“Sangat kejam”, berkata Putu Risang melihat sendiri apa yang dilakukan Ki Gendon kepada orang perlente itu.
“Aku akan bertindak lebih kejam lagi kepada siapapun yang tidak tunduk patuh kepadaku, sekali lagi kukatakan bahwa akulah yang paling berhak memiliki keris pusaka itu”, berkata Ki Gendon menatap tajam kearah Putu Risang penuh dengan sebuah ancaman.
“Sayang sekali keris itu kudapatkan dengan begitu susah payah, maka dengan sayang sekali bahwa aku tidak mematuhi keinginanmu”, berkata Putu Risang datar tanpa sedikit pun merasa jerih menghadapi Ki Gendon yang telah begitu mudah dan kejamnya membunuh orang dengan mata terbuka.
Terlihat Ki Gendon termangu-mangu mendengar jawaban Putu Risang.
Dan tiba-tiba saja terdengar suara tertawa Ki Gendon yang begitu keras memekakkan telinga serta terasa menekan rongga dada menjadi begitu sesaknya siapapun yang mendengarnya.
Tetapi tidak untuk Putu Risang dan Paman Ragil yang dapat meredam getar suara itu dengan melambari dirinya dengan kekuatan tenaga cadangan mereka menulikan panca indera pendengarannya tidak termakan getar apapun yang akan mengganggu mereka.
Tetapi jiwa kehalusan Putu Risang tidak tega hati melihat semua orang terlihat begitu menderita menahan suara tawa Ki Gendon, bahkan termasuk seratus anak muridnya sendiri termakan oleh Aji Gelap Ngampar Ki Gendon yang dahsyat itu. “Sangat kejam”, berkata Putu Risang dalam hati melihat keganasan ilmu Ki Gendon
Tiba-tiba saja Putu Risang ikut tertawa tidak kalah kerasnya dengan suara tawa Ki Gendon, seakan suara tawa Putu Risang mengisi seluruh isi bumi di sekitarnya, suara tawa Ki Gendon seakan langsung tertekan kehilangan keampuhannya, lenyap ditelan bumi.
“Hebat, semuda usiamu dapat meredam Aji Gelap Ngampar ku”, berkata Ki Gendon yang telah menghentikan tawanya. “Tetapi jangan berbangga dulu, kamu masih harus melihat ilmuku yang lainnya.”
Berhenti berkata seperti itu, tiba-tiba saja terlihat mata Ki Gendon seperti telah hilang warna hitamnya dan telah terlihat semua biji matanya telah menjadi putih seluruhnya, begitu sangat menakutkan.
Terlihat Putu Risang telah semakin berhati-hati, pasti orang itu akan menerapkan sejenis ilmu lainnya yang dimiliki.
Ternyata dugaan Putu Risang tidak meleset jauh.
Tiba-tiba saja setiap orang merasakan bumi di sekitarnya telah tergoncang begitu hebatnya, semua orang terlihat rebah memegang apapun yang dapat dipegangnya. Juga untuk Paman Ragil yang merasakan panggungan telah ikut tergoncang begitu hebatnya seperti tidak akan berhenti membuat siapapun telah menganggap bumi akan berakhir, dunia akan segera kiamat.
Tapi tidak untuk seorang Putu Risang yang sudah mempunyai kekuatan sejatinya lewat sebuah laku yang selalu hampir setiap malam dilakoninya, sebuah laku ilmu sakti dari kitab pusaka pertapa gunung Wilis.
Ternyata apa yang terjadi di sekitar panggungan sederhana itu tidak lepas dari pengamatan Mahesa Amping dan rombongannya. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan Putu Risang dengan melihat penerapan ilmu orang yang terakhir datang telah membuat sihir yang begitu dahsyatnya telah mengecohkan semua orang yang ada di sekitarnya merasakan bumi seakan telah bergoncang.
“Aji Pelemah Sukma”, berkata Mahesa Amping menyadari didepan matanya melihat orang terakhir itu telah mengeluarkan ajian yang dapat melumpuhkan dan mengendalikan pikiran banyak orang. Hanya orang yang sudah begitu mumpuni saja yang dapat menguasai ilmu itu.
“Kita harus segera turun ke medan”, berkata Mahesa Amping kepada rombongannya untuk segera turun menjaga segala kemungkinan yang bisa mencelakai Putu Risang.
“Tahan dulu!!”, berkata Mahesa Amping menahan perintahnya sendiri membuat Mahesa Semu, Mahesa Darma, Muntilan dan Pendeta Gunakara menahan langkah kakinya yang sudah mulai bergerak.
Terlihat Mahesa Amping menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya seperti seorang yang terlepas dari sebuah marabahaya yang nyaris menimpa dirinya. Dan kekhawatiran Mahesa Amping atas diri Putu Risang telah terlewati.
“Ilmu anak itu ternyata sudah dapat mengatasinya”, berkata Mahesa Amping sambil masih memberi tanda dengan tangannya agar kawan-kawannya tidak perlu turun membantu Putu Risang.
Apa yang dilihat oleh Mahesa Amping sehingga tidak mengkhawatirkan keselamatan Putu Risang?? Ternyata Mahesa Amping melihat dengan ketajaman matanya meski dari tempat yang cukup jauh masih dapat melihat bahwa Putu Risang telah mampu dengan ilmunya meredam ilmu sihir itu. Mahesa Amping melihat kedua mata anak muda itu tiba-tiba saja terang bersinar dimana sinar itu telah meluncur langsung menembus lewat sorot mata putih milik orang itu yang tengah menerapkan Ajian Pelemah Sukma. Dan Mahesa Amping melihat sendiri bahwa sihir yang tersebar itu telah menjadi redup pudar keampuhannya.
Dari tempat yang tersembunyi Mahesa Amping melihat wajah kegusaran Ki Gendon, terlihat seperti merah penuh kemarahan.
“Habisi mereka”, berkata Ki Gendon penuh amarah memerintahkan pengikutnya menyerang Putu Risang dan Paman Ragil yang masih berada diatas panggungan.
Terlihat seratus pengikut Ki Gendon telah mengepung panggungan dengan rapatnya, tidak memberi sedikit pun celah bagi Putu Risang dan Paman Ragil untuk dapat keluar dari kepungan itu.
Sementara itu Mahesa Amping masih melihat sepuluh orang sewaan orang perlente diam-diam telah menyingkir menjauh.
“Tangkap mereka”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu, Muntilan dan Mahesa Darma untuk mencegat sepuluh orang sewaan itu yang bermaksud melarikan diri takut terbawa-bawa oleh kemarahan Ki Gendon yang sudah sangat dikenal oleh hampir semua orang para perampok maupun para bangsawan di Jawadwipa ini. Seorang yang sangat kejam, dapat membunuh musuhnya dengan mata terbuka, tanpa penyesalan sedikit pun. “Kalian tidak boleh pergi kemanapun”, berkata Mahesa Semu bersama Muntilan dan Mahesa Darma datang menghadang sepuluh orang pengikut orang perlente yang sudah tewas itu yang bermaksud kabur pergi menjauh.
“Sial!!”, berkata salah seorang dari sepuluh orang itu sambil melepas golok panjangnya.
Terlihat kawan-kawannya mengikuti telah melepas juga senjatanya siap menghadapi ketiga orang yang telah datang menghadang mereka.
Maka tanpa aba-aba dan perintah apapun telah terjadi sebuah pertempuran yang terpisah jauh diluar batas tanah lapang tempat panggungan berdiri.
“Sayang aku hanya ditugaskan untuk menangkapmu, bukan membunuhmu”, berkata Mahesa Darma sambil tangannya telah berhasil meninju perut seorang lawannya yang langsung jatuh dengan perut terasa dihantam sebuah batu besar dengan sangat begitu keras telah membuat dirinya terhuyung jatuh ke tanah pingsan.
“Satu”, berkata Mahesa Darma kepada Mahesa Semu dan Muntilan membuat keduanya merasa geli melihat tingkah anak muda itu menganggap pertempurannya sebuah permainan.
Mahesa Amping diam-diam memuji tingkat kepercayaan diri anak muda itu.
“Kakang Mahesa Murti telah membentuk jiwa anak itu tidak mengenal rasa takut sama sekali”, berkata Mahesa Amping dalam hati melihat tingkah Mahesa Darma menghadapi lawan-lawannya.
“Dua!!”, berteriak Muntilan ditujukan kepada Mahesa Darma hanya sekedar ingin membakar semangat anak muda itu untuk secepatnya melumpuhkan lawan mereka.
Benar apa yang diteriakkan oleh Muntilan, dua orang sudah terlempar oleh sebuah gerakan kaki dan tangannya.
“Sifat paman Muntilan masih belum berubah”, berkata Mahesa Amping dalam hati melihat sifat Paman Muntilan yang juga suka bercanda meski menghadapi sebuah marabahaya sekalipun.
“Kuserahkan ketiga orang itu menjadi milik tuan pendeta”, berkata Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara ketika melihat seorang yang mengaku bernama Mandralola Si Tangan Sakti Berdarah Biru bersama dua orang pengiringnya diam-diam telah menyingkir dari sekitar panggungan yang sudah dipenuhi oleh seratus orang pengikut Ki Gendon yang tengah mengepung panggungan itu.
“Semoga aku dapat menangkapnya hidup-hidup”, berkata Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping sambil melompat terbang melesat mendekati ketiga orang yang dikatakan oleh Mahesa sebagai “miliknya” itu.
“Menyingkir dari kami atau tubuhmu remuk lunak tak bertulang”, berkata Mandralola Si Tangan Sakti Berdarah Biru kepada Pendeta Gunakara yang tiba-tiba saja datang menghadang.
“Sayang aku bukan ikan bandeng, sayang juga bahwa kalian sudah menjadi milikku untuk kutangkap dan kulucuti seluruh tubuh kalian dan meletakkan kalian di lubang dengan banyak semut didalamnya”, berkata Pendeta Gunakara dengan memasang wajah sangat menyeramkan dihadapan ketiga orang itu yang bermaksud hendak melarikan diri. “Wajahmu sungguh memuakkan”, berkata Mandralola Si Tangan Sakti Berdarah Biru kepada pendeta Gunakara sambil mengeluarkan sebuah senjata trisula yang terselip di sebelah kiri pinggangnya.
“Aku juga muak mendengar suaranya”, berkata kawannya yang satu lagi yang langsung mengikuti melepas trisula dari pinggangnya.
“Aku selalu sial bila bertemu dengan wajah seorang pendeta, semoga kematiannya tidak menimbulkan kesialan bagiku di hari ini”, berkata juga orang terakhir ketiga mengikuti kedua kawannya melepas trisula dari ikatan tali pinggangnya.
Terlihat tiga buah senjata trisula ditangan ketiga orang itu telah bersama-sama disorongkan kearah Pendeta Gunakara.
“Sudah kukatakan, kalian bertiga adalah milikku”, berkata Pendeta Gunakara sambil tersenyum berdiri siap menghadapi serangan mereka bertiga.
“Serangan yang hebat”, berkata Pendeta Gunakara sambil melompat tinggi menghindari ketiga trisula yang dengan cepat secara bersamaan mengincar tubuhnya.
“Sial!!”, berkata salah seorang diantara mereka yang melihat sasaran trisulanya menembus tempat kosong.
Maka ketiganya sudah langsung mengejar ke arah Pendeta Gunakara kembali.
Demikianlah Pendeta Gunakara sudah terlibat dalam sebuah pertempuran sendiri dikeroyok oleh tiga orang bersenjata trisula yang nampaknya berasal dari sebuah perguruan yang sama.
“Pendeta Gunakara sudah asyik menemukan permainannya”, berkata Mahesa Amping dalam hati melihat Pendeta Gunakara yang dianggapnya dapat menguasai ketiga orang lawannya, dan tidak perlu mengkhawatirkannya.
Mata Mahesa Amping sudah beralih pandang kearah panggungan dimana Putu Risang dan Paman Ragil diatas panggungan sudah dikepung rapat oleh seratus orang pengikut Ki Gendon, ketua Padepokan Pancawarna itu.
Mahesa Amping melihat beberapa orang telah merubuhkan panggungan itu, Mahesa Amping juga telah melihat bagaimana Putu Risang dan Paman Ragil melompat dari atas panggungan sebelum bangunan itu roboh.
“Pasti orang tua itu yang bergelar Kera Sakti Tanpa Bayangan”, berkata Mahesa Amping sambil mengikuti dengan matanya bagaimana Putu Risang dan orang tua itu turun dari panggungan yang sudah roboh itu di tengah-tengah musuhnya yang berjumlah sekitar seratus orang itu.
Mahesa Amping masih mengamati Putu Risang bersama kawannya yang dengan mudahnya turun ke tengah kerumunan orang sambil melempar siapapun yang terdekat dari mereka.
Sebagaimana yang dilihat oleh Mahesa Amping, ternyata Putu Risang dan Paman Ragil tidak merasa kewalahan menghadapi keroyokan itu. Tidak satu pun senjata lawan dapat menyentuh diri mereka, sebaliknya setiap kali tangan dan kaki mereka bergerak terlihat beberapa orang terjungkal jatuh ke bumi. Mereka seperti dua bola api panas yang merubuhkan ratusan rayap dengan begitu mudahnya.
“Ketua Padepokan Pancawarna itu ternyata sangat licik, ingin menguras tenaga Putu Risang lewat tangan para pengikutnya”, berkata Mahesa Amping dalam hati sambil melihat Ki Gendon hanya berdiri tidak ikut menyerang Putu Risang maupun orang tua yang bersamanya itu.
Namun, kekhawatiran Mahesa Amping melihat keculasan ketua Padepokan Pancawarna itu mereda manakala dari sebuah tempat keluar sekitar seratus orang datang menyerbu para pengikut Ki Gendon. Dan Mahesa Amping dapat mengenali pasukan yang baru datang itu juga seorang pemimpin diantara mereka.
Ternyata pasukan yang baru tiba membantu penyerangan itu adalah seratus orang pilihan terbaik dari pasukan khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Sandikala.
Dan Mahesa Amping seperti melihat sebuah air bah yang tumpah memenuhi sisi sebuah kubangan besar. Pertempuran para pengikut Ki Gendon dan pasukan khusus gemblengan Ki Sandikala sudah melebur menjadi sebuah gejolak air yang meletup-letup diatas sebuah belanga tempat air.
“Selamat datang wahai saudaraku”, berkata Putu Risang yang sudah mengenali siapa yang datang membantunya menghadapi para pengikut Ki Gendon.
“Sial!!”, berkata Ki Gendon yang melihat pasukan yang baru datang membantu Putu Risang dan orang tua itu.
“Jangan mengumpat sendiri, bisa-bisa kesialan akan datang kepada dirimu sendiri”, berkata Ki Sandikala kepada Ki Gendon yang entah dari mana sudah berada dihadapan ketua Padepokan Pancawarna itu yang merasa mimpinya telah buyar melihat ada pasukan yang sama banyaknya dengan para pengikutnya yang sengaja dibawanya untuk merebut keris Nagasasra dari tangan Putu Risang.
“Tidak sembarang orang datang menjadi lawan tandingku”, berkata Ki Gendon menatap tajam kearah Ki Sandikala yang dipikirnya hanya orang kebanyakan sebagaimana pasukan yang baru saja datang menggempur para pengikutnya.
“Aku hanya seorang guru dari sebuah padepokan biasa di Lamajang”, berkata Ki Sandikala dengan suara yang datar, penuh ketenangan dan kepercayaan diri yang tinggi.
“Bagus, hari ini kamu harus menyesal telah bertemu muka denganku”, berkata Ki Gendon sambil mengangkat tinggi-tinggi tongkat panjangnya.
Tapi terlihat tongkat panjang itu turun perlahan ketika seseorang berdiri di dekat Ki Sandikala.
“Tuan Senapati Mahesa Amping pasti sudah datang lebih lama dariku”, berkata Ki Sandikala kepada orang yang baru datang itu.
“Ternyata kamu orang yang bergelar Manusia Setengah Dewa itu, senang sekali bila ada kesempatan mengenal satu dua jurusmu yang kata orang sudah setinggi langit”, berkata Ki Gendon seperti jerih berhadapan dengan Mahesa Amping yang sudah sering disebut oleh hampir semua orang berilmu sangat tinggi, dan hari itu Ki Gendon melihat langsung orang itu berada dihadapannya. “Tetapi tidak hari ini”, berkata kembali Ki Gendon sambil pergi melesat terbang dan menghilang seperti tenggelam ditelan bumi.
“Bila waktunya tiba aku akan datang menemuimu, wahai Manusia Setengah Dewa”, terdengar suara yang bergema dari segala penjuru mata angin yang ternyata adalah suara yang dilepas oleh Ki Gendon dari tempat yang jauh.
“Orang itu sangat kejam, tidak memikirkan keselamatan para pengikutnya, hanya memikirkan keselamatannya sendiri”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala
“Dan ternyata nama besar tuan Senapati begitu sangat menakutkan dirinya”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Amping.
Terlihat Mahesa Amping tidak berkata apapun, hanya sedikit tersenyum mendengar pujian dari Ki Sandikala tentang nama besarnya itu yang sempat menghebohkan Tanah Melayu beberapa tahun yang telah lewat.
“Milikku sudah tidak dapat berbuat apapun”, berkata Pendeta Gunakara yang datang mendekati Mahesa Amping dan Ki Sandikala.
Ternyata Pendeta Gunakara sudah dapat melumpuhkan ketiga orang lawannya itu.
Dan tidak lama berselang terlihat Mahesa Darma, Mahesa Semu dan Muntilan sudah datang mendekati Mahesa Amping. Nampaknya mereka juga telah melumpuhkan kesepuluh orang sewaan itu.
“Apakah kami perlu turun ke pertempuran itu?”, berkata Muntilan kepada Mahesa Amping.
“Tidak perlu, pasukan khusus Ki Sandikala sebentar lagi sudah dapat menyelesaikan pertempurannya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping, ternyata pengamatan Mahesa Amping tidak meleset sedikitpun terhadap keunggulan pasukan khusus gemblengan Ki Sandikala ini. Satu persatu para pengikut Ki Gendon terlihat jatuh berguguran, ada yang langsung tewas, ada juga yang terluka parah terkena tajamnya pedang.
“Putu Risang sudah begitu menguasai cambuknya, sudah dapat mengendalikan kekuatan ujung cambuk pendeknya sendiri”, berkata Mahesa Amping yang melihat bagaimana ujung cambuk Putu Risang mengenai tubuh lawannya, hampir seluruhnya tidak langsung tewas, hanya pingsan terluka.
Dan para pengikut Ki Gendon sudah menjadi semakin surut. Hingga akhirnya menjadi semakin tersisa sedikit menjadi bulan-bulanan anggota pasukan khusus itu.
“Menyerahlah”, berkata seorang anggota pasukan khusus kepada seorang lawannya.
Seorang pengikut Ki Gendon itu melotot memandang kepada beberapa orang anggota pasukan khusus yang tengah mengepungnya.
“Cis, aku lebih memilih mati daripada menjadi budak kalian sepanjang hidupku”, berkata orang itu seperti tahu betul kehinaan diri menjadi seorang budak belian.
Trang…!!!!
Terdengar suara gemerincing dua senjata beradu. Ternyata suara itu berasal dari benturan senjata pedang dengan sebuah cakra.
“Jangan kamu membunuh orang hanya karena kebencianmu”, berkata seorang pemuda pemilik cakra itu yang tidak lain adalah Menak Jingga, putra Ki Sandikala.
“Orang ini telah meludahiku”, berkata seorang anggota pasukan khusus pemilik pedang yang ditahan dengan cakra milik Menak Jingga itu merasa belum tuntas amarahnya ingin membunuh seorang pengikut Ki Gendon yang meludahinya. Dan amarah itu telah berpindah kepada pemilik cakra yang telah menghalangi dirinya menghabisi selembar nyawa orang yang telah meludahi wajahnya.
“Ayahku selalu berkata kepada kalian setiap pagi diawal setiap latihan agar selalu mengisi hatimu dengan tali cinta kasih kepada musuhmu sekalipun. Kulihat dirimu begitu penuh disarati kemarahan yang besar hari ini wahai saudaraku”, berkata Menak Jingga menasehati seorang anggota pasukan khusus yang terlihat masih kalap dengan amarahnya itu.
Luar biasa, orang itu terlihat redup. Nasehat Menak Jingga nampaknya telah menyentuh dirinya seperti guyuran air dingin memadamkan api amarah yang tengah bergejolak.
“Terima kasih telah mengingatkan aku”, berkata anggota pasukan khusus itu dengan wajahnya yang terlihat sudah menjadi dingin menyadari kekhilafan dirinya sendiri yang telah dipenuhi oleh nafsu amarah kebencian.
“Terima kasih telah menyelamatkan selembar jiwaku”, berkata seorang pengikut Ki Gendon kepada Menak Jingga yang telah menyelamatkan dirinya dari sebuah pedang tajam yang nyaris menewaskan dirinya itu.
Ternyata orang itu adalah orang terakhir dari para pengikut Ki Gendon yang menyerah.
Dan matahari diatas puncak hutan bukit Cemara sudah terlihat turun di lengkung langit, cahayanya jatuh begitu teduh meredupkan setiap jiwa yang gersang terbakar.
Seperti itulah jiwa cinta tali kasih merasuki setiap jiwa para pasukan khusus itu yang dengan penuh ketelatenan merawat orang yang terluka parah para musuhnya sendiri.
“Sampai ketemu lagi wahai sahabat mudaku”, berkata Paman Ragil kepada Putu Risang yang akan kembali ke Bumi Majapahit meninggalkan dirinya sendiri sebagai seorang penghuni abadi di hutan Bukit Cemara itu.
Dan nama paman Ragil nampaknya sudah tidak pernah terdengar lagi tenggelam bersama munculnya sebuah nama yang tiba-tiba saja membumbung setinggi langit dibicarakan oleh banyak orang, nama itu adalah sebuah gelar dari banyak orang, SANG KERA SAKTI PENJAGA NAGASASRA.
Sementara itu di sebuah hari ketika wajah sang surya mengintip redup di antara cabang dan ranting pohon randu kering di tepian sungai Kalimas, terlihat seorang gadis manis tengah merajuk.
“Pamanku orang jahat sedunia karena telah menutupi sebuah rahasia kepadaku, sementara kamu lebih jahat lagi, karena telah berhasil membawa pergi, mencuri sepotong hatiku”, berkata gadis manis itu yang ternyata adalah Endang Trinil kepada seorang pemuda pilihan hatinya, Putu Risang.
Hari ke dua puluh satu, sembilan hari menjelang purnama ke dua. Malam itu di Bumi Majapahit masih basah hujan gerimis di ujung senja yang baru saja reda. Keremangan malam terlihat menyelimuti daun dan dahan pohon Maja di sisi kiri sebuah gardu ronda seperti tubuh raksasa tengah berdiri menakutkan dalam keremangan malam. Dan angin malam itu seperti berhenti, tidak ada semilirnya, tidak ada rasa dinginnya. Angin mungkin sedang bosan mencumbui tangkai daun bunga kenanga yang begitu lebat sering jatuh hanya dengan sedikit usapan angin sepoi.
Malam baru saja berjalan tidak jauh dari saat wajah senja terakhir. Dan Mahesa Amping baru saja pulang dari kediaman Raden Wijaya.
“Ada tugas khusus untuk kalian berempat”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang, Mahesa Semu, Muntilan dan Mahesa Darma yang sejak senja sudah berada di atas pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping.
“Terima kasih, artinya kehadiran kami disini tidak hanya sebagai pengangguran yang menjemukan”, berkata Mahesa Semu mewakili saudaranya dari padepokan Bajra Seta.
“Kami telah melakukan kesepakatan bersama panglima besar pasukan Mongolia mengenai sebuah rencana penyerangan”, berkata Mahesa Amping perlahan berhenti sebentar memberi kesempatan semua yang ada diatas pendapa itu dapat mengerti kemana arah pembicaraannya.
“Ada dua jalur tempur yang telah kami sepakati bersama, yaitu pertempuran lewat darat dan air. Untuk jalur tempur lewat darat diserahkan sepenuhnya kepada kita, sementara pasukan Mongolia akan datang menyerang Kediri lewat jalur air”, berkata kembali Mahesa Amping.
Terlihat semua mata memandang ke arah Mahesa Amping seperti takut kehilangan satu kata saja yang mungkin akan keluar dari bibir Sang Senapati itu.
“Agar gerak pasukan darat dapat bergerak cepat tanpa beban dan hambatan selama di perjalanan, kita perlu sarana pangan yang baik, dan kita perlu beberapa titik yang tidak bergerak sebagai puser kekuatan pasukan darat, sebuah lumbung tempat persediaan pangan pasukan yang selalu terjaga dan tersedia setiap saat dibutuhkan”, berkata Mahesa Amping.
Semua mata diatas Pendapa itu masih tetap memandang kearah Mahesa Amping, nampaknya mereka mulai membaca kemana sebenarnya arah dari pembicaraan Mahesa Amping.
“Apakah aku boleh menebak, tugas kita berempat adalah mempersiapkan kesediaan lumbung-lumbung itu untuk pasukan darat yang terus bergerak menuju medan pertempurannya”, berkata Muntilan mencoba menebak kemana arah pembicaraan Mahesa Amping.
“Tebakan paman Muntilan benar-benar jitu, tugas itulah yang ingin kuminta dari kalian berempat”, berkata Mahesa Amping membenarkan perkataan Muntilan. “Sebuah tugas yang tidak mudah, tapi aku yakin bahwa kalian dapat melakukannya dengan baik”, berkata kembali Mahesa Amping.
“Kapan pasukan darat Raden Wijaya bergerak dari Bumi Majapahit ini”, bertanya Mahesa Semu kepada Mahesa Amping.
“Dihari keempat menjelang saat purnama kedua tiba”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu.
“Kita berempat hanya punya waktu lima hari kerja?”, bertanya kembali Mahesa Semu.
Terlihat Mahesa Amping tersenyum memandang wajah Mahesa Semu, mengerti apa yang dikhawatirkan oleh Mahesa Semu, sebuah waktu yang sangat singkat.
“Kakang Mahesa Semu tidak perlu khawatir, sebulan yang lalu kami sudah menurunkan para petugas telik sandi untuk menyiapkan lumbung-lumbung itu. Jadi tugas kalian berempat hanya sebatas menjaga lumbunglumbung itu sampai saatnya tiba”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu.
“Jalur mana yang akan digunakan oleh pasukan darat Raden Wijaya menuju Kotaraja Kediri”, bertanya Muntilan kepada Mahesa Amping.
“Pasukan darat Raden Wijaya disiapkan sebagai pasukan pembuka, hanya sebagai pasukan pemancing pihak lawan tergoda untuk datang menyambut umpan. Disaat yang tepat akan datang gelombang badai yang akan meluluh lantakkan mereka lewat gelombang pasang tiga belas ribu pasukan Mongolia yang akan membanjiri medan pertempuran sebenarnya. Karena pasukan darat Raden Wijaya hanya sebagai pasukan pemancing, maka jalur perjalanan yang akan kita pergunakan adalah jalur para pedagang, jalur perjalanan yang biasa dilalui oleh orang banyak agar pihak lawan mudah melihat umpan yang sengaja diletakkan ditempat terbuka”, berkata Mahesa Amping menjelaskan sebuah siasat perang yang telah mereka sepakati bersama dengan panglima besar pasukan Mongolia.
“Sebuah siasat perang yang hebat”, berkata Mahesa Darma tanpa sadar mengagumi siasat perang yang dijabarkan dengan singkat oleh Mahesa Amping.
Sementara yang lainnya terlihat mengangguk-anguk tanda ikut memuji siasat perang itu.
“Ada banyak kemungkinan yang pasti akan terjadi, aku yakin bahwa tuanku Raden Wijaya telah mempersiapkan semua kemungkinan itu”, berkata Pendeta Gunakara yang sedari tadi diam sebagai pendengar ikut tampil bicara diatas pendapa tu.
“Benar tuan Pendeta, Raden Wijaya sudah mempersiapkan begitu banyak kemungkinan, salah satunya adalah kesiapan para pasukan khusus yang dibentuk lewat tangan Ki Sandikala sebagai sebuah pasukan tersembunyi yang dapat bergerak kapan dimanapun dibutuhkan”, berkata Mahesa Amping menanggapi perkataan Pendeta Gunakara.
“Berapa kekuatan pasukan darat Raden Wijaya yang bergerak keluar dari Bumi Majapahit ini menuju kotaraja Kediri”, bertanya Mahesa Semi kepada Mahesa Amping.
“Tiga ribu prajurit akan bergerak bersama menuju Kotaraja Kediri, dua ribu prajurit akan bergerak menyusul sebagai pasukan cadangan. Dan ada sekitar tiga ribu pasukan khusus dibawah pimpinan Ki Sandikala yang berasal dari berbagai Padepokan sebagai kekuatan tersembunyi disiapkan menjaga segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi”, berkata Mahesa Amping yang didengarkan penuh kekaguman oleh semua yang ada diatas pendapa itu. Memang sebuah pembagian kekuatan yang sangat matang dan begitu penuh dengan perhitungan dari seorang pemimpin muda, Raden Wijaya.
Dan pagi itu matahari terlihat begitu cerah menyinari rumput-rumput hijau diatas tanah halaman muka Pasanggrahan Mahesa Amping.
“Orang itulah yang akan menjadi penghubung yang akan membawa kalian ke titik-titik lumbung pangan pasukan darat Raden Wijaya”, berkata Mahesa Amping sambil menunjuk kepada seorang yang terlihat tengah berjalan menuju pendapa rumah.
Ketika orang itu telah menaiki tangga pendapa, ternyata orang yang dikatakan sebagai penghubung itu adalah Gajah Pagon, seorang pemuda yang sudah banyak berjasa bagi pergerakan Raden Wijaya. Sesuai dengan keahliannya, Gajah Pagon ditugaskan sebagai seorang petugas telik sandi yang sangat dipercaya oleh Raden Wijaya. Setelah memperkenalkan diri Gajah Pagon, kepada saudara seperguruannya para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, terlihat Mahesa Amping melepas kepergian mereka untuk sebuah tugas yang tidak kalah pentingnya di medan pertempuran, menjaga titik-titik lumbung pangan bagi pasukan darat Raden Wijaya sampai waktunya tiba.
Demikianlah, Putu Risang, Mahesa Darma, Mahesa Semu, Muntilan dan Gajah Pagon terlihat tengah keluar dari gerbang gapura Pasanggrahan Mahesa Amping dalam tatapan dan doa keselamatan dari dua orang yang berdiri di pagar batas pendapa mengiringi perjalanan mereka, pendeta Gunakara dan Senapati muda, Mahesa Amping.
“Mereka dapat diandalkan”, berkata Mahesa Amping kepada Pendeta Gunakara ketika melihat Putu Risang dan rombongannya terakhir menghilang terhalang dinding halaman muka Pasanggrahan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping, mereka memang dapat diandalkan, terlihat mereka sudah berjalan cukup jauh meninggalkan Bumi Majapahit. Sepanjang perjalanan mereka berusaha tidak meninggalkan kesan apapun dimanapun mereka berada. Kadang mereka berjalan sebagai seorang pedagang keliling dan terkadang sebagai para pengembara biasa yang pada saat itu banyak terlihat di hampir setiap tempat, banyak orang yang menganggap para pengembara adalah mereka yang lari dari masa depannya sendiri, tidak berani bertanggung jawab atas tuntutan kehidupan yang harusnya mereka lakukan. Para pemalas, seperti itu juga pandangan banyak orang terhadap para pengembara. Tapi apapun kata orang, kelima orang ksatria itu terus berjalan tanpa rintangan sedikit pun.
Dan setelah sehari penuh berjalan, akhirnya mereka telah tiba di lumbung pertama, sebuah tempat tersembunyi di dalam sebuah hutan yang tidak jauh dari jalan utama yang biasa dilalui oleh para pedagang.
Untungnya mereka diantar oleh Gajah Pagon, karena penjagaan di sekitar lumbung itu begitu ketatnya, sampai berlapis empat. Namun ternyata Gajah Pagon sudah sangat dikenal oleh para prajurit penjaga lumbung itu hingga mereka dapat diterima dengan baik.
“Apakah kalian tidak mendapat kendala apapun selama bertugas disini?”, bertanya Gajah Pagon kepada salah seorang prajurit penjaga.
“Tidak ada kendala apapun, namun dua hari ini kami dicekam oleh kehadiran seekor harimau”, berkata prajurit penjaga itu dengan wajah penuh takut yang sangat.
Terlihat Gajah Pagon menatap keempat kawan seperjalanannya itu yang diketahui telah diberikan mandat menjaga keamanan suasana lumbung pangan pasukan darat Raden Wijaya.
“Nanti malam kita tunggu harimau itu”, berkata Mahesa Darma penuh semangat.
“Kuserahkan semuanya kepada kalian”, berkata Gajah Pagon percaya penuh dengan sikap anak muda itu yang sudah pasti bukan anak muda biasa, sudah mendapat kepercayaan penuh dari seorang Mahesa Amping, senapati yang sangat dihormatinya yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Demikianlah, ketika malam telah tiba hampir semua prajurit penjaga lumbung itu merasakan suasana yang mencekam. Mereka merasa bahwa malam itu harimau itu akan datang kembali mencari mangsanya. Mungkin daerah tempat lumbung itu sendiri merupakan daerah kekuasaan si Raja hutan itu.
Dan malam yang mencekam itu akhirnya tiba, ditandai dengan keriuhan suara gerombolan monyet-monyet kecil melompat dari satu dahan ke dahan lain diantara pepohonan di kegelapan malam. Nampaknya naluri mereka terusik dan terganggu oleh sesuatu yang dapat membahayakan diri mereka.
Ternyata naluri monyet-monyet kecil itu sangat peka, mereka telah melihat lebih dulu sebuah bayangan di kegelapan malam, bayangan yang sangat ditakuti di hutan itu oleh hampir seluruh penghuni hutan, bayangan itu adalah sosok seekor harimau jantan.
“Suara geraman harimau”, berkata Putu Risang yang mempunyai kepekaan pendengaran yang cukup tajam telah mendengar sebuah geraman seekor harimau tidak begitu jauh dari mereka.
“Kita dekati arah suaranya”, berkata Mahesa Darma tanpa rasa takut sedikit pun mengajak Putu Risang untuk mendekati dimana suara itu mereka dengar.
Terlihat Muntilan dan Mahesa Semu memberi tanda dan menyetujui Mahesa Darma bersama Putu Risang mendekati arah suara harimau itu.
Demikianlah, dua anak muda itu telah terlihat sudah mengendap-endap berjalan menuju sumber suara itu, suara harimau menggeram. Akhirnya mereka memang telah mendekati sumber suara itu, seekor harimau yang memang tengah berjalan berlawanan arah dengan mereka.
“Seekor kucing hutan yang cukup besar”, berkata Mahesa Darma kepada Putu Risang ketika mereka memang telah melihat seekor harimau yang cukup besar tengah berjalan perlahan mencari mangsanya di malam itu, di daerah perburuannya sendiri.
Terlihat Mahesa Darma dan Putu Risang diam berdiri ditempatnya, nafas mereka seperti tertahan mencoba agar kehadiran mereka tidak tercium oleh penciuman harimau itu yang memang punya indera penciuman yang begitu sangat tajam.
Sial memang bahwa seekor harimau jantan itu telah bertemu dengan dua anak muda itu, dua anak muda yang tidak mengenal rasa takut, dua anak muda yang seperti punya nyawa rangkap tidak mengenal mara bahaya di depan mereka. Bahaya seekor harimau lapar mencari mangsanya.
Terlihat Mahesa Darma menyentuh pundak Putu Risang sebagai tanda urusan harimau itu biarlah dia yang menyelesaikannya.
Begitu selesai menyentuh pundak Putu Risang, terlihat Mahesa Darma dengan beraninya melompat kearah harimau yang tengah berjalan.
Biasanya harimau selalu mengejutkan mangsanya, tapi malam itu nampaknya justru harimau itulah yang dikejutkan oleh Mahesa Darma.
Rupanya rasa terkejut kucing besar itu telah membangkitkan amarahnya yang ditandai dengan suara geram auman yang memecahkan kesunyian malam itu.
Suara geraman harimau besar itu tidak membuat sedikit pun rasa keder anak muda itu, telah siap sedia menghadapi amarah sang raja hutan.
Haummm…!! Terdengar suara sang raja hutan sambil melompat menerkam mangsanya begitu cepat dan tangkas sebagaimana biasa tidak ada satupun kijang yang amat cekatan terlepas dari terkamannya itu.
Tapi kali ini Harimau itu bukan menghadapi seekor kijang yang lincah gesit tiada tara, bukan juga menghadapi seekor badak yang kuat perkasa, tapi malam itu menghadapi seorang Mahesa Darma yang dapat bergerak gesit melebihi seekor kijang dan kekuatan empat ekor badak besar.
Harimau itu telah bergerak menerkam dengan tangkas dan kuat, tapi gerakan itu di depan mata Mahesa Darma masih seperti seekor kura-kura, terlihat Mahesa Darma bergerak lebih cepat lagi menghindar sedikit kesamping.
Bukan cuma itu, Mahesa Darma dengan cepat pula menendang ke arah samping perut harimau besar itu yang langsung terguling diatas tanah.
Kemarahan harimau besar itu sudah begitu memuncak, terlihat telah mengibas-ngibaskan seluruh kulit badannya sambil mendekati Mahesa Darma lebih dekat dari jarak terkamnya.
Haummmm…!!
Terdengar kembali geraman harimau itu sambil menerkam Anak muda itu.
Tapi Mahesa Darma kali ini tidak berusaha menghindar, namun begitu cakar depan nyaris menggapainya, anak muda itu menjatuhkan dirinya dan sebuah tendangan tepat mengenai perut dalam sang harimau.
Dampaknya sangat hebat sekali, harimau itu seperti dilempar melambung dan terhempas di sebuah batang pohon besar. Tendangan yang kuat dan hempasan yang keras telah membuat harimau itu langsung menjadi pingsan.
“Masih hidup”, berteriak Mahesa Darma dengan penuh gembira setelah beberapa saat ragu dan khawatir bahwa harimau itu akan mati.
“Mengapa tidak langsung dibunuh saja harimau itu”, berkata seorang prajurit kepada Mahesa Darma.
“Harimau ini adalah seekor jantan, mungkin anak dan induk betinanya masih menunggu di sebuah tempat. Bila tugas kita selesai di hutan ini , aku bermaksud untuk melepaskannya kembali”, berkata Mahesa Darma sambil terus mengikat keempat kaki harimau yang masih pingsan itu
“Budi anak itu begitu halus penuh perasaan”, berkata Putu Risang dalam hati sambil melihat Mahesa Darma mengikat harimau itu.
Demikianlah hingga keesokan harinya, Gajah Pagon mengajak rombongannya untuk melanjutkan perjalanan mereka ke beberapa titik lumbung yang harus mereka singgahi. Dan mereka telah sepakat agar Mahesa Darma tetap di hutan itu.
“Biarlah Mahesa Darma menunggui pasangan harimau itu datang kemari”, berkata Mahesa Semu sambil tersenyum sepakat meninggalkan Mahesa Darma bertugas menjaga dan mengawasi lumbung pertama di hutan itu.
Dan ketika matahari sudah mulai merangkak mendekati puncaknya, mereka sudah cukup jauh meninggalkan lumbung pertama.
Akhirnya ketika senja mulai berakhir, mereka telah memasuki sebuah hutan yang tidak begitu jauh dengan sebuah Kademangan. Ternyata disitulah para prajurit yang bertugas menyiapkan lumbung pangan untuk pasukan darat Raden Wijaya.
“Sampai hari ini kami belum menemukan kendala apapun”, berkata seorang prajurit ketika ditanya oleh Gajah Pagon mengenai keamanan disekitar lumbung itu.
Karena hari sudah gelap, Gajah Pagon, Mahesa Semu, Muntilan dan Putu Risang telah sepakat untuk bermalam di hutan itu.
Sebagaimana pada lumbung pertama, penjagaan di sekitar lumbung kedua itu juga berlapis. Sepanjang hari para prajurit berjaga silih berganti memastikan bahwa suasana di sekitar lumbung padi itu memang aman terkendali.
Hingga ketika hari telah berganti pagi, tidak ada kejadian apapun di hutan itu, dan telah disepakati bahwa Muntilan yang harus tetap tinggal bergabung dengan para prajurit yang ada di lumbung kedua itu.
Demikianlah, mereka pun melanjutkan perjalanan kembali menuju ke lumbung ketiga dan keempat. Singkat cerita mereka setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh mereka telah singgah di lumbung ketiga dan keempat. Di lumbung ketiga telah disepakati bahwa Mahesa Semu yang akan bertanggung jawab menjaga keamanan lumbung ketiga itu. Sementara pada lumbung keempat, Putu Risang merupakan orang terakhir yang harus tetap tinggal bertanggung jawab menjaga keamanan lumbung itu.
Ternyata lumbung keempat itu bukan di tengah hutan, tapi di sebuah kademangan yang cukup besar dan ramai, Kademangan Ngrangkah Pawon. Tepatnya di dalam sebuah gudang di rumah seorang Saudagar yang sangat kaya dan sangat dihormati oleh orang-orang di sekitarnya.
“Perkenalkan kawanku ini bernama Putu Risang”, berkata Gajah Pagon memperkenalkan diri Putu Risang kepada saudagar kaya raya itu yang ternyata seorang petugas telik sandi yang selama ini menyamar sebagai seorang saudagar di Kademangan Ngrangkah Pawon itu.
“Tuanku Raden Wijaya tidak akan salah memilih orang”, berkata saudagar itu yang memperkenalkan dirinya bernama Mandaru.
“Pasti Ki Mandaru pernah mengenal nama Kera Sakti Penjaga Nagasasra, anak muda inilah yang bersamanya di hutan Bukit Cemara itu”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Mandaru.
“Pantas, sudah kuduga”, berkata Ki Mandaru mempercayai ucapan Gajah Pagon.
Demikianlah, Gajah Pagon dan Putu Risang sudah berada di kediaman Ki Mandaru, saudagar yang kaya raya yang ternyata adalah seorang petugas telik sandi, kaki tangan Raden Wijaya sendiri. Sementara keberadaan lumbung keempat itu benar-benar tidak dicurigai oleh siapapun. Kebanyakan orang mengira semua bahan pangan yang banyak itu adalah barang dagang milik saudagar Mandaru untuk diperdagangkan kembali. Bahkan banyak orang tidak menyangka bahwa hampir seluruh anak buah Ki Mandaru yang berada di rumahnya adalah para prajurit yang sengaja ditempatkan menjaga lumbung ke empat itu. Dan Saudagar Mandaru dapat memainkan peran penyamarannya dengan sangat pandai, sebagai seorang saudagar yang sangat dermawan sehingga sangat disukai di lingkungannya sendiri di Kademangan Ngrangkah Pawon. “Pasukan darat Raden Wijaya akan menggempur Kediri dari sebelah timur, namun kita tidak tahu berapa hari peperangan itu akan berakhir”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Mandaru dan Putu Risang diatas pendapa kediaman Ki Mandaru di malam itu.
“Dua tiga hari ini aku sudah memesan lebih banyak lagi persediaan”, berkata Ki Mandaru memastikan dapat menyediakan lumbung perang dengan baik.
“Perhitunganku, besok pasukan darat Raden Wijaya sudah mulai keluar dari Bumi Majapahit”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Mandaru dan Putu Risang.
Mendengar perkataan Gajah Pagon membuat pikiran Putu Risang melambung jauh kebelakang disaat dirinya bertemu dengan Ratu Turuk Bali menyampaikan sebuah pesan rahasia, bulan purnama kedua. Pesan itulah yang telah disampaikan oleh Putu Risang kepada Ratu Turuk Bali agar menyingkir jauh dari Kotaraja Kediri jauh sebelum bulan purnama kedua itu.
“Apakah penguasa Kediri akan menyambut kedatangan pasukan Raden Wijaya jauh dari Kotaraja, itu tidak dapat dipastikan”, berkata Gajah Pagon kepada Putu Risang dan Ki Mandaru.
“Perhitunganku mereka hanya akan menunggu pasukan Raden Wijaya di batas kotaraja, mereka pasti meremehkan pasukan Raden Wijaya yang hanya membawa tiga ribu prajurit. Sebuah pasukan yang kecil dibandingkan kekuatan Kediri saat ini”, berkata Ki Mandaru menyampaikan pemikirannya.
“Perhitunganmu sangat jeli, seperti itulah Raden Wijaya akan memancing kekuatan Kediri keluar dari sarangnya”, berkata Gajah Pagon membenarkan perhitungan Ki Mandaru. Sementara itu Putu Risang tidak berkata apapun, didalam benaknya terbayang sebuah amuk peperangan yang hebat antara pasukan Kediri dan pasukan Raden Wijaya di sebuah tempat terbuka.
Sementara itu jauh dari Ngrangkah Pawon, di Bumi Majapahit sudah sejak pagi telah berdatangan para prajurit dari Benteng Tanah Ujung Galuh yang akan berangkat besok menuju peperangan mereka, peperangan Raden Wijaya untuk merebut kembali tahta keluarganya dari tangan Raja Jayakatwang yang saat itu tengah bertahta di Kotaraja Kediri.
Hari telah jatuh malam diatas Bumi Majapahit, namun hati dan perasaan beberapa prajurit muda telah melambung jauh ke dalam sebuah kancah peperangan membuat mereka susah sekali untuk memejamkan matanya. Sementara beberapa prajurit lainnya sudah terlihat tertidur pulas, seperti tidak akan menghadapi apapun. Mungkin hati mereka sudah begitu keras membatu, peperangan bagi mereka adalah sebuah tugas kerja biasa. Sementara urusan hidup dan mati sudah menjadi garis dari yang Maha Agung, dimanapun berada tidak ada yang dapat lari dari ajalnya. Begitulah buah pikiran para prajurit yang sudah terlihat pulas tertidur diantara para prajurit muda yang belum juga dapat tertidur, masih memikirkan hari esok, hari peperangan mereka.
Dan pagi itu adalah hari keempat menjelang purnama kedua.
“Suara Bende Ki Prabu Segara”, berkata seorang prajurit muda kepada kawannya ketika mendengar suara bende berdengung diatas bumi Majapahit sebagai tanda agar seluruh prajurit untuk segera mempersiapkan dirinya. Maka di pagi itu sudah terlihat kesibukan beberapa prajurit di kesatuan mereka masing-masing tengah mempersiapkan diri untuk membawa semua perlengkapan perang mereka.
Dan tidak lama berselang, kembali terdengar suara bende Ki Prabu Segara berdengung lebih panjang lagi dari yang pertama terdengar sebagai pertanda semua prajurit harus segera berkumpul di sebuah tempat yang telah ditentukan, di sebuah tanah lapang alun-alun Bumi Majapahit.
Sementara itu di sebuah tempat diluar alun-alun terlihat seorang gadis memandang kearah sekumpulan prajurit yang semakin lama memenuhi tanah lapang alun-alun itu.
“Pahlawan hatiku tidak ada disana, sudah jauh di sebuah tempat. Adakah sedikit waktunya, sedikit pikirannya mengingat diriku?”, berkata gadis itu yang ternyata adalah Endang Trinil tengah memandang para prajurit yang sudah hampir memenuhi tanah lapang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Lamunan Endang Trinil tentang pahlawan hatinya perlahan kikis manakala didengarnya suara gemuruh semangat para prajurit menyambut sapaan kemenangan dari pemimpin besar mereka, Raden Wijaya yang dengan penuh semangat menyampaikan kata pembukanya mengantar keberangkatan para prajuritnya bersama menuju peperangan mereka.
Bergetar hati dan perasaan Endang Trinil melihat sorak sorai berkepanjangan dari para prajurit yang ditingkahi dengan mengibarkan panji-panji serta umbul-umbul bendera masing-masing kesatuan mereka. Endang Trinil juga melihat sebuah bendera berwarna merah putih dipegang bergandengan dengan setiap panji-panji masing-masing kesatuan. Bendera merah putih itu terlihat berkibar mewarnai tanah lapang itu seperti telah membakar semangat dan hati para prajurit Raden Wijaya di tanah lapang alun-alun bumi Majapahit.
“Prajurit Getih-getah”, berkata Endang Trinil dalam hati memandang penuh kekaguman.
Tersentak hati Endang Trinil manakala suara bende Ki Prabu Segara kembali terdengar untuk ketiga kalinya. Itulah sebuah tanda bagi tiga ribu prajurit Raden Wijaya bergerak meninggalkan alun-alun Bumi Majapahit.
Begitulah, iring-iringan tiga ribu pasukan itu telah mulai bergerak meninggalkan bumi Majapahit. Iring-iringan itu seperti suara gemuruh meningkahi setiap jengkal tanah yang mereka lalui. Langkah kaki setiap prajurit begitu penuh semangat diantara kibar panji dan umbul-umbul yang terlihat selalu berkibar ditiup angin segar dibawah cahaya matahari yang baru merangkak menghangatkan bumi pagi, menghangatkan jiwa dan hati para prajurit yang terus berjalan.
Terlihat di iring-iringan paling depan sebuah bendera besar berkibar di pegang oleh seorang prajurit berkuda, seorang prajurit penghubung memegang sebuah bendera berlambang matahari besar dengan sebuah lingkaran dalam bergambar seorang ksatria berbaju perang. Itulah lambang surya Majapahit sebagai sebuah tanda bahwa panglima perang mereka berdiri disampingnya, Raden Wijaya.
Mahesa Amping, senapati muda perkasa itu terlihat berkuda disebelah Raden Wijaya. Sorot sinar matanya seperti sebuah telaga yang jernih tidak terlihat dasar kedalamannya menandakan kedalaman tataran tingkat ilmunya yang sudah begitu tinggi diatas puncak siapapun pada jamannya.
Sebentar-sebentar Raden Wijaya melirik kearah sahabatnya itu, enggan untuk bertanya apa yang ada dalam pikirannya. Namun diam-diam hati Raden Wijaya merasa bangga memiliki seorang sahabat setia seperti Mahesa Amping yang selama ini selalu mendampinginya membangkitkan semangatnya untuk terus merajut sebuah harapan perjuangan diri merebut kembali tahta mahkota keluarganya, tahta mahkota keluarga Tumapel.
“Pasukan gula kelapa”, berkata seorang tua kepada putranya dibalik pagar halaman rumahnya manakala melihat iring-iringan pasukan Raden Wijaya melintas di jalan padukuhan mereka.
Demikianlah, iring-iringan itu telah melintasi beberapa padukuhan, beberapa lembah dan bukit tanpa mengenal lelah sepanjang hari. Baru ketika saat malam menjelang pasukan besar itu beristirahat di sebuah titik persinggahan yang sudah ditentukan, di sebuah lumbung pangan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum keberangkatan mereka.
Hari ke hari pasukan Raden Wijaya seperti terus melangkah menuju peperangan mereka dalam langkah gemuruh semangat tak pernah sepi mengiringi derap langkah kaki membelah padang ilalang, menusuk masuk kepekatan hutan rimba dan membekasi bukit lembah hijau seperti garis melintang memanjang yang terus bergerak.
Hingga akhirnya gerak langkah dan sorak semangat pasukan raden Wijaya gaungnya sudah terdengar jauh dari tempatnya. Suara gerak pasukan Raden Wijaya hari itu sudah terdengar mengusik telinga para pejabat besar para penguasa Kediri. Gaung gerak pasukan Raden Wijaya hari itu sudah terdengar di ruang Maguntur Raya Istana Raja Jayakatwang di Kotaraja Kediri.
“Tuanku Baginda Raja tidak perlu mengkhawatirkan pasukan itu, Raden Wijaya hanya mampu membawa tiga ribu pasukannya. Bukankah kita punya kekuatan dua kali lipat dari mereka?. Ijinkan hamba menghalau mereka diluar Kotaraja Kediri”, berkata seorang yang berwajah hitam yang tidak lain adalah Patih Kebo Mundarang, seorang patih kepercayaan Raja Jayakatwang yang paling setia.