Cincin Maut Jilid 03

Jilid 03
"TlDAK, TIDAK, KAU . . . kau pasti salah ingat, kau jangan memaksa kepadaku untuk berkata apa apa, kumohon kepadamu... pandanglah pada keadaan jalan api menuju neraka yang kuderita, harap kau jangan bertanya apa apa kepadaku "

Liong Tian Im sadar, dibalik musibah yang menimpa dirinya semasa masih kecil dulu, sebenarnya terkandunglah suaru rahasia yang maha besar, seingatnya dia dibesarkan dalam suatu lingkungan hidup yang dingin kaku tanpa perasaan, sejak kecil tak pernah merasakan hangatnya kehidupan manusia.

Orang-orang yang berada di sekelilingnya merupakan manusia manusia kejam yang berhati buas, setiap saat ingin membunuhnya, diantaranya pernah ada lima orang pendeta yang berusaha menyiksanya dengan penggunaan racun jahat.

Sekalipun ayah dan ibunya berusaha keras untuk melindunginya, akan tetapi kawanan pendeta itu tak pernah mengijinkan ayah ibunya mendekati dia, entah mengapa seolah-olah di balik kesemuanya itu seperti terkandung suatu rahasia yang amat besar.

Liong Tian im termenung sambil berpikir keras, lalu dengan suara menahan geram teriak nya. "Hui ko, benarkah kau enggan berbicara?"

Hui ko siansu terengah engah beberapa saat lamanya, lalu menjawab, "Aku tak dapat mengatakannya. Setiap orang yang mengetahui persoalan tentang keluargamu, tak seorangpun yang bisa hidup " katanya kemudian.

"Hm. masa kekuatannya sanggup melebihi Jian hun kim mo
?" dengus Liong Tian im gusar.

Siapakah manusia didunia ini yang sanggup menghadapiku Hiat ci kim mo?"

"Hian ci kim mo . . ." Hui ko siansu mengulangi nama itu sampai dua kali, kemudian baru katanya dengan keras, "Baiklah akan kuberitahukan nama seseorang kepadamu, mungkin di dunia ini hanya dia yang bisa memberitahukan hal ini kepadamu. . ."

"Siapakah dia ?" tanya Liong Tian im sambil memburu maju kedepan.

"Leng Hong ya dari Tee ong kok (lembah raja-raja) dia mengetahui masalah yang menyangkut keluargamu . . ." "Leng Hongya dari lembah Tee ong kok ?" Secara lamat lamat dia masih ingat, tatkala kawanan pendeta yang buas itu belum memasuki rumahnya, memang terdapat seorang lelaki setengah umur berbadan seperti seorang Kaisar hilir mudik didalam rumahnya.

"Benarkah dia adalah Leng Hongya ?" gumamnya kemudian.

Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk mengumpulkan kembali seluruh ingatannya, berusaha untuk menemukan kembali sesuatu bayangan dari balik kenangannya, tapi kesana sebut terlampau kabur, setitik cahaya terang yang muncuI, kembali jadi kabur dan membingungkan.

Kosong, semuanya kosong, . . , dibalik kenangan masa kecilnya yang begitu jauh, ia tak berhasil lagi menemukan kesan jelas, setitik bekaspun tak nampak . . . .

Memandang penderitaan yang dialami Liong Tian im ketika membayangkan kembali kejadian dimasa lampau, Hui ko siansu merasa hatinya amat sedih seperti ditusuk tusuk jarum.

Suatu siksaan batin yang tak terlukiskan dengan kata-kata terasa sepuluh kali lipat lebih menyiksa badan daripada hal yang mana pun tiba tiba ia menjerit keras lalu muntah darah segar . . .

"Kee ... kenapa kau ?" Liong Tian im menjerit kaget.

Hui ko siansu menghela napas panjang, sepasang matanya dipejamkan rapat rapat, dii merasa dirinya terikat oleh sumpah, sumpah yang membuat rahasia yang tertanam dalam hatinya selama dua puluh tahunan ini tidak mampu dilampiaskan keluar, oleh karena itu batinnya merasa tertekan, terasa amat tertekan.

Sekujur badannya gemetar keras, sementara mulutnya bergumam terus:

"Induk dari suara itu, genta emas yang besar"

Di sisi telinganya seolah olah mendengar genta yang amat nyaring dan menggetarkan seluruh angkasa, dengan mata ketakutan ia melotot besar dan memandang dinding gua tanpa berkedip, dia seperti menyaksikan kembali peristiwa yang mengerikan itu.

Seluruh badannya mengejang keras, tangannya menggigil, pelbagai ingatan yang seram terasa bersimpang siur didepan mata. darisana bisa diketahui betapa tertekannya batin orang ini.

Tapi suaranya sudah tak jelas lagi, bibimya walau gemetar keras tanpa terdengar ucapan apa yang bisa diutarakan olehnya.

"Huiko, apa yang hendak kau katakan ?" Liong Tian im segera maju sambil menggoyangkan badannya.

Sayang kesadaran Hui ko siansu waktu itu sudah kalut didalam benaknya hanya dipenuhi oleh pelbagai kenangan yang mengerikan hatinya, sepasang mata yang terbelalak sayu mengawasi Liong Tian im dengan gugup dan ketakutan.

"Jangan memaksa aku, kau tak usah mendesak aku, tak akan kuberitahukan rahasia tentang genta emas itu kepadamu, Oooh . , . coba kau dengar, genta emas itu berbunyi lagi, aku seperti mendengar suaranya lagi, cepat kau dengar . . ."

Tubuhnya yang gemetar keras seperti hendak merangkak bangun, sementara mulutnya mengigau terus:

"Coba kau dengar, coba kau dengar, betapa merdunya suara genta emas tersebut. . ."

"Hey, genta emas apa yang kau maksudkan?" teriak Liong Tian im.

Tapi Hui ko siansu seolah olah sudah kesetanan, apa yang diucapkan hanya kata kata yang aneh, membuat Liong Tian im tertegun dan mengerutkan dahinya rapat rapat.

Darimana dia bisa tahu kalau pada seratus tahun berselang perkumpulan Kim mo kau runtuh dan musnah gara gara genta emas itu sehingga mengakibatkan dunia persilatan mengalami goncangan keras? Waktu itu siang malam pelbagai perguruan mengirim jago jagonya untuk mencari jejak genta emas tersebut.

Setelah kalut puluhan tahun kemudian, pelan pelan suasana baru mulai mereda kembali.

Siapa tahu pada lima puluh tahun berselang ketika Jan hun kiam mo muncul kembali, masalah genta emas itunya ikut menjadi hangat kembali.

Pada saat itu, Jian hun kiam mo mendapat keterangan yang mengatakan bahwa genta emas tersebut disimpan oleh para anggota Hud bun, itulah sebabnya ia lantas membunuhi
anggota Hud bun secara besar besaran, tapi akhirnya hasilnya tetap nihil. Padahal para jago dari pelbagai partai yang bergabung dalam Hud bun waktu itu tak pernah mendapatkan genta emas itu, tapi mereka pun tak berani mengutarakannya keluar, terpaksa pencarian dilakukan semakin gencar lagi.

Kebetulan sekali, dalam suatu pertemuan tanpa sengaja  Poh mia giam-lo Liong Siau thian berhasil mendapatkan kabar tentang genta emas itu, sejak saat itulah dia mulai dikejarkejar oleh anggota Hud-bun, walaupun akhirnya genta emas tersebut berhasil disembunyikan, tapi diapun kehilangan nyawanya gara gara kejadian itu.

Bukan demikian saja, bahkan menyeret pula istri dan satu satunya anak mereka . . . .

Waktu itu orang yang bertugas memaksa Liong Siau thian untuk menyebutkan jejak genta emas itu edalah lima orang murid paling tua dari anggota kelompok Hud bun, sedang Hui ko siansu waktu itu masih merupakan seorang hwesio cilik yang mengikuti gurunya, tak heran jika dia mengetahui semua peristiwa itu dengan jelas...

Dia masih ingat, tiga bulan setelah Liong Siau thian menerima sepuluh macam siksaan yang paliig kejam, akhirnya dia mengatakan juga tempat penyimpanan genta emas tersebut.

Sesungguhnya kelima orang jago yang tergabung dalam Hud-bun itu terdiri dari jago jago pelbagai aliran dan perguruan, setelah genta emas itu ditemukan mereka pun mulai ribut sendiri tentang siapa yang berhak mendapatkan genta tersebut.

Akhirnya terjadilah suatu peristiwa berdarah yang menyebabkan kematian kelima orang jago lihay itu, halmana menyebabkan dunia luar pun sama sekali kehilangan jejak terhadap genta emas tersebut.

(Tentang kisah yang sesungguhnya akan di tuturkan dibagian yang lain, harap pembaca maklum)

Sementara itu Hui-ko siansu sedang memandang ke arah dinding gua dengan wajah termangu mangu, dia mengawasi lumut hijau di atas dinding kemudian tertawa panjang dengan suara yang mengenaskan sepasang tangannya mencakar kesana kemari secara sembarangan sementara mulutnya mengigau memperdengarkan suara yang aneh.

Buru-buru Liong Tian-im berseru keras:

"Hui-ko, Hui ko . . ."

Sckujur badan Hui ko siansu kembali gemetar keras, tiba tiba dia membalikkan badan sambil mengawasi Liong Tian im dengan wajah termangu, bibirnya gemetar keras tapi tak sepotong suara pun yang terdengar, "Aaah. . ."

Kehidupan Hui ko siansu ibaratnya api dalam lentera yang kehabisan minyak, bergoyang kesana kemari dengan lemah.

Setelab mendesis tadi, jari tangannya mulai mencakar ke angkasa, kemudian biji matanya ikut membalik ke atas.

Buru buru Liong Tian im menjulurkan jari tangan kanannya siap untuk menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Hui ko. Sayang pendeta itu sudah muntahkan darah segar dari mulutnya.

"Hui ko, kau . . . " Kepala Hui ko siansu telah terkulai dan mati, sepasang matanya masih melotot besar bagaikan gundu, hal mana menambah seramnya suasana disekitar sana.

Liong Tian im segera merasakan pandangan matanya menjadi gelap, setitik cahaya yang lirih ini telah padam, memandang mayat Hui ko yang membujur di tanah, dia menggelengkan kepalanya lalu melangkah keluar dari sana dengan tindakan berat.

Angin malam masih berhembus kencang, mendatangkan udara yang dingin dan menggidikkan hati, Dengan wajah murung Liong Tian Im berjalan menelusuri kegelapan malam, bayangan pepohonan yang bergoyang seolah-olah sedang mentertawakan dia, seperti juga merasa iba oleh nasibnya yang buruk.

Diatas langit sana terdapat beberapa titik bintang yang sedang berkedip-kedip, Liong Tian-im mendongakkan kepalanya memandang kegelapan angkasa, lalu gumamnya setelah menghela napas.

"Ooh Tian ! Apa yang harus kulakukan untuk menemukan letak lembah Tee-ong kok tersebut. dalam tubuhku mengalir darah yang dibebani dendam kesumat, hingga kapankah semua dendam sakit hati itu baru bisa kuselesaikan ?"

Helaan napasnya terbawa oleh angin malam menyebar di dalam lembah sana, sampai lama, lama kemudian baru membuyar...

Suasana hening. Liong Tian im dengan membawa langkah kakinya yang berat dan gontai tak tenang menelusuri batuan dalam lembah menuju kedepan sana. Kembali dia berpikir:

"Sekarang, aku harus ke mana?"

Jalan didepan sana terbentang luas, namun dia tak tahu kemanakah harus pergi.

Setelah tertawa getir, kembali dia berpikir:

"Genta emas pelenyap suara yang dimaksudkan oleh Huiko siansu tadi entah adakan sesuatu hubungan dengan pesan terakhir dari suhu? Apa pula hubungannya dengan kematian ayah ibuku?"

Setelah maju beberapa langkah ke depan kembali dia berhenti sambil berpikir lebih jauh:

"Bagaimanapun juga, genta emas itu sudah pasti mempunyai sangkut paut yang besar sekali dengan diriku, tampaknya aku harus menemukan dahulu genta emas itu, siapa tahu dengan ditemukannya genta tadi maka semua persoalan akan menjadi beres?"

Setelah menggigit bibir, dia bergumam lebih jauh:

"Tapi, kemana aku harus mencari untuk menemukan genta emas itu? sekalipun Leng Hong-ya dari lembah Tee-ong-kok mengetahui akan hal ini, tapi . . . dimanakah letak lembah Tee ong-kok tersebut ?"

Pelbagai ingatan seakan-akan berkecamuk didalam benaknya, dia berusaha dapat membuang jauh jauh segenap kemurungannya yang mencekam perasaannya, tapi semakin bernapsu dia berusaha, semakin banyak masalah yang datang mencekam benaknya. Disekanya embun yang membasahi pakaiannya, lalu berpikir lebih jauh:

"Ai, buat apa aku mesti berpikir begitu banyak? Kalau toh lembah Tee ong kok disebut sebagai Tee ong (raja diraja), sudah pasti banyak orang persilatan yang mengetahui akan diri Leng Hongya !" setelah tertawa lirih dia melanjutkan:

"Asal aku terjun ke dunia persilatan dan mencari tahu tempat tinggal Leng Hongya, apa susahnya untuk mencari letak lembah Tee ong kok tersebut ?"

Ia hanya merasakan segala kemurungan dan kekesalan hatinya dapat dilampiaskan keluar, membuat ia tidak memikirkan suatu persoala apapun, setelah berpekik panjang, sambil merentangkan sepasang lengannya segera melejit keatas dahan pohon.

Ditengah kegelapan malam yang mencekam tampak sesosok bayangan manusia meluncur ke muka dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, dalam waktu singkat bayangan tersebut telah lenyap tak berbekas.

Ia menganggap dirinya sudah bebas dari kemurungan dan kekesalan yang menguasahi benaknya, maka dengan hati yang lega ia berlalu dari situ.

Padahal kemurungan justru seakan-akan bayangan badan dibelakangnya, tak sedetikpun pernah meninggalkan dengan begitu saja, hanya ada kalanya dia tertinggal di belakang saja.

Setiap orang tak akan melepaskan diri dari kemurungan sebab inilah tanggung jawab sebagai manusia, juga merupakan penderitaan bagi seorang manusia. Fajar baru saja menyingsing, embun pagi belum luntur, dibawah timpaan cahaya sang surya yang lembut dan hangat, tampak dedaunan di dalam hutan amat hijau dan segar dengan titik embun diatasnya.

Liong Tian im menghela napas panjang sambil melompat keatas kudanya, lalu pelan-pelan melakukan perjalanannya menelusuri jalan raya memandang ujung jalan nun di situ, perasaannya kian lama kian bertambah berat.

"Aaaai. . ." dia menghembuskan napas panjang, selapis kabut kemurungan dan kepedihan terpencar keluar lewat biji matanya yg dalam bagaikan samudra.

"Kehidupan manusia bagai impian." pikirnya, "seperti juga embun pagi diujung rumput, kehidupannya hanya berlangsung menjelang terbitnya sang surya, padahal kehidupan manusia  di alam semesta ini, bukankah amat singkat pula. . ."

Dengan pedih ia menggelengkan kepalanya berulang kali, dari sakunya mengeluarkan sepucuk saputangan bersulamkan bunga mawar merah lalu diendusnya diujung hidung.

Bau harum semerbak membuat dadanya terasa jauh lebih lega, ingatannya tanpa terasa terbawa pula kesisi tubuh sinona yang cantik bagaikan bidadari itu.

Pelbagai ingatan melintas kembali dalam benaknya, sinar gembirapun memancar keluar dari balik matanya, ia terkesan kembali oleh senyumannya yang manis. terkenang tangannya yang lembut dan halus.

"Hanya cinta yang terindah didunia ini," kembali dia bergumam, "hanya cinta membuat kehidupan manusia lebih berarti, lebih bergairah." Membelai saputangan yang halus itu, dia seakan-akan menggenggam tangannya yang kecil dan lembut, kemudian sorot matanya dialihkan dan memandang kembali ketiga huruf kecil di sisi sulaman bunga mawar merah itu.

Suatu perasaan hangat segera menyusup masuk kedalam hatinya, ia berbisik lirih:

"Leng Ning-ciu, Leng Ning-ciu.... " Bisik punya bisik akhirnya dia tertawa sendiri, dibalik lekukan bibirnya yang tipis, senyuman itu terasa penuh kegiatan, penuh cemoohan pada diri sendiri.

Dia berpikir lebih jauh.

Dia mana tahu kalau aku begitu rindu kepadanya? Aaai... Entah dia berasal dari mana seandainya saat itu aku tidak buru-buru berangkat ke hutan Tay-san, niscaya akan kukuntil di belakangnya secara diam-diam, yaa semuanya ini gara-gara kawanan hwesio bedebah....

Berpikir sampai disitu, rasa bencinya terhadap para hwesio kian lama kian bertambah hebat...

Pada saat itulah diantara debu yang beterbangan diujung jalan raya sana muncul sebaris pendeta berbaju abu-abu yang sedang berjalan mendekati.

Waktu itu, Liong Tian-im sedang memandang langit yang biru dengan wajah termangu seluruh benaknya hanya penuh berisikan bayangan tubuh dari Leng Ning ciu.

Hal ini membuatnya lupa untuk melanjutkan perjalanan, akibatnya diapun berdiri tertegun di tengah jalan raya dengan tubuh mematung. Kian lama rombongan pandeta itu kian mendekat, sekarang dapat terlihat bahwa dibelakang rombongan pendeta itu terlihat ada sebuah tandu berwarna hitam yang digotong oleh enam belas orang pendeta.

Tiba-tiba Liong Tian im tersentak kaget oleh suara langkah kaki yang kian mendekam ketika ia mendongakkan kepalanya, tampak di dalam tandu itu duduk dua orang pendeta tua yang sedang duduk memejamkan mata, pendeta yang berada disebelah kiri itu mengenakan pakaian lhasa berwarna kuning dengan sebuah telapak tangannya dirangkapkan didepan  dada, ia sedang berkomat kamit membaca doa sebaliknya orang yang disebelah kanan adalah orang hwesio tua berjubah abu-abu yang memegang tasbeh, sambil menghitung biji-biji tasbehnya, diapun komat-kamit membaca doa kehadiran hwesio-hwesio itu segera menghancur lumatkan semua kehangatan yang baru saja mencekam perasaan Liong Tian  im, sorot matanya pelan-pelan dialihkan dari atas jubah  hwesio keatas pita yang tergantung dimuka pintu tandu.

Pita pita kuning yang berwarna emas, tampaknya bergoyang kian kemari terhembus oleh embusan angin pagi yang sejuk.

Dia mendengus dingin, keningnya segera berkerut dan selapis hawa pembunuhan yang tebal menyelimuti seluruh wajahnya.

"Kawanan hwesio ini pasti sudah tahu kalau pihak Go bi   pay kehilangan tanda lencana Kui long tiap leng, mereka pasti telah menerima surat dari Leng kong si keledai gundul agar berkumpul di bukit Go bi..."

Makin lama rombongan pendeta itu semakin mendekat didepan mata, tapi Liong Tian im masih berdiri tegak ditengah jalan tanpa mengubris kehadiran rombongan pendeta itu, bahkan memandang sekejap pun tidak.

Dua rombongan pendeta yang berjalan di sebelah kiri dan kanan itu sudah tiba di depan mata sekarang, tatkala dilihatnya Liong Tian im masih memparkir kudanya di tengah jalan tanpa maksud untuk menyingkir, serentak mereka hentikan langkahnya dan bersama-sama melotot kearah Liong Tian im.

"Omintohud!" salah seorang pendeta setengah umur segera menegur sambil menudingkan toyanya, "sicu, harap kau segera menyingkir Hongtiang kami dari Nga thay dan Heng san..."

Memangnya setelah hwesio dari Ngo thay dan Heng san, lantas boleh tak tahu aturan tukas Liong Tian im sambil tertawa dingin "sudah kujelajahi semua jalan diseluruh dunia tapi belum pernah kujumpai kawanan hwesio kurang ajar seperti kalian."

Tampaknya hwesio itu sama sekali tak menyangka kalau pemuda tersebut bakal mencari gara-gara dengannya, kontan paras mukanya berubah menjadi merah padam.

"Kau, kau, harap jangan begitu kasar kepadaku." serunya agak tergagap.

Kembali Liong Tian-im tertawa nyaring.

"Haah, haaah, haaah, kebenaran akupun hendak mencari kalian, kini kalian datang mengu diriku lebih dulu, tampaknya kalian sudah bosan hidup !" Ujung bajunya segera dikebaskan ke depan, segulung angin pukulan yang lembut dengan cepat meluncur kemuka menghantam tubah hwesio tersebut.

Ia sedang mendongkol dan marah karena ia mimpi indahnya diporak porandakan oleh kehadiran orang, apalagi setelah berjumpa dengan kawanan hwesio yang tak tahu aturan, kontan saja kemarahannya semakin membara.

Oleh karena itu, dalam keadaan marah, sebuah pukulan dasyat segera dilontarkan kedepan.

Meski serangan itu nampaknya sangat lembut dan halus, namun di balik kelembutan mana justru terkandung suatu kekuatan yang luar biasa sekali...

oooooOooooo "Hei, mau apa kau..." hwesio itu tertegun .
Belum lagi ucapan itu selesai diutarakan, dadanya sudah terhajar telak oleh hembusan angin pukulan lawan.

"Blaamm!" seluruh badannya terangkat ke udara dan mencelat sejauh dua kaki lebih di posisi semula.

Darah segera memancar keluar kemana-mana dan membasahi tubuh kawanan hwesio lainnya.

Dengan tenang Liong Tian im masukan kembali saputangan itu kedalam sakunya, kemudian menjepit perut kudanya dan membiarkan binatang itu pelan-pelan berjalan lewat melalui celah antara dua orang kawanan pendeta.

"Omintohud .." Pujian syukur kepada keagungan Buddha bagaikan guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, berkumandang dari balik tandu tersebut.

Liong Tian im amat terperanjat, ia merasa suara itu begitu keras dan memekikkan telinga sehingga hampir seluruh ruang kosong di arena terpenuhi oleh raungan suara tersebut.

Ia tak menyangka kalau Thian-bong taysu dari Ngo-thaysan memiliki tenaga dalam sesempurna itu, sekulum senyuman yang semula menghiasi ujung bibirnya segera lenyap tak berbekas.

Tandu yang berisikan Thian hong siansu dari Ngo-thay-san serta Cu goan siansu dari Heog Kn-pay itu segera bergerak maju kedepan.

Dua orang pendeta agung dengan sepasang mata yang tajam bagaikan sembilu itu serentak dialihkan keatas wajah Liong Tian im,

Mereka saling bertukar pandangan sekejap, rasa kaget dan tercengang menghiasi seluruh wajahnya, dibalik sinar mata mereka terkandung perasaan tanda tanya besar.

"Sicu, tolong tanya apa sebabnya sicu menghalangi jalan pergi pinceng sekalian ?" tanya Thian hong siansu.

Liong Tian im balas menatap wajah Thian hong siansu dengan tatapan dingin dan ketus.

Pelbagai kenangan yarg tragis dimasa muda dan kecil dulu kembali melintas dalam benaknya . . . Sekalipun pemandangan tersebut agak buram namun mempunyai suatu kekuatan yang besar untuk menerjang dalam hatinya, seperti gulungan ombak ditengah samudra, tiada hentinya menyerang masuk kedalam hatinya. . .

Dengan kening berkerut dan suara sedingin es, dia lantas berseru:

"Siapa yang bilang kalau aku menghalangi jalan pergi kalian
?" justru kalian kawanan keledai gundullah yang telah menghalangi kepergianku. . ."

Kemudian setelah mendengus dingin tambalnya:

"Keledai-keledai gundul bau yang tak tahu malu. . ."

Thian hong siansu makin tertegun, dia tak menyangka kalau Liong Tian im begitu tak tahu adat, terhadap seorang pendeta agma yang sudah berusia lanjut pun sikapnya kasar, tak tahu sopan dan membentak-bentak.

Paras mukanya segera berubah hebat, sekujur badannya gemetar keras karena gusar, serunya kemudian:

"Kau, kenapa memaki orang seenaknya saja?"

"Hmm, aku hanya memaki dirimu, hal ini sudah terhitung cukup sungkan terhadap kau! Mengerti?" Liong Tian im mengejek sinis

Pemuda ini memang berwatak aneh, dingin kaku dan menyendiri sejak kecil ia sudah memiliki pandangan yang sempit dan dendam terhadap segala orang dan kejadian didunia ini, tak heran kalau cara kerjanya pun picik serta jauh diiuar kebiasaan umum. Dicaci maki seperti itu, Thian bong siansu membentak keras lantaran gusar, dia segera meloncat keluar dari dalam tandunya.

Meski sedang marah sekali, tapi bagaimana pun juga dia terhitung salah seorang pendeta yang beriman tebal, gerak geriknya masih tetap tenang dan berwibawa.

Begitu mencepai permukaan tanah, dia lantas merangkap tangannya di depan dada serunya berkata dengan suara dalam :

"Sicu berani begitu tak tahu adat dan peraturan, aku rasa tentu ada sesuatu yang kau andalkan, dengan memberanikan diri lolap ingin meminta beberapa petunjuk ilmu silat dari sicu" selama berapa waktu berkelana dalam dunia persitatan, ia sudah melakukan penyelidikan yang seksama terhadap kemampuan kawanan pendeta dari pelbagai perguruan yang ada di daratan Tionggoan, diapun tahu kalau Thian bong siansu merupakan jago kelas satu dari Ngo-tay-san, oleh  sebab itu meski ucapannya takabur dan angkuh, diam-diam hawa murninya telah dihimpun ke dalam telapak tangannya bersiap siap melancarkan serangan dahsyat.

Pelan-pelan dia melompat turun dari kudanya lalu menepuk pelan kuda tersebut, menanti kuda putih tadi sudah menyingkir dari sana, ia baru memalingkan wajahnya.

Tiba-tiba saja selapis hawa pembunuhan yang amat tebal menyelimuti seluruh wajahnya, mencorong sinar tajam dari balik matanya, kemudian telapak tangan  kanannya pelan pelan disilangkan di depan dada, ujarnya dengan suara dalam:

"Dalam lima gebrakan, aku akan membuat kau tergelepar ditengah genangan darah!" Mendadak Cu-goan siansu dari Heng san melompat keluar pula dari dalam tandu.

Dia menghadang jalan pergi Thian hong taysu, kemudian ujarnya:

Taysu, harap kau suka mendengarkan perkataanku lebih dulu !"

"Cu-goan siansu, kau ada petunjuk apa??" Thian-hong siansu agak tertegun.

Sinar matanya segera dialihkan ke arah mana Cu goan siansu sedang memandang, paras mukanya kontan berubah hebat, sepasang matanya pun ikut melotot besar ke arah cincin besar yang melingkari jari tengah tangan karuan Liong Tian-im.

Rasa kaget cemas dan ngeri telah menyelimuti seluruh  wajah Cu goan siansu, tatkala sorot matanya dialihkan kembali dari cincin keatas wajah Liong Tian-im, seketika itu juga jubah yang dikenakan menggelembung amat besar.

Thian hong siansu tahu Cu goan siansu telah mengarahkan ilmu Kim goan it ichi kan dari aliaran Heng-san nya. maka jubah pendetanya jadi menggelembung besar.

Dengan wajah serius Cu goan siansu maju dua langkah kedepan. lalu dengan wajah serius katanya:

"Sicu, bolehkah pinceng pinjam sebentar cincin yang kau kenakan itu . . .?" Liong Tian im pelan pelan mengangkat tangan kanannya keatas, sekilas cahaya terang yang amat menyilaukan mata segera memancar keluar.

Baru saja kelihatan cahaya cincin iblis emas itu melintas didepan mata Thian hong siansu hatinya telah bergetar keras, tanpa terasa tubuhnya mundur beberapa langkah.

Dengan penuh rasa kaget bercampur ngeri, dia berbisik agak gemetar.

"Cincin iblis emas !"

Liong Tian-im tidak menyangka kalau Cincin iblis emas telah menanamkan pengaruh begini besar dalam dunia persilatan, menyaksikan kedua orang pendeta itu ketakutan setengah mati, tanpa terasa muncul juga perasaan bangga diatas wajahnya yang dingin.

Sekuat tenaga Cu-goan siansu berusaha untuk mengendalikan rasa takut dan kaget yang mencekam hatinya, dia segera menegur:
"Kau adalah Hiat ci kim mo (iblis emas berjari darah)?" "Betul!" sahut Liong Tian im sambil tertawa dingin, "sayang
kalian berdua mengetahui kelewat lambat."

Cu goan siansu segera merasakan sekujur badannya gemetar keras, hatinya betul betul dibikin keder oleh perkataan Liong Tian im yang dingin dan tak sedap didengar itu, tanpa terasa dia mundur selangkah ke belakang.

Akan tetapi, begitu membayangkan kembali peristiwa tragis yang menimpa kawanan hwesio diatas bukit Thay san serta berita-berita tentang keganasan Hiat ct-kim mo dalam dunia persilatan, kemarahannya kembali berkobar.

Sinar matanya segera memancarkan rasa gusar yang membara, dengan hawa napsu membunuh menyelimuti benaknya, ia berjalan mendekat, kemudian tegurnya dengan suara dalam:

"Hian ci kim mo, apa dosa dan sakit hati kami Heng-sanpay dengan dirimu? Apa se babnya kau bunuh suatu pinceng..."

Liong Tian-im tertawa seram.

"Hahahaaa...haaa,..haaaah semua hwesio yang ada didunia ini pantas dibunuh sampai habis!" teriakannya.

Cu-goan siansu membentak keras, sepasang telapak tangannya dilontarkan kedepan keras-keras, tubuhnya mengikuti gerakan mana melejit setinggi empat depa, kemudian dengan jurus Kim-liong it khi kang yang maha dahsyat dari Heng san pay, dia cengkeram tubuh lawan.

Liong Tian-im mendengus dingin, tubuhnya bergeser beberapa langkah kesamping, lalu telapak tangannya diayunkan kemuka, seketika itu juga segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat bagaikan amukan ombak di tengah samudra langsung meluncur kedepan.

"Blaammm. . ."

Tatkala dua gulung tenaga pukulan saling membentur satu sama lainnya, timbulah suatu pusaran angin berpusing yang disertai dengan ledakan keras. Cu-goan siansu hanya merasakan dadanya menjadi kencang, segulung hawa darah segera bergelak dalam dadanya.

Buru-buru dia kendorkan semua tenaga kekuatan yang berada didalam tubuhnya, mengikuti tenaga serangan musuh, dengan sempoyongan dia mundur dua langkah kebelakang.

"Hmmm. . . ! Kau mesti berlatih lima tahun lagi sebelum sanggup menandingi diriku!" ejek Liong Tian im sambil mengulum sekulum senyuman dingin yang amat sinis.

Cu-goan siansu menarik napas panjang, sepasang telapak tangannya ditempelkan di depan dada, segenap kekuatan badannya dihimpun keatas sepasang telapak tangan lalu dengan tatapan serius diawasinya wajah Liong Tian im tanpa berkedip, muIutnya membungkam dan ia tak ambil perduli bagaimanakah sikap lawan terhadap dirinya.

Sementara itu, Thian hong siansu telah mengambil keluar sebatang toya siancang yang amat besar dari dalam tandunya, lalu menghampiri Liong Tian im dengan langkah lebar.

Kepada dua baris pendeta yang berdiri tertegun dikedua belah sisi arena, bentaknya dengan suara dalam: "Mengapa kalian tidak segera persiapkan barisan? Hari ini, bagaimana pun juga Hiat ci kim-mo harus dapat dibekuk batang lehernya."

Dua baris pendeta yang berada disekeliling arena merupakan jago-jago lihay pilihan dari Ngo-tay pay serta Heng-san-pay. tubuh mereka segera bergerak menyebarkan diri, dalam waktu singkat Liong Tian-im sudah dikepung di tengah arena. Dalam sekejap mata bayangan golok saling berkelebat, cahaya golok yang tajam dan menyilaukan mata segera membentuk selapis kabut golok yang dingin ditengah udara dan mengurung seluruh badan Liong Tian-im.

Dengan pandangan sinis Liong Tian-im mengawasi sekejap kawanan pendeta bergolok disekitar situ, suatu sikap menghina terlintas diatas wajah, dia mengangkat kepalanya memandang awan putih diangkasa tambil tertawa dingin tiada hentinya.

"Huuh, hanya mengandalkan kawanan keledai gundul macam kalian juga ingin membekuk aku Hiat-ci kim-mo? Hmm, kalian benar-benar manusia yang tak tahu diri!"

Mencorong sinar tajam dari balik matanya dia menyambung dengan nada dalam.

"Hari ini, bila tidak kuberi sedikit kehebatan dihadapan kalian, dan tentunya kalian tak akan tahu manusia macam apakah aku Hiat-ci kim-kim-mo ini !"

Ucapannya dingin hambar tanpa emosi, tapi justru sikapnya yang angkuh, jumawa dan tak pandang sebelah matapun terhadap lawannya ini membuat kawanan pendeta bersenjata golok itu keder dan bergidik dengan sendirinya.

Thiat-hong siansu menggerakkan toyanya menciptakan berlapis Iapis bayang toya tebal, ditengah lapisan cahaya tersebut, ia membentak keras:

"Hiat ci kim mo, kau tak segera bunuh diri?" "Huuh. jalan pemikiranmu kelewat menggelikan !" Liong Tian im melirik sekejap kewajah Thian hong siansu dengan sinar mata dingin, lalu menghela napas.

Begitu sepasang mata Thian hong siansu saling membentur dengan sepasang mata lawan yang lebih tajam dari sembilu itu, tiba tiba timbul perasaan bergidik dari hati kecilnya, tak tahan dia menyusut mundur sejauh berapa langkah.

Dengan cepat dia berusaha untuk mengendalikan harga dirinya itu di samping diapun merasa keheranan, mengapa dia bisa begitu takut menghadapi seorang pemuda yang cuma berusia dua puluhan tahun ini.

Baginya, peristiwa semacam ini boleh dibilang belum pernah dijumpainya.

Siapa tahu, belum habis ingatan tersebut melintas didalam benaknya, Liong Tian im telah mengayunkan tangan kanannya ke muka, tampak jari tengah dan telunjuknya disentilkan kedepan, seketika itu juga sekilas cahaya merah meluncur ke muka.

"Aduuuh. . ."

Seorang pendeta setengah umur disisi kiri yang sedang bersiap-siap melancarkan sergapan memekik keras karena kesakitan sekujur badannya gemetar keras sambil memegangi dada sendiri, tubuhnya roboh terkapar di atas tanah dan  tewas seketika juga.

Dari celah celah jari tangannya, darah kental nampak jatuh bercucuran amat deras, dalam waktu singkat seluruh jubahnya telah berubah menjadi merah. Liong Tian-im segera berpaling dan mendengus dengan suara dingin:

"Aku telah menyiapkan seratus biji cincin iblis emas umuk dipergunakan sebentar pasti akan kubagikan seorang sebuah sebagai kenang-kenangan, kalian tak perlu merasa begitu gelisah .. ."

"Hmmm. . ."

Mendadak dari belakang tubuh Liong Tian im terasa munculnya segulung tenaga pukulan yang amat dahsyat menerpa datang, sambil mendengus dingin, tanpa berpaling dia lantas membalikkan telapak tangannya sambil melepaskan sebuah pukuIan.

"Blaaamm "

Tubuh Cu-goan siansu meluncur kedepan seperti terbang, ditengah udara ia berjumpalitan berapa kali, kemudian secepat kilat menerjang turun lagi kebawah.

Liong Tian-im tak sama sekali tak menyanka kalau ciangbujin dari Heng san pay begitu sudi melakukan sergapan secara pengecut dikala orang sedang berbicara, betul ancaman mana tak sampai melukai dirinya, tapi cukup menggetarkan hatinya sehingga hawa darah didalam dadanya bergolak keras.

Wajahnya yang dingin mengejang keras, napsu membunuh makin tebal menyelimuti wajahnya, dia memandang sekejap tubuh Cu goan taysu yang sedang meluncur turun dari tengah udara, kemudian sepasang lengannya digetaran berbareng, secara beruntun dia lancarkan tiga buah serangan berantai. Ke tiga buah serangan tersebut dilepaskan dengan kecepatan luar biasa, lagi pula datangnya secara beruntun yang disertai suara guntur dan angin puyuh, dalam keadaan di udara mustahil bagi Cu goan siansu untuk membalikkan kembali tubuhnya.

Dia hanya merasakan ketiga buah serangan berantai itu datangnya membawa kekuatan pukulan yang dahsyat ibaratnya air sungai yang mengalir lewat, dimana kekuatan tersebut menerjang bersama ke atas tubuhnya tanpa beraturan.

Dalam posisi terdesak dan perasaan gelisah, dengan cepat dia himpun tenaga Kun goan-it khi-kang yang telah dilatihnya selama puluhan tahun, sambil membentak keras, telapak tangannya segera ditekan kebawah.

"Blaamm. . .!" ditengah benturan keras, terdengar Cu-goan siansu menjerit kesakitan, bagaikan layang-layang putus tali tubuhnya meluncur setinggi dua kaki dan terjatuh empat kaki dari posisi semula.

Kawanan hwesio lainnya serentak membentak keras, dipimpin oleh Thian hong siansu mereka lancarkan serangan secara massal.

Dalam waktu singkat bayangan manusia berkelebat, cahaya golok menyelimuti angkasa, antara gerakan kawanan hwesio itu, terciptalah selapis jaring tenaga pukulan yang kuat disekitar badan mereka.

Liong Tian im mendengus dingin, tetapi tangannya seperti pisau tajam melancarkan bacokan berantai, dalam sekejap mata hawa pukulan berpusing, dan jaring cahaya golok yang menyelimuti diluar badannya terdesak mundur sejauh satu kaki lebih.

Hawa napsu membunuh samakin membara diatas wajahnya, diam-diam ia berpikir:

"Kawanan hwesio ini benar-benar tak tahu diri, jika tidak kubunuh jahanam-jahanam tersebut, dianggapnya hatiku kelewat bajik !"

Begitu ingatan tersebut melintas dalam benaknya dengan cepat dia memutar badannya lalu melambung setinggi dua kaki ke tengah udara.

Kakinya segera menjejak ke bawah, tangan kanannya bergerak cepat meloloskan patung Kim mo sin jin dari dalam saku, bagaikan panglima langit saja ia membentak keras, lalu meluncur ke bawah dengan garangnya.

Seketika itu juga darah segar memercik ke mana-mana, jeritan kesakitan berkumandang saling susul menyusul, dalam waktu singkat sudah ada belasan orang pendeta yang roboh terkapar di tanah dalam keadaan tubuh tak utuh.

Seketika itu juga mayat membukit darah kental menggenangi seluruh permukaan tanah.

Liong Tian im melirik sekejap tumpukan mayat yang berserakan di tanah, ia nampai agak tertegun, kemudian sambil menggeleng gumamnya:

"Kematian dalam cara begini betul betul mengerikan sekali
!" Mendadak timbul suatu ingatan aneh dalam benaknya, membuat pemuda itu tak tega untuk menyaksikan pendeta pendeta tersebut tewas dengan batok hancur serta tubuh cacad .. .

"Aaai . . . !" dia menghela napas panjang, disimpannya kembali patung Kim mo sin jin tersebur ke dalam buntalannya, "untuk kali ini biarlah kulepaskan kalian semua !"

Dengan cepat dia membalikkan badannya, tidak perduli apakah kawanan pendeta yang belum mati itu baru apa, dia segera melompat naik ke atas kudanya siap siap meninggal kan kenyataan yang mengerikan itu.

Mendadak... Thian bong siansu melejit ke udara tanpa menimbulkan sedikit suarapun, setelah membuat satu gerakan bundar, dia menyerang tubuh Liong Tian im secara gencar.

Berada dalam keadaan tak siap, rasa jemu membunuh yang sesungguhnya sudah timbul dalam hati Liong Tian im tadi seketika lenyap tak membekas, tanpa berpikir panjang, jari tanganrya diayunkan ke atas untuk menahan tibanya tekanan yang dahsyat bagaikan bukit karang dari toya siancang lawan.

"Criiing....!" sekilas cahaya merah sepanjang dua inci memancar keluar dari ujung jari tangannya dan meluncur ke muka secepat kilat berada ditengah udara desingan itu makin mendesis hingga memekikkan telinga seolah olah hendak memecahkan kendang telinga saja ...

Thian-hong siansu amat terperanjat ingatan kedua belum sempat melintas lewat, "Criingl" toya tersebut telah patah menjadi dua bagian. Ia menjadi ketakutan setengah mati hingga paras mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat, buru-buru dia menjerit kaget dan menyingkir ke samping.

Sejak mempelajari ilmu Kiam-mo hiat ci (jari darah iblis emas) dalam lembah kematian di bukit Laa-san. hingga kini Liong Tian im tak pernah mencoba kepandaian itu secara sungguh-sungguh, mimpipun dia tidak menyangka kalau sebuah jari tangan yang begitu kecil ternyata memiliki kekuatan sedemikian dahsyatnya sehingga sanggup untuk mematahkan sebatang besi baja.

Oleh karena itu, untuk sesaat dia sendiripun dibuat tertegun, Hampir saja dia lupa kalau dirinya sedang berada dalam lingkungan amat berbahaya, untuk beberapa saat lamanya dia hanya berdiri tertegun sambil mengawasi jari tangan sendiri, sementara suatu perasaaa girang yang aneh hampir saja meledak ledak di dalam dadanya.

Dengan penuh kegembiraan dia berpikir: "Haa, sampai kini aku belum tahu kalau dalam tubuhku terbawa suatu kepandaian silat yg paling top di dunia ini, tak heran setiap hari suhu selalu menyuruh aku melatih diri dalam lembah kematian, dia pun pernah berpesan bahwa ilmu jari itu merupakan ilmu paling lihay dan terkeji dikolong langit, bila keadaan tidak terlalu memaksa, jangan di pergunakan sesuka hati. . " "Haaa....haaa ..haaa.."

Belum pernah dia tertawa tergelak seriang ini sejak ia tahu urusan, hatinya selalu membeku bagaikan air dimusim salju, tidak sekalipun ia pernah tertawa, meledah ledak seperti hari ini.

Tapi kali adalah untuk pertama kalinya dia tertawa, segalanya pikiran dan persoalan haru tersapu lenyap dari dalam benaknya, dia tertawa amat bebas, amat terbuka dan penuh dengan luapan perasaan yang berkobar kobar, Mendadak senyuman yang menghiasi ujung bibirnya itu lenyap seketika, sebuah telapak yang tangan dengan disertai  desingan angin pukulan yang maha dahsyat, tahu tahu sudah menyusup masuk kedepan dadanya tanpa  menimbulkan sedikit suara pun.

Berada dalam keadaan seperti ini, tubuh bagian atasnya segera menjatuhkan diri ke-belakang, dadanya ditarik keras sehingga membuat lambungnya melekuk kedalam, kemudian telapak tangan kanannya di ayunkan kedepan cepat-cepat.

"Plaakk !" kedua dua telapak tangan saling membentur di tengah udara, kedua buah tangan itu segera menempel satu sama lainnya.

Berkilat sorot matanya, terutama setelah ini mengetahui kalau orang yang sedang beradu tenaga dalam dengan dirinya ini tak lebih hanya seorang pendeta berjubah kuning yang berusia pertengahan

"Hmm!" dia mendengus dingin, telapak tangannya ditekan kebawah, tenaga serangan yang tiada batasnya segera mengalir keluar dari telapak tangannya itu, memaksa si hwesio mundur sejauh lima inci sementara sepasang kaki nya melesak kedalam tanah.

"Hiong-cing taysu, aku datang membantumu" Thian hong siansu membetak keras telapak tangan kanannya segera ditempelkan keatas punggung Hiong cing taysu, ketua dari Siau lim pai.

Begitu kekuatan mereka berdua saling bergabung menjadi satu, seketika itu juga tenaga dalam yang tercampur keluar dari tubuh Liong Tian im kena terdesak balik. Hiong-cing adalah ketua dari Siau-lim pay untuk generasi kali ini, tenaga dalamnya boleh dibilang amat sempurna.

"Tatkala dia menyaksikan keganasan patung kim-mo sin jin yang sedang meraja lela dibawah permainan Hiat ci kim rno, dia tahu bahwa dalam permainan senjata, tipis sekali harapan baginya untuk berhasil merebut kemenangan, maka menggunakan kesempatan dikala Liong Tian im sedang tertawa gelak karena kegirangan, dia bersiap siap menggunakan tenaga dalam hasil latihannya selama puluhan tahun untuk melangsungkan suatu pertarungan mati-matian melawan anak muda itu.

Siapa tahu, ilmu silat yang dimiliki Liong Tian im berasal  dari Kim mo tiong (aliran iblis emas) yang merupakan suatu aliran ilmu silat yang misterius sejak dulu kala, caranya  melatih tenaga dalam hampir berbeda sekali dengan cara yang dipergunakan oleh perguruan-perguruan didaratan Tionggoan, mereka memiliki jalan lain yang jauh lebih cepat memperoleh hasil meski berada dalam waktu yang relatif amat singkat.

Sejak berusia delapan tahun, Liong Tian-im telah diajak  Jian hun-kim mo naik kebukit Lau-san dan berdiam di gua Pek Soat-tong, sekalipun usianya masih muda, namun dalam dua belas tahun lamanya melatih diri secara tekun diatas bukit, membuat tenaga dilamnya yanj kuat berhasil menembusi dua urat penting dalam tubuh manusia yakni Jin meh dan Tok meh, sehingga membuat kepandaiannya berhasil mencapai pada puncaknya.

Begitu Hong-cing taysu turun tangan tadi seketika itu juga dia merasakan dadanya bagaikan ditekan oleh suatu kekuatan tenaga dalam yang kuat sekali sehingga hampir saja membuatnya menjadi sesak napas. Untung saja Thian-hong siansu datang tepat pada waktunya sehingga dengan demikian memberi kesempatan baginya untuk berganti napas.

Kini, paras muka dua orang pendeta agung itu berubah menjadi serius sekali, wajahnya berubah menjadi merah membara seperti korbaran api, tenaga dalam yang dimilikinya telah disalurkan keluar tiada hentinya, seakan-akan gulungan ombak samudra yang tiada putusnya menerjang tubuh Liong Tian im.

Si anak muda itu tertawa dingin tubuh bagian atasnya berputar dua puluhan kali dalam sekejap mata, mengikuti aliran tenaga serangan pihak lawan yang menderu deru, dia bergerak pula kian kemari dengan cekatan.

Suatu ketika, nampak lumpur dibawah kakinya saling menyebar ke empat penjuru, dua buah bekas telapak kaki segera membekas di atas tanah sedalam dua inci lebih, sebaliknya telapak tangan yang melancarkan serangan justru berhasil mendesak empat inci lebih kedepan.

Paras muka Hiong cing taysu dan Thian hong siansu berubih menjadi pucat pias seperti mayat, mereka tak menyangka kalau Liong Tian Im dapat mempergunakan ilmu Seng gip im sia ( bintang menghisap awan mengumpul ) dari aliran Seng sut hay, tampaknya tenaga dalam yang mereka miliki bakal mengering dengan sendirinya sebelum akhirnya mampus.

Sekulum senyuman kembali tersungging di ujung bibir Liong Tian im, pikirnya: "Tenaga dalam meminjam benda menyampaikan kekuatan yang kumiliki ini rasanya masih jauh berkecukupan untuk dipakai menghadapi kedua orang keledai gundul ini..."

Mendadak senyuman yang menghiasi bibirnya membeku, "BIaamm." sebuah pukulan dahsyat telah menghajar punggungnya keras-keras membuat badannya segera terjengkang ke muka . . .

Hiong-cing taysu dan Thian-hong siansu tidak menyianyiakan kesempatan yang sangat menguntungkan itu, sambil membentak keras, mereka himpun segenap tenaga dalam yang dimiliknya untuk melancarkan serangan yang mengerikan.

Liong Tian-Im meraung keras sambil muntah darah segartubuhnya mencelat setinggi tiga kaki lebih ke udara seperti layang-layang yang putus tali, setelah berjumpalitan berapa kali ditengah udara, badannya terjatuh kembali ke dalam sawah lebih kurang lima kaki dari posisi semula.

Sekuat tenaga Liong Tian im berpegangan di tepi sawah  biar tubuhnya jangan terbenam ke lumpur, lalu menarik napas panjang panjang guna menahan gejolak hawa darah yang menggelora didalam dadanya, kemudian pelan pelan dia bangkit berdiri.

Setelah tertawa penuh kcbencian, dia berpikir:

"Bukan kepandaian silatku tak sanggup menghadapi lawan, adalah mereka yang menyergap secara pengecut dari punggungku, hwesio hwesio jahanam, akan kubunuh mereka semua sampai ludas . . ." Sinar matanya segera dialihkan ke wajah Leng Kong taysu ketua dari Go bi pay, lalu sambil tertawa dia berkata:

"Oooh, rupanya perbuatan dari Leng kong taysu yang bernama besar didalam dunia persilatan, hmm , .. memangnya kalian orang orang Go bi pay merupakan kawanan pengecut berjiwa kerdil yang pandainya hanya menyerang orang dari belakang?"

Merah padam selembar wajah Leng kong taysu karena malu, katanya dengan segera:

"Bila sicu tidak menyerahkan kembali tanda lencana Kiu liong tiap leng tersebut, terpaksa pinceng akan menghadiahkan sebuah pukulan lagi kepadamu".

"Baik" Liong tian i-n mendengus dingin, serangan ilmu barusan telah menentukan nasib Go bi pay selanjutnya, bila aku Hiat ci kim mo tidak membantai Go bi pay dengan darah aku bersumpah tak akan berhenti .. ."

Begitu selesai berkata, mendadak tubuhnya meluncur ke depan melewati beberapa petak sawah dan menerjang ke arah mana kawanan pendeta itu sedang melakukan pengepungan.

Leng kong taysu membentak keras: "Hiong cing taysu, jangan lepaskan Hiat-ci kim mo!"

Sesungguhnya Hiong cing taysu dari Siau-lim pay adalah seorang pendeta yang saleh.

Sejak kegagalannya menghadapi serangan dahsyat dari Liong Tian im dengan kekuatan gabungan, dia sudah merasa malu dan menyesal sekali. Apalagi setelah menyaksikan Leng kong-taysu melancarkan sergapan secara pengecut yang berhasil melukai Hiat ci kim mo, hatinya semakin sedih dan malu, tak kuasa lagi dia lantas berkemak kemik msmbacakan doa berulang kali.

Dia merasa cara kerjanya kali ini sudah melanggar sumpah sendiri di kala mulai belajar silat dahulu.

Sebab itu meski jaraknya dengan Liong-Tian im paling dekat, namun ia justru berkebas kesamping memberikan sebuah jalan lewat bagi lawannya.

Melihat itu, Leng kong taysu segera membentak dengan penuh kegusaran:

"Hiong cing taysu, apa apaan kau ini?"

"Membunuh lawan sampai seakar akarnya bukan perbuatan dari seorang anak Buddha!" balas Hiong cing taysu dengan suara dalam.

Leng kong siansu makin gusar, teriaknya:

"Tahukah kau gara-gara ingatan semacam itu, entah berapa banyak murid Buddha lain yang bakal menjadi korban
? Bila Hiat ci kim mo dibiarkan pergi, aku Go bi pay tak akan bisa muncul kembali dalam dunia persilatan.

Hiong cing taysu agak sangsi, pikirnya cepat:

"Sekalia iapun pinceng harus duduk menghadap ke dinding selama sepuluh tahun, hari initak akan kulepaskan Hiat ci kim mo dengan begitu saja." Tubuhnya segera bergerak ke depan, bersama-sama  dengan Leng kong taysu mereka berdua lancarkan suatu sergapan dengan gerakan menyilang, sementara itu, kawanan hwesio yang berjaga jaga disekitar arena, serentak menggerakkan pula golok masing masing untuk membacok tubuh Liong Tian im tatkala menyaksikan musuhnya menerjang datang.

Cukup parah luka dalam yang diderita Liong Tian im ketika itu dengan menghimpur sisa tenaga dalam yang dimilikinya, dia mengayunkan cepat telapak tangannya ke depan, segulung angin puyuh dengan cepat meluncur ke depan.

Berapa kali jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang memecahkan keheningan, beberapa orang pendeta yang berada dibarisan terdepan segera roboh bergelimpang dalam keadaan tak bernyawa.

Pendeta-pendeta lainnya menjadi keder sendiri setelah menyaksikan cara Liong Tian-im yang nekad, buru-buru mereka mundur kebelakang untuk menghindarkan diri.

Liong Tian-im terengah engah dengan napas memburu, bentaknya kemudian keras-keras:

"Siapa menghalangi aku mampus, siapa menghindar hidup
!"

Dengan sempoyongan tubuhnya menerjang ke arah depan dimana kawanan pendeta tersebut pada menyingkir ke samping, dalam waktu singkat dia telah saling berhadapan kembali dengan Leng-kong taysu.

"Hiat ci kim mo, mau kabur ke mana kau ?" bentak psndeta itu sambil menahan geram. Sepasang mata Liong Tian ini telah berubah merah membara, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia lepaskan sebuah pukulan dahsyat kedepan.

Leng kong taysu mengebaskan ujung bajunya kedepan untuk melepaskan sebuah pukulan dengan ilmu riian ciri ceng khi, suatu kepandain mestika dari aliran Go bi pay yang belum sempat dilatih hingga berhasil, maksudnya jelas bisa dia hendak menghukum mati Hiat ci kim mo dalam sekali serangan.

Liong Tian im menjadi terkejut setelah menyaksikan paras muka Lengkong taysu berubah merah padam dan jubah pendetanya menggelembung besar hingga menunjukkan suatu sikap yang angker dan menggidik hati. ,. .

Berada dalam keadaan seperti ini, terpaksa anak muda itu mesti mengerahkan sisa kekuatan yang di milikinya, dengan menggunakan ilmu meminjam benda untuk menyalurkan tenaga, ia berusaha untuk memusnahkan kekuatan lawan.

BegituIah, tatkala serangan lawan yang amat dahsyat itu meluncur datang, serta merta Liong Tian im menyalurkan segenap kekuatan tersebut ke dalam tanah.

Akan tetapi dia sendiri pun hampir saja mengalami cedera hebat, berapa batang nadinya-nyaris putus oleh tekanan udara yang besar, apalagi terjangan lawan yang membabi buta.

Tak ampun anak muda itu muntah darah segar badannya segera mencelat setinggi dua kaki lebih oleh tenaga serangan lawan. Menggunakan kesempatan di kala Leng kong taysu melancarkan serangannya tadi, Thian hong siansu tidak berdiam diri belaka, dia lepaskan pula ayunan toya kesisi kanan Liong Tian im.

Ia tak menyangka kalau anak muda itu bakal mencelat ke udara karena hantaman rekannya seketika itu juga ayunan toyanya mengenai sasaran yang kosong.

Hal mana yang secara kebetulan justru menghadang jalan pergi Hiong cing taysu.

"Jangan biarkan dia kabur!" Leng kong siansu segera membentak nyaring.

Sementara itu Liong Tian im sudah meluncur kedepan dengan sekuat tenaga, didepan sana tiada penghadang lagi, sambil tarik napas dalam dalam, secara beruntun dia menutup beberapa buah jalan darahnya dan melayang naik keatas  jaIan raya.

Saat ini, sudah tiada pilihan lagi baginya selain kabur menyelamatkan diri, mendadak ia membalikan badan sambil mengayunkan telapak targan kanannya.

Enam buah cincirj iblis emas segera meluncur dari jari tangannya menyerang kearah kawanan pendeta yang sedang melakukan pengejaran itu.

Leng kong taysu segera menghentikan gerakan tubuhnya seraya bsrseru kaget:

"Cincin iblis emas!" Thian hong siansu maupun Hiong cing taysu merasa terperanjat juga menyaksikan datangnya ancaman dari cincin iblis emas tersebut serentak mereka menyingkir ke samping untuk menghindarkan diri...

Menggunakan peluang tersebut, Liong Tian im segera melompat naik keatas kuda putihnya dan melarikan diri secepat-cepatnya.

Dibelakang sana ia masih sempat mendengar suara caci maki dan bentakan marah dari kawanan pendeta itu, tapi suara itu makin lama makin lirih dan akhirnya lenyap dari pendengarannya.

Sambil menghentak-hentakan kakinya ke tanah, Thian hong siansu berseru cemas:

"Aduh celaka ! Hiat-ci kim-mo telah berhasil melarikan diri!"

Paras muka Leng-kong taysu berubah pula menjadi pucat pias seperti mayat, katanya:

"Bila ia sembuh dari lukanya nantinya, di saat itu Go bi-pay akan musnah dari muka bumi tanpa sanggup bangkit kembali, aai ! Hiong cing taysu, gara gara welas kasihmu tadi, Go bi  pay lah yang mendapatkan getahnya."

"Bencana yang menimpa Hud bun kali ini sudah sepantasnya bila tanggulangi bersama oleh kaum Hid bun" kata Hiong cing taysu cepat, "pinceng akan mengerahkan segenap kekuatan Siau lim pay kami untuk menunjang dibelakang taysu untuk menghadapi musibah tersebut !"

"Aaai .." Thian hong taysu menghela napas pula, "sejak dulu" pengaruh iblis tumbuh keadilan pun punah, jelas hal ini merupakan suatu kejadian yang tak dapat dihindari. Hingga kini berita tentang Miat im kim cong(genta emas pelenyap fuan) masih menjadi tanda tanya. Kim mo sin jin telah muncul kembali didalam dunia persi!atan.."

Ia segera merangkap telapak tangannya di depan dada sembari melanjutkan lebih jauh.

"Semoga Hudcou memberikan berkahnya kepada kami semua,agar kami dapat bersatu padu untuk bersama-sama menghadapi iblis keji itu dan jangan sampai timbul perselisihan sendiri diantara sesama rekan Hud bun..."

"Pinceng rasa, persoalan paling penting yang harus segera dilaksanakan sskarang adalah bagaimana mengundang keluarnya Hud bun-ag (tiga malaikat dari kalangan Buddha) ke dunia ramai guna menanggulangi musibah tersebut, sebagai seorang iblis pembunuh yang gemar melakukan pembantaian jelas kekuatan kita kaum Hud bun masih kurang cukup guna menghadapi iblis Hiat ci kim mo tersebut, aku kuatir..."

"Aaai, seandainya pelindung Hud bun dimasa lalu Ngo Lo  han tidak kehilangan jejaknya mana mungkin Hiat ci kim mo dapat kabur dari cengkeraman kita? Yaa, mungkin inilah musibah yang harus dihadapi oleh kaum Hud bun kita..." Leng kong siansu berbisik sedih.

"Aku rasa, tak ada gunanya bagi kita untuk banyak berbicara lagi di sini" kata Thian hong taysu kemudian, "mengapa kita tidak berangkat ke Go bi-san untuk bersamasama merundingkan cara untuk menghadapi ancaman tersebut..."

Setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, dia melanjutkan lebih jauh: "Cu goan taysu dari Heng san pay terluka amat parah dan membutuhkan pengobatan dengan segera, sementara muridmurid yang tewas pun harus diperabukan jenasahnya, kita sekalian lebih baik mengikuti Leng kong si heng kembali ke Go bi san lebih dulu!"

Dia lantas memerintahkan anak muridnya bagi menggotong tubuh Cu goan siansu kedalam tandu, berangkatlah rombongan pendeta itu menuju ke bukit Go bi san.

Darah mulai mengering dan membeku diatas permukaan tanah, jenasah telah disingkirkan dan bersih dari sana, kini yang tertinggal hanya awan kelabu yang menyelimuti angkasa.

Jalan raya tetap hening dan sepi seperti sediakala,  siapapun tak akan menyangka kalau beberapa waktu berselang, ditempat itu telah berlangsung pertumpahan darah yang mengerikan.

Yaa siapakah yang menduga sampai kesitu.

Jalan raya amat hening, sepi, tak nampak seorang manusiapun, yang ada hanyalah hembusan angin yang rendah dan berat. . .

Butiran embun pagi bergulingan diatas daun teratai yang lebar, sinar matahari yang lembut dan berwarna keemas emasan memancar ke seluruh permukan tanah.

"Aaai !" suara helaan napas berkumandang dari balik kolam teratai sana.

Seorang gadis muda yang berdiri ditepi kolam sambil memandang daun ditengah kolam dengan termangu, ketika angin berhembus lewat, berkibarlah rambutnya yang hitam dan panjang.

"Apa sebabnya setiap benda yang indah di dunia ini, selalu hanya berlangsung dalam sekejap mata, tak pernah bisa berlangsung langgeng dan abadi."

Rambutnya yang hitam pekat bagaikan air terjun yang muntahkan airnya dari atas puncak, terurai dibalik bahu dan bergelombang bila terhembus angin pagi.

"Apakah semua benda yang indah, hanya diciptakan untuk sementara oleh Sang Penciptanya? seperti pelangi setelah hujan, butiran embun dipagi hari serta bunga bunga yang mekar dan bintang kejora dimalam hari, bukankah semuanya itu hanya berlangsung sebentar sebelum punah semua keindahannya...

Dengan termangu-mangu diawasi bunga di tengah kolam, lalu menghela napas sedih, di balik helaan napas tersebut terasa penuh dengan perasaan duka dan murung.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar