Cincin Maut Jilid 30

Jilid 30

Dendam kesumat antara Jit gwat san dengan Liu sah bun sudah mencapai keadaan lebih dalam dari samudera,  kematian Kwan Lok khi seorang kelewat menguntungkan baginya, tapi untunglah Thian maha pengasih, asal kalian memenuhi keinginanku yakni mulai sekarang segenap anggota Jit gwat san tak akan meninggalkan bukit kalian barang selangkah juga, maka…”

“Hmm, jangan bermimpi di siang hari bolong!,” seru Kiau Ngo nio saking gusarnya sambil tertawa tergelak.

Suasana dalam ruangan kembali menjadi hening, sepi dan tidak kedengaran sedikit suara pun, sebab perkataan dari Kiau Ngo nio itu diucapkan dengan nada begitu tegas dan meyakinkan, pada hakekatnya tiada orang yang bisa merubah tekad serta keptusannya itu.

Tin Cu hoa tertawa hambar.

“Lebih baik pertimbangkan sekali lagi, sesungguhnya permintaanku ini tidak kelewat batas.”

Setelah menderita luka dalam, sebenarnya paras muka perempuan itu pucat dan mengenaskan, tapi senyuman rawannya itu justru mendatangkan suatu perasaan yang lain daripada yang lain.

Tampak mukanya yang lembut dan mengenaskan, bukan saja membuat hati semua jago tergetar, bahkan Li Bun yang sendiri pun merasakan hatinya tergetar dan hamper saja tak sanggup mengendalikan diri,

Kiau Ngo nio merasakan hatinya tergetar keras, diam-diam pikirnya:

“Tak heran kalau lakiku dibikin tergila-gila oleh lonte busuk ini, rupanya dia memiliki paras muka yang cantik dan gampang membuat orang merasa terpikat, walau pun aku juga seorang wanita, namun setelah menyaksikan paras mukanya yang cantik jelita itu perasaanku toh ikut bergetar juga, apalagi kaum lelaki.”

Sekarang dia semakin beranggapan kalau Tin Cu hoa berasal dari rumah pelacuran, sudah pasti seorang pelacur memiliki daya pikat yang luar biasa, sebab dengan begitu hati kaum pria baru akan terpikat.

Buktinya, Kwan Lok khi sampai terpikat oleh perempuan itu sangat hebat, sehingga sampai terpukau dan tergila-gila olehnya.

“Hmm!,” ia mendengus berat-berat, kemudian berkata dengan suara sedingin es,”Tiada sesuatu yang perlu kupertimbangkan lagi, lebih baik matikan saja harapanmu itu.”

“Aaai, apakah kau tidak mencintai suamimu?,” Tin Cu hoa berkata samnbil menghela napas panjang, “Kau harus tahu, jarum ekor lebah dari wilayah Biau merupakan racun paling keji di dunia ini, dari sepuluh orang yang terkena, delapan sembilan orang diantaranya mati tak tertolong, oleh karena aku tak tega membiarkan kau menjanda, maka aku berniat menambah usianya beberapa tahun lagi, sungguh tak disangka kau malah acuh tak acuh.”
“Hmm..baik betul liangsim mu,” jengek Kiau Ngo nio dingin. “Yaa, karena kita semua adalah kaum wanita,” kata Tin Cu
hoa dengan wajah serius, “Aku cukup mengetahui akan penderitaan dari seorang wanita, aku tak ingin kau dan aku menjadi sang korban untuk masalah ini, kunasehati diri baikbaik, soal mau dituruti atau tidak terserah kepada dirimu sendiri.” Sekali pun dia amat membenci Kwan Lok khi, namun  setelah bertemu dengan Kiau Ngo nio timbul juga rasa lembek di hati kecilnya, perubahan ini berlangsung sangat aneh, dia merasa simpatik terhadap musibah serta ketidak beruntungan Kiau Ngo nio.

Sekalipun perempuan ini rada galak bagaimanapun juga belum pernah merasakan cinta yang sejati, bila di usia pertengahan dia harus menjanda, sesungguhnya hal ini terlalu kasihan, apalagi diapun bisa berubah lebih keji, buas dan berangasan.

Dengan sikap yang dingin dan kaku, Kiau Ngo nio berkata: “Kau anggap suamiku pasti akan mati?”
Benar ! Tin Cu hoa menjawab dengan serius, satu jam kemudian dia pasti akan rnampus dan aku percaya tiada orang yang bisa menolong dirinya lagi,” Kiau Ngo nio, kau mau bersedia menuruti perkataanku atau tidak, semuanya terserah kepadamu sendiri, cuma bila suamimu sudah mati nanti, kau jangan salahkan aku tak memberitahukan hal ini lebih dulu kepadamu”

Kiau Ngo nio merasakan hatinya bergetar keras, peluh dingin jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, wajahnya telah berubah menjadi hijau membesi, betul watak perempuan itu kurang baik, bagaimanapun juga dia adalah istrinya Kwan Lok khi.

Maka setelah menyaksikan keadaan tersebut, buru-buru dia menhampiri Kwan Lok khi dan memandang kearahnya dengan penuh perasaan kuatir. “Engkoh Lok, bagaimana keadaanmu?,” serunya kemudian dengan wajah yang sangat gelisah.

Waktu itu Kwan Lok khi sedang menggunakan segenap tenaga dalamnya untuk mencegah menjalarnya racun dari jarum ekor lebah tersebut, meskipun dia mendengar ucapan isterinya namun mustahil baginya untuk bicara, karenanya diapun hanya membungkam dalam seribu bahasa sambil
diam-diam berusaha mengerahkan tenaganya guna mendesak keluar racun jarum dalam tubuhnya.

Sambil mendepak kakinya berulang kali, Kiau Ngo nio berseru dengan gemas:

“Tua Bangka celaka, rupanya kau sudah tuli !”

“Enso !,” Leng Hong ya yang berada disampingnya segera berseru sambil tertawa seram, “Saat ini saudara Kwan sedang bersemedi dan mencapai saat-saat yang paling kritis, dia tak bisa sembarangan berbicara dalam keadaan begini maka walau pun kau bertanya sepuluh kalipun belum tentu dia akan menjawab.”

“Aaah, aku memang tolol dan pikun masa hanya soal ini pun tak kuduga.”

Nampaknya perempuan ini mempunyai kepercayaan besar terhadap kemampuan ilmu silat suaminya. melihat dia bisa mengatur napas untuk mengusir racun dalam tubuhnya, se gera diketahui otehnya bahwa Kwan Lok khi masih memiliki cukup kekuatan untuk melawan bekerjanya racun tersebut, diam-diam ia merasa berlega hati.

Namun Tin Cu hoa sama sekali tidak mengendorkan tekanannya sambil memberikan diri dalam pelukan Li Bun yang, diliriknya sekejap kearah sana dengan biji matanya yang jeli.

Begitu menyaksikan paras muka Kiau Ngo nio nampak agak tegang, tahulab dia bahwa perempuan itu mempunyai suatu pegangan,

Maka sambil mendengus dingin serunyna:
“Kiau Ngo nio, bagaimana hasil perundingan kita?” “Hmm! Anak murid Jit gwa san kami tersebar diseantero
jagad,” kata Kiau Ngo nio dingin, “Berbicara soal pengaruh
dan kedudukan masih lebih tangguh dan kuat ketimabng Liu sah bun mu itu, kau anggap aku akan bersedia untuk menerima syarat yang kau ajarkan itu dan bersedia mengurung diri dalam bukit Jit gwa san? Tin Cu hoa, usulmu itu kurang begitu hebat.”

Selapis hawa napsu membunuh segera menyelimuti seluruh wajah Tin Cu hoa, katanya kemudian.

“Tak perduli apapun yang kau katakana, aku bersikeras memaksamu untuk menyanggupinya, Kiau Ngo nio kau adalah seorang yang pintar tak usah memaksaku untuk hanya berbicara, andaikata kau tetap bersikeras terus bagaimanakah akibatnya, aku rasa kau pasti akan jauh lebih mengerti daripada diriku bukan?”

“Apa? Kau berani menggunakan kekerasan?,” seru Kian Ngo nio agak tertegun.

Hawa napsu membunuh yang menyelimuti wajah Tin Cu hoa dari tipis kian menebal kemudian menyebar kemanamana, dari balik matanya mencorong sinar tajam yang menggidikkan hati, ujarnya kemudian dengan suara yang kaku dan tegas:

“hal ini merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan, juga merupakan cara terbaik untuk melenyapkan ancaman bencana di kemudian hari, Kiau Ngo nio, kendatipun aku Tin Cu hoa adalah seorang perempuan, namun aku memiliki tindakan yang keji seperti kaum pria, bila kau bersikeras ingin menyaksikan akhir seperti itu, terpaksa aku memperlihatkan lebih dulu tindakan yang akan kupakai untuk menghadapi kalian, cuma setelah kau saksikan nanti, jangan mengatakan lagi kalau diriku kelewat keji.”

Ia bertepuk tangan dua kali, kemudian ujarnya:

“Di sekeliling kuil ini penuh dengan anak buahku yang melakukan persiapan guna menghadapi pertarungan, begitu aku bertepuk tangan maka orang-orang yang berada disekeliling kuil ini akan menyerbu kedalam secara bersamasama sampai waktunya, heeehee,,hee..untuk menyesal pun tak sempat.”

Betul juga, begitu dia selesai bertepuk tangan, dari empat penjuru segera berkumandang suara gendering yang dibunyikan bertalu-talu kemudian dari setiap sudut ruangan bermunculan para jago lihay yang membawa busur otomatis berpegas tinggi, setiap orang dilengkapi pula dengan pedang, sementara moncong anak panah tertuju kearah setiap orang yang berada dalam ruangan.

Kiau Ngo nio dan Leng Hong ya yang menyaksikan kejadian tersebut menjadi amat terperanjat, dia tak menyangka kalau Tin Cu hoa begitu lihay, ternyata dia telah persiapkan pemanah-pemanah jitunya disekitar tempat tersebut dan mengurung rapat-rapat setiap orang yang masuk kedalam ruangan tersebut. Ditinjau dari situasi ini, jelaslah sudah bila Leng Hong ya dan Kiau Ngo nio berani melakukan sesuatu tindakan, maka anak panah akan dilepaskan bersama-sama.

Padahal jarak mereka begitu dekat, bila anak panah tersebut dibidikkan, bagaimanapun lihaynya seseorang, rasanya bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk meloloskan diri dari ancaman anak panah tersebut.
Sambil tertawa seram Leng Hong ya segera berseru: “Pemimpin Tin, hari ini aku orang she Leng betul-betul
terbuka sepasang mataku, tgak kusangka pemimpin Tin bukan Cuma berbakat bagus, kaupun seorang yang lihay didalam mengatur siasat perang, cukup ditinjau dari situasi yang terbentang sekarang, sudah jelas bukan sembarangan orang yang bisa memikirkannya, cuma Pun hongya agak heran, dengan cara ini menghadapi keluarga Kwan, apakah kau tidak seakan-akan membesarkan suatu persoalan kecil.”

Tin Cu hoa tertawa getir.

“Setiap orang tahu kalau dia adalah pentolan gembong iblis di dunia ini, bila Liu sah bun ingin menghadapi pihak keluarga Kwan, jelas hal ini merupakan tindakan yang tak tahu diri, tapi untuk membalas dendam sakit hati perguruan kami, hal ini harus kami lakukan, oleh sebab itu setelah aku pikirkan dan pertimbangkan masak-masak. Aku rasa hanya dengan cara inilah kami bisa bertarung mati-matian melawan Kwon tong keh, mungkin juga akan bertarung sampai titik darah penghabisan.”

“Tahukah kau pertarungan semacam ini akan memusnahkan perguruan Liu sah bun,” seru Leng Hong ya dingin. “Sudah sejak lama Liu sah bun punah dari muka bumi,  yang muncul dalam dunia persilatan sekarang tak lebih hanya sedikit asap ditengah api yang telah padam.”

“Heeh..heeh..heee…” Semetara itu Leng Hong ya memutar otak, mulutnya tertawa dingin tiada hentinya.

Rase tua memang bukan manusia sembarangan, begitu dilihatnya keadaan tidak menguntungkan dirinya, diam-diam dia menyusun rencana untuk meloloskan diri dari situ.

Akan tetapi dia tak berani menyalahi Kwan Lok khi secara terang-terangan, karena dia harus menunggu sampai datangnya kesempatan yang sangat menguntungkan.

Setajam sembilu sorot mata Tin Cu hoa yang memandang wajah Kiau Ngo nio tegurnya:

“Sekarang, apakah kau masih mempunyai sesuatu usul?”

Jelas maksud dari perkataan itu adalah pihak lawan harus menerima syarat itu walau enggan untuk menerimanya, dia seperti ingin menerangkan kepada Kiau Ngo nio bahwa dia mempunyai pilihan yang lain lagi.

Padahal Kiau Ngo nio bukan lentera yang kehabisan minyak, setelah menyaksikan siatuasi yang terbentang didepan mata sekarang, otaknya lantas berputar berusaha mencari akal untuk mengatasi keadaan tersebut. Mendadak sebuah ingatan dating melintas didalam benaknya, dia mempunyai sesuatu rencana, hanya paras mukanya sama sekali tak berubah, sekulum senyum hambar malah sempat menghiasi wajahnya. “Pemimpin Tin, aku Kiau Ngo nio harus mengagumi dirimu,” katanya kemudian, “Dengan menyaksikan ketajaman lidahmu untuk berbicara, tampaknya manusia yang berhati sekeras baja pun akan meleleh juga dibuatnya, kau toh mengerti walaupun aku Kiau Ngo nio masih terhitung setengah tuan rumah di bukit Jit gwa san, namun dalam persoalan apapun aku tak bisa mengambil keputusan, lebih
baik persoalan ini dibicarakan setelah si tua Bangka itu bangun saja akan kucoba untuk merundingkan masalah ini
dengannya, asal dia setuju persoalan apa pun gampang untuk dibicarakan.”

Tin Cu hoa tidak takut lawannya sengaja mengulur waktu maka sahutnya sembari mencibir:

“Baik akan kutunggu.”

Diam-diam Kiau Ngo nio memberi tanda kepada Kwan  Hong, dengan penuh pengertian Kwan Hong mengangguk, keadaan ini sudah jelas sekali, orang-orang keluarga Kwan tak akan menyerah dengan begitu saja, atau mungkin mereka masih mempunyai rencana keji lainnya yang hendak dipergunakan.

Cuma lantaran para pemanah jitu dari Liu sah bun mengawasi mereka secara ketat, maka untuk sesaat mereka tak berani sembarangan bergerak.

“Tong ! Tong ! Tong !

Mendadak dari kegelapan malam berkumandang suara tambur yang dibunyikan tertalu-talu, suara tambur yang rendah seperti Guntur yang membelah bumi, ketika bergema dalam pendengaran setiap orang, segera terasa memekikkan telinga. Paras muka Tin Cu hoa berubah hebat, serunya dengan cepat:

“Komandan Li, apa yang terjadi?”

Li bun yang sendiri pun tak tahu darimana datangnya suara tambur itu, dia agak tertegun kemudian sahutnya:

“Biar aku pergi menengok !”

Dengan langkah lebar Li Bun yang berjalan menuju kedepan mendekati It Peng,

Sepanjang jalan dijumpainya para anggota Liu sah bun menunjukkan sikap yang amat tegang, sorot mata merekapun bersama-sama ditujukan kearah kawanan jago lihay dari bukit Jit gwa san.
Buru-buru It Peng memburu mendekati sambil berseru: “Komandan Li, kedua belah pihak sudah hamper
melangsungkan pertarungan !”

“Yaa, tampaknya pihak lawan sudah akan mulai  melancarkan serbuan, kita harus bersikap lebih berhati-hati…”

“Bagaimana keadaan disana?,” tanya It Peng sambil menunjuk orang dalam ruangan.

Li Bun yang tertawa getir.

“Baik sekali, kau tak usah kuatir…”

Setelah melakukan pemeriksaan yang seksama atas keadaan kedua belah pihak, buru-buru dia membalikkan badan dan balik kembali ke ruang tengah serta melaporkan keadaan diluar sana kepada Tin Cu hoa.

Dalam pada itu, Kwan Lok khi yang sudah mengatur napas sekian waktu, untuk sementara masih berhasil mencegah racun jarum ekor lebah tersebut tak sampai menjalar ke tempat lain, namun dia cukup mengetahui sifat dari racun tersebut dan jarum ekor lebah yang bersarang di tubuh orang tak gampang dicabut, betul, sekarang dia masih bisa mengendalikan keadaan lukanya, namun bila waktu sudah berlangsung lebih jauh, maka nyawanya toh tetap akan melayang juga.

Oleh sebab itu buru-buru dia membuka matanya dan memandang sekejap ke sekeliling arena.

Kemudian sambil tertawa getir ujarnya kepada Kiau Ngo nio:
“Hujin, kita harus cepat-cepat kembali ke atas gunung.” “Tapi pemimpin Tin tak mau melepaskan kita dengan
begitu saja,” seru Kiau Ngo nio dingin, “Tua Bangka celaka, bukankah antara kau dengan pemimpin besar Tin yang pernah mempunyai hubungan setubuh denganmu? Lebih baik kau  saja yang membicarakan persoalan ini dengan dirinya…”

Perempuan ini masih saja dicekam perasaan cemburu yang berkobar-kobar, setiap patah katanya boleh dibilang semuanya diutarakan dengan nada sengak dan apek, sampai tak sedap didengar dalam pendengaran orang.

Mendadak paras muka Li Bun yang berubah hebat, serunya sambil menahan geram: “Perempuan busuk, kalau ingin berbicara harap sedikitlah tahu diri…”

“Aduh mak…,” jerit Kiau Ngo nio, “Komandan kita yang agung, apa pula sangkut pautnya urusan ini denganmu? Masa hak untuk berbicara bagi Kiau Ngo nio juga tak ada? Hmm mulutku memang sudah begini semenjak dilahirkan, siapapun jangan harap bisa mencampuri..”

Li Bun yang tertawa dingin.

“Nenek yang bawel, jangan toh aku disuruh mengurusi urusanmu, bicara denganmu pun sudah ogah, asal katakatamu tak sampai menyinggung orang lain, aku pun tak akan mengurusi dirimu. Nenek jelek, lebih baik kita membicarakan satu masalah demi satu masalah, jangan ngebacot melulu dengan kata yang bukan-bukan sehingga bikin tuli orang lain saja.”

“Li Bun yang !,” seru Kiau Ngo nio dengan nada sinis, “Kau jangan mengira setelah menjadi komandannya orang Liu sah bun maka kau menganggap dirimu luar biasa, padahal yang betul kedudukanmu itu cuma kepala berandal biasa, Hmmm! Dengan tampang dan kemampuanmu itu berani mengatai diriku untuk membersihkan sepatu lo nio pun aku tak sudi, huuh, memalukan sekali.”

Hawa amarah yang membara kontan meledak dalam hati Li Bun yang, dia adalah seorang lelaki sejati, sudah barang tentu dia tak akan membiarkan dirinya dihina orang.

Saking gusarnya dia sampai meraung keras, hamper saja dia hendak melompat bangun. Masih untung kesadarannya belum hilang, sambil berpaling kearah Tin Cu hoa katanya kemudian:

“Pemimpin Tin, aku sudah tak dapat menahan diri lagi, bagi seorang lelaki lebih baik dibunuh daripada dihina, bukan saja dia telah menghina ku bahkan berani pula menyinggung kesucianmu, aku harus beradu jiwa dengan nenek jelek ini..”

“Dapatkah kau bersabar sebentar lagi?” kata Tin Cu hoa dengan wajah sedih.

“Tidak bisa aku tak bisa menahan diri lagi,” seru Li Bun yang dengan suara keras, “Karena aku amat mencintaimu, maka aku tak akan membiarkan siapa pun menghinamu, pemimpin harap kau mengijinkan hamba untuk berkelahi dengan perempuan busuk ini..”

“Pergilah,” ujar Tin Cu hoa kemudian dengan sedih, “Aku memang tak bisa menghalangi niatmu itu.”

Pelan-pelan Li Bun yang membalikkan tubuhnya, terpancar sinar terang dari balik wajahnya, ia menggenggam gagang pedangnya kencang-kencang kemudian melangkah maju kedepan.

Lion Tian im yang menyaksikan kejadian tersebut segera menggelengkan kepalanya berulangkali, dia merasa kagum sekali atas kegagahan dan keberanian Li Bun yang menentang maut.

Disaat Li Bun yang berjalan melalui sisi tubuhnya, dia menepuk-nepuk bahu orang itu sambil berbisik:

“Hadapilah dengan hati-hati, serang sepasang kakinya, karena disitulah terletak titik kelemahannya !” Li Bun yang agak tertegun, kemudian balik bertanya:

“Apakah kau sedang memberi petunjuk kepadaku?”

Dia tahu perkataan dari Liong Tian im tersebut  mengandung maksud yang mendalam maka dengan berhatihati sekali dia mencabut pedangnya, serentetan cahaya tajam yang menggidikkan hati segera melesat ke tengah udara, bentaknya keras-keras:

“Perempuan busuk, kemari kau !”

“Huuh, terlalu memalukan untuk bertarung melawan manusia seperti kau, lonio tak mau bertarung melawanmu.”

“Jika kau tak berani munculkan diri untuk bertarung melawanku berarti kau menyatakan bahwa Jit gwat san telah mengundurkan diri dari dunia persilatan mulai saat ini dan tidak mencampuri urusan keduniawian lagi, sudah kau dengar jelas perempuan busuk?” teriak Li Bun yang dengan suara keras.

Kiau Ngo nio tidak menyangka kalau Li Bun yang begitu lihay bahkan menjebak dengan perkataan.

Kontan saja dia mendengus dingin berat-berat, serunya kemudian:

“Bocah keparat yang tak tahu diri, kau terlalu memandang hina lonio.”

Sebagai seorang perempuan yang angkuh, setelah menyaksikan Li Bun yang menantang di hadapannya sambil bertolak pinggang, tak bisa dicegah lagi amarahnya segera berkobar, pelan-pelan dia maju kemuka sambil tertawa dingin tiada hentinya.

“Ibu !” Kwan Hong segera melompat kedepan, “Serahkan saja babak ini kepada ananda!”

Mendadak Lion Tian im menuding kearah Kwan Hong sambil membentak nyaring:

“Enyah kau, disini tiada urusanmu lagi.”

Kwan Hong terkesiap segulung prasaan tercekat muncul dari dasar hatinya, bahkan dia sendiripun tak tahu mengapa setiap kali bersua dengan Lion Tian im dari dalam hatinya tentu muncul semacam perasaan takut dan seram.

Kini, dia merasa gusar sekali sehingga bibirnya gemetar akan tetapi perasaan gusarnya itu tak berani diutarakan keluar, terpaksa dia harus mundur dengan membawa perasaan mendongkol, sementara dari balik matanya terpancar keluar sinar mata kebencian.

Walau pun demikian, dia pun tidak rela menunjukkan kelemahannya dengan begitu saja, segera teriaknya keraskeras:

“Liong Tian im, tunggu saja tanggal mainnya, kita semua bakal mendapatkan pertunjukan bagus.”

Liong Tian im hanya tertawa dingin.

“Urusan dikemudian hari tak usah dibicarakan dulu, yang penting kau belum mempunyai kesempatan untuk penampilan pada saat sekarang.” Diam-diam ia memberi tanda kepada Li Bun yang.

Menggunakan kesempatan tersebut, Li Bun yang segera memutar pedangnya membentuk satu gelombang hawa serangan di udara, kemudian sambil membentak keras, sebuah tusukan tiba-tiba dilancarkan.

“Hmmm !”

Kiau Ngo nio mendengus dingin berat-berat, mendadak bayangan tubuhnya melejit ketengah udara, telapak tangannya digetarkan pelan, dengan kecepatan bagaikan sambaran petir dia bacok batang pedang Li Bun yang dengan telapak tangan kirinya.

Saat ini, kendatipun Li Bun yang sedang diliputi amarah yang berkobar-kobar, namun dia sudah membuat persiapan secara diam-diam, begitu menyaksikan datangnya bacokan tersebut tiba-tiba saja pedangnya membentuk satu gerakan berputar ditengah udara, kali ini dia membabat kaki kanan Kiau Ngo nio.

Tindakan ini dilakukan sesuai dengan peringatan yang diberikan Liong Tian im kepadanya tadi dan sekarang hendak dicoba olehnya apakah akan berhasil atau tidak padahal dalam hati kecilnya dia sama sekali tidak berpegangan.

Siapa tahu begitu serangannya dilancarkan, paras muka Kiau Ngo nio berubah hebat, dengan ketakutan setengah mati perempuan itu cepat-cepat mengundurkan diri kebelakang.

Diam-diam Kiau Ngo nio merasa sangat terkejut, serunya kemudian: “Tua Bangka celaka, siapa yang memebritahukan kepadanya kalau kakiku ada penyakitnya?”

Rupanya perempuan berangasan yang kasar lagi bawel ini pernah menderita sakit parah sewaktu masih kecil dulu, dia mengidap suatu penyakit yang aneh sekali dan penyakit aneh itu tumbuh pada sepasang kakinya.

Oleh karena itu setiap kali dia sedang mengerahkan tenaga untuk menghadapi lawan, sepasang kakinya selalu menjadi lembek dan lemas seperti tak bertenaga sama sekali.

Itulah sebabnya setiap kali sedang bertarung, dia selalu berusaha menjaga sepasang kakinya agar titik kelemahan tersebut tak sampai dilihat musuh.

Sayang sekali walaupun penyaruannya cukup bagus, toh titik kelemahan tersebut diketahui juga oleh Lion Tian im sehingga rahasia tersebut disampaikan kepada Li Bun yang dan menyuruhnya untuk dicoba.

Alhasil serangannya itu berhasil dengan sukses, ternyata Kiau Ngo nio berhasil dipaksa sehingga berubah hebat paras mukanya dan mundur dengan ketakutan.

Dengan napas terengah-engah Kwan Lok khi segera berseru:

“Hujin, aku sendiri pun tidak tahu.”

Padahal kecuali mereka suami istri berdua yang
mengetahui rahasia mana, bahkan putra mereka sendiri Kwan Hong pun tidak tahu kalau Kiau Ngo nio mengidap semacam penyakit aneh tersebut. Itulah sebabnya begitu serangan dari Li Bun yang dilancarkan, Kwan Lok khi maupun Kiau Ngo nio menjadi terkesiap.

Sementara itu Li Bun yang yang merasakan semangatnya bangkit kembali setelah keberhasilannya, sambil memutar pedangnya dia mendesak lebih kedepan, untuk sesaat Kiau Ngo nio kena didesak kembali sehingga mundur sejauh beberapa langkah.

Lama kelamaan Kiau Ngo nio dibikin naik pitam juga, tibatiba dia membentak keras:

“Orang she Li, kau jangan kelewat mendesak orang.”

Perempuan ini memang cukup keji, ketika dilihatnya Li Bun yang berhasil mengetahui titik kelemahannya, kontan saja hawa pembunuhan menyelimuti seluruh wajahnya, kelima jari tangan kirinya dipentangkan lebar-lebar dan hawa serangan segera memancar kemana-mana.

“Ngo im kui jiau (cakar setan panca angina)”

Semua jago yang hadir diarena hamper semuanya dibikin tertegun oleh kelihayan ilmu silat Kiau Ngo nio tersebut, siapa pun tidak menyangka kalau ilmu sakti yang merupakan ilmu sesat tersebut dimiliki perempuan tersebut.

“Bun yang, cepat mundur, jangan sentuh jari tangannya…” “Aduuh…!”
Sayang sekali keadaan sudah terlambat, Li Bun yang merasakan sekujur tubuhnya gemetar keras, segulung hawa serangan yang sangat aneh telah menembusi tubuhnya. Karena kesakitan dia menjerit ngeri, tiba-tiba pedangnya terlepas dari cekalan dan rontok ke tanah, sementara tubuhnya mundur beberapa langkah dengan sempoyongan.

“Pemimpin !” serunya kemudian penuh penderitaan, “Ilmu jari perempuan ini sangat beracun.”

Menyaksikan tubuh Li Bun yang terkena serangan jari beracun, Ti Cu hoa merasakan hatinya seolah-olah ditusuk oleh dua batang pedang yang tajam sekali, saking menderitanya seluruh tubuhnya sampai gemetar keras.

“Bun yang, cepat kau kerahkan tenaga dalammu untuk menahan luka tersebut.”

Li Bun yang cukup mengetahui betapa gawatnya situasi, buru-buru dia duduk bersila sambil menghimpun segenap tenaga dalam yang dimilikinya untuk mencegah racun tersebut menjalar sampai kemana-mana.

“Hee…heee…hee..,” Kiau Ngo nio tertawa seram, “Pemimpin Tin, aku lihat kekasihmu ini menderita luka yang cukup parah.”

“Dendam ini pasti ada orang yang menuntutnya kembali,” ucap Tin Cu hoa dingin. “Kiau hujin, kau jangan keburu  merasa bangga, mati hidup kalian masih berada ditanganku, dengan mengandalkan sedikit kekuatan yang kalian miliki itu masih belum mampu untuk menembusi tujuh lapis pertahanan kami.”

“Hmm ! “ Kiau Ngo nio mendengus dingin, “Orang-orangku sudah siap sedia diluar kuil, asal kuturunkan perintah, mereka akan menyerbu masuk bersama-sama, pemimpin Tin, bertahan terus seperti cara sekarang hanya mendatangkan kerugian bagi kedua belah pihak.”

Tin Cu hoa tertawa hambar.

“Benar, kau bisa melihat keadaan situasi disini, hal ini sudah terhitung lumayan.”

“Heeeh…heee..hee..Leng Hong ya mendesis dingin, “Enso, tampaknya keadaan luka dari Kwan toako telah kambuh kembali, kita tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi, coba kau lihat keadaan dari Kwan toako.”

Kiau Ngo nio sangat terkesiap, dengan cepat dia berpaling, tampak Kwan Lok khi sedang bermandikan keringat dingin, wajahnya mengejang keras sekali.

Meski dia merasa benci kepada Kwan Lok khi karena penyelewengannya, bagaimanapun juga mereka toh masih tetap merupakan suami istri, maka setelah menyaksikan keadaannya yang penuh penderitaan, seakan-akan sedang menghadapi sakaratul maut tersebut, hatinya menjadi tak tega juga, perasaan gelisah segera menyelimuti seluruh benaknya.

“Tua Bangka celaka, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyanya kemudian dengan perasaan cemas.

Peluh sebesar butiran kedelai mengucur keluar membasahi seluruh wajah Kwan Lok khi, saat itu dia sedang berusaha keras untuk menahan penderitaan didalam tubuhnya, sepasang giginya saling gemerutukan, matanya membelalak lebar tanpa cahaya, sahutnya kemudian lirih:

“Hujin, mungkin aku sudah tidak tahan lagi !” “Tua Bangka celaka, mari kita pulang lebih dulu,” kata Kiau Ngo nio sedih.

Pada saat ini dia hanya menguatirkan keselamatan dari suaminya, sedang mengenai soal lainnya boleh dibilang memandang hambar, buru-buru dia perintahkan kepada Kwan Hong untuk menggotong Kwan Lok khi dari atas tanah, kemudian serunya kepada Leng Hong ya:
“Leng sianseng, harap kau suka membuka jalan..” “Enso ! Asal kau lebih mengutamakan soal keselamatan
toako, persoalan apapun bisa kita bicarakan !” sahut Leng Hongya.

Pelan-pelan dia maju kedepan, kemudian sambil memancarkan sinar mata yang dingin menyeramkan, katanya kepada Tin Cu hoa:

“Pemimpin Tin, harap kau suka memberi muka kepada aku Leng Hongya dengan mengijinkan mereka untuk kembali dulu, tentang perselisihan antara kalian dua keluarga, kita bicarakan kembali dikemudian hari saja.”

Dengan cepat Tin Cu hoa menggelengkan kepala berulang kali:

“Leng sianseng, siauli tak berani menampik permintaan sianseng, saying sekali segenap anggota Liu sah bun sudah cukup lama menantikan saat seperti hari ini, yang kami harapkan sekarang adalah suatu penyelesaian, apabila siauli tidak dapat mempertanggungjawabkan diri kepada mereka, bisa jadi mereka akan menjadi marah dan menyusahkan siauli, bila sudah sampai begini sudah pasti siauli tak punya muka  lagi untuk menjadi pemimpin mereka,” “Jadi maksud pemimpin Tin..” Leng Hongya berkerut kening kencang.

“Aku masih tetap dengan ucapanku tadi,” ujar Tin Cu hoa dengan suara tegas, “Asal Jit gwat san bersedia mengasingkan diri selama satu tahun didalam dunia persilatan, perselisihan dengan pihak Liu sah bun akan kami anggap selesai, sekalipun hal ini sebenarnya keenakkan bagi orang she Kwan tersebut, namun kami bukan manusia yang kelewat tak tahu diri, asal semua bisa menyetujui, persoalan apa saja bisa kami   lakukan.”

Persoalan ini boleh dibilang merupakan suatu masalah besar yang sangat pelik, dengan kedudukan serta nama baik Jit gwat san dalam dunia persilatan sudah barang tentu mereka tak akan tunduk kepada Liu sah bun yang sama sekali tak bernama, apalagi persoalannya sekarang menyangkut masalah nama dan kedudukan dalam dunia persilatan.

Kiau Ngo nio bukan seorang yang tolol, kalau dia diharuskan menyanggupi permintaan tersebut, pada hakekatnya hal ini jauh lebih menyusahkan dirinya daripada dibunuh, namun kenyataan telah berkembang sampai disitu, bagaimanapun jua dia harus memberi pertanggungjawabannya.

“Pemimpin Tin, tindakanmu ini sungguh teramat keji !” seru Kiau Ngo nio dengan penuh kebencian.

Tin Cu hoa segera tertawa dingin.

“Tatkala Kwan toa-tongkeh menghancurkan perguruan Liu sah bun dulu mengapa kau tidak mengatakan kejam? Tahukah kau mengapa orang Liu sah bun hidup menanggung aib dan cemoohan? Kami tak lain hanya berharap suatu ketika pihak Jit gwat san juga merasakan bagaimana tersiksanya bila menderita kekalahan.”

Sementara itu, Kwan Hong dapat mendengar suara napas Kwan Lok khi yang makin lama semakin bertambah berat, dia tahu keselamatan ayahnya sekarang ibarat lentera yang kehabisan minyak bila tidak diberi pertolongan yang sesuai, niscaya selembar jiwanya akan melayang meninggalkan raganya.

Dengan gelisah serunya kemudian:

“Ibu, ayah sudah tidak tahan, kabulkan saja permintaannya”

Kiau Ngo nio berpikir sebentar, kemudian sahutnya dengan penuh penderitaan:

“Baiklah, kukabulkan  permintaanmu itu, tapi batas waktunya cuma setahun. Setahun kemudian kami orang-orang keluarga Kwan akan membalas dendam atas aib dan penghinaan yang kami terima hari ini.”
Sesudah menghela napas dengan sedih, dia melanjutkan: “Sungguh tak nyana persatuan bukit Jit gwat san yang
termashur dalam dunia persilatan, akhirnya harus hancur ditangan aku Kiau Ngo nio, coba kalau tidak memandang diatas wajah si tua bangka tersebut, aku lebih suka bunuh diri daripada membiarkan orang lain mentertawakan ketidak becusan aku Kiau Ngo nio.”

Tatkala dia terbayang kembali akan kakeknya serta perjuangan ayahnya sewaktu mendirikan Jit gwat san, tanpa terasa ia menjadi sedih sekali, sedih atas persetujuan yang dia berikan kepada pihak lawan.

Dia tahu nama baik Jit gwat san telah hancur, hancur ditangannya, ia tidak punya wajah untuk mepertanggungjawabkan diri kepada leluhurnya lagi, sebab dia sudah memikul dosa sebagai orang yang tak berbakti.

Sementara itu Leng Hongya tertawa seram, setelah menyaksikan keadaan berkembang menjadi begini dia memberi tanda kepada Kwan Hong, kemudian bersama-sama beranjak keluar dari ruang tersebut.

Kiau Ngo nio sendiri melototi sekejap setiap orang yang hadir dalam ruangan dengan penuh kebencian kemudian dia baru menggerakkan kakinya dan berlalu dari situ dengan susah payah.

“Berhenti !”

Suara bentakan keras menggelegar memecahkan keheningan, bentakan itu berasal dari Liong Tian im.

Kiau Ngo nio sangat terkesiap, dia segera menghentikan langkah tubuhnya sambil membentak:
“Hei, mengapa kau berkaok-kaok macam begitu?” “Kau hendak berlalu dengan begitu saja?” jengek Liong
Tian im dingin.

Kiau Ngo nio tertegun, lalu serunya:

“Kalau aku tidak berlalu dengan begini saja, memangnya harus merangkak keluar?” Liong Tian im segera tertawa dingin.

“Komandan Li terkena racun Ngo kui im jiau-mu, tanpa obat pemunahmu tak mungkin jiwanya bisa tertolong, oleh sebab itu kau harus tinggalkan obat penawarnya lebih dulu sebelum pergi.”

Paras muka Kiau Ngo nio berubah hebat:

“Suamiku terkena juga jarum racun ekor lebah, apakah pemimpin Tin memberi obat pemunah kepadanya? Orang muda, kau jangan kelewat tak tahu diri, aku orang she Kwan bukannya jeri kepadamu.”

“Masalahnya berbeda,” kata Liong Tian im dingin, sekalipun orang yang terkena jarum ekor lebah sukar ditolong lagi jiwanya, namun dengan tenaga dalam yang dimiliki Kwan Lok khi, rasanya bukan suatu pekerjaan yang terlalu sukar untuk mempertahankan jiwanya, berfbeda sekali dengan cakar setanmu itu, bila tiada obat penawar racun darimu mungkin selembar jiwa komandan Li harus diserahkan kepada dirimu.”

Saking gusarnya Kiau Ngo nio sampai mendongakkan kepalanya tertawa keras.

“Heeh…heeh…kau anggap aku bakal menyerahkan obat penawarnya kepadamu?”

Liong Tian im segera mempersiapkan senjata patung Kim mo sin jinnya, lalu berkata sinis:

“Kau pasti akan memberikannya, sebab keselamatan jiwa dari suamimu masih berada dalam cengkeraman kami, bila kau masih juga mengulur-ulur waktu terus, hmmmm…! Sudah dapat dipastikan tipis sekali harapan suamimu untuk melanjutkan hidup…oleh karena itu, aku yakin kau tak akan menggunakan selembar nyawa suamimu sebagai barang pertaruhan…”

“Hmmm !” dengan gemas bercampur geram Kiau Ngo nio mendengus berat-berat. Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berseru kembali.

Mala mini, aku Kiau Ngo nio benar-benar sudah bertemu setan, kami betul-betul tak mampu berkutik terhadap kalian.”

Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah botol porselen, kemudian dengan perasaan gemas bercampur mendongkol, dia melemparkan botol tersebut kearah Tin Cu hoa.

Kemudian setelah melompat sekejap kearah Liong Tian im dengan penuh kegusaran teriaknya keras-keras:

“Hari ini kami memang dibikin mati kutunya dan harus menuruti perkataaan kalian semua, namun hal ini bukan berarti kami sudah menyerah kalah, suatu ketika semua penghinaan dan aib yang menimpa diri kami ini akan kami tuntut kembali, tunggu saja sampai tanggal mainnya !”

Selesai berkata, dengan gemas dan penuh kebencian dia melotot sekali lagi kearah Liong Tian im, kemudian buru-buru beranjak pergi meninggalkan ruangan.

Bayangan hitam berkelebat lewat dan tahu-tahu sudah lenyap dibalik kegelapan sana.

Pertikaian dan perselisihan yang berlangsung cukup seru itupun untuk sementara waktu berakhir. -------------00000------------

Di tengah langit yang biru dan cerah, hanya bola api matahari yang bulat memancarkan sinar keemasan menyoroti seluruh permukaan tanah.

Angin lembut berhembus sepoi-sepoi menggoyangkan dahan dan ranting, daun yang kuning dan layu rontok dan jatuh ke bumi, wlau pun waktu itu matahari bersinar cerah, namun suasananya menyerupai musim gugur, bukankah demikian? Dedaunan hijau kini telah berubah menguning:

“Took, took took..”

Dari jalan kecil di kejauhan sana berkumandang suara derap kaki kuda yang ramai dibawah sinar matahari, tampak seorang pemuda yang menunggang seekor kuda pelan-pelan berjalan mendekat.

Ia mendongakkan kepalanya memandang awan di angkasa, kemudian pikirnya :

“Kembali musim gugur yang seram menjelang tiba mulai hari ini..”

Dengan perasaaan kesepian dia mendongakkan kepalanya memandang jalanan yang terbentang didepan sana, suatu perasaan getir dan pahit yang amat tiba-tiba muncul dari hati kecilnya dan memenuhi rongga dadanya yang kosong, sekulum senyuman tipis penuh kegetiran sempat tersungging diujung bibirnya.

Dalam waktu singkat, terasa ada beberapa sosok bayangan manusia melintas didalam benaknya, ia seperti terbuai dalam lamunan. “Aaai, lupakan saja ! Orang yang pantas dirindukan.” Ia berpekik dan menjerit didalam hati kecilnya.
Kendatipun dia telah berusaha untuk mengendalikan pikiran dan perasaannya, namun Leng Ning ciu, Bu Siau huan, bayangan manis dari gadis-gadis itu serasa melekat didalam benaknya.

Ia menghela napas penuh kesepian.

“Manusia memang sangat aneh, makin bertambah usianya makin banyak pula kemurungan yang mencekam pikirannya, heran mengapa aku selalu memikirkan persoalan-persoalan yang memurungkan diriku selama beberapa hari ini? Mengapa aku tak pernah merasakan kesepian seperti ini dimasa kecil dulu? Bahkan tak pernah kupikirkan kalau persoalan antara muda-mudi sesungguhnya penuh dengan kemurungan.”

Sekulum senyuman getir makin jelas tertera diujung bibirnya, pikiran yang kalut dan kusut melingkari benaknya, membuat dia merasa kesepian dan makin bertambah kesal.

“Hmmm…”

Suara dengusan rendah dan dingin tiba-tiba berkumandang dari kejauhan sana, munculnya sangat aneh dan diluar dugaan, membuat Liong Tian im sangat terperanjat.

Dengan perasaan tercekat dia memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, namun suasana lengang, tiada seorang manusia pun ditengah jalan raya yang lebar.

Setelah tertegun beberapa saat, akhirnya dia berpikir: “Sudah jelas suara tertawa itu berasal dari sekitar tempat ini, tapi aneh mengapa tidak nampak sesosok manusia pun.”

Dengan penuh kecurigaan dia melakukan pemeriksaan atas daerah disekitar sana, mendadak telinganya menangkap suara derap kaki kuda yang ramai.

Liong Tian im tertegun, lalu tampaklah beberapa orang penunggang kuda berbaju hitam bergerak mendekati tempat tersebut.

Tampak orang-orang itu semua menggembol pedang dipunggungnya dengan ikat pinggang yang ketat, dalam sekilas pandangan saja orang tahu kalau mereka adalah sekawanan manusia persilatan.

Dalam keadaan begini, dia tak ingin mencari banyak urusan, maka smbil menundukkan kepalanya dia melanjutkan perjalanannya dengan cepat, pada hakekatnya sama sekali tidak memandang sekejap pun terhadap para penunggang kuda itu.

“Heeeh…heeh..heeh…hehh…” orang berbaju hitam yang berada didepan, seorang lelaki beralis mata tebal, bermata besar tertawa dingin.

Mendadak dia mengulapkan tangannya, para penunggang kuda yang berada dibelakang tubuhnya serentak menghentikan perjalanan.

Lelaki itu memandang sekejap kearah Lion Tian Im yang sedang berjalan sambil menundukkan kepalanya, kemdian menegur:

“Hei, bocah keparat, siapa suruh kau melalui jalanan ini?” Mendengar teguran tersebut, Liong Tian im segera mengernyitkan alis matanya dan memandang sekejap kearah lelaki itu dengan pandanga dingin, kemudian dengan amat santainya melanjutkan perjalanannya dengan kepala tertunduk.

Disaat kuda tunggangannya melalui rombongan orangorang itu, seperti tak sengaja dia mendengus.

Dengusan tersebut amat lirih dan cuma dia seorang yang dapat mendengar, akan tetapi hal mana menunjukkan betapa tak senangnya si anak muda tersebut.

“Hee..he..hee…” kembali lelaki itu tertawa seram dengan mangkelnya, “Bocah keparat, sudah kau dengar perkataan toayamu?”

Liong Tian im sengaja celingukan kesana kemari, lalu berkata dengan hambar:

“Oooh..rupanya kau yang mengajak toaya berbicara?”

Lelaki bermata besar beralis tebal itu nampak agak tertegun, dia tak menyangka kalau pemuda tersebut berani memperolok dirinya.

Kontan saja dia berseru lagi sambil mendengus:

“Hmmm, aku Li jiya sedang bertanya kepadamu..”

Tatkala sorot matanya pelan-pelan dialihkan ke bagian belakang kuda tunggangan Liong Tian im, dia semakin tertegun lagi, sesungguhnya dia masih ingin mengucapkan beberapa patah kata lagi, namun berhubung dia menyaksikan adanya senjata Kim mo sin jin yang maha berat itu, kontan saja dia telan kembali ucapan tersebut dengan tubuh menggigil.

“Ong Ma cu !” serunya kemudian sambil berpaling, “Coba kau lihat, bukankah benda itu adalah..”

“Aaah, Kim mo sin jin..Kim mo sin jin,” seru Ong Mo cu dengan paras muka berubah.

Tubuh Li jiya turut gemetar pula menyusul perkataan dari Ong Ma cu dia membelalakan sepasang matanya lebar-lebar. Kemudian ditatapnya wajah Liong Tian im dengan perasaan tercengang dan tidak habis mengerti, satu ingatan mendadak timbul:

“Mungkinkah bocah keparat ini adalah Hiat ci kim mo (Iblis emas jari berdarah)? Tak mungkin, masa si iblis emas berjari darah begini muda? Aku orang she Li tak boleh dibohongi oleh bocah keparat ini..”

Karena timbul kecurigaan tersebut, maka dia lantas bertanya:

“Hei bocah keparat, siapa kau?”

“Seorang pelajar lemah, tuan ada urusan apa mengundang diriku?”

“Hmmm, kalau dilihat dari tampangmu sepertinya bukan seorang jagoan, bocah keparat. Jalan ini sudah dijadikan daerah terlarang bagi setiap orang, karena kami khusus menyewa tempat ini bagi Hiat ci kim mo Liong Tian im seorang, apakah kau si bocah keparat ini buta dan tidak melihat tanda yang kami tinggalkan..?” Liong Tian im merasakan hatinya bergetar keras, dia mencoba untuk memperhatikan keadaan sekeliling situ, betul juga dia menyaksikan ada sebatang panji kecil berwarna terang disisi jalanan.

Satu ingatan segera melintas didalam benaknya dengan cepat dia berpikir:

“Siapa pula orang ini?” Memangnya mereka berasal dari Jit gwat san..?”

Berpikir demikian dia pura-pura ketakutan sekali sambil berseru:

“Aku tidak melihat akan tanda itu, entah tongkeh dari manakah yang berbuat disini?”

Ong Ma cu tidak menjawab, sebaliknya berbisik kepada Li jiya.

“Jiya, coba kau lihat, mungkinkah bocah keparat ini adalah sasaran yang kita cari?”

“Hmmm…!” Li jiya mengejek dingin, “Bocah rudin ini sma sekali tidak mirip, orang bilang Hiat ci kim mo tinggi besar, konon tubuhnya mencapai delapan depa, telapak tangannya sebesar wajan, coba kau perhatikan bocah muyak itu, dia masih belum pantas untuk mengusik ketenangan tongkeh kita. Hmm, Ong Ma cu, kau jangan dibikin pecah nyali olehnya dengan nama besar kita dalam dunia persilatan, janganlah ketakutan lebih dulu sebelum ketemu musuh, macam tikus ketemu kucing saja.” Ong Ma cu yang didamprat oleh Li jiya menjadi naik darah, dengan cepat ia berpaling lagi kearah Liong Tian im kemudian sambil menuding senjata Kim mo sin jin tersebut, serunya:

“Bocah keparat, darimana kau dapatkan benda tersebut?”

Dengan suatu lompatan cepat dia melayang turun dari atas punggung kudanya lalu menyambar senjata patung Kim mo sin jin tersebut, siapa tahu senjata itu berat sekali dan sukar diangkat, hal mana membuat hatinya sangat terkesiap, tubuhnya menjadi sempoyongan dan hamper saja menindih diatas tubuhnya.

Paras muka Ong Ma cu berubah hebat, saking kagetnya hamper saja cekalannya terlepas, diam-diam dia mendesis:

“Aduh mak beratnya !”
Liong Tian im tertawa terbahak-bahak: “Haa…haa…haa..Oh toa enghiong, kau menanyakan soal
ini? Kebetulan aku tlewat didepan dusun dan menemukan
benda tersebut diatas tanah, oleh karena kulihat benda ini memancarlkan sinar emas, aku menduga sudah pasti terbuat dari emas murni, karenanya kuambil benda itu, yaya berdua ! Asal kalian bersedia melepaskan hamba, bila benda ini sudah kutukar di took emas nanti, pasti akan kubagi beberapa tahil perak untuk kalian berdua.”

Agaknya Li jiya sama sekali tidak menyangka kalau dengan mengandalkan tenaga dalam Ong Ma cu yang begitu sempurna, ternyata ia tak sanggup mengangkat senjataa patung Kim mo sin jin tersebut, didalam kejutnya dia segera berseru: “Bawa pulang benda ini dan hadiahkan kepada tongkeh.”

“Eeeh..jangan, jangan kau ambil,” buru-buru Lion Tian im menggoyangkan tangannya berulang kali, sudah cukup lama siauseng mengembara dimana-mana, dengan susah payah  aku berhasil mendapatkan kepingan emas sebesar itu bahkan aku bermaksud untuk pulang mencari istri dan hidup gembira, bila kalian merampas sekarang, bukankah aku akan menggigit jari?Harap kalian suka membantu, jangan mengincar benda ini, tahun depan siauseng hendak ikut ujian Negara, bila aku berhasil lulus sudah pasti siauseng akan memberi penghargaan untuk kalian berdua…”

“Enyah kau, tak usah banyak cerewet lagi disini..,” seru Ong Ma cu sambil mendorong dada Liong Tian im.

Siapa tahu Liong Tian im sama sekali tidak bergeming, bahkan teriaknya keras-keras:

“Bagus sekali, kalian hendak main rampas!”

Dengan cepat telapak tangan kanannya diayunkan ketengah udara, tahu-tahu senjata Kim mo sin jin tersebut sudah melayang sendiri ketengah udara dan pelan-pelan terjatuh ketangannya.

Demonstrasi kepandaian silat ini, kontan saja membuat para jago menjadi tertegun, mereka berseru tertahan lalu mundur kebelakang dengan ketakutan.

Dengan suara agak gemetar, Ong Ma cu segera berseru: “Aduh mak, dia bisa bermain ilmu sihir!” Seluruh wajah Li jiya telah basah pula oleh peluh sebesar kacang kedelai, seluruh wajahnya merah padam dengan takut bercampur gusar dia mengawasi wajah lawannya tanpa berkedip, lama kemudian ia baru berseru agak gemetar:

“Pandai amat kau berpura-pura, hamper saja siaute kena kau kelabuhi, coba kalau kau tidak mendemonstrasikan kehebatanmu tadi, aku masih tak mengira kau adalah seorang ahli kenamaan.”

Liong Tian im tertawa dingin.

“Perkataan Li toaya terlalu serius, dengan sedikit kemampuan yang kumiliki ini rasanya masih selisih jauh bila dibandingkan dengan Ong dan li suhu berdua, oleh karena kalian begitu memandang tinggi siaute, terpaksa akupun harus berusaha dengan segala kemampuan yang kumiliki.”
Pucat pias selembar wajah Li jiya, katanya gemetar: “Aku hanya seorang prajurit tak bernama,
dengankepandaian yang kau miliki itu tentunya tak akan sampai menyusahkan diriku bukan? Bila kami tgelah melakukan kesalahan tangan harap kau jangan terlalu mempersoalkan.”

Liong Tian im paling benci dengan manusia rendah yang mengandalkan kekuatan untuk menganiaya orang lain semacam ini, mencorong sinar dingin dari balik matanya setelah mendengar ucapan tersebut, serunya dengan nada menghina:

“Sulit untuk kukatakan, bila kalian tidak mengganggu aku, akupun tak akan rebut dengan manusia rendah semacam kalian ini tapi hari ini kalian telah dating mencariku, terpaksa akupun harus mengeluarkan sedikit kemampuan agar kalian mengetahui apa artinya cengli yang sebenarnya.”

“Hmmm,” sesosok bayangan hitam melesat kedepan bagaikan sambaran kilat dari atas kuda, ia meraung keras ditengah udara kemudian sambil melancarkan sebuah bacokan dengan pedang serunya:

“Hmm..aku yakin kau si bocah keparat tidak memiliki seberapa kemampuan, Li jiya , aku akan maju lebih dulu.”

Liong Tian im segera mendengus dingin, dengan wajah sinis dia tidak memandang sekejap matapun terhadap
serangan kilat dari lelaki tersebut, pelan-pelan senjata Kim mo sin jinnya diayunkan keatas, serentetan hujan darah segera menyebar kemana-mana.

“Uaaak..” ditengah udara berkumandang jeritan ngeri yang memilukan hati, tubuhnya menyusul percikan darah segar rontok keatas tanah, daging hancurantulang berserakan menjadi satu, keadaannya sungguh mengerikan hati.
Sambil tertawa hambar Liong Tian im berkata: “Inilah contohnya, siapa yang ingin mencoba lagi?”
Hmmmm?”

Dibalik perkataan yang dingin dan kaku, sedikitpun tidak terasa hawa manusia, ketika mengalun disisi telinga setiap orang, terasa bagaikan martil besar yang menghantam di hati mereka.

Lima enam orang yang tersisa disitu menjadi terperanjat sehingga berdiri kaku, tak seorang pun yang berani bergerak, seakan-akan mereka lagi mendengarkan hakim yang membacakan vonis, saking takutnya sekujur tubuh mereka sampai gemetar keras.

“Orang budiman tak akan mengingat kesalahan orang rendah, tuan kau boleh lepas tangan bukan?” seru Ong Ma cu dengan suara bergetar keras.

“Hmmm, perkataanmu memang benar, aku boleh saja lepas tangan, tapi kemana larinya lagakmu yang sok tadi?
Seandainya aku adalah seorang manusia yang benar-benar tak mengerti ilmu silat, apakah sekarang kau bersedia melepaskan aku?”

Ong Ma cu hanya merasakan hatinya bergidik, ia merasa selembar jiwanya seakan-akan sudah hilang sepaaruh, dari balik matanya segera terpancar sinar mata ketakutan.

“Oooh tuan!” serunya gemetar “Maafkanlah ketidaktahuan hamba, aku Ong Ma cu hanya mengikuti Li jiya datang melakukan perondaan, kami mendapat perintah dari tongkeh kami, jadi sesungguhnya merupakan suatu perbuatan yang terpaksa.”

“Siapakah tongkeh kalian ?” tegur Liong Tian im dengan suara sedingin es.

“Tongkeh kami adalah It cu kiam (pedang satu huruf) Yau Toa hiong dari perguruan Kiam seng bun, berapa hari berselang mendapat perintah tertulis dari Kiau hujin dari Jit gwat san yang mewajibkan kami untuk menghalangi jalan pergimu serta membuatkan perhitungan bagi Jit gwat san.”

Ia menyangka kalau Kiau Ngo nio tidak segan menyebar surat undangan liok lim untuk membalas dendam. Maka sambil tertawa dingin, serunya kemudian: “Saat ini Yau tongkeh berada diamana?”
Ong ma cu segera menuding kedepan.

“Tongkeh kami bermarkas di perkampungan keluarga Yau didepan situ, sekarang semua saudara dari berbagai daerah sedang menanti kabar berita tentang dirimu, asal sudah ada kabar tentang kau, maka dia akan memimpin anak buahnya untuk menelusuri jejakmu.”

Liong Tian im mendengus dingin.

“Hmmm, sekarang kalian semua harus turun dari kuda dan membawa jalan untukku.”

Li Jiya dan Ong ma cu saling berpandangan sekejap, siapapun tak berani menun jukkan perkataan apa-apa, mereka seakan-akan berubah seperti orang-orangan kayu, dengan cepat para jagoan itu turun dari kudanya, lalu menanti hukuman dari Liong Tian im dengan wajah murung dan masam.

Liong Tian im sambil tetap duduk diatas punggung kudanya memberi tanda dengan ulapan tangan, Li jiya segera maju kedepan dengan langkah lebar, bahkan kuda tunggangannya pun ditinggal dengan begitu saja.

Dilihat dari kejauhan keadaan tersebut bagaikan seorang penggembala yang sedang menggiring sejumlah babi sehingga pemandangan waktu itu kelihatan amat menggelikan.

Walaupun perjalanan itu tidak termasuk pendek, namun akhirnya toh sampai juga didepan dusun perkampungan keluarga yau, sepanjang perjalanan orang-orang pada memandang kearah Li jiya sekalian dengan pandangan tercengang, sebaliknya Li jiya dan Ong Ma cu seperti anjing yang kena digebuk, mereka sama-sama menundukkan kepalanya dengan lemas dan sama sekali tak bersemangat.

Pada hakekatnya keadaan semacam itu sungguh memalukan orang-orang perkampungan keluarga Yau.

Ditengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang lelaki setengah umur bertopi kulit kecil dan mengenakan jubah yang sangat lebar dia berjalan sambil membawa sebuah sangkar burung.
Sembari berjalan mendekat, ujarnya sambil tertawa seram: “Lo Li, kau si anak monyet, mengapa lama kian bertambah
tak becus, loya kami toh mengutusmu untuk melihat keadaan, bukan saja kau tidak segera kembali, mengapa sampai kuda pun hilang? Kalau perkampungan keluarga Yau harus memelihara gentong nasi macam kalian bagaimana mungkin kami bisa menancapkan kaki di dunia persilatan?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar