Kuda Besi (Kuda Hitam dari Istana Biru) Jilid 05

jilid 5

Saat itu Kun Hiap juga memburu dan terus berteriak, “Yah, jangan mengejarnya, jangan mengejarnya! Aku akan menurut perintahmulah!"

Wi Ki Hu bukan seorang anak kecil yang dapat dibujuk begitu saja. Tubuhnya mengendap ke bawah dan sekali kaki memijak tanah, tubuhnya langsung melampaui atas kepala Hui Giok dan turun mencegat di depan si nona.

Tian Hui Giok kerupukan dan berhenti. Lalu menyurut mundur beberapa langkah. Melihat itu Kun Hiap menggentak-gentakkan kaki ke tanah saking bingungnya  dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi waktu memandang kepada Hui Giok, dia terkejut.

Ternyata Tian Hui Giok tenang2 saja, sedikitpun tak mengunjukkan rasa takut. Bahkan malah menyungging senyuman.

"Hebat sekali kepandaian Wi tayhiap," serunya, "sungguh sesuai dengan kemasyhuran nama tayhiap. Aku tak tahu diri sehingga harus menjadi buah tertawaan.”

Wi Ki Hu memandang nona itu dari ujung kaki sampai ke atas kepala lalu berpaling dan deliki mata kepada Kun Hiap. Sudah tentu Kun Hiap gemetar namun dia tetap memberanikan diri maju menghampiri ke hadapan ayahnya.

"Yah, soal ini tiada sangkut pautnya dengan nona Tian. Dia datang untuk menanyakan keadaan adiknya," katanya.

"Mencari adiknya," sahut Wi Ki Hu dengan nada sinis, “kalau sebagai kakak tak tahu dimana adiknya, mengapa dia bertanya keterangan kepadamu?"

Kun Hiap tercengang dan tak dapat menjawab.

Pada lain saat Wi Ki Hu tertawa dingin dan beralih tanya kepada Tian Hui Giok, "Siapakah guru nona, apakah nona tak keberatan untuk memberitabukan?"

Tian Hui Giok menjawab, "Mendiang ayahku tinggal di lembah Jut-bong-koh, Kami sendiri tak tahu bagaimana panggilannya."

"Apa tak punya she ?" Wi Ki Hu menegas. "She Tian," sahut Hui Giok.

Mendengar itu seketika Wi Ki Hu tertegun. Cahaya wajahnya berobah-robah. 

Kembali Tian Hui Giok menambah keterangan, "Mamaku dipanggil orang Biau- koh tetapi namanya ..."

Mendengar itu wajah Wi Ki Hu makin pucat. Cepat dia berpaling kebelakang dan mendamprat Kun Hiap, "Binatang . .. ." — dan wut. sekonyong-konyong dia

gerakkan tangan ke belakang untuk mencengkeram bahu Hui Giok.

Tetapi nona itu gesit sekali. Sekali bergerak dia sudah menghindar ke samping sehingga cengkeraman Wi Ki Hu luput.

"Wi tayhiap kedatangan kemari bukan bermaksud buruk," seru si nona.

Tetapi Wi Ki Hu sudah maju selangkah dan tebarkan kelima jarinya untuk menerkam, Tetapi pada saat itu tampak seorang lelaki berlari-lari mendatangi.

"Cungcu," seru orang itu dengan gugup, "Poa tayhiap dari Oulam datang. Rasanya tidak bermaksud baik. Harap cungcu segera kembali."

Wi Ki Hu tertegun.

"Baiklah, aku segera pulang," katanya sesaat kemudian.

Lelaki itu makin gugup, serunya, "Cungcu, harap lekas pulang,"

"Aku tahu." sahut Wi Ki Hu marah. Pada waktu hendak melanjutkan kata-kata, kembali seorang lelaki lari mendatangi.

"Cung-cu," seru orang itu dengan napas memburu keras, "Poa lo-ya-cu telah menerobos masuk kedalam tempat tinggal nyonya. Entah ada keperluan apa."

Mendengar itu Wi Ki Hu meraung keras dan terus loncat ke udara, bersuit-suit aneh sampai berulang kali sehingga telinga orang hampir pecah.

Mendengar keterangan dari kedua anakbuah ayahnya bahwa Poa Ceng Cay datang terus menuju ke tempat mamanya, Kun Hiap terkejut sekali. Tetapi karena ayahnya sudah lari pulang, diapun lega hatinya. Bahkan dia merasa lebih longgar karena terlepas dari tekanan ayahnya.

Setelah melayang ke tanah, dan jarak tujuh delapan tombak, Wi Ki Hu berpaling dan menuding pada Tian Hui Giok, "Nona Tian, engkau seorang gadis mengapa tak tahu menjaga diri? Seharusnya ucap dan tindakanmu, jangan sampai menimbulkan cemooh orang-" 

Merah wajah Tian Hui Giok, "Wi tayhiap, kata-katamu itu terlalu berat. Aku datang kemari karena mendapat perintah dari mama, perlu apa aku harus menyembunyikan langkahku ?"

Wi Ki Hu mendengus. Waktu dia hendak berkata lagi, dilihatnya dua orang lelaki berlari-larian kencang datang menghampiri. Begitu keras mereka berlari  sehingga waktu melihat Wi Ki Hu mereka sampai tak kuasa untuk menghentikan larinya dan terus menyeruduk saja.

Wi Ki Hu kebutkan lengan baju untuk menghentikan kedua orang itu. Sebelum mnndengar laporan kedua anakbuah itu, Wi Ki Hu sudah melihat kerut wajah kedua orang itu mengunjukkan kecemasan yang hebat. Tentulah di rumah terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Tiba2 Wi Ki Hu bersuit panjang. Kumandangnya nyaring dan bergema sampai jauh sekali. Setelah itu dia berteriak keras, "Poa lotoa. jangan kelewat menghina orang !"

Teriakannya itu memmbulkan kumandang suara yang dahsyat seperti menembus ke langit.

Tiba2 terdengar suara orang tertawa gelak-gelak dari kejauhan. Itulah tawa dari Poa Ceng Cay.

"Lo-ji. apakah urusan ini, sampai sekarang engkau belum sempat memikirkan ?" seru orang she Poa itu.

Kembali Wi Ki Hu memperdengarkan teriakan aneh dan terus melambung ke udara. Ilmu ginkangnya memang hebat sekali. Begitu meluncur lurun dia sudah mencapai empat lima tombak. Selekas turun ke bumi, tubuhnya menginjak tanah dan tubuhnyapun mencelat ke muka lagi. Dalam dua kali gerakan saja, dia sudah lenyap dari pandang mata.

Melihat ayahnya sudah pergi barulah Kun Hiap berani berpaling. Dilihatnya Tian Hui Giok sedang menunduk, mata berlinang-linang airmata, rupanya seperti orang yang tengah menderita batin.

Buru2 Kun Hiap menghampiri dan berkata, "Nona Tian, akulah yang bersalah sehingga menimbulkan kemarahanmu."

Hui Giok tertawa rawan, "Ah, urusan telah terjadi dan sudah berlalu, perlu apa engkau ungkit lagi ?"

Tetapi makin nona itu tak menarik panjang urusan tadi, Kun Hiap makin tak enak 

hati. Sesaat dia tak tahu apa yang harus dikatakan.

Tian Hui Giok menghela napas. "Harap jangan memikirkan diriku, uruslah dirimu sendiri saja."

"Aku tak apa2," jawab Kun Hiap, "setelah marah, ayah takkan berbuat apa2 lagi kepadaku."

"Bukan itu yang kumaksudkan," kata Hui Giok, "tetapi kumaksudkan, kali ini dalam rumah tanggamu tentu terjadi perobahan besar, Seharusnya engkau siap sedia saja."

Kun Hiap terkejut. Dia salah faham, mengira karena mendapat hinaan dari ayahnya tentulah nona itu penasaran dan akan melapor kepada mamanya. Dan setelah itu mereka tentu akan datang lagi untuk membuat perhitungan dengan ayah Kun Hiap. Ya, tentu begitu, pikir Kun Hiap. Kalau tidak, apa perlunya Hui Giok mengatakan kalau dalam rumahtangga (Kun Hiap) bakal terjadi perobahan besar.

"Nona Tian, mengapa engkau mencemaskan hal itu? Waktu marah memang ayah sering lupa diri. Harap jangan mengambil dalam hati apa yang dikatakan ayah kepadamu tadi."

Sudah tentu Hui Giok heran. Dia tak tahu apa maksud perkataan Kun Hiap. Tetapi setelah sejenak merenungkan barulah dia meayadari maksudnya.

"Can kongcu," Hui Giok tertawa rawan, "apa engkau anggap aku ini seorang yang sempit dada? Aku takkan mengatakan kepada orang lain apa yang telah terjadi disini tadi."

Lega hati Kun Hiap mendengar janji si nona, "Kalau begitu, mengapa nona mengatakan kalau dalam rumah tanggaku bakal terjadi perobahan besar?"

Sejenak merenung. Hui Giok berdiam diri dan memusatkan pendengarannya untuk menangkap keadaan di sekeliling. Ternyata sekeliling tempat itu sunyi sekali.

"Aku hendak mengatakan bahwa kedatangan Poa Ceng Cay kemari ini tentu ada sesuatu. Kemungkinan akan menyangkut rumahtanggamu sehingga akan terjadi perobahan," kata Hui Giok.

"Ah, tak mungkin," bantah Kun Hiap, "Poa lo-ya-cu itu seorang pendekar besar pada jaman ini. Dia tak punya dendam apa2 terhadap ayahku. Apalagi sekarang dia sudah menutup diri, bagaimana mungkin dia datang kemari hendak cari 

perkara?'

"Apa engkau tak mendengar bagaimana tadi keduanya saling menyebut panggilan masing2?" tanya Hui Giok.

Kun Hiap tertegun. Tiba2 dia teringat bahwa tadi dalam tukar pembicaman, ayahnya memanggil Poa Ceng Cay dengan sebutan lo-toa (sau-dara tua) dan Poa Ceng Cay memanggii ayah Kun Hiap sebagai lo-ji atau adik kedua.

"Panggilan itu memang mencurigakan," akhirnya Kun Hiap tiba pada kecurigaan. Tetapi dia tak tahu bagaimana yang sebenarnya maka diapun memandang kepada Hui Giok.

"Apa engkau sudah menemukan?" tanya Hui Giok, "kalau bukan saudara angkat, tak mungkin mereka berbahasa dengan sebutan itu. Tetapi dalam dunia persilatan tak ada yang tahu bahwa Wi Ki Hu itu angkat saudara dengan Poa Ceng Cay. Demikian dugaan Kun Hiap. Sesaat ia tak dipat memberi keterangan apa2 kecuali hanya menatap Tian Hui Giok.

"Apakah engkau sudah menemukan?" tanya si nona, "kecuali mereka itu angkat saudara tak mungkin mereka akan menggunakan panggilan be-gitu. Tetapi dunia persilatan tak pernah mendengar bahwa Wi tayhiap dan Poa tayhiap itu angkat saudara. Tentulah dalam hal itu terselip suatu rahasia. Apalagi begitu datang,   Poa tayhiap terus langsung masuk kedalam tempat tinggal isteri Wi tay-hiap, tentulah menandakan hubungan mereka itu memang bukan hubungan biasa.

Itulah sebabnya mengapa kukatakan kepadamu bahwa dalam rumahmu bakal terjadi suatu perobahan besar."

Kun Hiap merasa bahwa setiap kata dari nona itu memang beralasan sekali sehingga dia makin tercengang dan bingung. Memang benar, jangan lagi dunia persilatan, sedang dia sendiri sebagai puteranyapun tak pernah mendengar bahwa ayahnya itu mengangkat saudara dengan Poa Ceng Cay.

Poa Ceng Cay seorang tokoh pendekar besar yang termasyhur namanya. Kalau memang dia mempunyai hubungan saudara angkat dengan Wi Ki Hu tentulah semua orang tahu dan tak perlu harus dirahasiakan. Tetapi kenyataan memang begitu. Tiada seorangpun yang tahu akan hubungan Poa Ceng Cay dengan Wi Ki Hu. Hal itu makin memperkeras dugaan Kun Hiap bahwa apa yang diucapkan Tian Hui Giok itu memang benar. Bahwa dalam hubungan Poa Ceng Cay dengan Wi Ki Hu itu tentu terdapat suatu rahasia yang tak sewajarnya.

"Can kongcu," kata Hui Giok pula, "aku akan pergi. Apabila yang kukatakan tadi benar yaitu dalam rumahmu akan terjadi perobahan besar dan engkau mendapat kesulitan karena hal itu, silakan engkau mencari mamaku. Setelah engkau pergi, 

mama tak putus-putusnya memuji engkau. Kalau engkau meminta bantuannya, beliau tentu akan membantumu."

Saat itu Kun Hiap gelisah, cepat2 dia menjawab, "Kutahu. Tetapi nona Tian, apakah engkau tak dapat menunda keberangkatan barang beberapa saat lagi'''

Sebenarnya Kun Hiap tak mempunyai alasan untuk meminta hal itu tetapi dia hanya merasa berat hati untuk berpisah dengan nona itu

Hui Giok memandang anakmuda itu dengan mata berkaca-kaca. "'Kita toh sudah saling mengenal, masa kuatir kalau takkan bertemu lagi. Sampai bertemu lagi

...”

Kun Hiap hendak mencegahnya tetapi Hui Ciok sudah melesat pergi. Kun Hiap masih tegak terlongong-longong.

Teringat kata2 Hui Giok bahwa dalam rumahnya mungkin akan terjadi sesuatu serentak dia terus lari pulang. Sepanjang jalan dia merasa keadaan di perkampungannya sunyi senyap, orang2 seperti sama bersembunyi dan tak berani buka suara.

Ketika hampir tiba dia sengaja lambatkan langkahnya dan menuju ke ruang dalam. Pada saat itu dia mendengar dan arah tempat tinggal mamanya seperti ada orang menangis. Jelas itulah tangis mamanya.

Tetapi selain itu dia tak melihat lain orang lagi. Ayah dan Poa Ceng Cay seperti tak berada dalam ruangan situ. Pada saat dia hendak mendorong pintu untuk masuk, tiba2 terdengarlah suara Poa Ceng Cay berseru.

"Lo-ji, sekarang dihadapan Wan Giok, apakah engkau masih tak mau mengatakan yang sebenarnya? Cara bagaimana sam-te(adik ketiga) telah mati, katakanlah. Kalau engkau masih punya setitik hati nurani yang suci, tidak seharusnya engkau menyembunyikan hai itu!"

Ketika mendengar suara Poa Ceng Cay itu, cepat2 Kun Hiap menarik kembali tangannya yang hendak mendorong daun pintu. Dan setelah selesai mendengar perkataan Poa Ceng Cay diapun segera mengucurkan kenngat dingin- Buru2 dia. berjongkok.

Perkataan Poa Ceng Cay itu benar2 serius sekali. Walaupun masih belum tahu jelas bagaimana persoalannya namun setelah mendengar itu barulah Kun Hiap tahu bahwa diantara ayah dan Poa Ceng Cay, masih terdapat seorang sam-te lagi. Dan sam-te itu ternyata sudah meninggal dunia. 

Mengapa sekarang Poa Ceng Cay mendesak ayahnya supaya mengatakan tentang cara kematian sam-te mereka? Apakah Poa Ceng Cay menganggap bahwa ayahnyalah yang telah mencelakai sam-te itu? Demikian Kun Hiap mulai menduga-duga. Hatinya berdebar keras dan keringatpun seperti sungai mengalir derasnya.

Setelah Poa Ceng Cay bicara, ternyata Wi Ki Hu tak menjawab. Malah saat itu mama Kun Hiap yaitu Tong Wan Giok, kedengaran membuka suara. Mama Kun Hiap juga seorang pendekar wanita yang terkenal. Dia digelari orang persilatan sebagai Soh-jiu-sian-cu atau Dewi Tangan-suci.

"Bilanglah," seru Tong Wan Giok sambil menangis, "Bagaimana dia telah meninggal?”

Namun tiada jawaban. Beberapa saat kemu-dian baru terdengar Wi Ki Hu berkata dengan nada yang sarat, "Apa yang harus kukatakan lagi?”

"Wi Ki Hu," Poa ceng Cay serentak menggerung marah, “sekarang baru kutahu bahwa engkaulah yang menjadi biangkeladinya- Ternyata engkau seorang manusia licik yang hina dina."

Bum . . . terdengar letupan keras. Jelas bahwa dalam ruangan itu telah terjadi baku hantam.

Kun Hiap terkejut dan cepat2 dia melesat ke samping terus menyusup ke sudut tembok.

Brakkkkk...baru saja dia menghindar atau pintupun sudah jebol. Wi Ki Hu menerjang keluar, Poa Ceng Cay dan Tong Wan Giokpun serempak memburunya.

"Jangan lari engkau!” teriak Poa Ceng Cay dengan suara menggeledek.

Terdengar Wi Ki Hu menghela napas pelahan seraya terus lari keluar. Poa Ceng Cay tetap mengejarnya.

Karena tak dapat menahan gejolak kejutnya, Kun Hiap berteriak memanggil mamanya. Tong Wan Giok rupanya juga hendak mengejar Wi Ki Hu. Tetapi setelah mendengar teriakan Kun Hiap, dia berhenti.

Kun Hiap cepat lari menghampiri, "Ma, ada apa ini? Apakah yang terjadi?"

Tong Wan Giok berputar tubuh. Wajahnya telah berobah sama sekali. Biasanya Kun Hiap melihat wajah mamanya itu cantik dan berwibawa. Tak pernah dia 

melihat seperti saat itu. Karena terkejut, Kun Hiap sampai melonjak kaget. "Ma, engkau kenapa?" serunya.

Tiba2 Tong Wan Giok berputar tubuh lagi seolah tak mengacuhkan puteranya. Pada saat Kun Hiap hendak mengitar ke hadapan mamanya, Tong Wan Giok kebutkan lengan bajunya mencegah, "Jangan banyak bertanya, lekas engkau berlatih pelajaran silat."

Kun hiap gentakkan kaki ke lantai, "Ma, rumah kita telah terjadi peristiwa besar, bukannya memberi tahu kepadaku tentang peristiwa itu, kebalikannya engkau malah suruh aku kembali ke ruanganku untuk berlatih silat."

Tampak Tong Wan Giok berdiri dengan tegak. Pada kesempatan itu Kun Hiappun sudah menggelincir ke hadapan mamanya. Dilihatnya wajah mamanya sarat seperti warna besi.

"Ma, jangan . . . marah. Baiklah, aku akan kembali untuk berlatih," cepat Kun Hiap berseru untuk menghibur mamanya.

Tubuh Tong Wan Giok gemetar sehingga bergoyang gontai seperti batang padi tertiup angin, Pada lain saat terhuyung mundur dua langkah. Untung dia memegang tiang sehingga tak sampat jatuh.

"Apa yang harus kukatakan? Apa yang harus kukatakan?" katanya seperti orang kehilangan faham.

"Ma, bagaimanakah persoalan yang sebenarnya. Mengapa kalian terus menerus mengelabuhi aku saja?" kata Kun Hiap.

Tong Wan Giok merentang mata lebar2," Eengkau . . . engkau tahu sampai berapa banyak?"

"Ma, aku tak tahu sama sekali. Aku minta engkau supaya menerangkan kepadaku," sahut Kun Hiap.

Tong Wan Giok menghela napas longgar, "Anakku, apakah engkau mau mendengar kata mama?"

"Ma, aku toh selalu patuh kepadamu."

Tong Wan Giok mendekap tangan Kun Hiap dan berkata lagi, "Baik. Kuminta jangan engkau bertanya lagi. Lebih baik engkau tak tahu peristiwa itu. Sungguh, mama tak membohongi engkau. Kalau engkau tahu, bahkan mamah akan 

menimbulkan banyak kesulitan."

"Ma, kalau hal2 yang tak seharusnya kutahu, tentu aku takkan bertanya. Tetapi sekarang aku benar2 ingin tahu, apakah hubungan persoalan itu dengan diriku?"

Tong Wan Giok tertawa hambar, "Sudah tentu mempunyai hubungan dengan engkau."

“Mengapa begitu?'

Tubuh Tong Wan Giok gemetar keras. Dia menyadari kalau tadi telah kelepasan omong.

"Kumaksudkan," buru2 ia menyusuli kata, "persoalan itu telah terjadi dalam rumah kita, sudah tentu mempunyai hubungan dengan engkau."

Tetapi Kun Hiap sudah merasa bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan dalam ucapan mamanya itu. Tiba2 dia berseru keras, "Ma ..."

Baru dia berkata begitu tiba2 dari atas rumah terdengar suara menggeledek, "Wan Giok. Apakah engkau tetap tak mau memberi tahu kepadanya? Kalau engkau berkeras begitu, aku tak dapat membiarkan saja " sebelum gema

teriakan itu lenyap, sesosok tubuh sudah melayang turun dari sudut wuwungan rumah. Itulah Poa Ceng Cay.

Kun Hiap gopoh menghampiri, "Poa tayhiap, silakan melanjutkan kata-katamu. Apapun yang terjadi, aku takkan terkejut."

Tampak janggut jago tua itu bertebaran sehingga menambah kewibawaannya. Sambil memegang bahu Kun Hiap, dia berkata, "Anak baik, selama duapuluh tahun ini "

"Tutup mulutmu!” tiba2 Tong Wan Giok membentaknya.

Poa Ceng Cay berpaling. "Wan Giok, apa perlunya engkau masih hendak menyembunyikannya?'

Dengan napas memburu keras, Tong Wan Giok melengking, "Kalau diceritakan, lalu apa manfaatnya?"

Mendengar itu tertegunlah Poa Ceng Cay. Sampai beberapa jenak kemudian baru dia membuka mulut lagi, "Setelah diceritakan, tentu saja suruh dia membalaskan dendam ayahnya. Tadi telah kukejarnya dan dapat tersusul. Dia sudah mengaku." 

"Dia . . . mengaku bagaimana?" Tong Wan Giok melengking. Saat itu Kun Hiap makin puyeng kepala-

Mendengar ucapan Poa Ceng Cay tadi, dia makin mendapat kesan bahwa peristiwa yang telah terjadi itu benar2 sangat serius dan diluar dugaannya.

"Dia mengaku bahwa dialah yang membunuh sam-te," tiba2 dengan nada yang tiap kata diucapkan dengan tandas, Poa Ceng Cay berkata.

Tong Wan Giok ternganga mulutnya seperti hendak berteriak tetapi tak dapat mengeluarkan kata2. Tubuhnya lunglai, pandang mata gelap dan bluk . . . rubuhlah dia di lantai.

"Ma! Ma!" teriak Kun Hiap. Tetapi mamanya sudah pingsan. Dalam pingsan itu, Tong Wan Giok seolah-olah melayang-layang jauh kembali pada belasan tahun yang lalu. Tetapi kejadian pa-da saat itu memang masih samar2 baginya sehing- ga dia sediri masih meragukan apakah kejadian2 itu benar' merupakan penstiwa yang telah dialaminya sendiri.

Karena tak berhasil meneriaki mamanya, Kun Hiap mengangkat kepala memandang Poa Ceng Cay, "Poa tayhiap, mamaku pingsan, Lekas berilah pertolongan!"

Dengan wajah penuh kerut duka, berkatalah Poa Ceng Cay, "Duapuluh tahun lamanya, dia telah menganggap seorang bajingan sebagai suaminya. Setelah sekarang mengerti, sudah tentu dia menderita kegoncangan batin yang hebat. Tenangkanlah hatimu. Sebentar lagi dia tentu akan siuman sendiri, tak perlu engkau gelisah."

Kun Hiap serentak berdiri, "Poa tayhiap, engkau mengatakan ayahku itu seorang bajingan?"

"Ayahmu bukan bajingan. Tetapi engkaupun juga selama duapuluh tahun ini mengakui seorang bajingan sebagai ayahmu."

Kun Hiap kepalkan kedua tinjunya sehingga tulang-tulanguya terdengar bergemerutukan, kemudian berseru, "Poa tayhiap, katakanlah yang jelas."

"Nak, apakah engkau belum tahu?" Sesaat itu terlintaslah sesuatu dalam benak Kun Hiap dan tubuhnyapun seperti bergetar-getar, serunya, "Apakah hal itu . . . mungkin?" 

Poa Ceng Cay mengangguk tanpa menjawab. Lalu dia menghela napas panjang. "Wi Ki Hu .. . . . apakah dia bukan ayahku?" teriak Kun Hiap.

Kembali Poa Ceng Cay hanya mengangguk.

Tiba2 Kun Hiap seperti disadarkan, "Ya, ku tahu sekarang. Bukankah ayahku itu orang she Can?"

"Ya, dia bernama Can Jit Cui."

Kun Hiap mengulang beberapa kali nama itu lalu tiba2 berseru, "Tidak, engkau ngaco! Semuanya itu bohong!"

Wajah Poa Ceng Cay serentak berobah gelap.

"Kalau tak percaya," katanya dengan sarat, "tanyakan kepada mamamu!"

Kun Hiap berpaling ke belakang, "Ma . . " tiba2 dia berhenti karena ternyata mamanya sudah tak ada disitu. Sejenak tertegun, Kun Hiap terus berteriak-teriak seraya lari masuk ke dalam.

Dia mencari kian kemari. Seluruh rumah telah diperiksa tetapi mamanya tetap tak ada. Dengan berteriak-teriak seperti orang kalap dia lari keluar lagi. Poa Ceng Cay masih berada di tempatnya tadi.

Kun Hiap menerjang maju. Entah dari mana dia memperoleh keberanian, dia mencengkeram dada Poa Ceng Cay.

Poa Ceng Cay seorang tokoh yang sakti. Tetapi entah bagaimana dia diam saja dan membiarkan bajunya dicengkeram Kun Hiap.

"Engkau ngaco belo! Engkau hanya mengacau saja. Mengapa engkau hendak cari gara2 disini, bilanglah!'' dia berteriak-teriak dengan kalap. Matanya memberingas merah, wajah menyeramkan.

Tetapi Poa Ceng Cay hanya tenang2 saja memandangnya sampai beberapa saat, baru berkata, "Engkau salah. Apa yang kukatakan, tak ada sepatahpun yang bohong. Semuanya benar!"

"Benar? Apa buktinya? Can Jit Cui, ha, ha, siapa yang pernah mendengar nama itu? Mengapa dia itu ayahku ? Mengapa dengan berpegang pada sepatah katamu saja, Wi Ki Hu berobah menjadi bukan ayahku?" 

Bret, bret, bret, karena tegang sekali, tanpa terasa tangan Kun Hiap telah mengguncang-guncang baju Poa Ceng Cay dengan keras sehingga sampai robek.

Tokoh sakti itu membiarkan saja. Dia menengadahkan kepala memandang ke langit dan berkata dengan rawan, "Duapuluh tahun yang lalu, namanya jauh lebih unggul dari Wi Ki Hu dan Poa ceng Cay ....

"Soal itu siapa yang tahu?" seru Kun Hiap.

Poa Ceng Cay tak menghiraukan kekalapan Kun Hiap dan melanjutkan berkata sendiri, "Dia . . . dia tiba2 ia tundukkan kepala dan memandang Kun Hiap

dengan pandang yang aneh.

Sinar mata jago sakti itu berkilat-kilat laksana ujung pedang yang tajam sehingga tergetarlah hati Kun Hiap dan diapun menyurut mundur selangkah.

"Dia serupa dengan engkau," kata Poa Ceng Cay pula, “muda diri gagah perwira.. Tetapi dia lebih simpatik danpada engkau. Dia tidak seperti engkau yang begitu penakut tetapi dia berani dan pandai bergaul. Dimana dia muncul tentu akan terjadi peristiwa yang romantis. Dia dia adalah ayahmu, Can Jit

Cui!"

Mendengar itu Kun Hiap berusaha untuk membayangkan tokoh yang dikatakan sebagai ayahnya itu, seorang pendekar muda yang rupawan dan romantis.

Tetapi hatinya tetap tak sam-pai. Karena sejak dia mengerti keadaan dunia, apa yang diketahui tiap hari, yalah bahwa ayahnya itu tak lain dan tak bukan hanyalah Wi Ki Hu itu. Dalam mata hatinya, hanya Wi Ki Hu itulah ayahnya.. Can Jit Cu, tak pernah didengar dan tak pernah dilihatnya. Bagaimana sekarang mendadak sontak dia harus disuruh percaya bahwa Wi Ki Hu itu bukan ayahnya? Bagaimana dia harus disuruh percaya bahwa seorang yang asing sama sekali dalam hidupnya yaitu Can Jit Cui, harus di anggap sebagai ayahnya?

Poa Ceng Cay jauh memandang ke muka. Dia seperti terbenam dalam kenangan yang jauh dan seolah tak menghiraukan segala apa yang terjadi di sekelilingnya saat itu.

“Engkau lagi mengapa?" akhirnya Kun Hiap menegur. "Aku sedang merenung," sahut Poa Ceng Cay.

Tergerak hati Kun Hiap. Serentak dia berseru, "Apa yang engkau renungkan, katakanlah." Dan kembali dia menerkam bahu Poa Ceng Cay lalu dengan sekuat- kuatnya mengguncang-guncangkan tubuh tokoh itu. 

Sebenarnya Kun Hiap bukan seorang pemuda yang kasar. Tetapi saat itu dia benar2 sudah kehilangan faham dan tak dapat menahan diri lagi.

Tenang2 saja Poa Ceng Cay menjawab, "Aku tengah merenungkan masa2 aku bersahabat dengan ayahmu dulu."

'Tidak, engkau tak kenal kepadanya. Dan memangnya tak ada manusia yang bernama Can Jit Cui itui" teriak Kun Hiap.

"Ya, waktu itu pada suatu malam yang gelap dan berangin keras " tanpa

menghiraukan Kun Hiap maka berceritalah Poa Ceng Cay:

Duapuluh tahun yang lalu pada suatu malam yang gelap dan berangin keras, Poa Ceng Cay bersama Wi Ki Hu berlari-lari di sepanjang tepi sungai Tiangkang, menuju ketimur. Keduanya masing-masing membawa pedang. Mereka tak menghiraukan pandang mata kawanan penangkap ikan yang memandang  mereka dengan keheranan. Dalam beberapa kejab saja mereka sudah berlari sejauh duapuluhan li dan tetap tak berhenti.

Mereka baru berhenti ketika dari arah samping terdengar gelak tawa seseorang. "Toako, disini," seru Wi Ki Hu.

Nada tawa itu amat perkasa sekali. Dan orang itupun berseru, "Benar, aku memang disini. Aku sungguh kagum karena kalian menepati janji."

Selesai kata2 itu dari arah yang gelap muncul seseorang. Dia berjalan dengan mendekap senjata yang terselip pada pinggangnya.

Sebuah kim-kong-cwan yang berkilat-kilat warnanya. Sedang wajah orang itu terbungkus dengan kain penutup warna hitam. Hanya pada bagian kedua matanya diberi berlubang. Wi Ki Hu dan Poa Ceng Cay serempak bersiap dengan pedangnya.

"Apakah yang membunuh tujuh orang dari perusahaan Heng-yang-piau-kiok itu engkau?" seru Wi Ki Hu.

"Saudara, adalah karena tahu kalian berdua senantiasa mencari jejak biangkeladi pembunuhan itu maka aku lalu minta tolong orang untuk mengantarkan suratku kepada kalian. Kuminta kalian datang kemari untuk bertemu dengan aku. Ah, Wi tayhiap mengapa mengulang lagi pertanyaan begitu?”

Wi Ki Hu gentakkan tangan dan ujung pedangnyapun menusuk tetapi orang 

berkerudung muka itu mundur selangkah, tepat dapat menghindari ujung pedang Wi Ki Hu dan hanya mengenai baju bagian dadanya.

Wi Ki Hu terkejut dan diam2 mengagumi ketangkasan orang menghindar. Memang tampaknya mudah gerakan menghindar itu tetapi apabila tidak memakai perhitungan yang cermat, tak mungkin dia dapat lolos dan sambaran ujung pedang.

"Tunggu," seru orang itu dengan tenang.

"Hutang darah bayar darah. Apalagi yang harus dibicarakan?" seru Wi Ki Hu.

Tiba2 orang itu tertawa keras. Nada tawanya penuh dengan kerawanan. Wi Ki Hu hendak menyerang lagi tetapi dicegah Poa Ceng Cay yang kemudian menegur orang aneh itu, " Mengapa engkau tertawa?"'

"Aku tertawa mendengar kata2 yang indah dari Wi tayhiap bahwa ' hutang darah harus bayar darah'. Tetapi entah apakah kalian tahu juga bagaimana dulu To   Hwi Hong pernah hutang darah kepadaku?"

Yang disebut dengan nama To Hwi Hong itu yalah cong-piauthau atau pemimpin dari kantor perusahaan pengantar barang Hui Hong piau-kiok. Dalam dunia persilatan, nama Hwi Hong piau-kiok itu cukup terkenal. Bahwa kali ini pimpinan piau-kiok yakni To Hwi Hong dan tujuh orang piausu dibunuh orang, benar2 menggemparkan dunia persilatan.

Wi Ki Hu bersahabat baik dengan To Hwi Hong maka dia lalu mengajak Poa ceng Cay un-tuk mengejar si pembunuh.

Sekarang Wi Ki Hu sudah berhadapan muka dengan si pembunuh. Tetapi ketika mendengar jawaban pembunuh itu, tertegunlah Wi Ki Hu.

"To Hwi Hong berasal dari perguruan silat aliran ceng-pay (lurus). Selama hidup, tak pernah menghina orang. Mengapa engkau menuduh dia berhutang darah kepadamu?''

Kembali orang itu tertawa.

"Ayah-bundaku mati ditangannya. Apakah hal itu tak dapat dianggap sebagai hutang darah?” serunya

"Tetapi bagaimana dengan keenam orang yang lainnya?" bentak Poa Ceng Cay. Orang itu menjentikkan jarinya ke batang gelang kim-kong-jwan seraya berkata, 

"Rasanya, senjata itu tak bermata." "Siapa ayahmu?' seru Poa Ceng Cay pula.

"Mendiang ayahku hanya seorang kerucuh yang tak ternama, perlu apa mengungkat namanya lagi?" alas orang itu..

Wi Ki Hu tertawa dingin, “Lalu engkau? apa engkau juga tak punya nama? Mengapa engkau tak berani memperlihatkan airmukamu?"

Bret . . . serentak orang itu mencabut kain hitam yang menutupi mukanya. Dibawah cahaya rembulan, Wi Ki Hu dan Poa Ceng Cay melihat orang itu masih muda, gagah dan tampan Hanya seri wajahnya menampilkan dendam kedukaan. Diam2 Wi Ki Hu dan Poa Ceng Cay merasa simpathi.

Sekali getarkan tangan, gelang kim-kong-jwan memancarkan sinar pelangi. Dan orang itu-pun berseru nyaring, "Kalau kalian menganggap bahwa dendam kematian orangtua itu tak seharusnya dibalas, silakan kalian turun tangan."

Wi Ki Hu dan Poa Ceng Cay saling berpandangan sampai beberapa saat. pedangnya masih menjuntai kebawah. Suatu tanda mereka tak berniat menyerang.

Orang itu tertawa lalu memberi hormat, "Na-ma ji-wi (kalian) termasyhur kemana-mana. Kini setelah bejjumpa, memang ji-wi tak bernama kosong. Karena ji-wi tak bermaksud turun tangan, maka akupun mohon pamit," habis berkata orang itu terus mundur ke belakang.

"Tunggu," teriak Poa Ceng Cay seraya menyerang maju.

Inng orang itupun dorongkan senjatanya untuk menyambut sehingga terjadi

benturan keras. Tubuh keduanya bergetar dan merekapun masing2 mundur selangkah.

Pada waktu itu Wi Ki Hu umur sekitar 30an tahun. Sedang Poa Ceng Cay sudah lebih 30 tahun. Keduanya tadi telah beradu senjata dengan orang aneh itu dan mendapatkan bahwa tenaga kepandaian pemuda itu tak dibawah mereka. Diam2 keduanya timbul rasa mengindahkan.

"Poa tayhiap benar2 tak bernama kosong. Kalau kalian berdua maju serempak, jelas aku si orang she Can takkan mampu menandingi. Mau bunuh, mau memenggal kepalaku, silakan saja. kalian membela kawan, walaupun mati tak nanti aku akan mengerutkan alis," seru pemuda itu. 

"Sahabat, engkau salah faham," seru Poa Ceng Cay, "aku hanya meminta engkau tinggalkan nama."

Pemuda itu menengadahkan muka, tertawa, "Aku yang rendah she Can, nama Jit Cui."

Wi ki Hu yang terlalu hati2 bahkan cende-rung banyak curiga, kerutkan alis. Tetapi Poa Ceng Cay yang lebih lapang dada, segera mengangkat kedua tangan memberi hormat, "Kalau saudara Can mempunyai keperluan penting, silakanlah."

Wi Ki Hu hendak bicara tetapi tak jadi.

Can Jit Cui memandang kedua orang itu lalu berkata, “Sungguh suatu kebahagiaan yang tak pernah kuimpikan bahwa hari ini aku telah berkenalan dengan ji-wi. Apabila tak ada urusan pen ting, tentulah aku akan senang sekali untuk ikut ji-wi."

Sehabis bicara dia terus enjot tubuhnya ke udara dan melayang ke atas sebuah perahu yang tertambat di tepi sungai. Sekali jari menjentik, tali penambat perahupun putus dan terus hanyut dibawa arus. Dalam beberapa kejab saja sudah mencapai di bagian tengah.

Poa Ceng Cay masih tegak berdiri seperti patung.

"Toako, dengan susah payah hari ini kita dapat menyergapnya tetapi mengapa lantas dilepaskan begitu saja?" Wi Kn Hu mengeluh.

"Ji-te, tadi mengapa engkau juga tak mau turun tangan?” balas Poa Ceng Cay.

Wi Ki Hu terkesiap, katanya, "Entah bagaimana tetapi kurasa dalam membunuh To Hwi Hong itu dia seperti terpaksa sekali. Oleh karena itu akupun lantas "

— Dia tertawa rawan dan tak melanjutkan ucapannya.

“Itulah," seru Poa Ceng Cay, "kurasa Can Jit Cui itu seorang pendekar muda yang cemerlang. Hari depannya tentu gemilang."

"Toako, selama mencari jejak pembunuh To Hwi Hong itu, banyak sekali kita mendengar keterangan yang mengejutkan bahwa pembunuhnya hanya seorang saja. Pujian toako bahwa dia seorang pendekar muda yang gagah perkasa, memang tidak berlebih-lebihan.

Poa Ceng Cay tertawa, "Kita sih hanya menduga saja. Tetapi siapa yang melakukan pembunuhan sadis itu, sukar ditentukan." 

"Eh, toako, engkau ini bagaimana? Mengapa engkau seolah-olah mmbelanya?” sanggah Wi Ki Hu.

"Aku mempunyai adik laki," kata Poa Ceng Cay, "kalau pada waktu masih kecil dia tak meninggal dunia, tentulah akan sebesar Can Jit Cui," kata Poa ceng Cay, lalu menghela napas.

"Toako, kata Wi Ki Hu, "kita berdua ini sudah mengangkat saudara. Kalau pemuda tadi memang kelakuan dan peribadinya baik, mengapa tak kita ajak menjadi saudara angkat saja?"

"Ah, saranmu baik juga," sambut Poa Ceng Cay. Tetapi saat itu perahu Can Jit Cui sudah jauh dan tak tampak lagi dari pandangan mata.

"Itulah yang pertama kali aku bertemu dengan ayahmu," kata Poa Ceng Cay kepada Kun Hiap yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kun Hiap tertegun, serunya, "Lalu apakah kalian dapat berjumpa lagi?"

Tetapi sehabis bertanya, tiba2 Kun Hiap terkesiap. Dengan bertanya begitu, dia sudah seolah mengakui bahwa Can Jit Cui itu adalah ayahnya.

Tetapi kalau benar begitu, mengapa mamanya tak pernah menceritakan hal itu kepadanya? Mengapa Wi Ki Hu juga tak pernah? Ah, tidak, tidak! Poa Ceng Cay tentu bohong.

“Toa tayhiap," serunya tertawa sinis, "memang hebat sekali cerita yang engkau karang itu!"

Poa Ceng Cay tertawa masam. Waktu dia hendak buka suara tiba2 dan ujung rumah melesat keluar sesosok tubuh wanita, "Wan Giok..." cepat Poa Cang Cay berteriak memanggil.

"Ma!" Kun Hiap juga memanggil. Tetapi wanita itu menyelundup kedalam kegelapan. Kun Hiap loncat mundur dan membiluk ke tikung gang dan melihat seorang wanita tengah mengangkat tangan dan mengayunkan ke arahnya.

Wanita itu ternyata bukan mamanya tetapi Tian Hui Giok. "O, kiranya engkau," seru Kun Hiap.

Hui Giok memberi isyarat tangan agar Kun Hiap jangan bicara.

"Wan Giok, apa bukan engkau? Mengapa engkau tak mau keluar unjuk diri dan menceritakan seluruh persoalan itu dengan terus terang," tiba2 Poa Ceng Cay 

berseru.

Sebagai penyahutan, Hui Giok malah melayang ketempat Kun Hiap dan berbisik, "Lekas ikut aku, lekas!"

"Kemana?"

Hui Giok tak menjawab melainkan menarik tangan pemuda itu diajak pergi- Kun Hiap seperti ditarik suatu tenaga hebat. Dajam beberapa kejab saja dia sudah tiba di hutan di luar lingkungan rumahnya.

"Jangan bersuara, engkau dengarkan saja," kembali nona itu memberi perintah.”

Kun Hiap pasang pendengarannya tetapi hu-tan itu sunyi senyap tiada suara apa2. Dia kerutkan alis, "Aku tak mendengar apa2."

"Aneh," Hui Giok juga heran, "baru beberapa detik yang lalu kudengar Wi tayhiap suami is-teri sedang berbantah. Tetapi mengapa dalam sekejab mata saja mereka sudah pergi!'

Kun Hiap menerobos masuk kedalam hutan tetapi tak melihat barang seorangpun juga. Dia buru2 berputar tubuh, " Apa yang mereka tengkarkan?”

Jawab Tian Hui Giok, "Tong lihiap bertanya mengapa dia membunuhnya? Dan Wi tayhiap menjawab 'aku terpaksa harus membunuhnya'. Berulang kali hanya itu tanya jawab yang mereka lakukan. Nada suara Tong lihiap makin lama makin melengking tajam sedang suara Wi tayhiap makin lama makin lemah, penuh  sesal dan derita."

"Apakah mereka menyebut nama dari orang yang dibunuh itu?" tanya Kun Hiap. "Kalau tak salah namanya Can Jit Cui," jawab Tian Hui Giok.

Jawaban singkat dan nona itu laksana petir yang memekakkan telinga Kun Hiap. Apakah keterangan Poa Ceng Cay itu betul?

Sebenarnya Kun Hiap masih meragukan keterangan Poa Ceng Cay tetapi   ternyata Tian Hui Giok sendiri juga menangkap pembicaman ayah dan mamanya yang menyebut-nyebut seorang bernama Can Jit Cui. Dengan begitu jelas bahwa Can Jit Cui itu memang ada, bukan karangan Poa Ceng Cay sendiri.

Sejenak termenung, berkatalah Wi Kun Hiap, "Biarpun orang itu memang ada, tetapi tiada hubungan dengan aku!" 

Tian Hui Giok terkesiap, " Apa katamu?" "Aku bukan anaknya!" sahut Kun Hiap.

Lagi2 Tian Hui Gjok tertegun. Sesaat kemu-dian dengan wajah yang tak wajar berkatalah dia, “Siapa bilang engkau ini anaknya?"

"Poa Ceng Cay yang mengatakan begitu .. " belum selesai berkata Kun Hiap geleng2 kepala dan berkata, 'Sudahlah, jangan membicarakan dia. Dia hanya ngaco belo saja."

Tian Hui Giok memandang pemuda itu.

"Nona Tian, apa yang engkau pikirkan?" kembali Kun Hiap mendahului buka mulut.

“Aku tengah mengingat waktu mamaku memanggil engkau."

Seketika tubuh Kun Hiap bergetar keras, serunya, "Aku aku ini apakah benar2

putera Can Jit Cui?"

"Begini saja,' kata Tian Hui Giok, "engkau pulang dan tanyakan kepada ayahbundamu."

“Tetapi mereka tentu tak ada di rumah. Dan taruh kata aku dapat menjumpai mereka, mereka tentu tak mau mengatakan."

Hui Giok sudah menduga kalau Kun Hiap akan berkata begitu maka diapun  sudah bersedia, katanya, "Tak apa, kurasa mamaku tentu tahu tentang penstiwa yang telah lampau."

Kun Hiap berdebar keras. la anggap saran Hui Giok itu memang tepat. Bukan nyonya Tian saja yang tahu siapa Can Jit Cui itu, pun Koan Sam Yang tokoh yang bergelar Selamanya-tak-mau-balas-menyerang, tentulah bersahabat baik dengan Can Jit Cui.

Dulu Kun Hiap tak pernah mendengar nama Can Jit Cui. Tetapi sekarang nama itu telah menghuni dalam hatinya seperti segumpal kabut. Dia harus menyelidiki hal itu sampai jelas betul. Dan apakah hubungan orang itu dengan dirinya?

"Nona Tian, apakah engkau masih ada usul lain?" tanyanya.

Tian Hui Giok berputar tubuh, "Jika engkau mau bersama aku pulang, engkau tentu segera dapat bertanya kepada mamaku." 

Walaupun saat itu sedang gelisah, tetapi Kun Hiap masih dapat mendengar bahwa kata2 Hui Giok itu diucapkan dengan nada kemalu-maluan. Dia tertegun, kemudian menghela napas panjang.

Tiba2 dari kejauhan terdengar suara kelin-ting yang nyaring dan bening sekali. Sebentar ber bunyi deras sebentar lambat. Tian Hui Giok kerutkan alis. "Can kongcu, hari ini kesulitan yang terjadi di rumanmu, bukan terbatas hanya pada persoalan tadi."

"O, apakah masih ada yang lain?"

"Kakak iparku datang," kata Hui Giok. Kun Hiok terkesiap. Sesaat dia tak ingat lagi siapakah kakak ipar dari Hui Giok itu.

"Langit-ambruk-bumi-bengkah Gong Gong Tin," kata Hui Giok pula.

Pada saat itu suara kelintingpun tiba. Tetapi kini bunyi kelinting itu seperti tercampur dengan kicau burung yang menusuk telinga.

“Ah, toaci-ku juga datang," seru Hui Giok pula. Toa-ci artinya kakak perempuan yang pertama.

"Tetapi . . . itu seperti bukan toaci," pula lain saat Hui Giok membantah sendiri.

"Apakah bukan mamamu?" tanya Kun Hiap. Hui Giok gelengkan kepala pelahan- lahan, "Lebih tinggi dari kepandaian mama."

Dahi Kun Hiap berkeringat, katanya, "Apa bukan sam-moaymu?"

"Ya, benar," sahut Hui Giok.

Mendengar itu serasa lunglailah tulang belulang Kun Hiap.

Pada lain saat muncul seorang Ielaki tinggi besar sembari mengguncang- guncangkan kelinting. Seperti perahu meluncur di air, cepet sekali orang tinggi besar itu sudah tiba di tempat Kun Hiap dan Hui Giok. Dia tertegun ketika melihat Hui Giok.

"Ih, ji-moay, mengapa engkau berada di si-ni? Apakah Poa  locat hendak "- dia

tak melanjutkan kata2nya karena melihat Kun Hiap. Seketika wajahnya memberingas dan membentaknya, "Ho, bangsat buduk, apakah engkau belum pernah menghadap Raja Akhirat?" 

Tinjunya yang sebesar kipas terus diayunkan ke arah Kun Hiap, bum

Melihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar, berumur sekitar 40an tahun, berpakaian nyentrik seperti paderi bukan paderi, imampun bukan imam pipinya penuh dengan benjolan dan dahinya menonjol serta menyebut Hui Giok dengan panggilan ji-moay (adik perempuan kedua), tahulah Kun Hiap kalau orang itu tentu si Langit-ambruk-bumi amblong Gong Gong Tin, kepala dari Tiga- benggolan gunung Cin-nia.

Saat itu Kun Hiap tengah memandang Gong Gong Tin. Dan Gong Gong Tin bergerak begitu cepat sekali menghantam ubun2 kepala Kun Hiap. Pemuda itu masih kesima dan tak keburu menghindar bahkan dia sudah merasakan angin pukulan itu melanda kepalanya. Tiba2 dia mendengar dua buah jeritan dari dua orang gadis, "Ci-hu, engkau gila! Berhentilah!"

"Gong Gong Tin bergerak dengan cepat tetapipun dapat berhenti dengan cepat juga, Pada saat itu juga, Kun Hiap rasakan kedua lengannya telah ditarik ke belakang oleh dua buah tangan yang halus.

"Hai, ji-moay, sam-moay, perlu apa engkau menyelamatkan dia?" teriak Gong Gong Tin.

Ketika memandang ke kanan kiri barulah Kun Hiap tahu bahwa yang di sebelah kirinya adalah Ting Hui Giok dan yang disebelah kanannya, aduh si dara

centil Hui Yan.

Kun Hiap gopoh melepaskan lengannya dan menggelincir setengah langkah ke kiri. Hui Yan terkesiap, wajahnya agak berobah. Tetapi sebelum dia membuka mulut, Tian Hui Giok sudah berseru kepada Gong Gong Tin, "Ci-hu, apa engkau pernah bentrok dengan Wi Ki Hu? Mengapa begitu datang terus turunkan tangan ganas?"

Gong Gong Tin berkaok-kaok, "Lucu sekali, tidak pernah bentrok? Hm, hm, budak kecil ini memang ugal-ugalan. Dulu hampir saja aku mati di tangannya?.. Sakit hati itu, jika tak kuhempaskan aku bersumpah tak mau jadi orang. Biarpun nanti aku akan didamprat oleh tacimu. tetapi aku harus menumpahkan dendamku. Lekas kalian menyingkir. Kalau nanti salah pukul, tacimu tentu  takkan mengampuni aku!"

Suaranya seperti geledek yang memecahkan telinga. Omongannya ngalor ngidul sehingga Kun Hiap melongo. Hanya dia mendapat kesan bahwa orang tinggi besar yang menjadi kepala benggolan gunung Cin-nia itu ternyata takut isteri.

Dengan tertawa meringis, berserulah Kun Hiap, "Sahabat Gong, engkau  salah. 

Aku belum pernah bertemu dengan engkau, mengapa engkau menuduh aku ugal-ugalan?"

"Ho, engkau bilang belum pernah bertemu aku? Kalau engkau belum pernah ketemu aku, mengapa engkau tahu aku orang she Gong?" seru Gong Gong Tin.

Kun Hiap tak mengira kalau Gong Gong Tin yang namanya begitu termasyhur sebagai benggolan ternyata seorang yang limbung. Kun Hiap tertawa kecut, "Tolong tanya sahabat Gong. Engkau kira aku ini siapa?"

Gong Gong Tin tertawa gelak2. Dia mengulang kata2 Kun Hiap dengan nada mengejek, "Tolong tanya sahabat Gong, engkau kira aku ini siapa? Hm, engkau anak anjing Can Jit Cui, sekalipun engkau berobah menjadi abu, aku tetap akan mengenalimu juga."

"Ih . . . , " Kun Hiap mengeluh, "engkau. . engkau juga kenal pada Can Jit Cui?

"Ci-hu, engkau ngaco apa itu! Engkau salah menduga orang. Dia bernama Wi Kun Hiap," teriak Hui Yan sambit gentak2kan kakinya.

Tetapi Gong Gong Tin geleng2 kepala, "Dia tentu berganti nama. Kalian harus hati2, bangsat ini paling pandai merayu wanita. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah dirayunya, bahkan mama kalian "

Tiba2 Gong Gong Tin hentikan kata-katanya dan tertawa. Kiranya dia menyadari kalau kelepasan omong.

“Mama bagaimana?'' Hui Yun mendesak, "jangan ngaco belo. Awas, taci tentu takkan mengampuni engkau "

Berobahlah wajah Gong Tin, serunya gugup, “Sam-moay, jangan mengatakan apa2. Ji-moay, engkau juga mendengar kalau aku tak mengatakan apa2. Taci- mu jangan sampai menyalahkan aku."

Melihat Gong Gong Tin begitu ketakutan setengah mati kepada isterinya, Kun Hiap hendak tertawa. Tetapi pada saat itu Gong Gong Tin deliki mata kepadanya dan berseru, "Lekas, katakanlah siapa namamu yang asli!"

"Aku memang she Wi. Orang yang engkau maksudkan itu apakah masih muda seperti aku?" sahut Kun Hiap.

Gong Gong Tin kerutkan alis dan garuk2 kepala, "Siapa tahu kalau siluman seperti engkau ini mempelajari juga ilmu merobah wajah, sehingga bisa tetap awet muda." 

Tian Hui Giok menghela napas, "Cihu aku berani memastikan dia bukanlah orang yang hendak engkau cari itu. Orang yang hendak engkau cari itu sudah lama meninggal dunia."

Gong Gong Tin deliki mata, "Bagaimana engkau tahu ini?"

'"Poa Ceng Cay yang mengatakan. Dia bilang Wi Ki Hulah yang telah membunuhnya," seru Tian Hui Giok.

Mendengar itu Gong Gong Tin berjingkrak.

“Poa Ceng Cay!" teriaknya, "Poa Ceng Cay! Kedatanganku kemari bersama sam- moay adalah justeru hendak mencari bangsat tua itu. Dia berani menahan sam- moay, hm, benar2 kurang ajar sekali. Bangsat tua, apakah engkau tak mau keluar unjuk muka?"

Hui Giok kerutkan alis, "Cihu, dengan berkaok2 begitu rupa, apa engkau kira dia akan keluar menemui engkau?"

Gong Gong Tin terbeliak "Jika begitu menandakan dia tak berani menghadapi aku."

"Sudahlah cihu, jangan macam'2 saja. Ceritakan saja bagaimana kisah Can Jit Cui itu," seru Hui Giok.

Tiba2 wajah Gong Gong Tin tampak menyesal, "Ah, sudahlah, lebih baik jangan diceritakan saja."

"Aku justeru kepingin mendengar bagaimana peribadi dan kisah Can Jit Cui itu," desak Hui Giok.

Rupanya Gong Gong Tin bukan melainkan takut kepada isteri, pun terhadap iparnya si Hui Giok dia juga jerih. Walaupun segan tetapi akhirnya mau juga dia menurut, " Baik, akan kuceritakan. Peristiwa itu telah terjadi berpuluh tahun yang lalu ..."

Tanpa menunggu Gong Gong Tin melanjutkan ceritanya, Hui Yan menarik  tangan Kun Hiap, " Mari, tak perlu kita dengarkan cerita tentang Can Jit Cui. Aku hendak bicara dengan engkau."

"Sam-moay, mengapa engkau menarik-narik orang?'' tegur Tian Hui Giok. Hui Yan deliki mata, "Aku suka bagaimana mamapun tak dapat melarang. 

Mengapa enci usil berani mengurusi aku?"

"Tak perlu engkau memaksanya.. Dia hendak mendengarkan cihu menceritakan tentang Can Jit Cui."

Hui Yan cibirkan bibir mengejak, " Dia mau mendengarkan omongan siapa, apa engkau sudah tahu pasti?"

Merah muka Hui Giok, "Engkau boleh tanya sendiri kepadanya."

Kembali Hui Yan menyengir, "Coba bilang-lah. Engkau mau ikut aku atau mau mendengarkan cerita tentang orang yang engkau tak kenal."

Kun Hiap segan bersama dara centil itu. Walaupun dia belum kenal siapa Can Jit Cui, tetapi dia lebih senang tinggal dan mendengarkan cerita Gong Gong Tin saja daripada harus ikut dengan dara itu.

"Aku ingin mendengarkan cerita tentang orang yang bernama Can Jit Cui," katanya.

Hui Yan terkesiap, serunya, “Engkau . . . , engkau ternyata mau menghindari aku

...."

Kun Hiap mundur dua langkah sehingga agak jauh dari Hui Yan tetapi makin dekat dengan Hui Giok.

Wajah Hui Yan makin pucat. Tiba2 dia tertawa, "O, sekarang aku mengerti. Ji-ci, engkau sungguh baik sekali!"

" Engkau mengerti apa? " sahut Hui Giok, "Aku sendiri tak mengerti."

Hui Yan tertawa dingin, "Apanya yang engkau tak mengerti, segala apa engkau mengerti semua."

"Sam-moay, apa maksudmu?" tegur Hui Giok.

Tetapi sebagai penyahutan, Hui Yan berputar tubuh terus lari. Setombak jauhnya dia berhenti. Kun Hiap dan Hui Giok sempat melihat bagaimana bahu dara itu bergetar keras, seperti orang menangis.

"Sam-moay, mau kemana engkau?" teriak Gong Gong Tin. "Jangan mengurusi aku," lengking Hui Yan dengan suara tangis. 

"Jangan pergi," Hui Giok ikut mencegah.

Tetapi sambil berlari Hui Yan melengking," - Dalam sekejab saja, dara itu sudah lenyap dari pandang mata.

Setelah dara itu pergi barulah Kun Hiap menghela napas longgar. Sebalknya Gong Gong Tin bingung, " Ji-moay, harap susul dia. Taci-mu tahu kalau aku keluar bersama sam-moay. Kalau pulangnya tidak bersama sam-moay, bagaimana aku berani menemui toaci-mu?"

"Dia takkan jauh perginya," kata Hui Giok, "harap engkau ceritakan saja riwayat Can Jit Cui itu. Mengapa engkau mengikat permusuhan dengan dia?"

Terpaksa Gong Gong Tin berputar-putar sejenak lalu duduk, Kalau aku memaki orang itu, apa hubungannya dengan engkau? Sebenarnya aku tiada dendam apa bahkan malah kenal dengan dia. Tetapi pada suatu kali, kami ber . . tiga, telah mengepung Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu. Pada waktu itu sebenarnya kami dapat membunuh keduanya "

Memang tak lama setelah ketiga benggolan gunung Cin-nia itu bersekutu,  mereka lalu merajalela. Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu juga hendak diganyang. Ketiga benggolan itu memiiiki ilmu ta-wa yang aneh. Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu bahu membahu untuk melawan. Walaupun kalah angin tetapi mereka masih dapat bertahan untuk beberapa waktu.

Gong Gong Tin dengan senjatanya Sam-leng cek (semacam trisula), terus menerus memagut magut seperti ular berbisa. Sedang kedua rekannya berusaha untuk mengacau perhatian Poa Ceng Cay dan Wa Ki Hu. Benar juga tak berapa lama, bahu Wi Ki Hu telah termakan ujung sam-leng-cek sehingga berdarah.

Tiba2 Gong Gong Tin melesat ke samping dua langkah dan lalu enjot tubuh melayang ke udara. Senjata sam-leng-cek ditabaskan ke bawah seraya berseru, "Bangsat, apakah kalian tak mau berlutut minta ampun?"

Karena saat itu Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu sedang melayani serangan kedua benggolan, mereka tak sempat memperhatikan serangan yang dilancarkan Gong Gong Tin itu.

Ditengah sinar matahari, senjata sam-leng-cek itu berkilat-kilat menyilaukan mata dan nyali Wi Ki Hupun sudah pecah. Dia sudah merasa tentu celaka.

Tetapi pada saat yang gawat itu sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dahsyat dan dari samping sebatang pedang telah melayang ke arah sam-leng- cek, nng . . . . .. 

Hebat sekali tenaga yang menggerakkan pedang itu sehingga tangan Gong Gong Tin sampai tersiak keatas, tubuh mencelat kebelakang sampai setombak   jauhnya.

Pada saat dia melayang ke tanah, sesosok tubuhpun melayang datang. Selagi masih melayang di udara, dia mengulurkan tangan, menyambut pedang dan terus melayang turun ke tanah.

Ah, ternyata orang itu seorang pemuda ya tampan. Saat itu Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu segera mengenalinya sebagni pemuda yang pernah mereka jumpai di tepi sungai yalah Can Jit Cui.

"Hau, sahabat Can, sungguh tepat sekali kedatanganmu. Kedua orang itu selalu memusuhi kita. Hayo kita bereskan mereka!" seru Gong Gong Tin.

Tetapi Can Jit Cui hanya tegak sembari lintangkan pedangnya di dada. Wajahnya membeku.

Gong Gong Tin terkesiap, "Bagaimana? apakah engkau tak berani kepada mereka?"

Dengan suara serius Can Jit Cui menjawab "Kedua orang itu adalah sahabatku."

Gong Gong Tin berkaok-kaok, "Orang she Can, kalau mereka berdua itu sahabatmu, bukankah engkau dengan aku orang she Gong juga ber bahasa heng-te (saudara)?"

"Ya, memang benar,' sahut Can Jit Cui, "tetapi kalau engkau sampai membikin susah mereka, engkau bukan sahabatku lagi.

Gong Gong Tin tertawa gelak2, sam-leng-cek terus ditusukkan kepada Can Jit Cui tetapi pemuda itu sambil miringkan tubuh, menangkis dengan senjata berbentuk bundar, tring . . . terjadi benturan keras

Gong Gong Tin rasakan matanya berkunang-kunang dan tubuh terhuyung mundur sampai satu langkah.

Can Jit Cui maju melancarkan tiga jurus serangan. Karena silau dengan kilatan senjata bundar dari Can Jit Cui, dia sampai mundur tujuh delapan langkah baru dapat berdiri tegak. Masih dia hendak balas menyerang tetapi Can Jit Cui tertawa dingin, “Gong lotoa cobalah engkau raba kepalamu.”

Gong Gong Tin menurut. Dia terkejut ketika kepalanya berlumur darah. Dia 

tertegun tak dapat bicara apa2. Sementara di sana dilihatnya Can Jit Cui memandangnya dengan tersenyum. Sedang Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu tertawa gembira.

"Toako, jangan gugup," seru kedua benggolan yang lain kepada Gong Gong Tin, "hanya terkelupas sedikit kulit kepala."

Mendengar itu Gong Gong Tin baru berani merabah kepalanya. Memang benar hanya sedikit kulit kepalanya yang terkelupas Tentulah Can Jit Cui yang melakukan tadi Can Jit Cui masih punya pertimbangan tak mau mencelai, kalau tidak, tentulah batok kepala Gong Gong Tin sudah re-muk.

Sejenak tertegun, Gong Gong Tin tak mau tinggal lebih lama lagi di tempat itu

Bercerita sampai disini, tanpa disadari Gong Gong Tin kembali meraba kepalanya. Kun Hiap, Hui Giok melihat jelas memang di atas ubun.2 kepalanya terdapat sebuah lingkaran bekas luka daging menonjol merah yang tak tumbuh rambutnya.

Gong Gong Tin deliki mata kepada Kun Hiap.

"Lalu bagaimana terusnya? tiba2 terdengar sebuah lengking suara dan munculnnya seorang dara.

"Hai, sam-moay, ' engkau juga mendengarkan?" tegur Gong Gong Tin kepada dara itu yang bukan lain adalah Hui Yan.

"Lalu bagaimana kelanjutannya," ulang Hui Yan.

"Kemudian pemuda itu galang gulung dengan Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu.  Mereka bersahabat intiem sekali. Memang aku pernah berjumpa- dengan mereka beberapa kali, tetapi aku tak berani cari perkara lagi. Kemudian kudengar karena soal seorang wanita she Tong, pemuda itu bentrok dengan Wi Ki Hu. Dan sejak itu tak pernah kudengar beritanya lagi." .

Hui Giok berpaling ke arah Kun Hiap, "Wanita she Tong!"

Gong Gong Tin mengangguk, "Ya, benar, tetapi aku tak begitu jelas. Hanya saja mamamu dulupun terlibat dalam penstiwa itu."

"Apa? Apakah ada hubungan dengan mama?" teriak hui Yan.

"Dulu adalah karena Can Jit Cui si buduk busuk itu , " tiba2 Gong Gong Tin

tak mau melanjutkan kata-katanya. 

"Asal tidak ngaco belo saja, mengapa engkau takut mengatakan?" seru Hui Giok

"Can Jit Cui bangsat itu memang seorang hidung belang. Tidak sedikit gadis cantik yang jatuh hati kepadanya. Diantaranya adalah sau-koh (mama  mertua)."

Mendengar itu Hui Giok dan Hui Yan tampak kurang senang. Dan berserulah Hui Yan, "Ci hu engkau ngoceh lagi. Ada kelebihan apa sih Can Jit Cui iui ”

Dia hendak mengatakan, Can Jit Cui itu seorang pria-yang bagaimana hebatnya sehingga mamanya sampai jatuh hati. Tetapi tiba2 ia berpaling kearah Kun Hiap. Ah, ia sendiripun juga jatuh hati kepada pemuda itu. Padahal Kun Hiap juga  mirip dengan Can Jit Ciu sehingga Gong Gong Tin tadi sampai salah kira. Apabila Kun Hiap itu bukan seorang pemuda yang kaku seperti robot, tentulah dia akan menjatuhkan hati setiap gadis yang melihatnya.

Memikir sampai disitu maka Hui Yan tak jadi melanjutkan kata-katanya.

Sudah tentu Gong Gong Tin tak mengert apa yang dipikirkan Hui Yan. Buru2 dia membantah, "Aku bukan ngoceh tak keruan. Kalau tak percaya nanti pulang kalian boleh tanyakan sendiri pada mama kalian."

"Baik," sahut Hui Yan, "akan kutanyakan kepada mama. Tetapi kalau tidak benar, tentu akan kuberi tahukan kepada toaci."

Sambil busungkan dada Gong Gong Tin menerima, “Ya, boleh. "

"Tolong tanya sahabat Gong," seru Kun Hiap, "apalagi yang engkau ketahui tentang Can Jit Cui itu?"

'"Terus terang," kata "Gong Gong Tin, "aku pernah kerja sama melakukan beberapa pekerjaan dengan dia. Aku hanya tahu kalau dia berkepandaian sakti, tetapi tak tahu asal usulnya. Kira-kira dia juga sealiran dengan aku. Eh, tak tahunya dia malah membantu Poa Ceng Cay dan Wi Ki Hu si kutu busuk itu "

"Tutup mulutmu!" bentak Kun Hiap.

"Bangsat," Gong Gong Tin deliki mata memaki, "tadi engkau bertanya, kalau tidak bertanya masakan aku sudi menceritakan. Mengapa engkau berani membentak aku? Apakah engkau kira aku ini manusia- yang menjadi bulan2 beritaan orang?"

Hui Yan tertawa menyengir, ''Cihu, jangan keluar tandukmu. Toaci-ku pernah menerima budinya dan sering mengatakan supaya membalas budinya." 

Kun Hiap melongo Dia tak kenal toaci dari Hui Yan dan Hui Giok tetapi mengapa Hui Yan berkata begitu. Tetapi ketika dia memandang Gong Gong Tin, barulah dia tahu apa sebenarnya yang dimaksudkan Hui Yan. Saat itu wajah Gong Gong Tin berseri tawa dan kontan berseru, " Sahabat, aku memang kasar dimulut tetapi tidak di hati, harap jangan marah."

"Wi Ki Hu itu ayahku," kata Kun Hiap, jangan sembarangan memakinya.''

Gong Gong Tin terbeliak. Sesaat kemudian tiba2 dia tertawa sampai terkial-kial. Menuding Kun Hiap dia berseru, “Engkau ini anaknya Wi-Ki Hu?- Ha, ha, ha, lucu sekali. Mengapa anak Wi Ki Hu berwajah pinang dibelah dua dengan Can Jit Cui? Hi, hi, bisa bikin orang mati karena geli."

"Tutup mulutmu!" teriak Kun Hiap seperti orang kalap.. Tetapi Gong Gong Tin tetap tertawa terus. Melihat itu, Kun Hiap marah dan terus hendak menyerang Gong Gong Tin.

"Jangan," teriak Hui Giok seraya melesat maju untuk menarik Kun Hiap. Kun Hiap masih meronta untuk melanjutkan keinginannya melabrak Gong Gong Tin.

Tiba2 Gong Gong Tin berhenti tertawa dan... menjerit aneh, "Poa bangsat tua, kiranya- engkau bersembunyi disini."

Habis berkata dia berkisar tubuh dan terus melesat keluar, loncat melayang ke udara dan ayunkan tangannya melepaskan hantaman kearah sebatang pohon besar.

Dari pohon itu tampak sesosok tubuh melayang pindah ke lain pohon. Brak . . . sebuah dahan sebesar lengan orang sempal dan jatuh ke tanah.

Selekas turun ke tanah, Gong Gong Tin melambung lagi ke udara dan melayang masuk kedalam gerumbul pohon.

Menyaksikan itu Kun Hiap melongo, serunya, "Tak kira kalau dia memiliki kepandaian yang begitu sakti.”

Hui Yan tertawa, “Semua itu adalah toaciku yang mengajarkan. Kalau engkau kepingin dengan kepandaian semacam itu, akupun dapat mengajarkan."

Dengan kata2 itu dia hendak mengatakan bahwa sekalipun toacinya hebat, tetapi dia (Hui Yan) juga tak kalah. Tetapi setelah berkata itu, dia tersipu-sipu malu sendiri. Apalagi setelah melihat Hui Giok menyengir, buru2 Hui Yan berputar tubuh. 

Pada saat itu dari kejauhan terdengar derap kuda berlari mendatangi dan tak berapa lama, seorang penunggang kuda masuk kedalam hutan itu- Ternyata penunggang kuda itu bukan lain adalah Wi Kiam Liong, paman dari Kun Hiap. Sudah tentu Kun Hiap girang bukan kepalang.

"Hai, engkau sudah kembali," seru Wi Kiam Liong ketika melihat Kun Hiap. Kun Hiap cepat lari menghampiri susiok atau paman-gurunya itu, "Paman Wi,

aku memang sudah lama yang pulang.. Tetapi mengapa engkau baru sekarang

pulang?"

Wi Kiam Liong mengatakan bahwa selama menempuh perjalanan pulang, diapun harus mera-wat lukanya. itulah sebabnya dia tak mau berja-lan cepat, " Toako dan toasoh apa baik2 saja? " tanyanya.

Sebenarnya pertanyaan itu memang sebuah pertanyaan yang lazim tetapi bagi Kun Hiap dirasakan seperti sembilu yang menyayat hatinya. Seketika wajahnya berubah pucat.

"Mereka .. mereka "

Melihat sikap Kun Hiap begitu gugup, Wi Kiam Liong menduga tentu terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Cepat dia loncat turun dari kudanya dan berseru, "Engkau ini bagaimana? Apakah engkau tak enak badan?"

Setelah menghela napas barulah Kun Hiap berkata lagi, "Mereka...mereka...

paman kenalkah engkau dengan seorang yang bernama Can Jit Cui?"

Saat itu Wi Kiam Liong sedang rentangkan kedua tangan untuk memeluk Kun Hiap yang diduga kurang enak badan. Tetapi demi mendengar pertanyaan anak itu, seketika Wi Kiam Liong tertegun seperti patung. Karena kedua tangannya masih terpentang maka luculah keadaannya.

Beberapa jenak kemudian barulah dia dapat berkata, "Engkau engkau

akhirnya tahu juga! Ah, ayahmu tentu tak mungkin akan mencegahmu keluar ke dunia luar. Dan sekali engkau keluar, engkau tentu tahu persoaian itu."

"Tahu apa?' tanya kun Hiap.

Wi Kiam Liong tertawa masam, "Tahu bahwa di dunia ini terdapat seorang yang bernama Can Jit Cui."

"Lalu? Kalau di dunia ini terdapat orang yang bernama Can Jit Cui, lalu 

bagaimana? Mengapa ada orang mengatakan bahwa aku itu putranya Can Jit Cui."

Wajah Wi Kiam Liong menampilkan rasa kejut sekali, "Engkau puteranya, siapa yang bilang?"

"Poa Ceng Cay. Nona Tian juga mendengar keterangan itu," Kun Hiap berpaling tetapi tak melihat kedua saudara Tian.

"Ngaco, ngaco!” seru Wi Kiam Liong, tetapi bagaimana dapat dipastikan kalau engkau ini puteranya?”

"Engkau, engkau juga kenal dengan orang itu?" gopoh Kun Hiap bertanya.

Wi Kiam Liong mengangguk. Katanya dengan hati yang berat. "Aku memang kenal dia. Ya, akn memang kenal tetapi pada waktu melihatnya, dia sudah meninggal."

Kun Hiap maju selangkah, "Dia mati karena dicelakai siapa?"

Wajah Wi Kiam Liong makin berobah lesi, katanya, "Aku . . aku tak tahu." "Engkau ngaco belo. Kutahu, ayahlah yang membunuhnya."

Wi Kiam Liong lemas, "Siapa yang bilang kepadamu?''

"Peristiwa itu sekarang sudah bukan rahasia lagi," kata Kun-Hiap dengan mantap. "Semua orang sudah tahu."

Wi Kiam Liong mundur beberapa langkah dan duduk di bawah sebatang pohon.

“Pada waktu itu kepandaianku masih rendah. Toako sering datang memberi petunjuk. Tiap setengah tahun sekali dia tentu datang kepadaku. Dia pernah mengatakan bahwa dia telah mengikat persahabatan dengan salah seorang pendekar muda yang gagah perkasa, berkepandaian sakti. Namanya Can Jit Cui. Dia mengagumi orang itu dan menyebutnya sebagai sam-te. Tetapi pada suatu hari si 2 toako datang dengan wajah yang tegang sekali "

Wi Kiam Liong membayangkan peristiwa pada hari itu. Dilihatnya Wi Ki Hu memasuki rumah dengan langkah yang sarat sambil mencekal pedang.

Pedangnya berlumuran darah yang sudah mengental sehingga melekat pada mata pedang. Karena ujung pedang menjulur ke tanah maka waktu berjalan ujung pedang itu terseret dan bergesek dengan tanah sehingga menimbulkan suara bergemerincingan. 

Saat itu Wi Kiam Liong sedang berlatih silat di luar rumah. Wi Ki Hu seperti tak melihatnya. Sudah tentu Wi Kiam Liong terkejut dan berteriak memanggil, "Toako, toako "

Tetapi Wi Ki Hu seolah tak mendengar dan terus masuk kedalam rumah lalu duduk. Sekali melepas maka pedang Kim-liong-kiam yang telah mengangkat namanya selama bertahun-tahun itu-pun jatuh, ke lantai. Tetapi dia tak mau memungutnya dan tetap duduk seperti orang yang kehilangan semangat.

Melihat itu Wi Kiam Liong makin kaget. Mengira kalau ada musuh tangguh yang akan datang mengejar Wi Ki Hu maka Wi Kiam Liong-pun berpaling ke belakang. Tetapi tak ada apa2. Dia masuk kembali dan berteriak, "toako, apakah engkau terluka?"

Wi Ki Hu tetap diam mematung. Beberapa saat kemudian baru dia gelengkan kepala.

"Lalu apa yang terjadi?" Wi Kiam Liong makin gugup.

Kata Wi Hu, "Engkau lihatlah kesana. Dia masih disitu atau tidak. Apakah dia

mati?"

Karena perkataan itu tiada kepala dan ekornya, Wi Kiam Liong tak dapat mengerti maksudnya.

"Siapa? Dan dimana orang itu?'' serunya-

Wi Ki Hu mengangkat kepala dan berkata, "Ke arah timur, kira2 tiga empat li, dibawah sebatang pohon besar."

"Baik, aku akan ke sana," kata Wi Kiam Liong. Waktu itu dia masih seorang anakmuda yang belum berpengalaman. Dia tak tahu apa peristiwa yang terjadi, dia terus lari keluar. Tiga empat li berlari, benar juga dia melihat sebatang pohon liu tua yang dahan dan daunnya berhamburan di tanah. Di sebelah pohon itu terdapat sekubang darah dan percikan darah yang berceceran sampai jauh kedepan. Tetapi disitu dia tak melihat barang manusia.

Wi Kiam Liong menurutkan jejak darah itu. Lebih kurang setengah li jauhnya, barulah dia melihat seorang lelaki yang berlumuran darah dan rubuh di tengah semak di tepi jalan.

Buru2 dia menghampiri. Dilihatnya orang itu tak bergerak. Dia kira tentu sudah mati, tetapi ketika dia hendak pergi, kedengaran orang itu berseru dengan 

lemah, "Sahabat, tunggu dulu."

Wi Kiam Liong berputar tubuh. Dilihatnya orang itu mengangkat kepala. Wi Kiam Liong terkejut sampai mundur beberapa langkah. Kiranya orang itu telah menderita luka yang parah sekali Kepalanya hampir separoh telah terbelah,  darah masih mengucur deras, keadaannya menyeramkan sekali.

Setelah menenangkan diri barulah Wi Kiam Liong berani menegur, "Engkau . .. engkau, ini siapa ?"

Orang itu terengah-engah. Saat itu Wi Kiam Liong baru dapat melihat jelas. Walaupun terluka berat tetapi orang itu seorang muda yang tampan dan gagah.

"Apakan engkau. kenal dengan Tong Wan Giok lihiap?" kata orang itu.

"Aku tahu dia tetapi belum pernah bertemu," sahut Wi Kiam Liong. "Aku mempunyai sebuah benda yang amat berharga. Akan kuhaturkan

kepadamu. Asal kelak engkau bertemu dengan Tong lihiap, sampaikanlah kepadanya bahwa aku telah mati di tangan Wi Ki Hu. Aku Can Jit Cui tak

mengira kalau bakal mati di tangan Wi Ki Hu."

Mendengar orang itu menyahut nama Wi Ki Hu, Wi Kiam Liong menjadi gugup. Tanpa menghiraukan barang berharga apa yang akan diberikan orang itu serentak dia gelengkan kepala menolak, "Sudahlah, jangan melanjutkan kata- katamu. Wi Ki Hu itu suko-ku (kakak seperguruan). Kalau engkau mati di tangannya, tentulah engkau memang harus mati. Jangan bicara lagi!"

Napas Can Jit Cui memburu keras dan tubuhnya berdiri tegak. Menyaksikan itu, Wi Kiam Liong seperti melihat hantu hidup, seketika kakinya lemas. Dia hendak lari tetapi seperti tak. bertenaga.

Setelah berdiri, tubuh Can Jit Cui terhuyung2. Tiba2 dia menuding Wi Kiam Liong dan berseru. "Engkau harus memberi tahu kepada Tong Wan Giok, Kasih

tahu kepadanya yang membunuh aku adalah Wi Ki Hu. Engkau harus

meluluskan permintaanku ini. Engkau harus meluluskan permintaanku "

Karena takut Wi Kiam Liong gopoh msnjawab, "Baik, aku akan melakukan permintaanmu. Tetapi siapakah namamu ?”

"Aku hernama .... Can Jit Cai . . . Tong .... Wan Giok - . - Wi Ki Hu .... ha, ha . . .

." tlba? Can Jit Cui tertawa aneh dan pada lain saat tubuhnya diam tak bergerak. Sekalipun tahu kalau Can Jit Cui sudah mati tetapi Wi Kiam Long masih 

ketakutan. Sampai beberapa saat kakinya masih lemas.

Setelah menenangkan diri baru dia berani menghampiri. Begitu menyentuh tubuh Can Jit Cui, dia tahu sudah mati sungguh, Dia lalu mencari ranting dan daun untuk menimbuninya lalu dia berlari pulang. Didapatinya Wi Ki Hu masih duduk seperti patung.

Wi Ki Hu tiba2 mengangkat kepala. Wi Kiam Liong terkejut sekali melihat wajah wukonya. Dalam waktu beberapa kejab saja, ia melihat wajah sukonya pucat lesi sekali.

“Apa dia mengatakan apa2 kepadamu?” tanya Wi Ki Hu.

“Ya, ada,” sahut Wi Kiam Liong, “dia minta aku supaya memberitahu kepada Tong Wan Giok, bahwa engkaulah yang membunuhnya."

Serentak Wi Ki Hu mencengkeram lengan sutenya dan dengan mata melotot seperti akan mencuat keluar, dia berseru keras, "Apnkah engkau meluluskan?"

Bukan main sakit lengan Wi Kiam Liong dicengkram sukonya itu. Buru2 dia berseru, "Aku . . . karena saat itu ketakutan, terpaksa meluluskan."

"Engkau takut apa?” bentak Wi Ki Hu, "dia kan sudah mau mati, mengapa takut? Mengapa engkau mau meluluskan?"

Selama ini belum pernah Wi Kiam Liong melihat sukonya marah sedermkian hebat. Karena takutnya, dia sampai tak dapat menjawab.

Setelah mencengkeram sekeras-kerasnya sam-pai beberapa jenak barulah Wi Ki Hu dapat menumpahkan kemarahannya dan lalu melepaskannya, "Kiam Liong, engkau .... engkau akan sungguh memberitahu kepada nona Tong."

Kiam Liong gopoh menggoyangkan tangan, "Tidak, sepatahpun aku takkan bilang kepadanya."

Wi Ki Hu terkulai duduk lagi dan mengingau seorang diri, "Bagaimana aku ini ? Bagai mana aku harus mengatakan kepadanya?"

"Suko, Can Jit Cui itu apakah bukan anakmuda hebat yang sering engkau

katakan itu. ”

"Jangan membicarakan dirinya lagi. Sudah, selanjutnya jangan mengatakan tentang dirinya.'' bentak Wi Ki Hu marah. 

Bentakan itu membuat Wi Kiam Liong terkejut setengah mati sehingga dia mundur beberapa langkah dan sandarkan diri pada tembok. Mukanya berohah pucat.

-----

"Sejak hari itu," Wi Kiam Liong mengakhiri penuturannya kepada Kun Hiap, "aku tak pernah mengatakan nama Can Jit Cui. Kun Hiap, hari ini kalau engkau tidak berkeras minta supaya aku menceritakan, akupun takkan bilang apa2."

Peristiwa berpuluh tahun yang lalu, seperti melintas pula dalam kenangan Wi Kiam Liong. Walaupun sekarang dia sudah menjadi seorang tokoh persilatan yang ternama tetapi apabila teringat akan peristiwa berdarah itu, dia tetap bercekat dan tegang.

"Apakah waktu itu engkau mengenali wajah Can Jit Cui?" tiba2 Hui Giok bertanya.

Wi Kiam Liong menghela napas, "Mengapa tidak mengenalinya ? Waktu Kun Hiap mulai berangkat dewasa dan wajahnya makin mirip dengan Can Jit Cui, kutahu kalau dalam peristiwa berdarah ini tersembunyi suatu rahasia besar, Tetapi aku tak berani berkata apa2 karena bentakkan suko pada waktu itu, serasa masih mengiang-ngiang di telingaku."

Pelahan-lahan Hui Giok menghampiri ke samping Kun Hiap dan berkata, dengan berbisik, "Kiranya sekarang engkau tentu sudah agak mengerti, bukan?"

"Ya, kutahu," jawab Kun Hiap, "tetapi aku tetap tak mengerti."

Memang dia mulai agak terang tentang peristiwa itu tetapi rasanya peristiwa itu masih seperti terbungkus kabut tebal sehingga dia tak jelas. Selama ini tak pernah dia mendengar behwa di dunia pernah hidup seorang lelaki yang bernama Can Jit Cui. Kini dia sudah percaya akan adanya hal itu. Orang itu adalah saudara angkat dari ayahnya. Wi Ki Hu. Tetapi kemudian dibunuh oleh ayahnya. Dan Poa Ceng Cey mengatakan bahwa dia adalah putera dari orang yang berna-ma Can Jit Cui itu.

Begitulah yang diketahui Kun Hiap. Riipanya masih banyak sekali yang belum diketahuinya. Dia masih belum percaya bahwa dalam perlstiwa itu terselip suatu rahasia besar. Dia hanya merasa bahwa Can Jit Cui itu tentu masih mempunyai hubungan dengan dirinya. Dan sekarang dia ingin tahu lebih jauh, apakah hubungan dirinya dengan Can Jit Cui.

“Paman," tanyanya pula, "apa lagi yang engkau ketahui tentang diri Can Jit Cui 

itu ?"

Wi Kiam Liong gelengkan kepala, "Aku tak tahu yang lain2. Sebelum dia menghembuskan napas terakhir, aku memang datang dan itulah yang perta-ma kali dan terakhir aku melihatnya, Sebelum itu aku hanya mendengar ayahmu ... "

Waktu mcngatakan 'ayahmu', entah bagai-mana tiba2 Wi K.am Liong seperti ragu2 dan segara beralih kata, "Aku hanya mendengar suko menceritakan tentang kemashuran namanya. Suko sering bilang, ‘setelah nanti kepandaianku sudah jadi, maka kami berempat tentu akan merupakan empat-serangkai yang akan menggemparkan dunia persilatan.’"

"Kemudian setelah Can Jit Cui meninggal, apakah ada perobahan sikap dari ayah?" tanya Kun Hiap."

"Mengapa tidak?" jawah Wi Kiam Liong, "ada kira2 tujuh sampai delapan hari dia tak mau keluar rumah. Setiap hari hanya mondar mandir dalam ruang kamarnya. Pada hari kesepuluh barulah nona Tong datang mengunjungi.... ah kuingat

persoalan itu memang aneh. Nona Tong, dia. "

Berkata sampai disini Wi Kiam Liong memandang Kun Hiap sejenak dengan sikap ketakutan. Karena yang dimaksud nona Tong itu bukan lain adalah Tong Wan Giok, mama Kun Hiap sendiri.

"Paman," seru Kun Hiap," karena sudah sampai begini, mengapa engkau takut ? Apa yang menyangsikan dalam peristiwa waktu itu, harap engkau mengatakan dengan terus terang saja."

"Aku . . . belum pernah bertemu dengan suko. Dia . . . dia "

"Poa Ceng Cay telah membuka rahasia Wi tayhiap yang telah membunuh Can Jit Cui. Dia lalu meloloskan diri entah kemana. Mau kemana engkau hendak mencarinya?" seru Hui Giok dengan mengejek.

"Kutahu, dalam hidupnya hanya sekali itu saja dia telah melakukan kesalahan besar," kata Wi Kiam Liong.

"Lekas katakan, apa yang terjadi setelah mamaku datang waktu itu?" Seru Kun Hiap.

Wi Kiam Liong terkesiap
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar