulang kali. “Mungkin Liuw Thayjien tidak ingin mengganggu ketenangan Tok Say, menanti setelah terjadi kekacauan Liuw Thayjien baru menceritakan kisah sebenarnya…..”

“Siauwte ingin tahu kisah terjadinya peristiwa tersebut,” sela Kwan Tiong Gak tiba-tiba.

“Yang paling mengagumkan adalah orang yang datang membawa tanda terima tersebut untuk minta lukisan pengangon kambing ternyata adalah Thoa Ci  Jien seorang kenamaan dalam kota Kay Hong, orang ini sendiri pernah menjadi sahabat Tok Say selama banyak tahun bahkan merupakan salah seorang kawan main catur beliau, tidak disangka sesungguhnya ia punya persekongkolan dengan kaum penjahat untuk dapat menerima peta lukisan tersebut.”

“Dimanakah Thio Ci Jien saat ini?”

“Thio Ci Jien sering mengunjungi istana bahkan merupakan sahabat karib Liuw Thayjien pula, kedatangannya bertamu merupakan suatu kejadian yang sangat biasa, setelah ia menerima peta lukisan pengangon kambing tersebut orang itu pamit dan pulang.”

 “Siapa sangka ketika tiba di luar istana, ia mendapat bokongan orang dan menderita luka parah, sedang lukisan pengangon kambing itu sendiri kena dicuri pergi, bukan begitu saja bahkan kedua orang tukang tandunya serta seorang pelayan-nya kena dirobohkan juga.”

“Apakah beberapa orang itu sudah mati semua?” “Sang pelayan serta kedua orang tukang tandu itu

kena ditotok jalan darahnya oleh semacam ilmu menotok batu, sedangkan Thio Ci Jien sendiri dilukai dengan suatu ilmu yang maha aneh.”

“Apakah Jen-heng turun tangan memberi pertolongan.?”

Merah padam selebar wajah Jen PekTo sewaktu mendapat pertanyaan tersebut.

“Si tukang tandu serta si pelayan berhasil cayhe tolong sehingga tersadar kembali, lain halnya denga luka yang diderita Thio Cie Jien, siauwte sama sekali tidak mengerti pukulan apakah yang bersarang di tubuhnya, karena itu tak berhasil kutolong, Tok Say sendiri walaupun merupakan seorang jendral yang menguasai beratusratus laksa tertera tetapi wataknya sangat mulia dan ramah, sekalipun dalam hal peristiwa ini Thio Cie Jien tak dapat lolos dari tuduhan persekongkolan dengan penjahat tetapi dikarenakan ia jatuh tidak sadar diri maka terpaksa ia perintah orang untuk hantar orang she Thio itu pulang, di samping itu memanggilkan seorang tabib untuk memeriksakan penyakitnya.”

“Thio Ci Jien tak bisa berbicara, tentu persoalan yang lebih jelas kalian dengar dari mulut Liuw Thayjien.”

“Tidak salah, setelah peristiwa ini terjadi kekacauan, maka   Liuw   Thayjien   pun   tak   dapat   merahasiakan

 persoalan ini, terpaksa ia ceritakan seluruh peristiwa ini di samping serahkan tanda terima tadi kepada Tok Say.”

“Peristiwa ini pulang pergi sangat jelas dan tidak membingungkan, Jen-heng siap memerintahkan siauwte untuk membuat apa? Silahkan sekarang juga diutarakan.”

“Maksud Tok Say adalah minta Kwan-heng untuk bantu mencari balik lukisan gembala kambing itu.”

“Kecuali Thio Cie Jien yang jatuh tidak sadarkan diri serta dua orang tukang tandu dan seorang pelayan, apakah kau dapat memberi sedikit keterangan lainnya?”

“Soal ini sudah siauwte tanyakan kepada merekamereka ini, tetapi jawaban yang didapat adalah sama, sebelum mereka melihat sesuatu jalan darahnya sudah ditotok.”

“Jen-heng! Urusan ini kelihatannya agak mudah diselesaikan,” setelah Kwan Tiong Gak setelah termenung sejenak. “Setelah Phoa Hu Cong Piauw-tauw dari perusahaan kami ikut menanda tangani surat tanda terima itu sudah tentu kamipun tahu surat itu tadinya diberikan kepada siapa, sedangkan Liuw Thayjien sendiri rela menulis tanda terima tersebut jelas bukan tak ada alasan, mungkin tentang hal ini ia sudah beritahu kepada Tok Say….”

“Tok Say sendiri juga pernah berpikir sampai soal itu, tetapi dia dengar Liue Thayjien bercerita sendiri siapakah orang itu sudah tentu Tok Say tidak enak mendesak lebih jauh. dengan demikian urusanpun berlarut.”

“Orang itu adalah si Hoa Hoa Kongcu Ke Giok Lang, entah pernahkah Jen-heng mendengar nama orang ini?”

 “Hoa Hoa Kongcu, Ke Giok Lang? Bukankah dia seorang penjahat cabul?”

“Aaaah…….. hal ini disebabkan kawan kawan Bu Lim telah kena dipengaruhi oleh gelarnya…..”

Mendadak Kwan Tiong Gak merasa ia terlanjur bicara, buru-buru ucapannya dipotong di tengah jalan.

Jen Pek To tersenyum.

“Kwan-heng, kau pernah berjumpa dengan Ke Giok Lang?”

“Pernah!” Cong Piauw-tauw she Kwan dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok ini mengangguk.

“Bagaimana menurut pandangan Kwan-heng terhadap manusia yang bernama Ke Giok Lang ini?”

“Dia adalah seorang jago yang sangat berbakat!” “Saat ini cayhe mempunyai suatu cara yang bagus

untuk dilakukan. asalkan Kwan heng berhasil mencari balik peta pengangon kambing tersebut dan minta Ke Giok Lang menyembuhkan luka yang diderita Thio Cie Jien, cayhe rela memikul tugas tanggung jawab ini di hadapan Tok Sat untuk tidak mencari tahu lagi persoalan di balik kejadian ini, akan kuhitung persoalan ini telah selesai!”

Air muka Kwan Tiong Gak segera berubah serius, ujarnya, “Kalau peta pengangon kambing itu terjatuh kembali ke tangan Ke Giok Lang sedang Thio Ci Jian sebagai anak buahnya terluka pula di tangan Hoa Hoa Kongcu ini, urusan jauh lebih mudah diselesaikan, justeru menurut pendapat cayhe urusan mungkin tidak segampang ini.”

 “Maksud Kwan-heng ada orang ketiga yang mencuri peta ini?”

Sepasang mata Kwan Tiong Gak berkilat balik tanyanya.

“Sebenarnya berapa banyak yang Jen heng ketahui tentang peta mustika pengan kambing ini.”

“Cayhe hanya merasa sedikit heran saja,” kata Jen Pek To buru-buru menggeleng. “Peta lukisan pengangon kambing bukan termasuk lukisan kenamaan, mengapa begitu banyak jago Bu-Lim yang memperebutkannya?”

“Justru disinilah letak kunci utama dari semua persoalan!” seru Kwan Tiong Gak sambil mendehem. “Tok Say memerintahkan siauwte untuk menerima tugas pencarian peta lukisan pengangon kambing itu, bila kutinjau keadaan yang tertera di depan mata, rasanya kendati kutolak-pun tak bisa jadi, tapi hingga detik ini persoalan mengambang bagai awan di angkasa, siauwte rasa batas waktu yand disediakan seharusnya diperpanjang lagi…….”

Jen Pek To tidak memberi jawaban atas pertanyaan dari Kwan Tiong Gak, sebaliknya dia malah bertanya.

“Kwan-heng bersiap hendak berbuat apa?”

“Tengok dulu bagaimana keadaan dari Thio Ci Jien, karena menurut pendapatku kalau dia bukan terluka oleh semacam ilmu totok, pasti terluka oleh semacam ilmu silat yang istimewa, kalau kita bisa sadarkan dirinya agar dia memberi keterangan hal ini jauh lebih bagus kalau tidak bisa ditolong aku berharap dari keadaan lukanya berhasil mendapatkan sedikit tanda-tanda yang bisa dipakai sebagai pegangan!”

 “Baik” dengan cepat Jen Pek To mengangguk. “Aku akan memberi laporan dulu kepada Tok Say, asal Kwanheng suka bekerja sama dengan kami, di hadapan Tok Say tentu siauwte akan berusaha memikul tanggung jawab ini.”

“Jen-heng! Lebih baik dalam melaksanakan tugas ini kaupun ikut serta sehingga kau-pun dapat mengetahui bagaimanakah perkembangannya dan bisa setiap saat memberi laporan kepada Tok Say.”

“Kalau memang keikutan siauwte tidak menganggu, siauwte rela membantu sepenuh tenaga.”

“Kalau begitu kebetulan sekali, Jen-heng tak usah terlalu merendah lagi.!”

“Yang kumaksudkan mengganggu adalah kedudukanku sebagai petugas hukum, kalau akupun membantu Kwan-heng dalam pencarian sang pembunuh, aku takut kawan-kawan Bu-lim akan mengecap Kwanheng bekerja dengan minta bantuan orang-orang pemerintahan.

“Tok Say memerintahkan aku ikut campur dalam persoalan ini bukankah tanpa sadar aku telah mengandalkan kekuatan pemerintahan?” seru Kwan Tiong Gak sambil tertawa hambar.

Jen Pek To jadi jengah dan dalam keadaan serba salah ia tertawa.

“Jika Kwan-heng merasa siauwte boleh ikut serta dalam pekerjaan ini, Siauwte rela membantu dengan senang hati.”

“Jen Thayjien terlalu merendah!”

Setelah merandek sejenak, sambungnya, “Sekarang kita harus pergi memeriksa keadaan luka Thio Ci Jien,

 bila siauwte pergi seorang diri, aku takut susah menjumpai dirinya.”

“Baik! Cayhe akan melapor sebentar pada Tok Say kemudian kita bersama-sama pergi menengok Thio Ci Jien.”

“Siauwte akan menanti disini!”

“Baik, sebentar lagi siauwte pasti datang!” Jen Pek To bangkit dan melangkah keluar.

Beberapa saat kemudian ia sudah balik lagi ke dalam ruangan itu.

“Kwan-heng, mari kita berangkat!”

Dengan membawa Kwan Tiong Gak, dia berjalan meninggalkan istana Jendral berangkat menuju ke rumah kediaman Thio Ci Jien.

Lantaran Jen Pek To membawa kartu nama Tok Say, dengan mudah mereka dapat berhasil menemui si pengurus rumah keluarga Thio.

Jen Pek To adalah pengawal Tok Say yang jarang keluar. Si pengurus rumah ini tidak kenal dengan dia, tapi lantaran dia membawa kartu nama sang Jendral, sudah tentu saja penguasa keluarga Thio itu tidak berani berlaku ayal, dengan penghormatan besar disambutnya kedua orang tamu tak diundang ini.

Gerak-gerik Jen Pek To benar benar keren penuh wibawa mencerminkan kedudukan sebagai tangan kanan Tok Say, sambil melirik sekejap wajah pengurus rumah keluarga Thio itu tanyanya, “Bagaimana keadaan Thio Ci Jien?”

“Majikan kami tetap dalam keadaan tak sadarkan diri.”

 “Cayhe mendapat perintah Tok Say untuk menjenguk keadaan luka Thio Thayjien!”

“Cayhe segera membawa jalan buat kalian berdua.”

Di dalam kota Kay Hong, sebenarnya keluarga Thio Ci Jien pun termasuk seorang pembesar terkemuka, hanya saja disebabkan yang hadir saat ini dari istana jenderal, si pengurus rumah itu tidak berani banyak bicara.

Ia langsung membawa kedua orang itu memasuki kamar Thio Ci Jien.

Lambat lambat Kwan Tiong Gak mendekati pembaringan orang she Thio itu pucat pasi bagai mayat, sepasang matanya terpejam rapat-rapat.

“Jen-heng!” ujar Kwan Tiong Gak sambil berpaling ke Jen Pek To. “Lukanya terletak di sebelah mana?”

“Agaknya terletak di pundak sebelah kirinya.”

Kwan Tiong Gak kali ini mengalihkan sinar matanya ke arah si pengurus rumah keluarga Thio itu perintahnya, “Eeeei…. coba kau lepaskan pakaian yang dikenakan majikanmu itu.”

“Soal ini….soal ini ”

Agaknya pengurus rumah keluarga Thio dibikin tertegun.

“Kami mendapat perintah Tok Say untuk datang kemari memeriksa keadaan luka majikanmu,” sela Jen Pek To dari samping.

Mendengar ucapan ini si pengurus rumah keluarga Thio itu tak berani banyak berkutik lagi, buru-buru ia mendekati pembaringan dan melepaskan pakaian yang dikenakan Thio Ci Jien.

 Pada pundak sebelah kiri orang she Thio itu, tampaklah selapis warna merah darah membekas dengan nyata di sana.

“Kwan heng, sungguh aneh, bekas luka ini, “ bisik Jen Pek To lirih, “Agaknya luka ini bukan bekas telapak, juga tidak membengkak, entah ia terluka oleh pukulan apa?”

Air muka Kwan Tiong Gak amat serius, ia tidak menjawab pertanyaan Jen Pek To, agaknya semua perhatiannya telah dipusatkan pada keadaan luka Thio  Ci Jien.

Kurang lebih seperminum teh lamanya baru berpaling dan memandang sekejap wajah si pengusaha keluarga Thio, tanyanya, “Majikan kalian sudah minum obat?”

“Tiga orang tabib kenamaan sudah datang memeriksa keadaan lukanya tapi mereka tidak berhasil menemukan sebab-sebab penyakit itu, setelah tiga orang tabib itu merunding sejenak mereka masing-masing membuka sebuah resep, tapi walaupun obat itu sudah diberikan majikan kami masih juga tidak sadarkan diri.”

“Ia tidak pernah bangun satu kalipun?”

“Benar, ia tidak pernah sadar barang satu kalipun.” “Keadaannya juga tidak bertambah buruk.”

Si pengurus rumah keluarga Thio itu mengangguk. “Sejak semula gingga kini keadaannya tak berubah!”

“Bantu dia kenakan bajunya,” perintah Kwan Tiong Gak kemudian setelah termenung sejenak. Lalu ia berpaling kepada Jen Pek To dan tambahnya, “Mari kita pergi!”

Kedua ornag itu dengan mulut membungkam menggundurkan diri dari istana pembesar she Thio itu, di

 tengah jalan Jen Pek To tak dapat menahan sabar lagi dan berkata, “Kwan-heng, apakah berhasil menemukan sesuatu?”

“Kita kembali dulu ke kantor cabang kami, bagaimana kalau kita bicarakan lagi persoalan itu di sana?”

“Cayhe menurut saja kemauan Kwan heng.”

Kwan Tiong Gak tersenyum dan mengangguk, dengan membawa serta pengawal pribadi Tok Say ini, ia kembali ke kantor cabang perusahaan ekspedisinya.

Waktu itu Phoa Ceng Yan, Liem Toa Lek serta Nyoo Su Jan sekalian lagi menunggu di ruang tengah dengan hati gelisah, wajah mereka murung dan kesal.

Menanti ditemuinya Kwan Tiong Gak muncul kembali tanpa kekurangan sesuatu apapun mereka baru hilang kesalnya dan menyambut kedatangan Cong Piauw-tauw mereka dengan muka berseri-seri sekali.

“Sudahlah, tak perlu banyak adat, “ Kwan Tiong Gak ulapkan tangannya mencegah orang-orang itu memberi hormat kepadanya.

Dengan langkah lebar ia masuk ke dalam ruangan, sambil memandang Jen Pek To ia berkata, “Jen-heng, boleh kau hitung termasuk juga orang-orang Bu-lim, sewaktu berada di hadapan Tok Say sudah banyak membantu diriku.”

Phoa Ceng Yan, Nyoo Su Jan serta Liem Toa Lek buru-buru merangkapkan tangannya menjura mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih banyak atas bantuan Jen-heng!” serunya hampir saja berbareng.

 “Siauwte hanya berusaha sedapat mungkin saja, tidak berani menerima penghormatan dari Cuwi bertiga!” Jen Pek To dengan membalas menjura.

Phoa Ceng Yan mendehem, katanya serius. “Toako, apa yang dikatakan Tok Say kepadamu?”

“Jen-heng sudah menyampaikan isi perinta Tok-say kepadaku, ia minta siauw-heng cari kembali peta pengangon kambing tersebut.”

Mengambil kesempatan itu Jen Pek To mengeluarkan ketiga ratus tahil emas murni itu diangsurkan ke depan.

“Karena harus merepotkan Cuwi sekalian, Tok Say merasa tidak tenteram, oleh karena itu sedikit penghargaan harap cuwi sudi menerimanya.”

“Tok Say memberi hadiah terlalu banyak” ujar Kwan Tiong Gak sambil tertawa getir.

“Sebetulnya peristiwa ini merupakan peristiwa Bu-lim belaka, tidak nyana kini sudah terseret masuk dalam soal pemerintahan.”

“Persoalan ini disebabkan siauw-te mau potong kepala masuk penjara sudah sebetulnya siauwte tanggung seorang diri,” kata Phoa Ceng Yan cepat.

Mendengar ucapan saudaranya Kwan Tiong Gak segera tertawa terbahak-bahak.

“Haaa…..haaa…… yang Tok-Say perintah kita cari adalah peta pengangon kambing dan atas tanggungan Jen-hen ini, Tok Say pun sudah berjanji untuk tidak menyelidiki persoalan yang lebih mendalam.”

“Kalau begitu, asal kita berhasil menemukan kembali peta pengangon kambing maka urusan selesai?” tanya Nyoo Su Jan agak ragu-ragu.

 “Tentang soal ini siauwte berani tanggung.!” sambung Jen Pek To dengan cepat.

“Asal peta pengangon kambing dapat ditemukan, Tok Say pasti takkan menyelidiki urusan ini lagi bahkan surat pernyataan yang berisikan tanda tangan Phoa-heng pun akan diserahkan kembali kepada kalian.”

Mendengar ucapan yang demikian tegas, Phoa Ceng Yan berpaling ke arah Kwan Tiong Gak.

“Toako, apa yang hendak kau lakukan?” tanyanya. “Sampai kini aku masih belum mendapatkan suatu

cara yang baugs, aku rasa persoalan ini agak merepotkan…..”

Bicara sampai di situ, sinar matanya dialihkan ke atas wajah Jen Pek To dan tanyanya.

“Apa pendapat Jen heng mengenai persoalan ini?” “Selama beberapa tahun ini siauwte sangat jarang

berhubungan dengan orang-orang Bu Lim, terus terang saja dalam urusan ini aku benar-benar buta, sebaliknya Kwan-heng tersohor dalam kolong langit, aku rasa tentu ada cara yang bagus bukan untuk mengatasi persoalan ini? menurut pendapat siauwte untuk membongkar tekateki tak berujung pangkal ini kita boleh selesaikan mengikuti cara-cara Bu Lim.”

“Aku orang she Kwan sudah banyak berkelana dalam dunia persilatan, banyak sahabat kangouw yang telah terkenal tapi mereka adalah manusia-manusia yang kasar paling tidak suka berhubungan dengan petugas hamba negara semisalnya Jen-heng ikut serta dalam penyelidikan kasus ini aku berharap agar jangan memperkenalkan diri sebagai pengawal pribadi Tok Say?”

 “Ehmmm… ucapan ini sedikitpun tidak salah” Jen

Pek To mengangguk. “Terutama sekali tidak banyak orang kangouw yang kukenal, asal Kwan-heng suka memberi siauwte sebuah jabatan itu sudah cukup apalagi anggota kantor cabang di sini banyak jumlahnya asal siauwte mengaku sebagai seorang piauwsu, orangpun tak akan tahu.”

“Tapi bukankah kami akan sedikit merendahkan derajat Jen-heng?”

“Kwan-heng sudah banyak membantu siauwte, untuk hal ini aku sudah merasa sangat berterima kasih, mana berani mengucapkan kata-kata “penghinaan” lagi?”

Kwan Tiong Gak termenung sejenak, akhirnya ia mengangguk.

“Baik! Lebih baik sekarang kita usahakan untuk menjumpai dahulu si Hoa Hoa Kongcu Ke Giok Lang

…..”

Ia berpaling kepada Liem Toa Lek dan perintahnya. “Pasang lentera merah kemudian kirim orang

melakukan pertemuan… ”

“Hamba Paham!” Liem Toa Lek segera bangkit berdiri terima perintah.

Sepeninggalnya orang she Liem itu, Kwan Tiong Gak berpaling dan tersenyum ujarnya.

“Jen-heng! Urusan jadi begini mau gelisahpun percuma, mari kita teguk dulu dua cawan arak sebagai tanda terima kasih aku orang she Kwan kepada dirimu.”

Ia Ulapkan tangan dan berseru, “Hidangkan arak!”

Walaupun saat menunjukkan penutupan tahun tapi berhubung  Cong  Piauw-tauw  hadir  maka  kebanyakan

 piauwsu yang ada dalam kantor cabang ini tidak pulang ke kampung bahkan sebagian besar anak buah tetap tinggal di kantor menanti perintah.

Begitu perintah hidangkan arak diucapkan sebentar saja sayur dan arak sudah dihidangkan.

Kwan Tiong Gak duduk di kursi pertama dan mempersilahkan Jen Pek To duduk di sebelahnya, kemudian disusul Phoa Ceng Yan dan Nyoo Su Jan mengiringi dari samping.

Demikianlah sebuah meja perjamuan hanya dihadiri oleh empat orang.

“Jen-heng!” di tengah perjamuan Kwan Tiong Gak angkat cawan araknya.” Mari aku menghormati dirimu dengan secawan arak!”

“Terima kasih….terima kasih.” dan sekali teguk Jen Pek To menghabiskan isi cawannya.

“Haaa….haaa….bagaimana dengan takaran minum arakmu?”

“Aaakh, sangat cetek!”

“Mari kita minum arak sepuasnya….!”

Kekuatan minum arak keempat orang itu rata-rata kuat, dengan demikian arakpun tiada hentinya berpindah tempat dari teko ke mulut.

Perjamuan ini berlangsung satu jam lamanya sampai akhirnya Jen Pek To mendorongkan cawan sembari berseru, “Cukup….cukup….! Siauwte tidak berani minum lagi, aku takut nanti mabok di sini.”

“Jikalau Jen-heng sudah tak kuat, mari kita samasama berhenti….”

 Belum habis ia berkata dengan tergesa-gesa Liem Toa Lek telah munculan diri, ujarnya sambil menjura, “Cong Piauw-tauw, hamba telah menjumpai Ke Giok Lang….!”

“Ehm…. ia berada di mana?”

“Kini berada di luar ruangan tamu!”

Tiba-tiba Jen Pek To bangkit seraya menyambung, “Kwan-heng, kenapa tidak sekalian undang masuk ke dalam?”

Kwan Tiong Gak mengangguk, bisiknya kepada Liem Toa Lek mengiyakan dan segera berlalu dari ruangan.

Beberapa saat kemudian Ke Giok Lang muncul di depan ruangan sambil menggoyang-goyangkan kipasnya.

Buru-buru Kwan Tiong Gak menjura.

“Merepotkan saudara hadir kemari, aku orang she Kwan merasa tidak tentram!”

“Mana…..mana….. Kwan heng kirim orang untuk mengunjungi siauwte, rasanya tentu ada urusan penting yang hendak dibicarakan bukan?”

Sambil bicara sepasang matanya tiada berhenti memeriksa wajah Jen Pek To dengan seksama.

“Kalau tak ada urusan mana berani mengganggu Ke Kongcu.”

“Mengenai peta pengangon kambing itu, siauwte berhasil mendapatkan sedikit berita.”

Ke Giok Lang tersenyum.

“Bukankah kalian berdua telah mengunjungi Thio Ci Jien?”  Ucapan  dari  Ke  Giok  Lang  ini  datang  laksana

 guntur di siang hari bolong membuat hati Kwan Tiong Gak tergetar keras tapi di luaran berusaha untuk mempertahankan ketenangannya, ia tertawa.

“Aku rasa Thio Ci Jien tentu komplotan Ke heng bukan?”

“Oouuuuw…..soal ini? Aku rasa sulit untuk dikatakan kita yang sering melakukan perjalanan di luaran seharusnya berkenalan dengan banyak sahabat.”

Sinar matanya dialihkan ke atas wajah Jen Pek To dan sambungnya, “Saudara ini adalah ……”

“Siauwte she Jen…….”

“Kalau begitu dugaan siauwte sama sekali tidak meleset” tukas Ke Giok Lang dengan cepat. “Jen-heng adalah manusia penting dari istana Jendral!”

Ucapan Ke Giok Lang yang membongkar asal-usul Jen Pek To, bukan saja membuat Jen Pek To pribadi terperanjat, bahkan Kwan Tiong Gak sekalian dibikin tertegun.

Terdengar Ke Giok Lang mendongak tertawa terbahak-bahak.

“Haaaa……haaaa….. walaupun di balik pintu istana penuh rahasia bagaikan dasar samudra, tapi Jen-heng di dalam istana adalah manusia penting, semua anggota istana tidak seorangpun yang tidak kenal, asal siauwte buang beberapa tahil perak tidak susah untuk mendapatkan berita yang jelas tentang dirinya Jen-heng!”

Walaupun hatinya bergolak, tapi Jen Pek To berusaha untuk menenangkan hatinya.

“Aku rasa tidak segampang seperti apa yang kau ucapkan!”

 “Lebih baik kita jangan membicarakan urusan ini lagi…..” Ke Giok Lang tertawa hambar, sinar matanya segera dialihkan ke arah Kwan Tiong Gak dan terus bertanya, “Entah ada urusan apa Kwan-heng mengundang siauwte datang kemari, aku harap segera persoalan dibicarakan.”

“Ehmmm……. aku rasa Ke-heng sudah tahu jelas bukan bahwa peta pengangon kambing itu kena direbut orang dari tangan Thio Ci Jien?”

“Soal ini siauwte sudah tahu, tapi siapakah orangnya yang merampas benda itu?”

“Justru Siauwte mengundang Ke-heng datang kemari, untuk diajak merundingkan persoalan ini.”

Ke Giok Lang berpikir sebentar, lalu ujarnya, “Thio Ci Jien pingsan tidak sadarkan diri, menurut perasaanku kalau keterangan ini kita tak berhasil mendapatkannya dari mulut orang itu jelas susah untuk mendapatkan titik terang, entah Kwan-heng hendak turun tangan secara bagaimana?”

“Maka dari itu kita harus bertemu untuk merundingkan bersama-sama.”

Ke Giok Lang kembali tertawa hambar.

“Kalau kita bertiga bisa bekerja sama menyelidiki persoalan ini, kejadian tersebut pasti akan timbulkan kegemparan dalam Bu lim, kaum hamba negera bekerja sama dengan kaum bajingan ditambah pula ikut sertanya seorang Toa Piauw-su untuk sama-sama menyelidiki suatu peristiwa pembegalan. Peristiwa ini sungguh menggelikan sekali.”

 “Ke Kongcu, kau memandang dirinya sebagai bajingan, apakah tidak merasa terlalu rendah diri?” seru Jen Pek To tiba-tiba.

“Membandingkan seorang tangan kanan Tok Say sebagai kuku garuda atau tukang pukul sang pembesar negara, apakah kaupun tidak merasa terlalu merendahkan diri?” balas Ke GIok Lang kalem.

Air muka Jen Pek To berubah hebat, agaknya ia siap mengumbar hawa amarahnya tapi akhirnya dipaksakan juga untuk bersabar, ia tertawa terbahak-bahak.

“Haaa……….haaa………haaa…. Ke Kongcu, kalau bicara dengan aku harus sedikit tahu sopan!”

“Ehmmm……! Jen-heng, ada satu persoalan aku ingin terangkan dulu kepadamu sehingga sampai waktunya Kwan Cong Piauw-tauw jadi serba salah!” seru Ke Giok Lang sambil tertawa.

“Urusan apa?”

“Kwan Cong Piauw-tauw adalah seorang pedagang besar, maka terhadap orang-orang pemerintahan macam kalian merasa amat jeri. Tapi kaupun harus ketahui ia takuti bukan ilmu silat kau Jen-heng atau beberapa laksa orang prajurit anak buah Tok Say, melainkan yang ditakutkan adalah kantor perusahaan expedisinya tak bisa dibuka terus, takut beberapa ribu orang anak buahnya yang tersebar di enam karesidenan besar puluhan buah kantor cabang perusahaan tak bisa melanjutkan hidup.”

Ia merandek sebentar untuk mendehem, kemudian sambungnya, “Seandainya aku orang she Ke yang melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan sama sekali tidak memandang di dalam hati terhadap kau  Jen-

 heng, bicara yang baik kita adalah kawan, bicara yang jelek mau coba pindah ke gelanggang adu senjata akupun akan melayani terus!”

“Hmm! Apakah Ke Kongcu ada maksud menggertak diri siauwte?” dengus Jen Pek To sambil tersenyum dingin.

“Apa yang siauwte ucapkan adalah kata sejujurnya, kalau Jen-heng tidak mempercayai kamipun tak bisa memaksa kau untuk mendengarkannya.”

“Sudah….sudahlah! Kalian berdua tak perlu ribut lagi” sela Kwan Tiong Gak melerai.

“Ada persoalan kita rundingkan bersama-sama buat apa cekcok sendiri.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar