Kemelut Di Cakrabuana Jilid 12

Kalau benar Kandagalante Sunda Sembawa kini menjadi "orang sendiri", padahal dia jelasjelas orang Pajajaran, maka semakin kecut hati Purbajaya. Betapa karena urusan keyakinan sesama kerabat menjadi saling seteru dan saling ingin menjatuhkan. Atau tidakkah karena keadaan seperti ini maka dikipasi dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin cari keuntungan? Purbajaya melihat perbuatan Pangeran Arya Damar dan Raden Yudakara sebagai kelompok yang memperkeruh keadaan karena memiliki ambisi tertentu dari kekeruhan ini.

"Bila kau kusebutkana sebagai anak buahku, maka Ki Sunda Sembawa tak akan ragu-ragu menyambutmu sebab kau akan dianggap sebagai orang sendiri baginya," kata Raden Yudakara membuyarkan lamunan Purbjaya."Kau pasti akan gembira. Setiap kedatangan tamu Ki Sunda Sembawa selalu mengadakan pesta penyambutan. Dia senang foya-foya," sambung pemuda itu sambil tertawa-tawa seolah tengah membayangkan hal yang amat menyenangkan baginya.

Memasuki sebuah kompleks rumah-rumah besar dari kayu berukir dan genting sirap musti melalui pintu jaga dulu. Ada dua orang jagabaya mencegat dan memeriksa. Namun setelah mereka tahu yang datang adalah Raden Yudakara mereka terbungkuk-bungkuk menghormatnya. Dengan tergopoh-gopoh salah seorang dari mereka bahkan mengantarkan Raden Yudakara dan Purbajaya menghadap Ki Sunda Sembawa.

Kediaman Ki Sunda Sembawa adalah bangunan rumah panggung paling besar yang posisinya ada di tengah, dikelilingi bangunan lain yang ukurannya lebih kecil berjumlah empat buah.

Rumah yang berdiri kokoh di tengah ini punya beranda besar. Masih berupa panggung dengan lantai papan kayu jati berwarna coklat kehitam-hitaman dan amat halus serta mengkilap. Raden Yudakara dipersilakan duduk di hamparan alketip beludru buatan Nagri Campa, sementara Purbajaya pun duduk di belakangnya.

"Saya akan sampaikan perihal kedatangan Raden berdua ..." kata penjaga sambil pergi dengan tergopoh-gopoh pula.

Dan Raden Yudakara serta Purbajaya perlu menunggu waktu agak lama pula untuk menerima sambutan tuan rumah.

Ketika pintu kayu berderit terbuka, muncullah Ki Sunda Sembawa. Usianya barangkali sekitar limapuluhan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi namun berpostur tegap dengan kumis melintang tipis di bawah hidungnya yang sedikit mancung.

Yang membuat hati Purbajaya tertarik, Ki Sunda Sembawa datang menyambut tamu sambil menggunakan jenis pakaian yang biasa digunakan oleh bangsawan Istana Pakungwati, Carbon.

Ki Sunda Sembawa memakai pakaian jenis bedahan lima dan kainnya jelas bukan buatan negri sendiri. Purbajaya tahu kalau jenis kain ini sering diturunkan di Pelabuhan Muhara Jati, Carbon, melalui kapal-kapal jung bangsa asing.

Lelaki gagah ini pun menggunakan tutup kepala dari jenis bendo citak dengan ornamen logam warna emas sebagai penghiasnya. Bila ornamen itu bergoyang-goyang, maka ada pantulan cahaya berkeredip dengan amat indahnya.

Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika menerima penghormatan baik dari Raden Yudakara mau pun dari Purbajaya.

"Siapa pemuda tampan ini, Yuda?" tanya pejabat itu menunjuk ke arah Purbajaya. "Dia Purbajaya, anak buah saya ... " jawab Raden Yudakara hormat.
"Datang dari Carbon?" Ki Sunda Sembawa penuh selidik.

"Benar. Tapi masih orang sendiri," jawab lagi Raden Yudakara."Kendati Pajajaran baginya adalah negrinya juga," sambungnya melirik ke arah Purbajaya.

Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis.

"Anak ini punya kekerabatan erat dengan penguasa wilayah Tanjungpura yang lama." Hati Purbajaya tak enak, mengapa seluruh riwayat hidupnya musti diceritakan di sini.
"Bagus. Semua orang yang merasa berhak atas tanah kelahirannya musti merasa memiliki negri ini. Baguslah engkau mau bergabung dengan kami, anak muda ... " kata Ki Sunda Sembawa. Dan lagi-lagi ucapan ini amat membingungkan Purbajaya. Mengapa tak begitu. Tadi Ki Sunda Sembawa menatapnya dengan penuh curiga ketika Raden Yudakara mengenalkan dirinya sebagai orang Carbon. Namun ketika disusul dengan pernyataan tambahan sebagai "orang sendiri" barulah Ki Sunda Sembawa terlihat lega. Ini hanya membuktikan bahwa kendati Raden Yudakara mengabarkan bahwa Ki Sunda Sembawa pun sudah berkiblat ke Carbon, namun musti diperjelas lagi "Carbon yang mana".

Dan lagi-lagi Ki Sunda Sembawa mengerutkan alis manakala dikatakan Purbajaya pun sebagai orang Pajajaran juga. Namun sesudah tahu dari mana Purbajaya "berasal" maka pejabat itu pun kembali lega. Dengan demikian, Purbajaya pun dapat kesimpulan bahwa kendati Ki Sunda Sembawa pejabat Pajajaran, namun nama "Pajajaran" bisa bermacammacam baginya.Ya, amat membingungkan tapi sekaligus juga membuat Purbajaya semakin merasa penasaran. Purbajaya merasa, betapa pemuda bernama Raden Yudakara ini semakin banyak mengandung misteri.

Ki Sunda Sembawa dan Raden Yudakara saling bertutur-sapa namun tidak secuil pun membicarakan hal-hal khusus. Begitu yang mereka lakukan sampai hari menjelang senja. Tapi manakala kembali dari sembahyang magrib, dia mendengar obrolan yang amat menarik perhatiannya.

Purbajaya musti menyelinap dulu di balik pepohonan rimbun sebelum dia bisa menyimak apa yang diobrolkan mereka.

"Apakah Paman sudah menyiapkan segalanya sedemikian rapi?" terdengar pertanyaan Raden Yudakara.

"Aku sudah menempatkan orang-orangku di lingkungan Karaton Pakuan, Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Boleh dikata, satu dari sepuluh pejabat Pakuan adalah orangorangku. Kita sedang melatih pasukan di sini. Namun jumlahnya masih kurang, perlu dibantu pasukan Carbon." Ini adalah jawaban dari Ki Sunda Sembawa.

"Jangan khawatir. Pada saatnya nanti, saya kerahkan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih," jawab Raden Yudakara.

Mendengar jawaban ini, ada elahan napas terdengar. Purbajaya yakin, itu adalah elahan napas Ki Sunda Sembawa.

"Ada apa, Paman?" tanya Raden Yudakara.

"Kau ini membingungkan, Yuda. Katanya pasukan itu kau pengaruhi agar membenci Carbon dan mencintai Pajajaran. Sekarang, bagaimana mungkin mau kau belokkan lagi untuk melawan Pajajaran?" tany Ki Sunda Sembawa.

"Ah, mereka orang-orang dungu yang mudah dihasut. Mereka hanyalah orang-orang yang mendambakan kehidupan masa lalu. Saya memang pengaruhi mereka karena Pajajaran bagi mereka adalah sisa masa lalu. Namun harus diingat, kerinduan mereka sebenarnya hanya kepada ratunya saja, yaitu Nyi Rambut Kasih. Jadi kalau kelak saya katakan bahwa Pajajaran pun tidak pernah membela ketika Sindangkasih digempur Carbon, maka otomatis mereka akan membenci Pajajaran. Mudah, kan?" jawab Raden Yudakara sambil tertawa. Ki Sunda Sembawa pun sama tertawa. "Hanya yang saya masih kesal," sambung Raden Yudakara,"Tindakan Pangeran Suwarga sebagaiManggala atauHulu-jurit (panglima perang) Nagri Carbon bertele-tele. Kendati sudah saya hembuskan bahwa Pasukan Siluman Siluman Nyi Rambut Kasih yang mengacau Sumedang dan Talaga kekuatannya dipasok dari Pajajaran, namun pejabat pikun dan kurang tenaga itu tetap tak mau mengerahkan kekuatannya untuk menyerang Pajajaran. Ini tentu menjengkelkan. Sebab bila pasukan resmi Carbon tetap tak mau menyerbu Pakuan, maka hanya punya arti bahwa kita bekerja sendirian," kata Raden Yudakara.

"Hm ... Bila benar begitu, maka tugas kita menjadi berat dalam menghimpun jumlah pasukan. Beruntung ada Ki Banaspati yang membantu," kata Ki Sunda Sembawa.

"Ki Bnaspati, siapakah dia?" suara Raden Yudakara bernada heran.

"Dia adalah pembantu dekat Bangsawan Soka, pejabatmuhara (pejabat urusan pajak) untuk wilayah timur Pajajaran."

"Apakah dia pun orang sendiri?"

"Lebih dari itu sebab bahkan aku pun memiliki ide dan rasa semangat dalam mengambil hak di Pajajaran karena dia juga. Betapa dia tak henti-hentinya memberikan pengertian kalau aku sebenarnya paling berhak dalam menerima warisan kekuasaan negri ini. Kalau aku mau mengambil apa yang sudah jadi hakku, maka dia bersedia membantu apa saja. Katanya, sebagai petugas muhara, maka segala kekuatan dana sebenarnya ada padanya. Ini amat menguntungkan bagi kita," kata Ki Sunda Sembawa dengan nada ceria.

Hanya saja ucapan gembira ini tak ditanggapi oleh suara Raden Yudakara. Kalau pemuda itu berperilaku begini, maka Purbajaya hapal, Raden Yudakara pasti tak berkenan mendengar pernyataan Ki Sunda Sembawa ini.

Purbajaya tak bisa lama-lama sembunyi di rumpun dedaunan. Dan bila dia tak mau dicuriga, maka Purbajaya harus segera bergabung kembali dengan mereka.

Ketika Purbajaya muncul, maka obrolan penting pun selesai. Amat memberikan kesan bahwa obrolan barusan bersifat rahasia.

"Kalian lelah tentu harus beristirahat dengan nyaman dan penuh kegembiraan di sini," kata Ki Sunda Sembawa sambil kemudian berteriak menyuruh para pembantunya datang ke tempat itu.

Maka tak berapa lama kemudian, dua orang pelayan, dua-duanya wanita muda usia dan berwajah cantik datang mendekat dan dengan amat hormatnya duduk bersimpuh.

"Hari ini kita kedatangan tamu penting, lekas sampaikan pada yang lain agar nanti malam menyiapkan segala sesuatunya dibale-kambang (bangunan panggung tempat bersantai terletak mengambang di tengah kolam). Amah, datangkanjuru-kawih (akhli menembang) yang terbaik ke tempat kita," kata Ki Sunda Sembawa memerintah.

Pelayan yang muda-muda dan ranum-ranum itu segera mengundurkan diri. "Kalian harus percaya, betapa gadis Sagaraherang molek-molek," kata Ki Sunda Sembawa tertawa renyah ketika dilihatnya mata Radwen Yudakara tak pernah lepas menatap kedua orang pelayan itu.

Dengan tak malu-malu, Raden Yudakara tertawa ceria dengan mata berbinar-binar karena senangnya. Sepertinya dia tahu kalau dirinya dijanjikan sesuatu yang amat didambakan hatinya oleh tuan rumah.

Dan benar saja, sesudah Purbajaya sembahyang isya, dia diundang menghadiri acara pesta di bale kambang.

Sebetulnya Purbajaya tak mau bergabung dengan mereka. Lagi pula badannya terasa lelah karena perjalanan tiada henti dari wilayah Sumedanglarang. Namun Purbajaya pun merasa tak enak bila menolak ajakan ini, padahal sudah jelas, pesta diadakan hanaya karena menyambut kedatangan mereka berdua semata. Hanya yang membuat Purbajaya waswas, karena penguasa wilayah ini "menjanjikan" wanita cantik.

Pesta apakah ini sehingga Ki Sunda Sembawa perlu bicara soal wanita cantik?

Namun diputuskan juga untuk beranjak dari kamarnya. Purbajaya diantar oleh seorang prajurit yang berbekal pelita minyak kelapa.

Bale kambang terletak agak terpisah dari semua bangunan. Letaknya pun agak berada di bagian bawah.

Ketika Purbajaya dipandu menuruni trap tanah berbalay kerikil, bangunan bale kambang sudah terlihat jelas karena di dalam ruangan terbuka dan hanya diberi atap ijuk ini terlihat cahaya benderang karena pelita dipasang di berbagai sudut dan jumlahnya cukup banyak. Ada lantera besar dipasang tergantung di tengah ruangan. Cahayanya amat menerangi ruangan  bale kambang.

Ketika Purbajaya masuk, di sana sudah banyak orang, pria dan wanita duduk bercampur-baur tak ada batas tertentu. Hampir semuanya larut dalam kegembiraan., padahal sepertinya acara belum dimulai kalau yang dimaksud di sini adalah pesta penyelenggaraan pertunjukan kesenian seperti apa yang dikatakan Ki Sunda Sembawa tadi sore.

Ki Sunda Sembawa pun sudah nampak larut dalam kegembiraan. Dia bersila di tengah dan dikelilingi beberapa orang gadis cantik dan masih berusia muda-muda pula. Dua gadis yang duduk menghimpitnya dari kiri dan kanan, terkekeh-kekeh genit dan menggeliat-geliat kegelian dalam duduknya karena tangan-tangan Ki Sunda Sembawa ngelayap ke sana ke mari. Sementara dua orang gadis lainnya sibuk memijiti bagian-bagian tubuh pejabat itu.

Sementara Raden Yudakara di saudut lainnya tak kalah "gesit"nya dalam mengerjai tubuh wanita-wanita molek ini. Dia malah garang dan cabul. Dua gadis dikiri-kanannya dikempit erat dan dua-duanya secara bergantian dia cium pipinya. Kalau ada gadis pelayan yang lewat untuk membagikan minuman, dia jawil pantatnya, dagunya bahkan buah dadanya. Anehnya, diperlakukan tak sopan seperti itu, para gadis malah tertawa senang. Memang ada sikap purapura marah dengan cemberut dan bahkan mencubit tangan Raden Yudakara, namun amat terlihat itu hanyalah marah manja saja. Purbajaya melihat betapa sebetulnya Raden Yudakara tengah mabuk berat karena minuman tuak. Kepalanya oleng ke sana ke mari dan kulit wajahnya merah.

Ketika Purbajaya baru tiba, dia disambut tawa renyah Ki Sunda Sembawa.

"Ah, anak muda ini, ke mana sajakah? Ayo jangan sungkan, ini semua untuk kalian semata. Di saat bulan purnama, di saat langit demikian cerah, kita berpesta sepuasnya!" kata Ki Sunda Sembawa yang nampak sudah mulai oleng pula.

Purbajaya hendak berjingkan untuk mengambil tempat duduk agak terpisah dengan mereka, namun tangan pemuda itu ditarik oleh Ki Sunda Sembawa.

"Hai, ayo layani pemuda ini dengan baik," katanya menyodorkan tangan Purbajaya kepada seorang gadis. Sesudah tangan Purbajaya digenggam gadis itu, Ki Sunda Sembawa terkekeh dan menepuk pantat gadis itu agar pergi membawa Purbajaya.

Purbajaya akan melepaskan tanagannya yanag digenggam erat oleh gadis cantik ini. "Ayo, apa yang Kakang mau?" tanya gadis itu menjawil dagu Purbajaya.
"Saya ... saya hanya mau nonton pergelaran kesenian saja, Nyai ..." Purbajaya gagap dan panik karena perlakuan gadis itu. Dan untuk ke sekian kalinya dia terpaksa menepis tangan gadis itu karena akan berbuat mesum.

"Wah ... ini kan sudah pergelaran, Kakang!" kata gadis itu. Lagi-lagi pipi Purbajaya dijawilnya.

Tapi Purbajaya jadi kesal dibuatnya. Minuman keras dan bermain perempuan adalah maksiat. Jadi mengapa dia musti bergabung di sini?

Purbajaya melihat berkeliling. Nyatanya semua orang memang larut dalam pesta dengan perilaku dan kebebasan yang berbeda. Purbajaya ingin pergi namun ada juga rasa segan terhadap tuan rumah. Bagaimana pun Ki Sunda Sembawa adalah pejabat dan penguasa di daerah ini. Kalau dia menolak bergabung di tempat ini barangkali akan tak hormat dan menyinggung perasaannya. Itulah sebabnya, kendati amat sebal, Purbajaya tetap bertahan di sana.

Untung saja para penembang sudah datang sehingga Purbajaya punya alasan utuk tetap tinggal.

Dan ketika rombongan kesenian telah hadir, ternyata mereka yang tengah berpesta-pora pun mendadak menghentikan kagiatannya dan berbalik memperhatikan rombongan ini.

Beberapa orangnayaga (penabuh gamelan) naik ke panggung bale kambang sambil menentengtatabeuhan (gamelan) guna mengiringi tembang. Ada yang menjinjing kecapi, rebab,kulanter (gendang ukuran kecil), angklung danbende (gong ukuran kecil).

Sesudah semuanya siap, maka pergelaran pun dimulai. Sederetan juru kawih yang berwajah cantik-cantik, secara bergiliran melantunkan tembang. Jenis lagunya macam-macam, dari mulai nadaanca (pelan) sampai kepada nada gerakankaratagan (cepat bersemangat). Ada lagu yang syairnya memelas penuh kesedihan sampai kepada lagu yang gembira berisisisindiran dan amat lucu serta mengundang tawa kalau yang mendengar merasa tersindir.

Di saat para juru kawih melantunkan lagu segar, para penonton pun ikut larut melantun. Hanya saja mereka menembang tidak tertib dan tak sesuai dengan ketukan gendang. Penonton ikut menembang dengan nada sumbang seadanya dan terkesan dimain-mainkan karena sambil tertawa-tawa. Para gadis bahkan kerjanya hanya menjerit-jerit kecil karena acap kali tubuhnya digerayangi tangan-tangan jahil.

Malam semakin larut dan jenis kesenian yang ditampilkan pun datang silih berganti.

Sebagai acara penutup, maka ditampilkan pertunjukanpantun . Pantun adalah seni bercerita yang dipaparkan dengan lantunan merdu dan diiringi dawai kecapi. Pembawa cerita adalah seorang lelaki tua tunanetra. Dia membawakan cerita perihal kegagahan ksatria Pajajaran.

Ada yang datang ada yang pergi yang datang membawa napas baru yang pergi menutup masa lalu pergilah pergi, datanglah datang yang pergi dan yang datang
tidak perlu bersilang paham

Purbajaya menyimak pertunjukkan pantun ini dengan seksama dan amat setuju dengan lantunan ki juru pantun yang barusan dilantunkan ini. Purbajaya membayangkan, kalau yang dimaksud dan tengah digambarkan ki juru pantun adalah kehadiran Nagri Carbon untuk menggantikan Pajajaran sebagai simbol kehidupan lama.

Tapi lain orang lain penafsiran. Ki Sunda Sembawa malah menafsirkan lain.

"Ya, akulah si pembawa kehidupan baru!" teriaknya parau karena sejak tadi kerjanya berceloteh saja seperti orang mengigau.

"Tapi akulah yang paling sempurna dalam menghembuskan napas pembaharuan!" timpal Raden Yudakara mengangkat wadah tempat tuak tinggi-tinggi sehingga isinya tumpah ke wajahnya.

Ki Sunda Sembawa nampak kaget mendengar teriakan Raden Yudakara ini.

Penguasa Sagaraherang ini bahkan menatap tajam ke arah Raden Yudakara dengan penuh curiga. Namun pemuda bangsawan itu menanggapinya dengan tatapan yang sama pula.

"Maksud saya, pembawa kehidupan baru bagi Pajajaran, haruslah orang yang paling sempurna segalanya," kata Raden Yudakara akhirnya, masih menatap Ki Sunda Sembawa dengan tajam.

"Siapakah itu?" tanya Ki Sunda Sembawa penuh selidik. "Ya, siapa lagi kalau bukan yang pada hari ini memiliki kekuasaan?" Raden Yudakara menjawab dengan sebuah pertanyaan pula.

"Bukankah itu aku?" tanya lagi Ki Sunda Sembawa menepuk dada sendiri.

Raden Yudakara masih menatap tajam wajah Ki Sunda Sembawa. Sesudah itu dia menyeringai dan diakhiri dengan tawa mengakak. Tangannya menyodorkan tempat tuak ke arah Ki Sunda Sembawa.

"Tuaknya penuh, jadi jangan sampai air tuak muncrat ke mana-mana. Itulah seorang sempurna, sanggup menghimpun seluruh kekuatan tanpa yang dihimpun bercerai-berai!" kata Raden Yudakara menyorongkan tempat tuak agar ditangkap Ki Sunda Sembawa sehingga permukaannya muncrat keluar dan kembali membasahi wajah pemuda itu.

Ki Sunda Sembawa serentak menerima tempat tuak namun dia tak berhasil menjaga air tuak tidak muncrat. Maka giliran wajahnyalah kini yang kena tumpahan.

Karena dua-duanya bernasib sama, lantas dua-duanya saling pandang beberapa saat dan saling mengumbar tawa. Purbajaya tak bisa menduga, tawa mereka menyiratkan apa. Apakah punya maksud dan arti yang sama atau masing-masing saling menilai keberadaannya?

Maka pertunjukan pun dilanjutkan lagi. Ki juru pantun mendayu-dayu lagi memaparkan kisah-kisah kepahlawanan ksatria Pajajaran.

"Itulah aku! Itulah aku!" teriak Ki Sunda Sembawa keras-keras sambil mengacungkan guci kecil berisi tuak.

Hampir menjelang dini hari, barulah pesta usai. Ki Sunda Sembawa dipapah dari bale kambang oleh dua orang prajurit. Sementara para bawahannya bergeletakan ketiduran di lantai, tidak pria tidak wanita.

Raden Yudakara pun pulang meninggalkan bale kambang dengan dipapah dua orang.

"Biarkan aku jalan sendiri! Biarkan aku jalan sendiri! Aku sanggup berdiri tegak tanpa dibantu siapa pun!" teriaknya menepis bantuan orang.

"Biarkan dia jalan sendiri," kata Purbajaya yang mengawal di belakangnya.

Namun karena tubuh Raden Yudakara beberapa limbung dan hampir masuk kolam, Purbajaya terpaksa memapahnya. Di sepanjang jalan, Raden Yudakara berceloteh sambil sesekali tertawa sendirian.

"Hahaha! Dasar dungu! Tak akan ada tikus bernyali harimau. Sekali tikus tetap tikus! Heh, atau dia bukan tikus sebab badannya memang gede. Keledai cukuplah. Tubuhnya gede tapi dungunya tak ketulungan. Hahaha!" celoteh Raden Yukadara tak berketentuan.

Rumah panggung di mana Raden Yudakara istirahat terletak agak terpisah dari yang lainnya, sehingga agak lega ocehan ngawur Raden Yudakara tidak didengar penghuni puri ini. Ya, ocehan pemuda bangsawan ini bisa membuat penghuni puri marah sebab Purbajaya mengerti kalau Raden Yudakara tengah menyumpahi Ki Sunda Sembawa. Namun dari sini saja sebetulnya Purbajaya sudah harus mengerti, kendati dua orang itu kerabat dekat dan sepertinya bahu-membahu, tapi di hati kecil mereka masing-masing sedang memiliki ambisi tersendiri. Ambisi untuk kepentingan sendiri tapi membonceng kepada kekuatan lain. Ya, betapa tak begitu. Ki Sunda Sembawa membutuhkan pasukan besar dari Carbon, begitu pun yang dilakukan Raden Yudakara. Pasukan selalu dikaitkan dengan pertempuran. Tidakkah kedua orang itu memang punya cita-cita untuk menggempur Pakuan guna kepentingan masing-masing?

Purbajaya berdebar memikirkan hal ini. Benarkah Ki Sunda Sembawa akan membawa pasukan kedayo (ibukota) Pajajaran? Betulkah Pakuan akan diserbu? Siapa yang akan menyerang, jelas bukan Carbon namun mereka terkesan amat membutuhkan bantuan Carbon. Atau dengan kata lain, serbuan ke Pakuan harus dilakukan Carbon sehingga Carbon yang bertanggungjawab namun mereka berdua yang memetik keuntungannya. Benarkah begitu cita-cita mereka? Mereka? Siapa pula yang dimaksud "mereka" ini? Benarkah hanya Ki Sunda Sembawa dan Raden Yudakara saja?

Bila menyimak percakapan mereka, sepertinya hanya Ki Sunda Sembawa tokoh utamanya. Namun Raden Yudakara pun sepertinya memiliki cita-cita pribadi yang sama pula. Di saat dalam keadaan mabuk berat seperti ini, Raden Yudakara terus mengoceh membuat hati Purbajaya terkejut.

"Hahaha! Dasar dungu. Cobalah lihat, siapa penguasa sebenarnya. Hahaha!" celotehnya lagi.

Saking mabuknya, akhirnya Raden Yudakara tak sanggup berdiri lagi. Dia ambruk di tengah jalan.

Purbajaya hendak mencoba membangunkan tubuh pemuda itu, ketika secara tiba-tiba ada desiran angin di hadapannya. Dan dengan terkejut Purbajaya melihat ada seseorang berdiri di sana. Dia seorang lelaki tegap, berdiri dengan kaki terpentang lebar.

Purbajaya tak kenal, siapa lelaki ini karena cahaya bulan tak sanggup menerangi wajah orang itu. Hanya yang jelas, dia berpakaian jubah dan sorban kepala, seperti biasa dipakai ulama Carbon.

"Siapa anda?" Purbajaya bertanya sambil siap-siap menjaga kemungkinan yang tak diharapkan.

Raden Purbajaya mencoba tengadah dan coba menyipitkan matanya agar bisa meneliti siapa yang datang.

"Aku Rangga Guna," jawab lelaki asing itu.

"Rangga Guna? Aku pernah dengar namamu. Kau adalah murid Ki Darma dan seperti gurumu, kau pun dikejar-kejar penguasa Pakuan karena dianggap membangkang dan suka mengkritik Raja," kata Raden Yudakara dengan suara parau.

Purbajaya terkejut dan mengeluh. Kalau orang ini murid Ki Darma pasti akan mengganggunya. "Minggirlah, kau pemberontak!" kata Raden Yudakara.

"Tidak disenangi Raja bukan berarti pemberontak sebab aku tetap cinta Pajajaran dan akan membela Pajajaran," jawab Ki Rangga Guna menegaskan.

Purbajaya semakin bersiap untuk menghadapi hal-hal tak diinginkan. "Tapi kau sudah ikut agama baru, kan?"
"Betul ... "

"Nah, kalau begitu, mari kita hancurkan Pajajaran. Kemudian di atas puing-puingnya kita dirikan kehidupan baru," kata lagi Raden Yudakara. Kepalanya tak mau diam, mungkin menahan pusing karena mabuk yang berat.

"Tatanan negri Pajajaran sudah bagus. Kerajaan Sunda yang kemudian berlanjut menjadi Pajajaran, telah hidup sejak tahun 669. Kini usianya sudah lebih dari delapan ratus tahun. Tidak mudah sebuah negri bisa berumur ratusan tahun seperti ini, kecuali punya tatanan yang kuat. Kalau pun sekarang sedang sakit, itu karena para pemegang tampuk pemerintahannya sedang sakit. Orang sakit harus disembuhkan dan bukannya dibunuh atau dihancurkan. Kalau kini Pajajaran sedang sakit, maka aku ingin menyembuhkannya dengan tatanan agama baru. Aku ingin agama baru berkembang di Pajajaran dan Pajajaran menjadi besar karena agama baru ini," kata Ki Rangga Guna panjang-lebar.

Raden Yudakara tidak mengiyakan atau menolaknya. Yang terdengar hanya kekehnya saja.

"Bagus juga jalan pikiranmu. Dan aku akan dukung itu asal engkau pun mendukungku. Kau boleh pertahankan Pajajaran dengan tatanan agama baru, tapi akulah kelak penguasa Pajajaran," kata Raden Yudakara sambil tertawa-tawa kembali.

"Pajajaran sudah sakit karena banyak diperebutkan orang-orang penuh ambisi. Engkau akan kuhalangi bila berniat menerjang Pajajaran," kata Ki Ranga Guna dengan suara mengancam.

"Ouw, begitukah? Aku ingin tahu sejauh mana kehebatan ilmu yang dimiliki murid Ki Darma ini," kata Raden Yudakara sambil bangkit namun dengan limbung.

"Akulah penguasa pembaharuan. Ayo, lawanlah aku!" tantang Raden Yudakara bertolak pinggang.

Namun hanya satu gerakan tangan kiri, angin deras berdesir dan tubuh Raden Yudakara terlontar ke belakang, hampir mencapai empat depa, jatuh berdebuk.

"Pajajaran terlalu besar untukmu. Negri ini tak membutuhkan orang sombong tapi tak punya kepandaian apa-apa," ejek Ki Rangga Guna. Dan sesudah menatap sebentar, lelaki itu menghilang di balik rimbunnya pohon.

Purbajaya terpana saking kagetnya. Peristiwa ini begitu cepat terjadi sehingga Purbajaya tak bisa berbuat apa-apa. Ki Rangga Guna sungguh hebat. Raden Yudakara yang menurut penilaian Purbajaya memiliki ilmu tinggi, hanya dalam satu gebrakan saja tubuhnya terlontar ke belakang bagaikan daun kering tertiup angin. Melihat ini, Purbajaya bergidik. Kalau muridnya saja demikian tinggi ilmunya, apalagi gurunya. Pantas saja di Cakrabuana Ki Darma tak punya selera untuk ambil bagian dalam perkelahian. Barangkali pertempuran seru antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran waktu itu, hanya berupa permainan anak kecil belaka dalam pandangan Ki Darma.

Purbajaya memburu tubuh Raden Yudakara dan coba memeriksa kalau-kalau pemuda itu terluka parah. Namun sungguh aneh, tak ada luka sedikit pun di tubuh pemuda itu. Buktinya, Raden Yudakara sudah bangkit sendiri dan tetap tertawa-tawa.

"Sialan Si Rangga Guna. Dia mempermainkan aku di saat aku tak berdaya ..." celotehnya sambil disambung oleh kekehnya lagi.

Kembali hati Purbajaya terkejut. Bagaimana mungkin Raden Yudakara tidak menderita luka sedikit pun padahal angin pukulan Ki Rangga Guna begitu keras? Ini bukan tubuh Raden Yudakara yang kuat, melainkan Ki Rangga Guna pandai mengatur tenaga dalam yang dikeluarkannya. Keras tapi tak memukul. Sungguh hebat. Jarang orang memiliki ilmu seperti yang diperagakan Ki Rangga Guna ini.

"Ayo kita tidur, Purba ..." kata Raden Yudakara melangkah gontai.

Namun ketika tiba di depan pintu, serta-merta pemuda itu menendang daun pintu dengan amat marahnya dan daun pintu berantakan.

"Sialan kau Rangga Guna! Kau hina aku! Kau rendahkan martabatku!" Raden Yudakara marah-marah dan menendang apa yang bisa dia tendang. Dia memang marah. Namun dalam kemarahannya ini terselip nada kesedihan yang sangat. Mungkin pemuda ini sedih dan kecewa karena dipermalukan Ki Rangga Guna.

"Purba, jawablah! Apakah aku terlalu lemah untuk menguasai Pajajaran?" tanyanya tiba-tiba. Ini mengejutkan Purajaya sebab dia tak punya persiapan untuk menjawabnya.

"Ayo jawab, kalau tidak, kau akan kubunuh!" teriak pemuda aneh itu.

"Saya belum punya jawaban sebab saya baru kali tahu kalau Raden punya cita-cita besar dalam menguasai Pajajaran," jawab Purbajaya tak langsung.

"Ya, sekarang kau telah tahu. Jadi apa pendapatmu?" desak pemuda itu. "Saya belum tahu kekuatan Raden yang sebenarnya," jawab pula Purbajaya.
"Dasar orang dungu. Dengarkan, kekuatan itu bukan terletak pada kepalan tangan, melainkan pada isi kepala ini. Jangan kau sangka Si Rangga Guna orang pandai hanya karena dalam satu gebrakan melumpuhkanku. Seekor kerbau pun bisa menubruk mati orang sepertimu, namun tak berarti bahwa kerbau itu punya otak dan memiliki kecerdikan. Makanya engkau harus percaya aku. Apa yang aku pikirkan, tak pernah orang lain pikirkan. Itulah kelebihanku," kata Raden Yudakara percaya diri. Namun baru saja bicara begitu, pemuda itu segera meraung-raung seperti orang menderita kepedihan yang hebat. Purbajaya hampir sedikit panik melihat perilaku aneh pemuda ini, apalagi Raden Yudakara berteriak-teriak sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. Purbajaya khawatir, orang-orang akan datang kalau mendengar teriakan ini. Namun untunglah, rupanya semua penghuni puri sudah dibius pesta semalam. Semua pulas karena mabuk.

"Sialan kau Rangga Guna edan! Hati-hati kau. Kalau Pajajaran runtuh, maka satu-satunya yang pertama aku bunuh adalah engkau!" teriak Raden Yudakara berkali-kali.

Purbajaya tahu, pukulan Ki Rangga Guna tidak menyakitkan. Namun penghinaannya itulah yang membuat Raden Yudakara terlolong-lolong bagaikan srigala disakiti ini.

Setelah mengucapkan sumpah serapah kepada Ki Rangga Guna, Raden Yudakara nampak kecapaian sendiri. Lantas dia duduk termangu di lubang pintu dan matanya menerawang entah ke mana. Sesudah agak lama, dia tertawa-tawa lagi dan bersenandung dengan suara parau dan perlahan.

Kalau tak mendapatkan cahaya matahari tidak apa cahaya rembulan pun
kalau tak mendapatkan cahaya rembulan tidak apa tanpa cahaya pun
Hidup susah dicari
dan hidup mudah dicari
yang susah kalau bertahan dengan kejujuran yang mudah kalau penuh keberanian
Bukan berpikir untuk esok hari namun berpikirlah esok
sebab yang namanya hidup adalah hari ini.

Lantunan itu benar-benar parau dan tak punya nada teratur. Kalau orang lain ada yang dengar, mungkin sudah mual menyimaknya. Purbajaya pun sebal. Namun dia sudah terbiasa dengan lantunan gombal tak bertanggungjawab secara kemanusiaan ini. Ya, inilah karakter Raden Yudakara. Ambisius dan serba oiptimis karena segalanya tak perlu dipertautkan dengan harga diri dan kemanusiaan.

Lantunan yang tak enak didengar itu kian lama terdengar kian lemah sampai akhirnya hilang sama sekali dan tergantikan oleh dengkurnya. Sungguh hebat, pemuda itu sudah terbebas dari penderitaannya karena dengkurnya mudah muncul.

***

YANG puyeng adalah Purbajaya. Betapa sesudah kejadian tadi, hatinya jadi tak tenang. Pertama kali dikejutkan oleh kenyataan kalau tindak-tanduk Raden Yudakara selama ini sama sekali tak ada kaitannya dengan kepentingan Carbon, atau bahkan dengan ambisi yang dimiliki Pangeran Arya Damar, kecuali pemuda ini hanya ingin memanfaatkan kekuatan orang lain untuk kepentingan ambisinya. Dia berupaya dengan berbagai akal dan tipu-muslihat agar para pengambil kebijakan di Pakungwati bisa memutuskan untuk mengirimkan pasukan guna menyerang Pakuan. Dan barangkali dia pun terus memanas-manasi mertuanya sendiri, yaitu Pangeran Arya Damar yang ambisius agar melanjutkan tindakannya dalam menyerang Pajajaran.

Hari ini, dia malah memanasi Ki Sunda Sembawa agar merebut kekuasaan dari penguasa Pajajaran kini. Namun apa pun tindakan-tindakannya, kesemuanya pada akhirnya hanya akan diabdikan buat kepentingan dan cita-citanya sendiri. Sungguh berbahaya orang ini, pikir Purbajaya.

Cita-cita apakah ini? Sudah barang tentu cita-cita akan sebuah kepentingan yang menurut Raden Yudakara disebutnya sebagai rencana besar. Dengan ambisinya yang besar, Raden Yudakara ingin menguasai Pajajaran.

Memang betul ini rencana besar, sekaligus juga rencana gila. Raden Yudakara ingin menyaingi ambisi siapa pun yang tengah memiliki ambisi. Kalau Pangeran Arya Damar hanya punya ambisi meruntuhkan Pajajaran secara militer karena kelak dia menginginkan sebuah penghargaan, Pangeran Suwarga hanya ingin menundukkan Pajajaran dengan pendekatan agama, maka Raden Yudakara ingin menguasai Pajajaraan untuk kepentingan sendiri.

Sungguh sebuah keinginan gila. Pemuda ini tengah bermain api. Bunga api memercik, bahayanya akan muncrat mana-mana. Tapi Raden Yudakara memang berani menantang bahaya. Dan orang yang berani menantang bahaya karena sadar punya kekuatan.

Purbajaya berpikir, bisa jadi benar Raden Yudakara memiliki kekuatan. Paliing tidak, dia punya kekuatan untuk mempengaruhi orang. Pangeran Arya Damar bisa tunduk di bawah pengaruhnya. Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang para anggotanya rata-rata memiliki kepandaian tinggi pun bisa dia pengaruhi. Atau paling tidak, pemuda itu pun pandai bergayut kepada kekuatan lain.

Sepertinya dia ingin membantu kekuatan lain untuk ikut mendorong cita-cita orang itu, padahal sebetulnya dia tengah berupaya menggiring orang agar bisa dimanfaatkan untuk ambisi pribadinya sendiri. Begitu hebatnya Raden Yudakara mempengaruhi orang, sehingga semuanya bisa dia kendalikan, seperti kerbau dicocok hidungnya.

Purbajaya bingung namun sekaligus juga sebal. Semakin hari semakin kentara, betapa selama banyak menganal orang, banyak pula perilaku yang dia kenal. Dalam urusan Pajajaran ini saja, Purbajaya jadi mengenal macam-macam ambisi orang. Taruhlah Ki Sunda Sembawa. Hanya karena dia kerabat dekat penguasa Pajajaran, lantas dia tepuk dada sendiri kalau yang paling berhak menguasai Pajajaran adalah dirinya sendiri.

Dia semakin bersemangat untuk mensukseskan ambisinya karena ada pihak lain yang mengaku mau melicinkan jalan ke arah cita-citanya. Maka kenallah Purbajaya dengan nama Ki Banaspati. Namun siapa pula dia? Purbajaya hanya diberi tahu kalau orang ini adalah tokoh penting di Pakuan. Dia adalah pejabatmuhara (petugas penarik pajak) di wilayah timur dan punya peranan besar dalam memakmurkan pemerintahan dari hasil penarikan pajak, padahal wilayah timur Pajajaran adalah wilayah rawan karena pengaruh musuhnya (Carbon) demikian terasa. Kalau Ki Banaspati sanggup melakukan pekerjaan dengan baik, hanya punya arti dia bekerja dengan sungguh-sungguh untuk negara. Tapi mengapa tokoh sepenting ini malah mau membantu pihak lain yang ingin merebut kekuasaan negri?

Purbajaya jadi tak mengerti makna hidup. Dalam mengarungi kehidupan ini, sebenarnya apa yang dimaui orang? Di Carbon negrinya sendiri, acapkali dia melihat ada orang menjelekkan pemerintah karena dia merasa tersisih dan dirugikan kepentingannya oleh pihak penguasa. Orang-orang yang tak puas oleh pergantian agama dari agama lama ke agama baru juga sembunyi di hutan, memisahkan diri dari keramaian dunia, atau memusuhi penguasa yang baru. Mereka mencari bahaya karena berani melawan penguasa.

Untuk hal-hal seperti ini, di mana orang bereaksi berpaling kesetiaannya karena merasa dirugikan, Purbajaya bisa memaklumi. Namun perilaku yang diperlihattkan oleh sebagian orang lagi, sungguh Purbajaya tidak mengerti. Taruhlah contoh sikap yang diperlihatkan oleh Raden Yudakara, Ki Sunda Sembawa atau Ki Banaspati yang Purbajaya belum pernah jumpa itu. Mereka adalah orang-orang yang tengah dipercaya oleh para atasannya dan mereka pun dihargai dengan jabatan tinggi sesuai dengan pekerjaan dan kemampuannya.

Namun kenyataannya, mereka sepertinya tengah gelisah dan selalu berkutat memperjuangkan "nasibnya" dengan melakukan hal-hal bahaya yang bisa merusak reputasinya yang telah ada kini. Kehidupan apalagi yang mereka inginkan, yang menurut penilaian Purbajaya sebetulnya telah mapan ini?

Dan ingat mereka, Purbajaya jadi ingat dirinya. Sekarang, di tengah pergolakan ambisi ini, apa sebetulnya yang dikejar olehnya? Keuntungan ataukah bahaya?

Tugasnya memang tak pernah berubah, mencoba menyusup ke wilayah kekuasaan Pajajaran, yaitu Pakuan, seperti apa yang diamanatkan penguasa Carbon. Yang jadi atasannya pun tetap tak berubah, yaitu Raden Yudakara, seperti apa yang diamanatkan pihak penguasa Carbon. Namun benarkah tugasnya ini mulus untuk kepentingan negara, padahal dia curiga atasannya yang bernama Raden Yudakara ini telah membelokkan tujuan negara yang sebenarnya? Inilah mungkin bahaya bagi dirinya.

Belum lagi dia ingat pertemuannya dengan tokoh bernama Ki Rangga Guna. Orang ini mengakui kendati dimusuhi penguasa namun perjuangannya dalam membela Pajajaran tidak akan musnah. Dia akan melawan siapa saja yang diketahui akan mengganggu Pajajaran.

Pertemuan dengan tokoh ini hanya membuktikan bahwa kasak-kusuknya Raden Yudakara atau pun Ki Sunda Sembawa sebenarnya sudah diketahui oleh Ki Rangga Guna. Otomatis, keberadaan Purbajaya pun tak bisa mengelak dari incaran bahaya yang datang dari tokoh ini. Rencana penyusupan ke wilayah pusat kekuasaan Pajajaran paling tidak sudah diketahui oleh Ki Rangga Guna.

"Apakah Ki Rangga Guna akan menggagalkan rencana penyusupanku?" pikirnya seorang diri.

Purbajaya mengeluh. Bahaya memang mengancam dari mana-mana. Dia tak bisa mengelak dari tugas sebagai penyususp karena selalu berada di bawah ancaman Raden Yudakara, namun untuk melanjutkan pergerakan pun sudah diketahui lawan. Ya, akhirnya Purbajaya terperangkap di tengah-tengah. Lari dari tugas, dia sulit sembunyi. Pulang ke Carbon akan dituding sebagai pengkhianat, begitu pun kembali ke Sumedanglarang, akan dipertanyakan perihal korban-korban berjatuhan.

Boleh dikata, dari semua anggota muhibah ke Karatuan Talaga yang tak pernah tiba, semuanya telah tewas dan hanya dia sendiri saja yang selamat. Bagaimana dia bisa bertanggungjawab, padahal kematian semua anggota muhibah tak berketentuan. Mereka tewas oleh cara-cara yang amat memalukan walau pun macamnya berbeda-beda.

Melarikan diri ke wilayah Pajajaran? Ah, ini pengkhianatan lebih berat lagi. Kendati orang mengatakan dia punya darah Pajajaran namun Purbajaya mengatakan kalau dirinya adalah orang Carbon dan hanya mau mengabdi kepada kepentingan Carbon saja. Carbon adalah tanah airnya dan Paman Jayaratu adalah satu-satunya keluarganya. Tak ada kecintaan lain pada dirinya selain Carbon dan Paman Jayaratu. Walau pun dia sebal kepada Pangeran Arya Damar, juga kepada Raden Yudakara, namun Purbajaya tak menganggap bahwa mereka adalah figurwong grage . Dua orang itu tak mewakili karakter orang Carbon.

Hanya yang menyebalkannya, agar dia bisa menempatkan diri sebagai orang Carbon, maka dia harus selalu dekat kepada Raden Yudakara sebab hanya orang ini saja yang bisa "melindungi" dirinya dari tuduhan sebagai pengkhianat Carbon. Purbajaya pun bahkan memutuskan kalau dirinya tak boleh lepas dari genggaman pemuda aneh itu. Purbajaya menganggap, Raden Yudakara ini misterius dan membahayakan Carbon. Namun karena ini maka Purbajaya jadi ingin lebih tahu, sejauh mana pemuda itu merancang tipu muslihat dalam melicinkan jalan ke arah ambisinya. Kalau ternyata gerakan Raden Yudakara telah amat mendekati titik-titik rawan bagi Carbon, apa pun yang terjadi, Purbajaya harus memutuskan sesuatu demi keselamatan negara.

Namun tak dibantah oleh hatinya, bahwa Purbajaya ikut ke mana Raden Yudakara pergi pun berkenaan pula dengan kepentingan pribadinya sendiri. Benar atau tidak dia keturunan pejabat di wilayah Pajajaran, yang jelas khabar ini amat menggelitik hatinya dan membuatnya merasa penasaran. Ya, siapa pun akan merasa punya keinginan untuk mengetahui siapa orangtuanya. Sementara itu, Raden Yudakara mengaku tahu siapa orangtua Purbajaya. Jadi mau tak mau antara Rden Yudakara dengannya telah terjalin sesuatu yang intinya saling memerlukan. Purbajaya perlu Raden Yudakara karena berkaitan dengan penelusuran keluarga, sementara Raden Yudakara butuh tenaga Purbajaya untuk melicinkan kepentingan politiknya.

***

PURBAJAYA tak sempat tidur sebab pagi sudah menjelang. Baru saja dia menyelesaikan sembahyanag subuh, seorang prajurit Sagaraherang telah mengetuk daun pintu kamarnya.

Prajurit itu mengabarkan kalau Raden Yudakara telah bersiap akan pergi dan mengajak Purbajaya agar berkemas.

Benar saja, Raden Yudakara telah siap-siap. Kali ini dua ekor kuda gagah telah disiapkan Ki Sunda Sembawa.

"Aku harap kalian tidak mengalami gangguan di Pakuan nanti," kata Ki Sunda Sembawa mengantarkan sampai halaman rumah. Raden Yudakara diberi bekal uang logam sepundi banyaknya. Lain daripada itu, Ki Sunda Sembawa pun membekali sebuah ikatan daun lontar yang diikat pita sutra wara merah.

"Surat apakah ini, Paman?" tanya Raden Yudakarta menerima sambil alis berkerut.

"Ini adalah surat untuk mempertemukan engkau dengan Ki Banaspati. Pejabat ini tak sembarangan terima tamu. Tapi bila dibekali surat dariku, dia akan mementingkannya. Kekuatanmu dan pengaruhmu di Pakuan akan berlipat kalau mau berkenalan dengan Ki Banaspati," tutur Ki Sunda Sembawa bangga dengan nama itu.

Walau dengan sedikit kerut di dahinya, Raden Yudakara menerima lipatan daun lontar dengan penuh hormat.

"Hati-hatilah ... " untuk ke sekian kalinya pejabat Sagaraherang ini memberikan amanatnya. "Tentu, saya akan hati-hati, Paman ... " jawab pemuda itu.
Keduanya saling pandang dengan penuh arti. Namun Purbajaya tak memahami arti makna ini. Bisa saja dua-duanya saling memberikan pengertian sama, namun bisa juga masingmasing berbicara dengan maksud sendiri-sendiri. Apalagi isi hati Raden Yudakara susah diduga. Apa yang dikatakan, belum tentu itu yang dimaksud.

Keyakinan Purbajaya terbukti tak lama kemudian. Setelah kuda mereka mencongklang agak jauh dari wilayah kota, serta-merta Raden Yudakara menghancurluluhkan bekal surat yang diberikan Ki Sunda Sembawa.

"Mengapa kau hancurkan, Raden? Bukankah dengan surat itu perjalanan kita di Pakuan agak lebih lancar?" tanya Purbajaya tapi dengan nada biasa karena sudah tak heran akan keganjilan jalan pikiran Raden Yudakara.

"Ah, aku benci orang bernama Ki Banaspati. Siapa pun dia, aku tak mau tunduk di bawah pengaruhnya."

Purbajaya termangu-mangu. Jelas di sini, apa pun terjadi, Raden Yudakara hanya inginkan dialah nomor satu. Bukan dia yang memohon pada orang lain, melainkan, orang lainlah yang harus tunduk ke padanya. Raden Yudakara mungkin punya firasat kalau Ki Banaspati bukan sekadar bertindak sebagai pemberi semangat semata, melainkan jauh lebih dalam dari itu. Barangkali Raden Yudakara menganggap kalau kehadiran Ki Banaspati tak ubahnya sebagai pesaing yang membahayakan kedudukannya.

***

Perjalanan menggunakan kuda tentu jauh lebih cepat ketimbang dengan berjalan kaki. Tenaga pun bisa dihemat dengan baik. Oleh karena itu, perjalanan menuju wilayah Tanjungpura tidak terlalu sulit dan tidak pula terasa lelah. Apalagi dari Sagalaherang menuju Tanjungpura, perjalanan selalu melalui dataran rendah dan tidak banyak lewat pegunungan. Hanaya saja jalanan pedati di wilayah ini terdiri dari tanah merah dan berdebu bila kemarau seperti ini. Kalau kaki-kaki kuda berlari agak cepat, maka akan menimbulkan debu-debu yang beterbangan di belakangnya. Ketika memasuki kampung di mana ada orang lalu-lalang, Raden Yudakara tidak mau mengurangi kecwepatan lari kuda. Maka takayal terdengar sumpah-serapah karena debu beterbangan ke wajah pejalan kaki. Purbajaya merasa tak enak hati. Namun dia pun terpaksa ikut memacui kuda cepat-cepat takut jalannya tertinggal.

Di sepanjang jalan Raden Yudakara tak banyak berceloteh. Kerjanya memacu kuda keraskeras seperti orang dikejar setan. Mungkin ada sesuatu yang diburu, mungkin juga kesal karena ingatannya tentang Ki Banaspati.

Tidak makan waktu sampai dua hari, kuda yang dipacu cepat sudah tiba di wilayah kerajaan kecil bernama Karawang. Sementara Tanjungpura sendiri berupa wilayah yang dipimpin oleh seorangkandagalante (pejabat setingkat wedana kini).

Tanjungpura ini memiliki wilayah yang luas. Ke sebelah barat dibatasi Sungai Citarum dan ke utara berupa lautan perhumaan. Dulu sebelum wilayah pesisir dikuasai Carbon, maka pesisir dan laut pun adalah wilayahnya juga. Namun kini, Tanjungpura hanya punya lautan huma saja dan akan berubah jadi payau dan rawa di saat musim penghujan.

Dulu ketika Tanjungpura masih memiliki wilayah seutuhnya, sungai Citarum benar-benar menjadi wilayah perdagangan air yang amat maju. Hasil dari wilayah selatan (pegunungan) dibawa berlayar sampai ke Ujung Karawang dan dijual atau ditukar dengan barang dagangan milik bangsa asing seperti Portegis, Cina, Campa (Kamboja), Madagaskar, Parasi (Parsi, Iran kini) atau negri-negri sebrang seputar Nusantara. Atau sebaliknya, kaum pedagang di wilayah pesisir mengangkut hasil pesisir untuk ditukar dengan hasil dari wilayah selatan. Sekarang pelayaran di sungai Citarum tidak dilakukan secara utuh. Derasnya dan lancarnya alunan sungai Citarum seperti terputus dan tak sampai menuju wilayah Ujung Karawang karena garis politik telah memisahkannya.

Sampai sekarang, wilayah Tanjungpura tetap menjadi wilayah "panas" sebab selalu terjadi tarik-menarik pengaruh antara Carbon dan Pakuan. Hal ini terjadi karena Tanjungpura berada di daerah utara yang potensil untuk jalur ekonomi internasional. Pajajaran tetap bertekad agar wilayah ini tetap berada di bawah pengaruhnya. Sementara Carbon pun berupaya agar sedikit sedikit pengaruh yang sudah masuk di wilayah pesisir bisa semakin merembes ke wilayah pedalaman (selatan). Tanjungpura dan Karawang strategis karena alus sungai Citarum itulah.

Sementara sungai lebar itu kini dianggap benteng alam bagi wilayah Pakuan. Bila Citarum seutuhnya bisa dikuasai Carbon, maka satu "benteng" bisa ditembus. Sungai Citarum adalah jalur lalulintas menuju pedalaman. Kalau sungai ini dikuasai Carbon, artinya wilayah pedalaman Pajajaran bisa dikuasai. Padahal tak mudah menguasai wilayah pedalaman di wilayah barat ini. Itulah sebabnya, Purbajaya dikirim menyelusup ke wilayah barat. Tugasnya adalah membantu para penyelusup yang lainnya agar ikut "membobol" wilayah-wilayah pedalaman ini.

Namun ketika memasuki wilayah ini, tidak terlihat hal-hal istimewa. Di pasar orang sibuk dengan urusan ekonomi. Mereka mengadakan tukar-tukar menukar barang atau mengadakan transaksi jual-beli bagi pedagang besar yang memiliki persediaan uang logam, baik uang logam Portegis, Cina atau negri-negri lain.Penduduk yang bukan pedagang pun tidak terlihat risau dalam melakukan kegiatan lainnya. Nelayan dengan senangnya mengambil ikan di rawa atau di sungai, petani pun damai menanam padi di huma. Mungkin hanya masyarakat yang kenal politik saja yang risau. Mereka menjalani hidup ini dengan penuh waswas dan curiga. Setiap saat mereka musti bercuriga kepada siapa saja. Bisa bercuriga kepada pedagang yang datang dari pesisir, bisa juga bercuriga kepada nelayan yang mengarungi sungai Citarum, dan menyangka mereka adalah bekerja ganda sebagai mata-mata.

Mereka bercuriga ke sana ke mari karena sadar Tanjungpura dan Karawang seluruhnya sedang dijadikan ajang rebutan pengaruh antara yang tengah mempertahankan dengan yang ingin merebut. Sementara karena wilayah ini amat berdampingan dengan wilayah batas, maka sulit dibedakan, mana yang benar-benar penduduk asli dan mana yang datang dari wilayah utara. Mana orang-orang utara yang benar-benar pedagang dan mana pula yang hanya datang karena urusan politik.

Penguasa Tanjungpura tidak bisa bekerja pukul rata, misalnya orang utara tak boleh masuk selatan atau pun sebaliknya. Karena mereka butuh perdagangan, maka hal-hal yang bersifat ekonomi lebih dipentingkan. Dan karena hal ini, nampaknya orang-orang Pajajaran tidak bersikap atau berupaya membuat pencegahan, melainkan hanya melakukan tindakan bagi yang terbukti membuat kekisruhan politik saja.

Tentu saja ini amat menguntungkan Purbajaya yang datang ke wilayah ini tidak secara khusus. Apalagi bagi Raden Yudakara yang dikenal sebagai pemuda tukang melancong dan terbiasa keluar-masuk wilayah ini. Beberapa pedagang besar yang sempat dia temui di pasar bahkan ada mengenal Raden Yudakara sebagai kemenakan dari pejabat Sagaraherang.

Namun demikian, Purbajaya harus tetap hati-hati. Tokh bagi dirinya, Pajajaran adalah wilayah yang baru dikenalnya. Kalau tak perlu benar, dia jarang bicara.

"Engkau akan kuperkenalkan dengan salah seorang kerabatmu, Purba ... " kata Raden Yudakara sambil membelokkan arah kuda menuju ke jalan simpang lebih kecil. Jalanan itu penuh bebatuan bercampur tanah merah.

Berdebar hati Purbajaya. Ini memang janji Raden Yudakara, bahwa bila Purbajaya ikut padanya, maka akan diperkenalkan kepada kerabat-kerabatnya.

Siapakah yang jadi kerabatnya itu? Hubungan keluarga sebagai apa dengannya? Purbajaya begitu bergairah untuk segera mengetahuinya.

"Engkau akan bertemu dengan paman misanmu sendiri ... " kata Raden Yudakara seperti ingin membantu rasa penasaran di hati Purbajaya.

"Maksud Raden, adik ayahandaku?"

"Ya, tidak persis begitu. Namun Ki Jayasena benar-benar merupakan kerabat dekatmu yang tersisa oleh ... "

"Maksud Raden yang tersisa oleh peperangan antara Carbon dan Pajajaran, bukan?" sambung Purbajaya karena Raden Yudakara terlihat ragu-ragu membicarakannya.

"Benar. Tapi maafkan mertuaku ... " gumam Raden Yudakara tersenyum pahit. Purbajaya menerimanya dengan senyum kecut. "Tidak ada urusan pribadi di sini. Mertuaku Pangeran Arya Damar berjuang melaksanakan misi negara dan ayahandamu berjuang membela serta mempertahankan negri. Kesalahannya mungkin terletak pada siapa kalah dan siapa menang saja," Raden Yudakara mencoba meluruskan persoalan.

Namun Purbajaya masih tersenyum kecut. Bukan saja karena karena urusan peperangan yang melibat dua negri yang telah menewaskan ayahanda dan keluarganya, namun juga karena mendengar sebutan "mertua" yang diucapkan Raden Yudakara untuk Pangeran Arya Damar. Dia tersenyum kecut sebab dengan demikian, Raden Yudakara hanya mengingatkan perihal keculasannya kepada Purbajaya dalam urusan Nyimas Waningyun. Ya, bukankah pemuda pecumbu gadis ini telah "merebut" cinta Nyimas Waningyun dari genggaman Purbajaya?

Purbajaya berpikir, betapa sebenarnya Raden Yudakara tak pernah memiliki perasaan bersalah terhadap tindakan apa pun yang sebenarnya bisa melukai hati orang. Purbajaya khawatir, kalau orang-orang yang hanya bergelut dengan urusan dan kepentingannya sendiri bisa menguasai dunia, maka isi dunia akan kacau oleh peperangan dan ketidakadilan. Kalau orang seperti Raden Yudakara diberi keleluasaan berkuasa maka kemelut akan terus terjadi sebab dia selalu tak pernah punya rasa bersalah atas tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.

"Singkirkan perasaan pribadimu. Engkau adalah milik negara, maka hanya negara yang harus engkau pikirkan, Purba ... " kata Raden Yudakara memecahkan lamunan Purbajaya.

Purbajaya tersenyum kecil. Aneh rasanya, orang seperti Raden Yudakara bisa memberi "petuah" sebagus ini. Namun berbareng dengan pujian ini, hatinya pun merasa bergidik. Begitulah mungkin orang yang tak pernah introspeksi kepada perilakunya sendiri. Karena tak pernah sadar akan kekeliruannya, maka dia tak akan malu-malu memberikan nasihat kepada orang lain sepertinya dirinya orang benar dan tak pernah cacat perilakunya. Purbajaya bergidik sebab orang seperti ini hanya melihat keluar saja.

Hanya orang lain yang terlihat banyak kekurangan dan banyak salah sehingga olehnya perlu dikoreksi dan perlu dinasihati, sementara dirinya dibiarkan lolos berbuat kesalahan karena dia tak merasakannya.

"Mari kita lanjutkan perjalanan, saya sudah terlalu kangen untuk bersua dengan satu-satunya kerabat saya, Raden ... " kata Purbajaya karena hatinya kesal dengan "nasihat" Raden Yudakara ini.

"Jalannya ke arah sini, Purba ... " kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Dia memang belok ke simpang lainnya lagi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar