Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 05

Bilamana bisa mengetahui siapakah mereka hal ini memang semakin bagus lagi!” Kata Nyoo Su Jan pula. “Tetapi jikalau tak terpikir siapakah mereka itu, kitapun tidak usah terlalu terpengaruh oleh kata-kata kelima orang karibnya itu, yang seharusnya kita pikirkan adalah apakah maksud tujuan mereka dengan mengantarkan kartu undangan tersebut kepada kita! Mengundang Jieya bersantap merupakan sebuah siasat memancing harimau turun gunung atau bukan! Mungkin juga mereka memancing kita untuk bersama-sama pergi bersantap di rumah makan tersebut, lalu mengambil kesempatan ini turun tangan.”

“Aaakh….! Cengli….. cengli …..” teriak Phoa Ceng Yan sambil menghantam meja sesudah mendengar perkataan tersebut.

“Tetapi, memandang situasi pada saat ini, Jie-yapun mau tak mau harus pergi,” sambung Nyoo Su Jan lebih lanjut sambil tersenyum.

“Ehmmmmm….! Perkataanmu memang tidak salah,” Phoa Ceng Yan mendehem. “Perjamuan makan ini sekalipun harus naik ke atas gunung golok lembah minyak mendidih aku harus menghadirinya, aku harus mengenali siapakah sebenarnya kelima orang kawan karib kita itu.” 

 “Betul! Betul! Pendapat Jie-ya memang betul, perjamuan makan ini harus dihadiri walaupun apa yang bakal terjadi, kemungkinan sekali di dalam pertemuan kali ini kita berhadil mengetahui maksud hati mereka yang sebetulnya! Bilamana kita tinjau dari peristiwa yang terjadi berulang kali, aku merasa agaknya keluarga Liauw memang terselimut oleh suatu teka-teki yang misterius. Dengan nama besar perusahaan Liong Wie Piaw-kiok kita di daerah utara, tidak seharusnya kawan-kawan Lioklim begitu ngotot untuk mencari gara-gara dengan kita. Sewaktu Jie-ya menemui kelima orang kawan karib di rumah makan Yu It Cun nanti, lebih baik berusahalah bersabar diri dan mencari tahu dulu apa maksud tujuan mereka.”

Perlahan-lah Phoa Ceng Yan mengangguk, “Tidak salah. Sampai saat ini kita masih belum mengerti apakah sebabnya peristiwa aneh.” ujarnya perlahan. “Nah, jika aku sudah pergi ke rumah makan Yu It Cun, maka urusan di sini aku serahkan kepada Nyoo piauw-tauw untuk menjaganya, jangan lupa selalu berwaspada terhadap siasat musuh!”

“Hamba akan berusaha dengan sekuat tenaga! Tetapi, kemungkinan sekali kepergian Jie-ya ke rumah makan Yu It Coen tak dapat terhindar dari bentrokan-bentrokan kekerasan di dalam soal ini hamba akan mengucap dua persoakan untuk Jie-ya dengar!”

“Ehmmm! Kau bicaralah.”

“Jie-ya harus berusaha keras untuk bersabar diri, kecuali pihak lawan mengerakkan senjata sehingga memaksa Jie-ya mau tak mau harus turun tangan. Bilamana bisa kembali ke rumah penginapan hal ini jauh lebih bagus lagi, kita bisa bersama-sama mengatur siasat untuk menghadapi serangan-serangan musuh tangguh.”

 “Baik, aku akan berusaha keras untuk bersabar diri.”

“Aku akan menyuruh Giok Liong pergi dulu ke dusun Yu It Coen dengan menyaru.” tiba-tiba Nyoo Su Jan berbisik lirih.”Semisalnya terjadi peristiwa yang ada di luar dugaan, Giok Liong bisa buru-buru pulang kemari memberi kabar dan semisalnya Jie-ya terpaksa harus turun tangan, Giok Liong-pun bisa membantu Jie-ya di dalam perlawanannya menggundurkan pihak musuh.”

“Baik sih baik!” sahut Phoa Ceng Yan setelah termenung sebentar. “Cuma, pengalaman dari Giok Liong belum banyak, aku takut belum apa-apa dia sudah diketahui jejaknya oleh orang lain.”

“Oouuw…….. soal ini Jie-ya boleh berlega hati, asal aku sudah turun tangan menyarukan wajah Giok Liong, tanggung pihak musuh tak bakal mengetahui rahasianya.”

“Aku rasa sejak kita tiba di sini, sekeliling rumah penginapan telah disebari mata-mata pihak lawan yang secara diam-diam mengawasi seluruh gerak-gerik kita.”

“Tidak! Saat ini disekeliling rumah penginapan ini memang kemungkinan sekali ada mata-mata yang lagi mengawasi gerak-gerik kita, tetapi maksud tujuan mereka adalah kau Phoa Jie-ya. Asalkan Jie-ya sudah berangkat setindak terlebih dahulu, perhatian mereka terhadap kamipun akan jauh berkurang, dengan meminjam kesempatan inilah Giok Liong akan berjalan keluar dan langsung menuju ke rumah makan Yu It Coen terlebih dulu, untuk suksesnya rencana ini setelah keluar dari rumah penginapan Jie-ya tiada halangan untuk ngeloyor dan pesiar dulu keliling kota setelah itu baru berangkat menuju rumah makan Yu It Coen.”

“Bagus! Kita kerjakan demikian saja.”

 Menanti siang hari menjelang datang, Phoa Ceng Yan dengan mengenakan jubah panjang dan ditangannya mencekal sebuah Huncwee perlahan-lahan berjalan keluar dari rumah penginapan.

Sikapnya luwes, paras mukanya tenang ketika tubuhnya telah tiba di luar rumah penginapan, sinar matanya perlahan-lahan menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu.

Sedikitpun tidak salah, ia menemukan dua orang pemuda yang memakai pakaian ringkas buru-buru ngeloyor pergi.

Diam-diam si orang tua ini tertawa dingin, lambatlambat ia mulai melanjutkan perjalanannya ke depan.

Saat setelah Phoa Ceng Yan meninggalkan rumah penginapan itu, seorang lelaki kasar yang memakai topi terbuat dari kulit dengan di bawah janggutnya memelihara kumis pendek berjalan keluar dari rumah penginapan itu dengan langkah lebar.

Lama sekali Phoa Ceng Yan berpesiar keliling kota, setelah dirasanya waktu sudah cukup panjang ia baru putar halua berangkat menuju ke rumah makan Yu It Coen.

Yu It Coen adalah sebuah rumah makan yang terbesar di kota Si Sian Jan, suasana sangat ramai dan setiap hari banyak pengunjung yang bersantap di sana.

Pada beberapa tahun yang lalu pernah satu kali Phoa Ceng Yan bersantao siang di rumah makan Yu It Coen ini, seingatnya ruangan yang besar penuh dengan para tamu-tamu, suasana sangat ramai sekali.

 Tetapi keadaan dari rumah makan Yu It Coen pada hari ini sama sekali berbeda dengan ingatannya tempo dulu.

Tampaklah sebuah ruangan rumah makan yang besar dan luas, saat ini sunyi senyap, berpuluh-puluh buah meja semuanya kosong melompong tak kelihatan seorang tamupun.

Tujuh orang pelayan rumah makan dengan kepala memakai topi putih sera pinggang terikat kain putih dengan sangat rapih berdiri di samping.

Hal ini membuat Phoa Hu Cong Piauw-tauw dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok mengerutkan alisnya rapat-rapat.

Baru saja ia berjalan masuk ke dalam pintu, tampaklah seorang pelayan dengan langkah tergesa-gesa datang menyambut dan menghalangi perjalanan selanjutnya.

“Toa-ya!” serunya sambil menjura, “ini hari rumah penginapan kami sudah diborong orang, maafkanlah orang lebih baik cari tempat lain saja.”

Belum sempat Phoa Ceng Yang memberi jawaban mendadak terdengarlah suara seseorang yang besar dan nyaring sudah berkumandang datang.

“Pelayan busuk, matamu sudah buta! Ayoh cepat menyingkir ke samping!”

Seorang lelaki kasar yang memakai baju singsat dengan kancing yang sangat banyak dan ikat pinggang berwarna putih, dengan langkah besar berjalan mendekat dan mendorong pelayan itu ke samping.

Kau orang tua apakah Phoa Jie-ya!” sapanya sambil menjura,   Phoa   Ceng   Yan   mengangguk,   dari dalam

 sakunya ia mengambil keluar kartu undangan berwarna merah itu.

“Bilamana Loohu tidak salah melihat, seharusnya rumah makan ini bukan?” katanya.

“Aaakh…….! Benar, benar! Tidak salah” seru lelaki tersebut sambil memandang sekejap ke arah kartu undangan berwarna merah itu, “Pelayan ini ada mata tidak mengenal gunung Thay san, harap kau orang tua jangan merasa tersinggung dengan kejadian ini. Mari, mari silahkan masuk”.

“Heeee…….heeee….. kawan adalah….”

“Hamba tidak lebih cuma seorang pesuruh saja, majikan kami serta beberapa orang kawan sejak semula sudah menanti di atas loteng” sambung lelaki itu dengan cepat.

Sinar mata Phoa Ceng Yan perlahan-lahan menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu sewaktu tidak melihat Lie Giok Liong ada di sana, dalam hati diam-diam pikirnya.

“Mungkin sekali bocah itu sudah menggabungkan diri di sekeliling tempat ini…….” Ujarnya kemudian. “Harap saudara membawa jalan buat diriku!”

Lelaki kasar itu mengia, kemudian putar badan dan berjalan masuk ke ruangan.

Phoa Ceng Yan perlahan-lahan membuntuti dari belakang, sembari berjalan matanya mengawasi keadaan di sekeliling ruangan-ruangan rumah makan itu dengan teliti. Hal ini memaksa lelaki tersebut tak data berjalan terlalu cepat.

Setelah naik ke loteng tingkat kedua, tampaklah ruangan tersebutpun kosong, kursi meja sebagian besar

 sudah disingkirkan sehingga ruangan loteng seluas limaenam kaki tertinggal sebuah meja perjamuan saja.

Lima orang lelaki kasar masing-masing duduk di sekeliling meja itu meninggalkan sebuah tempat kosong di tempat yang teratas.

Phoa Ceng Yan setelah berada di loteng tingkat kedua, dengan sangat berhati-hati sekali mengawasi keadaan di sekeliling ruangan setelah dirasanya tiada pihak musuh yang bersembunyi di sana ia baru melangkah maju ke depan.

Melihat munculnya si orang tua tersebut, kelima orang tersebut bersama-sama bangun berdiri.

“Phoa Jie-ya selamat bertemu, kami berlima sudah menanti!” ujarnya hampir berbareng.

Dengan pandangan yang sangat tajam Phoa Ceng Yan memperhatikan kelima orang itu sekejap kecuali dirasanya dua orang di antara mereka terasa agak dikenal, sisanya tiga orang ia sama sekali merasa asing.

Perlahan-lahan ia berjalan mendekati meja perjamuan. “Aku orang she Phoa lebih baik ikut perintah saja!”

ujarnya sambil menjura.

Tanpa sungkan-sungkan ia menempati tempat duduk yang masih kosong itu.

Sekalian matanya menyapu sekejap ke arah beberapa orang tersebut.

“Phoa Jie-ya! Kau adalah seorang gagah yang cepat mengambil keputusan, cayhe merasa sangat kagum, mari…….mari! Aku hormati dulu Jie-ya dengan satu cawan arak.” ujar lelaki bercambang yang ada disebelah kiri.

 Selesai berkata ia mengangkat cawan araknya dan meneguk isinya sampai habis.

Kiranya di atas meja perjamuan sudah tersedia empat mangkok sayur serta cawan arak yang telah dipenuhi.

“Aku orang she Phoa tidak terbiasa minum arak, terima kasih atas maksud baik saudara-saudar sekalian.” ujar Phoa Ceng Yan sambil tertawa dan memandang sekejap ke arah cawan arak itu.

“Haaa…………haaaa……………haaa… Jie-ya

terlalu banyak curiga” seru lelaku bercambang itu sambil tertawa terbahak-bahak.

Ia lantas mengambil cawan arak di hadapan Phoa Ceng Yan dan meneguknya hingga habis.

Meminjam kesempatan inilah Phoa Ceng Yan memperhatikan dengan teliti wajah ke lima orang itu.

Walaupun mereka bellima punya raut muka yang berbeda tetapi kecuali si kakek tua yang memelihara jenggot kambing gunung duduk di hadapannya serta pejamkan matanya itu, sisanya berempat adalah orang kasar.

Sekalipun di dalam hal ilmu silat boleh dikata ada ia masih punya sedikit simpanan tetapi tidak lebih itupun cuma ilmu gwaa-kang saja yang mengutamakan kekerasan.

Dalam hati ia mulai merasa lega, sambil tertawa tawar ujarnya kemudian.

“Maaf aku orang she Phoa tidak ingat dengan kalian berlima!” serunya.

“Heee…..heee…..heee….. Phoa Ji-ya adalah seorang Toa Piauw su, sudah tentu tidak akan mengingat-ingat

 kami si prajurit tidak bernama di dalam dunia kangouw” jengek si orang laki-laki dengan alis yang tebal di sebelah kanan sambil tertawa dingin tiada hentinya.

“Haaa…..haaa…..haaa,,,,, saudara terlalu memuji, saudara terlalu memuji” dengan alis yang dikerutkan Phoa Ceng Yan tertawa terbahak bahak. “Aku orang she Phoa bisa jadi begini, kesemuanya tidak lain disebabkan saudara-saudara sekalian suka memberi muka kepada diriku, bilamana aku orang pernah berbuat salah, harap saudara-saudara suka memaafkan.”

Selesai berkata, ia bangun berdiri dan menjura di sekeliling meja perjamuan.

Setelah itu ia duduk lagi dan sambungnya lebih lanjut. “Dikarenakan aku orang she Phoa masih ada tugas

untuk mengawasi barang, maaf tidak dapat terlalu lama menemani saudara-saudara sekalian, tetapi maksud baik dari kalian itu akan aku orang she Phoa ingat terus di hati, apabila saudara-saudara masih ada urusan silahkan ucapkan secara terus terang, asalkan aku dapat melaksanakan tentu tak akan kutolak, bila semisalnya tak ada urusan lagi, aku orang she Phoa ada maksud untuk mohon diri.”

“Heee……heee…..he……. Phoa Jie-Ya!” seru lelaki beralis tebal itu lagi sambil tertawa dingin. “Bangkupun belum panas kau duduki bagaimana mungkin boleh buruburu pergi.”

“Maaf…..maaf aku orang she Phoa harus mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai pengawal barang, karena itu kedudukanku tidak sebebas orang biasa, harap saudara sekalian suka memakluminya.”

 Si kakek tua berjenggot kambing yang berada dihadapannya mendadak membuka matanya lebar-lebar, lalu tertawa dingin.

“Heee……heee……. Phoa Hu COng Piauw-tauw! Kaupun seorang jago kangouw yang sudah mengalami berbagai angin topan dan pernah menemui pula beratusratus orang terkemuka, setelah datang dengan tergesagesa mengapa hendak pergi dengan tergesa-gesa pula?? Apakah kau tidak merasa tindakanmu itu terlalu gampang??……” tegurnya.

Melihat sinar mata yang sangat tajam berkelebat keluar dari sepasang matanya yang terpentang lebarlebar itu, diam-diam Phoa Ceng Yan merasa amat terperanjat.

“Ooouw……… tenaga dalam orang ini tidak lemah, aku harus menaruh kewaspadaan penuh terhadap dirinya,” Pikir orang tua itu dalam hati.

Sembari berpikir keras, tangannya mengambil keluar korek api untuk menyulut huncwee di tangan kanannya, setelah menghembuskan asap panjang ujarnya sambil tertawa, “Baru saja aku orang she Phoa sudah berkata, bilamana saudara-saudara ada urusan maka silahkan katakanlah secara terus terang, bilamana aku orang she Phoa bisa melakukannya tentu tak bakal kutolak, bilamana aku orang she Phoa memang tidak sanggup, dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok masih ada COng Piauw-tauw kami yang dapat mengambil keputusan, jika saudara-saudara ada urusan katakanlah secara terbuka!”

“Tiada air kencing yang tidak menimbulkan lubang, kini Phoa Hu Cong Piauw-tauw sudah memberikan kesempatan, kami bersaudarapun terpaksa harus berbicara    secara    blak-blakan,”    ujar    si    kakek tua

 berjenggot kambing itu sambil tertawa tawar.”Pihak perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kalian tiada dendam sakit hati dengan kami, tetapi langganan kalian kali ini ada sedikit ikatan permusuhan dengan kami bersaudara, justru maksud dari kami mengundang Phoa Jie-Ya untuk bersantap tidak lain mengharapkan dari pihak perusahaan Liong Wie Piauw-kiok suka memberi muka kepada kami bersaudara untuk kali ini saja.”

“Aaaah……….. bagus sekali!” pikir Phoa Ceng Yan secara diam-diam dalam hati.”Sekarang kalian sudah tiba pada puncaknya.”

Karena dalam hati sudah ada persiapan maka menghadapi perkataan tersebut dia sama sekali tidak menjadi gugup.

“Saudara-saudara sekalian sebetulnya menginginkan aku orang Phoa secara bagaimana memberi muka pada kalian?” tanyanya sambil tertawa.

“Haaa……..haaa……haaa………… tidak sulit, tidak sulit!” Si kakek tua berjenggot kambing itu tertawa terbahak-bahak. “Asalkan Phoa Jie-ya suka memejamkan mata dan kasih waktu sepenanak nasi untuk kami itu sudah lebih dari cukup!”

Mendengar perkataan tersebut Phoa Ceng Yan segera merasakan hatinya tersentak.

“Apakah mereka benar-benar sedang menjalankan siasat memancing harimau turun gunung? dan sudah ada orang yang turun tangan sewaktu aku masih berada di sini?” pikirnya di dalam hati.

Sembari berpikir keras ia mendehem berulang kali. “Jika     saudara-saudara     sekalian     sudah     kasih

keterangan,  aku  harap  dapat  menerangkan  lebih jelas

 lagi.” ujarnya. “Sebenarnya kalian ingin membunuh orang atau cuma mendapatkan barang-barang saja.”

Agaknya si kakek tua yang berjenggot kambing gunung itu merupakan pentolan dari antara kelima orang itu, asal apa yang diucapkan merupakan keputusan yang mutlak.

Terlihatlah ia mengangkat cawan araknya perlahanlahan, kemudian sambil tertawa jawabnya, “Setelah berjanji dengan kau Phoa Jie-ya kami bersaudara sudah tentu tidak akan melukai orang.”

“Ehmmmm…………..! Kalau begitu kalian cuma menginginkan barangnya saja bukan? tetapu menurut apa yang aku orang she Phoa ketahui Liauw Thayjien tidak membawa intan permata terlalu banyak, kemungkinan sekali gerakan dari saudara-saudara kali ini akan memperoleh kekecewaan saja.”

Air muka si kakek tua berjenggot kambing itu kontan saja berubah hebat.

“Soal ini kau Phoa Jie-ya tidak perlu repot-repot ikut merasa kuatir, siauw-te sudah berkata tidak akan melukai orang bilamana perkataanku tidak sesuai dengan perbuatan, maka cawan itu adalah suatu contoh yang paling baik.” ujarnya.

Terlihat cawan arak yang ada di tangannya mendadak remuk berkeping-keping.

Phoa Ceng Yan memandang sekejap ke arah hancurnya cawan arak tersebut, kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Haaaaa…………haaaaa… haaaaa……kawan,

sungguh dahsyat tenaga dalammu, kita sudah berbicara

 selama setengah harian lamanya, tapi aku orang she Phoa masih belum mengetahui nama besarmu.”

“ooouww siauw-te!” seru kakek berjenggot kambing itu sembari tertawa dingin.”Cayhe adalah Miauw It Tong, seorang prajurit tak bernama dari dunia kangouw, mungkin Phoa-heng belum pernah mendengar namaku bukan.”

“Aaach……! Yen San Ngo Ih….” seru Phoa Ceng Yan tak tertahan lagi. hatinya benar-benar terasa bergetar sangat keras.

“Heee……heee……heee….. Phoa Jie-ya tidak usah terlalu memuji lagi, kami lima bersaudara disebut orang dengan sebutan Yen San Ngo Kui atau lima setan dari gunung Yen San, sebutan “Ngo Ih”-mu tersebut kami bersaudara tidak berani menerimanya.

Miauw It Tong merandek sejenak, lalu sambungnya kembali, “Pada lima tahun berselang, sewaktu perusahaan Liong Wie Piauw-kiok mengadakan perjamuan untuk menjamu para enghiong hoohan baik dari darat maupun dari laut di daerah sebelah utara, kami lima bersaudara-pun pada waktu itu menerima surat undangan dari piauw-kiok kalian dan pernah bertemu satu kali dengan Phoa Jie-ya. Karena itu di atas surat undangan kami berlima tadi sudah kami cantumkan lima orang kawan lama, tetapi Phoa Jie-ya orang budiman suka lupaan, ternyata kau sudah tidak teringat lagi dengan kami berlima.”

Phoa Ceng Yan menyedot huncwee-nya dalam-dalam kemudian menyemburkan segulung asap biru yang sangat tebal.

“Saudara-saudara sekalian sudah lama mengasingkan diri dari keramaian dunia, tidak kusangka ternyata kali ini

 kalian dapat munculkan diri kembali!” ujarnya sambil tertawa.

“Phoa Jie-ya! Kami Yen San Ngo Kui biasanya suka pergi kesana pergi kemari sesuka hati, setelah menjadi budak orang lainpun rasanya tidak berhasil mengelabui pendengaran kawan-kawan Bu-lim lainnya, apalagi matamata perusahaan Liong Wie Piauw-kiok tersebar luas di mana-mana, terhadap urusan kami lima bersaudara tentunya kau orang sudah mendengar jelas bukan?” kata Miauw It Tong.

Perlahan-lahan Phoa Ceng Yan mengangguk-angguk.

“Aku orang she Phoa memang pernah mendengar berita ini, katanya saudara-saudara sekalian sudah menggabungkan diri di bawah perintah si Kongcu tukang foya-foya? “Im Yan Pan” Ke Giok Lang!” katanya.

“Sedikitpun tidak salah, kami lima bersaudara  memang sudah menjadi pembantu-pembantu dari KeKongcu!”

Walaupun Phoa Ceng Yan berusaha untuk mempertahankan ketenangan hatinya, tak urung paras mukanya rada berubah juga.

“Lalu apakah Ke Kong juga sudah datang di kota Si Sian Jan ini??…” tanyanya lebih lanjut sambil menghisap huncweenya dalam-dalam.

“Majikan kami mungkin sekali sudah tiba di rumah penginapan Phoa Jie-ya!”

Mendadak Phoa Ceng Yan meloncat bangun dari tempat duduknya.

“Siasat memancing harimau turun gunung yang saudara sekalian gunakan, aku rela untuk menggantikannya” kata si orang tua itu dengan dingin.

 “Phoa Jie-ya! Mungkin sudah terlambat!” seru Miauw It Tong sambil bangun berdiri pula.

Selagi Phoa Ceng Yan bermaksud mengumbar hawa amarah, mendadak dari bawah loteng berkumandang datang suara bentakan yang amat keras dan nyaring.

“Khek-ya! Di dalam kota Si Sian Jan bukan cuma ada satu rumah makan saja, bersantap dimana saja bukankah sama…….”

“Kau cucu kura-kura jangan bicara seenakmu sendiri!” teriak seseorang dengan nada yang berat dan logat Su Tzuan. “Kalian buka rumah makan untuk cari uang, kini aku orang punya uang untuk membayar, mengapa kalian tidak mengijinkan aku untuk bersantap….”

Diikuti suara bentakan keras dari seseorang mendadak di mulut tangga muncul seseorang.

Phoa Ceng Yan segera mendongakkan kepala terlihat olehnya seseorang lelaki yang memakai jubah warna hijau dengan celana warna putih, sepatu terbuat dari serabut dan pada punggungnya menggembol sebuah buntalan berbentuk persegi panjang, sikapnya amat gagah sekali.

Wajahnya sederhana, tiada bagian-bagian yang memancing daya tarik seseorang, tetapi di dalam musim dingin seperti ini ternyata dia orang hanya memakai pakaian tipis dan sama sekali tidak kelihatan kedinginan, hal ini jelas menunjukkan bila ia memiliki dasar tenaga lweekang yang sangat sempurna.

Setelah naik ke atas loteng sewaktu dilihatnya meja kursi di sana pada disingkirkan semua ke samping, dan tinggal sebuah meja perjamuan saja yang masih ada di

 tengah-tengah ruangan, tak terasa lagi keningnya sudah dikerutkan erat-erat.

“Maknya….. termasuk rumah makan macam apa ini….” teriaknya tak kuasa lagi.

Belum habis ia berteriak mendadak terlihatlah sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, seorang lelaki kasar dengan tergesa-gesa menyusup naik ke atas loteng.

“Eeeeei….. apa yang sedang kau gembar gemborkan?” bentaknya keras.

Tangan kanannya lantas menyambar mencengkeram pundak lelaki berjubah hijau itu./

“Ooooouw……. mau berkelahi?” teriak lelaki tersebut.

Tubuhnya dengan sangat ringan berkelebat menghindarkan diri dari sambaran tangan kanan lelaki tersebut.

Phoa Ceng Yan sewaktu melihat orang yang baru saja melancarkan serangan itu bukan lain adalah lelaki yang menyambut kedatangannya tadi, diam-diam pikirnya dalam hati, “Entah siapakah lelaki berjubah hijau itu? Mengapa pada saat ini ia paksakan diri untuk naik loteng, bukannya bersantai sebaliknya mencari gara-gara dengan orang itu…..”

Lelaki tersebut sewaktu melihat cengkeramannya segera dibabat ke samping berubah menjadi suatu serangan pukulan.

“Aduuuuh……aduh…. celaka.,celaka, di siang hari bolong kau berani turun tangan pukul orang, apa aku kira si orang tua takut dengan peraturan hukum?” teriak si orang berbaju hijau itu dengan suara berat.

 Sembari berteriak dengan sangat lincah ia berkelit ke samping.

Lelaki tersebut sewaktu melihat kedua buah serangan beruntunnya kena dihindari oleh lelaki berbaju hijau tersebut, dalam hati merasa amat gusar, sepasang telapaknya diperkencang dan melancarkan serangan semakin gencar.

Terlihatlah sepasang kepalannya laksana curahan hujan dengan gencar mendesak pihak lawannya.

Tetapi gerakan tubuh lelaki berbaju hijau itu ternyata amat lincah, setiap serangan lelaki tersebut dengan indah dan seenaknya berhasil dihindari semua.

Hanya di dalam sekejap mata lelaki itu sudah melancarkan dua-tiga puluh jurus serangan, sebagian besar pukulannya hanya menyambar lewat setengah coen dari ujung jubah lelaki berbaju hijau itu.

Agaknya setiap kepalan yang dilancarkan bakal mengenai pada sasarannya, tetapi begitu kepalan mendekati sang tubuh, pihak musuh tahu-tahu serangannya telah mencapai pada sasaran yang kosong.

Sejak pertama kali tadi Phoa Ceng Yan sudah dapat melihat bila lelaki berbaju hijau itu sebenarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, asal ia melancarkan serangan balas mungkin hanya di dalam satu jurus saja sudah cukup untuk menguasai lelaki tersebut. “Tahan!” mendadak terdengar Miauw It Tong membentak keras. “Jangan pamerkan kejelekanmu lagi.”

Lelaki itu beruntun melancarkan sepuluh jurus serangan tetapi tak satupun yang berhasil mengenai lawannya dalam hati ia mulai menyadari bila ini hari dia orang  sudah  menemui  musuh  tangguh,  kini  setelah

 mendengar suara bentakan dari Miauw It Tong buru-buru lelaki tersebut menarik kembali serangannya dan mengundurkan diri ke belakang.

“Ooouw……kawan! Kau sudah bosan bergebrak?” jengek lelaki berjubah hijau itu kemudian sambil memandang sekejap ke arah lelaki tersebut.

Kala itu sebetulnya Phoa Ceng Yan sudah bersiapsiap hendak menerjang keluar dari kurungan Yen San Ngo Kui, tetapi setelah melihat si lelaki berlogat Su Tzuan ini ada maksud mencari gara-gara, segera iapun bersabar diri dan menekan rasa kuatir di hatinya untuk duduk kembali di tempat semula.

Kiranya, secara mendadak teringat olehnya walaupun Lie Giok Liong tidak berhasil menyelundup masuk ke dalam rumah makan tersebut tetapi paling sedikit sudah berada di depan rumah makan Yu It Coen tersebut, asalkan ia berhasil memperoleh sedikit kabar berita saja kemungkinan sekali ia bisa kembali ke rumah penginapan untuk melaporkan berita tersebut kepada diri Nyoo Su Jan.

Ketika itulah mendadak Miauw It Tong mengulapkan tangannya, dua orang lelaki kasar yang duduk di sisinya tiba-tiba meloncat bangun dan secara berbareng menghadang jalan pergi dari lelaki berbaju hijau itu.

Dari Yen San Ngo Kui, kecuali Loo-toa Miauw It Tong mempunyai perawakan kurus kering, sisanya berempat adalah lelaki-lelaki kasar berperawakan tinggi besar dengan wajah bengis.

Dua orang lelaki bengis yang menghadang perjalanan lelaki berjubah hijau pada saat ini bukan lain adalah Looji si “Cioe Koe” atau setan arak Thio Hauw serta Loo Sam

 “Si Koei” atau setan perempuan Ong Peng dari antara Yen San Ngo Koei.

Si lelaki berbaju hijau itu dengan cepat menghentikan langkahnya dan memandang sekejap ke arah dua orang setan tersebut.

“Bagaimana? Kau orang juga kepingin berkelahi?” tegurnya sambil tertawa.

“Kawan! Lebih baik kau orang jangan berpura-pura gila dan menyaru seperti orang bodoh, di dalam sepasang mata aku Thio Jie-ya masih belum kemasukan pasir!” seru Si setan arak Thio Hauw dengan suara yang sangat dingin.

“Kau bangsat tua! Kepandaianmu tidak cetek juga, aku rasa tentunya kau adalah seorang jagoan yang mempunyai sedikir nama di dalam dunia kangouw” sambung Si setan perempuan Ong Peng melanjutkan kata-kata saudara angkatnya. “Manusia punya nama, pohon punya bayangan, kawan kalau betul-betul berani mencari gara-gara dengan kami Yen San Ngo Koei ada seharusnya melaporkan dulu siapakah namamu.”

Mendengar perkataan tersebut, si orang berbaju hihau itu segera menengadah ke atas tertawa terbahak-bahak.

Mendadak dengan menggunakan logat ibukota yang sangat cepat, ujarnya, “Kalian berdua lagi menanyakan nama besar cayhe?”

Mendengar nada ucapannya berubah bahkan sama sekali tidak kedengaran logat Su Tzuan-nya lagi tak terasa lagi Phoa Ceng Yan merasa hatinya rada bergerak, di dalam benaknya teringat akan seseorang.

“Telingamu tidak tuli, matamu tidak buta, kalau tidak bertanya padamu, apakah aku sedang bertanya dengan

 cucu kura-kura?” maki si setan arak Thio Hauw dengan murka.

“Ooouw……. ooouw……. kau berani memaki dengan kata-kata kotor…. bagus! Ingat saja dengan empat buah gaplokanku nanti.”

“Kawan! Sungguh besar sekali bacotmu!” seru si setan perempuan Ong Peng pula dengan kasar. “Apakah kau tidak takut ada angin utara yang menyambar putus lidahmu? Kami lima bersaudara dari gunung Yen San selamanya paling tidak takut cari gara-gara, tetapi selamanya paling pantang pula bergebrak melawan manusia-manusia yang tidak punya nama!”

“Ooouw….. nama cayhe? Ada sih ada, cuma saja kurang sedap jika didengar, kalau aku ucapkan keluar, harap kalian jangan marah-marah dan salahkan diriku yaaahhhh……”

“Sungai besar, samudra luas kami sudah melihatnya semua, dengan mengandalkan ilmumu yang tidak seberapa aku tidak percaya bila kaupun bisa memiliki sebuah nama yang mirip manusia…..” ejek si setan arak dengan dingin.

“Waah……. kau benar-benar sangat pandai kawan, sedikitpun tidak salah! Gelarku memang tidak akan ditakuti manusia tetapi bagi kaum setan, siluman, iblis atau manusia-manusia aneh yang mendengar tentu akan murung dibuatnya.”

Air muka si setan perempuan Ong Peng segera berubah hebat.

“Siapa namamu?” tanyanya.

“Kui Kian Chu (setan ketemu murung).

 Untuk sementara waktu si setan arak Thio Hauw masih belum merasakan apa-apa, terdengar ia bergumam berulang kali.

“Kui Kian Cu……Kui Kian Cu…… Setan ketemu murung…….Haaa?”

Mendadak ia menggembor keras.

“Bajingan! Bangsat, kau sudah bosan hidup?”

Dengan jurus “Hwie Cu Cong Tiong” atau tongkat terbang menumbuk genta ia melancarkan sebuah hantaman dashyat menghajar dada lelaki berjubah hijau itu.

Kepalannya besar lagi kasar sudah tentu kekuatannya luar biasa mengejutkan, pukulannya ini segera menyambar kedepan disertai dengan deruan angin pukulan yang memekakkan telinga.

Si lelaki berbaju hijau itu segera maju satu langkah ke depan, kakinya berputar menghindarkan diri dari datangnya serangan tersebut.

Thio Hauw mengangkat tangan kirinya ke atas, pukulan kedua menyusul datang, sedang mulutnya berteriak keras.

“Coba kau rasakanlah bagaimana kedashyatan dari pukulan Thio Jie-yamu!”

Baru saja si orang berbaju hijau itu menyingkir ke samping, angin pukulan dari Thio Hauw yang maha dashyat sudah menyambar lewat dari sisinya.

Thio Hauw yang melihat pukulan tersebut akan mengenai tubuh orang berbaju hijau itu, menanti kepalannya   hampir   dekat   dengan   tubuh   musuhnya

 mendadak ia menambahi dengan beberapa bagian tenaga lagi.

Oleh karena itu, sewaktu pukulannya mencapai pada sasaran yang kosong, Thio Hauw tak dapat mempertahankan tubuhnya lagi, sang badan jatuh terjengkang ke depan dan menumbuk tubuh orang berbaju hijau itu.

Sedang si orang berbaju hijau itupun sedang menyingkir ke sampind menghindarkan diri dari datangnya serangan tersebut, tak terhindar lagi pundak kirinya dengan tepat menyongsong kedatangan dada Thio Hauw sehingga tak bisa tercegah lagi terjadilah bentrokan yang amat keras.

Si baju hijau itu berteriak tertahan, tubuhnya menyingkir dua langkah ke samping, sebaliknya si setan arak Thio Hauw sudah mencekal dadanya berturut-turut mundur lima enam langkah ke depan dan tepat menubruk di atas Phoa Ceng Yan.

Phoa Ceng Yan segera menggerakkan tangan kanannya menerima jatuhnya tubuh Thio Hauw.

“Eeei, Thio Jie-ya, kau sudah kena kuhantam?” jengeknya dingin.

Waktu itu saking sakitnya Thio Hauw sudah tak bisa bicara lagi, tak kuasa lagi ia muntahkan darah segar.

Sewaktu Phoa Ceng Yan melihat Thio Hauw sudah menderita luka yang parah, ia tidak mengeluarkan katakata ejekan lagi, dengan cepat dibimbingnya tubuh Thio Hauw untuk dipersilahkan duduk di atas kursi.

“Phoa-heng! Kau orangkah yang sudah turun tangan menghajar dirinya?” Mendadak Miauw It Tong bangun berdiri sambil mendengus dingin.

 Phoa Ceng Yang menggeleng dan mendengarkan suara tertawa dingin tiada hentinya.

“Heee…..heee……heee…….menurut pandangan Miauw-heng, apakah aku orang she Phoa mirip dengan manusia rendah ahli membokong orang lain??” jengkelnya.

Harus diketahui Phoa Ceng Yan memiliki julukan si pukulan besi yang menggetarkan seluruh dunia persilatan, di dalam permainan telapak tangannya sudah tentu memiliki kesempurnaan yang luar biasa.

Miauw It Tong yang melihat dia orang membimbing tubuh Thio Hauw, lantas saudaranya muntah darah segar di dalam anggapan-nya Phoa Ceng Yan lah yang secara diam-diam sudah kerahkan hawa murni menghajar muka Thio Hauw.

Terdengar si setan arak Thio Hauw menghembuskan napas panjang dua kali, lalu dengan nada terputus-putus serunya, “Luka….lukaku aaada diii….didepan dada…..!”

Selesai mengucapkan kata-kata tersebut, kembali ia muntahkan darah segar.

Ketika itulah Miauw It Tong baru mengerti bila dirinya sudah menganggap kucing sebagai anjing, tak  terasa lagi dengan wajah merah padam ia menoleh dan memandang sekejap ke arah lelaki berjubah hijau itu.

“Kawan! Sungguh bagus sekali perbuatanmu “ tegurnya ketus.”Aku orang she Miauw hampir-hampir saja salah melihat.”

Tangan kanan si lelaki berjubah hijau itu tetap diletakkan di atas pundak kirinya, ia tertawa.

“Bila punya cengli maka mengembara ke seluruh kolong langitpun bisa, tetapi jika tidak punya cengli untuk

 melangkah setengah coenpun susah, sejak siauw-te naik ke atas loteng belum pernah turun tangan terhadap siapa-pun,” katanya perlahan. “Adalah saudaramu sendiri yang menerjang pundakku secara kasar, hal ini bagaimana bisa salahkan cayhe?”

Sembari berkata iapun melangkah maju menuju ke arah meja persegi tersebut.

Walau si setan perempuan Ong Peng dapat melihat si setan arak Thio Hauw menderita luka parah, tetapi ia mempunyai pandangan yang sama seperti Miauw It Tong, di dalam perasaannya saudara mereka adalah terluka di tangan si telapak besi gelang emas Phoa Ceng Yan, tetapi sama sekali tak terduga olehnya bila saudaranya itu terluka karena tubrukan dengan pundak lelaki berbaju hijau itu.

Kiranya si setan arak Thio Hauw memiliki kepandaian ilmu kebal, walaupun belum sampai taraf tidak mempan terhadap segala tusukan senjata tajam, tetapi bilamana cuma ada tenaga pukulan seberat tiga-lima ratus kati saja jangan harap bisa melukai dirinya hanya di dalam sekali pukulan.

Si lelaki berbaju hijau ini sama sekali tidak menarik perhatian, bagaimana mungkin dia orang bisa berhasil memukul luka diri Thio Hauw?

Selesai mendengar penjelasan dari peristiwa bariuan ini, mendadak dari sebuah tabung bambu Ong Peng mencabut keluar sebuah senjata tri sula, tanpa menimbulkan sedikit suarapun ia segera bertindak mendekati diri lelaki berbaju hijau itu.

Si setan perempuan Ong Peng bukan saja sangat gemar dengan perempuan, bahkan diantara Yen San Ngo Koei dialah yang paling licik dan paling kejam.

 Kini dengan senjata tri sula diangkat tinggi-tinggi dan sedikitpun tidak menimnulkan suara perlahan-lahan ia berjalan mendekat tubuh lelaki berbaju hijau itu kemudian melancarkan tusukan ke atas punggung musuhnya.

Dengan menimbulkan suara desiran tajam trisula di atas tangannya segera melesat ke atas ujung baju lelaki berbaju hijau itu.

Di dalam anggapannya serangan tersebut pasti akan menemui sasarannya atau paling sedikit musuhnya pasti akan menderita luka.

Siapa sangka tenaga yang digunakan terlalu besar, apalagi lelaki berbaju hijau itupun dengan sebat dan gesit sekali menghindarkan diri ke samping.

Kiranya sewaktu senjata trisula itu hampir mengenai badan si lelaki berbaju hijau itulah, mendadak orang itu sambil memegang perutnya menjerit kesakitan dan menjatuhkan diri ke arah depan.

Si setan perempuan Ong Peng tak dapat menahan diri lagi. Senjata trisulanya dengan menimbulkan suara berisik menghajar tepat di atas piring sayur sehingga membuat benda tersebut hancur lebur, kuah berminyak muncrat ke empat penjuru membasahi seluruh wajahnya.

Phoa Ceng Yan serta Miauw It Tong pada saat yang bersamaan dengan menggunakan gerakan yang tercepat mencelat ke samping, hindarkan diri dari cipratan kuah minyak tadi.

Si setan arak Thio Hauw yang sedang menderita luka berat tak sempat untuk menghindarkan diri lagi, tak terhindar lagi seluruh tubuhnya dibasahi dengan berminyak tersebut.

 Walaupun Phoa Ceng Yan mencelat ke belakang sejauh lima depa, tetapi selama ini sepasang matanya dengan memancarkan cahaya tajam memperhatikan terus diri si lelaki berbaju hijau itu.

Terlihat tubuh si lelaki berbaju hijau hampir jatuh mengenai tanhah itu, mendadak busungkan dada,  angkat kepala, tangan tidak menempel tanah, badan tidak pinjam tenaga dengan menggunakan kekuatan sewaktu mendongakkan kepalanya itulah ia berhasil menegakkan badannya kembali.

Ong Peng yang melihat serangan senjata trisulanya tidak mencapai pada sasaran, dengan tangan kiri mengusap kering kuah pada minyak yang mengotori wajah dan senjata trisula di tangan kanan berputar, sekali lagi ia melancarkan tusukan ke arah dada lelaki berbaju hijau itu.

“Heee……heeee…..heee…… agaknya kau orang sebelum melihat peti mati tak akan mengucurkan air mata, sebelum tiba di sungai Huang Hoo belum puas!” seru lelaki berbaju hijau itu sambil tertawa dingin tiada hentinya.

Di tengah suara peembicaraan, tangan kirinya mendadak diangkat ke atas mencengkeram pergelangan tangan kanan Ong Peng.

Di mana hawa murninya disalurkan melalui sang telapak, Ong Peng kontan merasakan separuh badannya jadi kaku, kelima jari tangannya mengendor dan senjata trisula dalam cekalannya tak tertahan lagi jatuh ke atas tanah.

Si setan harta Lie Tan serta si setan nafsu Cau San sewaktu melihat si setan arak serta si setan perempuan yang satu terluka parah dan yang lain kena ditawan oleh

 pihak musuh, dalam hati benar-benar merasa terperanjat bercampur gusar, diam-diam pikirnya di dalam hati.

“Bangsat cilik yang tidak diketahui nama serta asalusulnya ini, tidak disangka sedemikian lihaynya?”

Agaknya di dalam hati mereka berdua mempunyai maksud yang sama, mendadak diiringi suara bentakan yang keras kedua orang itu secara berbareng menubruk ke arah lelaki berbaju hijau itu.

Lelaki berbaju hijau itu mendengus dingin, dengan sekuat tenaga ia menarik badan setan perempuan Ong Peng ke arah depan menghadang datangnya tubrukan dari si setan harta Lie Tan.

Gerakan dari Lie Tan dilakukan sangat cepat dan ganas, penarikan tubuh Ong Peng yang dilakukan lelaki berbaju hijau itupun tepat pada saatnya, si setan perempua tak bisa menahan dirinya lagi tanpa terasa lagi tubuhnya menubruk ke arah Lie Tan.

Si setan harta Lie Tan sewaktu melihat berkelebatnya bayangan tubuh Ong Peng menyambut tubrukannya, dalam hati merasa sangat terperanjat sekali, cuma sayang untuk mengerem tindakannya sudah tidak sempat lagi.

“Braaak…..!” tak terhindar lagi mereka berdua saling bertubrukan dengan kerasnya.

Lie Tan mendengus berat, tubuhnya kena terpukul mundur tiga langkah ke belakang sebaliknya persendian serta tulang iga Ong Peng kena ketubruk patah sehingga ia harus menyekal pinggangnya sambil mengerangngerang kesakitan.

Seluruh peristiwa ini terjadi hanya di dalam sekejap mata saja, sewaktu lelaki berbaju hijau itu menggunakan

 badan Ong Peng untuk menahan tubrukan dari Lie Tan, telapak tangan kanannya pada saat yang bersamaan mengirim pula satu pukulan ke depan.

Serangan telapak ini kelihatannya sama sekali tidak aneh, justru kelihayannya terletak pada ketepatan waktu.

Cau San ingin menghindarkan diri dari serangan tersebut agaknya tidak sempat lagi melihat angin pukulan sudah menyambar datang, terpaksa dengan keraskan kepala ia menubruk ke atas telapak musuh dengan keras.

“Plaaak……! Dengan menimbulkan suara keras, tubuh Cau San yang semula bergerak maju dengan sangat tepat menubruk di atas telapak tangan lelaki berbaju hijau itu.

Lelaki itu tidak bodoh, begitu tubuh si setan nafsu menubruk datang, hawa murninya segera dikerahkan keluar, terasalah segulung daya pental yang amat keras dengan cepat melemparkan badannya ke belakang.

Sebetulnya ketika itu si setan nafsu Cau San sedang berlari menerjang ke depan, setelaj termakan daya pental tadi, tak kuasa lagi badannya mencelat ke belakang sehingga tubuhnya berjumpalitan.

Melihat saudaranya kembali dipukul sehingga mencelat ke belakang, Miauw It Tong segera maju ke depan menerima jatuhnya tubuh Cau San.

“Heee……heee……heee……kawan, sungguh dashyat tanaga dalammu” jengeknya perlahan.

Kiranya, kendati Miauw It Tong berhasil menerima jatuhnya badan Cau San, tetapi badannya tidak utung kena terpukul mundur juga sehingga melangkah ke arah belakang sebanyak tiga tindak dengan sempoyongan.

 “Hmmmmm…..! Kalian beberapa orang budak buta yang tak tahu diri, memang sepatutnya aku kasih sedikit hajaran kepada kalian agar kamu semua tahu jika jagojago lihay di dalam dunia kangouw sangat banyak jumlahnya, lain kali janganlah coba-coba main gertak dan cari menang sendiri!” seru lelaki berbaju hijau itu dingin.

Miauw It Tog bukan saja namanya tercantum sebagai loo-toa di dalam deretan Yen San Ngo Koei bahkan ilmu silatnya-pun jauh lebih tinggi beberapa kali lipat dari empat setan lainnya, sesudah melihat kejadian tadi, ia lantas mengerti bila kepandaian silat yang dimiliki lelaki berbaju hijau ini telah berhasil mencapai pada taraf kesempurnaan, sekalipun ia sendiri majupun hanya siasia belaka.

Dasar sifatnya memang licik, pintar dan banyak akal. Sesudah merasa bila posisinya tidak menguntungkan dengan paksakan diri menahan rasa murka di dalam dadanya ia berkata, “Salah aku sendiri punya mata tak berbiji sehingga tidak mengenal kau sebagai seorang jagoan lihay, hal ini tak bisa salahkan kawan telah memberi sedikit hajaran kepada mereka.”

“Haaa……haaa……haaa….. Khek loo ci, begitulah baru mirip perkataan seorang manusia!” teriak lelaki berbaju hijau itu sambil tertawa terbahak-bahak, sedang lagaknyapun telah kembali dengan menggunakan logat daerah Su TZuan.

Perlahan-lahan Miauw It Tong menghembuskan napas panjang.

“Manusia meninggalkan nama, burung meninggalkan suara, kawan! Mengapa kau orang tidak tinggalkan dulu nama besarmu!” ujarnya.

 Lelaki berbaju hijau itu sama sekali tidak mengubris terhadap perkataan tersebut, ia segera duduk kembali mengangkat cawan arak dan dan berturut-turut meneguk sebanyak tiga cawan besar.

Pada mulanya si setan arak, perempuan, harta serta nafsi berempat tak dapat menahan rasa gusar di hatinya melihat kecongkakan orang itu, tetapi setelah kejadian barusan mereka baru merasa bila mereka berempat telah menemui jagoan lihay yang selama ini belum pernah ditemuinya. Akhirnya dengan menahan rasa sakit mereka pada bungkam diam dalam seribu bahasa.

Kembali Miauw It TOng mendehem perlahan, “Kawan, siaw-tee ingin minta petunjuk nama besar dari saudara…” katanya.

Lelaki berbaju hijau itu tetap tidak mengubris dan pura-pura tidak mendengar bahkan kepalanya tidak menoleh, matanya tidak berputar, ia hanya repot dengan araknya saja.

“Ehmmm…..! Kedatangan lelaki berbaju hijau ini sungguh aneh sekali,” diam-diam pikir Phoa Ceng Yan di dalam hati.”Agaknya ia sengaja ada maksud hendak mencari gara-gara dengan mereka, sebetulnya apa maksud yang sebetulnya?”

Berpikir akan hal itu, perlahan-lahan ia-pun sambil duduk ditempatnya semula.

“Heee……heee…..heee…… ada pepatah mengatakan tiada perjamuan merupakan suatu perjamuan baik. Kawan! Kau orang tidak takut bila di dalam arak tersebut sudah kami campur dengan racun?” teriak Miauw It Tong sambil tertawa seram.

 “Apa kau kata?” mendadak lelaki berbaju hijau itu meletakkan poci araknya ke atas meja.

“Cayhe berkata kalau arak tersebut dicampuri dengan racun!”

“Racun apa?”

“Racun apa? oouuw…… sungguh maaf sekali! Cayhe sendiripun tidak paham racun apakah itu, yang jelas di dalam arak tersebut sudah dicampuri racun.”

“Heee……heee…..heee…… tentu kau sendirilah yang bertindak sebagai pentolan Yen San Ngo Koei?” jengek lelaki berbaju hijau itu sambil tertawa dingin.

“Sedikitpun tidak salah, cayhe she Miauw bernama It Tong, entah kawan mempunyai petunjuk apa?”

“Badan setan ekor-ekor setan! Semuanya pentang cakar unjuk gigi, kelihatannya kau sebagai kepala setan masih bisa menahan sabar.”

“Maksud kawan…….?” air muka Miauw It Tong kontan berubah hebat.

“Kau kira aku tidak paham dengan siasat setan dari kepala setan otak setan kalian?”

“Apa maksud perkataanmu itu?”

“Aku dengar orang berkata bahwa si kepala setan memiliki kepandaian silat yang jauh hebat dari beberapa orang setan-setan yang menjadi ekornyam tidak kusangka kaupun memiliki kelicikan yang jauh melebihi setan-setan ekor lainnya….”

Mendadak ia putar batok kepalanya, dengan dua rentetan cahaya mata yang dingin dan tajam ia melototi wajah Miauw It Tong dalam-dalam, sambungnya dengan nada sangat dingin.

 “Kau adalah seekor kadak buduk yang ingin bersembunyi dari sinar matahari, bisa meloloskan diri satu detik, berusaha keras untuk mendapatkan satu detik, heee……heee……cuma saja kau jangan kuatir!”

Begitu perkataan tersebut selesai diucapkan, Miauw It Tong segera merasakan ghatinya tergetar sangat keras, tetapi di atas paras mukanya masih mempertahankan ketenangan.

“Cayhe mempunyai urusan apa yang patut dikuatirkan,” katanya perlahan.

“Kau sedang mengulur waktu untuk menanti kedatangan majikan kalian si kongcu tukan foya-foya Ke Giok Lang!”

Sekali lagi Miauw It Tong merasakan hatinya tergetar sangat keras.

“Saudara adalah ………”

“Perkataan dari Khek Loo-ci tidak salah bukan!” potong lelaki berbaju hijau itu dengan cepat. “Kau bangsat cilik diam-diam punya maksud tidak baik, heee…..heee……sebetulnya jika aku kepingin membereskan kalian Yen San Ngo Koei sangat gampang sekali seperti membalik tangan sendiri, cuma ”

Belum habis ia menyelesaikan perkataannya, mendadak terdengarlah suara tertawa terbahak-bahak yang amat keras memotong pembicaraan lelaki berbaju hijau yang belum selesai diucapkan itu.

Ketika semua orang menoleh ke arah mana berasalnya suara tertawa itu, terlihatlah di depan mulut loteng muncullah seorang pemuda tampan yang memakai    topi    model    siangkong,    memakai    jubah

 berwarna biru, tangannya mencekal sebuah kipas, wajah putih halus dan berbibir merah seperti memakai gincu.

Melihat munculnya pemuda itu si lelaki berbaju hijau itu segera mengebrakkan tangannya ke atas meja sehingga membuat teko arak, cawan, mangkok serta piring-piring sayur tergetar keras dan beterbangan di tengah udara.

“Ke Giok Lang, loohu sudah mengejar dirimu selama setengah tahun lamanya….”

“Ooouw…. aku kira siapa, tidak nyana adalah Tui Hong Hiap atau si pendekar pengejar anging yang memiliki nama besar di dalam dunia kangouw,” potong Ke Giok Lang sambil mengulapkan tangannya.

Mendengar disebutnya nama tersebut, Miauw It Tong kontan merasakan hatinya tergetar sangat keras.

“Tidak nyana si bangsat cilik yang berwajah biasa dan sama sekali tidak menarik ini adalah si pendekar pengejar angin yang amat terkenal itu.” pikirnya diamdiam dalam hati. “Masih beruntung aku bisa menahan sabar, kalau sampai aku orang turun tangan mungkin dirikupun tak akan terhindar dan bakal menderita rasa malu pula.”

Terdengarlah pada waktu itu si pendekar pengejar angin dengan nada dingin sedang berseru, “Ke Giok Lang! Kau sudah menculik pergi keponakan perempuanku kemana?”

“Aduuh……..aduuh…… sungguh tidak enak sekali perkataanmu itu jika didengar, selama ini cayhe belum pernah menculik atau membawa lari perempuan orangorang baik…..” seru si Kongcu tukang foya-foya Ke Giok

 Lang sambil melangkah maju ke depan dan tertawa menyengir.

Ia merandek sejenak, setelah membentangkan kipasnya lebar-lebar kembali sambungnya lagi.

“Heeei…! Bilamana bukannya mereka yang memohon-mohon dengan begitu mengenaskan akupun tidak ingin membawa mereka pergi.”

“Eeei…. Kau jangan coba melamuri aku sedang menanyakan keponakan perempuan cayhe, ia masih hidup atau sudah mati?? sekarang ada di mana?”

“Haaaa……haaa……….haaa………….siapakah nama dari keponakan perempuan itu? Apakah kaupun tahu?” ejek Ke Giok Lang lagi sambil tertawa geli.

Saking khekinya air muka si pendekar pengejar angin berubah hebat.

“Ke Giok Lang! Kau cucu kura-kura jangan membuat aku si orang tua jadi gusar haaa! Kalau tidak

….heee…..heee….. jangan salahkan aku orang hendak memaki dirimu dengan menggunakan logat tiga belas daerah!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar