Cincin Maut Jilid 01

Jilid 01 
BUKlT LAU SAN mempunyai ketinggian mencapai ribuan meter dari permukaan air laut pohon yang tumbuh diatas  bukit itu amat lebat dan rimbun, sudah ratusan tahun lamanya tak pernah ada manusia yang menjamah tempat itu, tidak heran kalau timbunan daunan yang membusuk mencapai ketinggian beberapa depa.

Cahaya matahari tak dapat menembusi sela-sela dedaunan yang lebat, itulah sebabnya dedaunan yang membusuk di sana menyiarkan bau busuk yang tidak tertahan, entah manusia atau binatang yang berani memasuki daerah tersebut, niscaya akan keracunan yang mengakibatkan ajal.

Waktu itu mendekati tengah hari, matahari bersinar dengan teriknya seolah-olah hendak memusnahkan segenap benda yang berada di dalam jagad, pepohonan pada lunglai kekeringan, daun bergelantungan layu, seakan-akan sedang menundukkan kepalanya terhadap teriknya matahari...

Kabut berwarna kuning yang tebal, selapis demi selapis muncul dari balik lautan pepohonan yang lebat, lalu menguap keatas dan menyebar keempat penjuru...

Bau harum semerbak menyebar pula keempat penjuru mengikuti menyebarnya kabut berwarna kuning itu ketika beberapa ekor burung kecil terbang melintas diatas lapisan kabut kuning tadi, mendadak tubuhnya menukik ke bawah dan terjatuh kedalam hutan.

Dalan keadaan seperti itulah, seorang pemuda bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek berlarian menelusuri sebuah jalanan kecil, ia mendongakkan  kepalanya memandang kabut kuning yang berbentuk payung di angkasa itu, kemudian sambil berkerut kening gumamnya:

"Tujuh puluh sembilan hari saat untuk melatih ilmu kebal terhadap racun sudah tinggal hari ini, semoga mulai besok suhu jangan menyuruh aku memasuki hutan yang diliputi kabut beracun lagi"

Ia meraba rambutnya yang digulung menjadi sebuah sanggul kecil itu lalu menarik napas panjang, sepasang
lengannya sedikit digetarkan, tubuhnya segera melayang sejauh dua kaki dan menerobosi kabut kuning yang tebal itu, hinggap diatas dedaunan yang tebal seperti permadani itu.

Cahaya matahari yang panas menembusi kabut kuning yang tebal dan menguapkan sebagian diantaranya, dalam lamat-lamatnya udara, tampak pemuda itu sedang duduk bersila disana sambil bersemedhi, sepasang tangannya pelan
pelan meraba sekujur badannya, dalam tarikan dan hembusan napasnya, tampak kabut kuning itu muncul sebuah gelombang yang amat besar, seperti dihisap oleh sebuah alat penghisap yang amat besar saja.

Matahari makin bergeser tempat kedudukannya, kini matahari sudah berada di tengah awang awang, tersengat udara yang panas, kabut kuning itu makin menguap ke udara, maka kabut kuning yang menyelimuti diatas dedaunan pepohonan disekitar sanapun makin lama semakin bertambah tebal.

Mendadak, terdengar suara bentakan keras bergema dari balik kabut, sesosok bayangan manusia melejit setinggi dua kaki lebih dan keluar dari lingkaran kabut, kemudian ujung jarinya menyambar kian kemari, dalam waktu singkat dia telah melancarkan dua belas buah totokan kilat,

Dalam waktu singkat, bayangan jari tangan menyelimuti seluruh angkasa, suara desingan angin tajam menderu-deru, jari tangan kanannya yang melepaskan totokan itu bagaikan di pelepoti darah segar saja, berwarna merah tua dan menyalanyala bagaikan jilatan api.

Tubuhnya yang berlapiskan cahaya kekuning-kuningan itu berjumpalitan beberapa kali ditengah udara, setelah menembusi kabut kuning, dia melayang kembali ke atas tanah. "Haaahh ..haaahh,. .haaahh...!" menyaksikan hawa kabut yang menggulung-gulung seperti gulungan ombak, tanpa terasa dia tertawa tergelak.

Suara yang menyebar ke empat penjuru itu terasa diliputi oleh perasaan getir, kecut bercampur girang.

Dengan tenang dia mendengarkan suara pantulan tertawanya yang menggema diseluruh bukit itu, sementara sepasang matanya berkaca-kaca karena air mata, gumamnya dengan nada terharu:

"Oooh, akhirnya berhasil juga kulatih ilmu Jian hun bit ci (jari darah sisa sukma)."

Setelah banyak tahun merasakan siksaan dan pelbagai macam penderitaan akhirnya semua penderitaan tersebut mendatangkan buah yang manis, justru karena buah yang berhasil diraihnya itu datang dengan susah payah, tak heran kalau rasa gembira yang mencekam perasaamya pun jauh melebihi pukulan batin serta penderitaan yang pernah dialaminya.

Kehidupan yang penuh dengan penderitaan serta air mata akhirnya telah berlalu, sekarang dia sudah akan memasuki suatu lingkungan kehidupan yang baru.

"Akhirnya semua telah berlalu!" dia menyeka air matanya dan berguman: "kehidupan yg penuh dengan siksaan serta penderitaan akhirnya telah berlalu, mulai sekarang, aku tak akan dipermainkan orang lagi, aku akan membalaskan dendam berdarah dari ayah ibuku " 

Dikala gejolak perasaannya sudah mulai mereda dan tenang paras mukanya pulih kembali jadi dingin dan hambar, cahaya keemas-emasan yang terpancar keluar dari badannya juga turut sirna.

Dia menarik napas panjang, lalu berlarian menuju ke arah dimana dia datang semula.

Dibawah cahaya matahari, tubuhnya nampak begitu pendek, seolah-olah melayang tanpa menginjak permukaan tanah, sekejap mata kemudian tubuhnya sudah puluhan kaki meninggalkan hutan belantara tersebut.

Sepasang puncak bukit yang tinggi muncul didepan mata, sebuah selat sempit membentang diantara jepitan kedua bukit tadi, dinding tebing yang curam menjulang jauh ke angkasa, membuat pemandangan disekitar situ nampak menyeramkan.

Dibawah cahaya matahari yang terik, pemuda itu berjalan memasuki selat sempit itu dan berhenti didepan sebuan dinding batu.

Diatas dinding itu tertera beberapa huruf yang amat besar sekali,

Dengan suara dalam pemuda itu segera membaca:

"Liong Tian-im, jangan melupakan dendam perguruanmu !"

Kemudian sambil mengepal sepasang tinjunya dia bergumam:

"AKU Liong Tian im setiap saat setiap detik tak akan pernah melupakan dendam perguruanku !"

Memandang beberapa huruf besar yang diukir sendiri diatas dinding bukit itu, sepasang matanya kembali berkacakaca, dia masih ingat pengalamannya pada delapan tahun berselang ketika setiap malam secara diam-diam ia memasuki lembah kembali untuk belajar silat, beberapa huruf besar itu selalu diukirnya diatas dinding, sekarang ia telah menginjak dewasa, ilmu silatnya telah berhasil dikuasai, namun beberapa huruf besar itu masih tertera dinding batu.

Membayangkan kembali semua penderitaan dan siksaan yang telah dialaminya selama banyak tahun ini, selain perasaan getir dan kecut, diapun merasa sedikit agak bangga.

Setelah agak lama berdiri dalam selat sempit itu, dia baru menghembuskan napas panjang sambil berpikir:

"Bila dendam kesumat sedalam lautan ini sudah kutuntut balas, aku baru akan datang kembali kemari untuk meratakan beberapa huruf tersebut, sebaliknya bila ada suatu ketika aku sampai melupakan dendamku sendiri, maka, aku masih mempunyai kesempatan untuk datang kemari dan membaca lagi tulisan yang kuukir sendiri disini."

Bergumam sampai disitu, dia lantas membalikkan badan  dan berjalan keluar dari selat tersebut, kemudian dari selat itu menuju ke padang rumput yang luas dan meninggalkan tempat jauh di belakang sana.

Dibawah teriknya matahari dari tempat kejauhan sana ia masih sempat membaca ketiga huruf besar berwarna merah darah yang tertera diatas tebing selat tersebut, itulah tulisan yang berbunyi :

Si wang kok (lembah kematian).

Dengan mengembangkan ilmu meringankan tubuhnya yang amat sempurna, Liong Tian im berlarian menuju kearah sebelah kanan, melompat turun dari atas bukit, lalu menembusi sebuah hutan yang pendek dan tiba disebuah tebing dengan batuan yang sangat aneh.

Suara percikan air yang menggelegar dari kejauhan sana, dihadapannya muncul sebuah air terjun yang besar sekali.

Liong Tian im tak sempat untuk menikmati keindahan alam diseputar air terjun itu, dia segera membungkukkan badan memenuhi dua buah tabung air yang tergeletak ditepi telaga dengan air, kemudian cepat-cepat lari menuju gua Pek soat tong.

Sebuah jalan kecil terbentang menembusi sebuah hutan tho dan menghubungkan tempat itu dengan gua Pek soat tong, Sambil memikul dua pikul air, Liong Tian im menaiki tangga batu menuju kedapur.

Seorang tosu tua berbaju abu abu sedang sibuk didalam dapur melihat Liong Tian in mun cul disana, dia segera berkata:

"Siau-im. apa sih yang lagi kau lakukan? Mengapa hingga kini baru pulang? waktu bersantap didalam kuil baru saja Iewat, coba kalau aku tidak meninggalkan sedikit sayur untuk mu, niscaya kau akan berpuasa." Mencorong sinar dingin yang menggidikan hati dari balik mata Liong Tian im, serunya dengan geram:

"Suatu hari, akn akan membunuh mereka!"

"Ooh, Siau im, jangan berkata begitu" buru-buru tosu tua itu mencegah. "Hian cin dan Hian keng mempunyai mata mata dimanamana, ilmu silat yang merka miliki pun sangat tinggi."

Setelah celingukan kesana kemari, lanjutnya:

"Siau im, aku lihat lebih baik cepat-cepat turun gunung, pergilah ke Bu tong pay, disana aku mempunyai seorang suheng, ilmu silat yang dimilikinya berasal dari aliran Bu tong..."

"Terima kasih atas maksud baikmu" tukas Liong Tian im, "aku..."

Belum habis dia berkata, seorang tosu muda sudah muncul disitu dengan langkah tergesa-gesa, dari kejauhan dia telah berteriak keras.

"Reng beng, kau melihat Siau im."

"Ada urusan apa kau mencari aku?" seru Liong Tian im dingin.
Tosu muda itu agak tertegun, kemudian jengeknya: "Heeehh... heeehh...heeehh, kau jangan berani berlagak
dihadapanku...?"

"Bila kau berani mengucapkan sepatah kata kotor saja dihadapanku, aku akan segera menjagal dirimu!" ancaman Liong Tian im dengan suara sedingin salju.

Tampaknya tosu muda itu dibuat keder juga oleh sikap Liong Tian im yang berwibawa, dia lantas berseru: "Hian keng susiok ada urusan mencirimu, jangan kau salahkan diriku, toh aku tidak mengusik mu?"

"Ada urusan apa dia datang mencariku?" seru Liong Tianim keheranan.

Tapi setelah termenung sebentar, katanya: "Dimanakah Tongcu dia orang tua?"
Tosu muda itu segera menggelengkan kepalanya berulangkali.

"Aku tak tahu bagaimana dengan keadaan (pemilik gua), cuma menurut apa yang kudengar dari Hiao cing susiok, konon Tong cu sedang sakit parah "

"Apa? Tongcu sakit parah? Sakit apa yang di deritanya?" seru Liong Tian im terkejut.

"Soal ini aku kurang begitu tahu," tosu muda itu mengangkat baru bahunya, "Hian cing susiok melarang sembarangan orang masuk ke-dalam."

Mendengar perkataan itu, Liong Tian im segera berkerut kening, katanya kemudian:
"Baiklah, selesai berpakaian aku akan segera kesana." Dia segera lari kedalam sebuah kamar disamping dapur,
cepat berpakaian pikirnya:

"Heran, mengapa suhu bisa menderita sakit, jangan-jangan perbuatan si laknat itu?" Berpikir sampai disitu, sambil menggertak gigi dia bersumpah: "Jika mereka berani bermain setan secara diam-diam, seketika itu juga akan kurenggut nyawa mereka, agar mereka dapat menyaksikan sampai dimanakah kelibayan dari akali waris Jian -hun kim mo (iblis emas sita sukma) . . ."

Selesai berpakaian dia segera berangkat menuju tentang tengah.

"Orang she Liong !" mendadak bentakan nyaring berkumandang dari belakang tubuhnya kemudian muncullah seorang tosu setengah tua yang bertubuh kekar.

Ia menghadang jalan pergi Tian im, kemudian bentaknya dengan suara dalam:

"Tongcu mengundang kau masuk, bila ada sesuatu yang disampaikan kepadamu, setelah ke luar nanti jangan mencoba untuk kau rahasiakan, mengerti . . ."
"Mengerti, Hian keng totiang !" jawab pemuda itu ketus. "Hian keng!" seorang tojin setengah umur berjubah merah,
bermuka macam monyet dengan jenggot bercabang tiga, lari keluar dari dalam gua.

Ketiki dilihatnya Liong Tian im berada di titu. sambil menarik muka segera tegurnya:

"Bocah keparat she Liong, kau sudah lari kemana saja? Bikin pinto menjadi susah saja untuk mencarimu kemana mana."

"Bagaimana keadaan si setan tua itu?" Hian keng totiang segera bertanya. "Setan tua itu bersikeras hendak jumpa muka dengan keparat itu, katanya sebelum berjumpa dengan keparat ini, barang tersebut tak akan diserahkan."

Mencorong sinar buas dari balik mata Hian keng totiang, mendadak dia menggerakkan kedua jari tangan kanannya dan menotok kebawah iga Liong Tian im.
Setelah itu sambil menyeringai seram katanya: "Sekarang, jalan darahmu sudah kutotok, bila lo-tongcu
ada sesuatu pesan nanti, kau harus menyampaikannya kepada kami, kalau tidak dalam dua jam kemudian kau bakal mampus!"

"Aku tahu!" Liong Tian-im manggut manggut padahal dalam hati kecilnya dia tertawa dingin sambil membatin:

"Bi'a aku telah berjumpa dengan suhu nanti hmm, keluarnya pasti akan memberi sebuah pertunjukan bagus untuk kalian berdua"

Dalam keadaan gugup bercampur tegang, mimpipun Hiankeng totiang tak mengira kalau semua kekuatan dari totokannya tadi telah dipunahkan oleh kekuatan yang terpancar keluar dari Liong Tian-im, tentu saja dia pun tak menyangka kalau totokannya tak akan bereaksi lagi.

"Bocah keparat!" terdengar Hian cing totiang berseru dengan bengis, "bila kau berani berbohong setengah patah kata saja, hati hati kalau kujagal dirimu !"

Dari balik mata Liong Tian im segera memancar keluar sorot mata yang dingin menggidikkan, ditatapnya sekejap wajah Hian-cing tootiang kemudian mendengus. Dalam sekejap mata inilah, dia telah mengambil keputusan didalam hatinya apa yang mesti dia lakukan.

Tampaknya Hian-cing totiang sendiri pun dibikin agak bergidik oleh sikap Liong Tian im yang menyeramkan itu, ia tidak banyak berbicara lagi, sambil mendorong tubuh Liong Tian im, ujarnya:

"Hayo cepat masuk !"

Dengan mulut membungkam Liong Tian im mendorong pintu ruangan dan masuk kedalam.

Dalam ruangan terdapat sebuah hiolo besar, asap dupa mengepul keluar dari dalam hiolo tersebut dan memenuhi seluruh ruangan.

Dalam sekilas pandangan saja, Liong Tian-im telah menyaksikan dibelakang sebuah hiolo besar, diatas pembaringan, berbaringlah seorang tosu tua yang kurus kering.

Tak tahan air matanya segera bercucuran, serunya sambil menahan isak tangis.

"Oooooh, suhu . .. "

Pelan pelan tosu tua yang berbaring diatas pembaringan itu membalikkan badannya, lalu bertanya dengan suara gemetar:

"lm ji kah disitu ? Cepat kemari !"

"Ooooh suhu, kenapa dengan kau orang tua?" Liong Tian im menubruk maju ke muka. Tosu tua itu menghela napas panjang.

"Aaai, sungguh tak kusangka setelah hidup malang melintang selama banyak tahun, akhirnya aku menerima akibat seperti saat ini, Aaai.. . dunia selalu berputar, aku tidak mengira bakal tewas ditangan murid muridku sendiri ..."

"Suhu, biar aku keluar dari sini dan membunuh mereka !" seru Liong Tian-im sambil menggertak gigi.

"lm-ji, dengarkan dulu perkataanku !" kata tosu tua itu sambil memegang lengan Liong Tian im dengan tangannya yang kurus kering.

"Ooh suhu, mengapa kau orang tua masih ingin
melepaskan mereka ?" isak tangis pemuda itu makin menjadi.

Tosu tua itu meronta dan merangkak bangun kemudian katanya :

"Jangan salahkan mereka, salah aku sendiri kenapa mataku buta "

Sinar matanya dialihkan kearah asap putih yang melayang dalam ruangan gua, kemudian melanjutkan : Sejak aku dipukul sehingga terluka oleh tiga orang setan tua di bukit Thay san pada tiga puluh tahunan berselang, mulai saai itu. lukaku tak pernah menjadi baik, maka akupun masuk agama to dengan harapan simhoat tenaga dalam dari golongan agama To bisu dipakai untuk menyembuhkan lukaku "

"Simhoat tenaga dalam kita jauh berbeda dengan simboat tenaga dalam golongan beragama, menurut penglihatan tecu, justru aliran yang tidak lurus bisa lebih cepat mendatangkan hasil Suhu, dengan melatih ilmu sim hoat dari golongan beragama, masakah kau dapat meraih suatu hasil yarjg jauh lebih besar"

Tosu tua itu menghela nafas panjang,

"Aaai . . .selama hidup aku selalu berkecimpungan dalam aliran sesat, cita citaku ingin menguasahi seluruh jagad dan menjadi orang nomor wahid dikolong langit, siapa tahu garagara dendam perguruan, aku harus mengalami nasib seperti sekarang ini."

Sesudah menghembuskan napas panjang, kembali dia melanjutkan:

"Pada mulanya aku mengira tubuhku yang telah dilukai oleh ilmu silat aliran agama Budha, tentu akan bisa disembuhkan dengan ilmu aliran agama To. siapa tahu aliran agama To lebih mengutamakan ketenangan dan keheningan, sebaliknya kepandaian dari aliran kita justru lebih mengutamakan gerak, otomatis simhoat tenaga dalamnya
berlawanan satu sama lainnya, oleh sebab itu setelah puluhan tahun belajar tenaga dalam aliran agama To, bukan saja tidak berhasil meraih keuntungan apa apa, malah justru hal itu menjadi momok bagi diriku sendiri . . ."

Dengan pedih dia menggelengkan kepalanya berulang kali, kemudian melanjutkan:

"Anak Im, selama hidup aku paling benci dengan orang orang dari golongan Buddha, tahukah kau apa sebabnya ?"

"Soal ini tecu tidak tahu." Liong Tian im menggelengkan kepalanya berulang kali. Tosu tua itu memejamkan matanya rapat-rapat, kemudian melanjutkan:

"Simhoat tenaga dalam perguruan kita bersifat merangsang untuk bergerak maju ke depan, tapi bila sudah mencapai suatu tingkatan tertentu maka secara tiba tiba akan berhenti, keadaan tersebut harus ditolong oleh semacam simhoat tenaga dalam yang lainnya sebagai jembatan penyeberang, dengan jembatan itulah kau baru akan berhasil mencapai suatu tingkatan yang sempurna, waktu itulah kau akan mencapai suatu tingkatan yang luar biasa, yang keadaannya tak berbeda jauh dengan puncak kesempurnaan yang bisa diraih oleh aliran lurus lainnya .."

"Tentang soal ini, mengapa tecu tidak tahu?" tanya Liong Tian im tercengang.

"Kau harus melatih diri selama tiga tahun lagi sebelum dapat mencapai ke tingkatan seperti yang kukatakan barusan," kata tosu tua itu kembali "waktu itu kau akan merasakan, bagaimanapun giatnya kau berlatih diri, tetapi seperti tiada kemajuan apapun yang bisa diraih .. ." setelah tertawa getir, dia melanjutkan:

"Seandainya aku tidak gagal mendapatkan simhoat tenaga dalam yang baru sebagai jembatan penyeberangku, mana mungkin, aku bisa dilukai oleh ketiga orang tua bangka dari golongan Budha itu ? Dan mana mungkin aku bakal menderita siksaan seperti saat ini "

Mendadak wajahnya berubah menjadi merah padam, lanjutnya :

"lm ji, kau telah memperoleh warisan ilmu silatku, aku tak ingin menyaksikan kau mengalami pula nasib seperti diriku sekarang, maka aku harus memberitahukan kepadamu, ilmu simhoat tenaga dalam yang dibutuhkan bagi perguruan kita sebagai ilmu jembatan penyeberang itu tertera diatas sebuah genta . . ."

"Sebuah genta ?" Liong Tian im tercengang, "genta macam apa ?" Tosu tua itu terengah engah dengan napas memburu, tiba-tiba saja sekujur badannya gemetar keras:

"ltulah sebuah genta yang terbuat dari emas-murni "

Menyaksikan keadaan tosu tua itu bagaikan orang yang mabuk oleh arak, dengan terkejut Liong Tiam-im segera membangunkan tubuh tosu tua itu, kemudian teriaknya:

"Suhu, beristirahatlah lebih dulu "

"Beristirahat ?" tosu tua itu mendengus marah, "aku mana punya waktu lagi untuk beristirahat?"

Dengan wajah serius segera sambungnya:

"lm ji. aku lihat kau cerdas, pandai, berbakat dan hidup sebatangkara sejak kecil, itulah sebabnya aku menerimamu menjadi murid dan mewariskan kepandaian silat kepadamu, aku harap kau bisa menemukan genta emas itu, mempelajari simhoat tenaga dalam yang tertera di dalamnya serta mensukseskan kembali nama perguruan kita didalam dunia persilatan "
Setelah terengah engah beberapa saat, dia melanjutkan: "Bila kau telah mempelajari simhoat tenaga dalam yang
tertera diatas genta emas itu, carilah ahliwaris dari Hud bun sam seng (tiga malaikat dari golongan Buddha) untuk membalas dendam sakit hatiku..."

Setelah menghembuskan napas panjang, dia menyambung lagi:

"Segera bawalah Kim mo sin jin (orang suci iblis emas)  turun gunung, jangan perdulikan hadangan dari kedua orang binatang itu, ingat! setelah turun gunung kau harus membunuh dua ratus orang hwesio untuk membalaskan sumpah yang pernah ku ucapkan ketika hendak meninggalkan perguruan dahulu."

"Bila Hian cing dan Hian keng melakukan pengejaran apa yang mesti kulakukan.."

"Jangan bunuh mereka" jawab tosu tua itu dengan suara parau, wajahnya telah berubah menjadi pucat keabu-abuam "tunggulah tiga tahun dan datanglah kembali kesini, saat itulah kau boleh menentukan apakah harus membunuh mereka atau tidak."

Setelah berhenti sebentar, serunya:

"Cepatlah turun gurung, jangan kau gubris diriku lagi." "Suhu..." pekik Liong Tian im dengan air mata bercucuran
Sambil menuding kebawah kolong ranjang nya dengan jari tangan yang kurus kering, tosu tua itu berbisik dengan suara gemetar:

"Kim mo ci huan (cincin jari iblis emas) dan Kim mo sin jin (orang suci iblis emas)..." Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak sepasang matanya membalik ke atas dan tangannya yang kurus kering itu kembali terkulai kebawah...

Liong Tian im segera menangis tersedu-sedu, dipeluknya tubuh tosu tua itu erat-erat, kemudian semua rasa sedih dan duka yang selama ini mencekam dalam dadanya dilampiaskan ke luar melalui tangisan tersebut.

"Blaam..!" tiba-tiba pintu kamar didobrak orang dengan kekerasan.

Dengan wajah tertegun Liong Tian im segera berpaling, dia menyaksikan Hiancing totang dan Hian keng tojin dengan wajah diliputi hawa napsu membunuh telah melangkah masuk kedalam.

Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya, cepat dia merogoh kedalam kolong ranjang dan mengeluarkan sebuah bungkusan kain biru.

"Apa yang kau ambil dari situ? Cepat serahkan kepadaku" Hian cing totiang segera membentak keras.

Liong Tian im sama sekali tidak menjawab tubuhnya berkelebatan lewat dari samping Hian cin totiang dan menuju kearah pintu.

Tapi Hian keng totiang telah menghadang disitu, terdengar tosu itu membentak gusar:

"Siau im kau hendak kabur kemana?" Melihat jalan  perginya dihadang oleh Hian keng totiang, Liong Tian im segera mengayunkan telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan dahsyat kedepan. Hian keng totiang mendengus tertahan, termakan oleh serangan tersebut tubuhnya tergetar mundur sejauh dua langkah, punggungnya menumbuk diatas dinding dari membuat gerakan Hian cing totiang yang siap melakukan pengejaran jadi terhadang.

Liong Tian-im sama sekali tak berpaling lagi, dia melompat keluar dari ruangan dan langsung keluar dari gua itu dan lari turun gunung.

Dalam waktu singkat dia telah meninggalkan Hian cing totiang serta Hian-keng totiang jauh dibelakang sana.

Karena harus melarikan diri terburu-buru, saat itu Liong Tian im hanya mengenakan clelana pendek sambil bertelanjang dada, ia tak ambiI perduli apakah dandanannya tak sedap dilihat atau tidak, begitu turun dari bukit Lau lalu dengan cepat pemuda itu kabur ke arah tlasua yang terletak tak jauh dari situ.

Mendadak dari depan sana muncul dua orang penunggang tuda yang sedang bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi, berada di jagoan menuju ke mulut bukit itu Liong Tian Im dapat mengenali mereka sebagai seorang lelaki dan seorang perempuan yang mengenakan pakaian berwarna hijau.

Debu tampak mengepul jauh memenuhi angkasa, ditengah derap kaki kuda yang ramai terdengar tertawa cekikikan yang merdu.

Dalam waktu singkat, kedua orang penunggang kuda itu sudah tiba didepan mata. Dengan cepat seluruh perhatian Liong Tian im tertarik oleh suara tertawa yang amat merdu itu, tanpa terasa sorot matanya dialihkan, ke atas wajah dara tersebut.

Kebetulan, gadis yang berada disebelah kiri itupun sedang berpaling ke arahnya sambil tertawa.

Ketika sepasang mata saling bertemu, tampaklah sepasang lesung pipi si nona yang menggiurkan hati itu, dia segera merasa bahwa di balik senyuman mana terkandunglah suatu kelembutan serta kehangatan yang cukup mendebarkan hati.

Liong Tian-im menjadi tertegun, tiba-tiba dia menyaksikan ada secarik sapu tangan berwarna hijau terjatuh di depan kakinya.

ia segera membungkukkan badannya memungut sapu tangan itu, tampak diatasnya bersulamkan sekuntum bunga mawar, disisi bunga mawar tadi tertera tiga huruf nama dalam tulisan yang kecil.

"Leng Ning ciu . .. " bisiknya lirih, Ketika ia mendongakkan kembali kepalanya, tampak debu mengepuI nun jauh disana, sementara bayangan tubuh si nona itu sudah lenyap dari pandangan mata.

Suatu perasaan aneh tiba-tiba muncul dalam hatinya, kemudian sambil membawa saputangan itu, diapun melanjutkan perjalanannya menuju ke arah dusun didepan situ.

oooOooo Hujan yang rintik-rintik terdengar menggemuruh memecahkan keheningan, bagai melelekan air mata kekasih, setetes demi setetes ia toh bercucuran ke bawah...

Kuil Kim soat-si di atas bikit berdiri tegak dibawah timpaan hujan yang merintik, dinding warna merah dan atap berwarna hijau nampak lebih nyata dalam suasana seperti ini. "Traaang
.. .!"

Suara genta yang amat rendah tapi berat, berkumandang dari arah kuil Kim-soat-si, suara genta menggema ke angkasa dan memecahkan keheningan yang mencekam sekitar tempat itu...

Bersamaan dengan bergemanya suara genta itu, pintu gerbang kuil Kim-soat-si yang angker pun pelan-pelan dibuka orang.

Sebuah jalan kecil beralaskan batu cadas membentang dari pintu gerbang sampai di depan ruang utama, titik air mata bagaikan butiran mutiara menetes ke bawah dari wuwungan rumah yang rendah...

Pada saat itulah muncul dua baris pendeta yang merangkap tangannya didepan dada menyelusuri hujan rintik dan berdiri di kedua belah sisi kuil Lim-soat si tersebut.

Kedua baris pendeta pendeta itu berdiri dengan pandangan mata ke bawah serta sepasang tangan dirangkap di depan dada, mereka seperti patung arca yang berdiri tak berkutik di tempat, meski butiran air hujan menimpa wajah mereka dan membasahi sekujur badan. 

Hujan semakin rintik . . . . Mendadak berkumandang suara bentakan yang amat nyaring: "Hiong-hoat taysu dari Siau lim-si tiba . . ."

Suara bentakan itu berasal dari bawah kaki sana, nyaring dan lantang bagaikan suara guruh . . .

serentak kawanan pendeta yang berbaris di kedua belah sisi kuil itu membuka mata mereka dan mengalihkan sorot matanya ke bawah bukit.

Tampak seorang pendeta tua berbaju abu abu berjalan menembusi tanah yang becek, menghampiri pintu gerbang kuil itu.

Setelah menyebut keagungan Eudha serta membalas hormat kepada penyambutnya, dia berjalan masuk ke dalam kuil Kim soat-si.

"Hui-leng taysu dari Go bi pay ..."

Belum lama Hiohg hoat taysu dari Siau lim pay masuk kedalam kuil, dari bawah bukit kembali muncul seorang pendeta berbaju kuning yang wajah merah bercahaya.

Dengan sepasang matanya yang bulat besar dia memandang sekejap keseluruh kuil Kim soat si, sekulum tenyum ramah segara tersungging diujung bibirnya yang ramah, mengikuti pendeta penerima tamu dia pun langsung masuk kedalam kuil.

"Thian it taysu dari Ngo tay pay dan Cu soat taysu dari Heng san pay tiba . . ."

"Omitohud!" pujian Buddha yang nyaring bagaikan genta menggema diseluruh bukit itu. PantuIan suaranya dengan cepat menyebar ke mana mana dan memekikkan telinga setiap pendeta yang berada disitu.

Cu soat taysu mendongakkan kepalanya memandang sekejap kuil Kim soat si dibawah timpaan hujan itu, kemudian katanya:

"Semoga Buddha maha pengasih memberi perlindungan kepada kita semua, sehingga dalam pertemuan kalangan Buddha Han bun Ci bwee ini, kita berhasil memahami pula ayat To sim", "Boan-yok" dan "sah po" yang tercantum dalam Siau seng keng gi, sehingga kebingungan yang menyelimuti pelajaran tersebut selama ratusan tahun bisa menjadi terang kembali . . . "

Thian it taysu berpaling menengok sekejap ke bawah bukit sana, setelah itu menjawab:

Gara-gara masaIah Siau seng keng gi, selama ratusan tahun perguruan Buddha kita telah terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok aliran, andaikata penemuan Hud bun ci hwee yang diselenggarakan di bukit Thay san kali ini bisa berhasil dengan sukses, kemungkinan besar aliran Buddha akan memasuki suatu tahap baru. . ."

Sembari berbicara kedua orang itupun melangkah masuk ke dalam ruang kuil Kim soat-si.

Menanti tamu tamu itu sudah masuk ke dalam kuil, dua baris pendeta yang bertugas menerima tamu diam diam menghembuskan napas lega, mereka mengira tugasnya telah selesai. Baru saja akan melangkah masuk ke dalam kuil, mendadak dari arah jalan bukit sana kembali berkumandang suara bentakan yang amat keras.

Tampak seorang hwesio berjubah merah dengan sepasang alis mata berwarna hitam tebal dan membawa sebuah tongkat sian cang yang berwarna hitam pekat berjalan mendekat dengan langkah lebar.

Kehadiran pendeta sangat mencengangkan kawan pendeta lainnya, mereka tidak menyangka kalau dalam kalangan aliran Budha masih terdapat seorang pendeta yang tinggi kekar untuk menghadiri pertemuan didalam kuil Kim-soat-si.

Buru buru dua baris pendeta yang siap membuyarkan diri tadi membatalkan niatnya dan bersama-sama mengalihkan sinar matanya ke-atas wajah hwesio berjubah merah itu.

Pendeta berbaju merah itu berkepala gundul dengan enam buah tato diatas jidatnya, perawakan tubuhnya tinggi besar macam kerbau tongkat siancang yang dibawanya sebesar lengan manusia dewasa, namun sama sekali tidak merasa keberatan.

Ditinjau dari dandanannya, bisa diketahui kalau pendeta berbaju merah itu bukan pendeta sembarangan.

Dia mengetukkan tongkatnya keras-keras ke atas tanah hingga menimbulkan suara getaran keras, seakan-akan terjadi gempa besar, lalu dengan suara dalam bentaknya:

"Hei, mengapa kalian tidak menyambut kedatanganku..."

Dialek bahasa Han yang digunakan sangat kaku dan tak sedap didengar, suaranya tersendat dengan ucapan yang tak jelas, halmana membuat kawanan pendeta itu kembali dibuat tertegun.

Hwesio yang berdiri diujung paling depan buru buru maju menghampirinya, kemudian setelah memberi hormat bertanya:

"Tolong tanya siapakah nama taysu dan berasal dari kuil mana . ."

"Pinceng adalah Pokolo dari aliran Mit-tiong." jawab pendeta berbaju merah itu dengan kening berkerut.

"Oooh, rupanya Pokolo taysu dari Mi-tiong, maaf, maaf . . . sewaktu naik ke bukit tadi apakah taysu tidak memberitahukan gelarmu kepada murid murid kami dibawah bukit sana,.."

Pokolo tertawa kasar: "Berhubung ditengah jalan tadi aku menjumpai suatu persoalan, akibatnya perjalananku sampai tertunda, sebab itu aku tidak lewat jalan besar melainkan memotong jalan lewat jalan kecil situ . ."

Setengah percaya setengah tidak pendeta tersebut setelah mendengar perkataan itu, satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya:

"Heran, dibelakang bukit ini merupakan tebing tebing yang curam dan terjal, andaikata Pikolo taysu benar benar berjalan lewat tempat itu, sudah pasti ilmu silatnya jauh di atas kepandaian ciangbunjin . .

Begitu ingatan mana melintas lewat didalam benaknya, sekalipun dalam hati kecilnya merasa kurang percaya, namun ia tak berani mengutarakannya keluar, buru buru dipimpinnya Pokolo menuju ke ruang tengah kuil Kim soat si.

Ditengah ruang yang megah dan angker tersedia sebuah hiolo raksasa berkaki tiga, asap dupa yang tipis mengepul, keluar dari balik hiolo tersebut dan menyelimuti seluruh ruangan.

Sementara para pendeta Buddha yang berdatangan dari segala penjuru negeri berkumpul dalam ruangan itu sambil merangkap tangannya didepan dada dan mulutnya komatkamit membaca doa.

Mendadak terdengar lagi bunyi genta yang dibunyikan bertalu talu, seketika itupun juga suasana dalam ruang tengah berubah makin hening dan serius.

Bunyi genta baru sirap, dari luar ruangan bergema suara orang membaca doa diiringi suara ketukan bokhi yang menciptakan irama Buddha yang merdu merayu . . .

Tampak seorang pendeta tua beralis mata putih dengan diiringi enam orang hwesio cilik menabuh bokhi dan keleningan berjalan masuk ke dalam ruangan.

"Omintohud !" serunya memuji keagungan buddha, "terima kasih banyak kuucapkan atas kesudian taysu semua untuk berdatangan kemari menghadiri pertemuan Hud bun tay hwee yang diselenggarakan kali ini"

Seusai berkata dia memberi tanda lalu duduk bersila lebih dulu diatas kasur yang telah tersedia, serentak para pendeta lainnya pun mengambil tempat duduk masing-masing di atas kasur yang telah tersedia, sementara sorot mata mereka bersama sama dialihkan ke wajah Tay cu Sangjin dari Thaysan pay ini.
"Taysu semua" kembali Tay cu Sangjin berkata. "Sejak Sakuamudi Hudcou menanam pohon sbij dia
kemudian kembali ke See Thian, di dalam alam semesta kita ini telah ditinggalkan sejilid kitab suci Siau teng keng-gi untuk kita pelajari, sayang hingga sekarang belum seluruh pelajaran tersebut dapat diserap olei umat manusia. . ."

Setelah berhenti sejenak, dengan sinar mata berkedip ia melanjutkan lebih jauh:

Terutama sekali dalam seratus tahun belakangan ini, bau Ta-sim, Boan-yok dan Sah poo dari Tay seng keng gi memberikan banyak kesulitan kepada kita sehingga menimbulkan perbedaan faham yang beraneka ragam hal mana membuat kita bukan saja tak berhasiI mendalami makna yang sesungguhnya dari pelajaran mana, pengertianpun menjadi beraneka ragam . ."

Taycu sangjin merupakan lo siansu paling termashur dari Kim soat si di buki Thay san, sepanjang tahun dia hanya mencurahkan perhatiannya untuk memperdalam ilmu agama, tak heran kalau pengertiannya tentag pelajaran Siau seng keng gi mendalam sekali.

Oleh karena itu, didalam penyelenggaraan pertemuan Thay san tay-hwee kali ini semua orang memilihnya sebagai ketua penyelenggara.

"Omitohud, apa yang Sanjin katakan memang benar." Hong-hoat taysu dari Siau-lim si memberikan tanggapannya, "Siau seng keng gi adalah mustika dari agama Buddha, bila pelajaran tersebut tak dapat dipahami, malu rasanya kita bertemu dengan Hudcou. Sudah separuh abad lamanya Sangjin mendalami kitab entah apa saja yang berhasil kamu pahami."

Tay cu Sangjin segera menghela napas panjang:

"Aaai, kalau dibicarakan sebenarnya pinceng merasa malu, tak kusangka kalau isi pelajaran kitab siau seng kenggi begitu mendalam sulit bagi orang awam untuk memahaminya, empat puluh tahun sudah pinceng mendalami kitab itu, sudah tiga puluh lima laksa tujuh ratus tujuh puluhan kitab agama yang kupelajari, sayang bait Tosim, Boan yok dan Sah po belum sampai berhasil juga kuketahui.

"Aaai... moga moga Budha maha pengasih dengan menurunkan wahyunya untuk memberi tunjuk atas pelajaran tersebut..."

Pendeta agung ini nampak amat menderita, karena ketidak mampuannya untuk mengupas pelajaran rahasia yanj paling dalam dari agama Budha, ini dapat tercermin dari wajahnya yang murung dan sedih.

Kontan saja semua pendeta lainnya ikut bersedih hati.

Cu hui taysu segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya dengan cepat:

"Sangjin tak usah bersedih hati karena persoalan ini, ketahuilah setiap persoalan yang terjadi sesungguhnya telah digariskan oleh takdir, sebelum Hud cou menurunkan kitab suci itu ke bumi, segala sesuatunya pasti di atur pula, benar kita belum bisa mendalaminya sekarang, siapa tahu generasi yang mendatang bisa mendalami pelajaran mana ? Yang penting sekarang adalah dengan berkumpulnya segenap pemimpin umat Budha di dalam dunia ini, hal mana menunjukkan kalau Hud bun telah bersatu dan inilah saatnya buat kita guna berpadu, Sangjin, entah bagaimana menurut pendapatnya ?"

Baru saja Cu-hai taysu menyelesaikan kata katanya, dari luar ruangan sana telah berkumandang suara teriakan keras:

"Loputat Toa Ihama dari kuil Pek leng bio, tiba . .. "

Mendengar seruan tersebut, serentak para pendeta yang berada dalam ruangan bersama-sama bangkit berdiri untuk menyambut kedatangannya.

Tampak Loputat toa Ihama itu mengenakan jubah
berwarna merah darah dengan ikat pinggang berwarna kuning emas, sambil membawa sebuah siancang berwarna hitam dia masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar.

Sorot mata para pendeta itu melintas di atas wajah Loputat sekejap kemudian bersama sama dipusatkan ke wajah seorang pemuda yg berjalan mengikuti di belakang Loputat toa lhama.

Mereka tak tahu apa sangkut pautnya antara pemuda itu dengan Loputat toa lhama, maka tiada orang yang menegurnya.
Dengan kening berkerut Pokolo taysu segera menegur: "Loputat toa-lhama, mengapa sampai sekarang kau baru
tiba ? Aaai, gara-gara kau, pinceng sampai menunggu selama tiga hari dikuil Kui-im si, hampir saja aku terlambat menghadiri pertemuan ini" Loputat lhama berkerut kening, kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Haaahhh .. . haaahhh .. haaahh . . . Pokolo taysu, ketika aku berpesiar ke Cing hay kali ini, secara kebetulan telah berjumpa dengan Too beng hoansu dari kuil Toian bong si, bicara punya bicara tanpa terasa kami telah menghabiskan waktu selama berapa hari . . ."

Pokolo taysu melirik sekejap ke arah pemuda itu, kemudian ujarnya kembali:

"Taysu, tampaknya kali ini kau bawa serta pula muridmu .
."

Paras muka pemuda itu sedingin es, sorot matanya tajam bagaikan sembilu, terdengar ia mendengus dingin.

Sebaliknya Loputat lhama kelihatan agak tertegun, tanpa terasa dia segera berpaling kebelakang.

Apa yang dilihat ? Dibelakang tubuhnya kosong melompong tak tampak sesosok bayangan manusia pun."

Padahal setiap pendeta agung yang hadir dalam ruangan  itu dapat melihat dengan jelas bagaimana si anak muda itu mengikuti terus di belakang tubuh Loputat Iaama bagaikan bayangan, sedikitpun tidak meninggalkannya barang setengah langkah pun.

Loputat Ihama agak tertegun sejenak, kemudian tegurnya: "Pokolo, siapa yang kau maksudkan ?" "Taysu, siau sicu yang berada dibelakang tubuhmu itu bukan kau yang ajak kemari ?" Pokolo taysu balik bertanya keheranan

Loputat menggerutu dihati, tapi melihat kesungguhan rekannya seKraktu berbicara, tanpa terasa dia berpaling kembali, akan tetapi untuk kesekian kalinya dia tidak berhasil menyaksikan seseorangpun.
Kontan saja dia tertawa terbahak-bahak katanya: "Haaahhh . . . haaahhh . . . haaahhh Pokolo, kau pandai
sekali bergurau."

Setiap pendeta yang berada dalam ruangan itu dapat menyaksikan betapa cepatnya pemuda itu bergerak, dikala Loputat sedang berpaling itulah, secepat samberan petir anak muda itu sudah menyelinap kembali kebelakang tubuhnya sehingga membuat pendeta itu tidak berhasil menetnukan bayangan tubuhnya, kenyataan ini kontan saja membuat paras muka orang berubah hebat.

Tampaknya si anak muda itu memang bermaksud untuk mempermainkan Loputat lhama setelah memandang sekejap kawanan pendeta dalam ruangan itu, dia segera tertawa dingin.

Kali ini, Loputat lhama dapat menangkap suara tertawa dingin itu dengan jelas sambil membentak keras tubuhnya segera merendah ke bawah, kemudian toya hitamnya dengan disertai desingan angin tajam langsung menyapu ke belakang tubuhnya. Pemuda yang tak dikenal itu tertawa dingin tubuhnya berputar kencang diudara kemudian mundur kebelakang dengan kecepatan tinggi.

Disaat Loputat lhama berputar mengikuti gerakan toyanya inilah, dengan suatu gerakan yang cepat dia menyelinap kembali ke belakang tubuh pendeta lihay dari Pek leng bio tersebut.

Dengan demikian, untuk kesekian kalinya Loputat lhama gagal untuk menyaksikan bayangan manusia yang berada dibelakangnya itu.

Loputat lhama menjadi naik darah, dia membentak keras, kemudian toya hitamnya diputar kencang dengan jurus To cuan ki yap (sambil membalik menyerang daun)

Sekilas cahaya hitam segera berkelebat di tengah udara, kemudian disertai desingan angin tajam melepaskan sebuah sapuan dahsyat.

Pemuda itu masih menguntil terus di belakang Loputat lama.

Bagaimanapun Loputat melancarkan tiga buah serangan berantai yang cepat, sayang kepandaian silat yang dimiliki pemuda itu setingkat lebih tinggi, seluruh ancaman mana bisa dihindari semua secara gampang.

PokoIo taysu dan Loputat Ihama adalah sahabat karib banyak tahun, menjumpai rekannya sudah bermandi keringat dengan wajah merah membara, dia tak dapat menahan diri lagi. Tongkat bajanya segera diketukkan keras-keras ke tanah, lalu bentaknya dengan suara dalam:

"Loputat suheng, jangan gelisah, pinceng akan segera membantumu".

Dengan cepat dia menyelinap ke depan sambil membawa tongkat raksasanya yang berat dia menyelinap ke belakang tubuh Loputaj lhama, setelah itu sebuah ayunan toya yang maha dahsyat ditujukan ke tubuh si anak muda itu.

Menghadapi ancaman tersebut, pemuda itu mendengus dingin, badannya bergeser ke samping, kemudian tangan kirinya secepat kilat meluncur ke muka menyambar ke arah tongkat siancang tersebut.

Cengkereman yang dilancarkannya kali ini dilakukan dengan kecepatan tinggi, meski serangan itu dilancarkan belakangan ternyata tiba lebih duluan.

Pokolo taysu segera merasakan pergelangan tangannya bergetar keras, toya baja mana sudah terjatuh ditangan pemuda ini.

Masing masing pihik segera mengerahkan kekuatannya untuk saling membetot dan saling merebut senjata tersebut.

Sekulum senyuman yang dingin menyeramkan segera tersungging diujung bibir anak muda itu, ternyata Pokolo tidak berhasil menggeserkan lawannya setengah langkah pun.

Sementara itu, Loputat Ihama telah membalikkan badannya, andaikata dia bukan seorang pendeta saleh, niscaya kesempatan yang sangat baik itu akan dimanfaatkannya untuk menghadiahkan sebuah pukulan dahsyat kearah pemuda tersebut.

Mana kala dia dapat melihat wajah sang anak muda yang tak dikenalnya itu, dengan wajah tercengang dia lantas bertanya:
"Hei sicu, mengapa kau mengikuti pinceng datang kemari?" Pemuda itu berpaling dan melirik sekejap kearah Loputat
Ihama, kemudia berpaling kembali dan menatap wajah Pokolo tajam-tajam, hardiknya kemudian:

"Enyah kau dari sini!"

Dia membalikkan pergelangan tangannya pelan lalu mendorong toya itu ke depan sambil mengendorkan tangan.

Pokolo taysu tak menyangka sampai ke situ, termakan oleh kekuatan mana tubuhnya segera mundur sejauh lima enam langkah ke belakang dengan sempoyongan akhirnya dia tak sanggup menahan gerakan tubuhnya dan jatuh terjengkang ke atas tanah.

Kenyataan ini kontan saja membuat pendeta tersebut naik pitam, mukanya berubah menjadi hijau membesi karena marah, sambil menuding ke arah si anak muda itu serunya:

"Kau .. kau..."

"Karena kau terlalu banyak mencampuri urusan orang lain, maka kau harus mampus !" ujar pemuda itu sambil tertawa dingin. Seraya berkata pelan pelan dia mengangkat telapak tangan kanannya ke udara, diantara jari tengahnya tampak sebuah cincin emas besar yang berbatu permata melingkar disana.

Cincin emas tersebut memancarkan cahaya merah yang berkilauan, diatas mutiaranya terdapat enam buah cincin kecil yang mengitari cincin induk, bentuknya aneh sekali.

"Hmmm . . ." Loputat lhama mengereng gusar. "rasain sebuah seranganku ini . . ."

Lantaran terperanjat karena menyaksikan pemuda itu hendak membunuh sobat karibnya Pokolo taysu, tanpa berpikir panjang lagi dia mengayunkan toyanya untuk menghantam batok kepala lawan.

"Weesss . . ." segulung desingan angin tajam bagaikan bukit yang gugur dan meletus, ayunan toya itu meluncur kedepan dengan kecepatan luar biasa.

Ketika mencapai ditengah jalan, mendadak toya itu berhenti sebentar, lalu dengan menciptakan berpuluh-puluh cahaya toya yang amat menyilaukan mata, senjata tersebut menyapu miring ke tubuh lawan.

Dari hembusan angin serangan yang menerpa dirinya berbareng dengan kilauan bayangan toya yang menyelimuti angkasa tadi, pemuda itu segera tahu bahwa Loputat lhama merupakan seorang pendeta yang melatih diri dengan ilmu tenaga luar.

Baru saja dia menggerakan badannya untuk menyelinap masuk melewati bayanyan toya lawan, mendadak permainan toya loputat berubah, dalam waktu singkat dia sudah menutup bagian tubuh atas, tengah dan bawahnya dengan lapisan bayangan seperti bukit, angin pukulan yang menderu deru dengan cepat mengurung di sekeliling tuhuhnya.

Anak muda itu berseru tertahan, selapis hawa pembunuh yang mengerikan segera menyelimuti seluruh wajahnya dengan suatu gerakan aneh dia menyingkir cepat kesamping, kemudian jari tangannya menyentil ke depan, serentet cahaya merah yang menyilaukan mata secepat kilat meluncur kedepan.

"Blaamm..." Cahaya merah berkelebat ditengah angkasa dan menimbulkan suara ledakan nyaring, tahu-tahu dengan suatu kecepatan tinggi cahaya tersebut menyusup masuk kebalik bayangan toya yang amat tebal itu dan menghantam dada Loputat Ihama.

Semburan darah segar memancar keluar dari dadanya sekujur tubuhnya gemetar sangat keras, otot-otot hijau pada keningnya menonjol keluar, peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran.

Sambil menekan dadanya ia merintih kesakitan, wajahnya berubah hebat, mukanya mengejang keras ditatapnya sekejap sianak muda ini dengan pandangan putus asa, kemudian ia maju kemuka dengan langkah sempoyongan.

Setelah menarik napas beberapa kali dengan berat dan payah, dia mengeluh penuh kesakitan:

"Kau...mengapa kau bunuh aku?"

Pendeta agung ini merasa dirinya tak pernah mengikat dendam atau sakit hati pada orang lain, tentu saja dia merasa tidak mempunyai sakit hati apa-apa dengan pemuda itu. Maka dengan sorot mata penuh tanda tanya dia ajukan pertanyaan tersebut ia berharap lawannya dapat memberikan suatu jawaban yg memuaskan hatinya.

Paras maka anak muda itu kaku tanpa rasa kasihan barang sedikitpun jua, ditatapnya wajah Loputat lhama dengan pandangan dingin lalu sekulum senyuman keji menghiasi ujung bibirnya.

"Siapa suruh kau menjadi hwesio ?" jengeknya sinis, "setiap anggota Buddha akan kubunuh semua sampai habis!"

Ucapan yang dingin, kaku dan tandas itu kontan menggemparkan kawanan pendeta lainnya yang hadir dalam ruangan itu, mereka merasa terkejut dan tidak habis mengerti mereka tak tahu murid siapakah pemuda tampan ini sehingga begitu mendendam terhadap para pendeta.

Tampaknya Loputat lhama tidak mengerti atas maksud jawaban tersebut, sambil menggertak gigi menahan rasa sakit yarg merasuk sampai ke tulang sumsum itu, dia maju kemuka dengan sempoyongan lalu dengan bibir gemetar ucapnya lirih:

"Je .. . jelaskanlah lebih mendalam . . ."

"Mampus saja kau" jengek pemuda itu sambil tertawa dingin, "setelah mampus nanti, kau akan mengerti dengan sendirinya."

Telapak tangannya segera diayunkan kembali ke muka, seketika itu juga muncul segulung tenaga hisapan yang kuat memancar keluar.

Tubuh Loputat Ihama yang sedang bergerak maju ke depan itu kontan roboh terjungkal ke atas tanah. "Sreeet.. !" cincin kecil yang telah menembusi dadanya dalam-dalam itu mendadak meluncur dari dada sebelah depan, kemudian di pelepoti darah kental segera melayang kembali ke atas cincin besar di jari tengahnya.

"Aaaah . . .!"

Loputat lhama menjerit kesakitan dengan suara yang memilukan hati, darah kental menyembur keluar dari mulutnya amat deras, menyusul tubuhnya gemetar keras dan jatuh berguling-guling sejauh beberapa depa sebelum menemui ajalnya.

Dia mampus dalam keadaan yang mengenaskan, mampus tanpa mengetahui apa sebab dari kematiannya itu, sepasang matanya terbelalak lebar-lebar tanpa berpejam.

Cara kerja pemuda itu benar benar amat keji, pembunuhan brutal yang dilakukannya itu kontan menggetarkan perasaan semua orang yang hadir dalam arena dan mencekam perasaan setiap pendeta yang hadir disitu.

Menyaksikan lopotat Ihama mati dalam keadaan yang mengerikan Pokolo taysu merasa hatinya seperii ditusuk-tusuk dengan jarum tajam, seluruh badannya gemetar keras.

Selapis hawa pembunuh yang tebaIpun dengan cepat menyelimuti seluruh wajahnya, kemudian diawasinya pemuda itu dengan penuh kegusaran.
"Betul betul suatu cara kerja yang amat keji" gumamnya. Tongkat besi itu ditancapkan keras keras keatas lantas,
"Triing" ubin hijau segera ditembusi dan toya mana masuk kedalam tanah sampai kedalam setengah depa lebih. Disusul bentakan gusar, dia melompat maju kemuka dan berhenti tujuh depa dihadapan anak muda itu, bentaknya sambil menuding kearah lawannya itu:

"Siapakah kau? Cepat katakan kepada pinceng"

Memandang sihwesio gundul yang berdiri di badapanrya sekarang, dalam benak Liong Tian im terlintas kembali suatu kejadian yang mengerikan.

Diatas wajahnya yang putih bersih segera terlintas suatu perasaan yang tersiksa dan menderita, ia teringat kembali musibah yang menimpa dirinya dimasa kecil dulu, teringat juga kekejaman kawanan hwesio tersebut sehingga membuatnya amat membenci terhadap kawanan pendeta tersebut.

Setiap kali ia berjumpa dengan hwesio, luka dalam hatinya akan kambuh, hatinya akan berdarah kembali seakan-akan dia merasakan hatinya hancur lagi.

Pelan-pelan dia memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha untuk menenangkan hatinya, tapi makin dia berusaha untuk melupakan kejadian tersebut, tragedi itu semakin jelas tertera didepan matanya.

Sinar mata buas segera memancar keluar dari balik  matanya, hawa pembunuhan yang menyelimuti wajahnya pun makin lama semakin tebal, bentaknya keras-keras:

"Namaku akan ku umumkan mulai hari ini, akan kugunakan darah untuk merayakan kejadian besar ini, Pokolo ! Kau akan menjadi korbanku yang kedua . . . "

"Omintohud !" "Omintohud. . ." Pelan-pelan Taycu Sangjin tampil ke depan kemudian katanya:

"Sicu, kau telah membunuhi orang tak berdosa, dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, perbuatanmu ini telah melanggar pelajaran Thian yang menghimbau umatnya berbuat kebajikan"

"Tutup mulutmu !" hardik Liong Tian-im dengan mata berkilat tajam, "kau tak usah berlagak sok suci dihadapanku, kalian keledai-keledai gundul dari kalangan Budha tak lebih cuma manusia munafik yang sok suci, sok mulia, sok baik hafi, sejak sepuluh tahun berselang aku Liong Tian lm sudah mengetahui akan kebusukan kalian itu!"

Pokolo taysu merasa tak sabar lagi, dia segera membentak keras:

"Sangjin ! Manusia laknat ini terbukti tak bemoral, lebih baik kita tak usah banyak bicara lagi, toh tiada pilihan lain buat kita selain. . ."

Dengan cepat Tay cu sssgjin menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil menghela napas:

"Setiap partai setiap perguruan pasti mempunyai anasiranasir yang berbuat jahat, kebencian Liong sicu terhadap kaum beragama sudah pasti dikarenakan suatu alasan tertentu, Budha maha pengasih dan membuka pintunya lebar lebar bagi mereka yang mau bertobat, Liong sicu, bersediakah kau menjelaskan kepada kami, apa sebabnya kau begitu membenci terhadap kami semua . .. "

"Tak ada yang baik untuk dibicarakan lagi" kata Liong Tianim dingin, "tujuan kedatangan ku adalah untuk merenggut nyawa kalian, sebelum tujuanku tercapai aku bersumpah tak akan tinggalkan tempat ini, tentunya saudara semua tak akan membuatku kecewa bukan?"

Semua pendeta yang berada dalam ruangan itu menjadi amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, mereka tidak menyangka kalau pemuda tersebut begini kejam dan brutalnya sehingga bersumpah hendak menghabiskan nyawa mereka semua.

Kenyataan tersebut kontan saja membuat paras muka setiap orang berubah hebat.

Lama kemudian...

Tay cu sangjin segera bergumam jirih.

"Aaai.... Hud bun tidak beruntung, siapa suruh berjumpa dengan iblis pembunuh ini..."

Pokolo taysu sudah habis kesabarannya waktu itu, dia segera membentak keras:

"Kurangajar, kau begitu kejam dan gemar membunuh, tapi demi kesejahtraan dan keamanan dunia persilatan, sekalipun harus pertaruhan selembar jiwa ku pun, aku akan beradu kekuatan sampai titik darah penghabisan."

Kematian Loputat lhama secara mengesankan membuat iman yang dilatihnya selama puluhan tahun tak kuasa menahan rasa sedih tersebut, sambil membentak gusar dia segera maju sambil melancarkan gerangan dahsyat. Mengikuti gerak terjangan yang maha dahsyat itu, ujung bajunya segera dikebaskan ke muka, sebuah pukulan yang mengerikan meluncur kedepan dengan kecepatan tinggi.

Liong Tian im mendengus dingin.

"Hmm tindakanmu hanya akan mempercepat keberangkatanmu menuju keakhirat!" jengeknya.

Ucapan tersebut dingin dan kaku, sama sekali tidak berbau kemanusiaan seakan-akan hembusan angin dingin yang  datang dari dalam kuburan saja, membuat hati orang bergidik.

Dengan mengincar arah datangnya bacokan dari pokolo taysu, sekulum senyuman sadis menghiasi bibirnya, dia segera melompat keudara, pergelangannya berputar kencang lalu melepaskan pula sebuah pukulan yang tak kalah dahsyatnya.

"Blammm . ." suatu benturan keras yang memekikkan telinga segera berkumandang memecahkan keheningan.

Pokolo taysu merasakan jantungnya bergetar keras, ia merasa kekuatan pukulan yang meluncur keluar dari balik telapak tangan lawan meluncur datang tiada putusnya dan lapis demi lapis menindih diatas badannya . . .

Kontan saja dia merasakan peredaran darah dirongga dadanya bergelora keras seolah-olah hendak merekah dan pecah, dengan ssmpoyongan dia segera mundur tiga langkah sebelum mengendalikan keseimbangan tubuhnya , . ,

Dengan wajah kaget dan tidak percaya dia awasi pemuda mistirius itu tanpa berkedip, tapi ketika dilihatnya Liong Tian im melirik kemari dengan wajah sinis, dengan cepat dia melupakan segala galanya, sambil membentak keras tubuhnya melejit keatas udara.

Ujung bajunya segera dikebaskan ke depan, bayangan telapak tangan menyelimuti angkasa, diantara bentakan gusar, secara beruntun dia lepaskan delapan buah serargan berantai, satu serangan lebih dahsyat daripada gerakan berikutnya, keadaan menjadi menyeramkan.

Bayangan telapak telapak tangan dengan cepat menyelimuti seluruh angkasa dan menyumbat setiap luang kosong yang tersisa di patia, Liang Tian im tertawa dingin, tubuhnya menyelinap ke samping melepaskan diri dari jaring telapak tangan lawan, kemudian telapak tangan kanannya diayunkan ke muka . . .

"Sreeet .. ." serentetan cahaya merah yang disertai dengan desingan angin tajam langsung meluncur memenuhi angkasa.

Cincin kecil yang melejit dari induk cincin itu berputar di angkasa, dengan membawa kilatan cahaya merah darah yang menyilaukan mata meluncur ke depan,

"Aduuuh ..." suatu jerit kesakitan yang memilukan hati dengan segera menyusup masuk ke dalam lubang telinga setiap orang.

Tubuh Pokolo taysu yang tinggi besar itu maju ke depan dan roboh terjungkal seperti sebuah bukit yang ambruk.

Dia tertawa putus asa lalu mencabut ke luar cincin kecil dari atas jalan darah Bi ciong-hiatnya, darah segar menyembur keluar dari alis mata dan menodai semua muka dan matanya, mendadak ia terbelalak lebar dengan wajah kaget, ngeri dan takut, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tak sempat berkata apa-apa, dia meraung keras kemudian roboh ketanah dan putus nyawa.

Cincin kecil itupun menggelinding jatuh ke atas lantai dari balik telapak tangannya, serentak sinar mata semua orang ditujukan ke-atas cincin kecil itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar