Kunanti Di Gerbang Pakuan Jilid 09

 “Apakah yang Aki maksud adalah Pragola?” tanya Banyak Angga dengan dada berdegup. “Pragola, siapa Pragola?” tanya Ki Jayaratu menatap Banyak Angga.

“Pragola adalah pemuda usia sembilan belas tahun. Dia sahabatku. Mulanya memang anak buah Pangeran Yudakara calon penguasa Sagaraherang. Pangeran itu mengusulkan Pragola bekerja di puri kami sebab dia tahu betul perihal keberadaan belasan perwira Pakuan yang ada di Puncak Cakrabuana,” kata Banyak Angga.

Giliran kedua orang tua itu yang mengerutkan alis karena heran. “Apa kata anak itu?” tanya Ki Jayaratu. Banyak Angga menerangkan kalau kehadirannya di sini karena hasil laporan Pragola. Dan untuk memperjelas keterangannya ini, Banyak Angga terpaksa memaparkan tujuannya.

Pemuda itu menerangkan, betapa sebetulnya dia tengah mengusung tugas penting. Ayahandanya yang khawatir melihat pusat pemerintahan Pakuan semakin lemah, menginginkan agar para orang pandai yang punya kesetian terhadap Pajajaran dikumpulkan kembali, termasuk mencoba kembali mencari belasan perwira yang diutus pemerintah pergi ke Puncak Cakrabuana mencari Ki Darma.

“Belasan perwira Pakuan tak pernah kembali. Ada selentingan mereka gugur sebab di puncak bertemu dengan pasukan Cirebon. Namun Pragola malah mengabarkan, sebetulnya belasan perwira Pakuan masih berada di puncak tapi tak bisa pulang karena dikepung pasukan Cirebon. Pangeran Yudakara mengusulkan agar Pakuan segera mengirimkan kembali belasan perwira tangguh untuk menyelamatkan teman-temannya yang tertahan di sini. Namun ayahanda sebelum mengabulkan usul ini, terlebih dahulu mengutus misi penyelidik, yaitu saya beserta tiga orang pembantu dan beberapa orang prajurit. Tapi di tengah perjalanan kami beberapa kali dihadang musuh, baik hadangan dari Cirebon, kaum perampok, sampai pasukan misterius yang kai tak tahu siapa gerangan,” kata Banyak Angga panjang-lebar. 

Mendengar penjelasan ini baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu hanya mengangguk-angguk kecil.

“Ada yang benar, ada juga yang tak benar,” gumam Ki Jayaratu seperti bicara pada dirinya sendiri. Sesudah merenung sejenak, Ki Jayaratu menerangkan. Bahwa benar sekitar limabelas tahun silam di lereng Gunung Cakrabuana terjadi pertempuran kecil. Ketika itu ada belasan perwira Pajajaran naik ke gunung dengan maksud mencari Ki Darma. Namun pada saat yang bersamaan dari bagian lereng lain naik pula belasan prajurit dan perwira lain.

“Ngakunya dari Cirebon, ya!” tukas Ki Darma duduk bersila di balai-balai. “Mengakunya begitu, padahal bukan,” kata Ki Jayaratu.

Menurut orang tua ini, ketika itu di Cirebon pun terdapat beberapa gelintir pejabat yang punya ambisi pribadi. Melihat Karatuan Cirebon lebih menitikberatkan urusan ke bidang penyebaran agama, ada pejabat bernama Arya Damar yang ingin mendompleng. Dia punya cita-cita, selain agama baru harus semakin menyebar, juga Pajajaran harus dihancurkan agar kekuasaan Cirebon pun ikut menyebar ke wilayah barat.

Secara diam-diam, Arya Damar mencoba mengirimkan pasukan dan sedikit demi sedikit mengikis kekuatan Pajajaran. Akan halnya Ki Darma, tokoh ini masuk daftar orang Pajajaran yang harus dilenyapkan sebab kendati Ki Darma tak disukai penguasa Pajajaran, namun dia selalu siap membela negara. Bagi Arya Damar, Ki Darma dianggapnya sebagai duri penghalang. Jadi Ki Darma harus dilenyapkan.

“Katanya menyerang Cakrabuana pun ada maksud tambahan, Jayaratu," potong Ki Darma yang meram-melek dan acuh tak acuh menyimak cerita yang disampaikan Ki Jayaratu. “Ya, pasukan gelap yang diutus Arya Damar ingin merebut tombak pusaka Cuntangbarang yang katanya dikuasai olehmu,” kata Ki Jayaratu menoleh. Ki Darma hanya mendengus.

“Jangan percaya celoteh tua bangka ini. Sejak dulu aku tak butuh senjata. Boleh tanya sama si Ginggi,” kata Ki Darma dengan nada setengah mengejek.

Banyak Angga yang mendengarkan kisah ini harus percaya kepada Ki Darma sebab dia tahu sepak-terjang Ginggi yang ke mana-mana tak pernah membawa senjata. Kebiasaan Ginggi mungkin turunan dari gurunya, Ki Darma.

“Benarkah terjadi pertempuran?” tanya Banyak Angga.

Nampak Ki Jayaratu menghela napas. Pandangannya menerawang ke langit-langit. Sepertinya dia enggan membicarakannya.

“Yah, memang terjadi pertempuran. Sebelum kedua pasukan itu berhasil menemui Ki Darma, mereka sudah saling serang,” “Dan semuanya mampus!” tukas Ki Darma.

“Ya, banyak yang mati dan luka parah. Namun yang selamat pun banyak. Beberapa anggota pasukan Pajajaran hingga hari ini masih segar-bugar kendati sudah berusia lanjut. Kata Ki jayaratu.”Dan yang aneh, ternyata mereka datang ke sini bukan untuk mengejar atau membunuh Ki Darma, melainkan ingin bergabung karena sudah tak suka kepada Sang Prabu Ratu Sakti ketika itu," kata Ki Jayaratu menengok ke arah Banyak Angga.

“Hati-hati engkau bicara, anak muda itu putra pejabat penting di Pakuan. Dan kalau kau tak mau dimusuhi anak muda itu, engkau pun harus menerangkan kedudukanmu ketika itu.

Mengapa kau tiba-tiba ada di sini, padahal engkau adalah musuh bebuyutanku,” kata Ki Darma ketawa.

Giliran Ki Jayaratu yang ketawa.

“Kalau orang Cirebon menganggapku pengkhianat, mungkin benar sebab mana ada musuh bebuyutan jadi sahabat. Tapi aku jemu menjadi prajurit. Sebab pada hakikatnya, prajurit hanyalah alat dari ambisi kaku dan kesetiaan kaku. Aku tak punya masalah pribadi dengan Ki Darma atau dengan siapa saja yang ada di Pajajaran.

Tetapi karena keharusan membela negri, aku harus memeranginya. Cirebon yang dulu ada di bawah Pajajaran, mulai berani membebaskan diri karena memdapat bantuan kekuatan dari Demak. Hh, hanya karena bantuan Demak maka Cirebon pernah menguasai wilayah Pajajaran seluruhnya. Sekarang, manakala Demak sudah lemah, Cirebon pun sudah tak punya kekuatan lagi. Celakanya masih ada yang mimpi dengan menggunakan militer untuk harga diri dan ambisinya. Itu aku tak suka. Itulah sebabnya pergi dari Cirebon dan memilih sendirian saja menyebarkan agama baru,” tutur Ki Jayaratu bicara berpanjang-lebar.”Aku hanya ingin menjadi manusia wajar dan bisa mencari sahabat seperti apa kehendakku. Contohnya hari ini aku bersahabat dengan orang yang sama-sama dianggap pengkhianat oleh masing-masing negaranya,” kata Ki Jayaratu.

“Siapa bilang. Nasibku tak sama dengan nasibmu. Bukankah begitu, Angga?” Ki Darma tertawa sambil melirik ke arah Banyak Angga. Pemuda itu mengangguk pelan dengan wajah murung.

“Ki Darma sudah diampuni dan namannya dibersihkan oleh Sang Prabu Nilakendra, pengganti mendiang Prabu Ratu Sakti,” tutur Banyak Angga namun dengan suara tak bersemangat. Pemuda ini sungguh tak enak, mengapa Pragola begitu benci terhadap Ginggi dan Ki Darma, padahal semua orang Pajajaran hari-hari terakhir ini begitu mengagumi kedua orang murid dan guru itu.

Rupanya isi hati Banyak Angga sama dirasakan Ki Jayaratu. Buktinya orang tua itu malah mempertanyaka sipat aneh Pragola.

“Aku tahu, si Ginggi kenalan baik Banyak Angga. Dan kalau engkau pun mengaku bersahabat baik dengan Pragola, mengapa anak muda itu malah membenci Ginggi?” tanyanya.

“Harus dicari sebab-sebabnya. Ada permusuhan apakah di antara mereka ini?” tanya Ki Darma.

“O,ya, kau ingat. Anak itu pernah mengaku sebagai utusan Cirebon!” teriak Ki Jayaratu menepuk jidatnya.”Masya Allah, bukankah tadi aku katakan bahwa anak itu pun mengaku anak buah Pangeran Yudakara? Engkau tahu bukan, Yudakara itu dulunya orang Cirebon juga?” kata Ki Jayaratu.

“Betul, tapi Pangeran Yudakara sudah kembali menjadi warga Pajajaran,” sahut Banyak Angga.

“Salah besar, salah besar! Ow, mengapa aku jadi pelupa begini? Anak muda bernama Pragola itu berkata kalau tujuan Pangeran Yudakara adalah merebut Pajajaran!”

“Jangan sembarangan menduga, Aki!” tukas Banyak Angga namun dengan hati terkejut. “Engkaulah yang jangan sembarangan menduga, anak muda!” tukas Ki Jayaratu.”Kau sangka Pangeran Yudakara itu orang baik-baik? Aku pun dulu, belasan tahun silam amat mempercayai dia sehingga aku perintahkan muridku Purbajaya untuk menyusup ke Pakuan. Hasil didikan Yudakara membuat perjuangan muridku melenceng dan akhirnya tewas oleh murid si bangkotan ini. Sungguh malang nasib muridku. Di Cirebon kekasihnya direbut Yudakara pula,” kata Ki Jayaratu.

Banyak Angga menyimak cerita ini dengan perasaan taj keruan. Dan tanpa terasa airmatanya meleleh turun. Mendengar nama Purbajaya disebut-sebut, dia terkenang masa belasan tahun silam. Purbajaya adalah pemuda baik dan tak pernah banyak bicara. Pemuda itu lama mengabdi di puri Yogascitra. Ayahanda Banyak Angga pun menyimpan harapan kepada Purbajaya. Pemuda itu dikenal sebagai puhawang (akhli kelautan) dan Yogascitra bercita-cita mengembalikan kejayaan Pajajaran sebagai negara maritim seperti ketika zamannya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M) yang menguasai tujuh pelabuhan penting di Jawa Kulon. Namun pada akhirnya, penghuni puri Yogascitra harus kecewa sebab pemuda yang sudah dipercayanya ini belakangan diketahui sebagai utusan Cirebon untuk mengikis kekuatan Pakuan. Sungguh amat menyedihkan, Purbajaya tewas di tangan Ginggi saat pemuda itu akan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran). Perasaan Banyak Angga bergalau tak menentu. Di lain fihak dia bersyukur bisa bertemu dengan tokoh-tokoh penting ini. Namun di lain fihak pun harus merasa bingung dan sedih akan kenyataan yang tengah berlangsung ini. Dia bingung dan sedih, ternyata Pangeran Yudakara dan Pragola sudah di percayai kini malah meragukan . betulkah apa yang diucapkan Ki Jayaratu ini?

“Dari mana anak muda bernama Pragola itu punya hubungan dengan Pangeran Yudakara?” tanya Ki Darma yang sejak tadi diam saja.

Entah kepada siapa pertanyaan ini dilontarkan. Yang jelas, baik Banyak Angga mau pun Ki Jayaratu terlihat saling pandang.

“Saya hanya tahu, dia itu orang kepercayaan Pangeran Yudakara. Ketika dia disodorkan untuk dipekerjakan di puri Yogascitra, saya langsung menyukainya, sebab melihat wajah Pragola, serasa diingatkan akan wajah Ginggi belasan tahun silam,” tutur Banyak Angga.

Ki Darma menoleh ke kiri dan ke kanan, menatap bergiliran kepada Banyak Angga dan Ki Jayaratu.

“Benarkah Jayaratu, anak muda itu wajahnya seperti si Ginggi belasan tahun silam?” tanyanya.

“Mana aku tahu tampang si Ginggi belasan tahun silam. Kau yang harus jawab pertanyaan itu, bukankah kau pun pernah melihat wajah anak muda bernama Pragola itu?” Ki Jayaratu balik bertanya. Ki Darma merenung lama dan nampak keningnya berkerut dalam.

“Memang aku lihat selintas anak muda itu tapi tak kubanding-bandingkan dengan muridku. Tapi kalau melihat matanya yang bulat berbinar, sepertinya sama. Tapi apa urusannya dengan persamaan itu, di dunia ini banyak orang yang memiliki kesamaan wajah,” gumam Ki Darma. “Saya pun tak memikirkan sejauh itu. Hanya saja saya pikir wajah mereka memang mirip,” tutur Banyak Angga.

Percakapan tak dilanjutkan dan Ki Jayaratu berpamitan karena sudah selesai merawat Banyak Angga.

Ki Darma mengantarkan orang tua itu hingga di tepas (beranda).

“Si Pragola itu mengaku anak cutak dari wilayah Caringin,” kata Ki Jayaratu tiba-tiba. “Hei, berhenti dulu!” teriak Ki Darma. Ki Jayaratu menoleh heran.

“Ada apa?” tanyanya. “Kau barusan bilang apa?”

Ki Jayaratu mengerutkan alis sepertinya ingin mengingat barusan bicara apa.

“Aku katakan, anak itu mengaku dari wilayah Caringin dan mengaku anak seorang cutak,” kata lagi Ki jayaratu.

“Celaka!” teriak Ki Darma.”Banyak Angga cepat kau pulang, susul mereka!” sambungnya berteriak ke arah Banyak Angga.

Sudah barang tentu, baik Ki Jayaratu mau pun Banyak Angga heran dengan perilaku Ki Darma yang nampak tak tenang ini.

“Ada apa kau mencak-mencak tak keruan?’ tanya Ki Jayaratu heran. “Mereka! Mereka pasti kakak-beradik! Teriak lagi Ki Darma.

Giliran Ki Jayaratu dan Banyak Angga yang terkejut.

“Maksudmu, si Ginggi dan si Pragola itu bersaudara?” tanya Ki Jayaratu. “Betul!”

“Saudara Ginggi dulu tak pernah berkata bahwa dirinya berasal dari Caringin,” tutur Banyak Angga.

“Anak itu tak pernah bicara masa lalunya sebab aku sengaja tak banyak bicara perihal itu. Belasan tahun silam sebelum dia turun gunung, memang aku katakan bahwa dia berasal dari Caringin. Hanya saja aku tak mau bilang siapa ayahnya,” kata Ki Darma.

“Kalau dua orang kakak-beradik itu saling bantai, maka engkaulah yang berdosa Darma!” kata Ki Jayaratu.”Mengapa kau rahasiakan asal-usulnya?” tanyanya kemudian.

“Aku takut si Ginggi kecewa. Dia merasa sebagai orang Pajajaran dan cinta negri itu. Kalau dia tahu ayahnya sebagai cutak memberontak karena ingin bergabung dengan Cirebon, hatinya tentu terluka,” gumam Ki Darma.

“Hahaha!”

“Heh, kenapa kau malah tertawa?” teriak Ki Darma dan matanya melotot ke arah Ki Jayaratu. “Dalam hal ini si Pragola yang bertindak tepat. Dia selama ini berjuang untuk Cirebon sehingga tak perlu sedih melihat ayahandanya,” gumam Ki Jayaratu.

Ki Darma hanya mengatupkan mulut. Sedangkan Banyak Angga hanya termangu-mangu mendengar dan mendapatkan kenyataan seperti ini.

“Kita harus mencegah mereka jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan,” gumam Banyak Angga pada akhirnya.

“Jangan khawatir, si Ginggi tidak mudah dikalahkan lawannya,” kata Ki Jayaratu. “Sepertinya kau inginkan mereka bertempur,” kata Ki Darma.

“Hahaha! Hitung-hitung mengembalikan kenangan permusuhan antara kau dan aku. Hm, sayang si Pragola tak kulatih dulu sehingga pertempuran bisa seru,” kata Ki Jayaratu. “Jangan main-main. Angga, kau harus cari mereka, cegahlah!” kata Ki Darma menoleh ke arah Banyak Angga yang tak begitu banyak bicara.

“Ya, kau harus berusaha mencegah pertemuan mereka, Angga,” kata Ki Jayaratu ikut menganjurkan. Namun sambil begitu, Ki Jayaratu menatap Banyak Angga yang masih tak sanggup beranjak dari balai-balai.

“Begitu bencinya pemuda itu terfadap Ginggi?” tanya Banyak Angga.

“Sebetulnya kebencian Pragola tertuju kepda orang Pajajaran secara keseluruhan,” kata Ki Jayaratu sambil kembali menerangkan bahwa Pragola ingin membalas dendam kepada orang Pajajaran karena kematian Ki Sudireja yang jadi gurunya juga kematian ayahandanya yang juga kematiannya erat kaitannya dengan bentrokan-bentrokan dengan Pajajaran.

“Ki Sudireja ikut terlibat pemberontakan Sunda Sembawa. Kalau Ginggi tak menggagalkan pemberontakan, tak nanti Ki Sudireja jadi buronan yang terus dikejar dan akhirnya tewas di bawah kepungan perwira-perwira Pakuan. Itulah sebabnya, si Pragola mengalihkan kebencian kepada si Ginggi,” tutur Ki Jayaratu.

“Anak dungu!” dengus Ki Darma pendek.

“Memang dungu sekali anak itu. Dan kalau tak bisa dicegah, kedunguannya itu akan membawanya ke arah kehancuran,’ kata Ki Jayaratu lagi.

Akhirnya kedua orang tua itu berjanji akan mengupayakan pengobatan sungguh-sungguh terhadap Banyak Angga. Diharapkan pemuda itu mendapatkan kesembuhan lebih cepat agar bisa mengejar kedua orang kakak-beradik yang diperkirakan akan berseteru karena permasalahan masa lampau.

***

Ternyata Banyak Angga perlu waktu hampir selama lima hari untuk mengembalikan kebugarannya. Kata Ki Jayaratu, pemuda itu lamban mengembalikan kesehatannya karena hatinya mungkin tak tenang.

Dugaan orang tua itu benar. Banyak Angga merasakan, betapa risau hatinya. Bagaimana tak begitu, Pragola tengah mengejar Ginggi. Bukan untuk melakukan pertemuan antara dua kakak-beradik, melainkan sebagai seteru. Paling tidak, itu yang tengah dipikirkan Banyak Angga.

Banyak Angga risau, dua orang itu secara terpisah dikenal baik olehnya. Dia tak boleh membiarkan keduanya berseteru. Kata Ki Darma, baik Ginggi mau pun Pragola adalah anak cutak Caringin. Mereka dipisahkan oleh kemelut politik dan secara tak sengaja, yang satu ikut Pajajaran, satunya lagi bergabung dengan Cirebon sehingga dengan sendirinya menempatkan mereka sebagai musuh.

Banyak Angga sedih. Keduanya merupakan orang-orang yang dia kagumi. Ginggi sudah jelas banyak berjasa kepada Pajajaran dan Pragola kendati kini terbukti merupakan orang Cirebon namun secara pribadi pemuda itu amat baik dan hormat terhadapnya. Atau, apakah perilaku hormat itu hanya sekedar polesan belaka karena anak muda itu menerima tugas sebagai penyelundup?

Banyak Angga mengeluh. Kalau benar begitu, maka untuk kesekian kalinya dia merasa ditinggalkan sahabat karena hal-hal yang melibatkan politik.

Dulu dia bersahabat dengan Purbajaya. Belakangan pemuda itu tewas karena terbukti orang Cirebon yang menyelundup ke Pakuan dengan tujuan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti.

Ginggi yang dia kagumi pun mendadak hilang karena pernah dituding sebagai pemberontak oleh Sang Prabu. Kini giliran Pragola yang meninggalkan dirinya. Dia sudah sayang terhadap pemuda itu, sudah mempercayainya dan bahkan menganggapnya sebagai adiknya sendiri.

Maka kini Banyak Angga harus kembali kecewa sebab ternyata Pragola hadir hanya untuk mengelabuinya.

Banyak Angga mengeluh. Mengapa politik demikian kejam, telah memilah-milah dan mengkotak-kotak pendirian. Hanya karena politik maka dua kakak-beradik terpaksa harus berhadapan sebagai musuh. Banyak Angga ngeri menggambarkan hal ini.

Kalau manusia lepas dari segala keterikatan mungkin mereka akan memandang satu sama lain sebagai suatu kesamaan dan tak terlalu kaku mempertentangkan perbedaan. Demikian Banyak Angga berpikir. Dai ambil contoh kedua orang tua itu. Ki Darma dan Ki Jayaratu khabarnya dulu merupakan seteru bebuyutan. Ki Darma perwira handal dari Pajajaran dan Ki Jayaratu sebagai perwira jagoan dari Cirebon. Setiap bertemu tentu melakukan pertempuran habishabisan dan satu sama lainnya tak ada yang bisa mengalahkan. Kini keduanya telah melepaskan keterikatan mereka terhadap negaranya sehingga tak ada lagi alasan bagi mereka untuk bermusuhan. Yang tersisa hanyalah persahabatan dua manusia di puncak Gunung dan yang satu sama lainnya saling membutuhkan. Banyak Angga berpikir, mengapa manusia tak bisa bersatu seperti dua orang tua itu, padahal pada hakikatnya semua orang saling memerlukan satu sama lainnya? Terjadinya perselisihan antara manusia barangkali terjadi karena adanya racun. Dan racun itu adalah ambisi dalam mempertahankan keberadaannya.

Maka kalau manusia sudah berjuang memenangkan ambisinya, disitulah terjadi pertentangan dan perpecahan, demikian pikir Banyak Angga.

Pemuda itu menerawang perjalanan negrinya. Hampir delapan ratus tahun lamanya, sejak negri ini bernama Karatuan Sunda (Maharaja Tarusbawa, 669 M), banyak mengalami pasangsurutnya. Kendati masa-masa itu tidak terlalu banyak kemelut yang banyak menciptakan peperangan besar, namun para leluhurnya mengakui bahwa perdamaian tidak abadi dan selalu hadir karena adanya sifat keserakahan. Yogascitra, ayahandanya, pernah meriwayatkan, betapa dahulu kala pernah terjadi perebutan kekuasaan antara Rakeyan Tamperan dan Sang Manarah (739M) dan pertumpahan darah terjadi.

Sifat serakah yang dilakukan manusia juga sempat disaksikan pada zamannya kini. Banyak Angga tahu, betapa di masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) banyak terjadi kemelut sebab Sang Prabu selalu memaksakan kehendaknya. Dan akibatnya banyak terjadi pemberontakan kecil karena negri bawahan ingin memisahkan diri.

Kehadiran agama baru yang terjadi jauh sebelum pemerintahan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja merupakan kemelut khusus yang menciptakan berbagai perbedaan kehendak. Kini kekuatan agama baru semakin merekah dan melebar dan semakin menghimpit keberadaan Pajajaran. Suasana semaikn meruncing karena, diperkeruh oleh politik yang melibatkan ambisi pribadi. Betapa Banyak Angga menyaksikan, ada kelompok yang ingin memerangi agama baru denagn dalih ingin mempertahankan keberadaan kepercaan lama. Atau sebaliknya, Banyak Angga saksikan pula ada kelompok yang ingin menghancurkan sendisendi kehidupan negri Pajajaran dengan dalih demi kepentingan agama baru. Oleh sekelompok manusia yang memanfaatkan situasi, agama dan kepercayaan digunakan sebagai alat untuk menhancurkan lawan politiknya. Ya, karena manusia terlanjur memiliki kepentingan yang terkotak-kotak, maka perpecahan dan pertentangan kerapkali terjadi.

Banyak Angga sedih dan berduka memikirkannya. Ini adalah sesuatu yang jauh berada diluar jangkauannya sehingga dia tak berdaya untuk mencegahnya.

Mengapa tak berdaya mencegahnya. Paling sedikit untuk mencegah perpecahan antara Ginggi dan Pragola, apakah juga tak bisa? Banyak Angga mengerutkan alis dalam sekali.

“Aki, saya akan segera pamit dari sini,” tutur Banyak Angga ketika makan siang berlangsung. “Bagus. Pergilah segera. Kalau bisa, esok pagi kau sudah harus berangkat,” kata Ki Darma seperti mengusir.

“Saya ingin berangkat siang ini juga, Aki,” jawab Banyak Angga. Dan hal ini seperti mengejutkan orang tua itu.

“Ha, tak secepat itu aku menyuruhmu,” katanya. “Saya ingin berangklat hari ini saja,”

Ki Darma melamun sebentar. Namun sesudah itu mengangguk tanda setuju. “Berangkatlah. Namun hati-hati di jalan sebab rintangan selalu ada,” gumam Ki Darma menerawang, tangannya mengelus-ngelus jenggot putihnya yang sebatas dada.

“Saya juga telah sadar bahwa dalam hidup ini banyak rintangan. Tentu saya akan selalu hatihati. Namun, apakah saya bisa menyingkirkan rintangan-rintangan itu, bukan saya yang memiliki kekuasaan,” jawab Banyak Angga tenang.

“Baguslah. Begitulah sebaiknya manusia berpendirian. Banyak hal berada diluar kekuasaan kita. Seperti majunya perjalanan waktu. Dia akan terus membawa perubahan dan tak seorang manusia pun sanggup mencegahnya,” kata Ki Darma sungguh-sungguh.

Banyak Angga mengangguk dan menghormat takzim. Kemudian sesudah berkemas seperlunya, dia segera mohon diri.

“Lewatlah ke lereng selatan, si tua bangka Jayaratu mungkin ingin ketemu engkau untuk yang terakhir kalinya,” kata Ki Darma.

“Tentu, saya pun perlu berterima kasih padanya,” jawab Banyak Angga.

Dan pemuda itu turun gunung melalui lereng selatan di mana dia tinggal bersama para santrinya.

Ki Jayaratu seperti yang sudah tahu bahwa dirinya akan menerima kedatangan seseorang, buktinya dia berdiri di lawang kori (pintu gerbang perkampungan) sambil berpangku tangan. Orang tua gagah itu mendahului menyapa dengan mengucapkan selamat jalan.

“Tujuanmu mulia anak muda, yaitu ingin berjuang membela keselamatan negrimu. Namun engkau pun harus arif menilai tanda-tanda zaman. Perubahan-perubahan zaman yang pasti akan berlangsung belum tentu mengganggu dan merusak. Bahkan aku sendiri berpendapat, inilah perubahan yang akan membawa jalan keselamatan bagi yang mngikuti kehendak-Nya,” tutur Ki Jayaratu.”Agama baru yang tengah kami sebarkan adalah pembawa keselamatan umat manusia,” lanjutnya.

Banyak Angga hanya menundukkan kepalanya.

“Siapa yang bilang bahwa agama baru akan menghancurkan negrimu? Tidak. Bahkan Pajajaran yang berdiri sejak ratusan tahun silam adalah sebuah negara besar yang memiliki tatanan kehidupan besar. Maka akan semakin sempurna bila tatanan bernegara di Pajajaran juga diayomi oleh tatanan agama paling sempurna ini,” ungkap Ki Jayaratu.

Banyak Angga masih menundukkan kepalanya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar