Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 06

MALAM itu di Bandar Ujung Galuh sepertinya telah melupakan keributan kecil di sebuah rumah bordil. Hanya suara ombak kecil yang terus terdengar hampir sepanjang malam membentur tiang kayu dermaga.

Terdengar sayup-sayup suara kentongan bernada dara muluk dari arah padukuhan Galuh, sebuah tanda dari petugas ronda yang tengah berkeliling menjaga keamanan padukuhan mereka menyampaikan isyarat bahwa hari sudah jauh malam dan suasana di Padukuhan Galuh masih dalam keadaan aman terkendali tidak ada gangguan apapun.

“Ki Balap dan gerombolannya sudah bertahun-tahun menguasai Bandar Ujung Galuh ini, pasti mereka akan berusaha dengan berbagai cara mempertahankan keadaan itu”, berkata Gajah Pagon kepada Ki Sukasrana duduk bersama disebuah tepian dermaga memandang arah laut malam.

“Besok kita akan minta ijin kepada Raden Wijaya untuk melihat keberadaan mereka, mungkin juga mengetahui apa rencana mereka mempertahankan daerah kekuasaannya”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon.

“Ternyata menjaga bandar Ujung Galuh ini tidak semudah meronda di sebuah benteng prajurit, kita berhadapan dengan berbagai kepentingan yang tidak terlihat dari luar”, berkata Gajah pagon kepada Ki Sukasrana.

“Setiap manusia memang sudah dibatasi dan dikodratkan oleh Gusti yang Maha Agung jauh sebelum kelahirannya untuk menjadi apa di alam fana ini sebelum dipanggil kembali ke alam abadi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dan tugas kita sebagai seorang prajurit harus berani memberikan jaminan keamanan dimanapun kita berada, tentunya dengan cara yang benar, cara yang bersih”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon.

“Benar, didalam melaksanakan tugas keprajuritan diluar sebuah peperangan memang banyak sekali menghadapi berbagai macam godaan, terutama godaan memperkaya diri, atau mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi”, berkata gajah Pagon kepada Ki Sukasrana membenarkan perkataannya.

“Begitulah seorang prajurit menjaga janji sumpahnya sebagai seorang ksatria untuk menjunjung tinggi kodratnya, dimanapun berada. Disaat dalam suasana perang dan suasana tenteram”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon.

Terlihat Gajah Pagon tersenyum sendiri.

“Katakanlah bila kamu akan bicara, jangan disimpan didalam hati”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon yang dilihatnya tersenyum sendiri, pasti ada sesuatu didalam benaknya.

“Aku teringat pada sebuah tugas pertamaku sebagai petugas sandi yang harus menyamar sebagai seorang pedagang batu aji di sebuah Kademangan”, berkata Gajah Pagon berhenti sejenak sepertinya tengah mengumpulkan semua kenangannya itu. “Barang daganganku laku keras hingga lima kali lipat dari modal awal yang diberikan kepadaku”, berkata Gajah Pagon melanjutkan ceritanya.

“Dan kamu bingung apakah uang lebih itu harus kamu kembalikan”, berkata Ki Sukasrana yang sudah menebak alur cerita Gajah Pagon.

Terlihat Gajah Pagon mengangguk sebagai tanda membenarkan perkataan Ki Sukasrana. “Lalu kamu mengembalikan hasil keuntungan daganganmu?”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon

Terlihat kembali Gajah Pagon menganggukkan kepalanya.

“Semuanya?”, bertanya Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon

Terlihat gajah Pagon tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya tidak gatal

“Tidak semuanya, karena sebagian sudah kugunakan untuk biaya pulang kampung, waktu itu aku rindu sekali untuk bertemu dengan ayahku”, berkata Gajah Pagon sambil tersenyum malu.

Terlihat gantian Ki Sukasrana yang tertawa sendiri.

“Pasti Ki Sukasrana punya cerita lain”, berkata Gajah Pagon mencoba menebak apa yang dipikirkan oleh Ki Sukasrana.

“Bukan cerita yang lain, tapi persis sama, bedanya uang lebihnya habis kubelanjakan sebuah kalung emas untuk seorang gadis muda kembang desa yang sangat kucintai”, berkata Ki Sukasrana yang ditanggapi dengan tertawa panjang Gajah Pagon.

“Artinya kita pernah berbuat salah, merasa bersalah. Semuga Gusti yang Maha Agung memaafkan kesalahan kita”, berkata gajah Pagon setelah berhenti tertawa.

“Kita memang tidak pernah luput dari kealpaan. Sedikit banyak haram tetap haram”, berkata Ki Sukasrana kepada Gajah Pagon.

“Sejak itu aku tidak berani lagi melakukannya”, berkata Gajah Pagon seperti seorang yang bersalah. “Bagus, akupun sejak itu tidak lagi berbuat yang sama. Terutama memang aku dipindahkan bertugas di tempat yang berbeda dimana tidak ada kesempatan untuk berbuat itu, dengan kata lain aku ditempatkan disebuah tempat kering”, berkata Ki Sukasrana yang ditanggapi dengan tawa panjang, kali ini lebih panjang dari sebelumnya sampai-sampai Gajah Pagon mengeluarkan air mata tidak mampu menahan ketawanya itu.

Melihat itu Ki Sukasrana jadi ikut tertawa, mereka tertawa bersama.

“Langit sudah mulai berwarna merah pagi”, berkata Ki Sukasrana kepada gajah Pagon sambil memandang cakrawala langit yang memang sudah mulai berubah warna mulai menjadi berwarna merah pagi.

“Mari kita kembali ke barak, masih ada waktu untuk tidur meluruskan badan ini”, berkata Gajah Pagon sambil bangkit berdiri diikuti oleh Ki Sukasrana.

“Apakah kita perlu memberitahukan kepada kawankawan yang lain”, bertanya Ki Sukasrana kepada Gajah pagon untuk memberitahukan kepada beberapa prajurit lain yang bertugas di bandar Ujung Galuh bahwa mereka akan pulang kembali ke barak.

“Tidak perlu, mungkin mereka sudah tengah tertidur di sebuah kedai”, berkata Gajah Pagon.

Dan pagi itu matahari sudah bosan berhimpit di ujung bumi, perlahan bergeser merenggang membuyarkan cahayanya yang menggantung di ujung daun dan tangkai jagung muda yang terhampar hijau berpetak-petak di sekitar tepian Sungai Kalimas. Cahaya pagi juga telah rata menebarkan butir-butir peraknya di sepanjang aliran air sungai Kalimas yang membentang panjang hingga di muaranya. Cahaya pagi juga telah mengisi rumput hijau di depan barak prajurit yang lapang lewat celah-celah ranting dan daun pohon pulai dan randu alas yang banyak tumbuh di Tanah Ujung Galuh.

Raden Wijaya terlihat tengah bersiap berangkat melihat para pekerja yang tengah membangun sebuah benteng prajurit di Tanah Ujung Galuh. Namun  masih memberikan waktunya untuk mendengar beberapa laporan dari beberapa perwiranya.

“Mereka akan berpikir sepuluh kali untuk berhadapan dengan para parujurit kita”, berkata Raden Wijaya sambil tersenyum kepada Gajah Pagon dan Ki Sukasrana yang masih sempat menyampaikan laporannya mengenai kejadian tadi malam di Bandar Cangu, mengenai sebuah kelompok jawara setempat.

“Hamba juga berpikir seperti itu”, berkata Ki Sukasrana membenarkan pendapat Raden Wijaya.

Sementara itu Ki Bancak yang ditugaskan untuk menangani para tawanan dalam kesempatan itu juga telah menyampaikan laporannya kepada Raden Wijaya.

“Dalam beberapa hari ini hamba melihat mereka sudah mulai dapat diajak bekerja sama, meski ada beberapa orang yang nampaknya masih belum menerima kenyataan diri”, berkata Ki Bancak menyampaikan laporannya kepada Raden Wijaya.

“Tanah disini cukup subur, pada saatnya kita dapat memanfaatkan tenaganya membantu sebagai peladang”, berkata Raden Wijaya memberikan tanggapannya atas laporan Ki Bancak mengenai para tawanan.

Setelah merasa tidak ada yang dibicarakan lagi, Raden Wijaya berpamit untuk melihat perkembangan pembangunan benteng prajuritnya. Arah benteng prajurit itu berada di sebelah utara barak. Terlihat Raden Wijaya berjalan seorang diri menyusuri jalan rumput yang sudah terlihat terjejak karena hampir setiap hari para prajurit melewati dan menginjak rumput itu menuju tanah tempat berdirinya benteng prajurit. Ketika berjalan pikiran Raden Wijaya jauh melambung ke belakang menengok kembali suasana Kotaraja Singasari ketika masih berjaya sebagai sebuah kenangan yang begitu indah, Kotaraja dipenuhi banyak pedati dan kereta kencana para bangsawan yang hilir mudik melewati jalan-jalan Kotaraja yang selalu ramai sepanjang siang dan malam hari.

Lamunan Raden Wijaya akhirnya terpuruk pada suasana terakhir ketika meninggalkan Kotaraja Singasari yang sepi di hiasi bongkah-bongkah tiang dan kerangka rumah kayu gosong hitam terbakar dikiri kanan jalan. ”Dapatkah aku membangun kembali Singasari sebagaimana ujudnya semula?”, berbicara Raden Wijaya kepada dirinya sendiri yang saat itu seperti terlempar dalam bayang-bayang keterasingan terkucil dalam kesendirian. Namun perasaan kesendirian itu akhirnya kabur sebagaimana mega-mega diatas langit pagi itu yang terlempar hanyut dihembus angin ke arah utara ketika bayangan satu persatu sahabat setianya muncul dalam benaknya.

Semua gambaran di benak Raden Wijaya memang telah lenyap bersih manakala dihadapannya sebuah bangunan yang belum utuh berdiri telah terlihat tidak jauh lagi dari langkahnya. Dan semakin dekat maka semakin terdengar suara riuh deru gergaji, suara kayu yang tengah ditancapkan masuk kedalam bumi, dan suara para pekerja yang terdiri dari para prajurit Singasari dan penduduk asli Tanah Ujung Galuh yang ikut membantu. Degup jantung Raden Wijaya seperti kembali bergetar, semangatnya telah menjadi semakin bertambah manakala langkahnya sudah semakin dekat dengan bangunan dan suara riuh para pekerja.

Mata Raden Wijaya menatap penuh hati suka cita melihat hari itu hampir seluruh bangunan pagar kayu sudah berdiri di tempatnya, bahkan sudah ada beberapa pekerja yang tengah merangkai panggungan menyatukannya dengan pagar kayu itu. Di benak mata Raden Wijaya sepertinya sudah melihat panggungan itu sudah berdiri sempurna sepanjang dinding pagar kayu yang tinggi, beberapa prajurit berjalan mengitari jalan diatas panggungan itu.

Bayangan tentang bentuk panggungan yang sudah sempurna di dalam benak Raden Wijaya akhirnya buyar seketika manakala seorang perwira datang mendekatinya.

“Ternyata bukan hanya Ki Bekel yang akan meminjamkan kepada kita bahan kayunya, beberapa penduduk ada juga yang menyerahkan bahan kayu yang sudah setahun lebih di perendaman, siap dipergunakan”, berkata perwira prajurit itu kepada Raden Wijaya.

“Sebuah sumbangan yang tak ternilai”, berkata Raden Wijaya penuh kegembiraan.

“Hari ini rencananya kita akan membuat tiang pancang untuk bangunan utama”, berkata perwira itu sambil menunjuk beberapa orang yang tengah membuat beberapa lubang tempat tiang pancang berdiri diatas lubang-lubang itu.

Raden Wijaya sebagai seorang yang telah membuatkan rancangan gambar kasar bangunan benteng prajurit itu langsung melihat dan memastikan sejauh mana para pekerja dapat menumpahkan gambar rancangannya kedalam sebuah bangun yang sebenarnya. Nampaknya Raden Wijaya terlihat sangat puas sekali ketika memastikan bahwa pelaksanaannya sesuai dengan yang direncanakan.

“Dengan jumlah pekerja yang berlimpah, dua pekan lagi bangunan benteng ini pasti telah berdiri”, berkata Raden Wijaya dalam hati penuh keyakinan.

Namun, pandangan Raden Wijaya tiba-saja tertarik kepada sebuah langkah seorang lelaki muda yang  terlihat setengah berlari masuk dari sebuah celah masuk dinding pagar kayu yang rencananya akan dibuatkan sebuah pintu gerbang.

Raden Wijaya masih melihat lelaki itu terus melangkah setengah berlari mendekati seorang yang tengah memasang tiang-tiang kayu untuk panggungan.

“Ada apa Satpram?”, berkata lelaki yang tengah bekerja itu kepada lelaki muda yang datang mendekatinya.

“Gawat Ki Jagaraga”, berkata lelaki muda itu sambil mengatur nafasnya yang masih memburu.

Mendengar ucapan lelaki muda itu, orang yang dipanggil Ki Jagaraga itu langsung menyandarkan tiang kayu dari tangannya.

“Katakan ada apa”, berkata Ki Jagaraga sambil melihat lelaki muda itu yang sudah tidak memburu lagi nafasnya.

“Andika tengah bertengkar dengan Lontara”, berkata lelaki muda itu.

“Lontara putra Ki Balap itu?”, bertanya Ki Jagaraga yang dijawab anggukan kepala lelaki muda itu. ”Mari kita kesana”, berkata Ki Jagaraga sambil berjalan melangkah diikuti lelaki muda dibelakangnya. “Aku ikut kalian”, berkata Raden Wijaya yang secara kebetulan mendengar semua percakapan mereka.

Mendengar perkataan itu Ki Jagaraga berhenti sebentar menghadapkan dirinya penuh hormat kepada Raden Wijaya. ”Maaf tuan Senapati, hanya pertengkaran kecil anak muda. Hamba tidak keberatan bila Tuan Senapati ingin ikut bersama kami”, berkata Ki jagaraga sambil melepas sedikit senyum yang dipaksakan.

Maka terlihat mereka bertiga beriring melangkah keluar dari area itu diikuti beberapa pandang mata penuh keheranan dari beberapa orang yang melihat kepergian mereka bertiga.

Di perjalanan Ki Jagaraga bercerita dengan singkat apa yang telah terjadi sebelumnya.

“Andika adalah putraku yang belum lama ini telah mempersunting seorang gadis Padukuhan seberang, tepatnya Padukuhan Randu”, berkata Ki Jagaraga memulai ceritanya. “Ternyata, Lontara pemuda dari Padukuhan Randu masih menyimpan rasa sakit hati atas perkawinan mereka”, berkata kembali Ki Jagaraga sambil mempercepat langkah kakinya.

“Kami baru saja memulai menyiangi rumput di ladang jagung, tiba-tida Lontara sudah datang mengusik kemarahan Andika”, berkata lelaki muda itu ikut bercerita sambil ikut mempercepat langkah kakinya berjalan agak dimuka untuk menunjukkan dimana mereka terakhir bertemu.

“Sudah banyak orang”, berkata Ki Jagaraga dengan wajah cemas melihat kearah keramaian orang di sebuah jalan Padukuhan Ujung Galuh.

Terlihat mereka sudah mendekati pusat keramaian itu. Ki Jagaraga segera menyibak di sela-sela kerumunan orang. Bukan main kagetnya bahwa di tengah kerumunan itu telah melihat sebuah perkelahian antara putranya Andika dengan seorang pemuda lain yang dikenalnya bernama Lontara.

Ki Jagaraga menarik nafas lega melihat putranya Andika nampaknya sudah berada diatas angin. Sebagai seorang yang mengerti kanuragan, dimana Ki Jagaraga adalah seorang ayah yang sekaligus guru kanuragan dari putranya dapat melihat Andika nampaknya sudah menguasai pertempuran. Terlihat lawannya seorang pemuda dari Padukuhan Randu sudah semakin terdesak.

Buk…!!!

Ki Jagaraga melihat sebuah pukulan Andika berhasil menghantam dada Lontara yang langsung terlempar kebelakang jatuh.

“Bangkitlah bila kamu masih sanggup berdiri”, berkata Andika mendekati Rontala yang masih berbaring kesakitan memegangi dadanya yang masih terasa sesak.

“Cukup…aku mengaku kalah, aku tidak akan mengganggu kalian lagi”, berkata Rontala yang sepertinya telah mengakui kekalahannya dengan pasrah.

“Anak bodoh!!”, berkata tiba-tiba seseorang sambil mendekati Rontala yang tidak lain adalah Ki Balap. Seorang yang terlihat berwajah keras dengan badan yang kekar, terlihat dari sela pakaian luriknya begitu banyak bulu di dadanya.

“Ayah…ini adalah pertandingan kami, dan kami telah memenuhi perjanjian kami”, berkata Rontala yang sudah dapat bangkit duduk meminta ayahnya tidak mencampuri urusan mereka. “Kamu memang sudah kalah karena kemalasan kamu berlatih, sekarang akulah yang akan menghajar anak ini agar semua orang tahu garis perguruan kita tidak mudah dikalahkan”, berkata Ki Balap sambil memerintahkan orangnya membantu memapah rontala menyingkir dari arena.

Mendengar perkataan Ki Balap kepada putranya itu membuat Andika menjadi tegang, menghadapi Rontala saja dia harus mengerahkan seluruh kemampuannya, bagaimana dengan Ki Balap yang dia tahu mempunyai tataran yang lebih mapan dibandingkan putranya.

“Jadi kamu yang bernama Andika, jangan merasa besar kepala telah mengalahkan putraku”, berkata Ki Balap sambil memandang Andika dengan bola matanya yang seperti ingin menelannya bulat-bulat.

Bertambah teganglah hati Andika memandang tatapan mata Ki Balap yang tajam penuh kemarahan. Tak ada cara lain untuk menghindari bertempur dengan orang tua itu yang diketahui punya kemampuan lebih dibandingkan Lontara. Namun sebagai seorang pemuda yang banyak ditempa untuk bersikap ksatria oleh ayahnya telah berusaha menguatkan semangatnya. “Aku akan berusaha sekuat kemampuanku, kalah menang aku sudah berusaha”, berkata Andika mencoba menguasai perasaan hatinya.

Namun ketegangan Andika tidak juga melentur meski sudah berusaha untuk menguasai dirinya. Hingga akhirnya seorang lelaki berdiri disampingnya, terlihat ketegangan di wajah Andika Andika sedikit mengendur. ”Ayah….”, berkata lirih Andika sambil menolehkan wajahnya kepada lelaki yang berdiri disampingnya yang tidak lain adalah Ki Jagaraga. “Ki Balap….ini adalah urusan anak muda. Kulihat mereka telah menyelesaikan urusannya sendiri”, berkata Ki Jagaraga dengan suara yang penuh dengan ketenangan hati, mencoba mengetengahkan persoalan kepada Ki Balap agar tidak memperpanjangnya.

“Aku menangkap dari ucapanmu bahwa urusan anak muda ini telah selesai, dan sekarang menjadi urusan kita berdua?”, berkata Ki Balap dengan wajah kerasnya semakin bertambah menyeramkan.

“Aku berkata yang sebenarnya Ki Balap, ini hanya urusan dua orang anak muda”, berkata Ki Jagaraga masih mencoba untuk tidak ikut terpancing menyelesaikan urusan itu dengan kekerasan.

Namun perasaan Ki Jagaraga seperti sebuah belanga yang diaduk aduk, kaget bercampur penuh kecemasan manakala melihat Ki Balap memberi tanda dengan sebuah tangannya.

Ternyata tanda dari Ki Balap adalah sebuah isyarat untuk orang-orangnya untuk datang mendekat. Bukan main cemasnya Ki Jagaraga melihat sekitar tiga puluh orang telah berdiri dibelakang Ki Balap.

“Ki Balap telah membesarkan sebuah urusan kecil. Apakah Ki Balap tidak menjadi khawatir bila warga Padukuhan Ujung Galuh bersikap yang sama berdiri dibelakang kami?”, berkata Ki jagaraga kepada Ki Balap.

Namun perkataan Ki Jagaraga dijawab dengan derai tawa yang panjang. “Yang kutahu bahwa tidak ada seorang pun di Padukuhan ini yang bisa memegang senjata dengan baik selain kamu dan anakmu”, berkata Ki Balap sambil tertawa bergelak.

Ki Jagaraga mencoba melihat berkeliling, dilihatnya beberapa tetangganya yang ada ditempat itu semakin mundur menjauh, bahkan ada beberapa orang yang diam-diam telah menghilang pergi takut terbawa-bawa, apalagi melihat banyaknya orang di belakang Ki Balap.

“Aku memberi kesempatan kepadamu Ki Jagaraga, panggillah wargamu untuk membantumu”, berkata Ki Balap sambil tertawa bergelak melihat tidak satupun orang padukuhan Ujung Galuh yang maju mendekati Ki Jagaraga.

Namun ternyata Ki Jagaraga punya sikap yang berbeda, dirinya merasa senang bahwa tidak ada satupun warganya yang datang membantu. Dengan begitu tidak akan ada korban sia-sia di pihaknya.

“Ini adalah urusan pribadi keluarga kami, tidak ada sangkut pautnya dengan warga Padukuhan Ujung Galuh”, berkata Ki Jagaraga dengan nada suara yang begitu tenang sepertinya merasa tidak gentar menghadapi Ki Balap dan orang-orangnya.

Namun sikap dari Ki Jagaraga ditangkap lain oleh Ki Balap yang merasa bahwa Ki Jagaraga belum mengenalnya, belum mengetahui sepak terjangnya selama ini.

“Orang seperti kamu memang harus diberi pelajaran, agar mengenal siapa aku sebenarnya”, berkata Ki Balap dengan wajah penuh kemarahan.

“Aku sudah mengenal siapa Ki Balap sebenarnya, seorang mantan perompak yang telah tergusur, seorang mantan perompak yang tidak punya lahan karena dimana-mana ada prajurit Singasari yang siap mengamankan setiap jengkal tanah dan daratan bumi Singasari”, berkata Ki Jagaraga dengan suara yang keras membuat wajah Ki Balap semakin terbakar merah oleh kemarahannya namun tetap berusaha mengendalikan dirinya.

“Bagus, ternyata kamu sudah tahu siapa aku. Dan tentunya warga padukuhan ini juga telah tahu siapa aku dan orang-orangku. Itulah sebabnya tidak ada seorang pun yang datang membantumu”, berkata Ki Balap dengan disertai suara tawanya yang bergelak.

“Aku datang dibelakang Ki Jagaraga”, berkata tiba-tiba seorang lelaki seusia Ki Jagaraga yang terlihat keluar dari kerumunan orang banyak langsung melangkah berdiri disamping Ki Jagaraga.

Pada saat itu sebenarnya Raden Wijaya yang telah menyaksikan keributan itu dari awal sudah akan melangkah kedepan untuk membantu Ki Jagaraga. Namun langkahnya diurungkan ketika dilihatnya seorang lelaki yang sangat dikenalnya mendahuluinya yang tidak lain adalah Ki Sandikala adanya.

Ki Jagaraga yang melihat ada orang berdiri di sampingnya menjadi merasa khawatir. “Aku belum mengenal siapa Kisanak, namun kuingatkan bahwa urusan ini sangat berbahaya, menyingkirlah”, berkata Ki Jagaraga dengan suara lirih perlahan.

Namun Ki Sandikala menjawab ucapan Ki Jagaraga dengan suara yang lantang, sepertinya berharap Ki Balap dan orang-orangnya mendengar. ”Aku memang baru beberapa hari tinggal di Tanah Ujung Galuh ini. Tapi aku merasa berkewajiban bahwa apapun yang terjadi diatas tanah ini akan menjadi urusanku pula. Meskipun tangan ini tidak pernah belajar bagaimana cara memegang senjata yang benar, tapi aku sudah dari kecil sudah dapat mengerti bagaimana menggunakan cangkulku”, berkata Ki Sandikala sambil mengangkat tinggi-tinggi cangkulnya yang telah dipersiapkan sejak kemunculannya.

Ki Balap dan orang-orangnya terlihat tersenyum memandang kepada Ki Sandikala. Mereka pikir apa yang dapat dilakukan petani dengan cangkulnya itu.

“Apakah kamu membawa badikmu”, berbisik Ki Jagaraga kepada Andika sambil melepaskan sebuah badik yang terselip dipinggangnya. Sebuah pisau pendek agak melengkung namun terlihat begitu berkilat tanda sangat begitu tajamnya.

“Aku selalu membawanya Ayah”, berkata lirih Andika ikut mengeluarkan badiknya pula.

Melihat lawannya telah mengeluarkan senjatanya, terdengar Ki Balap berteriak keras. “Beri pelajaran kepada tiga orang cecerut ini”, demikian Ki Balap memberikan perintah kepada orang-orangnya sendiri sambil dengan langkah mantab menerjang Ki Jagaraga dengan golok panjangnya yang telah dipilihnya sebagai orang pertama yang akan dihadapinya.

Ternyata sikap yang diperlihatkan Ki Jagaraga bukan hanya sekedar tenang yang dipaksakan. Ketenangan Ki Jagaraga karena rasa kepercayaannya yang tinggi, terutama ada ilmu simpanan yang dimilikinya. Terlihat dengan lincahnya Ki Jagaraga mengelak serangan Ki Balap dan langsung balas menyerang.

Melihat Ki Balap sudah memilih lawan tandingnya, orangorang Ki Balap langsung menerjang Andika dan Ki Sandikala.

Sebagaimana Ki Jagaraga, ternyata Andika juga terlihat sangat menguasai senjatanya. Dengan lincahnya keluar dari setiap serangan lawannya dan langsung balas menyerang.

Dan nasib yang kurang beruntung saja dari orangorangnya Ki Balap yang berhadapan dengan Ki Sandikala. Awalnya mereka menyangka bahwa dengan sekali tebas petani itu akan dapat dilukai.

Ternyata mereka salah duga, bukan golok panjang mereka yang dapat melukai Ki Sandikala, yang terlihat adalah sebaliknya, tubuh-tubuh mereka langsung terlempar satu persatu seperti laron yang datang mendekati api. Kemanapun Pangkal cangkul Ki Sandikala bergerak, selalu ada korban yang terlempar jatuh ke tanah tidak dapat bangkit kembali.

Sambil bertempur Ki Sandikala menyempatkan dirinya melihat keadaan Ki Jagaraga maupun Andika. Akhirnya Ki Sandikala memutuskan untuk secepatnya mengurangi lawan dimana dirinya melihat Andika dengan sangat susah payah menghadapi jumlah lawan yang cukup banyak. Sementara itu dilihatnya tidak ada yang membantu pertempuran Ki Balap menghadapi Ki Jagaraga.

Semua orang yang masih berada dan menyaksikan ditempat pertempuran itu, terutama warga Padukuhan Ujung Galuh yang semula menyangka bahwa Ki Jagaraga, Andika dan seorang lelaki yang belum dikenalnya itu akan menjadi korban pembantaian dari Ki Balap dan orang-orangnya.

Ternyata dugaan mereka tidak terjadi, bahkan sebaliknya justru orang-orang Ki Balap lah yang satu persatu jatuh tidak bergerak lagi. Satu dua orang telah dapat dilukai oleh Andika yang masih menghadapi lawan yang cukup banyak.

Sementara itu Ki Sandikala telah bertekad untuk secepatnya mengurangi lawannya. Maka terlihat Ki Sandikala tidak lagi hanya menanti datang lawan. Ki Sandikala telah bergerak mendekati orang-orang Ki Balap.

Semua mata tidak lagi melihat pertempuran Ki Jagaraga dengan Ki Balap. Juga tidak begitu memperhatikan Andika. Semua mata tertuju seperti terkesima menyaksikan bagaimana Ki Sandikala dengan cangkul pendeknya merobohkan lawannya satu persatu dengan begitu mudahnya. Pangkal cangkul Ki Sandikala seperti bermata, tidak ada satupun gerakannya yang tidak membawa sebuah keluh kesah bahkan jerit sakit yang sangat. Dan hanya dalam beberapa gebrakan saja sudah banyak orang-orang Ki Balap yang tergeletak tidak mampu bangkit berdiri lagi.

“Eh…mengapa kalian meninggalkan aku?”, berkata Ki Sandikala melihat sisa lawannya telah menghindarinya berlari memilih mengeroyok Andika. Ternyata mereka merasa begitu jerih melihat beberapa kawannya yang terkapar tidak mampu lagi melanjutkan pertempurannya di kibas pukulan pangkal cangkul Ki Sandikala.

Ki Sandikala tidak melepas begitu saja lawannya yang lari menyingkir pindah ke arah Andika. Maka Ki Sandikala telah masuk menyeruak memporak-porandakan kerumunan lawannya yang tengah menyerang Andika.

Kembali beberapa tubuh terlempar terkena pukulan pangkal cangkul Ki Sandikala.

Sisa orang-orang Ki Balap hanya tinggal lima orang. Terlihat mereka langsung mundur penuh rasa jerih ketika Ki Sandikala mendekatinya.

“Lari menjauhlah kalian, atau ujung cangkul ini terpaksa tertanam di kepala kalian”, berkata Ki Sandikala sambil mengangkat cangkulnya tinggi-tinggi.

Kelima orang itu seperti melihat sebuah senjata yang begitu menakutkan, padahal hanya sebuah cangkul di tangan Ki Sandikala.

Mereka sepertinya termakan dengan ucapan Ki Sandikala, dimana mereka membayangkan hanya dengan pangkal cangkulnya beberapa kawannya tidak dapat bangkit berdiri, bagaimana dengan ujung cangkul yang tajam itu yang dapat tertanam di kepalanya.

Berpikir sepeti itu mereka tidak lagi memperdulikan Ki Balap yang masih bertempur bersama Ki Jagaraga. Yang mereka pikirkan adalah keselamatan diri sendiri. Maka terlihat kelima orang itu mengikuti perintah Ki Sandikala, pergi jauh-jauh !!!.

“Dasar orang-orang bodoh”, bergerutu Ki Balap yang menyaksikan lima orangnya telah pergi meninggalkannya.

“Lihatlah, kamu hanya seorang diri”, berkata Ki Jagaraga kepada Ki Balap sambil melompat menghindar kebelakang sambil memberi kesempatan kepada Ki Balap menilai keadaan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Jagaraga, Ki Balap memang sudah tinggal seorang diri. Begitu cemas hati Ki Balap ketika melihat lingkaran banyak orang yang terdiri dari para prajurit Singasari dan beberapa warga padukuhan Ujung Galuh yang berbondong-bondong datang ketika mendapat kabar adanya keributan di Padukuhan mereka.

Melihat keadaan itu membuat Ki Balap mulai menjadi gentar. Apalagi ketika mendengar sebuah percakapan yang sengaja suaranya dikeraskan yang mungkin bermaksud agar dirinya mendengar dan menjadi surut melanjutkan tandingnya.

“Tuan Senapati…..apa hukumannya untuk seorang yang telah membuat sebuah keributan?”, berkata seseorang dengan suara agak terdengar keras bermaksud Ki Balap agar mendengarnya. Ternyata suara itu berasal dari Ki Sandikala yang berdiri tidak jauh dari Raden Wijaya.

“Hukuman yang pantas untuknya adalah ditawan selama dua bulan, namun bila tidak dapat dibina akan dipaksa menjadi seorang budak belian”, berkata Raden Wijaya mengerti maksud dari Ki Sandikala dengan ikut berkata keras-keras.

“Dengar Ki Balap, urusan ini kukira tidak ada gunanya di lanjutkan. Dan aku akan meminta ampunan kepada Tuan Senapati Singasari untukmu”, berkata Ki Jagaraga yang cepat tanggap memberi kesempatan kepada Ki Balap untuk berpikir. “Sarungkan golokmu”, berkata kembali Ki Jagaraga.

Ternyata suara dan perkataan Ki Jagaraga seperti membius diri Ki Balap. Terlihat perlahan telah menyarungkan kembali golok panjangnya.

Melihat Ki Balap menuruti apa yang diminta, terlihat Ki Jagaraga datang menghampiri Raden Wijaya yang tengah berdiri tidak jauh darinya.

“Tuan Senapati….ijinkan hamba memohon ampunan untuk sahabat hamba yang tanpa sengaja  telah membuat sebuah keributan kecil di Padukuhan kami”, berkata Ki Jagaraga dengan merangkapkan tangannya penuh hormat dan berharap Raden Wijaya memenuhinya.

Terlihat Raden Wijaya tersenyum penuh kebanggaan kepada keluasan hati Ki Jagaraga yang telah memohonkan ampunan kepada seseorang yang baru saja akan mencelakai dirinya dan anaknya. Raden Wijaya memberi tanda kepada Ki Jagaraga untuk melangkah bersama mendekati Ki Balap yang masih berdiri mematung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Ki Balap”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Balap ketika berdiri berhadapan. “Aku sebagai seorang Senapati yang berwenang membuat sebuah hukuman di Tanah Ujung Galuh ini, atas nama Ki Jagaraga telah memberikan ampunan untukmu”, berkata Raden Wijaya dengan suara yang penuh wibawa. ”Aku tidak akan memaafkanmu untuk yang kedua kalinya bila di suatu hari kamu kembali berbuat keonaran”, berkata kembali raden Wijaya.

“Terima kasih, hamba berjanji”, berkata Ki Balap seperti seorang yang telah terlepas dari sebuah jepitan yang menghimpit dadanya.

“Bawalah orang-orangmu kembali ke padukuhanmu”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Balap.

Terlihat Ki Jagaraga memanggil beberapa orang warga Padukuhan Ujung Galuh membantu beberapa orang Padukuhan Randu yang terluka cukup parah. Terlihat juga Ki Balap ikut membantu memapah orangnya sendiri.

“Ternyata ada petani dengan cangkulnya mengamuk di Padukuhan ini”, berkata seseorang sambil menuntun seekor kudanya mendekati Raden Wijaya dan Ki Sandikala yang ternyata adalah Adipati Arya Wiraraja. Dibelakangnya mengiringi Mahesa Amping.

“Apa hukumannya untuk seorang petani yang telah menyalahgunakan cangkulnya, menggunakannya untuk sebuah kekerasan”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.

“Menjamunya dengan sebuah acara makan siang yang meriah”, berkata Raden Wijaya yang ditanggapi tawa gelak panjang oleh Ki Sandikala, Mahesa Amping dan Adipati Arya Wiraraja.

“Sebuah hukuman yang setimpal”, berkata Adipati Arya Wiraraja sambil mengacungkan jempolnya keatas tinggitinggi.

Siang itu Raden Wijaya tidak kembali ketempat pembangunan benteng prajurit, tapi telah melangkah bersama Adipati Arya Wiraraja, Ki Sandikala dan Mahesa Amping kembali ke baraknya. Raden Wijaya seperti tidak sabar untuk mendengar berita apa yang akan didengarnya dari ketiga orang itu yang baru saja kembali dari perjalanan mereka ke Kotaraja Singasari.

Diatas mereka mentari telah menempel ditengah lengkung payung langit, merampas semua bayangbayang. Namun berjalan diatas tanah padukuhan yang rimbun bersama semilir angin memberi hati teduh dan damai. Tidak terasa mereka telah sampai di barak sementara. 

Beberapa orang di barak itu sepertinya dengan penuh gembira menyambut kembali datangnya  Mahesa Amping, Ki Sandikala dan Adipati Arya Wiraraja.

Para prajurit yang bertugas di dapur umum ternyata telah menyiapkan hidangan makan siang untuk mereka.

“Terima kasih”, berkata Raden Wijaya kepada seorang prajurit terakhir yang telah membawa beberapa hidangan untuk mereka.

Adipati Arya Wiraraja sepertinya mengetahui isi hati Raden Wijaya yang ingin mendengar apa saja yang telah mereka bertiga dapatkan dari Kotaraja Kediri. Namun Adipati Arya Wiraraja sepertinya menunda hingga mereka menyelesaikan sajian hidangan yang sudah tergelar didepan mereka.

Setelah mereka usai menikmati hidangan makan siang yang cukup meriah itu, ternyata Adipati Arya Wiraraja masih juga belum membuka pembicaraan yang diharapkan oleh Raden Wijaya. Terlihat Adipati Arya Wiraraja, Mahesa Amping dan Ki Sandikala hanya membuka pembicaraan yang kurang penting.

“Tidak sabar aku ingin mendengar kabar Paman Arya Wiraraja dari Kotaraja Kediri”, berkata Raden Wijaya seperti memotong pembicaraan mereka.

Adipati Arya Wiraraja, Ki Sandikala dan Mahesa Amping terlihat saling berpandangan penuh senyum tersirat. Ternyata mereka bertiga memang tengah menggoda dan menguji kesabaran Raden Wijaya.

“Aku takut Senapati penguasa Tanah Ujung Galuh ini akan mememerintahkan sepuluh orang prajuritnya untuk membuka mulutku”, berkata Adipati Arya Wiraraja yang ditanggapi tawa oleh Ki Sandikala, Mahesa Amping dan Ranggalawe.

“Ternyata kalian bertiga sudah seperti batok, sumbu dan minyak api, senang melihat orang lain terbakar”, berkata Raden Wijaya sambil tersenyum memandang tiga orang yang terlihat telah begitu bersahabat, telah saling mengenal dan sehati.

Akhirnya dengan wajah penuh kesungguhan Adipati Arya Wiraraja menyampaikan beberapa kesepakatan yang telah mereka terima dari Raja Jayakatwang.

“Penguasa Kediri itu bersedia memberikan Tanah ujung Galuh dan sekitarnya sebagai daerah swatantra dengan sebuah syarat bahwa Raden harus menarik semua pasukan Singasari yang menutup dan mengusik daerah perdagangan mereka”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya.

“Aku menerima kesepakatan itu, segera akan kukirim utusanku untuk menarik semua prajurit Singasari”, berkata Raden Wijaya dengan penuh gembira menerima kesepakatan itu.

“Saatnya membangun sebuah kekuatan baru”, berkata Adipati Arya Wiraraja penuh dukungannya.

“Terima kasih untuk dan atas segala dukungan Paman Adipati”, berkata Raden Wijaya.

“Aku pernah bersama Mahesa Amping dan Ki Sandikala melihat sendiri keadaan hutan Maja. Sebuah  tempat yang cukup tersembunyi untuk membangun kekuatan baru itu”, berkata Adipati Arya Wiraraja menyetujui rencana Raden Wijaya membangun kekuatan barunya di atas tanah Hutan Maja.

Demikianlah, pembicaraan pun semakin menajam kepada jumlah kekuatan yang harus mereka miliki.

“Sedikitnya kita harus mempunyai kekuatan yang seimbang dengan kekuatan mereka”, berkata Adipati Arya Wiraraja memberikan sebuah usulannya.

“Hamba dapat membawa seribu orang para cantrik Padepokan Teratai Putih yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa”, berkata Ki Sandikala.

“Aku dapat membawa seratus orang para cantrik Padepokan Pamecutan dari Balidwipa”, berkata Mahesa Amping memastikan dirinya untuk dapat membawa para cantriknya dari Padepokan Pamecutan. “Baiklah, aku akan menitipkan dua ribu warga Tanah Perdikan Songenep bergabung bersama kekuatan barumu”, berkata Adipati Arya Wiraraja.

“Aku tidak akan melupakan budi Paman dan Kalian berdua”, berkata Raden Wijaya merasa begitu terharu atas dukungan yang diberikan kepadanya. Hanya kata itulah yang mampu diucapkannya, selebihnya rongga dadanya sepertinya tersegug keharuan hati atas ketulusan dan kesetiaan para sahabatnya yang setia dan bersedia berdiri dibelakangnya.

Demikianlah, hari itu juga Raden Wijaya telah mengutus beberapa prajuritnya ke Kotaraja Singasari untuk menarik semua kekuatannya bergabung terpusat di Tanah Ujung Galuh.

Angin semilir dingin menembus lewat celah-celah dinding kayu barak prajurit di Tanah Ujung Galuh. Terlihat Adipati Arya Wiraraja, Raden Wijaya, Mahesa Amping,Ki Sandikala dan Ranggalawe masih berbincang diatas tikar pandan merancang sebuah rencana panjang mereka.

“Orang-orangku akan datang di awal, guna membangun sebuah lumbung besar di Hutan Maja”, berkata Adipati Arya Wiraraja.

“Orang-orangku akan datang kemudian untuk membangun sebuah padukuhan yang besar”, berkata Ki Sandikala.

“Raja Jayakatwang tidak akan melihat bahwa didalam padukuhan besar itu bersembunyi sebuah kekuatan yang akan menghancurkannya. Di Padukuhan baru itulah kita akan menempa para prajurit yang kuat, para prajurit yang memiliki semangat baja siap turun di medan laga”, berkata Adipati Arya Wiraraja penuh semangat. Semilir angin terasa semakin dingin, ternyata senja sudah datang menghimpit hari dan terus merayap menghampiri tepi jurang kelam malam.

“Bicara tentang sebuah rencana yang besar telah membuat diriku yang tua ini lupa atas kewajibanku sendiri sebagai seorang Adipati, besok aku akan kembali ke Tanah Perdikan Songenep”, berkata Adipati Arya Wiraraja menyampaikan maksudnya untuk kembali pulang ke Tanah Perdikannya setelah merasa cukup menyampaikan beberapa hal yang sangat berguna,  bekal dan pegangan untuk Raden Wijaya.

“Aku mengucapkan beribu panjatan rasa terima kasih yang tak terkira untuk semua nasehat Pamanda Adipati. Bilamana rencana besar ini telah menemui muara kemenangan gemilang, aku yang muda akan merasa suka dan rela berbagi kekuasaan bersama Pamanda Adipati”, berkata Raden Wijaya penuh hormat dan rasa terima kasih kepada Adipati Arya Wiraraja.

“Semoga umurku dapat bertahan melihat kemenanganmu Raden, dan setiap setengah jengkal tanah yang Raden berikan kepadaku akan kubagi lagi sebagai sejengkal tanah yang akan melindungi tanah kekuasaan yang Raden miliki”, berkata Adipati Arya Wiraraja penuh kesungguhan hati kepada Raden Wijaya.

Semilir angin dingin berhembus begitu keras berdesir lewat celah-celah kayu barak. Beberapa prajurit di barak lain terdengar masih berkumpul mungkin sambil menunggu rasa kantuk yang belum juga datang. Dan malam pun terus merayapi hari yang terus berjalan menggeser waktu demi waktu. Sementara itu langit malam sepi diatas barak terlihat terbungkus warna kelabu menyembunyikan kerlip bintang dan cahaya bulan. Langit memang terlihat sebentar lagi akan mencurahkan air hujan.

“Nikmatnya bila hujan turun dimalam ini, kita bisa tidur pulas tanpa gangguan nyamuk yang nakal”, berkata seorang prajurit sambil menatap langit.

“Semoga tidak datang angin menerbangkan awan mendung”, berkata kawan prajurit itu disebelahnya ikut memandang langit berawan hitam tebal berharap hujan akan turun.

“Kemarin warna langit sama seperti malam ini, tapi jangankan hujan besar, gerimis saja tidak juga turun”, berkata prajurit lainnya sambil menuangkan minuman wedang jahe kedalam mangkuknya.

Pagi itu mentari sudah bergeser setinggi alis diatas hamparan laut biru ketika sebuah perahu bercadik berlayar tunggal terlihat mulai merenggang bergeser dari dermaga kayu Bandar Ujung Galuh.

“Bila ada kesempatan, aku akan sering-sering menengok Ayah”, berkata Ranggalawe melambaikan tangannya kepada seorang tua yang terlihat masih gagah penuh senyum membalas lambaian tangan Ranggalawe. Orang tua berpenampilan bangsawan dan sangat begitu gagah itu tidak lain adalah Adipati Arya Wiraraja yang akan kembali pulang ketanah Perdikan Songenep.

Raden Wijaya, Ranggalawe, Ki Sandikala dan Mahesa Amping mengantar Adipati Arya Wiraraja sampai di dermaga Bandar Ujung Galuh. Mata mereka terus mengiringi perahu bercadik yang memuat Adipati Arya Wiraraja bersama dengan empat orang prajurit Singasari yang ditugaskan untuk mengantar orang tua itu sampai di Tanah Perdikannya sendiri, di Tanah Perdikan Songenep Pulau Madhura. Dan akhirnya perahu bercadik itu telah semakin jauh tersamar bersama puluhan perahu nelayan dibawah lengkung langit biru yang bersanding bersama gumpalan kapas awan putih yang bergerak tertiup angin menuju arah timur bumi.

Hari itu Raden Wijaya seperti biasa meninjau pembangunan benteng prajuritnya. Namun hanya beberapa saat saja. Karena tidak begitu lama terlihat Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Ki Sandikala telah menyeberangi sungai Kalimas. Ternyata mereka menuju ke Hutan Maja.

Matahari pagi telah merangkak naik menerangi padang perdu yang berhadapan dengan Hutan Maja.

“Diatas padang perdu inilah kita akan membangun petakpetak sawah dan ladang”, berkata Raden Wijaya diatas sebuah batu sungai kecil yang jernih membelah padang perdu.

“Aku merasakan ratusan tahun silam diatas padang perdu ini sudah pernah tumbuh sebuah ladang yang luas dipenuhi tanaman umbi”, berkata Ki Sandikala sambil menyapu pandangannya ke hamparan padang perdu di tepi hutan Maja yang cukup luas.

“Beberapa bulan lagi akan berubah seperti yang Ki Sandikala bayangkan, menjadi hamparan petak-petak sawah dan ladang”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala.

“Mari kita melihat Tanah Keraton kita”, berkata Ki Sandikala seperti tidak sabar mengajak Mahesa Amping dan Raden Wijaya masuk ke Hutan Maja.

Tangan-tangan cahaya matahari pagi sepertinya tertahan di bibir Hutan Maja, melepas Ki Sandikala, Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang telah masuk ke dalam Hutan Maja yang gelap dirimbuni daun dan dahan pohon hutan yang rapat seperti pagar berlapis dipenuhi tanaman rimba, lumut dan perdu yang menjalar membelit batang-batang pohon kayu yang besar dan kokoh berdiri tak terjamah.

“Disinilah kita akan mendirikan sebuah bangunan utama, singgasana Sang Syiwa menjaga keseimbangan semesta buminya”, berkata Ki Sandikala ketika mereka telah masuk lebih dalam lagi ketengah hutan Maja berhenti di sebuah tanah datar dipenuhi semak perdu. “Tanah datar ini sepertinya telah menunggu ratusan tahun silam dengan penuh kesabaran hati. Semoga kitalah orang pertama yang dinantikannya itu”, berkata Ki Sandikala sambil memandang semak perdu.

“Ada tanah lapang bersemak perdu berjumlah delapan mengelilingi tanah ini”, berkata Mahesa Amping sambil berkeliling matanya memandang tempat disekitarnya.

“Cakra Nawasanga”, berkata bersamaan Ki Sandikala dan Raden Wijaya.

Bertiga mereka seperti tersentak mengagumi keberadaan yang aneh, seperti berdiri diatas sebuah hamparan delapan arah mata angin cakra, dan mereka seperti tiga sosok makhluk kerdil berdiri diatasnya.

“Hanya ada tiga buah pohon Maja berjajar menaungi sebuah blumbang bermata air jernih” berkata Mahesa Amping mendekati sebuah blumbang yang airnya begitu jernih.

“Sungai kecil yang kita temui di padang perdu berasal dari blumbang ini”, berkata Raden Wijaya

“Gusti Yang Maha Agung sepertinya telah mengaruniakan tanah ini untuk kita”, berkata Ki  Sandikala dengan wajah penuh rasa syukur.

“Kita sudah dapat gambaran yang jelas tentang tanah di Hutan Maja ini, kuserahkan kepada Ki Sandikala untuk merancang bangunan diatasnya. Aku yakin di dalam benak pikiran Ki Sandikala semuanya sudah tergambar nyata”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Sandikala.

“Kuterima tugas maha karya ini sebagaimana Sri Sanggramadananjaya memerintahkan Gunadharma membangun candi Borobudur. Semoga persembahan bakti karya hamba ini tidak mengecewakan tuanku Raden Sanggrama Wijaya”, berkata Ki Sandikala penuh rasa hormat.

Matahari telah berada dipuncak langit, cahayanya telah menembus tanah datar bersemak perdu itu. Raden Wijaya, Ki Sandikala dan Mahesa Amping telah melangkah keluar dari Hutan Maja.

Panas matahari menyengat tubuh mereka yang baru keluar dari Hutan Maja. Semilir angin berhembus lembut menyapu pucuk-pucuk daun perdu. Bunga liar warnawarni seperti tersenyum mengiringi langkah kaki mereka yang terlihat tengah menyusuri sungai kecil yang membelah padang perdu berjalan diatas batu-batu hitam yang berserak sepanjang sungai kecil berair jernih itu.

Hutan Maja telah semakin jauh dari punggung-punggung mereka seperti gadis rindu yang menatap sayu berharap sang jejaka datang kembali berkunjung merangkai kembali cinta kasih masa depan yang indah dalam canda dan damai kebahagiaan yang abadi.

“Maaf telah membuat kamu menunggu lama”, berkata Raden Wijaya kepada seorang prajurit yang memang telah menunggu mereka dengan rakitnya. “Seorang prajurit tadi datang menyampaikan pesan bahwa ada tamu dari Kotaraja Kediri menunggu tuanku”, berkata prajurit muda itu kepada Raden Wijaya.

“Apakah kamu menanyakan apa keperluan tamu itu?”, bertanya Raden Wijaya ketika mereka sudah berada diatas rakit.

“Maafkan hamba yang tidak menanyakannya”, berkata prajurit itu merasa bersalah.

“Tugas kamu hanya menyeberangkan kami, bukan bertanya”, berkata Raden Wijaya penuh senyum kepada prajurit itu sambil menepuk bahunya membesarkan hatinya kembali.

Ketika Raden Wijaya, Ki Sandikala dan Mahesa Amping tiba di depan barak, terlihat beberapa orang berdiri menyambut kedatangan mereka. Mereka bertiga langsung bergabung duduk di barak dengan hanya beralas tikar bersih yang begitu sederhana.

“Maaf bila penerimaan kami tidak sebagaimana mestinya, inilah tempat kami yang sederhana”, berkata Raden Wijaya memulai sambutannya kepada utusan Raja Kediri itu.

Utusan Raja Kediri itu pun menyampaikan maksud kedatangannya untuk menyerahkan sebuah prasasti tanda pengancingan atas tanah Swatantra kepada  Raden Wijaya.

“Tuanku Baginda Raja Jayakatwang telah berkenan mempercayakan prasasti ini kepada hamba untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya”, berkata utusan Raja Kediri itu sambil menyerahkan sebuah prasasti kepada Raden Wijaya.

“Aku terima prasasti ini, sebagai bukti rasa terima kasihku kepada tuanmu akan kuserahkan Senapati Jaran Pekik untuk kamu bawa kembali ke Kotaraja Kediri bersama guru dan dua orang kawannya”, berkata Raden Wijaya kepada utusan raja Kediri itu.

Terlihat Raden Wijaya memerintahkan seorang prajurit membawa tawanan mereka, Senapati Jaran Pekik bersama guru dan dua orang kawannya.

Maka tidak lama berselang, terlihat beberapa prajurit sudah membawa Senapati Jaran pekik bersama guru dan dua orang kawannya.

“Mari kita rayakan hari perpisahan kita”, berkata Raden Wijaya yang meminta Senapati Jaran Pekik bersama guru dan dua orang kawannya duduk bersama dalam satu perjamuan.

Demikianlah, mereka menikmati perjamuan siang itu tidak lagi seperti dua kubu yang berbeda, tapi layaknya sebuah keluarga yang satu penuh persaudaraan.

“Kami datang lewat jalur air”, berkata utusan Raja Kediri ketika menyampaikan maksud hatinya untuk pamit diri kembali ke Kotaraja Kediri.

“Terima kasih telah memperlakukan kami dengan baik selama ini”, berkata Senapati Jaran Pekik sambil merangkapkan kedua tangannya penuh rasa hormat kepada Raden Wijaya dan beberapa prajurit yang terlihat mengantar keberangkatan rombongan utusan Raja Kediri di depan barak mereka.

Terlihat mata Raden Wijaya terus mengiringi rombongan utusan raja kediri itu yang berjalan semakin jauh menuju muara Kalimas dimana perahu mereka telah menunggu untuk membawa mereka kembali Ke Kotaraja Kediri lewat jalur air sebagaimana mereka datang. Matahari telah bergeser kebarat bersama awan putih memenuhi langit biru mengantar rombongan utusan Raja Kediri itu menuju muara Kalimas diujung tatap mata Raden Wijaya yang masih berdiri dideban baraknya.

“Pada suatu saat aku akan meminta lebih, meminta semua yang telah terampas”, berkata Raden Wijaya kepada dirinya sendiri sambil menggenggam erat-erat prasasti ditangannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar