Cincin Maut Jilid 15

Jilid 15

DENGAN AMAT SEDIH Thian mo-sat kun berdiri gemetar, darah panas yang semula bergolak dalam dadanya kini telah mendingin kembali, dia menghela napas sedih, lalu menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Betul, kita tak punya muka lagi untuk kembali ke Cing shia san" katanya sedih, "jite selama delapan tahun setiap saat setiap detik kita selalu ingin kembali dan berjumpa dengan Sancu untuk memberikan pertanggungan jawab atas kejadian itu.."

Dewa bengis iblis bumi melirik sekejap ke arah Jago pedang buta, lalu berkata:

"Toako, ada satu hal aku ingin memberi tahukan
kepadamu, dia lantas membisikkan sesuatu disisi telinga Thian mo sat kun kemudian tampak Malaikat sakti iblis langit mengangguk tiada hentinya.

Mereka berunding sampai lama sekali, tampaknya seperti lagi mengambil keputusan akan sesuatu persoalan.

Setelah itu dengan sorot mata yang menggidikan dia baru mengawasi wajah jago pedang buta lekat Iekat, katanya kemudian:

"Apakah hubunganmu dengan pedang langit Bok Keng jin?" "Dia adalah ayahku!"
"Haaah...haaahh..." dewa bengis iblis bumi tertawa tergelak, "bagus sekali, toako silahkan turun tangan!"

Baru selesai berkata, jati tangannya sudah diayunkan kemuka melepaskan sebuah totokan.

Jago padang buta segera merasakan iganya kaku dan kesemutan, tubuhnya segera roboh terjengkang keatas tanah.

Liong Tian im menjadi amat terperanjat setelah menyaksikan kejadian itu, buru buru dia maju kemuka sambil melancarkan totokan. teriakannya keras keras:

"Kalian..."

"Minggir kau" bentak Malaikat sakti iblis langit sambil menyambut kedatangannya serangan tersebut dengan keras lawan keras, aku hendak menghadiahkan sepasang mata baru untuk toako mu..." Entah gerakan tubuh apa yang dipergunakan serangan yang dilancarkan oleh Liong Tian im berulang kali ternyata tidak berhasil menyentuh tubuh lawan.

Akhirnya dia menghela napas panjang, dengan perasaan tegang senjata patung Kim nio sio jin dicabut keluar, tapi sebelum bertindak lebib jauh, tiba tiba saja dia menjerit kaget.

Tampak Dewa bengis iblis bumi mengorek keluar sepasang matanya dengan kedua buah jari tangannya, diantara percikan carah segar tampak sepasang biji matanya melompat keluar, sementara orangnya roboh tak sadarkan diri.

Dengan berhati hati sekali Thian mo sat kun mengambil biji mata tersebat, kemudian membuka kelopak mata jago pedang buta dan menggunakan suatu cara yang amat hapal dia masukkan biji mata tersebut ke dalam kelopak matanya. . .

Kemudian dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebungkus bubuk obat dan pelan pelan di poleskan diseputar kelopak mata Bok Ci, kemudian setelah menguruti tiga puluh enam buah jalan darah penting di tubuhnya, dia bangkit berdiri seraya berkata:

"Dalam tiga puluh dua hari mendatang, Vpn beisaraanya harus segera naik ke bukit Cing shia untuk bertemu dengan sancu kami. serahkan bungkusan ini kepadanya, kemudian mintalah salep Sio goan huan si lok kepadanya, asal matamu sudah diberi salep jin-goan huan si lok, maka kau akan memliki sepasang mata baru seperti mata-mata orang lain . .
."

Dia mengambil keluar sebuah bungkusan kertas dan dikerahkan kepada Liong Tian-im. Tindakan dari dewa bengis iblis bumi ini sama sekali diIuar dugaan Liong Tian-im di tak mengira kalau iblis tersebut bersedia mempersembahkan sepasang mata sendiri untuk Jago pedang buta.

Ditinjau dari haI ini bisa diduga kalau mereka berdua sudah menderita keracunan hebat, sadar bila keselamatan jiwanya sudah terancam, maka untuk menyeksaikan tugas yang dibebankan kepada mereka, kedua orang itu bersedia mengorbankan mata mereka untuk jago pedang buta, dengan harapan jago pedang buta pun bersedia untuk membantu mereka guna menyelesaikan tugas yang belum sempat mereka laksanakan.

Demikianlah, begitu selesai mengucapkan perkataan tersebut Malaikat sakti iblis langit segera membopong tubuh dewa bengis iblis bumi dan berlalu dari situ.

Dari tempat kejauhan sana hanya terdengar suara gelak tertawanya yang amat memedihkan, sampai lama kemudian suara tersebut baru lenyap .. . .

ooOoo ocOoo

BUNYI keleningan yang sangat ramai berkumandang dari atas bukit sana, tak lama kemudian muncul dua ekor kuda yang berjalan mendekat penunggangnya adalah dua orang pemuda kekar.

Pemuda yang berada dlsebelah kiri itu bermata tak bersinar dan sedang memandang ke arah depan dengan pandangan hampa, sebuah codet panjang membekas nyata diatas wajahnya. Tiba tiba ia menghela napas panjang kemudian berkata: "Adik Liong kita sudah berapa hari melakukan perjalanan?"
Liong Tian im menarik napas panjang panjang, lalu menyahut:

"Dua puluh delapan hari, berarti kita masih ada waktu tiga hari lagi, sekarang kita sudah memasuki wilayah tanah perbukitan Ching shia, toako kau tak usah kelewat murung..."

Jago pedang buta Bok Ci menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Adik Liong, dewa bengis iblis bumi telah memindahkan biji matanya kedalam kelopak mataku, budi kebaikan yang besar ini entah bagai mana caranya untuk membalasnya, aai jika  kita sampai melebihi batas waktu tiga puluh hari kan yang ditentukan tanpa berhasil mendapatkan salep San goan huan si lok, bukan saja usaha kedua cianpwe itu akan menjadi siasia belaka, bahkan aku pun akan merasa menyesal sepanjang masa..."

Perlu diketahui, apa yang didambakan oleh seseorang yang buta matanya adalah dapat melihat kembali segala sesuatu yang ada di dunia ini, apalagi setelah mengetahui kalau dia bakal segera bisa melihat lagi, rasa girangnya tak terlukiskan dengan kata-kata:

Sesaat dia hanya berharap kalau itu bisa cepat menjadi kenyataan malah kalau bisa tempat tujuan yang hendak dicapai bisa segera didatangi . . .

Ucapan toako memang benar, mari kita melanjutkan perjalanan lagi. . ." kata Liong Tian im sambil tertawa ringan. Walaupun dibibir ia berkata dengan enteng diam diam merasa geli atas kegelisahan jago padang buta Bok Ci.

Sementara dia masih termenung, jago pedang buta Bok Ci telah berkata lagi:

"Adik Liong, tahukah kau apa yang hendak kulihat pertama kali setelah aku dapat melihat?"
Liong Tian im agak tertegun sahutnya kemudian: "Tentu saja pemandangan alam dari bukit Cing shia san!
mengenang kembali penderitaan dikala masih buta dulu merupakan kebiasaan dari setiap manusia."

Dengan cepat jago pedang buta menggelengkan kepalanya belulang kali.

"Tidak" katanya, "pandangan pertama adalah melihat kau, aku ingin melihat macam apakah bentuk wajah adik Liong yang selama ini sehidup semati dengan diriku, sampai-sampai Leng Ning ciu putri dari lembah Tee ong kok begitu terkesima hingga jauh jauh datang menghantarkan obat."

Liong Tian im merasakan hatinya amat pedih raut wajah yang amat cantik itu terlintas kembali dalam benaknya kenangan sewaktu pertemuannya dengan Leng Ning ciu pun melintas kembali didalam benaknya.

-------------------salah sambung ? ----------------------

Beginilah kejadiannya: Berita tentang munculnya cahaya merah di atas puncak  bukit Cing shia itu dengan cepatnya tersebar sampai diseluruh penjuru bukit.

Hampir semua pemburu dan petani yang hidup disana mengetahui akan kabar mana.

Cui lo sianseng termasuk orang yang pernah menyaksikan sendiri kemunculan cahaya merah itu.

Sebagai seorang yang pernah belajar ilmu silat selama berapa waktu, timbullah rasa ingin tahunya maka pada suatu malam lima tahun berselang seorang diri ia mendaki bukit itu, menembusi jalan sempit dan mendekati tempat kejadian.

Cuma jalanan yang ditempuh waktu itu tidak sebaik jalanan yang ada sekarang.

Waktu itu dia haras berjalan memotong kompas dan menembusi ilalang yang tinggi melebihi dada.

Sampai keesokan harinya dia baru tiba di puncak bukit yang dituju.

Tempat mana merupakan sebuah tebing berkarang yang menjulang tinggi ke angkasa, berhubung jalanan yang ditempuh amat sulit maka kulit badannya banyak yang lecet dan terluka.

Akhirnya dia tiba disebuah tebing yang amat licin, sewaktu naik tadi memang gampang tapi setelah tiba disuatu tempat yang buntu jaIannya, ia baru bingung, mau maju tak bisa mau mundurpun sukar. Dalam keadaan demikian, dia baru mengeluh dan bermuram durja, akhirnya dia duduk disitu sambil melamun.

Senjapun menjelang tiba, dia mengeluarkan rangsum yang dibawa untuk mengisi perutnya yang lapar.

Apa mau dibilang arak yang dibawa adalah arak Li ji hong yang sangat harum, sementara dia sedang menikmati arak, tiba-tiba muncul seekor ular besar yang sangat aceh.

Seluruh tubuh ular itu berwarna kuning emas seakan akan dilapisi oleh tameng yang tebal, kepalanya yang terangkat ke atas nampak begitu besar seperti baskom air.

Sekalipun sejak kecil hidup dikelu? ri pemburu, namun selama hidup Ciu lo sianseng belum pernah menjumpal ular tembaga seaneh itu, tak terlukiskan rasa takutnya waktu itu.

Dia segera meloloskan pedangnya dan sambil menempel di atas dinding karang bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, asal ular aneh itu maju menyerang maka dia akan berduel mati matian.

Ternyata ular ini pun sangat aneh, dia hanya memandang Ciu lo sianseng sekejap lalu mendekati ke tempat arak tersedut, tiba-tiba dari bawah perotnya muncul sebuah tangan sebesar tangan bocah dan mengambil arak Li ji hong itu, didalam waktu singkat isi botol arak itu sudah habis terminum.

Ciu lo sianseng betul betul dibikin terperanjat oleh kejadian itu. sedemikian seramnya sehingga sukmanya terasa  melayang meninggalkan raganya. . Selesai menghabiskan isi arak tersebut, ular aneh tersebut berpekik aneh, kemudian ekornya yang panjang mendadak diayunkan kedepan menghantam tubuh Ciu lo sianseng.

Dalam kejutnya timbul keinginan untuk menyelamatkan hidupnya dalam hati Ciu lo sianseng, dengan sepenuh tenaga pedangnya dibacokkan ke depan . . . .

Dan diiringi suara nyaring, tahu tahu dia merasakan tangannya bergetar keras, hampir saja pedangnya terlepas dari tangan, untuk sesaat kemudian terasa linu dan tak sanggup di angkat kembali.

Dalam terperanjatnya, dia tak sempat  untuk menghindarkan diri lagi, seluruh tubuhnya kena terpukul oleh ekor bintang aneh itu dan diangkat tinggi tinggi ketengah udara.

Makhluk aneh itu ternyata pandai sekali menggoda orang, dia berpaling dan memandang sekejap kearah Cui lo sianseng, kemudian dengan telapak tangan dibawah tubuhnya dia mencabik cabik pakaian yang dikenakan Ciu lo sianseng sampai hancur kemudian dengan telapak tangan yang lunak tapi keras itu dia meraba seluruh tubuhnya seakan akan sedang memeriksa apakah dia membawa sesuatu benda.

Waktu itu Ciu lo sianseng benar benar di bikin ketakutan setengah mati, ia sama sekali tidak berniat untuk melawan, hanya sorot matanya saja mengikuti itu dengan perasaan ngeri, seram dan penuh ketakutan.

Disaat yang amat kritis itulah, mendadak dari atas puncak bukit terdengar suara nyanyian nyaring, kemudian dari tengah udara muncul serentetan cahaya merah yang amat menyilaukan mata. Agaknya makhluk aneh itu mengetahui juga akan kelihayan cahaya merah yang baru saja menampakan diri itu, sambil meraung keras tubuhnya meleset kedepan membentuk serentetan cahaya keemas emasan.

Tapi baru saja tubuhnya melampai sampai setengah jalan, cahaya merah yang amat menyilaukan mata itu telah menghadang jalan perginya.

Diantara percikan darah segar, tampak potongan badan makhluk aneh itu berguguran ke atas tanah dan menodai seluruh badan Ciu sianseng.

Dalam terperanjatnya Ciu lo sianseng segera jatuh tak sadarkan diri, menanti dia sadar kembali tampak se orang lelaki setengah umur yang berwajah dingin bagaikan setan berdiri di belakangnya sambil bergendong tangan.

Begitu melihat dia sadar kembar dengan suara yang dingin seperti es orang itu berkata:

"Kau adalah  orang pertama yang masuk kemari, seandainya tidak melihat pada sikapmu yang tidak bermaksud jahat aku tidak bakal menyelamatkan selembar jiwamu, tadi kau sudah pasti merasakan betapa lihaynya cengkeraman lempengan baja tersebut, tapi tahukah kau akan riwayat makhluk aneh tersebut?"

Ciu lo sianseng menarik napas panjang panjang, kemudian berkata:

"Lohu mempunyai beberapa persoalan yang tak kuketahui dengan jelas, sebenarnya makhluk aneh itu perubahan dari binatang apakah? Bagaimana caramu membunuhnya." Dengan wajah dingin lelaki setengah umur itu berkata dalam dalam:

"Berapa sih umurmu sekarang? Berani benar kau membahasakan dirimu sebagai lohu? . . ."

Vvn sancu memberitahukan kepadamu, makhluk aneh tersebut adalah perpaduan antara ular besar dari wilayah Biau dengan trenggiling yang berkulit badan keras, makhluk ini paling rakus dan paling berbahaya, tenaganya besar bukan kepalang, setiap hari aku berlatih pedang, tentu ada seekor yang kubunuh, tapi berhubung pertumbuhan dan perkembangan binatang itu kelewat cepat ditambah lagi senjata tajam sukar didapatkan maka hingga kini binatang tersebut belum punah, Tapi meski binatang itu ganas, darahnya mempunyai khasiat yang luar biasa, tadi kau telah bermandikan darahnya, maka tubuhmu akan selalu sehat dan terutama sekali kulit keras yang melapisi tubuhnya keras dan tajam sanggup menabu^ batu Dulu aku telah menbunuh yang betina, baru sekarang yang jantan ikut terbunuh, Untung saja aku datang tepat waktunya, kalau tidak. mungkin kau sudah mati tersiksa."

Ciu lo sianseng mengira orang yang dihadapinya sekarang adalah sebangsa dewa atau orang pintar, maka buru buru dia mengangguk berulang kali sambil mengiakan :

"Benar, benar "
Terdengar Cing shia sancu berkata lagi dingin: "Tempat kediamanku sekarang telah kujadikan daerah
terlarang bila kau masih ingin hidup terus, lebih baik jangan
memberitahukan tempat ini kepada orang lain, sedangkan ke tiga lempengan kulit makhluk aneh itu kuhadiahkan kepadamu sebagai kenangan "

Berbicara sampai disitu dia lantas mengangkat tubuh Ciu Lo sianseng dan dibawa turun gunung.

Walaupun semua peristiwa tersebut telah berlangsung lima tahun berselang, tapi Ciu lo sianseng masih dapat mengingat semuanya dengan jelas, seakan akan peristiwa itu belum lama terjadinya.

Begilah . . dengan susah payah beberapa orang itu berjalan menembusi bukit karang dan melewati lenbah terjal, akhirnya sampailah mereka di depan sebuah mulut bukit.

Mendadak Ciu lo sianseng berhenti berjalan sambil menuding kearah hutan lebat di depan lalu, katanya:

"Tempo hari Cing shia sancu berjalan masuk lewat tempat ini, tapi berhubung lohu sudah terikat oleh sumpah maka aku hanya bisa menghantar kalian berdua sampai disini saja, selanjutnya terserah bagaimanakah nasib kalian berdua . ."

"Ayah, kita benar benar tak akan turut masuk ?" tanya pemuda berkulit hitam itu agak kecewa.

"Tidak" jawab Ciu to sianseng tegas, Cing shia sancu adalah seorang manusia suci, kita sudah melanggar pantangan, hal ini sebenarnya sudah merupakan suatu
kejadian yang keterlaluan, apalagi kalau turut masuk ke dalam sana ? Sancu pernah menolong selembar jiwa ku, kita tak boleh " Belum habis dia berkata, mendadak dari hutan didepan mulut bukit itu muncul seorang lelaki berbaju hitam yang membawa pedang.

Dengan sorot mata tajam mengawasi orang-orang dihadapannya sekejap, kemudian selapis hawa amarah menghiasi wajahnya,
Sambil menuding Ciu lo sianseng, bentaknya keras-keras. "Kakek Ciu bagus sekali perbuatanmu, lima tahun berselang
sancu telah menyelamatkan selembar jiwamu, tapi nyatanya sekarang bukan saja kau tak tahu budi, malahan membawa orang luar datang kemari untuk mengacau pertapaan sancu..."

Ciu lo sianseng agak tertegun, rupanya dia tak menyangka kalau laki laki ini telah mengenali dirinya, setelah termangu sesaat diapun menjura dan berkata dengan lembut:

"Toako, harap jangan marah, dua orang sahabat yang kuajak kemari adalah tamu agung sancu kalian, mereka mempunyai urusan penting yang hendak disampaikan kepada sancu."

oooOooo

"SELAMANYA Cing shia sancu tidak menerima tamu" tukas lelaki itu dengan mata melotot, "soal ini bukannya kau tidak tahu, Hm tua bangka, kau memang gemar mencampuri urusan orang, tampaknya putramu harus ditahan disini dan dijadikan budifc ttlfton hidup.,"

Paras muka Ciu lo sianseng berubah hebat setelah mendengar perkataan itu, buru buru serunya berulang kali: "Toako, putraku sama sekali tidak bersalah, harap kau suka berbuat baik, . . . biarlah aku segera memohon diri. ."

"Hmmm, enak benar kalau berbicara." seru lelaki itu sambil tertawa dingin, "bukit Cing shia bukan tempat tak bertuan, mau datang lantas datang, mau pergi lantas pergi, tak ada persoalan yang begini mudahnya. . ."

"Benar... benar . ."

Ciu lo sianseng tak berani membantah, dia hanya bisa mengiakan berulang kali.

Semua kejadian ini dapat diikuti Liong Tian im yang berjiwa muda ini dengan jelas, kontan saja hawa amarahnya berkobar setelah mendengus dingin mendadak katanya:

"Saudara, perkataanmu benar benar kelewatan. Cing shiasan bukan tempat dewa bermukim, disinipun tidak ada larangan bagi orang banyak mendatanginya, Ciu lo sianseng tak lebih hanya. .."

Lelaki berbaju hitam itu tidak membiarkan anak muda tersebut menyelesaikan kata katanya, mendadak dia menukas:

"Boleh saja bila ingin memasuki bukit ini, asal kalian dapat menembusi tiga pos penjagaan kami, sancu pasti akan menemui kalian, cuma . . heeh . . heeh . ., ilmu pedang dari Cing shia sancu tiada taranya dikoIong langit, aku kuatir kalau kalian tak punya kemampuan semacam itu. . ."

Liong Tian im tertawa terbahak bahak.

"Hahh . . haah . . hah. . setelah mendengar perkataanmu itu, aku jadi berkeinginan besar untuk mencobanya !" Paras mukanya dengan cepat berubah menjadi dingin seperti salju, dengan sorot mata yang tajam dia memandang sekejap wajah lelaki itu, kemudian sambil berpaling ke arah jago pedang buta Bok Ci, katanya:

"Toako, harap kau meminjamkan pedang kayu itu kepadaku"

Dia tahu pos pos penjagaan yang dipersiapkan pihak Cing shia san sudah pasti akan dijaga oleh jigo-jago lihay yang pandai mempergunakan pedang.

Benar dalam sakunya terdapat senjata patung Kim mo sin jin yang merupakan lawan tandingan dari senjata golok dan pedang, tapi senjata tersebut tak mungkin bisa dipakai se enteng pedang karena senjata patung Kim-mo sin jin berat bagaikan bukit, senjata mana lebih cocok kalau dipakai untuk mematahkan barisan pedang.

Itulah sebabnya dalam menghadapi lelaki tersebut dia mengambil keputusan untuk meng hadapi dengan pedang.

Disamping Liong Tian im masih mempunyai sebuah rencana lain, dia berharap perhatian para jago yang menjadi itu hanya tertuju pada dia seorang agar mereka mengira ilmu  pedangnya yang paling lihay diantara rombongan tersebut, dengan demikian dia akan memberi kesempatan pada  toakonya untuk membuat suatu kejutan bilamana keadaan memaksa untuk berbuat demikian.

Pelan pelan jago pedang buta mencabut kembali pedang kayunya dan diserahkan kepada Liong Tian im. katanya:

"Hati hatilah kau adik Liong, ilmu pedang aliran Cing shia pay selamanya mengutamakan kecepatan dan keganasan, jangan terlalu terburu napsu mencari keuntungan, ingat tujuan kita disini mencari Sancu adalah . . ."

Liong Tian im manggut-manggut "Siaute akan mengingatnya selalu." Kemudian sambil merentangkan pedang kayunya didepan dada, ujarnya kepada lelaki itu: "Saudara adalah pos penjagaan yang ke berapa?"

Laki-laki itu tertegun sesaat, kemudian katanya:

"Aku Kim Lek, hanya seorang penjaga bukit biasa, aku tidak berhak untuk menempati ke tiga pos penjagaan tersebut apa maksud menanyakan persoalan ini ?"

Liong Tian im menarik kembali pedangnya ia berkata, "Kalau begitu aku tak jadi bertanding denganmu, aku hanya bermaksud menembusi ini penjagaan tak ingin membuang tenaga untuk seseorang yang sama sekali tak ada sangkut pautnya, harap kau sudi membawa jalan buat kami saja."

Kim Lek segera meloloskan pedangnya, kemudian sambil membentak geram:

"Kau memandang hina diriku."

"Oh, soal ini mah tidak berani." Liong Tian im tertawa hambar, "aku hanya tak ingin membuang tenaga dengan percuma."

"Keparat !"

Jelas Kim Lek tak bisa mengendalikan hawa amarah yang berkobar dalam dadanya, setelah mendengus berat-berat, pedangnya segera digetarkan membentuk sembilan kuntum bunga pedang sebesar kepalan, setelah itu dengan suara dingin ia membentak.

"Hari ini, bila kau tidak meninggalkan sebuah lenganmu, jangan harap tempat ini bisa kau lewati dengan mudah."

Dari getaran pedang lawan tadi, Liong Tian im dapat merabai kalau lelaki ini sudah memperoleh pelajaran ilmu pedang tingkat tinggi, kontan hatinya terperanjat semacam hawa amarah yang berkobar muncul dalam hatinya selapis hawa napsu membunuh pun menyelimuti seluruh wajahnya.

"Kalau begitu kau memaksa aku untuk turun tangan?" tegurnya dengan suara dingin.

Kim Lek segera menggetarkan pedangnya ke tengah udara, lalu tertawa terbahak bahak.

"Haaaahh haah haaaah diatas bukit Cing shia banyak terdapat jago lihay, sedang aku tak lebih hanya seorang prajurit tak bernama yang berjalan dipaling depan.."

Sambil membentak nyaring pedangnya segera diayunkan ke depan melepaskan sebuah bacokan dahsyat.

Bacokan mana sekilas pandangan seperti sama sekali tak bertenaga akan tetapi ujung pedangnya justru membawa desingan angin tajam yang menggidikkan hati serangan yang mantap dan dahsyat semacam ini dengan cepat mengejutkan kembali bagi Liong Tian im.

Menghadapi keadaan seperti ini Liong Tian im segera menarik napas panjang-panjang, buru-buru segenap hawa murninya dihimpun ke ujung pedang, tampak sekilas cahaya hitam berkelebat lewat, sepasang pedang telah saling melakukan tiga kali perubahan jurus.

Walaupun  gerakannya dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, namun gerakan tubuh dari Kim lek tidak terhitung lambat, pada saat Liong Tian im menggetarkan pedangnya pedang Kim Lek sudah menembusi kabut pedang lawan dan meluncur tiba.

Tak terlukiskan rasa terperanjat Liong Tian im menghadapi keadaan seperti ini, satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya, dia segera berpikir:

"Sungguh tak disangka, hanya seorang lelaki penjaga bukit saja begini sulit dihadapi, tampaknya bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk menembusi ketiga pos penjagaan mereka secara mudah."

Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, dia sudah melejit ketengah udara dengan gerakan cepat, begitu lolos dari ancaman pedang lawan, pedang kayunya secara beruntun melepaskan tiga buah serangan berantai.

Berhubung dia sudah terbiasa menggunakan senjata
patung Kim mo sin jio yang berat, maka setelah menggantinya dengan pedang secara tiba tiba, semua gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa, sering kali gerakan pedangnya kelewat ganas, tidak gampang ditujukan kearah sasaran secara jitu.

Tapi dalam melepaskan tiga buah serangan berantainya sekarang dia telah menggunakan segenap tenaga dalam yang dimilikinya, tampak cahaya pedang memancar kedepan, segulung cahaya hitam tahu-tahu sudah memancar dari ujung pedang tersebut. Bayacg pedang bergetar tiga kali, seperti sungguhan seperti juga tipuan, dengan perasaan terperanjat Kim Lek menjerit keras lalu menarik pedangnya sambil mengundurkan diri, segumpal rambut yang rontok jatuh mengotori wajahnya, ketika Kim Lek mencoba untuk meraba kepalanya, dengan perasaan terkesiap ia menjerit tertahan, paras muka segera berubah pucat pias seperti mayat.

"Kau . . ." serunya gemetar.

Walaupun saat itu jago pedang buta Bok Ci tak dapat menyaksikan jalannya pertarungan antara kedua orang itu, namun dari pendengarannya yang tajam dia dapat menduga jalannya pertarungan yang barusan berlangsung.

Dengan perasaan tercengang diapun berseru:

"Adik Liong, benar benar di luar dugaanku, ternyata kepandaianmu dalam ilmu pedangpun sedemikian lihaynya, bila mataku sudah sembuh nanti, toako harus mengajakmu untuk bertanding!"

Cepat cepat Liong Tian ini menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Ucapan toako terlalu serius" katanya, "masa siaute berani beradu kepandaian dengan toako."

Sementara itu paras muka Kim Lek telah berubah menjadi pucat keabu-abuan, dia amat berduka sekali atas kekalahan yang dideritanya, bi TUFBV dengan wajah malu, menyesal beres rr par marah dia menghela napas panjang lalu mengebaskan pedangnya dengan gemas, teriaknya keras keras: "Aku tidak percaya kalau kau lebih tangguh daripada diriku.
."

Mendadak dari arah mulut lembah kedengaran seseorang membentak penuh kegusaran:

"Kim Lek, kan masih tidak memimpin mereka datang kemari. ."

Sewaktu mendengar suara bentakan gusar itu, sekujur tubuh Kim Lek gemetar keras, se akan-akan terhantam oleh martil berat yang tak berwujud, sesudah tertegun sesaat buru buru serunya:

"Hamba terima perintah!"

Sorot matanya segera dialihkan kewajah Liong Tian im setelah itu ujarnya lebih jauh:

"Silahkan saudara sekalian berangkat, pos pedang pertama sudah siap menantikan kedatangan anda!"

Jago pedang buta tertawa dingin, dia menerima kembali pedang kayunya dari tangan Liong Tian im, kemudian dengan pedang menggantikan tongkat dia menutul diatas permukaan tanah dan berjalan lebih dulu.

Terpaksa orang lainnya turut menyusul dari belakang.

Orang yang bertugas menjaga pos pedang pertama adalah dua orang lelaki beralis mata tebal dan berjenggot hitam, sorot mata kedua orang itu tajam bagaikan sembilu, pakaiannya berwarna hitam dan terbuka pada belahan dadanya hingga nampak tubuhnya yang kekar berotot serta penuh dengan bulu hitam itu.

Kim Lek memberi tanda dengan gerakan tangan kepada ke dua orang itu, kemudian cepat cepat berlalu dari sana.

Dengan suara dingin Jago pedang buta Bok Ci berkata: "Apa kedudukan kalian berdua di bukit Cing shia?"
Lelaki yang berada disebelah kiri itu tertawa nyaring lalu menjawab:

"Haah, haaaa, haaaa, kami adalah petugas penjaga benteng."

"Apa?" Jago pedang buta terperanjat "petugas penjaga benteng? Kau maksudkan bukit Cing shia ? Ataukah . . ."

"Aah, kau mengerti apa." tukas lelaki itu sambil mengulapkan tangannya, "Walaupun Cing shia adalah nama bukit, namun tiada orang tahu kalau dibukit ini terdapat sebuah benteng besar, asal kau sanggup menembusi tiga buah pos penjagaan kami, niscaya benteng tersebut dapat kalian saksikan sendiri."

Mendadak jago pedang buta membentak keras pedangnya membacok kedepan secepat sambaran kilat, jurus serangan tersebut dilancarkan secara tiba-tiba membuat dua orang lelaki itu sama sekali tidak menyangka.

Tampak pedang kayu itu bergerak Iewat, tahu-tahu ujung senjata tersebut telah muncul pelan diatas tubuh kedua orang lelaki tersebut. Lelaki yang berada disebelsb kiri segera meraung gusar, teriaknya penasaran:

"Jurus serangan ini tak bisa dihitung !"
Dengan wajah dingin seperti es jago pedang buta berkata: "Yang dimaksudkan sebagai ilmu pedang tingkat tinggi
adalah penggunaannya dalam keadaan tanpa siaga, ilmu pedang yang ada di dunia ini bersumber dari satu sekalipun masing masing aliran memiliki keistimewaan yang berbeda, walaupun dalam seranganku yang ku gunakan adalah suatu tipuan yang memanfaat kan kesempatan baik namun serangannya tepat sekali dan telak. Nah, pos penjagaan ini telah kami lalui, harap kalian berdua suka menyingkir untuk memberi jalan lewat !"

Walaupun ke dua orang lelaki itu merasa tidak puas dengan kekalahan yang dideritanya tapi mereka pun tak bisa berbuat apa apa sesudah saling berpandangan sekejap akhirnya ke dua orang itu mengundurkan diri dari situ.

Jago pedang buta dan Liong Tian im ber jalan bersama sama dengan langkah lebar sedangkan Cui lo sianseng dan putra kesayangannya tetap akan tinggal disitu atas prakarsa sendiri karena mereka sadar bahwa tenaga dalam yang dimiliki terlampau cetek, mereka tetap tinggal disitu sambil menunggu Cing shia sancu melepaskan mereka berdua pulang.

Dalam hutan yang lebat penuh tumbuhan dan bunga yang kecil dan berwarna putih bau harum semerbak menyebar ke mana-mana mendatangkan perasaan segar bagi siapapun juga. Liong Tian im menarik napas dalam dalam dia merasa dadanya segar dan nyaman dipetiknya sekuntum bunga putih itu dari tanah.

Mendadak paras mukanya berubah hebat dimana sorot matanya memandang tampak di depan butan bunga itu berdiri berjajar tiga orang kakek bersenjata pedang yg persis menghadang jalan pergi mereka berdua.

Ke tiga orang kakek yang berwajah dingin menyeramkan  dan mengangkat pedang mereka tinggi tinggi itu mengenakan pakaian yg beraneka ragam ada yg berbaju kuning, merah  dan biru.

Mereka bertiga berdiri menyebarkan diri masing masing menjaga sebuah posisi yang berbeda.

Jago pedang buta memperhatikan suasana disekitar situ, begitu sudah didengar situasi yang dihadapinya, mendadak paras mukanya berubah menjadi amat serius, katanya sambil menggeleng.

"Adik Liong, aku kuatir pos penjagaan Ini tidak gampang untuk ditembusi."

Liong Tian im sendiripun turut merasakan betapa anehnya ketiga orang kakek itu memegang pedangnya dengan cepat ia menyadari kalau ketiga orang jago lihay dari Cing-shia-san yang berwajah dingin menyeramkan ini jauh lebih sukar dihadapi daripada jago kelas satu dalam dunia persilatan.

Cukup memperhatikan sikap lawan yang tenang dan mantap itu, sudah dapat diketahui bahwa mereka adalah jago lihay dalam hal ilmu pedang. Sambil tertawa hambar jago pedang buta berkata: "Kaiian bertiga hendak menggunakan berapa jurus sebagai batasannya ?"

Siapa tahu pihak lawan berlagak seolah olah tidak mendengar perkataan tersebut ke enam sinar mata mereka yang tajam bagaikan sembilu hanya mengawasi dua orang lawannya tanpa berkedip, pedang diangkat sejajar dada, terhadap segala benda yang berada disekitar sana, mereka hampir boleh dibilang tidak memandangnya barang sekejap mata pun, jago pedang bata mendengus dingin.

"Hmm, kalau toh kalian segan berbicara, terpaksa aku harus membuat kelancangan terhadap kalian!"

Sekalipun dimulut dia berbicara ringan, akan tetapi gerakan tubuhnya sama sekali tak berani berayal, senjatanya segera dibalik dan membentuk satu lingkaran busur ditengah udara, ujung pedangnya memancarkan tiga titik cahaya tajam dan masing masing mengancam tubuh dan bahu ke tiga orang kakek tersebut.

Mendadak ke tiga orang kakek itu bersatu padu, pedang mereka bersama sama melakukan tangkisan yang persis menghadang serangan pedang dari jago pedang buta.

Terasa ada segulung tenaga tekanan tak berwujud yang menumbuk badan jago pedang buta dan memaksanya mundur sejauh tiga langkah.

Tak terlukiskan rasa kaget jago pedang buta menghadapi kejadian seperti ini, pedang kayunya diputar sebanyak tiga kali, akan tetapi tak sekali pun dia berhasil mendesak ciusuh nya, diam diam keringat dingin membasahi tubuhnya karena panik.

Jurus serangan yang digunakan ke tiga orang kakek itu amat rumit dan lihay, sulit untuk diketahui berasal dari arah mana, ditambah lagi tenaga serangannya maha dahsyat, membuat ancaman orang-orang itu benar benar mengerikan hati.

Tatkala jago pedang buta melihat serangan yang dilancarkan selama ini tidak mendatangkan hasil, diam diam ia mulai gelisah, kebetulan dia menjumpai adanya sebuah titik kelemahan, dengan cepat dia mainkan jurus Thian yang Hau kuo (ujung langit lebar luas), sebuah jurus serangan yang paling lihay dari Thian yang kiam hoat.

Tampaklah seluruh langit diliputi oleh bayangan pedang yang menyilaukan mata, seperti antara serangan nyata seperti pula suatu tipuan, dengan cepat jalan darah kematian di  tubuh ke tiga orang itu tertutup rapat.

Sedemikian lihaynya ancaman tersebut boleh dibilang sungguh menggetarkan hati siapa pun.

Ke tiga orang kakek itu seperti tertegun, dia sama sekali tidak menyangka kalau jurus gerangan musuhnya begitu lihay dan sempurna.

Mereka bertiga segera membentak bersama, masing masing orang segera melancarkan serangan dahsyat dari tiga arah yang berbeda.

Pada saat itulah, dari tengah udara berkumandang suara tertawa dingin, kemudian kedengaran seseorang berseru keras: "Mengapa kalian tak menghentikan serangan"

Sewaktu menyerang tadi gerakan pedang yang dilakukan ke tiga orang kakek itu dilancarkan sangat cepat, sewaktu ditarik kembali pun dilakukan dengan cepat.

Tampak cahaya pedang menjadi sirap, bayangan manusiapun segera melayang turun ke atas tanah.

Kelihatan jago pedang buta kecapaian setengah mati hingga seluruh badannya basah oleh keringat, napasnya tersengkal sengkal dengan lelah tubuhnya terduduk diatas tanah, Liong Tian im menjadi sangat terperanjat sekali, buru buru dia maju kemuka sambil berseru:

"Toako, toako !" jago pedang buta menyeka air keringat yang membasahi jidatnya, kemudian dengan napas tersengal berkata:

"llmu pedang dari Cing shia san memang terhitung paling lihay dikolong langit, siau-heng merasa tak mampu untuk menandinginya, coba kalau tiada orang yang menghentikan pertarungan tadi, sekarang, besar kemungkinannya aku sudah tewas diujung pedang . . ."

Dalan pada itu, ketiga orang kakek berpakaian warna warni tadi indah mengundurkan diri ke belakang, pedang mereka dlluruskan ke bawah tampaknya mereka sedang menunggu perintah selanjutnya dari orang yang membentak tadi.

Jangankan bersuara, berkutik saja tak berani, ke tiga orang itu hanya berdiri ditempat semula bagaikan sebuah patung arca. Suara keliningan yang amat merdu tersebar di seluruh angkasa, suaranya merdu bagaikan suaoara dewa dewi yang datang dari angkasa.

Dari balik kebun bunga yang harum semerbak pelan pelan berjalan keluar seorang gadis berbaju serba putih, gadis itu cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, hidungnya mancung matanya jeli dan bibirnya kecil mungil.

Sambil membawa sekuntum bunga yang segar ia berjalan mendekat dan memandang sekejap sekeliling arena.

Tatkala biji matanya yang jeli berhenti di atas wajah Liong Tian im, mendadak seluruh badannya membeku, kemudian pipinya yang putih berubah menjadi merah dadu karena jengah.

Buru buru dia menarik kembali sorot matanya lalu tegurnya dengan suara dingin:

"Barusan, berapa jurus serangan yang kalian pergunakan ?"

Paras muka ketiga orang itu berubah hebat, sahutnya hampir berbareng:

"Lima belas jurus !"

"Bagaimana pesanku tadi ?" tegur si nona.

Peluh dingin bercucuran membasahi seluruh tubuh ketiga orang itu, ujarnya dengan nada gemetar "Nona Bu berpesan agar kami mengalahkan lawan didalam dua belas jurus saja,"

"Dan hasilnya ?" jengek si nona yang cantik menarik itu sambil tertawa dingin. Mendadak tiga kakek yang bertenaga dalam sempurna itu membungkukkan badannya seraya berkata dengan suara gemetar:

"Hasilnya kami telah menggunakan tiga jurus lebih banyak, nona Bu, harap kau suka menjatuhkan hukuman yang setimpal buat kami bertiga, hal ini harus disalahkan kepandaian kami yang tak becus sehingga menyia-nyia kan pendidikan dari nona Bu."

Kembali nona itu mendengus dingin.

"Hmm. sekarang kalian harus pergi keruang Hway beng tong untuk menerima hukuman, setelah itu baru datang lagi menjumpai aku..."

"Baik!"

Dengan sikap yang sangat menghormat mereka bangkit berdiri dari atas tanah dan buru buru meninggalkan tempat  itu. Ditinjau dari sikap yang begitu hormat dari ketiga orang jago pedang maha lihay terhadap gadis yang tak diketahui apa kedudukan nya ini, tidak sulit untuk menduga kalau  kedudukan gadis ini didalam bukit Cing shia san amat tinggi sekali.

Liong Tian im berdiri termangu mangu sambil memperhatikan gadis tersebut, meski begitu dihati kecilnya dia sedang menduga duga kedudukan dari gadis itu.

Sinona berbaju putih itu melirik sekejap kearah sang pemuda, lalu berkata: "Secara beruntun kau telah menembusi dua pos penjagaan kami, hal ini menunjukkan kalau kalian memang punya hal untuk bertemu dengan sancu, cuma kalian harus tahu, pos penjagaan terakhir dari bukit kami di jaga oleh tujuh menerima ketiga jurus serangannya, agar kalian tahu, terpaksa aku mesti memberitahukan hal ini lebih dulu kepadamu . . ."

Jago pedang buta segera tertawa nyaring.

"Hahaaahaaa ., . . sejak kecil aku Bok Ci sudah mendapat pelajaran dari orang tuaku agar tidak mengundurkan diri  dalam suasana yang betapa sulit pun, sekarang aku telah menembusi dua pos penjagaan kelian berarti masih ada satu pos penjagaan terakhir yang harus kutembusi, harap nona tidak usah banyak berbicara lagi, silahkan saja membawa kami kesana."

"Ah bukannya tidak memandang sebelah mata terhadap kemampuanmu " ujar nona berbaju putih itu dingin, "dua  buah pos penjagaan yang berada didepan tidak lebih hanya suatu percobaan saja, sedangkan percobaan yang sebenarnya berada pada pos penjagaan yang ketiga ini. Aku rasa dalam hati kecil kalian pasti jauh lebih mengerti keadaan kalian yang sesungguhnya daripada aku, dapatkah menghadapi mereka, aku yakin kalian sudah memiliki perhitungan sendiri . . ."

Liong Tian im merasa amat terharu sekalil tanpa terasa dia berseru lantang:

"Nona siapa namamu? Apekah kedudukan mu di atas bukit ini. . ."

Nona berbaju putih itu mengerling sekejap ke arahnya, lalu menjawab: "Aku bernama Bu Siau huan dibukit ini ."

Mendadak gadis itu seperti merasa terperanjat oleh karena sesuatu hal, buru buru dia menelan kembali perkataan yang belum sempat diutarakan itu, sementara sepasang matanya yang jeli memancarkan serentetan sinar yang sangat aneh.

Selang berapa saat kemudian, gadis itu berkata lagi dengan suara sedingin es:

"Kalian naik ke bukit ini dengan mempertaruhkan jiwa raga, sebenarnya karena apa ?"

Sambil tertawa Jago pedang buta menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya:

"Nona Bu, maaf kalau aku mempunyai sebuah kesulitan yang terpaksa tak bisa ku utarakan kepadamu, persoalan ini baru bisa kubicarakan setelah berjumpa dengan Sancu nanti,"

Bu Siau huan mendengus dingin "Hmm! Aku tidak bermaksud untuk mengetahui akan hal ini, kalian ikutlah aku menuju ke pos penjagaan tersebut !"

Dia membalikkan badannya lalu pelan-pelan berjalan menuju ke depan.

Suasana senja yang gelap sudah mulai menyelimuti seluruh angkasa, angin dingin berhembus kencang mendatangkan suasana yang amat dingin sekali.

Tapi, walaupun Bu Siau huan hanya mengenakan seperangkat baju yang amat tipis, ia tidak merasakan kedinginan, bahkan dari langkahnya yang ringan bisa diketahui kalau gadis yang cantik tapi dingin ini memiliki ilmu silat yang baik, sebab setiap langkah tubuhnya selalu enteng dan gesit seperti burung walet.

Jalanan bukit yang lebar dan beralaskan batu kasar dengan cepat telah lenyap dari angkasa, di ujung jalanan tersebut nampak seorang hwesio gundul yang bertelanjang kaki sedang pelan pelan berjalan keluar, dia membawa tambah dan menggembol sebilah pedang pula, pedang yang berwarna kuning berkibar terhembus angin, benar benar nampak  perkasa sekali.

Waktu itu dengan sepasang mata yang melotot sebesar gundu, dia sedang berdiri disitu bagaikan seorang malaikat raksasa.

Tatkala hwesio itu menyaksikan Liong Tian im dan jago pedang buta berjalan mendekat, sambil berpaling dia tertawa terbahak bahak.

"Haaah.. haaah, orang yang hendak menembusi pos penjagaan telah datang, kawan kawan keluarlah kalian semua!"

Menyusul gelak tertawa yang nyaring itu, enam sosok bayangan manusia yang tinggi besar dan kekar melompat keluar dari tempat persembunyiannya masing masing.

Ternyata mereka adalah ketujuh orang lelaki kekar yang menggembol pedang, agaknya inilah yang disebut sebagai tujuh orang Sio tong tersebut.

Tiba-tiba Bu Siau huan berpaling dan tertawa, katanya: "Diantara sekian banyak anggota pelindung hukum, terhitung mereka bertujulah yang memiliki tenaga dalam paling tinggi, namun orang orang itu termasuk pula jago kelas tiga, masih belum bisa berhak untuk memasuki benteng, setiap orang yang dapat masuk keluar didalam benteng harus berhasil lulus dari percobaan sancu,"

Jago pedang buta serta Liong Tian im sama merasa terperanjat, mereka tidak menduga kalau dibukit Cing shia terdapat jagoan yang begitu banyak.

Padahal salah seorang saja di antara mereka bila terjun kedunia persilatan, kepandaian silat yang mereka miliki sudah cukup membuat mereka menjagoi suatu daerah tertentu.

Tapi menurut keterangan dari Bu Siao huan mereka tak lebih hanya jago jago kelas tiga, bagaimana dengan Cing shia sancu sendiri? Bukankah kepandaiannya sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.

Sikap si hwesio terhadap Bu Siau huan nampak menghormat sekali, sedang ke tujuh orang sin tong itupun menunjukkan rasa tercengang dan keheranan setelah menyaksikan orang yang mencoba menyerbu ke dalam pos penjagaan mereka tak lebih hanya dua orang pemuda. 

Tiba tiba Bu Siau huan mengulapkan tangannya sambil berseru:

"Minggir, minggir..."
"Nona Bu. . ." hwesio itu nampak tertegun. "Kuperintahkan kepada kalian untuk menyingkir sudah
kalian dengar belum ?" seru Ba Siau huan dingin. Walaupun ke tujuh orang Sin tong itu menaruh perasaan jeri dan menghormat terhadap Bu Siau huan, akan tetapi mereka sama sekali tidak menggerakkan tubuh masing masing, dengan sorot mata yang tidak habis mengerti orang orang itu mengawasi si gadis dengan wajah tercengang.

Hwesio itu nampak tertegun, serunya:

"Sancu pernah berpesan, bila orang orang yang hendak memasuki bukit kita tak berhasil menembusi pos penjagaan yang ke tiga ini, maka jangan harap mereka dapat berjumpa dengan Sancu. Nona Bu, harap kau jangan menyusahkan hamba sekalian . . . "

"Gai Keng-kong, kau berani melawan aku?" bentak Bu Siau huan dengan gusar sekali.

"Tidak berani !" hwesio itu mundur melangkah dengan perasaan terkejut, "Cuma peraturan ini telah diterapkan semenjak cousu pendiri partai Cing shia, kami orang-orang bawahan tak berani melepaskan tugas dan tanggung jawab ini, sebagai orang yang pintar tentunya nona Bu juga mengetahui bukan akan ketatnya Sancu menjaga peraturan perguruan."

Di pihak sancu sana ada aku yang tanggung, pokoknya tak bakal sampai menyusahkan kalian .. " seru Bu Siau hoan lagi dingin.

Walaupun ke tujuh orang Sin tong itu enggan melepaskan kedua orang pemuda tersebut dengan begitu saja, akan tetapi kedudukan nona berbaju putih itu sangat tinggi dan  terhormat, dan terpaksa mereka menyingkir ke samping dan membiarkan orang orang itu berjalan lewat. Mendadak Bu Siau huan berbisik kepada Jago pedang buta.

"Gunakan jurus Bong bong bu kek mu itu dan perlihatkan kepada mereka. . .!"

Sudah banyak tahun jago pedang buta menempa diri dalam hal ilmu pedang, dia pun merupakan ahli waris dari si Pedang langit, dengan gerakan tubuh yang sangat ringan dia berkelebat ke depan, pedang kayunya diayun kan kemuka berulang kali.

Menanti bayanganpun mereka sudah lenyap dari
pandangan mata, batu cadas yang berada ditepi jalan itu baru retak dan terbelah menjadi dua bagian.

Kontan saja peristiwa ini mengejutkan ke tujuh orang Sin tong tersebut. . .

"Traaangg. . ."

Bunyi genta yang berat dan nyaring bergema amat kerasnya ditengah kegelepan malam dan membelah keheningan yang mencekam disitu.

Bersamaan dengan menggemanya suara genta sebuah lingkaran cahaya yang amat besar meluncur datang dari kejauhan dan tiba diatas tebing bukit yang terjal.

Tampak sepasang tangan Bu Siau huan yang memegang pedang mendorongnya sejajar ke tengah ndara, cahaya pedang menunjuk ke tengah angkasa yang Iuas.

Dihadapannya berdiri seorang sastrawan setengah umur yang merangkap tangannya menghadap ke tengah udara, gumpalan asap putih yang muncul dari atas ubun ubunnya kelinatan makin lama semakin meluas dan bertambah besar. .
.

Mendadak kabut putih itu menjadi sirap, lelaki setengah umur itu menghembuskan napas panjang dan pelan pelan bangkit berdiri, sorot matanya menatap ke angkasa dan lama sekali termenung sambil membungkam diri.
Bu Siau huan menarik kembali pedangnya, lalu berkata: "Yaya, mengapa kau tidak bersuara?" Cing shia sancu
menghela napas panjang.

"Aaai. . . Siau huan" katanya, " mengapa kau harus melepaskan ke dua orang itu masuk kemari? Tahukah kau bahwa kedua orang ini merupakan orang yang tak ingin yaya jumpai..."

"Yaya" ujar Bu Siau huan dengan sedih. "mengapa sih kau bersikap begitu garam? Mereka memiliki kepandaian silat yang hebat, seandainya sampai tewas ditangan ke tujuh orang sintong tersebut, sesungguhnya pun disayangkan apalagi belum tentu mereka adalah dua orang yang yaya maksudkan.."

Cing shia sancu menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Mungkin lantaran pikiran dan perasaanku yang berbaik hati, akibatnya mendatangkan bibit bencana yang tak terkirakan bagi Cing shia san kita, aaii, kesemuanya ini garagara yaya terlalu menyayangi dirimu dihari hari biasa."

"Yaya, kau kelewat takut urusan." sahut Bu Siau huan sambil mencibirkan bibirnya yang kecil, "walaupun Cing sbia san belum pernah berhubungan dengan umat persilatan namun tidak melarang umat persilatan datang kemari, dengan kepandaian silat yang begitu hebat dari Cing shia san kita, sudah sepantasnya jika kita terjun pula ke dalam dunia persilatan . . ."

ooOoo oo ooOoo

"NGACO BELO!" bentak Cing shia sancu dengan gusar, "Siau huan, mengapa kau bisa mempunyai jalan pemikiran
semacam ini ? Ketahuilah, dunia persilatan merupakan gudang dosa dan kejahatan, asal kau sudah melangkah ke dalamnya maka selama hidup jangan harap bisa melepaskan diri, akhirnya bukan saja kau akan rusak nama dan kehilangan kedudukan besar kemungkinan Cing shia san tempat kita memupuk kekuatan ini akan turut musnah tak berbekas.."
Dengan perasaan tak puas Bu Siau huan berseru: "Kita mempunyai ilmu pedang yang tisda keduanya
dikolong langit, kita mempunyai ilmu silat yang dapat  menjagoi persilatan siapa tahu kalau dikemudian hari keluarga Bu akan menjadi keluarga nomor satu di kolong langit ? Yaya mengapa kau tidak dapat memahami keadaan ? Siapakah orang yang tidak menyukai nama besar ? Siapa yang tak mau kekuasaan hebat? Kita sebagai manusia tidak terkecuali pula dalam hal ini."

"Mencari nama mengobral kekerasan, cara hidup semacam itu hanya perbuatan dari budak budak masyarakat."

"Tapi toh tidak semuanya demikian ?" Mendadak Cing shia sancu bertanya: "Siau huan, kau masih ingat dengan peristiwa yang berlangsung sepuluh tahun berselang?"

"Tentu saja tahu," sahut Siau huan setelah tertegun.  "waktu aku berusia delapan tahun. urusan apapun tidak kupahami, aku hanya tahu ada orang melarikan diri dari bukit ini, yaya, mengapa kau menanyakan persoalan ini secara tibatiba?"

Cing-shia sancu kelihatan amat murung, ia tanya dengan perasaan yang sangat sedih:

"Kau tidak tahu betapa seriusnya kejadian tersebut buat kita, walaupun Cing shia pay kita diketahui orang persilatan, bukan berarti setiap orang akan mengetahui hal ini. menurut apa yang yaya ketahui, dalam dunia persilatan terdapat tiga partai yang tidak mencari nama ke tiga partai ini masing masing mempunyai keistimewaan masing masing, mereka semua berambisi untuk memimpin dunia persilatan, hanya saja mereka takut terhadap Cing shia san kita, sebab semenjak kita mendapatkan induk diri suara, yakni genta emas ilmu pedang kita sudah terada jauh diatas ke tiga partai tersebut."

"Partai mana saja itu?" tanya Bu Siau huan keheranan sepasang matanya melotot besar, "mengapa aku tidak mengetahui akan hal ini.."

Cing shia sancu tertawa.

"Ketiga partai itu adalah Lo hu Kiam bun Hiat im, sesudah berhenti sejenak. dia melanjutkan: "Murid kita yang minggat dari gunung itu begitu terjun ke dunia persilatan, ketiga partai itu pasti akan mendapat tahu dalam perjalanan yaya turun gunung waktu itu, telah kusaksikan terjadinya perubahan besar dalam dunia persilatan, sekalipun perubahan itu tak sampai menyeret Cing shia san kita, namun mempunyai sangkut paut yang besar sekali dengan partai kita."

Trang . .. !

Dari puncak bukit itu berkumandang lagi suara genta yang berbunyi rendah dan berat, gema suara yang berkumandang diangkasa, menyebar sampai diseluruh bukit Cing shia.

Cing shia sancu mendongakkan kepalanya memandang cuaca, lalu bertanya pelan:

"Siau huan, sampai dimanakah hasil latihan mu tentang ilmu pedang?"

Bu Siau huan mengerakkan pedangnya menciptakan serentetan cahaya putih, ia menyahut:

"Baru mencapai dua bagian kesempurnaan selisih jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu pedang terbang dari yaya, mungkin selama hidup sulit bagiku umuk melatih kepandaian yang sejajar dengan kepandaian yaya."
Cing shia sancu menepuk bahunya dan menghibur. "Jangan cepat putus asa, ilmu pedang terbang adalah
kepandaian yang dikendalikan oleh perasaan, asal kau sanggup mengendalikan diri sambil menghimpun tenaga suatu hari kau pasti akan berhasil memahami inti sari dari ilmu pedang terbang itu." Pada saat itulah tampak sesosok bayangan manusia melompat datang dengan gerakan ringan, setelah memberi hormat serunya:

"Sancu, dua orang bocah keparat itu berniat keras hendak bertemu dengan sancu, sebelum mendapat perintah dari sancu, kami tak berani melepaskan mereka."

"Ehmm, akan kulihat."

Tiga sosok bayangan manusia segera bergerak ke depan dan lenyap dibalik kegelapan.

Sinar lentera memancar keluar dari balik jendela menyinari suasana remang remangnya senja, dua sosok bayangan manusia berdiri tegak di depan sebuah gedung, empat orang lelaki yang bersenjata lengkap berjaga jaga diluar pintu dengan wajah serius, terhadap sikap gusar dari dua orang pemuda diluar pagar mereka sana sekali tidak ambil perduli.
Terdengar Jago pedang buta Bok Ci berkata dengan gusar: "Tahu kalau sancu enggan menjumpai kami, tak nanti kami
akan datang kemari . . ."

"Bila sancu enggan berjumpa dengan kita, apakah kita tak dapat pergi mencari mereka. . ." sambung Liong Tian im dengan kening berkerut.

Ke dua orang itu termenung beberapa saat lamanya, mereka seperti lagi mempertimbangkan suatu persoalan.

Mendadak terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang, ternyata Cing-shia sancu telah munculkan diri di sana. Sorot mata Cing shia sancu dialihkan sekejap ke atas wajah kedua orang itu, mendadak ia merasakan hatinya bergetar keras, ia merasa hawa membunuh yang tersungging diujung bibir Liong Tian im membuat hatinya tercekam.

Sambil tertawa ewa Bu Siao huan berkata: "Dialah Sancu, yaya ku!"
"Ada urusan apa kalian berdua datang ke bukit Cing shia ini?" tegur Cingshia sancu dingin. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar