Jilid 18
Tahun ini, makhluk tua tersebut sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki sekarang pun paling tidak masih diatas enam puluh tahun hasil latihan.
Sebaliknya, meski usia Suma Thian yu baru tujuh delapan belas tahunan, tapi berhubung sejak kecil sudah memperoleh guru pan dai dan sejak kecil pula melatih ilmu Kui goan sim hoat, kemudian minum obat Ku ciang sin yok, maka dasar tenaga dalam yang dimiliki nya boleh dibilang kuat sekali.
Ketika berada dalam gua dan salah makan daun Jin sian kiam lan, tenaga dalamnya
telah bertambah dengan pesat, sehingga mencapai enam puluh tahun hasil latihan lebih, sebab itulah meski beradu tenaga-tenaga dalam dengan si makhluk tua sekarang, kekuatan mereka tetap berimbang satu sama lainnya.
Walaupun demikian, akhirnya toh akan muncul juga saat untuk menentukan siapa yang lebih tangguh dan siapa yang lebih lemah, disaat itulah yang tangguh bakal muncul sebagai pemenangnya, sedangkan yang lemah akan menemui ajalnya.
Mendadak..... Dari atas bukit Kun san berkumandang suara seruling yang mengalun tiba mengikati hembusan angin, suara yang mengalun menembusi lembah bergema pula ke dalam telinga kedua orang tersebut.
Ternyata aneh sekali, kedua orang itu segera merasakan semangatnya menjadi segar kem bali dan kekuatannya seperti beratus kali lipat lebih besar keadaan semula.
Pelan-pelan makhluk tua itu membuka sepasang matanya, dari balik sorot matanya itu terpancar keluar perasaan bingung dan tidak habis mengerti.
Tak selang berapa saat kemudian, dari arah punggung bukit sana muncul setitik bayangan hitam yang secapat sambaran petir meluncur masuk kedalam lembah Si jin kok.
Suara seruling yang mengalun diudara pun menyusul bayangan hitam yang meluncur tiba itu bergema makin keras.
Bi hong siancu Wan Pek lan segera mengangkat kepalanya sambil memandang ke depan, tampak olehnya setitik cahaya hitam secepat kilat meluncur kedalam lembah.
Tak sempat lagi bagi Bi hong siancu untuk menegur, tahutahu dihadapan mukanya telah berdiri seorang kakek berdandan seorang tosu, bersamaan dengan munculnya tosu tua itu pun suara seruling tadi menjadi sirap dan hilang.
Tampak tosu tua itu memperhatikan sekejap kearah Bi hong siancu, kemudian sambil tertawa terbahak-bahak serunya:
"Haaaah...haaaa...haaaa... kalian berdua harus segera menghentikan permainan yang tak bermanfaat ini!"
Sembari berkata, seruling bambu ditangannya segera ditutul pelan ketengah-tengah orang yang sedang bertempur itu.
"Criiitt...!" dari mulut seruling menyembur kelur segulung hawa pukulan berwarna putih dan menyambar ketubuh dua orang yang sedang bertarung tadi.
Kedua orang itu segera merasakan udara di sekeliling tubuhnya membuyar dan tubuh mere ka yang sempoyongan pun segera melompat mundur kebelakang. Menanti si makhluk tua itu dapat berdiri tegak, sorot matanya segera dialihkan kewajah tosu tua yang baru muncul itu dan menatapnya lekat-lekat, sampai lama sekali dia tak mengucapkan sepatah kata pun.
Sedangkan Suma Thian yu segera menjura sembari berseru:
"Cianpwe, kedatanganmu tepat sekali, untung saja selembar jiwa boanpwe masih bisa diselamatkan!"
Ternyata orang yang barusan munculkan diri itu adalah Heng si Cinjin, gurunya dua bersaudara Thia yang mempunyai janji dengan anak muda tersebut.
Sambil mengelus jenggotnya, Heng si Cinjin segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah...haah...haah...baru berapa hari tidak bersua, tenaga sinkang yang dimiliki Suma siauhiap sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat, sungguh mengagumkan, sungguh menggembirakan, mungkin kau telah memperoleh suatu penemuan aneh bukan?"
Merah padam selembar wajah Suma Thian yu karena jengah, cepat-cepat dia mengangguk.
"Aaah, cianpwee terlalu memuji, boanpwee hanya berilmu cetek"
Setelah berbasa-basi sebentar, Heng si Cinjin pun mengalihkan kembali sorot matannya ke wajah manusia aneh tersebut, dengan gusar dia menegur:
"Rupanya kaulah yang berbuat ulah disini, baik-baik menjadi ciangbunjin partai Mao san buat apa kau lari ketempat seperti ini untuk memakan daging menusia? Sebenarnya apa mak sud dan tujuanmu yang sebenarnya?"
Begitu berjumpa dengan Heng si Cinjin, mahkluk tua itupun nampak terperanjat, tapi segera jawabnya dengan marah:
"Urusan ini merupakan persoalan pribadi lohu sendiri, orang lain tak usah mencampurinya" Heng si Cinjin segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah...haaah...haaah...Hu hok, setiap umat persilatan yang menyinggung soal bukit Kun san di telaga Tong tin, mereka akan segera teringat pula dengan nama Pinto, sekarang kau makan daging manusia disini, bila orang lain mengetahui akan persoalan ini, mereka masih mengira pintolah yang membuat ulah dengan mencelakai sesama umat manusia"
Ternyata makhluk tua itu merupakan ciangbunjin angkatan ke sembilan belas dari partai Mao san yang bernama Hu Huk cu, tapi baru setahun menjabat sebagai ketua, dia telah menyerahkan jabatan sebagai ketua tersebut kepada sutenya Hu Yan cu, sementara dia sendiri mengembara didalam dunia persilatan.
Banyak orang mengira Hu Hok cu sudah bosan dengan kehidupan keduniawian dan mengggundurkan diri hidup menyendiri, padahal yang benar Hu Hok cu memrunyai maksud tujuan yang lain, secara rahasia sekali dia memasuki bukit Kun san dan menyembunyikan diri disitu untuk berlatih ilmu silat.
berhubung didalam kitab pusaka yang diperolehnya untuk melatih semacam ilmu sesat dibutuhkan kekuatan dari sari manusia, maka untuk meyakinkan ilmu tersebut orang yang bersangkutan harus memakan daging manusia setiap harinya.
Hu Hok cu yang memperoleh kitab pusaka mana menjadi kegirangan setengah mati, dia segera meninggalkan kedudukannya sebagai Ciangbujin dan menyembunyikan diri disitu, bukan saja suasana diseputar sana dibikin menyeramkan, dia pun mendirikan batu peringatan dan menjadikan daerah tersebut sebagai daerah terlarang.
Apabila malam hari sudah tiba, dia pun akan muncul dari daerah terlarangnya untuk memancing saudagar atau orang orang persilatan
guna memasuki lembah Si jin kok, disanalah korbannya dibunuh dan daging mereka disantap. Selama tiga puluh tahun ini, entah berapa banyak sudah manusia yang menemui aja1nya disini, namun ilmu silat yang dimiliki pun tidak memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Siapa sangka, malam ini dia telah bertemu dengan lawan tandingnya, bukan saja dipecundangi, bahkan nyaris nyawanya akan turut melayang.
Sementara itu, Ha Hak cu merasa gusar sekali setelah mendengar umpatan dari Heng si Cinjin tersebut, sambil tertawa seram segera teriaknya keras-keras:
"Tosu, selama tiga puluh tahun ini, mengapa kau tak pernah melangkah masuk kedalam lembahku ini?"
Heng si Cinjin tertawa bergelak. "Haaaaa...haaaaa...haaaa, selama ini pinto mengira apa
yang tersiar dalam dunia persilatan sebagai berita bohong yang ada maksud untuk merusak nama pinto beberapa tahun yang berselang itu, pinto pun pernah melakukan pemeriksaan disini, namun tidak berhasil menemukan gua ini"
Sambil tertawa, Hu Hok ca menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya kemudian:
"Malam ini mengapa pula bisa muncul disini?" "Ditengah kegelapan malam aku sering kali mendengar
suara gemuruh dan suara ledakan keras, setiap kali pula pinto pasti muncul untuk melakukan penyelidikan, akhirnya setelah melakukan pengintaian berulang kali, kutemukan kehadiranmu disini, tentu saja aku tak pernah menyangka kalau Si jin ong (raja pemakan manusia) yang paling ditakuti orang dalam dunia persilaian bukan lain adalah dirimu"
Tatkala Hu Hok cu mengetahui bahwa orang persilatan merasa ketakutan karena dia pemakan manusia, bukan saja berita mana tidak membuat merasa malu atau rendah diri, sebaliknya dia malah menari-nari dengan girangnya, bahkan sambil tertawa terbahak-bahak berteriak sekeras-kerasnya:
"Aku telah berhasil! Aku telah berhsil!”
Tentu saja sikap macam orang gila ini membuat Heng si Cinjin dan Suma Thian yu menjadi kebingungan setengah mati, mereka tidak habis mengerti apa sebabnya orang itu jadi sinting.
Lama kemudian, Hu Hok cu baru menghetikan tariannya macam orang gila itu dan menunjukkan wajah berseri-seri. "Toyu!” katanya kemudian, "lohu tidak akan tinggal disini lagi, sekarang nama lohu sebagai Si jin ong (raja pemakan manusia) sudah termashuur diseluruh koloog langit, haahh...haahh...haahh... tidak lama kemudian, lohu akan menjadi raja dan pemimpin dari seluruh dunia persilatan baik diutara maupun selatan”
"Ada kalanya, disaat seseorang sedang kecanduan sesuatu, bisa jadi dia akan lupa makan dan tidur hingga sikap maupun gerak geriknya menjadi berubah seperti orang gila.
Demikian pula halnya dengan Hu Hok cu yang memusatkan segenap perhatiannya itu untuk mempelajari Mo Kang, kesadaran jalan pikiran maupun gerak-geriknya sudah berbeda sekali dengan manusia biasa.
Orang lain mengumpatnya sebagai Si jin ong sebaliknya dia malah nampak kegirangan, seakan-akan orang lain sudah dibikin ketakutan oleh nama besarnya itu, bahkan yang lebih sinting lagi, dia ingin mengandalkan ilmu silat yang
tercantum dalam kitab pusakanya untuk merajai kolong langit.
Padahal dia seperti lupa kalau Suma Thian yu yang dihadapinya malam ini belum lagi bisa dkalahkan, bahkan disana telah muncul seorang jago lihay yang berilmu silat beberapa kali lipat lebih hebat daripada kepandaiannya yakni Heng si Cinjin.
Dua orang manusia ini saja tak mampu dihadapi, tapi dia sudah melamun ingin menjadi seorang pemimpin dunia persilatan, bukankah hal ini kedengarannya lucu dan menggelikan?
Tatkala Heng si Ciniin mendengar ucapan nya yang membual itu seketika itu juga dia menggelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas, dipandangnya Hu hok cu sekejap dengan sorot mata penuh welas kasih, kemudian ujarnya:
“Hu hok, apakah kau tidak merasa jalan pemikiranmu itu menggelikan? Terlampau lucu dan kenak-kanakan?”
“Kekanak-kanakan? Hmmm! Siapa yang bilang kalau aku si bodoh?” Hu hok cu balik bertanya. Hmmm, ingin meninggalkan lembah Si Jin kok dengan begitu saja? Apakah kau tidak merasa kalu tindakanmu ini kelewat awal? bentak Heng si cianjin lagi.
Hu hok cu segera melotot gusar, dengan penuh rasa penasaran bentaknya juga:
“Kau berani memandang hina lohu?”
“Betul!”
Jawaban dari Heng si cinjin ini diutarakan dengan suara tegas dan keras.
“Bagus sekali, rupanya kau sudah pernah mencicipi empedu macam hati singa sehingga berani menantang lohu? Mari, mari lohu akan membuktikan dahulu apakah kau mampu atau tidak!”
Selesai berkata, dengan jurus Im yang jut tong(Im yang mulia bergerak) dia langsung membacok tubuh Heng si cinjin.
Menghadapi ancaman tersebut, Heng si Cinjin seakan-akan tak sudi memandangnya barang sekejap pun, diantara berkibarnya ujung baju, tahu-tahu dia sudah melayang ke samping untuk menghindarkan diri, setelah itu jengeknya:
"Huuuh, masih ketinggalan jauh!”
Dicemooh orang, amarah Hu Hok cu semakin memuncak, sepasang telapak tangannya diayunkan kian kemari bagaikan orang gila, dia telah mengelirkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk secara beruntun melepaskan empat lima buah pukulan.
Seperti juga yang pertama tadi, kembali Heng si Cinjin mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berkelebat kian kemari ditengah pukulan-pukulan musuhnya, bahkan selama inipun dia sama sekali tidak melancarkan serangan balasan.
"Ha Hok!" kembali dia mengejek, “makan daging manusia tidak akau mambuat ilmu silat mu memperoleh kemajuan pesat, menurut pendapat pinto, tiga puluh tahun berselang kau sudah begini, tapi keadaanmu sekarang malah justru bertambah parah!”
Heng si cinjin sengaja berkata demikian karena dia mempuryai tujuan yang baik, yakni berharap agar Hu hok cu mau bertobat dari kejahatannya itu, melepaskan jalan sesat dan kembali kejalan yang benar.
Terutama sekali untuk melepaskan ilmu sesat nya dengan mempelajari ilmu lurus, dengan demikian mengurangi bahayanya mati secara mengenaskan.
Benarkah ilmu siht yang dimiliki Hu Hok cu saat ini jauh lebih payah ketimbang tiga pulah tahun berselang? Tentu saja tidak, sebaliknya, kepandaian silat yang dia miliki sebarangsudah mencapai tingkatan yang luar biasa, bahkan boleh dibilang merupakan salah satu gembong iblis yang patut disegani oleh setiap orang.
Tapi apa sebabnya kemampuan yang hebat ini seolah-olah tak mampu berkembang, bahkan tak berhasil meraih keuntungan apa-apa?
Sesungguhnya kejadian ini tiada sesuatu yang aneh seperti, yang telah diketahui tadi, tatkala Heng si Cinjm muncul disana tadi, Hu Hok cu sedang beradu tenaga dalam melawan Suma Thian yu, akibat dari pertarungan itu, hawa murninya telah menderita kerugian yang besar sekali, inilah yang menjadi penyebab uta rna mengapa serangannya seperti tak berfungsi lagi.
Tapi perkataan dari Heng si Cinjin tersebut ibaratnva sebilah pisau tajam yang langsung menembusi ulu hati Hu Hok-cu. membuat hatinya terasa begitu sakit sehingga sukar dilukiskan dengan kata kata...
Tampak sepasang mata orang itu melotot besar, dengan menghimpun sisa kekuatan yang dimilikinya untuk melindungi badan, sepasang telapak tangannya segera dilontarkan ke muka melepaskan pukulan yang maha dahsyat.
Sekalipun hanya mempergunakan sisa kekuatan yang dimiliki, kenyataannya serangan mana masih merupakan satu ancaman yang serius.
Mau tak mau Heng si Cinjin harus merasa terkesiap juga,
dia tahu apabila kesempatan yang sangat baik ini tidak segera dimanfaatkan untuk melumatkan ambisi dan kesombongan gembong iblis tersebut, sudah pasti orang ini akan menjadijadi kesombongan dan kesadisannya dikemudian hari.
Buru-buru dia menghimpun hawa murninya secara diamdiam, sementara wajahnya masih menunjukan sikap yang halus dan lembut, dengan sebuah kebasan yang mengerahkan tenaga sebesar tujuh bagian, ia sambut datangnya ancaman lawan....
Seketika itu juga ke dua gulung tenaga pukulan tersebut saling membentur satu sama lainnya ditengah udara.
Mendadak....
“Blaaammm...! Suatu benturan keras yang mamt memekikkan telinga berkumandang memecahkan kesunyian”
Menyusul kemudian, dari tengah arena bergema suara jeritan ngeri yang amat menggidikan hati...
“Akhhhh !”
Sesosok bayangan manusia bagaikan kayang-layang yang putus talinya segera terlempar ke tengah udara.
Suma Thian yu yang menyaksikan kejadian tersebut segera berpekik nyaring, tubuhnya melejit ke tengah udara dan langsung menyambar ke arah mana bayangan hitam itu jatuh.
Baru saja anak muda itu melayang turun ke atas tanah, bayangan hitam tadi sudah meluncur jatuh dari atas dengan kecepatan yang luar biasa...
Suma Thian yu segera mementangkan lengan-nya untuk memeluk tubuh berbobot seratus kati lebih itu dengan suatu tangkapan.
Orang itu memang Ha Hok cu, sekarang paras mukanya nampak pucat pias seperti mayat, keadaannya tak jauh berbeda dengan sesosok mayat saja...
Pelan pelan Suma Thian yu meletakkan tubuh Hu Hok cu ke atas tanah dan membiarkaa dia duduk, kemudian ia baru mengundurkan diri ke hadapan Heng si Cinjin dan berdiri serius disana.
Setelah berhasil menghajar tubuh Ha Hok cu tadi, sesungguhnya Heng si Cinjin merasa menyesal, setelah dijumpai Suma thian yu menolong jiwa Hu hok cu, tak kuasa lagi sambil mengelus jenggot ia tertawa.
“Haaaaa...haaaaa...haaaaa...suatu perbuatan yang tepat sekali, suatu perbuatan yang tepat sekali. Hal ini menuajukkan kalau jiwamu mulia dan arif bijaksana, masih muda sudah menyayangi sesamanya, betul-betul suatu penampilan yang mengagumkan."
Merah padam selembar wajah Suma Thian yu karena jengah, dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Mendadak dari arah dalam lembah itu berkumandang suara isak tangis yang memilukan hati.
Dengan cepat Heng si Cinjin berpaling, ternyata yang menangis adalah Hu Hok cu.
Kontan saja kejadian ini membuat ke tiga orang itu tertegun-tegun karena keheranan, memang jarang sekali dijumpai peristiwa yang luar biasa seperti ini, tak heran kalau ketiga orang itu menjadi tertegun dan melongo.
Siapa tahu tangis Hu Hok cu semakin lama semakin menjadi-jadi, bahkan akhirnya dia malah menangis sambil
berteriak teriak, air mata dan ingus bercampur aduk membuat tubuhnya kelihatan bertambah mengenaskan.
Suara isak tangis itu mengalun dan menggema diseluruh lembah, membuat suasana serasa menggidikkan hati.
Tampaknya Hu Hok cu ingin menggunakan kesempatan menangis itu untuk melampiaskan keluar semua kesedihan, kekesalan dan kemu-rungan yang mengganjal dadanya selama ini.
Heng ci Cinjin menjadi tak tega juga akhirnya, pelan-pelan dia berjalan kehadapan Hu Hok cu, lalu tegurnya:
“Toyu, apa yang membuatmu menangis tersedu-sedu?"
“Enyah kau! Enyah kau dari sini, kau tak usah menggubris diriku lagi...!"
Seperti anak kecil saja, gerak geriknya nampak lucu dan menggelikan.
Seorang kakek yang sudah lanjut usia ternyata menangis tersedu sedu macam anak kecil yang mau menetek saja, masih untung ke jadian aneh sudah sering kali di jumpai kawanan jago silat, sehingga tiada yang luar biasa.
Coba kalau peristiwa ini berlangsung ditengah jalan, orang bisa tertawa geli.
Heng si Cinjin segera bertanya:
“Hu hok apakah kau merasa perjuangan selama tiga puluh tahun ini cuma sia sia belaka?"
Di korek luka hatinya, Hu hok cu merasa semakin sedih hingga air matanya jatuh berderai seperti sungai huang bo yang jebol tang gulnya, sambil menangis tersedu, umpatnya:
"Kau anjing gila, enyah! Cepat enyah semua dari hadapanku!"
Selagi berkata kembali dia memeluk tanah sambil menangis lagi dengan teramat sedih. Bi hong siancu yang menyaksikan keadaan tersebut segera berbisik kesisi telinga Suma thian yu:
"Mengapa kau tak memanfaatkan kesempatan ini untuk memasuii gua dan coba memeriksa dari mana datangnya beberapa titik cahaya bintang yang terlihat tadi?”
Suma thian yu merasa usul tersebutada benarnya juga, maka tanpa berpikir panjang lagi dengan mengandalkan kemampuannya untuk melihat dalam kegelapan, dalam beberapa lompatan saja ia sudah menerobos ke dalam gua tersebut.
Tatkala Heng si Cinjin menyaksikan si anak muda itu menerobos masuk kedalam gua sebenarnya dia berniat untuk menghalangi ke inginannya itu, sayang terlambat, oleh sebab itu terpaksa dia hanya berdiri dihadapan Ha Hok cu sambil bersiap siaga memberi bantuan kepada Suma Thian yu apabila diperlukan.
Sementara itu Suma Thian yu sudah menerobos kedalam gua, berhubung waktunya singkat dan kuatir Hu Hok cu yang sudah keburu menangis dan menyadari kalau dia masuk kedalam gua, maka ia bertindak dengan kecepatan luar biasa.
Pertama, dia tak ingin terjadinya kesulitan yang tak diinginkan, kedua, diapun kuatir membangkitkan kemarahan makhluk tua sehingga melakukan perbuatan jahat yang lebih banyak.
Dalam Perkiraan SUma Thian yu, benda ini sudah pasti mutiara Ya beng cu atau sebangsanya, maka dengan cepat dia menuju ke ruang dalam untuk memeriksa lebih seksama.
Tapi begitu mengetahui apa yang terlihat, hampir saja si anak muda itu tertawa terbahak-bahak.
Siapa bilang kalau cahaya berkilauan itu merupskan Ya beng cu atau sebangssnya? Ternyata benda itu tak lebih hanya sebuah botol yang berisikan kunang-kunang dalam jumlah banyak.
Sambil meaggelengkan kepalanya berulang kali, Suma Thian yu benar benar dibikin gemas bercampur penasaran.
Kemudian dia pun menemukan setumpuk buku diatas meja batu itu, namun disana tiada sesuatu apapun yang perlu diperiksa, tahukalau tiada hasil apapun, dia bersiap-siap untuk mengundurkan diri dari dalam gua tersebut.
Baru saja akan melompat keluar dari mulut gua, mendadak dari sisi tubuhnya terasaada desingan angin berhembus lewat.
Begitu merasakan datangnya desingan angin tersebut, dengan sigap Suma Thian yu melompat tiga langkah kebelakang, ketika berpaling pemuda itu segera menarik napas dingin.
Rupanya entah sedari kapan, disisi tubuhnya telah bertambah dengan seekor srigala raksasa yang tinggi tubuhnya hampir separuh manusia.....
Sepasang mata serigala raksasa tersebut memancarkan cahaya aneh, tanpa menimbukan sedikit suarapun menyusup ke samping tubuhnya siap melakukan terkaman.
Kalau dibicarakankan memang aneh sekali, ternyata srigala raksasa itu tidak melolong pun tidak mengeluarkan suara apaapa, coba kalau tidak merasakan datangnya desiran angin tadi, siapapun tentu akan mengira srigala tersebut sebagai sebuah patung srigala saja.
Tampaknya serigala itu sudah memperoleh pendidikan
yang sangat ketat meski melotot gusar kearah Suma Thian yu, namun sama sekalai tidak melancarkan tubrukan, ia Cuma berjalan kearah depan gua dan menghadang jalan perginya.
Apabila Suma thian yu ingin keluar dari gua tersebut, maka dia harus membunuh srigala raksasa itu lebih dulu sebelum berhasil menyerbu keluar, tapi dengan demikian, sudah pasti tindakannya itu akan mengejutkan Hu Hok cu yang berada diluar gua, dan akhirnya tak akan terlukiskan lagi.
Sekarang keadaan dari Suma Thian yu ibaratnya menunggang dipunggung harimau, tetap duduk sudah, mau turunpun tak bisa. Apalagi setelah dilihatnya srigala raksasa yang melotot penuh kebuasan itu tidak melakukan tubrukan, tidak pula mengundurkan diri, sebaliknya justru berjongkok didepan gua sambil menjulurkan lidahnya yang panjang dan berwarna merah itu.
Dilihat dari sikapnya mana, sudah jelas dia sedang menunggu sampai Suma thian yu beranjak lebih dahulu.
Kejadian semacam ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang memusingkan kepala, tak bisa disangkal lagi, apabila dia mela kukan suatu tindakan, sudah pasti srigala raksasa itu tidak akan melepaskan dia dengan begitu saja, tapi andaikata harus bertahan lebih jauh, sampai kapan urusan itu baru selesai...?
Setelah berpikir sekian lama, akhirnya Suma Thian yu merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan kerak nasi
yang tidak habis termakan dan dilemparkan keluar gua melalui samping srigala raksasa tersebut.
Dia berharap, srigala raksasa itu akan tertarik oleh kerak nati tersebut dan keluar dan gua.
Siapa tahu, srigala raksasa itu sama sekali1 tidak menggubris, behkan memandang sekejap pun tidak, dengan begitu, Suma Thian yu menjadi gelisah sekali.
Dia mencoba untuk merogoh kedalam sakunya dan mencari sesuatu benda yang bisa digunakan untuk
menimpuk, akhirnya setelah mencari sekian lama dia berhasil menemukan sebuah benda yang keras sekali. Ketika benda itu diambil keluar, ternyata tak lain adalah lencana miling Siang wi coa Bian pun ci yang diperolehnya sewaktu bertarung diperahu besar dalam telaga Tong ting ou belum lama berselang.
Begitu lencana emas dikeluarkan, cahaya keemas-emasan segera memancar keempat penjuru, menggunakan kesempatan inilah Suma thian yu mengamati benda tersebut dengan lebih seksama.
Tampak olehnya diatas lampengan lencana emas itu terukir seekor naga hijau yang sedang mementangkan sayapnya.
Ditengah-tengah lingkaran yang dikitari lukisan tadi, terukir dua huruf besar yang berbunyu SUMA.
Menyaksikan hal tersebut Suma thian yu merasakan hatinya terkesiap, buru-buru dia membalik pada lempengan lencana yang lain, hatinya semakin terkesiap, paras mukanya berubah hebat dan segulung hawa panas muncul dari pusarnya dan menerjang ke atas tenggorokan.
Rupanya permukaan lencana tadi berukir beberapa huruf yang berbunyi demikian:
Kenang-kenangan untuk Thian yu pada usia satu tahun: LIONG SIANG HONG WU
Ayahmu: Tiong-ko"
Menyaksikan kesemuanya itu, Suma Thian yu merasakan darah panas dalam tubuhnya bergolak keras, dia segera bergumam:
"Bu... bukankah benda ini milikku, aaah! Dia....dia adalah musuh besarku.....dia .... dia..... dia..."
Bergumam sampat disltu, dia seolah-olah lupa kalau didepan gua menunggu srigala raksasa yang siap menerkamnya, mendadak saja dia menerjang keluar dari situ.
Begitu Suma Thian yu menggerakan tubuhnya, srigala raksasa itu segera mengangkat tubuhnya dan mempergunakan cakar depannya yang tajam bagaikan pisau untuk mencengkeram dada Suma Thian yu. Dalam keadaan begini, Suma Thian yu tidak mau membuang waktu lagi, sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan diatas kepala srigala raksasa itu.
Dimana angin pukulannya meluncur, terdengar suara desingan yang memekikkan telinga menggulung kemuka.
Serta merta srigala raksasa itu miringkan kepalanya untuk menghindar, kemudian tubuhnya menggelinding kesamping untuk meloloskan diri....
Memanfaatkan kesempatan yang sangat baik itulah, tanpa membuang waktu lagi Suma thian yu segera menerjang keluar dari gua tersebut.
Begitu melangkah keluar dri gua tersebut, dari arah belakang kembali terasa munculnya dua gulung angin serangan yang menekan arah punggungnya, angin serangan mana menyambar kearah belakang batok kepala serta tengkuknya.
Dengan cekatan Suma thian yu maju selangkah, kemudian sambil membalikkan badan melepaskan pukulan, seketika itu juga terasa segulung angin pukulan yang maha dashyat menggulung kearah srigalaraksasa tersebut.
Srigala raksasa itu memang hebat, gaya tubuhnya yang semula berdiri tegak seperti mnausia itu mendadak menggelinding kesamping, setelah itu sekali lagi melakukan tubrukan.
Dalam pada itu, Hu hok cu telah berhenti menangis, ketika ia mengangkat kepalanya menyaksikan serigala kesayangannya sedang menerkam orang, kemudian dilihatnya pula Suma thian yu berdiri tak jauh dari gua tersebut, dia mengira pemuda itu hendak berusaha untuk memasuki gua itu.
Kontan amarahnya berkobar dan membara didalam benaknya, dengan penuh amarah bentaknya:
"Siau hek! Jangan biarkan dia kabur!”
"Siau hek" mungkin merupakan nama dari serigala raksasa tersebut... Mendengar seruan mana, serigala raksasa, itu melompat ke udara semakin tajam, serangan demi serangan yang dilancarkan secara bertubi-tubi pun dilepaskan makin dahsyat, cakarnya yang tajam seolah olah sudah siap sedia digunakan untuk mencabik-cabik tubuhnya.
Tahu kalau tindak tanduknya ketahuan banyak orang, Suma thian yu merasa perlu untuk bertindak lebih jauh, yang penting sekarang adalah membunuh srigala raksasa tersebut lebih dahulu.
Maka menghadapi serangan srigala raksasa, kali ini dia tak berkelit lagi, begitu sepasang cakar srigala tersebut meluncur tiba, dia segera menyambar salah satu cakarnya tersebut dan mencengkeramnya erat-erat, tapi pada saat yang bersamaan cakar yang lain menyambar datang pula.
Si anak pumada itu menjadi amat terperanjat, dia berusaha untuk menghindarkan diri, tapi berhubing tangannya yang sebelah masih menggenggam cakar srigala tersebut, dia tak sempat untuk menghindarkan diri lagi, tak ampun tangannya segera bertambah dengan jalur luka yang segera mengeluarkan darah.
Amarah tak bisa dibendung lagi dalam dada Suma thian yu, dengan suara penuh kegusaran dia membentak:
“Pingin mampus rupanya kau!”
Sambil menahan rasa sakit, dia mengangkat tubuh srigala raksasa itu kemudian dilemparkan kedepan.
Bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, srigala raksasa itu segera meluncur kedepan menumbuk dinding gua.
Hu Hok cu yang menyaksikan peristiwa tersebut menjadi terperanjat sekali, jeritnya:
“Siau Hek!”
Seperti orang kalap saja dia melompat kemana si serigala raksasa tersebut jatuh, sayang sekali kedatangannya terlambat setengah langkah, tatkala ia tiba disitu, serigala raksasa tersebut sudah menumbuk di atas dinding gua dengan menimbulkan suara keras. Tidak ampun lagi, pecahlah batok kepala srigala raktasa itu, isi benaknya berhamburan kemana mana dan mampas seketika itu.
Melihat serigala kesayangannya mati, Hu Hok cu kembali naik darah, sepasang matanya merah membara seperti kobaran api dengan muka memerah dan menyeringai seram, dia membentak keras.
"Bocah keparat, bayar kembali selembar nyawa dari Siau Hek untukku !”
Sembari berseru dia menerjang kehadapan Suma thian yu, kemudian sepasang telapak tangannya dengan jurus Siang hong tiau yang (sepasang hong menghadap matahari) dengan memisah kekiri dan kekanan langsung menghantam kepala Suma thian yu.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar dan nekad ini benar-benar disertai dengan kukuatan yang luar biasa sekali.
Kendatipun Suma thian yu memiliki ilmu silat yang amat lihay, akan tetapi diua tak berani memandang enteng, buruburu sepasang telapak tangannya dirangkap didepan dada dan dilontarkan kedepan, kali ini dia menyerang dengan sembilan bagian dari ilmu Bu siang sinkang yang dikombinasikan dengan Kui goan sim hoat.
Dengan disertai suara deruan angin pukulan yang memeakkan telinga, angin serangan tersebut segera meluncur kearah depan.
Mendadak terdengar suara benturan keras yang mememikkan telinga menggema memecahkan keheningan, dua gulung angin pukulan itu saling membentur lalu menyebar keempat penjuru.
Ha hok cu mendengus tertahan dan mundur beberapa lagkah dengan sempoyongan, setelah itu jatuh tertunduk diatas tanah dan memuntah kan darah kental, untuk beberapa saat dia tak mampu untuk bangkit berdiri lagi. Begitu berhasil merobohkan Hu Hok cu, Suma Thian yu tidak ambil perduli apakah dia sudah tewas atau belum, segera ditariknya tangan Bi hong saiancu Wan pek lan sambil berseru:
"Adik Lan, cepat kita kejar dia!"
"Mengejar siapa?" tanya Bi hong siancu Wan Pek lan dengan wajah tercengang.
"Sekarang waktunya sudah tak banyak lagi, kita tak boleh memandangnya lagi, ditengah jalan nanti akan kuceritakan kesemuanya ini kepadamu !”
Saking marah dan membaranya api dendam dalam dadanya, pemuda itu seolah-olah lupa kalau disisinya masih berdiri seorang Bu lim cianpwe yang merupakan juga tuan penolongnya, yakni Heng si Ciajin.
Untung saja sikap Bi hong siancu jauh lebih tenang, dia segera menggandeng tangan Suma Than yu dan memberi kerliogan mata kepadanya antuk memberitahu kepadanya bahwa Heng si cinjin masih berada disitu, maka seandainya mereka hendak pergi pun harus minta ijin dahulu kepadanya.
Sekarang, Suma Thian yu baru mendusin dan sadar kembali akan kekilafannya, dengan wajah menyesal dia lantas menjura kepada Heng si injin sembari berkata:
"Locianpwe sekarang boanpwe masih ada suaut urusan penting yang harus segera di selesaikan dan apabila sikapku kurang sopan harap kau sudi memaafkan"
Sambil mengelus jenggotnya, Heng si Cinjin tertawa, katanya kemudian:
Haaaaahhh, bukankah kau mempunyai janji dengan kedua orang muridku? Mengapa kau buru-buru ingin memohon diri? Sebenarnya apa yang telah terjadi?
Buru-buru Suma Thian yu membungkukan badannya, sambil menyahut:
"Sekarang, boanpwe telah mengetahui siapakah musuh besar pembunuh ayahku, maka aku harus mencarinya dengan segera, sebab takutnya dia sudah keburu menghilang sehingga sulit untuk di temukan kembali!” “Siapakah musuhmu itu?"
"Siang wi coa Bian pun ci! Bajingan cabul!" Heng si Cinjin segera tertawa lebar.
"Haaa...haa...haa...hiantit tak usah kelewat terburu napsu, setiap persoalan janganlah dilakukan dengan tergesa-gesa, besok pun masih ada waktu untuk mencarinya? Mencari dia pada hari ini, atau mencarinya besok toh sama saja?”
Aku kuatir kalau bajingan cabul itu sudah keburu melarikan diri!”
Sekali lagi Heng si Cinjin tertawa tawa. "Haaa...haa...Lohu jamin kalian pasti dapat saling bersua
muka, mari kita pulang dulu!"
Sebenarnya Suma Thian yu masih merasa agak keberatan, tapi untuk memberi muka kepada cianpwee tersebut diapun merasa kurang baik uutuk menolak kebaikannya, bisa dibayangkan betapa kalut dan gelisahnya perasaan pemuda tersebut sekareng.
Agaknya Heng si Cinjin dapat menduga apa yang sedang dipikirkan dalam hati kecil pemuda itu, dia tersenyum dan tidak berbicara lagi.
Pelan-pelan dia berjalan menghampiri Hu Hok cu, kemudian membungkukkan badab dan memeriksa keadaan lukanya, setelah itu berguman seorang diri.
"Masih untung keadaannya tidak terlampau parah sehingga selembar jiwa tuanya masih bisa diselamatkan, kalau dia sampai mati, terlalu keenakan buat bajingan tua ini"
Berbicara sampai disitu, dia berjalan kembali ke samping Suma Thian yu dan berkata lebih jauh.
"Biarkan saja dia merasakan penderitaan akibat dari ulah sendiri, orang ini membunuh orang tanpa berkedip, kejahatan yang dilakukan olehnya pun sudah kelewat banyak, biarkan dia merasakan siksaan dan penderitaan tersebut selama sisa hidupnya didunia ini”
Waktu itu Suma Thian yu hanya memikirkan bagaimana caranya untuk membalas dendam terhadap Siang wi coa Bian Pun ci, terhadap mati hidup Ha Hok cu boleh di bilang sama sekali tak menggubris, maka ketika Heng si Cinjin menyelesaikan perkataannya, dia pun hanya mengiakan dengan begitu saja.
Heng si Cinjin tahu kalau pikirannya waktu itu sedang kalut, maka sambil tersenyum katanya lagi:
"Hiantit, segala sesuatunya sudah diatur oleh Yang kuasa, bila kau hendak mencarinya, belum tentu orang itu ditemukan, pepatah kuno pernah bilang: Ada niat menanam bunga, bunga tak mau tumbuh, tiada maksud menanam poaon liu, pohon liu menganak rimba. Bila kau bersedia mengikuti lohu, tanggung besok pagi kau akan berhasil menemukan dirinya....
Walaupun ucapan tersebut tidak mengartikan sesuatu secara tegas, namun secara lamat-lamat mengandung suatu makna yang mendalam, Suma Thian yu tahu kalau Heng si Cinjin tak mungkin akan sembarargan berbicara tanpa sesuatu dasar yang kuat, maka tanpa terasa hatinya menjadi jauh lebih lega.
Mereka bertiga segera berangkat meninggalkan lembah Si jin kok tersebut, Heng si cinjin berjalan di paling depan sebagai penunjuk jalan, dengan mengerahkanilmu meringankan tubuh Heng im lin sui (berjalan di mega air mengalir), mereka bergerak lebih duluan.
Suma Thian yu serta Bi hong siancu segera mengikuti terus dibelahkangnya seperti bayangan, jarak mereka hanya selisih empat langkah dan bersama-sama bergerak kearah bukit Kun san.
Sambil menghentikan perjalanannya, Heng si cinjin berpaling seraya berkata:
“Rupanya arak Cuan telah menantikan kedatangan kita!”
Suma Thian yu menengok kedepan, betul juga, tampak dua sosok bayangan manusia secepat sambaran kilat sedang meluncur kearah mereka berada.
Didalam sekejap mata saja kedua sosok bayangan manusia itu sudah tiba didepan mereka bertiga, ternyata mereka tak lain adalah Thi Pit suseng (sastrawan pena baja), Thia Cuan dan adiknya.
Menyaksikan gurunya datang membawa Suma Thian yu, dia segera bersorak sorai kegirangan:
"Suma Hianti, aku bersusah payah mencari mu kemanamana, mengapa baru muncul pada saat ini?"
Kemudian kepada gurunya, Heng si Cinjin kembali tanyanya dengan hormat:
“Insu, dari mana kau orang tua bisa tahu kalau mereka akan berkunjung kemari?"
“Kebetulan saja, kebetulan saja! Panjang untuk diceritakan, mari kita kembali dulu ke rumahh gubuk”
Buru-buru Suma Thian yu mengenalkan mereka dengan Bi hong siancu dan susana pun menjadi ramai.
Sementara itu Toan im siancu dengan penuh seksama, ditatapnya gaids itu dari atas sampai bawah, makin dilihat terasa semakin cantik, sehingga akhirnya timbul perasaan malu terhadap diri sendiri, tak heran kalau Suma thian yu tidak begitu tertarik kepada dirinya selama ini.
Yaa, perasaan anak gadis memang jauh lebih halus dan cermat, gampang dipermainkan oleh emosi.
Ketika Toan im siancu menyaksikan Suma thian yu membawa serta Wan pek lan, hatinya segera menjadi kecut dan sedih, tapi untung hanya sebentar saja dan kemudian menjadi tenang lagi.
Tak lama kemudian, sampailah mereka berlima ditengpat kediaman Heng si cinjin.
Ternyata tempat itu merupakan tiga buah rumah kecil yang terbuat dari kayu, dibelakang menjulang tebing karang yang tinggi, sedangkan di depan rumah serbentang sebuah tanah lapangan yang luasnya sepuluh kaki.
Ketika Suma thian yu tiba ditanah lapangan tersebut, dan menyaksikan pemandangan alam yang terbentang depan matanya, dia segera menghela napas sambil memuji:
“Benar-benar sebuah tempat pertapan yang amat indah dan tenang, apabila aku pun bisa mengundurkan diri dari dunia persilatan dan mengasingkan diri disini, tidak sia sia hidupku selama ini"
Heng si Cinjin mengelus jenggotnya dan tertawa nyaring. "Menyaksikan terbitnya matahari disini akan menimbulkan
suatu kedamaian dihati, semua pikiran keduniawian serasa hilang lenyap dengan begitu saja dikala matahari tenggelam dilangit barat sana, maka diujung langit situ akan muncul sebuah ikat pinggang langit yang memancarkan sinar keemasan, semuanya menimbulkan kesan yang mendalam bagi yang memandangnya, jika malam sudah tiba dan keheningan malam mencekam seluruh jagad, maka kedamaian dan ketenangan akan muncul dan menyelimuti kembali hati kita semua"
"Ya, kehidupan manusia didunia ini memang bagaikan sebuah impian yang aneh!” kata Suma Thian yu.
Heng si cinjin segera mendongakkan kepalanya memandang cuaca, lalu katanya lagi:
“Masih ada seperempat jam sebelum tibanya saat matahari akan terbit, hiantit, mari kita duduk bersila disini, setelah berjuang semalaman suntuk, kau harus beristirahat lebih dahulu!”
Sementara itu Thi pit Suseng Thia Cuan sangat berharap didalam perjumpaan ini, mereka dapat berbincang-bincang sampai puas, maka dia merasa kurang setuju dengan usul gurunya itu.
Heng si cinjin yang berpandangan tajam, sekilas pandangan saja ia dapat menebak jalan pikirannya, maka sambil tertawa katanya kemudian:
“Cuan ji, tahukah kau baru saja siauhiap lolos dari ancaman bahaya? Sekalipun kau ingin berbincang-bincang dengannya, toh tidak usah dilakukan pada saat ini juga”
Mendengar perkataan tersebut, Thi pit suseng menjadi terkejut sekali, segera tanyanya:
“Kenapa? Apakah Thian yu telah berjumpa dengan si setan tua tersebut ?” "Bukan, yang dia jumpai adalah gembong iblis yang jauh lebih ganas dan lebih dahsyat daripada si setan tua tersebut" "Siapakah orang itu Insu?" sela Toan im siancu Thia Yong
dari samping.
Heng si Cinjin tersenyum.
“Sekarang, lebih baik jangan ditanyakan dahulu" tukasnya.
Toan im siancu yang ketanggor batunya menjadi terbungkam dan segera duduk bersila untuk mengatur napas.
Begitulah, mereka berlima segera duduk bersila untuk bersemedi menurut ajaran perguruan masing-masing.
Suma Thian yu segera manfaatkan pula kesempatan tersebut untuk mengaturnapas, tidak selang berapa saat kemudian dia sudah berada dalam keadaan lupa akan segala galanya.
Waktu pun berlalu dengan begitu saja tanpa meninggalkan bekas.
Akhirnya, dari kejahuan sana terdengar suara ayam berkokok tanda fajar telah menyingsing.
Matahari pun seakan-akan baru bangun dan tidurnya dan memancarkan cahaya keemas-emasannya keseluruh jagad.
Diatas puncak bukit Kun san, ditengah sebuah tanah lapang yang luas duduk bersila lima orang, ketika fajar mulai menyingsing, mereka pun turut membuka mata masingmasing.
Hengsi si Cinjin mengangkat kepalanya sambil memandang cahaya keemas-emasan yang murcul diballk bukit sana, kemudian ujarnya sembari tertawa.
"Hianit, matahari telah terbit!"
Benar juga, matahari telah terbit dan memancarkan sinarnya keempat penjuru dunia.
Suma thian yu berjalan kesisi tanah lapang, memandang keindahan alam yang terbentang dihadapannya, tanpa terasa ia menarik napas panjang-panjang sambil bergumam:
“Ooh, betapa indahnya pemandangan alam disini, betapa agungnya alam semesta ini” Sementara itu, Bi hong siancu Wan Pek lan telah berjalan kesisinya dan bersandar diatas lengannya dengan penuh kemesraan.
Toan im siancu Thia Yong yang menyaksikan kejadian itu merasakan hatinya menjadi kecut dan sedih sekali, katanya kemudian:
“Adik Lan, bagaimana kalau kita bermain main dibelakang bukit sana!"
Agaknya Toan im siancu bermaksud untuk mengajak Bi hong siancu pergi, sehingga dengan demikian akan mengurangi perkembangan hubungan diantara mereka berdua.
Perempuan, ya, perempuan! Perempuan memang makhluk yang cantik, tapi gampang cemburu.
Bi hong siancu Wan Pek lan sama sekali tidak mempunyai sesuatu maksud apapun, mendengar ajakan tersebut, dia segera menyambuti dengan gembira:
“Bagus sekali! Engkoh Thian yu, apakah kau akan ikut bersama kami ?”
Memandang bukit yarg menjulang dikejahuan sana, Suma thian yu menggeleng.
“Tidak, adik Lan, aku hendak menikmati keindahan alam dari disini, kau pergilah sendiri.
Bi hong siancu segera menarik tangan Toan im ciancu dan berkata sambil tertawa manis.
“Indahkah pemandangan alam dibelakang bukit sana?” “Ditempat itu tumbuh berbagai bunga yang indah dan harum, disitu pun terdapat kelinci dan kijang, bagaimana
kalau kita menangkap beberapa ekor diantaranya?” Mendengar kalau ditempat tersebut amat menarik hati,
Wan Pek-lan menjadi girang sekali, tidak menunggu lebih lama lagi dia segera berjalan lebih dulu.
Thia Yong yang menjumpai kepolosan dan kesucian Wan Pek-lan, menjadi menyesal sekali, ia merasa jiwa serta pandangan sendiri ke lewat sempit. Maka setelah dilihatnya Wan Pek-lan berlalu lebih dulu, buru-buru dia menyusul dari belakang.
Thi pit suseng Thia Coan yang menyaksikan adiknya Thia Yong dapat bergaul akrab dengan nona Wan, sudah tentu ikut merasa gem bira, tentu saja dia tak tahu kalau Thia Yong justsu menggunakan tipu muslihat untuk mengajak Wan Pek lan berlalu dari situ.
Sepeninggal mereka berdua, Thi pit suseng Thia Coan baru berjalan mendekat Suma Thian yu sambil bertanya:
“Hiante, apa kau menyukainya?”
"Apa, menyukai siapa?” tanya Suma Thian yu sambil tersentak kaget dari lamunannya.
"Menyukai alam disini?"
“Oooh, betul, pemandangan disini amatlah indah. Siapakah yang dapat melupakan keindahan seperti ini?”
"Bila kau tidak merasa tempat ini terlalu jelek, selanjutnya kita boleh hidup bersama-sama disini?"
"Thia heng, kau terlalu baik, aku pasti akan mengasingkan diri ditempai yang sangat indah ini”
Sembari berkata dia lantas menggenggam tangan Thia Cuan erat-erat.
Thi pit Suseng memang sudah tahu kalau anak muda ini adalah seorang yang amat perasa dan mudah emosi.
Tatkala Thia pit Suseng Thia Cuan menanyakan peristiwa yang telah menimpanya semalam, tanpa merahasiakan sesuatu apapun Suma thian yu segera menceritakan bagaimana dia datang memenuhi janji, bagaimana bertemu dengan setan muka hijau, salah memasuki lembah Si jin kok dan bertemu dengan Hu hok cu.
Kemudian sebagai akhir kata, dia bertanya lagi:
“Suhumu berkata, hari ini kalau bisa berjumpa muka dengan Siang wi coa, sungguhkah perkataan ini?”
Thi pit suseng segera manggut-manggut, sahutnya:
“Panjang sekali untuk diceritaka, Hiante, kemarin Thi heng pun bertemu dengan setan muka hijau dan Siang wi coa berdua, tanpa mengucapkan sepatah katapun kami segera bertarung, akhirnya kami berjanji akan berduel lagi hari ini, itulah sebabnya mereka sudah pasti akan datang kemari untuk memenuhi janji”
Mendengar ucapan mana, Suma Thian yu segeral mengepalkan tinjunva kencang-kencang, darah panas serasa mendidih dalam tubuhnya seolah-olah Siang wi coa Bian pun ci telah berdiri dihadapan mukanya sembari menyeringai.
Rupanya, ketika kemarin ketika dua bersaudara turun gunung untuk menyambut kedatangannya Suma Thian yu, kemudian si anak muda tersebut sedang bertarung diatas perahu.
Ketika dua bersaudara Thia yang lama menunggu belum juga melihat kedatangan Suma thian yu, mereka pun segera berjalan jalan di sekitar telaga sambil menikmati keindahan alam.
Pada saat itulah sepasang manasia bengis yang sedang melarikan diri itu kabur pula sampai disana, dalam perjumpaan yang tak ter duga, mereka segera melangsungkan pertarungan saru. Siang wi coa yang kehilangan lencana emasnya, merasa kuatir apabila Suma Thian yu mengetahui rahasai sebenarnya dan menyerang kesitu, dia tidak berniat untuk melangsungkan pertarungan tersebut dan berjanji dengan dua bersaudara Thia untuk melanjutkan pertarungan pada hari ini.
Menanti dua bersaudara Thia lembali kesana, Suma thian yu sudah sampai lebih dahulu dan memasuki lemba Si jin kok, sehingga terjadi pertarungan sengit tersebut.
Untung saja Heng si cinjin segera mengetahui adanya pertarungan dalam lembah itu dan menyusul kesana, coba kalau bukan demikian, mungkin Suma thian yu tak pernah akan pernah tiba disana selamanya.
Begitulah setelah mendengar penuturan tersebut, Suma Thian yu menjadi paham akan duduknya persoalan, dia segera mohon maaf berulang kali.
Sementara kedua orang itu masih bercakap-cakap dengan gembira, dari belakang rumah terdengar suara orang tertawa cekikikan, tak selang beberapa kemudian Toan im siancu dan Wan pek lan telah muncul dengan membawa seekor kelinci,
Mendadak.....
Dari bawah bukit sana bergema beberapa kali suara pekikan yang nyaring.
Mendengar suara pekikan tersebut, Thi pit suseng Thia Cuan segera berkata:
“Hiante, untuk sementara waktu kau dan nona Wan silahkan masuk dulu kedalam ruangan"
"Mengapa?" tanya Suma Thian yu dengan perasaan tidak habis mengerti.
"Seandainya Siang wi coa menyaksikan kau hadir disini dan sebelum dia bertarung sudah melarikan diri, bukankah kesempatan yang sangat baik ini akan terbuang sia-sia? Bila ingin mengejarnya lagi mungkin akan jauh lebih sukar daripada ke langit."
Apa yang dikatakan Thia Cuan ini memang betul dan Suma Thian yu merasa tepat sekali, maka dia lantas mengajak Bi hong siancu bersembunyi dahulu di dalam rumah.
Heng si Cinjin juga pelan-pelan bangkit berdiri dan berjalan menuju ke ujung lapangan sana.
Suara pekikan nyaring segera bergema dari mulut bukit sana....
Bersamaan dengan berkumandangnya suara pekikan nyaring yang membelah angkasa itu, tampaklah tiga sosok bayangan manusia bagaikan tiga batang anak panah yang terlepas dari busurnya menembusi angkasa dari ujung langit sana dan meluncur ketengah arena dengan gerakan Peng sah lok eng (burung manyar melayang dipasir).
Mana cepat, enteng, tidak menimbulkan suara lagi, kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orangorang itu menunjukan kalau ilmu silat mereka meraka tidak lemah.
Menyaksikan kehadiran ke tiga orang itu, Hng si Cinjin segera tertawa nyaring, katanya: “Haaah...haah...haaah...sepagi ini kalian bertiga telah mengunjungi bukit kami, bila tidak menyambut kedatangan kalian dari kejauhan harap sudi dimaafkan, entah ada petunjuk apakah kalian bertiga datang kemari?”
Ketiga orang itu tak lain adalah Siang wi coa (ular berekor nyaring) Bian pun ci, Kim bin kui (setan muka hijau) Siang Tham serta toa suhengnya Hek hong hou (harimau angin hitam) Lim Kong.
Mendapat teguran tersebut, si Harimau angin hitam Lim Kong segera tertawa seram, pertama-tama dia yang buka suara lebih dahulu.
“Oooh, rupanya cianpwae yang sedang bertapa disini, wah, tampaknya aku sudah mengusik ketenanganmu! Kalau begitu, dua orang pemuda tersebut adalah anak muridmu?"
“Haah...haah...haah..betul, mereka adalah murid-muridku, bila perbuatan mereka kemarin telah menuugeu kalian, harap sudi di maafkan" ucap Heng si Cinjin sambil tertawa nyaring.
“Ahhh, mana, mana, kita hanya salah paham saja" Harimau angin hitam Lim Kong tertawa dingin, “kalau toh mereka adalah murid cianpwee, ini berarti bukan orang luar lagi, baiklah kami mohon diri saja...
Seusai berkata, dia lantas memberi tanda kepada si Setan muka hijau dan ular berekor nyaring setelah itu membalikkan badan dan siap berlalu dari situ.
Mendadak Heng si cinjin tertawa tergelak lagi, katanya:
“Waaah, rupanya kalian bertiga menganggap asing diriku, sudah bersusah payah datang kemari, mana kalian harus pulang dengan tangan hampa? Bagi orang persilatan, menjajal kepandaian hanya bertujuan untuk mengejar kemajuan, asalkan pertandingan terbalas saling menutul belaka, apa salahnya untuk diselenggarakan? Apalagi yang menantang kalian adalah muridku, tentu saja Pinto tak leluasa untuk turut campur. Mari, mari, mari... kalian bertiga tak usah pergi lagi, kalian memang sepantasnya untuk berhubungan lebih akrab, biar pinto bertindak sebagai saksinya saja” Sungguh gembira hati si harimau hitam Lim Kong setelah mendengar janji Heng si Cinjin yang tak akan mencampuri urusan tersebut, ia memandang sekejap ke arah kedua orang itu, kemudian sambil membalikkan badan dan tertawa dingin serunya:
“Jika cianpwe memang berniat begituh, biarlah kami turut perintah saja”
“Cuma, sebelum pertandingan dimulai harus dijanjikan dulu, andaikata salah satu pihak sampai salah turun tangan hingga menyebabkan pihak yang lain cedera, bagaimana jadinya?"
Bajingan ini memang licik, bermaksud tak baik, berhati busuk dan berbahaya sekali, rupanya dia ingin mencari posisi yang lebih menguntungkan dalam pembicaraan mana, sehingga bila Thia bersaudara menderita cedera nanti, diapun bisa memberikan pertanggungan jawabnya.
Mendengar ucapan mana, diam-diam Heng si cinjin mendengus, kemudian ia mendongak an kepalanya dan tertawa panjang:
"Haaaahhhh.... haaaahhh.... haaaahhh bila pertarungan mulai terjadi, memang tak urung akan menjadikan salah satu pihak ce rera, bila hal ini terjadi maka hanya bisa disalahkan kepandaian sendiri yang kurang becus, masa orang lain dapat disalahkan?”
Walaupun sudah mandengar ucapan tersebut, kecurigaan yang terpampang diwajah si harimau angin hitam Lim kong belum juga hilang, tampaknya dia masih curiga kalau perkataan dari Heng si Cinjin tersebut bukan timbul dari hati yang jujur.
Thi pit suseng (sastrawan berpana baja) Thia Cuan menjadi habis sudah kesabarannya, dengan kening berkerut dan mata melotot karena gusar, serunya dingin:
“Lim tayhiap, kau begitu menguatirkan tentang masalah tersebut bahkan berpikir yang teliti, memanga ya kau kuatir kalau sampai guruku turun tangan mencampuri urusan ini bila kalian sampai melukai aku orang she Thia?” Diluarnya si Harimau angin hitam Lim Kong menggoyangkan tangannya berulang kali menyatakan tidak, padahal menang begitulah maksud hati yang sesungguhnya.
Sebagai pemuda yang berpengalaman, sudah barang Thi pit suseng dapat mengetahui akan hal ini, tanpa terasa dia berseru lagi sambil tertawa dingin:
“Soal itu mah tak asah ku kuatirkan, ucapan seorang lelaki sejati lebih berat daripadabukit karang, kami bukan bangsa manusia yang berbicara mencla-mencle dan suka menjilat ludah sendiri”
Banyak berbicara yang tak berguna tak ada gunanya" sela si ular berekor nyaring Bian pun ci dari samping. "Lim toako, apa sih maksud kedatangan kita kemari? Memangnya hanya untuk bersilat lidah belaka?"
“Betul, daripada bersilat lidah lebih baik bersilat tangan" sanbung Toan im siancu cepat, "dalam santapan siang hari ini memang paling baik kalau dihidangkan sop tulang ular"
Ucapan mana berarti ganda dan kontan saja mendamprat si ular berekor nyaring hingga berkaok-kaok kegusarannya.
Dalam amarahnya, dia segera membentak:
"Lonte busuk, toaya akan mencoba kekuatan mu lebih dulu, lihat serangan ”
Berbareng dengan selesainya perkataan itu, sebuah serangan dahsyat segera dilontarkan.
Ditengah udara segera berkumandang deruan angin puyuh yang menyambar-nyambar, angin yang menderu membuat pasir dan debu beterbangan diangkasa dan langsung menyambar tubuh bagian bawah Toan im siancu.
Thia yong segera melejit ke tengah udara lalu meluncur datar ke depan, serangan telapak tangannya berubah menjadi serangan jari dan secepat kilat balas menotok tubuh si ular berekor nyaring.
Di pihak lain, si Sitan muka hijau Siang Tham juga habis sudah kesabarannya, dia menerobos ke hadapan Thi pit suseng lalu mem bentak nyaring: "Mari, kitapun bermain beberapa gebrakan untuk mengisi waktu senggang, harap Thia tayhiap melancarkan serangannya”
"Sungguh bangga hatiku bisa mencoba kepandaian silat Siang tayhiap yang termashur dan cukup menggetarkan dunia persilan itu, apun tak usah menyimpan kepandaian mu lagi, silahkan memberi petunjuk dengan segenap kemampuan yang kau miliki"
Sambil berkata, dia lantas berdiri seenaknya sendiri sambil membuka seluruh pertahanannya, dia bersiap sedia menghadapi serangan dahsyat dari musuhnya itu.
Melotot besar sepasang mata si setan muka hijau Siang Tham, sambil menyeringai seram katanya:
“Maaf aku orang she Siang!”
Selesai berkata, entah dengan gerakan apakah dia melancarkan serangan tahu tahu orangnya sudah menerobos ke hadapan Thia Cuan dan mencengkeram alat kelamin orang.
Dengan jurus Lik pit mong hou (membacok keras harimau buas) Thi pit suseng mengunci tubuh bagian bawahnya, mendadak ia menyak sikan tangan kiri si Setan muka hijan Siang Tham menghantam ke arah dadanya....
Dalam repotnya Thia Cuan melakukan tangkisan ke atas sambil melepaskan sebuah tendangan mengarah tenggorokan musuh.
Gerakan tubuhnya amat cepat bagaikan sambaran angin, serangan yang digunakan juga merupakan ilmu simpanan dari Heng si Cinjin, kelihayannya bukan alang kepalang.
Siang Tham amat terperanjat, tanpa terasa serunya kaget:
“Sungguh ilmu gerakan tubuh yang indah!”
Tubuhnya segera berputar seperti roda kereta, dia menyelinap kebelakang punggung Thia Cuan lalu dengan jurus Si ting si eng (Si Ting memanah rajawal) dia bacok punggung anak muda tersebut.
Merasakan datangnya desingan angin tajam dibelakang punggungnya, Thi pit suseng Thia Cuan tak berani bertindak ayal, mendadak dia maju selangkah ke depan, lalu dengan jurus Tah ong kay kiong (raja lalim mementang gendawa) melepaskan sebuah serangan balasan kearah depan.
Begitu pertarungan berkobar, kedua belah pihak menggunakan segenap kepandaian silat yang dimilikinya, dalam waktu singkat angin pukulan bayangan kaki saling menggulung dengan dahsyatnya, ditengah arena hanya nampak dua gulung bayangan putih yang sebentar kekiri sebentar kekanan, sebentar meninggi sebentar merendah, saling bertarung dengan serunya.
Pertarungan yang berkobar antara Toan im siancu melawan si ular berekor nyaring Bian pun ci juga berlangsung seimbang, namun bagaimanapun juga kesempurnaan Toan im siancu masih jauh dari sasaran, pengalamannya meski luas toh sulit untuk bertarung lebih lama, lambat laun dia mulai keteter dan berada dalam posisi yang amat berbahaya.
Heng si Cinjin menjadi sangat kuatir hingga mengucurkan keringat dingin setelah menyaksikan peristiwa tersebut, namun dia sudah terlanjur berbicara, sehingga sulit baginya untuk terjun lagi kedalam arena guna mengatasi kesulitan mana.
Sebagai seorang angkatan tua dari dunia persilatan, apa yang telah diucapkan lebih berat dari bukit karang, sekalipun muridnya bakal tewas dalam pertarungan itupun, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi keadaan mana.
Memang berat untuk melaksanakan "pegang janji" semacam itu, sebab kadang kala pengorbanannya lebih parah daripada nyawa.
Mendadak terdengar Toan im sianeu menjerit kaget, tubuhnya melompat mundur beberapa langkah dengan wajah pucat pias, rambutnya kusut dan tubuhnya agak menggigil.
Tanpa sadar Heng si Cinjin maju beberapa langkah
kedepan, tapi dengan cepat dia berhenti kembali, perasaannya waktu itu sungguh kesal dan masgul.
Mau mercampuii urusan itu tak bisa, mau turun tangan membantu lebih tak mungkin, apa mau dikata, kepandaian silat dari murid kesayangannya masih setengah tingkat dibawah kemampuan lawannya, hal tersebut membuatnya jadi amat mengenaskan sekali dan tak tahu bagaimana caranya untuk mengatasi keadaan tersebut.