Kitab Pusaka Jilid 09

Jilid 9 : Mengusut pencoleng berkerudung

Dengan cepat Thi pit suseng Thia Cian menggelengkan kepalanya berulang kali. "Sukar untuk diramalkan, tapi nampaknya memang terancam jiwanya"

"Si tua bangka tolol dan bodoh itu sudah sepantasnya merasakan sedikit penderitaan, kalau tidak, mana mungkin ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk"

Kemudian kepada Thi pit suseng Thia Cian kembali bertanya.

"Cian ji, siapakah yang telah melakukan pembantaian terhadap perusahaan pengawal barang itu?"

"Tecu tidak tahu, konon mereka adalah segerombolan penyamun berkerudung"

"Aaaah, lagi-lagi gerombolan penyamun kerudung!" gumam Suma Thian-yu seorang diri, kemarahan-nya makin membara.

Tampaknya Heng see cinjin sudah mempunyai perhitungan dalam hatinya, ia berkata kemudian:

"Sudah kuduga sejak semula, begitupun lebih baik, kalau tidak demikian, lama-kelamaan Sin liong piaukiok bakal dikuasahi pula oleh mereka "

Dalam pada itu, Toam im siancu Thio Yong yang berada disamping, telah menimbrung:

"In su, bencana yang menimpa perusahaan Sin liong piaukiok tak akan berakhir sampai disini saja!"

"Kenapa?"

"Tecu mendengar ada seorang pencoleng berkerudung yang mengancam akan datang lagi sesaat sebelum meninggalkan tempat itu"

"Sungguhkah perkataanmu itu?" tanya Heng see cinjin dengan perasaan terperanjat.

"Benar Insu, tecu pun ikut mendengar ancaman tarsebut" sambung Thi pit suseng Thia Cian dengan cepat.

Paras muka Heng see cinjin segera berubah menjadi amat serius, katanya kemudian:

"Bajingan yang menggemaskan, selama lohu masih hidup didunia ini, aku pasti akan menghadapi mereka sampai titik darah yang peng habisan"

Setelah berhenti sejenak, terusnya. "Anak Cian, apakah orang-orang dari perusahaan piaukiok itu pada mengetahui kejadian ini?"

"Yaa, mereka semua mengetahui"

"Kalau begitu aku bisa berlega hati, setelah terjadinya peristiwa yang menimpa mereka ini, tentu mereka akan bertindak lebih seksama dan waspada" gumam Heng see cinjin kemudian.

Setelah Suma Thian yu mendengar pembicaraan mereka, hatinya merasa semakin gelisah, bagaimana sikap Mo im sin liong Wan Kiam cui terhadapnya, asal dia masih memiliki kemampuan maka dia bertekad hendak menyelamatkan bencana tersebut.

Maka kepada Heng see cinjin katanya.

"Locianpwe, aku ingin sekali pergi ke Sin liong piaukiok untuk melihat keadaan, entah bolehkah aku kesitu?"

Heng see cinjin segera berpaling dan memandang sekejap ke arah Suma Thian yu dengan ramah, lalu ia balik bertanya:

"Kau berani kesana?"

"Berani saja, memangnya mereka masih bisa membenci aku? Atau berbuat sesuatu yang tak menguntungkan bagiku?"

"Soal ini sukar untuk dikatakan, nak, ketahuilah kesalahan paham Mo Im sin liong Wan Kiam ciu terhadap dirimu sudah kelewat mendalam, bila kau kembali kesitu maka hal mana hanya akan menambah kesulitan saja bagimu."

Mendengar perkataan itu, Suma Thian yu segera tertawa dengan penuh rasa percaya pada diri sendiri, sahutnya.

"Aah, tidak mungkin, asal aku merasa tak pernah melakukan suatu perbuatan yang melanggar kebenaran, sekalipun mereka menaruh kesalahan paham terhadap boanpwee, hal mana juga tak menjadi soal"

Melihat pemuda itu bersikeras hendak pergi juga, terpaksa Heng see cinjin harus mengangguk untuk menyetujuinya.

Suma Thian yu segera berpamitan kepada Heng see cinjin bertiga, kemudian sambil membalikkan badan dia balik ketempat semula. Waktu itu senja telah tiba, kota Hong ciu telah dipenuhi  oleh cahaya lentera yang berwar na warni, setelan menempuh perjalanan sekian waktu, akhirnya sampailah Suma Thian yu di depan perusahaan Sin liong piaukiok...

Waktu itu pintu masih terbuka lebar, enam orang lelaki bersenjata golok dan tombak berdiri didepan pintu, ketika menyaksikan Suma Thian yu muncul dintu, serentak mereka berteriak keras.

"Setan cilik, mau apa kau datang kemari?" Suma Thian yu menjura dan tertawa, sahutnya.

"Harap toako suka melapor ke dalam, katakan kalau ada seorang manusia yang bernama Suma Thian yu ingin berbicara dengan Tio piautau"

Salah seorang lelaki kekar itu melotot sekejap ke arah   Suma Thian yu dengan gusar, ke mudian sambil berjalan balik kedalam ruangan, gumamnya kemudian.

"Akan kulihat apakah kau masih punya nyawa untuk pulang kerumah nanti..."

Tak lama setelah masuk ke dalam, lelaki kekar itu telah muncul kembali diiringi oleh Pena baja bercambang Tio Ci hui.

Begitu melihat kemunculan si Pena baja bercambang Tio Ci hui, dengan langkah cepat Suma Thian yu menyongsong kedatangannya, lalu beireru denean gembira. "Tio toako..."

Tampak paras muka Pena baja bercambang

Tio Ci hui suram tak bersinar, seolah-olah dia menyimpan suatu kedukaan yang amat besar, tegurnya dengan nada hambar.

"Hiante, mau apa kau balik lagi kemari?"

Suma Thian yu semakin tercengang menyaksikan paras muka si Pena baja bsrcambang Tio Ci hui yang sangat aneh itu, buru-buru tanyanya lagi dengan keheranan.

"Tio toako, mengapa kau? Kalau kulihat wajahmu yang murung dan suram, jangan-jangan telah terjadi sesuatu ditempat ini?"

Maksud Suma Thian yu, dia menanyakan spakah Wan Kiam ciu telah tewas karena luka dalam yang dideritanya, tapi si Pena baja bercambang Tio Ci hui telah salah mengartikan sebagai kepura puraan anak muda itu dalam peristiwa penyerbuan musuh tangguh terhadap perusahaan mereka.

Kontan saja paras mukanya berubah hebat, serunya penuh kegusaran.

"Hiante, dihadapan orang jujur tak usahlah berlagak, kau bisa saja membohongi semua orang yang ada didunia ini, tak seharusnya membohongi aku Tio Ci hui!"

Suma Thian yu tertegun mendengar ucapan itu, buru-buru dia bertanya lagi:

"Toako apa maksudmu?"

Si Pena bajo bercambang Tio Ci hui melotot dengan penuh kegusaran, serunya dingin.

"Mengapa kau tidak masuk dan melihat sendiri?"

Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam.

Dengan penuh keheranan Suma Thian yu segera mengikuti pula di belakangnya masuk ke dalam perusahaan tersebut.

Dalam pada itu, rasa ingin tahu sudah timbul dalam hati kecilnya, didalam anggapannya Bi hong siancu Wan Pek lan sepantasnya keluar untuk menyambut kedatangannya begitu mendengar akan kehadirannya, tapi sekarang mengapa dia malahan menghindarkan diri? Mungkinkah sampai sekarang mereka masih menaruh kecurigaan terhadap dirinya?

Berpikir sampai disitu, dia  melewati sebuah tanah lapangan, tampak olehnya mayat-mayat berserakan diatas tanah, sekelompok penolong sedang mengobati kaum terluka

yang tergeletak ditanah pula, pemandangannya mengenaskan sekali.

Sementara itu, si Pena baja bercambang Tio Ci hui yang barjalan didepan masih tetap membungkam dalam seribu bahasa, dalam keadaan seperti ini mau tak mau timbul juga kecurigaan di dalam hati Suma Thian yu.

Sesudah melewati tanah lapang, didepannya terbentang sebuah pagar bambu, Pena baja bercambang membuka pintu pagar dan membawa Suma Thian yu masuk ke dalam. Disitu merupakan sebuah kebun bunga setelah melewati sebuah jalanan kecil, terbentang sebuah bangunan rumah yangmungil dan indah.

Degan wajah serius Pena beja bercambang Tio Ci hui melanjutkaa perjalanannya masuk ke dalam, Suma Thian yu terpaksa harus mengikuti di belakangnya dengan mulut membungkam

Tak lama kemudian, sampailah mereka didalam sebuah kamar tidur yang cukup besar dan luas.

Pena baja bercambang Tio Ci hui berpaling dan memerintahkan Suma Thian yu agar menunggu sebentar diluar, sedang dia sendiri masuk kedalam.

Tak selang berapa saat kemudian, pintu kamar terbuka, seorang gadis cantik memunculkan diri.

Sepasang mata dara itu sudah berubah menjadi merah membengkak, noda air mata masih menghiasi wajahnya, sungguh mengibakan hati keadaannya, membuat orang yang meman dang makin lama semakin kasihan.

Dara manis tersebut tak lain adalah kekasih hati Suma

Thian yu sendiri Bi hong sian cu (Dewi burung hong) Wan Pek lan.

Begitu berjumpa gadis itu, Suma Thian yu segera berseru tertahan,

"Adik Lan..."

Bi hong siancu Wan Pek lan segera menempelkan jari tangannya didepan bibir memberi tanda agar berbicara jangan keras-keras, kemudian ujarnya dengan sedih.

"Mau apa kau balik lagi kemari? Cepatlah pergi!"

Ucapan tersebut bagaikan sebaskom air dingin yang diguyurkan keatas kepala Thian yu, kobaran api cintanya yang membara kontan berubah menjadi dingin dan mem beku, hatinya seperti ditusuk tusuk dengan pisau tajam, sakitnya bukan kepalang.

Menyaksikan paras muka Suma Thian yu berubah menjadi hebat, Bi hong siancu Wan Pek lan tertawa dingin lagi, katanya lebih jauh. "Kau...kau...anjing geladak berwajah manusia berhati binatang, mau apa datang ke mari? Cepat enyah dari hadapanku!"

Paras muka Suma Thian yu berubah membesi oleh ucapan tersebut, segera teriaknya,

"Apa...apa maksudmu berkata demikian? Kau... kau telah berubah, adik Lan, benarkah kau tidak memahami perasaan hatiku?"

"Hmm... apa maksudku memangnya tidak kau pahami? Kau angap aku Wan Pek lan merupakan seorang bocah yang buru berusia tiga tahun?"

"Baik, sebelum kau berbicara, akupun tidak akan pergi!

Akan kulihat bagaimana cara untuk mengusirku!" kata Suma Thian ya pula dengan wajah penuh kegusaran.

Baru saja Wan Pek lan hendak membantah, dari dalam ruangan telah berjalan keluar Pena baja bercambang Tio Cu hui.

Begitu membuka pintu lebarlebar, dia lanas berteriak ke arab Suma Thian yu penuh ke gusaran:

"Coba kau lihat! Perbuatan siapakah ini?"

Suma Thian yu berpaling, paras mukanya segera berubah hebat, ternyata di atas pemba ringan berbaring seorang kakek yang bertubuh penuh luka, paras mukanya pucat pias, napasnya amat lemah dan keadaannya mengerikan sekali.

Suma Thian yu segera memejamkan matanya rapat-rapat, dia merasa tak tega menyaksikan adegan semacam itu.

Dengan cepat Pena baja bercambang Tio Ci hui telah merapatkan kembali pintu kamarnya, lalu memberi tanda kepada Suma Thian yu dan Bi Hong siancu Wan Pek Lan agar keluar dari sana.

Setibanya ditengah tanah lapang, Pena baja

bercambang Tio Ci hui baru berkata dengan suara dalam: "Thian yu, katakan kepadaku berterus terang apa

hubunganmu dengan manusia berkerudung itu?"

"Tio toako, kau anggap aku Suma Thian yu adalah seorang pencoleng?" Suma Thian yu balik bertanya dengan melotot,. "Kalau bukan begitu, mengapa kau datang untuk melakukan penyelidikan lagi?"

"Melakukan penyelidikan?" Suma Thian yu membentak semakin gusar. "Thio toako, hari ini aku datang demi keselamatan perusahaanmu, dengan ucapan toako tersebut, bukankah sama artinya dengan kau menilai orang mengguna kan hati picik seorang siaujin"

"Thian yu, ketika kau dikerubut dan melarikan diri, siapa yang telah menolong dirimu?" tanya Pena baja bercambang Tio Ci hui lagi penuh kegusaran.

"Seorang tokoh silat yang lihay"

"Hmm...bukankah mereka adalah tiga orang penjahat berkerudung? Bagus, perbuatanmu memang bagus sekali sengaja bertarung melawan manusia berkerudung, malammalam meninggalkan surat diatas tiang bendera, lalu purapura berkelahi melawan Boan Thian hui dan akhirnya merayu nona Wan, tampaknya semua peristiwa tersebut telah kau atur secara sempurna sekali!"

Tak terlukiskan pedihnya hati Suma Thian yu setelah mendengar perkataan itu, dari apa yang telah diucapkan ia dapat menarik kesimpulan kalau Pena baja bercambang Tio Ci hui pun menaruh kesalahan paham kepadanya.

Tanpa terasa dengan kepedihan yang amat tebal dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Bi hong siancu Wan Pek lan, seolah-olah. dia ingin mencari tahu perasaan hatinya lewat wajah gadis itu.

Apa lacur, paras muka Bi hong siancu Wan Pek lan pun berubah amat serius, hawa pembunuhan yang amat tebal telah menyelimuti seluruh wajahnya, sepasang matanya melotot amat besar.

Menyaksikan kesemuanya itu, Suma Thian yu menghela nafas panjang, kepada Pena baja bercambang Tio Ci hui katanya:

Tio toako, kalian salah paham, aku Suma Thian yu berani bersumpah kepada langit bawa aku bukan manusia rendah yang terkutuk semacam itu, tapi soal mau percaya atau tidak terserah kepadamu, lebih baik Thian yu mohon diri saja lebih dahulu"

Selesai menjura dalam-dalam, dia membalikan badan dan siap meninggalkan tempat itu.

"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Bi hong siancu Wan Pek lan membentak dengan nyaring.

"Ada urusan apa? Nona Wan?" Suma Thian yu segera berpaling.

Ketika Bi hong siancu Wan Pek lan mendengar Suma Tbian yu merubah panggilan kepadanya sebagai "nona Wan" perasaan yang tak puas itu semakin memuncak hawa amarahnya berkobar, dengan kening berkerut dan tertawa dingin tiada hentinya dia berseru:

"Boleh saja kalau ingin pergi, tapi tinggalkan dulu selembar jiwamu...!"

"Tinggalkan selembar jiwamu?" Suma Thian yu balik bertanya dengan keheranan, mengapa?

"Mengapa? Hmm, membunuh ayah merupakan suatu peristiwa yang besar, dendam sakit hati ini lebih dalam dari samudra, bayar dulu selembar wajah ayahku!" bentak si nona gusar.

Mendengar perkataan tersebut, Suma Thian yu segera menengadah dan tertawa terbahak bahak, suaranya pilu dan memedihkan hati, seakan-akan dia hendak mengeluarkan semua ke sedihan, kemurungan dan kekesalan yang mencekam dalam dadanya.

Selesai tertawa dia melotot besar, mencorong sinar tajam yang menggidikan hati dari balik matanya, setelah memandang sekejap kedua orang itu, dia berkata:

Thian yu sudah lama tidak memikirkan soal mati hidupku lagi, bila ingin merenggut nyawaku, silahkan saja turun tangan"

Kemarahan Bi hong siancu Wan Pek lan benar-benar telah memuncak, tanpa berpir panjang lagi dia meloloskan pedangnya, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dia melepaskan sebuah tusukan kilat keulu hati anak muda tersebut.

Suma Thian yu berdiri tegak dengan wajah tenang, terhadap datangnya ancaman tersebut dia bersikap seakan-

akan tidak melihat, perasaan hatinya waktu itu sangat kalut, ia ingin mati saja daripada dituduh melakukan perbuatan yang  tak benar, apalagi kalau bisa mati di ujung pedang   kekasihnya, hal ini dirasakan lebih memenuhi harapannya.

Oleh karena itu, dia memejamkan matanya menantikan saat kematiannya tiba.

Tampaknya ujung pedang Bi hong Siancu Wan Pek lan segera akan menyentuh dada Suma Thian yu, Pena baja bercambang Tio Ci hui juga telah bersiap untuk berteriak.....

Disaat yang amat kritis itulah mendadak Bi hong siancu Wan Pek lan menarik kembali serangannya, lalu membuang pedang itu ketanah.

Sesudah menghela napas panjang, dengan wajah murung dan sedih dia berkata.

"Engkoh Yu, pergilah kau! Mulai detik ini Sin liong piauktok tidak mengharapkan kehadiranmu disini!"

Seusai berkata, tanpa memungut kembali pedangnya, dia lantas membalikkan tubuhny dan berjalan pergi dari sana.

Dengan sepasang mata berkaca-kaca Suma Thian yu memperhatikan bayangan punggung Bi hong siancu Wan Pek lan hingga lenyap dari pandangan mata, kemudian tanpa berbicara apa-apa, dia pun membalikkan badan menuju kepintu gerbang.

Pada saat itulah, dengan air mata bercucuran membasahi pipinya, Pena baja bercambang Tio Ci berkata sedih:

"Hiante, harap tunggu sebentar!"

Suma Thian yu berpaling dan menyahut pelan "Toako, emas murni tidak takut dibakar, aku akan

menggunakan waktu untuk membuktikan kebersihanku!" Kemudian tanpa menggubris diri Pena baja bercambang Tio

Ciu hui lagi, dia lantas membalikan badan dan berlalu dari situ. Melihat bayangan punggung Suma Thian yu yang semakin menjauh, Pena baja bercambang Tio Ci hui mmerasakan suatu kekosongan dan kesedihan yang mencekam perasaan-nya.

Ia merasa sedih sekali, karena hingga kini dia masih belum dapat membuktikan manusia macam apakah Suma Thian yu itu.

Tatkala bayangan punggung Suma Thian yu telah lenyap dari pandangan-nya, tiba-tiba ia menghembuskan napas panjang, lalu berguman:

"Entah orang lain menganggap kau sebagai penjahat, aku Tio Ciu hui masih tetap mempercayaimu sepanjang masa"

Sayang Suma Thian yu sudah tidak mendengar perkataan   itu lagi, meski demikian dia boleh cukup berbangga hati Sebab yang paling berharga dan paling mulia bagi seseorang yang hidup didunia ini adalah dipercayai orang dengan perasaan yang tulus.

Dengan membawa perasaan kesal, masgul dan murung, pelan-pelan Suma Thian yu berjalan meninggalkan perusahaan Sin liong piaukiok, meninggalkan kota Heng Ciu.

kala itu rembulan telah bersinar ditengah awang-awang, suasana amat sepi, hening, tak kedengaran sedikit suarapun.

Berjalan seorang diri di tengah keheningan malam, Suma Thian yu bagaikan seorang pelancong yang sedang menikmati keindahan malam tapi siapa pula yang bisa menduga bagaimana kah perasaan hatinya waktu itu ?

Manusia paling gampang berkhayal bisa berada seorang diri, apa lagi kalau baru saja mengalami suatu percobaan hidup yang berat...

Sudah barang tentu tak terkecuali pula bagi Suma Thian  yu, dia teringat akan rumah, teringat orang tua sendiri, asal usulnya serta paman Wan.... dia membayangkan pula tragedi yang menimpanya hari ini...

Makin di pikir rasa sedihnya makin memuncak, sampai akhirnya sambil berjalan dia me nangis tiada hentinya.

Ada kalanya dia ingin sekali menangis sepuas-puasnya, ada kalanya ingin mengakhiri hidupnya, tapi bila teringat sakit hati pamannya Wan nya yang belum terbalas, dendam keluarga belum terbalas, semua kesedihan segera berubah menjadi amarah...

Maka, diapun teringat akan manusia berhati binatang, Bi kun lun (kun lun indah) Siau wi goan.

Berhasil menemukan orang itu, berarti dapat menghilangkan kecurigaan yang mencekam hatinya, dapat pula membalaskan sakit hati paman Waa nya.

Begitu teringat akan Bi kun lun Siau wi goan, Suma Thian   yu segera merasakan semangatnya kembali berkobar, dengan langkah tegap dia berjalan kemuka, langkahnyapun makin lama makin cepat.

Ujung dari kegelapan adalah terbitnya fajar, tapi sesaat yang paling gelap.

Kokokan ayam bergema dikejauhan sana, membelah kegelapan malam yang mencekam, lambat laun diufuk timur pun secerca cahaya.

Akhirnya sinar matahari yang berwarna keemas-emasan

pun memandar keempat penjuru dan menyinari seluruh jagad.

Suma thian yu telah menuruni bukit, berjalan melalui sawah dan menuju ke sebuah dusun yang jelek dan miskin.

Seekor anjing berwarna kuning lari keluar dari dusun dan pelan-pelan menghampiri Suma thian yu.

Ketika tiba dihadapan Suma Thian yu, mendadak kaki depannya menjadi lemas, tubuhnya segera berguling ke atas tanah,

Suma Thian yu amat terperanjat, dia segera memeriksa dengan seksama, tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya tertegun.

Ternyata anjing itu sudah memuntahkan darah hitam yang kental dan bau busuk, ia sudah mati dalam keadaan yang mengerikan,

Suma Thian yu berjalan menghampiri, lalu setelah

menghela napas dan menggelengkan kepalanya berulang kali, dia melanjutkan per jalanannya kedepan. Belum lagi berjalan empat langkah, kembali tampak olehnya seekor anjing buas menerjang keluar dari balik pintu sebuah gedung.

Suma Thian yu tertegun dan segera menyingkir ke samping jalan sambil mengawasi anjing itu lekat-lekat.

Tampak anjing buas itu memantangkan mulutnya lebarlebar dan menerjang ke depan Suma Thian yu dengan ganasnya.

Berada dalam keaadaan seperti ini, mau tak mau Suma  Thian yu harus bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tak diingin kan, tenaga dalamnya disalurkan dan  bilamana perlu dia hendak membunuh anjing tersebut.

Siapa tahu, belum lagi mencapai berapa kaki, anjing buas itu sudah meraung keras kemudian roboh tergeletak keatas tanah.

Rasa tegang yang semula mencekam Suma Thian yu segera lenyap tak berbekas, dia men coba untuk mengawasi lebih seksama, ternyata anjing buas itu sudah mati dengan darah me ngalir keluar dari ke tujuh lubang indranya, keadaannya persis anjing pertama.

Bila terjadi suatu peristiwa aneh, kejadian yang pertama mungkin saja merupakan suatu kebetulan, tapi bila terjadi untuk kedua kalinya, jelas kejadian mana bukan terjadi tanpa sebab. Dengan cepat Suma Thian yu menerjang masuk kedalam gedung Itu, tapi apa yang kemudian terlibat membuatnya menjerit kaget.

"Aaaaah!"

"Apa yang telah dilihatnya?"

Seluruh gedung dalam keadaan sepi, hening seperti kuburan, suasananya begitu mengerikan membuat bulu kuduk orang pada bangun berdiri saja. Waktu itu, seharusnya merupakan saat orang bangun tidur, tapi disini tak nampak sesosok bayangan manusiapun, seakan-akan disitu sudah  tidak berpenghuni lagi.

Suma Thian yu melangkah lebih jauh ke dalam gedung itu, belum lagi berapa latakah, di tepi jalan ditemui sesosok mayat membusuk yang terkapar disitu, usus dan isi perutnya telah berhamburan keluar, keadaannya mengeri kan sekali.

Sebagai pemuda yang cerdas, suma Thian yu segera dapat merasakan gejala yang tak beres disitu, buru-buru dia menghampiri kamar yang terdekat, tapi begitu dibuka, sekali lagi ia menjerit kaget,

"Aaaah!"

Buru-buru dia mengundurkan diri dengan wajah memucat, tangannya dipakai untuk menutupi wajahnya, ia betul-betul tak tega untuk mendongakkan kepala.

Ternyata apa yang dilihat didalam ruangan itu hanya penuh dengan mayat yang bergelimpangan dimana-mana, keadaannya sangat mengerikan, ada yang tua, ada yang muda, ada yang laki, ada pula yang perempuan.

Di alam semestakah? Atau di nerakakah tempat pembantaian yang kejam dan tak berperi kemasiaan?

Sejak dilahirkan di dunia ini, belum pernah Suma Thian yu mengalami kejadian yang begitu mengenaskan, entah bagaimanapun dia tak tega untuk memandang lebih jauh, tapi bisa diduga olehnya bahwa semua anggota perkampungan telah dibantai orang secara keji.

Siapakah orang-orang itu? Siapa pula pembunuhnya? Apa sebabnya orang-orang itu terbunuh?

Mengapa pembunuhnya begitu kejam dan tak berperi kemanusiaan?

Setelah menjumpai persoalan sebelumnya, kini dihadapkan pula dengan adegan seram seperti itu, bisa dibayangkan bagaimanakah pe rasaan Suma Thian yu sekarang.

Tanpa berpikir panjang lagi, dia sepera membalikan badan dan lari keluar dari situ.

Mendadak terdengar suara orang terbatuk-batuk. Menyusul kemudian seseorang berseru dari belakang: "Kau...berhenti!, berhentilah kau...!"

Suma Thian yu tercekat sesudah mendengar seruan itu, dia merasa seakan-akan muncul segulung hawa dingin yang merembas melalui punggungnya dan terus naik keatas. Dengan cepat dia membalikan badannya, kontan bulu kuduknya pada bangun berdiri lantaran kaget, mulutnya ternganga lebar, tak sepotong suarapun yang sempat dilontarkan.

Ternyata didepan pintu kamar kedua telah berdiri seorang kakek berjubah hitam yang berambut panjang dan berwajah penuh darah. waktu itu dia sedang menggape dengan lemas, sorot matanya yang sayu dan tak jauh dari kematian memandang lurus tewajah Suma Thian yu tanpa berkedip.

Begitu rasa kagetnya berhasil dikuasahi, pelan-pelan Suma Thian yu berjalan kedepan, lalu sambil memayang kakek itu tanyanya:

"Lotiang, kobarkan sedikit semangatmu, cepat beritahu kepadaku, apa yang sebenarnya telah terjadi?"

Kakek sekarat itu menggerakan kelopak matanya, air mata darah jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan suara parau dia berbisik.

"See...sekelompak manusia...manusia berkerudung tee...telah ...memm...membunuh seluruh ang...anggota perkampungan ii...ini..."

Ketika berbicara sampai disitu, sekujur badannya gemetar keras, seolah-olah napasnya hampir putus, buru-buru Suma Thian yu membimbing kakek itu dan menempelkan telapak tangannya dipunggungnya, lalu menyalurkan hawa murni untuk menunjang hidup kakak itu.

Setelah mendapat bantuan tenaga dari sianak muda itu, kesegaran kakek sekarat itu su dah berubah membaik, tampak dia berpaling dan memperhatikan Suma Tbian yu sekejap, kemudian katanya.

"Sungguh menggemaskan, sungguh menggemaskan, hanya gara-gara sebutir mutiara, mereka telah pergunakan cara yang keji dan ter kutuk ini untuk membunuhi kami rakyat jelata  yang tak pandai bersilat, tapi, sekalipun mereka berbutat demikian "

Ketika berbicara sampai disitu, sekujur badan kakek itu bergoncang keras lalu menjerit. "Lepaskan tanganku, aku amat kesakitan!"

Agak tertegun Suma Thian ya selelah mendengar ucapan tersebut, dia segera melepaskan cekalannya.

Kakek itu berseru terahan, lalu memuntahkan segumpal riak kental bercampur darah.

Suma Thian yu amat terperanjat, buru-buru dia berusaha untuk memayangnya kembali, tapi kakek itu sudah roboh, nyawanya sudah me layang meninggalkan raganya.

Untuk kesekian kalinya Suma Thian yu menyaksikan sesosok nyawa meninggalkan raga nya, tak terlukiskan perasaan pedih yang men cekam perasaannya ketika itu.

Dia membaca doa dengan hormat, kemudian membalikkan badan dan beranjak pergi, sekarang ia lebih bertekad lagi untuk mencari Bi kun lun Siau Wi goan dan membalas dendam.

Ketika meninggalkan dusun kecil itu, Suma Thian yu merasakan hatinya bertambah berat, ia berusaha untuk mencari tahu siapa otak yang mendalangi organisasi perampok berkerudung tersebut.

Ia pun tak habis mengerti, mengapa orang-orang itu membantai rakyat tak bersalah yang tinggal dalam perkampungan tersebut hanya gara gara sebutir mutiara saja?

Sampai dimanakah pentingnya mutiara itu?

Serentetan pertanyaan yang penuh kecurigaan dan tanda tanya itu membentuk sebuah simpul mati didalam benaknya.

Ia merasa teka-teki ini baru bisa dipecahkan bila dia berkunjung sendiri kekota Tiang an dan menjumpai Siau Wi goan.

Suatu hari, sampailah Suma Thian yu di kota Tiang an, waktu itu tengah hari baru saja lewat, manusia yang berlalu lalang ditengah jalan bagaikan ikan yang berenang dalam sungai.

Sesudah menanyakan alamat Bi kun lun Siau wi goan dari orang jalan, dengan cepat Suma Thian yu berhasil menemukan alamat yang di cari tersebut... Pendekar besar yang memimpin dunia persilatan baik untuk golongan putih maupun golo ngan hitam ini berdiam diujung gang Li gi keng, dikedua belah sisi pintu gerbang terbentang dinding pekarangan raksasa yang sangat tinggi dan kekar, sepasang singa batu besar berada ditepi pintu, bangunannya mentereng, gayanya penuh wibawa.

Setelah lama berdiri di depan pintu gerbang seorang lelaki kekar baru munculkan diri dan merghampiri Suma Thian yu sambil menegur.

"Engkoh cilik, apakah kau sedang mencari orang?" "Betul, aku hendak menyambangi Siau tayhiap" jawab

Suma Thian yu dengan sopan.

Mengetahui kalau Suma Thian yu hendak me nyambangi majikannya,tanpa terasa lelaki itu memperhatikan tamunya sekejap lagi, ia mera sa pemuda ini gagah perkasa, tampan dan kekar, ia lantas tahu kalau orang itu bukan manusia sembarangan.

Maka sambil tersenyum katanya lagi.

"Engkoh cilik, ada urusan apa kau mencari Siau tayhtap?" "Tolong saudara sudi melaporkan, katakan saja aja seorang

dari luar desa she Suma yang ingin menyambangi"

Lelaki berpakaian ringkas itu segera mengiakan dengan sopan, lalu masuk ke dalam.

Sementara itu, Suma Thian yau sedang berpikir didalam hati:

"Kalau dilihat dari sikap centengnya yang sopan santun dan tahu peraturan, orang tidak akan mengira kalau Siau wi goan adalah seorang manusia bengis yang berhati buas, lebih baik aku menggunakan tata kesopanan lebih dulu sebelum menggunakan kekerasan, kemudian baru me mutuskan menurut situasi"

Sementara dia masih termenung, lelaki berpakaian ringkas itu sudah munculkan diri, setelah menjura dalam-dalam kepada Suma Thian yu, katanya:

"Majikan kami mempersilahkan engkoh cilik masuk!" Kemudian dengan sikap yang amat menghormat, dia mempersilahkan tamu untuk masuk. Setelah mengucapkan beberapa patah kata merendah, Suma Thian yu baru mengikuti lelaki itu masuk keruang dalam.

Sepanjang jalan, yang di jumpainya hanya jago-jago persilatan saja, ketika orangorang itu menjumpai kehadiran Suma Thian yu, hampir rata-rata menunjukkan wajah tertegun.

Menanti Suma Thian yu sudah lewat, mereka baru berbisik bisik membicarakan peristiwa tersebut.

Suma Thian yu berlagak seolah olah tidak merasa, bahkan dihati kecilnya sempat memuji Bi kun lun Siau Wi goan yang pandai menjamu tamunya.

Lelaki kekar itu mengajak Suma Thian yu menusuki ruangan tengah, tepat di muka ruangan tergantung sebuah papan nama terbuat dari kayu yang bertuliskan:

"JIN HONG LIU WAN"

Artinya: Perbuatan bajik sampai di mana-mana.

Selain hurufnya terbuat dari emas, gaya tu lisan-nya yang juga kuat bertenaga, tampaknya di tulis oleh seorang kenamaan.

Suma Thian yu mendongakkan kepalanya

memandang sekejap, kemudian baru mengikuti lelaki itu menuju ke ruang dalam.

Sesaat sebelum melangkah masuk ke ruang tengahv mendadak sorot matanya melintas di atas wajah lelaki setengah umur yang duduk di kursi utama itu, hatinya kontan tertegun, Pe kiknya kemudian di hati.

Kenal amat wajah orang ini! Bukankah dia adalah... ehmm, betul! Yaa dialah orangnya! Benar benar memang dia"

Rupanya setelah melihat wajah lelaki setengah umur yang duduk dikursi utama itu tiba-tiba saja dia teringat dengan manusia berkeru dung yang kain kerudungnya kena disingkap itu, kedua-duanya berparas tampan dan gagah, sekarang Suma Thian yu merasa teka-teki mana betul-betul sudah terbongkar. Dalam pada itu, lelaki setengah umur tadi sudah meninggalkan tempat duduknya seraya menjura, kemudian sambil tertawa terbahak-bahak dia berkata.

"Haaahhh...haaahhh...haaahhh keda tangan Suma siauhiap di rumahku benar-benar merupakan suatu kehormatan, silahkan duduk! Silahkan duduk !"

Seorang pelayan segera datang menghidangkan air teh dan dipersembahkan kehadapan Suma Thian yu.

Sedang anak muda itu diam-diam berpikir.

"Sesudah datang kemari, aku harus bersikap sewajar mungkin coba kulihat permainan busuk apakah yang hendak mereka gunakan"

Maka tanpa sungkan diapun duduk, lalu setelah menerima cawan air teh, katanya kepada lelaki setengah umur itu sambil tersenyum.

"Secara kebetulan aku lewat sini, sudah lama ku dengar akan kebajikan Siau tayhiap, itulah sebabnya sengaja aku berkunjung kemari"

"Aaah, mana, mana" Bi kun lun Siau Wi goan tersenyum, "siauhiap terlalu memuji, Wi goan tak lebih cuma seorang kuli silat yang kasar, aku tidak memiliki kebajikan apa-apa, un tuk pandangan siauhiap tersebut, Wi goan mengucapkan terima kasih lebih dulu"

Kemudian setelah berhenti sejenak dan memandang sekejap sekeliling arena, katanya lebih jauh.

"Kunjungan Suma siauhiap benar-benar merupakan suatu kejadian yang luar biasa, marilah kuperkenalkan dengan saudara-saudara lain yang berada disini"

Mula-mula dia perkenalkan kepada Suma Thian yu lebih dahulu, setiap ucapan maupun sikapnya amat menyanjung dan menghormati Suma siauhiap, walaupun Suma Thian yu juga tahu kalau lawan adalah seorang yang pandai bicaramanis, tetapi manusia memang seorang makhluk yang aneh. Meski Suma Thian yu tahu kalau dia sengaja disepak, namun dalam hati kecilnya justru merasa puas sekali. Selesai memperkenalkan Suma Thian yu kepada rekanrekannya, kemudian Siau Wi goan pun memperkenalkan empat orang tamu yanfcg berada di sekeliling tempat itu.

Orang pertama adalah seorang tosu tua berjenggot merah yang berusia tujuh puluh tahunan, dia adalah guru Bi Kun un Siau Wi qoan yang disebut Leng gho Cinjin, menjabat pula sebagai ciang bunjin partai Kun lun.

Orang kedua adslah seorang perempusn muda berusia dua puluh lebih, tiga puluh kurang. Bi kun lun Siau Wi toan hanya mengatakan dia she Ho bernama Hong, tanpa memperkenalkan gelarnya.

Namun Suma Thian yu cukup mengenali perempuan itu sebagai murid ketiga dari mayat hidup Ciu Jit bwee yang berjulukan Yan tho hoa(Bunga tho indah).

Orang ke tiga berwajah tampan dan gagah, dia bernama Cun gan siu cau (sastrawan berparas ganteng) Si Kok seng.

Suma Thian yu merasa amat menaruh hati terhadap pemuda ini sejak pandangan yang pertama, diapun paling menaruh kesan baik kepadanya.

Orang yang diperkenalkan paling akhir adalah seorang kakek berbaju sastrawan, ternyata

dia seorang ahli ilmu pedang yang paling top dari partai Tiam cong yang disebut orang It ci hoa kiam (pedang bunga satu huruf) Yu-Liang gi.

Setelah mengucapkan kata-kata sungkan, suasana dalam ruangan pun bertambah luwes, karena diantara ke empat orang itu Suma Thian yu hanya menaruh kesan baik terhadap Cun gan siucay Si Kok seng, maka dia pun lantas bertanya kepadanya.

"Saudara Si, boleh aku tahu nama gurumu?"

Melihat pertanyaan dari Suma Thian yu amat kasar, mulamula Cun gan siucay Si Kok seng agak tertegun, kemudian sahutnya:

"Sejak kecil aku gemar belajar ilmu silat, tiap sampai di suatu tempat akupun mempela jari semacam kepandaian, itulah sebabnya se tiap orang yang pernah memberi pelajaran ke padaku kuanggap sebagai guruku, Suma siuahiap coba bayangkan saja, bagaimana caraku untuk menjawab pertanyaanmu itu?"

Suma Thiauyu terpaksa mengiakan dan tidak bertanya lebih jauh.

Pada saat itulah, Bi kun lun Siau Wi goan baru bertanya kepada Suma Thian yu:

"Siauhiap, tolong tanya ada urusan apakah kau berkunjung kemari?"

Tanpa berpikir panjang, Suma Thian yu segera menjawab: "Aku memang mempunyai beberapa persoalan yang ingin

ditanyakan kepada Siau tayhiap, hanya tak kuketahui apakah Siau tayhiap bersedia untuk membertahukan kepadaku atau tidak?"

Diam-diam Bilun lun Siau Wi goan agak terkejut setelah mendengar perkataan itu, kemudian iapun tertawa terbahakbahak.

"Ha ha ha ha ha......boleh, tentu saja boleh, kita toh bukan orang luar, apapun yang ingin siauhiap tanyakan, harap ditanyakan secara blak-blakan.

"Siau tayhiap, tahukah kau kalau barang kawalan dari perusahaan Sin liong piaukiok telah dibegal orang?"

Siau Wi goan pura pura terkejut, sambil menggeleng tanyanya:

"Aaaah...... Wi goan tak tahu akan berita ini, tolong tanya kapan dibegalnya?"

Meskipun orang tak mau mengaku, Suma Thian yu juga tak sampai mengumbar amarahnya, dia berkata lebih jauh:

"Kalau begitu, tentu saja Siau tayhiap juga tak tahu bukan jika Wan cong piautau telah menderita luka parah dan jiwanya terancam mara bahaya:

Sebelum Bi kun lun Siau Wi goan sempat menjawab, It ci hoa kiam Yu Liang gi dari Tiam cong pay yang berada disisinya telah menimbrung: "Hei, ucapan siauhiap tersebut seakan-akan membawa nada teguran, apakah kau menaruh curiga kalau Siau tayhiap tersangkut dalam pe ristiwa ini?"

Bi kun lun Siau Wi goan segera tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha ha ha......ucapan saudara Yu kelewat berat,

selama ini Wi goan tak pernah menuduh orang dengan kata yang bukan-bukan apalagi siauhiap toh bertujuan baik!"

Sampai disitu dia lantas berpaling kearah Suma Thian yu sambil bertanya.

"Benarkah Wan congpiautau telah terluka parah dan jiwanya terancam? Aaai....siapakah telah turun tangan sekeji itu terhdapnya?"

"Konon segerombolan perampok berkerudung jawab Suma Thian yu langsung dan tanpa berusaha untuk merahasiakan.

Paras muka Bi kun lun Siau Wi goan berubah amat serius setelah mendengar perkataan itu, katanya kemudian:

"Oooh, rupanya perbuatan dari perampok berkerudung!

Ehmm, Wi goan memang sudah lama mendengar orang bilang kalau dalam du nia persilatan telah muncul suatu organisasi besar semacam ini, selain jejaknya sukar di buntuti, cara kerjanya pun bersih tanpa me ninggalkan jejak, sayang Wi goan tak berhasil menyelidiki sarang mereka."

Berbicara sampai disini, ia sengaja bertanya kepada gurunya Leng gho Cinjin:

"Suhu, pernahkah kau mendengar hal ini?" Leng gho Cinjin segera manggut-manggut.

"Yaa, dengar sih pernah dengar, hanya tak pernah kujumpai saja orangnya."

Rasa curiga timbul kembali dalam hati Suma

Thian yu, bila berbicara soal tampang Bi kun lun Siau Wi goan, dia jujur dan gagah, caranya berbicara sopan dan tahu tata cara, tidak gampang marah, pada hakekatnya boleh di bilang berhati bajik.

Tapi, kenyataan sudah terbentang didepan mata, pesan paman Wan sebelum ajalnya serta peringatan dari Heng si Cinjin, semuanya mengatakan Siau Wi goan sebagai pentolan perampok.

Dengan kejadian tersebut, Suma Thian yu menjadi serba salah dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Mendadak satu ingatan melintas didalam benaknya, ia teringat pula akan pembantaian brutal yang terjadi dalam dusun kecil gara-gara sebutir mutiara itu, ia bertekad untuk mencari kesimpulan dari persoalan mana melalui jejak mutiara itu.

Maka diapun mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, pertanyaan tersebut tak pernah diajukan lagi, justru hal mana sangat ber kenan dihati Bi kun lan, semua pertanyaan segera dijawab bahkan sikapnya bertambah luwes dan halus.

Malam itu, Suma Thian yu diminta oleh Siau goan untuk tetap tinggal disana seusai per jamuan, Siau Wi goan menitahkan kepada Cun pan siucay Si Kok seng untuk menemani Suma Thian yu berjalan-jalan menikmati keindahan alam.

Diam-diam Suma Thian yu merasa amat girang, sebab dia menganggap hanya dengan ber buat demikianlah ia bisa mempelajari situasi gedung keluarga Siau sambil sekalian mencari tahu kabar berita tentang mutiara tersebut.

Kedua orang itu berjalan, menuju kelapangan, tiba-tiba Suma Thian yu bertanya:

"Saudara Si, apakah kau dengar kalau ada semacam benda mesttka yang telah munculkan diri?"

"Apakah kitab pusaka? Kitab pusaka tanpa kata?" Cun gan siucay Si Kok seng balik ber tanya.

"Bukan, bukan benda itu, tapi mestika lain-nya?" "Aku belam pernah mendengarnya, Suma siauhiap,

dapatkah kau memberitahukan kepadaku?"

"Konon didalam dunia persilatan telah muncul sebutir mutiara Ya beng cu yang tak ternilai harganya"

"Mutiara Ya beng cu?" ulang Si Kok seng dengan terperanjat", kapan munculnya?" "Sudah muncul, dan kini sudah dirampok oleh perampok berkerudung!" sambil berkata Suma Thian yu melirik sekejap kearah Si Kok seng dengan ujung matanya.

Tampak paras muka Si Kok seng berseri, kontan ia mendamprat:

"Perampok sialan, tampaknya gerak gerik mereka sudah makin merajalela."

Dan pembicaran tersebut, Suma Tbian yu tahu kalau lagilagi dia kebentur dinding alias gagal total, sekalipun ditanyakan lebih jauh juga tak akan menghasilkan apaapa, maka ia pun mengurungkan niatnya semula. Mereka berdua segera melanjutkan perjalanannya, mengajaknya pergi ketempat itu.

Dilihat dari sini, dapat ditarik kesimpulan kalau Bi kun lun Siau Wi goan benar-benar se orang manusia yang sangat licik dengan tipu muslihat yang berbahaya, itu berarti dia harus selalu berwaspada terhadap dirinya.

Tapi, justru karena soal ini pula Suma Thian yu jadi lebih bertekad untuk membongkar teka teki itu sehingga tuntas dan terungkap seluruhnya.

Begitulah, sambil berbincang bincang sambil berjalan-jalan, makin berbicara makin cocok rasanya, sehingga hampir boleh dibilang masing-masing pihak merasa sayang karena baru berjumpa sekarang.

Suatu ketika, Si Kok seng mohon diri lebih dulu untuk kembali kekamarnya. kini tinggal Suma Thian yu seorang.

Kesempatan semacam ini boleh dibilang merupakan sebuah peluang yang baik sekali, ketika Suma Thian yu menyaksikan didepan sana terdapat cahaya yang memancar keluar dari sebuah ruangan, tanpa sadar ia berjalan meng hampiri ruangan itu.

Tapi, ketika ia baru melangkah naik keatas anak tangga, mendadak dari balik ruangan, terdengar seorang perempuan sedang berteriak minta tolong:

"Tolong, tolong! Oooh tolooong" Suma Thian yu amat terperanjat sesudah mendengar teriakan itu, sifat pendekarnya seperi timbul, dengan cepat dia lari menghampiri mulut jendela.

Tapi pada saat yang bersamaan, dari belakang tubuhnya berkumandang suara tertawa di ngin, lalu seseorang menegur:

"Bocah keparat, rupanya kau adalah pencoleng yang bekerja diwaktu malam."

Agak tertegun Suma Thian yu mendengar seruan itu, cepat dia membalikkan badan, entah sedari kapan dua orang kakek telah ber diri dibelakang tubuhnya sedang mengawasi kearahnya penuh kegusaran.

Suma Thian yu sangat gelisah, ia tahu kalau pihak lawan salah paham, maka ujarnya:

"Kalian berdua salah paham, cepat! Pencolengnya masih berada didalam, mari kita tengok bersama-sama!"

"Heeh...heeh...heeh...bocah keparat, kau tak usah berlagak pilon lagi" jengek kedua orang kakek itu sambil tertawa seram, dengan mata kepala sendiri lohu melihat kau berbuat

terkutuk, sekarang masih ingin mungkir lagi? Hayo jalan! Segera menjumpai majikan!"

Seraya berkata dua orang itu satu dari kiri yang lain dari kanan segera bertindak hendak menggusur dengan kekerasan.

Suma Thian yu merasa tak pernah melakukan perbuatan salah, diapun tak takut mengha dapi tuan rumah, maka serunya dengan dingin.

"Tak usah merepotkan kalian, aku masih mempunyai kaki untuk berjalan sendiri"

Mendengar itu, dua orang kakak tersebut segera berjalan satu di muka yang lain dibelakang dan menggusur Suma Thian yu menuju ke ruang tengah.

Diluar dugaan, ruangan tengah sudah hadir banyak orang, tapi tidak kelihatan Bi kun lun dan Cun gan siucay dua orang.

Begitu Suma Thian yu muncul dalam ruangan depan, dari balik ruangan segera muncul Leng gho Cinjin.

Jenggot merahnya yang panjang tampak bergerak tanpa hembusan angin, mukanya diliputi hawa pembunuhan, begitu berjumpa dengan Suma Thian yu, ia segera menggebrak meja sambil memaki:

"Anjing keparat, tak nyana tampangmu ganteng tapi nyatanya seorang Cay hoa cai (pen jahat pemetik bunga), padahal tuan rumah bersikap cukup baik terhadapmu"

Begitu dilihatnya situasi, tidak beres, buru-buru Suma Thian yu memantah.

"Locianpwee, kau telah menaruh kesalahan paham terhadapku, aku Suma Thian yu bukanlah manusia rendah seperti apa yang kau tu-duhkan, harap lakukan pemeriksaan lebih dulu dengan seksama"

Leng gho Cinjin sama sekali tidak menggubris ucapan itu, begitu Suma Thian yu selesai bicara, kontan dia membentak dengan gusar.

"Kentut anjing! Semua fakta sudah ada didepan mata, kau anggap pinto menuduh tanpa dasar?"

Berbicara sampai disitu, dia lantas menitahkan orang untuk mengundang Bi kun lun Siau Wi goan dihalaman belakang.

Setelah itu makinya lebih jauh.

"Bocah keparat, apa yang hendak kau katakan lagi?

Peraturan rumah tangga yang berla ku disini amat ketat, dengan dosa yang kau lakukan tiada ampun lagi bagimu. Sekarang cepat kau kutunggi lengan kananmu sendiri kalau tidak, jangan harap kau bisa tinggalkan rumah keluarga Siau pada hari ini barang setengah langkah pun"

Setelah menyaksikan keadaan yang terbentang didepan mata, terutama sikap lawan yang tidak mencari tahu lebih  dulu siapa salah siapa benar, Suma Thian yu segera sadar, dia mengerti kalau dirinya sudah terjebak ke dalam perangkap musuh yang licik.

Maka sambil membusungkan dada, ujarnya dengan wajah bersungguh sungguh.

"Locianpwee, berulang kali kau menuduh Thian yu sebagai manusia berdosa, bahkan pe nyesalanpun tak diberi, tampaknya hal ini me rupakan sebagian dari rencana keji yang telah kalian persiapkan. Hmm! Dihadapan orang jujur lebih baik tak usah berbohong, bila ingin beradu kepandaian, Suma Thian yu tak akan berkerut kening"

"Haah...haah...haah... punya semangat punya keberanian, pinto paling suka dengan pemuda semacam ini"

Dia sepera memberi tanda, It ci hoa kiam (pedang bunga satu huruf) Yu Liang gi dari partai Tiam cong segera melompat ke hadapan Suma Thian yu, lalu berkata.

"Lohu ingin mencoba sampai dimanakah kehebatan ilmu pedangmu!"

Sementara berbicara, pedang yang digembolnya segera diloloskan dari sarung.

Suma Thian yu mendengus dingin, tiba-tiba dia mencabut keluar pedang Kit hong kiamnya dari sarung, cahaya biru yang menyilaukan mata segera memancar keempat penjuru.

Begitu melihat pedang mestika yang berada ditangan anak muda itu, kontan saja It ci hoa kiam Yu Liang gi menjerit kaget.

"Haah....? Kit hong kiam ?"

Jeritan tersebut segera memancing perhatian segenap orang yang hadir didalam ruangan itu, serentak semua orang mengalihkan sorot mata nya keatas pedang mestika ditangan Suma Thian yu.

Leng gho Cinjin turut tertawa seram sesudah menyaksikan kemunculan pedang Kit hong kiam tersebut, segera jengeknya.

"Heeh...heeh...heeh...rupanya kau adalah murid pencoleng, tak heran kalau kaupun manusia bajingan, kawan-kawan, ringkus bangsat kecil ini!"

Bagaikan segerombol kawanan lebah, kawanan jago yang berada dalam ruangan segera mengurung Suma Thian yu ditengah arena.

Tapi, pada saat itulah It ci hoa kiam Yu Liang gi membentak dengan suara lantang.

"Harap tunggu sebentar saudara sekalian, berilah kesempatan buat aku orang she Yu untuk mencoba sampai dimanakah kelihayan dari ilmu pedang Kit hong kiam hoat yang menggetarkan dunia persilatan itu!"

Oleh bentakan mana, serentak semua jago mundur satu langkah ke belakang, namun mereka tidak mengendorkan posisi pengepunggannya.

Kemarahan yang berkobar didalam dada Suma thian yu waktu itu ibaratnya gunung berapi yang meletus, sekarang ia sudah mengerti kenapa paman Wan nya sampai dituduh yang bukan-bukan oleh orang lain, hal mana menambah berkobarnya api kemarahan dalam dadanya.

Dengan jurus Tui huang wang gwat (mendorong jendela melihat rembulan), pedang kit hong kiamnya melepaskan sebuah tusukan ketubuh It ci hoa kiam, tapi baru sampai di tengah jalan mendadak berganti jurus menjadi gerakan Gwat gi seng sia (rembulan bergeser bintang berpindah), kali ini dia tusuk tenggorokan orang dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busur.

Walaupun dua jurus serangan yang berbeda namun bergabung menjadi satu, dibalik serangan-nya terdapat perubahan kosong yang merupakan tipuan yang tak terduga sebelumnya.

Dalam partai Tiam cong, It ci hoa kiam Yu liang gi terhitung juga pedang paling top, selain lihay dalam limu pedang, orangnya juga licik dan pintar.

Sekarang, ia harus tercekat perasaannya se telah menyaksikan dua serangan Suma Thian yu yang dilancarkan dalam satu gerakan bersama, buru-buru kaki kirinya bergeser, pedang nya diputar mengikati gerakan badan.

Kali ini secara hebat ia berhasil membendung jurus

serangan pertama dari Suma Thian yu, lalu mengikuti gerakan mana dengan jurus Hong Ki im yong (angin berhembus awan meng gulung) dia ciptatan pelbagai lapis bunga pe dang untuk mengurung sekujur tubuh lawan.

Tiba-tiba Suma Thian yu berpekik panjang, pedangnya berubah menjadi Lui tian ciau kat(guntur dan petir bersusulan), secepat sambaran kilat, dia tembusi lapisan pedang Yu liang gi dan langsung menusuk ke ulu hatinya.

Kekuatan mereka berdua boleh dibilang seimbang, sulit  untuk membedakan mana yang ampuh dan mana yang lemah,

sebab disatu pihak merupakan jagoan kenamaan dari partai Tiam cong, dilain pihak merupakan ahli waris dari Wan tayhiap.

"Taaang ...! mendadak terdengar suara senjata tajam yang saling beradu, cahaya pedang ditengah arena segera lenyap tak membekas, lalu bayangan manusia melintas, Suma Thian yu telah melompat keluar dari arena pertarungan.

Maai, maaf.....ujarnya sambil menjura dan senyuman menghiasi ujung bibirnya.

Pada mulanya It ci boa kiam Yu Liang gi masih merasa kebingungan dan tidak habis mengerti menunggu ia menggerakan lengannya dan sepotong kain bajunya tahu-tahu terlepas dari lengan dan jatuh ketanah, ia baru tahu apa yang telah terjadi.

Dengan wajah merah padam karena jengah, It ci hoa kiam Yu Lianeg gi menundukan kepalanya rendah-rendah dan segera mengundurkan diri dari arena pertarungan.

Leng gho Cinjin tidak menyangka kalau Yu Liang gi sebagai seorang jago pedang kenamaan bisa menderita kalah di tangan seorang pemuda ingusan yang baru terjun kedunia persilatan.

Rasa malu bercampur gusar segera berkecamuk menjadi satu dalam benaknya, kepada kawanan jago yang lain, dia berseru.

"Saudara-saudara sekalian, hayo turun tangan dan bekuk bajingan muda itu...!"

Pada saat itulah, mendadak dari sudut berkumandang suara pekikan panjang yang nyaring, ketika,semua orang

berpaling tampaklah Bi kun lun dengan membawa Cun gan siu cay melangkah masuk kedalam arena. Suasana diarena segera menjadi gempar, mereka seolah-olah sudah lupa dengan perintah yang diturunkan Leng gho Cinjin semula. "Setelah melangkah masuk kedalam arena, Bi kun lun Siau wi goan segera menghardik semua orang agar jangan ribut, kemudian dengan senyum dikulum dia menjura kearah Suma Thian yu sambil memohon maaf:

"Suma Siauhiap, semua kesalahan Wi goan, tidak sepantasnya kuterbitkan begini banyak kesulitan bagimu, salah paham-salah paham se muanya ini hanya suatu kesalahan paham belaka.

Kemudian setelah tertawa nyaring, katanya lebih jauh. "Harap kau sudi memaklumi, andaikata sihian le tidak pergi

memberi kabar kepadaku, mung kin bencana yang bakal terjadi akan besar sekali. haaa...haah...haaahh "

Rasa benci Suma thian yu benar-benar sudah merasuk ketulang sum-sum, bagaimanapun penjelasan dari Bi kun lun, tak mungkin bisa meredakan rasa rasa ketidak puasannya.

Tampak dia menarik kembali pedangnya, lalu berpamitan pada Bi kun lun Siau Wi goan. "Atas pelayananmu yang baik, aku tak akan melupakan untuk selamanya. Biarlah aku mohon diri lebih dulu, untung masa mendatang masih panjang, biarlah kebaikanmu itu kubayar dikemudian hari saja."

Kemudian setelah mengucapkan pula beberapa parah kata perpisahan dengan Cun gan siu cay Si Kok seng, dia membalikkan badan siap meninggalkan tempat itu.

Siapa tahu kawanan jago liehay yang mengepung di sekeliling tempat itu masih menghadang jalan pergi Suma Tbian yu, mereka dengan sorot mata yang merah membara karena amarah menatap anak muda itu lekat-lekat, seakanakan mereka adalah sekelompok ular berbisa yang siap memagut.....

Melihat hal itu, Suma Thian yu tertawa dingan sambil mendongakan kepalanya dia menerjang maju terus kedepan.

Tiba-tiba dari muka sana muncul seorang kakek kurus  ceking bermata tikus berhidung elang yang menghadang jalan perginya dengan golok dilentangkan didepan dada, lalu menegur. "Bocah keparat, tempat ini bukan tempat yang bisa diganggu seenaknya, boleh saja bila kau ingin meninggalkan tempat ini, tapi ditinggalkan dulu sedikit tanda mata, congkel lebih dulu kedua biji matamu, kemudian baru pergi"

"Haaahh...haaaha...haaaha...kau ingin mencongkel mataku...? Huuuh, jangan mimpi" Suma Thian yu tertawa tergelak.

Kakek ceking itu semakin melotot dengan buas, goloknya diangkat siap membacok.

Tapi saat itulah kembali Bi kun lun Siau wi goan membentak keras.

"Saudara Cian, jangan bertindak gegabah, biarkan saja dia pergi!"

Buru-buru kakek ceking she Ciang itu menarik kembali goloknya, setelah melotot sekejap kearah suma Thian yu dengan angkuh, dia mundur selangkah seraya berkata.

"Hmm, enakan keparat ini!"

Suma Thian yu berjalan kehadapannya, lalu tertawa angkuh pula.

"Maaf!" katanya.

Seusai beikata dia lantas melangkah pergi dari situ, Suma Tbian yu memang bernasib jelek, berulang kali dia harus dituduh orang ka rena salah paham, rasa pedih yang mencekam perasaannya betul-betul tak terlukiskan dengan kata-kata.

Sekarang ia sudah menaruh perasaan muak yang amat sangat terhadap dunia yang sangat indah ini.

Belum jauh meninggalkan kota Tiang an, bintang sudah bertaburan diangkasa, kegelapan malam telah menyelimuti seluruh jagad, orang yang berlalu lalang dijalan semakin sedikit.

Dalam keadaan seperti inilah mendadak dari arah belakang ber kumandang suara derap kaki kuda yang ramai, suara tersebut kedengarannya janggal sekali dalam suasana begini.

Lambat laun suara derap kaki kuda itu semakin mendekat, Suma Thian yu tahu kalau dibalik kesemuanya itu pasti ada sesuatu yang tak beres. Diam-diam dia menghimpun tenaganya sambil bersiap-siap siaga menghadapi se gala kemungkinan yang tak di inginkan.

Pada saat itulah, suara bentakan nyaring telah berkumandang lagi dari belakang.

Suma Thian yu mengira Bi kun lnn Sian Wi goan telah melakukan pengejaran dari belakang, hawa pembunuhan segera menyelimuti seluruh wajahnya, dengan cekatan dia meloloskan pedang Kit hong kiam yang tersoren di-punggung seraya membalikkan badan, kemudian menghadang jalan pergi pendatang tersebut ditengah jalan.

Tak berapa saat kemudian, dari depan sana muncul lima ekor kuda jempolan yang di larikan kencang kencang, penunggangnya adalah perampok perampok berkerudung hitam.

Kalau tidak melihat masih mendingan, begitu menyaksikan kemunculan kawanan pencoleng tersebut, kontan saja amarahnya berkobar, dia berpekik panjang, suaranya menggaung jauh ketengah udara dan menggetarkan seluruh pepohonan yang tumbuh di sekeliling tempat itu.

Tampak tubuhnya melejit ketengah, pedang Kit hong kiamnya menciptakan segulung kabut pedang berwarna putih, lalu menyergap kelima orang penunggang kuda berkerudung itu.

Tindakan gegabah semacam ini sebetulnya merupakan pantangan yang paling besar bagi umat persilatan, sesunguhnya Suma Thian yu pun memahami akan hal ini, tapi... bagaimaaa mungkin dia bisa membendung rasa  mangkel dan kobaran amarah yang telah dipendamnya selama banyak tahun?

Tindakan mana rupanya diluar dugaan kelima orang penunggang kuda berkerudung itu, meski tugas mereka kali ini adalah menyergap Suma Thian yu, namun mereka tidak berharap terjadinya pembunuhan yang tak berarti.

Tapi sekarang, setelah menyaksikan Suma Thian yu muncul bagaikan malaikat yang datang dari kahyangan, serentak lima orang itu membentak pendek, kemudian bagaikan ledakan mercon, mereka menyusup keempat penjuru untuk menyelamatkan diri.

Terdengar suara ringkikan kuda yang meloloskan senjata tajam masing-masing.

Sebenarnya Suma Thian yu mengharapkan suatu hasil yang baik dalam gebrakan yang pertama, tapi begitu gagal dengan serangan yang pertama, tubuhnya ikut melayang turun keatas tanah, dengan cepat dia dikepung kelima orang pencoleng berkerudung itu dari empat penjuru.

0ooo0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar