Lambang Naga Panji Naga Sakti Jilid 03

 “Heee……heee…… sedikitpun tidak salah, di atas jarum tersebut sudah aku polesi dengan racun ganas, “sambung si orang berbaju hitam itu dengan nada yang amat dingin. “Siang tidak melihat sore, sore tidak melihat malam, di dalam dua belas jam kemudian racun itu akan mulai bekerja dan setiap orang yang terkena tentu akan mati.”

“Perbuatan kalian yang sangat rendah ini apakah tidak takut ditertawakan oleh kaum enghiong di bawah kolong langit?”

“Hee…..he…. cuma sayang kau sudah tak dapat menyiarkan berita ini kepada orang lain. Walaupun kau bisa mempertahankan diri selama dua belas jam lamanya tetapi pada saat ini kau sudah tak dapat bergebrak dengan orang lagi, kaupun tidak dapat mengerahkan tenaga untuk lari, bilamana cayhe hendak turun tangan membinasakan dirimu, gampang sekali seperti membalik tangan sendiri!”

Diam-diam Phoa Ceng Yan coba mengerahkan tenaga dalamnya, sedikitpun tidak salah lengan kirinya

 sudah terasa sangat kaku dan tak dapat diangkat lagi. Di samping itu iapun merasa racun tersebut dengan tiada hentinya mulai menyebar luas di dalam tubuh.

Tak terasa lagi diam-diam ia menghela napas panjang, pikirnya, “Bilamana cuma aku Phoa Ceng Yan seorang yang harus terkubur di sini masih tidak mengapa, bila sampai mengandeng erat sepuluh lembar nyawa keluarga Liauw, hal ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang patut disesali….. “

Waktu itu Nyoo Su Jan-pun telah berhasil kena dirubuhkan oleh jarum beracun yang dilancarkan dari kipas si sastrawan berbaju biru itu sehingga menggeletak di atas permukaan salju tak dapat berkutik lagi.

Di antara delapan orang pembantu perusahaan Liong Wie Piauw-kiok serta kelima orang pembantu yang menyaru sebagai kusir sebagian besar sudah kena terbunuh, sisanya empat orang yang belum matipun kebanyakan telah menderita luka dan menggeletak di atas permukaan salju tak berkutik.

Si orang berbaju hitam itu sambil mengertak gigi segera mencabut keluar gelang emas yang berhasil menancap pada lengan kirinya, darah segar lantas memancar keluar dengan derasnya.

Ang Nio Cu yang melihat kejadian itu sambil masih mencengkeram tangan Liauw Hujien buru-buru berjalan mendekat.

“Toako! Lukamu sangat berat, biarlah siauw moay bantu membalutkan mulut lukamu itu” serunya.

“Tidak perlu” sahut si orang berbaju hitam itu sambil menggeleng, “Cuma sedikit luka kulit yang tak berarti…..”.

 Sinar matanya perlahan-lahan dialihkan ke atas wajah Phoa Ceng Yan, kemudian sambungnya, “Phoa Ceng Yan! Kau hendak melepaskan sendiri buntalan di punggungmu itu ataukah menunggu cayhe yang turun tangan sendiri?”

Waktu itu Phoa Ceng Yan sedang mengerahkan tenaga dalamnya berusaha hendak menggunakan ilmu lweekang hasil latihan selama puluhan tahunnya ini  untuk menahan daya bekerja dari racun di badannya, kemudian berusaha melarikan diri dan menyerahkan barang tersebut ke tangan pembesar Hoo Lam di istana Tok Ci Hu.

Karenanya walaupun ia mendengar perkataan tersebut, mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa.

Melihat si orang tua itu tidak menjawab, Ang Nio Cu segera tertawa dingin tiada hentinya.

“Phoa Hu Cong Piauw-tauw! Sungguh besar sekali lagakmu, kau berani tidak menjawab pertanyaan Toakoku?” bentaknya keras.

Di mana tangannya digetarkan, angkin merahnya dengan cepat menyambar lewat.

Phoa Ceng Yan mendengus dingin, tubuhnya mencelat ke samping untuk menghindar.

Siapa tahu gerakan badannya pada saat ini sudah tidak selincah semula, sekalipun tubuhnya sudah berkelebat ke samping, tidak urung lengan kanannya terlibat juga oleh angkin merah dari Ang Nio Cu itu sehingga jatuh terjengkang di atas tanah.

Ang Nio Cu segera melepas cekalannya pada tubuh Liauw  Hujien,  tubuhnya  melompat  ke  samping tangan

 kanannya menekan ke bawah menotok dua buah jalan darah di tubuh si orang tua itu, kemudian ia baru melepaskan buntalan putih dari punggung Phoa Ceng Yan.

Kendati Phoa Ceng Yan dapat melihat Ang Nio Cu melepaskan buntalan tersebut dari punggungnya, tetapi berhubung jalan darahnya kena tertotok maka ia tak bertenaga lagi untuk memberikan perlawanan, dalam hati ia merasa sangat sedih sekali seperti diiris-iris dengan beribu-ribu batang golok.

“Ang Nio CU!” ujarnya sedih. “Genting akan hancur terbentur tanah, panglima akan binasa di medan perang! Ini hari aku orang she Phoa mengaku kalah dan sekalipun mati tidak akan menyesal, tetapi aku berharap kalian suka memberi keputusan kepada diriku, bilamana kalian berani menghina aku orang, maka jangan salahkan aku orang she Phoa akan memaki kalian dengan kata-kata yang tidak sopan.

“Hmm…..! Berani memaki dengan kata-kata tidak sopan?? jangan kau kira kami tak dapat mengetuk hancur seluruh gigimu ….” jengek Ang Nio Cu dingin.

Saat itulah mendadak Liauw Hujien menerjangkan kepalanya ke atas sebuah pohin di dekat sisi tubuhnya.

Melihat kejadian itu si orang berbaju hitam tersebut mendengus dingin, tubuhnya maju selangkah ke depan memerseni sebuah tendangan kilat membuat tubuh Liauw Hujien jatuh terjengkang ke atas tanah dengan kerasnya.

Perlahan-lahan Ang Nio Cu membalikkan tubuhnya mencengkeram kembali tubuh perempuan tua itu.

 “Hm! Waktu di kemudian hari masih panjang, buat apa kau begitu kepingin cepat-cepat mati” serunya tawar.

Ketika itulah, mendadak …….

“Tahan.” bentak Liauw Thayjien yang memakai jubah hijau serta topi dari kulit binatang perlahan-lahan berjalan keluar dari balik ruangan kereta berkuda itu, Ang Nio Cu segera menoleh, ketika melihat wajah yang angker dan serius dari Liauw Thayjien ia tertawa dingin tiada hentinya.

“Heee……he…. tempat ini bukan pengadilan maupun istana negara, kau buat apa membentak sesuka hatimu??” teriaknya.

Air muka Liauw Thayjien tetap keren dan serius, sambil bergendong tangan perlahan-lahan ia berjalan mendekat.

“Aku orang she Liauw sudah setengah abad lamanya menjabat sebagai pembesar, tetapi selama ini tindakanku adalah berdasarkan keadilan dan kejujuran, sekarang kalian sengaja mencari gara-gara dengan diriku, aku ada di sini! Sesuka kalian hendak menghukum dengan menggunakan tindakan apapun. Bilaman kalian menginginkan harta kekayaan maka seluruh simpananku yang ada di dalam kereta boleh kalian ambil semua!”

“Hiii……..hiii….. harta kekayaanmu sudah tentu bisa kami ambil sendiri, sedang hendak membinasakan dirimupun bukan merupakan suatu pekerjaan yang sulit, kau tidak usah mencaari muka di hadapanku……” jenguk Ang Nio Cu tertawa terkekeh kekeh.

Waktu itu orang-orang dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok bukan menggeletak karena terluka, maka jalan darahnya sudah tertotok, tak seorangpun di antara

 mereka yang sanggup untuk melanjutkan pertempuran kembali.

Phoa Ceng Yan melihat Liauw Thayjien walaupun tak dapat bermain pedang untuk bergebrak untuk melawan orang lain tetapi air mukanya sangat tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan perasaan jeri, dalam hati benar-benar merasa amat kagum.

Tetapi karena ia takut badannya yang lemah tak bertenaga itu sukar untuk menahan siksaan badan, maka buru-buru teriaknya, “Liauw Thayjien, aku orang she Phoa tidak becus sehingga sekali-kali menyusahkan Thayjien, dalam hati merasa sangat menyesal sekali, Thayjien adalah seorang terpelajar yang sama sekali tidak mengetahui urusan di dalam dunia kangouw, kau tidak perlu beribut lagi dengan mereka. Perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kami asalkan berhasil mendapatkan berita ini segera akan berusaha untuk menolong.

Liauw Thayjien silahkan meloloskan diri dari sini, urusan ini tiada sangkut pautnya dengan dirimu, harap Thayjien menyingkir ke samping.”

Perkataan yang diucapkan olehnya ini amat sederhana sekali, tetapi Liauw Thayjien berhasil mengetahui maksud hatinya yang sebenarnya, ia segera tertawa tawar.

“Soal inipun tidak bisa menyalahkan pada diri kalian,” katanya perlahan. “Kalian sudah berusaha dengan sepenuh tenaga sehingga ada nyawa yang harus dikorbankan, walaupun aku orang she Liauw tidak mengeri ilmu silat tetapi soal mati hiduppun di dalam pandanganku bukan suatu peristiwa yang berat.”

 Walaupun lengan si orang berbaju hitam itupun terluka, tetapi lukanya sangat ringan sekali.

Kini tanpa memperduli lagi luka di lengannya, ia lantas berbisik kepada Ang Nio CU.

“Sam-moay, totok saja jalan darah perempuan itu kemudian membuka buntalan tersebut.

Ang Nio Cu mengiakan setelah menotok jalan darah Liauw Hujie ia lantas membuka buntalan tersebut.

Kendati Phoa Ceng Yan-pun kepingin sekali mengetahui isi dari buntalan tersebut, tetapi disebabkan jalan darahnya tertotok maka tubuhnya merasa tidak leluasa untuk bergebrak, sehingga iapun tidak dapat melihat jelas barang apakah yang ada dalam buntalan tersebut.

Tetapi dengan pengalamannya yang amat luas serta pengetahuan yang melebihi orang lain, dari perubahan air muka si orang berbaju hitam itu ia dapat menduga jika benda itu tentunya merupakan sebuah benda yang sangat berharga.

Terdengar si orang berbaju hitam itu bergumam seorang diri, “Tidak salah, tidak salah, masih ada sebuah lagi, mari kita periksa dengan teliti.”

Buru-buru Ang Nio Cu mengikat kembali buntalan tersebut lalu dengan suara rendah ujarnya sambil tertawa.

“Toako, barang ini sudah ada di tangan kita, kaupun tidak usah murung lagi. Lukamu sangat parah, mari biarlah Siauw moay balutkan mulat lukamu itu.”

Si orang berbaju hitam itu tersenyum.

 “Baiklah! Merepotkan Sam-moay harus turun tangan” katanya.

Dari dalam sakunya Ang Nio Cu segera mengeluarkan obat luka kemudian dengan sangat teliti membalutkan luka pada pundak si orang berbaju hitam itu.

“Sam-moay! Urusan sudah jadi begini dan kitapun tak bisa hidup berdampingan secara damai lagi dengan perusahaan Liong Wie Piauw-kiok” katanya si orang berbaju hitam itu sambil mengangguk. “Heeeei……..bilamana bukannya Phoa Ceng Yan salah hitung, kemungkinan sekali pertempuran kita ini hari masih sulit untuk menentukan siapa menang siapa kalah!”

“Maksud dari toako, aku mengerti jelas!”

Phoa Ceng Yan sebagai seorang jago kawakan, setelah mendengar perkataan dari si orang berbaju hitam itu sudah tentu iapun mengetahui jelas apa maksudnya.

Ia tahu orang itu sudah siap-siap setelah berhasil mendapatkan barang yang dicari segera akan turun tangan membinasakan setiap orang yang ada di sana tanpa meninggalkan seorangpun yang hidup.

Walaupun di dalam hati ia mengerti maksud dari perkataan itu, tetapi diapun merasa kurang leluasa untuk menerangkan maksuda perkataan tersebut secara terbuka.

Walaupun Liauw Thayjien selama setengah abad lamanya menjabat kedudukan sebagai pembesar, tetapi selamanya ia tidak mengetahui urusan dunia kangouw, sudah tentu iapun tidak akan mengerti maksud dari perkataan tersebut.

 Saat ini orang tua itu masih berdiri di atas permukaan salju sambil bergendong tangan.

Pada waktu itulah secara mendadak si sastrawan berbaju biru itu berlari mendatang dan membisikkan sesuatu ke telinga si orang berbaju hitam serta Ang Nio Cu dengan suara rendah.

Beberapa patah kata itu sangat rendah sekali, saking perlahannya sehingga Phoa Ceng Yan sama sekali tidak mendengar sedikit suarapun.

Tampak air muka si orang berbaju hitam serta Ang Nio Cu berubah hebat, lama sekali mereka termangu-mangu.

Akhirnya si orang berbaju hitam itu menghembuskan napas panjang panjang.

“Ada urusan begitu? Jie-te, kau tidak salah meliha bukan…..!” serunya.

“Siauw-te melihat dengan sangat jelas sekali” jawab si sastrawan berbaju biru itu dengan serius. “Bilamana Toako serta Sam-moay mempunyai perasaan curiga, tidak ada halangannya kita sama-sama pergi menengok.”

“Ehmmm……!” si orang berbaju hitam itu menggangguk. “Mari kita sama-sama pergi melihat”.

Perubahan yang terjadi secara mendadak dan berada di luar dugaan ini kendati Phoa Ceng Yan yang memiliki pengalaman sangat luaspun merasa tidak paham apa yang telah terjadi, tetapi ia dapat melihat bila perasaan hati Lam Thian Sam Sah tergetar amat keras sekali.

Dengan menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya, Phoa Ceng Yan mengalihkan pandangannya ke arah di mana Lam Thian Sam Sah menuju.

 Tampaklah mereka berjalan menuju kearah kereta yang terakhir.

Hal ini seketika itu juga membuat si telapak besi gelang emas merasa sangat terperanjat, pikirnya, “Kereta itu adalah kereta dari nona Liauw, apakah Lam Thian Sam Sah adalah seorang manusia yang gemar perempuan ….”

Tetapi dengan cepat pikirannya kembali berputar, ia merasa urusan rada sedikit tidak beres.

Semisalnya si sastrawan berbaju biru itu menemukan kecantikan dari nona Liauw dan hendak diberikan untuk Loo-toanya, agaknya tidak perlu sekalian memberitahukan hal ini kepada Ang Nio CU dan air muka mereka-pun tidak perlu berubah sebegitu kagetnya.

Karena itu dalam hati ia merasa rada lega.

Liauw Thayjien yang melihat Lam Thian Sam Sah berjalan menuju ke arah kereta yang ditunggangi putri kesayangannya, dalam hati merasa amat cemas.

“Usia Siauw-li masih kecil terhadap semua perbuatan kita, ia sama sekali tidak tahu. Kalian jangan mencelakai seorang gadis yang tidak tahu apa-apa” bentaknya  keras.

Sudah tentu Lam Thian Sam Sah tidak akan mengubris atas bentaknya itu, si sastrawan berbaju biru itu dengan cepat membuka pintu kereta.

Mendadak ”

Baik si orang berbaju hitam maupun Ang Nio Cu seperti kena setrom bertegangan tinggi, mereka berdiri terkesima di luar kereta.

 Ketika itu Liauw Thayjien-pun dengan langkah cepat sudah berlari mendatang, ia bersiap-siap hendak mengadu jiwa tuanya untuk mencegah ketiga orang itu mencelakai gadisnya.

Tetapi sewaktu melihat beberapa orang itu sama sekali tidak masuk ke dalam kereta iapun segera menghentikan langkahnya.

Tampak si orang berbaju hitam itu dengan amat hormat menuju ke arah kereta tersebut.

“Maaf………maaf… !” berulang kali

Dengan cepat ia meloncat turun dari kereta sambil berbisik.

“Loo Jie! Cepat suruh Shaw Kiat hantarkan kemari Lie Siauw Piauw-tauw!”

Si sastawan berbaju biru itu menyahut kemudian putar badan dan berlalu tergopoh-gopoh.

Sembari melangkah ke depan si orang berbaju hitam itu kembali memberi perintah kepada Ang Nio CU.

“Sam-moay, cepat bebaskan jalan darah dari Liauw Hujien yang tertotok, kemudian hantar masuk ke dalam kereta, setelah itu bantu obati beberapa orang jagoan dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok yang terluka.”

Ang Nio Cu dengan cepat berlari menuju ke arah Liauw Hujien, sedang si orang berbaju hitampun itupun dengan langkah yang amat cepat berlari menghampiri Phoa Ceng Yan, melepaskan senjatanya kemudian membebaskan jalan darah si orang tua yang kena tertotok.

“Phoa-heng….!” serunya setengah berbisik. “Maaf kami  bersaudara  tidak  tahu  siapakah  kalian  sehingga

 melakukan perbuatan salah, harap Phoa-heng suka memaafkan!”

Beberapa patah kata yang sama sekali tidak diketahui ujung pangkalnya ini kontan saja membuat Phoa Ceng Yan jadi kebingungan setengah mati, pikirannya seperti di awang-awang tingkat ketiga belas.

Tetapi bagaimana juga dia adalah seorang jago kawakan yang sudah sering berkelana di dalam dunia kangouw, peristiwa berita kejadian yang bagaimana anehpun sudah sering ditemuinya.

Dalam hati ia paham, bilamana di dalam peristiwa ini hari dia orang tidak mengaku dan mengiakan dengan tebalkan muka, ada kemungkinan sekali Lam Thian Sam Sah akan berubah pikiran dan membinasakan mereka semua.

Otaknya bagaikan putaran roda karena dengan cepatnya berkelebat dan berputar akhirnya ia mendehem perlahan.

“Seharusnya saudara menerangkan terlebih dulu……” “Soal ini cayhe tahu” sambung si orang berbaju hitam

itu tidak menanti Phoa Ceng Yan menyelesaikan katakatanya. “Sifat Pho-heng selamanya tinggi hati, bilamana dibicarakan kemungkinan sekali malah akan melemahkan nama besar dari Liong Wie Piauw-kiok, tetapi justru dikarenakan sifat Phoa-heng yang gagah perkasa inilah membuat kami bersaudara merasa sangat menyesal. Heeei…….! Boleh dikata saat ini kita masih belum berada dalam keadaan yang tak bisa diselesaikan.”

“Perkataan saudara sedikitpun tidak salah” kata Phoa Ceng Yan membenarkan, “Sebelum kejadian ini Siauw-te

 pun belum sempat memberi penjelasan, hal ini tak dapat menyalahkan kalian tiga bersaudara.”

“Phoa-heng bisa menjelaskan persoalan dengan bijaksana, hal ini membuat Siauw-te benar-benar merasa kagum… ”

Sehabis berkata dari sakunya orang berbaju hitam itu mengambil keluar sebuah botol pualam dan mengeluarkan sebutir pil untuk kemudian diserahkan ke tangan Phoa Ceng Yan, sambungnya, “Inilah obat pemunah tunggal dari jarum beracun yang tersembunyi di dalam senjata “Thiat Kui So” tersebut, harap Phoaheng suka menelannya kemudian siauw-te akan bantu mengeluarkan jarum beracun tersebut dari dalam luka.”

Tanpa ragu-ragu lagi Phoa Ceng Yan menerima pemberian obat pemunah itu lantas ditelannya ke dalam perut.

Dari dalam sakunya si orang berbaju hitam itu kembali mengeluarkan sebuah besi sembrani dan didekatkan ke mulut luka di atas tubuh Phoa Ceng Yan, setelah mengurut beberapa saat di atas jalan darahnya, ia baru mengangkat kembali besi sembrani tersebut.

“Heeeei………. masih untung sekali!” serunya sambil menghembuskan napas panjang.

“Pertama, tenaga dalam Phoa-heng sempurna dan buru-buru menutup seluruh jalan darah sehingga jarum beracun tersebut masih tertinggal di tempat semula. Kedua, waktupun belum lama, sehingga jarum itu kena Siauw-te tarik keluar dari dalam badan.”

Si telapak besi gelang emas Phoa Ceng Yan segera menoleh, sedikitpun tidak salah, di atas besi sembrani

 tersebut benar-benar sudah tertempel dua batang jarum beracun yang halus bagaikan bulu sapi.

Tak terasa lagi sambil goyangkan kepala ia menghela napas. “Heeeei….. sekalipun senjata rahasia ini tidak dipolesi dengan racunpun, sudah jauh lebih ganas daripada jarum Bwee Hoa Tin…….” katanya.

Lelaki berbaju hitam itu tertawa rikuh.

“Senjata rahasia ini memang benar-benar sangat ganas,” sahutnya. “Barang siapa yang terkena senjata rahasia ini maka jarum tersebut akan segera mengalir masuk ke jantung melalui peredaran darah, di dalam dua belas jam kemudian jarum tersebut akan menembusi jantung dan siapapun yang terkena pasti akan binasa, ditambah pula daya bekerja racun ini sangat ganas maka setiap orang yang terhajar oleh jarum ini dengan cepat akan kehilangan daya kekuatannya untuk melakukan perlawanan….”

Ia merandek sejenak, kemudian sambungnya kembali.

“Tetapi cayhe sangat berhati-hati di dalam menggunakan jarum beracun ini, bilamana bukan dikarenakan keadaan yang kepepet cayhe belum pernah menggunakan secara serampangan.”

Phoa Ceng Yan mengangguk tidak berbicara, sedang dalam hati diam-diam pikirnya.

“Lam Thian Sam Sah sudah hampir berhasil mencapai pada sasarannya bahkan siap-siap hendak membinasakan kami semua untuk melenyapkan bibit bencana di kemudian hari, tetapi mengapa kini secara mendadak ia berubah maksud? Bahkan membantu aku untuk membalutkan luka dan berulang kali minta maaf. Dari pihak Liong Wie Piauw-kiok aku rasa tiada suatu

 kekuatan yang bisa memaksa mereka untuk bersikap demikian. Kejadian ini tentu timbul dari pihak keluarga Liauw!”

Sewaktu ia berpikir keras itulah, di sebelah sana Ang Nio CU telah membalut luka-luka yang diderita oleh kelima anak buah Piauw-kiok tersebut.

Nyoo Su Jan pun sudah dibebaskan kembali jalan darahnya yang tertotok oleh Ang Nio CU.

Beberapa orang anak buah Liong Wie Piauw-kiok yang dibebaskan totokan jalan darahnya oleh Ang Nio  Cu bahkan dibantu pula membalutnya luka-luka yang mereka derita, benar-benar dibuat tertegun dan berdiri melongo-longo oleh kejadian tersebut.

Dengan terpesona mereka memandang ke arah dara berbaju merah itu, sekalipun dalam hati merasa sangat heran tetapi tak seorangpun diantara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada Ang Nio CU maupun kepada Liauw Thayjien.

Nyoo Su Jan setelah menggerak-gerakan otot-ototnya yang kaku dan melancarkan peredaran darah di dalam badannya, segera melangkah mendekati diri Phoa Ceng Yan.

“Hu Cong Piauw-tauw, apa yang sudah terjadi?” tanyanya setengah berbisik.

“Sebenarnya peristiwa ini hanya suatu kesalah pahaman saja”. Belum menanti Phoa Ceng Yan menjawab, si lelaki berbaju hitam itu sudah menimbrung dari samping. “Kami merasa sangat menyesal sekali akan kejadian-kejadian ini. Baru saja Cayhe sudah menerangkan kepada diri Phoa-heng, sangat mengharapkan kelapangan dada dari Phoa-heng untuk

 menyudahi peristiwa ini dan kita saling bergandengan tangan sebagai kawan kembali.”

“Aaakh…..!” seru Nyoo Su Jan agak tertahan, buruburu ia mundur ke belakang.

Perlahan lahan Phoa Ceng Yan bangun berdiri dan dengan langkah yang ringan mendekati tubuh Liauw Thayjien.

“Thayjien! Di tempat luar angin bertiup kencang saljupun turun dengan amat deras, silahkan Thayjien untuk naik kembali ke dalam kereta,” sapanya setengah berbisik.

Dengan termangu-mangu Liauw Thayjien memandang sekejap ke arah Phoa Ceng Yan, akhirnya ia menurut dan naik ke dalam keretanya.

Walaupun di dalam hati penuh diliputi berbagai persoalan yang mencurigakan hatinya, tetapi sebagai seorang manusia yang pernah menjabat sebagai pembesar hampir separuh hidupnya maka sifatnya sudah tertlalu tenang dalam menghadapi berbagai persoalan.

“Aaaah….bagus, bagus…!” serunya sambil mendehem perlahan.

Kakinya segera melangkah naik ke dalam kereta. Menanti Liauw Thayjien sudah berada di dalam kereta,

si orang berbaju hitam itu baru melepaskan buntalan putih pada pundaknya kemudian dengan sangat hormat diserahkan kembali ke tangan Phoa Ceng Yan.

“Phoa-heng, kau terimalah!”

Phoa Ceng Yan tidak mengucapkan kata-kata lagi, ia lantas menerima angsuran buntalan putih tersebut.

 Ketika itulah dari tempat kejauhan berkumandang datang suara derapan kaki kuda yang memecahkan kesunyian di sekitar tempat itu.

Ketika ia menengok, terlihatlah si siucay berbaju biru itu dengan menuntun tiga ekor kuda sedang berlari mendekat.

Di atas punggung kuda sebelah kiri kanannya masingmasing terduduklah Lie Giok Liong serta Ih Coen, senjata tajam andalan merekapun sudah tersoren di atas pinggangnya.

Menanti kedua ekor kuda itu hampir mendekati depan kereta, Lie Giok Liong serta Ih Coen segera melayang turun ke ats tanah.

“Paman Jie Siok…..” sapanya sambil menjura. “Ehmmmmm! Kalian minggirlah.”

Kedua orang itu tidak berani banyak berbicara lagi, dengan sangat hormat mereka mengundurkan diri ke samping.

“Phoa Hu Cong Piauw-tauw!” seru Ang Nio Cu kemudian sambil berjalan mendekat. “Jalan darah dari keenam orang Piauw-tauw kalian sampai kini siauwmoay tidak berani membebaskan, takut mereka mencari gara-gara lagi. Untung saja di atas tubuh mereka sama sekali tak terluka sehingga walaupun jalan darah masih tertotok tak akan mengganggu kesehatan mereka. Setelah kami tiga bersaudara pergi dari sini, merepotkan Hu Cong Piauw-tauw suka turun tangan sendiri untuk membebaskan jalan darah mereka.”

“Pendapat dari nona sedikitpun tidak salah, Thio Toa Hauw itu memang rada goblok dan angseran!” kata Phoa Ceng Yan mengangguk.

 “Phoa-heng!” ujar si orang berbaju hitam itu kemudian sambil menjura. “Yang terluka sudah kami balut sehingga tidak mengganggu kesehatannya lagi, sedang enam orang yang meninggal, cayhe tiga bersaudara tak sanggup untuk menghidupkan mereka kembali, harap Phoa-heng suka merahasiakan kejadian ini sehingga jangan sempat diketahui orang lain, bilamana kau suka berbuat demikian di kemudian hari kami pasti akan mengucapkan terima kasih dan membalas budi tersebut. Harap kalian suka baik-baik berjaga diri, kami tiga bersaudara mohon diri terlebih dulu!”

Selesai berkata ia lantas meloncat naik ke atas pelana, di antara sentakan tali les kudanya segera berputar dfan lari ke depan dengan sangat cepat.

Si siucay berbaju biru serta Ang Nio Cu-pun bersamasama meloncat naik ke atas pelana.

“Phoa Hu Cong Piauw-tauw! Maaf atas kejadian ini hari” seru dara berbaju merah itu sambil tertawa dan menggapei tangannya. “Bilamana di kemudian hari kita bertemu muka kembali, Siauw-moay pasti akan mengundang dirimu untuk dijamu dengan satu cawan arak!”

Phoa Ceng Yan selamanya bersikap keren dan jarang bergurau, perkataan dua tiga patah dari Ang Nio Cu ini kontan saja membuat si orang tua itu jadi gelagaoan dan merasa bingung perkataan apa yang harus diucapkan.

Menanti kedua orang itu sudah pergi jauh dan bayangan punggungnya lenyap di balik permukaan salju, Phoa Ceng Yan baru menghembuskan napas panjang. Sinar matanya perlahan-lahan menyapu sekejap ke arah Nyoo Su Jan, Ih Coen serta Lie Giok Liong bertiga.

“Kalian bertiga apakah terluka?” tanyanya kemudian.

 “Tidak!” jawab mereka bertiga hampir berbareng.

“Phoa-ya, sebenarnya apa yang sudah terjadi?” tanya Nyoo Su Jan keheranan.

“Saat ini aku sendiripun tidak begitu paham,” sahut Phoa Ceng Yan sambil gelengkan kepala dan menghela napas panjang. “Coba kalian periksalah beberapa orang anak buah kita yang terluka apakah masih bisa melanjutkan perjalanan, yang mati untuk sementara waktu kita kubur dulu di sini dan dikasih tanda, menanti tugas kita sudah selesai kita orang barulah berusaha untuk mengangkut jenasah mereka.

Ia merandek sejenak, kemudian sambungnya kembali, “Su Jan! Coba kau periksalah bagaimana keadaan dari Toa Hauew, bebaskan sekalian jalan darahnya yang tertotok. Suruh dia jangan banyak meronta lalu pesan pula kepada semua orang agar jangan bocorkan peristiwa ini di tempat luaran, roda kereta sesudah dibetulkan kita segera melanjutkan perjalanan.”

Nyoo Su Jan mengiakan, ia lantas putar badan dan berlalu.

Walaupun Lie Giok Liong serta Ih Coen tidak mendapat perintah dari Phoa Ceng Yan, secara sukarela merekapaun segera turun tangan membantu Nyoo Su Jan untuk memeriksa keadaan luka dari anak buah mereka, melancarkan peredaran darah dan membalut kembali luka-luka tersebut dengan obat luka.

Orang-orang piauw-kiok yang setiap harinya melakukan pekerjaan di atas ujung golok, selamanya menggembol obat luka di setiap saku masing-masing setelah beribut beberapa saat lamanya, luka-luka di badanpun telah dibalut dan mereka-mereka yang terluka segera dinaikkan ke dalam kereta.

 Untung saja kuda-kuda jempolan yang menarik keretakereta mereka cuma dua ekor saja yang terluka, Lie Giok Liong serta Ih Coen lantas mengalah dan memberikan kuda tunggangannya untuk menarik kereta.

Thio Toa Hauw serta Nyoo Su Jan-pun segera menggali beberapa buah liang di tepi jalan untuk menggubur beberapa sosok jenasah itu, kemudian menebang sebuah pohon kecil yang dibuat menjadi papan nama dan ditancapkan di atas kuburan-kuburan tersebut.

Walaupun Phoa Ceng Yan tidak turun tangan bekerja, tetapi selama ini ia selalu berdiri di atas permukaan salju mengontrol jalannya seluruh pekerjaan.

Menanti kudapun sudah dipasang kembali di depan kereta, ia baru berseru, “Mari kita melanjutkan perjalanan!”

Thio Toa Hauw serta Nyoo Su Jan lantas memberikan kuda tunggangannya untuk kedua orang anak buah mereka yang terluka ringan.

Ketika Phoa Ceng Yan melihat semuanya sudah beres, keretapun mulai melanjutkan perjalanan, ia baru berjalan ke depan kereta yang ditumpangi Liauw Thayjien.

“Liauw Thayjien …..” sapanya sambil mendehem perlahan.

“Phoa Hu Cong Piauw-tauw, mari naiklah kita berbicara di dalam kereta saja” sahut Liauw Thayjien sambil menyingkapkan horden.

Di dalam hati Phoa Ceng Yan memang lagi dipenuhi dengan    beberapa    persoalan    yang membingungkan

 hatinya dan sangat mengharapakan bisa ditanyakan kepada sang bekas pembesar negeri ini.

Kini mendengar Liauw Thayjien mempersilahkan ia untuk naik, mengikuti gerakan tongkat sang ular merambat, dengan cepat ia melangkah naik ke dalam kereta.

Kiranya di dalam kereta tersebut hanya ditumpangi Liauw Thayjien beserta seorang kacung bukunya.

Saat ini si kacung buku itu sudah berpindah ke dalam kereta yang keempat, jadi dalam kereta tinggal Liauw Thayjien seorang diri.

“heeeei….!” terdengar Phoa Ceng Yan menghela napas panjang dan menyerahkan buntalan kain putih itu ke tangan Liauw Thayjien. “Kali ini aku orang she Phoa benar-benar sudah jatuh kecundang di tangan orang lain sehingga menyusahkan dan mengejutkan Liauw Thayjien, hal ini benar-benar membuat hati aku orang she Phoa merasa sangat menyesal.”

Sambil menerima angsuran buntalan tersebut, Liauw Thayjien tertawa tawar.

“Kalian sudah menggunakan seluruh tenaga yang ada untuk mempertahankan diri, harta serta keselamatan kita sama sekali tidak menderita rugi kecuali sedikit terkejut saja, hal ini tidak terhitung apa-apa. Sebaliknya korban terluka dan binasa yang diderita perusahaan saudara tidak kecil. Untuk membuktikan sedikit perhatian kami, aku rasa keluarga yang lagi dirundung kematian baiknya diberi hadiah sebesar seratus tahil perak sedang yang hanya terluka lima puluh tahil peral, menanti setelah tiba di kota Kay Hong, akan kubayar kontan,” katanya.

 Phoa Ceng Yan kontan saja merasakan wajahnya jadi panas, ia tertawa rikuh.

“Thayjien terlalu merendah, perusahaan Liong Wie Piauw-kiok kami tidak becus sehingga membuat Thayjien serta Hujien jadi terkejut karena hal ini saja sudah cukup membuat kami merasa sangat tidak tentram, mana mungkin kami berani menerima penghargaan dari Thayjien lagi? Mengenai anak buah kami yang mati atau terluka dari perusahaan kami sudah ada cara-cara terbiasa untuk mengaturnya, kami adalah orang-orang yang mencari makan dengan menjual nyawa, mati atau terluka merupakan suatu peristiwa yang sangat terbiasa, tentang soal ini perusahaan kami tak berani minta sumbangan lagi dari Liauw Thayjien…”

Perlahan-lahan ia menghela napas panjang, sambungnya kembali, “Heeei…..! Apalagi ini hari aku orang she Phoa beserta beberapa orang Piauw-su bisa lolos dari kematian, kesemuanya karena perlindungan dari Thayjien…..”

“berkat perlindunganku……” seru Liauw Thauyjien melengak.

Tetapi sebentar kemudian ia sudah tertawa terbahakbahak.

“Haaaa……..haaaa…….. saudara terlalu memuji, terlalu memuji. Untuk memotong seekor ayam pun tak bertenaga bagaimana mungkin bisa mengundurkan musuh tangguh? setelah mereka berhasil mendapatkan apa yang dicapai tetapi mendadak berubah hati dan menyerahkan kembali barang rampasannya di dalam hal ini tentu ada sebab-sebabnya, walaupun aku bukan seorang jagoan kang-ouw, tetapi rasanya sebab-sebab ini tidak sulit untuk ditebak!”

 “Apa sebabnya?”

Liauw Thayjien tertawa.

“Sudah lama aku dengar piauw-su piauw-su dari perusahaan Liong Wie Piauw-kiok berjumlah banyak dan semuanya berbakat, bahkan cara kalian mencari balas untuk menuntut kembali barang-barang yang dibegalpun jauh lebih kejam dan ganas dari tindakan petugaspetugas pengadilan. Aku rasa tentunya mereka merasa jeri sehingga di tengah jalan sudah berubah pikiran dan menyerahkan kembali barang tersebut kepada pemiliknya.

Selesai mendengar perkataan tersebut, Phoa Ceng Yan jadi tertegun, pikirnya, “Liauw Thayjien ini benarbenar pandai membawa diri, terang-terangan Lam Thian Sam Sah berubah hati setelah menemui suatu peristiwa yang mengejutkan di dalam kereta nona Liauw, kemudian menyerahkan kembali benda itu, sekarang ternyata malah menjatuhkan jasa tersebut ke tangan perusahaan piauw-kiok kami……”

Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia bertanya, “Thayjien, apakah kau orang benar-benar tidak mengerti akan ilmu silat?”

“Bagaimana dengan putrimu?”

Air muka Liauw Thayjien segera berubah jadi keren. “Walaupun  Siauw-li  selalu  mengikuti  aku berpindah-

pindah tempat selaku pembesar dan pergi entah seberapa banyak tempat, tetapi selama ini bukannya naik kereta ia tentu digotong dengan tandu. Peraturan keluarga pembesar sangat ketat sekali, pada hari-hari biasa sangat sukar untuk meninggalkan ruangan bagian dalam bareng selangkahpun, jangan dikata belajar ilmu

 silat, sekalipun membaca sedikit buku syairpun aku yang turun tangan sendiri memberi pelajaran, urusan ini tak mungkin bisa terjadi,” katanya.

Phoa Ceng Yan yang melihat paras mukanya sangat serius, sedikitpun tidak kelihatan sedang berbohong, dalam hati kembali berpikir.

“Perkataannya sedikitpun tidak salah, teringat nona itu tak lebih hanyalah seorang budak yang baru berusia belasan tahun, sekalipun ia pernah belajar ilmu silat belum tentu pernah berkelana di dalam dunia kangouw, sedangkan Lam Thian Sam Sah pun cuma menyingkap horden sejenak saja dan nona Liauw semisalnya benarbenar memiliki kepandaian yang sangat tinggi tetapi ia belum pernah angkat nama di depan dunia kangouw bagaimana mungkin Lam Thian Sam Sah setelah menemuinya lantas melarikan diri terbirit-birit dan mengembalikan barang rampokannya? Di dalam hal ini pasti ada hal-hal yang aneh, tetapi apakah sebabnya? heee….Hal ini benar-benar susah ditebak!”

Tetapi bagaimana juga, ia adalah seorang jago kawakan. Setelah termenung sejenak ujarnya lagi.

“Lalu apakah Thayjien pernah berhubungan dengan orang-orang Bu-lim?….”

“Tidak! Aku belum pernah mengadakan hubungan,” sahut Liauw Thayjien sambil menggeleng. “Tetapi tempo dulu sewaktu aku masih menjabat sebagai pembesar pernah menghukum mati dua orang perampok besar, orang-orang yang mencegat kita ini hari kemungkinan sekali ada hubungan dan sangkut pautnya dengan peristiwa tersebut.”

“Kapan itu terjadinya??”

 “Sudah puluhan tahun yang lalu!”

Phoa Ceng Yan sewaktu melihat dia orang tidak berhasil mendapatkan sedikit keterangan yang menyangkut persoalan ini, dalam hati merasa sangat tidak puas, pikirnya.

“Aku tidak percaya dengan pengalamanku selama puluhan tahun berkelana di dalam dunia kangouw tidak berhasil memperoleh sedikit keterangan dari mulutnya.”

Dengan cepat ia menggubah bahan pembicaraan. “Thayjien!” serunya perlahan. “Aku orang she Phoa

ada beberapa patah kata yang tidak senonoh hendak minta petunjuk, bilamana ada hal-hal yang tidak pada tempatnya, masih mengharapkan Thayjien suka memaafkan.”

“Baik! Kau bicaralah!”

“Benda apa yang terdapat di dalam buntalan putih yang ada di sisi Liauw Thayjien?”

“Sewaktu mereka membuka untuk dilihat tadi apakah Phoa Hu Cong Piauw-tauw tidak ikut melihat?” tanya Liauw Thayjien dengan kening yang dikerutkan.

“Bilamana cayhe sudah melihat, saat ini buat apa mengajukan pertanyaan kembali? tetapi cayhe berani memastikan kalau benda yang berada di dalam buntalan tersebut pastilah bukan benda-benda berharga seperti intan permata dan sebangsanya. Thayjien adalah seorang pembesar jujur, harta yang kau milikipun tidak berlimpah-limpah, tetapi untuk memancing niat Lam Thian Sam Sah untuk turun tangan membegal hal ini cukup menunjukan di dalam peristiwa ini ada hal-hal yang tidak beres.”

Liauw Thayjien tersenyum.

 “Jadi Phoa Hu Cong Piauw-tauw sudah menaruh curiga terhadap barang yang disimpan dalam buntalan ini?” tanyanya.

“Curiga sih tidak! Aku orang she Phoa hanya ingin melihat keadaan yang sebenarnya, kemungkinan sekali benda yang berada di dalam buntalan ini ada sangkut pautnya dengan orang-orang dunia kangouw!”

Ternyata Laiuw Thayjien adalah seorang yang berlapang dada, setelah termenung sejenak lalu katanya, “Kalau begitu kau bukalah sendiri untuk diperiksa!”

“Apakah leluasa?” Phoa Ceng Yan melengak, agaknya ia tidak menyangka kalau urusan bisa berjalan dengan sangat lancar.

“Akupun tak dapat menduga apakah benda yang berada di dalam buntalan tersebut mempunyai sangkut paut yang erat dengan orang-orang kalangan Bu-lim kalian. Bilamana aku tidak mengijinkan kau membuka untuk diperiksa, rasanya dalam hatimu tentu bakal semakin menaruh curiga lagi.”

“peristiwa yang terjadi pada ini hari di mana secara tiba-tiba pihak musuh mengubah niatnya di tengah jalan, aku rasa pasti terkandung suatu sebab-sebab yang tidak mudah dipecahkan.” pikir Phoa Ceng Yan dalam hati.

“Kalau memangnya dia orang meminta aku melihat benda tersebut, kesempatan yang sangat baik ini tidak boleh aku lewatkan dengan begitu saja.”

“Kalau memang Thayjien menginginkan aku berbuat demikian, aku orang she Phoa akan mengikuti perintah saja.”

Selesai berkata, ia memungut buntalan tersebut lalu perlahan-lahan dibuka.

 Ternyata di dalam buntalan itu hanya terdapat segulung lukisan yang terbuat dari kain putih.

“Sungguh aneh sekali!” kembali Phoa Ceng Yan berpikir. “Jauh dari daerah Kang-Lam, Lam Thian Sam Sah datang ke jalan Han Tan, tidak lain hanya ingin merebut sebuah lukisan….. tentang lukisan ini mengandung suatu rahasia yang maha besar biarlah aku buka untu dipreiksa isinya.”

Tidak menunggu perintah dari Liauw Thayjien lagi, ia lantas membentangkan lukisan itu.

Ternyata lukisan tersebut adalah sebuah lukisan pengembala kambing, kecuali seorang bocah cilik yang mencekal sebuah cambuk panjang yang lain adalah lukisan kambing-kambing yang berbeda jenis maupun gerakan-nya, sebagai latar belakang lukisan itu adalah serentetan puncak gunung yang jauh menjulang ke angkasa beserta sebuah sungai kecil di depan kelompok kambing-kambing itu.

Kendati si telapak besi gelang emas Phoa Ceng Yan sudah sering melakukan perjalanan di dalam dunia kangouw dan mempunyai pengetahuan yang sangat luas, tetapi terhadap maksud dari lukisan tersebut bukan saja tidak paham bahkan mengertipun tidak.

Ia cuma merasakan bahwa kambing-kambing yang ada di dalam lukisan tersebut baik kambing tua maupun kambing kecil, kambing gunung serta domba itu mirip sekali keadaannya satu sama lain.

Selain tanda tersebut ia tidak berhasil menemukan suatu apapun yang mencurigakan, tak terasa lagi dalam hati merasa sangat mangkel dan murung pikirannya, “Sekalipun lukisan tersebut hasil karya dari seorang pelukis terkenal dan harganya sangat tinggi tetapi buat

 apa Lam Thian Sam Sah membegalnya? dengan nama besar dari Lam Thian Sam Sah di dalam dunia kangouw tidaklah mungkin mereka dengan membawa lukisan itu untuk diperjual-belikan, apalagi orang-orang yang mengerti akan lukisan ini, dan dapat membelinya kecuali orang-orang yang punya duit hanyalah orang-orang yang terpelajar, terhadap lukisan yang tidak diketahui asal usulnya mereka tidak mungkin akan mau membeli.”

Otaknya berputar dengan sangat keras, setelah dipikir-pikir kembali berulang kali tetapi tidak berhasil juga menemukan letak nilai berharganya lukisan pengangon kambing itu.

Tetapi iapun tahu bila Lam Thian Sam Sah bukanlah orang-orang Liok-Lim biasa, bilamana dikatakan mereka datang hanya bertujuan membegal lukisan pengangon kambing yang sama sekali tak ada harganya, sudah tentu hal ini sukar untuk membuat orang jadi percaya.

Inilah sebuah teka-teki yang membingungkan, Phoa Ceng Yan merasa dengan kecerdikannya tidak gampang untuk memecahkan rahasia tersebut. Akhirnya perlahanlahan ia menggulung kembali lukisan itu.

“Ehmmm……! Lukisan ini tidak jelek!” serunya. “Sungguh luar biasa!” Liauw Thayjien menanggapi

sambil tersenyum, “Tidak kusangka Phoa Hu Cong Piauw-tauw kecuali memiliki ilmu silat yang tinggi, masih dapat mengagumi pula lukisan-lukisan indah…..”

“Aaach! Thayjien terlalu memuji, cayhe cuma penjual silat kasaran, bagaimana mungkin bisa mengagumi lukisan-lukisan indah?? cuma di dalam hati Cayhe ada suatu urusan yang merasa tidak paham dan ingin meminta petunjuk dari Thayjien, harap Thayjien suka memberi penjelasan secara terus terang.”

 “Urusan apa??” tanya Liauw Thayjien sembari menggulung kembali lukisan tadi.

Sewaktu Lam Thian Sam Sah datang membegal lukisan tersebut, Thayjien pernah memberi pesan kepada cayhe agar suka menghantarkan lukisan ini ke istana Tok Ci Hu, agaknya di dalam hati Thayjien sudah mengerti bila kedatangan dari Lam Thian Sam Sah adalah bertujuan pada lukisan itu.

“Heeei….! Sebetulnya lukisan ini buka milikku,” ujar Liauw Thayjien setelah termenung sebentar. “Aku tidak lebih hanya mendapat titipan dari orang lain untuk menghantarkan lukisan tadi ke kota Kay Hong.”

Mendengar perkataan tersebut, semangat Phoa Ceng Yan berkobar kembali.

“Siapakah orang itu? Dapatkah Thayjien memberitahu

….” serunya buru-buru.

Ia rada merandek sejenak, kemudian sambungnya kembali, “Bilamana orang itupun merupakan orang-orang Bu-lim, maka urusan ini tidak sulit untuk diduga!”

“Orang itu sama sekali bukan orang-orang dari kalangan Bu-lim, urusan ini walaupun kecil, tetapi sebelum cayhe mendapatkan ijin dari dirinya, aku tidak berani menyebutkan namanya secara sembarangan.”

“Ehmmm……! Kelihatannya ia pandai sekali pegang rahasia,” diam-diam pikir Phoa Ceng Yan di dalam hatinya. “Aku merasa rada tidak percaya dengan pengalamanku di dalam dunia kangouw selama puluhan tahun tidak berhasil menangkan dirinya sebagai seorang bekas pembesar negeri.”

Dengan cepat ia menggubah bahan pembicaraan, katanya  kembali,  “Walaupun  cayhe  pernah  menemui

 beberapa orang pelukis kenamaan, tetapi tak berhasil aku ketahui berasal dari pelukis manakah lukisan pengangon kambing ini?”

“Hal ini tidak bisa disalahkan Phoa-suhu tidak mengetahui” kata Liauw Thayjien sambil tertawa. “Karena pelukis dari lukisan ini bukanlah seorang pelukis kenamaan!”

“Kalau memang lukisan ini bukanlah hasil karya dari seorang pelukis kenamaan, mengapa Thayjien memperhatikannya dengan demikian serius?”

“Karena lukisan ini bukan milikku, bilamana sampai lenyap, aku harus pergi ke mana untuk mencarinya kembali dan mempertanggung-jawabkan peristiwa ini di hadapan orang yang menitipi lukisan itu kepadaku?”

“Sungguh aneh sekali!” kembali Phoa Ceng Yan berpikir di dalam hatinya. “Bilamana dilihat lukisan ini memang benar-benar sama sekali tak berharga, tetapi mengapa Liauw Thayjien bisa menaruh perhatian yang amat sangat?”

Tetapi ia-pun menyadari sekalipun ditanyakan lebih lanjutpun tiada gunanya, terpaksa ia merangkap tangannya menjura.

“Disebabkan peristiwa pembegalan yang terjada pada ini hari, aku orang she Phoa merasa sangat menyesal sekali, kendati cuma ada rasa terkejut dan tidak sampai menimbulkan bahaya tetapi hal ini hanya bisa salahkan aku orang she Phoa tidak becus ….”

“Sudah…….sudahlah! Urusan sudah lewat, Phoasuhu pun tidak perlu terlalu menyalahkan diri sendiri” potong Liauw Thayjien dengan cepat.”Ini hari kita berhasil melewatkan keadaan bahaya ini dengan cuma

 mengandalkan rasa terkejut saja, bukankah kesemuanya ini mengandalkan kegagahan dari Liong Wie Piauw-kiok kalian?”

Phoa Ceng Yan tertpaksa tertawa pahit, kembali pikirnya di hati, “Kelihatannya orang-orang terpelajar yang pernah menjabat sebagai pembesar mempunyai pikiran yang jauh lebih teliti daripada kami orang-orang yang melakukan perjalanan di dalam dunia kangouw ….”

Karena keadaan apa boleh buat dan tak berhasil mengorek sesuatu keterangan dari mulut pembesar itu, terpaksa ia menjura.

“Thayjien silahkan beristirahat, aku orang she Phoa mohon diri terlebih dahulu.”

“Kuda tunggangan tidak cukup, sekeliling tempat inipun merupakan hutan-hutan yang sunyi sekalipun ada uang juga sukar untuk memperoleh kuda tunggangan, bilamana Phoa-Loosuhu berada di dalam satu kereta dengan cayhe, akupun masih ingin  mendengarkan sedikit kisah yang menyangkut pengalaman Loosuhu sewaktu ada di dalam dunia persilatan”.

“Aaakh ……! Soal itu sih tidak perlu! Sepasang kaki dari ornag she Phoa masih cukup keras untuk melanjutkan perjalanan, apalagi urusan di tempat luaran masih membutuhkan tenagaku untuk mengurusinya. Semoga saja sejak kini tak ada urusan lain lagi yang terjadi sehingga tidak sampai mengejutkan diri Thayjien.”

“Bilamana demikian adanya, silahkan Phoa-Loosuhu untuk berlalu.”

Phoa Ceng Yan lantas mohon diri dan meloncat turun dari dalam kereta tersebut, ia mengitari dulu kelima buah

 kereta tersebut terutama memperhatikan kereta terakhir yang ditunggangi oleh nona Liauw.

Perputaran roda kereta berdetak membisingkan telinga dan meninggalkan bekas yang memanjang di  atas permukaan salju, bagaimanapun Phoa Ceng Yan meneliti dan memeriksa tak berhasil juga dia menemukan sesuatu tanda-tanda yang mencurigakan di luar kereta tersebut.

Mendadak …… dari balik kereta yang tertutup rapatrapat itu muncullah sebuah tangan halus putih disusul seorang gadis muda menampakkan diri di tengah tiupan angin utara yang sangat dingin.

“Berhenti ……. berhenti!” teriaknya berulangkali.

“Kusir kereta tersebut dengan cepat menyentak tali les kudanya dan menghentikan lajunya sang kereta yang sedang melanjutkan perjalanan.

“Nona, ada urusan apa?” tanya Phoa Ceng Yan dengan cepat sambil meloncat ke depan.

“Nona ketakutan dan sekarang sakit panas!” sahut gadis tersebut dengan wajah penuh kekuatiran.

Sebenarnya Phoa Ceng Yan hendak menggunakan kesempatan ini loncat masuk ke dalam kereta dan membongkar rahasia yang meliputi kereta tersebut untuk melihat benda apakah sebenarnya yang sudah membuat Lam Thian Sam Sah berubah niat mengundurkan dirinya.

Tetapi dayang yang berbicara tadi kecuali melongokkan kepalanya ke depan, tangan kanannya dengan erat-erat memegangi horden di depan kereta, hal ini membuat Phoa Ceng Yan tak berhasil melihat jelas pemandangan di dalam kereta tersebut.

 Ketika itulah, kereta-kereta yang berada di depan sudah pada berhenti semua, dari kereta ketiga muncullha Liauw Hujien yang berjalan mendekati mereka dengan langkah tergesa-gesa.

“Cun Lan! Kau berkata siapa yang sudah sakit??” tanyanya.

“Nona telah menderita sakit, bahkan sakitnya sangat keras, panasnya luar biasa sekali sedang ia sendiri sudah jatuh tak sadarkan diri.”

Mendengar perkataan tersebut, Liauw Hujien semakin mempercepat langkahnya.

“Cepat bimbing aku naik ke dalam kereta,” serunya cepat.

Karena langkahnya yang amat cepat dan tergesagesa, terpaksa Phoa Ceng Yan menyingkir ke arah samping.

Cun Lan segera menarik tangan Liauw Hujien yang dengan setengah merangkak naik ke dalam kereta.

Saat ini Phoa Ceng Yan masih belum suka matikan niatnya, ia mengharapkan bisa berhasil menyelidiki sebab yang telah memaksa Lam Thian Sam Sah mengundurkan diri.

Tubuhnya tetap berdiri di depan kereta setelah mendehem sejenak lantas ujarnya.

“Hujien, penyakit putri kesayanganmu apakah sangat parah sekali?”

“Benar parah sekali! Saking panasnya ia sudah jatuh tidak sadarkan diri,” sahut Liauw Hujien sambil menengok keluar. “Sejak kecil ia sudah terbiasa dimanja

 dan disayang, kapan ia pernah menemui kejadian yang sangat mengejutkan ini?”

Phoa Ceng Yan segera merasa pipinya jadi sangat panas.

“Cayhe tidak becus sehingga nona jadi terkejut …..” serunya.

“Urusan sudah lewat tak usah kita bicarakan lagi, yang penting pada saat ini adalah mencari cara untuk menyembuhkan penyakit dari Siauw-li, aku lihat …..”

Ketika itulah Liauw Thayjien sudah menerima laporan dan berlari mendatang.

“Ada urusan apa?” sambungnya.

“Wan-jie sakit keras, ia tentu terkejut karena kejadian tadi sehingga saking takutnya berubah menjadi penyakit” kata Liauw hujien sambil mengucurkan air mata.

Bagaimanapun Liauw Thayjien adalah seorang bekas pembesar, menghadapi kejadian apapun tetap berdiri tenang.

“Sudah…. sudahlah jangan ribut dahulu” hiburnya. “Suruh Coen Lan berikan sebungkus Cap Biauw San kepadanya agar ia bisa tidur sebentar, setelah tiba di kota sebelah depan kita baru undang tabib untuk memeriksa sakitnya….”

Berbicara sampai di sini ia merandek sejenak, kemudian sambil menoleh ke arah Phoa Ceng Yan sambungnya kembali.

“Phoa-suhu, tempat ini dengan dusun yang terdekat masih seberapa jauh?”

Lama sekali Phoa Ceng Yan termenung berpikir keras.

 “Ingatan loolap sudah rada buram” sahutnya perlahan, perlahan-lahan ia menoleh ke arah kusir kereta tersebut, “Kau orang sering melakukan perjalanan lewat tempat ini?”

“Lapor Jia-ya, hamba pernah melakukan perjalanan lewat jalan raya Han Tan ini,” sahut kusir tersebut dengan sangat hormat.

“Di depan sana adalah sebuah hutan pohon siong yang lewat, setelah melakukan perjalanan sejauh sepuluh lie, kita baru sampai pada dusun kecil yang terdekat.”

“Di dalam dusun itu ada kedai obat?” tanya Phoa Ceng Yan kembali.

“Dusun tersebut cuma ditinggali kurang lebih seratus keluarga saja, kedai obat mungkin ada, tetapi apakah tabib yang memeriksa penyakit hamba kurang paham, jikalau kita bisa melakukan perjalanan rada cepat, mungkin sebelum hari menjadi gelap nanti dapat mengejar tiba di kota Si Jan Sian, tempat itu sangat besar dan banyak penduduknya, kemungkinan sekali di kota tersebut kita berhasil mencari seorang tabib.”

“Jikalau penyakit nona Liauw sangat hebat bagaimana mungkin bisa menunggu sampai nanti malam?”

“Sejak kecil Wan jie berbadan lemah dan selalu banyak sakit,” ujar Liauw Hujien dengan wajah merengek. “Bagaimana mungkin ia tidak dibuat terkejut oleh kejadian tadi di mana cahaya golok serta bayangan pedang berkelebat tiada hentinya. Aku melihat panas badannya seperti api, kemungkinan sekali tak dapat menunggu sampai nanti malam.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar