Kemelut Di Cakrabuana Jilid 01

Lelaki tua berjenggot putih itu mangangkat kaki kanannya dengan lutut sejajar pusar, sedangkan sepasang tangannya siap siaga di depan dada dengan telapak terbuka lebar.

Lelaki itu menahan napas sejenak, mulutnya berkomat-kamit. Secara tiba-tiba kaki kanan yang terangkat itu melompat ke depan. Bersamaan dengan itu sepasang tangannya mendorong dengan pengerahan tenaga kuat. Tenaga dorongan mengarah ke depan, ke arah sebongkah batu yang jaraknya ada sekitar lima depa (1 depa kurang lebih 1,698 meter). Seiring dengan teriakan yang keluar dari mulut lelaki tua itu angin pukulan pun terdengar berciutan. Kemudian tak lama antaranya terdengar suara ledakan memecah jantung. Bongkahan itu hancur hampir menjadi kerikil bertaburan.

"Mengagumkan sekali Paman Jayaratu!" teriak seorang pemuda yang berdiri terpana pada jarak sejauh lima depa.

"Suatu saat, engkau yang harus melakukan gerakan ini," kata Paman Jayaratu menatap pemuda itu.

"Saya?"

"Ya, Purbajaya ...!" "Untuk apakah?"
"Untuk membela agamamu! Untuk memperkokoh, memperkuat bahkan membuatnya besar," tutur Paman Jayaratu.

"Paman kan pernah bilang, Islam tak butuh kekerasan," kata Purbajaya.

"Memang betul, Islam tak butuh kekerasan tapi kekuatan. Ilmu kedigjayaan adalah bagian dari kekuatan. Dan itu perlu untuk kewibawaan agama kita," tutur lagi Paman Jayaratu.

"Harus dengan kedigjayaankah Islam melebarkan sayap?" tanya pemuda itu, duduk bersila di sebuah hamparan tikar pandan.

Paman Jayaratu menghela napas. Kemudian dia pun mencoba duduk bersila di atas tikar yang sudah ditempati pemuda itu. Sebelum meneruskan percakapan, Paman Jayaratu mengnakan kembali baju kurung warna hitamnya. Ikat kepalanya yang juga berwarna hitam pun segera dikenakannya lagi, sehingga nampak kontras dengan warna rambut putihnya yang riap-riapan tertebak semilir angin tengah hari.

Mereka berdua duduk di bawah pohon kaso yang rindang yang berdiri terpencil di kaki bukit itu. Nun jauh ke sebelah utara nampak dataran rendah pantai utara yang langsung berbatasan dengan warna laut biru pesisir Cirebon.

"Kenakan kembali pakaianmu, Purba..." kata Paman Jayaratu.

Purbajaya segera mengambil baju rompi hitam yang terbuat dari kain beludru biru. Dadanya yang bidang dan putih sedikit tertutup oleh rompi. Purbajaya pun segera mengikat kepalanya dengan ikat kepala warna putih.

"Dalam hal apa pun kedigjayaan adalah lambang kegagahan. Namun harus diingat, kegagahan hanyalah sebuah pelengkap, atau bagaikan kembang pelengkap keindahan. Sedangkan sumber dari segala kekuatan itu sendiri adalah saripatinya. Islam di saat saat perkembangannya memang butuh kegagahan. Namun kegagahan itu sudah barang tentu jangan mengalahkan tujuan utamanya sendiri. Ingatlah, kalau pun ada terdengar orang Islam melakukan peperangan, itu bukanlah pamer kegagahan atau pun pamer kekuasaan, melainkan mempertahankan keberadaan. Kita berkewajiban mempertahankan keberadaan Islam. Untuk itu kita butuh kedigjayaan dan kekuatan," tutur Paman Jayaratu panjang lebar.

Purbajaya duduk tegak memangku kedua belah tangan. Termenung sejenak, kemudian mengangguk-angguk.

"Saya siap berlatih kedigjayaan, Paman ..." kata Purbajaya pada akhirnya.

"Tapi ingatlah, kau tidak dididik untuk jadi tukang berkelahi atau pun tukang pukul. Agama kita benci kepada kesombongan, takabur dan kejam," tutur Paman Jayaratu. Pemuda itu mengangguk-angguk lagi.

"Apakah agama kita benci pembunuhan?" tanya pemuda itu tiba-tiba.

"Hati-hatilah bicara pembunuhan sebab dalam agama kita, pengadilan pertama di hari kiamat adalah perkara pembunuhan!" potong Paman Jayaratu tegas.

"Jadi dalam agama kita tak boleh ada pembunuhan, Paman?"

"Di sini bukan berbicara masalah boleh atau tak bolehnya tapi menitikberatkan pada perkara apa yang kita hadapi ini."

"Tugas saya kelak dari Negri Carbon ini adalah menyelundup ke Pajajaran," gumam Purbajaya tiba-tiba dengan wajah tegang. Dia khawatir di tempat musuh nanti akan berhadapan dengan tugas-tugas membunuh.

Paman Jayaratu seperti maklum akan isi hati pemuda ini.

"Kita harus punya kedewasaan dalam berpikir. Kalau ada ucapan orang seagama berdosa besar membunuh sesamanya, tidak berarti bunyi ucapan ini bisa diputar-balik lantas kita bisa bebas dari dosa kalau membunuh orang yang tak seagama," kata Paman Jayaratu,"Dan kau harus hati-hati dalam berpikir, ilmu kedigjayaan yang aku berikan bukanlah ilmu untuk membunuh," tandasnya lagi. Kembali Purbajaya mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Tapi ikut bertugas menyebarkan agama kita ke masyarakat Pajajaran sungguh berat," keluh pemuda itu kemudian.

"Tidak berat sebab tak ada paksaan masuk agama kita. Engkau hanya perlu meyakinkan saja. Dan yang belum yakin dengan agama kita sebaiknya tak perlu masuk sebab bila telah masuk lantas keluar lagi, dia akan mendapat hukuman sebagai orang murtad," kata Paman Jayaratu.

Untuk ke sekian kalinya Purbajaya mengangguk-angguk.

"Nah, hari ini latihan selesai. Tapi ingatlah, dalam satu tahun ini, di sampaing kau kian memperdalam agamamu juga harus semakin memperdalam ilmu kewiraanmu. Tahun depan engkau harus diikutsertakan dalam tugas menyelundup ke pusat pemerintahan Pajajaran, yaitu dayo (ibukota) Pakuan," kata Paman Jayaratu.

Lelaki tua itu segera berdiri. Dia memerintah Purbajaya untuk menggulung tikar. Sesudah itu, bagaikan kijang, kaki Paman Jayaratu meloncat lincah. Dia berlari cepat menuruni bukit. Setiap ujung jari kakinya menotol tanah, maka setiap itu pula tubuhnya meloncat tinggi di udara. Dalam beberapa saat saja, orang tua itu telah berada jauh di bawah bukit, meninggalkan Purbajaya yang masih termangu sambil menggulung tikar. Namun sebentar kemudian dia pun sadar bahwa Paman Jayaratu tengah mengujinya, sejauh mana perkembangan ilmu napak sancang (semacam ilmu untuk meringankan tubuh dalam berlari) yang dimiliki pemuda itu.

Purbajaya pun segera meniru gerakan Paman Jayaratu. Dia menotolkan ujung jari kakinya ke atas tonjolan batu. Tubuhnya sedikit mumbul ke udara seperti di ujung jari kakinya dipasangi per baja. Pemuda itu memang bisa bergerak cepat kendati masih kalah cepat dibandingkan gerakan Paman Jayaratu.

SELAMA hampir satu tahun Purbajaya dididik ilmu kedigjayaan di samping semakin memperdalam pelajaran agamanya. Seingatnya, agamanya mulai dikenalkan di wilayah Negri Carbon sejak dia masih bocah. Kendati menurut banyak orang, agamanya belum merata diterima oleh masyarakat di tanah Sunda, namun bagi Purbajaya, agama baru ini bukan halangan bagi kehidupan manusia. Dalam agamanya yang baru, dia tak merasa ada hambatan dalam kebebasan. Kalau pun agama ini mengatur kehidupan, itu adalah sesuatu yang membimbingnya ke arah sesuatu kehidupan lebih baik.

"Betapa kacaunya isi dunia seandainya kehidupan manusia tidak diatur oleh keberadaan agama," pikir Purbajaya.

Dia tak merasakan keanehan dalam menempuh kehidupan beragama sebab pada umumnya orang yang berada di wilayah Karatuan Carbon adalah pemelk agama yang saleh kendati masyarakat Carbon terdiri dari banyak macam suku bangsa seperti Sunda, Keling, Arab, Cina.

Hanya saja yang membuat dirinya belum merasa tentram bila tiba saatnya dia harus memikirkan siapa dia sebenarnya. Selama belasan tahun ini dan tinggal di wilayah ini, dia tak tahu siapa keluarganya. Orang yang dekat dengannya sampai hari ini hanyalah Paman Jayaratu. Orangtuanyakah dia? Mengapakah dia tak memanggilnya ayahanda kepada Paman Jayaratu? Siapa pula ibunya?

“Suatu saat kau akan diberitahu ..." tutur Paman Jayaratu bila Purbajaya bertanya perihal itu. Namun pada suatu saat tiba pula apa yang didambakannya.
Malam itu langit penuh bintang. Purbajaya tengah duduk bersila di bale-bale berhadapan dengan sebuah pelita dengan cahaya suram. Pemuda itu dengan sabar membaca beberapa ayat suci yang tengah dia pelajari.

Dia segera menghentikan pekerjaannya manakala ke pekarangan rumah masuk dua orang berpakaian prajurit. Mereka datang berbekal oncor (obor) yang cahaya merahnya menggelebur menerangi wajah-wajah mereka.

"Siapa?"

"Kami utusan dari Puri Arya Damar, ingin bertemu Ki Jayaratu," jawab seorang dari mereka.

"Arya Damar? Bukankah dia salah seorang pangeran dari Pakungwati?" tanya Purbajaya pelan.

"Ya, ada urusan amat penting. Jadi, bila Ki Jayaratu tak ada halangan, diharap ikut bersama kami ke puri," tutur prajurit.

"Paman Jayaratu sedang pergi ke Astanajapura. Tapi menurut rencana, malam ini pun harus sudah kembali," jawab Purbajaya masih duduk bersila.

"Silakan Ki Silah (saudara) berdua tunggu di sini..." tutur kedua orang itu mengajak kedua orang prajurit untuk duduk di bale-bale.

Namun sebelum kedua orang tamu itu duduk, tiba-tiba Paman Jayaratu muncul dari pekarangan.

"Kebetulan beliau sudah tadang ..." Purbajaya melihat orang tua itu dengan hati gembira. "Kalian dari mana?" tanya Paman Jayaratu.
"Kami utusan dari Pangeran Arya Damar ..." "Pangeran Arya Damar?"
"Beliau mengundangmu ke purinya tapi diharap anda membawa serta pemuda bernama Purbajaya," kata prajurit.

Purbajaya terkejut, mengapa dia pun musti ikut? Dan ketika dia melirik ke arah Paman Jayaratu, dia pun bertambah heran sebab alis orang tua itu nampak berkerut. Ada apakah? "Harus sekarang jugakah kami menghadap beliau?" tanya Paman Jayaratu. Kedua prajurit itu mengangguk. Kembali dahi Paman Jayaratu berkerut. Dia termenung sejenak.

"Kami harus membawa kalian sekarang ini juga," kata prajurit menegaskan ketika Paman Jayaratu nampak meragu.

Paman Jayaratu masih termenung. Namun pada akhirnya dia mengangguk juga.

"Baiklah, kami berangkat menuruti titahnya," guman Paman Jayaratu."Purba, berkemaslah, malam ini kita menghadap ke Istana Pakungwati ..." kata Paman Jayaratu berjingkat.

"Ouw, jadi anak muda inikah Purbajaya?" kedua orang prajurit ini kaget kerika nama itu dipanggil.

"Apakah kalian sudah tahu tentang anak ini?" tanya Paman Jayaratu penuh selidik.

"Hanya sedikit-sedikit. Tapi anak muda ini amat menarik perhatian ..." kata prajurit berkumis tebal berdada bidang.

Berdebar dada Purbajaya. Mereka membicarakan dirinya tapi dia tak tahu perkara apa itu. Ketika Paman Jayaratu masuk ke ruangan rumah panggungnya, Purbajaya ikut berjingkat dengan alasan akan segera berkemas.

"Paman, ada apakah ini?" tanyanya berbisik.

"Ini adalah perihal masa depanmu tapi sekaligus juga tentang masa lalumu. Hanya saja aku hawatir, mengapa yang menanganimu malah Pangeran itu?" gumam Ki Jayaratu.

"Ada apa dengan Pangeran Arya Damar, Paman?" Paman Jayaratu hanya menghela napas.
"Tak bisa aku katakan sekarang. Tapi mudah-mudahan berhadapan dengan pangeran itu tak mengejutkanmu," kata Paman Jayaratu semakin membuat pemuda itu bertanya-tanya hatinya.

"Tapi kau harus siap, apa pun yang pangeran itu katakan," kata pula orang tua itu. Purbajaya mengangguk tanpa tahu mengapa harus begitu.

"Kami sudah siap berangkat," kata Paman Jayaratu keluar menuju pekarangan.

Kedua orang prajurit itu pun berdiri. Masing-masing mengambil kembali obornya yang tadi disimpan di batang pagar bambu.

"Mari!" ajak prajurit.

"Mari ... Bismil-laahirrakhmaanir-rakhiim!" gumam Paman Jayaratu memulai langkahnya, diikuti oleh Purbajaya. Maka keempat orang itu mulai berjalan beriringan. Pembawa obor berjalan paling depan sebagai penunjuk arah dalam gelapnya malam.

Malam itu memang tak ada bulan. Kendati bulan bertebaran dilangit, cahayanya tak sanggup menerangi semesta. Sedangkan menuju Istana Pakungwati jaraknya cukup jauh, harus merambah sedikit hutan jati.

Hanya saja Paman Jayaratu seperti tak menderita kesulitan. Nampaknya dia hapal betul, ke mana arah yang harus dilalui. Langkah orang tua itu mantap dan cepat. Sebentar saja dia sudah jalan paling depan, meninggalkan dua orang prajurit yang jalan tertatih-tatih karena mata silau oleh cahaya obor.

Purbajaya melangkat di belakang Paman Jayaratu. Hanya dia yang tahu, orang tua itu bisa jalan cepat dalam gelap karena memiliki ilmu bernama Sorot Kalong. Sorot Kalong adalah semacam ilmu melihat dalam gelap. Yang sudah menguasai ilmu ini, kendati berada di dalam gelap tidak kesulitan untuk melihat. Kata pemilik ilmu itu, seluruh alam bisa dilihat kendati remang-remang saja.

***

PAMAN Jayaratu sudah menguasai ilmuSorot Kalong dengan baik. Purbajaya pun sebenarnya sudah diperintah oleh orang tua itu untuk berlatih. Tapi pemuda itu hanya melakukannya dengan setengah-setengah saja. Sungguh berat melatih mata agar bisa melihat di dalam gelap. Selama tiga bulan penuh harus berada di dalam ruangan yang hanya menerima sedikit cahaya. Semakin hari, cahaya yang masuk ke dalam ruangan itu semakin dikurangi sampai pada suatu saat ruangan itu gelap gulita sama sekali. Namun demikian, kemampuan mata harus tetap seperti manakala melihat ruangan ketika masih mendapatkan cahaya.

Purbajaya tak kuat melebarkan pupil mata. Urat-urat di sekitar bola mata serasa menegang bahkan serasa mau putus dan kepala pun berdenyut disertai perasaan mual di ulu hati. Rasanya sudah mau muntah.

"Mata saya seperti tak sanggup memenuhi keinginan ini," tutur Purbajaya pada beberapa bulan lalu. Dia keluar ruangan dengan sepasang mata yang bengkak dan berwarna merah, bahkan dari sudut-sudut matanya keluar tetesan darah.

Mendengar keluhan ini Paman Jayaratu ketika itu hanya ketawa masam.

"Orang yang tak tahu melangkah tak akan sampai ke tempat tujuan. Dan alangkaha sedihnya bilamana suatu saat dia sadar bahwa selama ini dia hanya tinggal di tempat yang itu-itu juga. Dia tetap mentah pengalaman dan pengetahuan ..." kata Paman Jayaratu. Orang tua ini tak pernah memaksakan kehendak, kecuali memberikan gambaran seperti itu.

Dan hari ini baru terasa akibatnya, betapa ucapan Ki Jayaratu amat tepat. Orang yang tak mau beranjak tak akan sampai di tujuan. Hanya karena tak mau mempelajari ilmu Sorot Kalong maka Purbajaya tak bisa berjalan cepat di dalam gelap. Maka tak heran, dalam upaya mengejar ketinggalan, dia bergerak di tengah hutan jati dengan gerakan lintang-pukang, seruduk sana seruduk sini, sama seperti kedua orang prajurit yang berlari di belakangnya. Malah, dua orang prajurit itu lebih unggul sebab berbekal obor. Hanya saja yang menyebabkan Purbajaya ada di depan sebab pemuda itu memiliki ilmu lari cepat jauh lebih baik ketimbang dua prajurit.

"Kalau saja aku ulet dalam latihan ... " keluh pemuda itu. Terasa sekali, Paman Jayaratu hendak mengujinya, atau sekadar memberi pelajaran padanya, betapa orang bodoh selalu ketinggalan dalam segala hal. Paman Jayaratu kini beruia lebih dari limapuluh tahun, sementara tahun ini Purbajaya baru menginjak usi enambelas. Tapi usia yang terpaut jauh tidak menjamin. Tokh anak muda yang bodoh tak bisa mengalahkan orang berusia tua yang pandai.

Untunglah hutan jati sudah dirambah. Kini mereka berada di tengah padang alang-alang yang beberapa di antaranya gundul dan tanahnya berdebu. Namun di tempat terbuka seperti itu bintang-gemintang berjasa menolong Purbajaya. Dengan mengerahkan tenaga dia berlari kencang menyusul Paman Jayaratu. Yang payah adalah kedua orang prajurit. Mereka hanya memiliki kepandaian biasa-biasa saja. Maka diajak berlari menggunakan ilmu napak-sancang (ilmu lari meringankan tubuh), mereka ketinggalan jauh.

Ketika tiba di batas kota, barulah Paman Jayaratu menurunkan kepandaiannya. Dia bahkan berjalan lenggang-kangkung seperti memberi kesempatan kepada orang-orang di belakangnya untuk menyusul.

Dalam waktu yang tak terlalu lama, Purbajaya sudah berada di samping Paman Jayaratu dengan dada turun naik. Kedua orang prajurit Negri Carbon pun sudah ada di belakang mereka dengan napas senin-kemis dan wajah bersimbah keringat.

"Sekarang giliran kalian yang jalan di depan," kata Paman Jayaratu kepada dua orang prajurit.

Sekarang sudah sampai di kota tapi keadaan sudah lengang sebab malam hampir larut. Ketika memasuki gerbang keraton, mereka perlu mendapatkan pemeriksaan dari empat orang jagabaya. Setelah segalanya beres, maka semua boleh masuk.

Keraton Negri Carbon dikenal bernama Dalem Agung Pakungwati, dikelilingi pekaranganpekarangan yang dibatasi dinding batu bata dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya melalui gerbang, kori dan pintu-pintu. Di dalam beberapa pekarangan terdapat kompleks bangsal (bangunan terbuka) yang terbuat dari lantai berhias.

Banyak puri di sana. Puri-puri itu dimiliki oleh para bangsawan, pejabat dan kerabat istana. Salah satunya adalah milik Pangeran Arya Damar.

Di depan puri Arya Damar ada pemeriksaan lagi tapi di sini tak seketat ketika diperiksa di luar istana. Barangkali petugas puri sudah diberitahu akan kedatangan dua orang tamu itu.

Di beranda depan ternyata Pangeran Arya Damar sudah duduk bersila di atas hamparan alketip buatan Negeri Parasi (Parsi-Iran)

Purbajaya sudah pernah bertemu dengan pangeran ini beberapa bulan silam. Itu pun terjadi pada waktu perayaan maulid dan bukan pada pertemuan khusus. Mengapa pejabat ini tiba-tiba ingin bertemu malam-malam seperti ini dengannya? Pangeran Arya Damar malam itu amat berwibawa. Dia memakai baju bedahan lima terbuat dari beludru halus warna hitam. Pada sisi-sisi bedahan dikelim benang emas. Celananya pun terbuat dari beludru hitam pula, ditutup oleh kain batik trusmi yang dilipat dua. Ada keris dengan gagang beronce benang emas, tersembul tipis dari balik bedahan. Ketika Paman Jayaratu datang mendekat, keris itu dipindahkan sedikit ke belakang sehingga jadi tak terlihat. Tapi gerakan pangeran itu tetap mengesankan bahwa dia barusan memegang hulu senjata.

"Assalaamu'alaikum warahmatul-laah ... "

"Wa'alaikum salam... Silakan duduk Ki Jayaratu," sambut Pangeran Arya Damar sambil melinting kumis tipisnya.

Paman Jayaratu duduk bersila sesudah menghormat penuh takzim, diikuti oleh tindakan serupa yang dilakukan Purbajaya. Sedangkan dua prajurit, sesudah menyembah hormat segera undur diri.

"Engkau yang duduk di belakang tentu pemuda bernama Purbajaya itu, ya?" Pangeran Arya Damar matanya menyorot bagai mata burung elang.

Purbajaya menunduk. Dan untuk kedua kalinya dia menyembah.

"Serasa aku sudah pernah melihat wajahnya, di mana ya Ki Jayaratu?" tanyanya kemudian.

"Pangeran pernah melihatnya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu ... " jawab Paman Jayaratu sambil kembali menyembah. Pangeran Arya Damar mengangguk-angguk sesudah mengingat-ingat sebentar.

"Bukankah yang menolong putriku Nyimas Waningyun ketika anak nakal itu hampir tenggelam di Taman Air Petratean?" tanya Pangeran Arya Damar lagi.

Jantung Purbajaya hampir berhenti dan teringat gadis ayu berlesung pipit. Dia putri Pangeran Arya Damar?

Beberapa bulan lalu, adalah perayaan 12 Mulud upacara tradisi memperingati hari lahirnya penyebar agama baru di dunia bernama Islam. Dialah Kangjeng Nabi Muhammad SAW.

Namun di samping perayaan yang bersifat keagamaan, perayaan lain pun ikut mewarnai. Berbagai kesibukan lain ikut meramaikan, misalnya jenis-jenis kesenian. Keramaian itu biasa diadakan sejak dua minggu sebelum 12 Mulud.

Perayaan secara besar-besaran selalu diadakan, terutama sesudah Kangjeng Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sang Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (1479 Masehi). Susuhunan Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini, bukan semata karena menghormati Kangjeng Nabi sebagai penyebar agama saja, melainkan juga karena menghormati nenek-moyang. Menurut garis ayah, Kangjeng Syarief Hidayatullah adalah keturunan ke 22 Kangjeng Nabi Muhammad SAW. Ayahandanya adalah Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir melalui Gujarat. Menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, sudah barang tentu Kangjeng Syarief Hidayatullah begitu menghormatinya secara khusus pula, hormat seorang keturunan kepada nenek-moyangnya. Makanya sejak saat itulah muludan di Nagri Carbon selalu meriah hingga kini.

Nagri Carbon menjadi tempat yang ramai bila muludan tiba. Ribuan orang akan datang dari mana-mana, termasuk dari wilayah karatuan yang telah bergabung dengan Carbon seperti Rajagaluh, Kuningan, Talaga dan Sumedanglarang.

Yang datanag berkunjung ke suasana pesta, bukan hanya orang tua. Bahkan orang muda, para gadis dan lajang saling memperlihatkan wajah dan penampilan agar satu sama lain menjadi saling tertarik.

Kebahagiaan juga larut ke dada para remaja bangsawan. Para ksatria dan puteri Karaton Pakungwati yang elok-elok sama bergembira namun tentu saja mereka tak berbaur dengan orang kebanyakan. Anak-anak kaum bangsawan hanya bercengkrama di Taman Air Petratean. Ini adalah sebuah taman indah di kompleks istana. Di kompleks itu ada kolam berbentuk melingkar, airnya jernih banyak ditumbuhi bunga teratai. Bila senja hari anak-anak bangsawan karaton bersenandung sambil bersampan, melewati taman-taman air Pulau Kaca, Pulau Manik dan kemudian berhenti di Taman Air Petratean (karena banyak ditumbuhi bunga teratai yang indah-indah).

Purbajaya bukan putra bangsawan. Namun pada perayaan ini dia bisa keluyuran ke Taman Air Petratean berkat Paman Jayaratu.

Kalau mengingat ini memang sungguh mencengangkan. Paman Jayaratu bukanlah seorang pejabat, tidak juga sebagai abdi keraton. Tapi entah mengapa, dia bisa keluar-masuk kompleks istana dan sering berhubungan dengan kalangan pejabat di Pakungwati.

Sesekali ada juga keinginan pemuda itu untuk bertanya, mengapa Paman Jayaratu punya kelonggaran seperti itu. Namun yang membuat keinginan itu selalu kandas, karena Paman Jayaratu orangnya acuh tak acuh. Jangankan orang tak bertanya, sedangkan orang perlu penjelasan darinya jarang mengabulkannya. Jadinya pemuda itu lebih memilih diam ketimbang pusing sendiri memikirkan sifat-sifat orang tua itu.

Purbajaya boleh menggunakan pakaian bagus. Ketika ikut keluyuran di Taman Air Petratean dia memakai pakaian seperti yang biasa digunakan oleh kaumsantana (golongan masyarakat pertengahan), yaitu memakai baju kurung tangan panjang terbuat dari kain halus buatan Nagri Campa (Cambodia kini), warna mencolok biru muda, sedangkan ke bawahnya menggunakan celana komprang (celana panjang sebatas mata kaki) dengan warna kuning tua. Kepala diikat kain batik motif atau corakpupunjungan . Tentu saja gagah sekali. Apalagi potongan wajah Purbajaya terbilang tampan. Dia berkulit putih bermata tajam. Ada ciri khas yang tak mungkin orang lupa, yaitu ujung dagu pemuda ini seperti terbelah dua oleh goresan.

Purbajaya jalan-jalan sendirian sebab Paman Jayaratu punya kepentingan lain. Betapa gembiranya pemuda ini ketika dilihatnya di kolam taman itu banyak anak muda pria dan wanita bercengkrama. Beberapa di antaranya melayari kolam berbentuk lingkaran dengan wajah ceria.

Yang membuat Purbajaya terlongong-longong kagum, karena kaum remaja di sana selain berpakaian indah-indah juga wajahnya pun elok-elok. Yang perempuan cantik-cantik dan yang prianya tampan-tampan.

Namun dari sekian remaja elok yang dia kagumi, ada seorang dari sekumpulan gadis yang dia perhatikan. Dia punya kesan khusus terhadap gadis belia yang barangkali usianya masih sekitar limabelas tahun ini. Dia cantik melebihi yang lainnya, tapi tindak-tanduknya tenang setenang air kolam. Kalau orang lain menampakkan kegembiraan yang penuh sebagai remaja, adalah gadis itu hanya senyum-senyum saja. Namun dalam selintas nampak nyata bahwa gadis itu selalu jadi incaran para pemuda di sekelilingnya. Mereka seperti bersaing ingin lebih dekat dengan gadis itu. Selalu berusaha menggoda dan membuat kelucuan-kelucuan agar gadis itu tertarik padanya.

Purbajaya ingin sekali bergabung namun bagaimana caranya? Alangkah kurang sopannya bila secara tiba-tiba dia ikut melibatkan diri begitu saja. Mereka tidak saling mengenal.

Dan alangkah kecewanya Purbajaya ketika dilihatnya kelompok anak-anak muda itu meninggalkan bangku di bawah pohon rindang di mana tadi mereka duduk-duduk. Dari jarak agak jauh Purbajaya ikut ke mana mereka bergerak. Ternyata gadis berlesung pipit dengan hidung kecil mancung itu menuju sebuah sampan bersama tiga orang gadis dan dua orang pemuda. Mereka semuanya menaiki sampan dan berlayar mengitari kolam.

Tak terasa Purbajaya melangkahkan kaki ikut ke mana perahu itu bergerak. Kalau perahu atau sampan itu berhenti, maka kaki Purbajaya pun ikut berhenti. Sebaliknya bila sampan bergerak maka Purbajaya pun ikut bergerak. Ketika salah seorang dari gadis di sampan bersenandung, maka Purbajaya pun ikut bersenandung pelan.

Namun entah setan mana yang menggodanya, secara tiba-tiba saja di benaknya tersembul pikiran buruk. Pikiran ini terbentuk karena didesak oleh kebutuhan ingin bergabung dengan mereka.

Purbajaya dengan diam-diam memungut sebuah kerikil. Dengan pengerahan tenaga penuh dia melemparkan kerikil sebesar biji rambutan itu. Secepat kilat benda itu melesat mengarah bagian lunas perahu. Maka tak lama kemudian terdengar bunyi "tak!". Namun karena penumpang sampan tengah beriang gembira, maka bunyi aneh itu tidak terdengar oleh mereka. Tahu-tahu, secara perlahan namun pasti, sampan turun dan semakin turun, kemudian permukaan air seperti menjadi naik dan masuk ke dalam sampan.

"Hai ... perahu bocor!" "Wah betul, perahu bocor!"
"Cepat tambal!" teriak pemuda satunya. "Tambal dengan apa, tolol!" "Wah, bahaya ini!"

"Tolong! Tolong! Perahu bocor!" teriak pemuda satunya lagi.

"Ya, betul! Tolong! Tolong!" teriak pemuda lainnya lagi. Dan tubuh perahu semakin turun juga.

Para penumpang nampak panik. Jangankan para anak gadis yang nampak panik dengan wajah pucat pasi, sedangkan kedua orang pemuda yang tadi bertindak sebagai pengawal dan pelindung pun berteriak-teriak minta tolong.

Purbajaya terkekeh-kekeh menyaksikan kejadian ini. Namun belakangan baru sadar bahwa para penumpang sampan itu kesemuanya tidak bisa berenang.

Pemuda itu segera meloncat dan terjun ke kolam manakala dilihatnya sampan mulai oleng dan menumpahkan isinya.

Terdengar teriakan minta tolong dan jerit ketakutan dari para penumpang sebab sampan benar-benar tenggelam.

Tak percuma Purbajaya hidup di daerah pesisir Muhara Jati, sebab dia punya kepandaian bermain di air dengan amat hebatnya. Paman Jayaratu memang melatih Purbajaya untuk menjadi puhawang (akhli teluk dan lautan). Sebagai orang yang dididik kebaharian, sudah barang tentu pemuda itu pandai berenang dan menyelam.

Purbajaya tidak panik harus menyelamatkan enam orang sekaligus, tokh itu hanya kolam biasa saja yang kedalamannya paling beberapa depa saja. Dalam waktu yang cepat dia sudah bisa menjemput dua orang gadis, namun yang didahulukan ditolong adalah gadis berlesung pipit dan berhidung kecil mancung. Gadis itu dipeluknya erat, kemudian disuruhnya bergayut pada buritan sampan yang terbalik. Sesudah itu dengan secepat kilat dia tolong lagi dua gadis. Keduanya dikempit kiri dan kanan. Dia berenang hanya mengandalkan gerakan sepasang kakinya saja. Paling akhir barulah kedua pemuda itu yang nampak kepayahan karena mulut gelagapan benyak kemasukan air. Sesudah semuanya bergayut di sampan, sampan ditarik ke tepi sambil berenang.

Di tepi kolam sudah banyak orang menunggu untuk memberikan pertolongan. Kaum lelaki kebanyakan hanya sibuk menolong para gadis saja. Purbajaya sibuk mengurusi gadis berlesung pipoit, berebutan dengan beberapa pemuda lainnya. Kedua orang muda yang tadi bersampan dan kini basah kuyup, mendorong tubuh Purbajaya ketika dilihatnya pemuda itu terkesan berlebihan menolong gadis berlesung pipit.

"Minggir kamu!" teriak salah seorang dari mereka geram.

"Eh, Rangga, jangan kasar! Bukankah pemuda itu rela berkorban menolong kita?" kata si gadis berlesung pipit dengan suaranya yang merdu. Tapi pemuda bernama Rangga itu hanya mendengus dan memalingkan muka.

Purbajaya baru sadar bahwa sebetulnya gadis berlesung pipit berkulit pipi halus putih dan berghidung kecil mancung itu sebenarnya menjadi pusat perhatian semua pemuda. Nampak nyata, ketika dia memeluk dan memeriksa keadaan gadis itu karena megap-megap kena air, semua pemuda yang ada di sana mendelik marah. Terbukti, tubuh Purbajaya sampai terjengkang didorong pemuda marah lantaran berani memeluk gadis cantik itu.

"Saya tidak kurang ajar, hanya berniat menolong saja," tutur Purbajaya memeras ujung baju yang basah kuyup.

"Kalau hanya pegang-pegang Nyimas, aku juga bisa!" teriak pemuda bernama Rangga itu hendak menerjang, membuat Purbajaya mundur satu tindak.

"Apa menolongnya? Ketika dia hampir tenggelam pun engkau bisa?" Purbajaya tak kepalang tanggung menantang kemarahan pemuda itu. Dan benar saja, kemarahan pemuda itu semakin memuncak. Dia menerjang dan melayangkan pukulan ke arah wajah Purbajaya. Namun dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, jkepalan tangan pemuda itu tak sanggup menjangkaunya, hanya terpaut beberapa inci saja. Pemuda itu jadi bertambah marah. Dia pun maju setindak dan kembali melayangkan pukulan lurus ke depan mengarah dagu. Untuk kedua kalinya Purbajaya hanya perlu mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga kembali tohokan meleset.

"Rangga, sudahlah!" teriak gadis berlesung pipit mencegah. Namun pemuda bernama Rangga itu rupanya orang pemarah. Dia tak mau berhenti sebelum rasa marahnya terpuaskan. Purbajaya mengerti akan hal ini. Maka agar pemuda Rangga tak dikejar rasa penasaran, Purbajaya memperlambat gerakannya, sehingga ketika serangan yang ketiga datang menyusul, pukulan itu menohok telak ke ulu hato Purbajaya. Tenaga pukulan ini terasa biasabiasa saja, walau pun sakit tapi tak terasa benar. Mungkin Rangga tak sepenuhnya mengeluarkan tenaga, atau mungkin juga hanya sebatas itu tenaga yang dimilikinya. Tapi untuk membuat Rangga senang, Purbajaya pura-pura kesakitan. Dia menjerit sambil menunduk dan kedua-belah tangannya memegangi ulu hatinya.

"Rangga jangan bertindak kejam!" teriak gadis berlesung pipit dengan nada tak suka. Namun Rangga seperti kurang puas. Dengan gerakan indah, pemuda itu meloncat dan kedua kakinya menerjang ke depan.

Purbajaya sadar bahwa pemuda bengal itu hendak menendang ubun-ubunnya. Dan bila demikian halnya, Purbajaya bisa menduga bahwa pemuda di hadapannyaini berhati kejam dan pendendam. Atau bisa juga dia ini orang yang biasa memelihara perasaan iri. Si Rangga ini iri karena Purbajaya berdekatan dengan gadis berlesung pipit itu.

Beberapa pemuda lain hanya melihat peristiwa ini tanpa berani bertindak atau menengahi. Ini hanya punya dua kemungkinan. Pertama, orang-orang merasa segan terhadap pemuda bengal itu. Kemungkinan kedua, semua pemuda setuju Purbajaya "dipermak" pemuda Rangga.

Tapi menurut jalan pikiran Purbajaya, orang barangkali segan untuk ikut campur. Mungkin pemuda Rangga bukan orang sembarangan. Dia orang terhormat barangkali.

Sebetulnya mudah saja bagi Purbajaya untuk menghindarkan terjangan ini. Dengan sedikit miringkan tubuh saja ke kiri atau pun ke kanan, serangan sudah bisa dipatahkan. Tapi kalau serangan ini patah, pemuda Rangga akan semakin berang, belum lagi rasa malunya sebab ditonton banyak orang. Maka untuk menjaga agar gengsi anak bengal itu tidak melorot turun, Purbajaya membiarkan serangan datang menerjang. Hanya biar pun begitu, Purbajaya tak mau begitu saja menerima tendangan. Dia pun harus balik memberikan pelajaran kepada pemuda pongah ini. Maka ketika terjangan sepasang kaki mengarah ubun-ubunnya, Purbajaya melindungi dirinya dengan sepasang ibu jari yang dirangkapkan dan mengacung mengarah ke telapak kaki lawan. Dengan kekuatan yang terlatih, Purbajaya melakukan serangan, menotol telapak kaki lawan dengan tohokan sepasang ibu jari tangan, tepat mengarah jaringan urat syaraf kaki.

Purbajaya terhempas ke belakang karena dorongan telapak kaki dan dia pura-pura menjerit ngeri. Dia jatuh berdebuk dan bergulingan beberapa kali.

Di samping kirinya ada suara jeritan halus. Ternyata itu suara merdu yang keluar dari mulut manis dan mungil gadis berlesung pipit. Gadis semampai itu menghambur menolong Purbajaya. Sambil duduk bersimpuh, gadis itu memeriksa kepala bahkan bagian badan lainnya, kalau-kalau terdapat luka serius di tubuh Purbajaya. Pemuda itu meram-melek tapi sambil pura-pura menahan sakit.

Purbajaya terlena keenakan. Sesekali matanya melirik ke arah pemuda Rangga. Dilihatnya, pemuda itu masih berdiri. Purbajaya tersenyum tipis dari balik sepasang telapak tangannya yang dipakai menutupi wajahnya. Walau pun pemuda Rangga masih berdiri tapi Purbajaya tahu,pemuda itu berdiri karena sepasang kakinya kaku menahan rasa sakit dan ngilu. Ini nampak jelas karena keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat-pasi dan mulutnya menyeringai. Rangga jelas menderita rasa sakit yang sangat. Purbajaya geli hatinya. Yang menderita justru pemuda Rangga tapi yang dirawat gadis cantik malah dia. Betapa dengan gerak-gerik halus penuh perhatian, gadis berlesung pipit ini mencoba sebisanya menolong Purbajaya yang tergeletak "kepayahan". Beberapa gadis lain pun ikut merubung dan membantu "mengobati".

***

TAK dinyana tak disangka, peristiwa lama itu kembali mencuat dalam ingatan hanya karena Pangeran Arya Damar mempercakapkannya kembali.

"Aku mendengar peristiwa itu. Tapi katanya hampir membuat keributan, benarkah itu?" tanya Pangeran Arya Damar menatap Purbajaya dengan seksama. Yang ditatap hanya menunduk.

"Maafkan, anak ini memang nakal tak tahu supan santun istana. Tapi urusan itu sudah saya selesaikan beberapa kemudian. Pangeran Aryadila bahkan sudah memeriksa perkara ini dan memberikan maaf," tutur Paman Jayaratu.

Purbajaya mengangkat muka dan menoleh . Sudah diselesaikan? Berarti peristiwa itu pernah berbuntut panjang dan perlu diselesaikan., padahal menurut perkiraannya, peristiwa itu selesai hari itu juga. Mengapa Paman Jayaratu tak mengabarinya bahwa percekcokan pernah berlarut-larut sehingga membuat Paman Jayaratu mengurusinya?

"Sudahlah. Kedatangan kalian ke sini bukan untuk membicarakan masalah itu ... " tutur Paman Pangeran Arya Damar menjegal kebingungan Purbajaya. "Silakan Pangeran yang membicarakannya sebab hanya kalangan istana yang berwewenang memaparkannya," kata Paman Jayaratu.

Pangeran Arya Damar mengangguk, kemudian menatap Purbajaya.

"Anak muda, sudah berapa lama engkau tinggal bersama Ki Jayaratu?" tiba-tiba pangeran itu mengajukan pertanyaan aneh.

"Sudah sejak kecil saya bersamanya, Pangeran," tutur Purbajaya tanpa bisa menduga ke mana arah pertanyaan itu.

"Engkau anak siapakah sebenarnya?" sambung Pangeran Arya Damar lagi.

Purbajaya menoleh kepada Paman Jayaratu. Yang punya jawaban ini tentu orang tua itu, sebab sudah berulang kali Purbajaya bertanya namun Paman Jayaratu selalu berkata belum saatnya.

"Barangkali paman saya bisa menerangkannya, Pangeran," tutur Purbajaya sesudah merenung sejenak.

"Salah. Yang sanggup menerangkan siapa dirimu adalah aku, anak muda," jawab Pangeran Arya Damar menatap pemuda itu. Dengan amat terkejutnya Purbajaya balik menatap bangsawan itu. Mengapa Pangeran Arya Damar mengaku lebih hapal perihal dirinya? Purbajaya bingung dan tak sanggup meraba-raba misteri ini.

"Dengarkan, aku akan bercerita ... " kata Pangeran Arya Damar. Dan tak menunggu komentar, pangeran ini menuturkan sebuah kisah.

Nagri Carbon dulu merupakan wilayah kekuasaan Pajajaran. Namun ketika agama baru bernama Islam semakin berpengaruh di wilayah pesisir Jawa Dwipa (Pulau Jawa), Cirebon atau Carbon bertekad melepaskan diri dari Pajajaran.

Sudah barang tentu penguasa Pakuan (ibukota Kerajaan Pajajaran) tidak senang kedaulatannya terkikis. Maka sejak saat itu hubungan /cirebon dengan Pakuan semakin renggang. Cirebon sudah berhenti mengirimkan upeti. Penguasa Pakuan semakin cemas, apalagi melihat hubungan Cirebon dengan Kerajaan Demak, penyebar Islam di Jawa Dwipa semakin erat. Bahkan karena melihat hubungan ini semakin erat maka permusuhan terjadi.

"Bermusuhankah antara Carbon dan Pakuan, Pangeran?" tanya Purbajaya tiba-tiba.

"Ya, bermusuhan sekali!" jawab Pangeran Arya Damar tandas sekali. Purbajaya mennoleh ke arah Paman Jayaratu yang nampak masih duduk dengan tegak namun nampak nyata tidak begitu menyimak penjelasan ini.

"Saya dengar Pajajaran tidak membenci Carbon sebab dahulu pendiri Carbon adalah putraputri Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran (1482-1521 Masehi). Permesuri Sang Prabu adalah Nyimas Subanglarang, dari Pesantren Quro wilayah Tanjungpura (Karawang kini) dan ketiga putranya yaitu Walangsungsang, Larasantang serta Raja Sangara ikut agama ibunya yaitu Islam," potong Purbajaya.

"Benar, Nyimas Subanglarang orang Islam, anak-anaknya pun Islam juga dan kemudian mendirikan Carbon. Tapi ayahanda mereka bukan. Sang Prabu Sri Baduga Maharaja tak mau masuk agama baru. Itulah sebabnya, permusuhan terjadi," kata Pangeran Arya Damar.

Purbajaya menoleh ke arah Paman Jayaratu, nampak orang itu menghela napas.

"Sudahlah, bukan itu yang jadi titik perbincangan kita," kata bangsawan itu menepuk paha. Purbajaya pun seperti diingatkan kembali, bahwa percakapan utama adalah perihal dirinya.

Pangeran Arya Damar kembali melanjutkamn kisahnya. Karena antara Carbon dan Pajajaran sudah tak ada persesuaian paham, maka beberapa kali terjadi pertempuran antara Carbon dan Pajajaran. Carbon yang mendapatkan bantuan militer secara penuh dari Kerajaan Demak, lebih unggul dan sering memperoleh kemenangan. Beberapa tempat-tempat penting milik Pajajaran bisa direbut. Enam pelabuhan penting milik Pajajaran yaitu Ciamo (muara Cimanuk), Caravan (Ujung Karawang), Tamaram (muara Cisadane), Pontang (Marunda) dan Pelabuhan Bantam (Karangantu, Banten) menjadi milik Carbon, mengakibatkan pengaruh Pajajaran semakin terkikis. Dulu dia adalah nagara maritim dan agraris dan kini tinggal sebagai negara agraris saja sebab pengaruh Pajajaran kini hanya sebatas di daerah pedalaman.

"Ketika terjadi banyak pertempuran itulah engkau kami temukan!" kata Psangeran Arya Damar pada akhirnya.

Penjelasan ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia menatap tajam ke arah pangeran itu, kemudian menoleh juga kepada Paman Jayaratu.

"Kalau begitu saya orang Pajajaran!" gumam Purbajaya.

"Benar, kau orang Pajajaran. Kau kami ambil di arena pertempuran yang terjadi antara Pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran di wilayah Tanjungpura (Karawang kini)," tutur Pangeran Arya Damar lagi.

Purbajaya termenung lesu.

"Saya anak musuh Carbon ... " gumamnya dengan wajah pucat.

"Hahaha ...! Engkau bahkan anak dari penguasa Tanjungpura, anak muda," kata Pangeran Arya Damar semakin mengejutkan hati Purbajaya.

Hening sejenak. Paman Jayaratu tak berkomentar, kecuali bersila dengan tubuh tegak namun dengan wajah tertunduk. Yang paling kacau pikiran adalah Purbajaya. Ada galauan sedih, terkejut, marah dan sesal. Dia selama ini hidup dan dididik oleh orang Carbon dan merasa orang Carbon, nyatanya anak keturunan dari Pajajaran.

"Saya anak musuh, mengapa tidak dibunuh?" tanya Purbajaya.

"Hahaha! Itulah kemurahan hati orang Carbon, anak muda. Musuh tidak dibunuh bahkan diurus, diberi hidup dan diberi pendidikan. Namun tentu saja engkau tak boleh percuma tinggal di sini, harus ada semacam balas-budi," tutur pangeran itu, memeluk kedua belah tangan dan mata menerawang ke beranda depan.

Purbajaya masih menatap pangeran itu.

"Barangkali sudah kau dapatkan penjelasannya ..." kata Pangeran Arya Damar menatap. "Saya ditugaskan kedayo (ibukota) Pajajaran, yaitu Pakuan," kata Purbajaya. "Sanggupkah?"

"Belasan tahun saya dididik pengetahuan. Kata Paman Jayaratu, saya akhli sebagaipuhawang (akhli kebaharian), saya juga banyak menerima pendidikan kedigjayaan dan keagamaan. Kalau Carbon percaya dan berkenan memberi saya pekerjaan, maka semua kemampuan saya untuk negri ini," kata Purbajaya sepenuh hati namun masih dengan perasaan sedih.

"Bagus. Itu yang aku inginkan. Kau akan masih dididik beberapa lama di sini, di puri ini. Semua tugas-tugasmu di bawah kendaliku," ujar Sang Pangeran.

"Saya musti bersiap-siap untuk itu."

"Sekarang pun engkau harus sudah siap. Mulai malam ini, kau menjadi bagian dari puri ini," kata Pangeran Arya Damar tandas dan seperti tak boleh dibantah.

Tentu saja Purbajaya terkejut dengan perintah ini. Dia menatap Paman Jayaratu. Nampak orang tua itu pun terkejut dengan keputusan ini. Purbajaya menduga, barangkali pikiran dia dan Paman Jayaratu sama, yaitu tak ingin secepat itu berpisah. Benar keduanya masih berada di Carbon. Tapi yang namanya berjauhan tempat tinggal, itulah berpisah namanya. Hari ini dan seterusnya, dia akan tinggal di kompleks istana. Barangkali segalanya serba enak namun terasa asing. Beda lagi dengan bila berkumpul bersama Paman Jayaratu. Tinggal di dusun sunyi, rumah pun beratap rumbia dan berlantai tanah. Tapi itulah kehidupannya. Jauh dengan Paman Jayaratu tentu akan sunyi dan rindu. Orang tua ini mendidiknya dengan keras dan ketat namun tak pernah memarahinya. Inilah kerinduan, inilah kenangan. Mengapa dia tiba-tiba harus dipisahkan dari Paman Jayaratu?

"Saya perlu beberapa hari untuk berkemas-kemas, Pangeran," Purbajaya memohon.

"Segala sesuatu mengenai keperluanmu sudah disiapkan. Tinggalkan masa-lalumu. Kau bukan lagi pemuda dusun yang tak tahu sopan-santun, melainkan seorang ksatria dan calon perwira dari Carbon. Kau adalah keturunan bangsawan. Jadi, di Carbon pun kau tetap bangsawan. Tapi ada satu hal yang jangan terlupa. Kau bisa tinggal di sini karena utang budi. Camkan itu," kata Pangeran Arya Damar. Purbajaya mengangguk pelan.

"Malam sudah semakin larut. Ki Jayaratu silakan istirahat pulang. Anak ini Insya Allah aman dalam lindungan istana," kata Pangeran Arya Damar mengusir halus. Paman Jayaratu menyembah takzim, kemudian beringsut ke belakang. Dan tanpa sempat saling pandang dengan Purbajaya, orang tya itu segera meninggalkan paseban (bangsal tempat pertemuan penting).

***

PURBAJAYA tak sanggup menilai, mimpi apakah ini? Sebuah anugrah ataukah sekadar mimpi buruk? Dianggap anugrah boleh juga sebab kehidupan dia secara lahiriah jadi terangkat. Baru dua hari saja tinggal di puri itu sudah dihormati dan disembah, baik oleh para jagabaya mauu pun oleh dayang istana. Jenis pakaian pun kini menjadi serba indah. Kalau sebelumnya dia hanya memakai baju rompi jenis kain kasar dan celanasontog (celana sebatas betis) juga dari kain kasar, di Puri Arya Damar pakaian yang dikenakan adalah jauh dari jenis yang digunakan orang kebanyakan. Dia memakai pakaian untuk kaumsantana (masyarakat golongan menengah, termasuk kaum ksatria). Kalau pun dia sedang menggunakan rompi dan sontog, hanyalah sebatas bila tengah berlatih kemiliteran di alun-alun. Pada hari-hari biasa dia selalu memakai pakaian necis. Seperti hari itu misalnya. Sore hari dia menyusuri benteng bata-merah sambil menggunakan baju jubah warna kuning mencolok. Jubah itu menjurai ke bawah sebatas lipatan dengkul. Dia menggunakan celana komprang warna hitam yang pada setiap pinggirnya berkelim benang perak. Kepalanya ditutup bendo citak dengan kain batik corakhihinggulan dengan garis-garis putih coklat. Inilah mungkin anugrah baginya.

Tapi dia juga berpikir tentang mimpi buruk. Betapa tidak. Dia hadir di sini sebenarnya sebagai orang yang berkewajiban menebus utang budi. Inilah yang menyedihkan hatinya. Sebelum berita perihal dirinya diketahui pasti, dia mengabdi di Negri Carbon karena pilihan hatinya. Carbon adalah negri tempat dia bernaung, berjuang dan mungkin mati. Tapi ada tuntutan yang tak berkenan di hatinya dan amat mengecewakan. Dia harus bekerja untuk negri ini karena urusan utang budi. Ya, utang budi seperti anjing kurus diurus dan sesudah gemuk musti taat tuannya. Mengapa kedudukannya jadi seperti itu,padahal sejak semula pengabdiannya hanyalah karena cinta tanah air semata. Tanah air? Oh, ya! Bukankah tanah air sebenarnya buat dirinya adalah Pajajaran? Tanjungpura, kata Pangeran Arya Damar adalah kampung halamannya dan Tanjungpura itu wilayah Pajajaran.

Dia dikhabari sebagai anak penguasa Tanjungpura. Kalau begitu dia anak seorangkandagalante ( setingkat wedana kini). Memang sudah termasuk kalangan bangsawan juga. Menurut khabar, yang jadi penguasa di wilayah Pajajaran biasanya merupakan bagian dari kerabat raja juga. Purbajaya tak mau tahu, apa benar dia masih kerabat raja atau bukan. Yang jelas khabar-khabar bahwa dia bukan orang Carbon dan "diambil" dari sisa pertempuran, amat menyakitkan hatinya.

Itulah sebabnya, di sore hari yang cerah ini, dia jalan-jalan menyusuri benteng Istana Pakungwati kendati dengan hati loyo.

"Itu dia anak muda yang kami maksud, Nyimas!" terdengar celoteh suara perempuan. Purbajaya menatap ke depan. Berjarak kurang lebih sepuluh depa di depan ada serombongan gadis. Pakaian mereka indah-indah, mengingatkan dirinya pada perayaan muludan beberapa bulan lalu. Tapi yang membuat jantungnya berdegup dan bertalu-talu karena melihat siapa gadis yang berjalan paling depan.

"Nyimas Waningyun ... " bisiknya tak terasa.

Ya, dia tak pernah lupa wajah putih mulus dengan lesung pipit di pipi kirinya serta hidung kecil mancung dan mata berbinar itu. Selama hampir enam bulan semenjak pertama kali bertemu dengan gadis itu di pesta muludan yang berakhir dengan keributan, Purbajaya tak pernah lupa akan wajah purnama itu.

Purbajaya merandeg dan sepasang kakinya serasa terpaku di tanah, sedangkan matanya tak lepas-lepasnya memandang purnama gemilang itu. Belakangan baru dia sadar sesudah terdengar suara cekikikan di depannya. Yang tertawa adalah gadis-gadis yang tadi jadi pengiring Nyimas Waningyun itu. Barangkali mereka mengetawakan tindak-tanduk Purbajaya yang nampak lucu. Betapa tidak, mulut pemuda itu melongo dan matanya tak berkedip seperti mata ikan peda.

"Hei, awas nanti ada lalat masuk ke mulutmu!" teriak gadis-gadis itu. Purbajaya memalingkan muka kemudian menunduk. Sepasang pipinya terasa panas. Kalau dilihat orang, barangkali pipi itu bersemu merah seperti udang direbus.

"Nah lihat, sekarang pemuda itu menunduk malu seperti bocah dimarahi ibunya," goda gadisgadis itu sambil kembali cekikikan.

"Sudahlah, kasihan dia digoda terus," tutur suara lain yang terdengar halus dan merdu.

Purbajaya masih berdiri terpaku. Ternyata Nyimas Waningyun pun masih tak beranjak dari tempatnya. Gadis bermata binar itu pun ternyata masih berdiri terpaku.Matanya yang jernih menatap lama ke arah Purbajaya. Ketika pemuda itu balik menatap, gadis itu cepat menunduk. Menatap sebentar kemudian menunduk lagi sesudah tahu bahwa dirinya masih ditatap pemuda itu. Akan halnya Purbajaya, dia pun bertindak-tanduk sama. Menatap dan kemudian menunduk sesudah tahu bahwa gadis itu menatap dirinya.

"Hai, kok saling tatap begitu. Majulah anak muda kalau dirimu merasa jantan," tantang salah seorang gadis pengiring. Tapi ditantang seperti itu, Purbajaya bukannya maju, melainkan malah kian tertunduk saja, sehingga membuat suara cekikikan semakin banyak. 

"Ayolah maju, Nyimas!"

Tubuh gadis itu didorong-dorong dari belakang. Maksudnya agar segera mendekat ke arah Purbajaya.Sudah barang tentu gadis itu ogah. Dia malah berpegang pada tepian benteng dengan erat seperti orang takut jatuh. Melihat adegan ini, Purbajaya jadi berani tersenyum.

"Mengapa senyum-senyum? Monyet kamu, ya?" celetuk salah seorang gadis pengiring. "Masa iya monyet bisa senyum?" jawab Purbajaya mulai berani bicara. "Memang bukan senyum sebab kamu tadi itu cengar-cengir. Monyet kan yang cengarcengir?"

"Purbajaya mengatupkan bibir sebagai tanda tak suka. Namun sungguh aneh, gadis berlesung pipit pun sama mengatupkan bibir. Tak sukakah Purbajaya disebut monyet oleh orang lain? Oh, kalau begitu, Nyimas Waningyun membelaku! Hati Purbajaya berbunga-bunga.

"Sudahlah, kalian jangan menggoda kami," kaya Nyimas Waningyun.

"Eh, kok kami? Kami itu, Nyimas dengan siapa?" gadis-gadis itu seperti tak habis-habisnya menggoda.Semakin gugup dan semakin merona warna pipi gadis itu.

Purbajaya merrasa kasihan kepada Nyimas Waningyun. Gadis itu habis kena goda karena kehadiran dirinya. Maka untuk jangan keterusan, maka dia mengangguk dan kemudian membalikkan diri untuk segera berlalu dari tempat itu.

"Hai, hai! Mau ke mana? Tidakkah engkau tahu bahwa jauh-jauh datang kemari karena Nyimas ingin bertemu denganmu?" teriak seorang gadis, membuat pipi Purbajaya terasa panas dan dada berdegup. Tanpa sadar, pemuda itu serentak menghentikan langkahnya.

"Hai, coba balik sini, kok tidak sopan sekali berdiri sambil memberi punggung?" terdengar lagi suara gadis. Seperti kena sihir saja, Purbajaya membalikkan tubuhya dan menghadapkan wajah ke arah mereka. Namun hanya sebentar sebab kepalanya segera tertunduk malu.

Maka terjadilah adegan yang lucu. Dua pasang muda-mudi berdiri berhadapan namun dengan kepala tertunduk, sedangkan di sekelilingnya beberapa gadis sibuk menonton sambil tertawatawa.

"Pergilah kalian. Aku bisa mati kalau terus digoda seperti ini ... " keluh Nyimas Waningyun dengan suara parau.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar