Kitab Pusaka Jilid 20

Jilid : 20

SIAPA MENANAM kebajikan dia akan memetik buah kebajikan, siapa menanam benih kejahatan, dia akan mamperoleh buah kejahatannya.

Melihat pemimpin dan rekannya sudah tewas seketika, dua orang lelaki buas lainnya menjadi ketakutan setengah mati, serasa sukma meninggalkan raga saja, mereka tak berani berdiam lebih lama lagi disitu, serentak kedua orang itu melompat naik ke atas pelana kuda dan melarikan diri terbiritbirit.

Ular tanpa kepala tak akan berjalan, dan lagi bagi manusia kurcaci seperti itu, begitu ketemu batunya, mereka segera melarikan diri terbirit-birit untuk menyelamatkan diri.

Melihat kawanan penjahat itu sudah kabur, dengan perasaan lega sastrawaa rudin itu tertawa terbahak-bahak, serunya:

"Agung, agung, engkoh cilik ini telah berbuat kebajikan  untuk umat manusia, budi kebaikan ini pasti akan dibalas dengan kebaikan pula... lohu tanggung umur dan rejekimu pasti akan bertambah, haah... haah... haah ulat dalam perutku sudah mulai kambuh lagi, waah... celaka, celaka...

Kepada Kang Jin hoo dia lantas berseru:

"Saudara, ucapan lohu betul bukan? Kini hawa hitam yang menyelimuti wajahmu telah hilang, mulai kini kau akan sukses dan lancar selalu. Tentang jenazah kakek Lim, suruh si  pelayan untuk menguburnya" Kang Jin hoo sesera menurut dan menyuruh orang untuk membereskan jenasah orang-orang itu.

Seusai melakukan semua pekerjaan itu, sastrawan rudin itu kembali berkata:

"Dia tak percaya kalau tak bisa hidup melebihi usia empat puluh sembilan tahun, coba kau lihat bagaimana akhirnya? Kalau selama hidupnya banyak melakukan kebaikan, sudah pasti bencana akan berubah menjadi rejeki. Hiih...hiih... saudara Kang, mana araknya?"

Sastrawan rudin itu memang betul-betul berhati keras seperti baja, walau pun baru saja menyaksikan pembunuhan seram berlangsung didepan matanya ternyata niatnya untuk minum arak sama sekali tak berkurang.

Kang Jin hoo yang baru lolos dari kematian tentu saja amat bersyukur dengan nasibnya yang beruntung, buru-baru dia menjura sambil mengucapkan terima kasih kepada sastrawan rudin itu, kemudian berterima kasih pula kepada si anak muda itu:

"Terima kasih banyak atas bantuan dari siauhiap, budi kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya, bagaimana kalau kuhormati siauhiap dengan secawan arak?"

Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, dia masuk kedalam kedai dan mencari tempat duduk. Sementara itu sastrawan rudin tadi sudah mengambil tempat duduk, mengangkat poci arak dan meneguk dengan lahapnya.

Dengan sangat hormat Kang Jin hoo memenuhi sebuah cawan arak, kemudian setelah meneguk habis isinya, dia bertanya:

"Siauhiap, tolong tanya siapa namamu?"

"Aku she Suma bernama Thian yu!" Mendengar nama tersebut, mendadak sastrawan rudin menggebrak meja sambil berteriak.

"Aduuuh celaka, telah bertemu dengan binatang pembunuh kecil...!"

Mendengar seruan mana, Kang Jin hoo serta Suma thian yu segera berpaling dengan wajah tercengang. Tempak sastrawan rudin itu meneguk araknya lebih dulu, kemudian bergumam lagi:

"Perjalanan menuju ke Tibet penuh dengan harimau buas dan srigala lapar, bila si anak domba  hendak kesana sudah

pasti banyak bahaya dan bencana sepanjang jalan, bila aku, lebih baik tak usah dikerjakan, pulang ke rumah jauh lebih enakan!"

Kang Jin hoo tidak memahami arti dari perkataan itu, dia menganggap ucapan tersebut sebagai perkataan orang gila.

Lain halnya dengan Suma Thian yu ucapan tersebut  didengar olehnya sebagai guntur yang membelah di siang hari bolong, sekujur tubuhnya bergetar keras dan paras mukanya berubah hebat.

"Lotiang, tolong tanya siapa namamu?" tegurnya kemudian.

Sastrawan rudin itu memicingkan matanya, kemudian tertawa cekikikan.

"Harimau buat apa berkulit, manusia kenapa mesti bernama, aku si rudin tak punya nama"

Selesai berkata, kembali dia meneguk arak dengan rakusnya.

Menyaksikan kesemuanya itu, Suma thian yu segera berpikir dalam hati:

"Heran, mengapa perkataan dari kakek ini begitu aneh, seakan-akan dia tahu kalau aku hendak pergi ke See ih. Masa dia benar-benar mempunyai kemampuan untuk meramal halhal yang akan datang?"

Berpikir sampai disitu, mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, buru-buru dia bertanya lagi:

"Lotiang, tadi kau mengatakan kalau aku telah melakukan suatu kebajikan, apa sih yang kau maksudkan?"

Sastrawan rudin itu berlagak seperti menghitung dengan jari tangannya, lantas sahutnya:

"Sebenarnya Oh Si thian dan konco-konconya hendak membegal harta kekayaan dari mereka berempat, tapi kau telah membereskan dirinya, ini berati kau telah menolong tiga lembar jiwa manusia. Sebaliknya bila kau lepaskan Oh Si thian, maka puteri seorang kepala kampung yang bernama Ing kit ceng didekat sini pasti akan ternoda olehnya"

"Bayangkan saja, sekalipun telah melakukan sebuah pekerjaan kebajikan, sudah pasti dalam perjalananmu selanjutnya hanya ada rasa kaget tanpa bahaya maut"

Suma Thian yu menjadi makin kaget dan tertegun, buruburu dia bertanya lagi:

"Lotiang pandai menghitung rahasia langit, bersediakah kau memberi petunjuk kepadaku?"

Tampaknya sastrawan rudin itu tak berani menerima pujian tersebut, ia segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaah... haaah... haah... kau menganggapku sebagai  dewa? Waa sungguh menggelikan, kalau kau ingin  menanyakan soal masa depan mu, maka aku hanya bisa   bilang banyak bencana banyak kesulitan, persoalan yang di hadapi bertumpuk-tumpuk, hanya dengan keteguhan  hati yang besar dan keteguhan jiwa yang perkasa, semua bencana itu baru bisa diatasi, kalau tidak bencana akan datang bertubitubi dan kau bisa pergi tak akan kembali lagi"

Setiap perkataan dari sastrawan rudin itu seakan-akan penuh makna yang mendalam, ketika Suma thian yu memikirkan dalam-dalam, hatinya serasa makin terperanjat lagi.

Tentu saja ucapan tersebut tak akan dipahami oleh manusia seperti Kang Jin hoo dan rekan-rekannya...

Terdengar Suma Thian yu berkata lagi:

"Bagaimana pula penjelasanmu dengan perjalanan menuju Tibet penuh harimau buas dan serigala kelaparan?"

"Haaaahhh... haaaaah itu mah rahasia langit yang tak boleh dibocorkan dengan begitu saja "

Tiap kali berbicara, sastrawan rudin itu seakan-akan seperti menunjukkan asal usuknya, sayang Suma thian yu hanya memperhatikan soal misinya menuju ke Tibet kali ini, sehingga soal tersebut tak terpikirkan sama sekali olehnya.

Begitu selesai berbicara, sastrawan rudin itu bangkit berdiri dan berjalan dengan gontai karena mabuk, tiba diluar warung, dia berhenti sejenak, disamping seekor kuda kemudian berkata:

Perjalanan masih jauh, punakan kuda untuk menggantikan kaki, lohu akan berangkat dulu" Selesai berkata, seperti orang gila dia ber jalan pergi meninggalkan tempat itu, ternyata arah yang dituju adalah arah yang sama dengan perjalanan yang bakal ditempuh Suma Thian yu.

Memandang bayangan punggungnya yang menjauh, Suma Thian yu menggelengkan kepalanya berulang kali sambil bergumam:

"Manusia aneh, manusia aneh.....entah siapakah dia...?" "Yaa, aku pun belum pernah menjumpai tukang ramal yang

begitu hebat sepertu ini, jangan-jangan ada dewa yang sedang turun dari kahyangan?" sambung Kang Jin hoo dari samping.

Ucapan itu segera mengingatkan Suma Thian yu akan sesuatu, dia segera bangkit berdiri, kemudian melompat ke atas kuda dan berlalu dari sana, tapi baru berapa langkah, dia menarik kembali tali les kudanya dan membalikkan arah.

Pemuda itu balik kembali kedepan warung, kemudian menerkam jenazah dari Oh Si thian berdua ke atas kuda yang lain, setelah itu buru-buru berangkat meninggalkan tempatitu sambil menuntun kuda lain yang mengangkut jenazah.

Tak selang berapa saat kemudian, sampailah pemuda itu di sebuah bukit.

Bukit itu bernama Wi san, keadaannya amat gersang dan tak nampak sedikit tumbuhan pun, kendaannya tak jauh berbeda dengan kepala botak seorang kakek.

Dengan menelusuri jalan kecil, Suma Thian yu berjalan terus menuju ke atas puncak bukit, disitulah dia menurunkan jenazah Oh Si thian dengan berhati-hati sekali.

Mendadak, diri belakang tubuhnya berkumandang suara tertawa dingin, dengan perasaan terkesiap Suma Thian yu berpaling, ia saksikan seorang penebang kayu berambut putih telah muncul disana. Mengetahui kalau hanya penebang kayu, Su ma Thian yu merasa agak lega, dia tidak mem perdulikan orang itu dan melanjutkan pekerjaannya untuk menurunkan jenasah ke dua.

Mendadak terdengar penebang kayu tua itu membentak keras:

"Bocah muda, di siang hari bolong begini membawa jenasah ke atas bukit, sudah pasti kau adalah sebangsa pencoleng, jangan kubur jenasah itu di sini!"

Kembali Suma Thian yu berpaling dan melihat tukang penebang kayu itu sekejap.

Ia merasa orang itu berwajah gagah dan alim, tangannya membawa sebuah kampak kecil dan menimbulkan kesan simpatik bagi yang memandangnya.

Maka dengan hormat dia menyahut:

"Aku hanya mendapat titipan orang untuk mengubur mereka disini, jangan salah paham, aku bukan orang jahat"

Penebang kayu tua itu tertawa terbahak-bahak. "Haah... haah... haah... soal itu mah lohu tidak ambil

perduli, kalau ingin mengubur jenazah, silahkan untuk berpindah ketempat lain"

"Mengapa?"

"Tidak mengapa, bukit ini adalah wilayahku"

Buru-buru Suma Thian yu mengangkat jenazah itu ke atas pelana kuda lagi.

Mendadak terdengar penebang kayu itu berkata lagi: "Lohu bersedia untuk membicarakan suatu barter

denganmu, apakah kaupun bersedia?" "Barter? Barter apa?"

"Soal ini tergantung apakah kau bersedia atau tidak?" "Asalkan masuk diakal dan bisa diterima, maka aku

bersedia "

"Kau serahkan kedua sosok mayat itu kepadaku, lohu akan menghadiahkan semacam mestika kepadamus bahkan mewariskan pula satu ilmu silat kepadamu"

Suma Thian yu menjadi tercengang setelah mendengar perkataan itu, segera tanyanya dengan wajah keheranan: "Buat apa kau minta kedua jenasah tersebut?"

"Soal ini tak usah kau ketahui, cukup kau jawab bersedia tidak untuk melakukan barter ini?"

"Maaf, bila kau tidak menjelaskan, akupun tak dapat memenuhi harapanmu itu" jawab Suma Thian yu tegas.

Mendadak Penebang kayu tua itu berkerut kening, kemudian bentaknya penuh kegusaran:

"Tampaknya kau tak mau diberi arak kehor matan sebaliknya memilih arak hukuman, padahal bila lohu menginginkan kedua sosok mayat tersebut, bisa kuperoleh seperti merogoh barang dalam saku sendiri, bila kau tak menyerahkannya kepadaku jangan harap kau bisa meninggalkan bukit gundul ini setengah langkahpun "

Suma Thian yu segera tahu kalau dia telah bertemu dengan gembong iblis, tak mungkin persoalan hari ini bisa diselesaikan secara mudah.

Diam-diam ia menjadi gelisah sekali, katanya kemudian: "Biarlah aku menguburnya ditempat lain, buat apa mesti

menjadi marah hanya dikarenakan persoalan kecil?" Penebang kayu tua itu tertawa seram. "Heeeh...heeeh...heeeh...terlambat bila sekarang akan

pergi, selamanya ucapan yang sudah lohu utarakan tak pernah dijilat kembali, tiada orang yang berani pula memenangkanku, bila kau ingin hidup, cepat enyah dari sini, kalau sampai menunggu aku berubah pikiran, jangan harap kau bisa pergi lagi dari tempat ini"

Suma Thian yu tentu saja bukan seorang manusia yang takut urusan, tapi oleh karena dia selalu memikirkan tentang sastrawan rudin yang misterius maka dia tak ingin mencari banyak urusan.

Coba kalau menuruti wataknya yang tidak takut menghadapi kesulitan, sudah pasti tantangan dari penebang kayu itu akan dihadapi dengan kasar.

Begitu selesai menaikkan kembali kedua sosok mayat tersebut, dia segera putar badan dan beranjak pergi dari situ. "Bocah keparat, rupanya kau ingin mampus" bentak penebang kayu tua itu sambil tertawa dingin.

"Belum tentu" jengek Suma Thian yu.

Kakek penebang kayu itu segera menggerakan bahunya, tanpa menggeserkan sepasang kakinya, tahu-tahu dia sudah menghadang jalan pergi anak muda tersebut.

kemudian sambil mengayunkan kapak kecilnya dan mencorongkan sinar hijau dari balik matanya, dia menatap wajah Suma Thian yu lekat-lekat, serunya:

"Eeeh, keparat, tahukah kau apa hubungan lohu dengan taysui berkepala tembaga itu?"

"Biar dia anak mu juga, aku tak ambil peduli!"

"Telur busuk!" bentak kakek penebang kayu itu gusar.

Mendadak dia menerjang ke muka, kampaknya langsung diayunkan ke depan membacok tubuh Suma Thian yu.

Bagi seorsng ahli silat, dalam sekali gebrakan saja akan mengetahui berisi atau tidak, jangan di lihat kakek penebang kayu itu sudah lanjut usia, ternyata gerak geriknya masih lincah, jurus serangannya lihay.

Walaupun serangan yang dilancarkan olehnya itu kelihatan biasa tanpa suatu keanehan, namun bacokan kapaknya justru disertai dengan tenaga bacokan yang luar biasa.

Suma Thian yu adalah seorang pemuda yang tinggi hati, kendati pun dia tahu kalau musuhnya lihay, namun dia tetap mendengus dingin dan melancarkan sebuah gerakan untuk menghindar kesamping.

Betapa gembiranya kakek penebang kayu itu melihat gerakan mana, dia merasa bocah itu masih cetek kepandaian silatnya dan gampang dibekuk.

Maka sambil tertawa seram, kesepuluh jari tangannya dipentangkan lebar-lebar dan meng gunakau ilmu Eng jiau kang yang sangat lihay tersebut, dia segera mencengkeram tubuh Suma Thian yu.

"Aduuh, habis sudah nyawaku!" teriak Suma Thian yu dengan perasaan kaget. Sepasang tangannya segera digerakkan keatas untuk menangkis, sementara tubuhnya mundur beberapa lamgkah dengan sempoyongan.

Kakek penebang kauu itu makin gembira lagi, dengan mengerahkan tenaganya dia ma ju menyerang lagi, bentaknya keras-keras:

Bocah keparat, siapa yang telah membunuh Oh Si thian?"

Sekali lagi Suma Thian yu mundur beberapa langkah ke belakang, kemudian sahutnya:

"Seorang temanku!"

"Siapa? Ayo bilang!" desak kakek penebang, kayu itu sambil maju ke depan.

"Orang itu tak bernama, dia hanya memakai baju sastrawan yang sudah robek-robek, berusia tujuh puluh tahunan "

"Aaaah, rupanya makhluk tua itu, bocah keparat, kemanakah dia telah pergi?"

"Aku sendiripun tak tahu!" Sungguh menggelikan sekali, ternyata iblis tua itu tidak menyadari kalau dirinya telah di tipu habis-habisan.

Yaa, hal ini tak bisa menyalahkan diri, dalam anggapannya Suma Than yu ibaratnya seekor burung yang belum lengkap bulu sayapnya, untuk menghindari serangannya amat payah, bagaimana mungkin pemuda semacam ini bisa berilmu tinggi?"

Setelah mengetahui kalau murid kesayangannya mati ditangan sastrawan rudin itu, kakek penebang kayu itu tidak melancarkan serangan gencar lagi.

"Bocah keparat" katanya kemudian, "cepat beritahu kepadaku, makhluk tua itu sudah menampakan diri dimana?"

Menyaksikan orang itu bertanya setengah mencelah, Suma Thian yu seeera merasakan ha tinya tergerak, sahutnya cepat:

"Aku berjumpa dibawah bukit sana, setelah menghabisi nyawa Oh Si thian diapun pergi entah kemana"

Paras muka kakek penebang kayu itu berubah hebat, buru-buru dia bertanya lagi: "Sungguhkan perkataanmu itu?" "Ehmm...!" jawab Suma Thian yu dingin. Mendadak....

Dari tengah udara berkumandang suara gelak tertawa yang amat nyaring, disusul kemudian terdengar seseorang berseru dengan sua ranya yang parau:

"Bocah cilik, kau harus mampus! Berani betul membohongi orang dan memfitnah lohu. Tahu kalau hatimu jahat, sejak tadi lohu sudah membacokmu sampai mampus"

Bersamaan dengan berkumandangnya ucapan tersebut, diatas pucuk bukit itu telah muncul seorang kakek mabuk yang berjalan mendekati arena pertarungan dengan langkah sempoyongan.

Begitu menyaksikan kehadiran orang itu, si kakek penebang kayu tersebut merasa amat terkejut, buru-buru dia melompat keluar dari arena pertarungan sambil membentak:

"Makhluk tua, ternyata kau tidak melupakan janji kita pada dua puluh tahun berselang, hal ini menandakan kalau tenaga dalammn selama dua puluh tahun terakhir ini mengalami kemajuan pesat, kionghi, kionghi "

Orang yang barusan munculkan diri itu tidak lain adalah si sastrawan rudin yang dijumpai di warung siang tadi.

Sambil menggelengkan kepala dan tertawa terkekeh-kekeh, sastrawan rudin itu berkata:

"Bisa melihat sobat lamaku masih segar bugar, lohu merasa gembira sekali, bila daya ingatanku masih bagus, bukankah hari ini adalah saat perjanjian kita?"

"Haaah...haah...haah... kau memang memiliki daya ingatan yang mengagumkan, benar, memang hari ini. Sejak pagi tadi lohu sudah menantikan kedatanganmu dirumah, siapa tahu muridku yang berbuat keonaran diluaran telah mati dibunuh dan jenasahnya akan dikubur disini, bagi lohu peristiwa ini benar-benar rupakan suatu kejadian aib bagiku"

"Hei makhluk tua, aku ingin bertanya kepadamu, apa  dendam sakit hati muridku padamu? Mengapa kau begitu tega membunuhnya?" Ketika mengucapkan perkataan tersebut, wajah kakek penebang kayu itu diliputi kegusaran dan emosinya berkobarkobar.

Sastrawan rudin itu memicingkan matanya, kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Haaahh... haaah... haaah... berhutang nyawa dia harus membayarnya dengan nyawa pula, kejadian semacam ini sudah lumrah dan sewajarnya. Muridmu Oh Si thian telah membunuh seorang saudagar tanpa sebab musabab, dosanya amat besar, sudah sepantas nya kalau dia mumpus untuk menebus dosa-dosanya itu "

Kakek penebang kayu itu makin naik pitam, ia tertawa  seram dengan kerasnya, suaranya seperti jeritan setan ditengah malam buta, sehingga membuat bulu kuduknya pada bangun.

Begitu selesai tertawa, dia segera melotot gusar kearah sastrawan rudin itu, kemudian sambil menuding ke arah mayat muridnya, dia berkata:

Makhluk tua, mau memukul anjing lihat dulu pemiliknya,  kau toh sudah tahu kalau dia adalah murid kesayanganku, sekalipun perbuatan-nya tak benar, juga tidak seharusnya kau membinasakan dirinya. Baik! kalau toh kau melupakan  dendam sakit hatimu dulu, hari ini lohu akan melayanimu sampai dimana pun jua."

Sastrawan rudin itu segera tertawa dengan penuh kegembiraan, serunya:

"Hal ini harus disalahkan muridmu cuma gentong nasi yang tidak berguna, tombak dari lilin yang tak mampu menahan diri, kalau sudah kena di banting orang sampai mampus, kau harus menyalahkan siapa lagi?"

Kakek penebang kayu itu tampak tertegun sehabis mendengar ucapan itu, tanyanya cepat:

"Menurut perkataanmu itu, siapa yang telah membunuhnya?" Mendapat pertanyaan ini, si sastrawan rudin itu baru merasa kalau ia telah salah berbicara, hatinya menjadi amat sedih.

Baru saja akan menjawab, mendadak Suma Thian yu yang berada disampingnya telah berkata:

"Akulah yang telah membunuhnya!"

Dengan cepat kakek penebang kayuitu berpaling, dari balik matanya yang memerah telah mencorong keluar sinar tajam yang menggidikkan hati, bentaknya segera dengan gusar:

"Kau? Kau yang membunuhnya? Lobu tak percaya, kau tak usah memikul dosa orang lain!"

"Tidak, memang akulah yang telah membinasakan muridmu, ketika muridmu itu menubruk perutku dengan kepalanya, aku pun menghen-takan perut ku, siapa tahu dia lantas mampus dengan begitu saja. Bila kau tidak percaya silahkan kau periksa keadaan lukanya"

Sekali lagi Kakek penebang kayu itu tertawa seram. "Heeehh...heeeh...heeeh... bocah keparat, dengan

tampang seperti kau pun bisa mengalahkan muridku? Hmm, siapa yang percaya? Sekali lagi lohu peringatkan kepadamu, bila kauingin mencari penyakit buat diri sendiri, lohu pasti akan memenuhi keinginanmu itu"

Mendadak sastrawan rudin itu menjengek dari samping, katanya sambil tertawa tergelak:

"Tua bangka celaka, kau memang pandai mengucapkan kata-kata yang tak sedap didengar, memangnya kau anggap murid kesayanganmu itu berbobot? Huuh sudah tak becus belagak jadi Hohan lagi?"

"Tutup bacotmu..!" bentak kakek penebang kayu itu gusar.

Aai bocah keparat ini mampu untuk menyambut pukulan lohu, pasti aku percaya dengan perkataannya, kalau tidak....

hmm... terpaksa hutang berikut bunganya ini harus kutagih dari tanganmu!"

"Tiga pukulan?" sastrawan rudin itu berlagak kaget. "Wah... aku saja tak mampu untuk menerimanya, apa lagi dia? Bukankah kau hendak menyuruh dia mencari kamatian buat diri sendiri?"

"Bagaimana? Sepasang mata lohu belum kemasukan pasir bukan?" jengek gakek penebang kayu itu sambil tertawa berkakak seram.

"Mahkluk tua, kau harus membayar ganti atas selembar nyawa muridku itu"

Suma thian yu merasa dirinya dipandang rendah oleh lawannya, mendadak serunya lantang:

"Aku sanggup menerima dua pukulanmu!"

Begitu ucapan tersebut diutarakan, bukan cuma kakek penebang kayu itu saja yang tercengang, bahkan sastrawan rudin itupun merasa terperanjat.

"Kau? Kau sibocah sudah edan? Kau tahu siapakah dia? Dia adalah Jit Tok siu (Kakek tujuh racun) Kwa Lun yang termashur itu. Dengan modal apa kau hendak menyambut pukulan Jit tok ciangnya yang maha dahsyat itu?"

Begitu mendengar nama Jit tok siu, sekujur badan Suma thian yu bergetar keras, paras mukanya berubah hebat, diamdiam dia mengeluh didalam hati:

"Jit tok siu Kwa Lun gembong iblis paling beracun dalam dunia persilatan, bukan saja tenaga dalam maupun tenaga luarnya sudah tingkatan yang paling sempurna, ilmu pukulan Jit tok ciang yang di milikinya cukup membuat paras muka orang berubah hebat.

Sekarang, Suma Thian yu baru merasa agak menyesal, menyesal karena tindakannya yang terlalu terburu-buru.

Sementara dia masih memutar otak untuk mencari akal guna menghadapi serangan lawan, Jit tok siu Kwa Lun telah berjalan menuju ke hadapan Suma Thian yu, bahkan sambil memandang anak muda tersebut ia tertawa seram nada hentinya.

Sekali lagi Suma Thian yu mengawasi wajah Jit tok siu lekat-lekat, dia merasa wajah orang ini mencerminkan seseorang yang lurus, tapi mengapa hatinya justru begitu keji dan buas?

Tak salah kalau orang mengetahui, apabila ingin menilai seseorang, janganlah hanya menilai dari wajahnya.

Sementara itu si sastrawan rudin itu pun ikut merasa   sangat gelisah sekali setelah di lihatnya ke dua orang itu yang telah saling berhadapan muka, tanpa sadar dia menggeserkan tubuhnya pelan-pelan kesamping Suma Thian yu, kemudian bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.

Dengan cepat Suma Thian yu berhasil mengendalikan pikiran dan perasaannya, walaupun berhadapan dengan musuh tangguh, dia masih kelihatan gagah dan tenang.

Mau tak mau sikap gagahnya ini menimbulkan, perasaan kagum juga hati sastrawan rudin itu, ia malai berpikir, janganjangan si anak muda ini memang memiliki ilmu silat tingkat tinggi?

Mendadak Jit tok siu tertawa seram, kemudian ujarnya dengan suara yang menggidikan hati:

"Sebelum pertarungan dimulai, aku hendak berkata dulu kepadamu, asal kau mampu untuk menyambut seranganku ini, maka lohu akan menghadiahkan sebuah benda mustika dan mewariskan satu jurus ilmu silat kepadamu, sebaliknya bila kau mampus secara mengerikan, jangan salahkan kalau aku tertindak keji"

"Tak usah banyak bicara lagi, silahkan kau lancarkan ketiga buah pukulanmu itu!" seru Suma thian yu cepat.

Jit tok siu tertawa seram:

"Kalau begitu, sambutlah!"

Telapak tangannya segera di lontarkan kedepan, segulung hawa pukulan yang panas sukar ditahan bagaikan baranya api langsung berhembus ke tubuh Suma Thian yu.

Dibalik baranya api yang menggelora inilah sesungguhnya terkandung tujuh macam racun yang sangat jahat.

Menyaksikan itu, sastrawan rudin tersebut segera berteriak berulang kali: "Racun! Racun! Racun!"

Baru saja Suma Thian yu hendak melawan pukulan itu dengan telapak tangan kanannya, begitu mendengar peringatan dari sastrawan rudin tersebut, satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya, cepat-cepat dia menarik kembali telapak tangan kanannya lalu menyongsong pukulan musuh dengan telapak tangan kirinya.

"Kembali!" bentaknya pendek.

Sungguh aneh sekali, begitu angin pukulan dari Suma

Thian yu berhembus lewat, pukulan beracun dari Jit tok siu itu seakan-akan bertemu dengan tandingannya, seketika lenyap tak berbekas.

Jit tok siu Kwa Lun menjadi terkejut sekali, mendadak ia mengayunkan kembali telapak tangannya ditengah udara segera muncul desingan angin tujuh warna, seakan-akan pelangi di angkasa, secepat kilat menyerbu tubuh Suma Thian yu.

Seperti juga pertama kali tadi, dengan menghimpun dua bagian tenaga murninya kedalam telapak tangan kiri, dia sambut datangnya serangan itu keras-keras.

"Blaaaaaamm!"

Ketika dua gulungan angin pukulan itu bertemu diudara, pusaran angin berpusin segera menyambar ke empat penjuru, sedangkan cahaya tujuh warna itupun lenyap tak berbekas.

Dua kali serangan beruntunnya menemui kegagalan, hal mana membuat Jit tok siu Kwa Lun menjadi malu bercampur gusar, segera bentaknya keras-keras:

"Bocah keparat, serahkan selembar nyawamu!" Mendadak ditengah udara berkumandang sua ra mencicit yang sangat aneh, kemudian muncul beribu cahaya merah yang menyambar tubuh Suma Thian yu bagaikan hujan deras.

Sastrawan rudin itu tahu lihaynya serangan itu, mendadak ia menjerit kaget:

"Aaah... ulat beracun! Cepat mundur!"

ooo^^ooo 

Dalam keadaan begini, Suma Thian yu hanya ingin menghindarkan diri dari mara bahaya saja, dengan cepat dia menambahi tenaga pukulan pada tangan kirinya dengan dua bagian tenaga lagi, kemudian dengan menghimpun tenaga pada tangan kanan, dia lepaskan sebuah pukulan dengan ilmu Sian po hwee ajaran Cong liong Lo sianjin.

Dua gulung angin pukulan seperti sapuan angin puyuh menderu-deru di angkasa, ketika dua gulung kekuatan tersebut saling membentur, segera berkumandanglah suara ledakan yang memekikkan telinga.

Suma Thian yu memang cekatan, begitu sepasang telapak tangannya melepaskan pukulan, tubuhnya menggunakan kesempatan tersebut menghindar kebelakang dan meloloskan diri dari lingkaran cahaya yang berbahaya itu.

Mimpipun Jit tok siu tak pernah menyangka kalau Suma thian yu mampu untuk menghadapi tiga buah pukulannya, bahkan melancarkan sebuah serangan balasan yang mengetarkan sukma.

Menanti dia menyadari apa yang telah terjadi, seluruh tubuhnya sudah terlempar ke udara dan meluncur ke belakang seperti layang-layang putus tali.

Masih untung Jit tok siu adalah seorang jago silat keramaan, kendtipun sedang berada dalam bahaya, dia tak sampai gugup.

Dengan cepat dia berjumpalitan beberapa kali ditengah udara, kemudian melayang turun ke atas tanah dengan selamat.

Namun, setelah adanya pelajaran ini mau tak mau Jit tok siu Kwa lun harus memperbaharui penilaiannya terhadap Suma Thian yu, di samping itu diapun yakin kalau muridnya memang tewas ditangan si anak muda ini.

Selama hidup belum pernah sastrtwan rudin itu pernah menyaksikan gerakan tubuh sede mikian indahnya, terutama sekali kesanggupan Suma Thian yu untuk melawan racun, hal tersebut membuatnya menjadi gelagapan. Berbicara sesungguhnya, sastrawan rudin sendiripun masih mengandalkan semacam ilmu silat barunya untuk menghadapi Jit tok siu kalau tidak ingin menderita kekalahan, siapa sangka kalau pemuda itu malah bisa menghadapi lawannya secara begitu mudah.

Dua puluh tahun berselang, mereka sudah pernah  bertarung selama tiga hari tiga malam, waktu itu si sastrawan rudin tersebut kalah satu gebrakan dari lawannya, masih untung Jit tok siu sendiripun sudah kehabisan tenaga hingga selembar jiwanya bisa lolos dari ancaman.

Sesungguhnya dia memang seorang pendekar dunia persilatan, oleh sebab dia pandai meramal dan lagi sikapnya ugal-ugalan, maka orang persilatan menyebutnya sebagai Sin sian siang su (Peramal dewa).

Si peramal dewa ini she Yu bernama Seng si, tiada orang yang mengetahui asal usulnya, namun kepandaian silatnya amat hebat.

Belum sampai dua tahun dia berkelana dalam dunia persilatan, namanya menjadi tenar dan jarang ada yang bisa menandingi kepandaian silatnya itu.

Karena itulah ketenarannya menimbulkan kemarahan dari Jit tok siu Kwa Lun yang waktu itu merupakan seorang gembong iblis dari golongan Liok lim, dia menentang si Dewa peramal itu untuk bertarung.

Namun hasil dari pertarungan itu, si Dewa peramal dikalahkan oleh lawannya dalam suatu pertarungan yang alot.

Sebelum pergi, Dewa peramal menentang untuk bertarung lagi dua puluh tahun mendatang.

Kebetulan hari ini sudah saatnya untuk bertarung lagi melawan Jit tok siu.

Kebetulan pula sebelum berangkat kemari, si Dewa peramal telah bertemu dengan Cong liong Lo siancu dan mengetahui kalau tokoh sakti ini mempunyai seorang murid yang bernama Suma Thian yu sedang dalam perjalanan menuju Tibet.

Cong liong Lo siansu berpesan kepadanya agar sepanjang jalan melindungi muridnya ini. Oleh sebab pesan itu pula, ketika Dewa peramal berhasil menjumpai Suma Thian Yu, diapun memberi petunjuk dengan katakatanya. Dalam pada itu, Jit tok siu dibikin malu bercampur gusar setelah kekalahannya, ia segera berkata agak tersipu:

"Bocah keparat, kau memang hebat dan mampu menerima tiga buah pukulan lohu, pa dahal jarang ada orang yang mampu berbuat demikian. Seperti apa yang telah kukatakan tadi, aku akan menghadiahkan sebuah benda mestika kepadamu, sedang soal jurus silat, aku pikir dengan kepandaianmu sekarang, hal ini tak usah lagi"

Sembari berkata dia mengambil sebutir mutiara kecil dari sakunya dan disodorkan kehadapan Suma Thian yu.

Ketika pemuda itu mencoba mengamati, mutiara tersebut amat tajam, karenanya sambil menggeleng katanya:

"Terima kasih banyak, aku "

Belum selesai dia berkata, Dewa peramal telah menukas: "Bocah, terimalah, orang lain toh menghadiahkan benda itu

dengan hati tulus."

Suma Thian yu masih kelihatan sangsi untuk menerima. Si Dewa peramal segera menegur lagi:

"Eeeh, mengapa masih sangsi?"

Mendengar ucapan tersebut, Suma Thian yu mengira watak Jit tok siu memang aneh dan tak boleh ditampik pemberiannya, maka dia segera menerima mutiara tersebut seraya berkata:

"Terima kasih banyak!"

Kemudian dimasukkan kedalam sakunya.

Si Dewa peramal Yu Seng si segera berpaling ke arah Jit tok siu, kemudian katanya seraya tertawa:

"Babak berikutnya adalah peraturan diantara kita berdua!" "Apakah dia adalah muridmu?" Jit tok siu Kwa Lun segera

menuding ke arah anak muda itu. "Bukan!" Mengetahui kalau Suma thian yu bukan muridnya si Dewa peramal, Jit tok siu Kwa Lun baru merasakan hatinya lega, sambil tertawa dia lantas manggut-manggut.

"Bagaimana jika seperti cara kita pada dua puluh tahun berselang?"

"Boleh sih boleh, hanya waktunya terlalu lama, kita harus satu cara, sekarang kau boleh mengajukan satu persoalan dan kita saling ber gantian mengajukan soalnya, bagaimana?"

Mendengar perkataan itu si Dewa Peramal Yu Seng si segera tertawa terbahak-bahak. "haaah...haaah...haah... bagaimana kalau kita beradu racun saja?"

Ucapan mana kontan membuat Jit tok siu tertegun, dia saama sekali tidak menyangka kalau musuhnya akan beradu racun dengannya. Kontan saja dia mendonggakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

"Hei mahkluk tua, kau ada maksud untuk mengejekku?

Bertanding racun denganku sama saja mencari penyakit buat diri sendiri, lebih baik yang serius saja, jangan sok menganggap pertarungan ini seperti mainan kanak-kanak!"

SI Dewa peramal Ya Seng si sama sekali tidak tergetar hatinya, malah ujarnya lagi sambil tertawa:

"Kau mengira lohu sedang bergurau? Kau adalah raja racun di dunia ini, sedang lohu akan menantangmu dengan racun pula, bukan kah hal ini sangat adil?"

Hampir saja Jit tok siu Kwa Lun tidak percaya dengan pendengaran sendiri, kembali dia bertanya:

"Bagaimana cara pertarungan itu akan langsungkan?" "Aku membawa dua botol teh racun Ban tek cha, setiap

orang harus minum sebotol, coba kita saksikan siapa yang akan keracunan lebih dulu. Bagaimana? Permainan ini sangat mencocoki selera mu bukan?"

Mula-mula Jit tok siu Kwa Lun agak tertegun, menyusul kemudian dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila:

"Haah...haah...haah... sudab edan rupanya dirimu itu?

Dengarkanlah nasehat lohu, lebih baik jangan dicoba, teh Ban tok cha merupakan racun paling ganas di dunia ini dan tiada obat yang bisa menawarkan racun tersebut, bila teh beracun itu diminum maka kita semua akan mampu mampus, boleh  saja kalau kau sudah bosan hidup, tapi lohu masih belum ingin mampus dengan begitu cepat !"

Mendengar perkataan ini, Si Dewa Peramal segera mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.

"Haaah...haaah...haaahh... katanya saja kau adalah cikal bakalnya racun, tak tahunya takut minum teh beracun Ban tok cha....! Huuh, asal kau mau mengaku kalah, kita hapus pertarungan ini"

Jit tok siu Kwa Lun tertawa seram.

"Omong kosong, asal kau berani meneguk, lohupun berani pula untuk meneguk racun itu"

Dari dalam sakunya si Dewa peramal Yu Seng si mengeluarkan dua buah bool kecil yang sama bentuknya, kemudian sambi1 menyodorkan kedua botol itu kedepan Jit tok siu, katanya:

"Silahkan kau untuk memilihnya dulu!" Jit tok siu Kwa Lun mengambil sebuah diantaranya, kemudian berseru:

"Harap kau dulu yang minum!"

Tanpa sangsi si Dewi peramal Yu Seng si membuka penutup botol itu dan meneguk isinya sampai habis, paras mukanya sama sekali tidak berubah.

Menanti si Dewa peramal telah menghabiskan botol teh beracun itu, jit tok siu Kwa Lun baru tertawa licik.

"Makhluk tua, kau tertipu, lohu tak lebih hanya menganjurkan kepadamu untuk menghabiskan isi racun itu agar selekasnya berangkat ke akhirat"

Menyaksikan perbuatan munafik dari lawannya itu, Si Dewa peramal Si Seng yu menjadi gusar bukan main, mendadak alis matanya berkernyit dan sekujur tubuhnya gemetar keras, wajahnya menunjukkan perasaan tersiksa yang luar biasa.

Menyaksikan hal ini, Jit tok siu Kwa Lun tertawa tergelak, dengan bangganya dia menjengek: "Mahkluk tua, siapa membunuh orang, dia harus membayar pula dengan nyawanya, lohu akan mengambil nyawamu sebagai ganti nyawa muridku, bukankah itu adil namanya?"

Selesai berkata kembali dia tertawa terbahak-bahak dengan gembiranya.

Suma thian yu sambil membentak keras, ia meloloskan pedangnya, kemudian membacok tubuh Jit tok siu dengan mengunakan jurus Gwat gi seng sia (rembulan bergeser bintang beralih).

"Wahai setan tua!" dia membentak nyaring, "kau jangan keburu merasa bangga lebih dulu, giliran selanjutnya adalah kau!"

Agak tertegun juga Jit tok siu Kwa Lun ketika melihat Suma Thian yu maju melancarkan serangan, ia tidak menangkis maupun berkelit sambil mundur berapa langkah dan memungut kembali kapak kecilnya, ia tertawa licik.

"Bocah keparat, silahkan kau pun pergi mampus!"

Kapaknya dengan jurus Ciu siu gan Siu (tukang kayu menebang pohon) balas menyerang ketubuh Suma Thian yu.

Jangan dilihat gerak serangan itu amat kaku dan sederhana, pada hal dibalik kesederhanaan tersebut justru mengandung tenaga dalam yang luar biasa.

Belum lagi serangan kapak itu tiba, dihadapan tubuh Suma Thian yu telah diliputi selapis hawa dingin yang luar biasa.

Suma Thian yu mengira Jit tok siu akan memancarkan

tujuh racunnya di balik serangan kapak tersebut, tanpa terasa hatinya menjadi bergetar keras.

Cepat-cepat dia memutar pedang Kit hong kiamnya, menciptakan suatu pertahanan yang amat tebal untuk menciptakan suatu pertahanan yang tangguh, dengan cara itu dia hendak mem bendung serangan dari Jit tok siu.

Mendadak terdengar si Dewa peramal berpekik nyaring, tubuhnya berkelebat lewat bagaikan sambaran petir, lalu menerjang ketengah antara kedua orang itu.

Sepasang telapak tangannya dilontarkan kemuka dan...."Blammm!" ditengah suatu ledakan keras yang memekikkan telinga, Jit tok siu maupun Suma thian yu samasama kena dipaksa untuk mundur sejauh beberapa langkah.

"Haaah...!" begitu Jit tok siu Kwa Lun tahu kalau orang tersebut adalah Dewa peramal, dia menjerit kaget.

Dengan nada menyindir, si Dewa peramal Ya Seng si berseru sambil tertawa terbahak-bahak:

"Kau merasa terperanjat bukan? Kwa Lun, yang tertipu bukan aku, melainkan kau si bajingan tua yang rendah dan tak tahu malu."

"Betul-betul mengejutkan" seru Jit tok siu Kwa Lun sambil menyeringai seram, "Jadi kau ini belum mampus?"

"Tentu saja tak akan mampus, masa minum air bisa mampus? Jangan nakut-nakuti orang!

"Aaah, jadi isi botol itu cuma air?" Jit tok siu Kwa Lun makin terperanjat.

Begitu selesai berkata, si Dewa peramal segera tertawa terbahak-bahak, sedangkan Suma thian yu juga ikut merasa lega, sehingga ia tertawa terpingkal pingkal.

Sudah barang tentu Jit tok siu Kwa Lun tak percaya dengan begitu saja, tapi diapun cukup mengetahui tentang kelihayan dari racun Bak tok cha tersebut, andaikata si Dewa peramal benar-benar meneguknya, sudah pasti dia akan mampus.

Namun kenyataannya, dia masih mampu untuk melancarkan serangan dengan begitu dahsyat, dari sini bisa disimpulkan kalau dia memang cuma minum air biasa.

Semakin dibayangka, Jit tok siu merasa hatinya merasa makin tak karuan, seolah-olah bocah yang merasa salah sehingga tak sepatah katapun mampu diucapkan.

Untuk sesaat lamanya suasana diarena menjadi hening, lama kemudian, akhirnya Jit tok siu Kwa Lun membanting

kapak kecilnya keatas tanah, lalu dengan wajah tersipu karena malu dia berkata:

"Aku mengaku kalah, baik soal kecerdasan maupun tenaga dalam, lohu kalah semua dari mu. Tiga tahun kemudian, lohu pasti akan datang minta petunjuk lagi!" Selesai berkata, dia membalikan badan dan berlalu dari situ, hanya didalam beberapa kali lompatan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.

Menanti Jit tok siu Kwa Lun sudah pergi jauh, Suma thian yu berdua baru menggali liang dan menguburkan dua sosok jenazah tersebut.

Kemudian, Suma Thian yu baru memberi hormat kepada si Dewa peramal sembari berkata:

"Locianpwe, maafkanlah boanpwe yang punya mata tak berbiji sehingga tidak mengenali diri cianpwe.."

"Haah...haah... haah... bocah cilik, lohu paling benci dengan segala adat istiadat serta tata cara kesopanan, sebagai seorang lelaki sejati, sudah seharusnya bersikap terbuka dan tidak terikat adat"

Buru-buru Suma Thian yu mengiakan dengan hormat.

Dewa peramal Yu Seng si kembali mengamati Suma Thian yu beberapa saat lamanya, kemudian berkata lagi:

"Jika di lihat dari tampangmu jelas kau adalah seorang pemuda yang jujur dan berperasaan halus, tapi kau harus tahu, perjalananmu menuju tibet kali ini penuh dengan kesulitan dan rintangan, aku berharap kau bersikaplah lebih bijaksana dan jangan terlalu melakukan pembunuhan. Sayang lohu masih ada urusan penting sehingga tak dapat menemani kau sepanjang jalan, nah, aku hendak berangkat duluan"

Begitu selesai berkata, bagaikan sambaran kilat cepatnya, ia berlalu dari situ.

Jangan dilihat gerak-geriknya semacam orang mabuk, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Suma Thian yu segera turun dari gunung dan menemukan kembali kudanya, kemudian melanjutkan perjalanan lagi menuju ke arah barat.

Dari sini sampai di Tibet, perjalanan masih amat jauh dan mercapai berpuluh laksa li, jangankan dia sedang memikul tugas berat, bagi mereka yang berpesiar pun akan merasa jemu. Apalagi setelah mendengar peringatan dari Dewa peramal, perasaannya makin berat dan masgul... Sekalipun ia tak tahu apa yang harus di la kukan olehnya di wilayah Tibet, namun dia percaya Cong liong Lo sian jin pasti mempunyai sesuatu maksud tertentu, atau mungkin sedang mencoba keuletannya, atau mungkin juga ia sedang di perintahkan untuk melakukan suatu perjalanan untuk

mencari pengalaman.

Suatu hari, sampailah Suma thian yu disuatu daerah dalam Propinsi San say yang bernama Liong swan kwan.

Tiba-tiba kaki depan kuda tungganggannya menjadi lemas dan terperosok kedepan.

Dengan perasaan terperanjat Suma Thian yu melompat dari atas pelana kudanya dan melayang turun keatas tanah.

Mendadak dari samping jalan berkumandang suara pujian keras:

"Ilmu gerakan tubuh yang bagus!"

Begitu melayang turun ketanah, Suma thian yu segera berpaling, tampak olehnya seorang pengemis tua sedang duduk lebih kurang dua kaki dihadapannya, waktu itu si pengemis tersebut sedang mengangkat buli-buli araknya dan meneguk dengan lahap.

Begitu mengetahui siapakah pengemis tersebut, Suma thian yu segera bersorak gembira:

"Wi locianpwe, rupanya kau orang tua pun berada disini!"

Bertemu dengan sobat sekampung memang merupakan obat rindu bagi seorang pengembara, rasa gembira yang

mencekam perasaan Suma Thian yu saat ini boleh dibilang tak terlukis kan dengan kata-kata.

Selama hampir setengah bulan ini, dia selalu menempuh perjalanan seorang diri, dia seolah-olah berubah menjadi bisu saja karena tak ada orang yang bisa diajak berbicara.

Tapi sekarang, secara tibatiba saja dia bertemu dengan Siau yau kay Wi Kian, keadaan ini ibaratnya orang yang menemukan pedang hijau ditengah gurun pasir.

Siapa tahu paras muka Siau yau kay Wi Kian amat serius dengan sorot mata yang dingin seperti es dia menatap wajah anak muda itu lekat-lekat. Suma Thian yu menjadi tertegun, segera pikirnya: "Aaah... keadaan tidak beres, apa yang telah terjadi?

Jangan-jangan terjadi lagi kesalahan paham?"

Sementara dia masih berpikir-pikir, mendadak terdengar Siau yau kay Wi Kian membentak gusar:

"Kemari, kau manusia berhati binatang!" Suma Thian yu menjadi sangat gelisah, dia tahu kalau manusia berwatak aneh ini kembali menaruh kesalahan paham terhadapnya.

Dalam keadaan demikian, dia tak berani berayal lagi, dengan cepat dia berjalan menuju kehadapan Siau yau kay, kemudian tanya-nya dengan hormat:

"Wi locianpwe, tolong tanya boanpwe telah melakukan kesalahan apa?"

Dengan wajah penuh amarah, Wi Kian membentak keras: "Kau telah membawa Wan pek lan kemana? Ayo cepat

jawab sejujurnya"

"Ooooh, rupanya karena dia" "Apa? Kau bilang apa?"

"Rupanya locianpwe sedang marah karena nona Wan tidak melakukan perjalanan bersama boanpwe?"

"Benar, aku ingin bertanya kepadamu, sekarang dia bereda di mana?"

"Di rumah Heng si Cinjin!"

"Telur busuk! Kau berani mengelabuhi aku? Aku si pingemis tua tidak gampang di tipu tahu? Hmmm! Benar-benar tahu orangnya tahu wajahnya tak tahu hatinya, tidak kusangka kau berwajah bagus tapi berhati busuk seperti iblis. Bocah muda, anggap saja aku si pengemis tua telah salah melihatmu"

Untuk sesaat Suma Thian yu benar-benar kebingungan dan tidak habis mengerti, cepat tanyanya dengan kegerahan:

"Locianpwe, apa sih maksud dari perkataanmu itu?

Boanpwe benar-benar tidak habis mengerti"

Kontan saja Siau yau kay wi Kian melototkan sepasang matanya dengan gusar, mendadak dia melompat bangun dan segera meng ambil sepucuk sampul surat dari sakunya, kemudian sambil disodorkan kehadapan pemuda itu, dia berseru:

"Coba kau lihat, benda apakah ini?" Suma Thian yu menerima sampul tersebut dan untuk sesaat merasa sangsi dan tak berani membuka sampul itu.

"Buka sampul itu, didalamnya berisi semua bukti dari perbuatan jahatmu itu!" bentak Siau yau kay lagi.

Buru-buru Suma Thian yu membuka sampul surat itu, ternyata isi sampul itu adalah se gumpal rambut dan beberapa lembar kuku.

Dengan perasaan tidak habis mengerti, kembali Suma Thian yu bertanya:

"Apa hubungannya benda-benda tersebut dengan diri boanpwe...?"

"Bocah keparat benda itu adalah rambut dan kuku Wan Pek lan.....!” umpat pengemis itu lagi dengan marah.

“Benarkah itu? Buat apa dia mengirimkan benda-benda itu kepada locianpwe?

Apakah dia telah mencukur rambut menjadi pendeta perempuan?"

Mendengar ucapan tersebut, Siau yau kay Wi Kian benarbenar amat gusar, dengan mata melotot dan wajah berubah menjadi merah membara, dia membentak gusar.

"Bocah keparat, kau tak usah berlagak pilon, akan kulihat kau bersedia mengaku atau tidak!"

Begitu ucapan terakhir diutarakan, angin pukulan sudah menyambar datang dengan kecepatan tinggi.

Sebenarnya Suma Thian yu ingin berkelit kesamping, tapi setelah berpikir sejenak, dia merasa dirinya tidak bersalah, mengapa harus menghindarkan diri dari pukulan itu?

Karena berpendapat demikian, maka dia urungkan niatnya untuk berkelit dan menyong song datangnya pukulan tersebut dengan begitu saja.

“Plaaaaak!”

Sebuah tamparan keras bergema memecahkan keheningan, pipi Suma thian yu sudah kena dihajar telak sehingga kepalanya pusir tujuh keliling dan pandangan matanya berkunang kunang, sebuah bekas lima jari tangan yang merah membengkak muncul diatas wajahnya.

Menyaksikan hal ini, Siau yau kay menjadi tak tega sendiri, dia tidak melancarkan serangan lebih lanjut, bahkan berdiri dengan wajah kebingungan.

Rupanya oleh karena pemuda itu tidak menghindar dan dipukul diam saja, hal tersebut membuat kemarahan dari Siau yau kay wi Kian berkurang setengah.

Setelah kemarahan pengemis tua itu mereda, Suma Thian yu baru berkata:

"Sudah pasti locianpwe menaruh salah paham, hubungan boanpwe dengan nona Wan sangat baik dan cocok, tidak akan mungkin dia akan mencukur rambutnya menjadi Pendeta"

"Siapa yang bilang kalau dia menjadi pendeta? Tanda tersebut merupakan lambang dari kematian, mengerti kau?"

"Apa? Suma thian yu menjerit kaget, dia telah mati? Tidak mungkin, sewaktu boanpwe meninggalkan dia, gadis itu masih segar bugar bahkan masih bergurau dengan nona Tosn dan saling menyebut saudara, mana mungkin dalam sebulan yang singkat dia telah ketimpa bencana?"

"Kau berani menjamin?"

"Yaa, kalau dia tertimpa musibah, sudah seharusnya dua bersaudara Thia pun mengalami nasib yang sama!"

Berbicara sampai disini, secara ringkas Suma Thian yu menceritakan keadaan yang dialaminya waktu itu kepada Siau yau kay, bahkan mengatakan pula bahwa dua bersaudara Thia berjanji akan melindungi keselamatan dari Wan pek lan.

Seusai mendengar penuturan tersebut, Siau Yau kay  menjadi setengah percaya setengah tidak, dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah Suma Thian yu lekat-lekat seakan-akan ingin tahu apakah pemuda itu jujur atau tidak.

Rupanya setelah meninggalkan Suma Thian yu dan Wan pek lan tempo hari, Siau yau kay Wi Kian melanjutkan pengembaraannya menjelajahi dunia persilatan, berapa hari berselang mendadak ia menerima sepucuk surat yang didalamnya tercantum secarik kertas, dimana diterangkan kalau Bi hong siancu Wan pek lan telah tertimpa musibah, pembunuhnya adalah Suma Thian yu.

Mendenar berita buruk itu, hampir saja Siau yau kay Wi  Kian jatuh semaput saking gusarnya, kontan saja dia mencaci maki Suma Thian yu habis-habisan, bahkan pada saat itu juga

berangkat ke wilayah Tibet dan bermaksud mencegat ditengah jalan.

Kebetulan pula Suma thian yu memang sedang dalam perjalanan melewati tempat itu, hingga bertemulah mereka berdua.

Mereka berdua segera saling menuturkan pengalaman masing-masing, pada saat itulah Suma thian yu baru tahu kalau ada orang sengaja hendak mencelakainya. Sudah barang tentu Siau yau kay tidak percaya perkataan Suma Thian yu dengan begitu saja, namun dia pun tak berani menuduh dialah pembunuhnya, untuk beberapa saat dia menjadi bingung dan diletakkan dalam posisi yang serba runyam.

Begitulah, untuk beberapa saat mereka ber dua hanya berdiri saling berhadapan disitu dengan mulut membungkam, untung saat itu mendekati senja sehingga tiada orang yang menempuh perjalanan disitu, dengan demikian sikap mereka pun tak sampai memancing perhatian orang lain.

Lama kemudian, tampaknya Siau yau kay telah mengambil suatu keputusan, katanya kemudian kepada Suma Thian yu dengan suara dingin:

"Jangan lupa, kau tak akan lolos dari tanganku, bila Wan pek lan benar-benar mengalami sesuatu, kau lah yang harus bertanggung jawab!"

"......"Suma Thian yu merasa pikirannya amat kalut, untuk sesaat lamanya ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

Mendadak terdengar Siau yau kay membentak keras: "Siapa?"

Menyusul bentakan itu, tubuhnya melesat ke dalam hutan di tepi jalan sana. Menanti Suma Thian yu menyadari akan hal itu, pengemis tua itu sudah memasuki hutan.

Dalam keadaan demikian, anak muda itu tak berani berayal lagi, dia pun segera membuntuti dibelakangnya.

Baru saja tubuhnya tiba di tepi hutan, mendadak tampak sebuah benda disambit keluar dari dalam hutan langsung diarahkan ke atas wajahnya. Serta merta Suma Thian yu menerima beda itu, ternyata benda tersebut tak lain adalah sampul surat tadi.

Suma Thian yu tak sempat memeriksa isinya lagi, kembali dia melesat ketengah udara. Mendadak dari dalam hutan berkumandang suara tertawa dari Siau yau kay:

"Bocah muda, lohu telah bertemu dengan sobat karibku dan akan berangkat lebih dulu, aku minta kau cari jejak Wan Pek lan, sampai ketemu."

Ketika ucapan terakhir diutarakan, mungkin orangnya sudah berada setengah li dari situ.

Suma Thian yu menjadi masgul, murung dan tak karuan perasaannya. Sebab tanpa sebab tanpa musabab dia telah bertemu dengan Siau yau kay di situ, baru saja dia bergembira karena akan memperoleh teman seperjalanan, siapa tahu

yang diperoleh hanya rasa yang memurungkan hatinya saja.

Meninggalkan kota Liong Swan kwan, didepan sana terbentang pegunungan Ngo tay San. Waktu itu hari sudah malam, Suma Thian yu yang dibebani dengan berbagai persoalan yang memusingkan kepala itu menjadi kemalaman di tengah jalan.

Kuda yang diperoleh dari warung makan tempo hari, kini di tinggal di kota Liong swan kwan karena tak mampu melanjutkan perjalanan lagi, terpaksa dia harus menelusuri kegelapan dengan berjalan kaki.

Belum lama dia meninggalkan kota Liong Swan kwan, perjalanan anak muda itu sudah dikuntil orang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar