Kitab Pusaka Jilid 05

Jilid 5

Maka dia menyimpan kitab tersebut kedalam sakunya, kemudian baru berkata kepada sepasang kakek bodoh dari bukit Wu san itu.

"Cianpwe berdua, besok boanpwe hendak meninggalkan bukit Kiu gi san untuk melacaki jejak musuh besarku, sebagai seorang anak yang berbakti, boanpwe merasa berkewajiban untuk membalaskan dendam bagi sakit hati orang tuaku, entah cianpwe berdua masih ada petunjuk apa yang hendak disampaikan?"

Sambil tertawa, Toa hi siu Khong Sian manggut-manggut, sahutnya:

"Bakti kepada orang tua memang merupakan soal utama yang paling penting, bila kau bisa berbakti kepada orang tua maka seluruh penjuru dunia dapat kau lewati, aku tahu kau polos dan jujur, hatimu penuh welas kasih dan mulia, dikemudian hari pasti berhasil, menciptakan suatu pekerjaan besar, tapi dunia persilatan amat berbahaya, maka berhatihatilah dalam mencari kawan.

Baru selesai Toa gi siu Khong Sian berkata, Ji gi siu Khong Bong telah menyambung:

“Walaupun dewasa ini dunia persilatan diliputì oleh tabir iblis dan hawa sesat, suasana macam ini tak akan bisa bertahan lama, se jak dulu sampai sekarang, kejahatan tak pernah bisa menenangkan kebenaran, bagaimana pun brutalnya perbuatan kaum iblis dan manusia laknat, suatu ketika mereka pasti akan tertumpas habis. Berbuatlah kebajikan dan kemuliaan bagi umat manusia, mesti harus mendaki bukit golok, menyeberangi samudera api, walaupun harus menembusi sarang naga dan gua harimau, tapi perbuatanmu tidak menyalahi hukum alam dan suara hati, majulah pantang mundur, kendatipun akhirnya harus mati demi membela kebenaran, kau akan mati sebagai seorang pahlawan"

Dengan perasaan yang tulus Suma Thian yu menerima semua nasehat itu dengan hati yang bersungguh-sungguh, hingga kini dia baru me ngetahui sejelas-jelasnya watak dari sepasang kakek bodoh tersebut.

Diam-diam timbul perasaan kagum didalam hatinya, ia berpikir.

"Benar-benar terlalu agung, orang yang benar-benar cerdas memang mirip bodoh, mengapa aku tidak mempergunakan ucapan mereka sebagai pedoman hidupku?"

Setelah menyampaikan nasehatnya kepada Suma Thian yu, Sepasang kakek bodoh dari bukit Wu san sama sekali tidak menantikan jawaban nya, mereka segera membalikkan badan dan berlalu dari situ, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka berdua sudah lenyap tak berbekas.

Memandang bayangan punggung kedua orang kakek itu, Suma Thian yu merasa seakan-akan kehilangan buah mutiara yang tak ternilai harganya dan merasa murung dan sedih.

Sekali lagi ia hidup menyendiri dialam semesta yang begini luas, sampai kapan keadaan seperti ini baru akan berakhir? Sementara dia masih termenung, mendadak dari kejauhan sana terdengar suara pekikan nyaring berkumandang memecahkan kesunyian.

Suma Thian yu merasa amat terperanjat setelah

mendengar suara pekikan tersebut, dengan perasaan tertegun pikirnya:

"Heran, mengapa selama beberapa hari ini bukit kiu gi san jadi begini ramai? Satu rombongan baru lewat, rombongan lain menyusul datang, mungkinkah dibukit ini telah ditemukan suatu benda mestika ?"

Sementara dia masih termenung, suara pekikan tersebut sudah semakin mendekat, bahkan jumlahnya tidak hanya satu.

Suma Thian yu sudah terbiasa mendengar suara pekikan tersebut, dia acuh tak acuh, bahkan sambil berpaling dia memejamkan matanya seperti orang hendak tidur.

Tiba-tiba terlintas satu ingatan didalam benaknya, mengapa tidak mempergunakan kesempatan itu untuk memeriksa isi kitab pusaka palsu itu?

Berpikir demikian, dia lantas merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan kertas tersebut dan dipegang dalam tangan.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras:

"Hei bocah muda, benda apakah yang sedang kau pegang itu?"

Sungguh tak disangka suara pekikan yang kedengarannya masih jauh tadi, tahu-tahu dihadapan mukanya telah melayang turun seorang kakek berusia tujuh puluh tahun, berperawakan tinggi besar, bercambang, bermata besar, beralis tebal dan bermulut lebar. Orang itu ber tampang menyeramkan sekali.

Suma Thian yu mencoba untuk memeriksa sekeliling  tempat itu, ketika dilihatnya tak ada orang lain selain kakek itu, apalagi orang itu pun bermuka bengis dan menyeramkan, maka timbul satu ingatan dalam benaknya untuk mempermainkannya dengan menggunakan kitab pusaka palsu tersebut.

Dengan suara nyaring dia lantas berkata.

"Aku tak dapat memberitahukan kepadamu, sebab benda ini adalah sebuah mestika yang tak ternilai harganya!"

Sambil berkata dengan wajah tersenyum mengejek dia melirik sekejap kearah kakek itu, kemudian sengaja menyimpan kertas tadi ke dalam saku.

Setelah itu dengan senyuman aneh menghiasi diujung bibir, dia berkata lebih jauh:

"Padahal sekalipun kuberitahukan kepadamu juga tak mengapa, kertas ini isinya adalah ilmu silat peninggalan dari Ku hay Siansu!”

Mendengar perkataan itu, paras muka kakek tersebut berubah hebat, mencorong sinar buas dari balik matanya, dia sepera membentak

"Kau tidak membohongi aku? Bawa kemari!"

Nadanya keras dan bersifat memerintah, seakan-akan pemuda itu sudah sepantasnya untu menyerahkan kitab pusaka itu kepadanya.

“Huh...apa yang kau andalkan untuk memerintahku berbuat demikian? kitab ini toh aku yang menemukan, kenapa harus kuserahkan lagi kepada orang lain. Heeh, heeh, heh sungguh menggelikan!"

"Lohu ingin bertanya kepadamu, apakah kitab tersebut adalah kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu Cinkeng?" nada suara dari kakek tersebut menjadi jauh lebih lembut.

"Aduuh ...dari maka kau bisa tahu?" Suma Thian yu purapura merasa terkejut, padahal dalan hati kecilnya dia geli sekali.

Selama hidup belum pernah dia permainkan orang iain seperti apa yang dilakukannya saat ini, ia merasa apa yang telah dilakukannya benar-benar amat memuaskan hatinya.

Seandainya Suma Thian yu tahu kalau kakek yang berada dihadapannya sekarang adalah salah seorang dari Ci san su mo (empat iblis dari bukit Ci san), Jit ci to (pencoleng berjari tujuh) Tam Yu yang pernah menderita kekalahan ditangan gurunya Put Gbo cu dimasa lalu, niscaya dia tak akan berani mempermainkan kakek itu.

Terdengar pencoleng berjari tujuh Tam yu tertawa terbahak-bahak dengan bangganya.

"Haah...haah....haah...bersusah payah aku mencari kesana kemari, akrhirnya berhasil kutemukan tanpa susah payah, nampaknya saat lohu untuk unjuk gigi sudah tiba. Nah bocah muda, oleh karena kitab pusaka itu berhasil kau temukan, maka lohu bersedia mengampuni selembar jiwamu, cepat serahkan kitab tersebut kepadaku!"

Suma Thian yu sudah menduga akan sikap dari kakek tersebut, maka dia tidak marah atau pun merasa kaget, pelanpelan dia menarik ke luar kitab itu hirgga muncul separuh dari balik sakunya, kemudaan berkata lagi.

"Tidak ada pekerjaan yang semudah itu di kolong langit, tinggalkan dulu nama besarmu, saya ingin tahu cukup pantaskah kau menerima pusaka ini"

Mendengar perkataan itu, si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu tertawa seram.

“Haah...haah....haah....bocah keparat, tak heran kalau kau berani bersikap kurangajar kepadaku, rupanya kau belum tahu siapakah diri ku ini? Lohu she Tam bernama Yu. Coba nilailah apakah aku pantas untuk mendapatkan kitab pusaka yang berada ditanganmu itu?”

Haah....haah..." Suma Thian yu tertawa tergelak lagi setelah mendengar nama tersebut, bila kau tidak menyebutkan namamu itu, mungkin aku masih akan menyerahkan kitab tersebut kepadamu, tapi setelah mengetahui siapa gerangan dirimu itu...Hmm, sauya tak sudi untuk menyerahkan kepadamu"

"Kenapa?" teriak si Pencoleng berjari tujuh dengan gusar, "bocah keparat, tampaknya arak kehormatan kau tak mau, arak hukuman kau pilih. Sebentar jika kau sudah merasakan kelihayanku, jangan lagi berkaok minta ampun"

Suma Thian Yu kembali tertawa keras. "Aku tak dapat menyerahkan kepadamu karena kau adalah bekas panglima yang kalah di tangan Put Gu cu locianpwe, kalau nyawamu saja berhasil ditemukan secara untunguntungan, mana ada hak bagimu untuk mendapatkan kitab pushka tersebut?"

Mendengar ucapan tersebut, si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu menjadi tertegun, kemudian dari malu dia menjadi gusar, serunya:

"Bocah keparat, apa hubunganmu dengan siluman tosu itu?"

Apa hubunganku dengannya lebih baik tak usah kau  campuri, dan kaupun tidak berhak untuk mengetahuinya, lebih baik jangan semba rangan berpikir. Maaf, sauya tak dapat menemani lebih lama lagi."

Selesai berkata, dengan langkah lebar dia lantas berlalu dari tempat itu.

Namun tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar di udara.

"Berhenti !"

Tampak sesosok bayangan manusia dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat berlelebat lewat dari atas kepala Suma Thian yu dan menghadang perginya,

Suma Thian yu segera memicingkan mata dan membentak dengan nada sinis:

"Bagaimana? Ingin merebut dengan kekerasan ?" "Betul, lohu memang ingin berbuat demikian”

"Hmm! Bagaimanapun juga pencoleng memang berjiwa kerdil dan tak becus, sekali menjadi bajingan selamanya tetap bajingan, apakah kau tidak malu? Hmm, terhadap seorang pemuda pun menggunakan cara kekerasan "

"Heeeh....heeeh....heeeh.... bocah keparat, tak kusangka kau memiliki selembar bibir yang pandai bersilat lidah, selamanya lohu tak doyan dengan permainan semacam ini lebih baik segera serahkan kitab tersebut ke padaku."

"Huuuh, kau belum berhak!” Begitu ucapan terakhir diutarakan, tampak bayangan manusia berkelebat lewat dan “Plok” sebuah tempelengan keras telah bersarang di atas pipi kakek tersebut.

Paras muka si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu berubah hebat, mukanya merah padam seperti babi ppnggang, dengan suara yang meng geledek bentaknya keras-keras.

"Bocah keparat, kau ingin mampus?"

Sepasang lengannya diayunkan kedepan melancarkan bacokan semen-tara tubuhnya ikut menubruk kemuka bagaikan harimau lapar menerkam domba, mengerikan sekali keadaannya.

Suma Thian yu sudah mempunyai perhitungan yang cukup matang dalam menghadapi keadaan tersebut, ia tidak gugup ataupun panik, menanti sepasang kepalan lawan sudah berada setengah depa dihadapan nya, mendadak dia menyelinap kesamping, kemudian mengembangkan ilmu langkah Ciok  tiong tuan poh cap lak sui yang dipelajari dari Sisu yau kay wi Kian semalam.

Baru saja sepasang lengan si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu mengayun kedepan, mendadak serasa bayangan manusia berkelebat lewat, sementara ia masih tertegun, mendadak tengkuknya seperti dihembus orang.

Dengan perasaan terkejut buru-buru dia memutar

badannya secepat kilat, kemudian tangan dan kakinya hampir bersamaan waktunya me nendang ke tubuh Suma Thian yu keras-keras.

Sayang dia cepat, Suma Thian yu lebih cepat lagi, baru saja lengannya mencapai setengah jalan, kembali tengkuknya dihajar orang sehingga terasa linu, panas dan perih.

Dengan terjadinya peristiwa itu, semangat si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu menjadi dingin separuh, dia sadar bahwa pada hari ini telah bertemu dengan musuh tangguh, tak  ampun peluh dingin segera bercucuran keluar membasahi tubuhnya.

Tapi sifat rakusnya dan keinginannya untuk mendapat mestika membuat dia lupa akan keselamatan akan jiwanya diri sendiri, dengan mata gelap si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu mengeluarkan ilmu Thian sai ciang andalannya untuk melancarkan serangan pukulan dahsyat untuk menggurungseluruh badan Suma thian yu.

Semenjak mempelajari ilmu langkah Ciok tiang luan poh,  rasa percaya diri Suma Thian yu terbadap kemampuan sendiri semakin bertambah, pada hakekatnya ia seperti telah berubah menjadi seseorang yang lain, entah serangan dahsyat macam apapun yang telah digunakan si Pencoleng berjari tujuh Tam yu untuk mendesak musuhnya, ia selalu gagal untuk  mendesak lawannya.

Sedangkan Suma Thian yu justru berputar kian kemari bagaikan kupu kupu yang menari ditengah bebungahan, setiap ada kesempatan dia selalu menowel, meraba, mencakar, mencubit seluruh badan kakek tersebut.

Tak selang berapa saat kemudian, keadaan si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu sudah lemas seperti seekor ayam jago yang kalah bertarung, seluruh badannya basah kuyup oleh keringat, mukanya pucat pias, napasnya ngos-ngosan seperti kerbau, mengenaskan sekali keadaannya

Sambil berputar terus kian kemari, Suma Thian yu segera mengejek sambil tertawa:

"Bagaimana? Terbukti bukan kalau kau masih belum cukup mampu untuk mendapatkan kitab ini?"

Berbicara sampai disitu, mendadak gerakan tubuhnya berubah, mendadak ia menerobos masuk ke dalam, kemudian tangannya mencongkel ke muka...

Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang dari mulut si pencoleng berjari tujuh Tam Yu.

"Kali ini aku hanya mencongkel sebelah matamu saja sebagai peringatan, lain kali aku harap kau jangan menganiaya kaum muda lagi dengan semaunya sendiri" seru Suma Thian yu.

Selesai berkata, pasang kakinya segera menjejak permukaan tanah dan tubuhnya melambung keudara, kemudian diringi suara pekikan panjang yang penuh nada gembira, secepat kilat dia turun dari bukit tersebut.

Sampai lama kemudian, pekikan itu masih saja bergema ditengah hutan.

Bersamaan waktunya dengan lenyapnya bayangan tubuh Suma Thian yu di ujung jalan sana, dari atas bukit melayang turun tiga sosok bayangan hitam yang langsung menghampiri si pencoleng berjari tujuh Tam yu yang terluka.

Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah berada ditempat kejadian, seorang diantaranya segera memeluk tubuh si pencoleng berjari tujuh Tam Yu sambil berteriak:

"Suhu, suhu, kenapa kau orang tua? Siapa yang telah turun tangan sekeji ini kepadamu?"

Pencoleng berjari tujuh Tam Yu membuka matanya yang tinggal sebelah dan mengawasi pendatang tersebut, lalu sahutnya dengan sedih:

"Sudah pergi, bocah keparat itu sudah pergi, dia telah mendapatkan kitab pusaka Kun tun dan kun huan siu cinkeng dari Ku hau sian siau, muridku, kau tak boleh bertindak gegabah, kau bukan tandingan bocah keparat tersebut"

Ketika dua orang kakek lainnya mendengar ucapan tersebut, ternyata tanpa memperdulikan Si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu yang sedang terluka, mereka segera berseru cepat:

"Tam Yu, maaf!”

Begitu selesai berkata, kedua orang itu segera melejit ketengah udara dan meluncur ke arah dimana Suma Thian yu melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa.

Si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu yang terluka dan menyaksikan kepergian kedua orang itu segera berseru dengan penuh kebencian:

"Tak berperasaan tak memperdulikan kesetiaan antar persaudaraan, baik, selama aku orang she Tam masih hidup, tak akan kulepaskan kalian berdua. Heehh... heehh... kalian berani kesitu tak lebih hanya akan menghantar kematian dengan percuma, tetapi memang paling baik jika kalian bisa segera melaporkan diri kepada raja akhirat."

Ternyata kedua orang itu adalah Sam yap koan mo serta Coa tau jin mo, kedua orang ini pun termasuk anggota Ci san su mo, jadi sebenarnya adalah saudara angkat sipencoleng berjari tujuh Tam yu sendiri.

Dalam pada itu, sepeninggal dari lembah Cing im kok,  Suma Thian Yu melanjutkan perjalanannya dengan kecepatan luar biasa.

Tapi tak berapa jauh dia berjalan, mendadak dari arah belakang terdengar suara pekikkan aneh bergema tiada hentinya, Suma Thian yu mengira si pencoleng berjari tujuh yang melakukan pengejaran, maka sengaja ia perlambat larinya.

Dalam sekejap mata, dari arah belakang terdengar suara ujung baju tersampokangin bergema tiba....

Dengan perasaan terkejut Suma Thian yu segera berpikir:

“Heran, kenapa bukan cuma seorang!”

Baru saja ingatan tersebut melintas lewat didalam benaknya, mendadak dari arah belakang terdengar seseorang membentak keras:

"Hei bocah muda, berhenti kau!"

Suma Thian yu segera menghentikan tubuhnya dan berpaling, tampak olehnya dua orang kakek berdandan aneh sedang menyusul tiba dengan kecepatan luar biasa.

Kehadiran kedua orang kakek yang tak dikenal itu amat mencengangkan hatinya, tapi dia tahu pendatang pendatang tersebut tidak bermaksud baik, mungkin juga disebabkan kitab pusaka palsu tersebut, maka tegurnya dengan cepat:

Ada urusan apa kalian berdua datang kemari?"

Salah seorang diantaranya adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun, menggunakan pakaian dengan tiga warna yang berbeda dan berwajah seram, dilihat dari dandanannya dapat diketahui kalau orang itu adalah Sam yap koay mo (Iblis aneh tiga daun) pentolan dari Ci san su mo. Disampingnya adalah seorang kakek berusia enam puluh tahunan, memakai baju panjang model orang desa, bermata tikus, hidung pesek, kumis melintang dan kepala berbentuk segitiga, tak disangkal lagi dia adalah manusia paling buas dari Ci san su mo, Coa tou jin mo atau manuusia iblis berkepala   ular Sim moay him adanya.

Dengan suara sedingin es, Sam yap koay mo segera menegur:

"Bocah keparat, kau tak usah berlagak bodoh lagi, setelah melukai adik angkatku, apakah kau masih ingin mungkir?

Hmm, tak kusangka seorang bocah busuk yang masih berbau tetek berani bertindak sekejam itu, heeeh.....heech....heeeh.....tiada lain, asalkau serahkan kitab itu yang disakumu itu kepada kami, segala sesuatunya akan kuanggap impas dan tidak dipermasalahkan lagi, tapi kalau tidak..."

"Haaah...haahh...haahh..kalau kitab pusska ttu tidak kuserahkan, apakah kalian hendak membalas dendam bagi sakit hati adik angkatmu itu? kata Suma Thian yu sambil tertawa terbahak-bahak.

"Betul! Ucapanku selamanya kupegang teguh asal kau mau serahkan kepada kami, kamipun tak akan mengingkari janji"

"Ciiss, manusia tak tahu malu” dengus Suma Thisn yu dengan wajah sinis, ia memandang hina terhadap watak orang yang rendah, "bersa habat dengan manusia macam kau, sungguh mengenaskan sekali rasanya...sayang Put Gho cu locianpwe tidak membereskan kalian dimasa lalu, sayang sungguh amat sayang!"

Seraya berkata dia segera menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang, sikapnya yang memandang rendah musuhnya seakan-akan tak akan pandang sebelah matapun terhadap kemampuan musuhnya itu.

Sam Yap Koay mo menjadi naik darah setelah mendengar perkataan itu, sepasang matanya berubah menjadi merah membara, tulang belu langnya bergemerutukan nyaring, tibatiba ia membentak keras: "Bocah keparat, serahkan nyawamu!"

Telapak tangannya segera diayunkan kedepan, segulung angin pukulan yang maha dahsyat dengan cepatnya menggulung tubuh Suma Thian yu.

Menghadapi ancaman tersebut, pemuda itu mendengus dingin, sepasang bahunya bergerak dan mundur sejauh satu kaki lebih, kemudian pedangnya di loloskan dan "Criiing!"

pedang Kit hong kiam sudah dihunus dari sarungnya. "Setan tua yang tak tahu malu" teriaknya lantang,

"tampaknya kau belum mengetahui akan kelihayan sauya? Tidak sukar bila kau mengi nginkan kitab pusaka itu, asal bisa menangkan satu jurus saja ditangan sauya, kitab tersebut akan kupersembahkan kepadamu.”

Mendengar perkataan itu, Sam yap Kuay mo tertawa terkekeh-kekeh dengan seramnya.

“Heeeh......heeeh.....heeeh.....dengan mengandalkan kepandaian mu juga berani berbicara sesumbar? Betul-betul manusia tak tahu diri, baik, lohu akan memenuhi pengharapanmu itu"

Selesai berkata dia lantas bergerak maja ke depan dengan jurus Gi san tiam hay (menggeser bukit membendung samudera) dia bacok tu buh bagian bawah dari Suma Thian yu.

Anak nuda itu tertawa panjang, pedangnya segera didorong sejajar dada, tanpa gugup barang sedititpun juga pedang itu diputar dite ngah jalan menusuk keatas dan mengancam dada Sam yap koay mo dengan jurus Tan hong tian yang (burung hong menghadap matahari).

Melihat datangnya ancaman tersebt, Sam yap koay mo nampak agak tertegun,kemudian sambil tertawa seram katanya.

“Rupanya kau adalah ahli waris dari bajingan anjing budukan she Wan terebut, ini lebih bagus lagi, lohu akan membekukmu hidup-hidup untuk menerima pahala sehingga tidak sia-sia perjalananku kali ini" Berbicara sampai disitu, dia lantas menggapai kesamping, si Manusia iblis berkepala ular segera melompat maju kedepan, dasar memang bermuka tebal, ternyata gembong iblis dari Liok lim ini telah bekerja sama untuk mengerubuti pemuda berusia enam belas tahun itu.

Suma Thian yu dihadapkan dua orang gembong iblis sekaligus bukannya merasa heran malah sebaliknya tertawa panjang, menyusul kemudian gerakan tubuhnya berubah dan dia segera mengembangkan ilmu langkah Ciat tiong luan poh cap lak tui untuk melayani musuhnya.

Dalam waktu singkat seluruh arena sudah dipenuhi oleh bayangan manusia yang berkelebat kesana kemari menerjang keluar dari ke pungan kedua orang itu.

Sam yat koay mo serta Coa tau jin mo hanya merasakan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu mereka sudah kehilangan bayangan tubuh lawan, dengan perasaan terkejut mereka segera berpaling ke samping.

Tampaklah Suma Thian yu sudah berdiri di luar arena dengan sekulum senyuman dingin menghiasi ujung bibirnya.

"Aku lihat lebih baik kalian berdua melatih diri selama sepuluh tahun lagi sebelum datang mencoba sauya mu lagi, sekarang maaf kalau sauya tak akan melayani lebih lama lagi" demikian ia berseru.

Selesai berkata, dengan gerakan tubuh yang cepat ia berlalu dari sana.

Tentu saja kedua orang iblis tersebut tidak bersedia melepaskan musuhnya dengan begitu saja, melihat kejadian itu mereka berpekik ke ras lalu melakukan pengejaran.

Suma Thian yu termenung sebentar, kemudian secara tibatiba menghentikan gerakan tubuhnya, sambil membalikkan badan ia berseru dengan tertawa terbahak-bahak:

"Haaah..... haaah......haaah.....tidak sulit bila kalian ingin mendapatkan kitab pusaka itu asal kamu berdua bisa menangkan satu jurus atau setengah gerakan saja dalam seratus jurus gebrakan, tanpa banyak berbicara kitab tersebut akan segera kuserahkan kepada kalian, cuma,....... Berbicara sampai disita, dia berhenti sebentar, lalu sambil melirik sekejap ke arah dua orang iblis tersebut, lanjutnya:

"Kitab pusaka itu cuma ada selembar, bagaimana cara kalian berdua untuk membaginya secara adil?"

Si Manusia iblis berkepala ular Sim Moay him mendengus dingin.

"Hmm, bocah keparat, kau lak usah mencoba untuk mengadu domba kekuatan kami berdua, aku orang she Sim bukan manusia sebangsa itu, lohu tidak mau kitab pusaka itu tapi pedangmu itu akan kurampas."

Suma Thian yu menunjukkan wajah sinis, "Hmm, dimulut saja berbicara soal kegagahan dan kebenaran, padahal siapa tahu dalam hati kecilnya? Lebih baik tak usah banyak bicara lagi, mau turun tangan lebih baik cepatlah turun tangan!"

Begitu selesai berkata, pedang Kit hong kiamnya segera menyapu tubuh Coa toa jin mo dengan jurus Lip sau ngo gak (menyapu rata lima bukit), sementara jari tangan kirinya bagaikan tombak menotok tubuh Sam yap koay mo.

Agak tertegun juga kedua orang iblis tersebut ketika dilihatnya Suma Thian yu berani melawan mereka berdua bersama-sama, segenap kepandaian silat yang dimilikinya segera dikeluarkan untuk mendesak musunnya.

Dalam waktu singkat, ketiga orang itu sudah bertarung sebanyak dua puluh gebrakan, menang kalah masih belum bisa ditentukan sedang kekuatan mereka nampak seimbang.

Sambil bertarung melayani serangan-serangan dari kedua orang iblis tersebut, diam-diam Suma Thian yu merasa gembira, ternyata ilmu langkah Ciok tion luan pah cap lak tui yang diwariskan Siau yau kay kepadanya memang terbukti lihay sekali, bila pertarungan semacam ini dilangsungkan lebih jauh maka sampai besokpun kedua orang iblis tersebut tak akan mampu berbuat apa-apa kepadanya.

Maka diapun lantas berseru.

“Aduuh....aku sudah tak mampu lagi, lebih baik aku mengaku kalah saja!" Mendengar seruan tersebut, kedua orang iblis itu segera menghentikan serangannya.

Suma Thian yu segera merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan kertas kuning itu, kemudian katanya:

"Apa yang sauya ucapkan selama kupegang teguh, sekarang terbukti aku tak mampu untuk mengalahkan kalian berdua, maka terpaksa kitab pusaka ini harus kuserahkan kepada kalian, cuma ada syaratnya.

Apa syaratnya!” teriak kedua orang ituham pir berbareng. "Setelah berhasil mendapatkan kitab pusaka nanti, kalian dilarang mengejar sauya lagi, kalau tidak kitab ini akan sauya

robek seketika ini juga"

Sambil berkata, Suma Thian yu segera berlagak hendak merobek kertas tersebut.

Suma Thian yu tersenyum, dia lantas merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan kitab tadii, kemudian ujarnya.

"Agar adil, sauya akan menguji secara jujur, disini terdapat sebiji mata uang, bila kalian bisa menebak secara jitu ditangan sebelah manakah mata uang itu kugenggam, maka kitab pusaka itu akan menjadi milik siapa, bagaimana?"

Kedua orang itu segera menyatakan akur, maka Suma  Thian yu memperlihatkan mata uang tersebut, setelah digoyangkan berulang kali dia melemparkannya ke udara, setelah di sambut dengan kedua belah tangan, tangan mana dipisahkan kekiri dan kekanan kemudian di sodorkan kedepan dua orang iblis tersebut seraya berkata.

"Nah, siapa yang akan menebak lebih dulu?”

"Toako, kau saja yang menebak lebin dulu kata si Manusia iblis berkepala ular Sim Moay.

Sam yap Koay mo tertawa seram, diapun tidak sungkansungkan segera menuding tangan kiri Suma Thian yu sambil berseru.

"Tangan kiri!"

Suma Thian yu pura-pura menghela napas panjang, sambil membuka tangannya dia berseru: "Aaah, sayang, tebakanmu salah, yang betul ada ditangan kanan, terpaksa kitab ini harus kuserahkan kepada adik angkatmu!"

Betapa mendendamnya Sam yap koay mo sewaktu dilihatnya kitab pusaka tersebut diperoleh adik angkatnya,

Manusia iblis berkepala ular, sekalipun satu ingatan keji segera melintas dalam benaknya, namun wajahnya sama sekali tak berubah, bagaikan persoalan itu tak pernah dipikirkan didalam hati, ia berkata sam bil tertawa:

“Lote, kionghi atas keberhasilanmu, asal tak sampai jatuh ketangan orang lain, loko turut merasa gembira"

Kemudian sambil menarik muka katanya kepada Suma Thian yu:

“Bocah keparat, serahkan cepat, jangan mencoba bermaksud jahat, kemudian kau boleh pergi dan sini. Tapi ingat, hati-hati kalau sampai bertemu dikemudian hari, lohu tak akan berbelas kasihan lagi kepada dirimu"

Suma Thian yu segera berpikir:

"Huuh, siapa yang takut kepadamu? Dengan mengandalanmu kepandaianmu itu, meski berlatih sepulun tahun lagipun, sauya tak akan merasa kuatir.”

Pelan-pelan dia letakkan kertas itu kebawah kakinya, kemudian sambil melejit keudara dia berlalu dari situ dengan kecepatan luar biasa.

Sambil berkelebat pergi kembali Suma Tian yu berpekik nyaring, sekali lagi dia telah mempermainkan manusia bengis dan meninggalkan bibit bencana untuk mereka.

Tak bisa disangkal lagi, sepeninggalnya dari tempat itu, pasti akan terjadi perang urat syaraf antara kedua orang iblis tersebut, membayangkan apa bakal terjadi antara mereka berdua, pemuda itu tertawa sendiri, tertawa puas.

Dengan membawa sekulum senyuman yang cerah karena sehabis mempermainkan iblis keji, pemuda itu melanjutkan kembali perjalanannya ke depan.

Entah berapa banyak bukit tinggi dan tebing curam yang telah dilewati..... Malam, telah mencekam seluruh jagad.

Malam itu adalah sebuah malam yang gelap gulita, tiada rembulan diangksa kecuali beberapa bintang yang mengerdipkan sinarnya seperti lirikan anak nakal.

Setelah melalui suatu perjalanan yang amat panjang. Suma Thian yu mulai merasakan juga badannya letih, diapun duduk diatas sebuah batu besar untuk melepaskan lelahnya.

Selesai bersemedi mengatur pernapasan, rasa lelahnya pelan pelan hilang dan badan terasa segar kembali.

Mendadak ditengah keheningan malam yang mencekam sekeliling tempat itu dia seperti mendengar suara rintihan lirih bergema dari kejauhan sana.

Suma Thian yu merasakan sekujur badannya bergetar  keras, ia segera mendusin kembali dan lamunannya, dengan suatu gerakan kilat dia melompat bangun lalu memperhatikan dengan seksama.

Tapi suasana disekitar itu menjadi sepi. "Aneh" dia segere bergumam, "sudah terang kudengar suara rintihan, kenapa secara tiba-tiba bisa lenyap tak berbekas? Zungkinkah aku telah salah mendengar?"

Mustahil kalau dia salah mendengar, karena dengan tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, ketajaman pendengarannya amat diandalkan, bunga yang jatuh berapa puluh kaki dari situpun dapat ia dengar dengan jelas.

Sementara dia masih termenung, mendadak terdengar suara rintihan tersebut kembali berkumandang datang.

Mendadak Suma Thian yu menggerakkan tubuhnya dan melesat kedalam hutan disisi tebing sebelah sana dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

Setelah masuk kedalam hutan dan menyaksikan pemandangan di sekitar lempat itu, darah panas yang menggelora dalam tubuhnya merasa mendidih, amarahnya memuncak, apa yang terpapar didepan matanya sekarang benar-benar merupakan suatu pemandangan yang mengerikan sekali. Ternyata ditengah tanah lapang dalam hutan tersebut, nampak mayat bergelimpangan disana, bahkan disitupun penuh dengan kutungan kaki atau potongan lengan, darah kental telah menggenangi seluruh permukaan tanah.

Suasana disekeliling tempat itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun, hanya angin gunung yang meaehembus menderu-deru,

Bangkai kuda, mayat manusia, membuat suasana menjadi seram, mengerikan dan mendirikan balu roma orang.

Suma Thian yu adalah seorang pemuda yang berjiwa pendekar, benci segala kejahatan dan bernyali besar, tapi setelah menyaksikan pe mandangan yang terpapar didepan matanya, tak urung bergidik juga hatinya.

Namun dia masih tetap berusaha untuk menenangkan hatinya, ia berusaha untuk menekan perasaan kaget, gugup dan seramnya, kemudian selangkah demi selangkah menelusuri mayat yang bergelemparan di tanah dan berusaha menemukan sumber dari suara rintihan tersebut.

Dia berdoa semoga berhasil menemukan salah seorang korban kekejian itu dalam keadaan hidup, agar perbuatan biadab tersebut terkubur bersama jasad.

Agaknya Yang Maha Kuasa telah mengaturkan segala sesuatu bagi umatnya, apa yang di harapkan ternyata tidak sia-sia.....

Akhirnya Suma Thian yu berhasil menemukan sesosok tubuh manusia sedang menggeliat diantara tumpukan mayat yang hancur dengan darah kental yang berceceran ditanah.

Menolong orang brgaikan menolong api, penemuan tersebut membuat Suma Thian yu buru-buru berjalan mendekati korban tersebut.

Rupanya dia adalah seorang lelaki setengah umur yang berperawakan tinggi besar dan bermuka cambang, darah kental masih mengotori bibirnya, tapi ia masih bernapas meski berada dalam keadaan tak sadar. Suma Thian yu segera meraba dada lelaki setengah umur tersebut, terasa hawa hangat masih ada sedang debarang jantungnya lemah sekali.

"Untung saja masih bisa tertolong!”

Buru-buru dia membopong tubuh lelaki setengah umur, membangunkannya, kemudian dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah pil Ku goan cing wan peninggalan dari Kit hong kiam kek Wan Liang semasa hidupnya dan dijejalkan kedalam mulut lelaki tersebut.

Dengan mengikuti air liur, pil tersebut segera hancur dan mengalir masuk kedalam perut.

Dan tak selang beberapa saat kemudian, laki-laki setengah umur itu sudah menggerakkan badannya, diatas wajahnya yang pucat terlintas warna merah dadu, pelan-pelan dia membuka madanya yang sayu dan memandang sekejap  kearah Suma Tnian yu, sorot mata itu penuh dengan pancaran rasa terima kasih yang amat tebal.

Namun sejenak kemudian, ia memejamkan kembali matanya dan memperdengarkan suara rintihan.

Menyaksikan keadaan itu, Suma Thian yu segera menyadari kalau lelaki »setengah umur itu sudah menderita luka dalam parah, nyawanya amat krins dan tak mungkinbisa disempuhkan hanya mrngandalkan khasiat obat.

Maka diapun bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian sambil menempelkan telapak tangannya keatas jalan darah Mia bun hiat di tubuh lelaki itu, ia salurkan hawa sakti Bu siang sinkang untuk membantu lelaki itu.

Segulung hawa panas yang menghangatkan badan segera mengalir lewat jalan darah Mia bun hiat dan menyusup kedalam tubuh lelaki itu.

Sejak makan buah mestika Jin sian kiam lan jalan darah penting Jiu meh dan tok meh yang berada dalam tubuh Suma Thian yu telah tem bus, kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya sekarang sudah tidak bisa ditandingi oleh umat persilatan lainnya. Tak sampai seperminum teh, seluruh wajahnya telah basah oleh keringat hawa panas mengguap dari atas ubun-ubunnya, betul juga, paras laki-laki setengah umur itu dari pucat pasi kini berubah menjadi merah padam kembali.

Terdengar orang itu merintih dan memuntahkan darah

yang berwarna hitam, begitu darah hitam tersebut keluar, rasa menderita pun segera lenyap, orang itu sadar kembali dari pingsan

Tampak orang itu segera melompat bangun, kemudian sambil menyembah didepan anak muda itu seruny:

"Tio Ci bui dari Sin liong piau kiok mengucapkan banyak terima kasih atas budi pertolongan siauhiap."

Buru-buru Suma Thian yu menyingkir kesamping untuk menghindarkan diri, lalu katanys tersipu sipu.

"Aaah, saling menolong di kala orang sedang mengalami kesulitan sudah merupakan kewajiban dari setiap umat persilatan, kebetulan saja aku lewat disini, buat apa mesti ucapkan terima kasih?” Perkataan Tio cianpwe terlalu berlebihan"

"Boleh saya tahu siapakah nama siauhiap?” "Boanpwe Suma Thian yu!"

Ternyata Tio Ci hui yang terluka ini adalah saudara angkat dari cong piautau perusshaan ekspedisi Si liong-piaukiok di kota Heng-ciu yang disebut orang Mo im sin-liong (naga sakti penggosok awan) dalam masa berkelananya dalam dunia persilatan, dengan dua puluh empat jurus ilmu pena pembetot sukmanya sudah amat tersohor dalam dunia persilatan, orang persilatan menjulukinya sebagai Si Berewok berpena baja.

Si Berewok berpena baja Tio Ci-hui yang menyaksikan tuan penolongnya masih begitu muda, diam-diam timbul perasaan malu dan menyesal dalam hati kecilnya.

Katanya, enghiong kebanyakan muncul dan kaum muda, ketika dilihatnya orang itu mana usianya muda juga tak bersikap sombong atau tinggi hati, kenyataannya mana membuat hatinya makin kagum lagi.

Buru-buru dia berseru kembali: "Suma siauhiap masih muda tapi berjiwa be sar, kegagahanmu benar benar amat mengagumkan, terimalah sebuah persembahanku lagi."

Seraya berkata, sekali lagi dia menjatuhkan diri berlutut. Tindakkan tersebut kontan saja membuat Suma Thian yu menjadi amat gelisah, saking gelisahnya, selembar wajahnya berubah menjadi merah padam lantaran tersipu-sipu, sambil

membangunkan si Brewok berpena baja, serunya cepat: "Tio cianpwe, kau kelewat sungkan, apalah artinya sedikit

bantuan yang kuberikan?”

Dengan sikap yang menaruh hormat sahut si Berewok berpena baja:

"suma siauhiap berkali kali menyebutku sebagai cianpwe, akupun merasa tak berani untuk menerimanya. Andaikata kau tiak menampik keinginanku, tolong janganlah memanggil cianpwe lagi kepadaku, bagaimana sebut saja aku sebagai saudara Tio?

Menyaksikan ketulusan dan kesungguhan hati orang, Suma Thian yu pun tidak bersikeras lagi, sahutnya kemudian:

"Saudara Tio, bila kau menghendaki demikian, baik, thian yu akan menuruti perintah.”

<ooOoo>

TATKALA si Berewok berpena baja menyaksikan sikap menghormat kepadanya, iapun tak sungkan lagi, dia tahu bila ia sendiri selalu bersikap hormat, hal mana justeru membuat suasana akan bertambah canggung, asal budi kebaikan tersebut dibalas pada suatu saat, rasanya hal itupun tidak terlalu berlebihan.

Apalagi dia menyaksikan suma Thian berwajah tampan dan menawan hati, hal mana semakin menimbulkan perasaan simpatik didalam hatinya.

Ketika Suma Thian yu menyaksikan Berewok berpena baja Tio Ci hui hanya mengawasinya dengan termanggu, dengan cepat dia menegur: "Saudara Tio, silahkan beristirahat sebentar, kemudian kita harus membereskan mereka yang telah tewas”

Mendengar ucapan tersebut, si Berewok berpena baja Tio Ci hui merasa tertegun, hatinya merasa sedih sekali.

Selama ini dia selalu cekatan dan pandai bekerja dalam dunia persilatan, kali ini dia mendapat tugas lagi untuk mengawal barang penting menuju ke Kwang-say kota Kiongshia, sebelum berangkat kakak angkatnya Mo im sin liong telah berpesan bahwa barang kawalan mereka kali ini amat penting artinya, sebab berhasil atau tidak sangat mempengaruhi nama baik perusahaan mereka.

Maka sengaja dia mengundang si Berewok berpena  baja

Tio Ci hui dengan memimpin sejumlah jagoan kelas satu untuk berangkat me lindungi mestika yang tak ternilai harganya.

Sepanjang jalan menuju keselatan, tak nyana sewaktu berjalan sampai di wilayah Kiu gi san telah terjadi peristiwa tragis, bukan cuma barang kawalannya kena dibegal, bahkan dia pun kena dipecun-dangi secara mengenaskan sekali.

Memandang mayat-mayat yang tergelepar memenuhi seluruh tanah, si Berewok berpena baja Tio Ci hui menghela napas panjang

Setelah mengalami peristiwa berdarah ini, dia tak tahu bagaimana harus mempertanggung jawabkan diri terhadap kakak angkatnya Mo im-sin liong, coba kalau bukan ditolong oleh pemuda yang berada didepan mata sekarang, mungkin diapun akan kehilangan selembar jiwanya ditengah bukit yang terpencil ini.

Teringat akan hal-hal yang memedihkan hatinya, dia segera mera-sakan hatinya bergejolak keras, air matanya bercucuran dan seluruh badannya gemetar keras.

Suma Thian yu yang turut menyaksikan kejadian itu, diamdiam ikut merasa berduka, pikirnya: "Selama aku masih hidup, aku berte kad akan membantu Sin liong piau kiok untuk menemukan kembali  barang  kawalan   yang   di   begal orang " Berpikir sampai disitu, dia lantas menghibur si Berewok berpena baja Tio Ci bui dengan suara lembut.

"Saudara Tio, kejadian toh sudah berlangsung, disedihkan juga tak ada gunanya, asal kita bisa menemukan sebuah titik terang saja, biar pembegal-pembegal itu kabur keujung langitpun, aku percaya duduknya perkara pasti akan terbongkar juga......Sekarang keadaan ma sih belum terlambat, mengapa kau tidak menmbangkitkan semangatmu untuk melakukan sesuatu usaha yang lebih bersemangat.

Si Berewok berpena baja Tio Ciu hui segera manggutmanggut, sahutnya kemudian:

"Apa yang Suma siauhiap katakan memang benar, cuma pembegal pembegal itu hampir semuanya mengenakan kain kerudung hitam serta tidak meninggalkan jejak apapun, kalau dibilang sungguh memalukan, mereka semua rata-rata berilmu tinggi, orangnya banyak lagi, aku Tio Ci hui betul-betul tak berdaya dan tak berkemampuan  untuk menahan  salah seorang saja diantara mereka"

Sambil berkata wajahnya menunjukkan perasaan menyesal, kecewa, sedih dan menyalahkan diri.

Suma Thian yu adalah seorang yang cerdas, begitu mendengar pembegal-pembegal tersebut  berkerudung, lagipula terjadi dibukit Kiu gi san, satu ingatan dengan cepat muncul dalam benaknya, dia tahu peristiwa ini pasti luar biasa, siapa tahu ada hubungannya dengan ke matian paman  Wannya yang mengenaskan......

Teringat akan paman Wan, hatinya merasa sedih sekali,  raut wajah penuh kasih sayang yang telah memelihara dan mendidiknya selama sepuluh tahun segera muncul kembali dalam benaknya, dia tidak dapat mengendalikan rasa pedih dalam hatinya lagi, sambil mengepal tinju dan mendongak ke angkasa, lirihnya:

"Aku hendak membalas dendam ..." Waktu itu si Berewok berpena baja Tio Ci hui sedang tercekam dalam kesedihan, ketika secara tiba tiba dilihatnya pemuda di hadapannya menunjukkan wajah gusar dengan hawa pembunuhan menyelimuti wajahnya, bahkan menggumam hendak membalas dendam, terkejutlah dia, diam diam pikirnya dengan perasaan bergidik:

"Betul betul amat tebal hawa pembunuhan yang  menyelimuti wajahnya, kalau dilihat dari keadaannya, dia mempunyai asal usul yang amat mengenaskan atau suatu pengalaman hidup yang memedihkan hatinya, jikalau tidak, mana mungkin dia menunjukkan emosi yang be gitu besar dan mengerikan?"

Tiba-tiba terdengar burung gagak berkaok.

Kedua orang itu segera tersentak kembali dari lamunan masing masing.

Suma Thian yu memperhatikan suasana malam yang mencekam sekeliling tempat sekejap, lalu ujarnya kepada siberewok berpena baja:

"Saudara Tio, malam sudah semakin kelam, mari kita harus selesaikan pekerjaan yang paling penting"

Maka kedua orang itupun menggunakan pedang masingmasing membuat liang lahat....

Tak selang berapa lama kemudian, mereka telah menyiapkan tiga belas buah liang lahat.

Yaa, angka tiga belas, suatu angka yang di anggap membawa sia. Sambil membopong mayat-mayat rekannya yang telah kaku, satu persatu siberewok berpena baja memasukkan jenasah-jenasah tersebut ke dalam liang lahat, dalam keadaan demikian, dia tak dapat membendung rasa sedihnya lagi sehingga menangis tersedu-sedu.

Manusia adalah mahkluk berperasaan, walaupun kedudukan si Berewok berpena baja dalam perusahaan Sik liong piaukiok amat tinggi, namun dia adalah seorang yang berjiwa terbuka, dalam waktu-waktu biasa dia tak pernah membedakan hubungan tingkat kedudukan, pergaulannya dengan para piausu itu amat akrab, sehingga bukan saja ia dicintai juga dihormati oleh semua orang. Kini, mereka telah meninggalkan dunia ini, akan beristirahat untuk selamanya ditengah bukit yang terpencil dan jauh dari keramaian manusia, untuk selama-lamanya.....

Tak heran kalau dia menangis semakin sedih setelah menyaksikan rekan-rekan senasib sependeritaanya seperi harus berpisah untuk selamanya.

Siapa bilang enhiong tidak melelehkan air mata? Mesti mereka baru akan mengucurkan air mata bila keadaan sudah amat memedihkan.

Kesedihan yang muncul dari dalam hati sanubari pun merupakan kesedihan yang paping mencekam perasaan, Suma Thian yu mulai terpengaruh juga oleh suasana yang mengharu itu sehingga tanpa terasa titik air mata pun turut jatuh berlinang.

Pekerjaan akhirnya diselesaikan dalam suasana yang penuh kesedihan dan kedukaan...

Ditengah bukit, dalam lapangan yang luas, kini telah bertambah dengan tiga belas buah kuburan baru, disanalah tiga belas orang piau su yang setia sampai mati beristirahat untuk selamanya.

Suma Thian yu mendongakkan kepalanya memandang kegelapan malam yang semakin mencekam, kabut telah menyelimuti permukaan, pakaian merekapun telah basah, ia tahu fajar tak lama lagi akan menyingsing, buru-buru dia berjalan mendekati si Berewok berpena baja. 

Waktu itu si Berewok berpena baja berdiri termangu-mangu didepan kuburan sambil menahan rasa sedih yang luar biasa.

Orang yang sedih selamanya memang paling gampang menaruh simpatik dan memahami kesedihan orang lain.

Suma Thian yu menepuk bahu siberewok berpena baja pelan, lalu hiburnya dengan lembut:

"Saudara Tio, harap kau tak usah bersedih hati lagi,  sekalipun peristiwa ini terjadi diluat dugaan, janganlah kau bawa kesedihan menuju ke hal-hal yang negatip. Asal kita bisa melacak peristiwa ini sehingga duduknya perkara menjadi jelas, dan kita pun bisa membalas kan dendam untuk mereka, aku yakin arwah sahabat-sahabat ini dialam baka pasti akan terhibur juga"

Setelah mendengar kata-kata hiburan dari Suma Thian yu tersebut, si Berewok berpena baja Tio Ci hiu menghentikan isak tangisnya, sa hutnya kemudian dengan suara parau:

“Baik, selama Tio Ci hui masih hidup. aku pasti akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membunuh kawanan pembegal berkerudung itu untuk membalaskan dendan bagi ketiga belas saudara ini”

Sekalipun harus naik kebukit golok atau meyeberangi lautan minyak mendidih, aku Sama Thian yu pasti akan membantu dengan segala kemampuan yang kumiliki"

Janji sianak muda itu dengan bersungguh sungguh.

Nadanya selain tulus wajahnyapun serius, sama sekali tidak bersikap pura-pura.

SiBerewok berpena baja Tio Ci hui merasa terharu sekali, dia tak menyangka kalau pemuda tersebut bukan saja amat membenci kejahatan juga suka membantu orang, dia bersyukur karena dalam usahanya membalas dendam dan merebut kembali barang kawalan yang dibegal, ia telah memperoleh bantuan dari seorang tokoh yang gagah dan lihay.

Sehingga hal mana membuat hatinya yang sedih merasa agak terhibur juga, sambil menjura serunya.

“Terima kasih banyak atas bantuan siauhiap, selumnya aku Tio Ci hui atas nama seluruh anggota perusahaan Sin liong piaukiok mengu capkan banyak-banyak terima kasih kepadamu”

Aaah, saudara Tio terlalu sungkan, bagikmu persoalan semacam ini sudah merupakan suatu kewajiban"

Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya lebij jauh: "Mari kita pergi! Fajar sudah hampir menyingsing, luka

dalam yang saudara Tio derita baru baru sembuh, kau harus mendapat banyak waktu untuk beristirahat” Si Berewok berpena baja Tio Ci hui manggut-manggut, dia mengambil kembali pena bajanya lalu memandang sekejap kearah tiga belas buah kuburan itu dengan termangu, akhirnya dia bergumam:

"Saudara-saudaraku, beristirahatlah dengan tenang disini!" Sekalipun aku Tio Ci hui harus mengorbankan jiwa, badan harus hancur remuk, pasti aian membalaskan dendam untuk kalian!”

Selesai bergumam, bersama Suma Thian yu berangkatlah dia meninggalkan tempat itu.

Angin dingin menghembus lewat mengibar ujung baju, suasana ditempat penjuru tampak gelap gulita.

Inilah saat-saat menjelang rintangnya fajar.

Bila fajar hampir menyingsing, kadangkala saat-saat terakhir itulah merupakan saat yang paling gelap....

Mereka berdua segera mencari sebuah gua untuk beristirahat, karena tubuh memang sudah penat, tak lama kemudian merekapun tertidur nyenyak sekali.

Bangun dari tidurnya, sinar matahari sudah memancar masuk kedalam gua, buru-buru mereka berdua mengisi perut dengan rangsum sambil bersiap siap untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Terdengar Suma Thian yu berkata:

“Saudara Tio, mari kita berangkat!”

Baru saja ucapan terakhir diutarakan, tiba-tiba dari luar gua terdengar seseorang menegus sambil menyeringai menyeramkan.

"Heehh.. heehh...heehh...tidak sukar kalau ingin pergi, tapi tinggalkan dulu pedang Kit hong kiam tersebut!”

Mendengar perkataan tersebut, Suma Thian yu maupun si Berewok berpena baja merasa tertegun, mereka heran kenapa kehadiran orang itu sama sekali tidak diketahui oleh mereka? Itu berarti orang tersebut tentu mempunyai aeal usul yang  luar biasa.

Tanpa terasa kedua orang itu bersama-sama berpaling kearah mana berasalnya suara tersebut. Didepan depan gua tampak berdiri seorang manusia aneh berbaju hitam yang mengenakan kain kerudung, sepasang matanya yang nampak dari luar memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan.

Si Berewok berpena baja Tio Ci hui yang menjumpai kehadiran manusia berkerudung itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun segera bertindak lebih dulu, diam-diam ia menghimpun tenaga dalamnya lalu dengan gaya harimau lapar menerkam domba, sebuah pukulan dahsyat yang di sertai tenaga penuh langsung di ayunkan ke tubuh manusia aneh berkerudung itu.

Serangan tersebut dilancarkan dengan mempergunakan segenap tenaga dalam yang dimiliki si Berewok berpena baja Tio Ci hui, maksudnya ingin membunuh, manusia aneh berkerudung hitam itu tertawa dingin, sepasang tangannya masih lurus kebawah dan sama sekali tidak menggubris atau pun berkelit kesamping. kalau dilihat dari sikapnya itu, dia seakan akan tak memandang sebelah matapun terhadap si Bere wok berpena baja.

Waktu itu si Berewok berpena baja Tio Ci hui baru sembuh dari luka parahnya, melihat sikap lawannya yang begitu memandang hina, amarahnya kontan saja membara, api untuk membalas dendam membangkitkan suatu kekuatan besar dalam tubuhnya.

Begitu serangan pertama belum berhasil, bagaikan seekor burung raksasa dia keluar dari gua tersebut.

Pada saat yang bersamaan pula Suma Thian yu melompat keluar juga dari dalam gua.

Si Berewok berpena baja Tio Ci hui belum mengalami keadaan seperti ini, sikap memandang rendah yang diperlihatkan manusia aneh berkerudung itu membuat amarahnya semakin membara, tampak rambutnya pada berdiri, tiba-tiba ia menerjang kedepan manusia aneh berkerudung itu, kemudian sepasang telapak tangannya didorong kedepan, sekali lagi tampak segulung angin pukulan yang termaha dahsyat menghantam atas tubuh manusia aneh berkerudung itu.

Menyaksikan datangnya ancaman, manusia aneh berkerudung itu pun mengayunkan pula telapak tanganya untuk menyambut datangnya serangan tersebut, ketika dua gulung angin pukulan dahsyat saling bertemu satu sama lainnya, tiba-tiba saja....."Blaaamm” suatu benturan dahsyat menimbulkan hembusan angin puyuh yang menerbangkan batu serta pasir.

Sepasang bahu manusia aneh berkerudung itu tampak bergetar sedikit, ujung bajunya berkibar kencang, sebaliknya  si Berewok berpena baja Tio Ci hui kena terhantam mundur sejauh tiga langkah dengan sempoyongan, dia bersusah payah sebelum berhasil berdiri tegak.

Suma Thian yu yang menyaksikan jalannya pertarungan itu dari sisi arena dapat melihat keadaan tersebut dengan lebih jelas lagi, dia tahu ilmu silat yang dimiliki manusia aneh berkerudung itu masih setingkat lebih lihay dibandingkan dengan kepandaian silat yang dimiliki Tio Ci hui, diam-diam dia merasa gelisah.

Begitu berhasil berdiri tegak, tiba tiba si Berewok berpena baja meloloskan senjata andalannya dari belakang punggung, tangan ka nannya diayunkan kedepan, pena dengan  hembusan angin dahsyat segera meluncur kedepan menotok tubuh manusia aneh berkerudung tersebut, bentaknya dengan penuh kegusaran:

"Pembegal yang tak tahu malu, serahkan nyawa anjingmu!

Sejak kedua buah pukulannya gagal menimbulkan sesuatu kerugian bagi musuhnya, amarah dalam dada si Berewok berpena baja sudah berkobar, maka sekarang dia lantas mengembangkan ilmu pena Ji cap si si Thi pit hoat (dua puluh empat jurus ilmu pena baja) yang amat termashur itu dengan harapan bisa merobohkan musuhnya itu.

Dalam suasana ini, rasa ingin menangnya membara amat dahsyat dalam dadanya, segenap perhatian maupun  tenaganya tertuju kedepan, dia bertekad hendak mengalahkan musuhnya, itulah sebabnya tenaga serangan yang dipergunakan pun amat besar.

Mencorong sinar tajam dari balik mata manusia aneh berkerudung hitam itu, tampaknya dia sudah dapat menebak maksud hati siBerewok berpena baja tersebut, setelah tertawa seram tubuhnya melejit keudara untuk menghindarkan dari ancaman tersebut, kemudian dari udara sebuah pukulan dilancarkan keatas kepala Si Berewok berpena baja dengan jurus Hu im sip gwat (awan tebal menutupi rembulan).

Bagaimanapun juga, si berewok berpena bajaTio ci hui memang tak malu disebut jagoan lihay didalam dunia persilatan, sudah belasan tahun lamanya dia melatih diri  dalam permain baja tersebut, baik ilmu tenaga maupun dalam Ilmu tenaga luar telah berhasil mencapai puncak kesempurnaan.

Maka begitu dilihatnya manusia aneh berkerudung hitam itu menerkam kebawah sambil melancarkan serangan, buru-

buru dia melompat keatas sambil melepaskan tusukan dengan pena bajanya.

Berada ditengah udara, kekuatan manusia aneh berkerudung hitam itu sangat berkurang banyak, buru-buru dia pergunakan jurus To yu cian hui (membalikkan sayap terbang ke depan) buru-buru melayang tiga kaki ke depan----

Begitu berhasil mendesak lawan, si Berewok berpena baja memutar pena ditangan kanannya membentuk lapisan bayangan senjata yang sangat tebal, sekali lagi dia menerjang kearah manusia aneh ber kerundung hitam tersebut.

Dalam teori ilmu silat, yang menjadi faktor utama adalah mengendalikan musuhnya, maka setelah melayang turun kebawah, manusia aneh berkerundung hitam itu segera mengayunkan kembali tangannya berusaha untuk merebut posisi yang lebih menguntungkan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar