Kuda Besi (Kuda Hitam dari Istana Biru) Jilid 03

Jilid 3.

Ayah aneh.

Pek Ing Ing lebih terkejut lagi. Maju dua langkah dia berseru . "Li cung-cu, aku mohon pamit!"

Dan tanpa menunggu jawaban tuan rumah wanita itu terus memberi hormat dan angkat kaki

Sepeminum teh lamanya barulah kicau burung kenari itu berhenti. Tetapi serempak pada saat itu, dari ujung tenggara terdengar cuit burung seriti yang membawakan suara cerah sehingga membuat hati orang senang.

Wi Kun Hiappun mulai dapat tertawa lagi. Mendengar itu Wi Kiam Liong berputar diri. Demi melihat ujung mata pemuda itu bernoda air mata, dia tertegun.

"Kun Hiap, mengapa engkau menangis?" serunya. Tetapi serentak itu diapun merasakan pipinya seperti lembab dan ketika merabahnya, ah .. . ternyata ada dua butir airmata yang mengalir turun ke pipinya.

Kejut Wi Kiam Liong bukan alang kepalang. mengapa aku juga memtikkan airmata, pikirnya.

"Celaka, jelas suara kicau hurung tadi tidak wajar," serunya ketika menyadari hal itu.

Sebenarnya saat itu Thian Go lojin, Nyo Hwat dan Li Siu Goan bertiga tengah tersenyum mendengar kecerahan burung seriti bercicit memberi makan anaknya. Wajah mereka tampak te-nang dan bahagia semisal saat itu mereka tengah dirubung oleh cucu-cucunya yang nakal dan tengah menarik-narik jenggot mereka.

Tetapi sesaat Wi Kiam Liong berteriak kaget tadi, mereka bertigapun terkesiap dan sama-sama tertegun. - Mereka menyadan bahwa suara burung itu memang 

tidak sewajarnya.

Sejenak saling bertukar pandang, merekapun lalu mengerahkan semangat menenangkan pikiran.

Suara cicit burung seritipun berhenti. Tetapi, serempak pada saat itu juga_dari ujung sebelah barat laut terdengar suara burung gagak yang melengking kaget karena tersingsal dari rombongannya. Nadanya amat menggetarkan hati orang.

Suara itu makin dekat dan suara burung gagak itu tak sedap didengar. Apalagi beberapa burung gagak yang berkaok-kaok kehilangan rombongannya. Selain menusuk telinga juga seperti menyayat-nyayat hati.

Segenap orang yang berada dalam ruangan itu, termasuk Thian Go lojin, mau tak mau tergetar hatinya.

Nyo Hwat tak dapat bertahan lagi. Dia serentak menjerit histens, "Hai, sahabat dari mana itu yang berani jual lagak disini? Hayo, gantilah dengan nada yang sedap didengar!"

"Saudara Nyo, jangan terperangkap!" Li Goan Siu cepat memberi peringatan. Tetapi sudah terlambat.

Pada saat Nyo Hwat melengking tadi, sekonyong-konyong terdengar bunyi burung prenjak berdendang riuh rendah seperti ribuan kuda lari bergemuruh. Yang lain masih tak memperlihatkan reaksi apa-apa tetapi entah bagaimana Nyo Hwat serentak seperti orang kesurupan. Dia beranjak dari kursi dan terus menan-nari...

Kalau melihat seorang dara cantik tengah menari-nari dengan lincah dalam  alunan kicau burung prenjak, tentulah orang akan kesengsam melihatnya. Tetapi yang berjoget pada saat itu adalah seorang lelaki brewok, setengah tua dan  ketua da-ri sebuah perkumpulan persilatan yang terkenal. Sudah tentu wagu dan menusuk mata kalau harus memandang bagaimana brewok dan bulu tangannya bertebaran seperti monyet menari.

Melihat itu Thian Go lojin menggembor ke-ras dan terus mencengkeram bahu Nyo Hwat. Tetapi sebagai seorang ketua partai persilatan sudah tentu tenaga Nyo Hwat luar biasa kuatnya. Thian Go lojin tak mampu mencekal bahunya.

Melihat itu Li Goan Siu segera bersuit nyaring dan loncat ke  udara, plak dia

menghantam punggung Nyo Hwat.

Menerima pukulan itu tubuh Nyo Hwatpun terhuyung selangkah kedepan. Li 

Goan Siu dan Thian Go lojin serempak bersuit nyaring lagi. Tetapi karena tenaga-dalam Thian Go lojin jauh lebih sakti maka suara suit Li Goan Siu itupun terbenam oleh suitan Thian Go.

Rupanya Li Siu Goan tahu diri.. Dia segera hentikan suitannya dan maju dua langkah untuk memapah tubuh Nyo Hwat yang jatuh di lantai itu.

Tampak wajah ketua Bu-tong-pay itu ber-warna biru lesi dan semangatnya loyo. "Nyo-heng, Nyo-heng!" Li Siu Goan memanggilnya.

Nyo Hwat menghembus napas longgar, serunya: "Apakah kita ini bermimpi?"

Li Siu Goan tak tahu bagaimana haros men jawab. Dia lalu memapah Nyo Hwat duduk di kursi. Saat itu suara burung prenjakpun berhenti karena suitan Thian Go lojin tadi.

Dalam ruangan kecuali hanya suara napas Nyo Hwat ketua Hoa-san-pay, yang lain2 tidak bicara. Beberapa jenak kemudian barulah taan ru-mah Lt Siu Goan membuka mulut.

"Thian Go lojin, apakah tadi bukan Pek-kin cinjin Kong~yap Ciau yang mengacau?"

Kong-yap Ciau seorang pertapa yang mahir dalam ilmu menirukan segala jenis binatang. Oleh karena itu dia diberi gelar Pek-kin lojin atau per-tapa Ratusan- binatang. Dia mengatakan kalau masih keturunan dari Kong-yap Ceng, seorang tokoh yang mengerti akan bahasa burung dan memiliki kepandaian silat yang sakti.

Kong-yap Ciau mempunyai watak yang a-neh. Seorang tokoh golongan ganas yang menye-ramkan setiap orang persilatan.

Thian Go lojin, ketua partai Ceng-shia-pay, gelengkan kepala, "Yang kudengar Kong-yap Ciau itu tahu bahasa burung akan tetapi belum pernah kudengar kalau dia juga amat pandai menirukan suara segala burung. Dan lagi gelom-bang  suara hurung2 itu juga paling tidak berasal dari jarak empat lima li jauhnya. Nyo ciang-bun begitu buka suara terus termakan serangan suara itu. Kurasa Kong  Yap Ciau juga takkan selihay itu..”

"Kalau begitu dia lebih lihay dari Kong Yap Ciau?" Li Siu Goan terkejut. Thian Go lojin tak menyahut. 

Tiba2 Wi Kiam Liong berpaling dan berje-ngit, "Ih, mengapa Pek Ing Ing tidak kelihatan?"

"Kapan dia pergi?" kata Nyo Hwat yang sa-at itu sudah makin membaik keadaannya.

Wajah Thian Go lojin dan Li Siu Goan serentak berobah. Kedua tokoh itu juga tak tahu kapan wanita cantik itu meninggalkan ruang.

Sebenarnya hal itu bukan karena Pek Ing Ing memiliki iimu gin-kang yang luar biasa saktinya tetapi karena pada waktu dia ngacir pergi, tokoh2 yang berada di ruang itu sedang menum-pahkan perhatian kepada suara beberapa burung yang aneh. Sedemikian terpikat semangat dan perhatian mereka sehingga mereka tak tahu kalau Pek Ing Ing diam2 sudah menyelinap pergi.

Jika ada seorang pergi tak diketahui, pun kalau ada orang masuk tentu juga tak diketahui. Serempak kedua tokoh itupun mengerlingkan pandang matanya ke sekehling ruang besar disitu te-tapi mereka tak melihat barang seorang pendatang baru.

Wi Kiam Liong menghela napas, "Orang menyuarakan  bunyi burung. apakah

bukan lawan dari orang yang meninggalkan tulisan diatas tiang?"

Sret, serentak Li Siu Goan sudah mencabut senjatanya. Kim-tiau-hoan atau Rajawali-emas-berbalik, demikian nama dan senjatanya yang telah mengangkat namanya ke jeojang kemasyhuran dalam dunia persilatan. Suatu jenis senjata yang istimewa. Bentuknya hampir menyerupai sebatang Poan-koan-pit ( pena). Batang senjata hanya le-bih kurang setengah meter panjangnya. Ujungnya berbentuk cakar burung rajawali yang tengah menebar. Memancarkan sinar kemilau emas, besarnya sebesar genggam tangan orang.

Ujung yang lain, bulat tumpul seperti jari orang. Ujung depan yang berbentuk cakar itu dapat digunakan untuk menerkam, sedang ujung belakang dapat digunakan untuk menutuk.

Senjatanya itu merupakan senjata yang pandak Tetapi justeru senjata yang pandak itu lebih berbahaya. Li Siu Goan telah menciptakan sendiri permainan senjata itu, terdiri dari 72 jurus. setiap jurus serangan selalu mengarah jalandarah berbahaya dari lawan. 

Sekali tangan menggertak, cret ujung cakar dari senjatanya segera

menyusup masuk ke permukaan meja. Dan tepat pada saat itu juga, tiba2 setiup angin lembut berhembus dan tanpa mengeluarkan sedikit suarapun juga, tahu2 dalam ruang itu sudah muncul seorang pendatang baru. 

Begitu mendadak sekali kemunculan orang itu sehmgga sekalian orang tertegun dan serempak mencurah pandang kearahnya.

Ah, terdengar Wi Kiam Liong yang pertama-tama menghela napas longgar. Pendatang itu bukan lain adalah si dara yang disebut Sam-kounio yang pernah menertawakannya.

Wi Kiam Liong cepat melengos tetapi dara itu sudah menghambur tawa, "Ala, tak usah main sembunyi. Aku toh sudah melihat."

Sekalian orang masih tercengkam dengan gerak kedatangan si dara yang begitu luar biasa itu sehingga tak seorangpun yang membuka mulut.

Baru setelah dara itu berbicara maka Li Siu Goanpun berseru, "Dari manakah nona ini? Tempat ini bakal terjadi sesuatu, lebih baik nona tinggalkan tempat mi."

Tetapi dara itu tak mengacuhkannya. Ia maju selangkah dan ulurkan tangan menyambar senjata cakar Kim-tiau-hoan yang masih menancap di meja.

Seperti telah diterangkan dimuka, senjata Kim-tiau-hoan itu, merupakan senjata andalan Li Siu Goan yang telah mengangkat namanya dalam dunia persilatan.

Gelar dari Li Siu Goan juga di-dasarkan pada nama senjatanya itu. Maka begitu melihat si dara hendak lancang mengambil, cepat2 Li Siu Goan ulurkan tangan hendak mencekal tangan si dara.

Li Siu Goan bergerak amat cepat sekali. Tetapi astaga, ternyata cekalannya itu hanya menemui angin kosong. Dan ketika mengangkat muka, dilihatnya senjata Kim-tiau-hoan itu sudah berada di tangan si dara.

Sudah tentu kejut Li Siu Goan bukan alang kepalang, Dia benar2 tak tahu cara bagaimana senjata itu bisa pindah ditangan si dara. Dia terlongong-longong kesima. Dan pada waktu dia hendak membuka mulut, sidara sudah mendahului.

“Ih, senjata untuk menggaruk gatal benar2 hebat sekali buatannya," serunya.

Mendengar itu, kata2 yang hendak diluncur-kan Li Siu Goan itu ditelan kembali. Wajahnya berobah pucat.

Alat penggaruk gatal di tubuh orang, hanya-lah terbuat dari pada bambu, tetapi senjata Kim-tiau-hoan adatah senjata istimewa yang mengge-tarkan dunia persilatau. Masa dara itu menyamakan senjata Kim-tiau-hoan dengan bambu penggaruk gatal. 

"Itu bukan alat penggaruk gatal! " seru Li Siu Goan dengan nada bengis.

Dara itu mengikik, " Kalau bukan alat penggaruk gatul, lalu apa?" Sambil berkata dia julurkan Kim-tiau-hoan itu untuk menggaruk muka Li Siu Goan.

Seketika Li Siu Goan merasa seperti dua buah sinar kemilau memancar dihadapannya dan tahu2 pipi kanan dan kirtnyaseperti telah digaruk oleh senjatanya sendiri itu. Dan pada saat itu juga dia ngelumpruk duduk di kursi, wajah pucat dan tak berkutik lagi.

Sebenarnya garukan pada kedua pipinya itu hanya ringan sekali dan tak menimbulkan luka berat. Tetapi mengapa dia sampai begitu lunglai kehilangan semangat? Hal itu tak lain dikarenakan dia menyadari bahwa berhadapan  dengan si dara yang tak dikenalnya itu, dia seperti tak dapat berbuat apa2. Ilmu kepandaiannya jauh terpautnya dengan dara itu. Itulah yang menyebabkan dia lemas dan tak dapat bicara apa2.

Dara itu tertawa pula dan berseru, " Hayo, katakanlah, apakah bukan alat penggaruk gatal?"

Dengan tertawa pahit Li Siu Goan menyahut " Ya, ya, benar, memang alat penggaruk gatal.

Cret kembali Kim-tiau-hoan itu menancap di meja ketika tangan si dara

berayun. Kemudian dara itu tertawa kepada Kun Hiap yang saat itu berada di belakang Wi Kiam Liong. Nadanya bergemericik laksana petikan yang~khim yang merdu memikat.

Tetapi anehnya, Kun Hiap malah terus ber-putar tubuh, wajahnya berobah pucat seperti melihat sesosok Siluman yang menyeramkan..

Wi Kiam Liong juga terkejut ketika menyaksikan kepandaian yang dipertunjukkan dara itu.

"Apakah nona tak keberatan untuk memberi tahu, apa tujuan nona datang kemari?' serunya. Diam2 dia mengharap agar nona itu jangan orang yang menulis pada tiang itu.

"Ih, kiranya kalian masih belum tahu?" tiba tiba dara itu melengking, "bukankah sudah kutulis pada tiang itu kedatanganku kemari tak lain hanyalah untuk menerima barang itu.

Mendengar itu wajah Wi Kiam Liong berobah lesi seketika. Dia tak dapat omong 

lagi. Sedang tuanrumah, Li Siu Goan, jugu masih lunglai di kursinya dan tak omong apa2 lagi.

Sedangkan Kun Hiap, setelah tahu dara itu hendak merampas barang antaran yang dikawal pamannya, marah sekali.. Tetapi karena menyadari dia tak mampu melawannya maka dia terus berputar diri dan membentak sekeras-kerasnya, "Engkau..."

Tetapi saat itu Thiau Go lojin mendahului kebutkan lengan jubahnya untuk mencegah Kun Hiap melanjutkan kata-katanya.

"Siapakah nama nona?" kata Thian Go lojin.

Dara itu tertawa mengikik, "Karena Thian Go cianpwe yatig bertanya, akupun tak berani membohongi. Aku orang she Tian, nama Hui Yan."

Thian Go tak menghiraukan siapa nama dara itu. Dia hanya memperhatikan she nona itu. Segera dia menggali ingatannya untuk mencari siapa-siapa tokoh she Tian dalam dunia persilatan itu. Dan apakah dia itu tergolong aliran putih atau hitam.

Memang dia dapat menemukan beberapa jago she Tian.. Tetapi kepandaian mereka hanya biasa-biasa saja. Jauh sekali bedanya dengan dara yang mengaku she Tian itu.

Thian Go lojin tahu bahwa dunia persilatan itu luas sekali. Banyak tokoh2 sakti yang masih tersembunyi. Dan yang muncul baru sebagian saja. AkhitnyaThian Go lojin hentikan renungannya..

"Nona Tian, kalau engkau hendak merampas barang antaran itu, apakah tidak tepat waktunya," seru ketua dari partai Ceng-shia itu.

Gundu mata si dara Thian Hui Yan berputar sehentar lalu berkata, "O, aku mengerti. Apakah karena Thian Go cianpwe berada disini?"

Thian Go lojin mengurut-urut jenggotnya tak mau bicara. Suatu pertanda bahwa maksudnya memang seperti yang dikata dara itu.

Dara itupun tertawa mengikik dan berseru pula, "Thian Go cianpwe, sering kudengar orang berkata, bahwa 'pohon kalau sudah tua tentu tengahnya (hatinya) kosong’. Dan orang kalau sudah tua, uh, juga tak hanyak gunanya lagi!"

Thian Go lojin tertawa hambar, "Peribahasa mengatakan 'anak kambing tak takut 

pada harimau '. Kiranya memang benar."

Tian Hui Yan tiba2 gentakkan tangan dan sret secercah sinar perak yang

halus, melayang kearah Thian Go lojin.

Luar biasa cepatnya dara itu bergerak sehingga seorang tokoh seperti Thian Go lojin, sesaat tak tahu benda apa yang melayang kepadanya itu.

Hanya dia mendengar dara itu berseru melengking, "Kalau begitu, aku hendak mengunjuk kegarangan!"

Thian Go lojin merebahkan tubuhnya sedikit ke belakang, sembari kebutkan lengan jubahnya kearah sinar pelangi itu. Plak, lengan jubah lojin itu menampar meja dan sinar pelangi itupun lenyap.

Saat itu si dara masih memegang seutas rantai perak sebesar jari tangan. Yang menjulur hanya sepanjang empat atau lima dim, sisanya telah ditelungkupi lengan baju Thian Go di meja.

Wajah Hui Yan terkejut sekali tetapi pada lain saat berobah tenang kembali Dia menggerakkan tangannya kebawah. Seketika rantai perak yang tertindih lengan baju Thian Go di meja itu, mulai bergerak-gerak minp dengan seekor tikus yang hendak menyelundup kedalam liangnya.

Hui Yan berusaha untuk melepaskan rantai peraknya dari tindihan lengan jubah Thian Go. Tetapi ternyata lengan jubah lojin itu sudah disaluri dengan tenaga- dalam yang cukup besar. Walaupun lengan jubah itu terbuat danpada kain le- mas tetapi saat itu berobah menjadi benda yang tak kurang dan seribu kati beratnya.

Memang karena ditarik Hui Yan, rantai perak itn bergerak keras sekali Tetapi tetap tak dapat lolos dari tindihan lengan jubah.

Sepasang pipi Hui Yan mulai bertebar warna merah dan hidungnyapun mulai menitikkan air. Pertanda bahwa dia sudah mengarahkan tenaga-dalam sampai tujuh delapan bagian. Sedangkan Thian Go lojin tampak masih tenang2 saja dan berkata dengan nada dingin, “Nona Tian, bagaimana kalau engkau segera tinggalkan desa Li ini?" serunya.

Tian Hui Yan tertawa melengking, "Thian Go cianpwe, apa yang menjadi tujuanku datang kemari, belum terlaksana. Bagaimana aku dapat pergi?"

"Jika engkau tak mau melihat gelagat," kata Thian Go dengan dingin, '"dikuatirkan apabila engkau hendak pergi, sudah tak. dapat pergi lagi." 

Hui Yan tertawa mengikik sembari menyurut mundur. Rantai perak yang tertindih lengan jubah Thian Go di meja, karena ditarik-tarik si dara, mengeluarkan bunyi berderak-derak dan tahu-tahu keempat kaki meja yang terbuat danpada kayu mahoni itupun putus.

Pada waktu kaki meja putus, Hui Yanpun membarengi menarik kesamping, tring

....

Temyata tali rantai perak itu panjangnya hampir satu setengah meter. Ujung rantai merupakan sebuah roda kecil yang sekeliling tepinya amat tajam. Benar2 sebuah senjata aneh yang tak pernah terdapat dalam dunia persilatan.

Sesaat rantai dapat ditank keluar, dara itupun bersuit nyaring. Wajah Thian Go agak berubah. Tubuhnya sedikit menunduk dan lengan jubahnya segera meluncur maju. Sebelum si dara sempat mengambil kembali rantainya, ujung lengan jubah Thian Go sudah melibat rantai itu lagi.

Hui Yan tertegun. Dia menarik sekuat-kuatnya tetapi mana mampu? Malah setelah dapat melilit ujung rantai, Thian Go lalu menariknya. Bahkan tangan kanannyapun sudah diangkat untuk menarik si dara.

Betapa besar nyali Hui Yan tetapi dia juga masih punya pikiran. Tak mungkin dara itu berani melanjutkan menarik rantainya lagi. Dan lagi dengan hanya melilit ujung rantai itu, tentulah Hui Yan tak sampai terluka sehingga gurunya takkan marah dan mendendam. Demikian perhitungan Tluan Go..

Memang perhitungan itu tepat. Tetapi ketika Tluan Go menarik, ternyata Hui Yan tegak seperti sebatang pohon yang berakar. Kokohnya bukan kepalang.

Thian Go terkejut. Dia memang tahu kalau dara itu berilmu tinggi tetapi dia tetap yakin tentu dapat mengatasi. Tetapi setelah ia tak mampu menarik, barulah dia kelabakan kaget Buru2 dia mengerahkan tenaga-dalam untuk memperkuat tarikannya.

Tetapi ah, kurang ajar benar dara itu. Kalau Thian Go tambah ngotot, sebaliknya dara itu malah menarik tenaga perlawanannya. Dia tak mau melawan.

Thian Go kecele. Dia ngotot, Hui Yan kendor. Tambahan tenaga-dalam yang dipancarkan Thian Go itu, sia-sia saja. Bukan itu saja. Pada saat itu juga si dara sudah loncat untuk menyerbunya. Karena terdesak, Thian Go terpaksa rebahkan tubuh ke belakang, brak kursi yang didudukinya hancur berantakan.

Thian Go tahu bahwa kalau dia sampai jatuh ke lantai, tentulah akan kehilangan 

muka. Tetapi dia memang seorang ketua partai persilatan yang sakti. Dalam saat yang mengancam kebesaran namanya itu, dia segera kibaskan lengan jubah sebelah kiri kearah Hui Yan, sedang tangan ka-nannya menampar kearah lantai. Dengan meminjam tenaga tamparan itu, ia layangkan tubuhnya keudara.

Tetapi Hui Yan memang lihay sekali. Pada saat Thian Go melayang ke udara, dara itu sudah apungkan diri loncat melampaui atas kepala Thian Go. Waktu berada diatas kepala Thian Go, Hui Yan menarik rantainya, kres sekelumit

rambut putih Thian Go terpapas.

Waktu Thian Go lojin berdiri tegak, Hui Yanpun sudah melayang sampai setombak jauhnya, berputar tubuh dan memberi hormat kepada orang tua itu seraya beneru, ' Maaf, maaf.

Melihat tangan si dara mengepal seuntai rambut putih, serentak Thian Go terlongong kesima. Dia menyadari, latihannya akan ilmu tenaga-dalam selama berpuluh tahun, kalau bertanding dengan si dara yang masih muda belia itu, dia tentu menang. Tetapi ternyata dengan akal kecerdikan, Hui Yan dapat menang angin

Thian Go lojin menghela napas. Sembari kebutkan lengan jubah dia melesat keluar dari ruangan. Pada lain saat bayangannya sudah lenyap. Rupanya ketua partai Ceng-shia-pay itu malu dengan ' kekalahan ' yang didenta dan Hui Yan.

Sepeningga! jago tua itu, orang2 yang masih berada dalam ruang saling berpandangan. Hui Yan tertawa lancang, "Thian Go lojin sudah pergi. Naga- ungu-sakti dan Li cungcu, tampaknya tak mau adu kekerasan dengan aku. Wi sin-kiam, lukamu belum sembuh betul, barang antaran yang engkau kawal itu, jelas tentu akan kurebut."

Wi Kun Hiap tiba2 menggembor marah, "Engkau lupa kalau akumasih ada!"

Tian Hui Yan mendesis, "Ih, ya, ya, aku melupakan Wi siauhiap, maaf! Bukankah Wi siau-hiap tentu akan menjaga barang antaran itu dengan mati-matian?"

Tetapi pemuda itu tak mau banyak bicara lagi. Serentak mencabut pedang dia terus menerjang dan menusuk dada si dara.

Thian Hui Yan agak mundur sedikit, rantai perak digentakkan keatas, Belum pedang Wi Kun Hiap sempat bergerak, tahu2 siku lengannya terasa mengencang karena sudah terlilit rantai si dara. Dan suatu arus tenaga besar segera memancar sehingga tubuhnya terangkat dan melayang keluar dari ruang besar itu. 

Sudah tentu Wi Kiam Liong terkejut bukan main. Sembilan batang pedang-kecil segera ditaburkan. Tetapi dara itu tak mau menyambuti. Dia tawa mengikik dan terus melesat keluar.

Melihat itu Wi Kiam Liong memburu tetapi tiba2 Hui Yan berpaling dan berseru sembari tertawa. "Ah, tak perlu mengantar ..." - sambil berkata dia memberi hormat dengan kedua tangannya tahu2 Wi Kiam Liong rasakan dadanya telah dilanda segulung tenaga yang keras sekali sehingga dia terpental mundur beberapa langkah.

Ternyata Hui Yan lari keluar itu karena hendak menolong Kun Hiap. Begitu tubuh Kun Hiap meluncur turun dari udara, dara itu ulurkan tangan menyambutmya.

Tetapi Kun Hiap tak berterima basih. Ia menabas kepala dara itu dengan pedang Kim-liong-kiam. Si dara surutkan kepala mundur sehingga pedang itu hanya  lewat disisinya. Kalau Kun Hiap tak cepat2 merighentikan pedangnya, tentulah bahunya sendiri akan terpapas.

Setelah menyambuti tubuh Kun Hiap, berserulah Hui Yan, 'Wi piauthau," katanya kepada Wi Kiam Liong, “jangan kaget, aku hanya perlu bicara dengan dia,"

Wt Kiam Liong hanya tertegun. Ia melihat sendiri bagaimana seorang tokoh seperti Thian Go lojin toh dapat dijinakkan oleh dara itu, apalagi dia. Terpaksa dia hanya berdin diam melihat sidara membawa pergi Kun Hiap

Kun Hiap berusaha untuk meronta tetapi tak mampu melepaskan diri dan tangan si dara yang mencekal pinggangnya dan diangkat keatas.

"Mau apa engkau ini'" teriaknya dengan marah sekali.

"Jangan kuatir," sabut Hui Yan, "aku hanya perlu akan bertanya sedikit kepadamu."

"Kalau begitu lepaskan aku."

"Baik," seru Hui Yan seraya terus meletakkan tubuh Kun Hiap supaya berdiri di tanah.

Kun Hiap tak habis herannya melihat tingkah laku dara aneh itu. Setelah tertegun beberapa jenak, baru dia bertanya, "Engkau mau tanya apa?"

Hui Yan tertawa cerah.

"Ah, sebenarnya juga tidak ada apa2,” katanya. 

Sudah tentu Kim Hiap marah. Dia tahu dara itu memang dengan sejujurnya berkata begitu kareua memang tidak mempunyai urusan apa2 dengan dia. Dara itu mengaduk rumah keluarga Li, bukan mempunyai tujuan apa2 kecuali hendak membawanya ( Kun Hiap ) keluar dari rumah itu. Dan apa perlunya? Tak lain supaya dia (Kun Hiap) disuruh menelan kata2 si dara yang membikin kesal hati agar dara itu gembira.

Dara itu tak menyadari bahwa perbuatannya itu bukan melainkan menyebabkan tuanru-mah Li Siu Goan sakit dihati, pun Nyo Hwat juga menderita luka dan Thian Go lojin juga mendapat malu sehingga dikuatirkan jago tua itu tak mau lagi muncul di duma persilatan. Kesemuanya itu adalah perbuatan dari seorang dara yang suka ugal-ugalan seperti Hui Yan.

Sambil berpaling tubuh, Kun Hiap menggeram, "Kalau memang tak ada perlunya, mengapa engkau membawa aku kemari?"

"Ih, dikata tidak punya urusan tetapi sebenarnya juga ada sedikit," sahut si dara. Kun Hiap meringis. Tertawa tetapi seperti orang meringis.

"Uh, waktu paman Lo hendak menutup mata, dia minta tolong kepadamu suruh mencari seseorang.. Apakah engkau tak ingin mencari orang itu?"

"Dia tak mengatakan siapa orang itu, bagaimana mungkin aku dapat mencarinya?" sahut Kun Hiap.

"Beberapa jago sakti itu berkumpul di Istana Tua. Ada dua diantara mereka yang tertimpah bahaya maut dan masih ada seorang lagi yang wajahnya minp paman Lo sedang mempermainkan mereka. Apakah engkau tak merasa aneh?" seru Hui Yan.

"Kalau merasa aneh lalu bagaimana?" geram Kun Hiap.

Hui Yan tertawa, "Kutahu siapa orang yang paman Lo suruh engkau mencarinya itu "

"Siapa?"

"Waktu dia meningga!, tangannya menuding pada sebuah lukisan orang yang tergantung di ujung tembok. Nah, siapa lagi kalau bukan orang itu yang dimaksud paman Lo."

"Itu gambarku!" teriak Kun Hiap. 

Hui Yan tertawa dingin, "Engkau? Pernahkah engkau dilukis oleh Poa Ceng Cay tayhiap?"

Kun Hiap terlongong-longong. Dia seperti orang yang tersadar dan mimpi. Memang benar. Dia tak pemah dilukis oleh Poa ceng Cay. Bah-kan siapa Poa Ceng Cay yang disebut si dara sebagai seorang tayhiap (pendekar besar ) itu, diapun belum pernah bertemu. Tetapi mengapa dalam ruang Istana Tua itu terdapat gambar dirinya ( Kun Hiap)? Bukankah hal itu menandakan kalau dia pernah dilukis oleh Poa Ceng Cay itu? Aneh, benar2 aneh sekali! Makin memikir, pikiran Kun Hiap makin bingung.

"Lukisan orang itu sudah tentu bukan engkau," kata Hui Yan pula, "tetapi seorang yang tentunya mempunyai hubungan dekat sekah dengan engkau. Mungkin engkohmu."

"Ngaco!" bentak Kun Hiap.

"Atau mungkin ayahmu," Hui Yan tak menghiraukan.

Sudah tentu Kun Hiap makin marah, "Jangan ngaco belo tak keruan engkau! Bagaimana wajah ayahku masa aku tak tahu!"

Tiba2 Hui Yan tertawa mengikik, "Siapa tahu mamamu pernah kawin dengan orang lain sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang mi, Engkau ikut pada ayah tiri tanpa tahu siapa ...”

Sebelum Hui Yan melanjutkan kata-katanya Kun Hiap sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia segera menabas dengan pedang Kim-liong-kiamnya.

Hui Yan tetap tertawa mengikik. Tanpa berkisar langkah, tubuanya bergeliat dan dengan indah sekali dia sudah dapat terhindar dari ancaman pedang. Karena merasa tak mampu melawan, Kun Hiap hentikan pedangnya, berputar tubuh terus ngeloyor pergi.

Tetapi baru dua langkah berjalan, Hui Yan sudah meneriakinya, "Hai, berhentilah!"

Tetapi Kun Hiap tak mau menghiraukan lagi.

"Anggaplah aku tadi bicara ngaco dan sekarang aku hendak minta maaf," seru si dara.

Tetapi Kun Hiap tak mau menjawab daa tetap ayunkan langkah bahkan terus 

lari. Tetapi dia tetap mendengar suara dara itu seperti hanya dua meter jaraknya dibelakangnya.

"Hai, engkau ini bagaimana sih? Apakah engkau benar2 tak mau mencari Poa Ceng Cay untuk minta keterangan kepadanya?"

Kun Hiap tahu kalau dia tak mampu menandingi dara itu, baik dalam kepandaian silat maupun adu lidah. Pun dia merasa tak mungkin dapat melepaskan diri dari libatan dara itu. Maka diapun diam saja tak mau menyahut.

Beberapa kejab kemudian tibalah dia di sebuah simpang jalan. Waktu dia mengambil jalan kearah kiri, tiba2 Hui Yan sudah meneriakinya, "Salah! Kalau mau ke rumah Poa Ceng Cay, harus mengambil jalan kearah kanan "

"Siapa yang hendak datang ke rumah orang she Poa itu?" teriak Kun Hiap penuh geram.

“Sudah-tentu engkau ” si dara-tertawa.

Sebelum Kun Hiap sempat menjawab, setiup angin telah mendampar bahunya. Cepat dia miringkan tubuh tetapi tetap tak mampu menghindar. Saat itu   bahunya terasa kencang dan tahu2 tubuhnya sudah diangkat Hui Yan yang terus melemparkannya, Ternyata dara itu melemparkan Kun Hiap kearah jalan yang kanan dan serempak pada saat itu terdengar Hui Yau berseru seolah memberi perintah, “Hayo, jalan ! "

Marah Kun Hiap bukan alang kepalang. Dia tetap mematung tak mau berjalan. Melihat itu Hui Yan berseru, "Kalau engkau mogok, aku terpaksa akan memaksamu berjalan."

"Aku tetap akan mogok saja, coba lihat bagaimana caramu hendak memaksa aku,” diam2 Kun Hiap berkata dalam hati.

Plok . . baru berpikir begitu tiba2 pantatnya ditendang Hui Yan. Tendangan itu tepat mengenai jalandarah wi-tiong hiat di belakang lutut dan diluar  kehendaknya sendiri, Kun Hiap seperti dipaksa lari. Karena kuatnya tendangan si dara, Kun hiap lari sampai 30-an langkah baru berhenti.

Tetapi baru saja dia berhenti, tendangan kedua sudah melayang dan Kun Hiappun seperti terseret lari. Dia berusaha untuk menghentikan larinya tetapi tak mampu.

"Hayo, coba engkau bayangkan. Kalau engkau di jalan besar berjalan seperti itu, apakah tidak ditertawakan orang? Maka lebih baik engkau berjalan sediri saja 

dan akupun tak mempunyai maksud jelek kepadamu."

Mendengar itu diam2 tercekatlah hati Kun Hiap. Memang benar kata dara itu. Saat itu mereka berada dijalan yang sepi tetapi bagaimana nanti kalau tiba di jalan besar "

Berpikir sampai disitu, kepalanya berkeringat.

Setelah memaksa Kun Hiap berjalan degan tiap kali harus menendang kaki pemuda itu, akhirnya mereka teiah mencapai jarak tiga limapuluh li. Napas Kun Hiap mulai terengah-engah, hatinya bingung sekali. Dia sudah mencari berbagai akal agar dapat terhindar dari dara itu, namun tetap sia-sia saja.

Selama dipaksa lari itu entah sudah berapa kali dia coba untuk menabas si dara dengan pedangnya tetapi kesemuanya itupun tak berguna.

Saat itu dia melihat bahwa tak berapa jauh disebelah depan mereka segera akan tiba disebuah jalan besar. Sudah tentu dia kelabakan setengah mati.

Sebaliknya Hui Yan masih tetap tertawa-tawa menendangnya supaya berjalan. Kemarahan Kun Hiap benar2 sudah memuncak. Dia menabas dan menghantam ke belakang. Tiba2 tangan kirinya yang menghantam itu telah membentur sebuah benda..

Walaupun sedang meluap amarahnya, namun Kun Hiap masih tak lupa akan ilmusilat dari keluarganya, dimana dia telah mendapat latihan yang kokoh.. Selekas mencengkeram benda ltu, dia segera menyadari kalau yang dicengkeram itu adalah siku lengan orang maka diapun segera memperkencang cengkeramannya. Dan begitu berpaling, dia baru tahu kalau yang dicengkeram  itu benar2 pergelangan tangan si dara.

Sudah tentu saat itu girang Kun Hiap bukan alang kepalang. Tanpa menghiraukan segala adat dan segala jurus ilmu apa saja, dengan menggembor keras dia terus menabas muka Hui Yan.

Tabasan itu menggunakan seluruh tenaganya. Dia ingin sekali dapat menabas tubuh si dara sampai kutung. Begitu sinar pedang Kim-liong-kiam berkelebat melayang turun, dilihatnya wajah Hui Yan agak merebah ke belakang dan mata agak dipejamkan. Tepat wajahnya itu tertimpa cahaya matahari silam, kedua pipinya tampak berwarna merah jambu, cantiknya bukan alang kepalang.

Telah dikatakan marah Kun Hiap terhadap dara yang telah mempermainkan dirinya itu bukan alang kepaiang. Dia benci kemati-matian kepada dara itu sehingga ingin sekali tabas dia dapat mengutungi tubuhnya. Akan tetapi dikala 

matanya tertumbuk pada wajah si dara yang cantik berseri-seri laksana seorang dewi, entah bagaimana tangan Kun Hiap serentak ditariknya kembali.

Tetapi dia menggunakan tenaga besar untuk menabas, waktu ditarik kembali, diapun menggunakan tenaga yang kuat sekali. Begitu kuatnya dia menarik sehingga pedang itu sampai membentur keningnya.

Untung waktu menarik itu tangannya melingkar. Coba tidak tentulah keningnya akan terpapas mata pedang. Sekalipun begitu karena terbentur dengan punggung pedang, tak urung kening nya juga berdarah dan sakit.

Saat itu Hui Yan baru membuka mata. Ketika memandang lekat2 pada pemuda itu. Justeru saat itu Kun Hiap juga tengah terlongong-longong memandangnya. Keduanya saling berpandang-pandangan sampai beberapa saat.

"Terima kasih atas kebaikanmu tak jadi membunuh aku," akhirnya Tian Hui Yan tertawa renyah".

Kun Hiap menghela napas dan lepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Hui Yan.

"Perlu apa engkau mempermainkan aku ?" tanyanya, "sudah tahu kalau kepandaianku rendah dan tak dapat membunuhmu."

"Tidak, tidak!" cepat Hui Yan berteriak, "tadi kalau engkau jadi menabas, aku tentu mati!"

Teringat akan adegan tadi, diam2 Kun Hiap kucurkan keringat dingin karena merasa ngeri membayangkan apabila pedangnya jadi membelah tubuh si dara.

"Tetapi perlu apa engkau membiarkan dirimu kubunuh ?" tanya Kun Hiap.

Jawab si dara, "Kutahu tak nanti engkau tega membunuh aku. Cobalah engkau pikir. Apa sebab dan gunanya engkau hendak membunub aku itu ?"

Kun Hiap terbeliak- Dia sendiri juga tak mengerti mengapa dia tadi begitu marah dan terus mencabut pedang hendak membunuh dara itu.

"Nona Tian," katanya, "rasanya sudah cukup puas engkau mempermainkan aku. Aku mau kembali ke rumah keluarga Li, harap jangan merintangi lagi."

"Tetapi aku justeru hendak meminta engkau mengunjungi Poa Ceng Cay. Mendengar itu marahlah Kun Hiap. "Aku harus pergi kemana, masa aku tak tahu 

?"

Hui Yan tundukkan kepala dan memainkan ujung lengan bajunya, katanya, "Sebenarnya, aku bertindak demi kebaikanmu."

“Kalau memang betul begitu," teriak Kun Hiap, "silakan engkau tinggalkan aku jauh- jauh".

Baru Kun Hiap berkata begitu, tiba2 terdengar lelaki yang nyentrik sekali. Dia menunggang seekor keledai tetapi caranya menunggang tidak seperti orang biasa, melainkan berbalik tubuh menghadap ke belakang. Tetapi yang mengherankan pula, walaupun keledai, larinya bukan alang kepalang cepatnya.

Dan begitu datang, orang aneh itu terus julurkan kepalanya ke muka sehingga hampir membentur muka Kun Hiap.

"Hah, engkau lagi budak kecil. Rupanya engkau sama dengan bapamu, suka menggoda wanita, ya?" kata orang aneh itu.

Orang itu tak lain adalah si orang aneh yang pernah bertemu dengan Kun Hiap. Kun Hiap tahu kalau yang mengirim surat undangan tanpa nama itu bukan lain adalah orang nyentrik itu.

Habis berkata orang itu menarik mundur kepalanya lagi.

"Mengapa anda ngomong sembarangan saja menghina ayahku?” balas Kun Hiap.

Tiba2 orang aneh itu menjulurkan mukanya lagi. Kali ini malah ujung hidungnya hampir menyentuh ujung hidung Kun Hiap.

"Ha," dia tertawa, "Apa sih bapamu itu? Sekalipun kumaki dengan kata2 kotor, pun sudah selayaknya. Engkau mau apa?"

Berhadapan dengan seorang yang liar seperti Tian Hui Yan, Kun Hiap sudah pusing. Sekarang dia harus bertemu lagi dengan seorang manusia aneh yang urakan yang terang-terangan menghina ayahnya. Walaupun tahu kalau bukan lawannya tetapi Kun Hiap tak dapat menahan sabar lagi.

Dengan menuding ujung hidung orang itu, dia menegur, "Kalau mau bicara, harap dipikir dulu !"

"Ha, ha," kembali manusia aneh itu tertawa mengejek, "budak hina seperti engkau mau pura-pura seperti seorang kuncu (gentleman) di hadapanku. Coba katakanlah, apa gunanya seorang manusia seperti ayahmu itu ?" 

"Siapakah yang tak tahu akan kebesaran nama ksatrya dari ayahku?" seru Kun Hiap.

"Salah omong engkau!" tukas manusia aneh itu, "bukan nama ksatrya tetapi nama busuk!"

"Ngaco !" bentak Kun Hiap, "berani benar engkau menghina pendekar pedang Naga-emas Wi Ki Hu ?"

"Ah,'" tiba2 orang aneh itu mendesuh kaget, "kiranya mamamu menikah lagi ? Kalau begitu engkau punya ayah sambungan.

Mendengar itu marah Kun Hiap bukan kepalang. Pikirnya, ternyata manusia aneh itu sealiran dengan Tian Hui Yan yang hendak mempermainkan dirinya.

Bingung.

Mendengar kata2 si orang aneh, Kun Hiap tertegun dan merenung lalu berputar kearah Tian Hui Yan. Tetapi dara itu tengah berdiri membelakanginya dan menghadap kearah sebatang pohon. Dia diam tak bergerak.

Kun Hiap heran, pikirnya, "Biasanya dara itu liar, mengapa sekarang seperti patung ?"

Melihat Kun Hiap tak bicara, orang aneh itu berseru pula, "Ha, sepanjang hidupnya ayahmu itu hanya pandai merebut isteri orang. Itulah sebabnya maka isterinya juga pernah diserobot orang. Coba engkau bilang apa ?"

Tadi sebenarnya K.un Hiap sudah tak dapat menahan kesabarannya. Sekarang mendengar orang aneh itu kembali menghina mamanya, dia sudah tak mampu mengendalikan diri, dengan membentak keras dia menghantam orang aneh itu.

Tetapi baru dia mengangkat tangan, tiba2 lengannya sudah lunglai sehingga tak kuasa diangkat lagi. Rupanya jalandarahnya pada lengan bawahnya telah ditutuk orang. Dan pada saat itu dia seperti mendengar sebuah ngiang suara yang lembut, berasal dari arah Hui Yan berdiri.

Jelas tentulah dara itu yang menggunakan senjata rahasia untuk melumpuhkan jalandarahnya. Rupanya dara itu melarangnya jangan cari perkara dengan siorang aneh. 

Orang aneh itu hanya ganda tertawa. Untung dia tak mau melibat Kun Hiap lebih lanjut. Sehabis berkata tadi, dia terus tertawa gelak2 dan keledainyapun segera melanjutkan perjalanan lagi. Dalam sekejab saja sudah jauh.

"Budak kecil, jangan memperlakukan kasar pada dara itu. Terus terang, engkau masih belum nempil dengan ujung kakinya," tiba2 pula dari jauh orang aneh itu berseru.

Kun Hiap hendak balas memaki tetapi manusia aneh itu sudah jauh sekali. Terpaksa Kun Hiap hanya mendengus geram, "Orang gila !"

"Dia sudah pergi?" saat itu baru Hui Yan buka suara. Nadanya menunjukkan rasa jeri.

Kun Hiap tertegun dan tiba2 tertawa, "Ho, ternyata engkau juga punya takut toh

?”

Dia sudah kenyang menerima ejekan sidara. Sekarang ternyata dara itu juga takut berhadapan dengan si manusia aneh tadi. Sudah tentu diam2 Kun Hiap gembira juga.

Hui Yan berbalik diri dan leletkan lidah, "Kalau tidak takut berarti pura2. Tadi aku telah menolong jiwamu, tahu kau ?" serunya.

"Ngaco,” sahut Kun Hiap dengan dingin.

Hui Yan berteriak aneh, "Memang untuk menjadi orang baik itu tak gampang. Anjing hendak menggigit dewa Lu Tong Pin alias orang yang tak tahu kebaikan lain orang. Binatang memang dapat dinilai hatinya tetapi siapa yang tahu akan hati inanusia ?"

Mendengar mulut si dara nyerocos tak keruan, Kun Hiap bĕrseru juga. "Sudah,

sudahlah! Engkau bilang menolong jiwaku. Tetapi apa yang kautolong itu ?"

"Engkau tadi hendak menghantam orang itu, bukan?" kata Hui Yan, "kalau tak kuhalangi mungkin engkau sudah berhasil memukulnya.”

"Aku memang hendak memberinya sebuah bogem mentah," kata Kun Hiap.

Hui Yan tertawa, "justeru nama gelarnya yang termasyhur yalah 'selalu menerima pukulan orang tak pernah membalas', Maka kalau tadi pukulanmu sampai kena, tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi dalam tubuhnya tentu kontan akan membuat reaksi sehingga jiwanya pasti melayang." 

Mendengar tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi, seketika wajah Kun Hiap berobah dan kesima, "Sam-yang .... cin-gi . . . ?" ulangnya.

"Ya."

Dengan nada gemetar berkatalah Kun Hiap pula, "Kalau begitu, orang aneh yang naik keledai dengan menghadap ke belakang itu, adalah tokoh nomor satu dari aliran Hitam dan Putih, ketua pulau Mo-hun-to yang bernama Koan Sam Yang itu?"

Hui Yang mengangguk-angguk.

"Siapa lagi kalau bukan dia. Dia bergelar 'Pantang-balas-menyerang! Karena dia tak perlu harus turun tangan membalas, musuh sudah kelabakan sendiri."

Kun Hiap terlongong-longong sampai beberapa saat. Pikirnya, "Kalau orang itu benar Koan Sam Yang, maka dara itu memang benar tadi telah menyelamatkan jiwanya."

Dipandangnya dara itu. Dia hendak mengucapkan terima kasih tetapi teringat bagaimana tadi dara itu telah mengocoknya, ucapan terima kasih itupun macet dalam tenggorokannya. Dia hanya termangu-mangu memandang dara cantik itu.

"Ih, mengapa terlongong-longong saja?" tegur Hui Yan, "ketakutan, ya?"

"Tidak," sahut Kun Hiap, "kutahu bahwa yang menulis surat undangan kepada beberapa ko-jiu, juga orang itu."

“Sungguh ?" Hui Yan melonjak kaget. “Siapa yang membohongimu?"

“Wah, kalau begitu sungguh bagus sekali- Hayo kita pergi." seru si dara terus menarik lengan Kun Hiap.

"Eh, mau kemana nih ?" Kun Hiap heran.

"Tak perlu bertanya, nanti engkau tentu tahu sendiri. Tanggung bermanfaat untukmu !"

"Siapa yang mengharap manfaat dari engkau ? Lepaskan !" teriak Kun Hiap.

Tetapi Hui Yan tak menggubris. Dia terus menyeret lengan Kun Hiap. Karena kepandaiannya kalah, Kun Hiap tak dapat berbuat apa2 kecuali menurut saja. 

Dalam beberapa kejab saja sudah lari sampai tujuh delapan li.

Tiba2 dari arah lembah, terdengar suara burung berbunyi. Mendengar itu Hui Yan gembira sekali. Diapun terus bersuit seperti bunyi burung.

"Lepaskan aku ! Eigkau mau melepaskan aku atau tidak ?" teriak Kun Hiap.

Tetapi Hui Yan tetap tak menghiraukan dan masih menyeretnya kedalam lembah. Begitu masuk kedalam lembah, terdengarlah suara seorang wanita berseru sarat. "Sam-ah-thau, orang suruh melepaskan, mengapa engkau tak mau melepaskannya?"

“Kalau kulepas, dia tentu lari,” sahut Hui Yan.

Wanita itu tertawa, serunya, "Ah-thau, Kusuruh engkau mengundang orang, mengapa engkau menyeretnya dengan paksa ?"

Hui Yan tertawa mengikik, "Karena diundang baik2 tak mau, terpaksa harus kuseret saja."

Pembicaman sidara dengan wanita itu, membuat Kun Hiap tertawa meringis. Terang kalau tindakan Hui Yan itu atas perintab si wanita itu, bukan kemauan dara itu sendiri.

Saat itu Kun Hiap sudah dibawa masuk kedalam lembah dan Hui Yanpun terus mendorongnya sehingga Kun Hiap terhuyung ke muka beberapa langkah, sehingga hampir membentur sebatang pohon.

Tiba2 dari arah muka menghambur setiup tenaga angin lunak yang melandanya sehingga dia tak sampai jatuh ke muka. Kun Hiap menghela napas. Memandang ke muka, ternyata dia sedang berhadapan dengan seorang wanita pertengahan umur. Wajah wanita itu biasa saja, menampilkan pancaran rasa kasih sayang  dan keramahan sehingga Kun Hiap-pun merasa senang. Entah bagaimana, Kun Hiap yang mendongkol karena dibuat bulan bulan si dara, pun tak dapat marah kepada wanita itu.

"Apa engkau yang hendak mencari aku ?" tanyanya dengan ramah.

Wanita itu mengangguk, "Benar, memang yang hendak kucari itu, mungkin engkau ..."

Kun Hiap heran dalam hati.

"Ma, coba bilang, bagaimana kalau aku disuruh melakukan tugas, baik kan ?" 

tiba2 Hui Yan lari menghampiri kepada wanita itu.

Wanita itu mengelus-elus rambut si dara dan berkata dengan penuh sayang, "Ya, memang baik sekali. Kusuruh engkau mengundang orang, tetapi engkau menyeretnya saja, begitulah . . ."

Tian Hui Yan tertawa, "Ma, engkau tak tahu, ada ceritanya, aku memang ”

Mendengar itu merahlah muka Kun Hiap, serunya, "Nona Tian "- dia tahu kalau

Hui Yan tentu hendak menceritakan tentang kisah selama dalam perjalanan tadi maka diapun buru-buru mencegahnya.

Hui Yan tak melanjutkan omongannya dan cibirkan bibir, tertawa. "Jangan kuatir, kalau ada sesuatu yang menyalahi aku, baru akan kusiarkan peristiwa itu agar engkau malu bertemu orang."

Mendengar itu Kun Hiap hanya tertawa pahit.

Wanita tadi deliki mata kepada Hui Yan, serunya, "Kembali barang itu kepadaku."

Hui Yan merogoh kedalam baju dan menyerahkan sebuah bungkusan sutera putih.

Wanita itu menyambuti dan membukanya. Kun Hiap mengawasi apa yang berada dalam bungkusan sutera itu. Dan waktu melihat benda itu, seketika matanya terbeliak.

Ternyata yang terbungkus dengan sutera putih sebuab lukisan orang. Seorang lelaki yang mengenakan jubah panjang dan tangannya mencekal sebatang kipas. Sikapnya santai sekali. Wajahnya tenang sekali.

Siapa lagi gambar orang itu kalau bukan wajah Kun Hiap sendiri...

Wanita itu memperhatikan lukisan lalu memandang kepada Kun Hiap. Setelah itu dibungkusnya lagi lalu ia menghela napas panjang.

Kun Hiap hendak bertanya tetapi wanita itu telah mendahului, "Apakah ayahmu baik2 saja ?"

Kun Hiap gopoh menyahut, menyatakan kalau ayahnya sehat tak kurang suatu apa. "Ayahku, orangtua itu baik2 saja."

Tiba2 mulut wanita itu berkemak-kemik, "Orangtua ... orang tua kurasa dia 

belum berapa tuanya, bukan?"

"Apakah anda sudah kenal dengan ayahku?" tanya Kun Hiap.

Wanita itu tidak menjawab melainkan balas bertanya lagi, "Dapatkah engkau memberi tahu, siapa mamamu ?"

“Mama adalah puteri keluarga Tong dari Oulam " sahut Kun Hiap.

Wanita itu mengangguk. "O- kiranya Dewi Tangan-suci Tong Wan Giok, Ya, memang hanya dialah yang layak menjadi pasangan ayahmu !" serunya. Namun nadanya penuh dengan getar2 haru dan rawan.

Sudah tentu Kun Hiap makin heran. Dia menduga kalau wanita itu tentu mempunyai hubungan baik dengan papa dan mamanya, Tetapi mengapa selama ini baik papa maupun mamanya tak pernah menceritakan tentang diri wanita itu?

Dia kinipun tahu bahwa Tian Hui Yan itu adalah puteri dari wanita itu.. Kalau anaknya saja sudah begitu sakti, mamanya tentu lebih sakti lagi. Dengan begitu, tak mungkin papa mamanya tak menceritakan seorang tokoh wanita yang begitu sakti. Tetapi kenyataannya, mengapa tidak?

Tampak sepasang alis wanita itu menjungkat seperti tengah merenungkan sesuatu yang berat.

Tiba2 Hui Yan menepuk bahu Kun Hiap, "Lihatlah, engkau membuat mamaku marah."

"Aku ," Kun Hiap terbata-bata kaget.

"Sam-ahthau!" seru wanita itu, "jangan usil mulut. Urusan itu tiada sangkut pautnya dengan dia, Hanya Aku hanya tengah merenung suatu peristiwa yang lampau."

"Lho, ma, siapakah yang berani menghina engkau ? Biarlah kuwakili mama menghajarnya!" seru Hui Yan.

Kun Hiat cepat menyambuti, "Nona Tian. Kuyakin dalam dunia ini tiada seorang manusia yang berani cari permusuhan dengan mamamu."

Tetapi Hui Yan salah terima, Dia terus bercekak pinggang dan berseru, "Apakah aku begitu galak sampai orang jadi takut ?"

"Tidak. tidak, engkau tidak galak," buru2 Kun Hiap menyusuli kata2. 

"Hm, engkau memang pintar," dengus Hui Yan.

Wanita itu menghela napas, "Sam ah-thau, coba engkau menyingkir agak jauh saja. Aku hendak bicara sebentar dengan Can kongcu."

Sambil cibirkan bibir dengan sikap enggan dara itupun keluar. Mendengar wanita itu hendak bicara dengan seseorang yang disebut Can kongcu, Kun Hiap juga tak enak sendiri. Diapun terus melangkah mundur.

"Can kongku, aku hendak bicara sedikit dengan engkau, jangan pergi," tiba2 wanita itu berseru.

Kun hiap tercengang. Ternyata yang dimaksudkan sebagai Can kongcu oleh wanita itu, bukan lain adalah dirinya.

"Cianpwe tentu salah, "katanya," aku orang she Wi, bukan she Can."

Diam2 dia menghela napas longgar. Wanita itu ternyata salah sangka, Dia dikira orang she Can. Tetapi biar bagaimana, dia merasa lebih longgar saat itu karena terlepas dari libatan Hui Yan.

"Baik she Can maupun she Wi, tetapi jelas aku tak salah. Waktu aku kenal dengan ayahmu, mungkin engkau belum lahir. Ah, tempo berjalan begitu cepat sekali."

Diam2 Kun Hiap geli juga. Ia merasa dunia memang penuh dengan manusia2 yang pikirannya terbalik. Jelas kalau salah menyangka orang, sekarang dengan mudah wanita itu enak saja mengatakan biar she apa saja, dia tetap merasa tak salah menduga.

"Kalau cianpwe tiada pesan apa2 lagi, aku hendak pamit," katanya sesaat kemudian.

"Sudah tentu aku ada urusan," kata wanita itu, "kusuruh si sam-ahthau membawamu kemari, justeru memang karena hendak menyampaikan suatu urusan penting kepadamu."

Kun Hiap cepat dapat menduga dara centil itu tentu telah menceritakan kepada mamanya (wanita itu) tentang peristiwa yang dialami Kun Hiap selama ini. Tentu wanita itu merasa bahwa orang yang hendak dicarinya, mirip dengan dirinya  (Kun Hiap) oleh karena itu dia terus suruh anak perempuannya untuk membawanya kesitu. 

Tetapi cara Hui Yan mengundang orang, begitu kasar dan ceroboh sehingga membuat Li Siu Goan, kepala perkampungan marga Li, menjadi kalang kabut.

Sambil tertawa kecut, Kun Hiap berkata, "Tetapi cara nona Tian mengundang orang tadi, memang keliwatan sekali."

"Apa? Apakah dia membuat onar lagi? Hm, budak itu memang!" seru wanita itu.

"Bukan saja membuat onar, pun bahkan telah menyebabkan beberapa kojiu persilatan tiada muka lagi untuk muncul di dunia persilatan."

Wanita itu geleng-geleng kepala, "O, ini bukan menyalahi tetapi malah menanam kebaikan, coba engkau pikirkan. Kalau para kojiu itu tetap masih menonjol dan berebut nama dalam dunia persilatan, tentulah pada suatu hari mereka akan binasa. Tetapi kalau lekas-lekas mau mengundur-kan diri, tentulah akan selamat sampai hari tua." Mendengar jawaban begitu, Kun Hiap tak dapat bicara lagi. Dia menganggap wanita itu membela putrinya. Tetapi memang alasan yang   diuraikan itu, tepat sekali.

Tiba2 wanita itu bergoyang tubuh dan tahu2 telah meluncur ke luar, "Ikutlah aku, ada suatu barang yang hendak kuberikan kepadamu."

"Aku baru saja kenal dengan cianpwe, bagaimaca aku dapat menerima pemberian cian-pwe ?"

"Bukan antukmu tetapi aku minta tolong kepadamu untuk menyerahkan beberapa barang kepada papamu,” kata wanita itu.

Kun Hiap makin tak enak. Wanita itu jelas masih tetap menduga kalau dia orang she Can. Menilik betapa tinggi kepandaian wanita itu, tentulah barang yang akan diberikan kepada orang she Can itu, terdiri dari benda2 yang amat berharga sekali.

Pikir Kun Hiap, baiklah dia menerima saja permintaan wanita itu. Kelak apabila wanita itu telah menyadari kekeliruannya, bukankah wanita itu akan marah dan menuduh kalau dia menipunya ?

"Cianpwe," serunya sambil menggoyang-goyangkan tangan menolak," telah kukatakan kalau engkau keliru menyangka aku. Aku bukan orang she Can tetapi she Wi."

Tetapi wanita setengah baya itu hanya tersenyum simpul, "Akupun sudah bilang. Tak peduli engkau orang she Can atau she Wi, bagiku tidak penting." 

"Mengapa tidak penting ? Kalau shenya tidak sama, tentulah orangnya juga lain. Masak dalam soal begitu saja cianpwe tak mengerti?"

Agak keras nada Kun Hiap tetapi anehnya wanita itu tidak merasa tersinggung dan masih tetap tersenyum.

"Mengapa aku tak mengerti ? Yang penting perasaanku sudah mengetahui jelas engkau ini putera siapa. Itu sudah cukup.. Pergaulan ayahmu luas sekali.

Kemungkinan karena berbuat suatu kesalahan terhadap seseorang, dia lalu mengganti she."

Sudah tentu marahlah hati Kun Hiap, serunya. "Ayah seorang lelaki jantan. Berjalan tidak berganti nama, duduk tidak merobah she "

Belum selesai Kun Hiap bicara, wanita itu sudah mencegahnya, "Sudahlah, jangan banyak bicara. Papamu memang telah menyalahi banyak orang ..."-- tiba2 dia berhenti dan wajahnya tampak rawan kemudian mengbela napas, "Tetapi, walaupun dia telah menyalahi orang banyak dan melakukan hal2 yang tak terpuji, tetapi ada sesuatu hal yang dia sendiri tentu belum mengerti jelas . .

. ."

Mendengar itu Kun Hiap merasa geli sehingga hampir tertawa. Ayahnya pendekar Pedang Naga-emas Wi Ki Hu termasyhur harum namanya. Siapakah tokoh dalam dunia persilatan yang tak tahu bahwa ayahnya itu seorang pendekar yang paling gigih membenci kejahatan ?

Sudah tentu sebagai seorang pendekar, dia tentu banyak sekali melakukan hal- hal yang merugikan dan menyalahi orang. Tetapi hanya mereka kawanan jahat dari aliran Hitam saja. Sudah tentu mereka mendendam dan membenci ayah. Tetapi adakah karena ancaman itu ayah lalu ketakutan dan berganti she dan nama?

Kun Hiap menahan tawanya dan bertanya, "Cianpwe mengatakan ayah belum mengerti. Tetapi apa saja yang ayah belum mengerti itu?

Kembali wanita itu menghela napas, "Dia tak mengerti, bahwa walaupun banyak sekali orang yang telah ditipunya tetapi tak ada orang yang membencinya.

Orang hanya akan mengenangkan saat2 yang penuh kebahagiaan dikala bersamanya dan orang itupun tetap mengharap bahwa pada suatu hari akan dapat berkumpul lagi. Walau itu hanya suatu harapan yang sia2, meskipun

tahu dirinya telah dituang seperti sampah yang tak berharga, tetapi dia tak mendendam atau membencinya. Karena meski hari2 ketika berkumpul dengan dia dahulu hanya singkat sekali, tetapi saat2 itu merupakan suatu kebahagiaan yang paling indah dalam kehidupannya " 

Kun Hiap mendengari dengan terlongong-longong. Dia tak tahu siapakah orang yang disebut sebagai orang she Can itu? Kalau menurut kata2 wanita itu, rupanya dia sendiri (wanita itu) juga termasuk salah seorang yang telah menjadi korban kebohongannya. Tetapi mengapa wanita itu mengatakan kalau dia tetap takkan membenci dan tetap akan mengenangkan hari2 bahagia ketika bersama dengan orang she Can itu? Apakah yang telah dilakukan orang she Can itu, kepada wanita di hadapannya ini?

Sejenak berpikir, Kun Hiap menghentikannya. Pertama, dia belum dapat menentukan bagaimana kwalitas dari orang she Can itu. Apakah dia seorang pria yang berbudi luhur ataukah seorang momok yang mengerikan. Kedua, perlu apa dia harus membuang waktu dan pikiran, toh sudah jelas bahwa orang she Can  itu bukan ayahnya?

Ayahnya seorang yang serius, baik terhadap kawan dan dirinya sendiri, Apabila seorang kawan dikabarkan telah berbuat suatu kesalahan yang mencemarkan nama, walaupun hanya kecil saja, dia tentu lantai memutuskan hubungan dengan kawan itu Oleh karena itu maka kawan yang karib dari Wi Ki Hu itu hanya sedikit sekali. Perihal dirinya jelas tidak sama dengan orang she Can yang disebut-sebut oleh wanita tadi.

"Cianpwe, maaf, kurasa cianpwe memang benar salah sangka," katanya,

"Tidak, tidak mungkin aku salah," kata wanita itu dengan kukuh, "ikutlah aku, nanti kita bicara lagi."

Kun Hiap benar2 tak dapat berkutik.

"Baiklah, karena cianpwe berkeras menganggap ayahku itu orang she Can yang hendak cianpwe cari, nanti barang itu akan kusimpan dalam rumah ayah. Kapan saja cianpwe merasa telah keliru memberikan, setiap saat cianpwe boleh mengambilnya kembali."

Wanita itu tertawa hambar, "Apakah aku bisa keliru?" — dia bertanya kepada dirinya sendiri sembari geleng2 kepala. Jelas dia merasa benar dan tak mungkin salah.

Kun Hiappun terpaksa mengikuti di belakang-nya, memasuki sebuah guha. Bermula guha itu gelap tetapi setelah membiluk sebuah kelok, ternyata disitu terdapat penerangan yang cukup terang. Penerangan itu berasal dari suatu celah retakan dinding guha dimana sinar matahari dapat menembus kedalam.

Guha itu amat bersih sekali. Dan saat itu Kun Hiap merasa dirinya berada dalam 

sebuah kamar yang bersih, terbuat dari batu alam Dalam ruang batu itu terdapat seorang wanita yang tengah duduk Begitu melihat wanita setengah baya dan  Kun Hiap masuk, wanita itu segera berbangkit dengan sikap yang menghormat.

Kun Hiap memperhatikan wanita dalam guha itu. Ternyata seorang gadis berumur lebih ku-rang 20-an tahun. Wajahnya mirip dengan wanita setengah baya tadi.

Wajah gadis itu secantik bunga mekar di musim semi- Menyedapkan setiap mata yang memandangnya. Tampak gadis itu tundukkan kepala, mukanya tersipu merah. Rupanya dia jengah berhadapan dengan seorang pemuda yang belum di- kenalnya.

"Ji-ah-thau," seru wanita setengah baya, "ambilkan kotak kumala itu."

Dengan suara lirih gadis itu mengiakan terus masuk kedalam tanpa memandang sedikitpun kepada Kun Hiap.

Kun Hiap terkesiap. Ia ingat nada suara gadis itu seperti yang pernah didengarnya ketika memanggil Hui Yan di luar Istana Tua.

Wanita setengah baya memanggilnya dengan sebutan Ji-ah thau ( budak kedua

). Dengan begitu jelas dia ji-suci atau taci kedua dari Hui Yan.

"Ah, sungguh seperti langit dengan bumi bedanya antara Hui Yan dengan gadis itu," pikir Kun Hiap, "mereka taci beradik tetapi kalau Hui Yan itu dara yang berandalan, lincah dan centil, membuat orang mendongkol tetapi juga menyenangkan Tetapi tacinya ini begitu lemah lembut dan alim. Sampai bicara saja begitu pelahan.

Entah bagaimana dalam berpikir itu tanpa disadari, Kun Hiap memandang beberapa kali ke-pada gadis itu.

Walaupun tidak balas memandang tetapi rupanya gadis itu tahu kalau Kun Hiap tengah memperhatikannya. Maka merahlah telinga gadis itu dan diapun segera bergegas melangkah masuk.

Wanita setĕngah baya berputar diri dan menepuk bahu Kun Hiap, "Can kongcu,

mengapa engkau memandang bayangannya ?" Kun Hiap tersentah kaget dan merahlah mukanya.

"Aku .. . aku .... aku ...," dia mau omong tetapi tak keluar. 

Wanita setengah baya itu tertawa. "Engkau ini bagaimana sih ? Mengapa tak dapat omong dengan lancar.'"

Sudah tentu Kun Hiap makin kerupukan, katanya, "Aku tengah berpikir, mengapa sifat nona Hui Yan dengan tacinya itu berbeda sekali.”

Tiba2 wanita setengah baya itu tertawa pula, penuh dengan arti. "Lalu engkau suka yang mana ?" tanyanya secara tak terduga-duga. "Cianpwe, ini . . . , ini dinilai dari mana ?” sahut Kun Hiap.

Wanita setengah baya tertegun, "Kalau begitu, engkaupun tidak sama dengan ayahmu."

Kembali perasaan hati Kun Hiap mendelu dan tertawa tawar. Kalau menurut kata-kata wanita itu, sepertinya mengatakan bahwa ayahnya (ayah Kun Hiap) itu

seorang pria yang romantis sekali. Ah, benarkah ayahnya yang sekarang seorang pria serius, dulu semasa mudanya seorang pemuda Don Juan atau hidung   belang ?

Wanita setengah baya itu duduk dan berkata, "Kalau nanti pulang, ayahmu tentu menanyakan tentang aku. Nah, kasih tahulah kepadanya bahwa sejak berpisah, aku menikah tetapi suamiku sudah lama meninggal dunia Aku mempunyai tiga anak perempuan. Yang benar sudah menikah dengan kepala dari Tiga benggolan gunung Cin-nia yaitu Khong Gong Tin "

Mendengar itu tiba2 wajah Kun Hiap berobah seketika dan berseru. "Khong Gong Tin?"

"Ya," sahut wanita setengah baya itu, namanya jelek dan orangnyapun kejam, bukan ? Tetapi dia sangat setia kepada anakku yang besar."

Tergetarlah hati Kun Hiap. Mengapa Khong Gong Tin mengumbar kejahatan dan keganasan itu, tentulah karena mengandalkan pengaruh mama mertuanya atau wanita setengah baya yang berada dihadapannya itu.

Kejahatan Sam-shia atau Tiga-benggolan dari gunung Cin-nia, memang tiada banding-annya lagi. Dalam kalangan tokoh2 jahat di dunia persilatan, tiada satupun yang melebihi hebatnya kejahatan dari ketiga benggolan gunung Cin-nia itu. kepala atau pimpinan mereka ber-nama Khong Gong Tin gelar Thian-oeng- te-liat atau langit-ambruk-bumi-bengkah. Dia seorang jahat kelas kakap.

Kun Hiap diam2 terkejut sekali. Gunung Cin-nia tak berapa jauh dari tempat 

kediamannya dan sudah beberapa kali ayahnya pernah bentrok dengan Tiga- benggolan itu. Bahkan setengah tahun yang lalu, ketiga benggolan itu datang lagi untuk mengobrak-abrik dan waktu pergi sumbar-sumbar bahwa mereka akan mengusir naga emas Wi Ki Hu, ayah Kun Hiap, dari wilayah Kamsiok.

Sekarang Kun Hiap berhadapan dengan keluarga dari pemimpin Tiga-benggolan. Dalam ke-jutnya diam2 Kun Hiap bersyukur bahwa tadi dia tak mengatakan bahwa ayahnya itu adalah si Naga-emas Wi Ki Hu.

"Ih, mengapa waktu mendengar nama Khong Gong Tin, mukamu tampak berobah pucat?" tegur wanita setengah baya itu.

"Ti . . . dak. tidak apa2," Kun Hiap terbata-bata.

Waktu wanita itu hendak bicara lagi, tiba2 gadis cantik, tadi muncul dengan membawa kotak kumala. Kumala itu bening sekali tentu dari kumala yang berkwalitas tinggi.

Setelah menyambuti kotak kumala itu, wanita setengah baya menghela napas lalu menerimakan kepada Kun Hiap.

"Jangan sekali-kali engkau buka kotak itu," pesannya kepada Kun Hiap. Setelah itu dia berbangkit dan berseru kepada gadis cantik tadi, "Ji-ah-thau, antarkanlah Can kongcu ini."

"Ah, tak perlu, aku dapat pulang sendiri,” buru2 Kun Hiap berkata.

Semula dia mempunyai kesan baik terhadap gadis itu tetapi kini setelah tahu latar belakang keluarganya, diapun merasa jeri. Maka dia lalu menolak diantar gadis itu.

Gadis itu menghela napas pelahan, katanya dengan lembut, "Ma, Can kongcu bilang, dia dapat pulang sendiri dan tak perlu kuantar."

Mendengar nada kata yang merawankan dari gadis itu, Kun Hiap tak enak hati. Buru2 dia menyusuli kata2, "Maaf, nona Tian, aku tak berani merepotkan nona.."

Gadis itu mengangkat kepala. Sepasang biji matanya yang bundar dan bening memandang Kun Hiap. Tetapi hanya sepintas lalu tundukkan kepala. Walaupun hanya sejenak beradu pandang, Kun Hiap menjadi kesima.

Pancaran sinar mata gadis itu mengunjukkan sifat penurut dan lemah lembut, menimbulkan rasa simpathi orang sehingga orang tak sampai hati untuk menyinggung perasaannya, menolak permintaannya. 

Tanpa disadari, seketika Kun Hiappun berseru, "Tetapi kalau nona memang hendak mengantar, aku terima kasih."

Tanpa banyak bicara lagi, gadis itu serentak berkata, "Mari "

Dengan membawa kotak kumala, Kun Hiap melangkah keluar. Si gadis mengikuti tetapi mama nya tetap tinggal dalam ruang guha.

Setelah keluar dan guha, baru beberapa langkah mereka mendengar suara burung gagak berkaok. Kun Hiap tertegun dan sesosok bayangan berkelebat melayang turun dari sebatang pohon, Tahu2 di hadapan Kun Hiap, muncul si dara centil Tian Hui Yan. Diam2 Kun Hiap mengeluh dalam hati.

"Ji ci, mengapa engkau ini ?" tegur Hui Yan.

"Mama suruh aku mengantar," jawab si gadis cantik. "Pulang saja, biar aku yang mengantarnya," kata Hui Yan. "Baik," kata gadis itu dengan pelahan.

Kun Hiap terkejut dan berpaling tetapi gadis itu sudah jauh. Dia hendak memanggil tetapi sungkan. Dia hanya tegak terlongong-longong. Dia terkejut ketika Hui Yan melesat di hadapannya, mengaling pandang matanya yang saat itu sedang tertuju pada bayangan gadis cantik tadi.

"Ada urusan apakah mamaku mencari engkau ?" seru Hui Yan.

"Dia meminta aku supaya menyerahkan sebuah kotak kumala kepada ayahku," sahut Kun Hiap. Tiba2 dia merasa, gadis cantik, tadi berpaling dan memberi senyum kepadanya. Buru2 dia miringkan kepala untuk membalas senyuman.

Pada saat itu Hui Yan sudah ulurkan tangan dan merampas kotak kumala dari tangan Kun Hiap.

"Kotak kumala ? Apakah ini ? Isinya apa saja, biar kubukanya, " seru dara itu.

"Jangan !" Kun Hiap kelabakan," mamamu pesan, jangan sekali-kali kubuka kotak."

"Begitu ?" lengking Hui Yan, " dia hanya melarang engkau tetapi tidak melarang aku, toh ? Waktu kubuka, engkau harus menyingkir agak jauh supaya engkau jangau mencuri lihat !" 

Kun Hiao sudah kenal watak gadis liar itu. Percuma saja dia hendak membantah. Toh batang itu milik mamanya. Biarlah dia melihat, pikirnya. Dan dia terus berputar tubuh membelakangi Hui Yan.

Dara itu tertawa mengikik dan terus membuka kotak kumala. Kun Hiap hanya mendengar mulut dara itu mendesis heran. Kun Hiap terkejut dan terus berpaling. Dilihatnya mata Hui Yan, membelalak memandang isi kotak. Karena teralang oleh tutup maka Kun Hiap tak dapat mengetahui apa isinya.

Plak, sambil menutup lagi kocak itu, Hui Yan mengangkat muka dan melemparkan kotak kumala itu kepada Kun Hiap. Kun Hiap gopoh menyambuti. Dia hendak bertanya apa isi kotak itu tapi tak jadi. Dia kuatir, dara itu akan menertawakan. Diapun terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.

“Hai, apakah engkau tak jadi pergi ke rumah Poa Ceng Cay?" teriak dara itu dari belakang.

"Tidak! Tidak!" seru Kim Hiap seraya mempercepat langkahnya. Tetapi suara tawa dara itu tetap terdengar di belakang. Karena tak tahan, Kun Hiap sengaja berhenti, "Kalau engkau tetap mengikuti aku, terpaksa akan kulaporkan kepada mamamu dan kukatakan kalau aku keberatan memenuhi permintaannya."

“Aih, apa engkau melihat setan di siang hari? Di tengah jalan besar begini, apakah hanya engkau seorang yang boleh jalan disini, aku tak boleh?' seru Hui Yan.

“Kalau engkau hendak berjalan silakan. Aku yang berhenti. Mengapa engkau tetap mengikuti aku dari belakang saja?”

Hui Yan tertawa, “Engkau ini memang aneh. Masa yang boleh berhenti di tengah jalan hanya engkau saja dia aku tak boleh?"

Diam2 Kun Hiap menghela napas untuk menelan kemengkalannya. Terpaksa dia lanjutkan langkah dan tak berapa lama tiba disebuah kota kecil.

Sebenarnya dia hendak ke desa marga Li menemui paman dan kepala perkampungan marga Li untuk berunding. Tetapi sekarang dia harus berusaha untuk meloloskan diri dari jabatan dara liar itu dulu.

Ketika melalui sebuah rumah penginapan, tiba2 timbullah pikirannya. Dia terus menghampiri rumah penginapan itu dan bertanya kepada jongos, apakah ada kamar kosong. 

"Hai, bung, apakah ada kamar kosong?" tiba-tiba terdengar suara si dara juga bertanya kepada jongos.

Jongos dengan tertawa berseri-seri segera menyambut Kun Hiap dan mengantarkannya ke sebuah kamar yang sederhana. Saat itu baru Kun Hiap dapat bernapas longgar, pikirnya, tentulah Hui Yan sungkan kalau mau menyusul kesitu.

Tetapi uh . . . dia terhenyak. Dia tahu siapa dara liar seperti Hui Yan itu. Kalau dara itu nekad masuk, dia dapat berbuat apa?

Membayangkan hal itu, Kun Hiap berobah gelisah lagi. Tetapi sampai setengah jam kemudian, ternyata keadaan masih tenang. Kun Hiap merebehkan diri di ranjang, memandang ke luar jendela menikmati langit, dia mengharap agar malam segera tiba agar dia dapat terbebas dari gangguan si dara.

Tetapi dia merasa, jalannya tempo lambat sekali. Matahari tak mau cepat silam di balik gunung dan cuacapun masih terang.. Terpaksa dia bangun dan berjalan mondar mandir dalam kamarnya. Beberapa saat kemudian, dia mendengar dari kamar disebelah, suatu suara bergemerincing.

Kun Hiap tersentak kaget. Apakah itu bukan Tian Hui Yan ? Kalau dia tinggal dikamar sebelahnya, nanti tengah malam masa dia mampu meloloskan diri.

Tring, tring, kembali terdengar dua buah bunyi berdering. Serentak timbullah keinginan tahu Kun Hiap, sedang berbuat apakah dara liar itu ?

Dia sempat menemukan sebuah celah retak pada dinding tembok. Segera dia menghampiri dan mengintai kedalam kamar.

Sebuah lilin menyala diatas sehuah meja dan didepun meja itu terdapat seorang lelaki tinggi kurus tengah membungkuk seperti sedang memeriksa apa yang berada diatas meja itu. Jelas orang itu bukan Hui Yan.

Kun Hiap menghela napas longgar. Waktu dia hendak pergi, dilihatnya orang itu bergerak dan duduk dikursi. Dan seketika itu Kun Hiap dapat mengetahui siapa orang itu. Dia bukan lain adalah manusia aneh yang mempunyai ilmu untuk menjulurkan batang lehernya sampai beberapa meter, yani Kwan Sam Yang, kepala dari pulau Moh-hun-to dari laut selatan.

Dan begitu tokoh itu duduk, dapatlah Kun Hiap melihat benda apa yang terletak diatas meja. Jumlahnya dua buah dan kecil bentuknya. Kedua benda itu tak lain adalah kuda kudaan yang terbuat dan bahan besi. Kuda besi itu besarnya hanya segenggam tangan orang. 

Kun Hiap segera teringat akan mainan kuda besi yang diketemukan dari mayat Li Toa Gui dan yang diperoleh Hui Yan dari tubuh mayat Lo Pit Hi dalam istana Tua tempo hari. Kedua kuda besi itu serupa benar dengan dua kuda besi yang   berada di atas meja dihadapan Kwan Sam Yang saat itu.

Beberapa saat kemudian Kwan Sam Yang mengambil salah sebuah kuda besi dan didering; dengan jarinya sehingga mengeluarkan bunyi berdering-dering. Setelah itu dibolak-balikkan, diperiksanya.

Diam2 Kun Hiap heran. Kedua kuda besi itu memang dibuat seperti kuda yang hidup. Dan selain itu tiada lagi lain2 keistimewaannya, perlu apa Kwan Sam Yang memeriksa begitu teliti sekali ?

Menganggap bahwa hal itu tiada sangkut pautnya dengan dirinya, Kun Hiap kembali masuk kedalam kamarnya dan rebahkan diri. Tetapi beberapa saat kemudian tiba2 dia melonjak bangun Ternyata ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya. Dikamar sebelah kiri kamarnya terdapat Kwan Sam Yang.. Tetapi bagaimana dengan kamar yang terletak disebelah kanan kamarnya ?

Mungkinkah dlsitu terdapat Hui Yan ?

Kembali dia berusaha mencari retak dinding dan berhasil. Dari celah retakan dinding itu, dia mengintai kedalam. Ternyata kamar didalam, gelap sekali. Dia menghela napas longgar.

Rasanya malam berjalan lambat sekali. Setelah tengah malam tiba, barulah dia membuka jendela dan loncat keluar. Kemudian dengan hati2 sekali dia terus lari. Setelah tiga atau lima langkah jauhnya barulah dia berhenti. Berpaling ke belakang, dia tak melihat barang seorangpun juga. Diam2 dia merasa gembira.

Tetapi baru dia hendak menghela napas untuk melonggarkan ketegangannya, tiba2 bahu kirinya dijamah sebuah tangan manusia !

Kun Hiap terkejut tetapi pada lain saat dia marah sekali, bentaknya, "Nona Tian, sampai kapan engkau baru mau melepaskan aku !"

"Nona Tian ?" tiba2 dari belakang terdengar suara seorang setengah tua.

Kun Hiap cepat menyadari kalau salah sangka. Cepat dia berpaling dan dilihat seorang lelaki berdiri dibelakangnya. Seorang bermuka brewok menyeramkan. Pantasnya tampang begitu itu tentulah orangnya tinggi besar gagah perkasa. Tetapi ternyata tidak. Orang itu seorang lelaki pendek sehingga menimbulkan pandangan yang ganjil. 

Menghadapi seorang yang tak dikenalnya, Kun Hiap tak mau terlibat banyak kesulitan, Dia menyurut mundur dan berkata, "Maaf, aku salah sangka."

Orang aneh itu tertawa aneh, serunya, "Salah sangka memang sudah biasa. Tetapi kalau menyangka aku ini seorang gadis, wah, itu sungguh lucu sekali!"

Kun Hiap sendiri juga geli. Dia menerangkan tentang seorang dara she Tian yang selalu menggodanya, maka tadi dia telah cepat2 menduga kalau dara itu lagi  yang mempermainkannya.

Kembali orang aneh itu tertawa seperti seekor itik, serunya, "Bagus, ada dara yang merayumu. Sahabat, rajekimu sungguh besar !"

Kun Hiap menyengir, "Ala, jangan mengolok, bung  !"

"Apa ? apakah dara itu berwajah seperti burung. hantu buruknya ?" Kun Hiap gelengkan kepala, "Bukan, dia sih cantiknya bukan main."

"O, betulkah ? Kalau begitu engkau memang besar rejeki, mengapa mengatakan aku berolok-olok?

Kembali Kun Hiap gelengkan kepala tetapi dia tak dapat tahu bagaimana harus menjelaskan.

"Ya, benar," kata orang aneh itu pula, "tentu seorang gadis cantik dan karena engkau tak mampu menggaet maka engkau jadi kelabakan...”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar