Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 04

 “AKU setuju, sebagian prajurit Singasari ada disana. Juga sebagai tempat yang paling dekat dari Padang Konjaran ini”, berkata Mahesa Amping memberikan pandangannya. “Mungkin Ki Sandikala punya pandangan yang lain”, berkata kembali Mahesa Amping mempersilahkan Ki Sandikala menyampaikan pandangannya.

“Hamba sependapat dengan tuan Senapati Mahesa Amping. Bahkan menurut hamba Bandar pelabuhan Ujung Galuh adalah sebuah tempat yang baik untuk memulai harapan dan cita-cita dimasa depan, membangun kembali istana Tumapel di tanah baru sebagaimana yang dipikirkan oleh Ratu Anggabhaya bahwa ketika kita membuka jendela istana pura, mata kita tidak hanya memandang gunung, lembah dan hijaunya persawahan. Tapi kita juga dapat melihat dari jendela istana pura hamparan lautan biru yang luas sejauh mata memandang”, berkata Ki Sandikala memberikan pandangannya. “Ketika di pulau Tanah Wangi-wangi, Ratu Anggabhaya banyak bercerita tentang cita-citanya membangun sebuah singgasana laut yang besar. Dan hamba melihat tanah di dekat Bandar pelabuhan Ujung Galuh adalah tanah yang baik membangun harapan itu”, berkata kembali Ki Sandikala.

“Mungkin Ki Sandikala punya pandangan tersendiri memilih Bandar pelabuhan Ujung Galuh”, berkata Mahesa Amping meminta kembali Ki Sandikala mengurai pandangannya.

“Sebab tanah Ujung Galuh adalah pusat bumi”, berkata Ki Sandikala sambil tersenyum memandang Raden Wijaya dan Mahesa Amping.

“Bagaimana Ki Sandikala dapat begitu yakin bahwa tanah Ujung Galuh adalah sebuah tanah pusat bumi?”, bertanya Raden Wijaya penuh penasaran.

“Tanah itu timbul dan tenggelam seiring perjalanan waktu tiga ratus tahun, pulau pasak bumi”, berkata Ki Sandikala dengan wajah penuh senyum.

“Pulau pasak bumi, aku pernah mendengarnya dari seorang guru pendeta istana”, berkata Raden Wijaya penuh kegembiraan.

“Raja Jayakatwang pasti juga pernah mendengar cerita yang sama, dan kita telah mendahuluinya menemukan pulau pasak bumi lewat jalannya, menghadang dua ribu pasukan Kediri yang akan menguasa Bandar pelabuhan Ujung Galuh. Tidak ada yang kebetulan didalam dunia ini”,berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya dan Mahesa Amping dengan wajah dan senyumnya yang sareh.

Lengkung langit biru diatas padang ilalang Konjaran begitu cerah ditandai matahari yang bersinar teduh terhalang awan tipis ketika sebuah iring-iringan panjang sebuah pasukan terlihat berjalan meninggalkannya.

Hari itu Raden Wijaya telah memutuskan untuk membawa pasukannya ke Bandar Ujung Galuh. Sebuah perjalanan yang tidak begitu panjang karena hanya berjarak sehari perjalanan berkuda. Namun kali ini mereka harus berjalan kaki dengan membawa begitu banyak orang yang terluka dan banyak tawanan perang yang harus dijaga dengan sangat ketat, sebab dapat saja mereka melarikan diri atau melakukan pemberontakan di dalam perjalanan.

Terlihat ratusan burung bangau putih pengembara terusik terbang saling berlomba menjauh menakala iring-iringan itu menyusuri hutan Galam yang dipenuhi air dangkal. Untuk mereka yang berkuda memang bukan sebuah halangan yang berarti, namun tidak juga bagi mereka yang harus berjalan kaki diatas hutan galam berair itu yang terkadang tinggi air dapat mencapai selutut orang dewasa. Lebih repot lagi mereka yang harus membawa tandu mengusung kawannya yang terluka.

Akhirnya setelah merasa begitu lelah dan berat melangkah diatas jalan berair membelah hutan Galam, iring-iringan pasukan itu terlihat satu persatu telah naik keatas tanah kering diujung Hutan Galam.

Sejenak mereka menikmati berjalan diatas tanah kering setelah begitu lama kaki mereka terendam dibawah air Hutan Galam.

Iring-iringan pasukan itu terus berjalan bersama cahaya bulat sang mentari yang telah semakin rebah dikiri jalan mereka dan masih mengawani langkah mereka.

Namun manakala sang mentari sudah begitu lelah menggelantung diujung bibir bumi, terlihat iring-iringan pasukan itu itu berbelok arah membelakangi cahaya senjanya.

“Di padukuhan pertama kita bermalam”, berkata raden Wijaya kepada seorang perwiranya ketika berjalan melewati sebuah bulakan panjang yang menghadap sebuah hamparan sawah luas yang menandakan adanya sebuah pemukiman tidak jauh lagi dari perjalanan mereka.

Demikianlah, disaat senja telah jauh lewat meninggalkan mereka, iring-iringan pasukan Raden Wijaya terlihat sudah mendekati sebuah padukuhan yang sudah menerangi rumah-rumah mereka dengan pelita malam.

Namun ketika iring-iringan pasukan Raden Wijaya telah memasuki jalan padukuhan itu, satu dua orang terlihat keluar mendekati pagar rumah mereka.

“Maaf bila kami tidak dapat melayani tuan dengan baik, banjar desa kami tidak begitu besar”, berkata seorang Bekel yang datang menemui Raden Wijaya di Banjar desa.

“Kamilah yang seharusnya mohon maaf tidak minta ijin terlebih dahulu menggunakan banjar desa ini, kami masuk disaat hari telah jatuh gelap dan tidak ingin merepotkan Ki Bekel”, berkata Raden Wijaya kepada seorang yang sudah begitu tua memperkenalkan dirinya sebagai seorang Bekel di Padukuhan itu.

Demikianlah, rombongan pasukan Raden Wijaya telah bermalam di Padukuhan itu.

Tiga ekor burung manyar kecil terlihat keluar dari rumah sarangnya yang terbuat dari rangkaian daun-daun kering mengegelantung di batang sebuah pohon suren ketika sebuah asap api unggun para prajurit terbawa angin mengusik dan mengejutkan tidur mereka di dekat Banjar Desa.

Malam itu para prajurit terlihat tengah menghangatkat dirinya di depan sebuah api unggun. Beberapa lainnya sudah tertidur rebah di halaman terbuka. Sementara itu beberapa prajurit lagi masih terus berjaga tidak sedikit pun melepaskan kewaspadaannya. Terutama mereka yang saat itu tengah menjaga para tawanan perang.

Sementara itu, tiga ekor manyar kecil sudah kembali masuk ke sarang mereka yang kecil berhimpit saling menghangatkan diri.

Angin basah berhembus menyapu jalan dimana para prajurit sebagian sudah mengampar tertidur pulas tidak merasakan apa-apa. Terlihat bintang-bintang dilangit malam sepertinya ikut berjaga sepanjang malam itu.

Malam pun akhirnya berlalu berganti warna pagi yang ditandai dengan ramainya bunyi kicau burung terbang dari satu cabang pohon ke cabang pohon yang lain. Seekor burung kutilang kuning tengah memanggil pasangan betinanya yang jauh diujung pucuk  pohon maja yang banyak tumbuh di padukuhan itu.

Pagi itu para prajurit tidak perlu lagi menyiapkan dapur umum untuk sarapan pagi mereka. Karena para penduduk sudah datang membawa beberapa makanan dan minuman hangat. Ternyata disaat pagi gelap Ki Bekel telah memerintahkan beberapa orang untuk menyiapkan makanan untuk tamu mereka.

“Kami jadi merepotkan Ki Bekel”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Bekel yang datang menemaninya di Banjar Desa.

“Kami dengan sangat senang hati melakukannya, jarang sekali ada pasukan Singasari yang lewat bahkan bermalam di padukuhan kami”, berkata Ki Bekel sambil tersenyum.

“Padukuhan ini tidak begitu jauh dari Bandar Ujung Galuh, mungkin kami akan sering berkunjung ke Padukuhan ini”, berkata Raden Wijaya kepada Ki bekel.

“Bandar Ujung Galuh hanya terhalang hutan Maja”, berkata Ki Bekel kepada Raden Wijaya yang pernah melewati hutan Maja untuk sebuah keperluan di Bandar Ujung Galuh.

Demikianlah, Raden Wijaya dan pasukannya tidak lama di Padukuhan itu, ketika pagi sudah sedikit diwarnai cahaya hangat matahari mereka sudah kembali melanjutkan perjalanannya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Bekel,  jalan menuju Bandar Ujung Galuh hanya terhalang hutan  Maja. Terlihat didepan mata mereka sebuah hutan yang begitu lebat, nampaknya sebuah hutan yang jarang sekali dimasuki oleh manusia bila tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.

Terlihat iring-iringan pasukan Raden Wijaya sudah mulai memasuki hutan Maja. Mereka seperti iring-iringan semut hitam masuk ke lubang hitam yang gelap, seketika mereka sudah hilang tenggelam di dalam kelebatan hutan Maja yang begitu pekat. Begitu pekatnya hingga cahaya matahari begitu sulit menerobos celah daun dan batang untuk sampai menyentuh tanah hutan.

Iring-iringan pasukan Raden Wijaya sudah semakin memasuki lebatnya hutan Maja. Semakin masuk kedalam semakin sulit perjalanan yang harus mereka lewati karena pohon-pohon di hutan itu semaki kerap dan dipenuhi semak belukar yang merayap menutupi batang pohon dan jalan diantaranya. Dengan sangat terpaksa para penunggang kuda harus turun dari kudanya.

Hingga akhirnya dengan penuh semangat mereka dapat juga terus menerobos hutan yang sangat kerap itu. Namun keanehan telah terjadi ketika mereka sudah tiba ditengah hutan Maja. Kuda Raden Wijaya tidak mau melangkah kedepan, sepertinya kuda itu telah ditahan oleh tangan-tangan yang kuat.

“Kuda ini sepertinya enggan melangkah lagi”, berkata Raden Wijaya yang tengah mencoba menarik kudanya kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala.

“Jangan dipaksa, kuda tuanku sudah menemukan rumahnya”, berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya yang langsung memandang kepadanya.

“Didepan kita pulau pasak bumi sudah tidak begitu jauh lagi, kuda tuanku sudah menunjukkan kepada tuanku sebuah tanah harapan baru”, berkata kembali Ki Sandikala dengan dengan wajah penuh senyum.

“Tempat ini sepertinya meminta diriku untuk tinggal lebih lama lagi, aku merasakan rasa kantuk yang sangat”, berkata Raden Wijaya menyampaikan perasaan yang aneh ketika berada di tempat itu.

Maka akhirnya Raden Wijaya memerintahkan pasukannya untuk berhenti sebentar di tengah hutan Maja untuk beristrirahat.

Terlihat Raden Wijaya tengah melangkah mencari sebuah batang pohon untuk bersandar. Dan Raden Wijaya tidak perlu waktu yang lama, rasa kantuknya sudah begitu cepat membawanya pergi tertidur pulas bersandar pohon besar di tengah hutan Maja.

Cukup lama juga Raden Wijaya tertidur bersandar di bawah pohon besar itu. Didekatnya terlihat Mahesa Amping dan Ki Sandikala ikut bersandar di batang pohon yang sama.

“Apakah aku tertidur cukup lama?”, bertanya Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala yang saat itu berada didekatnya

“Tidurmu membuatku menjadi iri, begitu pulasnya”, berkata Mahesa Amping menganggukkan kepalanya membenarkan bahwa tidur Raden Wijaya memang cukup lama.

“Aku bermimpi bahwa aku telah berada di sebuah istana yang begitu besar dan megah. Ketika kubuka jendala istana pura kulihat lautan luas sejauh mata memandang bersama beberapa perahu jung besar diatasnya dengan layar penuh terkembang. Dalam mimpiku itu aku mencari kalian berdua di hampir segala lorong istana, tapi kalian tidak juga dapat kujumpai. Ketika ku terbangun, aku mensyukuri diri bahwa kalian masih ada”, berkata Raden Wijaya bercerita tentang mimpinya yang aneh ditengah hutan Maja itu kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala.

Terlihat Mahesa Amping dan Raden Wijaya memandang kearah Ki Sandikala berharap agar Ki Sandikala dapat mengungkap isi dan tabir dari mimpi Raden Wijaya.

“Dewata Nawasanga mengatur dan mengendalikan alam jagat raya ini”, berkata Ki Sandikala berhenti sebentar menarik nafas panjang sepertinya ingin menarik semua bayangan mimpi Raden Wijaya kedalam alam pikirannya agar dapat diuraikannya satu persatu. “Dewa Syiwa duduk diatas singgasana menjaga puser alam jagat raya dalam keseimbangan kekuatan para dewa di delapan penjuru mata angin. Mimpi tuanku Raden Wijaya memberikan keyakinan kepada diriku bahwa di atas langit hutan Maja inilah salah satu istana pura Dewa Syiwa bersemayam karena berdekatan dengan pulau pasak bumi Bandar Ujung Galuh. Mimpi tuanku Raden Wijaya adalah sebuah isyarat dari yang Maha Agung agar tuanku Raden Wijaya membangun tahta Singgasana di bumi diatas hutan Maja ini sebagai penjaga bumi. Tuanku Raden Wijaya adalah perwakilan sang Syiwa di bumi ini”, berkata Ki Sandikala sambil merangkapkan kedua tangannya penuh hormat kepada Raden Wijaya.

“Ungkapan sebuah mimpi dari seorang Gurusuci yang dihormati di Jawadwipa dan Balidwipa adalah sebuah kejujuran hati, aku berjanji akan membangun istana Tumapel di tanah ini”, berkata Raden Wijaya yang percaya kepada Ki Sandikala tentang tabir mimpinya itu.

“Hamba cuma seorang tabib dari Lamajang yang mengerti sedikit tentang beberapa jenis tumbuhan obat”, berkata Ki Sandikala sambil tersenyum menatap kedua Senapati itu bersamaan.

“Hari ini bertambah satu sebutan untuk Ki Sandikala sebagai juru Tabir mimpi”, berkata Mahesa Amping yang ditanggapi Ki Sandikala hanya melebarkan bibirnya membentuk sebuah senyuman yang begitu meneduhkan.

“Hutan Maja ini berdekatan dengan kekuasaan Adipati Arya Wiraraja di pulau Madhura, kita perlu mendapat dukungan darinya”, berkata Raden Wijaya.

“Setelah urusan kita membawa para tawanan ke Bandar Ujung Galuh, kita dapat menyeberang ke Madhura, meyakinkan Adipati Wiraraja tentang perjuangan kita”, berkata Mahesa Amping menyampaikan usulannya.

“Kita sudah mendapatkan dukungan kesetiaan dari hampir seluruh raja di Jawadwipa ini, semoga kita mendapatkan juga kesetiaan dari Adipati Arya Wiraraja”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala.

Demikianlah, Raden Wijaya telah memerintahkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanannya kembali.

Dan semua bernafas lega manakala kuda Raden Wijaya mau melangkahkan kakinya berjalan, beberapa orang mengaitkannya dengan para penunggu Hutan Maja.

“Di hutan Maja ini pasti banyak penunggunya”, berkata seorang prajurit berbisik kepada kawannya sambil berjalan.

“Aku sependapat denganmu, di hutan ini memang banyak sekali penunggunya”, berkata kawannya menanggapi perkataan temannya. ”Bukankah tadi waktu istirahat kita melihatnya berkelebat diatas pohon?”, berkata kembali kawannya itu.

“Kalau itu seekor kera, bukan penunggu yang aku maksudkan”, berkata prajurit itu merasa bosan bicara dengan kawannya itu yang sering tidak nyambung.

Terlihat iring-iringan pasukan Raden Wijaya telah keluar dari Hutan Maja, sinar matahari menyambut mereka dengan cahayanya yang terang benderang masih menggelantung di lengkung langit tengah merayap meninggalkan kaki langit.

Akhirnya iring-iringan itu berhenti di tepi Kalimas. Beberapa prajurit Singasari ternyata telah menyembunyikan beberapa rakit bambu disebuah tempat. “Mungkin perlu beberapa kali angkut untuk membawa semua rombongan menyeberang ke Bandar Ujung Galuh”, berkata salah seorang prajurit kepada Raden Wijaya.

Demikianlah setelah beberapa kali angkut pulang pergi menyeberangi sungai Kalimas, semua orang  sudah dapat diseberangkan sampai di Bandar Ujung Galuh.

Ternyata Bandar Ujung Galuh adalah sebuah Bandar yang cukup ramai, begitu banyak perahu besar singgah menaikkan dan menurunkan muatan dagangannya di Bandar itu. Di Bandar Ujung Galuh juga sudah begitu ramai menjadi tempat sebuah hunian, sebuah  padukuhan yang cukup ramai bernama padukuhan Galuh.

“Selamat datang di Bandar Ujung Galuh”, berkata Ranggalawe yang menerima iring-iringan itu disebuah barak prajurit yang masih begitu sederhana yang berada tidak jauh dari pemukiman penduduk setempat.

Setelah beristirahat dengan cukup, Raden Wijaya diajak berkeliling oleh Ranggalawe melihat keadaan disekitar Bandar Ujung Galuh.

“Aku sudah memutuskan menjadikan Bandar Ujung Galuh ini sebagai pusat kekuatan kita”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe.

“Aku setuju, kita dapat mengendalikan jalur pelayaran perahu Jung Singasari sebagaimana dulu di Bandar Cangu”, berkata Ranggalawe menyetujui keputusan itu.

“Bukan hanya mengendalikan jalur pelayaran, tapi sebagai tempat memupuk kembali kekuatan baru menunggu saat yang tepat menggulung penguasa Kediri.

“Aku    akan    selalu    bersamamu    saudaraku”, berkata Ranggalawe mendukung rencana Raden Wijaya.

“Aku perlu dukungan ayahandamu, Adipati Arya Wiraraja”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe.

“Kesetiaan Ayahku kepada keluarga istana Singasari tidak dapat diragukan lagi”, berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya.

“Tapi aku perlu mendengar sendiri hal itu diucapkan dihadapanku”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe.

“Aku akan bersamamu, mengantarmu menemui ayahandaku”, berkata Ranggalawe kepada Raden Wijaya.

“Mari kita kembali ke barak, banyak yang harus kita bicarakan bersama”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe setelah merasa cukup melihat semua keadaan Bandar Ujung Galuh.

Matahari senja diatas Bandar Ujung Galuh masih menggelantung di ujung tepi barat bumi ketika Raden Wijaya dan Ranggalawe datang kembali ke  barak prajurit.

“Lama sekali kalian meninggalkan kami”, berkata Mahesa Amping menyambut kedatangan Raden Wijaya dan Ranggalawe di barak prajurit.

“Besok kita menyeberang ke Pulau Madhura”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala ketika sudah duduk bersama di sebuah barak prajurit.

Akhirnya pembicaraan mereka pun berkembang, bukan hanya mengenai pertemuan mereka dengan Adipati Arya Wiraraja, tapi pembicaraan semakin jauh mengenai bagaimana mempertahankan Bandar Ujung Galuh dari para penguasa Kediri. “Sepertinya kita perlu membuat kantong-kantong pertahanan yang dapat mencegah pasukan Kediri menyerbu ke Bandar Ujung Galuh ini”, berkata Mahesa Amping memberikan sebuah usulan.

“Untuk saat ini kita sudah mempunyai jaringan pasukan sandi yang cukup kuat, usulanmu mungkin akan kita laksanakan sambil melihat perkembangan”, berkata Raden Wijaya memberikan tanggapannya atas usul Mahesa Amping itu.

Sementara itu, langit senja perlahan sudah mulai tergusur bergeser dan menghilang diselimuti warna gelap malam memenuhi langit diatas Bandar Ujung Galuh. Masih terlihat kesibukan para buruh angkut tengah memanggul barang untuk di muat di sebuah perahu kayu dagang. Bandar Ujung Galuh memang seperti bandar besar lainnya saat itu yang tidak pernah sepi disinggahi oleh perahu-perahu dagang dari berbagai penjuru.

“Saatnya aku dan Ki Sandikala berkeliling cari angin”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya dan Ranggalawe setelah tidak ada lagi yang mereka bicarakan.

“Silahkan, semoga dapat menemukan jalan pulang”, berkata Ranggalawe menggoda.

Demikianlah, terlihat Mahesa Amping dan Ki Sandikala tengah keluar meninggalkan barak prajurit. Mereka tidak langsung menuju dermaga bandar Ujung Galuh, tapi telah menuju kearah pemukiman, ke arah Padukuhan Galuh.

Terlihat Mahesa Amping dan Ki Sandikala tengah menyusuri jalan padukuhan menuju ke arah tepi sungai Kalimas yang dibatasi oleh sebuah jalan setapak dipenuhi semak belukar. Ketika Mahesa Amping dan Ki Sandikala sudah hampir mendekati sungai Kalimas, samar-samar dilihatnya sebuah rakit baru saja merapat. Penglihatan Mahesa Amping dan Ki Sandikala yang tajam dapat melihat jelas wajah ketiga orang yang baru saja merapat di tepi Sungai Kalimas itu.

“Ketiga orang itu sangat mencurigakan”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Sandikala ketika melihat ketiga orang itu tengah menyembunyikan rakit mereka.

“Mari kita bersembunyi”, berkata Ki Sandikala kepada Mahesa Amping.

Disekitar tepi Sungai Kalimas itu memang dipenuhi  begitu banyak semak belukar, jadi tidak ada kesulitan bagi Mahesa Amping dan Ki Sandikala untuk mencari tempat persembunyian dimana mereka dapat dengan leluasa mengamati gerak-gerik ketiga orang yang mencurigakan itu.

“Kakang Jaran Pekik pasti bersama tawanan lainnya yang dijaga sangat ketat oleh prajurit Singasari”, berkata seorang lelaki paling diantara ketiga orang itu.

“Tidak perlu khawatir, sahabatku Ki Kober punya gendam yang mumpuni”, berkata seorang lelaki tua dengan rambutnya dibiarkan terurai sudah berwarna putih semuanya. “Kita pasti dapat melepas Jaran Pekik”, berkata kembali orang itu.

“Gendamku sangat tajam dan tidak seorang pun luput saat aku melepaskannya”, berkata seorang lagi yang terlihat bertubuh tinggi besar dengan kepala  gundul tanpa sehelai rambut pun di kepalanya.

Ternyata pembicaraan mereka dapat didengar oleh Mahesa Amping dan Ki Sandikala yang punya pendengaran sangat tajam dan terlatih dari persembunyiannya. Semakin yakinlah keduanya bahwa ketiga orang yang mencurigakan itu ternyata memang punya maksud tidak baik datang di Bandar Ujung Galuh itu.

Terlihat Ki Sandikala dan Mahesa Amping telah keluar dari persembunyiannya mengikuti dari jauh ketiga orang itu.

Setelah melalui jalan Padukuhan yang lengang, terlihat ketiga orang itu berhenti disebuah tempat yang gelap tidak jauh dari barak prajurit.

Sebenarnya barak prajurit yang sederhana  itu merupakan sebuah tajuk besar berbentuk persegi empat yang sekelilingnya hanya ditutup sebagian untuk menahan hempasan angin oleh potongan batang kayu pohon yang dibelah kasar.

Sementara itu para tawanan ditempatkan di bagian tengah barak itu sehingga dapat dilihat dari segala tempat.

Malam itu angin basah semilir berhembus lewat celahcelah dinding barak membuat para prajurit merapatkan kaki dan tangannya melanjutkan tidurnya beralas ilalang dan daun kering.

Ternyata udara malam itu memang agak lain, seperti begitu dingin menyejukkan membuat setiap orang didalam barak itu menjadi ingin merebahkan badannya dan tidak dapat menahan rasa kantuknya sendiri, termasuk sepuluh orang prajurit yang saat itu mendapat giliran meronda terlihat semuanya rebah tidur berbaring dimuka barak.

Rupanya keadaan suasana di sekitar barak itu bukan sebuah yang alami, tapi udara disekitar barak itu ternyata sudah dicemari oleh sebuah ilmu aji sirep gelap ngampar yang telah disebar oleh salah seseorang yang sengaja melepasnya dari tempat yang tidak begitu jauh dari barak prajurit, di sebuah tempat yang gelap dan tersembunyi.

Ternyata yang melepas ajian sirep gelap ngampar itu adalah salah seorang dari ketiga orang yang baru saja datang merapat di bandar Ujung Galuh

“Tugasmu menjaga Ki Kober yang tengah merapal ajian sirep gelap ngamparnya, aku ingin melihat suasana di dalam barak”, berkata seorang lelaki tua yang berambut putih kepada lelaki muda disebelahnya

Terlihat orang itu sudah melangkahkan kakinya mendekati barak prajurit.

Namun baru saja kakinya melangkah tidak begitu jauh tiba-tiba saja ada seorang yang entah dari mana datangnya telah menghadang dan menghentikan langkahnya.

“Semua orang di barak telah tertidur, jadi katakan saja apa kepentinganmu mungkin aku dapat membantu”, berkata orang yang datang menghadang yang tidak lain adalah Mahesa Amping.

“Aku ingin meminta kepalamu”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping yang menganggapnya hanya prajurit biasa yang secara kebetulan tidak terkena ajian sirep gelap ngampar dan telah bermaksud secepatnya melumpuhkannya dengan langsung menerjang menyerang Mahesa Amping.

Bukan main kagetnya orang itu ketika serangannya  dapat dielakkan dengan mudahnya oleh Mahesa  Amping. Padahal serangan itu dilakukan dengan kekuatan dan kecepatan yang cukup tinggi.

Mahesa Amping tidak segera membuat serangan balasan, tapi hanya menunggu serangan lawannya datang.

Kembali dengan rasa penasaran orang itu sudah langsung membuat serangan baru, kali ini dilakukan denga kekuatan dan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya.

Namun kembali dirinya menjadi kaget dan penasaran tidak keruan melihat serangannya dapat kembali dielakkan dengan begitu mudahnya oleh Mahesa Amping.

“Ternyata kepentinganmu di barak ini hanya ingin mencari keringat, mari kita bermain menghangatkan dingin malam ini”, berkata Mahesa Amping dengan sikap siap melayani orang itu.

“Jarang sekali ada orang yang dapat lolos dari seranganku”, berkata orang itu sambil memperhatikan Mahesa Amping dari bawah kaki sampai ke kepala.

Namun ketika matanya beradu pandang dengan mata Mahesa Amping, diam-diam dirinya mengakui bahwa sorot mata Mahesa Amping begitu kuatnya seakan nyalinya terasa hilang seketika terserap daya tarik yang begitu kuat terhisap masuk kedalam bola mata Mahesa Amping.

Terlihat orang itu sepertinya tengah menghentakkan semangatnya mencoba mengusir perasaan jerihnya dengan langsung menerjang Mahesa Amping dengan sebuah tendangan yang datang dengan begitu cepatnya meluncur seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Kembali Mahesa Amping dengan mudahnya menghindari serangan itu dengan sedikit bergeser kesamping, namun kali ini Mahesa Amping tidak diam menunggu, tapi langsung balas menyerang memukul dengan tangan terbuka kearah pinggang lawannya yang terbuka.

Bukan main kagetnya orang itu mendapatkan serangan yang tertuju pada arah pinggangnya yang terbuka. Maka dengan terpaksa dirinya melenting menjatuhkan diri berguling dan berdiri dengan cepatnya dan langsung telah menyerang kembali Mahesa Amping kali ini dengan sebuah pukulan tangannya mengarah dada Mahesa Amping.

Tapi kembali dengan mudahnya Mahesa Amping dapat lepas dari pukulan yang cepat dan sangat keras itu hanya dengan memiringkan sedikit tubuhnya sambil balas menyerang dengan sebuah pukulan tangan tertuju kearah pangkal paha yang terbuka seperti sudah dapat dengan cepat mengetahui letak kelemahan dari jurus pukulan lawannya itu.

Kembali orang itu harus melenting melemparkan dirinya ke tanah dan berguling segera bangkit kembali hanya untuk menghindari pangkal pahanya terhantang pukulan tangan Mahesa Amping.

Mahesa Amping tidak segera menyusul orang itu, hanya berdiri dengan senyumnya.

“Siapakah kamu yang dapat mengetahui rahasia jurusku ini?”, berkata orang tua itu penuh penasaran melihat Mahesa Amping dengan mudahnya menghindari serangannya, bahkan sudah tahu dimana letak kelemahan jurus serangannya itu.

“Aku bukan siapa-siapa, tapi aku dapat bermain bersamamu dengan jurus perguruanmu”, berkata Mahesa Amping sambil membuat sebuah kuda-kuda siap melakukan sebuah serangan.

Bukan main kagetnya orang itu melihat kuda-kuda Mahesa Amping yang tidak lain adalah salah satu jurus andalan perguruannya sendiri.

Ternyata orang itu memang belum mengenal Mahesa Amping yang telah memahami berbagai jenis aliran gerak kanuragan di Jawadwipa dan Balidwipa. Bahkan dengan kecerdasannya yang luar biasa dapat merangkum segala jenis aliran kanuragan menjadi sempurna ditangannya.

Dan Mahesa Amping telah membuktikan kata-katanya dengan menyerang orang itu dengan jurus pukulan perguruannya sendiri.

Maka di malam yang dingin itu terlihat sebuah pertempuran dua orang layaknya dari satu perguruan yang sama saling menyerang dan balas menyerang.

Orang itu seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Mahesa Amping dapat melakukan serangan dan berhindar benar-benar dengan ilmu jurus pukulan perguruannya sendiri.

Namun semua itu tidak berlangsung lama, Mahesa Amping hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya telah mengenal dengan baik jurus aliran lawannya. Maka dalam sebuah serangan yang tidak diduga-duga dimana Mahesa Amping yang telah memahami dimana letak kelemahan jurus aliran lawannya itu telah berhasil menyarangkan sebuah pukulan telak mengenai sisi kiri paha orang itu.

Untungnya Mahesa Amping hanya menggunakan sepersepuluh dari kekuatan tenaga pukulannya itu. Meski begitu pukulan itu sudah membuat orang itu terlempar merasakan sebelah kakinya lumpuh.

Mahesa Amping tidak mengejar orang itu, hanya perlahan melangkah mendekatinya sambil melepas senyumnya.

“Ternyata kisanak dapat melakukan semua jurus aliran kami dengan sempurna, lebih sempurna dari yang dapat aku lakukan. Aku mengaku kalah kepadamu”, berkata orang itu kepada Mahesa Amping penuh kekaguman menatap Mahesa Amping.

“Maaf bila aku bermain terlalu keras telah membuat kakimu terasa lumpuh, mudah-mudahan esok hari kakimu sudah dapat kembali sediakala”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu yang mengetahui bahwa pukulannya tidak akan menimbulkan luka parah, hanya kelumpuhan sementara saja.

Sementara itu apa yang terjadi atas dua orang temannya yang lain ?

Ternyata Ki Sandikala tidak ingin banyak mengeluarkan keringat di malam yang dingin itu. Hanya dengan dua kali tepuk di kedua tengkuk leher kedua orang itu sudah membuat keduanya menjadi pingsan dan tidak dapat berbuat apapun ketika Ki Sandikala mengikat tangan keduanya.

Bersama dengan pingsannya orang yang menyebar ajian sirep gelap ngampar, pudar juga angin keruh yang membuat perasaan setiap orang mengantuk.

“Kupikir aku dapat menonton lebih lama lagi”, berkata seseorang yang muncul dari keremangan malam yang ternyata adalah Raden Wijaya tengah mendekati Mahesa Amping dan lawannya itu.

Tidak lama berselang Ki Sandikala telah muncul bersama dengan dua orang yang sudah terikat tangannya.

Bukan main kagetnya kesepuluh prajurit yang tengah mendapat giliran jaga malam itu yang terbangun dari tidurnya. Api unggun masih sedikit menyala ditengahtengah mereka.

“Kalian baru saja terlepas dari ilmu sirep yang kuat”, berkata Ki Sandikala dengan senyumnya kepada kesepuluh prajurit peronda itu.

“Apa yang telah terjadi disaat kami tertidur?”, bertanya salah seorang prajurit merasa bersalah dan berharap tidak ada kejadian yang merugikan penghuni barak.

“Tidak ada kejadian apapun, hanya ada tiga orang tamu yang perlu kalian layani dengan baik”, berkata Ki Sandikala sambil menunjuk keluar barak kearah dimana Mahesa Amping dan Raden Wijaya tengah menjaga ketiga tawanan barunya.

Serempak kesepuluh prajurit itu sudah langsung berjalan kearah yang ditunjuk Ki Sandikala.

“Satukan ketiga orang ini bersama tawanan lainnya, kalian harus menjaganya lebih hati-hati lagi”, berkata Raden Wijaya kepada kesepuluh prajurit yang sudah datang mendekatinya.

Demikianlah, ketiga tawanan itu sudah dibawa masuk kedalam barak. Sementara itu Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Ki Sandikala ikut mengiringi mereka masuk kembali kedalam barak.

“Ternyata aku harus banyak belajar lagi agar dapat terhindar dari segala sirep”, berkata Ranggalawe yang juga sudah terbangun mendengar kedatangan Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Ki Sandikala.

“Aku juga masih perlu belajar kepada dua sahabat ini untuk dapat melihat dan mendengar sesuatu diluar apa yang terlihat dan terdengar sebatas kasat mata didepan kita”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe sambil melirik kepada Mahesa Amping dan Ki Sandikala.

Terlihat Ki Sandikala dan Mahesa Amping tidak menanggapi perkataan Raden Wijaya, hanya saling pandang berdua dan mengangkat kedua bahu sambil melepaskan senyumnya sebagai jawaban bahwa mereka sendiri tidak tahu akan bertemu dengan ketiga orang yang berniat kurang baik. Diluar itu mereka hanya mengikuti naluri dan perasaan hati.

“Hanya sebuah kebetulan keinginan untuk mencari udara segar, tidak sengaja menemukan tiga ekor ikan besar merapat di Sungai Kalimas”, berkata Ki Sandikala. “Dan aku lebih sangat beruntung dapat mengikat dua ekor ikan segar tanpa luka sedikitpun”, berkata kembali Ki Sandikala yang ditanggapi tawa oleh mereka yang masih belum dapat tidur lagi dibarak itu.

Pagi itu matahari bersinar begitu cerah diatas dermaga bandar Ujung Galuh ketika dua buah perahu bertajuk terlihat bergeser meninggalkan tepian dan terus dikayuh semakin menjauhi arah pantai.

Kedua perahu bertajuk itu adalah rombongan Raden Wijaya yang akan menyeberangi selat Madhura untuk menemui penguasa Madhura saat itu yaitu Adipati Arya Wiraraja.

Terlihat Raden Wijaya ada bersama Mahesa Amping dan Argalanang dalam satu perahu. Sementara di perahu lainnya terlihat duduk berjajar Ranggalawe,  Gajah Pagon, Ki Sukasrana dan Ki Bancak.

Angin berhembus sepoi semilir diatas selat Madhura mengiringi dua buah perahu bertajuk yang dikayuh menyusuri arah utara pantai Jawadwipa. Terlihat dua buah perahu itu beriring berkelok bersama kearah timur mendekati pantai pulau Madhura. Layar tunggal diatas perahu terlihat telah dikembangkan mendorong laju perahu mereka beriringan ditiup angin laut mendekati pantai tepian Kalianget.

Matahari telah rebah dibelakang mereka dengan cahayanya yang teduh disaat hari masih terang jauh diawal senja.Terlihat dua buah perahu ditarik menjauhi lidah-lidah ombak tepi pantai yang landai. Raden Wijaya dan rombongannya sudah sampai di tepi pantai Kalianget.

Sebentar mereka singgah disebuah kedai perkampungan nelayan yang tidak jauh dari tepian pantai untuk sekedar beristirahat sejenak setelah seharian penuh duduk diatas papan kayu perahu terpanggang angin laut yang menyengat dibawah matahari langsung tanpa penghalang apapun.

Terlihat rombongan kecil itu sudah keluar dari kedai perkampungan nelayan menyusuri jalan setapak yang arahnya terlihat lurus berhadapan dengan sebuah hutan.

Rombongan kecil itu pun akhirnya terlihat sudah mulai memasuki sebuah hutan yang dipenuhi pohon kayu tinggi menjulang kelangit, dan menghilang di kerimbunan pekatnya hutan rimbun alam.

Matahari senja terlihat tidak mampu lagi menembus celah daun dan batang pohon hutan yang rimbun. Suasana hutan di pertengahan senja itu menjadi begitu mulai tersamar teduh dan gelap. Namun rombongan kecil itu masih mampu untuk melihat jalan setapak di tengah hutan itu dan terus mengikutinya sebagai tanda jejak jalan menuju kearah Tanah Perdikan Songenep. Matahari senja menyambut kedatangan mereka ketika telah keluar dari kerimbunan hutan melangkahkan kakinya menapaki sebuah bulakan panjang dimuka bibir hutan itu.

“Tanah Perdikan Sungenep sudah tidak jauh lagi”, berkata Ranggalawe yang sudah begitu lama tidak datang pulang ke kampung halamannya.

“Seperti baru kemarin kita meninggalkannya”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Ranggalawe mengingat kembali saat pertama mengenal Ranggalawe dan membawanya dalam pengembaraan pertama Ranggalawe berguru bersama di Padepokan Bajra Seta menjadikan mereka bertiga sebagai tiga orang bersaudara yang selalu bersama dalam suka maupun duka, berbagi kesetiaan bersama.

Akhirnya rombongan kecil itu telah memasuki regol muka Tanah Perdikan Sungenep, mereka sudah berada dijalan Tanah Perdikan yang sudah dipenuhi banyak rumah berjajar sepanjang jalan.

Diantara rumah yang berjajar sepanjang jalan, terlihat sebuah rumah panggung yang paling besar yang ada disepanjang jalan itu. Didepan rumah itu juga ada  sebuah banjar desa persis dimuka gerbang rumah panggung besar itu dimana diantaranya ada sebuah pohon beringin putih besar yang sudah berumur puluhan tahun begitu rindang cabangnya menjulur ke segala  arah.

“Tuanku Ranggalawe, berkata seorang prajurit Tanah Perdikan di depan Banjar desa melihat dan masih mengenali Ranggalawe putra junjungannya itu.

“Kulihat Ki Demak tidak pernah menjadi tua”, berkata Ranggalawe yang juga mengenali prajurit tua itu. Maka rombongan kecil itu sudah masuk menuju pendapa rumah, sementara itu Ki Demak sudah mendahului mereka berjalan dimuka dan berbelok masuk lewat pintu samping untuk memberi kabar kepada Adipati Arya Wiraraja bahwa Ranggalawe putranya datang bersama tamu lainnya.

Maka ketika rombongan itu belum sudah sampai dibawah anak tangga pendapa, seorang lelaki tua telah terlihat dari balik pintu utama pendapa.

“Akhirnya aku masih dapat menemui kembali putraku”, berkata lelaki tua itu yang tidak lain adalah Adipati Arya Wiraraja menyambut penuh suka cita kedatangan putranya.

“Bukankah kalian dua anak lelaki kawan putraku?”, berkata Adipati Arya Wiraraja yang masih mengenali Raden Wijaya dan Mahesa Amping.

“Paman Adipati masih tetap gagah sebagaimana dulu”, berkata Mahesa Amping kepada Adipati Arya Wiraraja yang memang masih terlihat tegar meski seluruh rambut dan janggutnya sudah berwarna putih seluruhnya.

Maka suasana pendapa itu sepertinya begitu meriah dimana mereka saling bercerita tentang hal-hal yang pernah mereka lewati bersama, juga saling mendengar tentang keadaan masing-masing sepanjang perpisahan mereka.

Dan malam itu mereka masih saja bercerita banyak hal tentang berbagai hal terutama perkembangan terakhir runtuhnya kotaraja Singasari.

“Awalnya aku masih belum percaya tentang runtuhnya Kotaraja Singasari. Tapi kedatangan kalian telah meyakinkan diriku bahwa kejadian itu memang sebuah kenyataan yang harus diterima sebagai jalan dan takdir yang sudah ditetapkan oleh Gusti Yang Maha Agung”, berkata Adipati Arya Wiraraja sambil matanya memandang jauh kedepan, jauh melewati regol pintu gerbangnya melewati batas dan waktu membawanya ketika masih sebagai prajurit Singasari yang setia menjaga keluarga istana.

Dalam kesempatan itulah Raden Wijaya bercerita tentang apa yang telah dilakukannya sampai saat ini membangun kekuatan baru untuk menggulung kekuatan Kediri yang saat ini menjadi penguasa baru di Tanah Jawa.

“Seluruh raja di Tanah Jawa telah mendukung dan menyampaikan kesetiannya dibelakang perjuangan kami”, berkata Raden Wijaya kepada Adipati Arya Wiraraja. “Kami para orang muda datang ke Tanah Perdikan Songenep ini hanya untuk berharap restu Paman AryaWiraraja bagi perjuangan kami”, berkata kembali Raden Wijaya kepada Adipati Arya Wiraraja.

“Sepanjang hidupku kuabdikan diri ini kepada keluarga istana Singasari. Ketika tubuh dan jiwa ini sudah rapuh, kuserahkan pula putraku Ranggalawe melanjutkan kesetianku mengabdi bagi keluarga istana Singasari. Aku merestui perjuanganmu wahai putra junjunganku Pangeran Lembu Tal, cucunda terkasih Ratu Anggabhaya yang kucintai”, berkata Adipati  Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya menyampaikan bukan hanya dukungan dan kesetiannya, tapi restu perjuangannya.

“Restu Pamanda Arya Wiraraja adalah doa dan kekuatan untuk perjuangan kami”, berkata Raden Wijaya sambil merangkapkan kedua tangannya penuh rasa hormat dan terimakasih. Diam-diam Adipati Arya Wiraraja memuji tutur kata dari Raden Wijaya yang begitu halus tidak menunjukkan kejumawaan sebagai seorang putra bangsawan. Diamdiam menyukai anak muda itu dan teringat sikap yang sama yang dimiliki oleh junjungannya Ratu Anggabhaya.

“Raja Jayakatwang pernah juga meminta kesetiaan yang sama kepadaku lewat sebuah rontal yang harusnya dibawa langsung oleh keponakanku sendiri Wirondaya”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya bercerita tentang sebuah rontal rahasia.

“Mudah-mudahan Pamanda masih dapat mengenali seorang anak muda yang datang membawa rontal rahasia itu”, berkata Mahesa Amping sambil meminta Adipati Arya Wiraraja melihat langsung salah seorang yang hadir di pendapa rumahnya yang tidak lain adalah Gajah Pagon.

“Aku ini memang sudah pikun, tapi aku ingat bahwa kamulah anak muda itu yang membawa rontal rahasia itu yang kutahu seorang putra sahabatku, Ki Pandakan”, berkata Adipatai Arya Wiraraja setelah mengenali wajah Gajah Pagon.

“Maafkan hamba yang tidak menunjukkan jati diri hamba sebenarnya sebagai seorang prajurit telik sandi Singasari”, berkata Gajah Pagon kepada Adipati Arya Wiraraja sambil merangkapkan kedua tangannya penuh hormat.

“Sudah jadi takdirku untuk tetap terbelit dengan apa yang terjadi pada keluarga istana Singasari. Mudah-mudahan buah pikirku ini masih dapat diterima sebagai jalan awal membantu perjuanganmu”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya.

“Buah pikir Pamanda adalah pusaka buat kami, di seluruh tanah kekuasaan Singasari telah ada sebuah pepatah bahwa satu ujar Pamanda Arya Wiraraja dapat menggugurkan gunung besar. Kami merasa tersanjung bila pamanda dengan senang hati memberikan sebuah jalan bagi kemenangan perjuangan ini”, berkata raden Wijaya dengan wajah ceria kepada Adipati Arya Wiraraja.

“Ananda Raden Wijaya telah memilih tempat yang baik Ujung Galuh sebagai leher Jawadwipa. Ananda Raden Wijaya telah menguasai jalan nafas dimana aliran darah yang mengalir selalu membutuhkannya setiap waktu”, berkata Adipati Arya Wiraraja membenarkan pilihan Raden Wijaya memilih Bandar Ujung Galuh sebagai pusat kekuatannya. ”Sebuah awal dan langkah yang menguntungkan”, berkata kembali Adipati Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya.

“Kami bermaksud memupuk kekuatan secara diam-diam tanpa diketahui penguasa Kediri”, berkata Raden Wijaya kepada Adipati Arya Wiraraja.

“Musuhmu akan memberikannya dengan senang hati”, berkata Adipati Arya Wiraraja dengan penuh senyum menatap semua yang hadir saat itu yang juga tengah memandangnya penuh tanda tanya.

“Yang kalian butuhkan saat ini adalah sebuah waktu dan kesempatan”, berkata Adipati Arya Wiraraja sambil menyapu pandangannya kepada semua yang hadir di pendapa rumahnya yang menatapnya belum dapat menangkap kemana arah pembicaraan sang empu ulung pembuat siasat perang itu. “Aku akan meyakinkan Raja Jayakatwang bahwa yang diinginkan dari Raden Wijaya cuma sebuah tanah Ujung Galuh yang kecil, sementara dirinya akan mendapatkan semua keamanan disemua jalur perdagangannya. Inilah yang akan kutawarkan kepada Raja Jayakatwang”, berkata kembali Adipati Arya Wiraraja sambil menyapu dengan senyumnya semua yang hadir diatas pendapa rumahnya.

“Kami dapat menangkap semua ujar pamanda, Penguasa Kediri tidak akan mengganggu keberadaan kami di Ujung Galuh, sementara itu ada banyak waktu untuk kita memupuk sebuah kekuatan besar ditempat yang tersembunyi”, berkata Raden Wijaya penuh  gembira menerima dan membenarkan siasat Adipati Arya Wiraraja yang cemerlang itu.

“Aku hanya butuh seseorang perwakilan diantara kalian untuk menemaniku menemui Raja Jayakatwang, karena aku akan datang menghadapnya sebagai juru damai dari dua keluarga”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada semua yang ada di pendapa rumahnya.

“Aku dapat menemani Ayahanda”, berkata Ranggalawe menawarkan dirinya

“Kamu adalah anakku, Raja Jayakatwang akan berbalik curiga ada seorang anakku menjadi abdi di belakang keluarga Istana Singasari”, berkata Adipati Arya Wiraraja menolak Ranggalawe menemaninya menghadap penguasa Kediri.

“Akulah yang akan menemani Pamanda ke Kotaraja Kediri, aku datang sebagai seorang senapati wakil keluarga istana Singasari”, berkata Mahesa Amping menawarkan dirinya menemani Adipati Arya Wiraraja.

“Bagus, mereka akan merasa yakin bahwa aku memang datang untuk membuat sebuah perdamaian, membawa serta seorang Senapati musuh mereka”, berkata Adipati Arya Wiraraja menerima Mahesa Amping menemaninya menghadap Raja Jayakatwang.

Sementara itu hari sudah jauh larut malam, dua tiga bintang masih terlihat berkelip bersembunyi diantara celah daun beringin didepan pendapa rumah Adipati  Arya Wijaya.

“Maaf Pamanda bila kami tidak bisa berlama di Tanah Perdikan Songenep ini, di Ujung Galuh saat ini ada beberapa tawanan yang perlu mendapat penanganan khusus. Jadi besok kami sudah harus meninggalkan Tanah Perdikan ini”, berkata Raden Wijaya kepada Adipati Arya Wiraraja menyampaikan rencananya untuk secepatnya kembali ke Ujung Galuh.

“Bila itu keinginan Ananda Raden Wijaya, aku pun akan ikut bersama kalian besok beriring kita sampai di Ujung Galuh”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya.

Demikianlah, keesokan harinya terlihat Adipati Arya Wiraraja memanggil beberapa orang kepercayaanya memberikan beberapa pesan yang harus mereka lakukan selama dirinya tidak ada di Tanah perdikan Songenep.

“Setelah puluhan tahun, baru hari ini aku meninggalkan Tanah Perdikan Songenep”, berkata Adipati Arya Wiraraja kepada Raden Wijaya didekatnya ketika beberapa langkah dari regol gerbang Tanah Perdikan Songenep.

Adipati Arya Wiraraja terlihat berjalan dimuka penuh wajah ceria seperti menemukan kembali jalan lapang merasakan angin lepas menyapu wajahnya. Adipati Arya Wiraraja masih terlihat gagah dengan otot-otot yang masih keras sebagai tanda masih sering menjaga kebugarannya berlatih kanuragan setiap hari tidak sama sekali terlihat sebagai seorang yang tua renta, hanya warna rambutnya saja yang menandakan bahwa usianya sudah dapat dibilang sangat sepuh.

Matahari masih belum jauh marayap diatas kaki langit biru dalam temaram cahaya cerah bersolek awan putih kapas berarak mengiringi rombongan Raden Wijaya semakin jauh meninggalkan Tanah Perdikan Songenep.

Terlihat rombongan kecil itu tengah menyusuri sebuah bulakan panjang dimana dihadapannya adalah sebuah hutan pepat yang sangat lebat. Akhirnya rombongan itu telah sampai dibibir hutan dan satu persatu beriring masuk kedalamnya seperti tenggelam hilang terhalang pohon-pohon besar yang dipenuhi semak yang tinggi merayap mengisi dan memenuhi setiap sisi jalan hutan.

Tidak seperti kemarin dimana mereka memasuki hutan itu disaat matahari sudah mulai condong kebarat sehingga keadaan hutan yang mereka lalui menjadi begitu gelap dan teduh. Sementara hari itu mereka berjalan ditengah hutan disaat matahari mulai merayap dipertengahan hari dimana cahayanya yang kuat terang dapat menembus celah daun dan cabang pohon masih mampu memberi cahaya didalam hutan itu.

Rombongan kecil itu akhirnya terlihat sudah mendekati bibir hutan yang disambut cahaya terang matahari tepat berada diatas kepala mereka.

“Kita singgah di kedai perkampungan nelayan”, berkata Raden Wijaya ketika mereka sudah mendekati sebuah perkampungan nelayan untuk membeli beberapa kebutuhan dalam pelayaran mereka menyeberangi selat Madhura.

Demikianlah, rombongan Raden Wijaya beristirahat di kedai perkampungan nelayan sambil menunggu datangnya awal senja dimana angin cukup kencang akan membawa mereka berlayar menyeberangi selat Madhura kembali ke Jawadwipa di Ujung Galuh.

Matahari terlihat sudah mulai turun merayap mendekati saat senja manakala terlihat dua buah perahu bercadik bergoyang dipermainkan ombak kecil disepanjang pesirir selatan pulau Madhura. Layar tunggal terlihat dikembangkan mendorong perahu laju membelah ombak laut biru diatas selat Madhura.

Dan malam gelap telah terlihat dipenuhi berjuta bintang, dua buah perahu dengan layar terkembang sudah mendekati ujung lain selat Madhura mendekati laut  pantai pesisir Jawadwipa.

Pesisir pantai dan daratan Jawadwipa sudah dapat terlihat seperti raksasa hitam berbaring. Terlihat dua  buah perahu bercadik tengah mendekati bandar Unjung Galuh yang terlihat dari jauh telah dipenuhi cahaya suar pelita perahu dagang yang banyak merapat di dermaga kayu Bandar Ujung Galuh.

“Bandar Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya penuh gembira kepada Adipati Arya Wiraraja disampingnya ketika melihat ujung-ujung tiang layar perahu jung besar memenuhi dermaga Ujung Galuh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar