Cincin Maut Jilid 02

Jilid 02
SERUAN TERTAHAN BERGEMA dari sana sini, serentak  paras muka semua orang berubah hebat, kehadiran cincin kecil itu bagaikan guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, seperti juga cengkeraman iblis yang membetot sukma mereka.

"Kim-mo ci (jari iblis emas) !"

Hampir pada saat yang bersamaan, segenap pendeta agung itu mengenali asal usul cincin kecil itu dan serentak juga perasaan seram menyelimuti wajah mereka semua.

Hiong hoat taysu dari Siau lim pay dan Hui Jeng taysu dari Go bi pay segera melompat ke depan dan mendekati Liong Tian im.

"Omintohud !" kata Hiong-hoat taysu kemudian, "Liong sicu membawa cincin iblis emas, itu berarti kau pun telah memperoleh orang suci iblis emas, pinceng Hiong-hoat bersedia mempertaruhkan selembar nyawaku untuk ditukar dengan memandang sebentar saja Orang suci iblis emas tersebut. . ."

Liong Tian im segera tertawa dingin, "Heeehhh. . . .
heeehhh . . . hehehhh . . . . Kim-mo sin jin adalah suatu benda mustika, di mana benda itu munculkan diri disana pula badai darah akan terjadi. Tapi kalau toh kau ingin melihat, aksn kuperlihatkannya kepada kalian semua . . ."

Pelan-pelan dia melepaskan sebuah bungkusan kertas berminyak dari punggungnya, kemudian tangan kanannya digetarkan kedepan, cahaya keemas emasan segera memancar ke empat penjuru.

Tampak sebuah patung dewa emas muncul di depan mata, cahaya emas yang memancar keluar dari patung tersebut, hampir saja membuat semua orang tak sanggup membuka matanya kembali.

Hiong hoat taysu segera memusatkan perhatiannya untuk memperhatikan patung itu...

Tampak olehnya Kim mo sin jin berpeluk tangan dengan masing masing dua buah gelang emas tergantung diatas lengannya rambut sepanjang bahu dengan badan bagian atas telanjang.

Wajah patung itu menghadap ke langit dengan sepasang mata memandang ke angkasa, seakan akan sedang berdoa kepada langit, rambutnya disisi pipi terjulai ke bawah kaki bagaikan sebuah air terjun.

Cahaya emas memancar keluar dari tubuh patung itu hingga bila dipandang dari kejauhan seolah-olah ada selapis kabut emas yang menyelimuti patung mustika tersebut.

Dengan tangan kanan menggenggam sepasang kaki dewa emas itu, Liong Tian Im berdiri amat serius. Sepasang alis matanya berkecit dengan bibir terkatup
rapat, hal ini menunjukkan kekerasan hatinya si anak muda itu bagaikan kerasrya baja, hidungnya yang mancung menunjukkan keanhkuhan, matanya yang jeli menandakan  pula kecerdasan yang luar biasa.

Pada si anak muda itu sendiri pun sudah diliputi kemisteriusan apalagi patung Kim mo sin-jin tersebut ?

Paras muka Hui leng taysu dari Go-bi-pai berubah hebat serunya kemudian:

"Taysu, betul betul patung Kim mo sin jin."

"Yaa, benar, memang benda itu . . . " Hiong hoat taysu dari Siau lim pay mengangguk dengan wajah serius sebelum menghela napas panjang.

Sambil menggenggam patung Kim mo sin jin, Liong Tian im segera tertawa dingin, katanya kemudian:

"Wahai dua orang anjing keledai gundul, kalian telah melihat patung Kim mo sin jin mengapa tidak segera bunuh diri ? Apakah kau hendak menunggu sampai aku turun tangan sendiri ?"

Hiong-hoat taysu tertawa sedih gumamnya:

"Hud-bun akan segera tertimpa musibah berat. . . "

Dia masih ingat, Kim-mo sin-jin sudah pernah menampakkan diri sebanyak tiga kali, setiap kali kemunculannya selalu memberikan pukulan yang amat berat bagi kalangan Hud-bun sehingga menciptakan tiga kali musibah yang amat besar. Ketika empat puluh tahun berselang Jian hun kim mo menampakan diri, enam ratusan orang anggota Hud bun tewas ditangannya, untung saja Gi yap sini yang berdiam dibukit Ru tou-lan di Lam hay munculkan diri dimana bersama sama dengan Tok oh taysu dari Sian sau dan Lo bun cuncu dari tepi sian ho bekerja sama untuk memukul mundur Jian hun kin mo dan mengusirnya keluar dari daratan Tionggoan .
.. .
Wajahnya nampak mengejang keras, pikirnya dihati: "Sungguh tak kusangka, baru saja kekuatan Hud bun pulih
kembali, Kim mo telah muncul pula dalam dunia persilatan . .."

"Omintohud !" Hui leng taysu dari Go bi pay berseru, "kalau begitu sicu adalah muridnya Jian hun kim mo . . ."

Dengan wajah dingin Liong Tian in mengangguk sahutnya dengan suara dalam.

"Aku hendak membunuh seluruh pendeta yg ada didunia ini!"

"Liong sicu" kata Hiong hoat taysu sambil tertawa rawan, "pinceng tidak takut mati, tapi sebelum mati aku memohon kepada sicu agar bersedia mengampuni nyawa segenap pendeta yang berada disini, jangan seperti gurumu tempo hari melakukan pembunuhan secara brutal dengan demikian, meskipun aku harus mati, aku akan mati dengan rela."

"Tidak bisa" tukas Liong Tian im dingin "setiap hwesio yang berada disini harus mati tak seorang pun yang akan kubiarkan pergi dalam keadaan hidup!" Tampaknya Hiong hoat taysu dan Hui leng taysu sadar jika mereka tak akan lolos dari kematian pada hari ini serentak mereka berpaling ke arah Cu soat taysu dari Heng san pay, Thian it taysu dari Ngo tay san serta Taycu sanjin dari Thay san pay, dimana sinar matanya yang tajam menyapu lewat, sinar mata semua orang segera ditundukkan rendah rendah.

Tay cu Sangjin tertawa sedih, lalu berkata:

"Maksud baik taysu berdua amat mengharukan pinceng,
tapi sebagai tuan rumah, pinceng tak ingin menyaksikan kalian semua mati dengan begitu saja..."

Belum habis perkataan itu diucapkan, Hiong hoat taysu dan Hui leng taysu telah menggigit lidah sendiri untuk bunuh diri.

Perlu diketahui, kedua orang pendeta itu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi didalam dunia persilatan, sekalipun kepandaian silat yang mereka miliki amat lihay, tapi yg paling penting bagi seorang umat persilatan adalah memegang janji.

Setiap persoalan yang telah mereka janjikan tak akan pernah disesalkan kembali itulah sebabnya tanpa memberi perlawanan mereka telah menghabiskan nyawanya sendiri.

Kematian mereka yang tragis dengan cepat mengundang rasa haru semua orang, hujan air mata membasahi wajah setiap pendeta dalam ruangan tersebut...

Tampak darah kental mengucur keluar dari ujung bibir mereka, sebelum ajalnya tiba mereka masih sempat membuka matanya untuk memandang sekejap kearah Liong Tiau im kemudian dengan membawa wajah yang tentram tanpa rasa sesal mereka mengakhiri perjalanan hidupnya. Air mata telah membasahi seluruh wajah Tay cu sanjin, mendadak ia tertawa keras kemudian berseru :

"Liong sicu, kau telah membunuh dua orang taysu kami, tentunya hatimu sudah merasa puas bukan ?"

Paras muka Liong Tian im suram menyeramkan, mukanya mengejang amat keras, sahutnya:

"Tidak, aku tak akan puas, akan kubunuh setiap hwesio gundul yang kujumpai didunia ini"

Sambil mengayunkan patung emasnya, dia bergumam:
"lnilah perintah dari guruku, aku harus mentaatinya !" "Hn . . . Liong sicu, kau kelewat kejam !" bentak Thian it
taysu dengan gusar.

Bersama dengan Cu im taysu, ia menerjang maju ke depan, serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar ini benar benar luar biasa dahsyatnya, angin pukulan yang berlapis lapis seperti amukan ombak dengan cepat meluncur kedepan.

Sepasang mata Liong Tian im telah berubah menjadi merah membara, sambil membentak keras patung emasnya disodok kedepan merobohkan dua orang murid perguruan Thay san pay yang telah menerjang dengan amat buasnya itu.

Diantara percikan darah segar yang menyembur keempat penjuru, tubuhnya bergerak cepat dengan melejit delapan depa ke udara untuk meloloskan diri dari serangan dahsat itu. Kemudian ia serahkan patung Kim mo sin-jin ketangan kiri sementara jari tengah tangan kanannya menyentil kedepan, cincin emas sakti tersebut segera meluncur kedepan.

Thian it taysu dan Cu soat taysu tentu saja tak akan sanggup untuk membendung serangan cincin iblis emas yang tak berwujud tak bersuara itu, serentak mereka menjerit kesakitan lalu roboh binasa ketanah.

Air mata segera bercucuran membasahi wajah Tay cu sangjin, dengan suara menggelegar dia membentak:

"Sekalipun harus pertaruhkan nyawa segenap anggota
Thay san pay, pinceng akan berusaha untuk membunuh kau si malaikat laknat "

Sepasang telapak tangannya disilangkan sambil melancarkan serangan, sementara tubuhnya ikut pula menerjang kemuka.

Dalam pada itu, dari luar ruangan kecil telah bermunculan dua puluh orang pendeta dengan senjata lengkap, dengan garang mereka maju kedepan mengerubuti Liong Tian im.

Berhadapan muka dengan kawanan pendeta yang datang bagaikan air bah itu, Liong Tian im mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, patung emasnya segera diputar sangat dahsyat percikan darah segera memancar kemana mana, dimana cincin iblis emasnya berkelebat disitu pula salah seorang pendeta roboh binasa.

Dalam waktu singkat, patung Kim mo-sin jin tersebut sudah berubah menjadi merah karena darah, sekujur badan Liong Tian im pun penuh berpelepotan darah kental, seluruh permukaan lantai sudah dipenuhi oleh mayat-mayat pendeta yang terkapar disana sini bagaikan membukit . ..

Menyaksikan kebrutalan musuhnya, Tay-pe Sangjin tertawa rawan, kemudian katanya:

"Liong sicu, tentunya kau merasa gembira bukan, begitu banyak anak murid Buddha telah kau bantai secara keji, darah segar telah membasahi seluruh tubuhmu . .."

"Sreeet .. ."

Sekilas bayangan merah berkelebat lewat dengan suatu kecepatan luar biasa.

Kontan Tay-pe Stngjin merasakan sekujur badannya mengejang keras, diatas jalan darah tay yang-hiat pada keningnya tahu tahu telah bertambah dengan sebuah cincin emas...

Darah kental jatuh bercucuran melewati pipinya dan menodai seluruh jubahnya . ..

Pelan pelan dia menyeka noda darah diujung bibirnya, dan sekejap berdiri kaku disitu, rintihan kesakitan berkumandang memecahkan keheningan kemudian maju beberapa langkah dengan susah payah sambil menuding ke arah Liong Tian im katanya parau:

"Kau Hiat ci kim mo (iblis emas berjari darah) sampai matipun pinceng tak akan mengampunimu . . ."

Mula-muIa Liong Tipn im rada tertegun, lalu sambil mendongakkan kepalanya dia tertawa terbahak-bahak, suaranya keras dan amat memekikkan telinga. Pelan pelan Tay pe Sangjin roboh terkapar diatas tanah.

Mendadak selintas perasaan hambar dan kosong menyelinap kedalam benak Liong Tian im dan mencekam perasaannya, lambat laun hawa pembunuhan yang semula menyelimut seluruh wajah anak muda itu, lambat laun semakin berkurang.

"lblis emas berjari darah, iblis emas berjari darah . . ." gumamnya berulang kali.

Setelah mengulangi beberapa patah kata, kembali dia mendongakkan kepalanya dan tertawa keras:

"Haah . . haah . . haah . . . suatu peristiwa yang sangat menggelikan, aku telah berubah menjadi iblis emas berjari darah, haah . ,haah haah . ."

Dia sendiripub tak tahu perbuatan apakah yang telah dilakukan, dalam gelak tertawa mana teramat keras itulah sambil membawa parung Kim mo sinjin tersebut segera berjalan meninggaikan ruangan itu.

Bekas-bekas telapak kakinya yang penuh darah makin jauh meninggalkan ruangan dengan hayat yang penuh terkapar diatas tanah ini suara gelak tertawanyapun makin lama semakin jauh sebelum akhirnya lenyap dibilik kesunyian yang mencekam diseluruh bumi.

Ketika segulung ingin bukit berhembus lewat, terendus bau amisnya darah yang kental menyerang pernapasan, semenjak itulah tak pernah terdengar lagi suara genta berkumandang diatas bukit Thay san . . . Kini penghuninya telah berubah menjadi mayat mayat yang bergelimpangan diatas tanah nyawa mereka telah meninggalkan raga kembali ke akhirat . . .

Yang tersisa diatas bukit itu hanyalah tumpukan mayat  yang membukit serta genangan darah kental yang membasahi seluruh permukaan lantai . . . entah sampai kapan hal ini akal berlangsung ?

ooOoo

KUIL Pek-im-si di puncak Kim-sim-teng dalam bilangan  bukit Go bi, berdiri tenang d aatara lapisan kabut yang tebal.

Sudah berabad-abad lamanya kuil tersebut berdiri kokoh disitu, usianya sudah cukup tua hal ini dapat dilihat dari dindingnya yang banyak berguguran menunjukkan ketuaan usianya.

Meskipun begitu, bangunan tersebut masih tetap melambangkan tempat suci dibukit Go bi, juga merupakan salah satu keindahan alam diatas bukit tersebut . . .

Ditengah remang remangnya cuaca senja, tampak seorang pemuda berdiri terpekur seorang diri dipuncak bukit itu sambil mengawasi kuil Pek-im-si yang diliputi kabut tebal, kemudian ia menghela napas rendah.

Helaan napas yang berat segera menyebar ditengah kabut malam yang makin menebal, di balik helaan napas tadi tercermin kesepian dan kemurungan hatinya.

Seakan-akan sianak muda yang menyendiri itu memiliki suatu kedukaan yang mencekam hatinya, seolah-olah kehidupannya didunia ini telah memberikan suatu pukulan yan berat bagi hatinya, kalau tidak, mengapa tatapan matanya terhadap jagad begitu dingin dan kaku ?
"Aaai . . !" kembali dia menghela napas panjang. "Walaupun dalam satu hari saja aku telah menciptakan
nama Hiat-ci kim-mo bagi diriku namun aku tak pernah merasa gembira untuk keberhasilanku itu, malah sebaliknya aku merasa seperti kosong, kesepian dan hambar . ."

Angin dingin menerpa wajahnya dan membuatnya menggertak gigi menahan diri, pikirnya lebih jauh:

Entah apa pun yang bakal terjadi dimasa mendatang, aku bersedia mengembara kemana pun demi dendam kesumatku, hanya darah yang dapat mencuci bersih luka dalam hatiku. .
.."

Liong Tian im segera menggerakkan tubuhnya seperti  seekor burung mayar, melintasi kabut nan tebal dan melayang turun diujung hutan yang berhadapan dengan kuil Pek im si tersebut.

Dia berdiri disela-sela dedaunan yang lebat, kemudian mengalihkan sorot matanya keatas pintu terbang Pek im si yang besar.

Memperhatikan kuil Pek im si yang berdiri angker, selapis hawa pembunuhan kembali menyelimuti seluruh wajahnya, lalu ia bergumam:

"Akan kubunuh semua hwesio yang berada di dunia ini!"

Suara yang begitu dingin dan keras hampir saja membuatnya terkejut sendiri, kembali dia berpikir: "Heran, entah mengapa kau bisa begitu membenci kaum pendeta, apakah dikeranakan semasa kecilku dulu musibah yang menimpa diriku kelewat keji sehingga membuatku jadi begini ?"

Musibah yang telah menimpanya diusia kecil dulu bagaikan jaring jaring iblis keji yang mencengkeram tubuhnya dan membuatnya tak mampu untuk melepaskan diri, dan membuatnya sedetik pun tak pernah melupakannya . . .

"Lupakanlah itu, agar semua kejadian yang telah lewat terhapus untuk selamanya dari dalam hatiku, kalau tidak, makin kuingat peristiwa itu, semakin bernapsu kucari dasar dari alasan itu . . . "

Setelah tertawa getir, lanjutnya:

"Hingga hari ini, bukankah tujuan kedatanganku ke bukit Go bi ini adalah uttuk melacaki rahasia yang menyelimuti semua peristiwa di masa lalu. . ."

ia merasakan suatu pertentangan batin yang amat hebat, diantara kilatan sorot matanya terpancar keluar pelbagai perasaan yang berbeda, ada kalanya lembut bagaikan air ditengah samudera, ada kalanya pula menjadi dingin dan kaku bagaikan salju didalam gudang es yang telah berusia selaksa tahun . . .

Wataknya sukar diraba dengan mudah, orangnya lebih sukar untuk diraba pula...

Ditengah matahari senja yang memancarkan sinar berwarna merah, mendadak sepasang matanya berkaca kaca penuh noda air mata, hembusaa angin bukit membuat ujung bajunya berkibar kencang... Liong Tian-im mendongakkan kepalanya memandang sisa cahaya senja diujung langit sana, setelah membetulkan rambutnya yang kusut, sekulum senyuman dingin kembali tersungging diujung bibirnya yang terkatup rapat.

Dia lantas berpikir:

"Seandainya ciangbunjin dari Go bi-pay bersedia menerangkan apa yang ingin kuketahui, niscaya akan kusudahi sampai di sini saja. tapi kalau tidak, hmmm .. . hari ini aku akan membantai kembali Go-bi pay dengan darah, karena hwesio hwesio itu membuat hatiku sedih"

Setelah mengambil keputusan, senyuman yang menghiasi wajahnya semakin menebal, sepasang tangannya segera digetarkan keras kemudian melejit setinggi dua kaki dan melayang turun ditengah lapangan depan kuil Pek im-si.

Suasana disekitar kuil itu terasa hening, di awal cahaya senja yang semakin redup, nampak pintu gerbangnya tertutup rapat rapat, Liong Tian-im berjalan mendekati pintu itu dan pelan pelan menggetarkan gelang pintu sebanyak tiga kali.

Tak selang berapa saat kemudian, dari balik bangunan kuil itu kedengaran suara langkah manusia, menenyusul kemudian pintu gerbang terbuka sedikit, seorang hwesio cilik melongok keluar dan memandang wajah Liong Tian im keheranan.

Tapi ketika sorot matanya bertemu dengan sinar mata Liong Tian im yang dingin, tanpa rasa ia menjadi bergidik.

"Aku datang untuk berjumpa dengan Hui-ko siansu, cepat masuk dan memberi laporan.." kata Liong Tian-im kemudian dengan suara dalam. Hwesio cilik itu tertegun.

"Hui ko susiok sudah lama tak berada dibukit ini sicu. lebih baik kau pergi saja" sana nya.

Mendengar kalau Hui ko siansu tak berada disana Liong Tian im menjadi amat gelisah dengan cepat dia cengkeram tubuh hwesio cilik itu dan mengangkatnya keudara.

"Dia telah pergi kemana ?" serunya gelisah.

"Sicu" kata hwesio cilik itu dengan wajah menghijau karena ketakutan, "kemanakah Hui ko susiok telah pergi, siau ceng benar benar tidak tahu, persoaIan ini hanya diketahui oleh ciangbunjin seorang, lebih baik kau bertanya sendiri kepada ciangbunjin . ."

"Kalau begitu cepat panggil keluar ciangbunjin mu" kata Liong Tian im sambil mengendorkan cengkeramannya "katakan kalau aku ada urusan hendak berjumpa dengannya, masalah itu menyangkut soal Hui ko .."

Sorot matanya yang dingin dan tajam bagaikan sembilu itu membuat hwesio cilik itu ketakutan setengah mati dan tak berani membantah. katanya tergagap:

"Hari ini ciangbunjin ada urusan, ia bilang tidak menerima tamu siapa pun. . ." Paras muka Liong Tian im segera berubah hebat, bentaknya:

"Tak usah banyak bicara, kalau aku suruh kau pergi, lebih baik kau pergi dari sini . ."

Hwesio cilik itu seperti hendak mengucapkan sesuatu lagi, akan tetapi tatkala sinar matanya saling membentur dengan sorot mata Lian Tian im, hatinya menjadi bergidik, dengan ketakutan buru buru dia lari masuk ke dalam ruang kuil.

Tak selang berapa saat kemudian muncul seorang pendeta berusia pertengahan yang beralis mata tebal dan bertubuh kekar.

Menyaksikan sikap Liong Tian im yang begitu anggun serta wajah yang begitu tampan, wajahnya segera berubah serius, setelah memberi hormat, tegurnya pelan:

"Omintohud, ada urusan apakah sicu datang mencari ciangbujin kami?"

"Aku datang kemari lantaran persoalan yang menyangkut diri Hui ko siansu .."

"Hui ko susiok?" hwesio setengah umur itu nampak agak tercengang, "ada urusan apa dengan Hui ko siansu? Dia tak ada didalam kuil."

"Persoalan ini termasuk amat rahasia, aku harus membicarakannya sendiri dengan ciangbunjin kalian" ucap Liong Tian im dingin.

Hwesio setengih umur itu termenung sambil berpikir sebentar, kemudian tanyanya:

"Tolong tanya siapa nama sicu?" Liong Tian im mendengus dingin, lalu sahutnya dengan kening berkerut:

"Aku she Liong! Siapa pula kau?"

"0ooh. rupanya Liong sicu, aku adalah hwesio penerima tamu dari kuil ini. To ki hwesio." Liong Tian im manggut manggut "Aku lihat, kau si hwesio lumayan juga!" Dengan sinar mata tercengang To ki hwesio memandang sekejap kearah Liong Tian im, dia tak tahu apa sebabnya ia bisa berkata demikian karena Liong Tiao im kelihatannya mirip sekali dengan seorang anak sekoIahan, tentu saja dia tak akan menaruh curiga kalau dibalik perkataan itu sesungguhnya mengandung suatu maksud yang mendalam.

"Apa maksudnya? Dikemudian hari kau akan mengerti dengan sendirinya" ucap Liong Tian im sambil tersenyum.

Kemudian sambil masukan tangannya kedalam saku diapun bertanya:

"Sekarang, kau tentunya dapat membawa aku untuk berjumpa dengan ciangbunjin kalian bukan?"

"Oooh, silahkan Liong sicu menunggu sebea tar didalam kamar tamu biar siauceng laporkan dulu hal ini kepada ciangbunjin.

"Begitu banyak peraturan baru yang berlaku disini?" Liong Tian im berkerut kening.

To ki hwesio segera tertawa getir:

"Yaa, apa boleh buat, memang hal ini sudah menjadi peraturan disini, harap sicu suka memakluminya".

Mendengar itu, dari gusar Liong Tian itu menjadi girang, dia segera berseru:

"Cukup mendengar perkataanmu itu, aku harus mendermakan seratus tahil emas bagimu." Seraya berkata, dari dalam sakunya mengeluarkan seuntai mutiara sembari katanya lebih jauh:

"Tentunya benda ini laku seratus tahil emas bukan ?"

To ki hwesio nampak terkejut, menyaksikan untaian mutiara yang berkilauan memancarkan sinar terang dan berjumlah dua puluh biji itu, kalu dihitung sebenarnya, mungkin akan bernilai seratus tahil emas lebih.

Sambil tersenyum Liong Tian im meletakkan untaian mutiara tersebut ketangan To ki hwesio, kemudian katanya:

"Atau kau merasa kurang banyak ?"

Ketika mengucapkan perkataan itu, pancaran sinar buas memancar kembali dari balik matanya, dia segera berpikir:

"Bila hwesio ini berani mengatakan kurang, seketika ini juga akan kubunuh dirinya !"

Dalam pada itu, To ki hwesio telah berhasil menenangkan kembali hatinya, dia lantas berkata:

"Omintohud, kalau toh sicu begitu sosial, sudah tentu kau akan mendapatkan berkah, tapi jumlah dermaan ini kelewat besar, lebih baik serahkanlah sendiri kepada ciangbunjin."

"Aaai, lebih baik kau tak usah ribut terus" tukas Liong Tian im setengah membentak.

"Omintohud, silahkan Liong sicu mengikuti siauceng untuk menanti sebentar didalam kamar tamu." Liong Tian-im mendengus dingin, mengikuti To-ki hweesio ia masuk ke dalam kuil Pek im si.

Suasana didalam kuil itu kelewat sepi dan lenggang, kecuali dua tiga orang pendeta yang berlalu lalang lewat disamping Liong Tian im, hampir seluruh ruangan maupun taman berada dalam keadaan sepi.

Liong Tian-im menarik napas dalam dalam mengendus bau harum semerbak yang tersiar dari arah taman, dia merasakan semangatnya berkobar kembali. .

Setelah melewati dua buah pintu berbentuk rembulan, sampailah mereka didalam sebuah ruargan yang hening.

Dengan wajah serius To ki hwesio berkata "Harap Liong sicu suka menunggu sebentar disini, siauceng akan melaporkan kunjungan sicu ini kepada ciangbunjin"

Liong Tian-im mengangguk, ia saksikan diatas dinding tergantung beberapa lembar lukisan pemandangan disudut dinding sana terletak beberapa buah jambangan dan selain itu hanya terdapat sebuah meja dengan kursi yang terbuat dari kayu cendana, ujarnya kemudian:

"Ehmmm... dekorasi ditempat ini memang cukup indah dan menarik hati."
Agak memerah wajah To-ki hweesio, cepat sahutnya: "Kuil terpencil diatas bukit sudah barang tentu jauh
berbeda dengan dekorasi dan rumah pembesar atau hartawan, harap sicu suka memaklumi akan kesederhanaan tempat ini!" Ketika dilihatnya To ki hwesio telah salah menganggap dirinya sebagai keturunan orang berpangkat, Liong Tian-im segera tersenyum, pikirnya:

"Sudah dua belas tahun lebih aku hidup terpencil diatas pegunungan yang jauh dari keramaian dunia, tempatku itulah yang tak akan mampu meaandingi keindahan dekorasi disini, heehmmm . . . darimana kau bisa tahu siapakah diriku ini ?"

Berpikir sampai disitu, dia lantas mengulapkan tangannya sambil berseru: "Silahkan."

To-ki hweesio segera merangkap tangannya memberi hormat. kemudian mengundurkan diri dari kamar tamu.

"Traaang .. . "

Bunyi genta yang berat dan nyaring bergema ditengah kegelapan yang mulai menyelimuti angkasa, genta itu dibunyikan tiga kali berturut-turut dan merupakan suatu kejadian yang belum pernah terjadi dalam kuil Pek im si sebelumnya.

Dalam ruang tengah, segenap anggota kuil baik yang tua maupun yang muda, semuanya telah berkumpul dan menjadi satu, disana tak kedengaran suara orang membaca doa, juga tiada suara ketukan bokhi mengiringi pembacaan doa..

Leng kong taysu, ketua dari Go bi pay berdiri didepan kawanan hwesio itu sambil membaca doa tiada hentinya, lewat sesaat kemudian ia baru membuka matanya kembali dan memandang sekejap kawanan pendeta yang berada dalam ruangan. "Marii muridku semua" demikian ia mula berbicara dengan suara dalam, "didalam pertemuan Thay san yang diselenggarakan untuk membahas Siau seng keng gi, semua utusan dari pelbagai aliran yang dikirim kesana telah mengalami musibah dan tewas dibunuh Hiat ci kim mo, diantara mereka termasuk juga utusan kita Hui leng taysu ikut menjadi korban..."

Mendengar kalau Hut leng siansu telah menemui ajalnya, suasana didalam ruangan itu segera menjadi gempar dan ramai, masing-masing pendeta segera memanjatkan doa bersama.

Mimik wajah yang diperlihatkan oleh setiap pendeta pun berbeda beda, ada yang merasa sedih, ada yang merasa gusar, ada yang menangis dan ada pula yang menghela napas panjang.

Dengan suara dalam Leng kong taysu melanjutkan kembali kata-katanya:

"Dunia persilatan menjadi gempar setelah berita ini tersiar keluar setiap umat persilatan dibuat terkesiap oleh kekejaman serta kebrutalan Hiat ci kim mo dan peristiwa ini merupakan suatu bencana yang paling besar buat kalangan Buddha kita."

"Ciangbunjin!" tiba tiba terdengar seseorang berseru,  "harap kau suka menyebarkan Kiu liong rap leng untuk mengumpulkan segenap jago dari kalangan Hud bun untuk membalaskan dendam bagi mereka yang tewas, kalau tidak, kita sebagai pemegang lencana sembilan naga Kiu liong yap leng merasa tak dapat mempertanggung jawabkan diri kepada umat persilatan pada umumnya dan golongan Hud bun khususnya.." Ku iu taysu, salah seorang dari Go bi jit ia (tujuh dedengkot dari Go bi) tampilkan diri dari kerumunan orang banyak, dia memohon kepada Leng kong siansu untuk menurunkan perintah Kiu liong yap leng dan bersama sama kawanan jagoan lainnya menangkap Hiat ci kim mo serta membalaskan dendam bagi mereka yang telah tewas.

Leng kong taysu segera menghela napas panjang, katanya dengan suara dalam:

"Ketika Kiu liong yap leng dibtentuk, sebetulnya tujuan dari pelbagai partai adalah untuk menanggulangi keganasan Jian hun kim mo Sa Bu ki, tapi ketika lencana ini terbentuk, lima ratusan orang lebih anggota pelbagai partai menjadi korban keganasannya, oleh karena itu penggunaan lencana tersebut harus dipertimbangkan masak-masak lebih dulu sebelum melakukannya"

Dengan sorot mata yang tajam dia memandang sekejap wajah kawanan pendeta itu, kemudian melanjutkan.

"Sewaktu perguruan kita dapat giliran untuk menerima lencana Kiu liong Yap kita kali ini aku sudah merasa tidak tenang dan kuatir terjadinya suatu peristiwa besar, sungguh tak nyana belum sampai dua tahun kujabat sebagai pemegang Yap-leng tersebut, terjadilah peristiwa berdarah dibukit Thaysan dimana berpuluh-puluh orang jago lihay dari pelbagai perguruan telah tewas ditangan Hiat ci kim-mo, tampaknya sejarah lama akan terulang kembali, bencana besar telah mengancam seluruh aliran Hud bun kita..."

Perlu diketahui pada lima puluh tahun berselang, dalam dunia persilatan telah muncul seorang jagoan aneh yang bersenjatakan sebuah patung Kim mo-sin-jin, orang itu khusus mencari gara-gara dengan pihak Hud-bun.

Akibatnya dalam tiga bulan yang amat singkat, dia telah menerjang Siau-limpay, mengacau Go-bi pay, menghancurkan Ngo-tay-pay melenyap Heng san pay dan menjebolkan Kun lun pay dua ratusan orang anggaota perguruan Hud bun dibasmi secara brutal, menyebabkan pelbagai partai mengalami suatu pukulan yang berat.

Kemudian para pemuda pelbagai perguruan segera mengundang datangnya Hud bun sam seng untuk menanggulangi peristiwa tersebut, dalam suatu pertarungan yang seru diatas bukit Thay san, Jian hun kim mo Sah bu ki yang dianggap sebagai pembunuh nomor wahid dikolong langit itu berhasil dihajar hingga tercebur ke dalam jurang.

Sejak itulah pelbagai partai segera bersatu padu untuk bersama sama melindungi keselamatan Hud bun dengan menciptakan empat buah lencana Kiu liong yap leng, tiga diantaranya diserahkan kepada Hud bun sam seng, sedang yang sebuah lagi di jaga dan di pegang oleh pelbagai perguruan secara bergilir.

Diatas lencana Kiu liong yap leng tertera nama nama dari para cousu pelbagai perguruan, kemunculan lencana tersebut ibaratnya kehadiran cousu mereka sendiri, mereka akan tunduk dan taat atas semua perintah yang di sampaikan lewat lencana tersebut.

Tak heran kalau lencana mestika itu tak akan muncul dalam dunia persilatan secara sembarangan apabila dalam dunia persilatan tidak terjadi surtu peiistiwa yang benar benar luar biasa.

Lencana tersebut dijaga selama empat tahun secara bergilir, dua tahun berselang lencana tersebut baru saja diterima pihak Go bi pay dari pihak Heng san pay, mimpipun Leng kong taysu tak menyangka kalau sebelum masa jabatannya selama empat tahun selesai, Hiat ci kim mo telah munculkan dirinya kembali. . . Tatkala para pendeta yang berkumpul didalam ruangan mendengar Leng kong taysu berkata dengan suara dalam dan pedih, untuk sesat suasana menjadi hening tanpa suara, rasa sedihpun menyelimuti wajah setiap orang yang hadir.

Leng kong taysu menghela napas panjang, sinar matanya menyapu sekejap wajah para pendeta yang berkumpul dalam ruangan itu, kemudian ujarnya dengan serius:

"Ku in, harap kau bawa keluar lencana Kiu liong yap leng tersebut. . .!"

Mencorong sinar tajam dari balik mata Ku in taysu, dia segera mengiakan dan buru-buru menuju ke loteng penyimpan kitab dalam ruangan kuil sebut.

Baru saja bayangan tubuh lenyap dari pandangan mata, sesosok bayangan manusia melompat keluar dari balik wuwungan rumah.

Setitik debu jatuh tepat dibawah jubah Leng kong taysu, dengan keheranan dia segera mendongakkan kepalanya memperhatikan atap ruangan.

Sayang ia tidak menyaksikan apa-apa kecuali ukiran Budha yang memenuhi atap langit langit bangunan ruangan itu.

Pelan pelan Leng-kong taysu mengalihkan kembali sorot matanya keatas papan nama di atas ruangan yang bertuliskan:

"TAY-HIONG-POOTIAN, Sambil menghela napas pikirnya kemudian: "Aaai.. kuil yang sudah berusiah ratusan tahun ini entah masih bisa bertahan berapa Iama lagi?" Sementara dia masih termenung, Ko-in taysu telah berjalan masuk ke dalam ruang sambil membawa sebuah kotak kemala bersegi empat, dengan kepala tertunduk dia menyerahkan kotak kemala itu ke tangan Leng kong taysu lalu memundurkan dirinya kembali.

Leng kong taysu segera menatap sekejap kotak kemala diatas kain kuning itu, kemudian ambil memberi hormat katanya:

Tecu Leng-kong terpaksa harus mengundang kehadiran cousu sekalian untuk bersama-sama menanggulangi keganasan Hiat-ci kim-mo yang telah melakukan pembantaian terhadap pelbagai jago dari berbagai aliran."

Pelan-pelan dia letakkan kotak kemala itu di atas meja, kemudian dengan wajah serius dia membuka bungkusan kain kuning itu dan nembuka kotak kemala tadi. Akan tetapi setelah sinar matanya dialihkan ke dalam kotak tersebut, paras mukanya segera berubah hebat, rasa kejut bercampur terkesiap dengan cepat menyelimuti seluruh wajahnya, dia mundur tiga langkah dengan sempoyongan sebelum akhirnya dapat berdiri tegak.

Dengan terperanjat Ku in taysu segera menegur: "Ciangbunjin, kenapa kau ?"
"Kalian lihatlah sendiri!" jawab Leng-koi taysu dengan wajah pucat dan suara gemetar.

Ku in tavsu ragu-ragu sebentar, ditatapnya sekejap wajah Leng-kong taysu yang diliputi perasaan terkejut itu, kemudian dengan keheranan dia maju dua langkah kedepan dan melongok kedalam kotak kemala tersebut. "Aaah . . ! Kim mo ci huan (cincin iblis emas) !" jeritnya kaget.

Ternyata isi kotak kemala tersebut adalah sebuah cincin yang amat kecil, sedangkan lencana Kiu liong tiap leng entah sudah kemana larinya . ..

"Ciangbunjin, Kiu liong tiap leng telah hilang" bisik Ku in taysu kemudian dengan suara gemetar.

Segenap pendeta yang hadir dalam ruanga bersama-sama dibuat terkejut, mereka tida mengira kalau Hiat ci kim mo telah berkunjung ke Go bi san dan tanpa menimbulkan suara sedikitpun juga telah menukar lencana Kiu liong tiap leng tersebut dengan cincin iblis emas.
Dengan suara gemetar kembali Ku in taysu berkata: "Bagaimana baiknya sekarang? Dengan hilangnya lencana
Kiu liong tiap leng, bagaimanakah cara Go bi pay kita untuk mempertanggung jawabkan peristiwa ini kepada pelbagai partai lainnya ?"

Sambil membentak keras dia lantas membalikkan badan dan berjalan menuju luar ruangan.

Leng kong taysu menjadi tertegun menyaksikan tindakan rekannya itu, segera bentaknya:

"Ku in, kau hendak ke mana ?"

"Aku hendak memohon maaf kepada pelbagai partai" jawab Ku in taysu sambil tertawa sedih, "karena lencana Kiu liong tiap leng lenyap ditangan pinceng .. ." Dengan kenicg berkerut Leng-kong taysu segera berseru:

"Hiong beng, Hiong wan, Hiong hoat, Hiong bun empat tianglo, harap kalian segera berangkat ke timur, barat, utara dan selatan untuk melakukan penjagaan, siapapun dilarang masuk keluar dari wilayah ini .. ."

Empat orang pendeta tua itu segera mengiakan dan berlalu dari sana, dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan mata.
Dengan suara dalam Leng-kong taysu segera berkata lagi: "Ku-in, Ku ko, Ku hoat tiga orang tianglo harap menuju ke
loteng penyimpanan kitab loteng senjata dan ruang Si lik  untuk melakukan pemeriksaan, bila menjumpai jejak Hiat ci kim-mo, segera lepaskan tanda rahasia untuk memberi kabar .
. ."

Setelah berhenti sejenak dan menarik napas panjangpanjang, dia melanjutkan:

"Sedangkan semua anggota perguruan lainnya harap  kembali ke tempat masing masin untuk menyiapkan senjata dan panah, setiap lima orang membentuk satu group untuk mengawasi setiap jalur dan pintu yang berada dalam kuil ini . .
."

Serentak semua orang mengiakan dan berlalu dari sana, dalam waktu singkat suasaa dalam ruangan itu menjadi lenggang.

Sambil mengepal sepasang tinjunya Leng kong taysu lantas bergumam: "Aku akan segera turunkan perintah untuk menghubungi segenap perguruan yang ada untuk bersama-sama mengirimkan jagonya menuju ke dalam dunia persilatan dan menangkap batang leher Hiat ci kijo-mo tersebut ..."

Baru saja dia membalikkan badannya hendak kembali ke ruang hongtiang, tiba tiba di lihatnya To-ki hweesio masih berdiri kaku di situ.

Dia segera berseru tertahan, kemudian dengan wajah tercengang tegurnya cepat:
"To ki, apakah kau tidak mendengar perintahku ?" "Lapor ciangbunjin di kamar tamu terdapat seorang sicu
yang memohon berjumpa dengan ciangbunjin ... . " ucap To ki hwesio sambil merangkap tangannya didepan dada.

"Apa ? Ada orang hendak berjumpa dengan aku ? Sejak kapan dia masuknya kemari ?" seru Leng kong taysu sambil berkerut kening.

"Liong sicu sudah cukup lama masuk kemari, tadi tecu datang kemari untuk memberi laporan kepada ciangbunjin tapi telah terjadi..."
Dengan gusar Leng kong taysu segera mendamprat: "Kau toh tahu jika kuil kita sedang berada dalam keadaan
yang gawat, mengapa kau ijin kan orang asing untuk masuk kemari ?"

"Liong sicu adalah seorang pelajar yang lemah lembut dan amat sopan." jawab To-ki hwesio tergagap. Kemudiao sambil mengeluarkan seuntai mutiara, dia melanjutkan:

"Malah dia pun mendermakan seuntai mutiara yang bernilai ratusan tahil emas murni buat kuil kita, oleh sebab itu tecu . . "

Berkilat sepasang mata Leng-kong taysu setelah menyaksikan kejadian itu, diterimanya untaian mutiara tersebut kemudian berkata:

"Oooh, sudah terjadi peristiwa ini ?"

Sesudah termenung sebentar, dia lantas bertanya:

"Apakah dia mengatakan ada urusan apa datang mencariku
?"

"Liong sicu berkata, dia datang karena persoalan Hui ko susiok. ."

"Hui ko?" Leng kong taysu nampak tcrcengang: "Hui ko sudah gila, ada urusan apa dia hendak mencarinya?"

Setelah menggigit bibir dan termenung sebentar katanya kemudian:

"Bawa aku kekamar tamu!"

Sepanjang jalan dia berusaha membayangkan manusia macam apakah Liong sicu itu, kemudian pikirnya:

"Konon Hiat ci kim mo juga seorang pemuda, tapi entah dia she Liong atau bukan? Tapi menurut pendapatku Hiat ci kim mo tak nanti akan berani menunggu kedatanganku dalam kamar tamu."

Sementara masih termenung sampailah mereka didepan kamar tamu.

Dia segera melangkah masuk kedalam ruangan, tampak olehnya seorang pemuda berbaju biru sedang bergendong tangan sambil menikmati tulisan yang tergantung diatas dinding, ia segera memberi tanda agar To ki hwesio mengundurkan diri, kemudian pelan-pelan dia baru berjalan mendekati pemuda itu.

Agaknya Liong Tian im sama sekali tidak merasa kalau Leng ko taysu telah berjalan sampai dibelakang tubuhnya, dia  masih menggelengkan kepalanya berulang kali sambil bergumam:

"Ehmm...inilah hasil karya dari Mi tian, betul-betul sebuah karya tulis yang tak ternilai harganya..."

"Omintohud!" Leng kong taysu segera berseru "sicu betul betul memiliki ketajaman mata yang hebat, betul tulisan itu memang hasil karya dari Mi Tian..."

Pelan pelan Liong Tian im membalikan badannya. kemudian berkata:

"Oooh .. inikah 1J hongtiang?"

Dengan seksama Leng kong taysu memperhatikan wajah Liong Tian im, ia jumpai pemuda itu berwajah tampan dengan sikap yang lemah lembut tak salah lagi kalau disebut seorang anak sekolahan. Sambil manggut manggut sahutnya:

"Yaa, lolap Leng kong hongtiang dari kuil ini."

"Aku Liong Tian im, datang dari sebelah timur Tay beng dengan maksud untuk berjumpa dengan Hui ko taysu."

"Oooh, silahkan duduk."

Sorot matanya dialihkan sekejap memandang sebuah bungkusan yang terletak diatas meja, kemudian tanyanya lagi:

"Apakah bungkusan ini milik sicu?"

"Yaa, itulah barang bawaanku, ada sesuatu yang tak beres taysu?" kata Liong Tian in sambil mengambil tempat duduk.

"Ooh... tidak tidak apa apa..." sahut Leng long taysu agak gugup.

Setelah berhenti sebentar, tanyanya lagi: "Tolong tanya sicu, ada urusan apakah kau hendak mencari Hui ko sute..?"

"Konon Hui ko taysu sudah tidak berada di kuil ini? benarkah perkataan itu?"
Leng kong taysu termenung sebentar, kemudian sahutnya: "Benar, Hui ko memang sudah tidak berada dikuil lagi,
harap sicu suka menerangkan sebenarnya karena persotaan apakah kau datang ke mari?" Pelan-pelan Liong Tian in berkerut kening, kemudian ujarnya: "sesungguhnya aku datang kemari antara persoalan Budhi pek-yap..."

"Aaaah, sicu adalah..." Leng-kong Taysu nampak terperanjat sekali.

Diam-diam Liong Tian-in mendengus dingin, pikirnya:

"Bila aku harus menerangkan alasan yang sebenarnya, sudah pasti dia tak akan memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepadaku lebih baik kurang sebuah cerita bohong saja untuk membohonginya ..."

Dengan cepat dia memutar otaknya sambil termenung, kemudian baru menjawab:

"Hui-ko siansu adalah seorang sanak keluargaku, dahulu dia pernah titipan pesan ayahku untuk menyelidiki masalah Budhi pe-yap dari Hud-bun, dan sekarang sudah ditemukan sedikit titik terang, oleh karena itu "

Mendengar sempai disitu diam-diam Leng kong taysu lantas berpikir:

"Aaai... kesulitan tentang Hiat ci-kim-mo belum selesai, justru dalam keadaan saat seperti ini telah muncul kembali masalah Bu-dhi-pek yap, tampaknya Hud bun "

Pelbagai ingatan dengan cepat berkecamuk dalam benaknya, dia tak bisa mengambil keputusan haruskah memberitahukan tempat tinggal Hui ko kepada Liong Tian im atau jangan." Selintas bawa napsu membunuh segera menyelimuti wajah Liong Tian im, pikirnya dengan cepat:

"Jika kau tidak memberitahukan kepadaku, aaka akan kubekuk dia, kemudian menotok ke tiga belas jalan darahnya dengan Kim mo hiat ci setelah itu memotong keenam urat nadinya"

Mimpipun Leng kong taysu tak mengira kalau didalam
waktu yang amat singkat itu, nasibnya telah diputuskan orang.
Lama sekali dia termenung, kemudian baru ucapnya. "Sicu, tolong tanya kau mempunyai bukti apa yang
menunjukkan kalau Hui ko sute adalah familimu ?"

"Teka teki sekitar mestika Budhi pe yap itulah tanda bukti yang paling jelas"

"Dapat kau beritahukan kepada lolap?"

Liong Tian im tertawa ringan, "Ayahku berpesan harus bertemu sendiri dengan Hui-ko sebelum memberitahukan hal tersebut kepadanya, sedang orang lainnya tak dapat . . ."

"Tapi . . . Hui-ko sudah menjadi gila semenjak dua belas tahun berselang."

"Oooh, begitulah ? Sungguh membuat orang tidak percaya," seru Liong Tian im tercengang.

"Memangnya kau anggap lolap membohongimu ? seru Leng-kong taysu tak senang hati.

"Lantas dia berada dimana sekarang ?" "Sekarang dia berada dibelakang bukit dan dengan menggunakan hasil latihannya berusaha untuk melawan . . ."

Begitu ucapan tersebut diutarakan, dengan cepat pendeta itu menjadi menyesal buru-buru dia menutup mulutnya rapatrapat.

Liong Tuo im mendengus dingin, pikirnya:

"Asal sudah mengetahui tempatnya, buat apa aku musti berada disini lebih lama lagi ?"

Disambarnya bungkusan diatas meja itu, lalu setelah menjura segera membalikkan badan berjalan keluar dari ruangan itu.

Tindakan mana segera membuat Leng-kong taysu tertegun. "Sicu . . ."
"Ada urusan apa?" pemuda itu berpaling.

Paras muka Long Tian im pada waktu itu diliputi hawa dingin yang menggidikkan hati, sorot matanya penuh pancaran sinar buas, sementara dari badannya seolah olah memancar keluar suatu kewibawaan yang luar biasa, jauh berbeda dengan sikap lembut dan batasnya tadi.

Untuk sesaat Leng kong taysu menjadi tertegun, kemudian tegurnya:

"Sebenarnya siapakah kau ?" Liong Tian im tertawa dingin. "Aku adalah Liong Tian im !"

"Liong Tian im ? Liong Tian im . . ?" Leng kong taysu berguman berulang kali.

Mendadak satu ingatan melintas didalam benaknya, dengan cepat serunya kembali:

"Aaah ! jangan jangan dia adalah putra Poh mia giam lo (Raja akhirat perenggut nyawa) Liong Siau thian ?"

Baru saja ingatan tersebut terlintas dalam benaknya, mendadak ia menyaksikan serentetan cahaya ke emas emasan yang amat menyilaukan mata memancar keluar dari arah  meja.

Dengan suatu gerakan yang cepat bagaikan sambaran kilat dia segera membelikan badan sambil mengalihkan seluruh perhatiannya ke atas meja dimana cahaya tajam itu berasal.

Dengan cepat dia menyaksikan sebuah benda yang amat menyolok mata, itulah sebuah cincin yang terbuat dari emas.

Cincin emas itu sangat dikenal olehnya, seakan-akan sudah pernah dijumpainya disuatu tempat namun untuk sesaat lupa dimanakah ia pernah menyaksikan cincin tersebut.

Untuk beberapa saat lamanya dia menjadi tertegun dan berdiri termangu-mangu ditempat.

Mendadak, suatu ingatan melintas kembali dalam benaknya, menyusul kemudian seluruh badannya gemetar bagaikan tersambar guntur di tengah hari bolong saja, tak kuasa lagi dia menjerit keras: "Kim mo ci..."

Dengan sempoyongan dia berlari keluar dari kamar tamu, sementara mulutnya masih bergumam tiada hentinya:

"Aaai...! Dia adalah Hiat ci kim mo, tak kusangka kalau pemuda itulah Hiat ci kim mo."

oooooOaooo

KEGELAPAN malam lelah menyelimuti seluruh angkasa, dalam kegelapan bukit Go bi tampak lebih dingin dan sepi, angin yang berhembus kencang menimbulkan suara deruan yang keras, suara burung yang berpekik diantara hutaan ada kalanya memecahkan keheningan.

Dalam kesepian yang mencekam jagad itulah Liong Tian im dengan mengitari hutan bambu disisi kanan Pek im si menembusi sebuah selat yang sempit.

Lembah itu gelap gulita, tak nampak setitik cahaya lentera pun, juga tak nampak sesosok bayangan manusia, suasana terasa hening seperti mati.

Liong Tian im berdiri didalam lembah sambil menarik napas panjang-panjang untuk mengendalikan gejolak dalam hatinya, dia segera berpikir:

"Setelah menunggu sekian lama, akhirnya aku berhasil juga menemukan setitik cahaya..!"

Sejak dia tahu kalau Hui ko menjadi gila, gejolak perasaan didalam dadanya hampir saja membuat dia tak sanggup menahan kekecewaan dalam hatinya, dia sekali lagi hendak mencuci bukit Go bi dengar cucuran darah. Akan tetapi setelah Leng kong taysu memberitahukan kepadanya jika Hui ko siansu sedang mengasingkan diri dalam Si soat piat hu di bukit belakang, perasaan yang menderita  dan harapannya yang mulai membeku, kini menja di tumbuh kembali.

Karena dia segera akan mengetahui apa yang dia berharap bisa diketahui, termasuk soal ayahnya, ibunya serta peristiwa lampau yang tragis itu. Liong Tian in mendongakkan kepalanya memandang angkasa yang gelap, disitu nampak kilatan cahaya bintang yang seolah-oleh sedang memandang kearahnya sambil mengejek.

Dengan kening berkerut dia lantas berseru: "Hui ko..."
Suaranya menggema sampai kedalam lembah sana, membuat beberapa ekor keIelawar segera terbang keangkasa dengan ketakutan.

Lama sekali dia berdiri dalam lembah yang hening dengan termangu-mangu untuk beberapa saat, pemuda itu tak tahu harus mencarinya darimana...?

"Aaai, Si soat piat hu!" gumamnya penuh kecemasan, "bedebah dengan Si soat piat hu!"

Ia masih teringat dengan keterangan yang di berikan seorang penebang kayu diatas gunung sana, bahwa Si soat piat hu terletak dalam lembah tersebut, namun meski seluruh lembah itu telah dicari, Si soat piat hu belum ketemu.

Segulung angin dingin berhembus lewat seakan akan menembusi hati kecilnya, membuat kekecewaan yang mencekam perasaannya terasa bertambah dingin dan kaku....
Diam-diam ia berpikir:

"Lebib baik besok aku datang lagi, mungkin dipagi hari lebih gampang mencarinya.

Berpikir demikian, dia lantas membalikkan badannya siap berlalu dari lembah tersebut.

"Aaai..." tiba-tiba dari balik lembah itu berkumandang suara helaan napas yang panjang.

Helaan napas yang lirih dan lemah itu ibaratnya guntur yang menggeleger disiang hari bolong, segera menggetarkan perasaannya dan membangkitkan kembali semangatnya.

Secepat kilat dia membalikkan badan dan menyelinap ke atas sebuah batu cadas diatas tebing yang curam itu, kemudian dengan seksama memperhatikan keadaan disekeliling sana.

Selang berapa saat kemudian, benar juga kembali terdengar suara rintihan yang sangat lemah.

Liong Tian im yang lihay sesungguhnya memiliki ketajaman mata dan pendengaran yang luar biasa, sesudah termenung sebentar, ia segera mengetahui kalau rintihan lirih tadi berasal dari atas sebuah tebing disebelah kirinya.

Dengan perasaan girang dii segera menggetarkan sepasang lengannya dan melambung keudara, kemudian secepat kilat dia meluncur sejauh empat kaki lebih dan hinggap diatas tebing curam tadi. Ketika tubuhnya berada ditengah udara, sorot matanya sempat melirik sekejap kebawah dinding batu diatas tebing tersebut diantara sela-sela tumbuhan rotan yang lebar, mendadak ia menangkap setitik cahaya yang lemah memancar keluar dari dalam sana.

Dengan cepat ia bertekuk pinggang lalu menyambar tumbuhan rotan tersebut, kemudian ujung kakinya dengan menginjak diatas tebing tadi, dia merangkak naik.

Ia segera bekerja cepat, tangannya yang tajam seperti golok menyambar kian kemari membabat habis tumbuhan rotan disekitar itu, akhirnya dijumpainya sebuah gua yang lebarnya empat depa.

Sekeliling dinding gua itu penuh ditumbuhi lumut, sarang laba-laba hampir menutupi seluruh mulut gua, seakan-akan sudah berapa ratus tahun lamanya tak pernah di jamah orang.

Liong Tian-in segera berkerut kening, kemudian pikirannya dengan wajah tercengang.

"Masa gua begini pun disebut Si soat piat hu ? Kalau dilihat dari sarang laba-laba yang menyumbat jalan masuk menuju ke gua itu mana mungkin di dalam sana terdapat orang. Huiko tak mungkin sedang duduk mengasingkan diri disitu . . . "

Belum habis ingatan tersebut melintas lewat mendadak dari dalam gua sana berkumandang suara rintihan yang amat lirih, kali ini suara rintihan tersebut dapat terdengar amat jelas, tanpa ragu ragu lagi segera tegurnya dengan suara dalam:

"Hui ko siansu kah yang berada didalam sana ?" Suasana menjadi amat hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suara pun, yang nampak hanya cahaya api berkedip tiada hentinya...

Liong Tian im segera menyingkap tumbuhan rotan yang menutupi sekitar mulut gua, mendadak matanya yang tajam menangkap beberapa huruf tertera diatas dinding gua itu.

"Hmm !" ia mendengus dingin, "ternyata tempat ini benarbenar adalah Si soat piat hu !"

Selapis hawa membunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya, dengan suara lantang dia berseru:

"Hui ko, kau masih belum juga keluar dari sana ?"

Tampaknya orang yang berada didalam gua itu merasakan suatu getaran batin yang amat keras, dengan suara yang parau dan gemetar dia berkata:

"Aku . . . aku tak ingin berjumpa lagi dengan kalian, aku telah mengalami jalan api menuju neraka, kalian jangan memaksa aku untuk membicarakan persoalan itu lagi, aku tak tahu apa-apa... aku tak tahu apa-apa."

Dibalik ucapannya yang memburu terlintas pula perasaan kaget, takut dan ngeri.

Liong Tian im menjidi keheranan, dia tak menyangka kalau Hui ko siansu bisa menyembunyikan diri didalam gua batu yang begitu lembab, dingin dan gelap.

Selesai membersihkan sarang laba laba yang menyelimuti mulut gua itu, ia membungkukkan badan dan pelan-pelan berjalan masuk kedalam. Tapi baru satu kaki dia berjalan, luang gua itu makin melebar sehingga ia tak usah jalan terbungkuk bungkuk lagi.

Liong Tian in mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, tampak diatas dinding gua tergantung sebuah bokor besi, dalam bokor itu terdapat seutas sumbu api yang memancarkan sinar lirih.

Setelah membelok suatu tikungan, tampak ruangan gua itu makin lama semakin melebar, kini lebarnya mencapai berapa kaki, cuma udara dalam gua itu sangat busuk dan menusuk penciuman.

Dengan sorot mata yang tajam dia memperhatikan sekejap sekeliling bangunan gua tersebut diantara lapisan batu hijau yang mengalasi permukaan gua, tampak seorang kakek bertelanjang dada dengan muka penuh jenggot sedang berbaring disudut.

Rambut si kakek yang panjang terurai sepundak, diatas  batu berbentuk persegi penuh tumbuh lumut yang tebal, sehingga sepintas lalu tampaknya seperti ubin berwarna hijau.

Lumut hijaupun tumbuh di seluruh badan kakek itu, sehingga dibawah cahaya lentera yang redup tampak seakan akan seluruh badan kakek itu penuh ditumbuhi lumut hijau.

Liong Tian im agak tertegun menyaksikan kejadian itu, sewaktu datang tadi, ia tak menyangka kalau Hui ko bisa berubah menjadi begini rupa, sepasang alis matanya segera berkenyit.

"Si soat piat hu apaan tempat ini ?" demikian pikirnya, "pada hakekatnya seperti dalam neraka !" Dia maju dua langkah ke depan, mengendus bau yang semakin membusuk, keningnya berkerut semakin kencang, tapi tatkala sepasang matanya yang dingin membentur diatas kaki Hui ko yang cacad, sinar mata itu segera berubah menjadi sangat lembut.

Seketika itu juga segenap kemarahan dan kekesalan yang mencekam perasaannya ketika datang tadi lenyap tak berbekas, rasa dendam yang telah terhimpun selama duabelas tahun pun kontan lenyap dari dalam benaknya, sebagai gantinya adalah timbulnya perasaan kasihan dan iba.

Hui ko membungkukkan badannya seolah-olah sedang merasakan suatu penderitaan yang luar biasa, sorot matanya sayu dan diliputi perasaan kaget gugup dan tidak tenang.

Peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi wajahnya yang kurus kering dia seakan akan berada dalam liang neraka dan menerima siksaan paling berat yang ada di dunia ini, buih putih muntah keluar tiada habisnya dari ujung bibir yang kering bahkan bercampur pula dengan noda-noda darah.

Pemandangan yang sangat mengerikan ini sungguh membuat orang bergidik dan tak tega, Liong Tian im segera berkata dengan lembut:

"Apakah kau merasa amat menderita ?" "Siapakah kau?" tanya Hui ko gemetar.
Begitu menangkap suara pembicaraan kakek itu mendadak Liong Tian im merasakan kembali suatu gejolak perasaan yang amat hebat, pelbagai musibah yang keji dan buas segera selintas kembali di dalam benaknya. Dari balik biji matanya yang bening segera nemancar kembali sinar tajam yang dingin dan menggidikkan hati, dalam waktu singkat, hawa pembunuhan yang amat tebal dengan cepat menyelimuti wajahnya.

Ia tertawa dingin, pelan pelan telapak tangan kanannya diangkat keatas ke lima jari tangannya direntangkan hingga kelihatanlah cincin besar di jari tengahnya yang menonjol besar.

Begitu melihat cincin iblis emas tersebut, Hui ko siansu segera menjerit kaget, bagaikan terkena aliran listrik bertegangan tinggi, sekujur badannya gemetar keras, dengan susah payah dia menjulurkan jari tangannya yang gemetar untuk meraba cincin ditangan Liong Tian im tersebut.

Akan tetapi sewaktu jari tangannya hampir menyentuh diatas ukiran iblis emas yang berambut panjang, bermata besar dan berwajah menyeringai seram itu, rasa takut bercampur ngeri segera memancar keluar dari balik matanya, dengan cepat dia menarik kembali jari tangannya.

"Kim. . . . kim mo ci, kau adalah Jian hun kin mo?" bisiknya gemetar.

Liong Tian im tertawa dingin.

"Aku adalah murid Jian hun kim mo !"

Kemudian setelah berhenti sejenak, bentaknya keras keras
: "Hui ko, coba perhatikan yang seksama siapakah aku ?"

Hui ko melototkan sepasang matanya yang berwarna merah darah dan menghentikan pandangannya yang takut
dan bercampur ngeri di atas wajah Liong Tian im, lama sekali ia memandang sebelum secara tiba-tiba menjerit sekeras kerasnya.

Ia tak sanggup mengendalikan gejolak perasaannya lagi, dengan suara gemetar katanya:

"Kau adalah putranya Liong Siau thian."

Bagaikan berjumpa dengan suatu peristiwa yang amat mengerikan, dengan ketakutan setengah mati dia melingkarkan tubuhnya menjadi satu dan menarik narik rambut dengan sepasang tangannya.

Dalam waktu singkat semua rasa sedih, menderita dan pelbagai perasaan lain yang selama ini mencekam dalam dadanya, segera di lampiskan keluar.

Dia seperti menyaksikan kembali suatu peristiwa ngeri yang pernah dialaminya dimasa lalu, sepasang matanya berubah makin merah seolah olah gumpalan darah yang makin membeku....

"Tepat sekali perkataanmu itu" kata Liong Tion-im dengan suara dalam, "aku memang putranya Liong Siau thian"

Sekuat tenaga Hui-ko siansu berusaha untuk  mengendalikan gejolak perasaannya, dengan cara rendah dia mendesis:

"Kau tak usah bertanya kepadaku, aku tak tahu apa-apa, aku tak tahu apa-apa."

"Liong Tiang im telah menemukan penderitaan didalam hatinya dia pun tahu Hui ko siansu tak berani berbicara terus terang karena ditekan oleh suatu kekuatan yang menggidikkan hatinya.

"Kau pasti tahu" katanya dingin, "dalam dunia ini hanya kau seorang yang mengetahui persoalanku ..."

"Aku tidak tahu !" jerit Hui ko semakin ketakutan, sampai suaranyapun turut gemetar.

"Hui ko, dalam ingatanku hanya kaulah yang paling kukenal, ketika aku lolos dai cengkeraman maut malaikat elmaut, hanya kaulah yang memberi seteguk air kepadaku.."

Hui ko siansu melingkari tubuhnya makin kencang, suaranyapun semakin gemetar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar