Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 09

 “Aku takut di kehidupan lain kamu akan menjadi sebuah semut hutan, hanya karena kesemsem untuk memiliki bunga itu”, berkata Menak Koncar di belakang Endang Trinil.

“Asal kamu tidak jadi burung kutilang saja, aku aman jadi semut hutan yang hidup sepanjang hari menikmati keindahan bunga ini”, berkata Endang Trinil menyambut canda Menak Koncar.

“Sebagai burung Kutilang, aku berjanji tidak akan memakan semut hutan”, berkata Menak Koncar yang disambut tawa tertahan dari Endang Trinil yang sempat juga didengar oleh semuanya.

“Menak Koncar dikehidupan yang lain menjadi burung Kutilang, sementara pamanmu akan jadi burung manyar yang mencari sarang semut”, berkata Putut Prastawa menambah canda perjalanan mereka.

Namun canda dan langkah mereka telah berhenti ketika mereka bersama mendengar sebuah suara yang berisik, suara langkah kaki yang tengah menginjak semak dan dahan kering, juga suara besi yang saling beradu.

Ki Sandikala segera memberi tanda untuk berhati-hati, terlihat mereka berjalan perlahan mendekati arah suara berisik itu. Maka semakin dekat dengan sumber suara semakin terdengar jelas apa yang sebenarnya telah terjadi, telah terdengar bukan hanya suara langkah kaki yang menginjak kayu dan batang semak perdu, terdengar juga suara orang memaki dan membentak keras dengan bahasa paling kotor dan sangat kasar sekali.

Langkah Ki Sandikala dan rombongannya terhenti ketika melihat langsung apa yang telah terjadi. Mata mereka memandang sebuah pertempuran yang sangat seru antara dua orang yang terlihat telah saling beradu punggung bertahan menerima serangan sekitar dua puluh orang bersenjata golok panjang sambil membentak kasar.

Akhirnya Ki Sandikala dan rombongannya telah mengenali siapa gerangan dua orang yang tengah beradu punggung itu, terlihat ditangan mereka dua buah pedang perak yang sangat begitu indah berkilat  menahan setiap tebasan golok yang datang silih  berganti.

Ternyata kedua orang itu adalah dua orang asing yang semalam di rumah singgah.

“Manusia lobak, serahkan dua pedang kalian”, berkata salah seorang pengeroyoknya.

“Pedang ini adalah nyawa kami”, berkata seorang yang bercambang bermata lebar, salah seorang dari orang asing itu sambil menangkis sebuah golok panjang dihadapannya.

Trang ..!!

“Ternyata kalian memilih mampus”, berkata salah seorang pengeroyoknya sambil mengarahkan goloknya menebas kearah batang lehernya.

Trang…!!

Terdengar suara golok yang beradu dengan salah seorang dari kedua orang asing itu, berasal dari orang asing yang bermata sipit yang langsung meluncurkan pedangnya begitu cepat tertuju kearah tangan pemilik golok panjang itu.

Bukan main kagetnya orang yang baru saja beradu senjata itu, dirinya tidak sempat lagi menarik tangannya.

Achhh…!!!, terdengar jeritan dari mulut orang itu ketika pedang itu menggores jemari yang menggenggam golok itu. Untung dirinya masih sadar untuk segera melompat surut diganti oleh kawannya yang menyerang  lebih ganas lagi karena telah melihat salah seorang kawannya terluka.

Sebagai seorang yang ahli, Ki Sandikala dapat mengukur hasil akhir dari pertempuran itu. Ki Sandikala dapat menilai bahwa suatu waktu dua orang asing itu pasti akan kewalahan menerima serangan dan keroyokan begitu banyak orang. Dua orang asing itu akan kehabisan tenaganya, karena hanya dalam keadaan terus bertahan.

Menak Koncar, Menak Jinggo dan Putut Prastawa terlihat menunggu keputusan dari Ki Sandikala. Mereka sebagaimana Ki Sandikala sangat mengkhawatirkan keadaan dua orang asing itu.

“Ayah, mereka pasti para gerombolan penyamun hutan ini”, berkata Menak Koncar seperti tidak sabaran untuk segera melompat membela kedua orang asing itu.

“Mari kita bantu mereka”, berkata Ki Sandikala memberi persetujuan untuk membantu dua orang asing itu.

Terlihat Ki Sandikala tanpa senjata di tangan telah menerjang kumpulan para pengeroyok itu. Akibatnya dua orang sudah terlempar terkena terjangan awalnya.

Menak Koncar yang sudah tidak sabaran  sudah langsung merubuhkan seorang lawannya. Tidak ketinggalan Putut Prastawa dan Menak Jinggo juga telah ikut terjun ke tengah pertempuran dan sudah langsung mengurangi jumlah para pengeroyok.

Yang tidak terduga adalah Endang Trinil, walaupun seorang wanita, tidak mau kalah dengan yang lainnya juga telah turun tangan.

Terjangan pertamanya juga telah membuat seorang pengeroyok terlempar terkena tendangan kaki mungilnya yang ternyata tidak kalah kuatnya dengan tenaga laki-laki biasa, bahkan lebih kuat lagi karena dilambari tenaga cadangan meski tidak sepenuhnya dikerahkan. Tapi sudah membuat siapapun yang terkena pukulan dan tendangan gadis manis ini sudah langsung terjengkang tidak mampu bangkit lagi.

Bukan main kagetnya para pengeroyok itu menghadapi lima orang pendatang baru itu. Pertempuran pun menjadi terpecah dan seimbang.

Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama, Ki Sandikala dan anggota keluarganya dengan cepat melibas satu persatu pengeroyok hingga terus menyusut.

Beberapa orang pengeroyok terlihat sudah berbaring tidak mampu lagi membantu kawannya. Ki Sandikala dan anggota keluarganya ternyata bukan tandingan mereka.

Dua orang asing itu sudah tidak tertekan lagi, mereka dapat melayani lawannya satu lawan satu.

Sisa tujuh orang pengeroyok memang sudah bukan lawan yang berat lagi bagi mereka. Dan ketujuh orang pengeroyok itu memang tahu apa yang harus mereka lakukan, lari.

Ketujuh orang pengeroyok itu sepertinya sangat mengenal keadaan hutan itu, mereka dengan cepat telah menghilang menyusup di tengah kerepatan hutan.

“Terima kasih telah menolong kami, entah apa jadinya bilasaja tidak ada kalian”, berkata salah seorang dari orang asing itu yang mempunyai ciri mata agak sipit sambil merangkapkan kedua tangannya penuh rasa terima kasih.

“Namaku Magucin, dan ini kawanku yongki. Kita pernah bermalam di tempat yang sama”, berkata seorang lain yang memperkenalkan dirinya bernama Magucin.

“Kami dari Padepokan Lamajang, orang-orang biasa menyebutku Ki Sandikala”, berkata Ki Sandikala sambil memperkenalkan anggota keluarganya satu persatu kepada dua orang asing itu.

“Senang berkenalan dengan kalian”, berkata seorang yang bernama Yongki dengan wajah gembira dapat berkenalan dengan lima orang penolongnya itu.

“Kalau boleh tahu hendak kemanakah tujuan kalian?”, bertanya Ki Sandikala.

“Kami dari tempat yang sangat jauh, tujuan kami berdua adalah mengunjungi Kotaraja Singasari”, berkata Magucin mewakili kawannya.

“Ternyata kita searah perjalanan”, berkata Ki Sandikala.

Maka terlihat mereka telah bersiap melanjutkan perjalanan bersama.

Namun sebelum berangkat mereka masih sempat mengumpulkan beberapa orang yang masih pingsan.

“Sebentar lagi kaki-kaki kalian dapat segera pulih, jagalah kawan-kawan kalian”, berkata Ki Sandikala kepada lima orang pengeroyok yang tidak pingsan namun tidak mampu berdiri karena tulang kakinya terasa remuk.

Akhirnya Ki Sandikala bersama rombongannya yang bertambah dua orang asing itu telah melanjutkan perjalanannya.

Di sepanjang perjalanan mereka menjadi semakin akrab. Mereka menjadi semakin banyak mengenal satu dengan yang lainnya.

Hutan Ranu Regola memang sebuah hutan yang cukup luas dan lebat, mereka belum juga dapat menembus hutan itu setelah setengah hari perjalanan.

Tiba-tiba saja langkah kaki mereka harus berhenti manakala dihadapan mereka berdiri dua orang lelaki berwajah garang yang sepertinya dua orang kembar, sukar sekali dibedakan diantara keduanya karena berpakaian serupa satu warna, juga memegang senjata yang sama sebuah kampak besar bertangkai kayu panjang. 

Dibelakang mereka adalah tujuh orang yang sudah dapat dikenali sebagai tujuh orang sisa pengeroyok.

“Siapakah diantara mereka pemimpin Padepokan Teratai Putih”, berbisik salah seorang kembar itu kepada  seorang yang berdiri terhalang dibelakang keduanya.

“Orang yang memakai daster hitam itu”, berkata orang yang ditanya itu sambil menunjuk kearah Ki Sandikala.

Ki Sandikala dan keluarganya juga dua orang asing yang bernama Magucin dan Yongki terlihat terbelalak matanya melihat siapa orang tua yang berdiri dibelakang dua lelaki garang kembar itu.

Bagaimana mereka tidak terpejanjat??

Ternyata orang tua itu adalah pemilik rumah singgah dimana kemarin malam begitu ramahnya melayani keperluan mereka. Namun orang tua yang mereka kenal itu sangat berbeda dengan yang mereka kenal sebelumnya, terlihat dari wajah dan matanya yang memancarkan raut muka yang sangat dingin menantang dan tidak ada rasa kepedulian, begitu angkuh.

“Hari ini aku telah bermurah hati untuk tidak melumuri kapakku ini dengan darah, silahkan kalian meningalkan hutan ini”, berkata salah seorang lelaki kembar itu. “Tapi serahkan kepada kami keris Nagasasra”, berkata kembali lelaki itu.

Bukan main kagetnya Ki Sandikala bahwa orang-orang itu tahu tentang keris Nagasasra yang memang sengaja dibawanya. Namun Ki Sandikala tidak memperlihatkan keterkejutannya, bahkan dengan senyum ramah tanpa rasa takut sedikitpun berdiri dihadapan dua  orang kembar itu.

“Mari kita belajar berhitung, jumlah kalian hanya sepuluh orang. Tujuh orang di belakang kalian pernah lari dari kami”, berkata Ki Sandikala dengan suara yang sangat begitu tenangnya.

Kedua orang kembar itu sempat menjadi ragu setelah mendengar ucapan Ki Sandikala, mereka  dapat menduga bahwa ketujuh orang dihadapannya pasti bukan orang biasa yang dapat menghalau dua puluh orang anak buahnya.

Namun keraguan kedua orang kembar itu terpecahkan ketika dari kesuraman semak belukar keluar tiga orang dengan langkah penuh percaya diri yang tinggi.

“jangan dikira kami anak kecil yang belum cakap berhitung, sejak keberangkatan kalian dari Padepokan Lamajang, kami sudah mulai berhitung”, berkata salah seorang diantara tiga orang yang baru muncul itu yang ternyata sudah dikenal oleh Ki Sandikala yang tidak lain adalah pamannya sendiri, Ki Narada.

Dua orang bersama Ki Narada juga sudah dapat dikenali oleh Ki Sandikala sebagai dua orang raja penyamun yang sering mengganggu penduduk di sekitar lereng gunung Bromo. Dua orang itu dikenalnya bernama Ki Regola dan adiknya Ki Pane, dua orang raja penyamun yang sangat kejam tidak kenal rasa kasihan sedikitpun. Ki Sandikala sendiri dalam sebuah pengembaraannya pernah bertempur melawan gerombolan penyamun itu dan pernah berhadapan dengan kedua penyamun itu. Ternyata kali ini mereka bergabung bersama Pamannya sendiri Ki Narada.

“Dua puluh orang prajurit Kediri telah mengepung hutan ini, jadi kamu dan rombonganmu tidak mungkin lagi dapat keluar hidup-hidup”, berkata Ki Narada dengan suara penuh ancaman dan langsung bersuit panjang.

Ternyata suitan panjang itu sebagai tanda.

Tidak lama berselang sudah bermunculan dan balik semak-semak dan pepohonan sekitar dua puluh orang prajurit.

“Beberapa tahun yang lalu kami berdua memang dapat kamu kalahkan, tapi kami telah menempa diri untuk dapat mengalahkanmu”, berkata Ki Regola sambil tertawa terkekeh-kekeh penuh rasa percaya diri yang tinggi, merasa yakin telah melampaui ilmu Ki Sandikala yang pernah mengalahkannya.

Terlihat Ki Sandikala melayangkan pandangan matanya kearah keluarganya, juga kepada dua orang asing yang telah berjalan bersamanya itu. Ki Sandikala melihat mata dari semua rombongannya itu tidak satupun menampakkan kegentaran sedikitpun.

“Ternyata kalian semua memang sedang menunggu perjalanan kami, ijinkan dua orang asing ini keluar dari kepungan kalian, karena mereka berdua tidak ada sangkut pautnya dengan kalian”, berkata Ki Sandikala kepada Ki Narada yang dianggapnya menjadi pimpinan gerombolan dihadapannya itu.

Namun tanpa diduga-duga, Magucin telah melangkah berdiri di sebelah Ki Sandikala.

“Kami tidak akan pergi, kami siap bertempur sebagai kawan”, berkata Magucin kepada Ki Sandikala. “Terima kasih, tapi ini adalah urusan kami”, berbisik Ki Sandikala kepada Magucin.

“Kalian telah menolong kami, maka sudah seharusnya kami berdiri bersama kalian”, berkata Magucin dengan dada tengadah penuh keberanian.

Melihat sikap Magucin membuat Ki Narada seperti terbakar rasa kesabarannya.

“Habisi siapapun yang ada !!”, berkata Ki Narada dengan suara yang keras.

Suara Ki Narada ternyata telah menggerakkan semua orang pengikutnya, para penyamun dan para prajurit Kediri yang langsung mengepung rombongan Ki Sandikala.

Serentak mereka langsung menerjang dan nampaknya telah memilih lawannya masing-masing.

Terlihat Ki Narada sudah langsung menerjang Ki Sandikala.

Ki Regola yang awalnya akan menerjang Ki Sandikala langsung memilih lawan tanding yang lain, Ki Regola telah memilih Putut Prastawa yang dianggapnya sebagai lawan yang cukup tangguh menurut pandangannya. Ternyata penilaiannya tidak salah pilih, Putut Prastawaapa dapat dengan tangkas melayani serangannya.

“Akulah lawanmu”, berkata Menak Koncar sambil menghadang langkah kaki Ki Pane yang belum tahu siapa yang akan dihadapinya.

Melihat ada seorang pemuda yang maju menghadangnya, terlihat Ki Pane tertawa panjang.

“Pasti kamu putra Ki Sandikala, biarlah aku akan mencincang dirimu sebelum mencincang ayahmu”, berkata Ki Pane sudah langsung menebas kapak besar senjata andalannya.

“Anak muda, sayang sekali umurmu akan berakhir di hutan ini”, berkata orang tua pemilik rumah singgah dihadapan Menak Jinggo.

“Apakah Paman sudah memberikan wasiat siapa yang akan mengurus rumah singgah itu”, berkata Menak Jinggo sambil mengeluarkan senjatanya, sebuah senjata cakra yang merupakan senjata ciri khas dari perguruan Teratai Putih.

Dua orang lelaki kembar merasa gembira melihat  Endang Trinil belum mendapatkan lawan bertempur meski sudah siap dengan senjata cakra ditangannya.

“Anak manis, sebaiknya kamu lepaskan senjata itu dan kita tinggalkan tempat ini untuk bersenang-senang”, berkata salah seorang dari lelaki kembar itu.

Melihat dua lelaki kembar mendekatinya dan berkata yang kurang sedap didengar oleh telinganya, Endang Trinil langsung mencebirkan bibirnya.

“Siapa yang ingin bersenang-senang dengan dua orang jelek seperti kalian”, berkata Endang Trinil dengan sikap tegak siap melayani kedua orang pengeroyoknya.

Kedua orang lelaki kembar itu tersenyum memandang sikap Endang Trinil yang tidak merasa takut dan gentar menghadapi mereka berdua, dua orang lelaki dengan senjata kampak dan wajah sangat menyeramkan, meski tidak jelek sekali seperti yang dikatakan oleh Endang Trinil.

“kami memang tidak cukup ganteng, tapi akan membuat kamu selalu merindukan kami”, berkata salah seorang dari keduanya yang ternyata setelah terlihat dari dekat dapat dibedakan diantaranya oleh Endang Trinil, salah seorang yang agak ceriwis menggoda itu mempunyai pertanda tahi lalat di ujung hidungnya.

“Aku memang akan selalu merindukan ujung cakra ini mencium hidung kalian”, berkata Endang Trinil yang langsung memutar cakranya menyambar dua orang lelaki kembar itu.

Suasana di hutan itu sudah berubah menjadi sebuah adu tanding yang riuh, dan bertambah riuhnya manakala dua puluh orang prajurit Kediri dan tujuh orang pengikut para penyamun itu menyerang dua orang asing yang memang belum punya lawan tanding.

Dua orang asing itu yang kita kenal bernama Magucin dan Yongki itu telah beradu punggung untuk dapat bertahan dari serangan para pengeroyoknya. Kali ini yang dihadapinya bukan saja para penyamun yang kasar, tapi juga para prajurit Kediri yang tahu cara berkelompok menghadapi lawan mereka. Akibatnya dua orang asing itu harus kerja keras agar tetap bertahan.

Ki Sandikala yang sudah langsung menghadapi pamannya sendiri dapat melihat satu persatu anggota keluarganya menghadapi setiap lawannya. Terlihat dirinya menarik napas panjang tidak khawatir akan keselamatan keluarganya, terutama Endang Trinil yang dilihatnya sangat mapan meski menghadapi dua orang kembar sekaligus.

Namun mata Ki Sandikala agak terkejut penuh kekhawatiran manakala melihat dua orang asing yang kewalahan menghadapi dua puluh orang prajurit dan tujuh orang penyamun sekaligus.

Tanpa disadari dirinya telah meningkatkan tataran ilmunya beberapa tingkat membuat serangannya begitu cepat dan sangat dahsyat dirasakan oleh Ki Narada.

“Gila !!, ilmunya sudah melampaui ayahnya sendiri dua puluh tahun yang silam”, berkata Ki Narada dalam hati sambil menghindari serangan maut yang  hampir merobek kulit perutnya.

Kembali Ki Narada bersuit panjang.

Ternyata suitan itu sebuah tanda untuk memanggil beberapa prajurit Kediri untuk membantunya. Terlihat sepuluh orang prajurit Kediri sudah datang mendekatinya dan langsung ikut mengeroyok Ki Sandikala.

Ki Sandikala agak bernafas lega melihat dua orang asing sahabatnya itu berkurang jumlah pengeroyoknya karena berpindah mengeroyok dirinya sendiri bersama Ki Narada.

“jangan hanya sepuluh orang, lebih banyak lagi datang semakin meriah”, berkata Ki Sandikala sambil tersenyum mengelak serangan para prajurit.

Pakk !!!

Bukkkk !!!

Ternyata ucapan Ki Sandikala bukan sebuah olok-olok semata, entah dengan kecepatan yang tak  terlihat tangan dan kakinya telah berhasil merobohkan dua  orang prajurit yang lengah.

Bukan main gusarnya perasaan Ki Narada melihat Ki Sandikala tidak surut kemampuannya bahkan semakin lebih tanggas lagi melesat kesana kemari seperti seekor manyar laut menyambar ikan. Kepungan para prajurit juga serangannya seperti menghalau daun kering yang beterbangan, tidak menyulitkan dirinya sedikitpun. Bahkan Ki Sandikala masih menyempatkan dirinya untuk sekilas mengamati Endang Trinil yang tengah menghadapi dua orang lawan kembarnya.

Terlihat Ki Sandikala tersenyum sendiri melihat bagaimana Endang Trinil telah menyibukkan dua orang lawannya dengan putaran cakra ditangannya yang datang tanpa terduga mengejar tubuh para pengeroyoknya yang dapat dikatakan punya kemampuan olah kanuragan yang cukup tinggi, tapi ternyata tidak mudah menghadapi seorang Endang Trinil, seorang gadis manis yang sehari-harinya sangat begitu manja, tapi bila sudah memainkan cakra ditangannya akan mengubah dirinya seperti macan betina yang tidak sembarangan orang dapat menghadapinya. Dan kedua lelaki kembar itu telah menjadi hewan buruan yang menunggu saat kelengahannya.

Ki Sandikala juga sempat melihat bagaimana Putut Prastawa dapat menandingi Ki Regola, seorang dari salah satu Raja penyamun yang dulu pernah dikalahkannya. Ki Sandikala melihat peningkatan ilmu dari Ki Regola dibandingkan beberapa tahun yang lewat, namun Putut Prastawa dapat melayaninya dengan baik, bahkan Ki Sandikala dapat mengukur bahwa Ki Regola masih dibawah tataran ilmu dari Putut Prastawa terutama dalam hal kecepatannya bergerak. Ki Sandikala juga melihat bahwa Putut Prastawa belum mengerahkan kemampuan ilmu yang sebenarnya, melepas tenaga cadangan yang dapat membekukan darah lawannya, sebuah ilmu andalan dari perguruan Teratai Putih.

Kembali Ki Narada menjadi gusar ketika seorang prajurit Kediri terlempar terkena angin pukulan cakra Ki Sandikala. Meski cakra itu masih jauh sekitar lima jari tangan dari prajurit itu, namun hawa pukulannya begitu kuat menyayat perut prajurit itu seperti pedang tajam yang tipis menyayat kulit dan daging.

Terlihat beberapa orang prajurit Kediri mundur hanya karena melihat langsung kawannya terlempar mundur memegangi perutnya yang berdarah, yang mereka tahu senjata cakra Ki Sandikala masih jauh dari tubuhnya. Ternyata Ki Sandikala sengaja memperlihatkan sebagian kemampuannya agar lawannya menjadi jerih.

“Jangan mundur, serang bersama !!”, berkata Ki Narada kepada prajurit Kediri sambil menerjang dengan cakra di tangan kearah Ki Sandikala.

Trang !!!

Dua buah cakra beradu diudara.

Ki Sandikala telah membenturkan cakra di tangan Ki Narada.

Terlihat Ki Narada membelalakkan matanya, tenaga benturan Ki Sandikala ternyata telah menggetarkan telapak tangannya yang terasa menjadi seperti perih dan panas, bila saja tidak digenggamnya dengan erat-erat pegangan cakra itu akan terlepas.

“gila !!”, berkata Ki Narada sambil memandang tangannya yang perih dan panas.

Perasaan Ki Narada semakin gusar, diam-diam merasa menyesal memilih lawan Ki Sandikala.

“Apakah pertempuran ini masih dilanjutkan?”, bertanya Ki Sandikala kepada Ki Narada sambil tersenyum melihat semua prajurit yang menyerangnya semua seperti merasa jerih.

“Kenapa kalian semua berhenti?”, berkata Ki Narada kepada para prajurit Kediri yang masih terdiam tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan, didalam hati mereka memang sudah tertanam rasa gentar melihat ketanguhan Ki Sandikala yang begitu kokoh seperti sebuah gunung batu yang kuat dan keras tidak mungkin dapat dirobohkan oleh apapun.

“Orang itu bukan hantu, daging dan kulitnya sama seperti kita”, berkata kembali Ki Narada kepada prajurit Kediri yang semakin bingung karena keberaniannya sudah mulai surut, bahkan sudah menjadi ciut.

“Jangan dipaksakan bila mereka sudah tidak ada keinginan bertempur, mari kita bertempur berdua tanpa bantuan mereka”, berkata Ki Sandikala kepada  Ki Narada dengan senyum.

Ucapan Ki Sandikala memang telah berhasil membakar kemarahan Ki Narada, ditambah lagi rasa malunya dihadapan para prajurit Kediri yang terlanjur menganggapnya sebagai orang yang mumpuni, maka dengan perasaan yang dipaksakan berusaha menghentakkan rasa jerihnya, rasa keraguannya sendiri.

Ki Narada sudah dapat memaksakan keraguannya, terpacu rasa malu yang sangat dihadapan para prajurit Kediri.

Tapi langkah kaki Ki Narada seperti terhambat manakala di dekatnya berdiri seorang tua renta yang meletakkan sebuah kampak besar di pundaknya. Bentuk kampak itu sendiri tidak umum, lebih besar dibandingkan sebuah kampak umumnya, dan sangat terbanting berada di atas pundak orang tua renta yang kurus kecil itu.

“Carilah lawan lain, biarlah orang ini menjadi kawanku bermain”, berkata orang tua renta itu sambil tertawa terkekeh-kekeh keluar dari mulutnya yang sudah tidak bergigi. Ki Narada seperti mendapat angin, merasa diri dan mukanya dapat diselamatkan. Tanpa menunggu kesempatan lain sudah segera melompat berpindah tempat menuju kearah dua orang asing diikuti para prajurit Kediri yang memang sudah tidak ada keberanian sedikitpun menghadapi Ki Sandikala.

Ki Sandikala memperhatikan orang tua renta dihadapannya itu, sekilas dilihatnya seleret cahaya merah menyala yang tersorot dari kedua mata orang tua renta itu. Ki Sandikala dapat menangkap dari sorot mata itu sebagai pertanda bahwa orang tua renta dihadapannya telah mempunyai tenaga cadangan yang kuat yang telah diendapkan dengan cara berlatih meminum darah bayi segar, sebagaimana orang dari golongan ilmu hitam memupuk kekuatan dirinya.

“Manusia keji”, berkata Ki Sandikala dalam hati menatap orang tua dihadapannya penuh rasa kebencian, didalam pikirannya terbayang sudah puluhan bayi tak berdosa menjadi korban kebiadaban nafsu iblis memupuk kekuatan tenaga sakti dengan cara yang menjijikkan.

“Selamat datang Guru, cincang orang itu yang telah menghina perguruan kita. Dialah orang yang bernama Nambi”, berkata Ki Pane yang merasa gembira melihat gurunya telah datang.

“Jadi, kamu orang yang telah mengalahkan kedua muridku?”, berkata orang tua renta yang dipanggil guru oleh Ki Pane yang masih bertempur melawan Menak Koncar.

Ki Sandikala tidak langsung menjawab. Pikirannya bercabang antara kekhawatiran melihat Ki Narada dan para prajurit Kediri yang tengah melangkah bergabung mengeroyok dua orang asing sahabatnya itu, sementara dirinya harus berhati-hati menghadapi seorang dari golongan hitam yang nampaknya bukan orang sembarangan.

Terlihat Ki Sandikala menggenggam senjata cakranya lebih kuat lagi, sepertinya takut senjatanya itu terlepas. Namun sebagai seorang yang selalu berlindung dibawah kekuasan Yang Maha Melindungi dirinya telah memasrahkan segenap jiwa dan raganya, memusatkan segala kemampuan dan kekuatannya bersandar kepada Yang Maha memiliki kekuatan itu sendiri.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku he ?”, bertanya orang tua dengan suara yang membentak.

“Bukankah muridmu sudah memberitahukan siapa namaku?”, berbalik bertanya Ki Sandikala kepada orang tua itu dengan penuh senyum, Ki Sandikala memang telah mengendapkan kegentaran hatinya. Dirinya telah berada diatas segala ketenangan hati dan penuh  percaya diri yang tinggi.

“Wajahmu memperlihatkan rasa kemampuan yang tinggi”, berkata orang tua renta itu sambil menurunkan kampak besar dari pundaknya.

Ki Sandikala melihat kapak besar itu seperti sebuah kayu ringan ditangan orang tua itu. Tangan kecil yang keriput itu tidak seperti terbebani benda yang sangat berat. Ki Sandikala dapat menangkap pertanda bahwa orang tua dihadapannya itu punya tenaga raksasa, tenaga yang sangat kuat.

“Hayo mulailah menyerang”, berkata orang tua itu.

“Umurku lebih muda, merasa malu memulai serangan”, berkata Ki Sandikala masih denga senyum terbuka.

“Baiklah bila kamu ingin aku yang akan memulai”, berkata orang tua guru dua orang raja penyamun  itu yang langsung memutar kampak besar ditangannya begitu cepatnya seperti sebuah baling-baling yang ringan.

“Begitu kuatnya tenaga orang itu”, berkata Ki Sandikala dalam hati melihat kampak di tangan orang tua renta itu berputar begitu cepat seperti sebuah baling-baling.

Perlahan orang tua itu melangkahkan kakinya mendekati Ki Sandikala.

Ki Sandikala merasakan sebuah angin panas menyusup keluar dari putaran kampak orang tua itu.

Maka dengan sigap Ki Sandikala telah menghentakkan segenap kemampuan dan kekuatannya, sebuah hawa dingin yang kuat telah menyelimuti segenap tubuhnya meredam hawa panas yang memancar keluar dari angin putaran kampak orang tua itu.

Baling-baling putaran kampak itu sudah semakin mendekati diri Ki Sandikala, maka tidak ada jalan lain bagi Ki Sandikala selain melenting kesisi lain sambil menyerang orang tua itu dengan sabetan senjata cakranya tertuju ke arah sisi pinggang orang tua itu yang terlihat terbuka.

Trang..!!!

Ternyata orang tua itu telah mengarahkan kampaknya menangkis cakra Ki Sandikala.

Dan benturan itu memang sangat luar biasa, keduanya langsung terpental beberapa langkah.

Ki Sandikala merasakan getaran pada tangannya sebagai tanda orang tua itu mempunyai tenaga sakti yang sangat tinggi. “Pantas kedua muridku dapat kamu kalahkan”, berkata orang tua itu yang juga merasakan getaran pada tangannya ketika senjata mereka saling beradu.

Di akhir kata-katanya orang tua itu sudah langsung melompat namun tidak memutar kampaknya, kali ini menyabet dengan setengah lingkaran kearah leher Ki Sandikala.

Ki Sandikala merasakan angin sambaran yang sangat panas menyusup bersama desing kampak besar yang diayunkan oleh orang tua itu. Maka tidak ada jalan lain bagi Ki Sandikala selain mengelak dan langsung berbalik menyerang.

Demikianlah pertempuran diantara mereka berdua semakin lama menjadi semakin seru dan cepat. Hawa panas dan hawa dingin yang keluar melambari tubuh mereka masing-masing sepertinya saling menindih.

Ketika berhadapan dengan Ki Narada dan para prajurit Kediri, Ki Sandikala masih sempat mengamati jalannya pertempuran orang-orangnya satu persatu. Namun menghadapi orang tua itu membuat Ki Sandikala harus benar-benar mencurahkan segenap perhatiannya, sedikit lengah saja akan berdampak penyesalan seumur hidup, bahkan nyawa bisa melayang.

Orang tua itu memang seperti seorang yang benar-benar sangat berbahaya, kampak besar ditangannya seperti kepanjangan anggota tubuhnya dapat meluncur begitu saja mencari celah-celah terbuka yang sangat berbahaya. Bukan hanya itu, orang tua itu juga benarbenar cerdik menyerang dengan berbagai tipuan yang sangat menjerumuskan.

Itulah sebabnya, Ki Sandikala tidak dapat lagi mengamati apa yang terjadi pada keadaan dua orang asing yang telah dikeroyok oleh prajurit Kediri dan para pengikut dua raja penyamun itu yang ditambah lagi Ki Narada.

Untunglah Putut Prastawa dapat cepat membaca suasana dan tahu apa yang harus dilakukannya, terlihat dirinya telah melenting jauh mendekati dua orang asing.

“Kita bertahan beradu punggung bertiga”, berkata Putut Prastawa.

Kedua orang asing itu tanggap apa yang dikatakan Putut Prastawa, mereka pun telah menjadi satu kesatuan yang utuh dan langsung dapat menyesuaikan dirinya masingmasing.

Melihat dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Putut Prastawa, Ki Regola langsung mengejar bergabung bersama para pengeroyok mengepung tiga orang yang saling melindungi diri dan berusaha bertahan.

Tetapi, Ki Narada bukan orang yang bodoh, tahu cara menembus dan merusak pertahanan mereka.

Ternyata Ki Narada sudah dapat menilai siapa diantara mereka yang paling lemah, Ki Narada melihat Magucin adalah orang yang paling lemah. Maka Ki Narada telah memerintahkan lima orang prajurit Kediri membantunya menyerang Magucin.

Langkah dan tindakan Ki Narada ini ternyata memang langsung membuahkan hasil, pertahanan mereka seperti tertembus dan menjadi sangat kacau. Disisi lain Ki Regola telah mengunci Putut Prastawa dengan serangan yang gencar.

“Bergerak!!”, berteriak Putut Prastawa.

Yongki dan Magucin sepertinya langsung dapat menangkap makna perkataan Putut Prastawa. Mereka langsung bergerak berputar memecahkan serangan dan berganti-ganti lawan.

Demikianlah mereka terus bergerak berputar bukan hanya sekedar bertahan bahkan kadang senjata mereka berhasil melukai beberapa prajurit dan para pengikut dua raja penyamun itu.

Namun cara mereka ternyata mempunyai sedikit kelemahan, tenaga mereka menjadi cepat terkuras. Itulah yang dipikirkan oleh Ki Narada yang sangat cerdik dan licik itu.

Ki Narada, Ki Regola bersama semua pengikut dan para prajurit Kediri terus menekan Putut Prastawa dan dua orang asing itu.

Sementara itu disisi lain, Endang Trinil, Menak Koncar dan Menak Jinggo tidak sempat melihat keadaan Putut Prastawa dan dua orang asing yang tengah bekerja keras untuk tetap bertahan menghadapi para pengeroyoknya.

Endang Trinil, Menak Koncar dan Menak Jinggo memang harus bekerja keras menghadapi lawan-lawan mereka yang nampaknya punya pengalaman lebih dari mereka bertiga. Tapi berkat ketekunan dan tempaan selama di padepokan yang sangat keras telah mengantar mereka sebagai orang-orang muda yang telah utuh mewarisi ilmu perguruan mereka. Pertempuran di hutan Ranu Regola itu telah membuat mereka menjadi semakin matang, dapat menyesuaikan diri melihat langsung gerak lawan yang sangat berbeda. Semakin lama mereka dapat mengenali unsur gerakan lawan, diam-diam dengan kecerdasan dan olah pikir yang jernih tengah mencoba sebuah cara mengalahkan lawan mereka.

“Ulet sekali anak muda ini”, berkata Ki Pane dalam hati sangat penasaran setelah sekian ratus jurus tidak juga dapat melumpuhkan Menak Koncar yang masih dapat dikatakan sangat belia itu.

“Anak muda ini sangat cerdas”, berkata orang tua pemilik singgah dalam hati yang merasa penasaran telah banyak membuat tipu daya dalam serangannya namun Menak Jinggo tidak mudah dikelabui bahkan telah menyibukkan dirinya dengan serangan-serangan yang sangat berbahaya.

Diantara Menak Koncar dan Menak Jinggo, hanya Endang Trinil yang sangat tertekan. Serangan dua orang lelaki kembar itu memang tidak begitu menyulitkannya, tapi olok-olok kedua orang lelaki kembar itulah yang membuat telinganya menjadi panas. Kadang dari mulut kedua orang lelaki kembar itu keluar kata-kata kotor dan nyeleneh yang berakibat Endang Trinil tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Syukurlah bahwa sebuah kejadian yang nyaris mengancam nyawanya telah menyadarkan dirinya untuk berhati-hati dan tidak terbawa hanyut amarah yang membuat dirinya kehilangan pengendalian.

Semua yang tengah bertempur di hutan itu pasti telah mendengar dentuman pohon tumbang, tidak hanya sekali. Suara itu berasal dari benturan senjata Ki Sandikala dan orang tua guru dari dua Raja penyamun itu yang meleset keluar dari sasarannya. Kedua raksasa kanuragan itu memang telah bertempur dengan dahsyatnya dan telah mencari jarak yang terpisah dari yang lainnya. Batang semak perdu disekeliling mereka sudah menjadi rata hangus terbakar. Daun-daun pohon kayu disikitar mereka juga langsung layu terkena angin hawa panas dan dingin silih berganti. Suasana disikitar mereka sudah menjadi tanah lapang yang rata terbakar hangus dan kering. Ki Sandikala memang harus menekan segala kekhawatirannya atas apapun yang dialami oleh keluarganya, juga dua orang asing yang sudah menjadi sahabatnya itu. Ki Sandikala harus mencurahkan segenap pikirannya menghadapi orang tua  yang memang berilmu sangat tinggi itu. Dan Ki Sandikala memang tidak boleh punya dua pikiran yang bercabang.

Namun perasaan dan pikiran Ki Sandikala sekali ini memang harus bercabang manakala sayup-sayup didengarnya suara seruling yang begitu bening menyusup kedalam gendang telinganya. Sebagai seorang yang sudah punya banyak pengalaman hidup, dirinya dapat mengukur dan menduga bahwa peniup seruling itu pasti adalah seorang sakti. Karena suara seruling itu sendiri sepertinya sengaja dilepaskan dan terdengar menghentakkan dada.

“Siapakah gerangan peniup seruling itu?, apakah dari golongan para penyamun?”, bertanya-tanya Ki Sandikala dalam hati penuh kekhawatiran, bukan mengkhawatirkan keselamatannya, tapi keselamatan semua orang yang ikut bersamanya.

Hanya berpikir sedikit tentang suara seruling telah membawa Ki Sandikala pada kelengahan dirinya, nyaris sebuah angin panas yang tajam hampir saja menebas batang lehernya. Untung Ki Sandikala dapat bergerak cepat merendahkan badannya dan langsung balas menyerang agar tidak menjadi bulan-bulanan serangan orang tua berilmu tinggi itu.

Kembali terdengar suara seruling yang semakin jelas terdengar.

Tetapi Ki Sandikala tidak mengulangi kesalahannya, pikirannya tidak terpecahkan lagi oleh suara seruling itu. Namun suara seruling itu sudah menjadi begitu dekat.

Ki Sandikala tidak habis berpikir, ketika suara seruling itu sudah benar-benar sangat dekat, tidak menduga sedikit pun melihat orang tua guru dua raja penyamun itu seperti seorang yang melihat hantu di siang bolong.

Dan tiba-tiba saja orang tua itu telah melompat menjauh begitu cepatnya langsung menghilang di keremangan semak dan pohon kayu hutan yang lebat.

Putut Prastawa, Menak Koncar, Menak Jinggo dan Endang Trinil juga mendapatkan keterkejutan sebagaimana Ki Sandikala. Sebab tanpa ucapan apapun lawan mereka para penyamun itu telah pergi menghilang menyusup di kegelapan hutan Ranu Regola.

Saat itu lawan mereka yang tertinggal hanya Ki Narada dan para prajurit Kediri. Melihat sekutunya telah pergi, Ki Narada dapat menghitung kekuatannya meski lebih banyak dalam hal jumlah namun tidak akan mampu menghadapi Ki Sandikala dan keluarganya.

“Biarkan mereka pergi”, berkata Ki Sandikala kepada Menak Koncar dan Menak Jinggo yang tengah mencoba mengejar para prajurit Kediri bersama Ki Narada pergi berlalu.

Agak kecewa juga Menak Koncar dan Menak Jinggo dengan perintah ayahnya itu, jiwa muda mereka nampaknya masih belum dapat diredam dan sangat menggebu-gebu. Tapi suara ayah mereka Ki Sandikala yang sangat mereka hormati seperti air dingin yang menyiram api jiwa muda mereka.

Sementara itu suara seruling sudah menjadi jelas terdengar.

Bukan main kagetnya semua yang hadir di dalam hutan itu tidak sama sekali menyangka sama sekali ketika melihat siapa yang keluar dari kerimbunan semak-semak sambil meniup sebuah seruling dari bambu.

Siapakah gerangan peniup seruling yang membuat keheranan semua orang di dalam hutan itu ?

Ternyata yang keluar dari kerimbunan semak belukar itu sambil masih meniup seruling adalah seorang anak lelaki yang masih berusia sekitar enam tahun.

Tapi Ki Sandikala yang mempunyai ketajaman pendengaran dapat membedakan suara seruling yang dimainkan oleh anak kecil itu sangat berbeda dengan suara yang pertama kali didengarnya.

Terlihat anak itu telah menurunkan seruling dari bibirnya sambil memandang penuh senyum kepada semua orang yang tengah menatapnya.

“Suara serulingmu begitu merdu, bolehkah mbakyumu ini mengenal namamu?”, berkata Endang Trinil sebagai seorang wanita satu-satunya merasa tersentuh melihat seorang anak lelaki kecil muncul ditengah hutan sendiri dengan paras yang begitu rupawan tidak merasa takut dikelilingi orang-orang yang belum dikenalnya.

Namun belum sempat anak kecil itu menjawab pertanyaan Endang Trinil, dari semak belukar tempat dimana anak kecil itu keluar terlihat seorang lelaki yang cukup gagah dengan bentuk wajah sangat mirip sekali dengan anak lelaki itu, terutama senyumnya.

Lelaki yang baru keluar dari semak belukar itu memang sedang berjalan mendekati mereka dengan sambil tersenyum. Air muka lelaki itu begitu segar dan terlihat sangat bersahabat, siapapun yang memandangnya akan langsung menyukainya. “Bukan maksudku bersembunyi, tapi para penyamun itu telah berjanji kepadaku akan menggorok sendiri lehernya dengan kampaknya sendiri bilamana bertemu denganku”, berkata lelaki itu sambil masih tersenyum.

“Aku jadi mengerti mengapa para penyamun itu langsung berlari menghilang ketika mendengar suara seruling tuan”, berkata Ki Sandikala sambil merengkapkan kedua tangannya diikuti oleh semua orang yang ada di hutan Ranu Regola. “Suara seruling tuan telah menolong kami, apakah kami boleh mengenal nama tuan?”, berkata kembali Ki Sandikala kepada lelaki itu yang sudah memastikan bahwa orang dihadapannya pasti bukan orang sembarangan karena telah membuat para penyamun seperti melihat hantu, begitu takutnya.

“Namaku Mahesa Murti, dan ini putraku Mahesa Darma”, berkata lelaki itu diringi senyum begitu menyejukkan.

“Sebuah kebanggaan dapat berkenalan dengan seorang guru ketua dari Padepokan Bajra Seta”, berkata Ki Sandikala.

“Padepokanku di sebuah tempat terpencil dan bukan sebuah Padepokan yang besar, bagaimana tuan dapat langsung tahu bila aku berasal dari Padepokan Bajra Seta?”, bertanya Mahesa Murti merasa heran kepada Ki Sandikala yang langsung dapat mengenal jati dirinya.

“Dua orang sahabatku adalah cantrik dari Padepokan Bajra Seta sering bercerita punya seorang guru yang begitu sangat dicintai dan dikagumi”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Murti tersenyum dan dapat membaca pikiran Mahesa Murti yang merasa heran dirinya dapat langsung menebak jati dirinya.

“Kalau boleh tahu siapakah dua orang sahabatmu itu?” bertanya Mahesa Murti merasa penasaran. “Mahesa Amping dan Raden Wijaya adalah dua orang sahabatku itu”, berkata Ki Sandikala penuh senyum.

Terlihat Mahesa Murti menarik nafas panjang seperti tengah terenyuh mendengar dua orang cantrik kebanggaannya itu yang sudah begitu lama tidak berjumpa, banyak kabar angin tentang keberadaan mereka berdua saat itu. Namun ketika Ki Sandikala menyebut nama Mahesa Amping dan Raden Wijaya sebagai sahabatnya, Mahesa Murti begitu gembira akan mendapat cerita yang bukan kabar angin lagi tentang kedua cantrik kesayangannya itu.

Kembali Ki Sandikala dapat membaca pikiran dan perasaan Mahesa Murti.

“Mari kita berbincang-bincang diatas rumput kering itu”, berkata Ki Sandikala sambil menunjuk sebuah tempat yang memang sangat menyenangkan, cukup untuk mereka bersama meriung dan tentunya dapat lebih saling mengenal.

Sebelum memulai pembicaraannya, Ki Sandikala memperkenalkan dirinya, memperkenalkan anggota keluarganya satu persatu, juga Magucin dan Yongki sebagai kawan seperjalanannya itu.

Ki Sandikala adalah seorang yang sangat pandai mengerti keinginan dan pikiran seseorang meski baru saja dikenalnya. Dan pembawaannya dapat membuat siapapun yang baru mengenalnya akan menjadi sangat cepat akrab. Sementara itu Mahesa Murti juga punya pembawaan yang hampir sama. Maka tidak terasa Mahesa Murti merasa sudah mengenal Ki Sandikala begitu lama, padahal mereka baru hari itu saling mengenal.

Akhirnya Ki Sandikala bercerita tentang awal perjumpaannya dengan Mahesa Amping.

“Anak muda itu punya ilmu yang sangat luar biasa, jujur bahwa aku bukan tandingannya”, berkata Ki Sandikala bercerita tentang awal pertemuannya dengan Mahesa Amping. “Namun jiwa anak muda itu punya rasa kasih seluas samudra, itulah sebabnya aku yang tua ini dapat dikatakan banyak belajar darinya”, berkata kembali Ki Sandikala.

Ki Sandikala banyak bercerita tentang petualangannya bersama Mahesa Amping antara lain berada langsung disaat-saat suasana berkabung hancurnya Kotaraja Singasari yang hangus terbakar.

“Kejayaan Singasari sudah berakhir”, berkata Mahesa Murti sambil menarik nafas panjang.

“Saat ini kami telah berjanji untuk berada di belakang Raden Wijaya berjuang merebut kembali tahta Singasari yang hilang”, berkata Ki Sandikala bercerita tentang beberapa persiapan perjuangan mereka saat itu di Tanah Ujung Galuh.

“Terima kasih telah bercerita banyak tentang keadaan dua orang cantrikku, tapi nampaknya ada yang terlupakan, yang kutahu mereka selalu bertiga”, berkata Mahesa Murti sambil menduga-duga mengapa Ki Sandikala tidak menyinggung seorang lagi dari mereka.

“Haduh, pasti yang tuan maksudkan itu Ranggalawe ?”, berkata Ki Sandikala sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Apakah dirinya saat ini ada di Tanah Ujung Galuh ?”, bertanya Mahesa Murti dengan wajah gembira bahwa Ki Sandikala nampaknya juga mengenal Ranggalawe.

“Benar, saat ini Ranggalawe juga berada di Tanah Ujung Galuh”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Murti yang terlihat menarik nafas lega bahwa Ranggalawe juga berada di Tanah Ujung Galuh.

“Jadi saat ini kalian dalam perjalanan menuju Tanah Ujung Galuh, titip salamku kepada mereka bertiga dan katakan kepada mereka bahwa dalam waktu dekat aku akan berkunjung ke Tanah Ujung Galuh”, berkata Mahesa Murti sambil matanya melihat cakrawala diatas hutan Ranu Regola dimana matahari telah mulai bergesar turun.

“Pasti akan kusampaikan salam tuan, mereka pasti senang bahwa tuan akan datang menemui mereka”, berkata Ki Sandikala.

“Bilasaja tidak bersama putraku ini, pasti akan senang bersama kalian berjalan menuju Tanah Ujung Galuh”, berkata Mahesa Murti sambil berdiri. “Terima kasih telah bercerita tentang tiga orang cantrikku itu”, berkata kembali Mahesa Murti nampaknya akan siap-siap melanjutkan perjalanannya.

Ki Sandikala menatap Mahesa Darma yang masih memegang seruling bambunya, “Pasti kelak akan menjadi seorang yang tangguh sebagaimana Mahesa Amping”, berkata Ki Sandikala dalam hati

Tanah di hutan Ranu Regola memang masih terang namun sudah semakin teduh karena sinar matahari telah bergeser turun.

Terlihat Mahesa Murti dan putranya Mahesa Darma telah berjalan diiringi tatapan mata Ki Sandikala dan rombongannya.

“Seorang manusia yang sederhana, tidak ada yang menyangka begitu tinggi ilmu yang dimiliki, yang kutahu muridnya Mahesa Amping sudah begitu luar biasa”, berkata Ki Sandikala seperti kepada dirinya sendiri, namun suaranya jelas didengar oleh semua keluarganya, juga Magucin dan Yongki.

Keduanya akhirnya menghilang ditelan kerimbunan  hutan Ranu Regola yang memang sangat pepat.

“Kudengar tadi tuan menyebut seorang yang bernama Raden Wijaya, sebanarnya kedatangan kami ke Kotaraja Singasari adalah untuk menemuinya”, berkata Yongki kepada Ki Sandikala.

“Darimana kalian mengenal nama Raden Wijaya ?”, bertanya Ki Sandikala.

“Kami punya seorang saudara seperguruan yang pernah datang ke Kotaraja Singasari, dialah yang meminta kami datang menemui Raden Wijaya sebelum membuat tindakan apapun atas diri Raja Kertanegara”, berkata Yongki kepada Ki Sandikala.

“Apa yang akan kalian perbuat atas diri Raja Kertanegara

?”, bertanya Ki Sandikala.

“Kaisar kami yang dipertuan Agung Maharaja Kubilai Khan telah menjatuhkan titahnya untuk menghukum Raja Kertanegara atas penghinaan seorang utusannya, saudara seperguruan kami itulah utusan yang dicederai telinganya”, berkata Yongki memberikan penjelasannya kepada Ki Sandikala.

“kalian datang berdua ke Kotaraja untuk menghukum Raja Kertanegara ?”, bertanya kembali Ki Sandikala.

“kami tidak datang berdua, tapi kami datang bersama sepuluh ribu laskas prajurit besar”, berkata Yongki.

Bukan main terperanjatnya Ki Sandikala juga semua anggota keluarganya ketika mendengar perkataan Yongki tentang laskar besarnya itu.

“Baginda Raja Kertanegara telah tiada bersama runtuhnya kerajaan Singasari. Dan orang yang kalian akan temui saat ini sudah tidak lagi berada di Kotaraja Singasari”, berkata Ki Sandikala.

“Aku mendengar bahwa Raden Wijaya adalah sahabat tuan, bawalah kami dimanapun adanya”, berkata Yongki sepertinya penuh harap kepada Ki Sandikala.

Ki Sandikala pernah mendengar cerita tentang utusan Kaisar Kubilai Khan dari Raden Wijaya. Termasuk peristiwa cidera daun telinga utusan Kaisar itu dimana dalang semua itu berasal dari tangan-tangan orang yang kini memegang kekuasaan, Raja Jayakatwang. “Gusti Yang Maha Agung telah membawa laskarnya sendiri kepada raden Wijaya”, berkata dalam hati Ki Sandikala sambil memuji kebesaran Gusti yang Maha Agung yang mempunyai cara dan garis sendiri dan tidak terduga datangnya, diluar rencana manusia.

“Sepertinya kita telah ditakdirkan sebagai teman seperjalanan”, berkata Ki Sandikala sambil menganggukkan kepalanya sebagai tanda kesediaannya membawa mereka berdua kepada Raden Wijaya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar