Kemelut Di Cakrabuana Jilid 02

Namun walau masih senyum-senyum, pada akhirnya semua gadis pengiring mundur teratur dan tinggallah Purbajaya berdua dengan Nyimas Waningyun.

Keduanya masih sama membisu dan Purbajaya tak tahu bagaimana harus memulai. "Maafkan saya ... "
"Maafkan saya ... "

Dua suara dengan bunya kalimat yang sama, hampir berbareng diucapkan oleh mereka. Kedua orang muda-mudi ini terkejut sendiri. Keduanya menganga, terbelalak namun keduanya akhirnya sama-sama tertawa geli. Nyimas Wanungyun tertawa sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan kanannya.

"Saya harus memaafkan apa, Nyimas?" tanya Purbajaya.

"Apa pula yang harus saya maafkan untukmu? Oh, siapa namamu? Purbajaya, ya?" gadis itu mulai berani buka suara. Purbajaya pun mengangguk gembira bahwa gadis itu sudah mengenal namanya. Hanya dalam dua hari gadis itu tahu namanya, hanya menandakan bahwa Nyimas Waningyun memperhatikan dirinya.

"Nyimas masih ingat saya?"

"Tidak. Hanya merasa diingatkan kembali. Oh, ya. Engkau sebetulnya pemuda bengal. Engkau harus minta maaf ke sana ke mari. Kepada Raden Ranggasena juga terhadapku!" sergah gadis itu.

"Lho, barusan Nyimas berkata apa yang musti dimaafkan. Sekarang malah Nyimas minta agar saya minta maaf," kata Purbajaya heran tapi dengan mengulum senyum.

"Ya, harus minta maaf karena engkau bengal, licik dan tukang bohong!" sergah lagi gadis itu. Kini malah telunjuk kanannya yang kecil dan putih bersih menuding hidung Purbajaya. Pemuda itu melihat hidungnya sendiri dengan picingkan mata, kemudian mencoba menyeka hidung, seperti di bagian tubuhnya itu ada kotoran menempel.

"Bukan di hidungmu!" "Di mana?"
"Di hatimu! Hatimu itu!" teriak gadis kecil itu marah tapi merdu. "Di hatiku?" giliran pemuda itu yang pegang dadanya.
"Ada apa di hatiku?" tanyanya ketolol-tololan. "Terkalah sendiri, ada apa di hatimu?"
"Ouw, saya tahu!"

"Ya, coba katakan!" desak gadis itu. Tapi Purbajaya malah diam. Kembali gadis itu mendesak dan untuk ke sekian kalinya Purbajaya berdiam diri.

"Saya malu mengatakannya ... " jawab pemuda itu bersemu merah. "Memang harus malu kalau merasa diri culas dan bengal."
"Eh, hatiku tidak culas dan juga tidak bengal. Apa yang ada di hatiku benar-benar tulus dan murni serta bisa dipercaya," kata Purbajaya dengan suara sungguh-sungguh.

"Tidak bisa dipercaya sebab engkau telah merugikan orang lain dengan main sembunyi. Dengarkan hai pemuda bodoh. Sampai seminggu lamanya dari kejadian itu, Raden Ranggasena tak bisa ke luar puri dan kerjanya tidur melulu."

"Mengapa?"

"Karena kakinya bengkak, urat nadinya tersumbat!" "Lho?"

"Jangan lha-lha-lho-lho! Kaki itu bengkak karena ulahmu. Alhasil engkau waktu itu mengibuli orang. Berkaok-kaok pura-pura kesakitan seolah-olah disakiti Raden Rangga, padahal engkaulah sebetulnya yang mencederai pemuda bangsawan itu.Dan sialnya... Oh, malu aku mengatakannya!"

"Tentang apa, Nyimas?"

"Tentang, betapa aku mengkhawatirkanmu sampai-sampai aku marahi Raden Rangga, sampai-sampai aku pegang-pegang tubuhmu ... Oh!" Nyimas Waningyun membuang muka kemudian lari meninggalkan tempat itu.

Tinggallah Purbajaya berdiri mematung di tempat sunyi. Aneh sekali, pikirnya. Pada pertemuan awal, gadis itu nampak begitu manis begitu ramah dan bergalau tawa. Kenapa setelah ingat peristiwa lama malah jadi uring-uringan?

Ow, sialnya aku! Mengapa tak marah? Ya, siapa takkan sebal kalau pada akhirnya tindakan pura-puranya ketahuan? Pasti gadis itu marah karena merasa dipermainkan. Ya, dia masih ingat bahkan suka tertawa sendiri kalau mengingatnya. Raden Ranggasena menerjang Purbajaya dengan tendangan telak, namun serangan ini segera dijemput oleh totokan ibu jari tangannya yang bertindak seolah tengah melindungi kepalanya dari serangan itu. Purbajaya pura-pura terjengkang ke belakang dan menjerit kesakitan. Padahal yang sebenarnya terjadi, Ranggasenalah yang terluka karena urat nadi di telapal kakinya tersumbat.

Tidakkah Nyimas Waningyun pun tahu bahwa perahu bocor di tengah kolam pun sebetulnya sengaja dilubangi olehnya? Pikir Purbajaya melamun seorang diri.

Dengan hati murung pemuda itu berjalan pelan menyusuri benteng istana. Sayup-sayup terdengar suara azan magrib dari Mesjid Sang Ciptarasa.

***

MALAM itu Purbajaya tak bisa memejamkan mata. Banyak pikiran bergayut di benaknya. Pemuda itu berpikir tentang Paman Jayaratu, tentang Nyimas Waningyun dan juga tentang dirinya. Sungguh aneh, semuanya diselimuti misteri. Hatinya coba menguak perihal Paman Jayaratu. Siapa orang tua itu, dia tetap tak tahu. Ada sesuatu yang ditutupi Paman Jayaratu, paling tidak perasaannya terhadap Pangeran Arya Damar. Dalam selintas, Purbajaya sudah bisa menduga, Paman Jayaratu tidak menyukai Pangeran Arya Damar. Sejak Purbajaya menerima panggilan ke istana, sudah terlihat ada kerutan di dahi Paman Jayaratu. Orang tua itu adalah seorang penyabar dan bertindak-tanduk sederhana. Tidak pernah memperlihatkan perasaan suka atau tidak suka. Tapi Purbajaya sudah hapal perangai Paman Jayaratu, bahwa kalau memperlihatkan kerut-merut di dahi, pertanda ada sesuatu yang tidak disenanginya. Mengapa Paman Jayaratu tidak menyenangi Pangeran Arya Damar?
"Barangkali dia tak senang sebab dengan pemanggilan dirinya ke istana, hanya punya arti bahwa dia berpisah denganku ... " pikir Purbajaya.

Pemuda ini hanya bisa menduga hingga di ditu. Ya, dugaan ini yang paling dekat sebab dirinya sendiri pun sebetulnya punya perasaan yang sama, bahwa ada sedikit sesal mengapa keputusan istana begitu tergesa-gesa. Ini terlalu cepat memisahkan dirinya dengan Paman Jayaratu. Belasan tahun dia dididik Paman Jayaratu tapi manakala harus berpisah, dia tak sempat bilang terimakasih atau pun sekadar ucapan perpisahan. Ini menyedihkan hatinya. Dan barangkali hati Paman Jayaratu pun begitu. Jadi bisa dimengerti bila orang tua itu tak senang kepada Pangeran Arya Damar.

Sekarang pemuda itu berpikir tentang Nyimas Waningyun. Selama lebih dari enam bulan ini di benaknya selalu ada bayanagan seorang gadis ayu ayu yang berlesung pipit, yang berhidung mancung kecil dan dengan sepasang mata berbinar. Itulah Nyimas Waningyun. Selama berbulan-bulan ini hanya ada dalam bayangannya saja, tak dinyana dia diberi kesempatan untuk bersua kembali.

Tapi senja tadi, begitu marahnya gadis itu. Dulu gadis itu membela dirinya, kini berputar total jadi bela pemuda bernama Rangga.

"Engkau harus malu kalau mengaku dirimu culas dan bengal!" terngiang lagi ucapan Nyimas Waningyun. Memang dia malu sekali sebab akal bulusnya ketahuan sudah. Kalau gadis itu sudah tahu dia senang berakal-bulus, bisa-bisa dia dibenci sepanjang masa.

"Satu kali berbohong, selama hidup orang takkan percaya." Kini yang terngiang adalah nasihat Paman Jayaratu. Betul, Nyimas Waningyun akan benci selamanya. Dan akan semakin benci pula dia kalau akal bulusnya bukan itu saja, melainkan juga yang menyebabkan gadis itu basah kuyup kecebur ke kolam. Bukankah kejadian ini gara-gara tubuh perahu itu dia lempar dengan kerikil sehingga lunasnya bocor? Kalau gadis itu tahu, barangkali cercaannya akan berlipat-ganda. Bukan saja menuduhnya bengal, melainkan jahat. Jahat? Ouw, padahal Paman Jayaratu benci kejahatan.

"Hati-hati menjaga perasaanmu jangan sampai digilas oleh yang namanya iri. Iri adalah kembangnya kejahatan," tutur Paman Jayaratu suatu kali.

Tidak salah orang tua itu berkata begitu. Dia bertekad membocorkan perahu karena didorong oleh perasaan iri melihat pemuda lain bercengkrama dengan gadis-gadis cantik sementara dirinya penuh sepi.

Tapi sorot mata gadis itu penuh misteri. Purbajaya hanya merasakan, mulut dan kata-kata gadis itu saja yang pedas sedangkan matanya lembut dan ... dan seperti menyiratkan cahaya tertentu padanya. Cahaya apa, Purbajaya tak bisa menduganya, kecuali berpikir dengan hati berdebar disertai perasaan harap-harap cemas. Harapan cintakah itu? Sampai di sini hatinya merandek. Dia tak tahu, apakah bila melihat wajah wanita cantik disertai perasaan berdebar merupakan sesuatu bernama cinta?

Sampai di sini hatinya merandek. Dia tak tahu, apakah bila melihat wajah wanita cantik disertai perasaan berdebar adalah sesuatu bernama cinta? Lantas kalau memang begitu, bagaimana harus dimulai dan bagaimana pula selanjutnya? Kalau dia berani menyatakan cintanya, apakah tak akan terjadi sesuatu yang buruk? Purbajaya bingung memikirkannya. Dia bingung, bagaimana menyatakan perasaan ini, apakah musti melalui surat atau dengan menggunakan perantara, atau bahkan musti datang sendiri?

Namun belum sempat dia menimbang-nimbang berbagai cara yang barusan dia pikirkan, tangannya segera melayang dan menampar pipinya sendiri. Sialan, mengapa aku berani berpikir seperti itu? Ada satu pertanyaan yang musti dijawab terlebih dahulu, apakah gadis itu pun sama punya perasaan seperti itu padanya?

Kalau melihat sorot mata gadis itu padanya, Purbajaya serasa mau bilang ya. Tapi banyak kendala yang harus dia pikirkan.Nyimas Waningyun adalah putri seorang bangsawan terkemuka sedangkan dirinya sendiri apa? Tak berlebihan bila pemuda Rangga marah besar melihat dia berdekatan dengan Nyimas Waningyun sebab Purbajaya sudah menduga, pemuda itu tengah mengharapkan cinta gadis itu. Dan pemuda mana pun pasti mengharapkan cinta gadis itu. Dan saingan Purbajaya sungguh berat. Dia hanyalah pemuda luntang-lantung yang tidak dikenal asal-usulnya, sementara para pesaingnya melulu keturunan bangsawan.Pemuda Rangga yang dia pecundangi itu, bukankah seorang meuda bergelar raden? Dia adalah Raden Ranggasena putra bangsawan terkemuka bernama Pangeran Danuwarsa yang cukup ternama di Carbon ini? Sedih hatinya ketika memikirkan hal ini. Bila demikian halnya, Purbajaya hanya berhadapan dengan sebuah gunung semata. Dia tak punya daya untuk mendakinya.

***

PAGI harinya Purbajaya sudah dipanggil ke paseban. Di sana Pangeran Arya Damar sudah duduk dengan penampilan amat anggun. Bangsawan itu duduk bersila dengan tubuh tegak. Duduk di atas hamparan karpet beludru buatan Nagri Parasi (Iran). Dia memakai baju warna coklat muda terbuat dari kain beludru halus jenis bedahan lima. Keria beronce benang emas tak tertinggal terselip di pinggang bagian belakang. Bangsawan itu memakai tutup kepala bendo citak terbuat dari kain batik motifhihinggulan .

Yang membuat Purbajaya heran, di paseban itu pun sudah terdapat beberapa orang lainnya. Melihat jenis pakaian mereka, tentulah para perwira kerajaan. Ada empat orang di sana. Ratarata memakai pakaian serba-hitam dengan kelim-kelim benang warna perak. Di pinggang bagian belakang, terpasang keris dengan ronce-ronce indah kendati tak seindah ronce keris yang dimiliki Pangeran Arya Damar.

Ketika Purbajaya datang ke paseban, keempat perwira itu menatapnya dengan penuh perhatian. Pemuda itu tak berani balik menatap. Selain akan dianggap tak sopan juga karena sorot mata mereka berwibawa.

"Kau duduk di sini, Purba ..." kata Pangeran Arya Damar. Purbajaya beringsut menuju ke tempat yang ditunjukkan pangeran itu. Menyembah hormat ke hadapan Pangeran Arya Damar, baru kemudian kepada yang lainnya.

"Engkau harus berkenalan dengan empat perwira ini, Purba," tutur Pangeran Arya Damar sambil memperkenalkan mereka. Lelaki bertubuh jangkung sedikit kurus dengan kumis tipis, diperkenalkan sebagai Ki Albani. Beranjak kepada orang kedua, wajahnmya sedikit bulat dengan kumis tebal, diperkenalkan sebagai Ki Aspahar. Kemudian yang berhidung melengkung dengan mata dalam disebutnya sebagai Ki Aliman dan yang berwajah pucat tapi punya sorot mata tajam diperkenalkan dengan nama Ki Marsonah. Yang diperkenalkan ini sepertinya orang-orang yang tak suka banyak bicara dan mungkin juga tak punya keramahan. Terbukti dalam menerima hormat Purbajaya mereka hanya mengangguk kecil tanpa sesungging senyum sedikit pun. "Kelak engkau akan ikut bertugas dengan keempat perwira ini, Purba ... " kata Pangeran Arya Damar menerangkan.

"Atasan sayakah mereka ini, Gusti?" "Boleh dikata begitulah."
"Tentu banyak tugas yang saya emban kelak," kata Purbajaya.

"Kewajibanmu kelak hanyalah mengikuti perintah mereka," kata lagi Pangeran Arya Damar sambil melirik ke arah empat perwira itu.

"Mengapa kami perlu bertemu khusus dengan pemuda ini, Pangeran? Tidak cukupkah bila dalam menerima penjelasan dia, kita satukan saja dengan para prajurit lainnya?" tanya Ki Aliman sambil memandang enteng kepada Purbajaya.

"Dia memang prajurit tapi tengah kami persiapkan untuk jadi perwira juga. Dia punya sesuatu hal yang khusus. Jadi jangan samakan dia dengan prajurit kebanyakan," jawab Pangeran Arya Damar sepertinya bangga kepada Purbajaya.

"Maksud Pangeran, apakah pemuda ini punya kepandaian lebih tinggi dari kebanyakan prajurit?" Ki Aliman memicingkan matanya.

"Dia adalah murid Ki Jayaratu!" kata Pangeran Arya Damar. Sejenak keempat orang perwira itu memperlihatkan wajah terkejut. Hanya sebentar saja sebab kemudian sudah terlihat biasa lagi.

"Kami percaya kepandaian Ki Jayaratu tapi tidak kepada muridnya," kata Ki Aliman lagi tanpa melihat kepada Purbajaya.

"Purbajaya, Ki Aliman adalah tingkat keempat dari empat perwira ini. Silakan kau turun ke halaman dan bermain-main dulu sebentar dengan Ki Aliman," perkataan Pangeran Arya Damar ini bernada perintah. Tapi yang turun duluan adalah Ki Aliman. Bahkan dia langsung memasang kuda-kuda sebagai tanda siap untuk menguji kepandaian.

Purbajaya bimbang menghadapi peristiwa ini. Ini adalah pengalaman pertama di mana harus bertarung dengan orang lain. Memang benar selama bertahun-tahun mendapatkan gemblengan dan latihan kewiraan dari Paman Jayaratu tapi berkelahi secara sungguhan belum pernah dia lakukan. Melawan Ki Aliman barangkali hanya sekadar uji-coba saja. Tapi menurut pemuda ini, uji-coba punya arti sebagai pertandingan. Inilah yang merisaukannya. Yang namanya bertanding dia belum pernah melakukannya. Apalagi berlatih kewiraan baginya hanya merupakan olah gerak semata agar badan selamanya merasa sehat. Mengalahkan apalagi membunuh oirang lain adalah soal lain. Sudah berkali-kali Paman Jayaratu mengatakan bahwa mengalahkan orang lain belum tentu merupakan sebuah kemenangan. Orang yang dikalahkan akan memendam perasaan sakit hati, benci dan dendam. Dan bila dendam sudah membara maka setiap saat akan mencari peluang melakukan pembalasan. Dan karena sdendam ini pula maka kedamaian selalu terganggu."Tak ada kemenangan selama tak ada kedamaian," ujar Paman Jayaratu suatu kali. Dan menurut orang tua ini, kemenangan abadi yang membawa kedamaian adalah kemenangan tanpa mengalahkan. 

"Ada banyak cara agar kita mencapai kemenangan tanpa mengalahkan," kata Paman Jayaratu pula.

"Bagaimana caranya, Paman?" tanya Purbajaya ketika itu. "Mengalahlah untuk mencari kemenangan!"
Purbajaya melengak heran.

Kemudian Paman Jayaratu melanjutkan,"Kemenangan artinya mencapai suatu tujuan. Jadi yang penting, tujuan akhirlah yang dicapai dan bukan bagaimana caranya. Dengan kata lain, kita bisa mencari kemenangan tanpa harus melalui jalan dari mengalahkan orang lain . Sebuah kemenangan bisa diraih tanpa melakukan kekerasan."

"Ayo Purbajaya, turunlah ke pekarangan, Ki Aliman sudah menantimu!" seru Pangeran Arya Damar menyentakkan lamunan pemuda itu.

Dengan hati yang berat Purbajaya keluar dari ruangan paseban dan menuju pekarangan yang berumput hijau.

Ki Aliman sudah berdiri di sana dengan kedudukan kuda-kuda yang kokoh. Sepasang kakinya terpentang lebar ke kiri dan ke kanan sementara kedua pasang tangan membentuk gerakan sayap garuda. Anggun dan nampak gagah sekali, kecuali hidungnya yang melengkung dan sorot matanya yang dalam serta bibirnya mengatup rapat amat menampakkan dirinya adalah seorang yang angkuh.

Dengan perasaan masih ragu, Purbajaya menghormat kepada lelaki berusia empatpuluhan ini dan hanya dibalasnya dengan sebuah anggukan kecil.

"Kita bermain-main sebentar, anak muda," katanya pendek. Sesudah itu, lelaki berikat kepala kain hitam kasar ini segera mengubah sikap. Sambil mengepak-epakkan sepasang tangannya menyerupai kepak sayap burung garuda, Ki Aliman bergerak ke kiri dan ke kanan, kemudian berhenti dengan hanya menotolkan ujung kaki kiri saja. Belakangan, Ki Aliman mengubah kuda-kudanya. Tangan kanannya membentuk siku-siku dengan telapak tangan menghadap ke atas. Tangan kirinya pun membentuk siku-siku tapi berada di bawah kedudukan tangan kirinya. Kini telapak tangan kanan mengepal keras membuat tinju.
Purbajaya pernah mengenal gerakan ini. Kata Paman Jayaratu, gerakan ini disebutJurus Inti Garuda Paksi Tangan Delapan Bukan untuk penyerangan, melainkan untuk pertahanan belaka. Ini hanya membuktikan, Ki Aliman sebenarnya hanya akan menunggu serangan lawan dan bukan untuk mendahului melakukan serangan. Ada berbagai penilaian Purbajaya melihat sikap ini. Pertama, Ki Aliman bersikap menunggu karena sebagai orang yang usianya berada di atas lawannya dia bersikap "sabar". Namun penilaian kedua, bisa saja sikap ini menandakan kesombongan bahwa seorang yang kepandaiannya lebih tinggi, cenderung lebih menunggu lawan menyerang yang diketahui kepandaiannya ada di bawahnya. Atau bisa juga Ki Aliman punya kecerdikan lain. Banyak akhli berpendapat, bahwa serangan yang baik adalah pada saat lawan melakukan serangan. Mereka berpendapat bahwa bila lawan melakukan serangan, maka titik perhatiannya adalah pada penyerangan dan bukan pada pertahanan. Maka di saat dia melakukan serangan, akan terkuak pertahanan yang lowong. Itulah peluang si terserang untuk balik menyerang.

Karena punya pikiran seperti itu, maka Purbajaya bersikap hati-hati. Dia akan membagi dua perhatian. Setengah gerakan dia gunakan untuk menyerang dan setengahnya lagi untuk bertahan. Tapi bagaimana caranya, sudah barang tentu akan melihat dulu bagaimana nanti Ki Aliman melakukan serangan balasan.

Purbajaya mulai melakukan gerakan tertentu. Dia melangkah tiga tindak ke depan, sesudah itu melakukan gerakan ke samping kiri dan bersikap seolah-olah memutari tubuh Ki Aliman. Dengan cara memutar dia mencoba mengganggu pertahanan Ki Aliman. Lelaki itu akan terus mengubah sikap pertahanannya sesuai dengan gerakan memutar yang dilakukan Purbajaya. Sikap berubah-ubah karena mengikuti gerakan lawan, diperkirakan akan mengganggu konsentrasi dalam memantapkan kedudukan pertahanan. Namun demikian, Ki Aliman belum mengubah sikap sepasang tangannya yang membentuk siku-siku di depan dadanya. Sungguh tepat sebab itu adalah pertahanan yang kokoh sebab semua bagian penting tubuhnya akan terlindungi dengan baik. Serangan mengarah dada jelas akan tertutup rapat. Bila Purbajaya hendak menyerang ubun-ubun akan ada tangan kiri yang melindungi. Demikian pun bila hendak menyerang ulu hatinya, tangan kanan dari depan dada tinggi bergeser ke bagian bawah.Satu-satunya pusat penyerangan adalah mengarah ke bagian tubuh lawan yang tak begitu penting tapi sebetulnya bebas dari perlindungan kuda-kuda.

Kaki adalah bagian tidak penting yang tidak memerlukan pengawalan secara khusus. Mengapa begitu sebab semua orang menganggap bahwa kaki adalah bagian senjata tubuh yang berfungsi sebsagai alat untuk menyerang. Karena punya dugaan seperti ini, maka Purbajaya akan menitik-beratkan penyerangan ke bagian ini.

Oleh sebab itu, Purbajaya terus saja memutari tubuh Ki Aliman. Pandangan matanya tak lepas dari kepala lawan dengan harapan lawan menduga bahwa Purbajaya tengah mengincar kepala.

Purbajaya terus berputar dan berlari sepertinya tak ada tujuan lain baginya kecuali berlari sambil berputar. Sampai pada suatu saat Ki Aliman nampak kesal dan bosan dengan keadaan ini. Inilah modal penyerangan Purbajaya, yaitu membuat lawan bosan dan jenuh karena melihat gerakan monoton. Kesal dan marah akan menyebabkan hilangnya konsentrasi. Ketika kerut-merut di dahi Ki Aliman kian kentara, maka secara tiba-tiba Purbajaya mengubah gerakan. Kakinya tidak melakukan loncatan ke samping melainkan ke depan ke arah tubuh lawan.

Purbajaya berpura-pura seolah-olah mengarahkan serangan kedua belah tangannya ke arah ubun-ubun Ki Aliman. Dan benar perkiraannya, tangan kiri Ki Aliman bergerak ke atas.

Namun tentu saja Purbajaya tidak menghentikan serangan tangannya begitu saja. Dia ingin meyakinkan lawan bahwa dirinya hendak menyerang ubun-ubun. Tapi Purbajaya pun sadar bahwa tangan kanan Ki Aliman yang masih bersikap bebas sebenarnya adalah senjata yang kelak akan digunakan untuk melakukan serangan balasan. Maka sebelum tangan kanan itu digunakan untuk menyerang, terlebih dahulu harus disibukkan untuk melindungi. Tangan kiri pemuda itu tetap bersikap mengancam ubun-ubun tapi tangan kanan bersikap menyodok ke bawah untuk menohok ulu hati. Ki Aliman segera menggerakkan tangan kanan ke bawah. Namun ternyata ini adalah serangan tipuan. Purbajaya tak menohok ke ulu hati, melainkan belok ke atas mengarah dada. Dengan demikian, secara tiba-tiba tangan Ki Aliman pun segera bergerak ke atas.Dan inilah peluang lowong. Ada kekosongan pertahanan di bagian bawah. Seharusnya Purbajaya serentak menyerang telak ke arah ulu hati melalui serangan tangan kirinya. Namun itu adalah serangan ganas yang membahayakan dan pemuda itu tak mau menyinggung kemarahan lawan. Yang dia lakukan adalah menjatuhkan dirinya seperti hendak bersila secara cepat kaki kirinya memang dilipat meniru-niru gerakan orang hendak bersila namun kaki kanannya dia ayunkan dengan keras menyerang dengan sapuan bagian betis lawan. Purbajaya sudah menduga kalau pada akhirnya tubuh Ki Aliman akan meloncat ke atas untuk menghindari sapuan ini. Untuk mencegah tindakan lawan, sapuan kakinya agak mengarah ke atas. Benar saja Ki Aliman melakukan gerakan meloncat. Tapi sapuan kaki kanan Purbajaya seolah terus mengejarnya sampai pada titik penghabisan gerakan loncatannya itu. Dan di saat tubuh Ki Aliman kembali bergerak turun, maka taka ayal, otot betis kaki kiri Ki Aliman mendapatkan sapuan keras telapak kaki kanan Purbajaya. Otot betis termasuk bagian lemah yang sulit menahan serangan keras. Maka ketika menerima sapuan keras, tubuh Ki Aliman jungkir-balik ke belakang. Dari mulutnya terdengar suara teriakan keras pertanda kesakitan. Tubuh lelaki berhidung melengkung ini jatuh berdebum karena punggungnya menimpa permukaan tanah dengan keras.
Dengan wajah merah padam dan sebentar berubah pucat, Ki Aliman segera bangkit berdiri. Namun untuk beberapa saat dia hanya berdiri terpaku. Namun kakinya terasa kaku dan ngilu karena kerasnya sapuan Purbajaya tadi.

Hanya sejenak saja dia berdiri mematung. Sesudah itu dengan suara gerengan keras dia menghambur melakukan serangan dahsyat. Ki Aliman meloncat ke depan, sedangkan sepasang tangannya secara bergantian melakukan serangan-serangan jarak jauh.

Purbajaya terkejut. Inilah serangan pukulan yang empergunakan tenaga dalam. Semakin tinggi tenaga dalam yang dimiliki maka akan semakin dahsyat hasilnya. Orang yang memiliki tenaga dalam tinggi bahkan bisa melakukan pukulan hanya dengan angin pukulan yang dilayangkan dari jarak jauh. Artinya, tanpa tangan menyentuh tubuh lawan maka yang diserang akan terjungkal atau kesakitan kena angin pukulan.

Dulu Purbajaya tidak percaya dengan hal ini. Mustahil tanpa disentuh lawan bisa jatuh.

Tapi kata Paman Jayaratu, dalam tubuh manusia terdapat salah satu daya. Dalam tubuh manusia terdapat sekitar satu triliun sel yang mengandung tenaga khusus (dalam pengetahuan ilmu bela diri masa kini dikenal sebagai sel bermuatan biolistrik tubuh). Antara satu sel dengan sel lainnya ada satu gaya yang pada zaman modern kini disebut sebagai gayaelektromagnetik dan selalu memancar keluar. Namun daya yang keluar bisa sangat kecil dan tidak teratur bila manusia tak sanggup memanfaatkannya secara benar.

"Oleh orang-orang yang benar-benar akhli, daya itu diatur sedemikian rupa. Misalnya tenaga ajaib itu dihimpun pada suatu bagian tubuh, sebutlah telapak tangan. Tenaga ajaib yang sudah terkumpul penuh di telapak tangan dikeluarkan secara serentak, maka jadilah sebuah tenaga tolakan yang amat dahsyat. Semakin baik orang melatihnya, akan semakin dahsyat hasilnya," kata Paman Jayaratu beberapa waktu berselang.

Purbajaya pun akhirnya mendapatkan latihan dalam upaya menghimpun tenaga dalam. Mulamula dia disuruh berhadapan dengan api pelita dalam jarak sekitar satu depa (1,698 meter). Dari jarak sejauh ini Purbajaya mendorongkan sepasang telapak tangannya yang dibuka lebarlebar. Pada tahap awal api di pelita hanya bergoyang pelan. Namun semakin lama berlatih, goyangan api semakin keras. Sesudah lebih dari sebulan melakukan gerakan ini, barulah api bisa padam. Kewajiban Purbajaya selanjutnya adalah mundurkan langkah beberapa depa ke belakang. Dengan jarak semakin jauh, harus tetap diusahakan cahaya api akan padam sesudah didorong angin pukulan tenaga dalam. Latihan ini terus ditingkatkan sehingga pada akhirnya angin pukulan pemuda itu sanggup merontokkan daun-daun pohon sawo di halaman gubuk. Hanya saja ketika latihan terus meningkat, Purbajaya tak sanggup meneruskannya. Pemuda ini merasa ngeri manakala melihat contoh yang diperagakan Paman Jayaratu. Dengan pukulan jarak jauhnya, orang tua itu sanggup menghancurkan batang pohon. Purbajaya ngeri. Bila yang dihantam oleh angin pukulan itu adalah tubuh manusia bagaimana jadinya? Ngeri hatinya bila memikirkan bahwa latihan-latihan itu dan kepandaian itu bisa membuat musibah bila dilakukan dengan cara yang tak benar, membunuh orang misalnya.

"Tanpa berlatih kedigjayaan pun sebetulnya kita bisa membunuh orang. Jadi pada akhirnya, semuanya terpulang pada diri kita sendiri. Bila kita memiliki sebuah pisau, apakah mau digunakan mengupas mangga ataukah untuk membunuh manusia? Pisau adalah pisau. Mau digunakan sebagai alat kebajikan atau pun kejahatan, kita yang menentukan," kata Paman Jayaratu tempo hari.

Purbajaya memang terus berlatih kendati tak memiliki kepandaian seperti yang diperagakan Paman Jayaratu. Dia masih tetap merasa ngeri dan menyangsikan, apakah bila kelak dia memiliki kepandaian sehebat itu tidak punya keinginan untuk membunuh orang?

Namun kepandaian tinggi ternyata dibutuhkan juga. Buktinya hari ini. Kendati belum tentu mendapatkan ancaman pembunuhan dari Ki Aliman, namun paling tidak Purbajaya harus sanggup mempertahankan nama baiknya di hadapan semua orang bahwa dia adalah murid Ki Jayaratu dan dia pun dipercaya untuk menerima titah negara. Kalau hari ini dia tak sanggup membuktikan dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan maka nama dia dan gurunya akan tercoreng.

Itulah sebabnya ketika menerima serangan angin pukulan dahsyat dari Ki Aliman, Purbajaya harus bijaksana meladeninya.Dia harus berupaya agar selain dirinya tak dipecundangi juga harus dijaga agar lawan pun tidak dipermalukan olehnya di hadapan umum. Dia harus ingat, padea mulanya Ki Aliman menantang dirinya hanya sekadar ingin menguji bukan untuk mengalahkannya. Selain itu, karena Ki Aliman menempatkan dirinya selaku penguji, hanya punya arti bahwa kemampuan si penguji tingkatannya harus lebih tinggi dari si penguji. Oleh sebab itu, Purbajaya jangan berkeras ingin kelihatan hebat dan apalagi terkesan tingkatannya jauh di atas Ki Aliman. Sambil dia tak kalah, dia pun jangan membuat Ki Aliman kalah.

Namun melihat gerakan Ki Aliman, Purbajaya menjadi khawatir. Wajah Ki Aliman masih nampak merah dan serbuan tenaga dalamnya secara penuh dikeluarkan. Kalau begitu, ini bukan lagi sekadar menguji, melainkan seperti berupaya akan membuat lawan cedera kalau pun tak dikatakan sebagai upaya untuk membunuhnya. Mengapa tak disebut begitu sebab serbuan tenaga dalam itu demikian dahsyat dalam jarak yang sedemikian dekatnya. Purbajaya sudah tak bisa mengelak kecuali mencoba menahan gempuran dengan tenaga dalam pula. Dan bila demikian halnya, inilah pertarungan hidup dan mati. Purbajaya harus mengeluarkan tenaga dalam seimbang dengan kekuatan yang disalurkan lawan sebab kalau salah satu lebih tinggi atau lebih rendah maka pihak yang lemah akan menderita luka dalam.Susahnya Purbajaya tak bisa mengukur berapa kekuatan yang disalurkan Ki Aliman dalam menyerang dirinya. Kalau dia membatasi diri, takut Ki Aliman malah melontarkan tenaga dalam sepenuhnya dan akhirnya dirinyalah yang merugi. Maka untuk berjaga-jaga kearah itu, Purbajaya berusaha mengeluarkan tenaga dalam tiga perempatnya. Dia akan mencoba menolak serangan dahsyat itu dengan pengerahan tenaga dalam takaran khusus.

Suara angin terdengar bersiutan dan hawa dingin terasa mengarah dadanya. Dan ketika dua tenaga besar saling bertabrakan, maka terdengar suara ledakan keras disertai bunga api berpijar. Tubuh Purbajaya terlontar hampir empat depa dan tubuh Ki Aliman masih tetap berdiri di tempatnya tapi dari sudut bibirnya meleleh sedikit darah. Ketika Purbajaya bangun arena tadi terjengkang, adalah kebalikannya yang menimpa Ki Aliman. Lelaki bermata dalam berhidung melengkung itu malah ambruk ke atas tanah.

Dada Purbajaya sebetulnya serasa mau pecah karena menahan sakit. Tapi melihat Ki Aliman rebah tak berdaya, rasa khawatir pemuda itu mengalahkan segalanya. Dia takut Ki Aliman celaka karena ulahnya. Oleh sebab itu dia buru-buru mendekati tempat di mana Ki Aliman tertelungkup.

Tiga perwira lainnya pun segera berlari mendekati Ki Aliman. Semuanya memeriksa tubuh lelaki itu dengan penuh seksama.

"Maafkan, saya terlalu kasar menghadapinya!" kata Purbajaya penuh sesal.

"Hm, adikku yang dungu ..." gumam Ki Albani, perwira bertubuh kurus dan berkumis tipis.

"Pangeran, saya bersalah telah membuatnya terluka," keluh Purbajaya lagi menengok ke arah Pangeran Arya Damar. Tapi Sang Pangeran malah tampak tertawa gembira melihat kejadian ini.

"Kekuatan kita semakin bertambah ... " gumamnya menatap Purbajaya dengan penuh arti. Tapi melihat kekalahan Ki Aliman, Ki Aspahar yang bertubuh bulat dan berkumis tebal maju ke depan dan berniat akan menggantikan Ki Aliman untu "menguji" Purbajaya.

"Tidak usah sebab rasanya sudah cukup," kata Pangeran Arya Damar.

"Ki Aliman belum memperlihatkan kepandaian sesungguhnya. Belum tentu dia kalah oleh anak ingusan itu kalau dia bermain-main dengan benar," kata Ki Aspahar tidak puas.

"Ini bukan mencari siapa menang siapa kalah. Yang penting kita bisa mengukur sejauh mana kepandaian anak muda ini. Dan anggaplah pengujian selesai. Aku sudah percaya kepada kepandaian anak ini dan dia cukup pantas menjadi anak buak kalian," kata Pangeran Arya Damar.

"Pangeran benar, anak muda ini bisa diandalkan kelak," kata Ki Albani yang nampak usianya paling tua di antara mereka."Saya setuju dia ikut kita. Tapi akan lebih tenteram hati kami bila Pangeran sudi menerangkan siapa sebenarnya anak muda ini," sambungnya sambil menatap tajam kepada Purbajaya. Yaang membalas tatapan tajam ini adalah Pangeran Arya Damar. "Mari masuk kembali ke paseban," gumam Pangeran Arya Damar. Dia jalan di depan, diikuti oleh keempat perwira. Purbajaya jalan paling belakang.

Dan untuk yang kedua kalinya, Purbajaya kembali mendengarkan kisah dirinya yang dibeberkan Pangeran Arya Damar. Bahwa Purbajaya sebenarnya anak seorang kandagalante di wilayah Pajajaran yang "diambil" oleh Carbon di saat terjadi kemelut peperangan antara Carbon dengan Pajajaran.

"Bagaimana mungkin orang Pajajaran disuruh menyerbu negrinya sendiri, Pangeran?" tanya Ki Aliman yang nampak sesekali mengurut dadanya. Rupanya dia masih merasa sakit bekas adu tenaga yang dilakukan tadi dengan Purbajaya.

Ketiga orang perwira pun sama menatap Pangeran Arya Damar seolah membenarkan dan mendukung opertanyaan Ki Aliman.

Mendengar pertanyaan ini, Pangeran Arya Damar hanya mengangguk-angguk tenang seolaholah dia sudah memiliki jawabannya.

"Anak muda ini sejak kecil berada di Carbon, dididik oleh orang Carbon dan sudah mengerti akan tujuan perjuangan negri kita. Maka sedikit sekali kemungkinan pemuda ini membelot ke Pakuan," kata Pangeran Arya Damar sambil menoleh pada Purbajaya sepertinya ucapannya sekaligus juga mengingatkan Purbajaya akan hal ini.

"Benarkah ucapan Pangeran, hai anak muda?" tanya Ki Aspahar dengan wajah dingin namun meminta kepastian.

"Kalau Pangeran Arya Damar tak memberitahu saya, maka saya tak tahu kalau saya ini anak dari Pajajaran," jawab Purbajaya menunduk.

"Sekarang kan sudah tahu. Jadi, bagaimana sikapmu?" Ki Aspahar mendesak.

"Saya tak tahu siapa orangtua saya. Yang saya kenal hanyalah Paman Jayaratu yang membesarkan dan memberi didikan pada saya," tutur Purbajaya sejujurnya.

"Engkau tak akan mengkhianati Carbon, anak muda?"

"Bahkan saya ingin membuktikan bahwa saya adalah orang yang tahu membalas budi," jawab lagi Purbajaya. Ki Aspahar mengangguk-angguk kendati yang lainnya masih belum memperlihatkan kepuasan.

"Tak usah didesak lagi sebab begitulah kenyataannya. Dia sudah bilang begitu dan aku tanggungjawab," kata Pangeran Arya Damar memutuskan.

Begitulah, pada akhirnya Purbajaya disetujui para perwira untuk ikut tugas. Tugas apa? Inilah yang Purbajaya tertarik memperhatikannya.

Pangeran Arya Damar berkilah bahwa perjuangan untuk menundukkan Pakuan sungguh berat. Kendati negri yang dipimpin oleh Sang Prabu Ratu Sakti akhir-akhir ini selalu digoncang perpecahan, namun kekuatannya masih sulit dirontokkan. Ini karena Pajajaran memiliki pembantu-pembantu yang kuat.

"Masih banyak yang bersetia kepada negri itu. Jangankan yang tengah mengabdi, sedangkan yang oleh ratunya sudah dianggap pembangkang dan pemberontak pun, masih tetap nerdiri untuk kepentingan negrinya," kata Pangeran Aeya Damar.

"Hebat sekali!" seru Purbajaya membuat terkejut semua orang. Purbajaya tersipu bahkan akhirnya terkejut sendiri dengan pernyataannya ini. Melihat sikapnya tadi, jangan-jangan orang bercuriga bahwa dia bersimpati kepada Pajajaran.

"Bahkan kepada musuh pun kita wajib bercermin. Itu yang diajarkan Paman Jayaratu kepada saya. Tapi maafkan bila saya salah menafsirkannya," tutur Purbajaya. Dia menyembah hormat kepada Pangeran Arya Damar, juga kepada keempat perwira itu.

"Engkau harus menerangkan tentang arti ucapanmu, anak muda," kata Ki Aliman dingin dan bercuriga sekali. Sebelum berani menjawab pertanyaan ini, Purbajaya melirik ke arah Pangeran Arya Damar. Nampak pangeran itu mengangguk tanda setuju.

"Saya hanya ingat perkataan Paman Jayaratu semata. Bahwa kita harus bercermin kepada sesuatu yang bermanfaat kendati itu datangnya dari musuh," kata Purbajaya."Barusan Pangeran mengabarkan bahwa banyak pejabat dan orang pandai di Pajajaran, kendati tak disukai penguasa, akan tetapi tetap mebela negrinya. Ini hanya menandakan bahwa orangorang itu punya jiwa yang besar. Mereka patriotik.Yang penting hidupnya demi negara dan bukan demi penguasa. Saya pikir ini hebat dan patut kita teladani. Orang yang hanya mengabdikan dirinya untuk negara tak mungkin berkhianat. Apa pun yang dia kerjakan dan pikirkan, pasti untuk kepentingan negaranya," kata pemuda itu panjang-lebar.

"Pendapatmu bagus, anak muda. Itu pula yang aku harapkan di Nagri Carbon ini," tutur Pangeran Arya Damar.

"Saya bersumpah untuk mengabdi kepada Nagri Carbon, Pangeran ...." tutur Purbajaya menyembah takzim.

"Bagus. Kini saatnyalah engkau memperlihatkan rasa cintamu pada Nagri Carbon," sambut Pangeran Arya Damar.

Kemudian pangeran itu melanjutkan lagi penjelasannya. Bahwa sebelum Kangjeng Susuhunan melakukan perjalanan ke wilayah barat, (wilayah Pajajaran) dalam upaya semakin menyebarluaskan pengaruh agama baru, pihak militer Nagri Carbon perlu "membuka jalan" dahulu agar memperlancar perjalanan Kangjeng Susuhunan.

"Banyak kerikil tajam yang akan menghalangi perjalanan. Padahal tujuan utama Carbon adalah Pakuan. Kita harus menembusdayo ibukota) Pakuan."

"Apakah yang dimaksud dengan kerikil tajam itu, Pangeran?" tanya Purbajaya.

"Kerikil tajam itu adalah pembantu-pembantu utama dan para orang pandai yang hingga kini masih tetap bersetia kepada Pajajaran. Satu persatu kerikil itu harus disapu dan disingkirkan, sehingga jalan ke Pakuan kelak akan lurus dan rata, enak bagi yang akan melangkah," kata Pangeran Arya Damar lagi. Purbajaya mengangguk sebagai tanda mengerti ke mana arah perkataan pangeran ini.

"Ada kerikil yang amat tajam yang sekiranya akan jadi hambatan berat. Kalian tentu sudah mendengar seorang tokoh Pajajaran yang bernama Ki Darma Sungkawa," kata Pangeran Arya Damar sambil menatap satu persatu kepada keempat orang perwiranya.

"Dia adalah bekas anggota pasukanBalamati seribu perwira pengawal raja di Pakuan," kata Ki Albani bertubuh kurus berkumis tipis.
"Betul. Dia termasuk penghalang utama kita, Albani," kata Pangeran Arya Damar menatap tajam.

"Tapi dia sudah dimusuhi pemerintahnya. Khabarnya Sang Prabu Ratu Sakti amat membencinya. Oleh sesama perwiranya, Ki Darma selalu dikejar untuk ditangkap atau dibunuh. Mengapa orang yang sudah terdesak seperti ini malah kita anggap sebagai penghalang besar, Pangeran?" tanya Ki Albani heran.

"Seharusnya begitu logikanya. Tapi kenyataannya berkata lain," sahut Pangeran Arya Damar. Ki Albani juga rekan-rekannya menatap pangeran ini dengan seksama.

"Seperti sudah aku katakan sejak awal, banyak orang pandai membentengi Pajajaran. Ki Darma sekali pun tak disukai penguasa, akan tetapi tetap bersikap sebagai pelindung negri. Bukan saja dia tak mau takluk kepada Carbon, tapi malah dia berupaya menggagalkan berbagai upaya nagri Carbon untuk menguasai Pakuan. Karena dikejar-kejar di Pakuan, dia melarikan diri ke sana ke mari. Namun dalam pelariannya dia tak pernah berhenti menghalangi kita yang ingin memasuki wilayah Pakuan," kata Pangeran Arya Damar.

"Itulah salah satu maksudku. Kita harus mengirim kekuatan ke wilayah Talaga. Pertama untuk melumpuhkan Ki Darma agar tak menjadi duri dalam daging dan keduanya untuk menyelamatkan harta negara," kata Pangeran Arya Damar."Kita harus bersiap-siap. Dalam waktu dekat kalian aku kirimkan ke wilayah Talaga," kata Pangeran Arya Damar dengan yakin.

Keempat perwira menghormat dengan takzim dan berteriak menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang pun berteriak begitu, maka Purbajaya pun ikut menyerukan kesanggupannya.

***

HAMPIR sebulan Purbajaya menerima gemblengan. Kalau oleh paman Jayaratu dia mendapatkan latihan ilmu bela diri, adalah ketika bersama dengan paraperwiradia mendapatkan pendidikan kemiliteran.

Selama dalam penggodokan pemuda ini baru mengetahuibahwa ilmu berkelahi hanyalah bagian kecil dari pengetahuan kemiliteran sebab dalam ilmu kemilioteran senua strategi dipelajari. Berkelahi hanyalah berpikir tentang kalah dan menang secara sempit. Tidak demikian dengan pengetahuan militer. Purbajaya sekali waktu bahkan mendapatkan ppengetahuan bahwa ukuran sebuah kemenangan dalam satu peperangan tak selamanya harus dilakukan melalui perkelahian. "Perang yang paling baik adalah melakukan tipu muslihat, kemudian dengan tipu muslihat itu kita bisa menang tanpa melakukan perkelahian," tutur seorang periwra berjanggut tipis tapi memiliki alis tebal bagaikan sepasang golok melintang.

"Camkanlah ini, tujuan kita adalah menaklukan musuh bukan menghancurkannya. Jadi, sebelum pertimbangan kita jatuhkan kepada pilihan peperangan dengan menggunakan senajat, terlebih dahulu harus sanggup memilih peperangantanpa senjata. Kita harus sanggup mengalahkan musuh tanpa membunuh dan merebut wilayah tanpa merusak. Itulah sebabnya, siasat dan tipu muslihat harus kita tempuh," tutur perwira ini.

"Siapakah dia,Ki Silah (saudara)?" tanya Purbajay kepada prajurit muda yang duduk di sampingnya.

"Masak tak tahu, dialah Pangeran Suwarga, perwira kepala yang amat dipercaya Kangjeng Sunan," tutur prajurit itu.

"Kemudian Pengeran Arya Damar sebagai apa di Carbon ini?" tanya lagui Purbajaya.

Yang ditanya hanya mengerutkan dahinya, entah jengkel dengan pertanyaan rewel ini entah memang bingung menjawabnya.

"Aku harus tahu jabatan-jabatan di Nagri Carbon ini. Hanya yang aku tahu Pangeran Arya Damar cukup disegani. Dia pun menguasai militer dan banyak perwira dekat dengannya. Pangeran Suwarga pandai dalamakal-akalan (strategi) militer dan Pangeran Arya Damar banyak melontarkan pikiran untuk kemajuan Nagri Carbon. Kalau kedua orang itu bisa bersatu, maka Nagri Carbon pasti akan bertambah kuat," tutur prajurit itu.

"Jadi maksudmu antara kedua pangeran itu kini tak bersatu?" tanya Purbajaya heran.

"Aku tak bilang begitu, tolol! Sangkamu bila aku bilang kalau kedua orang itu bersatu, apa punya arti sedang tak bersatu," prajurit tua itu berkata jengkel.

"Sssttt! prajurit yang lebih tua memperingatkan agar mereka tak ribut. Beralasan sebab amat tak sopan pejabat sedang bicara di belakang ada yang bisk-bisik. Pangeran Yudhabangsa memang tengah serius memberikan ceramah mengenai strategi militer.

"Kalau kita akan melakukan penyerbuan terhadap musuh, maka jauh sebelumnya akan banyak hal harus dikerjakan," tutur lagi Pangeran Suwarga. Pengeran ini menjelaskan bahwa jauh sebelum kita menyerbu, maka keadaan lawan harus benar-benar diketahui dengan pasti. Pihak penyerbu terlebih dahulu harus bisa menyelidiki sejauh mana tingkat disiplin prajurit musuh, sejauh mana kepandaian panglima perangnya, sejauh mana tingkat rata-rata kepandaian prajuritnya, dan sejauh mana pemerintah memberikan penghargaan terhadap prajurit yang berjasa dan memberikan hukuman bagi yang bersalah.

"Kelemahan dan kekuatan nagri musuh harus benar-benar diketahui. Sebab. kalau kita pergi asal menyerbu, maka perang akan berkepanjangan. Camkanlah, menang dalam waktu singkat adalah tujuan utama peperangan. Kalau perang berkepanjangan, senjata akan menjadi tumpul dan semangat akan merosot. Kalau prajurit disuruh mengepung daerah musuh secara berekepanjangan, tenaganya akan terkuras dan dana negara termasuk segala perbekalan akan banyak dikeluarkan. Dengan kata lain, perang yang kita lakukan berharga mahal. Kendatipun kita pada akhirnya menang tapi segalanya telah compang-camping. Itulah kemenangan yang tiada arti," kata Pangeran Suwarga.

Selanjutnya pangeran ini berkata, dia perlu mengingatkan hal ini sebab perang berkepanjangan pernah dialami Nagri Carbon dalam melawan Pajajaran manakala masih mendapatkan bantuan Keratuan Demak puluhan tahun silam.

Ketika Pajajaran dikuasai oleh Sang Prabu Surawisesa (1521-1535), terjadi perang berlarutlarut dengan Nagri Carbon. Carbon yang diabntu Demakpada akhirnya menang tampil  sebagai pemenang. Banyak wilayah yang dulu dikuasai Pajajaran menjadi milik Carbon, di antaranya adalah pelabuhan-pelabuhan penting perdaganagan di sepanjang pantai utara. Namun perang itu sangat berlarut-larut sampai lebih dari lima tahun.

"Kerugian banyak dialami bukan saja oleh pihak yang kalah, tapi juga oleh pihak yang menag. Aku ingin tanya kepada kalian, menang secara mutlakkah Carbon? Tidak. Tokh hingga kini Pajajaran masih berdiri dengan cukup tangguh dan tak bergeming hanya karena Keratuan Galuh, Talaga, dan Sumedanglarang telah dapat kita rebut. Kita belum bisa menundukkan Pajajaran secara total sebab kelemahan kita sejak awal yaitu tak sanggup mengenal kekuatan dan kekurangan lawan secara benar. Itulah sebabnya, hari ini berkali-kali aku katakan, kenalilah lawanmu, kenali pula dirimu sendiri. Maka dalam seratus kali pertempuran pun kalian tak akan dalam bahaya," tutur Pangeran Suwarga berapi-api.

Purbajaya terpukau mendengarkan ceramah pangeran yang nampak anggun berwibawa ini. Sampai ketika ceramah selesai, sampai ketika Pangeran Suwarga meninggalkanpaseban , pemuda itu termangu-mangu sebaba wejangan orang itu masih terngiang-ngiang di telinganya.

"Camkanlah, tujuan kita menaklukkan musuh dan bukan menghancurkannya ...," ucapan dan kalimat ini amat membekas di benak Purbajaya. Sungguh bijaksana dan mulia orang bisa berpikir seperti ini. Benar, mengapa orang harus saling membunuh karena berperang? Seratus kali berperang dan seratus kali membunuh, rasanya itu bukan sebuah kebanggaan sebab bukan sebuah kemenangan, paling tidak bukan kemenangan bagi kepentingan kemanusiaan.

"Aku ingin sekali bertukar pikiran lebih mendalam dengan pejabat ini. Sungguh aneh, Pangeran Suwarga adalah perwira kepala. Dia pelatih ilmu kemiliteran dan kata orang, banyak memiliki ilmu perang. Namun, pandangannya mengenai perang demikian halus dan beradab. Itulah yang menjadi kekaguman Purbajaya.

Berhari-hari dia berpikir mengenai kemungkinannya menemui Pangeran Suwarga. Sebentar lagi pemuda itu akan berangkat ke medan perang. Dia perlu bekal moril untuk ini. Jalan pikiran Pangeran Suwarga sungguh beda dengan Pangeran Arya Damar. Majikannya, kalau boleh disebut begitu, sepertinya hanya berpikir tentang ambisi, ambisi memenangkan perang. Arya Damar hanya berpikir bagaimana caranya menghancurkan musuh, dalam hal ini orang Pajajaran. Artinya, bila musuh hancur, itulah kemenangan. Kalau dipikir terasa ganjil, aneh, mengapa pejabat-pejabat di satu atap Keraton Pakungwati biosa punya pandangan yang beda perihal arti peperangan? Pangeran Arya Damar mestinya mengikuti pendapat Pangeran Suwarga sebaba dia sudah panglima. Pangeran Suwargalah yang oleh Sang Panembahan Pakungwati diakui sebagai konseptor militer dan akhli strategi perang. Mengapa Pangeran Arya Damar malah punya konsep sendiri?

"Panglima yang sesungguhnya adalah pimpinan di medan perang itu sendiri. Hanya dialah yang lebih tahu dari siapapun. Jadi, alagkah tak bijaksananya bila atasan yang hanya duduk di keraton, memerintahkan prajurit harus mundur padahal dia siap bertempur, atau malah sebaliknya menyuruh prajurit menyerang di saat mereka tak siap. Yang paling mengetahui siap dan tidaknya keadaan prajurit, hanyalah pimpinan yang ada di sekitar medan perang itu sendiri," tutur Pangeran Arya Damar suatu hari.

Purbajaya pernah mendengar bahwa puluhan tahun silam atau tepatnya terjadi sekitar tahun 1521-1535, Pangeran Arya Damar beberapa kali mendapat tugas memimpin prajurit Carbon menyerbu wilayah Pajajaran. Pada tahun-tahun itu, Carbon yang waktu itu dibantu Demak berhasil menguasai pelabuhan penting milik Pajajaran, yaitu Ciamo (muara Sungai Cimanuk), Caravam (muara Sungai Citarum di Tanjungpura, wilayah Karawang kini), Tangaram (muara Sungai Cisadane), Cigede (muara Sungai Ciliwung), Pontang, Bantam (di wilayah Banten kini), dan Sunda Kelapa, pelabuhan internasional.

Menurut pemerintah Nagri Carbon, ini adalah sukses besar sebab degngan direbutnya pelabuhan penting, hubungan Pakuan dengan bangsa asing (Portugis) menajdi terputus. Carbon dan Demak merasa bahwa kehadiran Portugis merupakan ancaman bagi keberadaan Jawa Dwipa (Pulau Jawa). Portugis sudah menguasai Malaka dan mungkin akan meluaskan pengaruhnya ke Jawa Dwipa. Namun Pajajaran seperti tak menyadari bahaya ini. Kerajaan Sunda ini malahan mengadakan hubungan daghang dan Portugis diberi keleluasaan mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Ini bahaya benar. Itulah sebabnya Demak dan Carbon mencoba merebut pelabuhan-pelabuhan milik Pajajaran dan berhasil.

Namun Pangeran Arya Damar yang waktu itu masih muda, berusia kurang lebih 25 tahun, tak menganggap ini sebuah sukses besar. Kemenangan sempurna bagi Carbon terjadi bilamana seluruh Pajajaran dikuasai sepenuhnya oleh Caron. Pangeran muda ini menyesalkan sikap Kangjeng Sunan yang karena kekerabatannya dengan penguasa Pajajaran selalu bersikap tanggung dalam menurunkan kebijaksanaan. Kangjeng Sunan seperti tak berniat menghancurkan Pajajaran. Sesudah terjadi peperangan hampir lima tahun lamanya, Carbon akhirnya malah mengadakan perjanjian damai dengan Pajajaran. Padahal Pangeran Arya Damar selalu mengusulkan agar Carbon yang diperkuat Demakharus menuntaskan perjuangan, yaitu menggempur Pajajaran hingga ke pusatDayo (ibukota negara) yaitu Pakuan.

"Kangjeng Sunan mengkhawatirkan keselamatan umat manusia. Kangjeng khawatir akan banyak korban percuma bila prajurit Carbon terus mendesak ke pedalaman. Padahal yang paling tahu mengenai kekuatan prajurit Carbon adalah panglima yang ada di medan perang yaitu aku!" tutur Pangeran Arya Damar. "agar Carbon menjadi besar, kuasailah Jawa Kulon sepenuhnya! tuturnya lagi.

Purbajaya menilai, inilah ambisi manusia, yaitu selalu tak puas memiliki kekuasaan yang ada. Pemuda ini teringat kembali, betapa alis Paman Jayaratu berkerut ketika dirinya dipanggil Pangeran Arya Damar ke istana. Mungkinkah Paman Jayaratu tidak menyenangi pengeran ini karena terlalu banyak memiliki ambisi? Akhirnya Purbajaya bingung sendiri. Dia terlalu mentah untuk mengenal kehidupan politik. Itulah sebabnya, agar mengenal lebih jauh kehidupan politik, pemuda ini berniat mendekati Pangeran Yudhabangsa, bagaimana pun caranya.

***

SORE hari yang cerah. Jadi sambil menunggu beduk magrib dari masjid Sang Ciptarasa, Purbajaya berjalan-jalan di kompleks puri. Hatinya tertarik untuk kembali mendatangi kolam melingkar tempat anak-anak bangsawan bersampan bersuka-cita.

Hampir delapan atau sembilan tahun lalu di keramaian sekatenan putra-putri bangsawan bercengkrama di kolam, di atas sampan indah. Namun sore hari itu, suasana kolam sungguh sepi. Tak ada muda-mudi, juga tak ada Nyimas Waningyun.

Purbajaya berkeluh-kesah dan hatinya sedih sekali. Baru dua kali dia bertemu gadis ayu itu. Satu kali ketika tubuh si cantik itu basah kuyup dan ada dalam pelukannya. Gadis itu penuh perhatian memeriksa tubuhnya yang "disiksa" Ranggasena. Namun dalam pertemuan kedua hampir sebulan lalu, gadis itu marah-marah kepadanya karena Purbajaya dituding pemuda culas dan pembohong.

"Beginilah orang yang berbohong. satu kali berbuat kesalahan selama hidup dibenci orang...."keluhnya. Kalau saja dulu bertindak jujur. Ya, kalau dulu bertindak jujur, akan bagaimana hasilnya?

"Ah, tentu aku tak pernah kenal padanya. Kalau aku tak membuat kekacauan, tak mungkin Nyimas Waningyun mengenalku," pikirnya lagi. Maka akhir jalan pikirannya bolak-balik menyalahkan dan membenarkan tindakannya waktu itu. "Coba kalau aku tak membocorkan perahu, mungkin tak bakalan menolong gadis itu dari bahaya tenggelam. Mungkin aku tak memangku tubuhnya dan mungkin aku tak berkenalan. Sekarang kan bisa berkenalan walaupun pada akhirnya dicerca habis-habisan," katanya lagi dalam hatinya.

Mengapa mesti tersinggung melihat Nyimas Waningyun marah? Marahnya gadis itu adalah anugrah baginya. Bayangkan, kendati tengah marah tapi gadis itu tetap cantik. Dalam kemarahannya, gadis itu menampilkan kecantikan khas. Betapa masih terbayang di pelupuk matanya, kaki gadis kecil itu dengan penuh greget menjejak-jejak tanah beberapa kali untuk memperlihatkan rasa jengkel dan marah. Namun dalam pandangan Purbajaya, gerakan itu amat indah dan manis. Ketika gadis itu sedikit mengangkat kaki, kain batiknya sedikit tersingkap sehingga sedikit betis bersinar kuning membuat dada pemuda itu berdebar keras. Lebih dari seminggu adegan itu terus membayang di pelupuk matanya.

Tapi itu sudah berlalu. Hingga kini Purbajaya tak pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Kendati hampir setiap hari dia bertemu dengan ayahnya yaitu Pangeran Arya Damar, namun hanya sebatas di paseban saja. Purbajaya tak berani memasuki Kompleks Puri Arya Damar, apalagi melongok ke keputren.

Kolam berair bening itu kini sungguh sepi. Airnya bergerak tenang, kecuali oleh gerakangerakan binatang air bila terlihat lewat ke permukaan. Untuk mengusir sepi, pemuda itu mencoba melemparkan sebuah kerikil kecil ke permukaan. Aneh sekali manakala dia melempar, ada dua muncratan air di kiri dan kanannya sepertinya air itu dilempar dua buah kerikil. Tapi siapa lagi yang melempar air selain dirinya?

Purbajaya menoleh ke belakang.

"Nyimas .... bisiknya bergetar. Mengapa tak begitu sebab benar penglihatannya, di belakangnya berdiri anggun Nyimas Waningyun. Gadis itu memakai baju kurung kain satin warna biru, sebuah jenis kain halus yang tak mungkin dimiliki gadis biasa sebabab harganya sangat mahal dan didatangkan dari Nagri Campa. Gadis itu tidak menggelungkan rambutnya yang hitam berombak, melainkan sengaja membiarkan rambut itu terurai panjang. Sebagai pencegah agar rambut bagus itu tak awut-awutan kena angin sore, Nyimas Waningyun mengikat kepalanya dengan kain tipis halus warna kuning yang ujung-ujungnya menjurai ke bawah menutupi bagian dadanya. Kain batik trusmi warna gelap sedikit tertutup baju satin hingga ke bagian lutut. Purbajaya mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian mengucakngucaknya beberapa kali pula.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar