Kitab Pusaka Jilid 03

Jilid 3. Kitab pusaka yang tidak ada tulisannya 

"Dunia persilatan yang banyak urusan dan banyak  kesulitan, kini telah bertambah lagi dengan seorang bintang pembuluh, napsu membunuh yang berkobar didada orang ini kelewat besar!"

Berpikir sampai disitu, dia lantas bertanya, "Siapakah musuh besarmu ?"

Sebenarnya Suma Thian-yu sudah terjerumus dalam pengaruh api dendam yang membara, mendengar perkataan itu dia menjadi tertegun lalu menghela napas panjang, dan sahutnya :

“Hingga kini tecu masih belum tahu siapa musuh besarku”

Tampaknya Pu Go cu juga merasa agak tercengang oleh kejadian tersebut, masa siapakah musuh besar pembunuh ayahnya juga tidak di Ketahui? Dengan cepat dia mendesak lebih jauh:

Dunia luas, kemana kau hendak mencari musuhmu?" Apakah sedikit jejakpun tidak kau temukan?”

"Tidak" Suma Thian yu menghela napas Panjang. Ketika peristiwa itu terjadi, tecu baru berusia lima tahun, akupun dibopong oleh Thio popo untuk melarikan diri, oleh karena itu siapakah pembunuh ayahku belum kuketahui"

"Hm, apa yang pernah dikatakan Thio popo"

“Dia hanya pernah berkata pada tecu bahwa musuh

besarku adalah seorang penjahat pemetik bunga (Jai hoa cat) yang berhasil buron dari penjara, namanya kurang jelas, suhu, apakan kau tahu siapakah penjahat pemetik bunga tersebut?”

Put Go cu termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya:

"Aaahh jumlahnya terlalu banyak, sulit bagiku untuk mengingat ingat begitu banyak orang, untung saja masih ada setitik cahaya terang ini, cepat atau lambat pasti akan berhasil kau temukan orangnya" Selesai berkata, dia memandang sebentar keadaan cuaca, kemudian katanya lagi kepada Suma Thian yu:

"Waktu sudah tidak pagi lagi, kaupun harus pulang, tapi sebelum perpisahan ini aku inun sekali menyaksikan hasil latihanmu selama de lapan tahun ini, ilmu pedang Kit hong kiam hoat telah berhasil kau ketahui inti sarimu pukulan Tay cing to liong pat si ajaranku itu satu kali"

Mendengar perkataan itu, Suma Tian yu segera merasakan semangatnya bangkit kembali, sahutnya.

"Tecu terima perintah!"

Menyusul kemudian dia melompat ke tengah lapangan dan memberi hormat dulu kepada Put Go cu, kemudian tenaga dalamnya dihimpun kedalam telapak tangan dan sejurus demi sejurus dimainkan depan penuh semangat.

Dalam waktu singkat seluruh arena telah di liputi oleh deruan angin pukulan yang memekikkan telinga, demikian dahsyatnya permainan tersebut sehingga bayangan tubuhnya hampir saja tidak terlihat lagi.

put Go cu yang menyaksikan kejadian itu merasa gembira sekali, apalagi setelah mengetahui betapa pesatnya kemajuan yang telah dicapai muridnya itu, tanpa terasa ia lantas mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak.

Tu ji, berhenti!" mendadak Put Go cu mera bentak keras. "Suhu, apakah tecu salah ?"

Put Go cu segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Tidak, tidak salah, aku merasa gembira sekali setelah menyaksikan hasil yang berhasil kau capai itu"

Suma Thian yu tidak memahami apa yang dimaksudkan gurunya, mendengar perkataan itu, dia lantas bertanya.

Cepatlah pulang pulang, dalam gua telah terjadi peristiwa" tukas Put Go cu cepat.

"Apa?" Suma Thian-yu menjerit keras saking kagetnya. Put Gho cu tidak menjawab pertanyaan itu, dia segera menarik tangan Suma Thian-yu sambil serunya dengan gelisah:

"Cepat, hayo cepat berangkat, kalau terlambat kau tak akan sempat melihat pamanmu lagi"

Sementara pembicaraan berlangsung, kedua orang itu sudah melayang sejauh satu kaki lebih, kemudian dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat meluncur ke arah gua kuno tersebut.

Hingga detik itu, Suma Thian yu masih tertegun dan tidak habis mengerti, dia tak tahu apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.

Selama sepuluh tahun berdiam disitu, puncak Gi im hong selalu berada dalam keadaan tenang, bayangan musuh yang selalu dikuatirkan Kit hong kiam kek Wan Liang tak pernah muncul disana, dia yakin hal ini mungkin disebabkan perubahan pintu guanya, atau mungkin juga dia sudah dilupakan oleh umat persilatan.

"Tapi, siapa tahu ”

Ketika Put Go cu dan Suma Thian-yu berdua tiba didepan gua, pemandangan yang terbentang dihadapan mereka membuat kedua orang itu merasakan tubuhnya bergetar keras.

Ternyata dalam mulut gua itu penuh dengan tanda darah yang mem basahi hampir semua lapangan yang berada disitu, rumput-rumput telah berubah menjadi merah, tiga sosok mayat yang bermandikan darah terkapar kaku disitu.

Dengan cemas Put Go cu segera berseru:

"Kau cepat masuk ke dalam gua!”

Waktu itu Suma Thian-yu sudah kehilangan pegangan, mendengar perkataan itu dengan cepat dia menyelinap masuk kedalam gua. Namun baru saja masuk ke gua, mendadak kakinya terikat oleh sesuatu benda sehingga hampir saja kakinya jatuh terjungkal ke atas tanah, ketika ia mengamati benda itu, ternyata dia adalah bangkai Siau-hek, si kuda kurus yang setia kepada majikannya.

Sementara itu Put Go cu jaga telah masuk ke dalam gua, menyaksikan pemandangan yang terbentang didepan mata itu, ujarnya dengan sedih:

"Jangan gugup, jangan panik, anak Yu! Yang penting sekarang adalah mencari pamanmu.”

Selesai berkata, mereka berdua segera melakukan pemeriksaan keseluruh gua, namun tak dijumpai bayangan tubuh dari Kit hong kiam kek. Suma Thian yu semakin gugup bercampur gelisah, gumamnya berulang kali.

"Aduh celaka, aduh celaka "

"Tampaknya Put Go cu pun merasakan kalau gelagat tidak menguntungkan, buru-buru dia menarik tangan suma thian yu dan mengajak nya keluar, seluruh bukit telah diperiksa namun bayangan tubuh dari Kit hong kiam kek Wan Liang belun juga ditemukan.

Perasaan hati mereka dewasa ini berat bagaikan dibanduli barang seberat ribuan kati, terutama Suma Thian-yu, dia merasakan jantung nya berdebar debar keras, seakan-akan hendak melompat keluar dari rongga dadanya saja....

Pemuda itu sudah mendapat firasat jelek, sudah pasti paman Wan nya mengalami nasib tragis, sejak kematian Siauw hek dan ditemukannya tiga sosok mayat didepan gua, tak bisa disangkal lagi suatu pertarungan sengit pasti telah berlangsung disana, dan besar kemungkinannya paman Wan telah mengalami musibah dalam pertarungan itu.

Berpikir sampai disini, Suma Thian yu sema kin gugup dan panik, kalau bisa dia ingin cepat cepat menemukan paman Wan. Bagaikan orang kalap saja dia segera melepaskan diri dan cekalan tangan Put Gho cu, kemudian sambil lari ke depan, teriaknya ber ulang kali:

"Paman, paman, kau berada di mana ”

"Paman! Paman "

Dia berteriak dengan sekuat tenaga, sambil berteriak sembari berlari, semua jalan di telusuri tanpa tujuan.

Tapi tiada jejak apapun yang berhasil ditemukan, tidak terdengar pula suara jawaban.

“Habis sudah, habis sudah sekarang, paman lelah lenyap tak berbekas... habis sudah sekarang!"

"Paman, Yu ji berada disini, paman...kau berada dimana ?"

Put Go cu yang menyaksikan kejadian itu turut merasakan hatinya menjadi kecut, dia kuatir kesedihan yang memuncak akan berakhir dengan isi perut yang terluka, buru buru serunya:

“Yuji, Yu ji,.. hati-hati dengan kesehatan badanmu, pamanmu tak bakal tertimpa kejadian apa apa."

Ucapan tersebut tentu saja terbatas pada menghibur saja, sebab bahkan Put Go cu pribadipun tidak berani menjamin kalau kit hong kiam kek tak tertimpa kejadian apa apa.

Mendadak terdengar Suma Thian-yu menjerit kaget, dengan kecepatan tinggi dia melesat kedalam hutan sebelah depan sana dan meluncur kebawah sebatang pohon.

Ketika Put Go cu turut menyusul ke situ tampaklah Suma Thian yu sedang memeluk seorang kakek yang berpelepotan darah, orang itu tak lain adalah Kit-bong-kiam kek Wan Liang.

Put Go cu tak berani berayal lagi, buru-buru dia berjongkok sambil menguruti dada Wan Liang, kemudian mengambil  keluar buli-buli kecil dari sakunya dan mengeluarkan sebutir pil berwarna kuning. Dengan cekatan dia membuka mulut Kit hong kiam kek dan menjejalkan obat itu keda lam mulutnya, kemudian diapun membantunya untuk menguruti kembali dadanya.

Tak lama kemudian put Go cu menghentikan usahanya, sambil menghela napas dia mengelengkan kepalanya berulang kali.

"Aaaai......lukanya kelewat parah, bajingan itupan amat kejam, tak dengan cara sekeji ini dia melukai dirinya, sekalipun ada obat mestika, paling-paling hanya akan memperpanjang kehidupannya beberapa waktu saja"

Mendengar perkataan itu, Suma thian yu merasakan hatinya dingin separuh, dengan sedih dia menundukkan kepalanya, lalu sambil me-meluk tubuh paman Wan nya ia menangis tersedu-sedu.

"Paman...ooh paman... dengarkah kau suara panggilanku?

Paman...aku adalah Yuji...Yuji yang paling kau sayang, dengarkah kau... paman"

"Jangan berteriak lagi" cegah Put Go cu dengan cepat, "sebentar dia akan mendusin, kalau bisa jangan membuat hatinya sedih"

Benar juga, tak lama Put Go cu menyelesaikan katakatanya, Kit hong kiam kek Wan liang segera menggerakkan badannya dan membuka matanya lebar-lebar, tapi kemudian menutup kembali.

Setelah lewat beberapa saat lagi dia baru membuka  matanya yang telah pudar dan memandang sekejap kearah Yu ji, sambil menahan rasa sakit katanya:

"Aku sudah tak sanggup lagi, nak, paman sudah tua ... aaai, dia kelewat kejam....dia ”

"Paman, jangan banyak berbicara lagi," buru-buru suma Thian yu berseru, "kau pasti akan sembuh kembali, beristirahatlah dengan tenang, kau pasti akan sembuh kembali." Kit hong kiam kek Wan Liang mengerutkan dahinya menahan rasa sakit yang luar biasa, pelan-pelan suma Thian yu membaringkannya ke tanah, tapi dengan susah payah Kit hong kiam kek berusaha menahan tubuhnya dan meronta bangun, ujarnya sambil menggelengkan kenapanya berulang kali :

"Nak, aku salah.... aku.... aku tidak baik....baik... memelihara dirimu.... semua urusanmu telah ku....

kuketahui.... aduh, aduuh... apakah Locianpwe ini adalah gurumu ?”

Suma Thian yu segera mengangguk, sahutnya dengan jujur.

“Benar paman, Yu ji, paman, tahukah kau bahwa Yu ji tak seharusnya mengelabuhimu"

Pelan-pelan Kit hong-kiam-kek Wan Liang mengangguk, sahutnya sambil tertawa getir.

"Nak, paman tak akan menyalahkan dirimu, tidak  seharusnya paman me......melarang kau untuk...untuk belajar ilmu silat"

Ketika secara tiba-tiba dia menyaksikan Put Go cu berjalan masuk dari tepi hutan, tanpa terasa bisiknya dengan lirih.

"Siapa dia?”

Tak heran kalau Kit hong-kiam-kek wan Liang tidak kenal dengan Put Go cu, sebab ketika Kit hong kiam kek wan Liang terjun kedalam dunia persilatan, Put Go cu telah mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan

Dengan suara rendah dan hormat Suma Thian yu menjawab: "Dia orang tua adalah Put Go cu, nama yang sesungguhnya tidak Yu-ji ketahui"

Begitu mengetahui kalau guru dari Suma Thian yu adalah  Put Go cu, salah seorang dari Tionggoan Jicu yang amat termasyhur itu, Kit hong kiam kek Win Liang merasa tertegun, kemudian dengan perasaan lega bisiknya lirih : "Inilah rejekimu nak, paman terlalu gembira, sangat gembira sekali ”

Berkata sampai disitu, mendadak tubuhnya mengejang keras dan muntah darah segar.

Suma Thian yu yang menyaksikan kejadian itu menjadi terperanjat sekali, buru-buru teriak nya:

"Suhu cepat kemari, pamanku sudah parah keadaannya "

Baru habis dia berkata, Put Go cu yang sedang meronda ditepi hutan itu telah melayang datang, sambil membangunkan kepala Kit hong kiam kek dan menekan nadinya, diam-diam menghela napas sambil menggelegnkan kepalanya.

"Aaai, tampaknya ia sudah tak bisa bertahan lagi"

Sembari berkata dia lantas mengerahkan tenaga dalamnya untuk menguruti nadinya, tak lama Kemudian Kit hong kiam kek Wan Liang membuka kembali matanya.

Setelah memandang sekejap kearah Suma thian yu dan Put Go cu, katanya sambil tertawa getir.

"Locianpwee, boanpwe sudah tak sanggup lagi untuk bertahan, tidak kusangka akhirnya aku harus tewas di tangan perempuan rendah itu, mati bukan sesuatu yang menakutkan, tapi jika dendam sakit hati ini belum terbalas penasaran

rasanya hatiku

Ia lantas berpaling kearah Suma thian yu, kemudian lanjutnya.

"Yu ji, paman mati penasaran, setelah... setelah sampai dalam dunia persilatan, jangan... jangan kau sebut naa...

nama dari paman tak akan ada orang  yang bi bisa

mengampuni dii dirimu”

Berbicara sampai disitu. dia seperti teringat akan sesuatu, sekujur badannya gemetar keras, mukanya berubah menjadi merah, sambil miringkan badannya dan menuding ke arah pedangnya yang tergelecak empat kaki dihadapannya, dia berkata.

"Sebenarnya pedang itu ingin kuhadiahkan kepadamu, tapi jika kau membawa pedang tersebut malah justru akan mendatangkan ketidak beruntungan saja '

Tatkala Suma Thian yu menyaksikan kesegaran Kit hong  kiam kek Wan Liang tiba-tiba pulih kembali, ucapan yang diutarakan juga ti dak terputus-putus lagi, dia mengira lukanya sudah membaik, hatinya, menjadi girang sekali.

Paman kau pasti akan menjadi baik, teriaknya dengan gembira "bukankah kau sudah merasa agak baikan sekarang?"

Kit hong kiam kek segera menggelengkan kepalanya berulangkali, sahutnya sambil tertawa rawan.

"Anak bodoh, terlampau sedikit yang kau ketahui, ingat...

ingat de.. dengan ke.. kelicikan kebusukan dunia persilatan...

Ketika berbicara sampai disitu, tiba-tiba hatinya terasa amat sakit, dengan memaksakan diri ia berusaha untuk mengendalikan rasa sakit tadi lalu berkata lebih jauh.

Bila bertemu de...dengannya.... Siauhu yong .... kau kau

mesti....

Belum habis dia berkata, mendadak sekujur badannya mengejang keras, sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat dan seorang jago pedang yang amat termashyur dalam   dunia persilatan pun telah mengakhiri hidupnya.

Dia sebenarnya masih ingin meninggalkan pesan-pesannya, banyak persoalan yang harus ditinggalkan, tapi mampukah dia mengutarakan semua isi hatinya itu?

Seorang pendekar besar telah mengakhi hidupnya disebuah bukit yang terpencil, jauh dari keramaian dunia.

Apa yang berhasil diperolehnya? Susah payah hidup  didunia, mengandalkan kepandaian silatnya menumpas kaum penjahat, tapi apakah yang berhasil diraihnya atas jerih payahnya? 

Menyaksikan paman Wannya berpulang ke alam baka, Suma thian yu merasa sedih sekali, dia segera memeluk jenasahnya dan menangis tersedu-sedu.

Put Go cu adalah seorang jago yang sudah lama mengasingkan diri dari keramaian dunia, terhadap segala persoalan dia memandang ham bar, soal mati hiduppun bukan masalah besar baginya, tapi sekarang toh menundukkan juga kepalanya dengan wajah sedih.

"Bu liang siu hud" bisiknya lirih.

Perasaan hatinya yang tenang kini mulai bergejolak lagi, entah ia sedih karena kematian pendekar besar itu? Ataukah merasa terharu menyaksikan nasib Suma thian yu yang mengenaskan?

Sampai lama, kemudian, Put Go cu baru berkata lagi:   "Anak Yu, tak usah menangis, ia tak akan mendengar suara

isak tangismu lagi, orang yang sudah matipun tak akan bisa hidup kem bali, apa gunanya meui menangis? Kau harus teguhkan hatimu dan melakukan suatu pekerjaan besar yang menggemparkan dunia persilat an sehingga tak sampai menyia-nyiakan harapannya."

Ketika mendengar ucapan tersebut, Suma thian yu bukannya berhenti menangis, dia makin sedih.

Ia terkenang kembali kejadian dimasa lalu, yakni pada sepuluh tahun berselang, waktu itu ada suatu ketika dia takut kepada pamannya yang berwatak aneh ini, dia membencinya, karena dia tidak mengerti.

Teringat Wan Liang pernah berkata begini kepadanya: "Kau masih muda, bagaimanapun juga yang kau pahami masih terlampau sedikit."

Yaa, benar, dia memang mengetahui sedikit tentang pamannya itu, mengetahui secara sepintas saja. Siapa tahu ketika Suma thian yu sudah mulai merasa   betapa kasih dan ramahnya paman Wan, ternyata paman Wan

telah pergi mening galkannya untuk selamanya, padahal Thian yu masih membutuhkan banyak petunjuk tentang kehidupan didunia ini tapi siapa yang akan memberi petunjuk   kepadanya?

Berpikir sampai disini, tanpa terasa air matanya kembali jatuh berlinang.

Dia tahu, mulai sekarang dia akan menjadi anak tanpa sanak tanpa keluarga dan tanpa rumah. Sewaktu Thio Popo membawanya meninggalkan rumah dulu, dia masih belum tahu apa menderitanya "tak punya rumah", kini nasib jelek menimpa dirinya tanpa terasa, bagaimana mungkin kejadian ini tidak membuat sedih dan mencucurkan air mata.?

Bagian KETIGA

"BANGUNLAH Thian-yu" tiba tiba Put Gho cu memecahkan kesunyian, "cepat kubur jenasah pamanmu, karena suatu persoalan aku tak dapat tinggal kelewat lama disini"

Dengan air mata bercucuran Suma thian yu bangkit berdiri dari atas tanah, lalu memandang sedih ke arah Put Gho cu, sepasang mata nya yang merah telah basah oleh air mata.

Put Gho cu tak tega menyaksikan kajadian itu, segera hiburnya:

"Kesempatan dimasa datang masih amat panjang, suatu ketika kita murid dan guru pasti akan berjumpa lagi, sepeninggal aku nanti, cepatlah kebumikan jenasah pamanmu, tinggalkan tempat ini dan ingat baik baik pesan terakhir dari pamanmu, dunia persilatan penuh de ngan mara bahaya, lebih baik kau jangan kelewat menonjolkan diri, dalam menghadapi semua persoalan pun harus berhati-hati" Sembari berkata dia membelai rambut pemuda itu dengan lembut, setelah memperhatikannya beberapa lama, ia baru berkata:

"Nah, aku pergi dulu!”

Selesai berkata, tampak sepasang bahunya bergerak, tahutahu dengan kecepatan luar biasa dia lenyap dari pandangan mata Yu ji.

Bagaikan baru bangun dari impian, buru-buru Suma thian yu berlutut dan menyembah tiga kali, katanya:

"Suhu diatas, tecu tak akan menyia-nyiakan harapanmu"

Ketika ucapan tersebut diucapkan, Put Gho cu mungkin sudah berada setengah li jauhnya dari tempat tersebut.

Setelah Put Gho cu pergi, Suma Thian yu gera memungut pedang Kit hong kiam milik paman Wan yang tergeletak di tanah, lalu sambi1 memandang ujung pedang, itu gumannya:

"Paman, kau orang tua tak akan pernah mati, Thian yu pasti akan mempergunakan pedang ini untuk membangun kembali nama besar serta kegagahan kau orang tua seperti dimasa lalu.

"Paman, sekalipun dunia persilatan amat berbahaya dan penuh dengan siasat, Thian yu juga akan menelusurinya demi membalaskan dendam bagi sakit hatimu.

"Beristirahatlah dengan tenang paman, berbaringlah disini dengan segala kedamaian, tak usah kuatir, tiada sesuatu yang ber harga untuk kau orang tua pikirkan, tak lama kemudian di dalam dunia persilatan akan muncul kembali seorang Kit hong kiam kek (jago pedang angin puyuh), dialah Thian yu, juga merupakan duplikat dari kau orang tua!"

Sambil berkata dia mendongakkan kepalanya memandang awan tebal di angkasa, awan yang melayang jauh di udara dan tak mungkin bisa diraba seperti juga meraba impian.

Suasana disekeliling tempat itu serasa begitu, seakan-akan keadaan pun turut berduka cita atas meninggalnya pendekar besar itu. Mungkin gempa bumi yang terjadi tadi merupakan pertanda datangnya nasib buruk paman? Kalau memang begitu, ooh... betapa agungnya paman"

"Yaa, paman memang seorang yang agung” gumam Suma thian yu dengan suara lirih.

Kemudian ia mempergunakan pedangnya untuk menggali liang dan membaringkan jerazah Kit hong kiam kek kedalam liang tersebut, tak selang beberapa saat kemudian disitu telah bertambah dengan sebuah kuburan baru, seorang pendekar besarpun beristirahat untuk selamanya disana, yaa untuk selama-lamanya...

Dengan termangu Suma thian yu memperhatikan kuburan tersebut, tanpa bicara, sorot matanya kaku dan tak bersinar, tanpa berkedip memandang keatas pusara, sementara titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.

Ia tak perlu berkat apa-apa lagi, tiada orang yang mendengarkan suaranya lagi.

Dia berdoa, diam-diam dan secara bersungguh-sungguh...

Pikirannya amat kalut seakan dia jauh dari dunia ini, jauh dari mmasyarakat tanpa sanak, tanpa keluarga, yang ada hanya keheningan bukit yang mencekam seluruh jagad.

Lama...lama sekali...akhirnya dia bangkit berdiri, baru saja akan membalikan badan, tiba-tiba....

Dua sosok bayangan manusia entah sendiri kapan telah berdiri dibelakangnya, mereka datang tanpa suara berdiri disitu tanpa bergerak membuat Suma thian yu benar-benar merasa terperanjat sekali.

Padahal dengan kepandaian silat yang miliki sekarang, secarik daun yang jatuh dari jarak sepuluh kakipun dapat didengar olehnya dengan jelas, tapi mengapa dia tak mendengar apa-apa akan kehadiran kedua orang itu? Setelah menenangkan hatinya, Suma thian yu baru memperhatikan kedua orang itu dengan seksama, mereka berdua adalah kakek berusia kira-kira lima puluh tahun yang berwajah serupa, kedua-duanya mengenakan jubah panjang hitam.

Waktu itu, kedua orang kakek tersebutpun sedang mengawasi Suma Thian-yu tanpa berkedip, mereka hanya berdiri mematung disana tanpa bergerak barang sedikitpun juga.

Satu-satunya perbedaan yang terdapat pada kedua orana kakek itu adalah diatas pipi sebelah kiridari kakek yang ada disebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat sebesar kacang kedelai.

Bila dilihat dari raut wajah kedua orang ini, tampaknya bukan termasuk orang jahat, agak lega juga Suma Thian yu menjumpai hal ini.

Buru buru dia menjura seraya menegur:

"Entah ada urusan apa cianpwee berdua datang kemari?" Kedua orang Kakek itu tidak menjawab, hanya senyuman hambar menghiasi bibirnya', mereka tidak bersuara pun tidak

bergerak.

Suma Thian yu lantas mengira kedua orang itu kalau bukan bisu tentu tuli, maka dengan suara yang lebih keras serunya:

"Entah ada urusan apa cianpwe berdua ”

Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar kakek bertahi lalat hitam disebelah kanani itu menukas dengan suara lembut.

"Kau tak usah bertanya lagi, aku sudah tahu kuburan siapakah itu "

Sambil berkata ia lautas menuding ke arah gundukan tanah baru di belakang Suma Thian yu. Suma Thian yu tidak kenal dengan kedua, orang kakek itu, mendengar mereka berdua langsung menanyakan soal kuburan pamannya begitu bertemu, dikiranya kedua orang ini ada sangkut pautnya dengan orang jahat pembunuh pamannya, kontan saja amarahnya berkobar.

"Ada kepentingan apa kau menanyakan tentang persoalan ini?" bentaknya kemudian.

Dua orang kakek itu tidak menjadi gusar lantaran peristiwa tersebut, malah justru tertawa bodoh.

Dengan suara yang tenang dan halus kakek bertahi lalat itu segera bertanya lagi:

“Yang berada didalam sana tentunya orang mati bukan?

Siapakah orang mati itu?”

Geli dan mendongkol Suma thian yu dihadapkan pertanyaan bloon semacam itu, dengan cepat dia berpikir:

"Aaah, jangan-jangan kedua orang ini cuma orang bodoh? karena berpendapat demikian maka tanpa terasa anmarahnya menjadi reda, dengan suara lembut ia menyahut:

“Orang mati siapakah yang berada disitu, tak usah kalian urus, aku rasa andaikata kalian mempunyai urusan penting lainnya, lebih baik cepatlah tinggalkan tempat ini"

Mendengar ucapan mana, kedu orang kakek itu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, suaranya keras hingga memantul diseluruh hutan.

Sedemikian kerasnya suara tertawa tersebut akhirnya Suma thian yu merasa tak tahan, dengan suara keras jeritnya:

"Hey, apa yang kau tawakan? Menjemukan"

Dua orang kakek itu menghentikan suara tertawanya kemudian memandang bodoh ke arah Suma Thia yu, setelah itu katanya:

"Bocah muda, masih kecil sudah berangasan sekali, lain kali pasti sukar mendapat bini!”

Selesai berkata, lagi lagi mereka tertawa terbahak-bahak. 

Pada hakekatnya Suma Thian yu dibikin kebingungan setengah mati oleh tingkah lakunya kedua orang itu. coba kalau Kedua orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya, niscaya dia sudah memburu kedepan untuk menghajar mereka berdua.

“Hmm, rupanya kaliau berdua ada maksud untuk  memperolok orang? Apa yang lucu? Kalau ada orang mati seharusnya turut berduka cita. masa kalian malah tertawa tergeletak di depan kuburan seseorang yang baru saja mati..."

Teguran dari Suma Thian yu ini amat keras tapi tidak pantas untuk dipakai menegur orang yang berusia lanjut, semestinya, dua orang Kakek itu akan mencak-mencak kegusaran setelah mendengar teguran itu, siapa tahu apa yang kemudian terjadi justru merupakan kebalikannya.

Terdengar kakek bertahi lalat disebelah kanan itu segera berkata:

“Perkataan bocah ini benar juga, kita memang seharusnya bersedih hati, hei hiante, mari kita bersedih hati!"

Begitu selesai berkata, ternyata ia benar-benar menangis tersedu sedu, disusul kemudian oleh kakek yang ada disebelah kirinya. Dalam waktu singkat, isak tangis mereda telah menyelimuti seluruh angkasa.

Menyaksikan dua  orang kakek sinting yang sebentar tertawa sebentar menangis ini, suma thian yu menggelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela nafas panjang:

“Cukup, cukup.. . tangisan kalian berdua sudah cukup, asal..." cegahnya dengan cepat.

Dua orang kakek itu segera berhenti menangis, seperti merasa sayang sekali dengan butiran air matanya, begitu berhenti menangis, air mata merekapun berhenti mengalir. “Nah bocah cilik" kata kakek bertahi lalat itu kemudian, "permintaanmu telah kulakukan dengan baik, sekarang gantian kami bersaudara yang ingin memohon kepadamu"

Tingkah laku yang kocak dan tata bahasa kedua orang kakek yang halus segera mendatangkan perasaan simpatik dalam hati Suma Thian yu, maka diapun segera mengangguk.

"Baiklah, asal bisa kulakukan pasti akan ku lakukan, katakanlah terus terang"

"Nah begitu baru anak pintar, kakek bertahi lalat itu tertawa, "sekarang aku hendak bertanya dulu, kau tinggal dimana?"

"Buat apa kau menanyakan tentang soal ini!”

"Tak usah kaugubris, jawab saja pertanyaan ku itu!” "Maaf, sebelum kuketahui asal usul kalian berdua yang

sebenarnya, jangan harap bisa mendapat jawaban dariku" "Wah, itu tak benar namanya" desak kakek bertahi lalat

dengan cepat, "bukankah kau sendiri yang telah berjanji akan melakukan permintaanku, jangan kuatir, kami berdua bukan penjahat"

Suma thian yu segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Siapa yang akan mempercayai ucapanmu? Kalau di lihat dari cara kalian yang datang secara sembunyi-sembunyi saja sudah diketahui kalau kamu berdua agak tidak beres, masa aku tidak boleh curiga?"

Mendengar perkataan itu, si kakek bertahi lalat tersebut segera manggut-manggut memuji, sambungnya cepat:

"Baiklah, kubatalkan pertanyaanku ini dan sekarang jawab saja kepada kami siapakah orang yang telah tiada ini?"

"Maaf, pertanyaan inipun tak dapat  kujawab" "Waah... aneh betul kau ini. kalau tidak ingin berterus

terang katakan saja secara blak-blakan. Hei, bocah cilik, sebenarnya apakah maksudmu?” "Tidak karena apa apa, hanya sepatah kata bisa kujawab, aku tidak memahami maksud tujuan kalian berdua.”

Kakek bertahi lalat itu segera garuk-garuk kepala yang tak gatal, lalu sambil berpaling ke arah kakek yang lain, dia berseru:

"Hiante, lebih baik kita jangan mencampuri urusan lagi, mari kita pulang saja dan tidur"

Kakek kedua ini macam orang bisu saja, sejak muncul sampai sekarang ia tak berbicara sepatah katapun, kakaknya menangis, diapun menangis, kakaknya tertawa, diapun tertawa, sekarang kakaknya hendak pergi ternyata dia pun benar-benar membalikkan badan dan pergi semua tingkah lakunya sungguh tidak habis di-mengerti.

Yaa, manusia aneh! Kedua orang itu betul-betul aneh, meski dalam dunia terdapat banyak urusan aneh, namun belum pernah di jumpai manusia seaneh kedua orang ini.

Sebelum pergi, kakek bertani lalat ini sempat berpaling dan tertawa bodoh kepada Suma Thian yu seraya berkata:

"Hei bocah, sekalipun kau tidak bilang aku juga tahu, kami berbuat begini tak lain Cuma ingin mengetahui apakah kau bisa tutup mulut memegang rahasia atau tidak, padahal suhumu itu sudah memberitahukan semuanya ini kepadaku, setelah berjumpa hari ini, hah ... haah.... ternyata apa yang dikatakan memang tidak bohong!”

Berbicara sampai disini, dia lantas bersama adiknya berjalan seenaknya menuju ke hutan.

Waktu itu suma thian yu tak sempat berpikir untuk memberitahu asal usul kedua kakek tersebut karena pertama dia sedang sedih, kedua diapun sudah dibikin pusing oleh ulah kedua kakek kembar itu.

Tapi setelah mendengar perkataan terakhir si kakek bertahi lalat, hatinya kontan bergetar keras, pikirnya cepat.

“Heran, darimana ia bisa kenal dengan suhuku?" 

Baru saja ingatan tersebut meiintas dalam benaknya, satu ingatan lain secepat kilat telah melintas dalam benaknya, dengan suara lantang segera bentaknya.

"Cianpwee berdua, harap tunggu sebentar"

Waktu itu, kedua orang kakek kembar tersebut telah tiba ditepi hutan, mendadak mereka berhenti, kemudian sambil membalikkan ba-dan, satu dari kiri yang lain dari kanan mereka bersama-sama berjalan balik, sementara senyuman bloon masih menghiasi bibirnya.

Dengan seksama Suma Thian yu segera mengamati wajah kedua orang kakek itu begitu merasa dugaannya tak meleset dan tahu kalau mereka adalah tokoh persilatan yang pernah disingung suhunya, diam-diam ia menyesali dirinya yang bermata tak berbiji hingga hampir saja menyia nyiakan suatu kesempatan bagus.

Buru-buru dia berlutut ketanah, lalu berseru. "Locianpwee berdua, harap kalian suka memaafkan Thian

yu yang punya mata tak berbiji sehingga berbuat kurang ajar kepada kalian, atas kesalahanku tadi, mohon cianpwee berdua sudi memaafkan"

Hiiii hiiii hiiii... kau hilang apa bocah cilik?" kakek hertahi lalat itu tertawa terkekeh-kekeh, apa itu cianpwe? Aku tidak mengerti, siapa sih cianpwe mu itu?”

Suma Thian yu tahu kalau manusia aneh semacam mereka adalah manusia manusia yang tak suka akan segala adat istiadat dan tata cara yang menjemukan, meski demikian, sebagai searang angkatan muda, ia tidak ingin bersikap kurang hormat, maka ia bertanya dengan hormat:

“Benarkah Locianpwe berdua adalah... "

Kakek bertahi lalat itu segera menggoyangkan tangannya berulang kali mencegah dia berbicara lebih jauh, ujarnya: "Bukan, bukan, apakah hanya di karenakan persoalan ini saja kau undang kami kemari?"

Belum habis dia berkata, si kakek disebelah kiri yang bersikap macam orang bisu itu sudah menepuk bahu rekannya, kemudian menuding ke luar hutan, anehnya dia tetap membungkam dalam seribu bahasa.

Si Kakek bertahi lalat itu segera berpaling dan tertawa, sahutnya tak sabar:

"Sudah tahu adikku, kawanan anjing cilik itu belum pergi bukan? baik, mari kita pergi!"

Kepada Suma Thian yu lanjutnya:

“Hei bocah, kita jumpa lagi malam nanti!"

Nadanya amat terburu-buru seperti sudah tidak sabar untuk menunggu suatu persoalan sehingga begitu selesai

berkata, buru-buru dia sudah membalikkan badan dan berlalu dari situ.

Tapi kasihan sekali, langkahnya justeru sedemikian lambannya hingga selangkah demi selangkah persis seperti langkah seorang nenek berusia delapan puluh tahunan.

Tapi anehnya, gerakan tubuh yang nampak sangat lamban itu justru cepat sekali bagaikan sambaran kilat, hanya didalam sekejap mata saja ia sudah lenyap dari pandangan sianak muda itu.

Memandang arah lenyapnya bayangan tubuh kedua orang itu, Suma Thiau yu menggelengkankepalanya berulang kali sambil bergumam:

"Manusia aneh, benar-benar manusia aneh!”

Malam kembali menyelimuti seluruh angkasa dan meninggalkan keheningan yang luar biasa, terutama sekali ditengah pegunungan yang jauh dari keramaian manusia.

Bukit Kiu gi san kembali diliputi oleh keheringan yang mati, seram dan menggidikkan hati. 

Suma Thian yu masih ingat dengan ucapan yang diutarakan kedua orang manusia aneh itu menjelang kepergiannya tadi, maka dia telah menelusuri seluruh bukit, semak belukar, sejak kentongan pertama sampai tengah malam, tapi ia gagal menemukan jejak dari kedua orang manusia aneh tersebut.

Ia sangat gelisah, tapi tak bisa menyalahkan kepada pemuda ini, bagaimana tidak?

Sewaktu akan pergi meninggalkannya tadi kedua orang manusia aneh itu hanya mengatakan "kita jumpa lagi malam nanti”, tanpa menerang kan waktunya, maupun tempat pertemuan, pada hal bukit Kiu gi san begitu besar, kemana dia harus pergi mencarinya?

Manusia aneh memang selalu berwatak aneh, bila ia tak ingin berjumpa denganmu, meski kau jelajahi seluruh bukit juga tak akan menemukan nya, sebaliknya bila ia ingin bertemu dengan dirimu, sekalipun kau kabur keujung langit, dia tetap akan muncul juga dihadapanmu.

Justru karena alasan inilah, akibatnya Suma Ghian yu mesti lari semalaman suntuk tanpa hasil, meski badan sudah basah kuyup namun hasilnya tetap nihil.

Akhirnya dengan kecewa dia duduk dibawah sebatang pohon siong sambil bergumam:

“Aaii, tampaknya aku tertipu, tahu begini aku tak akan kemari untuk dihembus angin barat laut sambil menahan kedinginannya."

Sambil mengomel dia mengambil sebutir batu kecil dari atas tanah, lalu ditimpuk secara gemas kedalam hutan sana.

"Sialan, aku tak akan mencari lagi, anggap saja aku sedang sial!" omelnya lagi.

Batu yang ditimpuk kedalam hutan bagaikan tenggelam ke dasar samudera saja, hilang lenyap dengan begitu saja, kemudian disusul suara seorang bergema dari balik hutan: "Aduuuh .... sialan, manusia kurang ajar darimana yang tak punya mata, apakah tidak tahu kalau dalam hutan ada orangnya? Aduuh biyung ... sakit betul kepalaku!"

Suma Thian yu terperanjat sekali setelah mendengar perkataan itu, buru-buru dia melejit ke udara dan melesat ke dalam hutan.

Dari situ ia saksikan ada dua orang kakek sedang keluar bersama dari balik pepohonan.

Dan begitu mengetahui siapakah kedua kakek itu, Suma Tnian yu bersorak kegirangan :

“Ohh cianpwee, rupanya kau?"

Dari balik hutan berjalan keluar sepasang kakek berbaju hitam,

dengan pandangan kebodoh-bodohan mereka sedang mengawasi wajah Suma Thian yu tanpa berkedip, kemudian terdengar kakek bertahi lalat itu mengomel:

"Hei bocah, rupanya kau sudah tak sabar untuk menanti sejenak lagi? Anak muda sudah tak bisa bersabar, ketemu orang memanggil cian pwe, cianpwe melulu, sungguh menjemukan"

Tertebak jitu isi hatinya, merah padam selembar wajah Suma Thian yu karena jengah, sungguh menyesal hatinya.

Lama kemudian ia baru berkata agak tergagap.

"Entah ada persoalan apakah cianpwee menyuruh Thian yu datang kemari?”

"Siapa yang suruh kau kemari?" bentak kakek bertahi lalat itu, "anak muda tidak belajar baik, justru senang berbohong, aku toh hanya mengatakan akan bertemu lagi entar malam, siapa yang menyuruh kau kemari?"

Sekali lagi paras muka Suma Thian yu berubah jadi merah padam sesudah mendengar teguran itu, ia tersipu-sipu hingga tak bisa menjawab, sedangkan didalam hati pikirnya: "Wu san sian gi siu (Sepasang kakek tolol dari bukit Wu   san) betul-betul terhitung manusia paling aneh didunia ini, coba kalau suhu tidak berpesan agar menahan sabar terhadap manusia semacam ini, aku benar-benar segan untuk  berurusan dengan mereka!"

Baru saja dia berpikir sampai disitu, mendadak kakek bertahi lalat itu telah membentak gusar:

"Bocah, kau jangan memikirkan akal busuk dalam hatimu, kesabaran dapat menghindari segala malapetaka, kau tahu hal ini bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan!

Bila kau tak memiliki kesabaran tersebut, lebih baik cepatlah tinggalkan tempat ini!”

Suma Thian yu merasa amat terperanjat, segera pikirnya: "Sungguh lihay, jangan jangan diatas mukaku tertera

tulisan besar? Kalau tidak, mengapa ia dapat menebak suara hatiku secara jitu?"

Berpikir sampai disitu, buru-buru dia berkata:

“Boanpwe tidak berani."

Menyaksikan tampang pemuda yang macam monyet kepanasan itu, kakek bertahi lalat tersebut segera tertawa lebar.

"Haah...haaah.... kalau bicara tidak sejujurnya, si bocah tidak bisa diajar, hiante mari kita pergi saja!"

Selesai berkata kedua orang itu segera membalikkan badan siap pergi meninggalkan tempat itu.

Suma Thian yu menjadi amat gelisah setelah menyaksikan peristiwa tersebut, buru-buru dia maju beberapa tindak kedepan menghadang dihadapan kedua kakek tersebut, kemudian sambil menjatuhkan diri berlutut katanya:

"Locianpwe, jangan pergi dulu, boanpwe masih ada urusan hendak dilaporkan”

Kakek bertahi lalat itu segera membalikan badannya sambil melototkan matanya besar-besar, serunya dengan gusar. "Huuh..... dasar bertulang lunak, maunya belajar merangkak macam anjing budukan. Hmm.. Seorang lelaki sejati tak akan sembarangan berlutut!”

Mendengar ucapan tersebut, tidak menunggu lebih lama lagi Suma Thian yu segera melompat bangun, kemudian dengan wajah serius.

Diam-diam kakek bertahi lalat itu mangut-manggutlalu berpaling dan memandang adiknya yang berada disamping, tampak kakek itu pun turut manggut-manggut .

Seolah-olah telah mendapat ijin, kakek itu berpaling kembali kearah Suma thian yu sambil katanya:

"Hei bocah, apa tujuanmu memohon sesuatu kepada lohu?"

Agak tertegun Suma Thian yu mendapat pertanyaan tersebut untuk sesaat lamarya dia tak sanggup menjawab.

"Yaa, benar! Karena apakah aku memohon kepadanya?"

“Tiada suatu permintaan bukan?” kakek bertahi lalat itu tersenyum, “bagus sekali! Tapi lohu menyuruh kau menghadap justru karena aku hendak memohon sesuatu kepadamu”

“Selama boanpwe sanggup untuk melaksanakannya, pasti akan kulaksanakan dengan sebaik-baiknya”

Dia mengira kakek itu hendak menanyakan kembali persoalan yang menyangkut diri paman Wan, dulu ia belum memahami asal usul kakek ini, maka rahasia tidak dibocorkan, tapi sekarang, setelah tahu kalau kakek ini adalah seorang pendekar sejati yang berilmu tinggi, ia lantas berpendapat bahwa tiada pentingnya untuk merahasiakan hal tersebut.

Maka dia telah bersiap-siap, jika seandainya kakek itu bertanya kembali tentang paman Wan maka diapun akan menjawab dengan sejujur nya.

Kakek bertahi lalat itu segera berseri wajahnya. Sungguh?" dia berseru, "ahaa .. . kalau begitu tak salah lagi pilihanku, aku tahu dengan bakat serta kecerdasanmu, sudah pasti tak akan muncul persoalan apa-apa"

Dari dalam sakunya dia lantas mengeluarkan secarik kertas yang telah berwarna kuning lantas diserahkan kepada Suma thian yu sambil katanya berseru menjawab.

"Dalam tiga hari, kau mesti memahami isi tulisan yang tertera diatas kertas ini, kalau tidak jangan harap bisa meninggalkan bukit kiu gi san barang setengah langkahpun."

Suma Thian yu menerima kertas kuning itu dan memperhatikannya sekejap, mendadak ia berseru dengan wajah tercengang.

“Kertas ini "

“Kertas ini berisikan ranasia ilmu silat yang maha sakti, bukankah kau gila silat?Kertas ini kutemukan beberapa hari berselang diatas bukit ini, sayang lohu tak becus dan tak sanggup memahami rahasia dari kepandaian silat tersebut, maka sekarang kuberitahukan kepada mu agar dalam tiga hari harus bisa menyelesaikan apa yang lohu perintahkan, beranikah kau untuk mencobanya?"

Setelah termenung sejenak, akhirnya dia berkata.

“Boanpwe bersedia untuk mencoba, tapi aku tidak mempunyai keyakinan untuk pasti berhasil”

“Tidak bisa!” teriak kakek bertahi lalat ini dengan gusar, “tanpa suatu keyakinan, pekerjaan apapun tidak akan berhasil dilaksanakan, bisa juga mesti dkerjakan, tidak bisa juga mesti dilakukan, pokoknya kau tak boleh putus asa, tak boleh berhenti ditengah jalan, mengerti?”

Ucapan tersebut dengan cepat menimbulkan perasaan anti pati dalam hati Suma thian yu, dia merasa kakek ini terlalu berlagak, memaksa orang lain untuk menuruti kemauannya sehingga menimbulkan perasaan jemu bagi yang mendengarkan. Setelah termenung sejenak, akhirnya ia berkata: "Pentingkah kertas ini bagimu? Seandainya boanpwe tidak

bersedia atau tidak bisa, apa pula yang bisa kau lakukan?" “Tidak mau harus mau, tidak bisa harus bisa, tiga hari kemudian kita berdua akan kembali” sahut si kakek bertahi

lalat sambil menarik wajahnya.

Dia segera melemparkan kertas itu kehadapan Suma Thian yu, kemudian sambil membalikkan badannya bagaikan hembusan angin meluncur masuk ke dalam hitan, sekejap kemudian bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan.

Suma Thian yu ingin menghalangi kepergian mereka, tapi terlambat, akhirnya sambil gelengkan kepalanya dia menghela napas panjang.

"Aaaai.... dasar orang aneh tetap orang aneh masa

memaksa orang untuk melakukan pekerjaan yang tak ingin dilakukan olehnya?"

Diambilnya kertas itu dan diperiksnya dengan seksama, kemudian dibalik dan diteliti bagian yang lain, namun itu segera berdiri tertegun. Kitab pusaka apakah itu? Ternyata kertas itu kosong melompong sama sekali tak ada isinya baik cuma satu huruf maupun sebuah garispun.

Dengan gemas dia lantas menyumpah:

"Sialan, lagi-lagi aku tertipu, aaai.... Wu san siang gi memang manusia manusia yang gemar menggoda orang,  baik! Tiga hari kemudian, bila aku tidak merobek-robek kertas itu di hadapan mereka, aku tak akan bernama Suma Thian yu!"

Sambil berkata diapun masukkan kertas itu ke dalam sakunya, suatu perasaan sedih karena dipermainkan orang segera menyelimuti perasaannya, dia ingin menangis, ingin menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan keluar semua kekesalan yang mencekam perasaannya. Ia mendongakkan kepalanya memandang bintang yang bertaburan di angkasa, lalu memandang sungai dan daratan rendah dibawah bukit, pemuda itu merasa ia tak boleh tinggal dalam bukit terus menerus, sebagai seorang lelaki, ia harus berkelana ke mana-mana, harus mencari pengaman dan memperjuangkan suatu karya yang besar bagi sejarah hidupnya.

Apalagi dendam orang tuanya yang belum dibalas, sakit hati paman Wan juga belum di tuntut....

"Aku harus pergi!"

Lama kemudian ia baru mengucapkan kata-kata tersebut.

Tapi dengan cepat ia teringat kembali kalau janji pertemuannya tiga hari mendatang belum dipenuni, entah baeaimana pun, janji tetap janji, ia tak ingin mengingkar janji, dia ingin menuntut suatu keadilan dari orang yang telah mempermainkan dirinya, Wu san sian gi.

Sepasang manusia bodoh dari bukit Wu san merupakan sepasang pendekar yang bernama besar dalam dunia persilatan, mereka berdua adalah saudara sekandung.

Kakek bertahi lalat adalah kakaknya Ma Khong Sian dengan julukan Tay gi siu (kakek bodoh pertama), sedangkan adiknya ji gi siu (kakek bodoh kedua) Khoug Bong, jangan dilihat dia seperti orang bisu, sesungguhnya kakek ini merupakan seorang jago pendebat yang pandai sekali bersilat lidah.

Usia Wa san siang gi telah mencapai enam puluh tahun, sepanjang hidupnya mereka selalu berjiwa pendekar, menolong kaum yang lemah dan membabat kaum alim, nama besarnya sudah termasyur diseluruh dunia persilatan.

Sejak terjun ke arena persilatan, kedua orang ini selalu muncul bersama, bahkan lagaknya macam orang bloon, padahal Toa gi siu Khong Sian yang berlagak bodoh adalah seorang yang amat cerdas, sedang Ji gi siu Khong Bong yang berlagak macam orang bisu adalah seorang pendebat yang pandai bersilat lidah.

Sekalipun demikian, mereka gemar berlagak seperti orang bloon, bahkan sewaktu berada di hadapan Suma Thian yu, gerak gerik mereka macam orang yang terkena oleh sebuah penyakit ingatan.

Berapa hari berselang, ketika kedua orang kakek itu sedang berpesiar di lembah Ong im kok di bukit Kiu gi san, tanpa sengaja mereka telah menemukan kertas kulit itu, sebagai manusia yang berpengalaman luas, dalam sekilas pandangan saja mereka sudah tahu kalau kertas kulit ini bukan benda sembarangan.

Mereka tahu kalau kertas kulit itu bukan berisikan ilmu silat maha sakti peninggalan dari seorang tokoh silat dimasa lampau, tentulah secarik peta rahasia yang berisikan harta karun, maka kertas itupun segera disimpan kedalam saku.

Dengan watak Wu san siang gi yang tawar terhadap nama serta keuntungan meterial, penemuan tersebut tidak dianggap kelewat serius, mau ilmu silat juga boleh, barang mestika juga boleh, mereka berdua sama-sama merasa tidak tertarik.

Mereka berpendapat tujuan belajar silat adalah untuk menyehatkan badan dan menjauhkan diri dari segala macam penyakit, bukan bertujuan untuk mencari nama atau kedudukan, harta kekayaan pun dipakai untuk menolong kaum miskin, bukan uniuk mencari keuntungan bagi kepentingan sendiri.

Oleh karena itu, mereka berdua berhasrat untuk mencari seseorang yang dapat dipercaya dan menghadiahkan kertas kulit yang ditemukan itu kepadanya, dari pada membiarkanya hingga terjatuh ketangan kaum sesat dan menimbulkan kerugian bagi umat persilatan. 

Karena itulah mereka lantas mencari Suma thian yu yang jujur dan dapat dipercaya dan menyerahkan kertas itu kepadanya untuk dise lidiki. Dengan tanpa tujuan Suma thian yu berjalan kesana kemari diatas bukit Kui gi san, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya sampai pikirannya belum dapat juga menjadi tenang kembali.

Bagaimanapun juga dia adalah seorang bocah yang berusia enam belas tahun, lagi pula tak pernah terjun kedunia persilatan, padahal begitu luas, kemanakah dia harus pergi sekarang?

Mendadak terdengar suara benturan nyaring, “Plaak” entah dari mana datangnya segulung kertas, ternyata dengan tepat menghantam diatas kakinya.

Suma thian yu merasa amat terkejut cepat-cepat dipungutnya kertas itu dan diperiksa isinya.

Terbaca diatas kertas itu terasa beberapa huruf yang berbunyi demikian:

“Hati yang tenteram dapat menjernihkan pikiran, Pikiran yang jernih dapat menemukan kesimpulan, batas waktu tiga hari akan berlalu dengan singkat, harap pergunakan setiap detik sebaik-baiknya.”

Dibawah surat itu tidak dicantumkan tangan, tapi dalam sekilas pandang saja, Suma thian yu mengetahui kalau surat itu ditulis oleh Wu san siang gi, itu berarti kemurungan serta kegelisahan yang mencekam perasaanya semalam diketahui semua oleh kedua orang kakek tersebut.

Atau dengan perkataan lain, kedua orang kakek itu tentu berada disekeliling sana sambil mengawasi gerak-geriknya setiap saat.

Berpikir sampai disitu, peluh dingin segera membasahi badannya, karena ngeri buru-buru teriaknya: “Locianpwe, harap segera menampilkan diri , boanpwe hendak berbicara dengan mu”

Baru selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar suara yang amat lirih berkumandang disisi telinganya.

“Tiada pekerjaan yang sukar didunia, yang penting adalah kemauan. Maksud hatimu dapat lohu mengerti, kau harus tahu tinggi persoalan yang sukar didunia ini, yang penting asal kau ada kemauan dan dan bersedia untuk berjuang, dengan

begitu masalah besar baru dapat tercapai. Jangan kau lihat kertas itu tidak berhuruf, sesungguhnya adalah Bu Khek.”

Pembicaran tersebut dilakukan orang kakek tersebut dari berapa li jauhnya dari tempat itu, demonstrasi ilmu menyampaikan suara yang amat sempurna ini segera membuat Suma Thian yu merasa kagum sekali.

Mendengar kata "Bu khek" yang diutarakan Wu san siang gi, Suma Thian yu yang cerdas tiba-tiba saja teringat dengan perkataan dari gurunya Put Gho cu:

"Bu khek menimbulkan unsur panas dan dingin. Unsur  panas dan dingin atau Tay khek akan menimbulkan Ji gi, akan menimbulkan Sam cay lalu menjadi Bu siu, lalu dari Bu siu menjadi ngo heng, lak hap, jit seng dan akhir nya menjadi pat kwa "

Maka bila mendengar kata Bu khek yang di ucapkan kakek itu, jangan-jangan diatas kertas tanpa kata ini sesungguhnya tersimpan suatu rahasia yang amat besar?

Memikir sampai disini, satu ingatan segera terlintas dalam benaknya, rasa percaya pada diri sendiripun muncul kembali, buru buru dia mengeluarkan kertas itu dan diperiksanya dengan seksama.

selang berapa saat, ia menggelengkan kepala berulang kali sambil menghela napas panjang, gumamnya:

"Wahai Thian yu. .. benarkah kamu begitu bodoh, tak becus, tak punya kemampuan?" Dengan gemas di cengkeramnya kertas itu lalu beranjak pergi meninggalkan tempat itu.

Baru berjalan sepuluh langkah, mendadak dari arah bawah bukit sana berkumandanglah suara pekikkan nyaring yang amat memekikkan telinga, ia tertegun dan segera berpaling kearah sana, tampaklah dua sosok bayangan hitam dengan kecepatan bagai hembusan angin bergerak mendekat.

Sekejap mata berkumandang kembali suara keras bergema tinggi ke angkasa, mendengar pekikan itu Suma Thian yu tertegun, cepat ia mendongakkan kepalanya, tahu-tahu dua sosok bayangan manusia telah muncul dihadapannya.

Menyaksikan kejadian itu, diam-diam Suma Thian yu menggerutu dalam hatinya;

“Sungguh cepat gerakan tubuh orang ini!“

Ingatan tersebut baru lewat, sipendatang tadi telah melayang turun dihadapan mukanya.

Orang yang disebelah kiri adalah seorang kakek berusia  lima puluh tahunan, bermata garang bermulut lebar, bertelinga tikus dan memelihara jenggot hitam yang panjang, dia memakai jubah pendeta dengan sebilah pedang tergantung dipunggungnya, tapi rambutnya yang panjang dibiarkan terurai panjang, sehingga tampangnya amat tak sedap dilihat.

Orang kedua adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahunan, berwajah persegi dengan mata seperti mata elang, hidung membengkak besar, mulut model paruh, berpakaian ringkas dan membawa senjata sepasang martil besar, tampangnya sangat garang.

Begitu sampai disitu, kedua orang iut dengan keempat buah mata bajingannya mengawasi Suma thian yu sekejap lalu mendengus dan segera melanjutkan kembali perjalanannya ke depan. Suma Thian yu menjadi melongo menyaksikan tingkah laku kedua orang yang tak dikenalnya itu, ia tak habis mengerti mengapa kedua orang itu muncul secara tergesa-gesa, berhenti sebentar dihadapan nya, lalu setelah mendengus berlalu pula dengan tergesa-gesa? 

Yang lebih aneh lagi, selama dua hari belakangan ini hampir semua orang yang dijumpainya adalah manusiamanusia persilatan yang serba aneh dan mencengangkan.

Setelah termanggu-manggu berapa saat lamanya, pemuda itu melanjutkan kembali perjalanannya menuruni bukit itu, sembari berjalan benaknya berputar terus memikirkan kertas tanpa kata yang konon berisi ilmu silat lihay itu.

Tak terasa sampailah anak muda itu ditepi sebuah selokan dengan air yang jernih dan deras.

Pikiran yang kusut selama beberapa hari belakangan ini  serta badannya yang penat, membuat pemuda itu murung, amat kusut dan sedih, tanpa terasa ia duduk ditepi sungai dan mengawasi air yang mengalir dengan termangu.

Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh berkumandangnya suara pekikan keras dikejauhan sana.

Dengan perasaan terkejut Suma Thian yu berpaling, dari kejauhan sana ia saksikan dua sosok bayangan manusia sedang meluncur datang dengan kecepatan tinggi.

Tak usah diamati lebih jauh pun ia dapat mengenalinya sebagai dua orang manusia kejam yang pernah dijumpainya tadi.

Begitu sampai disitu, kedua orang manusia buas itu melangkah kedepan menghampiri Suma Thian yu, mereka baru berhenti setibanya satu kaki di depan pemuda tersebut, sementara keempat biji matanya mengawasi terus pedang dipunggung pemuda itu tanpa berkedip. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar