Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 16

KITA tinggalkan dulu penunggang kuda petugas sandi yang tengah berlari dengan kudanya menuju Bumi Majapahit. Mari kita kembali ke Bumi Majapahit yang tengah mempersiapkan sebuah gerakan besar pada bulan purnama kedua saat itu. Mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa jauh diluar Bumi Majapahit sudah santer tersebar sebuah berita gelap yang sangat menyesatkan, sebuah sayembara untuk memperebutkan keris wahyu keraton, Keris Nagasasra yang saat itu berada di tangan Raden Wijaya.

Siapa pemicu berita menyesatkan itu kalau bukan seteru abadinya, Raja Jayakatwang.

Hari ke enam menjelang bulan purnama ke dua.

Putu Risang sudah mempunyai sahabat baru, Mahesa Darma. Sejak perkenalan mereka, terlihat mereka selalu bersama. Ketika setiap pagi ke tepi hutan ikut melihat Putu Risang membimbing Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara. Bahkan disaat selesai memperbaiki pliridan di sungai kecil Mahesa Darma menjadi kawan berlatih yang hebat.

“Aku tidak dapat mengimbangi kecepatanmu bergerak”, berkata Mahesa Darma sambil melompat menjauh merasa terlalu jauh untuk dapat merobohkan  Putu Risang yang dianggapnya terlalu cepat gerakannya.

Putu Risang memang sengaja tidak menunjukkan tataran ilmunya yang sebenarnya, tapi tetap saja membuat Mahesa Darma kewalahan tidak ada kesempatan sama sekali untuk balas menyerang.

“Kamu juga sangat tangguh, otakmu seperti belut, selalu keluar dari setiap sergapan”, berkata Putu Risang sambil tersenyum mengakui Mahesa Darma memang mempunyai banyak akal tidak mudah dirobohkan oleh sembarang orang.

Demikianlah, Putu Risang selalu menemani Mahesa Darma selama di Bumi Majapahit. Sementara Mahesa Darma disiang hari masih dapat bergabung dengan para cantrik Padepokan Bajra Seta dalam satuan kelompokkelompok yang sudah ditentukan. Dan saat itu mereka tidak berlatih di tanah lapang lagi, melainkan berlatih di sekitar sungai kalimas, mendekati suasana medan yang akan mereka hadapi, medan sebenarnya dari pasukan khusus yang tengah disiapkan oleh Ki Sandikala.

Diam-diam Putu Risang dan Endang Trinil selalu ada alasan untuk dapat bertemu, kali ini di siang hari itu mereka bertemu di tepi sungai Kalimas, dengan alasan yang sama tentunya, melihat dan menyaksikan pasukan khusus berlatih diatas air.

Mereka melihat bagaimana pasukan khusus itu berlompat dari satu jukung ke jukung lain dengan keseimbangan yang begitu luar biasa. Dan yang sangat mendebarkan hati adalah pada saat mereka berlatih untuk dapat menyelam didalam air dengan waktu yang sangat lama.

“Mereka pasukan air yang hebat”, berkata Putu Risang kepada Endang Trinil memuji para pasukan khusus begitu sergap dan tangkasnya mengendalikan sebuah jukung diatas air.

“Nengapa kakang tidak ikut bergabung dengan mereka?”, berkata Endang Trinil bertanya kepada Putu Risang, sebuah pertanyaan yang sangat sering dipertanyakan kembali oleh Endang Trinil kepada Putu Risang.

“Aku serahkan diriku kepada perintah Tuanku Mahesa Amping, tugas apapun aku siap melaksanakannya. Dan beliau tidak pernah memerintahkan kepadaku untuk bergabung di pasukan khusus ini”, berkata Putu Risang kepada Endang Trinil memberikan alasannya mengapa dirinya tidak ikut bergabun bersama pasukan khusus itu.

“Hari sudah begitu petang, aku harus menyiapkan makan malam untuk mereka”, berkata Endang Trinil kepada Putu Risang dengan wajah sangat memelas menyesali waktu yang sepertinya bergerak begitu cepat.

Dan mereka pun terlihat berjalan beriring hingga sampai di sebuah persimpangan jalan, berpisah lagi.

Dan wajah bulan diatas bumi Majapahit malam itu seperti sepotong alis terbalik putih pucat yang kadang menghilang bersembunyi dibalik awan hitam yang datang muncul dan pergi dibawa angin terburai lenyap dibelantara pengembaraan langit purba.

Angin malam terasa menusuk tulang, tapi tidak mengurangi kehangatan senda gurau diatas pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping.

Dan Mahesa Amping tidak pernah jemu mendengar cerita Mahesa Semu dan Paman Muntilan berkisah tentang suasana Padepokan Bajra Seta. Sebaliknya Mahesa Amping juga banyak bercerita tentang  perjalanan hidupnya, semua petualangannya.

Sementara itu Pendeta Gunakara yang melihat keakraban pertemuan saudara perguruan para cantrik Padepokan Bajra Seta itu menjadi begitu rindu dengan suasana wiharanya yang begitu jauh di seberang lautan, di sebuah dataran Tibet. Terbayang satu persatu wajah saudara seperguruannya, para paman gurunya. Namun seketika itu juga Pendeta Gunakara teringat wajah guru besarnya, Jamang Dalai Lama. “Aku lebih beruntung dari semua  saudara seperguruanku, karena aku setiap saat dapat bertemu muka dengan titisan yang Mulia, Jamyang Dalai Lama kecilku, Mahesa Muksa”, berkata Pendeta Gunakara dalam hati ditengah suasana senda gurau dan kegembiraan hati Mahesa Amping dan saudara seperguruannya diatas pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping.

Namun semua yang ada diatas pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping itu menjadi terdiam manakala terdengar suara langkah kaki seorang prajurit menapaki tangga pendapa.

“Hamba diperintahkan untuk mengantar Tuan Senapati malam ini untuk menemui Tuanku Raden Wijaya”, berkata prajurit itu menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya.

“Jangan beratkan keberadaan kami, pasti ada  hal penting untuk kalian bicarakan malam ini”, berkata Mahesa Semu melihat keberatan Mahesa Amping untuk meninggalkan mereka sebagai tamunya.

“Terima kasih, aku akan selekasnya kembali mendengar cerita kalian”, berkata Mahesa Amping sambil berdiri.

“Disini masih ada tuan pendeta yang akan menemani kami menghabiskan wedang sare dan ketela rebus”, berkata Paman Muntilan ketika melihat Mahesa Semu tengah menuruni anak tangga pendapa diiringi seorang prajurit pengantarnya.

Dan hawa dingin malam seperti menyergap setiap langkah kaki diatas jalan setapak menuju Pasanggrahan Raden Wijaya.

Terdengar gemerutuk suara gigi beradu dari seorang prajurit yang mengantar Mahesa Amping membuat Mahesa Amping merasa kasihan bahwa malam yang dingin ini prajurit itu masih harus bertugas. Tapi pikiran Mahesa Amping berlari pergi menyusul dengan pikiran lain, sebuah pertanyaan yang berputar-putar, pasti ada sebuah hal yang sangat begitu mendesak, begitu pentingnya sehingga Raden Wijaya memintanya bertemu malam itu juga.

Dan pikiran Mahesa Amping semakin berputar-putar penuh pertanyaan manakala sudah memasuki halaman muka Pasanggrahan Raden Wijaya. Panggraitanya yang tajam terasa bergetar manakala melihat Ki Sandikala sudah ada bersama Raden Wijaya di atas pendapa itu. “Nampaknya sebuah peristiwa besar yang  akan kudengar dari mereka”, berkata Mahesa Amping dalam hati.

Terlihat Mahesa Amping sudah menaiki anak tangga pendapa. Raden Wijaya dan Ki Sandikala menyambut kedatangannya dengan kata-kata keselamatan.

“Ada berita besar yang ingin aku bicarakan bersama kalian”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala. Terlihat Mahesa Amping dan Ki Sandikala sama-sama mengerutkan keningnya, ingin selekasnya mengetahui berita apa yang akan didengar oleh mereka.

“Baru saja aku kedatangan seorang telik sandiku di Kotaraja Kediri, mereka menyampaikan bahwa telah disebar sebuah berita gelap, berita palsu yang menyatakan bahwa akan ada sebuah sayembara besar di Bumi Majapahit memperebutkan keris wahyu keraton, keris Nagasasra pada bulan purnama kedua”, berkata kembali Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala dan berhenti sebentar untuk melihat tanggapan wajah-wajah mereka. “Raja Jayakatwang telah memulai perangnya, telah melepas berita palsu mengacaukan rencana rintisan kita semula”, berkata Raden Wijaya melanjutkannya kembali.

“Pada bulan kedua, para pemimpin padepokan yang bermimpi untuk mendapatkan wahyu keraton akan datang bersama membawa kekuatan masing-masing ke bumi Majapahit ini, disaat kita baru akan memulai sebuah gerakan, Raja Jayakatwang memang telah mencoba mendahului serangannya tidak dengan tangannya sendiri”, berkata Ki Sandikala mencoba menguraikan pengertiannya sendiri.

“Itulah yang akan terjadi di Bumi Majapahit ini”, berkata Raden Wijaya membenarkan ucapan Ki Sandikala.

“Mereka hanya ingin mengalihkan perhatian kita, menyerang dengan cara gelap. Harus ada sebuah cara yang dapat membelokkan serangan itu sebelum hari purnama kedua”, berkata Mahesa Amping mencoba memberi sebuah cara.

“Aku setuju dengan cara tuan Senapati, membelokkan serangan gelap itu”, berkata Ki Sandikala membenarkan pendapat Mahesa Amping.

“Dengan apa kita membelokkan serangan mereka?”, berkata Raden Wijaya seperti melempar kembali persoalan untuk ditanggapi oleh dua orang kepercayaannya itu.

“Membelokkannya sebagaimana mereka menyerang, dengan berita palsu”, berkata Mahesa Amping mencoba mengeluarkan pemikirannya.

“Kita sebarkan berita palsu bahwa keris Nagasasra sudah dicuri orang”, berkata kembali Mahesa Amping melanjutkan pemikirannya.

“Sebuah cara yang hebat”, berkata Ki Sandikala memuji jalan pikiran Mahesa Amping.

“Dan kita harus dapat melakukannya sebelum datang purnama ini”, berkata Raden Wijaya menyetujui dan menambahkan pemikiran Mahesa Amping dengan batasan waktu sebelum bulan purnama kedua.

“Yang ada dalam pikiranku ini adalah siapa yang akan menjadi badal, siapa yang kita korbankan menjadi kambing hitam sebagai seorang pencuri palsu ini”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya dan Ki Sandikala.

Pertanyaan Mahesa Amping telah membuat Ki Sandikala dan Raden Wijaya ikut berpikir, siapa gerangan yang dapat dijadikan sebagai badal melakoni dirinya sebagai seorang pencuri??

Suasana diatas pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya menjadi hening seketika, setiap kepala mencoba mencari sosok diri yang dapat dengan sukarela melakoni dirinya menjadi seorang pencuri. Seseorang yang dengan sadar dan berani dikambing hitamkan.

Lama, keheningan suasana diatas pendapa pasanggrahan Raden Wijaya seperti menghentikan waktu, begitu hening seperti daun kering yang terlempar jatuh mengambang diudara malam yang dingin. Semua kepala diatas pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya seperti tengah berpikir keras mencari sebuah nama.

Tiba-tiba suara Mahesa Amping seperti memecahkan suasana keheningan itu.

“Aku mendapatkan sebuah nama, aku mengenalnya dengan baik dan kuyakini pasti bersedia menjalankan tugas yang kita berikan”, berkata Mahesa  Amping kepada raden Wijaya dan Ki Sandikala.

“Siapakah menurutmu yang pantas melaksanakan tugas itu?”, bertanya Raden Wijaya kepada Mahesa Amping seperti sudah tidak sabaran lagi untuk selekasnya mendengar dari Mahesa Amping menyebut sebuah nama.

“Putu Risang, aku yakin anak muda itu dapat melaksanakan-nya”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya dan Ki Sandikala.

“Apakah perlu malam ini kita panggil Putu Risang?”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping.

Terlihat Mahesa Amping tidak langsung menjawab, menarik nafas panjang dan mengeluarkanya perlahan seakan ingin melepas keraguannya.

“Biarlah aku sendiri yang akan memberikan penjelasan langsung kepadanya agar tidak seorang pun mengetahui rahasia ini kecuali kita bertiga”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya dan Ki Sandikala.

Sementara itu malam terus berjalan semakin larut, lampu pelita malam kadang bergoyang tertiup angin yang datang semilir menusuk kulit diatas pendapa Pasanggrahan Raden Wijaya.

Terlihat Mahesa Amping, Ki Sandikala dan Raden Wijaya masih terus membicarakan beberapa kemungkinan bagi kesempurnaan sebuah lakon yang akan diperankan oleh Putu Risang.

“Mereka para pemimpi yang haus tahta itu akan beralih perhatiannya kepada seorang Putu Risang, pada saat yang sama kita dapat menumpas mereka. Sekarang atau nanti tetap saja mereka adalah para perusuh seperti sekumpulan burung pemakan bangkai yang menanti dua harimau bertarung, mereka selalu diuntungkan tanpa banyak berbuat apapun”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala sambil memberikan masukan bagi kesempurnaan pagelaran drama pencurian yang akan dilakoni oleh Putu Risang, besok pagi!!!.

Dan malam itu juga Mahesa Amping setelah kembali kepasanggrahannya langsung menemui Putu Risang di biliknya sendiri tanpa seorangpun yang melihatnya. Dengan perlahan Mahesa Amping memberikan penjelasan tentang sebuah lakon yang harus diperankan oleh anak muda itu.

“Semoga hamba tidak mengecewakan tuanku Senapati”, berkata Putu Risang kepada Mahesa Amping.

“Pagi ini kamu harus sudah menghilang dari Bumi Majapahit”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang.

Dan ketika malam semakin berjalan mendekati ujung pagi, terlihat sebuah bayangan menyelinap keluar dari Pasanggrahan Mahesa Amping. Suasana malam yang dingin membantunya tidak diketahui seorang pun manakala telah keluar menyelinap masuk di kegelapan hutan Maja di malam itu. Dan bayangan itu telah hilang seperti tertelan bumi, tak terlihat meski bayangannya sekalipun.

Dan pagi di Bumi Majapahit telah dihebohkan tentang hilangnya sebuah keris pusaka, keris Nagasasra. Bumi Majapahit seperti terbangun, gempar. Hampir semua orang membicarakan tentang hilangnya keris Nagasasra itu.

Dan berita itu seperti bibit ilalang yang dibawa lewat paruh seekor burung, dalam waktu yang singkat dari mulut ke mulut telah tersebar keluar dari bumi Majapahit. Dan berkat kepandaian orang-orang Raden Wijaya sendiri, berita itu telah terdengar oleh para ketua Padepokan, para pemimpi yang telah merencanakan datang di bulan kedua di Bumi majapahit.

Dan berita itu akhirnya menjadi santapan dari hari kehari, di pasar, di tempat ronda atau di sawah ladang telah menjadi santapan pembicaraan yang begitu hangat.

Dan namanya berita, diujungnya selalu ditambahi berbagai bumbu penyedap. Antara lain dikatakan bahwa pencurinya adalah seorang yang sakti yang sempat bertempur dengan Raden Wijaya.

Dan berita tidak habis sampai disitu, akhirnya dari pihak penguasa Bumi Majapahit telah menentukan siapa gerangan pencuri yang sakti itu, dikatakan dari mulut kemulut bahwa pencuri sakti itu tidak lain adalah Putu Risang, murid tunggal dari Kera sakti tanpa bayangan yang sering terlihat di sekitar hutan bukit cemara.

Dimanakah gerangan Putu Risang saat itu?

Sebagaimana yang kita ketehui dimuka, bahwa sebuah bayangan telah menyelinap keluar dari Pasanggrahan Mahesa Amping, ternyata bayangan itu adalah Putu Risang yang harus segera keluar selekasnya sebelum datangnya pagi.

Dimanakah gerangan Putu Risang saat itu?

Ternyata anak muda itu sudah berada di sekitar hutan bukit cemara. Di pagi yang masih buta, anak muda itu sudah sampai di hutan bukit cemara, nampaknya tengah mencari seseorang.

Siapakah yang dicari oleh anak muda itu ? Ternyata anak muda itu mencari seseorang yang pernah ditemuinya di hutan bukit cemara, orang tua yang menamakan dirinya sebagai Kera Sakti tanpa baangan.

Dapatkah Putu Risang menemui orang tua aneh penghuni hutan bukit cemara itu??

Dan Putu Risang tidak terlalu lama mencari keberadaan orang tua aneh itu yang bergelar Kera Sakti Tanpa Bayangan. Ternyata orang tua itu tengah duduk bersandar di sebuah pohon besar. Ketika langkah kaki Putu Risang datang mendekati, ternyata orang tua itu mempunyai pendengaran yang tajam telah mendengar langkahnya dan langsung menoleh kearah datangnya suara.

“Entah mengapa aku punya firasat bahwa kita pasti akan bertemu lagi”, berkata orang tua itu ketika melihat Putu Risang yang datang mendekat.

“Aku memang sengaja datang mencarimu, orang tua”, berkata Putu Risang.

“Mencariku?, membutuhkanku?”, berkata orang itu masih duduk malas bersandar di sebuah batang pohon besar.

“Aku perlu minta ijin untuk sementara ini tinggal di sini”, berkata Putu Risang.

Terlihat orang tua itu tidak langsung menjawab, tapi terlihat tertawa terpingkal-pingkal. “Tempat ini begitu luas, dan aku bukan pemilik tempat ini, kenapa anak muda meminta ijin kepadaku?” bertanya orang tua itu setelah berhenti tertawa.

Putu Risang terlihat tersenyum mendengar pertanyaan orang tua itu, membenarkan perkataan orang tua itu.

Maka terlihat Putu Risang duduk di dekat orang tua itu, perlahan bercerita tentang apa yang dialaminya dan yang akan dihadapinya.

Terlihat orang tua itu tertawa panjang mendengar cerita Putu Risang.

“Jarang sekali ada manusia yang mau melakoni diri sendiri sebagai pencuri gadungan, dan kamu telah menerimanya”, berkata orang tua itu diantara tawanya yang sepertinya mendengar sebuah cerita lucu dari Putu Risang.

“Aku telah berjanji untuk melaksanakannya dengan baik”, berkata Putu Risang kepada orang tua itu.

Terlihat orang tua itu sudah menghentikan tawanya.

“Aku akan bersamamu anak muda, budi Empu Dangka begitu besar. Dan hari ini kuanggap telah sedikit mengurangi rasa terima kasihku, aku siap bersamamu menghadapi setiap bahaya yang datang”, berkata orang tua itu kepada Putu Risang dengan wajah pasti tanpa tawa sedikit pun.

“Terima kasih”, berkata Putu Risang menjadi terharu ada orang tua yang mau membantunya, meski belum begitu lama dikenalnya.

“Simpan dulu ucapan terima kasihmu, yang kubutuhkan pagi ini adalah pengganjal perutku yang sudah berbunyi”, berkata orang tua itu sambil tersenyum.

Mendengar ucapan orang tua itu membuat perut Putu Risang ikut terasa lapar.

“Aku akan segera mencari alat pengganjal itu”, berkata Putu Risang langsung berdiri dan melangkah masuk kedalam kelebatan hutan Bukit Cemara lebih dalam lagi.

“Sepasang ayam hutan”, berkata Putu Risang telah melihat sepasang ayam hutan tidak begitu jauh darinya sedang bercinta.

Dua buah kerikil kecil terlihat terlepas dari genggaman anak muda itu dan meluncur begitu cepatnya.

Tep…teppp !!

Terdengar dua buah suara kerikil telah langsung mengenai tubuh kedua ekor ayam itu.

“Keok…kok”,

Hanya itu suara yang terdengar, dan tidak ada suara apapun setelah itu, yang terlihat adalah langkah kaki Putu Risang yang datang mendekati sepasang ayam yang tergeletak pingsan.

Dan Putu Risang telah kembali ketempat orang tua itu sambil membawa hasil buruannya, sepasang ayam hutan.

Terlihat Putu Risang sudah membuat sebuah perapian, menguliti bulu kedua ayam itu dan siap untuk memanggangnya.

“Ayam panggang asmara”, berkata Putu Risang ketika harum daging yang sudah matang tercium olehnya.

“Nama masakan yang indah, pasti dapat merubuhkan cacing-cacing didalam perut”, berkata orang tua itu sambil menerima seekor ayam panggang yang siap untuk disantap.

Terlihat Putu Risang dan orang tua sudah asyik menyantap ayam panggang itu, yang mereka sepakati bersama sebagai “ayam panggang asmara”.

“Kulihat pikiranmu tidak tertuju kearah daging panggang”, berkata orang itu kepada Putu Risang sambil menarik daging bagian paha lepas dari tubuhnya. Ternyata tebakan orang tua itu sangat tepat sekali, pikiran dan hati Putu Risang memang tengah terbang jauh kembali ke Bumi Majapahit, ke hati seorang gadis manis disana.

“Kasihan gadis itu bila mengetahui aku adalah seorang pencuri yang tengah dicari”, berkata Putu Risang mengkhawatirkan perasaan Endang Trinil manakala gadis itu telah mendengar kabar berita tentang pencurian keris Nagasasra di Pasanggrahan Raden Wijaya.

Benarkah bayangan dan pikiran Putu Risang terhadap gadis manis itu ??

Ternyata dua sejoli bila sedang saling mencinta seperti punya satu hati dan perasaan yang sama, merasakan apa yang dirasakan kekasih hatinya meski terbatas waktu dan jarak.

Sebagaimana yang ada dalam pikiran Putu Risang, ternyata gadis manis itu memang seperti terguncang perasaan hatinya manakala mendengar berita tentang sebuah pencurian di Pasanggrahan Raden Wijaya. Seperti ingin menolak apa yang telah didengarnya bahwa pelaku pencurian itu adalah Putu Risang, kekasih pujaan hatinya itu.

Sejak mendengar berita itu, gadis manis itu telah mengunci dirinya didalam gandoknya.

“Kasihan anak itu”, berkata Ki Sandikala dalam hati diatas pendapanya mengetahui apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh anak kemenakannya itu, Endang Trinil.

Tapi Ki Sandikala tidak berbuat apapun, tidak memberitahukan dan menyimpan rahasia Putu Risang rapat-rapat.

“Rahasia Putu Risang belum saatnya dibuka, biarlah akan menjadi sebuah cerita sungguhan, penyedap cerita yang indah untuk mereka dikemudian hari, kelak”, berkata Ki Sandikala sambil tersenyum sendiri mengetahui kisah cinta diantara Endang Trinil dan Putu Risang.

Akhirnya ketika bermaksud untuk keluar dari Pasanggrahannya, Ki Sandikala menemui seorang pelayan agar menjaga Endang Trinil yang masih mengunci dirinya di dalam gandoknya sendiri.

“Aku titip anak gadisku”, berkata Ki Sandikala kepada pelayan itu ketika akan melangkah keluar untuk melihat latihan para pasukan khususnya yang tengah berlatih saat itu.

Sementara itu di Pasanggrahan Mahesa Amping, terlihat Mahesa Amping tengah duduk bersama dengan tamunya dari Padepokan Bajra Seta, Mahesa Semu, Muntilan dan Mahesa Darma. Hadir juga bersama mereka Pendeta Gunakara.

Tidak sebagaimana Ki Sandikala yang berusaha menutup rapat tentang rahasia Putu Risang, sementara Mahesa Amping dengan terbuka menyampaikan rahasia pencurian itu kepada tamunya dari padepokan Bajra Seta, juga kepada Pendeta Gunakara.

“Aku perlu bantuan kalian, kita harus berada dibelakang Putu Risang, membayangi anak muda itu dari kemungkinan yang membahayakan dirinya”, berkata Mahesa Amping diatas pendapanya setelah membuka rahasia dibalik pencurian itu.

“Kami akan siap setiap saat”, berkata Mahesa Semu mewakili semua saudaranya dari Padepokan Bajra Seta

“Mudah-mudahan aku dapat ikut meramaikannya”, berkata pendeta Gunakara sambil tersenyum.

Namun tiba-tiba saja semua mata menoleh kearah pintu butulan yang terbuka, dari sana muncul tiga anak kecil diikuti oleh seorang wanita.

“Aku merasa yakin bahwa Kakang Putu Risang tidak seperti apa yang dikatakan orang”, berkata salah  seorang dari ketiga anak kecil itu yang tidak lain adalah Adityawarman langsung duduk di dekat ayahnya, Mahesa Amping.

“Kamu benar anakku, Kakang Putu Risang mu memang tidak seperti apa yang dituduhkan kepadanya”, berkata Mahesa Amping sambil mengusap kepala anak itu.

“Aku akan menghajar mulut siapapun yang mengatakan Kakang Putu Risang adalah seorang pencuri”, berkata seorang anak kecil lainnya yang ternyata adalah Gajahmada sambil mengepalkan tinjunya tinggi-tinggi.

“Siapapun tidak akan berani mengatakan itu di hadapanmu”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum kepada Gajahmada.

“Aku akan mencari Kakang Putu Risang dan tidak akan kembali sebelum menemuinya. Akan kubawa kembali kakang Putu Risang di Bumi Majapahit ini”, berkata seorang anak kecil ketiga yang ternyata adalah Jayanagara.

Semua orang diatas pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping seperti terpana mendengar perkataan Jayanagara yang begitu berani membela Putu Risang.

“Biarlah kami orang dewasa yang akan mencari Kakang Putu Risang mu, tetaplah kalian di rumah, ibunda Nyi Nariratih akan menjadi pembimbing kalian berlatih untuk sementara ini”, berkata Mahesa Amping kepada ketiga anak itu.

Demikianlah, ketika hari terasa sudah semakin terang tanah terlihat Mahesa Amping diiringi empat orang dibelakangnya tengah keluar dari gerbang gapura pasanggrahannya.

“Anak muda itu sudah mengatakan dimana dirinya saat ini kepadaku”, berkata Mahesa Amping kepada keempat kawan seperjalanannya itu tentang keberadaan Putu Risang saat itu.

Terlihat mereka berlima sudah memasuki hutan Maja.

Sementara itu di hutan Bukit Cemara, terlihat Putu Risang dan sahabat barunya, orang tua aneh yang bergelar Kera Sakti Tanpa bayangan itu tengah mempersiapkan diri, tengah membuat sebuah panggungan sederhana.

Hanya sebuah panggungan sederhana dari beberapa dahan dan ranting yang mereka dapati dengan mudah di hutan Bukit Cemara itu. Sementara atapnya mereka tutupi dengan beberapa pelepah daun.

“Dengan panggungan ini kita dapat melihat siapapun yang datang dari segala arah”, berkata orang tua itu setelah merasa panggungan yang mereka bangun itu sudah mendekati kesempurnaannya.

“Terima kasih, paman”, berkata Putu Risang kepada orang tua itu.

“namaku Ragil, kamu dapat memanggilku dengan sebutan Paman Ragil”, berkata orang tua aneh itu menyebut nama aslinya kepada Putu Risang.

“Terima kasih Paman Ragil”, berkata Putu  Risang kepada orang tua itu yang dipanggil sebagai paman  Ragil “Hem”, hanya itu tanggapan orang tua itu mendengar perkataan Putu Risang sambil melompat keatas panggungan yang sudah selesai mereka bangun berdua.

Terlihat Putu Risang mengikuti langkah Paman Ragil, melompat keatas panggungan.

“Indahnya pemandangan”, berkata Putu Risang setelah duduk melihat alam sekitarnya dari arah atas panggungan yang mereka bangun.

Mereka memang telah membangun panggungan itu tepat diatas puncak bukit yang terbuka, dari situ mereka dapat melihat ke segala arah penjuru, dapat melihat siapapun yang akan datang mendekati mereka.

Sementara itu Mahesa Amping dan rombongannya telah tiba di Padukuhan Maja, sebuah Padukuhan yang paling dekat dengan Bumi Majapahit, dan hanya berjalan setengah hari untuk mencapai Hutan Bukit Cemara.

Terlihat mereka telah singgah di sebuah kedai di dekat sebuah pasar Padukuhan yang cukup ramai, kebetulan hari jatuh di hari pasaran.

Ketika Mahesa Amping memesan sebuah makanan untuk mereka, pendengarannya yang tajam mendengar seseorang bertanya tentang arah untuk mencapai hutan Bukit Cemara.

“Pasti mereka yang tengah memburu keris Nagasasra”, berkata Mahesa Amping dalam hati namun tetap tidak menampakkan perubahan wajahnya.

Diam-diam mata dan pendengaran Mahesa Amping terus berjaga mengamati orang yang dicurigai itu, ternyata mereka datang bersama sekitar sepuluh orang.

“Mereka pasti datang dari tempat terdekat, dua atau tiga hari lagi pasti akan berduyun-duyun para pemburu keris pusaka itu dari tempat yang lebih jauh”, berkata Mahesa Amping dengan cara berbisik kepada empat orang kawannya sambil menikmati hidangan di kedai itu.

“Kasihan anak muda itu seandainya kita tidak datang membantu”, berkata Pendeta Gunakara sambil membayangkan dua tiga hari lagi pasti akan lebih banyak lagi para pemburu keris keramat itu berdatangan ke hutan Bukit Cemara.

Tapi lain lagi yang ada di pikiran Mahesa Amping yang pernah melihat dengan mata dan kepalanya bersama Ki Sandikala meski dengan cara bersembunyi melihat cambuk Putu Risang dari jarak yang cukup jauh telah mampu meluluh lantakkan batu besar hancur berdebu.

“Tataran ilmu Putu Risang sudah begitu tinggi, pasti dapat menghadapi ratusan orang biasa. Tapi aku tak tahu seandainya yang datang mencarinya sekumpulan orang berilmu tinggi”, berkata Mahesa dalam hati masih ada sedikit kekhawatiran pada anak muda perkasa itu.

“Nampaknya mereka akan segera berangkat”, berkata Mahesa Semu sambil memberi tanda bahwa sekitar sepuluh orang itu akan berangkat keluar dari kedai.

“Kita bayangi mereka dari jauh”, berkata Mahesa Amping sambil matanya terus membayangi kesepuluh orang itu yang terlihat sudah bersiap meninggalkan kedai.

Terlihat kesepuluh orang itu sudah keluar dari kedai berjalan ke arah hutan Bukit Cemara yang hanya berjarak sekitar setengah hari perjalanan.

“Jarak ke arah hutan Bukit Cemara sudah tidak terlalu jauh, tuanku”, berkata salah seorang dari kesepuluh orang itu kepada seorang yang nampaknya  sangat begitu dihormati diantara mereka, berpakaian layaknya seorang juragan besar.

“Mimpiku untuk menjadi seorang Raja nampaknya sudah hampir dekat lagi”, berkata orang yang bepakaian perlente itu sambil berjalan penuh semangat membayangkan dirinya sudah menjadi raja besar dikelilingi para punggawanya yang duduk bersimpuh penuh hormat bersama para dayang dan sejumlah selirnya yang cantik jelita penuh pesona berasal dari berbagai nagari.

Ternyata yang datang sebagai para pemburu keris Wahyu Keraton itu bukan hanya kesepuluh orang itu saja, dibelakang mereka masih ada banyak lagi dari berbagai tempat yang lebih jauh lagi.

Ketika keris itu masih di tangan Raden Wijaya, mereka masih enggan untuk merebutnya, namun dengan kepandaian orang-orang dari Kediri, mereka telah bersepakat untuk datang secara bersama-sama ke Bumi Majapahit.

Namun ketika mereka mendengar tentang pencurian keris pusaka itu, hilang sudah rasa enggan mereka. Dan muncul rasa percaya diri tumbuh seperti kecambah yang tumbuh dalam waktu begitu singkat. Yang ada dalam pikiran mereka bahwa seorang pemuda seperti Putu Risang dapat melakukannya, mengapa mereka tidak mampu ?

Itulah sebabnya para pemburu itu begitu bernafsu untuk segera merampas keris pusaka dari tangan Putu Risang yang memang belum dikenal pada saat itu.

“Pasti dengan kelicikan anak muda itu dapat mencuri keris pusaka itu, bukan dengan tingkat ilmu yang cukup tinggi untuk dapat mengalahkan Raden Wijaya”, berpikir seperti itulah para pemburu keris pusaka itu yang meremehkan tingkat tataran ilmu Putu Risang.

Demikianlah pikiran hampir semua para pemburu keris keramat itu dari berbagai tempat, dari berbagai kalangan, mulai dari para pemimpin Padepokan yang berilmu sangat tinggi dengan ratusan para cantriknya sampai kepada orang kalangan berharta yang telah berani mengeluarkan pundi-pundi mereka menyewa para jawara ditempatnya yang mereka akui memang berilmu cukup tinggi.

Tidak sedikit juga mereka orang pribadi yang merasa sudah berilmu cukup tinggi datang ke hutan Bukit Cemara berburu keris keramat itu, berharap dan bermimpi bahwa lantaran keris itu akan dapat membawa dirinya ke tahta singgasana yang tinggi, setinggi mimpi mereka sendiri !!

Ternyata kedatangan mereka yang serempak dari berbagai arah penjuru mata angin telah berdampak  besar bagi daerah tempat dimana mereka melewatinya, di sekitar kaki bukit hutan Cemara ada diantara mereka sendiri yang bertemu muka sudah saling berbantai merasa dirinyalah yang paling berhak untuk datang ke puncak hutan Bukit Cemara itu.

Berita tentang pertikaian beberapa orang di kaki bukit itu pun telah sampai juga ke telinga Raden Wijaya di Bumi Majapahit.

“Kita harus mempersiapkan beberapa pasukan untuk menyergap para pemburu keris itu yang pasti dalam waktu dekat ini telah sampai diatas puncak bukit hutan Bukit Cemara”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Sandikala.

“Hamba akan segera menyiapkan pasukan khusus itu”, berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya. “Hitung-hitung sebagai pemanasan pasukan yang Ki Sandikala siapkan selama ini”, berkata Raden Wijaya yang percaya penuh pasukan Ki Sandikala adalah sebuah pasukan khusus yang hebat, dapat bergerak di segala medan, darat dan air.

Maka hari itu juga Ki Sandikala telah meminta kepada Menak Koncar, Menak Jingga dan Putut Prastawa untuk membawa sekitar seratus orang dari pasukan khusus mereka yang terbaik yang mereka latih selama ini untuk berangkat menuju ke hutan Bukit Cemara.

Sementara itu di puncak hutan bukit cemara, Putu  Risang dan Paman Ragil yang bergelar Kera Sakti tanpa bayangan belum juga melihat satupun orang yang datang.

“Belum ada seorang pun yang datang”, berkata Putu Risang kepada Paman Ragil sambil memandang lembah di seberang bukit sana yang telah dibayangi oleh cahaya matahari yang sudah semakin pudar.

Hari memang telah mendekati saat petang saat itu di puncak hutan Bukit Cemara. Putu Risang dan Paman Ragil masih tetap duduk-duduk sambil mengamati siapa yang datang mendekati mereka.

“Hari sudah mendekati saat senja”, berkata Putu Risang kepada Paman Ragil.

“Mungkin mereka merasa enggan mendengar nama Kera Sakti Tanpa Bayangan ada bersamamu”, berkata Paman Ragil kepada Putu Risang sambil tersenyum.

“Begitu besarnyakah nama Kera Sakti Tanpa Bayangan di dunia kanuragan?”, berkata Putu Risang yang merasa baru mengenal nama julukan Paman Ragil, setelah mereka bertemu “Sangat besar, sebesar perasaanku saja”, berkata Paman Ragil yang ditanggapi tawa yang berkepanjangan dari Putu Risang setelah mendengarnya, merasa geli sendiri dengan apa yang diucapkan oleh orang tua itu.

“Bagaimana bisa tersohor, mengalahkan orang muda sepertimu saja aku tidak mampu”, berkata Paman Ragil ikut tertawa memecahkan kejenuhan mereka menunggu para pemburu keris Nagasasra yang belum juga menampakkan batang hidungnya.

Demikianlah, ketika hari sudah menjelang di ujung senja, puncak hutan bukit Cemara itu masih juga sepi, hanya mereka berdua saja duduk diatas panggungan sederhana itu.

“Hari sudah hampir gelap, kita harus semakin waspada”, berkata paman Ragil meminta Putu Risang tidak mengurangi kewaspadaannya berjaga-jaga siapa tahu mereka sudah datang dan bersembunyi didalam semaksemak gelap menunggu kelengahan mereka berdua.

“Bisa saja mereka melakukan serangan gelap, serangan dari jarak jauh”, berkata kembali Paman Ragil menambahkan kekhawatirannya bahwa musuh dapat melakukan berbagai cara, cara gelap dan terbuka.

“Terima kasih Paman, aku akan terus berjaga”, berkata Putu Risang kepada orang tua itu yang terus mengingatkannya atas serangan yang bisa saja datang dengan segala cara.

Namun ketika hari sudah menjadi malam, tidak juga mereka dapati seorang pun tamu-tamu itu para pemburu keris Nagasasra.

“Beristirahatlah dahulu paman, biarlah aku akan tetap berjaga setengah malam ini”, berkata Putu Risang kepada orang tua itu.

“Baiklah, nanti bangunkan aku bila tiba saat giliran  jagaku tiba”, berkata Paman Ragil sambil merebahkan tubuhnya diatas panggungan itu.

Demikianlah, ketika malam semakin menyelimuti hutan bukit Cemara itu terlihat Putu Risang masih tetap berjaga. Sementara paman Ragil sudah tertidur begitu lelapnya di atas panggungan sederhana itu. Mungkin tengah bermimpi, nama Kera Sakti Tanpa Bayangan telah melambung tinggi, tersohor !!

Langit malam diatas hutan bukit Cemara terlihat sudah mulai pudar menjadi warna-warna tipis kemerahan, di ujung timur bumi telah terlihat titik cahaya sang fajar mengintip malas perlahan.

Dan sepanjang malam itu tidak terjadi apapun diatas puncak hutan Bukit Cemara itu, namun Putu Risang masih tetap berjaga-jaga tidak mengurangi sedikitpun kewaspadaannya.

“Mengapa kamu tidak membangunkanku?”, berkata Paman Ragil kepada Putu Risang ketika baru saja terbangun dari tidurnya melihat warna langit sudah menjadi tipis kemerahan.

“Aku kasihan melihat tidur paman yang sangat pulas sekali”, berkata Putu Risang memberikan alasan mengapa tidak membangunkannya untuk bergilir jaga di malam itu.

“Hari masih gelap, masih ada waktu untukmu beristirahat”, berkata Paman Ragil kepada Putu Risang untuk segera tidur beristirahat.

Demikianlah, pagi itu hari memang masih gelap diatas puncak hutan Bukit Cemara itu ketika Putu Risang merebahkan dirinya sekedar meluruskan badannya setelah sepanjang malam duduk berjaga.

Dan tidak begitu lama anak muda itu sudah terlihat tertidur pulas ditandai dengan suara napasnya yang terdengar lembut perlahan keluar masuk lewat hidung dan dadanya.

“Anak muda yang tabah”, berkata Paman Ragil sambil melirik Putu Risang yang sudah tertidur di dekatnya. ”Semuda itu sudah berani memikul tugas yang berat, melakoni diri sendiri sebagai seorang pencuri besar, pencuri keris yang begitu diminati oleh banyak orang, para pemimpi besar dari berbagai tempat, dari berbagai kalangan”, berkata kembali Paman Ragil kepada dirinya sendiri. “Mengapa aku tidak punya mimpi apapun?”, berkata kembali Paman Ragil kepada dirinya sendiri mengapa dirinya tidak pernah punya impian apapun untuk menjadi apapun. “Manusia di kolong langit ini menjadi paling kaya bila tidak punya keinginan dan mimpi apapun. Sementara manusia lainnya selalu diliputi rasa kekurangan dari begitu banyaknya yang mereka dambakan dalam hidupnya. Mereka terus berlomba mencari apa yang belum mereka dapatkan, padahal perut kita hanya tidak lebih dari genggaman tangan ini, masih saja mereka mencari lebih banyak lagi, dan lebih banyak lagi”, berkata Paman Ragil kepada dirinya sendiri memikirkan orang kebanyakan yang selalu mencari sesuatu, merasa diri masih selalu tidak berkecukupan. Masih mendambakan sesuatu yang belum  didapat, masih terus bermimpi dan bermimpi.

Hingga akhirnya sang mentari sudah muncul di pagi itu menyirami alam sekitarnya dengan butir-butir cahayanya. Pagi itu matahari terlihat begitu hangat menyinari bumi hutan Bukit Cemara. Terlihat sekumpulan burung terbang diantara batang pohon ke batang pohon lainnya mencari makanannya. Kadang terlihat juga melintas diatas panggungan sederhana itu ditangkap oleh mata Putu Risang yang sudah terjaga.

“Pagi yang indah”, berkata Putu Risang sambil memandang warna hijau hutan didepan matanya dari atas panggungan.

Puncak hutan Bukit Cemara memang sangat indah, sebuah padang rumput hijau di puncaknya dengan ditumbuhi begitu banyak pohon cemara seperti beberapa pasak panjang tumbuh dan berdiri diatas bumi yang hijau. Dibawahnya terbentang sebuah hutan hijau yang cukup lebat mengitari puncak bukitnya.

“Lihatlah”, berkata Paman Ragil sambil menyentuh bagian paha kaki Putu Risang di sebelahnya.

“Tamu pertama kita”, berkata Putu Risang yang juga melihat ada sekitar sepuluh orang tengah mendaki hutan Bukit Cemara mendekati ke arah panggungan mereka.

“Serahkan keris Nagasasra itu kepadaku sebelum aku bertindak sangat kejam kepadamu”, berkata seorang yang terlihat berpakaian perlente ketika sudah berada dibawah panggungan diiringi oleh orang-orang yang berwajah kasar bersamanya.

Terlihat Putu Risang tidak bergerak sedikit pun, masih duduk memandang orang yang baru saja datang dan langsung memberi ancaman.

“Aku yakin pasti kamu kesambet setan hutan ini, karena hanya setan hutan ini saja yang datang tidak memberi salam apapun, langsung berkaok-kaok tanpa jelas mengancam orang”, berkata Paman ragil keras didengar oleh semua yang ada dibawah panggungan itu.

“Tidak perlu basa-basi ucapan salam apapun untuk dua orang pencuri”, berkata kembali orang perlente itu.

“Kalau kami adalah pencuri, lalu apa julukan kalian yang ingin merebut barang curian kami, apakah seorang perampok besar?”, berkata Paman ragil sambil tertawa tidak merasa sedikit pun rasa takut dirinya menghadapi orang dibawah panggungan itu yang datang dengan sebuah ancaman.

“Habisi mereka berdua”, berkata orang perlente ditujukan kepada pengikutnya yang terlihat sebagai kawanan penjahat di tempat asalnya.

Terlihat para kawanan pengikut orang perlente itu sudah langsung melangkah mendekati panggungan yang tidak begitu tinggi itu, hanya sebatas tinggi orang dewasa.

Namun langkah kawanan pengikut orang perlente itu tidak jadi bergerak ketika tiba-tiba saja ada suara yang membentak begitu kerasnya, begitu keras menyurutkan langkah siapapun yang mendengarnya.

“Jangan bergerak!!!!”, begitu terdengar suara bentakan yang sangat keris dan berat penuh wibawa.

Tiba-tiba saja berkelebat tiga sosok bayangan entah muncul dari mana sudah berdiri tidak jauh dari mereka.

“Akulah yang paling berhak untuk memiliki keris pusaka Nagasasra, semoga kamu dapat menyerahkannya dengan baik-baik wahai anak muda”, berkata salah seorang diantara ketiga orang itu yang telah datang dengan cara yang aneh, seperti terbang tanpa menginjak rumput, begitu cepatnya, sebuah pertunjukan ilmu lari yang hebat telah mereka perlihatkan membuat sepuluh orang yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu ternganga melihatnya, juga bercampur rasa jerih, tentunya.

Tapi Putu Risang tidak sedikit pun menunjukkan jerih melihat cara mereka muncul.

“Mengapa kamu berkata paling berhak memiliki keris pusaka Nagasasra?”, berkata Putu Risang tanpa rasa takut sedikit pun kepada ketiga orang yang baru tiba itu.

“Dengarlah wahai anak muda, kamu pasti dengan suka rela menyerahkan barang curianmu manakala mendengar langsung siapa aku ini. Dengarlah baik-baik bahwa semua orang di tempatku sangat menghormatiku tidak pernah ada yang berani menyebut nama asliku selain dengan menyambung julukan dibelakang namaku, dengarlah olehmu bahwa namaku adalah Mandralalo Si Tangan Sakti Berdarah Biru”, berkata orang itu menyebut nama dan gelarnya dengan bangganya berharap siapapun yang mendengarnya pasti akan merasa jerih, merasa nama dan gelarnya sudah sangat dikenal di kolong langit ini.

Tapi Putu Risang memang baru pertama kali mendengar nama itu, pertama kali didengar dari orang yang bersangkutan. Dan Putu Risang tidak jerih sedikit pun terlihat dari wajahnya tidak berubah, masih dengan garis wajah bibir sedikit tersenyum.

“Apakah kamu berdarah biru sebagaimana julukanmu ?”, berkata Putu Risang kepada orang itu.

“Ayah dari ayah mertuaku adalah seorang bangsawan asli”, berkata orang itu kepada Putu Risang yang langsung terpingkal-pingkal mendengarnya.

Paman Ragil terdengar tertawa lebih keras lagi.

“Pagi ini aku sarapan banyolan yang membuat perutku begitu kenyang hingga malam nanti”, berkata Paman Ragil sambil memegang perutnya.

“Mengapa kalian semua tertawa?”, berkata begitu orang berjuluk si tangan sakti berdarah biru sambil memandang kesepuluh orang yang telah lama datang sebelumnya, melihat mereka semua juga tertawa sebagaimana Putu Risang dan Paman Ragil dari atas panggungan.

“Bagaimana kami tidak tertawa mendengar pengakuan dirimu yang berdarah biru hanya dari garis ayahnya ayah mertuamu”, begitu si orang perlente mewakili kawankawannya berkata kepada orang itu yang bergelar si Tangan Sakti Berdarah Biru.

“Sesali dirimu telah menertawakan diriku”, berkata orang itu yang langsung berkelebat. Dan tiba-tiba saja dengan begitu cepatnya sudah berdiri dihadapan orang perlente itu sambil mencengkeram leher bajunya. Bukan main terperanjatnya orang perlente itu merasakan sebuah tangan yang kuat telah merenggut kerah baju lehernya membuat dirinya seperti begitu sesak.

Terlihat orang perlente itu berdiri sambil gemetaran seluruh tubuhnya membayangkan dirinya diperlakukan lebih kejam lagi, atau langsung membunuhnya.

Sementara itu para pengikutnya seperti terpana, tidak dapat berbuat apapun untuk melindungi majikannya, orang yang telah menyewanya selama ini.

Tapi orang perlente itu akhirnya dapat bernafas lega manakala tarikan baju kerah lehernya terasa sedikit mengendur, bahkan dilepaskan sama sekali manakala mendengar suara yang bergema terdengar dari segala penjuru, sebuah tanda pemilik suara itu telah memiliki sebuah kekuatan tenaga cadangan yang sangat tinggi. Karena suara itu terasa begitu sangat menyesakkan dada hampir semua orang yang ada di puncak hutan Bukit Cemara itu.

“Dasar orang-orang bodoh yang tidak tahu diri, aku ketua Padepokan Pancawangi adalah yang berhak memiliki keris pusaka itu”, begitulah suara itu terdengar bergema dari berbagai arah penjuru mata angin.

Terlihat kesepuluh orang di bawah panggungan itu tengah menutup telinganya berusaha mengurangi rasa sesak di dada mereka. Sementara itu ketiga orang yang baru tiba itu terlihat memegangi dadanya merasa ada yang menjepit menekan rongga dadanya.

“Aji Gelap Ngampar Ki Gendon, ketua Padepokan Pancawangi”, berkata Paman Ragil yang sudah pernah mengenal nama ketua Padepokan Pancawangi, juga kehebatan ilmunya yang kata orang dapat terbang mengendarai angin

“Paman Ragil mengenalnya?” bertanya Putu Risang kepada Paman Ragil.

“Aku hanya pernah mendengarnya dari mulut orang lain, baru saja kita menyaksikan ilmu melepas suaranya yang hebat”, berkata Paman Ragil kepada Putu Risang penuh kekhawatiran mampukah mereka berdua menghadapi semua orang yang sudah datang dibawah panggungan, terlebih lagi pemilik suara aji gelap Ngampar, Ki Gendon ketua Padepokan Pancawangi.

Dan kekhawatiran Paman Ragil ternyata semakin menjadi-jadi manakala dilihatnya seorang tua diatas sebuah tandu dipikul oleh empat orang pemuda yang bertubuh kekar berotot dan dibelakangnya mengikuti sekitar seratus orang. Mereka muncul dari arah berlawanan dari munculnya kesepuluh orang yang datang. Iring-iringan manusia itu muncul dari arah barat puncak hutan Bukit Cemara.

Terlihat keempat pemuda yang mengangkat sebuah tandu itu telah merendahkan tandunya. Belum lagi tandu itu jatuh ke tanah, seorang tua renta berambut beriap putih seluruhnya sudah melompat dari atas tandu dan berdiri sambil bertolak pinggang begitu jumawanya.

“Ki Gendon yang terhormat, aku menawarkan sebuah kesepakatan damai bersamamu. Aku akan membayar berapapun yang kamu minta hanya dengan syarat memberikan keris pusaka Nagasasra kepadaku, terserah dengan apa yang kamu lakukan kepada kedua orang pencuri diatas panggungan itu”, berkata orang perlente itu kepada Ki Gendon yang baru saja datang bersama sekitar seratus orang pengiringnya.

Terlihat Ki Gendon berjalan mendekati orang perlente itu dengan senyum yang begitu dingin, sebuah senyum  yang sangat menakutkan.

Belum sempat berbuat apapun Ki Gendon sudah bergerak begitu cepatnya, tiba-tiba saja sudah mencengkeram dengan kedua tangannya menjepit  begitu keras leher orang perlente itu.

Terlihat orang perlente itu begitu pucat tidak mampu bersuara sedikit pun, yang dirasakannya adalah sebuah hawa dingin masuk ke seluruh tubuhnya membuat dirinya merasakan kebekuan yang sangat.

Dan orang perlente itu terlihat sudah ambruk lemas jatuh ke bumi dengan wajah putih pucat, mungkin darahnya seketika sudah membeku diserang dari jarak dekat oleh Ki Gendon dengan kekuatan hawa dingin yang hebat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar