Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 14

Namun ketika duduk bersimpuh dengan tangan kanan menunjuk kedepan dengan telunjuknya, Putu Risang dapat merasakan hawa murninya bergerak lebih cepat lagi ke segala penjuru dan sisi tubuhnya, begitu liar dan seperti tak terkendali.

Bersyukurlah, Putu Risang dibawah bimbingan Ki Kumbara telah memahami isi dan makna petunjuk rontal ketujuh. “Tengoklah olehmu ke kiri dan kananmu, niscaya kamu selamat sejahtera”

Ternyata isi dari rontal ketujuh itu adalah sebuah cara menutup dan mengakhiri lakunya.

Dan Putu Risang memang telah menjinakkan keliaran hawa murninya. Terlihat perlahan Putu Risang menarik nafas panjang, Putu Risang telah mengakhiri lakunya.

“Cepat ceritakan kepadaku, apa yang kamu rasakan”, berkata Ki Kumbara bergelinding mendekati Putu Risang.

Penuh senyum kegembiraan Putu Risang mengatakan kepada Ki Kumbara apa yang dirasa dan didapatnya dalam olah laku itu. Juga tentang empat buah simpul syaraf dipergelangan kaki dan tangannya yang telah dicelakai oleh Nyi Pruti.

“Cidera di empat simpul syarafmu sudah kembali seperti sedia kala”, berkata Ki Kumbara penuh kegembiraan.

Putu Risang juga merasakan kesegaran didalam dirinya.

Dan Putu telah mencoba kembali ilmu rahasia kitab pusaka pertapa Gunung Wilis itu, dengan sebuah keyakinan yang lebih utuh, tentunya.

“Jangan kamu lupakan wadagmu, bagian dari dirimu yang juga perlu perhatian”, berkata Ki Kumbara mengingatkan Putu Risang bahwa sudah setengah hari itu belum makan apapun.

“Terima kasih”, berkata Putu Risang kepada Ki Kumbara menghentikan latihannya.

Demikianlah, dari waktu ke waktu jauh didalam perut bumi itu Putu Risang terus mendalami laku rahasia kitab pusaka pertapa Gunung Wilis itu, mengukur sejauh mana peningkatan kekuatan dirinya, kecepatannya bergerak serta mengendalikan kemampuan apa saja yang tumbuh berkembang dengan sendirinya dari dalam dirinya itu.

Hari ke tujuh, masih didalam perut bumi. Putu Risang merasakan kekuatan didalam dirinya begitu pesat tumbuh berlipat-lipat ganda jauh sebelum datang bertemu dengan empat putra Nyi Pruti.

Dan Putu Risang terus berlatih mengendalikan dan menyesuaikan kekuatan itu dengan pola gerak kanuragan yang dimiliki, juga senjata cambuk pendek andalannya.

Dengan kekuatan tenaga cadangan yang dimiliki, Putu Risang telah mampu lebih dahsyat lagi menyerap hawa panas dan hawa dingin diluar tubuhnya menjadi sebuah sumber kekuatan yang luar biasa dilontarkan keluar dari hampir seluruh tubuhnya.

Bahkan Putu Risang telah mampu mengalirkan tenaga hawa panas lewat ujung cambuk senjata andalannya.

Degg !!!

Terdengar suara lecut sendal pancing dari tangan Putu Risang tertuju kearah kubangan mata air di goa itu.

Luar biasa!!!, seketika itu juga terlihat air di kubangan itu telah bergejolak mendidih.

“Kekuatan dirimu sudah semakin bertambah”, berkata Ki Kumbara yang melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Putu Risang dengan hanya sebuah hentakan cambuknya dapat membuat air kubangan mendidih seketika. Masih terlihat asap tebal putih mengepul naik diatas permukaan air itu.

“Ini semua juga berkat bimbingan dari Ki Kumbara”, berkata Putu Risang kepada Ki Kumbara dengan penuh rasa hormat. Demikianlah, hari-hari dilewatkan Putu Risang untuk terus berlatih dan melipat gandakan kekuatannya. Namun tidak lupa juga masih terus mencari jalan keluar yang mungkin saja dapat mereka temukan, jalan keluar dari goa tempat dimana mereka terkurung.

“Tidak ada jalan lain kecuali lubang kemana air itu mengalir”, berkata Putu Risang sambil duduk didekat Ki Kumbara.

“Sepertinya hanya jalan itu tempat keluar kembali ke alam bebas”, berkata Ki Kumbara membenarkan pemikiran Putu Risang.

“Tidak ada salahnya bila kita mencoba”, berkata Putu Risang kepada Ki Kumbara

“Kita?”, berkata Ki Kumbara. “Kamu saja yang keluar, biarlah aku tetap disini”, berkata kembali Ki Kumbara.

“Kita keluar bersama, kita akan terus bersama”, berkata Putu Risang penuh harap Ki Kumbara dapat ikut bersamanya.

“Diriku yang cacat ini akan menyusahkan langkahmu, telah kutetapkan diriku selamanya disini. Inilah karmaku tebusan atas segala perbuatan buruk ayahku selama hidupnya”, berkata Ki Kumbara.

Dan hari itu adalah hari ke dua belas, masih didalam perut bumi di sebuah lubang goa yang tertutup.

Putu Risang telah menetapkan hati untuk mencoba keluar dari lubang goa itu lewat celah air kubangan.

“Selamat jalan sahabat muda”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang dengan penuh senyum.

“Aku akan menepati janjiku, mencari dan menghentikan kekejaman Nyi Pruti dan keempat putranya”, berkata Putu Risang kepada Ki Kumbara

“Doaku bersamamu, semoga keselamatan selalu menyertaimu”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang yang telah membalikkan badannya kearah kubangan mata air.

Terlihat Putu Risang telah mendekati aliran air di ujung sebuah celah yang pernah diperiksanya cukup untuk ukuran tubuh orang dewasa.

Bluss !!!

Dan Putu Risang sudah masuk menghilang tertelan lubang celah air itu.

Ternyata air itu mengalir menurun didalam sebuah rongga bumi, lama Putu Risang terbawa arus air itu.

Beruntunglah bahwa Putu Risang bukan manusia biasa, bayangkan bila saja dirinya belum mendalami ilmu rahasia kitab pusaka pertapa Gunung Wilis itu maka sudah habislah riwayat anak muda dari Balidwipa ini. Dirinya akan mati kehabisan udara, paru-parunya akan pecah dengan perut membuncit karena banyak menelan air.

Beruntunglah, Putu Risang sudah memiliki kekuatan bukan orang dewasa, dirinya masih dapat menahan nafasnya yang masih terus terseret dibawa aliran air didalam rongga bumi.

Beruntunglah, bahwa ujung dari aliran air itu ternyata sebuah air jeram yang tidak begitu tinggi. Tidak terbayangkan bilamana aliran itu berujung di sebuah tempat sempit, kekuatan sebesar apapun tidak akan mampu bertahan, dapat dipastikan tubuh Putu Risang akan membusuk didalamnya.

Jeburrrr…!!!!! Tubuh Putu Risang terlihat terhempas jatuh di atas sebuah telaga kecil di sebuah celah bukit yang dipenuhi rimbunnya pepohonan hijau. Terlihat Putu Risang sudah muncul di permukaan air telaga itu yang cukup dalam di bagian tempat jatuhnya air terjun, sementara di bagian pinggir telaga itu sangat dangkal dengan banyak terlihat batu-batu besar berwarna hitam licin berlumut.

“Sebuah pemandangan yang sangat indah”, berkata Putu Risang dalam hati sambil menikmati suasana panorama alam di sekililing dirinya sambil duduk diatas sebuah batu datar mencoba mengeringkan pakaian yang basah masih melekat di tubuhnya.

“Aku harus kembali jalan melingkar naik keatas bukit ini”, berkata Putu Risang dalam hati mencoba mencari arah jalan dimana dirinya pertama kali bertemu dengan empat lelaki kembar, para putra Nyi Pruti.

Terlihat Putu Risang tengah mendaki sebuah bukit hijau, seperti seekor burung yang merdeka terlepas dari kurungan sangkarnya, Putu Risang begitu menikmati alam bebas setelah terkurung di perut bumi selama kurang lebih dua belas hari.

Akhirnya Putu Risang terlihat sudah sampai diatas puncak bukit itu, agak sulit memang mencari kembali arah jalan awal dimana dirinya bertemu dengan keempat putra Nyi Pruti, awal dirinya terkurung di sebuah goa bertemu dengan Ki Kumbara.

Namun akhirnya Putu Risang dapat menemukannya, ke arah itulah kakinya melangkah.

Sementara itu masih ditempat yang sama berlawanan arah dari langkah Putu Risang, terlihat seorang wanita tengah meronta menangis dipanggul diatas tubuh seorang lelaki, bersama mereka masih ada tiga orang lelaki lain yang terus berjalan beriring.

Ternyata keempat lelaki yang tengah membawa wanita tawanannya itu adalah empat putra Nyi Pruti.

“Lepaskan aku!!”, berteriak wanita itu meronta dan menangis.

Tapi tidak ada sedikitpun rasa kasihan muncul diantara wajah empat lelaki itu, tetap saja wajah dingin tanpa perasaan yang terlihat di wajah mereka.

“Lepaskan wanita tak berdosa itu”, berkata tiba-tiba seorang pemuda menghadang di hadapan mereka.

Ternyata pemuda yang datang menghadang itu tidak lain adalah Putu Risang yang memang sengaja mencari keempat putra Nyi Pruti itu.

“Tawanan kita datang kembali”, berkata lelaki yang tengah memanggul seorang wanita sambil tertawa penuh gembira langsung melempar tubuh wanita yang tengah dipanggulnya.

Kasihan wanita itu, terlihat meringis memegang pinggulnya yang nampaknya begitu keras terhantam sebuah batu besar.

Melihat itu telah membuat Putu Risang menjadi sangat geram.

“Manusia tidak beradab”, berkata Putu Risang penuh kebencian.

Keempat lelaki berwajah dingin itu tidak berkata apapun, langsung bergeser mengepung Putu Risang yang dikatakan sebagai tawanan mereka yang hilang.

Langsung, keempat putra Nyi Pruti itu sudah langsung menerkam Putu Risang secara bersamaan seperti berlomba saling mendahului. Gerak mereka begitu cepat, tapi untungnya Putu Risang bukan orang yang dulu lagi, dirinya telah mempelajari ilmu pusaka pertapa Gunung Wilis, jauh lebih sempurna dibandingkan mereka.

Terlihat Putu Risang sudah dapat melejit keluar dari kepungan mereka dengan gerak yang lebih gesit. Begitulah berulang-ulang mereka mencoba mengepung dan menangkap anak muda itu, tapi Putu Risang dengan mudah dapat lolos dari kepungan mereka.

Sadarlah Putu Risang bahwa keempat Putra Nyi Pruti itu ternyata dasar kanuragan mereka masih jauh dari sempurna, mereka nampaknya hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan dirinya.

Beberapa kali dalam sebuah benturan, Putu Risang mendapatkan kenyataan bahwa tataran  kekuatan mereka sudah jauh tertinggal olehnya. Namun Putu Risang nampaknya belum yakin betul apakah tingkat tataran ilmu mereka sudah sampai pada puncaknya. Dan Putu Risang masih menjajakinya.

Hingga akhirnya ketika keyakinannya timbul bahwa tingkat tataran ilmu mereka dibawah beberapa lapis dari dirinya, Putu Risang mulai dengan sebuah permainannya.

Terlihat Putu Risang membiarkan dirinya tertangkap, dibiarkannya keempat orang berwajah dingin itu masingmasing telah mencengkeram kaki dan tangannya.

“Bunda tidak akan memarahi kita bila tawanan ini kita santap, masih ada cadangan korban menjelang purnama nanti”, berkata salah satu diantara mereka.

Namun bukan main kaget dan penasarannya mereka, tubuh Putu Risang terasa begitu alot tidak dapat dirobek sebagaimana mereka biasa merobek seekor kuda yang begitu kuat.

Terlihat urat wajah keempat putra Nyi Pruti itu sudah semakin keras sebagai tanda telah mengerahkan segenap kekuatannya, namun tubuh Putu Risang tidak juga bergeming sedikitpun, masih utuh dengan kedua kaki dan tangan terentang diantara kedua tangan mereka.

Dan akhirnya Putu Risang sudah menjadi bosan dengan permainannya, maka dengan sebuah hentakan terlihat keempat orang lelaki itu seperti sebuah pohon tercabut dari akarnya, keempat orang itu seperti ditarik oleh sebuah tenaga yang begitu kuat.

Secara bersamaan keempat tubuh lelaki kembar itu sudah tertarik ke satu tempat yang sama.

Prakk !!!

Empat kepala dengan kerasnya terbentur satu dengan yang lainnya. Sebuah benturan yang begitu sangat kuat dan sangat keras membuat tubuh keempat orang itu langsung lunglai seperti sebuah daun tidak bertulang, jatuh lemas tidak bergerak lagi.

“Mati !!”, berkata Putu Risang dalam sambil memeriksa orang terakhir yang ternyata memang sudah tidak bernyawa lagi.

“Aku telah membunuh keempat orang ini”, berkata Putu Risang dalam hati penuh penyesalan bahwa dirinya tidak mampu mengendalikan kekuatannya yang ternyata memang sudah menjadi jauh berlipat-lipat dari kekuatannya semula sebelum mempelajari ilmu pusaka pertapa Gunung Wilis itu.

“Entah setan mana yang telah mengembalikan kekuatan dirimu, bahkan jauh lebih kuat”, berkata seseorang yang tiba-tiba saja terdengar melengking namun belum juga menampakkan dirinya dihadapan Putu Risang.

“Nyi Pruti”, berkata Putu Risang dalam hati yang masih mengenali pemilik suara itu, namun belum melihat orangnya. Sebuah tanda pemilik suara itu mempunyai tingkat tataran ilmu yang sangat begitu tinggi.

“Jangan merasa besar kepala dapat membunuh keempat putraku”, berkata Nyi Pruti yang sudah terlihat berjalan mendekati Putu Risang.

Dan Putu Risang dapat melihat bahwa tidak sedikitpun ada wajah duka di diri Nyi Pruti melihat mayat keempat putranya itu. Hal itu saja sudah membuat bulu kuduk Putu Risang merinding bahwa dihadapannya ini adalah seorang berhati sangat dingin, sudah dapat disamakan hatinya dengan hati seekor serigala, bahkan lebih lagi.

“Dengar dengan telingamu, jantungmu akan kukeluarkan saat ini juga tanpa menanti datang bulan purnama”, berkata Nyi Pruti dengan mata begitu tajam menusuk dada.

“Dengar juga nenek sihir, jantungku sangat pahit”, berkata Putu Risang tanpa rasa takut sedikitpun.

“Ternyata di ujung hidupmu masih juga dapat bergurau”, berkata Nyi Pruti masih dengan sikap dinginnya terlihat sudah memutar tongkat panjang ditangannya dengan begitu cepatnya.

Melihat tongkat yang sudah berputar ditangan Nyi Pruti membuat Putu Risang segera bersiap diri telah melepas cambuk pendeknya penuh kesungguhan untuk menghadapi ilmu Nyi Pruti yang diperkirakan mempunyai tingkat tataran yang tinggi. Benar sekali seperti dugaannya, tiba-tiba saja tongkat Nyi Pruti sudah meluncur menyerang dirinya.

Tapi Putu Risang bukan pemuda yang baru kemarin sore mengenal kanuragan, tapi Putu Risang adalah murid kesayangan dua orang mumpuni pada jamannya, yaitu Mahesa Amping dan Empu Dangka.

Apalagi saat itu dirinya sudah mengenal dan mendalami ilmu pusaka pertapa gunung Wilis, maka genaplah diri Putu Risang pemuda yang tidak punya rasa gentar menghadapi siapapun, kali ini menghadapi Nyi Pruti yang memulai serangan dengan sebuah tusukan yang cepat dan deras mengancam lambungnya.

Terlihat Putu Risang telah bergeser dua langkah sambil menggerakkan cambuknya melingkar.

Bukan main terkejut dan geramnya Nyi Pruti bahwa Putu Risang dengan mudahnya keluar dari serangannya bahkan telah berbalas menyerang.

Terlihat Nyi Pruti telah meloncat tinggi, begitu cepat sambil langsung meluncur mengejar dengan ujung tongkatnya nyaris mendekati kepala Putu Risang.

Lagi-lagi Nyi Pruti menjadi begitu gusar bahwa pemuda itu dengan cepat bergerak menghindari ujung tongkatnya dan balas menyerang dirinya dengan sebuah lecutan ujung cambuk mengarah kakinya.

Demikianlah, Nyi Pruti menjadi begitu sangat murka mendapatkan lawan yang masih muda itu tidak juga dapat ditundukkannya, bahkan telah merepotkannya dengan serangan baliknya yang tidak kalah cepat dan berbahayanya.

Terlihat keduanya sudah langsung meningkatkan tataran ilmu mereka, dan pertempuran di celah lereng dua bukit itu menjadi begitu seru dan juga begitu sangat menegangkan.

Dan angin deru senjata mereka sudah menjadi begitu berbahaya, telah dilambari tenaga sakti membuat pertempuran mereka semakin berjarak.

Putaran angin tongkat Nyi Pruti dirasakan oleh Putu Risang begitu panas menyengat kulitnya, maka Putu Risang segera mengimbanginya dengan melontarkan hawa pukulan yang dingin membeku.

Bukan main geramnya Nyi Pruti bahwa hawa panas pukulannya tidak membuat anak muda itu menyusut, bahkan terasa serangannya semakin deras menggulung seperti ombak samudra membumbung tinggi siap menghempas dan melemparnya.

Putu Risang memang telah meningkatkan tataran ilmunya jauh dari yang diduganya membuat Nyi Pruti mulai kehabisan tenaga sibuk menghindar kesana kemari.

Mereka memang punya dasar sumber ilmu tenaga sakti yang sama, tapi ternyata Putu Risang jauh lebih sempurna mendalami ilmu itu, dan tingkat kesempurnaan itu akhirnya telah terlihat jelas dimana Nyi Pruti merasa begitu sangat putus asa.

“Kesurupan setan mana anak ini”, begitu ucapan Nyi  Pruti dalam hati sambil melompat terhindar dari angin serangan cambuk Putu Risang yang melambarinya dengan kekuatan hawa panas.

Inilah kehebatan dan kesempurnaan ilmu sakti yang dimiliki oleh Putu Risang, dimana dirinya dengan begitu mudah dapat merubah sumber kekuatan didalam dirinya, pada satu saat melambarinya dengan tenaga hawa panas, namun tiba-tiba saja tenaga serangannya berubah menjadi sebuah angin dingin yang begitu tajam membekukan darah. Hal inilah yang membuat Nyi Pruti menjadi semakin putus asa, tidak menyangka pemuda ini yang dikira semula begitu mudah dapat dilumpuhkan ternyata begitu alot, bahkan tragis berbalik nyaris dapat membunuhnya.

Deg !! Degg !!

Terdengar dua kali hentakan cambuk pendek Putu Risang ke arah sekitar lima langkah dari tubuh Nyi Pruti.

Dahsyat sekali hentakan cambuk itu, tidak menyangka sama sekali bahwa angin hentakan cambuk ditangan Putu Risang ternyata sudah masuk dalam area lawan tepat menembus dinding jantung Nyi Pruti yang sama sekali tidak menduganya.

Dan angin hentakan cambuk itu nyaris seperti sebilah pedang tajam menusuk dingin menembus tepat di dada kiri nenek berhati kejam itu. Dan wajah Nyi Pruti  langsung kaku dengan mata terbelalak. Nyi Pruti memang telah mati penasaran. Nyawanya sudah langsung terbang meninggalkan tubuhnya yang jatuh rebah di bumi tergeletak kaku.

Terlihat Putu Risang memandang Nyi Pruti dengan wajah penuh keheranan, perlahan mengangkat cambuknya tinggi-tinggi, masih dalam wajah keheranan tidak menyangka bahwa jangkauan ujung cambuknya telah begitu jauh dan begitu sangat mematikan.

“Pencuri wanita itu memang sudah ditakdirkan harus mati oleh kekuatan ilmu yang dicurinya”, terdengar suara bergema dari segala penjuru tanpa diketahui dari mana sumbernya. Baru kali ini Putu Risang mendengar suara yang begitu berat menekan isi rongga dadanya, langsung seketika itu juga Putu Risang telah melambari kekuatan dirinya.

“Suara siapakah yang demikian bertenaga itu?”, berkata Putu Risang dalam hati penuh kekhawatiran bakal mendapat lawan yang jauh lebih berat karena hanya lewat suaranya saja sudah begitu mendebarkan isi rongga dadanya.

“Bagus, tataran ilmumu sudah mampu menahan ilmu ajian gelap ngamparku”, berkata kembali orang yang tidak juga menampakkan dirinya.

“Siapakah gerangan tuan?”, bertanya Putu Risang sambil mencoba mencari arah sumber suara itu.

“Teruslah berlatih, agar ujung cambukmu tidak menjadi liar mencabut nyawa manusia”, berkata kembali orang itu.

“Siapakah gerangan tuan?”, bertanya kembali Putu Risang masih belum juga menemukan dari mana sumber suara itu.

“Aku hanya pertapa dari Gunung Wilis, kurestui hari ini kamu menjadi pewaris tunggal ilmuku”, berkata kembali orang itu masih dengan suara bergema memantul diantara cadas-cadas bukit menjulang tinggi di celah lereng itu.

Terlihat Putu Risang merangkapkan kedua tangannya didepan dada sebagai sebuah penghormatan setelah sekian lama orang yang mengaku sebagai pertapa dari Gunung Wilis itu tidak juga menampakkan diri, mungkin sudah pergi dan tidak ada keinginan untuk bertatap muka dengannya.

“Kasihan wanita itu”, berkata Putu Risang ketika matanya tertuju kepada seorang wanita yang sudah mulai dapat duduk bersandar di sebuah batu besar, nampaknya rasa sakit akibat benturan itu sudah mulai berkurang.

“Mari kuantar kamu kembali ke tempat tinggalmu”, berkata Putu Risang kepada wanita itu.

“Terima kasih”, berkata wanita itu yang merasa tidak takut kepada Putu Risang yang dilihatnya sebagai seorang pemuda biasa yang sangat santun.

“Beristirahatlah sebentar, sambil menunggu aku untuk menguburkan lima jenasah ini”, berkata Putu Risang merasa berdosa bila harus meninggalkan lima sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.

Demikianlah, dengan alat apa adanya terlihat Putu Risang sudah membuat sebuah lubang yang cukup dalam guna dapat mengubur kelima mayat itu dimana mereka ketika masih hidup begitu sangat buas dan kejam tanpa berkedip memangsa sesamanya, memangsa manusia !! 

“Mari kita berangkat”, berkata Putu Risang kepada wanita itu setelah menyelesaikan tugasnya mengubur mayat Nyi Putri dan keempat putranya.

Ternyata padukuhan tempat tinggal wanita itu memang tidak terlalu jauh, ketika matahari terlihat sudah semakin senja, dalam warna buram udara yang bening teduh dengan penuh haru biru suka cita tangis air mata terdengar tangis wanita itu dan keluarganya.

“Terima kasih anak muda”, berkata seorang lelaki yang ternyata ayah dari wanita itu

“Menginaplah di rumah kami, hari sudah akan menjadi malam”, berkata ayah wanita itu menawarkan Putu Risang yang mengaku hanya sebagai seorang pengembara.

Masih di sebuah padukuhan disaat pagi telah datang.

Hari di pagi itu dalam warna cerah bertabur kehangatan sinar matahari dan suara angin semilir di ujung juntai kuning padi.

Di ujung jalan sebuah Padukuhan terlihat seorang pemuda tengah berjalan seorang diri, dan pemuda itu tidak lain adalah Putu Risang yang baru saja meninggalkan rumah seorang wanita yang telah diselamatkannya dari tangan keluarga Nyi Pruti.

Berkat petunjuk beberapa orang tua di Padukuhan itu, akhirnya Putu Risang mendapat sebuah petunjuk arah yang paling cepat untuk sampai di Bumi Majapahit.

Ketika dirinya menemui sebuah Kademangan yang cukup ramai, Putu Risang pun telah memutuskan untuk membeli seekor kuda agar perjalanannya menjadi lebih cepat lagi sampai di Bumi Majapahit.

Demikianlah, dengan berkuda perjalanan Putu Risang menjadi lebih cepat lagi dan tidak begitu melelahkan.

Seperti seekor elang muda tengah mengarungi padang perburuan baru, Putu Risang memacu kudanya mengarungi padang dan perbukitan hijau. Sebagaimana seorang pengembara yang berjalan di sepanjang siang hari dan beristirahat sejenak di malam harinya yang terkadang hanya beratap langit di alam terbuka. Namun Putu Risang tidak pernah melewatkan waktunya untuk berlatih mengendalikan kekuatan yang ada didalam dirinya untuk mengukur sejauh mana lontaran yang dapat dihentakkannya lewat cambuknya atau lewat kaki dan tangannya sendiri.

Dan pada akhirnya Putu Risang telah mendapatkan jalur perjalanannya kembali.

“Hutan bukit cemara”, berkata Putu Risang sambil memacu kudanya mencoba mendekati kaki bukit Cemara itu.

Ketika Putu Risang telah sampai diatas puncak bukit cemara matahari sudah bergeser sedikit dari puncaknya membelakangi punggung Putu Risang.

“Selamat bertemu kembali sahabat muda”, berkata seseorang kepada Putu Risang.

Bukan main terkejutnya Putu Risang bertemu kembali ditempat yang sama dengan seorang tua renta yang tidak lain adalah seorang yang mempunyai sebuah julukan, Kera sakti seribu bayangan. Seorang yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, dan Putu Risang sudah pernah berhadapan dengannya, harus mengakui kehebatan jurus tangan kosong orang tua itu.

“Selamat bertemu juga, wahai orang tua perkasa”, berkata Putu Risang dengan wajah penuh senyum.

“Entah mengapa tangan ini terasa gatal-gatal ingin merebut cambuk pendekmu kembali”, berkata orang tua itu penuh sindiran untuk mengingatkan kembali Putu Risang dengan pertempurannya dengan orang tua itu dimana cambuk Putu Risang berhasil direbut oleh orang tua yang menamakan dirinya Kera sakti bertangan seribu.

“Entah mengapa tanganku juga terasa gatal-gatal”, berkata pula Putu Risang sambil menggaruk-garukkan telapak tangannya yang tidak gatal.

Putu Risang tahu betul bahwa orang tua itu tidak ada maksud jahat kepadanya, hanya seorang tua yang sudah lama tidak menggunakan jurus-jurusnya dan merasa gembira menemukan kembali teman bertandingnya, hanya itu tidak lebih dan tidak kurang.

“Pegang erat-erat cambuk ditanganmu”, berkata orang tua itu dengan sikap siap menyerang.

Terlihat Putu Risang telah memutar cambuknya siap menerima serangan orang tua itu.

Maka dalam waktu singkat telah terjadi pertempuran diantara mereka sebagaimana pernah mereka lakukan bersama, orang tua itu bertangan kosong selalu  mencoba masuk menyerang dalam jarak dekat, sementara Putu Risang dengan cambuknya selalu mencari jarak serangnya.

Dan sebagaimana sebelumnya, kedua orang itu sudah sepertinya sangat menikmati perkelahian mereka. Sepertinya mereka diam-diam telah sepakat untuk tidak menggunakan kekuatan tenaga cadangan, hanya sebatas kecepatan dan kelincahan bergerak.

Namun lama kelamaan orang tua itu tersadar bahwa Putu Risang telah meningkat tataran ilmunya, telah bergerak lebih cepat dari sebelumnya beberapa  hari yang telah lewat.

Dan Putu Risang masih saja dapat melayani perlawanan orang tua itu yang telah meningkatkan tataran ilmunya selapis demi selapis.

“Setan mana yang telah merubah kamu”, berkata orang tua itu merasa sangat penasaran melihat Putu Risang masih saja dapat melayaninya meski sudah puluhan jurus telah dikeluarkannya bahkan telah meningkatkan tataran kecepatan geraknya.

“Aku bertemu setan tua di hutan bukit Cemara”, berkata Putu Risang sambil tertawa penuh kegembiraan melayani jurus-jurus maut orang tua itu.

Hingga akhirnya ketika orang tua aneh itu telah meningkatkan puncak kemampuannya, namun Putu Risang masih dapat melebihi beberapa lapis tataran ilmunya.

Maka diatas puncak bukit itu seperti ada sebuah  tontonan yang sangat begitu menarik, terlihat orang tua aneh itu seperti seekor kera yang lari kesana kemari dikejar ujung cambuk majikannya.

“Aku menyerah”, berkata orang tua aneh itu dengan nafas terputus-putus.

“Aku juga sudah jemu bermain”, berkata Putu Risang sambil melibatkan cambuknya kembali melingkar di pinggangnya bersama sebuah senyum kegembiraan.

“Aku seperti tidak berhadapan dengan anak muda yang pernah kurebut cambuknya”, berkata orang tua itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah sangat aneh penuh rasa penasaran.

“Terima kasih telah meluangkan waktunya”, berkata Putu Risang sambil melompat keatas punggung kudanya.

Masih sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal, orang tua itu masih melihat langkah kuda Putu Risang sebelum akhirnya menghilang di jalanan yang menurun. menghilang di jalanan yang menurun.

Ketika matahari telah jatuh di penghujung senja, langkah kaki kuda Putu Risang sudah berada di jalan Padukuhan Maja. Dan Putu Risang merasa jaraknya ke Bumi Majapahit sudah begitu sangat dekat, entah semakin mendekati bumi Majapahit ada sebuah debar dirasa.

Debar perasaan rindu?? Entahlah, Putu Risang masih belum menyadari perasaan apa yang selalu timbul di hatinya membaur dengan keinginan bertemu dengan semua kerabat dekatnya di Bumi Majapahit dimana dirinya selama ini sangat begitu dekat.

Wajah Endang Trinil masih saja terus terbayang diantara lintasan bayang-bayang wajah Mahesa Amping, Pendeta Gunakara, Nyi Nariratih dan ketiga bocah nakal yang selalu bersamanya seharian penuh di Bumi Majapahit.

Memang ada debar yang beda ketika wajah Endang  Trinil tiba-tiba saja melintas dalam pikirannya. Hingga akhirnya Putu Risang telah memasuki Bumi Majapahit ketika wajah malam telah tiba, dan getaran debar jantungnya seperti begitu kencang tak terkendalikan.

Debar perasaan rindukah ??

Dan Putu Risang sudah tidak memikirkan apapun selain kegembiraan hati mendapatkan dirinya telah kembali di depan pasanggrahan Mahesa Amping dan keluarganya.

Temaram warna pelita malam bergantung diatas pendapa pasanggrahan ketika Putu Risang tengah mengikat tali kendali kudanya.

“Putu Risang”, berkata seorang lelaki yang berwajah tampan yang tidak lain adalah Mahesa Amping berdiri menjenguk dirinya di batas pagar pendapa Pasanggrahannya.

Terlihat seorang tua mengikuti langkah Mahesa Amping yang ternyata adalah Pendeta Gunakara.

“Senang dapat melihatmu kembali”, berkata Mahesa Amping sambil memeluk Putu Risang penuh kerinduan.

“Doa kami selalu menyertaimu, wahai anak muda”, berkata Pendeta Gunakara dengan wajah penuh kegembiraan melihat kembalinya anak muda itu.

“Bawa kudamu ke belakang, setelah bersih-bersih aku ingin mendengar cerita perjalananmu”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang.

Ketika malam telah sudah larut bergelayut, suasana di pendapa Pasanggrahan keluarga Mahesa Amping masih saja terlihat dipenuhi suara kegembiraan. Terdengar Putu Risang bercerita semua yang pernah dirasa dan ditemui di perjalanan tugas pertamanya menjadi seorang utusan rahasia Raden Wijaya. Namun mengenai kitab pusaka pertapa Gunung Wilis telah dilewatkan oleh Putu Risang.

“Pada suatu saat, aku akan bercerita kepada Tuanku Senapati Mahesa Amping”, berkata Putu Risang dalam hati berjanji untuk bercerita kepada gurunya sendiri Mahesa Amping tentang sebuah ilmu rahasia yang tidak sengaja didapat lewat Ki Kumbara didalam sebuah goa.

Dan keesokan harinya, Mahesa Amping sudah membawa Putu Risang menghadap Raden Wijaya. Bukan main gembiranya Raden Wijaya mendapat berita bahwa pesannya telah sampai langsung kepada Ratu Turuk Bali.

“Apapun keputusannya, aku sudah merasa tidak berdosa lagi sebagai seorang kemenakan”, berkata Raden Wijaya sambil menarik nafas panjang seperti tengah melihat sendiri wajah kegundahan Ratu Turuk Bali yang dapat dipahami memang sangat sulit berada dan berdiri di dua buah kubu yang sama-sama dicintainya, antara suami dan keluarganya. Antara pengabdian dan ketulusan cinta kasih keluarga yang pernah membesarkannya.

“kami bermaksud hendak ke tanah lapang melihat kesiapan pasukan Ki Sandikala”, berkata Mahesa  Amping kepada Raden Wijaya memupus lamunannya tentang Ratu Turuk Bali.

“Tadinya aku akan mengajak dirimu bersama ke Benteng Tanah Ujung Galuh membicarakan beberapa kesepakatan antara kita dan Panglima besar pasukan Mongol”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping yang ditangkap oleh Putu Risang bahwa ternyata armada besar Bangsa Mongol itu sudah tiba di Bandar Tanah Ujung Galuh.

Tapi Putu Risang tidak bertanya dan berkata apapun tentang pasukan Mongol itu, dia dan Mahesa Amping pagi itu hanya bicara mengenai tugasnya, begitulah arah pikiran Putu Risang.

Demikianlah, Mahesa Amping bersama Putu Risang  telah berjalan menuju tanah lapang melihat Ki Sandikala tengah menempa sebuah pasukan khusus, sebuah pasukan cadangan.

Ternyata di tanah lapang Ki Sandikala tidak sendiri mengawasi pasukannya yang tengah berlatih penuh semangat. Di tanah lapang itu mereka juga dapat menemui Menak Koncar, Menak Jingga serta Putut Prastawa ikut membantu Ki Sandikala.

Ternyata mata Putu Risang juga melihat seorang gadis ada bersama mereka.

Siapa lagi kalau bukan Endang Trinil?

Ketika Mahesa Amping tengah bercakap-cakap bersama Ki Sandikala, terlihat Endang Trinil datang mendekati Putu Risang yang tengah berdiri seorang diri.

“Kapan Kakang Putu Risang datang?”, bertanya Endang Trinil kepada Putu Risang ketika sudah dekat.

“Kemarin malam”, berkata Putu Risang singkat dengan jantung terasa berdebar kencang, seperti ingin lari pergi menjauh.

“Aku bosan berada di tanah lapang ini, apakah kakang bersedia mengantar aku ke Bandar Tanah Ujung Galuh

?”, berkata Endang Trinil kepada Putu Risang tidak mengetahui perasaan apa yang diderita didalam jantung anak muda itu.

“Aku bersedia”, berkata Putu Risang sambil menganggukkan kepalanya, sementara didalam pikirannya telah terjadi peperangan antara sebuah kegembiraan hati dan rasa kecut jalan bersama seorang gadis, seorang Endang Trinil.

Bukan main senangnya hati Endang Trinil mendengar kesediaan Putu Risang itu.

Terlihat Endang Trinil tengah menghampiri Ki Sandikala untuk meminta ijin darinya melihat-lihat suasana di Bandar Tanah Ujung Galuh.

“Pamanku mengijinkannya”, berkata Endang Trinil kepada Putu Risang penuh kegembiraan.

Ketika mereka akan berangkat, terlihat Mahesa Amping dan Ki Sandikala melambaikan tangan ke arah mereka sebagai tanda merestui dan berhati-hati selama di Tanah Ujung Galuh.

Demikianlah kedua muda-mudi itu telah berjalan beriring ke arah Bandar Tanah Ujung Galuh.

Dan kecanggungan demi kecanggungan seakan terus terkikis di hati Putu Risang lewat canda ceria Endang Trinil. Dan Putu Risang sudah dapat menapakkan kakinya di bumi, tidak terasa mengapung lagi. Dan setiap kata tidak terbata-bata lagi, tapi lancar seperti pena sang penyair dalam pengembaraan cintanya.

Ketika mereka tiba di Padukuhan Ujung Galuh, terlihat beberapa prajurit bersama para pemuda di sebuah gardu ronda jaga.

“Paman Sandikala mengatakan kepadaku bahwa prajurit asing yang saat ini singgah di bandar Tanah Ujung Galuh adalah orang-orang kasar, sering berbuat onar”, berkata Endang Trinil kepada Putu Risang.

“Mungkin itulah sebabnya, Tuanku Senapati Raden Wijaya telah menempatkan beberapa prajuritnya untuk berjaga-jaga di Padukuhan Ujung Galuh”, berkata Putu Risang menanggapi perkataan Endang Trinil.

“Tuanku Senapati Raden Wijaya mungkin tidak ingin terjadi hal yang dapat menyengsarakan para penduduk disini”, berkata kembali Endang Trinil.

“hari ini Tuanku Senapati Raden Wijaya akan melakukan pembicaraan resmi dengan panglima besar pasukan asing itu”, berkata Putu Risang

“Pastinya sebuah kesepakatan bersama untuk menghadapi penguasa Kotaraja Kediri”, berkata Endang Trinil menambahkan.

“Sepertinya kamu tahu betul semua kejadian diatas Bumi Majapahit ini”, berkata Putu Risang kepada Endang Trinil.

“Aku sering menguping pembicaraan pamanku”, berkata Endang Trinil tersenyum sambil menutup bibirnya dengan sebuah tangannya.

“Manisnya senyum itu”, berkata Putu Risang dalam hati sambil terus berjalan diatas tanah keras jalan padukuhan menuju Bandar Tanah Ujung Galuh.

Akhirnya mereka telah sampai di Bandar Tanah Ujung Galuh. Dari sebuah dermaga kayu mereka berdiri telah melihat sekitar tiga belas perahu asing yang sangat besar. Di tepi pantai kearah muara Kalimas mereka juga melihat begitu banyak barak-barak para prajurit asing.

Terlihat juga di sepanjang jalan tepi bandar Ujung Galuh, ada beberapa prajurit asing yang tengah berjalan dan duduk-duduk berkumpul didepan beberapa kedai. Suasana Bandar Ujung Galuh itu menjadi begitu ramai.

“Duhai anak manis, pasti kamu orang baru disini, karena beberapa malam aku tidak pernah melihat wajahmu. Tunjukkan padaku induk semangmu, agar aku bisa mampir nanti malam”, berkata seorang prajurit asing yang tiba-tiba saja berhenti didekat Endang Trinil dan Putu Risang. Bersamanya ada tiga orang prajurit asing lagi. Dari mulut mereka tercium aroma yang sangat menyengat, aroma minuman keras.

Semula Putu Risang hendak menarik tangan Endang Trinil mengajaknya pergi menjauh dari orang-orang asing itu, tapi bukan main terperanjatnya Putu Risang melihat sikap Endang Trinil jauh diluar perkiraannya.

Putu Risang melihat Endang Trinil tersenyum sambil menutup sedikit bibir kecilnya.

“Mengapa harus menunggu nanti malam ?, terlalu lama”, berkata Endang Trinil dengan senyum sangat genit sekali.

Keempat orang asing itu seperti mendapatkan gayung bersambut mendengar ucapan Endang Trinil.  Maka tanpa berkata lagi seorang yang pertama menggoda itu sudah langsung menghampiri Endang Trinil.

“Mari jalan-jalan bersamaku”, berkata orang asing itu sambil tangannya sudah mencengkeram sebelah tangan mungil Endang Trinil.

Bukan main terperanjatnya Putu Risang melihat apa yang dilakukan Endang Trinil kepada orang asing itu.

Putu Risang melihat tangan mungil Endang Trinil dengan begitu cepat berbalik mencengkeram  pergelangan tangan orang asing yang besar dan kuat itu. Dan dengan sebuah hentakan, Endang Trinil telah menarik tangannya membuat orang asing itu terhuyung kedepan. Tidak hanya itu, sebuah kaki mungil Endang Trinil terlihat mengganjal sebuah kaki orang asing yang tengah terhuyung kedepan, maka akibatnya sangat parah sekali

!!

Jeburrrrrr !!!!

Putu Risang melihat orang asing itu terhuyung dan terlempar di ujung tepi dermaga kayu, langsung tercebur ke air laut yang asin.

“Siapa lagi yang berani mengajakku jalan-jalan ?”, berkata Endang Trinil masih dengan senyum manjanya kepada ketiga orang asing lainnya.

Ketiga orang asing itu melihat dengan begitu mudahnya Endang Trinil menjatuhkan kawannya. Mereka adalah para prajurit Mongol yang biasa berhadapan dengan banyak bahaya, tapi kali ini dihadapan mereka adalah seorang gadis manis !!.

“Aku akan mengajakmu dengan paksa”, berkata seorang yang sudah menjadi sangat penasaran, menganggap apa yang diperbuat oleh Endang Trinil adalah sebuah kebetulan.

“Aku tidak suka dipaksa”, berkata Endang Trinil dengan senyum manisnya bertolak pinggang.

Bukan main kagetnya orang itu ketika kedua tangannya hendak menangkap tubuh Endang Trinil, maka terlihat Endang Trinil malah maju dengan punggung merendah melintang masuk ke tubuh orang asing yang berperut tambur.

Maka terlihat tubuh orang asing itu begitu ringan terangkat oleh tubuh mungil Endang Trinil.

Mau tahu kejadian selanjutnya ??

Dengan mudahnya pula Endang Trinil melempar tubuh orang asing itu seperti layaknya seorang buruh panggul melempar sekarung beras besar.

Jeburrrrrr !!!

Dan orang asing itu telah jatuh masuk kedalam air laut tidak jauh dari tepi dermaga kayu.

“Siapa lagi yang masih ada keinginan untuk mengajakku jalan-jalan ?”, berkata kembali Endang Trinil masih dengan senyum manisnya dihadapan kedua orang asing yang masih berdiri mematung merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tapi belum lagi kedua orang asing itu melakukan apapun, terlihat Putu Risang dengan kedua tangan merangkap didepan dada berkata kepada keduanya dengan bahasa yang santun.

“maafkan bila kawanku ini telah menyusahkan kedua kawanmu, biarkanlah kami pergi”, berkata Putu Risang kepada kedua asing itu.

Tapi ternyata kedua orang asing itu adalah para prajurit yang sangat mengutamakan kesetiaan kawan, mereka tidak melihat lagi bahwa Endang Trinil hanya seorang gadis. Dan mereka ingin sekali membuat sebuah pelajaran, ingin membuat sebuah perhitungan bahwa prajurit Mongol bukan orang sembarangan yang dengan begitu mudahnya dipermalukan. “Minggir !!”, berkata seorang diantaranya sambil mencengkeram tangannya diatas bahu Putu Risang

“Haduh..!!, berkata Putu Risang seperti orang meringis menahan rasa sakit.

Ternyata Putu Risang hanya berpura-pura sakit, sementara kedua tangannya telah berada diatas tangan orang itu. Dan dengan sedikit gerakan yang dilambari sedikit tenaga cadangan telah menarik tangan itu. Sebuah gerakan yang sederhana, tapi dirasakan oleh orang asing itu seperti sebuah tangan yang kuat telah menarik seluruh tubuhnya terhuyung terlempar masuk kedalam air laut.

Jeburrrrrrr !!!!

Kembali ada sebuah tubuh yang tercebur di pinggir dermaga kayu itu.

Dan orang keempat dari prajurit asing itu tidak ingin nasibnya sama dengan ketiga kawannya, terlihat dengan cepat sudah melepas pedang panjangnya, sebuah pedang yang tidak hanya panjang, juga sangat besar dibandingkan dengan pedang yang ada di Jawadwipa saat itu.

Namun belum lagi tangan itu mengayunkan pedang besarnya mengarah ke tubuh Putu Risang, sebuah bentakan yang keras telah membuat semua mata memandang kearah suara itu.

“hentikan !!!”, terdengar suara yang begitu keras, berat dan berwibawa.

Nampaknya Prajurit itu mengenal betul siapa pemilik suara itu, seorang prajurit perwira dengan rambut lurus hitam dibiarkan jatuh terurai diantara bahunya menambah keangkeran sikapnya. Tanpa perintah apapun prajurit itu sudah langsung menyarungkan kembali pedang besarnya dan sambil membungkuk penuh rasa takut berjalan pergi diikuti oleh ketiga kawannya yang sudah naik ke darat, masih dengan pakaian yang basah serta wajah kuyu berjalan membungkuk melewati prajurit perwira itu.

“Tuan Magucin”, berkata Endang Trinil penuh hormat menyapa perwira itu yang memang sudah dikenalnya pernah bersama seiring sejalan bersama keluarga Ki Sandikala ketika dalam perjalanan mereka dari Lamajang menuju bumi Majapahit.

“Terima kasih untuk tidak mencelakai prajurit kami”, berkata Magucin yang juga masih ingat kepada Endang Trinil.

“Perkenalkan, ini kawanku”, berkata Endang Trinil memperkenalkan Putu Risang kepada Magucin.

“Pemandangan di Bandar Tanah Ujung Galuh ini memang indah”, berkata Magucin dengan ramah.

“Sayangnya ada empat burung gagak merusak suasana yang indah ini”, berkata Endang Trinil yang dibalas tawa oleh Magucin yang mengerti arah perkataan Endang Trinil.

Akhirnya Endang Trinil dan Putu Risang pamit diri kepada Magucin untuk kembali ke Bumi Majapahit,

“Sampaikan salamku kepada Ki Sandikala dan keluarganya”, berkata Magucin ketika Endang Trinil dan Putu Risang sudah berjalan belum begitu jauh.

“Akan kusampaikan salamnya”, berkata Endang Trinil kepada Magucin.

Demikianlah, Endang Trinil dan Putu Risang sudah berjalan meninggalkan arah Bandar Tanah Ujung Galuh menuju Bumi Majapahit. Dan bunga-bunga kuning ilalang yang tengah mekar disaat menjelang sore itu seperti iri melihat muda-mudi itu berjalan beriring dipenuhi canda ceria, penuh kegembiraan.

“Terima kasih telah mengantar kemenakanku yang nakal ini”, berkata Ki Sandikala ketika Endang Trinil dan Putu Risang telah kembali di tanah lapang. Mereka masih melihat orang-orang yang masih terus berlatih meski hari sudah berada di penghujung senja. Mereka juga sempat melihat Menak Koncar, Menak Jingga dan Putut Prastawa tengah memberikan beberapa petunjuk kepada beberapa orang.

“Pekan depan disaat hari pasar, aku memintanya untuk mengantarku ke Padukuhan Maja”, berkata Endang Trinil kepada Ki Sandikala.

“Pasti kamu memintanya dengan cara setengah memaksa”, berkata Ki Sandikala yang disambut wajah manja Endang Trinil. Sementara Putu Risang nampak sedikit tersenyum melihat keakraban paman dan kemenakannya itu.

Akhirnya Putu Risang pamit diri kepada Endang Trinil dan Ki Sandikala untuk kembali ke Pasanggrahan Mahesa Amping.

Ketika Putu Risang sudah memasuki halaman muka Pasanggrahan Mahesa Amping, di pendapa sudah ada Nyi Nariratih seorang diri.

“Bukankah Kamu keluar bersama Tuan Senapati ?”, bertanya Nyi Nariratih kepada Putu Risang.

Putu Risang pun bercerita bahwa dirinya berpisah di tanah lapang dengan Mahesa Amping. Juga bercerita bersama Endang Trinil telah melihat-lihat keadaan Bandar Tanah Ujung Galuh.

“Setahuku Tuanku Raden Wijaya tadi pagi mengajak Tuan Senapati bersama menerima tamu dari pasukan asing di Benteng Bandar Tanah Ujung Galuh”, berkata Putu Risang memberi Penjelasan.

“Dimana Pendeta Gunakara ?”, bertanya Putu Risang yang tidak melihat keberadaan Pendeta Gunakara.

“Sejak siang Pendeta Gunakara mengajak anak-anak, pasti disekitar tepi hutan Maja”, berkata Nyi Ratih kepada Putu Risang.

Putu Risang tidak bertanya lagi, pikirannya langsung terbang ke sebuah tepi hutan membayangkan tiga lelaki kecil, Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara tengah berlatih bersama Pendeta Gunakara.

Dan tidak terasa senja pun sudah merayap di ujung tepian bumi bermaksud untuk pergi sementara waktu untuk datang kembali keesokan harinya.

Dan suasana pendapa Pasanggrahan Mahesa Amping telah menjadi ramai manakala tiga anak kecil, Gajahmada, Adityawarman dan Jayanagara datang bersama Pendeta Gunakara.

Sementara itu hari diatas pasanggrahan Mahesa Amping sudah mulai menjadi gelap malam, terlihat Putu Risang dan Pendeta Gunakara telah berada diatas pendapa itu.

Akhirnya tidak lama berselang terlihat Mahesa Amping telah memasuki halaman muka Pasanggrahan. Setelah bersih-bersih diri, Mahesa Amping pun langsung bergabung di pendapa Pasanggrahannya.

“Hari ini aku bersama Raden Wijaya telah melakukan perundingan dengan Panglima besar pasukan Mongol”, berkata Mahesa Amping kepada Putu Risang dan Pendeta Gunakara.

“Aku yakin bahwa Tuanku Raden Wijaya adalah seorang perunding yang hebat”, berkata pendeta Gunakara.

“Tuanku Raden Wijaya telah menerima sebuah kesepakatan bahwa penyerangan ke Kotaraja Kediri dibagi dalam dua pasukan, pasukan pertama lewat jalan darat dipimpin dan dikendalikan oleh Tuanku Raden Wijaya. Sementara pasukan lainnya akan menyerang lewat sungai dipimpin langsung oleh Panglima besar mereka sendiri”, berkata Mahesa Amping bercerita tentang beberapa hasil perundingan mereka bersama Panglima besar pasukan Mongol yang saat ini sudah berada di bandar Tanah Ujung Galuh.

“Kapan penyerangan itu dilakukan ?”, bertanya Pendeta Gunakara kepada Mahesa Amping.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar