Kemelut Di Cakrabuana Jilid 05

Mereka berdua benar-benar harus berpacu melawan waktu. Mereka harus bisa mencegat pasukan Carbon sebelum pasukan itu telanjur bertemu musuh. Namun usaha ini amatlah sulit. Kedua orang ini tadinya tak dipersiapkan untuk melakukan perjalanan tergesa-gesa. Mereka tak dibekali kuda yang bisa merambah perjalanan sulit dan keras sebab kuda-kuda mereka biasanya dilatih untuk kepentingan upacara kenegaraan saja. Kuda-kuda itu hanya berpenampilan bagus dan gagah namun kurang tangguh kekuatannya terutama bila digunakan untuk perjalanan keras. Hanya beberapa saat saja kuda-kuda itu bisa memacu langkah dengan cepat. Namun untuk selanjutnya, kuda-kuda tinggi besar itu kedodoran. Kuda milik Purbajaya bahkan sudah tersungkur duluan.

"Raden ...!" Purbajaya berteriak takut ditinggal. Raden Yudakara pun terpaksa turun dari kudanya. Untuk beberapa saat dia memeriksa kudanya. Ada buih putih di mulutnya. Barangkali sebentar lagi kuda hitam tegap itu pun akan mengalami nasib yang sama yang dialami kuda milik Purbajaya.

"Sialan ...!" gerutu Raden Yudakara.

Jalan pedati semakin sempit dan menaik ke arah perbukitan. Tentu saja ini merepotkan bila di saat genting dan perjalanan berat seperti ini, kuda mereka malah mogok.

"Mustinya kuda ini kuat berlari dua hari penuh tanpa henti," omel Raden Yudakara dengan wajah cemberut.

"Perjalanan kuda itu memang sudah dua hari. Barangkali kalau kita tak banyak belok kirikanan, kuda akan sanggup melaksanakan tugasnya sampai di tujuan," kata Purbajaya sedikit menyalahkan Raden Yudakara yang banyak berhenti untuk menggoda wanita cantik. 

Mendapatkan kritik ini, Raden Yudakara hanya menoleh sebentar. "Ayo kita jalan kaki saja!" kata Raden Yudakara.
Purbajaya segera mengikuti pemuda bangsawan itu yang segera berlari cepat menaiki bukit. Dia nampak meloncat-loncat lincah dari ujung batu ke ujung batu lainnya. Sepertinya dia sengaja hendak menguji atau menghukum Purbajaya yang barusan berani menyalahkannya.

Sadar akan hal ini, Purbajaya pun tak sungkan-sungkan melayaninya.

Dia tak mau menyusul langkah Raden Yudakara. Namun demikian, dia pun tak mau tertinggal jauh oleh pemuda bangsawan itu. Dengan kata lain, Purbajaya ingin memperlihatkan bahwa kemampuannya tidak berada terlalu jauh di bawah kemampuan Raden Yudakara.

Dan memang terbukti, sebenarnya kemampuan Purbajaya tidak berada jauh di bawah kemampuan Raden Yudakara. Kian menuju bukit, tenaga yang dikeluarkan oleh Purbajaya tidak semakin ditingkatkan. Namun kenyataannya, jarak antara keduanya tak begitu jauh. Purbajaya tidak pernah ketinggalan oleh larinya Raden Yudakara.Bahkan ada kelebihannya, kalau Raden Yudakara sudah nampak kelelahan, tapi Purbajaya biasa-biasa saja. Dalam hal tenaga, Purbajaya unggul satu tingkat.

Namun Raden Yudakara tak mau memperlihatkan kelemahannya ini. Dia terus saja berlari kendat pun kecepatannya kian berkurang juga.

Purbajaya sadar, sebetulnya Raden Yudakara memiliki rasa angkuh dan tak mau kalah oleh orang lain. Dia tak mau mengakui kelemahannya atau kelemahannya tak boleh diketahui orang lain.Oleh sebab itu nampak sekali, kendati dia sudah lelah tapi masih tetap memaksa lari.

Melihat ini, Purbajaya segera mengurangi langkahnya. Dia bahkan teriak-teriak minta agar Raden Yudakara suka menghentikan langkahnya untuk memberi istirahat pada Purbajaya.

"Tolonglah Raden, saya sudah tak kuat ..." keluh Purbajaya pura-pura terengah-engah. Beberapa kali dia pura-pura tersedak batuk dan menyeka jidatnya.

"Dasar engkau orang lemah, Purba ..." omel Raden Yudakara sambil menghentikan larinya dan mencoba menahan napasnya yang memburu. Kalau Raden Yudakara berusahan menahan napasnya yang kecapekan, sebaliknya Purbajaya berusaha mnemperlihatkan bahwa dirinya amat capek. Akal ini ternyata berhasil. Raden Yudakara tersenyum puas karena sudah membuktikan "kehebatan"nya. Purbajaya kalah olehnya dalam adu lari. Dia punya kesempatan untuk "memberi" istirahat kepada Purbajaya.

"Tenaga saja memang payah. Tapi sebetulnya ada sesuatu yang tengah saya pikirkan,"kata Purbajaya masih terengah-engah.

"Kau memikirkan apa?" tanya Raden Yudakara.

Purbajaya sebenarnya memang tak mengada-ada. Ada sesuatu yang tengah dia pikirkan.

"Jalanan ini sempit, mendaki dan berbatu. Mungkinkah pasukan kita bisa tiba di sini?" tanya Purbajaya.

"Maksudmu mereka tak pernah ke sini?" Keduanya terdiam sejenak.
"Atau mereka ke sini," cetus Raden Yudakara. "Tapi tanpa berkuda," sambung Purbajaya.
"Kau benar. Kuda terbaik mana pun tak mungkin sanggup merambah perjalanan di sini. Jalanan terlalu sempit untuk tubuh seekor kuda paling kecil pun. Jadi satu-satunya jalan tentu merambahnya dengan jalan kaki seperti kita ini," kata Raden Yudakara sambil kembali meloncat dan berjalan cepat.

Purbajaya kembali mengikutinya dari belakang. Namun belum juga jauh, Raden Yudakara sudah kembali merandek.

"Ada apa, Raden?"

"Kalau perjalanan mereka dilakukan dengan berjalan kaki, mereka tak bisa cepat." "Artinya bisa kita susul," Purbajaya menyambung.
"Tidakkah malah musuh yang mendahului menyusul pasukan kita?" tanya Raden Yudakara dengan khawatir. Purbajaya pun kaget dengan perkataan Raden Yudakara ini. "Raden tahu pasti?"

"Hanya perkiraan saja. Tapi aku khawatir kalau hal ini memang terjadi.

"Kalau begitu, kita harus cepat pergi ke atas," seru Purbajaya. Dan kembali kjeduanya merambah jalanan sempit di kaki bukit.

Namun puncak Gunung Cakrabuana kendati tak setinggi Ciremai, namun bukanlah sebuah tempat yang enak untuk dirambah.

Perjalanan ke puncak gunung, semakin ke atas semakin pekat karena hutan pohonkareumbi, kuray dan pohoncarik angin (sebangsa tumbuhan keras) dengan daun-daunnya yang rimbun dan gelap. Udara pun menjadi dingin dan lembab membuat pernapasan mudah sesak.

Begitu pun yang terjadi pada Purbajaya. Kendati udara dingin menusuk tulang sumsum, namun sekujur tubuh bersimbah keringat.

Di antara simbahan keringat dan pernapasan yang berat, Purbajaya kembali berpikir tentang perjalanan ini. Mengapa ini musti dilakukan?

Dia sudah terlalu jauh melibatkan diri dengan urusan yang dia sendiri tak mengerti. Semakin tidak mengerti ketika Paman Jayaratu secara rahasia datang ke puri dan dengan terangterangan menyalahkan kebijakan Pangeran Arya Damar yang telah menciptakan misi ini.

Di malam kehadiran Paman Jayaratu, seharusnya Purbajaya menyadari kalau dia telah mengabdi kepada kelompok yang salah. Tokh Paman Jayaratu telah mengerutkan kening sejak ketika dirinya dipanggil menghadap ke Puri Arya Damar. Kemudian secara diam-diam Paman Jayaratu mengunjungi puri untuk menentang kebijakan penghuni puri itu.

Ah, kukira Paman Jayaratu pun keliru, mengapa dia menyembunyikan sesuatu? Purbajaya kini mulai bisa menduga, Paman Jayaratu sebenarnya bukan orang sembarangan. Melihat pembicaraan malam itu, di mana Paman Jayaratu tak memiliki basa-basi kesopanan dalam berhadapan dengan Pangeran Arya Damar, hanya membuktikan bahwa kedudukan dan derajat keduanya sejajar. Hanya entah mengapa Paman Jayaratu keluar dari lingkungan istana dan seperti memilih tidak punya peran apa-apa di Pakungwati. Sengaja dibuang oleh lingkungannya ataukah dia sendiri yang membuang diri?

Benar atau tidak perkiraan ini, yang jelas hal-hal rahasia yang menyangkut diri Paman Jayaratu sedikit banyaknya telah merugikan Purbajaya. Karena serba dirahasiakan, akhirnya Purbajaya menjadi buta dalam mengenal kehidupan istana.

Lamunan terhenti ketika tiba-tiba Raden Yudakara menghentikan larinya. "Kau simaklah, ada orang bertengkar ... " bisik Raden Yudakara. Purbajaya pun segera memasang telinga baik-baik. Benar saja, sayup-sayup terdengar ada orang tengah bersilat lidah.

"Paman Jayaratu ... " bisik Purbajaya kaget.

"Aku kenal, suara satunya lagi adalah Ki Albani," bisik Raden Yudakara. Ya, Purbajaya pun dengar, ada suara Ki Albani, yaitu perwira utama paling tua dari tiga perwira yang memimpin pasukan ke tempat ini.

Raden Yudakara dan Purbajaya berindap-indap, mencoba mendekati tempat di mana terdengar dua pembicaraan yang menegangkan. Dan dua orang itu akhirnya berhasil mengintip ke tempat yang dimaksud. Mereka adalah pasukan Carbon yang dipimpin oleh empat perwira dan terlihat tengah mengerumuni Paman Jayaratu. Mereka semuanya terlibat dalam pembicaraan serius dan terkesan berselisih pendapat.

"Engkau tak punya hak mencegah kami berbuat sesuatu di sini," kata Ki Albani. Ketiga orang perwira lainnya yaitu Ki Aspahar, Ki Maarsonah dan Ki Aliman nampak mengurung Paman Jayaratu sepertinya siap melakukan sesuatu. Ki Aliman yang pemberang bahkan nampak telah memegang gagang golok yang terselip di pinggang kirinya.

"Dulu memang engkau atasan kami dan kami dipaksa hormat dan taat padamu. Namun itu puluhan tahun silam. Ketaatan kami kini hanya diabdikan untuk Pangeran Arya Damar." kata Ki Aspahar, sama bersikap menantang.

"Ini bukan pembicaraan mengenai hak atau bukan. Yang aku ingin lakukan demi keselamatan kita bersama," Paman Jayartu menjawab tenang. Tak ada sikap menantang pada dirinya. Bahkan berdiri pun terlihat seenaknya saja.

"Keselamatan kami adalah bila kami taat perintah Pangeran Arya Damar. Hanya dia yang janjikan kami punya peranan penting di Pakungwati. Sementara selama kami ikut engkau puluhan tahun, tidak secuil pun engkau memberikan harapan akan masa depan kami.Yang engkau pikirkan hanya mengabdi dan mengabdi saja. Kerbau yang menarik gerobak saja punya keinginan karena dirinya merasa memiliki jasa. Orang tolollah yang mati-matian mengabdi tanpa memiliki ambisi apa pun," kata Ki Aspahar lagi.

Diserang dengan kata-kata tajam seperti itu, Paman Jayaratu hanya tersenyum tipis. "Mungkin itu yang membedakan aku dengan kalian. Aku bukan saudagar atau pedagang, jadinya dalam bekerja tidak berniat mencari keuntungan. Dulu aku memimpin ribuan prajurit hanya karena pengabdian agar Carbon besar dan berwibawa. Kalau pun aku sebut keuntungan, itulah yang aku cari. Nah, kuharap, kau pun seperti itu. Kalau mau cari keuntungan, jadilah pedagang, jangan jadi pejabat. Tokh antara Carbon dan Pajajaran, sejak dimulainya permusuhan sudah terbiasa kita melihat pedagang gelap. Untuk mencari keuntungan dalam berniaga, cara apa pun memang bisa dilakukan tapi tidak untuk pengabdian kepada negara," jawab Paman Jayaratu panjang-lebar."Sebelum terlambat, cepat jauhilah Si Arya Damar," sambungnya lagi. Nada suaranya mulai tegas.
"Huah! Petuahmu hanya bisa dimengerti kaum wiku di Pajajaran, di mana banyak orang membatasi diri dalam berupaya dan berkehendak. Ucapanmu hanya pantas disampaikan kepada orang-orang yang tak memiliki keinginan untuk maju. Dengarkan Jayaratu, aku pun kini tengah mengabdi. Namun mengabdi kepada suatu cita-cita. Kini aku mengabdi kepada orang lain, dan pada gilirannya orang lainlah yang kelak akan mengabdi ke padaku. Itulah yang namanya cita-cita!" Ki Aspahar berkata lantang, diiyakan oleh tiga perwi?ra lainnya.
Paman Jayaratu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar pendapat ini.

"Engkau pikirkanlah, hai Jayaratu. Orang yang tak berambisi sepertimu dan bekerja hanya untuk pengabdian, maka di akhir hayat tak akan berketentuan. Kau tak punya apa-apa, tidak juga sebuah pengaruh. Hanya selama terpakai engkau dihargai, namun sesudah itu, semua orang melupakanmu. Melihat kau jujur, siapa yang memujimu? Kejujuran adalah malapetaka, baik bagi dirimu, begitu pun bagi orang lain. Apa kau tak pernah mengira bahwa kejujuran yang engkau buat sebetulnya telah mengganggu kehidupan orang lain? Itulah sebabnya kau digeser dan dicampakkan karena terlalu mementingkan kejujuran!" kata Ki Albani dengan nada mengejek.

"Alhamdulillah, aku merasa tidak sakit hati dimusuhi dan dienyahkan karena mempertahankan kejujuran dan ketulusan. Dan sekali lagi aku harapkan, sebaiknya kalian seperti aku. Ingatlah, Carbon tengah mengalami kemunduran. Kalau kita tak bersatu melakukan kejujuran dan ketulusan dalam mempertahankan keberadaan negri, maka tanah yang kita pijak ini akan hancur-lebur. Hanya melulu bekerja untuk saling berebut menguruskan kepentingan ambisi pribadi malah akan mempercepat keruntuhan," kata Paman Jayaratu berusaha menyadarkan mereka.

"Hahaha! Malah itu yang diinginkan Pangeran Arya Damar.Untuk melahirkan seorang pahlawan harus diciptakan kemelut dulu. Dan bila kau sanggup mengamankan dan meredam kemelut, kaulah pahlawannya!" kata Ki Aspahar.

"Masya Allah... begitu kejamnya jalan pikiran kalian. Aspahar, bertobatlah engkau kepada Tuhan agar sebelum kematian dicabut dosamu diampuni"

"Sudahlah Jayaratu, kau mundur dari sini dan biarkan kami menggempur Ki Darma!"

"Kalian hanya membuang tenaga menggempur Ki Darma. Ki Darma memang musuh besar tapi sebatas ketika dia menjadi perwira besar Kerajaan Pajajaran. Kini dia mengasingkan diri di puncak dan sudah tak ingin melibatkan diri ke kancah percaturan dunia. Jangan ganggu ketentramannya," Paman Jayaratu masih berupaya mencegah pasukan berangkat.

"Ki Darma itu penjahat besar. Buktinya dia selalu dikejar oleh orang-orangnya sendiri. Dia curi tombak pusaka Cuntang Barang. Dan kau harus tahu, Cuntang Barang itu mustinya jadi milik Carbon," kata Ki Aliman.

"Jangan terkecoh siasat Arya Damar. Cuntang Barang tak ke mana-mana. Benda pusaka itu sudah dirawat oleh Kangjeng Susuhunan Jati.Arya Damar menyuruh kalian untuk menyerbu Ki Darma karena dia takut kepada perwira tangguh itu. Arya Damar punya dosa besar kepada Ki Darma. Dia bantai keluarga Ki Darma. Secara pengecut Arya Damar menggempur wilayah Tanjungpura!"

"Ah, orang tua ini rewel, Kakang. Sebaiknya kita habisi saja dia!" Ki Albani tak sabar lagi dan segera mencabut senjatanya.

"Benar, bunuh Jarayatu!" teriak Ki Aspahar menyerupai komando. Tentu saja teriak-teriakan ini mengundang emosi yang lainnya. Dan dengan serta-merta Ki Jayaratu dikepung semua orang.

Purbajaya yang sejak tadi bingung mengamati pertengkaran, akan segera meloncat ketika melihat Paman Jayaratu dikeroyok belasan orang dengan senjata penuh. Namun sebelum niatnya terlaksana, bahunya sudah ditarik Raden Yudakara.

"Engkau mau apa?" tanya Raden Yudakara masih memegang bahu Purbajaya.

Sejenak Purbajaya tak bisa menjawab. Dia memang bingung. Paman Jayartu adalah gurunya, juga orang yang sudah dianggap sebagai keluarganya. Tapi kalau mau Paman Jayaratu berarti melawan atasannya. Bukankah dirinya kini telah emenjadi anak buah keempat orang perwira itu?

"Raden, aku hanya tak mau melihat Paman Jayaratu celaka,"

"Engkau prajurit. Jangan memikirkan urusan-urusan besar dan pelik. Ini urusan politik. Siapa benar siapa salah, belum tentu kita tahu. Kalau kau menyangka Ki Jayaratu punya pendapat yang benar, mengapa dia tersingkir dari istana? Seharusnya Ki Jayaratu memegang jabatan yang kini dikuasai Pangeran Arya Damar, nyatanya tidak. Itu karena dia tak punya persesuaian paham dengan sesama pejabat lainnya," kata Raden Yudakara."Pangeran Suwarga,hulu-jurit

(panglima perang) tidak melakukan tekanan berat kepada Pajajaran. Dia terlalu taat kepada keinginan Kangjeng Susuhunan Jati yang menempatkan Carbon bukan negara militer, namun lebih menitikberatkan sebagai pusatnya pengembangan agama.

Kangjeng Susuhunan Jati menginginkan dalam mencoba menguasai Pajajaran seutuhnya tidak dilakukan dengan peperangan namun lebih menitikberatkan kepada upaya pendekatan agama. Sementara Pangeran Arya Damar lebih memilih pendekatan kekuatan militer. Hanya sekadar perbedaan pendapat mengenai cara menanganinya saja sebab tujuannya semua sama yaitu seluruh wilayah Pajajaran seutuhnya harus masuk Carbon. Sementara Ki Jayaratu tidak sepakat dengan pendapat yang mana pun. Dia malah berkeinginan agar antara Pajajaran dan Carbon hidup berdampingan sebagai dua kekuatan di Jawa Kulon yang hidup saling menghormati. Dan akhirnya semuanya tak punya kesesuaian paham. Nah, kalau kau mau melibatkan diri mau ikut ke mana? Engkau orang kecil, maka tak akan mampu ikut ke manamana, selain hanya memiliki keterikatan sebagai prajurit semata," Raden Yudakara bicara panjang-lebar dan Purbajaya menyimak pendapat pemuda bangsawan itu sambil terus mengawasi jalannya pertempuran.

Paman Jayaratu memang hebat. Bahkan baru kali inilah Purbajaya melihat kehebatan orang tua itu. Selama bertahun-tahun dia ikut Paman Jayaratu, baru kali ini menyaksikan orang tua itu bertempur sungguhan.

Paman Jayaratu dikeroyok empat orang perwira sekaligus, sementara belasan prajurit mengepungnya dengan rapat. Purbajaya hanya pernah mengenal kehebatan Ki Aliman sebab tempo hari pernah adu kepandaian dengan orang itu. Kata orang,kepandaian Ki Aliman hanya menempati peringkat empat dari empat perwira utama Puri Arya Damar. Artinya, ketiga orang perwira lainnya berada di atas kepandaian Ki Aliman. Purbajaya khawatir, apakah Paman Jayaratu bisa mengimbangi pengeroyokan ini?

Tapi seperti tadi tersaksikan, Paman Jayaratu memang hebat. Kalau pertempuran ini dilakukan satu lawan satu, maka Purbajaya bisa memastikan kalau keempat orang perwira itu tidak akan mampu menandinginya. Ki Albani merupakan orang paling pandai . Menurut penilaian Purbajaya, orang itu kepandaiannya berada satu tingkat di bawah Paman Jayaratu.

Tapi Paman Jayaratu yang tak menggunakan senjata, dikepung empat orang yang kesemuanya berbekal senjata keras. Ki Aliman memegang golok mengkilap sakingtajamnya, Ki Marsonah berbekal ruyung baja, Ki Aspahar dengan senjata trisula yang juga terbuat dari baja hitam, serta Ki Albani nampak memutar-mutar tongkat besi.

Purbajaya tak pernah menyaksikan Paman Jayaratu bertempur. Dengan demikian, dia tak tahu bagaimana kegemaran dan cara Paman Jayaratu berkelahi. Apakah dalam setiap perkelahian Paman Jayaratu tidak pernah menggunakan senjata, atau hanya karena dalam perkelahian yang ini dia merasa tak perlu untuk menggunakannya? Yang jelas bisa dilihat, betapa sibuknya Paman Jayaratu dalam meladeni pengeroyokan ini. Dia harus berkelit ke sana ke mari untuk menghindari serbuan empat jenis senjata yang gaya menyerangnya berbeda karakter. Beberapa kali Paman Jayaratu harus bergulingan di atas tanah dalam upaya menghindarkan serangan lawan. Beberapa kali pula Paman Jayaratu terlihat menerobos dan mencoba melumpuhkan kepungan lawan.

Amat beruntung, karena keempat jenis senjata itu berlainan karakter, maka kepungan tidak bisa rapat dan ketat. Senjata ruyung dan tongkat besi yang terus berputar dan menimbulkan gaung keras, harus menempatkan diri dengan jarak antara yang tepat sebab kalau di antara mereka jaraknya tidak tepat, maka terjadi benturan di antara sesamanya sendiri. Hanya senjata trisula di tangan Ki Aspahar dan golok di tangan Ki Albani yang bisa kerja sama melakukan serangan. Secara bergiliran trisula dan golok melakukan tusukan atau sabetan.

Namun Paman Jayaratu selalu bisa meloloskan diri dari bentuk serangan apa pun, kendati dilakukan dengan susah-payah dan mengurangi daya serangnya sendiri.

Keuletan Paman Jayaratu dalam mempertahankan diri rupanya amat menjengkelkan keempat orang perwira itu. Buktinya, setelah melalui berbagai upaya mereka belum juga sanggup melumpuhkan Paman Jayaratu, Ki Albani berseru keras dan memerintahkan belasan prajuritnya untuk ikut menerjang.

Maka pertempuran semakin seru dan tak beraturan sebab belasan orang mengeroyok satu orang. Belasan prajurit yang hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja, hanya menyerang serabutan tanpa disertai strategi yang benar. Kalau Paman Jayaratu mau, sebetulnya dalam satu gerakan saja sudah bisa melabas habis belas prajurit itu. Namun barangkali itu tidak akan dilakukan Paman Jayaratu. Selain orang tua itu tidak memiliki perangai kejam, juga mungkin disengaja. Belasan penyerang yang tak memilki kepandaian berarti, hanya akan mengacaukan strategi penyerang-penyerang berilmu saja. Terbukti, banyaknya pengeroyok, malah serangan menjadi tak efektif. Gerakan keempat orang perwira itu malah banyak terganggu oleh sabetan-sabetan golok tak berarti dari para prajurit. Ki Albani sudah mengeluarkan sumpahserapah. Dia memarahi para prajurit yang dikatakannya bodoh dan tiada guna. Namun demikian, menghadapi pengeroyokan yang demikian ketat, Paman Jayaratu pun tak bebas bergerak. Apalagi dia seperti tak punya niat untuk melukai para prajurit. Maka bertambah sulitlah gerakan Paman Jayaratu.

Kini terlihat Paman Jayaratu malah mulai repot. Beberapa gebukan tongkat sempat mendarat di punggungnya. Ketika ada tusukan trisula, Paman Jayaratu kurang sempurna menghindar sebab pada waktu yang bersamaan ada ruyung berputar dan mengarah ubun-ubunnya.

Cras! Ujung trisula menusuk bahu Paman Jayaratu. Untuk menghindari serangan susulan, Paman Jayaratu menggunakan ilmu trenggili dan tubuhnya berguling-guling terus. Namun demikian, serangan pukulan tongkat dan ruyung terus mengarah padanya. Karena serangan datang bertubi, maka sambil bergulingan Paman Jayaratu meraih sebatang ranting. Ranting itu digunakannya sebagai senjata pelindung. Oleh Paman Jayaratu ranting itu digerakkannya ke kiri dan ke kanan. Ini bukan sabetan biasa, melainkan sebuah sabetan dengan pengerahan tenaga dalam. Maka yang paling rugi menerima sabetan ini adalah para prajurit yang hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja. Setiap pedang dan goloknya berbenturan dengan ranting yang dipegang Paman Jayaratu, maka setiap itu pula terdengar jerit kesakitan. Senjata mereka terlontar ke sana ke mari.

Paman Jayaratu terus dikejar oleh keempat perwira karena kemarahan mereka memuncak manakala dilihatnya beberapa prajuritnya terluka. Dan karena kedudukan Paman Jayaratu lemah, beberapa kali senjata lawan mendarat lagi di tubuhnya. Darah sudah mulai terlihat di sana-sini.

Melihat kejadian yang amat membahayakan ini, Purbajaya tak bisa menahan diri, dia segera meloncat terjun ke arena pertempuran. Serangan empat perwira dicoba untuk dihadang.

"Dasar gurunya pengkhianat, muridnya poun sama pengkhianat!" dengus Ki Albani."Bunuh sekalian tikus kecil ini!" teriaknya sambil mendahului melayangkan goloknya.

Beberapa prajurit ikut mencecarkan goloknya ke arah tubuh Purbajaya. Dan pemuda ini sebentar saja sudah dikeroyok seperti gurunya. Dengan amat mudahnya dia menghindari serangan para prajurit. Dan ketika Ki Aliman menyerang dengan senjatanya, Purbajaya segera menjegalnya. Pemuda itu meningkatkan tenaganya. Dia sudah lama tak suka orang ini yang sombong dan pemarah. Dulu dia sudah menjajalnya dan orang ini kepandaiannya satu tingkat di bawahnya. Maka didorong oleh rasa sebalnya,Purbajaya mendahului menerjang sebelum senjata Ki Aliman datang menyerang. Gerakan Ki Aliman kalah cepat dengan sambaran ujung kaki kanan Purbajaya.

Maka tak ayal terdengar jeritan Ki Aliman ketika tubuhnya terlontar ke udara, kemudian jatuh berdebuk hampir enamdepa jauhnya. Dia sudah tak bisa bangun lagi.

Ki Marsonah yang bersenjata ruyung, mencoba memutar benda itu bagaikan baling-baling. Purbajaya terpaksa main mundur karena tak berani memapaki senjata berat itu.

Rupanya Ki Albani dan Ki Aspahar pun darahnya semakin naik demi melihat rekannya tak bisa bangun lagi. Terlihat nyata, mereka menyerang Purbajaya habis-habisan sepertinya tubuh Purbajaya mau dia lumatkan hari itu juga. Paman Jayaratu dan Purbajaya terkepung lagi. Mereka berdua saling beradu punggung agar tidak menerima serangan dari belakang.

Pertempuran berlangsung lama dan tak terasa cuaca menjadi gelap.

Purbajaya mulai terdesak karena diganggu rasa lelah. Di beberapa bagian tubuhnya terasa ada cairan hangat mengucur. Dia menduga, darah telah mengucur karena luka-luka.

"Paman, mari kita tinggalkan tempat ini!" serunya. Rupanya Paman Jayaratu pun punya pendapat yang sama, ingin keluar dari kepungan. Hanya saja untuk lolos dari tempat ini memang sungguh sulit.Kepungan tetap rapat sementara baik Paman Jayaratu mau pun Purbajaya tidak mau membuka jalan darah dengan cara mengorbankan prajurit yang tak berdosa. Purbajaya benci ini. Membuka kepungan tak bisa tapi melakukan pembunuhan pun tak mau. Dia tak mau sesama orang Carbon jadi saling bunuh begini.

Di saat genting begini, secara tiba-tiba dari bawah lereng bukit terdengar sorak-sorai dengan puluhan cahaya obor datang menyerbu.

Ada pasukan baru yang datang ke sini. Pasukan dari mana?

"Betul! Mereka prajurit Carbon! Mereka prajurit Carbon!" teriak suara-suara itu membahana.

Purbajaya terkesiap. Dia baru sadar kalau yang datang adalah belasan perwira Pajajaran disertai puluhan prajurit yang pernah diberitakan kemarin.

"Masya Allah! Bodohnya aku!" keluh Purbajaya. Betul-betul bodoh. Padahal susah-payah menuju puncak bersama Raden Yudakara karena urusan ini. Mereka tadinya ingin melaporkan kehadiran pasukan Pajajaran ini kepada Ki Albani dan pasukannya. Raden Yudakara bahkan sudah wanti-wanti agar diusahakan pasukan Carbon jangan dulu bertempur dengan pasukan Pajajaran dan biarkanlah mereka saling timpuk dulu dengan Ki Darma, baru kemudian dihajar pasukan Carbon. Tapi rencana tinggal rencana. Yang belakangan terjadi malah kebalikannya, sesama orang Carbon yang saling timpuk duluan. Sungguh tragis dan juga sekaligus memalukan!

Hala semacam rupanya mulai disadari oleh yang lainnya. Buktinya ketika terdengar teriakteriakan dari bawah lereng, pertempuran mendadak berhenti. Semuanya meneliti ke bawah lereng dan baru kelabakan sesudah tahu siapa yang datang.

"Sial ... Pasukan Pajajaran datang!" teriak Ki Albani. "Ayo menyingkir!" teriak Ki Marsonah.
Namun gerakan mereka mendadak terhambat sebab puluhan anak panah melesat dari bawah lereng pertanda musuh melepaskan senjata anak-panah.

Beberapa saat kemudian terdengar jerit kesakitan karena beberapa orang prajurit Carbon tertusuk anak-panah. Hanya orang berkepandaian tinggi yang bisa menghindar dari serangan anak-panah yang dilepas dalam gelapnya malam. "Dari mana mereka tahu kita di sini?" tanya Ki Albani sambil miringkan tubuhnya ke  samping karena ada anak-panah melesat ke arahnya.

"Aku tahu sejak dini. Justru kalian mau aku beritahu. Tapi apa daya, kalian malah saling timpuk dengan sesama," kata Purbajaya marah dan kesal.

"Dasar engkau anak dungu. Seharusnya kau khabarkan sejak tadi. Kau malah sibuk membantu Si Jayaratu yang pengkhianat itu!" teriak Ki Aspahar gemas. Dia bahkan hendak memukul Purbajaya namun segera diurungkan sebab hujan anak-panah kembali mencecarnya.

"Jahanam! Kita serbu mereka! Ayo, kalian berlindung di belakangku, biar hujan anak-panah aku yang sambut!" teriak Ki Marsonah sambil memutar ruyungnya. Benda itu diputarnya keras-keras untuk membentengi tubuhnya dan sekalian juga buat melindungi para prajurit yang berlindung di belakangnya.

Ki Albani yang berdiri di samping pun sama memutar tongkat besi. Maka terdengar suara keras dari dua senjata berlainan. Setiap ada anak-panah melesat segera tertangkis oleh putaran senjata mereka.

Usaha ini berhasil. Pasukan Ki Albani bisa merangsek mendekati pasukan musuh yang bersenjata panah. Purbajaya mengerti, pasukan panah akan kesulitan kalau diajak melakukan pertempuran jarak dekat. Mereka tak akan punya waktu mementangkan busurnya.

Namun serangan prajurit di bawah pimpinan Ki Albani ini disambut oleh pasukan musuh lapis kedua. Purbajaya terkejut. Pasukan panah sebetulnya hanyaalah pasukan pelopor. Tugas mereka hanya membuat lawan panik saja. Sedangkan serangan sesungguhnya justru datang dari lapis kedua inilah.

Purbajaya terkesiap, betapa kemarin pagi dia menerima khabar bahwa yang datang ke puncak Cakrabuana ini adalah belasan perwira handal yang ditugaskan menangkap Ki Darma. Serasa kecil nyali Purbajaya setelah menerima penjelasan Paman Jayaratu beberapa waktu lalu. Kata orang tua itu, Raja Pajajaran selalu memiliki seribu orang pasukanBalamati (pengawal raja) yang tugasnya membela Raja dan negara sampai titik darah penghabisan. Itulah sebabnya,dayo (ibunegri) Pakuan selamat dari serbuan pasukan Banten (ketika Pajajaran dikuasai oleh Sang Prabu Ratu Dewata, 1535-1543 Masehi). Ki Darma yang kini mengasingkan diri di puncak Cakrabuana adalah salaha seorang anggota pasukanBalamati dan dulu pernah ikut mempertahankan Pakuan dari gempuran pasukan Banten.

Sekarang ada belasan perwira disertai puluhan prajuritnya datang ke Cakrabuana dengan memiliki tujuan yang sama dengan pasukan Carbon, yaitu sama-sama hendak menempur Ki Darma namun secara kebetulan mereka bertemu dulu sebelum rencana mereka tercapai. Maka tak ada pilihan buat mereka kecuali saling tempur.

Purbajaya merasa ngeri menghadapi pertempuran ini. Empat perwira Carbon tenaganya sudah tak utuh lagi sebab mereka sebelumnya telah habis-habisan menempur Paman Jayaratu. Sekarang mereka harus melawan belasan perwira Pajajaran yang masih banyak menyimpan tenaga. Dalam keadaan terdesak seperti sekarang ini, mungkin Paman Jayaratu dan dirinya sendiri akan berpihak kepada pasukan Carbon. Namun tentu dengan hati kesal dan pikiran kalut karena kejadian ini sebelumnya didahului oleh peristiwa yang tidak menyenangkan.

Dengan gagah berani, tiga perwira merangsek ke depan. Mereka adalah Ki Albani, Ki Marsonah dan Ki Aspahar karena Ki Aliman terluka parah oleh tendangan Purbajaya tadi.

Ini adalah satu-satunya pilihan dari dua pilihan terburuk. Dengan jumlah pasukan yang kecil, lebih baik menyerang duluan ketimbang menunggu untuk diserang.

Apalagi dalam menghadapi pasukan panah, tak boleh mengambil jarak kalau tak mau jadi sasaran. Namun sebaliknya, kalau mendahului menerjang, pasukan panah tak bisa segera melakukan aksinya.

Paman Jayaratu dan dia yang sudah terluka terpaksa memaksakan diri ikut menerjang. Seluruh sisa prajurit Carbon pun samaa-sama ikut menerjang.

Yang amat menyebalkan hati Purbajaya, mengapa Raden Yudakara tak mau muncul di saat genting seperti ini? Pemuda itu bahkan sejak tadi tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Tadi siang Raden Yudakara memang masih berada di sampingnya, bahkan memberikan nasihat agar Purbajaya tak ikut melibatkan diri dalam pertikaian antara para perwira Cabon dan Paman Jayaratu. Namun menurut hemat Purbajaya, tak seharusnya Raden Yudakara terus ngumpet dan membiarkan pasukan Carbon kepayahan begini.

Pertempuran yang hanya diterangi cahaya obor di sana-sini, memang terlihat berat sebelah. Kendati pasukan Carbon mendahului menyerang, tapi akhirnya jadi bulan-bulanan pasukan Pajajaran. Mereka yang jumlahnya lebih kecil, akhirnya dikepung rapat oleh sejumlah pasukan yang jauh lebih besar dengan tenaga lebih utuh

Purbajaya berjuang sekuat tenaga. Dia dikepung oleh tiga atau empat orang perwira Pajajaran, belum tenaga beberapa orang prajurit yang membantu mereka di belakang.

Para perwira Pajajaran benar-benar hebat. Gerakan mereka cepat dan susah diikuti ke arah mana mereka melakukan serangan. Mereka menyerang Purbajaya dengan tangan kosong tapi amat membahayakan jiwa kalau tak hati-hati menghadapinya. Mereka menyerang dari depan, dari samping, bahkan dari bawah dan atas sambil kaki-kaki mereka yang lincah dan ringan menotol dari satu pohon ke pohon lain.

Namun kendati pasukan Carbon diserang rapat, ternyata tak mudah dikalahkan. Buktinya, pertempuran di hutan pinus lereng Gunung Cakrabuana ini belum juga usai hingga malam menjelang pagi. Artinya, pertempuran berlangsung sepanjang malam dan satu sama lain sulit mengalahkan kendati pasukan Carbon ada di pihak yang terdesak. Hal ini terjadi barangkali karena kenekatan anggota pasukan Carbon yang dipimpin oleh tiga perwiranya. Ki Albani, Ki Marsonah dan Ki Aspahar bertempur dengan ganas dan mati-matian bahkan sedikit membabibuta dalam memainkan senjatanya. Sebaliknya, belasan perwira Pajajaran, di samping bertempur tak menggunakan senjata apa pun, mereka lebih bergerak secara taktis dan tidak terlalu mengobral tenaga. Ini disadari oleh Purbajaya dan barangkali juga oleh Paman Jayaratu, bahwa pasukan Pajajaran ingin membuat pasukan Carbon kalah karena kehabisan tenaga. Mungkin mereka akan melibasnya bila lawan sudah benar-benar lumpuh kehabisan tenaga.

Siasat ini memang berhasil. Ketika hari sudah terang, kondisi tubuh ketiga orang perwira Carbon mulai lemah. Mereka hanya sanggup menggerakkan senjata masing-masing dengan tenaga seadanya saja. Anehnya, orang Pajajaran tak segera melumpuhkannya. Padahal dalam satu kali gerakan, ketiga perwira Carbon sudah bisa dikalahkan.

Hati Purbajaya merasa panas. Dia berpikir orang Pajajaran ini sombongsombong.Menganggap dirinya sudah berada di atas angin, maka kerja mereka hanya mempermainkan lawan saja, persis seperti kucing mempermainkan tikus sebelum dilahapnya.

Sangkaan ini meleset. Ketika ketiga orang perwira Carbon jatuh terduduk karena kelelahan, mereka tak diganggu, apalagi dibunuhnya. Mereka hanya bersikap mengepung saja.

Kelelahan pada akhirnya mendera Purbajaya dan Paman Jayaratu juga. Kedua orang itu akhirnya bertekuk lutut tanpa menerima serangan maut dari pihak lawan. Melihat ke sekelilinmg, hampir semua orang-orang Carbon tergeletak, entah tewas entah pingsan atau karena kelelahan saja.

"Bunuhlah aku! Bunuhlah aku!" teriak Ki Albani seraya menjambak-jambak rambutnya sendiri. Suaranya parau. Namun nada kesal dan marah bercampur perasaan putus asa nampak sekali pada diri perwira ini. Sementara Ki Marsonah dan Ki Aspahar sudah tergeletak pingsan.

"Ya, bunuhlah semuanya dengan segera, sebab sesudah itu, kalian akan menghadapiku!" tibatiba terdengar suara lantang tapi dengan nada acuh tak acuh sepertinya ini bukan peristiwa penting dan mengagetkan.

Yang nampak kaget ketika mendengar suara ini adalah para perwira Pajajaran. Mereka semuanya menatap ke tebing bagian atas.

Paman Jayaratu pun nampak terkejut. Dengan susah-payah dia berdiri dan kepalanya tengadah ke atas tebing.

"Ki Darma ..." gumam Paman Jayaratu pelan.

Purbajaya ikut menengadah. Di atas tebing cadas nampak orang tua bertubuh ceking dengan rambut warna perak riap-riapan tanpa ikat kepala. Dia bercelana sontog (celana sebatas betis) terbuat dari kain kasar warna nila. Bajunya rompi dari kain kasar juga. Tidak berkancing sehingga dadanya dibiarkan terbuka begitu saja.

Purbajaya mengeluh sebab rasanya kesulitan akan kian bertambah. Mendapat serangan perwira Pajajaran tidak terkenal saja sudah sedemikian payahnya, apalagi ditambah dengan Ki Darma, tokoh yang amat ditakuti semua orang.

"Kalian datang jauh-jauh dari Pakuan, apakah akan menangkapku?" tanya Ki Darma bertolak pinggang. "Kami memang menerima perintah Ratu untuk menangkapmu. Sebetulnya Kangjeng Prabu Ratu Sakti mengharapkanmu," kata seorang perwira Pajajaran berusia kira-kira tigapuluh tahun.

"Nah, sekarang laksanakan perintahnya agar kalian menjadi orang-orang yang taat kepada pemerintah. Tapi hati-hati sebab aku akan melawan kalian," kata Ki Darma masih bertolak pinggang.

"Kami tak akan menangkapmu." "Mengapa?"
"Karena kami tak mau!"

"Bocah edan. Apa perlunya kalian jauh-jauh datang ke sini kalau tujuannya hanya mau berkhianat terhadap ratumu?" tanya Ki Darma mengerutkan alis.

"Pertama kami tak akan mampu mengungguli kesaktiamu dan keduanya kami tak mau mentaati perintah Ratu."

"Hahaha! Semua orang senang bersandiwara!" Ki Darma terkekeh-kekeh sepertinya ini percakapan penuh kelucuan.

"Ini adalah ucapan yang keluar dari hati kami yang suci. Kami mau berhenti dari pengabdian kami kepada Kangjeng Prabu."

"Salah sendiri, kenapa kalian mengabdi kepada orang dan bukan kepada negara?" tanya Ki Darma.

"Itulah sebabnya, kami akan bergabung denganmu!" "Mengabdi padaku?"
"Bukan. Bergabung denganmu."

"Nanti aku disalahkan lagi sama penguasa Pakuan. Disangkanya aku mempengaruhi kalian untuk sama-sama tak menyukai penguasa!" ujar Ki Darma.

"Itu kami yang bertanggungjawab."

"Coba alasan kalian, mengapa kabur dari Pakuan?" tanya Ki Darma.

"Perilaku Kangjeng Prabu semakin menjadi-jadi saja. Rakyat dibebani pajak tinggi, yang membangkang ditangkap. Banyak negara kecil di bawah Pakuan diserang habis-habaisan hanya karena enggan membayar pajak."

"Penyakit lama ... Sialan!" gumam Ki Darma. "Maka kami akan ikut Aki saja ..." "Hati-hati bicaramu. Aku tak mengumpulkan orang-orang yang membangkang kepada penguasa. Kalau mau membangkang, boleh pergi sendiri-sendiri. Lagi pula aku nyelonong memasuki wilayah orang lain, maksudku tiada lain selain ingin menyepi jauh dari semua berita-berita buruk mengenai Pajajaran," kata Ki Darma.

"Ya, kami akan jalan sendiri-sendiri, namun secara kebetulan, kami akan tinggal di sini saja bersama Aki," kata sang perwira.

"Dasar anak bodoh!"

"Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiran kami. Kami diutus ke sini juga untuk merebut tombak pusaka Cuntang Barang. Betulkah ada pada Aki?" tanya perwira muda itu.

"Kalian tanya sendiri pada hatimu, apa yakin aku nyolong benda milik orang lain?" Ki Darma malah balik bertanya.

"Saya tak yakin, Aki ... " "Nah, kau sudah jawab itu!"
"Kau memang mencuri tombak pusaka Cuntang Barang. Kembalikanlah sebab itu milik Carbon!" Ki Albani tiba-tiba bersuara. Dia masih terlihat duduk dengan lesu di tanah. Darah masih mengucur dari sana-sini.

"Hai, engkau bekas perwira Carbon yang puluhan tahun jadi musuh besarku, coba kau katakan Jayaratu, bagaimana caranya agar orang-orang dungu dari negrimu mengerti perihal aku!" tiba-tiba Ki Darma berkata kepada Paman Jayaratu.

Sambil mata masih terpejam untuk mengatur pernapasan, Paman Jayaratu mengatakan bahwa Ki Darma tidak pernah berupaya menguasai tombak pusaka itu.
"Memang dulu ada berita bahwa ketika Karatuan Talaga jatuh ke tangan Carbon, tombak pusaka Cuntang Barang milik Talaga dibawa lari ke puncak Cakrabuana oleh salah seorang perwiranya yang tak mau tunduk, yaitu Ki Dita Jayaratu dan disembunyikan di sekitar sini. Ki Darma hanya secara kebetulan saja datang ke sini dan tak tahu menahu urusan itu," tutur Paman Jayaratu.

"Jadi sekarang Cuntang Barang ada di mana?" tanya Ki Albani. Dia pun duduk tegak sambil sesekali mengatur pernapasan.

"Cuntang Barang sudah diamankan oleh Kangjeng Susuhunan Jati di Carbon." "Mengapa aku tak tahu?"
"Majikanmu Arya Damar yang bertanggungjawab, mengapa pengetahuanmu sampai keliru seperti ini?" Paman Jayaratu balik bertanya.

"Bahkan Panageran Arya Damarlah yang mengutus kami untuk merebut benda pusaka itu dari Ki Darma!" Ki Albani masih bertahan dengan pendapatnya. "Sudah aku katakan, Arya Damar yang harus bertanggungjawab!" potong lagi Paman Jayaratu.

"Hahaha! Ternyata semua orang memperebutkan aku!" Ki Darma terkekeh-kekeh. Mendengar ucapan ini, semua orang hanya termenung tak tentu apa yang dipikirkan.
"Lihatlah, korban-korban bergelimpangan. Mereka tidak mengerti, mengapa harus begitu ..." gumam Ki Darma.

Semuanya membisu, seolah-olah membenarkan pendapat Ki Darma. Mereka semua menatap tubuh-tubuhu korban yang bergfelimpangan. Ada yang membujur kaku namun ada juga yang berguling-guling atau mengerang menahan sakit.

Ki Darma tertawa-tawa. Namun suaranya terdengar dingin menyeramkan. Sesudah itu dia berlalu meninggalkan mereka dan sayup-sayup terdengar senandung Ki Darma. Parau, gersang tapi memaksa orang harus berpikir.

Hidup banyak menawarkan sesuatu tapi bila tak sanggup memilihnya
maka kita adalah orang-orang yang kalah!

***

T E R N Y A T A korban tewas dalam pertempuran sia-sia ini ada puluhan. Prajurit Carbon semuanya tewas, begitu punb prajurit Pajajaran. Kendati tak semua tapi jumlahnya cukup banyak.

Ki Albani menderita kesedihan yang sangat. Tiga orang rekannya yang menderita luka parah dan lama tak sadarkan diri, akhirnya tewas juga. Sedangkan dia sendiri diduga kelak akan menjadi orang yang cacat dan tak akan sanggup melakukan perkelahian karena luka dalam, dalam pertempuran itu.

Paman Jayaratu banyak menderita luka bacokan dan tusukan, kebanyakan karena keroyokan Ki Albani dan rekan-rekannya dalam pertempuran sebelum pasukan Pajajaran tiba.

Ya, semua pertikaian seperti selesai begitu saja seusai semua tahu bahwa apa yang diharap tak terlaksana. Bukankah sebelumnya semua orang berebut ingin mencari Ki Darma dan Cuntang Barang sehingga terjadi korban sia-sia? Ternyata setelah semuanya selesai, selesai pula permusuhan. Persis dalam adegan sandiwara seperti yang diucapkan Ki Darma.

Pasukan Pajajaraan tak lagi memusuhi pasukan Carbon yang telah porak-poranda. Mereka bahkan saling membantu menguburkan korban yang tewas. Ketika tugas itu selesai, masingmasing mengundurkan diri dari tempat itu. Belasan perwira Pajajaran meninggalkan tempat itu dengan kelesuan yang sangat. Ki Albani turun gunung dengan tertatih-tatih dan wajah meringis penuh rasa sakit.

Ketika Purbajaya mengajak Paman Jayaratu untuk sama-sama turun gunung, orang tua itu menolak. "Aku akan tinggal di sini, Purba ... " kata Paman Jayaratu lesu tapi dengan suara bulat. "Engkau akan bergabung dengan Ki Darma?" tanya Purbajaya heran.
Paman Jayaratu menggelengkan kepala.

"Bukan karena bermusuhan antarnegara. Tapi kami tak mungkin berdampingan. Dia mungkin menetap di puncak, aku di lereng untuk mendekatkan diri pada penduduk. Ki Darma tidak mau masuk agama baru. Mungkin bagi dirinya, hidup yang baik adalah menjauhkan diri dari khalayak. Aku di sini bahkan ingin mengajarkan dan menyebarkan agama baru seperti apa yanag dipesankan Kangjeng Susuhunan Jati," tutur Paman Jayaratu panjang-lebar.

"Kalau begitu, saya akan mengikutimu, Paman ..." kata Purbajaya. Namun Paman Jayaratu menggelengkan kepala.

"Jangan. Perjalananmu masih panjang. Tugasmu adalah mencari berita mengenai keluargamu di wilayah Pajajaran. Kau harus ikut Raden Yudakara ke wilayah Tanjungpura," kata Paman Jayaratu.

"Bukankah Paman telah katakan kepada Ki Albani bahwa keluarga saya habis dibantai pasukan Pangeran Arya Damar?" tanya Purbajaya menatap wajah orang tua itu.

Mendengar ucapan Purbajaya, nampak wajah Paman Jayaratu murung.

"Aku menyesal hal ini telanjur kau ketahui, padahal selama ini ingin aku rahasiakan ... " keluh Paman Jayaratu.

"Dengan harapan agar aku tak membenci Carbon?" tanya Purbajaya. Paman Jayaratu tak menjawab secuil pun.
"Apa pun terjadi, saya tetap orang Carbon, Paman. Saya hanya akan memiliki dugaan satu, bahwa pembantaian itu tidak dilakukan oleh Carbon, melainkan hanya karena ambisi Pangeran Arya Damar semata," kata Purbajaya dengan kalimat datar tak memiliki emosi sedikit pun.

"Engkau bijaksana, Purba ... " kata Paman Jayaratu memegang pundak pemuda itu. Namun demikian, kau harus tetap mencari berita yang sebenarnya. Di Tanjungpura mungkin masih ada kerabatmu," kata Paman Jayaratu tetap memaksa pemuda itu untuk pergi.

"Saya tak menyukai Raden Yudakara ... " keluh Purbajaya."Orang itu pengecut. Saya ke sini bersama dia. Tapi dalam menghadapi pertempuran dia menghilang begitu saja," lanjutnya mengemukakan kekesalannya.

"Aku bisa menduga, mengapa dia bertindak begitu," kata Paman Jayaratu."Raden Yudakara hidup dalam dua sisi. Satu sisi dikenal sebagai warga Pajajaran, satunya lagi sebagai orang Carbon. Kalau dia ikut terlibat pertempuran, dia takut rahasianya terbongkar oleh orang Pajajaraan. Dan itu akan membahayakan misi Carbon. Atau, mungkin juga dia lebih dewasa dalam berpikir. Pertempuran semalam tak menguntungkan siapa pun juga. Dia tak mau terlibat dalam urusan yang sia-sia sebab dia punya tugas yang lebih penting dari sekadar mengobral emosi," kata Paman Jayaratu. Namun Purbajaya merasakan kalau nada kata-kata orang tua ini seperti mengandung keraguan.

"Paman ... " Purbajaya mau membantah. Tapi Paman Jayaratu memberi tanda dengan tangannya agar pemuda itu diam.

"Kau cepatlah pergi dan tinggalkan aku di sini," kata Paman Jayaratu.

"Saya akan pergi dari sini asalkan Paman memberikan keyakinan saya mengenai Raden Yudakara ... " desak Purbajaya.

Sejenak Paman Jayaratu termenung.

"Kau akan semakin berat mengarungi kehidupan. Tapi semakin banyak cobaan, maka akan semakin dewasa dirimu. Memang buruk terlalu mempercayai orang,. namun juga sama buruknya mencurigai orang. Raden Yudakara adalah mata-mata. Artinya, setiap geraklangkahnya selalu penuh tipu-daya. Yang engkau perlu simak, untuk apa tipu daya itu dia kerjakan. Kalau ternyata hanya untuk kepentingan sesaat dan tak punya nilai keluhuran, boleh kau tinggalkan. Kehati-hatian terhadap Raden Yudakara harus kau lakukan," kata Paman Jayaratu memberikan nasihat.

"Baik, saya akan pergi setelah merawat lukamu, Paman ... "

"Kau pergilah. Ilmu pengobatanmu kan aku yang ajarkan, jadi aku pasti lebih pandai mengobati ketimbang kamu," Paman Jayaratu berkata namun nadanya adalah perintah pergi.

Akhirnya Purbajaya berdiri. Dia mengerti kalau sebenarnya Paman Jayaratu senang hidup menyendiri.

Purbajaya menghormat takzim. Ini adalah perpisahan dan entah kapan akan bertemu lagi. Sudut-sudut matanya terasa panas tapi Purbajaya mengerti, tangis tak boleh diperlihatkan di hadapan Paman jayaratu.

Dengan hati berat Purbajaya meninggalkan lereng gunung Cakrabuana.

***

P U R B A J A Y A menuruni lereng dengan gontai dan pikiran kalut. Hatinya hampa sekali karena berbagai perjalanan hidupnya selama ini seperti tak berketentuan.

Dulu dia seperti punya cita-cita dan mengabdi untuk kepentingan Carbon. Paman Jayaratu seperti mendukungnya dan dirinya diarahkannya agar memiliki berbagai kepandaian.

Belakangan dia merasa telah terjatuh kepada orang yang salah, yaitu mengabdi kepada Pangeran Arya Damar yang hanya mengabdi untuk kepentingan dirinya sendiri. Cita-cita Purbajaya bahkan semakin kabur setelah terlibat asmara dengan Nyimas Waningyun. Sehingga kendati dia sudah tak setuju dengan kebijakan Pangeran Arya Damar, dia tak mau beranjak pergi dari puri hanya karena melihat putrinya, Nyimas Waningyun.

"Ah, padahal gadis itu telah ditunangkan kepada sesama anak pejabat lainnya ... " keluh Purbajaya.

Purbajaya sedih merasakan semua ini. Akhirnya dia terlunta-lunta ke mana langkah kaki membawanya. Jelas, dia tak mau kembali ke Carbon. Kalau kembali peristiwa pertempuran di Cakrabuana akan menjadi urusan. Barangkali dia akan dituduh pengkhianat karena telah menempur empat perwira pimpinan pasukan Carbon.

Purbajaya bahkan berkelana ke wilayah Karatuan Talaga, juga ke Sumedanglarang. Berbulanbulan dia tinggal di wilayah itu sampai pada suatu waktu datanglah khabar dari Nagri Carbon. Khabar itu sungguh mengejutkan. Beberapa bangsawan penting dari Sumedanglarang berkenaan dengan adanya pesta pertikahan putri Panageran Arya Damar.

Dengan hati pedih Purbajaya menerima khabar ini. Hanya yang hatinya demikian sedih, Nyimas Waningyun ternyata bukan dipersunting oleh Ranggasena, melainkan oleh ... Raden Yudakara!

Ini mwnyakitkan. Bukankah dirinya pernah minta tolong agar nasib Nyimas Waningyun diselamatkan oleh Raden Yudakara?

Purbajaya coba mengingat-ingat kembali permohonannya pada Raden Yudakara. Waktu itu dia mengabarkan bahwa Nyimas Waningyun tengah dirundung duka karena dipaksa menikah dengan lelaki bukan pilihannya. Raden Yudakara waktu itu berjanji akan menolong nasib gadis itu.

"Ya, gadis itu harus ditolong dari penderitaan cintanya. Kalau pun perjodohannya diatur orang, maka sekurang-kurangnya harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri," tutur Raden Yudakara ketika itu.

Ternyata sekarang gadis itu malah dipersunting oleh Raden Yudakara. Barangkali Nyimas Waningyun memang berkepentingan dalam pertikahan ini. Kepentingan apa?

Purbajaya ingat, betapa sebenarnya gadis itu lemah iman. Mudah tergoda berahi. Buktinya dulu dalam malam perpisahan, gadis itu hampir menyerahkan kesuciannya kepada Purbajaya kalau pemuda itu tak menolaknya. Bertemu dengan Raden Yudakara yang tampan, periang, romantis dan penggoda, tentu gadis itu takkan kuat. Raden Yudakara adalah lelaki penggoda. Dan mungkin ini lebih dibutuhkan Nyimas Waningyun ketimbang perilaku Purbajaya yang bersikap alim dan menjaga kesopanan dalam urusan cinta berahi.

Ingat ini Purbajaya jadi tersenyum, entah menyiratkan apa. Yang jelas pemuda ini bahagia gadis itu ditikahi orang lain. Sebab dengan demikian, dirinya terbebas dari bayanganbayangan cinta Nyimas Waningyun.

*** Purbajaya berada di wilayah Sumedanglarang berbulan lamanya. Sedikit banyaknya dia bisa mengenal wilayah ini.

Sumedanglarang dulu merupakan kerajaan yang cukup besar. Wilayahnya luas mencakup beberapa daerah seperti Tanjungpura (Karawang), Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Parakanmuncang, bahkan Talaga. Namun kendati demikian, sejak kehadirannya Sumedanglarang tetap berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Pajajaran. Dengan kata lain, Sumedanglarang merupakan negara bagian dari Pajajaran.

Mengapa tak begitu, sebab Sumedanglarang dibangun oleh Sang Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Aji Putih dan Prabu Aji Putih adalah saudara dekat dari Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran (1498-1521 Masehi).

Namun zaman terus bergulir, dengan membawa berbagai perubahannya. Di saat kekuatan Pajajaran mulai melemah, Sumedanglarang malah berpaling dari induknya dan memindahkan kesetiaannya kepada sang penguasa baru yaitu Nagri Carbon (Cirebon). Ini dimulai ketika Nyimas Ratu Inten Dewata penguasa Sumedanglarang, dipersunting Kangjeng Pangeran Santri, seorang tokoh penting dari Carbon. Babak baru mulai berlangsung, di mana Sumedanglarang mulai dipengaruhi agama baru, Islam.

Menghadapi perubahan agama seperti ini, boleh dikata orang Sumedanglarang tidak merasa sulit. Mereka mudah beradaptrasi dan tidak susah menerima kehadiran agama baru itu sebab pada hematnya, terdapat nilai-nilai yang sama antara agama karuhun (nenek-moyang) dengan nilai yang dikandung agama baru. Karuhun Pajajaran memang ada juga yang terpengaruh ajaran Hindu atau pun Budha, namun keperayaan asli mereka sebenarnya tidak menyembah patung. Tak ada benda mati yang mereka sembah. Karuhun Sunda mengakui bahwa di dunia fana ini, kehidupan dikuasai oleh sebuah kekuatan yang berada jauh di atas kekuatan manusia. Kekuatan apakah itu, mereka tak bisa melihat namun dapat merasakannya. Oleh sebab itulah Sang Kekuatan Gaib disembahnya sebagaiHyang (Yang Gaib).Hyang adalah penguasa tunggal jagat raya. Dialah Sang Maha Kuasa, Maha Melihat dengan segala kekuatannya Dialah Yang Maha Tahu dari segala sumber pengetahuan yang ada di jagat raya. Jadi ketika Islam hadir di Sumedanglarang, orang tak merasa kaget ketika diperkenalkan kepada Tuhan yang dimaksud oleh agama baru itu. Tuhan dalam Islam adalah penguasa kehidupan yang tidak bisa dilihat tapi dapat dirasakan keberadaannya. Mereka bahkan bersyukur bahwa semakin didalami dan ditekuni, maka kesempurnaan agama baru ini semakin terasa. Mereka tetap merasa bahwa agama karuhun itu baik, namaun agama baru bahgakan lebih baik lagi, lebih komplit dan lebih sempurna dalam meemberikan pedoman hidup untuk kepentingan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, banyak orang Sumedanglarang tidak terlalu sulit menerima kehadiran agama baru ini.

Namun secara politis, Sumedanglarang memalingkan muka dari Pajajaran ke Carbon bukan semata perkara kepercayaan saja. Yang lebih dari itu Sumedanglarang merasa bahwa Carbon dianggap lebih baik dan bisa dipakai sebagai pelindung ketimbang Pajajaran.Dayo (ibu kota) Pajajaran berada di Pakuan (Bogor kini). Letaknya jauh sekali di barat. Semakin jauh dari pusat pemerintahan, wilayah Pajajaran itu semakin tak terurus. Sementara pengaruh yang paling terasa ketika itu adalah Nagri Carbon. Jadi amat beralasan kalau Sumedanglarang akhirnya memilih bergabung dengan Sumedanglarang.

Perjalanan hidup negara besar di Jawa Kulon bernama Pajajaran ini semakin tak terarah selepas pemerintahan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja. Para penerusnya tidak memiliki kearifan dalam memimpin negri. Sumedanglarang tak mau terombang-ambing oleh hidup yang tak berketentuan. Maka di saat Pajajaran dipimpin oleh Sang Prabu Surawisesa ( 1521-1535 Masehi), Sumedanglarang memisahkan diri dan memilih bergabung dengan Nagri Carbon.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar