Kuda Besi (Kuda Hitam dari Istana Biru) Jilid 13 (Tamat)

jilid 13 (Tamat)

Diluap oleh emosi maka Tong Wan Giok telah memberi peringatan kepada putranya dengan kata-kata, yang cukup keras.

Kun Hiap gelagapan. Apalagi didengarnya nada kata2 mamanya tadi amat sendu dan saat itu mamanya berpaling memandang ke arah Wi Ki Hu.

Tampak Wi Ki Hu tenang saja tak menghiraukan sikap dan kata2 Tong Wan Giok.

Kun Hiap seperti tenusuk ujung pedang mendengar kata2 mamanya itu. Serentak dia mengertek gigi dan berseru, "Baik, bawalah kemari.”

Hui Giok cepat mengangsurkan kuda besi.

Sekali teguk maka cairan manis itupun segera masuk ke dalam tenggorokan Kun Hiap. Gluk, begitu masuk ke dalam perut, sebuah aliran panas segera mengalir dari bawah ketiak menuju ke jari tengah. Tapi serentak aliran itu berhamburan balik kembali.

Dia terkejut dan kebaskan tangan ke atas. Wut, segulung angin bertenaga kuat berhamburan, menyiak Tong Wan Giok ke belakang dan menerbangkan pasir dan batu.

Kun Hiap sendiri kaget tetapi dia rasakan hawa-murni dalam tubuhnya hanya naik turun di antara jalandarah Thian-coan-hiat dan Tiong-jong-hiat saja. Hanya lengan kirinya yang sudah bertenaga kuat, dia minta semua obat dalam kuda besi lainnya dan diminumnya habis.

Setiap obat dalam kuda besi dapat memulihkan kembali sebuah uratnadi besar sehingga hawa-murni dalan tubuhnya akan lancar lagi.

Saat itu Hui Yan sudah sadar dari pingsannya, Berpaling ke arah Wi Ki Hu, 

terlihat wajah lelaki itu tampak rawan, Entah bagaimana tiba2 timbullah rasa kasihan dalam hatinya.

"Wi tayhiap," katanya, "tenaga-sakti dan ingatan Kun Hiap akan pulih kembali. Mengapa engkau tak cepat2 tinggalkan tempat ini?"

Wi Ki Hu terkesiap. Rupanya dia tak menduga Hui Yan akan berltata demikian demi memikirkan keselamatannya.

Beberapa saat kemudian baru terdengar dia menyahut, "Tidak, aku tak ingin pergi."

"Kurasa Kun Hiap akun membunuhmu nanti!" kata Hui Yan pula.

Kumis dan jenggot Wi Ki Hu meregang serunya tegas, "Apa yang telah kuperbuat dalam hidupku, tak pernah aku merasa menyesal. Andaikata aku jadi setan, pun harus terang-terangan. Perlu apa aku harus pergi?"

"Tutup mulutmu!" tiba2 terdengar suara hentakan yang menggeledek sehingga bumi seolah bergetar.

Pandang mata Hui Yan kembali berkunang. Dia berusaha untuk menghimpun semangat memandangnya. Tampak Kun Hiap sudah berdiri. Walaupun tubuh berlumutan kotoran dan pakaian compang camping, tetapi pemuda itu tampak gagah sekali.

Jelas dilihat Hui Yan bahwa lengan kiri pemuda itu masih menjulai lemak ke bawah seperti tak bertenaga. Sepasang matanya berapi-api memandang Wi Ki Hu.

Tetapi Wi Ki Hu tetap bersikap tenang saja. Dia berpaling memandang Kun Hiap dan beberapa saat kemudian baru berkata, "Apaka engkau sudah sembuh?

Tetapi mengapa lengan kananmu itu?”

Memang walaupun seluruh tubuh Kun Hiap sudah dapat mengalirkan tenaga- sakti tapi tak dapat mengalir ke arah lengan kanannya. Bahwa dia mampu memegang pedang itu saja adalah karena memaksa diri dengan susah payah.

Namun akhirnya dia memindahkan pedang ke tangan kiri juga. Tanpa menjawab pertanyaan Wi Ki Hu, dia balas bertanya, "Apakah dulu engkau ingat pernah membayangkan bahwa kelak akan tiba hari seperti saat ini ?”

Wi Ki Hu tertawa gelak2. Nadanya di luar dugaan, tenang sekali. Serunya, “Tidak, aku memang tak pernah membayangkannya," 

Kun Hiap maju selangkah. Waktu menginjak segunduk batu, batu itu terdengar bergemerutukan. Ternyata batu itu hancur berantakan.

Pedang di tangan kiri pelahan-lahan diangkat ke atas. Karena disaluri tenaga- dalam dari tangan kirinya maka batang pedang itupun berdering dering keras.

"Dulu engkau telah membunuh seorang saudara-angkatmu, sekarang engkau hendak mengatakan apa?"

Wajah Wi Ki Hu memancarkan seri tawa. Walaupun tawanya bernada hambar tetapi dia memang tertawa. kemudian dengan tenang dia berkata, "Tak ada yang perlu kukatakan apa lagi. Aku telah merawat dan membesarkan engkau. Demikian pula telah memperlakukan dengan baik kepada mamamu selama duapuluh tahun. Kelak kalian juga akan menikmati hari2 bahagia. Untuk itu aku sudah ikut merasa bahagia juga. Nah, mengapa engkau tak lekas turun tangan? Mau tunggu apa lagi?"

Kun Hiap memegang pedangnya erat-erat. Menurut nalarnya, karena telah membunuh saudara-angkat dan merebut isterinya selama duapuluh tahun, tentulah Wi Ki Hu akan gemetar menghadapi kematian.. Tetapi mengapa dia begitu tenang sekali?

Ujung pedang Kun Hiap sedikit demi sedikit makin maju tetapi berbareng, itu perasaan hatinyapun makin berat..

Wi Ki Hu tak mau memandang Kun Hiap dan tak mempedulikan sama sekali maut yang akan tiba itu. Dia hanya memandang2 ke arah Tong Wan Giok dengan terlongong-longong.

Sinar mata Wi Ki Hu sangat teduh, bukan seperti orang yang ketakutan akan mati di bawah ujung pedang.

Waktu melihat ujjung pedang makin mendekati dada Wi Ki Hu, sebenarnya Tong Wan Gi-ok akan gembira sekali. Tetapi setelah melihat sinar mata Wi Ki Hu,  entah bagaimana ada sesuatu yang timbul dalam hatinya. Dia ingin menghalau perasaan itu tetapi malah makin lama makin berat.

"Hiap-ji, tunggu dulu. Aku hendak bertanya lagi kepadanya," akhirnya dia berseru mencegah puteranya.

Kun Hiap tertegun. Sebelum dia sempat menarik kembali pedangnya, Wi Ki Hu sudah melantang, "Wan Giok, apa yang hendak engkau tanyakan lagi? Sudah kukatakan semuanya," 

Tong Wan Giok melesat maju ke muka Wi Ki Hu. Lebih dulu dia suruh Kun Hiap mundur. "Ma, hati-hatilah," kata Kun Hiap.

Wi Ki Hu tertawa hebat "Tak perlu engkau kuatir, Kun Hiap. Cobalah pikirkan. Kalau aku memang mempuuyai pikiran untuk mencelakai mamamu, masa aku  tak dapat melakukannya selama duapuluh tahun yang lalu. Kalau selama itu saja aku tak berbuat demikian, masakan aku harus menunggu sampai hari ini?"

Merah muka Kun Hiap mendengar ucapan itu. Dia segera mundur beberapa langkah tetapi tetap bersiap dengan pedangnya.

Dengan nada sarat bertanyalah Tong Wan Giok kepada Wi Ki Hu, "Mengapa engkau membunuh dia? Bilanglah, mengapa engkau harus membunuhnya?"

"Wan Giok, aku tak percaya kalau engkau tak tahu. Aku membunuhnya, itu

karena di luar kehendakku tetapi aku memang telah membunuhnya karena

aku mencintai engkau,"

Wan Giok menghela napas dalam2, "Tetapi engkau telah membunuhnya dan engkaupun telah mengambil aku sebagai isteri. Tetapi selama dua-puluh tahun ini kita hanya menjadi suami isteri secara simbolis. Mengapa begitu?"

"Demi cintaku kepadamu," sahut Wi Ki Hu.

"Tidak," teriak Tong Wan Giok, "engkau tentu hendak menyiksa batinku. Engkau benci kepadaku karena aku mencintainya. Oleh karena itu maka engkau membunuhnya. Dan kemudian engkau menyiksa batinku agar setiap saat aku merasa bahwa aku ini adalah miliknya dan bukan isterimu. Karena aku telah mempunyai putera dari dia maka engkau tak mau menyentuhku lagi."

Habis berkata Tong Wan Giok terus menampar muka Wi Ki Hu tetapi kali ini Wi Ki Hu menyambarnya. Melihat itu Kun Hiap terus gopoh menghampiri ....

"Tunggu!" teriak Wi Ki Hu mencegah anak muda itu, "sebenarnyaku sudah tak mau bilang apa-apa lagi. Tetapi karena kalian mendesak begitu rupa, aku terpaksa akan bicara."

Karena dia masih memegang erat-erat tangan Tong Wan Giok, Kun Hiap terpaksa tak berani turun tangan.

"Bilanglah, hayo bilanglah! Kurasa engkau masih dapat berkata apa lagi," seru Tong Wan Giok. 

"Wan Giok," kata Wi Ki hu dengan nada sarat, "engkau tak percaya kalau aku benar-benar mencintaimu? Sejak pertama kau bertemu padaku sampai saat itu."

Mendengar itu Tong Wac Giok tertawa keras.

“Engkau sudah mau mati, masih mau merayu apa lagi. Apa gunanya?" Wajah Wi Ki Hu pucat seperti mayat dan tubuhnyapun gemetar, serunya,

"Sebelum engkau tahu kalau aku membunub Can losam, apakah tidak ada setitik rasa cintamu kepadaku?"

Tong Wan Giok menyahut hambar, "Waktu itu aku hanya berterima kasih sekali kepadamu karena engkau mau mengambil aku sebagai isteri. Kalau engkau tidak melakukan hal itu aku tentu akan mendapat malu besar!"

Cahaya wajah Wi Ki Hu mulai tenang kembali, katanya, "Selama duapuluh tahun kita menikah, apakah hanya rasa terima kasih saja yang berada dalam hatimu?"

"Ya," sahut Tong Wan Giok, "hanya rasa terima kasih saja. Selama duapuluh tahun ini, engkau pura-pura menjadi seorang kuncu karena sengaja tak mau menyentuh aku. Tetapi hal itu takkan dapat menutupi sifat pribadimu yang sebenarnya. Hm, engkau kira peristiwa itu takkan ada orang yang tahu! Apakah engkau tak pernah memikirkan bahwa pada suatu hari perbuatanmu itu akan diketahui orang?"

Tenang-tenang saja Wi Ki Hu berkata, "Kalau pada waktu itu aku tak mengambilmu sebagai istri, lalu engkau bagaimana? Bilanglah?"

Tubuh Tong Wan Giok agak bergetar. Peristiwa selama duapuluh tahun kembali membayang di pelupuknya. Pada waktu itu tiba-tiba Can Jit Cui lenyap tak ketahuan dimana rimbanya. Pada saat itu, dia sudah mengandung. Sebagai puteri dari keluarga tokoh persilatan yang ternama kalau sebelum menikah sudah melahirkan anak, bukan saja dirinya akan dinista orang pun keluarganya pasti akan hancur dalam kecemaran.

Kegelisahan dan keresahan hati Tong Wan Giok bukan alang kepalang. Beruntung muncullah Wi Ki Hu yang bersedia mengawininya. Dengan begitu terlepaslah dia dan keluarganya dari nasib kenistaan.

Saat itu tak terperikan rasa terima kasihnya kepada Wi Ki Hu. Tetapi sekarang setelah mengetahui bahwa Wi Ki Hulah yang telah membunuh Can Jit Cui, bukan saja rasa terima kasih itu hilang sama sekali, pun dia menganggap Wi Ki Hu itu sebagai musuh besarnya. 

"Mengapa engkau tak bertanya, kalau engkau tak membunuh Can Jit Cui, lalu keadaanku bagaimana?" balas bertanya Tong Wan Giok dengan menyala-nyala.

Wi Ki Hu tertawa, "Baik. baik, memang aku sebelumnya sudah menduga kalau engkau pasti akan mengajukan pertanyaan begitu. Kalau aku tak membunuhnya, keadaanmu lalu bagaimana? Hal itu tak perlu kukatakan lagi karena sekalipun kujawab, engkau pasti takkan percaya. Tetapi rumah yang pemah kita tinggal selama dua-puluh tahun itu, di kamar tulisku ada sebuah kamar rahasia kecil.

Kalau engkau ingin tahu peristiwa itu, silahkan engkau cari ke kamar rahasia itu dan melihatnya apa yang ada disitu!"

Wi Ki Hu membawakan kata-katanya sepatah demi sepatah dengan tandas sekali. Matanya penuh rasa duka dan mengibakan.

Tetapi Tong Wan Giok tak mau mendengarkan sama sekali. Dia hanya tertawa dingin. Dan setelah Wi Ki Hu selesai bicara baru dia berkata dengan sinis, "Apakah engkau masih ada muslihat lainnya lagi? Tetapi kalau ingin kami harus kembali ke Liongse yang ribuan li jauhnya itu, tentulah ditengah jalan engkau mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri, bukan? Ah, su-dahlah. Jangan harap engkau bermimpi lebih lanjut!"

Wi Ki Hu tertawa pula, "Apakah aku pernah berkata begitu? Tetapi kupercaya, engkau pasti teringat apa yang kukatakan ini . . . "

Dia mengangkat muka dan memandang kepada Kun Hiap lalu berkata dengan pelahan, "Dan engkau nantipun juga akan ingat kata-kataku tadi. Pasti akan tiba saatnya, kalian akan mencari ke kamar rahasia ini. Dan setelah tahu, pasti kalian baru tahu kesemuanya."

Habis berkata dia lepaskan genggamannya pada tangan Tong Wan Giok. Dia memandang ke langit dan berkata, "Kalau waktu itu, dalam pertempuran dengan Can Jit Cui aku tak dapat membunuhnya maka aku tentu akan mencarinya untuk bertempur yang kedua, ketiga kalinya sampai dia dapat kubunuh!"

Mendengar kata2 Wi Ki Hu yang begitu sadis, Tong Wan Giok dan Kun Hiap serempak memekik keras. Tong Wan Giok sudah terlepas dari genggaman Wi Ki Hu, Kun Hiap tak perlu cemas lagi. Pedang tiba2 diTusukkan dan menyusup ke dalam daging Wi Ki Hu sampai tiga bagian. Tetapi anehnya Wi Ki Hu tidak mau mundur dan menghindar.

"Tunggu!" sekonyong-konyong Hui Yan berteriak. Kun Hiap hentikan tusukannya. 

"Kun Hiap," seru Hui Yan gugup, “Apakah. engkau tak merasa bahwa dalam soal itu ada sesuatu yang aneh?"

Kun Hiap termangu tak dapat berkata.

"Kun Hiap, kalau saat ini engkau tak mau melampiaskan dendam sakithati ayahmu. mau tunggu kapan lagi?" teriak Tong Wan Giok.

Wajah Kun Hiap berobah relap dan bertanyalah dia dengan nada sarat, "Hui Yan, katakanlah, mengapa aku tak boleh membunuhnya?"

"Nona Tian," kata Wi Ki Hu pelahan, "harap jangan mencegahnya lagi. Kecuali Toh Lian Hong masih hidup, mungkin saja dapat membuat aku tak sampai mati di tangan mereka. Tetapi karena Toh Lian Hong sudah meninggal, maka akupun pasti mati juga, Ha, ha, tenaga-sakti yang begitu dibanggakan ternyata begitu kacau balau, tak dapat membedakan yang salah dengan yang benar, hitam dengan putih!"

Kata2 itu diucapkan sepatah demi sepatah dengan nada sendu bagai kucuran airmata darah membuat hati orang seperti disayat-sayat.

Mendengar itu, hati Kun Hiap seperti tergetar sehingga ujung pedang tak daPat diajukan ke muka lagi. Tetapi pada saat itu, tiba2 seperti orang kerangsukan setan Tong Wan Giok menyerbu datang, kedua tangan memegang lengan Kun Hiap dan terus didorong ke muka sekuat-kuatnya ....

Kun Hiap terkejut. Sebenarnya dia hendak memancarkan tenaga-sakti menolak mamanya tetapi dia kuatir akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada diri mamanya. Karena tenaga-tolakan yang dimilikinya itu tentu akan melukai mama nya.

Kun Hiap meragu dan dalam keraguan itu tiba2 terdengar suatu suara tertahan cias . . ujung pedang telah menyusup masuk ke dada Wi Ki Hu . . . .

Kun Hiap terkejut dan cepat menarik tangannya. Seraya melepaskan genggamannya. Na-mun tenaga menebarkan genggaman tangan itu telah cukup membuat kedua tangan Tong Wan Giok terpental.

Dengan pedang masih menancap di dada, Wi Ki Hu terhuyung-huyung mundur tiga langkah. Tangan kiri meraba ke belakang, rupanya hendak mencari pegangan pada pohon. tetapi ternyata di belakangnya tak ada pobon sehingga ka . rena meraba tempat kosong, dia terjungkal tertelentang jatuh ke tanah.

Hui Yan cepat lari menghampiri untuk menolong. Tampak sepasang mata Wi Ki 

Hu berkeliar sejenak lalu pelahan-lahan mengatup rapat. Rupanya dia telah meninggal.

Tong Wan Giok juga menghampiri. Melihat keadaan Wi Ki Hu dia tertawa gelak2, serunya, "Ha, ha, akhirnya engkaupun skan merasakan saat seperti ini. Ya saat seperti ini !"

Walaupun tertawa tetapi airmata wanita itu mengucur dengan deras di kedua pipinya.

Kun Hiap tegak terlongong-longong. Waktu tahu kalau orang yang selama duapuluh tahun dianggap sebagai ayahnya yetapi ternyata malah musuh yang telah membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya dia mencincang tubuh musuh itu untuk membalaskah sakit hati mendiang ayahnya. Ayah yang belum pernah dilihatnya itu.

Tetapi kini setelah Wi Ki Hu binasa di ujung pedangnya, bukankah seharusnya dia bergembira? Mengapa Wi Ki Hu mati dengan begini tenang dan sebelum ajalnya tiba telah menghamburkan penderitaan yang begitu mengerikan, mencurahkan isi hatinya begitu menyayat perasaan?

Apa yang disaksikan itu terbayang pula dalam benaknya sehingga rasa gembira karena sudah dapat melampiaskan dendam kesumat, malah makin kabur.

"Ma , " beberapa saat kemudian dia baru dapat berseru dengin suara tak

lampias.

Pelahan-lahan Tong Wan Giok berpaling.

Walaupun mulut menyungging senyum tetapi wajahnya basah dengan airmata.

Kun Hiap tak mau melihat jenasah Wi Ki Hu, bukan karena dia benci melainkan karena suatu hal yang dia sendiri tak mengerti. Dia berseru pula, "Ma "

"Sudahlah nak, semuanya telah berjalan baik, kita seharusnya pulang," kata Tong Wan Giok.

"Pulang?" Kun Hiap tergagap, "Ke mana ki-ta akan pulang?"

"Sudah tentu pulang ke Wi-ke-chung di Liongse , tidak, setelah kita pulang,

kita ganti nama desa itu dengan Can ke-cung. Wi Ki Hu telah membunuh ayahmu, kita persembahkan desa kediamannya itu untuk memperingati arwah ayah-mu, rasanya juga bukan suatu perbuatan yang keterlaluan." 

"Pulang ke Liongse . . . . ma , apakah engkau tak kuatir dalam kamar

rahasia di kamar tulisnya itu . . .. .

"Huh, itu hanya tipu muslihatnya saja," sahut Tong Wan Giok, "agar kita bimbang dan tak jadi membunuhnya. Akan kutendang mayat bangsat itu ke bawah karang!"

Tong Wan Giok terus memanggil 'nona Tian' sehingga Hui Yan tertegun tetapi Hui Giok cepat menyahut, "Ya.." dia terus melesat dan sekali kebutkan lengan baju, segulung angin kuat telah menerbangkan tubuh Wi Ki Hu yang masih berhias pedang di dadanya itu bergelundungan jatuh ke bawah jurang karang yang curam. Sebuah jurang yang tak pernah dijelajahi manusia karena dalam sekali.

Lalu Tong Wan Giok memegang tangan puteranya dan berkata, "Nak, sekarang semuanya telah beres. Engkau telah membunuh musuhmu dengan tanganmu sendiri Sekarang ilmu kepandaianmu hebat sekali Ditambah nona Tian yang memiliki cakar Hiat-hun-jiau dan baju Kim-wi-kah itu, rasanya kalian berdua   tentu akan merupakan pasangan yang tiada tandingannya dalam dunia  persilatan. Setelah pulang ke Liongse, kita segera akan mengirim undangan pada seluruh tokoh dunia persilatan. Di dalam desa kita itu, kita nanti akan mengadakan pertemuan besar dari para tokoh dunia persilatan.

Kata2 Tong Wan Giok itu sudah jelas artinya.. Hati Hui Giok kebat kebit tak keruan. Mukanya merah dan dia tundukkan kepala.

Kun Hiap tertegun, serunya, "Ma, apa arti kata-katamu itu?"

"Nak, apakah engkau belum mengerti? Adanya mamamu hari ini dapat menyaksikan engkau melakukan pembalasan kepada musuhmu itu, adalah   berkat bantuan dari nona Tian. Dialah yang menemani aku mencarimu kemana- mana. Di telaga Thay-ou tempat kediaman Pik lo-pohpoh pun telah mengundang banyak sekali tokoh2 persilatan. Kalau Toh Lian Hong belum mati, dia tentu akan melarang kita melakukan pembalasan. Pada saat itu, tokoh2 persilatan yang  telah diundang di telaga Thay-ou itu akan membantu usaha kita. Hal itu merupakan berkah Thian yang besar sekali, mengapa engkau tak bergembira?"

"Kalau begitu mama hendak mengajaknya pulang bersama kita ke Liongse?" tanya Kun Hiap..

"Engkau belum mengerti," kata Tong Wan Giok, "aku menghendaki dia "

Tliba2 Kun Hiap tertawa keras, mendengar ucapan mamanya, "Liongse tempat itu entah bagaimana hong-suinya (perhitungan mengenai baik buruknya tanah). 

Baru saja telah mati seorang durjana yang sampai hati membunuh saudara- angkatnya, sekarang kembali akan kedatangan seorang ratu momok yang telah membunuh mama dan saudara kandungnya sendiri. Bukankah ganjil sekali?"

Kata2 yang diucipkan Kun Hiap dengan tegas dan tandas itu menyebabkan   wajah Hui Giok pucat seketika, "Pehbo..." katanya berbisik, seraya sandarkan diri pada Tong Wan Giok.

Kun Hiap melesat menyelak ke tengah kedua wanita itu dan menegur, "Engkau mau main gila apa lagi?"

Dengan bermacam usaha dan upaya, Hui Giok berjuang untuk merebut Kun Hiap tetapi pada akhirnya dia hanya mendapatkan kesudahan yang begitu menyakitkan. Sudah tentu dendam kebenciannya menyala-nyala, Dia menghela napas dalam2.

"Can kongcu," serunya, "aku akan aku hendak bertanya kepadamu, dalam

soal apa aku telah menyalahi engkau?"

"Ya, memang engkau tak pernah menyalahi aku," jawab Kun Hiap, "tetapi apakah engkau tak menyalahi mamamu Biau-koh cianpwe, tacimu dan adikmu Hui Yan itu? Bilanglah!''

Wajah Hui Giok berobah seketika, "Engkau begitu membenci kepadaku?"

"Hiap-ji," seru Tong Wan Giok, "mengapa engkau mengoceh tak keruan begitu? Mari kita lekas pulang!"

"Baik ma," sahut Kun Hiap, "kita memang harus lekas pulang, engkau, aku dan nona Hui Yan. Ke mana saja aku pergi, apabila masih ada Tian Hui Giok manusia iblis yang ganas itu, pasti akan kulenyapkan. Kalau tidak, Thian tentu akan mengutuk diriku!"

Sambil berkata, dia terus balikkan tangan kiri menghantam. Seperti diketahui lengan kanan anakmuda itu sampai saat itu masih melentuk tidak ada kekuatan sama sekali.

Hui Giok terkejut sekali ketika sebuah ge-lombang tenaga dahsyat melandanya. Untung dia cukup siaga. Walaupun terhuyung ke belakang tetapi dia tak balas menghantam.

Memang bergerak cepat tetapi tenaga-han-taman Kun Hiap tadi cepat mengejarnya sehingga dia terpental jungkir balik sampai enam tujuh kali, baru dapat berdiri tegak di depan sebatang pohon besar. 

Dengan napas terengah-engah dia berseru, "Engkau begini rupa

memperlakukan aku, harap jangan menyesal di kemudian hari!"

"Adalah karena masih memandang muka Hui Yan, sekalipun kejahatanmu sudah melewati takeran, tetapi sekali ini aku masih dapat memberi ampun. Apapun yang hendak engkau gunakan, silahkan saja aku tak takut!"

Bum, bum untuk melampiaskan dendam kemarahannya, Hui Giok

menghantam batang pohon besar itu sehingga ranting dan daunnya berhamburan jatuh.

Karena tak tahu mengapa kedua anakmuda itu bertengkar, Tong Wan Giok berseru, "Nona Tian, tunggu, jangan pergi dulu!"

Karena sudah terlanjur malu dan marah, Hui Giok menyahut getas, "Sudahlah, jangan engkau berpura-pura!" secepat berputar tubuh dia terus lari pergi.

Kun Hiap pelahan-lahan berputar tubuh dan berkata, "Kurasa sebelum tiba di rumah, lukamu tentu sudah sembuh."

Terhiburlah hati Hui Yan melihat adegan tadi. Kun Hiap mengusir getas Hui Giok dan bersikap lemah lembut kepadanya. Tapi teringat akan luka pada dirinya, diam2 dia tersedu dan mengbela napas rawan, "Ah, rasanya sebelum meninggalkn gunung ini, jiwaku sudah melayang ”

"Jangan mengocch tak keruan begitu," Kun Hiap gugup, "apakan engkau hendak menakut-nakuti aku?"

Hui Yan tertawa rawan, "Kun Hiap, engkau kira aku ini masih seperti dulu?

Waktu berada di telaga Thay-ou tempat kediaman Pik aku telah dicelakai dengan racun ganas oleh ji-ciku. Dan saat ini aku hanya dapat hidup selama dua hari  lagi, Apalagi masih menderita luka pa-rah, aku apakah masih bisa ke luar dari

gunung ini dalam keadaan hidup?"

Kun Hiap memegang pergelangan tangan Hui Yan untuk memeriksa denyut darahnya, kemudian berkata gugup, "Engkau telah minum obat dari sebiji kuda besi, apakah sama sekali tak ada manfaatnya?"

Dengan berlinang-linang airmata Hui Yan tersenyum, “Toh cianpwe pernah bilang. Kalau mau menyembuhkan racun dalam tubuhku, harus makan delapan biji kuda besi itu semua. Pada waktu itu sebenarnya kedelapan biji kuda besi berada padaku, tetapi aku " 

Mendengar itu Kun Hiap terus berjongkok sebelah kaki di hadapan si dara dan memandangnya lekat2, "Ah, engkau telah melakukan hal yang tolol sekali!"

"Tidak," sahut Hui Yan, "aku telah berbuat hal yang kurasa paling baik," Dia pejamkan mata, wajahnya mengulum senyum.

Sudah tentu Kun Hiap menjadi kelabakan sekali, Dia terus memeluk dara itu dan berteriak, “Hui Yan .... Hui Yan !"

Hui Yan tidak mati tetapi napasnya lemut sekali Bibirnya yang pucat tak berdarah itu tampak bergerak, "Biasanya kalau bertemu aku, engkau tentu takut dan   selalu menghindari. Tetapi mengapa sekarang "

"Sudahlah Hui Yan, jangan mengatakan hal itu lagi," kata Kun Hiap dengan hati tersayat. Beberapa saat kemudian dia berpaling dan berseru, "Ma, apakah engkau sudah jelas? Dialah yang menolong aku!"

Tong Wan Giok terlongong tak dapat bicara apa2

Sambil memegang pergelangan tangan si dara, dengan gemetar Kun Hiap berkata pula, "Ah, mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri?"

Wajah Hui Yan yang pucat itu merekah seri tawa. “Kulihat engkau tersadar, akhirnya kulihat engkau dapat pulih kembali. Aku gembira sekali. Sayang lengan kananmu "

Tiba2 Kun Hiap teringat sesuatu, cepat dia berkata, "jangan kuatir Hui Yan, engkau telah minum obat dari sebiji kuda besi. Masa tak ada khasiatnya sama sekali. Asal dapat menahan supaya racun itu jangan sampai bekerja, akan kubawamu ke ujung dunia untuk mencari tabib pandai. Tentu akan dapat menyembuhkan engkau!"

Hui Yan pejamkan mata. Ah, betapa bahagianya kalau dia tak sampai mati, dia melamun. Tetapi dia menyadari kalau hal itu hanya lamunan kosong.

Orang tua berpenyakitan atau Toh Lian Hong adalah seorang tokoh yang punya segudang pengalaman. Kalau dia mengatakan bahwa hanya obat pusaka dari dalam kedelapan kuda besi itu saja yang mampu menyembuhkan Hui Yan, tentulah bukan omong kosong. Tak mungkin ada lain daya lagi.

Hui Yan tersenyum rawan, "Bukankah engkau hendak pulang ke Liongse? Apakah engkau dapat membawa aku ke sana?"

"Tentu Hui Yan, tentu akan kubawamu pulang " seru Kun Hiap penuh haru. 

Sambil masih pejamkan mata, berkatalah dara itu dengan nada beriba-iba, "Sepanjang perjalanan engkau temani aku, kalau napasku sesak, jangan lemparkan diriku, maukah engkau?"

Kun Hiap mengangkat muka agar butir2 air mata yang yang hendak mengucur pada pipinya dapat tertahan. Tetapi tetap airmata yang hangat itu tak tertahan, mengalir melalui kedua celah pipinya.. Dengan paksakan tawa keras, dia berseru penuh yakin, "Tidak, Hui Yan, engkau takkan mati.''

"Setiba di Liongse nanti," kata Hui Yan dalam nada yang tenang sekali, "kuburlah aku di samping tempat tinggalmu, begitulah. Aku . . . tenang dengan bunga warna ungu. Tanamlah pohon-pohon bunga di depan pusakaku. Dengan begitu tidak kecewalah kita saling mengenal.

Mendengar itu Kun Hiap tundukkan kepala. Mukanya sudah penuh dengan airmata maka begitu dia menundukkan muka butir2 airmata itupun mencurah ke muka Hui Yan.

"Hai, apakah engkau menangis?" serentak dara itu membuka mata.

Kun Hiap makin terisak-isak sehingga tidak dapat mengeluarkan kata2. Dia hanya mengangguk.

"Sudahlah, jangan menangis," Hui Yan menghiburnya, "engkau seorang lelaki jantan, kepala boleh putus dan darah boleh mengalir, tetapi jangan sampai menangis. Kalau aku mengolokmu dengan beberapa patah kata lihat saja engkau akan malu atau tidak!"

Kun Hiap tahu bahwa dara itu sengaja hendak menghapus kesedihannya tetapi dia bukan saja tidak tertawa, bahkan malah lebih sedih sehingga tak tertahan lagi dia terus menangis keras.

Melihat itu, Hui Yan mengalihkan pembicaraannya, "Ji-ciku itu berhati ganas. Kali ini dia pergi dengan membawa dendam penasaran. Tentu, dia akan melancarkan siasat yang jahat lagi. Selama dalam perjalanan nanti, harap kalian berhati-hati."

Kun Hiap kembali hanya mengangguk. Tong Wan Giok hanya tegak termangu- mangu di sam-ping, Sebenarnya tadi dia tak puas karena Kun Hiap telah mengusir Hui Giok. Tetapi setelah mendengar percakapan antara kedua anakmuda itu barulah dia tahu persoalan yang sebenarnya, ternyata antara Kun Hiap dengan Hui Yan telah terjalin suatu ikatan cinta yang murni saling rela berkorban. Buktinya, walaupun dirinya sudah dalam keadaan yang gawat, namun mesih tetap memikirkan keselamatan Kun Hiap dan mamanya. 

Tong Wan Giok tergerak hatinya. Diam2 ia teringat apa yang telah diiakukan selama itu. Karena kuatir Toh Lian Hong akan menghalanginya membunuh Wi Ki Hu, maka dia sampai mau diajak Hui Giok yang dengan atas nama mendiang ayahnya Tian Put Biat, telah mengundang jago2 sakti dari kalangan Hitam untuk mengadakan pertemuan di telaga Thay-ou tempat kediaman Pik lo-pohpoh.

Kini Hui Giok telah pergi dengan membawa dendam kemarahan. Kalau nona itu sampai mengajak kawanan tokoh2 hitam untuk menghadang perjalanannya, tentulah akan menimbulkan kesulitan besar.

Hiap-ji buru2 dia berkata kepada puteranya, "apakah yang dikatakan nona Tian itu memang benar, engkau harus berhati-hati.”

Kun Hiap menghimpun tenaga-murni lalu memanggul Hui Yan dan berkata, "Harap mama jangan kuatit, Sekarang aku sudah memiliki tenaga-sakti yang hebat. Biarkan saja kalau dia mau mengajak kawanan tokoh2 hitam untuk mengganggu, aku tak takut!"

Tong Wan Giok memandang kepada putranya lalu berganti kepada Hui Yan yang pernapasannya sudah lemah. Serentak teringat dia akan kisah percintaannya dengan Can jit Cui pula. keduanya saling memadu cinta yang setya tetapi akhirnya harus mengalami nasib yang mengenaskan. Diam2 hatinya merasa sendu. Dia pun tidak mau banyak bicara lagi dan terus mengikuti Kun Hiap melakukan parjalanan pulang ke Liongse.

Tenaga-murni dalam tubuh Kun Hiap mengalir bagaikan laut yang luas. Walaupun memanggul Hui Yan tetapi dia tidak merasa susah payah waktu mendaki dan menuruni lembah dan gunung. Satu-satunya cacat, hanyalah sebelah lengan kanannya itu yang masih lentuk tak bertenaga.

Hari ketiga pada tengah hari baru mereka ke luar dari daerah pegunungan lebat itu dan ketika tiba di sebuah kota kecil lalu mencari kereta dan seekor kuda kurus untuk Hui Yan.

Saat itu napas Hui Yan makin lemah sehingga sampai tak dapat bersuara lagi. Setiap kali Kun Hiap harus melekatkan telinganya ke mulut dara itu baru tahu apa yang dikatakannya.

Karena berjalan tanpa berhenti, siang dan malam. Selama itu Kun Hiap tetap berada dalam kereta untuk menemani Hui Yan, Dia ingat apa yang dikatakan Hui Yan bahwa umur dara itu hanya tinggal tiga hari lagi. Dan pada hari itu adalah hari yang terakhir. 

Pada malam itu cuaca gelap. Hutan yang mengelilingi kedua samping jalan tak henti-hentinya berhias dengan suara burung hantu. Dalam gerbong kereta diberi penerangan lilin yang suram. Karena diguncang oleh roda maka lilin itupun bergoyang-goyang tak henti-hentinya. Menimbulkan suatu suasana yang makin menyeramkan.

Kun Hiap masih termangu-mangu memandang wajah si dara yang makin suram. Apa yang hendak dikatakan kepada Hui Yan, dalam dua hari yang lalu ini telah disampaikan semua. Sekarang walaupun dia masih hendak menyampaikan segudang kata2, namun belum tentu dara itu dapat menangkap.

Jari kiri Kun Hiap tetap memegang pergelangan tangan Hui Yan, Menjelang malam dia rasakan denyut nadi dara itu lemah sekali. Dan sekarang lebih lemah sehingga hampir tak terasa lagi. Mata Hui Yan mengatup rapat, tubuhnya bergoyang goyang dihentak gejolak kereta. Tetapi wa jahnya yerg pucat itu tampak tenang sekali.

Kun Hiap terkenang dulu waktu pertama kali berjumpa dengan Hui Yan, dia masih merupakan seorang dara yang lincah dan nyentrik. Tetapi sekarang gaya kelincahan dan gairah kenyentrikannya itu sama sekali sudah tak tampak lagi. Kini dara itu rebah dalam kereta seperti seorang mayat yang menunggu ajal.

Dan kematiannya itu adalah karena berkorban untuk dia ....

Dengan berlinang-linang airmata, Kun Hiap mengangkat tangan Hui Yan dan dilekatkan ke dadanya sendiri (Kun Hiap). Dia merasa kalau saat itu Hui Yan sudah meninggal. Sebenarnya dia ingin menangis keras2 tetapi kerongkongannya serasa tersumbat batu sehingga tak dapat mengeluarkan suara.

Entah berselang berapa lama, dalam pandang matanya yang kabur itu tiba2 dia melihat kelopak mata Hui Yan agak terbuka sedikit. benar-benar dia tak percaya akan yang dilihatnya itu. Dia mengira kalau melamun. Dia seperti melihat dara itu tersenyum kepadanya dan malah bicara.

Tetapi jelas suara dara itu nyata sekali kedengarannya seperti bukan dalam impian. Dara itu berkata kepadanya, "Sekarang kita sudah sampai di mana ini?"

Kun Hiap tersentak kaget sampai menegakkan tubuh. Gerakannya cepat dan keras dan seketika menimbulkan tiup angin yang besar sehingga padamlah lilin itu.

Kun Hiap mengepak-epak kepala untuk memulihkan kesadaran pikirannya. Dia masih teringat bahwa jelas Hui Yan bertanya kepadanya. Apakah hal itu benar2 terjadi dalam kenyataan? demikian dia bertanya kepada diri sendiri 

Tetapi bukankah Hui Yan sudah meninggal? Mengapa dara tu dapat bicara kepsdanya? Pelahan-lahan Kun Hiap merabah pergelangan tangan dara lagi. Ternyata tangan dara itu masih hangat.

Selagi dia masih bingung tiba2 terdengar suara Hui Yan lagi, "Apakah lilinnya padam?"

Segelombang rasa gembira telah meluap dan melanda napas Kun Hiap. itu bukan lamunan, itu bukan dalam impian. Yang didengarnya itu jelas suara Hui Yan, Dengan begitu Hui Yan tidak mati. Jelas dia pelahan-lahan mulai sembuh.

Beberapa jenak kemudian baru Kun Hiap menyulut korek. Dan ketika api   menyala dilihatnya Hui Yan tengah merentang mata lebar2 memandangnya. Seketika gemetaran Kun Hiap sehingga tak jadi menyalakan lilin, melainkan memandang dara itu saja. Setelah korek habis kembali kereta menjadi gelap lagi.

"Hui Yan," teriak Kun Hiap. Tong Wan Giok yang mengendarai kereta, terkejut mendengar suara putranya, dia segera hentikan kereta.

"Hiap ji, orang yang sudah meninggal dunia, tak mungkin dapat hidup kembali, Sadarlah . . . " serunya.

Tetapi penyahutan dari dalam gerbong kereta membuat Tong Wan Giok kaget setengah mati, "Ma, engkau salah. Dia . . . dia sudah sadar! Lekaslah engkau kemari, ma!."

Tong Wan Giok gopoh melorot turun dan membuka pintu kereta. Tetapi dalam ruang kereta itu gelap sekali. Segera dia menyulut korek dan baru tahu kalau Hui Yan memang sedang tersenyum memandang kepadanya.

"Nona Tian, engkau sudah, sadar! Bagaimana perasaanmu!" serunya gembira. Hui Yan mengeliarkan biji matanya, "Bukankah aku ini orang yang sudah mati?"

“Sudahlah, jangan membicarakan hal itu lagi," kata Kun Hiap, "engkau tentu akan sembuh, seperi sediakala lagi."

Pada waktu pingsan tadi, Hui Yan merasa seperti melangkah ke sebuah alam yang gelap gelita. Tetapi entah bagaimana dari ubun kepalanya terasa merekah sepercik sinar terang yang makin lama makin terang sehingga dia tersadar kembali.

Sekarang dia rasakan sekujur tubuh lemas lunglai tak bertenaga sehingga 

menggerakki sebuah jari tangannya saja tak dapat.

"Aku tidak mati, aku tidak mati," katanya berbisik. Dia gembira tetapi pada lain saat dia seperti dilingkupi oleh suatu perasaan takut.. Sekalipun sudah sadar tetapi dia tak dapat bergerak.

Dia menyadari karena makan obat pusaka dari sebuah kuda besi maka   nyawanya tertolong, Tetapi hanya makan satu biji saja tentu, tidak cukup. Tubuhnya tetap lunglai tak dapat berkutik. Merenungkan hai itu, diapun terpukau dalam longong yang hampa.

Kun Hiap yang sejak tadi memperhatikan, terkejut karena dara itu diam saja, "Hui Yan, engkau kenapa??"

Pikir Hui Yan, mungkin apa yang dipikirkan tadi hanya suatu ketakutan kosong maka dia menjawab kalau tidak kurang suatu apa..

Karena girangnya, Kun Hiap bersiul keras dan membisiki beberapa puluh kata ke dekat telinga dara itu.

Demikian perjalanan dilanjutkan lagi. Tiga hari kemudian, Kun Hiap dan Tong Wan Giok mendapatkan bahwa sekalipun si dara sadar tetapi Hui Yan tetap lemas tak dapat bergerak. Mereka takut kalau dara itu sampai lumpuh.

Selama tiga hari itu Hui Yan sendiri juga berusaha untuk menggerak-gerakkan anggauta badan. Asal dapat menggerakkan jari-jemarinya, dia sudah puas.

Tetapi ternyata sia2 saja. dia rasakan tubuhnya seperti 'kosong’. Kecuali bagian kepala, lain2 anggauta tubuh tak dapat bergerak sama sekali.

Usaha selama tiga hari itu sudah cukup dan Hui Yan tahu apa artinya. Tetapi dia tak mau mengatakan apa2 dan membiarkan saja Kun Hiap tak jemu-jemunya menghibur dengan kata2 yang membangkitkan.

Setelah menempuh perjalanan yang begitu jauh, kuda diganti dengan kuda yang lebih segar. Setiap singgah di kota, Kun Hiap tentu mencari sinshe untuk mengobati penyakit Hui Yan tetapi dara itu tetap tak berobah keadaannya.

Wajahnya pucat hanya biji matanya yang menyala terang.

Pada hari itu tibalah mereka di Kanglam, tempat kediaman keluarga Poa Ceng Cay. Tong Wan Giok membawa keretanya menuju ke tempat tinggal tokoh itu. Begitu tiba di muka rumah, dua orang lelaki menyambutnya, "Anda ini "

"Aku adalah adik ipar ketiga dari Poa tay-hiap," sahut Wan Giok. 

Kedua orang itu saling berpandangan heran tetapi mau juga mereka membawa kereta masuk. Tidak berapa lama mereka melihat seorang lelaki tengah duduk di tepi sebuah sungai kecil. Dia memandang permukaan air dengan diam. Orang itu bukan lain adalah Poa Ceng Cay sendiri.

"Poa toako !" teriak Tong Wan Giok.

Poa Ceng Cay pelahan-lahan mengangkat kepala., Demi melihat kehadiran Tong Wan Giok bersama Kun Hiap dia menegur,. "O, engkau !"

"Ya, kami datang, Poa toako. Manusia yang telah mengotorkan dunia itu telah kami lenyapkan "

Mendengar itu seketika wajah Poa Ceng Cay berobah, "Benarkah itu? Dia mengatakan apa saja ketika mau meninggal?"

"Dia bilang di dalam kamar tulisnya terdapat sebuah kamar rahasia. Di situ tersimpan sebuah rahasia. Dan juga mengatakan kalau sam-te (Can Jit Cui) tidak mati, dia tetap akan mencarinya sampai dapat membunuhnya. Tampaknya dia tidak menyseal sama sekali."

Poa Ceng Cay diam beberapa jenak, baru berkata, "Selama beberapa hari ini aku memang sedang menimang-nimang, Ji-te (Wi Ki Hu) itu tampaknya memang bukan manusia sejahat itu."

"Tetapi dia sendiri sudah mengaku, masa dia bohong?" teriak Tong Wan Giok.

Poa Ceng Cay menghela napas, "Dunia ini penuh dengan hal2 yang aneh, sukar untuk menarik kesimpulan antara yang tulen dengan yang salah."

Tong Wan Giok tertawa dingin lalu bersama Kun Hiap berputar tubuh naik ke atas kereta lagi dan terus hendak mengayunkan cambuk melarikan keretanya.

Setelah mengantar pandang ke arah kereta, Poa Ceng Cay pun memandang permukaan air lagi, seolah-olah dia hendak mencari penyelesalan atas pertanyaan2 yang menghuni dalam hatinya.

Tak berapa lama setelah meninggalkan perkampungan marga Poa, haripun mulai gelap tetapi Tong Wan Giok tetap tak mau berhenti. Baru setelah beberapa  waktu dilihatnya lari kuda sudah mulai menurun dan bahkan dari mulutnya   sudah mengeluarkan buih, barulah Tong Wan Giok hentikan kereta.

Sejak mendapat sambutan yang dingin dari Poa Ceng Cay tadi, pikiran TongWan Giok menjadi kacau, itulah sebabnya dia seperti tak menghiraukan apa2 lagi dan 

terus melarikan keretanya.

Pun setelah kereta berhenti dia masih bingung pikirnya, Sebenarnya waktu berhadapan dengan Wi Ki Hu, dia anggap omongan Wi Ki Hu itu hanya untuk mengulur waktu saja agar tidak segera dibunuh. Tetapi setelah bertemu dan mendengar kata2 Poa Ceng Cay, dh mulai gelisah. Apakah yang tersimpan dalam kamar rahasia di karnar tulis Wi Ki Hu itu?

Tengah dia masih melamun, tiba2 terdengarlah suara angin mendesis tajam dari sebuah benda yang melayang ke arahnya. Untung dia dapat bertindak cepat, menyambut benda itu dengan cambuk. 'Ujung cambuk berhasil melilit benda dan ketika diperiksa ternyata sebilah badik kecil yang panjangnya hanya tujuh dim.

"Hiap ji, awas hati2" serentak dia berseru memberi peringatan kepada puteranya.

Kun Hiap yang masih menemani Hui Yan di dalam kereta terkejut dan cepat melongok ke luar. Tetapi baru kepalanya menongol, wut, wut, dua batang badik telah melayang ke mukanya. Jelas yang melontarkan badik itu orangnya sama dengan yang. menyerang Tong Wan Giok tadi. Hanya bedanya, serangan badik kepada Kun Hiap itu lebih cepat dan lebih kuat.

Crei, crct Kun Hiap menyurut mundur dan kedua badik itupun menembus

gerbong melayang ke luar.

"Kun Hiap, ada apa itu?" seru Hui Yan.

"Jangan kuatir, ada orang yang hendak mencelakai kita," kata Kun Hiap. "Apakah bukan orang2 yang dikerahkan ji-ciku?"

"Entahlah, belum tahu," kata Kun Hiap.

Ia berseru kepada mamanya, "Ma, siapakah yang datang itu? Apakah kawanan pembunuh?"

Tetapi sampai diulang dua kall, ternyata dari atas kereta tak terdengar jawaban dari mamanya.

"Ma!" kembali Kun Hiap berteriak keras.

Tetapi sebagai jawaban dari sebelah kiri kereta terdengar suara orang tertawa dingin dan menyusul kereta bergoncang keras seperti kejatuhan benda berat. 

Kun Hiap makin kaget. Dia hendak melo-ngok tetapi kuatir diserang badik. "Kun Hiap, apakah engkau takut kalau saja terjadi apa-apa?" kata Hui Yan.

Kun Hiap mengertek gigi lalu brak , . . . ia menghantam jebul pintu dan memandang keluar. Apa yang dilihatnya saat itu, benar-benar menyayat hati. Mamanya telah terkapar di atas roda dengan tiga batang badik menancap pada dadanya. Darahnya mengucur deras Sepasang matanya masih melotot, menandakan kalau dia mati dengan penasaran.

Pandang mata Kun Hiap semua gelap dan hampir saja dia rubuh. Untung dia dapat memegang tiang pintu, krakkk . . . tanpa terasa tiang itu teluh diremasnya hancur.

Dia berusaha untuk menenangkan perasaan baru kemudian menangis, "Ma ... " Dia terus menerobos kamar dan menangis menelungkupi tutup mamanya.

Kun Hiap seorang anak yang berbakti kepada orang tua, Setelah tahu bagaimana asal usul dirinya, diam-diam dia sudah berjanji nanti sepulang di Wi-ke-chung dia hendak merawat mamanya dengan sepenuh hati. Siapa tahu ditengah jalan mamanya telah dibunuh orang.

Dia kehilangan faham. Dia rasakan dirinya hampa. Dia merasa kehllangan  sesuatu yang paling dicintai didunia ini. Sedemikian besar dia tenggelam dalam kedukaan sehingga dia tak tahu bahwa saat itu ditepi jalan telah muncul seorang lelaki dan seorang perempuan yang diam-diam telah menyelinap ke   belakangnya.

Yang lelaki berumur 40an tahun, bermuka brewok menyeramkan. Dia adalah Im Som ketua perkumpulan agama Thian-sim-kau. Dan yang perempuan tak lain adalah Pek Ing Ing, si cantik sakti dari Thaysan, Setelah berada di belakang Kun Hiap, keduauya tertegun seperti menunggu sesuatu.

Bukan saja tak tahu apa yang terjadi di belakangnya, pun Kun Hiap juga tak merasa bahwa gunduk tanah di mukanya itu tiba tiba menjulang keatas. Dan pada lain saat tanah berhamburan di sekeliling lalu muncul sebuah topi baja, kemudian wajah seorang manusia dan terakhir seluruh tubuhnya, Orang itu tak lain adalah mauusia yang pandai ambles bumi yaitu Sam Coat sianseng.

"Kun Hiap, bagaimana? Terjadi apa saja?" seru Hui Yan dari dalam kereta. Karena tak bertenaga, suaranyapun lemah sekali sehingga tak terdengar oleh Kun Hiap.

"Hola, ada peristiwa yang hebat!" tiba-tiba Sam Coat sianseng berteriak terus 

menerjang roda kereta, bum . . . rodapun putus. Kuda kaget dan meringkik keras lalu lari membinal.

Waktu Tong Wan Giok terkapar dari atas kereta, sebelah kakinya masih tercantol pada tiang kereta. Dan karena kuda itu lari dengan membawa sebagian rangka kereta maka tubuh Tong Wan Giokpun ikut terbawa.

Kun Hiap memang benar-benar seperti orang bingung. Dia tak mendengar teriakan Sam Coat sianseng tad Hanya ketika tubuh mamanya terangkat keatas dibawa lari kuda, dia mengira kalau mamanya tidak mati maka diapun girang sekali dan terus meloncat-loncat. Tetapi pada saat itu juga sebuah benda telah menghantam dadanya.

Karena gopoh, dia tak mengerti benda apa itu. Dia tak tahu kalau benda aneh itu sebenarnya adalah kepala dari Sam Coat sianseng yang tengah menerjangnya.

Dalam gugup Kun Hiap miringkan tubuh untuk menghindar.

Tetapi gerakan Sam Coat sianseng memang gesit sekalj, Melihat Kun Hiap miringkan tubuh, waktu masih melambung diudara Sam Coat sianseng sudah memutar tubuh dan menyerang lambung si anakmuda.

Pada waktu menggeliatkan tubuh tadi, Kun Hiap sudah dapat melihat kehadiran Im Som dan Pek Ing Ing dan pada saat itu juga diapun melihat seorang wanita tua baju hijau sedang tegak berdiri diatas payon kereta.

Teringat akan Hui Yan yang masih berada dalam kereta, Kun Hiap makin gugup, serunya, "Siapakah kalian ini?" sambil berkata dia kebutkan lengan baju kirinya untuk menampar batok kepala Sam Coat sianseng.

Pada saat itu Sam Coat sedang menerjang datang. Kebutan lengan baju Kun Hiap itu menimbulkan deru angin yang luar biasa tebalnya sehingga napasnya terasa sesak. Sebagai seorang tokoh yang menguasai ilmu ambles bumi dan menyelam dalam air, seumur hidup dia belum pernah merasa napasnya sesak sepetti saat itu.

Kejutnya bukan kepalang. Dia hendak menyurut mundur tetapi sudah tak keburu lagi. Lengan baju anakmuda itu sudah melibat kepalanya. krak, krak Kun Hiap

terkejut. Dia cepat kendorkan libatannya karena dia mengira kalau ada lain musuh yang hendak mencelakai Hui Yan.

Kun Hiap mundur dua langkah dan mengawasi keadaan d sekeliling. Ternyata tak ada orang yang menyelundup kedalam kereta, Dan ketika memandang kemuka, dia terkesiap. Ternyata waktu dia lepaskan lilitan lengan bajunya tadi, Sam Coat siansengpun ambruk ke tanah tak berkutik. Topi baja Sam Coat telah 

ringsek gepeng. Dan karena kepala Sam Coat berada didalam topi maka batok kepalanya juga ikut remuk sehingga orangnya terpaksa harus menghadap ke akhirat.

Saat itu baru Kun Hiap menyadari bahwa suara berderak-derak tadi adalah dari topi baja Sam Coat yang remuk. Dan serempak itu diapun menyadari bahwa tenaga saktinya sudah pulih kembali.

Im Som tamparkan lengan jubah. Tiga batang badik yang beterbangan dalam formasi susun tiga segera melayang ke dada Kun Hiap.

Melihat itn merahlah mata Kun Hiap. Darahnya meluap dan hawa murni dalam tubuhnya bergolak keras sehingga pukulannya berguncang-guncang seperti tertiup angin.

Blak, blak, blak ketiga badik itu tertampar jatuh oleh kibaran bajunya. Melihat

itu Im Som dan Pek Ing Ing terkejut dan ketakutan setengah mati. Mereka terus hendak melarikan diri.

"Apakah yang melontarkan badik tadi itu engkau:'' Kun Hiap meraung dahsyat.

Kedatangan Im Som dan Pek Ing Ing ke tempat itu tak lain karena bujukan Hui Giok. Gadis itu memberi penawaran yang menarik. Kalau mereka dapat membunuh Kun Hiap bertiga maka Hui Giok bersedia menyerahkan cakar Hiat- hun-jiau dan baju Kim-wi-kah sebagai imbalan.

Karena temaha akan kedua pusaka itu maka ketua Thian-sim-kau Im Som dan Pek Ing Ing segera berangkat. Begitu datang Im Som berhasil membunuh Tong Wan Giok. Dia mengira kalau pekerjaan selanjutnya akan mudah dan lancar.

Tetapi waktu melihat kepala Sam Coat sianseng remuk, Im Som baru kaget dan menyadari siapa sebenarnya Kun Hiap sekarang ini. Lebih dulu dia melontarkan tiga batang badik setelah itu dia terus hendak melarikan diri.

Tetapi bentakan Kun Hiap itu sedemikian dahsyat sehingga Im Som tertegun. Kun Hiap maju menghampiri dan menjulurkan kelima jarinya..

Im Som menjerit, "Ampunilah " tetapi sebelum dia menyelesaikan kata-

katanya, kelima jari Kun Hiap sudah menyusup ke dalam dadanya.

Sebenarnya maksud Kun Hiap hanya hendak mencengkeram dada baju Im Som pembunuh mamanya. itupun dia tak mengira kalau tenaga-sakti pada jarinya itu mampu menembus batu karang. 

Sudah tentu tubuh Im Som yang hanya terdiri dari darah dan daging, tak kuat menahan jari Kun Hup. Kun Hiap tersadar apa yang telah terjadi ketika tangannya terasa basah dengan darah. Cepat dia menarik ke luar jarinya. Dada Im Som menyembur darah, dan tubuhnyapun rubuh tak bernyawa lagi.

Saat itu Pek Ing Ing sudah berputar tubuh tetapi melihat Imu Som mati secara begitu mengerikan, dia tertegun dan berseru dengan gemetar, “Yaa ya

dialah ,. , yang telah melemparkan badik tadi!"

Menyadari begitu turun tangan akan menimbulkan pembunuhan yang ngeri, Kun Hiap tidak mau sembarangan bergerak. Dia membentak, "Aku merasa tak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian menyerang aku?"

"Kami memang rakus untuk mendapatkan senjata cakar Hiat-hun-jiau "baru

Pek Ing Ing berkata begitu, Kun Hiap sudah tahu apa ying dimaksud. Jelas mereka datang karena diundang Hui Giok.

"Dia ..,.!" bentak Kun Hiap.

Pek Ing Ing seperti dihambur oleh gelombang tenaga yang dahsyat sehingga mau mengiakan pertanyaan anakmuda itu saja, dia tak dapat bersuara.

Tubuhnya gemetar terus dan, bluk, tahu-tahu dia rubuh ke tanah.

Kun Hiap tak menghiraukan apakah durjana wanita itu mati atau hanya pingsan, dia terus berputar tubuh. Dilihatnya nenek baju hijau tadi masih berdiri diatas kereta dan menusukkan ujung tongkat kedalam ruang kereta.

"Kalau engkau berani bergerak, tongkat ini akan kuteruskan kedalam," nenek itu mengancam.

Teringat bahwa Hui Yan masih berada dalam kereta. wajah Kun Hiap berobah seketika, "Engkau engkau ini siapa?"

Nenek baju hijau tertawa dingin, "Dengan melihat warna pakaianku ini, masa engkau tak kenal aku ini siapa?"

Kun Hiap tersadar, serunya, "O, kiranya engkau ini Jui-ih Pik lo-pohpoh,

jangan turun tangan, nona Tian yang berada dibawah itu sudah tak dapat berkutik, mengapa engkau masih tega hendak mengambil nyawanya?"

"Boleh," seru nenek itu dengan dingin, "aku takkan mengambil jiwanya tetapi engkau harus menghantam ubun-ubun kepalamu sendiri,"

Kun Hiap terkesiap, "Mengapa begitu?" 

"Kalian berdua harus mati salah satu. Kalau tidak, bagaimana aku bisa mendapatkan cakar Hiat-hun jiau itu?"

"Kun Hiap, sudahlah, jangan menghiraukan ocehan nenek busuk ini. Jangan pedulikan aku la-gi!" tiba-tiba dari dalam kereta terdengar suara Hui Yan.

Kun Hiap meraung keras, nadanya aneh sekali dan tampak tubuh Pik lo-pohpoh bergetaran. Melihat kesempatan itu Kun Hiap segera ayunkan tangan kirinya.   '~

Hantaman itu dilakukan secara tiba2 dan hebatnya bukan alang kepalang. Hek, Pik lo-poh-poh sesak napasnya, cepat dia membuang tubuh berjumpalitan ke bawah.

Tenaga pukulan Kun Hiap itu masih belum tertahan walaupun sudah mendapat sasaran tubuh si nenek baju hijau, sebuah pohon besar yang terlanda, dahannya putus, menimbulkan bunyi gelegar dahsyat ketika jatuh ke tanah. Dan serentak dengan itu tiga sosok tubuh manusia ikut berhamburan jatuh dari dahan pohon itu. Mereka adalah pembunuh2 yang telah diundang Hui Giok, tetapi akhirnya hanya kematian yang mereka peroleh.

Kun Hiap tak mau mempedulikan nasib mereka. Dia terus lari masuk ke dalam kereta untuk memondong Hui Yan.

"Kun Hiap, yang dapat bergerak hanya sebelah tangan kirimu. Kalau engkau memondong aku, bagaimana engkau dapat menghadapi musuh?" kata Hui Yan.

Kun Hiap tertegun. Sebelum dia sempat menjawab, dari belakang terdengar angin sambaran tongkat menderu ke arah kepalanya.. Ternyata Pek lo-pohpoh yang menyerang.

Karena sedang memondong Hui Yan, Kun Hiap tak dapat menangkis. Tangan kanannya masih lunglai tak bertenaga. dia tak berdaya menghadapi serangan dahsyat dari tongkat nenek.

Bum tongkat itu menghantam punggung Kun Hiap. Karena tak berdaya

menghindar lagi, terpaksa Kun Hiap kerahkan tenaga-sakti ke arah punggungnya untuk menerima hantaman tongkat Pik lo-pohpoh

Dahulu Pik lo-pohpoh itu merupakan seorang wanita yang memiliki bakat bagus, dia bertenaga kuat. Setelah berumur empatpuluh tahun dia bertemu dengan seorang tokoh sakti. Dan baru setelah berumur 50 an tahun, nenek itu dapat mengangkat nama. Walaupun memperoleh ilmu kepandaian sudah agak tua, 

tetapi berkat tulang-tulangnya yang bagus dan bakat yang menonjol, diapun dapat memiliki tenaga-dalam yang hebat.

Kuatir kalau luput maka hantaman tongkatnya itu disertai dengan beberapa jurus gerak ilmu permainan tongkat. Dan betapa girangnya ketlka Kun Hiap berani menerimanya.

Tongkat mengenai tepat pada punggung Kun Hiap dan karena kerasnya hantaman, ujung tongkat sampai menekan ke bawah, terbenam daging lawan, Seharusnya dia gembira karena melihat hasil itu. Tetapi dia tidak demikian. Dia malah merasa terancam bahaya. Karena seharusnya tubuh Kun Hiap hancur dan rubuh, bukannya masih tetap berdiri.

Sebagai seorang ahli silat, Pik lo-pohpoh tahu gelagat tak baik maka buru2 dia menarik dan kemudian hendak menyerang lagi. Tiba2 Kun Hiap mendengus lalu menegakkan tubuh dan tahu2 tongkat yang melekat terbenam dalam daging itu mental ke luar.

Pik lo-pohpoh terkejut bukan kepalang. Dia berusaha untuk mempertahankan tongkat tetapi akibatnya mengerikan Sekali. Tenaga tolak dari punggung Kun Hiap tadi berhamburan melanda melalui batang tongkat dan serentak terdengar bunyi bergemeretak, tulang pergelangan tangan Pik lo pohpoh pecah dan tongkatnyapun terlempar ke udara.

Pik lo-pohpoh menjerit kejakitan. Dia mundur beberapa langkah. Tetapi tenaga- tolak dari Kun Hiap itu masih melaju ke dadanya, huak dia muntah darah,

pakaiannya sampai berlumuran warna merah.

Kun Hiap cepat berputar tubuh. Sambil masih memondong Hui Yan, wajahnya pucat sekali ujung bibirnya juga mengucur darah. Ternyata walaupun tenaga- sakti Kun Hiap sudah jarang yang dapat menandingi tetapi bagaimanapun dia masih belum mencapai tingkat Kun kong-put-hoay (malaekat yang. kebal).

Hantaman tongkat Pik lo-pohpoh itu paling tidak juga lebih dari seribu kati beratnya dan tepat mengenai pada bagian jalandarah penting di punggungnya, Walaupun dia berhasil mengerahkan tenaga tolak yang dapat melukai lawan tetapi dia sendiri juga tidak luput dari menderita luka-dalam. Hanya karena disebabkan tenaga-dalamnya hebat maka dia berusaha untuk bertahan sehingga tak sampai muntah darah dan rubuh karena kehabisan tenaga.

Melihat Kun Hiap berputar tubuh, Pik Io-pohpoh terkejut. Tetapi dia segera tahu kalau Kun Hiap juga menderita luka-dalam, Ah, kalau saja dia sendiri tidak terluka-dalam yang parah, tentulah mudah untuk menyelesaikan anakmuda itu. Sekarang dialah yang akan terancam jiwanya. 

Kecemasan yang mencengkam hati nenek itu telah membuat darahnya bergolak keras sehingga luka-dalamnya makin terasa. Pandang matanya serasa gelap dan pada lain saat dia pun rubuh ke tanah tak sadarkan diri lagi.

Dengan lunglai bagai seekor anakdomba, Hui Yan membiarkan dirinya dipondong Kun Hiap tidak henti-hentinya tersenyum kepadanya, untuk menghibur si dara.

Tetapi Hui Yan tahu kalau Kun Hiap terluka, Dia bingung tak keruan, Dia tak tahu tacinya (Hui Gok) masih mengundang siapa lagi. Padahal Kun Hiap saat itu menderita luka dalam dan masih melindungi dirinya.

Mampukah pemuda itu akan menghadapi musuh yang baru datang lagi? Tetapi hati dara itu terhibur karena tahu betapa kasih sayang Kun Hiap kepadanya.

Setelah lari sampai dua atau tiga li jauhnya, tiba2 terdengar suara derap kuda lari mendatang. Kun Hiap terkesiap dan pada saat iui juga muncullah seekor kuda tegar yang loncat melampaui gerumbul pobon kecil dan tiba di hadapannya.

Hui Yan menghela napas Dia pejamkan mata.

"Hui Yan, jangan takut," kata Kun Hiap seraya memandang siapa pendatang itu. Kuda itu berbulu belang, merah dan hitam, bulunya mengkilap sekali. Dia penunggangnya juga tak kurang luar biasanya. Kepalanya lancip, kedua bahunya bidang sekali, lengan panjang luar biasa tetapi kakinya pendek. Benar2 seorang manusia yang mempunyai pancaindera aneh sekali yang satu sama lain saling kontras atau berlawanan. Dan pakaiannya juga nyentrik. Separo bagian merah dan separo bagian hitam.

Kun Hiap terlongong melihat manusia yang seaneh itu. Tapi tiba2 Hui Yan berbisik. “Jangan mengurus diriku, lekas engkau berusaha untuk menjaga dirimu."

Kun Hiap kerutkan alis, "Ah, jangan berkata begitu."

"Dia adalah Cui Hwat cuncia dari gunung Liok-poan-tan. Tingkat kepandaian dan kemasyhuran namanya sejajar dengan Tok Liong cuncia dari Biau-ciang. Ilmu kepandaiannya luar biasa anehnya. Tangannya yang kanan dan kiri memiliki tenaga-dalam yang berbeda. Meskipun hanya satu orang tapi sama dengan dua otang tokoh sakti ..."

Wajah Kun Hiap membeku sarat, jelas dia tak jerih. Dia hanya tertawa hambar dan tak berkata apa-apa, Sebenarnya Kun Hiap hanya ingin supaya Hui Yan jangan cemas maka dii sengaja bersikap demikian. Pada hal dalam hati dia-pun berdebar-debar. Sungguh tak disingkanya bahwa Hui Giok akan mampu 

mengundang seorang momok durjana besar seperti Cui Hwat cun-cia.

Semasa ayah Hui Yan yakni Tian Put Biat masih hidup, Cui Hwat cuncia tak berani muncul karena kalah Sakti. Setelah Toh Lian Hong mengembara keluar lautan dan Tok Liong cuncia mengasingkan diri di daerah pedalaman Biau-ciang maka Cui Hwat cunciapun bersembunyi di gunung Liok-poan-san. Itulah sebabnya walaupun sudah lama Tian Put Biat meninggal, beberapa tokoh yeng menyembunyikan diri, termasuk Cui Hwat cuncia, kebanyakan masih belum betari keluar. Tetapi berkat kelihayan Hui Giok yang menggunakan pusaka mendiang ayahnya yaitu cakar Hiat-hun-jiau dan baju Kim-Wi-kah untuk memikat, selain Cui Hwat cuncia, mungkin masih ada beberapa tokoh lihay yang akan keluar lagi.

Ha, Kun Hiap memandang tajam kearah Cui Hwat dan Cui Hwatpun memandang dingin kepada anakmuda itu. Keduaaya tidak bicara apa-apa.

Kun Hiap baru mengetahui beberapa ciri aneh dari pancaindera orang itu. Muka sebelah kiri besar tetapi yang sebelah kanan kecil. Sinar yang memancar dari kedua mata Cui Hwat cuncia itu juga tak sama. Mata kiri memancarkan sinar berkilat tajam menikam. tetapi sinar mata sebelah kanan redup menyeramkan.

Beberapa saat kemudian terdengar Cui Hwat cuncia tertawa aneh, "O, kiranya engkau sudah terluka, Kalau begitu tak perlu bertempur lagi. Lekas saja engkau bunuh diri! Setiap bulan akan kusuruh orang untuk menyembayangi kuburanmu."

Kun Hiap kheki dan geli, serunya dingin- dingin, "Benar, memang aku sudah terluka. Tetapi barangsiapa hendak menghadang perjalananku pasti kuhancurkan!"

Cui Hwat cuncia picingkan mata memandangnya. Beberapa saat kemudian baru berkata, "Jangankan manusia, semut pun tentu akan berusaha mempertahankan nyawa kalau diinjak. Maka tekadmu itu memang wajar. Lepaskan budak perempuan yang engkau pondong itu dan mari kita bertempur beberapa jurus, biar kukirim engkau ke akhirat."

Kun Hiap memang merasakan kesukaran. Tangan kanannya tak punya kekuatan. Kalau mau bertempur dengan Cui Hwat, tentu dia harus menggunakan tangan kiri. Pikirnya, walaupun seorang tokoh jahat tetapi Cui Hwat cuncia masih punya setitik nurani yang baik, Kalau dia menyuruh meletakkan Hui Yan, tentulah  takkan mencuri kesempatan untuk mencelakai dara itu.

Tetapi bagaimana kalau nanti ada orang lain yang diam2 selagi dia tengah bertempur, lalu mencelakai Hui Yan? Setelah menimang-nimang, akhirnya dia tak 

mau melepaskan Hui Yan.

"Tidak usah, dengan begini saja aku mampu melayanimu,” katanya sambil mangangkat muka.

Tiba2 kuda tegar milik Cui Hwat meringkik keras. Tergerak hati Kun Hiap seketika, serunya, "Kalau engkau menghendaki supaya kuletakkan nona Tian, boleh saja, asal boleh kuletakkan diatas punggung kuda itu agar jangan sampai ada orang yang mencelakai."

"Boleh," sahut Cui Hwat cuncia, Tanpa beranjak dari tempatnya, dengan hati-  hati Kun Hiap melemparkan tubuh Hui Yan ke punggung kuda. Hui Yan tepat jatuh menelungkup di punggung kuda. Kuda itu menyepak-nyepakkan kaki tetapi tidak melakukan gerakan yang membahayakan Hui Yan. Kun Hiap pun lega.

Kemudian dia berkata, "Nah, sekarang mari kita mulai!”

Memandang kearah lengan kanan si anak-muda, Cui Hwat bertanya, "Lho, tangan kananmu itu kenapa?"

Kun Hiap tertawa tawar, "Memang lengan kananku ini tak ada kekuatan, tetapi tangan kiriku cukup untuk melayani engkau.Sudahlah tak perlu banyak bertanya."

Merah seketika wajah Cui Hwat cuncia tetapi pada lain kejap dia sudah kembali tenang lagi. Dia tertawa dingin, "Baiklah, karena engkau minta mati secara tak jantan?"

Dia gerakkan lengannya yang panjang, kelima jari ditebarkan untuk menerkam kepala Kun Hiap. Begitu menyerang terus hendak menerkam jelas menunjukkan kalau dia tak terlalu memandang mata kepada Kun Hiap.

Diam-diam marahlah Kun Hiap. Begitu mengendapkan tubuh kebawah, dia  bukan menghantam melainkan meletakkan tangan kirinya keatas kepalanya. Melihat itu, ditengah jalan Cui Hwat cuncia terus merobah jurusnya. Dia bukan menerkam tetapi menghantam. Selain menghamburkan angin tenaga keras, pun juga hawa yang panas.

Setelah pukulan orang hampir tiba, barulah Kun Hiap mengayunkan tangan untuk menyongsong, bum seketika Cui Hwat rasakan segelombang angin

pukulan panas melandanya. Jelas itulah hawa panas dari pukulan Hwe-yan-sin- kang atau pukulan api yang dilancarkannya. Rasanya didunia tiada orang kedua yang mampu memiliki ilmu pukulan itu. Dengan begitu jelas tentu berasal dari pukulannya sendiri. 

Buru-buru dia gunakan pukulan Kui-cui-sin-ciang atau pukulan air dingin untuk menghapus hawa panas itu. Dahulu dia pernah kalah dengan Tian Put Biat tetapi kekalahan itu tidak sedemikian berantakan seperti saat ini. Dia terlongong- longong, Sama sekali tak disangkanya kalau seorang pemuda yang pucat mukanya, ternyata memiliki tenaga dalam yang begitu luar biasa.

Cui Hwat penasaran sekali. Segera dia menerjang dan melancarkan empat buah serangan kiIat. Plak, plak, plak, plak, beruntut empat kali tubuhnya kena pukulan Cui Hwat, tetapi anehnya setiap kali terpukul, tubuh Kun Hiap lalu memancarkan tenaga tolak yang hebat.

Kun Hiap tak merasakan sakit maka diapun curahkan semangatnya untuk menunggu kesempatan. Dan kesempatan itupun tiba. Dia dapat balas menghantam Cui Hwat, tepat mengenai bahu kirinya.

Cui Hwat memekik keras, tubuhnya berputar-putar mau jatuh, Dia berusaha  untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Hawa murni pada separoh tubuhnya bubar, rasanya seperti hendak menjebolkan tulang-tulangnya. Dia kaget dan ketakutan. Tetapi pada saat itu Kun Hiap sudah mengirim hantaman yang kedua.

Tiba-tiba terdengar desing sambaran benda seperti senjata rahasia, Tetapi karena tidak terarah kepadanya, Kun Hiappun tak menghiraukan. Tetapi kuda tegar itu meringkik keras. ketika Kun Hiap berpaling, dilihatnya kuda itu mencungklang lari membawa Hui Yan.

Cepat Kun Hiap dapat melihat bahwa kuda itu telah terkena sebatang piau. Karena kaget dan kesakitan maka kuda itu membinal. Sudah tentu Kun Hiap kaget sekali, Tanpa mempedulikan Cui Hwat lagi, dia terus berputar tubuh hendak mengejar. Tepat pada saat itu Cui Hwat mengirim tendangan, plak, pantat Kun Hiap terkena.

Sebenarnya Kun Hiap sudah mengayunkan tubuh hendak loccat mengejar kuda, karena mendapat tetidangan itu, tubuhnya maktin melaju cepat. Tetapi kuda im yang-ma milik Cui Swat itu merupakan kuda istimewa yang dapat lari mencapai seribu li sehari. Karena kesakitan kuda itu mencongklang keras. Kun Hiap melayang tiba di belakang lalu menyambar ekor kuda. Tetapi kuda tetap tak mau berhenti, akibatnya ekornya jebol.

Kuda tetap lari dan Kun Hiappun matmatian mengejarnya. Setelah limapuluh li jauhnya jarak antara kuda dan Kun Hiap tetap tiga tombak jauhnya. Tak jauh di sebelah muka telah kelihatan dinding pagar dari rumah kediaman marga Wi.

Wataupun tak berhasil mencandak tetapi Kun Hiap lega juga hatinya karena melihat tubuh Hui Yan masih tetap menelungkup di punggung kuda. Dia faham 

keadaan di desa marga Wi. Setelah melintasi hutan tentu akan tiba disebuah su- ngai. Kud.a itu pasti berhenti dan pada saat itu-lah Kun Hiap akan dapat menangkapnya.

Dia lalu kencangkan larinya dan tak berapa lama tampak di sebelah muka gerumbul kehijauan daun dari hutan. Ternyata kuda itu terus menyusup masuk ke dalam hutan. Kun Hiap mengejar masuk juga.

Bum tiba2 terdengar letusan gempar. Asap tebal dan percik api yang

berhamburan ke arah dirinya. Waktu menimpa pakaiannya, percik api itu masih tak padam dan tetap melekat, Yang menempel di pakaian sih tak begitu sakit, tetapi' yang mengenai muka dan tubuhnya, dia benar2 tak tahan sakitnya. Dia menjerit dan bergulung-gulung ke tanah untuk memadamkannya.

Memang percikan api itu padam tetapi bekas muka dan tubuhnya yang terkena, masih terasa sakit dan gatal sekali. Jelas kalau api itu tentu mengandung racun.

Dia melonjak bangun, Asap masih berhamburan tebal. Buru2 dia menutup pernapasan. Tepat pada saat itu dilihatnya dari empat jurusan beberapa sosok tubuh berhamburan menerjangnya.

Kun Hiap terkesiap, Dari arah sehelah kiri terdengar suara senjata berayun ke udara. Dia ce-pat kebutkan lengan baju kiri, tring, tring, tenaga-sakti dari kebutan lengan baju itu telah melenyapkin hantaman senjata, tiga diantaranya saling berbentur sendiri, menimbulkan suara bergemerincingan.

Kun Hiap menyadari bahwa dalam asap yang tebal itu terdapat beberapa musuh yang lihay.

Dia merunduk ke bawah. Dalam keremangan asap dia melihat kaki seorang manusia, Cepat dia menyambar kaki orang itu. Entah kaki siapa. Dan kebetulan pada saat itu sebuah Kim-that (palu-besi emas) melayang ke arah kepalanya.

Cepat dia menarik kaki orang itu umuk menyongsong. Krak, krak kaki hancur

dan palu-besi emas masih berlanjut menghantam punggung Kun Hiap. Tetapi Kun Hiap sudah siap mengerahkan tenaga-sakti untuk menolak. Palu besi emas mental, kebetulan ada sesosok bayangan yang melintas. Palu besi tepat menghantam muka orang itu. Dia mengerang dan jatuh tertelentang.

Dalam sekejap dapat membasmi dua musuh membuat nyali Kun Hiap timbul. Walaupun musuh berjumlah banyak tetapi kepandaian mereka tidak berapa tinggi, tidak selihay Cui Hwat cuncia.

Setelah mendapat pengetahuan itu, dia tidak mau membiarkan dirinya dilihat musuh dalam kegelapan asap. Dia terus berlincahan loncat kian kemari, maju 

sembari melontarkan hantaman.

Dengan cara itu tak berapa lama dia sudah dapat ke luar dari selubung asap Tetapi baru saja ke luar, dia sudah disambut oleh tiga batang golok kui-thau-to yang membabat pinggangnya. Cepat dia ayunkan tubuh loncat ke atas, selekas tiga golok itu berayun di bawah kakinya, dia mengirim tiga buah tendangan.

Tetapi hanya seorang musuh yang menjerit dan jatuh terpelanting.

Musuh yang kedua dan ketiga hendak menabas lagi tetapi Kun Hiap sudah mendahului menamparkan lengan bajunya. Yang satu dapat dililit tetapi yang satu lolos dan dapat membabatkan golok ke betis Kun Hiap. Uh, Kun Hiap mendesuh tertahan karena betisnya terbacok. Darahpun berhamburan.

Tetapi hal itu makin membangkitkan kema-rahan Kun Hiap. Dia menarik lengan bajunya.

Karena orang itu tak mau melepaskan goloknya, dia ikut tertarik dan membentur kawannya sendiri sehingga keduanya sama2 jatuh. Kun Hiap menyusul dengan sebuah tendangan. Orang itu hanya sekali menjerit lalu diam tak berkutik selama-lamanya.

Baru menyelesaikan yang itu, tiba2 dari belakang terdengar sambaran angin. Kun Hiap meraung keras, berputar tubuh dan melontarkan dua kali hantaman. Bum, bum tiga sosok tubuh berhamburan terhempas ke tanah.

Kun Hiap memandang ke sekeliling. Asap tebal sudah mulai menipis dan di tanah telah berserakan lebih dari sepuluh sosok tubuh manusia. Dia merobek baju mereka untuk membalut betisnya. Tepat pada saat itu punggungnya terasa sa-  kit karena dihantam oleh sebuah tangan yang kuat.

Kun Hiap merah matanya. Dengan meraung seperti singa kelaparan, dia membalikan tubuh dan menghantam dengan tangan kiri, darr . . .

Orang itu terlempar sampai dua tombak dan rebah tak berkutik lagi.

Kun Hiap menjadi kalap. Dia tak lagi menunggu diserang musuh. Dia lari kian kemari seperti orang mengamuk, Tetapi ternyata sudah tak ada musuh lagi.

Sejenak menenangkan napas, dia ayunkan langkah. Ke mana kuda im-yang-ma yang membawa Hui Yan tadi? Aneh mengapa kuda itu hilang seperti ditelan hutan?

Setelah mencari ke sana sini tidak berjumpa akhirnya dia terpaksa menuju ke Wi-ke-cung. Dia teringat akan ucapan Wi Ki Hu bahwa di kamar rahasia dalam 

kamar tulisnya tersimpan sepucuk surat yang akan membuka rahasia, yang selama ini merupakan teka teki misterius.

Gedung kediaman Wi Ki Hu sudah kosong. Dia heran. Apakah sebelumuya Wi Ki Hu memang sudah bertekad hendak mati maka menyuruh semua bujang pergi?

Duapuluh tahun lamanya Kun Hiap dibesarkan di rumah itu. Kini apa yang dirasakan saat itu benar2 seperti langit dengan bumi bedanya. Rumah itu tampak samun dan terasa menyeramkan.

Dia melangkah masuk dan langsung menuju ke kamar tulis Wi Ki Hu. Setelah mencari beberapa saat, akhirnya dia menemukan tempat rahasia itu. Sekali hantam dinding tembok berguguran dan terbukalah sebuah lubang. Dalam lubang itu terdapat sebuah peti besi. Diambilnya peti besi itu dan setelah dibuka ternyata terdapat sehelai surat yang sudah mangka.

Dengan hati berdebar-debar segera dia merentang surat itu, kemudian dibacanya:

Surat Pernyataan

Aku, Can Jit Cui, adalah seorang jantan yang takkan mengingkari apa yang telah kutulis dalam surat pernyataan ini.

Dalam petualanganku dengan gadis2 cantik, telah banyak gadis yang menyerahkan diri. Tetapi aku hanya main-main dengan mereka dan tak pernah aku merasa serius. Merekalah yang dengan suka rela menyerahkan kehormatannya kepadaku. Merekalah yang memburu aku . . .

Diantara yang jatuh hati kepadaku adalah gadis cantik Wi Sian Hoa. Dia tergila- gila kepadaku dan pada malam itu telah rela menyerahkan kesuciannya kepadaku. Tetapi sungguh lacur. Perbuatannya itu telah dipergoki oleh ayahnya, Wi Kiam Ong. Karena hendak dibunuh, terpaksa aku melawan dan akhirnya dalam pertempuran itu, aku dapat menusuknya sampai tewas. . .

Melihat itu Wi Sian Hoa marah dan nekad menikam aku dari belakang. Saat itu aku marah sekali karena punggungku terluka parah. Tanpa banyak pikir, kubunuh gadis itu.

Beberapa tahun kemudian, aku bertemu dengan Tong Wan Giok. Dengan gadis ini aku baru jatuh cinta. Tetapi pada saat itu juga aku didatangi Wi Ki Hu..

Wi Ki Hu juga mencintai Tong Wan Giok, tetapi ditolak. 

Dengan merah padam karena marah, Wi Ki Hu datang kepadaku dan melemparkan sepucuk aurat. Waktu kubaca isinya, aku pucat. Ternyata Wi Ki Hu adalah putera dari Wi Kiam Hong dan engkoh dari Wi Sian Hoa.

"Apa katamu?" serunya dengan bengis.

Sebagai seorang lelaki kuakui semua perbuatan yang kulakukan dulu. Tetapi kukatakan bahwa aku tak sengaja membunuh mereka dan memang aku tak mempunyai maksud begitu.

"Aku minta maaf dan terserah saja bagaimana yang engkau kehendaki," kataku kepada Wi Ki Hu.

"Aku dapat memaafkan,” kata Wi Ki Hu, "tetapi engkau harus menerima syaratku."

"Katakanlah," kataku.

"Engkau harus menyingkir tak boleh bergaul dengan Tong Wan Giok lagi!" "Oh, mengapa?" tanyaku.

"Aku mencintainya. Demi cintaku aku rela tidak menuntut balas kematian ayah dan adik perempuanku."

Sebenarnya berat rasanya hatiku meninggalkan Tong Wan Giok. Aku mencintainya. Tetapi akupun merasa bersalah dan harus menebus dosaku kepada keluarga Wi Ki Hu. Akhirnya aku terima syaratnya itu.

Pada malam itu aku hendak pamit kepada Tong Wan Giok. Aku tidak mau menceritakan soal perjanjianku dengan Wi Ki Hu. Aku hanya mengatakan kalau aku hendak pergi jauh untuk waktu yang tak dapat ditemukan lamanya. Tong Wan Giok terkejut dan menangis. Hatiku hancur karena aku sebenarnya mencintainya. Dan akhirnya aku tak dapat menguasai diriku lagi waktu dengan serta merta Wan Giok menyerahkan kehormatannya kepadaku sebagai tanda kesetyaannya.

Aku lalu pergi. Tetapi sejak itu aku sadar dan menyesal sekali karena telah menghianati perjanjianku kepada Wi ki Hu. Aku memang telah menghancurkan kehidupan Wi Ki Hu. ayah dan adiknya kubunub, gadis yang dicintainya kunodai

....

Ah, tidak. Aku seorang jantan aku harus menebus kedosaanku. Kalau bertemu dengan Wi ki Hu akan kuceritakan semua itu kepadanya, Akan kupancing 

kemarahannya supaya dia membunuh aku . . .

Aku harus mati. Manusia semacamaku tak layak hidup di dunia. Aku mati dengan rela.

Kelak anakku yang dikandung Wan Giok itu besar, jangan menuntut balas kepada Wi Ki Hu tetapi harus memperlakukannya dengan baik.

Tertanda :

Can Jit Cui

Bergemetaranlah tubuh Kun Hiap sehabis membaca isi surat itu. Tanah yang diinjaknya serasa amblong dan pandang matanyapun gelap. Bluk . .. dia rubuh tak sadarkan diri.

Entah berselang berapa lama, ketika dia membuka mata, ternyata dihadapannya tampak Poa Ceng Cay.

"O, engkau sudah siuman?" tanyanya. Kun Hiap menggeliat bangun.

"Nak, engkau banyak mengalami penderitaan," kata Poa Ceng Cay pula. Kun Hiap masih termangu-mangu.

"Itulah perjalanan hidup," kata Poa Ceng Cay, "engkau harus tahan dan bangkit kembali.Yang sudah biarlah berlalu. Tak perlu engkau sesali lagi."

Kun Hiap teringat akan surat tadi, "Apakah paman sudah membaca surat ini?"

Kun Hiap berbangkit dan terus ayunkan langkah. Sudah tentu Poa Ceng Cay kaget, "Hai, hendak kemana engkau?"

"Mencari Hui Yan sampai ketemu. Biar ke ujung langit dan keliling neraka, tetap akan kucarinya."

Poa Ceng Cay tertawa, "Tak perlu ke neraka, nak. Dia selamat. Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa dia lolos dari bahaya maut."

Kun Hiap terkejut, "Apa katamu?" serunya gugup, "Hui Yan selamat? Dimana dia sekarang?"' 

"Setelah engkau dan mamamu pergi, akupun menyusul. Kupikir, aku hendak mencari surat yang dikatakan Wi Ki Hu itu. Tetapi ditengah jalan aku berpapasan dengan seekor kuda tegar yang memanggul seorang gadis, dikejar oleh seorang gadis lain.

"Ternyata waktu kuhampiri, gadis yang rebah dipunggung kuda itu Hui Yan dan yang mengejarnya Hui Giok. Kuteriaki Hui Giok supaya berhenti. Tetapi bukannya menurut, tiba-tiba dia malah melontarkan sebuah bahan peledak kepadaku. Hampir saja aku mati kalau tak segera menyingkir ..."

"Kuda itu lari kencang mendaki gunung. Dan Hui Giok seperti kerasukan setan mengejar terus. Dia hampir berhasil mengejar dibelakang kuda itu atau tiba-tiba kuda itu meringkik keras dan menyepakkan kaki belakangnya. Karena jarak terlalu dekat dan tak menduga-duga, Hui Giok kena disepak dan mencelat dua tombak jauhnya. Ketika terbanting ketanah terdengarlah letusan keras. Tubuh Hui Giok hancur berkeping-keping, jelas dia masih membawa bahan peledak."

“Dan Hui Yan?" tanya Kun Hiap. "Dia dipondokku."

"Ah," serta merta Kun Hiap belutut menghaturkan terima kasih.

"Jangan berterima kasih kepadaku. Tetapi bersyukurlah kepada Tuhan atas berkah kemurahannya. Yang jahat pasti akan menerima buahnya," kata Poa Ceng Cay, "bangunlah, mari kita pulang."

Kun Hiap mengikuti Poa Ceng Cay pulang ke Poa-ke-cung. Bagaimana nanti, apakah Hui Yan akan dapat disembuhkan dari kelumpuhannya bukan soal. Baginya, bertemu dan berkumpul dengan Hui Yan merupakan kebahagiaan hidupnya.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar