Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 13

MENDENGAR perintah pimpinannya itu, segera semua prajurit yang tersisa itu langsung melempar pedang di genggamannya ke tanah.

“Perintahkan kepada semua anak buahmu naik ke atas kudanya kembali ke Kotaraja”, berkata kembali Putu Risang dengan ujung pedang masih menempel di kulit leher pemimpin prajurit itu.

Maka tanpa perintah kedua kalinya dari Putu Risang, Pemimpin prajurit itu telah memerintahkan kepada anak buahnya sebagaimana yang dikatakan oleh Putu Risang.

Penuh keraguan yang sangat para prajurit itu terlihat sudah berada diatas punggung kudanya dan segera pergi meninggalkan Putu Risang dan pimpinannya.

“Sedikit bergerak pedang ini sudah akan menembus batang lehermu”, berkata Putu Risang dengan wajah dan suara penuh ancaman.

“Kasihanilah aku”, berkata pemimpin itu dengan wajah penuh iba harap dan takut yang sangat tentunya.

Melihat wajah pemimpin prajurit itu yang begitu sangat mengiba berharap belas kasih dari dirinya membuat Putu Risang tidak tega hati lagi.

“Pergilah”, berkata Putu Risang kepada pemimpin prajurit itu.

Mendengar perkataan Putu Risang, pemimpin prajurit itu seperti mendapatkan kembali selembar nyawanya yang dipikir akan lepas dari tubuhnya.

“Terima kasih, terima kasih”, berkata pemimpin prajurit itu membungkuk-bungkuk menjauhi ujung pedang dari kulit batang lehernya.

Terlihat Putu Risang tersenyum sendiri melihat debu mengepul di belakang kuda pemimpin prajurit itu yang sudah berlari menjauh kembali ke Kotaraja Kediri.

Bulan masih terlihat terpotong.

Langit malam menggelantung memayungi bumi senyap sepi, hanya dengung suara malam yang terus terdengar mengisi gelap pekat sebuah hutan berbukit. Terlihat seorang pemuda masih terus berjalan menuntun seekor kuda.

Ketika pemuda itu berada diatas sebuah tanah lapang datar diantara jalan mendaki, sedikit sinar bulan menerangi wajah pemuda itu yang ternyata adalah Putu Risang.

Dengan terpaksa Putu Risang memilih jalan melambung menghindari jalan yang biasa dilalui oleh banyak orang, memilih jalan melintasi sebuah bukit dan hutan agar para prajurit Kediri yang diyakini akan kembali mengejarnya tidak akan dapat mengikutinya.

Setelah merasa sudah melewati perjalanan yang cukup jauh, barulah Putu Risang berniat untuk beristirahat sejenak.

Terlihat Putu Risang telah bersandar di sebuah batu besar sedikit terhindar dari terpaan angin dingin malam diatas bukit berhutan itu. Perlahan tapi pasti, warna langit berangsur-angsur berubah warna sedikit memerah dipancari sumber cahaya kuning keemasan dari ujung timur bumi, sang fajar memang baru terbangun mengintip diujung lengkung langit timur.

Perlahan terdengar suara ayam hutan saup di kejauhan saling bersahutan.

Dan Putu Risang terlihat mulai menggeliat membuka matanya.

Namun pendengarannya yang sudah terlatih seperti mendengar beberapa suara.

Terlihat Putu Risang dengan sigapnya bersembunyi di sebuah sela-sela batu, sementara kudanya sudah diikat di sebuah tempat yang tersembunyi.

“Jejaknya menuju ke arah ini”, berkata seseorang yang berjalan nampak paling muka diikuti beberapa orang yang mulai terlihat muncul dari jalan yang menurun.

“Para prajurit Kediri”, berkata Putu Risang dalam hati mengintip dari sela-sela batu.

Sebagaimana yang dilihat oleh Putu Risang, ternyata sudah ada sekitar dua puluh orang prajurit Kediri tengah berjalan, di depan mereka nampaknya adalah seorang ahli pencari jejak.

Terlihat Putu Risang menarik nafas panjang manakala para prajurit Kediri itu melewati begitu saja tempatnya bersembunyi.

Maka ketika dianggapnya keadaan sudah menjadi aman, para prajurit itu sepertinya sudah pergi jauh, terlihat Putu Risang keluar dari persembunyiannya dan segera mengambil kudanya yang juga telah disembunyikan di sebuah tempat. Segera Putu Risang terlihat sudah menuntun kudanya berjalan sedikit menyimpang dari arah para prajurit Kediri masuk lebih dalam lagi kedalam hutan. Dan Putu Risang sudah masuk menghilang ditelan kelebatan hitam belantara hutan di keremangan warna pagi yang masih dingin itu.

Tidak terasa matahari pagi sudah mulai naik merayapi lengkung langit, beberapa cahayanya terlihat menembus di sela-sela daun dan dahan pepehonan di kedalaman hutan yang lebat itu.

Hari didalam hutan lebat itu sudah mulai terang pagi.

Jalan yang ditempuh oleh Putu Risang adalah jalan sedikit mendaki, sebuah bukit perawan.

Akhirnya, Putu Risang mulai sedikit lega ketika mulai melihat kerapatan pohon semakin berkurang, dan akhirnya telah tiba di ujung muka hutan itu berupa sebuah tanah datar dengan hanya satu dua buah pohon yang terlihat tumbuh diantara sela-sela batu cadas. 

Dan Putu Risang terlihat sudah berdiri diatas sebuah puncak bukit, ternyata ujung muka hutan itu berakhir di sebuah puncak bukit yang cukup tinggi dimana dihadapannya adalah sebuah jalan menurun yang cukup terjal berupa tanah cadas keras berbatu.

Dengan susah payah Putu Risang terlihat tengah menuruni jalan cadas menurun itu sambil menuntun kudanya. Terlihat Putu Risang berjalan dengan begitu berhati-hali karena terkadang harus berjalan di atas sejengkal tanah berbatu dimana dibawahnya terlihat jurang menganga. Tidak terbayangkan siapa pun yang terjatuh akan hancur terhempas.

Syukurlah, akhirnya Putu Risang dapat dengan selamat tiba di bawah jurang bersama kudanya.

Putu Risang sudah berada di sebuah tanah lapang berbatu yang tandus, nampaknya jarang sekali manusia yang pernah datang di tempat ini.

Sementara itu matahari pagi sudah berada sedikit miring mendekati puncak langit. Sinar cahaya pagi terasa menyengat tubuh.

Putu Risang diatas punggung kudanya melangkah perlahan sudah cukup jauh menyisir celah bukit itu mencoba mencari arah jalan pulang.

Arah timur matahari.

Begitulah Putu Risang mencari arah jalan kembali ke Bumi Majapahit.

“Seekor kuda !!”, berteriak seseorang.

Entah dari mana, tiba-tiba saja muncul dihadapan Putu Risang empat orang yang berbadan tinggi besar.

Putu Risang seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya !!

Apa yang membuat Putu Risang seperti menemukan sesuatu yang aneh dihadapannya ??

Ternyata Putu Risang melihat keempat orang itu punya tubuh dan wajah yang nyaris begitu mirip keempatnya.

“Kembar empat”, berkata Putu Risang dalam hati sambil turun dari kudanya.

Dan keempat orang kembar itu sudah berjalan semakin dekat dengan Putu Risang.

“Menyingkir dari kudamu”, berkata salah seorang diantaranya. Tiba-tiba salah satu dari keempat orang itu telah mencengkeram tangan Putu Risang.

Bukan main cengkeraman tangan orang itu seperti menjepit pergelangan tangan Putu Risang.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Putu Risang adalah seorang pemuda yang kuat juga sudah terlatih menggunakan tenaga cadangannya.

Tapi dihadapan orang itu Putu Risang tidak bisa berbuat apa-apa, meski sudah mengerahkan tenaga cadangannya utuh sepenuhnya, tetap saja cengkeraman itu tidak dapat dilepaskannya. Tenaga orang itu memang begitu perkasa seperti terhimpun dari lima ekor kuda yang kuat.

Dan seperti melepas ranting kering saja layaknya, tubuh Putu Risang dilempar begitu saja langsung terpelanting jauh menimpa sebuah batu cadas besar.

Buk !!

Suara dari tubuh Putu Risang yang membentur batu cadas, dan terlihat Putu Risang meringis menahan rasa sakit yang sangat disekitar punggung belakangnya.

Masih dalam keadaan sakit yang sangat, Putu Risang seperti ingin muntah menyaksikan apa yang dilihat dihadapannya.

Dengan mata kepalanya sendiri Putu Risang melihat keempat orang itu masing-masing telah memegang satu kaki kuda.

Dan, Brettt !!!!

Dengan sebuah hentakan kaki kuda sampai ke pangkal pahanya itu telah lepas dari badannya, darah kuda berceceran mengucur deras.

Dan yang menjijikkan bagi Putu Risang bahwa keempat orang kembar itu dengan lahapnya mengunyah daging kuda itu mentah-mentah.

“Manusia liar”, berkata Putu Risang dalam hati dengan mata terbuka menyaksikan keempat orang itu menghabiskan daging kaki kuda itu.

Sadarlah Putu Risang telah berhadapan  dengan keempat orang liar yang sangat sakti.

Sadarlah Putu Risang bahwa dirinya berhadapan dengan empat orang gila, terlihat dari bola mata mereka yang terlihat liar.

Dan terasa bergidik bulu kuduk Putu Risang manakala mata keempat orang itu tertuju kepadanya.

“Darah manis, darah manis”, berkata berbarengan keempat orang itu sambil menunjuk ke arah Putu Risang.

Namun Putu Risang bukan seorang yang lemah, dengan menguatkan dirinya yang masih merasakan sakit di belakang punggungnya telah memaksakan dirinya untuk berdiri, siap menghadapi apapun yang terjadi.

Terlihat Putu Risang sudah melangkah lebih kedepan dengan sepasang kaki merenggang sedikit siap menghadapi keempat orang kembar itu.

Bersamaan dengan itu pula keempat orang kembar itu juga berjalan melangkah mendekati Putu Risang.

Namun apa yang terjadi selanjutnya ?

Keempat orang itu seperti terbang melesat begitu cepatnya diluar perhitungan Putu Risang sendiri. Dalam waktu yang begitu cepat tangan dan kaki Putu Risang sudah berada didalam genggaman tangan mereka. Dan Putu Risang benar-benar seperti dicengkeram empat pasang tangan yang begitu kuat, tak kuasa dirinya meronta sedikitpun.

Putu Risang sudah pasrah, terbayang dirinya akan terpecah empat sebagaimana kuda kesayangannya.

“Pecah empat !!”, hanya itu yang ada dalam pikiran Putu Risang saat itu.

Terlihat Putu Risang telah pasrah diri, merasa selembar nyawanya akan terbang.

Dan Putu Risang masih dapat merasakan empat pasang tangan telah mencengkeram kaki dan tangannya semakin kuat seperti tengah bersiap menarik bagian tubuhnya.

Putu Risang telah memejamkan matanya.

Namun baru saja Putu Risang memejamkan matanya bersiap menahan rasa sakit yang sangat membayangkan empat bagian kaki dan tangannya lepas dari badannya, terdengar sebuah bentakan memekakkan gendang telinganya.

“Lepaskan !!”, terdengar suara yang keras melengking. Terkejut Putu Risang membuka matanya.

Baru saja Putu Risang membuka matanya dirasakan keempat tangan orang kembar itu telah mengurangi cengkeramannya.

Bukk !!!

Tubuh Putu Risang telah terlepas jatuh di tanah.

“Kalian bodoh, biarkan manusia itu tetap hidup agar kita setiap waktu dapat menikmati darah manisnya”, berkata seseorang tidak jauh dari mereka masih dengan suara melengking.

Dan dengan matanya Putu Risang dapat melihat siapa pemilik suara yang melengking itu.

Ternyata hanya seorang wanita tua !!

Putu Risang masih terbaring di tanah melihat keempat orang kembar itu mundur bersamaan sepertinya mereka begitu takut dengan wanita tua itu.

Putu Risang masih melihat wanita tua itu mendekat menghampirinya. Wajahnya terlihat telah dipenuhi banyak kerutan dengan rambut putih seluruhnya berurai begitu saja dan panjang hingga sampai ke pinggang.

Dan matanya !!

Putu Risang melihat sorot sinar mata wanita tua itu  begitu tajam membuat siapapun yang memandangnya akan bergidik tidak berani lagi menatap langsung bola mata itu.

Dan sebagaimana gerakan keempat orang kembar itu, wanita tua itu seperti terbang melesat.

Tiba-tiba saja Putu Risang merasakan sebuah jari tangan dingin menyentuh tengkuknya.

Ternyata wanita tua itu telah melumpuhkan Putu Risang yang nyaris tidak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya.

Tapi diam-diam Putu Risang mencoba mengerahkan tenaga cadangannya, hawa murninya untuk menembus urat darah yang ditutup oleh wanita tua itu.

“Ternyata kamu punya sedikit hawa murni”, berkata wanita tua itu sambil sedikit tersenyum mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh Putu Risang.

Dan Putu Risang melihat senyum wanita itu begitu sangat menakutkan, sebuah senyum yang berasal dari seorang yang berhati dingin, seorang yang sangat begitu kejam tidak mempunyai sedikitpun rasa belas kasihan.

Dan tiba-tiba saja Putu Risang merasakan kedua pergelangan tangan dan kakinya diremas dengan begitu kerasnya.

Achhh !!

Suara rintihan itulah yang ingin dikeluarkan dari tenggorokan Putu Risang, tapi Putu Risang yang sudah dilumpuhkan sekujur tubuhnya itu juga tidak mampu bersuara apapun. Yang dirasakan Putu Risang adalah seluruh tenaga wadagnya begitu lemah, dan tenaga cadangannya seperti terkuras habis hilang.

“Bawa manusia ini ke dalam goa, jaga sampai tiba saatnya bulan purnama agar kita dapat berpesta menikmati manis darahnya”, berkata Wanita tua itu terdengar di telinga Putu Risang.

Dan Putu Risang seperti seonggok daging hewan buruan yang lemas tidak berdaya terlihat tengah diseret begitu saja oleh salah satu dari keempat orang kembar membawanya masuk kedalam sebuah goa yang tidak begitu jauh dari tempat awal pertama kali Putu Risang melihat mereka.

Ternyata mereka bertempat tinggal di sebuah goa.

Terlihat Putu Risang masih diseret masuk lebih dalam lagi ke sisi goa yang berujung buntu. Disitulah Putu Risang ditinggal tergeletak tidak berdaya seorang diri.

Meski tenaganya terasa hilang tak berdaya, Putu Risang masih mampu melihat keadaan suasana goa dimana dirinya seorang diri ditinggalkan.

Masih ada sedikit cahaya berasal dari muka goa membuat Putu Risang dapat melihat sekeliling dirinya.

Bergidik bulu kuduk Putu Risang melihat ada beberapa tulang belulang disekitarnya.

“Disinilah mereka membantai korbannya”, berkata Putu Risang dalam hati sambil membayangkan bahwa lambat atau cepat dirinya akan menjadi korban berikutnya.

“Ternyata petualanganku hanya sampai disini”, berkata kembali Putu Risang dalam hati masih dalam keadaan tergeletak tidak mampu menggerakkan sedikitpun anggota tubuhnya.

Dan akhirnya Putu Risang merasakan suasana goa itu menjadi semakin gelap gulita. Ternyata sumber cahaya diluar goa telah mulai mendekati waktu Sandikala. Matahari diluar goa sudah mulai hilang sembunyi di balik bumi. Dan akhirnya hari memang telah jatuh malam. Dan akhirnya mata Putu Risang sudah tidak mampu lagi melihat apapun.

Putu Risang memang sudah tidak melihat apapun, juga mendengar apapun. Anak muda itu tidak sadar memang telah tertidur dalam keadaan diri lumpuh seluruh urat syarafnya.

Sementara itu sang malam diluar goa seperti tengah menggulung sangkala lebih perlahan dari lari seekor  ciput sekalipun. Tidak terlihat bintang, tapi tidak juga tertanda hujan akan turun karena angin dingin begitu deras menggiring awan hitam.

Yang ada diatas langit hitam hanya sepotong bulan belum bulat sempurna. Dan akhirnya sang bulan terlalu lelah menjaga malam, perlahan sedikit demi sedikit seperti ciput berlari terjatuh diujung bibir bumi datar.

Pagi sudah hadir diatas bibir goa. Dan para penghuni goa itu sudah terlihat menggeliat terbangun, juga Putu Risang yang berada di ujung goa buntu.

Seni melumpuhkan urat syaraf wanita tua itu memang begitu hebat dan sangat kuat. Tapi seiring perjalanan waktu daya lumpuhnya semakin pudar. Terlihat Putu Risang sudah mulai mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya.

Putu Risang sudah mulai menangkap suara-suara para penghuni goa itu yang berada di ujung sebelah bibir goa, tapi tidak terlalu lama suara mereka telah hilang begitu saja dari pendengaran Putu Risang. Karena memang mereka telah keluar semuanya dari dalam goa. Tapi Putu Risang tidak dapat menduga-duga apa yang dilakukan para penghuni goa pagi itu diluar sana.

Terlihat Putu Risang perlahan bergerak menyandarkan tubuhnya ke dinding goa. Matanya kembali melihat tulang belulang manusia berserakan begitu saja di lantai goa  itu.

Mata Putu Risang mulai menyisir seluruh isi goa, tidak dilihat satu pun alat atau barang di sekitarnya kecuali lima buah mangkuk terbuat dari batu.

“Mangkuk tempat darah”, berkata Putu Risang dalam hati mengingat kembali ucapan wanita tua itu bahwa mereka akan mengadakan pesta minum darah.

Bergidik bulu roma Putu Risang manakala menyadari dirinya sendiri yang akan menjadi korban pesta minum darah itu.

Tapi untungnya Putu Risang adalah seorang pemuda yang tabah dan tidak segera menjadi begitu putus asa. Terlihat matanya masih terus menyisir setiap sisi ruangan goa sambil terus berpikir bagaimana caranya dapat lolos dari lubang jarum mara bahaya itu.

Dan tiba-tiba saja penglihatan Putu Risang menangkap seekor tikus yang tidak diketahui dari mana datangnya.

Putu Risang masih terus mengikuti langkah-langkah tikus itu yang berlari dari satu sisi pinggir goa ke beberapa tempat di sekitar ruangan goa, kadang terlihat tengah mengendus beberapa tulang, bahkan beberapa kali masuk kedalam beberapa mangkuk batu.

Cukup lama Putu Risang mengamati semua tingkah laku tikus kecil itu hingga akhirnya terlihat tikus itu masuk kedalam sebuah lubang di ujung seberang dimana Putu Risang duduk bersandar.

“Sebuah lubang”, berkata Putu Risang yang melihat dengan jelas bahwa tikus itu telah menghilang tidak datang kembali setelah memasuki lubang itu.

Putu Risang mencoba melihat ke arah ujung goa, tidak ada terlihat satu pun penghuni goa, dan Putu Risang meyakini bahwa mereka pasti masih berada tidak jauh dari mulut goa.

Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Putu Risang begitu keras keinginannya untuk mendekati lubang itu.

“Sedalam apa lubang ini”, berkata Putu Risang yang sudah berada dipinggir lubang itu melihat lingkaran sebuah lubang sebesar tubuh orang dewasa.

“Siapa tahu lubang ini sebuah jalan untuk lepas dari jangkauan mereka”, berkata Putu Risang dalam hati.

Maka tanpa berpikir panjang lagi terlihat Putu Risang sudah langsung menuruni lubang itu.

Rongga lubang itu hanya sebesar tubuh orang dewasa, hanya dengan melebarkan lututnya Putu Risang dapat terus menuruni lubang itu.

Cukup lama Putu Risang menuruni lubang itu hanya dengan menggunakan lututnya yang ditekan ke pinggir sisi lubang menahan dirinya merosot jatuh ke bawah yang tidak diketahui seberapa jauh dasar dan tingginya lubang itu.

Hingga akhirnya Putu Risang mendapatkan rongga lubang itu semakin melebar, dan kaki Putu Risang yang direntangkan juga tidak mampu lagi menjangkaunya.

Lubang itu sangat gelap pekat, mata Putu Risang tidak dapat melihat dasar lubang itu. Sementara itu tenaga Putu Risang sebagaimana diketahui sudah dibuat cacat tidak lagi mempunyai tenaga cadangan, hanya dengan mengandalkan tenaga wadag yang punya daya ketahanan terbatas mencoba tetap bertahan di dalam lubang itu, menggelantung diantara kedua kakinya.

Putu Risang masih tetap bertahan bergelantung di dalam lubang hanya dengan mengandalkan ketahanan kedua kakinya. Terlihat peluh deras mengalir membasahi sekujur tubuh pemuda itu.

Cukup lama Putu Risang menggelantung di lubang itu dan tidak ada niatan untuk kembali naik keatas mulut lubang.

Dan Putu Risang merasakan tenaganya sudah semakin melemah, sementara dinding lubang terasa menjadi semakin licin.

Hingga akhirnya pemuda itu sudah tidak dapat lagi bertahan dari kelicinan dinding lubang itu.

Blesss !!!

Kaki dan tubuh Putu Risang telah terlepas merosot terjatuh meluncur diantara rongga dinding goa itu.

Tubuh Putu Risang masih saja terus meluncur, namun keberanian anak muda itu memang patut dibanggakan, tidak membiarkan matanya terpejam sedikit pun masih terus mencari jalan.

Putu Risang tidak mendapatkan apapun yang dapat digapai dengan tangannya, hingga akhirnya dirasakan tubuhnya terhempas diatas air.

Blummm !!!!

Putu Risang tercebur diatas air didasar lubang itu. Seluruh tubuhnya terlihat hilang didalam air itu.

Masih dalam kesadaran utuh, Putu Risang merasakan kakinya telah menyentuh dasar air itu, maka segera dihentakkan kakinya untuk dapat meluncur keatas permukaan air.

Ternyata air itu tidak begitu dalam meski juga tidak dikatakan sangat dangkal, akhirnya Putu Risang sudah dapat mencapai permukaan air.

Dengan mata terbuka Putu Risang mencoba menyapu pandangannya untuk dapat melihat sekeling dirinya. Dan Putu Risang dapat melihat suasana yang gelap mencoba membiasakan penglihatannya. Akhirnya masih dalam keadaan berenang terapung diatas permukaan air, mata Putu Risang sudah mulai terbiasa di kegelapan, sudah dapat melihat sekeliling dan menangkap arah tepian  yang terdekat.

Ternyata Putu Risang terjatuh diatas sebuah lingkaran kubangan mata air cukup lebar yang merupakan dasar lubang goa itu.

Tak terbayangkan bilasaja dasar lubang goa itu adalah sebuah batu cadas, akibatnya tubuh pemuda itu sudah pasti akan terhempas dengan keras, hancur !!

Terlihat pemuda itu sudah berada ditepi kubangan mata air langsung mengangkat tubuhnya keluar dari air.

“Kubangan mata air”, berkata Putu Risang sambil menarik nafas panjang merasa dirinya telah diselamatkan.

Namun naluri kewaspadaan pemuda itu terus terjaga, mencoba mengamati keadaan sekitarnya.

Putu Risang ternyata menyadari dirinya berada di sebuah goa yang cukup luas dengan sebuah kubangan mata air di tengahnya.

Putu Risang terus mengamati sekeliling setiap sudut goa itu.

Dan tiba-tiba saja matanya tertahan ke suatu tempat.

Bukan main terperanjatnya Putu Risang melihat sesuatu yang begitu aneh dalam pandangan matanya.

Apa gerangan yang dilihat oleh Putu Risang??

Putu Risang melihat seonggok tubuh kutung kedua tangan dan kakinya.

Dan yang lebih membuat dirinya terperanjat lagi bahwa manusia tanpa kaki dan tangan itu juga tengah memandangnya.

Dua pasang mata tengah beradu pandang.

“Jangan takut anak muda, aku juga manusia biasa sepertimu”, berkata pemilik tubuh itu kepada Putu Risang masih dalam keadaan berbaring.

Suara orang itu begitu ramah, menghilangkan rasa  seram di hati Putu Risang. Bahkan di hati anak muda itu telah tumbuh rasa kasihan. Terlihat Putu Risang telah berdiri berjalan kearah orang itu.

Dan Putu Risang telah duduk didekat orang itu. Melihat lebih jelas lagi keadaan orang itu yang ternyata seorang pria belum begitu tua. Rambutnya terlihat dilepas panjang dengan sedikit beruban. Wajahnya sendiri terlihat sangat bersih memiliki dua buah alis yang tebal sebagai pertanda seorang yang cerdas dan mempunyai kemauan yang keras.

“Pasti wanita berhati iblis itu yang telah memunahkan seluruh tenaga cadanganmu”, berkata orang itu langsung mengetahui keadaan diri Putu Risang sebagai tanda bahwa orang itu bukan orang sembarangan.

“Benar, aku tertangkap dan disekap didalam goa mereka”, berkata Putu Risang membenarkan perkataan orang itu.

“Hanya orang yang punya nyali besar saja yang berani terjun lewat sebuah lubang”, berkata orang itu sambil memandang kepada Putu Risang penuh kekaguman.

Entah bagaimana Putu Risang sudah langsung menyukai orang itu.

“Namaku Putu Risang”, berkata Putu Risang memperkenalkan dirinya.

“Orang memanggilku Kumbara”, berkata orang itu menyebut sebuah nama.

“Bagaimana Ki Kumbara bisa berada disini ?”, bertanya Putu Risang kepada orang itu yang menyebut dirinya bernama Kumbara.

“Ceritanya sangat panjang anak muda”, berkata Ki Kumbara sambil menarik nafas panjang. “Mari kita berbincang di sudut sana”, berkata Ki Kumbara menunjuk dengan kepalanya ke sebuah sudut goa, mungkin merasa kasihan melihat Putu Risang agak terlalu membungkukkan kepalanya ketika berbicara dengannya.

Terlihat Putu Risang mengerutkan keningnya menyaksikan orang itu sudah bergerak dengan cara bergelinding menuju ke sudut goa. Dan Putu Risang ikut berdiri melangkah menuju ke sudut goa.

Di sudut goa itu terlihat Ki Kumbara dengan mudahnya mengangkat badannya dan langsung bersandar di dinding sudut goa.

Ki Kumbara melempar senyumnya kearah Putu Risang yang tengah memandangnya sebagai orang ganjil, dan Ki Kumbara memakluminya tidak menjadi tersinggung.

“Sudah menjadi suratan takdir bahwa aku menjadi seperti ini”, berkata Ki Kumbara sambil menarik nafas panjang seperti ingin mengumpulkan ingatannya memulai sebuah cerita sampai dirinya terkurung didalam sebuah goa dibawah perut bumi itu.

Ki Kumbara pun memulai ceritanya dengan mengatakan bahwa ayahnya dan wanita tua itu adalah saudara seperguruan di sebuah Padepokan.

“Orang menyebut wanita tua itu dengan panggilan Nyi Pruti”, berkata Ki Kumbara menyebut nama wanita tua yang telah menyekap diri Putu Risang. “Dan keempat lelaki kembar bersamanya adalah para putranya”, berkata kembali Ki Kumbara.

Terlihat Ki Kumbara diam sejenak, matanya memandang kearah langit-langit diatas kubangan mata air sambil menarik nafas panjang. “Ayahku dan Nyi Pruti punya sifat buruk yang sama, punya kebiasaan mencuri barang milik orang lain, juga ilmu orang lain”, berkata Ki Kumbara memulai kembali ceritanya.

“Kebiasaan buruk itu lah yang membawa mereka pada suatu hari berangkat bersama ke Gunung Wilis, dimana mereka pernah mendapat berita di lereng gunung itu hidup seorang pertapa sakti yang memiliki sebuah kitab pusaka. Entah dengan kelicikan apa keduanya dapat membawa lari kitab pusaka milik pertapa itu berupa tujuh buah kulit rontal”, berkata Ki Kumbara bercerita berhenti sejenak sambil menarik nafas panjang seperti hendak menghimpun semua ingatannya.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka hingga akhirnya mereka berbagi kitab pusaka itu, Ayahku mendapat dua buah rontal, sementara Nyi Pruti membawa sisanya”, berkata kembali Ki Kumbara melanjutkan ceritanya. “Terakhir kuketahui bahwa yang dimiliki ayahku adalah rontal halaman pertama dan rontal halaman terakhir”, berkata kembali Ki Kumbara.

Terlihat Putu Risang masih begitu penuh perhatian menyimak cerita Ki Kumbara.

“Rupanya Nyi Pruti tidak sabaran langsung mempelajari isi dari rontal yang dibawanya. Terakhir kuketahui bahwa rontal itu berisi sebuah ajaran olah laku pernafasan menghimpun tenaga sakti, menghimpun tenaga cadangan didalam diri”, berkata Ki Kumbara melanjutkan ceritanya. “Itulah awal nasib buruk yang menyeret diriku terkurung disini”, berkata kembali Ki Kumbara.

“Sebuah cerita yang sangat menarik, lanjutkan Ki Kumbara”, berkata Putu Risang merasa sangat tertarik dengan cerita Ki Kumbara memintanya untuk melanjutkan ceritanya.

Terlihat Ki Kumbara tersenyum melihat raut wajah anak muda itu yang seperti orang tidak sabaran untuk mendengar cerita selanjutnya.

“Beruntung Nyi Pruti dan keempat putra kembarnya dapat menerapkan ilmu sakti itu, dalam waktu yang singkat hawa sakti mereka telah meningkat dengan pesat, tapi bersamaan dengan itu pula mereka mendapat sebuah penyakit yang aneh, merasa dirinya selalu dalam keadaan begitu sangat kehausan. Air tidak juga dapat melebur rasa dahaganya. Dan puncak rasa hausnya begitu sangat dirasa ketika saat malam bulan purnama”, berkata Ki Kumbara melanjutkan ceritanya. “Bersyukur Nyi Pruti punya keahlian ilmu pengobatan yang  mumpuni, berhasil menemukan penawar dari penyakit anehnya itu. Ada sebuah tanaman buah yang hidup satusatunya di sebuah tempat, di tempat dimana kamu bertemu dengan mereka”, berkata Ki Kumbara. “namun disaat bulan purnama, Nyi Pruti harus menambahnya dengan darah manusia”, berkata kembali Ki Kumbara.

“Seorang wanita berhati kejam”, berkata Putu Risang memotong cerita Ki Kumbara sambil membayangkan sudah berapa nyawa melayang ditangan Nyi Pruti.

Lagi-lagi Ki Kumbara tersenyum melihat raut wajah Putu Risang yang merasa tidak sabaran mendengar cerita selanjutnya dari bibir Ki Kumbara.

“Itulah sebabnya mereka tidak pernah jauh dari tanaman itu”, berkata Ki Kumbara.

Sementara itu Putu Risang sambil mendengar cerita Ki Kumbara, pikirannya jauh melayang disaat pertama kali bertemu dengan keempat putra Nyi Pruti. “Pantas tenaga sakti mereka begitu luar biasa”, berkata Putu Risang dalam hati.

“Namun akhirnya mereka bosan dan jenuh tinggal menetap ditempat terpencil itu, mereka berniat untuk merebut dua buah rontal milik ayahku yang  mereka yakini sebuah jalan kesempurnaan dari ilmu yang telah mereka miliki”, berkata Ki Kumbara melanjutkan.

“Apakah mereka berhasil merebutnya ?”, bertanya Putu Risang penuh penasaran.

Kali ini Ki Kumbara tidak melepas senyumnya melihat raut wajah Putu Risang. Terlihat wajahnya berubah menjadi begitu buram seperti menanggung sebuah kesedihan dan kepiluan hati yang sangat.

“Mereka telah membunuh ayahku”, berkata Ki Kumbara dengan suara sendat sambil berusaha mengendalikan perasaan hatinya.

Dan sejenak Ki Kumbara terdiam.

Sejenak pula suasana didalam goa itu menjadi begitu sunyi.

Terlihat Putu Risang tidak memaksa Ki Kumbara untuk melanjutkan ceritanya. Putu Risang dapat merasakan begitu pedih dan pilunya perasaan hati orang tua itu yang tengah mengingat kembali suasana saat menjelang kematian ayahnya sendiri. Seorang ayah yang nampaknya begitu sangat dicintainya itu.

Terlihat wajah Ki Kumbara sudah kembali jernih, nampaknya orang tua itu sudah dapat mengendalikan perasaannya sendiri.

“Untungnya sebelum tewas, ayahku telah menitipkan dua rontal itu kepadaku dan meminta aku pergi jauh. Tapi aku tidak mengindahkan perintah terakhir ayahku itu, bahkan aku sempat menempur mereka. Celakanya aku hampir tewas ditangan mereka hingga tertolong oleh sebuah kecerdikan yang tiba-tiba saja muncul di benakku ini”, berkata Ki Kumbara melanjutkan ceritanya, berhenti sejenak sambil melihat wajah Putu Risang yang terlihat semakin penasaran mendengar kelanjutan cerita Ki Kumbara yang sangat mendebarkan itu.

“Kecerdikan apa yang muncul di benak Ki Kumbara?”, bertanya Putu Risang tidak sabaran.

“Karena merasa tidak akan mungkin dapat mengalahkan mereka, maka didepan mata mereka telah kulumat kedua rontal itu hancur masuk kedalam perutku sendiri. Bukan main marahnya mereka, tapi tidak dapat berbuat apapun terhadapku. Akhirnya mereka membawaku ke tempatnya mencoba menyiksaku dengan berbagai cara”, berkata Ki Kumbara sambil menarik nafas panjang.

“Terakhir mereka telah menguntungi tangan dan kakiku ini”, berkata Ki Kumbara melanjutkan.

“Dan Ki Kumbara akhirnya punya pikiran yang sama sebagaimana aku, terjun ke lubang dan terkurung di goa ini”, berkata Putu Risang mencoba menebak akhir cerita Ki Kumbara.

“Kamu benar, pada saat itu aku berpikir bahwa satu iblis saja dunia sudah begitu rusuh, bagaimana bila ditambah dengan lima orang berhati iblis dapat memiliki kesempurnaan ilmunya. Dengan pikiran itulah aku nekat terjun ke lubang sebagaimana dirimu”, berkata Ki Kumbara membenarkan perkataan Putu Risang. “Coba tebak apa yang kutemui didalam goa ini”, bertanya Ki Kumbara kepada Putu Risang sambil tersenyum.

Putu Risang tidak menjawab apapun, karena dirinya memang tidak mampu menemukan jawaban pertanyaan Ki Kumbara. “Siapapun tidak akan menyangka bahwa aku menemukan lima buah rontal mengambang diatas kubangan mata air itu. Mungkin mereka merasa putus asa membuang lima rontal potongan dari tujuh rontal ilmu sakti ke dalam lubang”, berkata Ki Kumbara menjawab pertanyaannya sendiri.

“Ki Kumbara menemukan kelima rontal itu?”, berkata Putu Risang

“Benar, bahkan aku telah melihat seluruh rontal kitab pusaka pertapa sakti dari Gunung Wilis itu, karena sebelum dua rontal pemberian ayahku hancur masuk kedalam perutku, aku sudah sempat melihat dan memahatnya didalam ingatanku”, berkata Ki Kumbara penuh kegembiraan dapat mempertahankan dua rontal pecahan kitab ilmu sakti tidak jatuh ke tangan Nyi Pruti dan keempat putra kembarnya itu.

“Apakah Ki Kumbara akhirnya dapat mempelajari dan menerapkan ilmu kitab sakti itu?”, bertanya Putu Risang mencoba menebak akhir cerita Ki Kumbara.

Tapi Ki Kumbara tidak segera menjawab pertanyaan Putu Risang, hanya bibirnya saja yang terlihat tersenyum hambar.

“Ilmu kitab pusaka pertapa gunung Wilis itu hanya untuk mereka yang memiliki kesempurnaan anggota tubuh”, berkata Ki Kumbara perlahan.

Dan Putu Risang sepertinya mengerti apa yang dirasakan oleh orang tua di dekatnya itu, sebuah kegundahan hati dan ke-tidak percayaan diri memiliki cacat seperti dirinya. Itulah sebabnya Putu Risang ikut berdiam diri, tidak lagi bertanya apapun.

Sejenak suasana di dalam goa itu kembali menjadi sunyi, tidak terdengar suara apapun.

“Ternyata takdir telah membawamu kemari, kamulah anak muda yang paling tepat memiliki ilmu sakti itu”, berkata Ki Kumbara memecahkan keheningan suasana di dalam goa.

Putu Risang melihat kembali kejernihan wajah orang tua itu. “Aku?, kenapa harus aku?”, bertanya Putu Risang tidak mengerti mengapa dirinya yang dikatakan paling cocok untuk memiliki ilmu kitab sakti itu.

“Aku telah mempelajari seluruh isi kitab itu, akhirnya aku dapat mengerti mengapa Nyi Pruti dan keempat putranya setelah menerapkan ilmu ini merasakan rasa dahaga yang sangat, ini karena mereka tidak membaca peringatan yang ada di rontal pertama dari kitab ini yang mengingatkan bahwa untuk memulai olah laku ilmu ini harus mengosongkan dulu hawa murni mereka sebagaimana seorang bayi yang tidak punya apapun. Dan Nyi Pruti telah mengosongkan dirimu dengan menciderai simpul syarafmu menjadikan dirimu saat ini seperti layaknya seorang bayi”, berkata Ki Kumbara menjelaskan.

Sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu olah laku pernafasan, Putu Risang dapat menangkap penjabaran dari Ki Kumbara.

“Sebenarnya Nyi Pruti dapat keluar dari penderitaannya bila saja dapat melihat isi dari rontal penutup, sebuah cara laku menutup keliaran dua buah hawa sakti di dalam diri mereka”, berkata Ki Kumbara menambahkan.

“Selama mereka menderita selama itu pula masih terus bertambah manusia yang akan menjadi korban kebiadaban mereka”, berkata Putu Risang membayangkan kekejaman Nyi Pruti dan keempat putranya itu.

“Ketika aku melihatmu, aku seperti menemukan sebuah cahaya di kegelapan. Aku begitu yakin bahwa dirimu adalah orang baik. Kusandarkan harapanku kepadamu, menghentikan kebiadapan Nyi Pruti dan putranya.

Putu Risang baru dapat mengerti bahwa Ki Kumbara telah bermaksud memberikan isi kitab itu kepadanya.

“Terima kasih atas kepercayaan ini, semoga aku dapat menjaganya diatas bahuku dan dapat menjunjungnya sebagaimana menjunjung rambutku. Kesetiaan dan kehormatan semoga terus kupegang harapanmu”, berkata Putu Risang sambil merangkapkan kedua tangannya di dada sebagai sebuah penghormatan atas kepercayaan dan harapan dari Ki Kumbara.

“Ambilkan untukku kelima rontal di sebarang sana untukku”, berkata Ki Kumbara

Terlihat Putu Risang sudah berjalan ke seberang goa dengan cara mengelilingi setengah pinggir tepi kubangan air. Di seberang sana memang tergeletak lima buah kulit rontal.

Dan Putu Risang telah membawanya untuk Ki Kumbara.

“Pahatlah kelima rontal dalam ingatanmu”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang.

Segera Putu Risang mengamati dan mempelajari kelima rontal itu yang ternyata hanya berupa lima buah lukisan kasar sikap laku orang yang berbeda.

Pada lukisan rontal pertama, Putu Risang melihat lukisan sebuah laku orang berdiri dengan kedua tangannya menutup diatas pusarnya.

Rontal ke dua, Putu Risang melihat sebuah laku orang tengah menunduk tegak lurus dada dan punggungnya membuat sebuah siku dan kedua tangannya bertumpu diatas setiap pangkal lututnya.

Rontal ketiga nampaknya lukisan yang sama dengan rontal pertama, hanya kedua tangannya jatuh di sisi tubuhnya.

Rontal keempat, Putu Risang melihat lukisan orang yang tengah bersujud.

Pada rontal terakhir, Putu Risang melihat lukisan orang yang duduk bersimpuh diatas tumit kakinya. Telapak tangan kiri rapat diatas paha kaki kirinya, sementara tangan kanan diatas paha kanannya dengan jari telunjuk terlihat lurus menunjuk ke depan.

Beberapa kali Putu Risang membolak balikkan halaman demi halaman kelima rontal itu, berusaha memahatnya diatas ingatannya.

“Aku sudah memahatnya di dalam ingatanku”, berkata Putu Risang kepada Ki Kumbara setelah merasa dapat benar-benar menyimpan kelima rontal di dalam ingatannya.

“Perlihatkan kepadaku kelima gerakan di dalam rontal itu”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang memintanya melakukan gerakan sesuai yang ada di dalam lukisan kelima rontal itu.

Maka Putu Risang secara tertip melakukan satu persatu sesuai urutan dalam lima rontal itu, setiap gerakan dibarengi oleh anggukan kepala oleh Ki Kumbara  sebagai tanda bahwa Putu Risang telah melakukannya dengan benar.

“kamu telah melakukannya dengan benar, saatnya aku akan memberimu dua buah rontal awal dan akhir dari isi kitab pusaka ini”, berkata Ki Kumbara sambil tersenyum gembira terutama ketika melihat bahwa Putu Risang dapat melakukan kelima gerakan dengan baik dan benar, diam-diam mengagumi kecemerlangan dan kecerdasan Putu Risang.

“Tidak seperti kelima lontar ini, dua buah rontal awal dan akhir isi kitab ini berupa sebuah kalimat yang harus kita pahami bersama”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang.

Maka terlihat Ki Kumbara mengucapkan kalimat demi kalimat yang sudah dihapal dan dipahaminya terpahat dengan jelas di dalam ingatannya isi dari kedua kulit rontal yang pernah dilumatnya habis.

Terlihat Putu Risang menyimak kata demi kata semua yang diucapkan oleh Ki Kumbara.

“Coba kamu ulangi isi kalimat rontal pertama”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang meminta anak muda itu mengulang kembali dihadapannya isi dari kalimat rontal pertama.

“Tidak akan menyentuh apapun dari kitab ini kecuali dia yang bersih”, berkata Putu Risang di hadapan Ki Kumbara mengulangi kalimat yang ada di dalam rontal pertama.

“Ulangi kalimat pada rontal ke tujuh”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang.

“Tengoklah olehmu ke kiri dan kananmu, niscaya kamu selamat sejahtera”, berkata Putu Risang mengulangi isi dari rontal ketujuh.

“Bagus, nampaknya kamu sudah dapat menghapal dengan sempurna seluruh isi dari kitab pusaka ini. Akan lebih mudah bagi kita untuk dapat belajar dan memahaminya isi dari ketujuh rontal ini”, berkata Ki Kumbara terlihat penuh gembira mendapatkan Putu Risang yang dengan mudahnya menghapal semua isi ketujuh rontal itu dengan sempurna.

Setelah berkata, terlihat Ki Kumbara memberikan penjelasan secara rinci isi dari setiap rontal itu. Sebagai seorang yang pernah mempelajari dan memahami sebuah laku olah pernafasan membuat Putu Risang tidak mengalami banyak kesulitan.

“Apakah kamu tidak lapar ?”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang setelah begitu lama mereka berdua mempelajari ketujuh rontal itu.

Mendengar ucapan Ki Kumbara membuat Putu Risang merasakan ada yang berbunyi di dalam perutnya. Sejak kemarin perutnya memang tidak tersentuh apapun.

“Didalam goa ini apa yang dapat kita makan”, berkata Putu Risang dengan senyum kecut.

Terlihat Ki Kumbara tersenyum mendengar ucapan Putu Risang.

“Tengoklah”, berkata Ki Kumbara sambil menunjuk dengan gerakan kepalanya ke arah kiri mereka.

Putu Risang mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Ki Kumbara, meski dalam keadaan penuh remang-remang namun mata Putu Risang yang sudah terbiasa melihat di dalam kegelapan goa itu dapat melihat bahwa ada sebuah tanaman merambat di ujung sudut kiri goa itu. 

“Tanaman yang sama yang hidup tumbuh sebagai obat penawar dahaga di tempat kediaman Nyi Pruti”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang.

Tanpa diperintah Putu Risang sudah berdiri melangkah ke arah tanaman yang tumbuh di sudut goa itu. Ternyata sebuah tumbuhan merambat dengan buah sebesar ibu jari berwarna hitam. Terlihat Putu Risang memetik beberapa buah dan membawanya ke dekat Ki Kumbara.

Terlihat Ki Kumbara telah mendekatkan kepalanya dan mengambil buah itu langsung dengan mulutnya.

Terlihat Ki Kumbara telah mengunyah buah itu di dalam mulutnya. Sementara Putu Risang memperhatikannya dengan hati penuh iba.

“Kenapa hanya melihat, apa kamu tidak lapar?”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang

Putu Risang terlihat sudah ikut makan buah itu. Ternyata buah itu dirasakan oleh Putu Risang sangat begitu  manis, baru tiga buah masuk ke mulutnya, Putu Risang merasakan diperutnya sudah cukup mengganjal.

Sementara itu suasana siang dan malam di dalam goa itu memang tidak ada bedanya, hanya naluri mereka sajalah sebagai manusia yang dapat membedakannya.

“Beristirahatlah, besok baru kita mulai mencoba sejauh mana dirimu memahami kitab pusaka pertapa dari Gunung Wilis itu”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang.

Maka tidak lama berselang, keduanya sudah terlelap tidur dalam mimpinya masing-masing.

Sementara itu langit malam di muka bumi jauh diatas permukaan goa itu sudah lama berlalu. Kerlap-kerlip jutaan bintang bertaburan di langit purba seperti terus menjadi saksi kehidupan peradaban manusia dan semua penghuni bumi tua ini.

Dan panggung waktu pun akhirnya berlatar wajah pagi. Jauh dibawah perut bumi, di hari kedua Putu Risang terperangkap di sebuah goa.

“Tidurmu begitu pulas”, berkata Ki Kumbara kepada Putu Risang yang dilihatnya tengah menggeliat membuka kelopak matanya.

Terlihat Putu Risang telah menarik tubuhnya bersandar di dinding goa.

“Saatnya mencoba ilmu kitab sakti pertapa Gunung Wilis. Apakah kamu sudah siap?”, bertanya Ki  Kumbara kepada Putu Risang.

Terlihat Putu Risang tidak langsung menjawab, di kepalanya kembali tergambar seluruh isi kitab olah laku itu yang nampaknya sudah melekat begitu kuat didalam ingatannya.

“Bersama doa Ki Kumbara, semoga aku dapat melakukannya dengan baik”, berkata Putu Risang sambil berdiri perlahan mencoba dan memulai sebuah laku dari tujuh buah rontal milik seorang pertapa suci di Gunung Wilis.

Sebagai seorang pemuda yang pernah mempelajari sebuah laku untuk membangkitkan tenaga cadangan di dalam dirinya, Putu Risang nampaknya tidak mengalami banyak kesulitan. Perbedaannya hanya terletak dalam sikap laku yang lain dimana selama ini Putu Risang sesuai ilmu yang diturunkan lewat Mahesa Amping dan Empu Dangka melakukanya dengan sikap satu, duduk bersila sempurna. Sementara laku dari kitab pertapa Gunung Wilis itu adalah sebuah laku dengan enam buah sikap dan gerakan, jauh sangat berbeda.

Dan Putu Risang terlihat telah melakukannya.

Sementara di dekatnya Ki Kumbara menunggu dengan hati dan jantung penuh berdebar-debar. “Semoga anak muda ini dapat melewatinya dengan sempurna, tidak mengalami apa yang dialami Nyi Pruti dan keempat putranya”, berkata Ki Kumbara dalam hati penuh kecemasan meski sudah beberapa kali memahami seluruh isi dari ketujuh rontal itu dengan baik, telah meyakini bahwa kesalahan Nyi Pruti adalah pada awal dan akhir dari isi kitab pusaka itu.

Ternyata kekhawatiran Ki Kumbara atas anak muda itu tidak terjadi. Jauh didalam keheningan dan kepasrahan dirinya dihadapan Gusti Yang Maha Agung, perlahan tapi pasti Putu Risang mulai merasakan sebuah hawa murni terkumpul di tengah pusarnya. Bukan main gembiranya hati Putu Risang dapat menghimpun dan membangkitkan kembali Hawa murni didalam dirinya meski telah diciderai empat buah simpul syarafnya oleh Nyi Pruti.

Tidak hanya itu, Putu Risang dapat merasakan hawa murni itu berputar dan bergerak ke segala penjuru urat darahnya, ke segala sudut dan sisi anggota tubuhnya seirama dengan gerakan yang dilakukannya, saat berdiri, menundukkan badan, sujud dan ketika duduk bersimpuh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar