Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 18

 “Kuserahkan kepadamu empat ribu prajurit untuk dapat menghalau mereka”, berkata Raja Jayakatwang kepada Patih Mundarang.

“Titah Baginda Raja akan segera hamba laksanakan”, berkata Patih Kebo Mundarang penuh rasa hormat menyambut titah sabda Rajanya itu.

Demikianlah, sebagaimana titah sabda Raja Jayakatwang, hari itu juga Patih Kebo Mundarang telah memerintahkan para perwiranya mengumpulkan semua prajurit sebanyak empat ribu orang yang akan menyongsong pasukan Raden Wijaya di luar Kotaraja Kediri.

“Mereka pasukan Raden Wijaya bergerak dari sebelah timur Kotaraja Kediri”, berkata Patih Kebo Mundarang kepada para perwiranya memberi arahan kemana arah pasukannya akan bergerak menyongsong kehadiran pasukan Raden Wijaya.

Bersamaan dengan persiapan pasukan di Kotaraja Kediri, pasukan Raden Wijaya sudah bergerak memasuki lembah Gunung Kelud, sebentar lagi akan tiba di persinggahan keempat mereka di Kademangan Ngrangkah Pawon dimana telah disiapkan sebuah lumbung besar guna memenuhi kebutuhan pangan para prajurit.

“Sebuah Kademangan yang cukup besar”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya ketika di ujung senja mereka tengah memasuki gerbang gapura Kademangan Ngrangkah Pawon.

“Mereka telah bekerja dengan rapih”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping di sebuah pendapa sebuah rumah yang disediakan bagi mereka.

“Semoga Tuanku Raden Wijaya dan Tuan Senapati dapat beristirahat”, berkata seorang anak muda yang mengantar Raden Wijaya dan Mahesa Amping ke rumah itu yang tidak lain adalah Putu Risang adanya yang bermaksud pamit diri untuk melaksanakan tugas lainnya.

“Terima kasih, singgahlah kemari setelah tugasmu selesai, kami membutuhkan dirimu”, berkata Raden Wijaya kepada Putu Risang yang terlihat tengah menuruni anak tangga pendapa rumah itu.

Tidak terasa malam sudah mulai larut diatas Kademangan Ngrangkah Pawon yang telah dipenuhi oleh tiga ribu pasukan Raden Wijaya.

Namun keberadaan mereka tidak merubah suasana di Kademangan itu. Pasukan Raden Wijaya sepertinya tidak ingin mengusik ketenangan para penduduk dengan melakukan keonaran yang dapat meresahkan sebagaimana biasa dilakukan oleh mereka yang merasa kuat menginjak kaum yang lemah warga biasa , para kawula yang tidak mengerti apapun selain tugas rutin sebagian dari mereka, bertani dan bercocok tanam untuk menghidupi keluarga mereka.

“Malam ini hamba telah mendapat berita bahwa sebuah pasukan besar telah bersiap menyongsong kehadiran kita”, berkata seorang pemuda yang tidak lain adalah Gajah Pagon kepada Raden Wijaya dan Mahesa Amping di pendapa rumah peristirahatan mereka.

“Kademangan ini sangat baik untuk lumbung kita, tapi terlalu terbuka untuk sebagai sebuah benteng pertahanan, apakah kamu sudah mendapatkan tempat pilihan yang baik?”, bertanya Raden Wijaya kepada Gajah Pagon.

“Di kaki bukit Kadungan, setengah hari perjalanan dari sini”, berkata Gajah Pagon.

Malam memang sudah semakin larut dalam gelapnya memayungi bumi Kademangan Ngrangkah Pawon yang berselimut udara dingin menusuk kulit. Namun Raden Wijaya dan Mahesa Amping masih terus membicarakan beberapa hal penting dikawani seorang petugas telik sandi kepercayaan mereka, Gajah Pagon.

“Duduklah, kami memang sedang  menunggumu”, berkata Raden Wijaya kepada Putu Risang yang sudah terlihat naik ke pendapa rumah itu.

“Maaf, hamba sudah membuat tuanku menunggu”, berkata Putu Risang sambil duduk di sebelah gajah Pagon.

“Kamu pernah membawa pesan rahasiaku kepada Ratu Turuk Bali, kuminta untuk kedua kalinya kepadamu untuk menemui Ratu Turuk Bali dengan pesan yang sama agar pergi menjauhi Kotaraja Kediri sebelum kami datang menghancurkannya”, berkata Raden Wijaya memberi sebuah tugas kepada Putu Risang.

“Hamba akan segera melaksanakan perintah tuanku”, berkata Putu Risang penuh rasa hormat.

“Gajah Pagon akan menuntunmu agar dapat sampai di pintu peristirahatan Ratu Turuk Bali”, berkata Raden Wijaya meminta Gajah Pagon mengantar Putu Risang menembus Kotaraja Kediri.

“Hamba akan mengantarnya, sekalian melihat situasi terakhir di Kotaraja Kediri”, berkata Gajah Pagon memastikan dirinya siap menyanggupi mengantar Putu Risang menyampaikan pesan pribadi Raden Wijaya kepada bibinya sendiri, Ratu Turuk Bali.

Demikianlah, pagi-pagi sekali Gajah Pagon bersama  Putu Risang sudah terlihat keluar dari Kademangan Ngrangkah Pawon. Terlihat kuda-kuda yang mereka tunggangi seperti terbang melintasi sebuah bulakan panjang.

Tidak lebih setengah hari perjalanan berkuda mereka sudah mencapai sebuah padukuhan kecil tidak jauh dari batas Kotaraja Kediri. Di sana mereka telah menitipkan kuda-kuda mereka kepada seorang petugas telik sandi di sebuah rumah di luar penglihatan banyak orang.

“Lebih aman berjalan kaki, jauh dari kecurigaan  siapa pun di saat semua mata memandang curiga kepada siapa pun yang mendatangi Kotaraja Kediri”, berkata Gajah Pagon memberikan alasannya kepada Putu Risang.

“Kupercayai semua kepadamu, wahai sang penuntun”, berkata Putu Risang penuh senyum kepada Gajah Pagon.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Putu Risang, Gajah Pagon telah dapat membawa Putu Risang masuk ke Kotaraja Kediri dengan aman. Mereka masuk tanpa dicurigai oleh prajurit di gerbang kota sebelah timur, karena mereka datang sebagai seorang pedagang yang memikul sendiri beberapa barang tembikar.

“Kamu terlalu tampan untuk menjadi seorang pedagang tembikar”, berkata Gajah Pagon kepada Putu Risang ketika mereka telah melalui gerbang Kotaraja Kediri tanpa dicurigai oleh siapa pun para prajurit yang hari itu rangkap mengamati siapa pun yang sangat mencurigakan.

Bukan main terperanjatnya Putu Risang ketiga di sebuah tempat di sebuah rumah yang tidak asing lagi baginya dan telah diperkenalkan oleh Gajah Pagon dengan seorang lelaki yang juga pernah dikenalnya.

“Jadi selama ini kamu sudah mengetahui jati diriku?” berkata Putu Risang kepada seorang lelaki dihadapannya yang tidak lain adalah Mabujang, seorang yang dulu menyediakan rumahnya untuk disewakan itu.

“Maaf, tugasku dulu hanya diminta untuk membantumu tanpa sepengetahuanmu”, berkata Mabujang sambil tersenyum.

Demikianlah, malam itu Putu Risang dan gajah Pagon menginap di rumah Mabujang yang ternyata adalah seorang petugas telik sandi yang telah lama ditempatkan di Kotaraja Kediri itu.

Dan keesokan harinya mereka diam-diam telah menyaksikan pasukan besar Kediri telah keluar dari gerbang timur Kotaraja Kediri.

“Sebuah pasukan yang besar, lebih besar sedikit dibandingkan pasukan Raden Wijaya”, berkata Putu Risang sambil mengamati pasukan besar Kediri yang telah bergerak keluar dari Kotaraja Kediri.

“Mari kita kembali ke rumah Mabujang, ada seorang yang akan kita temui di sana yang akan mengantarmu masuk ke dalam istana”, berkata Gajah Pagon mengajak Putu Risang kembali ke rumah Mabujang.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajah Pagon, di rumah Mabujang telah menunggu mereka yang langsung diperkenalkan oleh Gajah Pagon kepada Putu Risang.

“Ki Pakering adalah seorang pekatik istana, dialah yang akan membawamu ke dalam istana”, berkata Gajah Pagon kepada Putu Risang memperkenalkan dirinya kepada seorang lelaki yang sudah cukup berumur bernama Ki Pakering, seorang telik sandi yang menyamar sebagai seorang pekatik istana Kediri.

Diam-diam Putu Risang mengakui kekuatan jaringan petugas telik sandi Raden Wijaya di Kotaraja Kediri.

“Tuanku Raden Wijaya telah mengintai lama di padang perburuannya”, berkata Putu Risang dalam hati.

“Aku akan membawamu masuk ke istana, kebetulan aku tinggal di belakang istana”, berkata Ki Pakering kepada Putu Risang.

Hari masih belum begitu petang di saat Ki Pakering datang memasuki istana bersama Putu Risang.

“Siapa yang kamu bawa Ki Pakering”, berkata seorang prajurit penjaga ketika melihat Ki Pakering datang bersama Putu Risang.

“Kemenakan dari istriku, mudah-mudahan anak ini betah menjadi seorang pekatik di istana ini”, berkata Ki Pakering yang sudah lama bekerja di dalam istana sebagai seorang pekatik, sudah dikenal lama sebagai seorang pekatik yang baik, tidak seorang pun mencurigainya karena Ki Pakering dapat memainkan perannya di istana itu dengan begitu sempurna, seorang penyamar yang hebat.

Malam itu diatas langit Kotaraja Kediri, rembulan tersenyum dalam sinar wajah kesempurnaannya. Terang temaram cahaya di bumi dalam naungan manja dewi purnama malam menghiasi sahdu rindu asmara suara hati serta tawa para bocah yang bermain di pekarangan rumahnya.

Angin dingin basah masuk berhembus diantara lorong jalan setapak di istana Kediri yang mulai menjadi sepi, hanya sekali-kali para peronda berjalan berkeliling dari satu bangunan ke bangunan lain hanya untuk memastikan suasana istana dalam keadaan aman terkendali.

Namun siapapun tidak ada yang menyangka ketika ada sesosok bayangan berkelebat dan menghilang kembali disekitar kerimbunan tanamam bayam merah di sebuah pojok kiri sebuah bangunan.

Hari memang belum larut malam, Ratu Turuk Bali masih terlihat duduk di pinggir pembaringannya. Hati dan perasaan wanita itu terlihat begitu suram, entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun cahaya pelita di pojok atas kamarnya telah membiaskan sebuah gurat-gurat wajah penuh kepedihan dan kesedihan.

Kembali terlihat sebuah bayangan bergerak begitu cepat melintas diatas sebuah atap sebuah bangunan dan diam tersamar keremangan malam.

Sementara itu hati dan perasaan Ratu Turuk Bali semakin terbelenggu, pelita malam di pojok kamarnya menyinari sebuah tetes air mata jatuh membasahi wajah wanita itu.

Kembali terlihat sebuah bayangan menerobos atap sebuah bangunan, menghilang seperti air merembes terserap atap kayu hitam.

Sementara itu hati dan perasaan Ratu Turuk Bali sudah begitu beku.

“Diriku sudah tidak muda lagi”, berkata Turuk Bali kepada dirinya sendiri.

Hati dan perasaan Ratu Turuk Bali memang semakin membeku, namun serentak pecah oleh suasana keterperanjatan yang kuat manakala sebuah bayangan meluncur dari atas dengan kecepatan yang kasat mata tiba-tiba saja sudah berdiri dihadapannya.

Terperanjat hati Ratu Turuk Bali, namun dibekap sendiri mulutnya dengan kedua tangannya ketika mengetahui siapa gerangan sosok bayangan itu.

“Maaf bila hamba datang dengan cara seperti ini”, berkata seorang pemuda sambil merangkapkan kedua tangannya sebagai sikap hormat kepada Ratu Turuk Bali.

“Kamu datang kembali”, berkata Ratu Turuk Bali ketika hatinya mulai kembali kedalam kesadaran diri.

“Hamba pernah membawa sebuah pesan rahasia, hari ini hamba datang kembali atas perintah tuanku Raden Wijaya”, berkata pemuda itu yang ternyata adalah Putu Risang.

“Membawa pesan yang sama, meminta aku pergi mengungsi sebelum purnama kedua ?”, berkata Ratu Turuk Bali seperti sudah mengetahui isi pesan dari Raden Wijaya.

“Pesan itulah yang akan hamba sampaikan untuk tuanku Ratu”, berkata Putu Risang membenarkan perkataan Ratu Turuk Bali tentang isi sebuah pesan yang akan disampaikannya itu.

Lama Ratu Turuk Bali terdiam duduk di ujung pembaringannya, cahaya pelita di kamar itu terlihat memantulkan wajah putih halus wanita yang terlihat sudah tidak muda lagi, namun masih menyisakan jejakjejak kecantikan dirinya di masa lalu yang telah lewat. 

Terlihat Ratu Turuk Bali mengangkat wajahnya memandang Putu Risang.

“Katakan kepada tuanmu, meski kutahu hati dan cinta seorang Raja sudah tidak kumiliki sepenuhnya, namun pengabdianku masih tetap utuh selamanya. Katakan kepada tuanmu, cintaku pada kenangan rindu kasih keluarga tidak akan pernah hilang. Katakan kepada tuanmu, aku masih sebagai seorang permaisuri dari para putra dan putriku dan hari depannya. Demi mereka semua kutindas semua rasa kepedihan hati seorang istri yang terbagi. Demi cinta dan kasih mereka, biarlah kuakhiri hidupku nanti sebagai Dewi Sati melebur dalam api pembakaran jenasah sang Raja. Dan bila kemenangan berpihak kepada bala pasukan tuanmu, aku masih tetap seorang permaisuri di seberang jalannya”, berkata Ratu Turuk Bali dengan derai linangan air mata, sepertinya kata-kata itu sudah lama ingin ditumpahkan. Dan malam itu telah ditumpahkannya lewat seorang pemuda, seorang petugas pembawa pesan rahasia.

“Apakah ada lagi yang ingin tuanku Ratu akan sampaikan kepada tuanku Raden Wijaya?”, bertanya Putu Risang yang bermaksud untuk pamit diri.

“Tidak ada lagi”, berkata Ratu Turuk Bali sambil menggerakkan kepalanya sebagai tanda merestui kepergian anak muda itu.

“Selamat tinggal tuanku Ratu”, berkata Putu Risang kepada Ratu Turuk Bali menyusul dengan sebuah ayunan kaki membawanya melesat jauh keatas atap kamar.

Dan tidak ada seorang pun malam itu yang mengetahui bahwa penjagaan istana Kediri telah ditembus dengan mudah oleh seorang pemuda, seorang yang bernama Putu Risang.

Hanya ketika pagi telah datang, terlihat Ki Pakering terlihat berjalan bersama seorang pemuda menuntun seekor kuda seperti hendak mencari rumput untuk makanan kuda.

“Hari masih pagi buta, rajin sekali kalian”, berkata seorang prajurit penjaga berkata kepada Ki Pakering ketika hendak keluar dari gerbang istana.

“Pagi seperti ini aku akan membawa banyak rumput segar untuk kuda-kudaku”, berkata Ki Pakering memberi alasan.

Demikianlah, Putu Risang memang tidak kembali lagi ke istana Kediri, tapi langsung ke rumah Mabujang dimana disana Gajah Pagon sedang menunggunya.

“Mari kita selekasnya keluar dari Kotaraja Kediri ini”, berkata Gajah Pagon kepada Putu Risang yang sudah bersiap-siap diri keluar dari Kotaraja Kediri.

Hari pertama setelah purnama di bulan itu. Terlihat iringiringan sebuah pasukan besar berjalan keluar dari Kademangan Ngrangkah Pawon. Mereka adalah bala prajurit Raden Wijaya yang akan berangkat menuju kaki bukit Kadungan. Disanalah Raden Wijaya akan menempatkan pasukannya sebagai sebuah benteng pertahanannya.

Tidak sampai setengah hari perjalanan akhirnya pasukan itu telah sampai di kaki bukit Kadungan. Dan mereka telah menemukan sebuah tempat yang baik, sebuah tempat yang terlindung di sebuah hutan kecil di kakí bukit Kadungan itu.

Langsung saja pasukan itu telah berbagi tugas masingmasing, ada yang tetap berjaga-jaga, ada yang langsung membuat barak-barak sederhana dan juga beberapa prajurit yang sesuai dengan keahliannya telah menyiapkan dapur umum untuk makan siang mereka setelah setengah harian berjalan tanpa beristirahat.

“Iring-iringan pasukan lawan telah keluar dari Kotaraja Kediri”, berkata seorang petugas telik sandi melaporkan kepada Raden Wijaya di sebuah barak khusus.

“Mereka pasti sudah mengetahui keberadaan kita di kaki bukit Kadungan ini”, berkata Raden Wijaya memperhitungkan situasi yang dapat dibaca lewat para telik sandi mereka. “Berapa kekuatan pasukan yang telah keluar dari Kotaraja Kediri itu”, bertanya Raden Wijaya kepada petugas telik sandi itu.

“Ada sekitar empat ribu pasukan, sepertiganya adalah pasukan berkuda”, berkata petugas telik sandi itu kepada Raden Wijaya.

“Terima kasih, kembalilah kamu di kesatuanmu”, berkata Raden Wijaya kepada petugas telik sandi itu.

“Menjelang sore mereka pasti baru akan tiba”, berkata Mahesa Amping kepada raden Wijaya ketika petugas telik sandi itu sudah keluar dari barak khusus Raden Wijaya.

“Artinya pasukan kita punya waktu lebih lama beristirahat di kaki bukit ini”, berkata Raden Wijaya dengan tersenyum kepada Mahesa Amping, sahabatnya itu.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping, menjelang senja memang iring-iringan pasukan Kediri baru sampai di kaki bukit Kadungan, hanya berjarak sebuah padang terbuka tidak jauh dari keberadaan barak-barak pasukan Raden Wijaya.

Dan mereka langsung mengirim seorang utusan datang menghadap Raden Wijaya membawa pesan berita penawaran kepada Raden Wijaya untuk menyerah.

“Katakan kepada Panglima mu, aku Raden Wijaya besok pagi akan turun bersama pasukan segelar sepapan di padang Kadungan ingin mengukur sendiri kekuatan dan keberanian para prajurit Kediri yang dulu pernah diluluh lantakkan oleh buyutku Raja Ken Arok”, berkata Raden Wijaya kepada utusan itu.“Antar orang ini sebagaimana kamu mengantar saudaramu”, berkata pula Raden Wijaya kepada seorang prajurit agar mengantar utusan itu tanpa gangguan apapun keluar dari lingkungan pertahanan mereka.

Hari kedua setelah purnama di bulan itu.

Lengkung langit pagi dalam semburat warna memerah masih remang mengerudungi bumi di kaki bukit Kadungan.

Di timur padang Kadungan, di sebuah hutan dimana pasukan Raden Wijaya bermalam, pagi itu memang masih begitu remang senyap, tapi di sebuah barak dapur umum kesibukan sudah lama berlangsung. Mereka adalah para prajurit yang ditugaskan untuk menyiapkan ransum-ransum prajurit yang akan bertempur hari ini.

Lengkung langit pagi sudah mulai terang, terlihat para prajurit di timur padang Kadungan tengah menikmati ransum mereka, makanan pagi mereka.

“Disebelah barat sana mereka pasti seperti kita, tengah menikmati makanan pagi ransum mereka”, berkata seorang prajurit kepada kawannya.

“Mungkin hati dan perasaan mereka juga sama, samasama berharap dapat menikmati ransum pagi esok hari”, berkata kawannya menanggapi perkataan prajurit disebelahnya sambil tersenyum.

Lengkung langit pagi sudah menjadi terang, terdengar suara bende Ki Prabu Segara menggema memecahkan kesunyian hutan di timur padang Kadungan. Suara bende itu seperti memukul-mukul dada hampir semua prajurit, memacu denyut jantung mereka lebih berdegub lebih kencang lagi. Suara itu adalah sebuah tanda bagi para prajurit untuk bersiap diri dan berkumpul. Maka tidak begitu lama sudah tersusun sebuah barisan yang panjang mengisi sisi-sisi hutan itu diantara batang-batang pohon besar. Barisan panjang itu seperti sebuah ular raksasa penghuni hutan yang marah terusik dari ribuan hari masa pertapaannya.

Suara bende Ki Prabu Segara untuk kedua kalinya terdengar lagi, gemanya seperti meliuk-liuk mengitari isi hutan berdengung membentur batang-batang pohon besar. Suara bende itu telah memerintahkan barisan ular raksasa itu keluar dari hutan itu merayap melewati semak perdu dan pepohonan yang semakin jarang dan akhirnya terlihat telah merayap ditempat terbuka di padang Kadungan sebelah timur.

Barisan ular raksasa itu telah berhenti manakala di hadapan mereka berdiri sebuah barisan besar seperti sebuah pagar berlapis panjang mengisi sisi disebelah barat padang Kadungan.

“Gelar perang Diradameta!!”, berkata Raden Wijaya dalam hati melihat barisan sekitar empat ribu prajurit Kediri yang sudah lebih dulu menunggu kedatangan pasukannya.

“Anak Tumapel itu terlalu angkuh, merasa yakin bahwa gelar perang supit urangnya dapat merubuhkan gelar Diradametaku”, berkata orang berwajah hitam diatas kudanya dalam hati sambil memandang barisan prajurit yang muncul dari sebuah kerapatan hutan telah membentuk sebuah barisan dengan gelar perang supit urang. Orang berwajah hitam itu tidak lain adalah Patih Kebo Mundarang yang telah diperintahkan oleh Raja Jayakatwang memimpin pasukan Kediri menghadang pasukan Raden Wijaya.

Sebagaimana yang dilihat oleh Kebo Mundarang, barisan ular raksasa yang baru keluar dari hutan sebelah timur padang Kadungan telah membentuk sebuah gelar  perang supit urang, sebuah gelar tandingan khusus menghadapi sebuah gelar perang Diradameta, seekor gajah besar mengamuk.

“Keris Nagasasra”, berkata Mahesa Amping dalam hati ketika melihat Raden Wijaya di atas kudanya mengangkat tinggi-tinggi keris keramat warisan Raja Erlangga itu.

“Keris Nagasasra”, berkata Putu Risang dalam hati yang berdiri di sebelah Putut Prastawa yang dipercaya menjadi senapati pengapit sebelah kiri barisan.

Semua prajurit di barisan Raden Wijaya juga melihat keris itu, itulah sebuah pertanda dari Raden Wijaya kepada pasukannya untuk mempersiapkan diri dengan segala macam senjatanya menghadapi pasukan lawan. Terlihat hampir semua prajurit telah melepas pedang dari sarungnya, Yang bersenjata tombak telah menggenggam tombak lebih keras lagi seperti hendak segera menghentakkannya ke dada musuh-musuhnya.

Sementara di seberang sana sudah terdengar suara abaaba yang melengking disambut suara gegap gempita bergemuruh bersama suara langkah kaki manusia dan kaki kuda berdentum dentum menggetarkan bumi tanah Padang Kadungan.

Namun Raden Wijaya tidak memberi aba-aba apapun, tangannya masih mengangkat tinggi-tinggi Keris Nagasasra. Baru ketika pasukan Patih Kebo Mundarang telah mendekati sekitar tiga puluh langkah dari barisannya, terlihat Keris Nagasasra di tangannya berputar-putar. Itulah sebuah perintah bagi pasukannya untuk segera bergerak. Terdengar suara para penghubung dalam setiap pasukan memberi aba-aba yang sama dengan memutar-mutar panji-panji kesatuan mereka. Diiringi suara gemuruh pasukan Raden Wijaya telah bergerak menghadang serangan musuh di hadapan mereka.

Sepertiga pasukan yang berada di belakang Raden Wijaya bertahan di tempatnya menanti para musuh yang datang mendekat.

Sementara itu Mahesa Amping sebagai senapati pengapit telah bergerak maju membawa pasukannya melambung menusuk pertahanan lawan di sebelah kanan.

Sebagaimana Mahesa Amping, maka Putut Prastawa yang dipercaya sebagai senapati pengapit di sebelah kiri telah membawa pasukannya bergerak maju melambung lebih jauh lagi melengkung menusuk pertahanan lawannya.

Terlihat Mahesa Amping di barisan paling depan bersama pasukannya seperti bola api telah menusuk dan menerobos lambung pasukan lawan. Satu persatu prajurit Kediri yang berhadapan dengan Mahesa Amping seperti sekumpulan semut terburai pecah tersentuh bola api. Ujung cambuk pendek Mahesa Amping seperti bermata selalu datang merobohkan siapapun lawan yang mendekat. Meski Mahesa Amping tidak meluruhkan seluruh kesaktiannya, hanya sedikit kekuatan tenaga cadangannya, tetap saja telah membuat para musuh menjadi pontang-panting. Keadaan itu telah membuat pasukan di belakangnya menjadi bersemangat terus menerobos masuk lebih dalam lagi memecah lambung pertahanan lawan.

Sementara itu di sisi kiri pasukan Raden Wijaya, seperti tidak mau kalah dengan apa yang dilakukan oleh kawankawan mereka di barisan sebelah kanan mereka. Terlihat Putut Prastawa dan Putu Risang bersama barisan pasukannya yang melambung melengkung lebih jauh lagi telah berhasil mengoyak-ngoyak pertahanan lawan.

“Dua orang bercambuk telah mengoyak pasukanku”, berkata Patih Kebo Mundarang penuh geram.

“Perkuat pertahanan lambung kalian”, berteriak Patih Kebo Mundarang sebagai perintah.

Maka para penghubungnya telah berkata dengan perintah yang sama untuk memperkuat pertahanan lambung tengah mereka yang sudah mulai sedikit terkoyak.

Maka seperti sekumpulan banteng yang marah, terlihat barisan pasukan Patih Kebo Mundarang di bagian lambung tengahnya telah bergerak condong menghadang pasukan lawan yang dipimpin oleh Mahesa Amping.

Pergerakan yang cepat itu memang berhasil memperkuat kembali sisi lambung pertahanan mereka yang terkoyak, namun di sisi lain telah melemahkan pertahanan mereka sendiri dimana Putut Prastawa yang didampingi Putu Risang berhasil membawa pasukannya masuk lebih dalam lagi merobek-robek ekor pasukan gelar perang Diradameta itu. Cakra Putut Prastawa dan cambuk pendek Putu Risang seperti dua senjata yang menakutkan. Membuat gentar setiap lawan yang melihatnya, karena cakra dan cambuk pendek itu telah merobohkan siapapun yang datang mendekat. Bersama sebuah pasukan Raden Wijaya yang seperti telah tumbuh taring kedua, mereka telah memporakporandakan pertahanan belakang musuh-musuh mereka.

“Gila!!!”, berkata penuh kegeraman Patih Kebo Mundarang melihat semua itu, melihat pasukannya tergilas terkoyak-koyak.

Sementara itu pertempuran di bagian lambung pasukan Kediri kembali terkoyak. Ujung cambuk pendek Mahesa Amping seperti bermata, satu persatu lawan yang datang seperti tersapu jatuh bertumbangan. Keadaan itu telah membuat pasukan yang bersamanya menjadi semakin percaya diri ikut memporak-porandakan pasukan musuh.

“Gila!!”, kembali Patih Kebo Mundarang mengumpat penuh kegeraman.

Kegeraman hatinya itu dilampiaskan dengan menghunjamkan keris besarnya kepada siapapun prajurit musuhnya yang mendekat.

“Aku harus menghentikannya”, berkata Raden Wijaya yang melihat kebuasan Patih Kebo Mundarang membantai prajuritnya.

“Sudah lama aku ingin mengenal kesombongan anak bangsawan Tumapel”, berkata Patih Kebo Mundarang ketika Raden Wijaya sudah berada dihadapannya langsung menerjang bersama kudanya maju menyerang.

“Sudah lama juga aku ingin membalas kecuranganmu di peperangan Padang Kalimayit beberapa tahun lalu”, berkata Raden Wijaya sambil mengelak maju bersama kudanya dan balas menyerang kembali.

Dan perkelahian dua panglima perang itu pun berlangsung semakin lama semakin seru, saling serang dan balas menyerang dan terus berlanjut masih diatas kuda masing-masing. Namun mereka masih tetap mengawasi seluruh medan pertempuran, masih juga diselingi beberapa perintah kepada penghubung masingmasing.

Sementara itu pasukan mereka masih terus bertempur dengan dahsyatnya.

Denting suara senjata beradu ditingkahi suara sumpah serapah yang terkadang diselingi suara jerit ratap sakit dan rintihan adalah suara perang kegaduhan yang terus terdengar membisingi suasana peperangan manusia diatas bumi tanah Padang Kadungan itu.

Dua kelompok manusia sama warna kulit itu masih terus saling membantai, saling membunuh satu dengan lainnya seperti terbuang sudah perasaan iba hati, yang ada adalah keinginan untuk membela diri, mempertahankan diri dengan cara membunuh. Jiwa, hati nurani dan kehalusan budi setiap manusia dalam peperangan itu seperti tersingkirkan, seperti tidak pernah ada, seperti bukan manusia lagi, tapi dua kelompok makhluk terbelakang, lebih terbelakang dari seekor binatang terbelakang sekalipun. Begitulah hasrat jiwa manusia didalam sebuah kancah peperangan.

Tapi tidak Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Putu Risang. Walaupun mereka dengan ketinggian ilmu puncaknya dapat membuat petir, membuat kobaran api atau meleburkan sebongkah batu besar. Semua itu tidak mereka lakukan. Mereka hanya menggunakan sedikit kekuatan tenaga cadangannya melumpuhkan musuhnya. Mata senjata di tangan mereka memang tidak akan pernah buta. Karena mata dan hati mereka telah terbuka mampu dapat mengendalikan hati dan perasaannya sendiri di tengah kebuasan manusia dalam suasana peperangan yang masih terus berlangsung penuh gemuruh bersama bercak lumuran darah di pakaian, di ujung pedang dan diatas tanah yang mulai berwarna darah.

Sementara itu matahari diatas langit Padang Kadungan sudah bergeser mendekati puncaknya, celah-celah kemenangan pasukan Raden Wijaya mulai terlihat manakala Mahesa Amping dan pasukannya telah berhasil mengoyak lambung pasukan lawan. Sedikit demi sedikit gempuran mereka tidak mampu lagi ditahan oleh pasukan Kediri di lambung pasukannya hingga akhirnya terpecahlah lambung itu terburai memisahkan kepala pasukan.

Di saat yang sama pasukan Putut Prastawa dimana Putu Risang ada di dalamnya juga telah berhasil menggempur ekor pertahanan lawan.

Bukan hanya itu, dua pasukan pengapit itu telah berbalik arah, menyerang sisi pertahanan bagian kepala pasukan lawan

“Gila!!!!”, berkata Patih Kebo Mundarang penuh kegeraman melihat pasukannya bercerai berai digasak sedikit demi sedikit.

“Menyerahlah orang berwajah hitam”, berkata Raden Wijaya dari atas kudanya sambil menyerang ke arah kaki kuda Patih Kuda Mundarang.

“Sial!!!” berkata Patih Mundarang yang tidak dapat menghindar lagi, Keris Nagasasra telah berhasil melukai kaki kanan kudanya membuat limbung kedudukannya.

“Kupenggal kepalamu”, berkata Patih Kebo Mundarang sambil melompat dari atas kudanya yang terluka.

“Sudah kukatakan bahwa sudah lama aku ingin membalas kecuranganmu di Padang Kalimayit beberapa tahun yang lalu”, berkata Raden Wijaya yang sudah ikut turun dari kudanya mengimbangi keadaan di pihak  lawan.

Terlihat Patih Kebo Mundarang tidak mengumpat lagi, tapi sudah langsung menerjang Raden Wijaya.

Sementara itu di sebuah tepian sungai di sebelah utara Kotaraja Kediri berjarak sehari perjalanan terlihat puluhan perahu besar telah merapat. Mereka adalah tiga belas ribu prajurit Mongol. Dengan bantuan seorang pemandu dari Raden Wijaya mereka dapat mendekati Kotaraja Kediri melalui perjalanan air.

Keberadaan dan kedatangan pasukan Mongol itu benarbenar tidak diketahui oleh para penguasa Kediri dimana mereka pada saat itu tengah memusatkan seluruh perhatiannya menghadang pasukan Raden Wijaya di sebelah timur Kotaraja di Padang Kadungan.

“Saat ini dua saudara yang berseteru pasti tengah beradu jiwa dalam pertempuran mereka di sebuah tempat. Dan kita akan masuk mengganyang mereka tanpa perlawanan yang berarti”, berkata seorang berbadan tinggi besar dengan kedua alis kerang tebal berpakaian lengkap seorang panglima perang terlihat begitu gagah dan berwibawa.

“Kapan kita akan datang membantai mereka?” bertanya seorang perwiranya yang nampaknya sudah tidak sabar lagi selekasnya masuk ke Kotaraja Kediri.

“Malam ini!!” berkata orang berpakaian panglima perang itu penuh ketegasan.

Terlihat dua orang perwira bawahannya terdiam, mereka berdua sudah tahu perangai panglima perang mereka itu yang tidak ingin dibantah apapun yang sudah menjadi kehendaknya disamping juga mengetahui kecerdikannya yang memang sangat luar biasa terutama dalam mengatur sebuah siasat perang.

Maka pada hari itu juga tiga belas ribu prajurit Mongol itu diistirahatkan di sebuah hutan kecil dekat sebuah tepi sungai dimana mereka telah merapat. Kehadiran mereka nampaknya masih belum diketahui oleh siapapun. Pancingan Raden Wijaya yang membawa pasukan di jalan terbuka antara Bumi Majapahit dan Kotaraja Kediri berhasil dengan sangat baik. Mereka pasukan Raden Wijaya adalah sebuah umpan yang berhasil memancing harimau keluar dari sarang mereka. Sayang sekali para penguasa Kediri tidak menyadari sebuah pasukan yang luar biasa besarnya akan datang seperti air bah gelombang pasang yang sangat dahsyat yang sebentar lagi membawa malapetaka kehancuran mereka.

Sementara itu matahari di atas langit Padang Kadungan sudah terlihat bergeser sedikit dari puncaknya. Terik cahaya matahari begitu keras menyentuh kulit membuat udara menjadi begitu pengap panas, sepanas suasana pertempuran saat itu di bumi tanah Padang Kadungan.

Peperangan masih terus berlangsung. Mayat dan orang terluka terlihat bergelimpangan di sana sini diantara suara denting senjata yang beradu, diantara langkah kaki dan umpatan sumpah serapah suara peperangan.

“Kesombonganmu ternyata hanya seperti ini”, berkata Patih Kebo Mundarang sambil terus mengganyang dengan serangan yang bertubi-tubi ke arah Raden Wijaya.

“Aku akan melayanimu sampai habis tenagamu”, berkata Raden Wijaya sambil mengelak menghindar masih ingin mengkaji sejauh mana tingkat tataran ilmu orang berwajah hitam itu.

Ternyata Patih Kebo Mundarang salah tanggap dengan sikap Raden Wijaya itu, merasa tataran ilmunya jauh diatas Raden Wijaya yang tidak balas menyerang, hanya terus menghindar.

“Lihatlah lambung pertahanan pasukanmu sudah terbelah”, berkata Raden Wijaya sambil menghindar mencoba menggoda hati dan perasaan Patih Kebo Mundarang untuk melihat sendiri keadaan pasukannya itu.

“Apapun yang terjadi atas pasukanku, kamu akan mati di tanganku wahai putra Tumapel yang sombong”, berkata Patih Kebo Mundarang menutupi kegusaran hatinya melihat lambung pasukannya sudah terpecah.

Sebagai seorang ahli peperangan Patih Kebo Mundarang pasti sudah tahu betul apa yang akan menimpa pasukan induknya bilamana lambung pertahanannya sudah dapat dipecah oleh pasukan  lawan. Sebuah serangan berbalik arah dari pasukan lawan akan menjepit pasukan induknya dari arah belakang. Itulah sebabnya Patih Kebo Mundarang sudah seperti seekor banteng terluka, menyerang Raden Wijaya lebih keras lagi melampiaskan kegeraman hatinya.

Sebagaimana yang dilihat oleh Patih Kebo Mundarang, lambung pertahanan pasukannya telah dipecahkan oleh barisan pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang senapati muda yang mempunyai ilmu setinggi langit yang bergelar Manusia setengah dewa, siapa lagi kalau bukan Mahesa Amping orangnya.

“Arahkan pasukan menyerang induk pasukan lawan”, berkata Mahesa Amping ketika telah berhasil memecah lambung pertahanan pasukan lawan.

Perintah itu terdengar berulang-ulang disuarakan oleh para penghubungnya dan disambung lagi dengan suara Bende Ki Prabu Segara yang bergema membuat suasana perasaan hati para prajurit Kediri seperti semakin menciut namun sebaliknya telah membakar semangat pasukan Raden Wijaya menjadi lebih bernyala-nyala lagi terus menguasai medan pertempurannya.

Sementara itu Putut Prastawa bersama Putu Risang telah berhasil membawa pasukannya mencerai-beraikan ekor pertahanan lawan yang sudah terpecah. Suasana pertempuran di belakang itu tidak kalah serunya. Mereka seperti sebuah pertempuran yang terpisah dari induknya masing-masing. Sebuah pertempuran yang sangat begitu menghebohkan, namun Putut Prastawa dan Putu Risang telah dapat menjaga barisannya dengan baik tidak lepas dari uger-uger sikap laku peperangan berkelompok. Maka pasukan Putut Prastawa dan Putu Risang perlahan sudah dapat menekan pasukan Kediri yang sudah patah arang itu, jauh terpisah dari induknya. Suara gema bende Ki Prabu Segara kembali bergema ketika ekor pasukan Kediri terburai seperti suara sorak semangat pasukan Raden Wijaya lebih berkobar-kobar lagi. Terlihat juga beberapa prajurit Kediri yang lari tunggang langgang, tapi tidak sedikit yang lari bergabung dengan pasukan induknya.

“Lihatlah pasukan belakang sudah dicerai beraikan, lihatlah bendera gula kelapa berkibar memberi pertanda arah serangan keinduk pasukan musuh”, berkata Ki Sukasrana kepada Ki Bancak di sebuah gumuk terpisah dari medan pertempuran bersama dengan beberapa prajurit menjaga bende Ki Prabu Segara.

Maka kembali terdengar suara bende Ki Prabu Segara terdengar bergema memberi tanda-tanda yang hanya dapat dimengerti sendiri olah semua pasukan Raden Wijaya.

Sementara itu di hari yang sama jauh dari Padang Kadungan, sebuah Jung Singasari terlihat tengah merapat di Bandar Ujung Galuh.

Ternyata penumpang jung besar Singasari itu adalah sejumlah pasukan Singasari yang baru saja kembali dari tugasnya. Mereka adalah pasukan Singasari yang diutus langsung oleh Raja Kertanegara menjalin hubungan persahabatan dengan para penguasa dari Tanah  Melayu. Ada bersama mereka adalah Senapati Mahesa Pukat dan Kebo Arema, dua orang kepercayaan Raja Kertanegara.

Bukan main terkejutnya Mahesa Pukat dan Kebo Arema manakala seorang prajurit di benteng Tanah Ujung Galuh bercerita tentang perubahan kekuasaan yang terjadi di masa pelayaran mereka meninggalkan bumi Singasari. Prajurit di Benteng Tanah Ujung Galuh itu juga bercerita tentang perkembangan terakhir dimana saat itu Raden Wijaya dan pasukan Mongol bersama tengah menuju Kotaraja Kediri.

“Raja Kertanegara telah wafat, Raja Jayakatwang menjadi penguasa baru di tanah ini”, berkata Kebo Arema seperti bergumam kepada dirinya sendiri dengan mata seperti menerawang jauh ke tempat kosong dengan pandangan hampa.

“Ada sebuah pasukan besar turun hari ini dari Jung  Besar Singasari”, berkata seorang prajurit datang menghadap Ki Sandikala di Pasanggrahannya.

“Tempatkan mereka untuk sementara di benteng Tanah Ujung Galuh. Aku akan segera datang mengunjungi mereka”, berkata Ki Sandikala yang telah ditunjuk berwenang penuh oleh Raden Wijaya di Bumi Majapahit.

Terlihat Ki Sandikala telah keluar dari Pasanggrahannya hendak menuju Benteng Tanah Ujung Galuh bersama seorang prajurit yang mengantarnya.

“Namaku Nambi, di tanah ujung Galuh ini orang memanggilku sebagai Ki Sandikala. Aku hanya seorang pendeta dari Lamajang yang kebetulan diberikan wewenang penuh oleh Tuanku Raden Wijaya menjaga Bumi Majapahit dan benteng Tanah Ujung Galuh ini”, berkata Ki Sandikala memperkenalkan dirinya kepada Mahesa Pukat dan rombongannya.

Mahesa Pukat dan Kebo Arema langsung memperkenalkan diri mereka, juga rombongan yang mereka bawa bersama dari Tanah Melayu.

“Perkenalkan ini Dara Jingga dan Dara petak, dua orang putri Raja Tanah Melayu yang sengaja datang untuk menemui suami dan anak mereka di Jawadwipa ini”, berkata Mahesa Pukat setelah memperkenalkan dirinya juga memperkenalkan semua yang rombongannya yang ikut bersamanya dari Tanah Melayu.

“Tuanku Raden Wijaya dan tuan senapati Mahesa Amping sering bercerita tentang kalian berdua”, berkata Ki Sandikala penuh kegembiraan diperkenalkan oleh dua orang wanita jelita dari tanah Melayu yang diketahui adalah ibunda Jayanagara dan Adityawarman. “Kedua putra kalian pasti gembira melihat bundanya ada di Bumi Majapahit”, berkata kembali Ki Sandikala kepada Mahesa Pukat dan rombongannya itu dan menawarkan untuk segera ke Bumi Majapahit.

Bukan main gembiranya Dara Jingga dan Dara Petak mendengar berita bahwa kedua putra mereka berada di Bumi Majapahit.

Mari kita kembali ke Padang Kadungan menengok sebuah peperangan yang masih terus berlangsung.

Terdengar suara Bende Ki Prabu Segara bergema berputar putar terbawa angin mendengung mengisi setiap telinga para prajurit yang tengah bertempur.

Ternyata gema irama Bende Ki Prabu Segara itu adalah sebuah isyarat agar gerak pertempuran pasukan Raden Wijaya berputar dalam tiga irama gerak menusuk pasukan induk Kediri dari tiga penjuru.

Malang menimpa pasukan induk Kediri itu yang di kepung dari tiga arah. Dihadapan mereka pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Raden Wijaya sudah membuat mereka sesak terhimpit oleh tekanan-tekanan pasukan yang sudah berpengalaman dalam peperangan mereka, para prajurit Singasari yang sudah dikenal sangat mahir dalam berperang secara berkelompok disamping juga mereka sangat trampil bertempur secara perorangan.

Dan Pasukan induk Kediri benar-benar terasa tertekan ketika di dua sisi mereka ditambah tekanan serangan dua pasukan musuh, dua barisan bala prajurit yang telah menyelesaikan tugas mereka memecah lambung pertahanan lawan dan mencerai beraikan pertahanan belakang mereka.

“Gila!!”, kembali terdengar umpatan dari mulut Patih Kebo Mundarang yang merasakan tekanan para prajuritnya.

“Jangan banyak mengumpat”, berkata Raden Wijaya sambil melenting cepat menghindari sabetan keris Patih Kebo Mundarang.

“Kuhabisi nyawamu hari ini”, berkata Patih Kebo Mundarang langsung mengejar kearah Raden Wijaya kembali.

Wajah Patih Kebo Mundarang yang hitam itu menjadi bertambah kelam dengan sorot mata tajam begitu menyeramkan dipenuhi kegeraman hati bahwa sejauh ini dirinya masih belum juga menyelesaikan pertempurannya dengan seorang yang masih muda, jauh dari usianya yang sudah hampir menjelang setengah abad.

Dan ternyata Raden Wijaya sudah dapat mengukur tingkat tataran ilmu Patih Kebo Mundarang, namun masih saja terus mempermainkannya sambil mengawasi suasana pertempuran pasukannya yang dilihatnya sudah berada diatas angin.

“Dua senapati pengapitku sudah dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, mereka telah mengepung pasukan induk lawan dari dua sisi arah”, berkata Raden Wijaya dalam hati sambil terus menghindari terjangan keris Patih Kebo Mundarang yang diketahui penuh dengan hawa racun yang kuat, hawa kematian.

Perlahan tapi pasti pasukan Kediri satu  persatu terjungkal ke tanah tak mampu lagi bergerak berkurang dan semakin berkurang dikepung dan ditekan dari tiga arah serangan.

“Sekali tergores kerisku kamu akan mati binasa wahai anak muda Tumapel”, berkata Patih Kebo Mundarang sambil mengangkat kerisnya tinggi-tinggi seakan ingin mengerahkan puncak tataran ilmunya membinasakan anak muda Tumapel yang dikatakan sangat sombong itu, Raden Wijaya.

Benar sekali, Patih Kebo Mundarang memang telah mengerahkan puncak tataran ilmu.

Terlihat keris ditangannya berputar-putar seperti sebuah gasing menerjang kearah Raden Wijaya dengan lebih cepat lagi dari sebelumnya.

Tapi Patih Kebo Mundarang tidak mengetahui bahwa anak bangsawan Tumapel itu mempunyai tataran ilmu jauh darinya, tidak diketahui lagi sudah berada didasar langit mana puncak tataran ilmu sebenarnya.

Terlihat wajah Raden Wijaya tersenyum kearah Patih Kebo Mundarang yang tengah memutar kerisnya seperti gasing berputar kencang menerjang ke arahnya.

Keris Patih Kebo Mundarang seperti gasing berputar begitu keras semakin mendekati Raden Wijaya yang masih tegap berdiri tidak bergeser sedikitpun.

Dan Raden Wijaya tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya manakala jarak serang keris Patih Kebo Mundarang sudah berada dalam jarak serang yang tidak mungkin dihindari. Wajah hitam Patih Kebo Mundarang seperti bersinar penuh kegembiraan ketika dengan kecepatan ilmu puncaknya meluncur kearah jantung Raden Wijaya.

Blesssss……..

Keris ditangan Patih Kebo Mundarang seperti menembus sebuah kapas halus, seperti hilang masuk kedalam sebuah benda tak berwujud tenggelam terserap menghilang punah.

Wajah hitam Patih Mundarang seketika menjadi pucat pasi merasakan kulit tubuh Raden Wijaya tidak terluka tertembus kerisnya. Sebaliknya merasakan kulit tubuh dibawah pusarnya tertembus sebuah benda tajam.

Wajah hitam Patih Mundarang menjadi lebih pucat lagi, menjadi dingin seketika karena dibawah pusarnya tertanam sebuah benda tajam, keris Nagasasra ditangan Raden Wijaya telah menembus tubuhnya.

Terlihat tubuh Patih Kebo Mundarang runtuh jatuh ke bumi perlahan, nyawanya sudah terbang bersama kulit yang tertembus hawa keris keramat yang sangat ampuh, seampuh seribu bisa ular yang paling ampuh mematikan. Itulah keampuhan keris Nagasasra warisan Raja Erlangga yang berada di tangan Raden Wijaya yang terlihat dicabut perlahan dari tubuh Patih Kebo Mundarang.

Kematian Patih Kebo Mundarang begitu menggemparkan, para prajurit Kediri seperti tidak percaya dengan apa yang terjadi ditengah pertempuran mereka. Semua orang di Kediri sudah mengetahui kesaktian ilmu Patih Mundarang yang sukar sekali mencari lawan tandingnya saat itu. Tapi hari ini menyaksikan sendiri bahwa Patih Kebo Mundarang yang sakti itu telah dibinasakan oleh seorang musuh mereka yang masih muda, Raden Wijaya.

Bersama dengan kematian Patih Kebo Mundarang, pertahanan induk pasukan Kediri itu memang sudah semakin rapuh menyusut. Ditambah dengan kabar kematian panglima perang mereka seperti menambah susut jiwa semangat para prajurit Kediri.

Dan tekanan dari tiga arah pasukan Raden Wijaya ikut menambah rasa putus asa prajurit Kediri itu.

Tidak dapat dibendung lagi, semangat bertempur para prajurit Kediri seperti telah hilang, satu persatu jatuh berguguran didalam setiap kepungan para prajurit Raden Wijaya yang tidak pernah lepas dari uger-uger perang berkelompok meski keadaan dan suasana peperangan telah berpihak kepada mereka. Mereka para prajurit Raden Wijaya sangat menjunjung arti disiplin, mereka telah digembleng begitu lama untuk itu dan telah banyak makan asam dalam perang-perang mereka.

Terlihat Mahesa Amping, Putut Prastawa dan Putu Risang hanya berdiri mengawasi pertempuran yang sudah diketahui ujungnya itu, satu persatu prajurit Kediri sudah begitu putus asa, tidak punya hati lagi untuk melanjutkan pertempuran.

“Aku menyerah”, berkata seorang prajurit Kediri yang melempar pedangnya sebagai tanda menyerah diikuti oleh beberapa kawannya.

Dan langit diatas padang Kadungan terlihat sudah begitu redup teduh bersama awan hitam bergerumbul terbang menghalangi cahaya sinar matahari yang mulai gelisah turun merayapi dinding lengkung langit sebelah barat.

Wajah padang Kadungan teduh sepi tanpa suara denting senjata beradu, tanpa suara sumpah serapah lagi, hanya sesekali terdengar suara rintihan beberapa orang terluka di tubuhnya mengerang merasakan rasa perih yang sangat. Juga beberapa orang telah menghembuskan nafasnya tidak tertolong lagi akibat luka yang banyak mengeluarkan darah. Mati diatas bumi tanah Padang Kandungan.

Dan hari telah berada di ujung senja diatas langit Padang Kadungan ketika terlihat para prajurit Raden Wijaya dan para tawanan masih mengurus jenasah kawan mereka dan juga memisahkan orang-orang yang terluka untuk dirawat, ditolong jiwanya.

“Tenaga dan semangat para prajurit harus dipulihkan, peperangan ini bukan peperangan terakhir kita”, berkata Raden Wijaya membawa kembali pasukannya kembali ke barak-barak sederhana di kaki bukit Kadungan didalam perlindungan sebuah kerapatan hutan yang melindungi mereka dari sergapan yang mendadak yang dapat saja terjadi.

Sementara itu di waktu yang sama tiga belas ribu pasukan Mongol sudah mulai bergerak dari arah utara Kotaraja Kediri.

Sebagaimana perhitungan panglima perang pasukan Mongol itu, bahwa mereka akan sampai di Kotaraja disaat tengah malam. Disaat semua orang di Kotaraja Kediri masih tertidur tidak akan menduga bahwa mimpi buruk mereka adalah sebuah kenyataan pahit yang tidak akan pernah sedikitpun mereka lupakan.

Dan malam itu berita tentang kekalahan prajurit Patih Kebo Mundarang telah merembes masuk ke Kotaraja Kediri. Sebuah berita yang sangat mencekam yang seperti sebuah kenyataan yang ingin mereka buang jauhjauh. Hampir jauh malam setiap jiwa didalam Kotaraja Kediri seperti sukar sekali untuk memejamkan matanya, berita kekalahan prajurit Kediri di Padang Kadungan seperti pukulan yang keras memeningkan kepala mereka.

“Putra kita mungkin tertawan, atau gugur binasa di Padang Kadungan”, berkata seorang lelaki tua kepada istrinya di sebuah rumah di Kotaraja Kediri
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar