Tapak-tapak Jejak Gajahmada Jilid 02

Demikianlah iring-iringan pasukan Raden Wijaya  akhirnya setelah melakukan perjalanan beberapa hari akhirnya telah sampai juga di Kotaraja Singasari.

Ternyata beberapa pasukan yang bertugas di beberapa tempat berbeda sudah lebih dulu sampai di Kotaraja Singasari.

Bukan main gembiranya Raden Wijaya mendapatkan laporan dari beberapa perwiranya bahwa mereka umumnya telah melakukan tugas dengan baik.

Beberapa hari kemudian Raden Wijaya telah mulai menuai atas apa yang telah dilakukan bersama seluruh pasukannya di berbagai tempat menggunting jalur upeti untuk penguasa Kediri. Telah berdatangan utusan dari raja-raja di seluruh tanah Jawa menyampaikan dukungan dan kesetiaannya.

“Kami atas nama junjungan tuanku Raja Wengker menyampaikan dukungan dan kesetiaan kami”, berkata salah seorang utusan dari Raja Wengker yang datang ke Kotaraja Singasari.

“Kami dari Kerajaan Pawetan siap menjadi sahabat perjuangan tuanku”, berkata seorang utusan dari sebuah kerajaan Pawetan kepada Raden Wijaya menyampaikan dukungan dan kesetiaannya.

Dan banyak lagi dari berbagai daerah yang dulu pernah bersatu dibawah naungan Singasari Raya datang menyampaikan kesetiaannya, terutama mereka para Raja yang masih kerabat dan keluarga dekat istana Singasari.

“Sampaikan salamku kepada junjungan kalian, bahwa kami mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga atas kesediaan mendukung perjuangan kami, dan kami tidak akan meninggalkan sahabat setia dalam suka maupun duka”, berkata Raden Wijaya kepada para utusan itu di Pasanggrahannya di Istana Singasari.

Demikianlah, Raden Wijaya banyak menerima tamu utusan dari beberapa daerah yang menyampaikan kesetiaan mereka dan dukungannya.

Dan yang membuat Raden Wijaya menjadi merasa begitu terharu manakala datang dari tempat yang begitu jauh, utusan resmi dari Kerajaan Sunda Galuh.

“Guru Suci Dharmasiksa telah meminta kami datang menemui cucundanya, beliau begitu sangat prihatin mendengar apa yang telah terjadi dan menimpa keluarga istana Singasari ini”, berkata utusan itu kepada Raden Wijaya.

“Sampaikan salamku pada Rama Dharmasiksa dan keluarga istana Sunda Galuh, bahwa cucunda dan keluarga tidak berkurang apapun, hanya mohon doa restunya untuk perjuangan cucunda”, berkata Raden Wijaya kepada utusan resmi dari kerajaan Sunda Galuh itu.

“Salam tuanku kepada Guru Suci Dharmasiksa dan keluarga istana Sunda Galuh akan kami sampaikan”, berkata utusan itu kepada Raden Wijaya sambil memohon untuk pamit diri.

Lama Raden Wijaya merenung seorang diri di Pasanggrahannya ketika utusan dari Kerajaan Sunda Galuh itu keluar meninggalkannya.

“Seandainya hari ini kuminta pasukan segelar sepapan dari Kerajaan Sunda Galuh, pasti Rama Dharmasiksa akan mendatangkannya untukku”, berkata Raden Wijaya dalam hati. Sementara itu langit senja diatas Pasanggrahan Raden Wijaya di istana Singasari sudah mulai meredup pergi berganti sang malam bersama rembulan bulat penuh yang tersenyum datang mengintip di ujung atap rumah panggung di depan pendapa utama.

“Malam ini rembulan begitu indahnya”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya ketika muncul di tangga teratas di pendapa utama Pesanggrahan Raden Wijaya di Istana Singasari.

Arya Kuda Cemani malam itu sengaja datang seperti malam-malam sebelumnya menemani Raden Wijaya di Pasanggrahannya.

“Rembulan yang indah diatas Istana Singasari yang sengaja dibiarkan membusuk oleh penguasa Kediri”, berkata Raden Wijaya dengan tertawa getir sambil memandang rembulan dari tempatnya duduk di pendapa utama.

“Mereka penguasa Kediri masih belum berani memasuki Kotaraja Singasari”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Yang pasti mereka tidak akan meminta upeti kepada kita”, berkata Raden Wijaya yang disambut tawa oleh Arya Kuda Cemani.

“Kita sudah berhasil menunjukkan bahwa pasukan Singasari masih ada, dan kita sudah mendapatkan banyak dukungan dan kesetiaan”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Apakah sudah saatnya kita menggempur Kotaraja Kediri?”, berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani dengan wajah penuh percaya diri yang tinggi.

“Belum saatnya, Raden”, berkata Arya Kuda Cemani sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Meski aku melihat kita punya kekuatan yang dapat diandalkan”, berkata kembali Arya Kuda Cemani sambil menarik nafas panjang.

“Sepertinya Paman sudah punya sebuah siasat yang cemerlang”, berkata Raden Wijaya yang melihat bahwa Arya Kuda Cemani sudah mempunyai sebuah rencana lain.

“Sebelum menggempur mereka, kita rapuhkan semangat mereka”, berkata Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya.

“Dengan cara apa kita merapuhkan semangat mereka?”, bertanya Raden Wijaya.

Terlihat Arya Kuda Cemani tidak langsung menjawab, tersenyum melihat Raden Wijaya berpikir menebak rencana dan siasatnya.

“Memutuskan jalur perdagangan mereka”, berkata Arya Kuda Cemani sambil memandang wajah Raden Wijaya yang terlihat begitu cerah mendengar siasat dan rencananya.

“Sebuah siasat yang cemerlang, seperti membiarkan tanaman baru layu tanpa air”, berkata Raden Wijaya dapat menangkap arah dari rencana dan siasat dari Arya Kuda Cemani.

Sementara itu rembulan malam sudah mulai merambat mendaki kaki langit diatas pendapa utama pasanggrahan Raden Wijaya.

Cahaya sinar rembulan juga telah menyinari jalan-jalan di Kotaraja Singasari yang lengang. Kotaraja Singasari setelah serangan prajurit Raja Jayakatwang memang seperti kota mati yang sepi. Banyak warganya yang pergi mengungsi menjauh dan tidak ada niat untuk datang kembali.

Di keremangan cahaya rembulan terlihat tiga orang berkuda tengah memasuki gerbang kotaraja Singasari. Mereka bertiga terus memasuki jalan-jalan Kotaraja Singasari yang begitu lengang dan sepi. Dan kuda mereka akhirnya berhenti tepat di depan pintu gerbang istana Singasari.

Terlihat ketiganya telah turun dari atas kudanya dan menuntun kudanya mendekati gardu ronda.

“Selamat bertemu kembali tuan Senapati Mahesa Amping”, berkata seorang prajurit muda yang datang menyongsong kedatangan mereka.

Ternyata yang disapa oleh prajurit muda itu adalah Senapati Mahesa Amping bersama dua orang sahabatnya yang tidak lain adalah Ki Sandikala dan Argalanang.

Sebagaimana dikisahkan sebelumnya bahwa Senapati Mahesa Amping bersama dua sahabatnya itu telah berlayar menumpang perahu Jung Singasari dari Pulau Tanah Wangi-wangi. Tanpa rintangan apapun akhirnya mereka telah tiba di Bandar Ujung Galuh, sebuah bandar pelabuhan di ujung timur Jawadwipa yang cukup ramai disinggahi banyak kapal kayu pedagang dari berbagai penjuru kota pelabuhan. Dan tanpa beristirahat lagi mereka langsung melanjutkan perjalanan mereka menuju Kotaraja Singasari.

“Maaf bila kedatangan kami telah mengganggu malam kalian”, berkata Senapati Mahesa Amping kepada prajurit muda itu.

“Sudah menjadi tugasku”, berkata prajurit muda itu merasa simpatik dengan sikap Senapati Mahesa Amping yang dianggapnya sangat ramah itu.

Terlihat prajurit muda itu memanggil beberapa kawannya untuk membawa kuda-kuda tamunya dan menawarkan dirinya untuk mengantar Senapati Mahesa Amping, Ki Sandikala dan Argalanang menuju Pasanggrahan Raden Wijaya.

Langit sudah larut malam memenuhi lorong jalan di istana Singasari yang gelap ketika Senapati Mahesa Amping, Ki Sandikala dan Argalanang mengikuti langkah prajurit muda yang berjalan sambil memegang sebuah obor bambu di tangannya menerangi jalan di muka mereka menuju Pasanggrahan Raden Wijaya.

Raden Wijaya dan Arya Kuda Cemani masih ada di pendapa utama Pasanggrahan ketika mereka melihat cahaya obor memasuki halaman Pasanggrahan dan mendekati pendapa utama.

“Kalian datang bersama cahaya obor kegembiraan”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping dan Argalanang dengan penuh gembira.

“Aku membawa cahaya obor yang lain, seorang sahabat baru yang akan membakar semangat perjuangan kita”, berkata Mahesa Amping ketika memperkenalkan diri Ki Sandikala kepada Raden Wijaya dan Arya Kuda Cemani.

Bukan main rasa gembiranya hati Raden Wijaya ketika Mahesa Amping membawa banyak cerita tentang keadaan keluarga Istana Singasari di Pulau Tanah Wangi-wangi.

“Bibit-bibit tanaman yang sengaja dibawa oleh Ratu Anggabhaya ternyata dapat tumbuh di Pulau Tanah Wangi-wangi”, berkata Mahesa Amping bercerita tentang keadaan keluarga istana Singasari di Pulau Tanah Wangi-wangi. “Ratu Anggabhaya telah menurunkan pengetahuannya tentang bercocok tanam yang baik kepada warga Pulau Tanah Wangi-wangi. Mungkin karena itu pula warga penghuni pulau Tanah Wangiwangi memanggilnya dengan sebutan Tuan Raja Jawa”, berkata kembali Mahesa Amping melanjutkan ceritanya.

“Tuan Raja Jawa?”, berkata Raden Wijaya  sambil tertawa mendengar sebutan baru untuk kakeknya Ratu Anggabhaya.

“Jayanagara dan Adityawarman telah menemukan guru yang baik, buyutnya sendiri Ratu Anggabhaya”, berkata Argalanang menambahkan cerita Mahesa Amping.

“Terima kasih, berita tentang keluargaku telah membuat hatiku menjadi begitu tentram”, berkata raden Wijaya yang merasa gembira mendengar bahwa keluarganya saat ini berada di tempat yang aman.

Tidak terasa hari terus berlalu membawa malam terhimpit diujung perjumpaan pagi dalam warna langit memerah.

“Tidak terasa hari sudah hampir pagi”, berkata Arya Kuda Cemani sambil memandang langit yang memang sudah dipenuhi cahaya kemerahan tanda pagi sebentar lagi akan tiba.

“Masih ada sedikit waktu untuk beristirahat”, berkata Raden Wijaya sambil mempersilahkan semua sahabatnya untuk beristirahat.

Terlihat pendapa utama itu telah menjadi begitu sepi manakala Raden Wijaya sebagai orang terakhir yang keluar meninggalkan pendapa utama untuk beristirahat di ujung malam di awal menjelang pagi.

Terdengar sayup suara ayam jantan dari tempat yang begitu jauh saling bersahutan mengisi warna lengkung langit yang semakin rata dipenuhi cahaya kemerahan yang berasal dari sumber cahaya bulat kuning terang yang muncul di ujung timur bumi. Itulah warna cahaya sang Fajar penguasa cahaya wajah bumi pagi yang baru datang dari balik bumi lain menyapa rumput-rumput hijau, mengusap daun dan batang pohon kayu melelehkan butir-butir embun turun membasahi tanah.

Dan akhirnya, cahaya pagi telah memenuhi halaman pasanggrahan Raden Wijaya manakala terlihat beberapa prajurit perwira datang memasuki pendapa utama.

Hari itu Raden Wijaya memang telah mengundang beberapa perwiranya untuk menyampaikan sebuah tugas baru, menutup semua pintu perdagangan menuju Kotaraja Kediri

“Tugas kalian adalah menutup semua jalur perdagangan Kotaraja Kediri”, berkata Raden Wijaya mengawali pembicaraan-nya mengenai sebuah rencana dan siasat baru dari perjuangannya merebut kembali tahta Singasari.

“Tugas ini memang dapat menjadi bias manakala ada sedikit hati untuk memperkaya diri. Namun aku yakin kalian mampu mengendalikan para prajurit untuk tetap berlaku sebagai ksatria utama, sebagai pengayom yang menyejukkan hati dimanapun kalian berada. Semoga aku tidak mendengar ada sekelompok prajurit yang menjadi perampok jalanan”, berkata Raden Wijaya kepada para perwiranya yang nampaknya sudah dapat mengerti apa yang harus dilakukannya.

Satu persatu para perwira itu terlihat pamit diri untuk segera menyiapkan pasukannya melaksanakan tugas baru, menutup semua pintu jalur perdagangan menuju Kotaraja Kediri.

Akhirnya di pendapa utama itu tinggal beberapa sahabat dekat Raden Wijaya sendiri, mereka adalah Mahesa Amping, Ki Sandikala, Argalanang, Ki Bancak, Ki Sukasrana dan Gajah Pagon. Mereka nampaknya masih menunggu tugas apa gerangan yang akan disampaikan oleh Raden Wijaya kepada mereka.

“Penguasa Kediri pasti tidak akan berdiam diri, pasti akan bergerak membuka dengan paksa jalur perdagangan mereka”, berkata Mahesa Amping yang dari semula mendengarkan uraian rencana dan siasat Raden Wijaya kepada para perwiranya.

“Itulah yang kita nantikan, pintu mana yang akan mereka datangi”, berkata Raden Wijaya sambil menyapu wajah semua sahabatnya. “Aku yakin kalian yang ada di pendapa utamaku ini punya kemampuan yang cukup tinggi, sebagai kelompok pasukan khusus yang akan mengurangi kekuatan mereka sebelum sampai di ujung pintu jalur perdagangan yang ingin mereka pecahkan”, berkata kembali Raden Wijaya kepada semua sahabat dekatnya itu.

“Kita akan menjadi sebuah kelompok pasukan senyap, menyerang di kegelapan malam menghantui perjalanan mereka”, berkata Ki Bancak yang telah menangkap maksud dan arah pembicaraan Raden Wijaya.

“Ki Bancak sudah dapat menebak kemana arah perkataanku, dan aku bangga dapat berada bersama kalian”, berkata Raden Wijaya memastikan dirinya akan bergabung dalam kelompok pasukan khusus itu, sebuah pasukan kecil bersama semua sahabat dekatnya yang diketahui kesetiaannya yang saat itu berada di bawah satu atap bersamanya, dibawah atap pendapa utama. Demikianlah, pada hari itu terlihat kesibukan besar di barak-barak prajurit yang tidak jauh dari istana Singasari. Mereka para prajurit Singasari nampaknya tengah mempersiapkan diri mereka esok hari harus sudah segera keluar dari Kotaraja Singasari melaksanakan tugas baru menutup pintu jalur perdagangan yang biasa dilewati oleh para pedagang menuju Kotaraja Kediri dari berbagai penjuru.

“Cuma menghalau sekelompok pedagang, tidak perlu mencabut pedang. Cukup memperlihatkan brewokku ini sudah membuat para pedagang lari kocar-kacir”, berkata seorang prajurit Singasari di baraknya yang berwajah dipenuhi banyak bulu cambang dan kumis yang lebat.

“Tapi terkadang ada beberapa pedagang  yang membawa banyak tukang pukul dalam perjalanan mereka”, berkata temannya mengingatkan.

“Cuma kelas tukang pukul pasar, cukup aku sendiri yang menangani”, berkata prajurit brewok itu penuh percaya diri.

“Bagus, kamu sendiri saja yang berangkat”, berkata kawannya sambil mencibirkan bibirnya.

Maka pada keesokan harinya disaat hari sudah terang pagi, terlihat beberapa orang prajurit terpisah dalam beberapa kelompok telah mulai meninggalkan Kotaraja Singasari. Mereka menuju ke beberapa tempat tertentu yang dianggap sering dilalui oleh para pedagang keluar masuk Kotaraja Kediri dari berbagai penjuru.

Sementara itu jumlah petugas prajurit sandi sengaja ditambah agar dapat lebih simak lagi memantau semua perkembangan yang terjadi, terutama di Kotaraja Kediri.

Ternyata prajurit Singasari yang bertugas memutuskan jalur perdagangan memang sungguh dapat diandalkan, mereka telah melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya dan tidak bergeming manakala seorang pedagang mencoba menguji kesetiaan mereka.

“Kami sudah mendapat upah yang cukup sebagai seorang prajurit, bawalah kembali semua barang-barang kamu”, berkata seorang perwira prajurit kepada seorang pedagang yang mencoba bermain mata kepadanya.

Namun di beberapa tempat para prajurit Singasari harus berlaku keras manakala para pedagang dengan para pengawalnya mencoba menerobos jalan dengan paksa.

Satu dua hari Kotaraja Kediri memang belum merasakan apapun dampak dari penutupan jalur perdagangan mereka. Namun setelah berjalan dua pekan lamanya, baru para warga Kotaraja Kediri merasa terganggu terutama beberapa barang yang tidak dapat dipenuhi oleh warganya sendiri menjadi langka, atau ada barangnya namun harus ditukar dengan harga yang cukup tinggi.

Beberapa saudagar Kediri yang dekat dengan pihak istana Kediri sudah mencoba melaporkannya kepada para pejabat istana.

Bukan main galaunya Maharaja Kediri mendengar laporan dari beberapa pejabat istana ketika mendengar berita tentang penutupan jalur perdagangan.

“Orang-orang Tumapel itu harus diberi pelajaran”, berkata Maharaja Jayakatwang kepada semua pejabat istana di ruang Maguntur Raya dengan suara penuh kemarahan.

“Hamba mohon ijin paduka untuk mengerahkan prajurit Kediri menghalau penutupan jalur perdagangan itu”, berkata Patih Kebo Mundarang.

“Hari ini kuijinkan dirimu untuk bertindak memberi pelajaran kepada orang-orang Tumapel itu, juga kepada siapapun yang mengganggu kedaulatan kekuasaanku”, berkata Maharaja Jayakatwang kepada Patih Kebo Mundarang.

“Titah Baginda akan hamba laksanakan”, berkata Kebo Mundarang kepada Maharaja Jayakatwang.

Demikianlah, setelah usai pertemuan di ruang Maguntur Raya, Kebo Mundarang telah langsung memanggil beberapa perwiranya.

“Kita harus bersihkan semua jalur perdagangan dari para pengacau”, berkata Patih Kebo Mundarang kepada beberapa perwiranya.

“Para pengacau terpencar dalam beberapa titik jalur”, berkata salah seorang perwiranya.

“Menurut hamba jalur menuju Ujung Galuh adalah jalur utama yang harus dibersihkan terlebih dahulu”, berkata salah seorang Senapatinya kepada Patih Kebo Mundarang.

“Bagus, keberikan untukmu dua ribu prajurit Kediri untuk membersihkan jalur menuju Ujung Galuh”, berkata Patih Kebo Mundarang kepada Senapatinya itu yang bernama Senapati Jaran Pekik.

Bukan main bangganya Senapati Jaran Pekik yang dipercayakan melaksanakan tugas itu, terbayang dalam pikirannya sebuah Bandar Ujung Galuh yang besar yang akan segera dikuasai.

“Setiap hari para saudagar akan datang kepadaku meminta sebuah perlindungan”, berkata Senapati Jaran Pekik dalam hati membayangkan keuntungan pribadi yang akan didapat disamping pujian sang Patih tentunya.

Demikianlah, pada hari itu juga Senapati Jaran Pekik sudah menyiapkan prajuritnya yang akan dibawanya keluar dari Kotaraja Kediri.

Terlihat kesibukan di sebuah barak prajurit yang tidak jauh dari istana Kediri, beberapa prajurit yang besok  akan berangkat tengah menyiapkan dirinya.

“Gagal sudah rencanaku untuk ijin pulang kampung”, berkata seorang prajurit Kediri kepada kawannya.

“Bukankah pekan lalu kamu sudah ijin pulang kampung?”, bertanya kawannya itu.

“Ketika pulang kampung, aku tertarik kepada seorang gadis tetanggaku yang sudah semakin cantik”, berkata prajurit itu kepada kawannya.

“Aku mengerti, kamu minta ijin pulang kampung lagi untuk meminta orang tuamu datang melamarnya”, berkata kawannya itu mencoba menebak pikiran prajurit kawannya itu.

“Benar, itulah yang kupikirkan. Aku takut gadis itu keduluan dilamar orang lain”, berkata prajurit itu dengan wajah bersungut.

“Kalau memang jodoh, tidak akan lari kemana-mana”, berkata kawannya mencoba menghibur.

“Maksudmu meski gadisku itu akhirnya sudah menjadi janda?”, berkata prajurit itu sambil berkacak pinggang memandang kawannya yang langsung pura-pura sibuk membersihkan senjatanya.

Kawannya itu sepertinya tidak mempedulikan lagi prajurit itu, terlihat asyik sendiri menyapu punggung pedangnya dengan minyak dan menggosoknya perlahan. Beberapa prajurit Kediri saat itu memang sedang menyiapkan dirinya, menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk perjalanan mereka, yang dikabarkan dengan begitu sangat mendadak. Namun sebagai seorang prajurit mereka memang harus sedia setiap  saat. Kapan pun, meski di tengah malam sekalipun.

Namun ternyata para prajurit sandi Singasari ternyata sudah berada di hampir setiap penjuru Kotaraja Kediri. Berita tentang akan berangkatnya dua ribu prajurit Kediri sudah mereka dapatkan. Dan mereka tidak harus menunggu hari esok, hari itu juga seorang prajurit sandi Singasari telah keluar dari Kotaraja Kediri, memacu kudanya membawa berita yang amat sangat penting itu.

Prajurit sandi itu terus memacu kudanya tanpa berhenti, bahkan ketika hari menjelang malam. Dalam pikirannya justru malam hari sepanjang jalan menjadi sepi dan tidak seorang pun memperhatikan dirinya terutama ketika harus melewati sebuah jalan Padukuhan. Namun di sebuah bulakan panjang Prajurit sandi Singasari itu menghentikan kudanya tepat di sebuah rumah yang terpisah dan terkucil dari banyak rumah di sebuah Padukuhan.

Ternyata rumah itu adalah rumah penghubung jalur sandi para prajurit sandi Singasari yang sengaja dibangun antara Kotaraja Kediri dan Kotaraja Singasari untuk berbagai keperluan.

“Rawatlah kuda itu dengan baik, setengah hari perjalanan kami tidak beristirahat”, berkata prajurit sandi itu kepada seseorang kawannya di rumah itu sambil melompat kepunggung kuda baru.

“Semoga selamat sampai di tujuan”, berkata kawannya itu kepada prajurit sandi yang menjawabnya dengan sebuah senyuman sambil langsung  menghentakkan perut kuda yang ditungganginya itu dengan kakinya.

Maka terlihat kuda itu seperti kaget terhentak mengangkat kedua kakinya dan langsung melangkah berlari diiringi pandangan mata kawan prajurit sandi itu. Sebentar saja kuda dan prajurit sandi itu sudah menghilang di kegelapan malam.

Sepanjang malam prajurit sandi itu terus memacu kudanya tiada henti, dan ketika warna langit malam mulai memerah di ujung pagi baru terlihat melambatkan laju kudanya dan berhenti di sebuah jalan di pinggir sebuah hutan. Terlihat prajurit sandi itu bersandar di sebuah batang pohon besar dan membiarkan kudanya beristirahat minum dan merumput di sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari tempatnya bersandar.

Dan ketika suasana hutan dan jalan tempatnya beristirahat sudah mulai berwarna bening pagi, prajurit sandi itu telah kembali melanjutkan perjalanannya ke Kotaraja Singasari yang sudah tinggal setengah hari perjalanan lagi.

Demikianlah, ketika matahari mulai bergeser ke sisi barat kaki langit prajurit sandi itu terlihat sudah memasuki gerbang kotaraja Singasari.

“Beristirahatlah, aku akan ke istana membawa beritamu”, berkata Arya Kuda Cemani kepada prajurit sandi itu dirumahnya.

Arya Kuda Cemani yang sudah menerima berita tentang pasukan Kediri yang akan menggempur jalur perdagangan sampai ke Ujung Galuh langsung saat itu juga menemui Raden Wijaya di Pasanggrahannya.

“Hari ini pasukan kediri baru sepertiga perjalanannya menuju Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya ketika menerima berita dari Arya Kuda Cemani di Pendapa Utama bersama Mahesa Amping.

“Saatnya pasukan khusus ke arena”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.

“Malam ini juga kita berangkat bergabung dengan beberapa prajurit kita yang berada di jalur Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping. ”Tugas kita menghambat dan mengurangi jumlah mereka yang akan langsung disapu bersih dua ribu pasukan kita yang sudah menunggu di Ujung Galuh”, berkata kembali Raden Wijaya menyampaikan rencana dan siasat perangnya.

“Siapa yang Raden percayakan memimpin pasukan kita di Bandar Ujung Galuh?”, bertanya Arya Kuda Cemani kepada Raden Wijaya yang diam-diam  mengagumi siasat perang Raden Wijaya yang dilihatnya sudah semakin matang.

“Aku percayakan kepada Ranggalawe membawa dua ribu pasukan kita ke Bandar Pelabuhan Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya kepada Arya Kuda Cemani.

“Dua ribu pasukan kita menunggu pasukan Kediri yang sudah patah semangat dirongrong pasukan khususmu selama di perjalanannya, sebuah siasat perang yang hebat”, berkata Arya Kuda Cemani memuji jalan pikiran Raden Wijaya.

“Ujung Galuh adalah bandar pelabuhan yang sangat penting bagi Kediri, menguasai Ujung Galuh sama  artinya menguasai urat leher Kotaraja Kediri”, berkata Raden Wijaya menyampaikan pandangannya kepada Arya Kuda Cemani dan Mahesa Amping di pendapa Utama. Sementara itu sang senja yang bening telah mewarnai lengkung langit menyapa sang surya yang terlihat redup rebah di ujung barat bumi.

“Besok kalian sudah dapat berangkat ke Bandar Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya kepada Ranggalawe dan beberapa perwiranya di pendapa utama yang sengaja diundang untuk mendengarkan beberapa penjelasan penting yang harus diketahui oleh mereka.

“Kami mohon diri menyiapkan para prajurit”, berkata seorang perwira mewakili kawan-kawannya kepada Raden Wijaya setelah mereka merasa cukup mengerti apa yang harus dilakukannya.

Dan senja pun akhirnya berlalu manakala wajah malam mulai muncul membawa senyum rembulan bulat kuning mengintip di pucuk atap rumah panggung di depan pendapa utama pasanggrahan Raden Wijaya.

“Kita berpisah tempat dan tugas, semoga keberuntungan selalu mengiringi langkah kita”, berkata Rangga Lawe ketika akan pamit diri dari Pendapa Utama untuk melihat kesiapan para prajurit Singasari malam itu yang akan berangkat keesokan harinya.

Dan angin malam yang dingin sepertinya terus setia menemani para prajurit yang berjaga di gardu ronda dimuka pintu gerbang istana Singasari ketika mata mereka melihat beberapa bayangan penunggang kuda keluar dari lorong gelap istana yang lengang semakin mendekati mereka.

Empat orang prajurit penjaga terlihat semuanya keluar dari gardu ronda menyongsong ketujuh bayangan penunggang kuda yang menjadi semakin jelas ketika mereka semakin mendekat berjalan kearah keempat prajurit peronda itu Keempat prajurit peronda itu akhirnya dapat melihat jelas ada tujuh orang penunggang kuda, namun wajah ketujuh penunggang kuda itu masih terhalang keremangan malam.

Siapakah gerangan ketujuh penunggang kuda itu ?

Terlihat keempat penjaga yang lengkap membawa senjata tombaknya itu dengan penuh hormat meletakkan satu telapak tangan tegak didepan dada mereka sambil menundukkan sedikit badannya setelah mengetahui siapa gerangan ketujuh penunggang kuda itu.

Ternyata ketujuh penunggang kuda itu adalah Raden Wijaya dan Senapati Mahesa Amping yang berjalan beriringan, dengan penuh senyum Senapati Mahesa Amping menyapa keempat penjaga itu sambil melambaikan tangannya saat melewati mereka.

Dibelakangnya terlihat Gajah Pagon beriringan dengan  Ki Sukasrana. Sementara dibelakang terakhir adalah Ki Sandikala yang beriringan berjalan bersama Ki Bancak dan Argalanang.

Malam itu mereka akan segera bergabung dengan beberapa prajurit yang sedang bertugas di jalur perdagangan Kotaraja Kediri menuju Ujung Galuh.

Terlihat mereka sudah keluar dari gerbang istana diikuti pandangan mata keempat prajurit peronda yang terus mengikuti langkah kaki kuda yang terus semakin  menjauh dan akhirnya menghilang terhalang kegelapan malam di jalan Kotaraja Singasari yang masih lengang itu.

“Mari kita berpacu mengusir dingin malam”, berkata Raden Wijaya kepada Mahesa Amping sambil menghentakkan perut kudanya dengan kakinya agar berlari kencang

Mahesa Amping yang melihat Raden Wijaya telah memacu kudanya berlari, langsung mengejar Raden Wijaya dengan ikut menghentakkan perut kudanya agar segera berlari mengejar kuda Raden Wijaya.

Maka kelima kawannya yang melihat Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah memacu kudanya tidak ingin tertinggal jauh, mereka pun ikut memacu kudanya mengejar Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang  sudah jauh dari mereka.

Demikianlah, di malam gelap dan dingin itu terlihat tujuh penunggang kuda berpacu menyusuri jalan tanah yang sepi seperti tujuh bayangan hitam berlari saling mengejar dengan pakaian dan rambut mereka berkibar dihembus angin sepanjang jalan.

Kuda-kuda mereka ternyata adalah kuda-kuda pilihan yang dapat berlari kencang serta kuat berjalan seharian tanpa henti.

Akhirnya mereka telah sampai di persimpangan jalan menuju Kotaraja Kediri. Terlihat Raden Wijaya memperlambat laju kudanya diikuti oleh keenam kawannya yang juga ikut memperlambat laju kudanya.

“Temaram langit sudah bertebar warna merah pagi, mari kita temui mereka di Hutan Simpang”, berkata Raden Wijaya kepada keenam kawannya itu sambil melompat turun dari punggung kudanya.

Terlihat ketujuh orang itu sudah mulai memasuki hutan Simpang sambil menuntun kuda-kuda mereka masuk mulai lebih jauh lagi di Hutan Simpang itu menyusuri jalan setapak yang biasa dilalui oleh para pemburu atau orang-orang yang punya beberapa kepentingan di hutan itu.

Sementara itu sang pagi sudah mulai membangunkan kicau burung di hutan Simpang itu. Terlihat cahaya matahari menerobos lewat daun dan dahan menghangatkan tanah hutan.

“Mereka tengah mengintai kita”, berbisik Raden Wijaya kepada Mahesa Amping yang sama-sama mempunyai pendengaran yang amat sangat tajam telah mengetahui ada banyak mata tengah bersembunyi disekitar mereka.

“Keluarlah kalian, kita orang sendiri”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang keras memecah kelengangan suasana hutan Simpang di pagi itu.

Terlihat beberapa orang bermunculan dari berbagai tempat persembunyiannya langsung mendekati Raden Wijaya dan rombongannya.

Orang-orang yang muncul itu ternyata para prajurit Singasari.

“Ampunkan hamba yang mencurigai kehadiran tuanku”, berkata seorang prajurit perwira kepada Raden Wijaya.

“Justru kami yang harus minta maaf, datang tiba-tiba”, berkata Raden Wijaya kepada prajurit perwira itu pimpinan prajurit yang ada di Hutan Simpang.

Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing, prajurit perwira itu bercerita tentang beberapa hal tentang tugas mereka menghadang semua pedagang yang masuk dan keluar menuju Kotaraja Kediri.

“Tugas kalian sekarang adalah menghambat pasukan Kediri yang akan mengamankan jalur ini dan menguasai Bandar pelabuhan Ujung Galuh”, berkata Raden Wijaya kepada prajurit perwiranya menceritakan  tentang rencana dan siasatnya menghambat dan mengganggu pasukan Kediri.

“Hamba akan menyampaikan tugas ini kepada semua prajurit”, berkata prajurit perwira itu pamit dihadapan Raden Wijaya untuk menemui semua bawahannya.

Setelah prajurit perwira itu pergi, terlihat Raden Wijaya dan keenam sahabatnya itu terlihat tengah membuat sebuah rencana untuk menyambut kedatangan pasukan Kediri yang diperkirakan akan melewati Hutan Simpang itu.

“Merobohkan pohon dikiri kanan jalan ketika pasukan Kediri lewat?”, bertanya Ki Sukasrana ketika mendengar salah satu siasat Raden Wijaya, apalagi dilihatnya bahwa pohon kayu di sepanjang jalan Simpang rata-rata sangat besar tidak bisa dipeluk oleh dua tangan orang biasa.

“Aku sendiri yang akan melakukannya”, berkata Raden Wijaya kepada Ki Sukasrana sambil tersenyum.

“Tapi aku cuma dapat melakukannya pada satu sisi, siapa yang dapat melakukannya disisi lain?”, berkata Raden Wijaya menyapu keenam sahabatnya untuk meminta pertimbangan dari mereka.

“Ki Sandikala dapat melakukannya”, berkata Mahesa Amping sambil memandang kepada Ki Sandikala. Dan saat itu semua pandangan mata tertuju kepada Ki Sandikala seorang.

“Mungkin aku dapat melakukannya, tapi tidak secepat Raden Wijaya”, berkata Ki Sandikala kepada Raden Wijaya sambil merangkapkan kedua tangannya.

“Bila saudaraku Senapati Mahesa Amping yang menunjuk, aku sudah langsung percaya bahwa Ki Sandikala pasti dapat melakukannya”, berkata Raden Wijaya yang percaya kepada Mahesa Amping bahwa Ki Sandikala pasti dapat melakukannya dan diam-diam menaruh hormat kepada Ki Sandikala yang selalu mengenakan pakaian jubah hitam yang menandakan dirinya adalah seorang guru suci dari sebuah aliran agama.

Terlihat Ki Sukasrana dan Gajah Pagon diam-diam melirik ke arah Ki Sandikala yang belum begitu lama dikenalnya, membayangkan bahwa pendeta yang jarang bicara itu dapat menumbangkan pohon besar, dan tidak cuma satu buah pohon besar.

“Ternyata pendeta sahabat Mahesa Amping adalah seorang yang sakti”, berkata Ki Sukasrana dan Gajah Pagon masing-masing kepada dirinya sendiri dalam hati.

Sementara itu Ki Bancak dan Argalanang yang sudah mengenal siapa Ki Sandikala sebagai seorang pemimpin besar persaudaraan PadepokanTeratai Putih di Jawadwipa dan Balidwipa itu merasa yakin akan kemampuan dan kesaktian guru suci itu.

“Seratus prajurit Singasari di tempat persembunyiannya langsung membidik pasukan Kediri yang sedang kacau menghindari pohon tumbang, sebuah rencana dan siasat yang hebat”, berkata Argalanang memuji siasat Raden Wijaya.

“Mereka pasti tidak membiarkan dirinya menjadi umpan anak panah, pasti beberapa diantara mereka akan mencari sumber arah para pembidik gelap itu”, berkata Gajah Pagon memberikan pandangannya tentang rencana dan siasat Raden Wijaya.

“Saudaraku ini sering bermain-main dengan kabut”, berkata Raden Wijaya sambil memandang kepada Mahesa Amping. Saat itu juga semua pandangan tertuju ke arah Mahesa Amping. Melihat semua mata memandang kepadanya, Mahesa Amping balas memandang semua sahabatnya itu.

“Aku cuma punya sedikit kemampuan membuat sebuah kabut”, berkata Mahesa Amping sambil mengangguk kecil tanda setuju dengan tugas yang diberikan kepadanya, membuat sebuah kabut yang akan menutupi pandangan sekaligus melindungi para pembidik gelap.

Terlihat Raden Wijaya sedikit tersenyum memandang anggukan kepala dari sahabatnya Mahesa Amping yang diketahui bukan saja dapat membuat sebuah kabut, bahkan lebih dari itu dimana pernah disaksikan sendiri dengan kemampuan dan kesaktiannya mampu membuat sebuah badai hujan lebat. ”dulu kemampuannya sudah begitu luar biasa, kutak tahu lagi sudah sampai dimana saat ini kemampuan saudara seperguruanku ini”, berkata Raden Wijaya dalam hati membayangkan tingkat tataran ilmu Mahesa Amping saat ini.

Sementara itu matahari diatas hutan Simpang sudah merayap singgah diatas puncak lengkung langit, cahayanya masuk menerobos diantara celah daun dan dahan menghangatkan rumput halus yang tumbuh diatas tanah yang tidak terhalang mendapatkan sinar matahari langsung.

Terlihat para prajurit Singasari telah tersebar diantara hutan Simpang dikanan kiri jalan diatas pohon tinggi dan tersembunyi menanti pasukan Kediri yang telah diperhitungkan pasti melewati jalan itu. Para prajurit Singasari itu telah siap sebagai pembidik gelap yang akan menghujani jalan dengan anak panah mereka.

“Pastikan bahwa panah sendarenmu dapat aku dengar”, berkata seorang prajurit singasari kepada kawannya yang sama-sama ditugaskan sebagai prajurit pemantau berantai.

“Pastikan juga bahwa telingamu masih bisa mendengar”, berkata kawannya itu sambil tertawa.

Terlihat seorang prajurit Singasari tengah naik ke sebuah pohon kayu yang cukup rindang. Akhirnya prajurit itu telah mendapatkan sebuah batang yang dianggapnya sudah begitu nyaman dimana dirinya dapat bersandar sambil menunggu perintah menghujani jalan dengan anak panah ketika musuh lewat. Namun mereka semua sudah diberitahu untuk tidak bersembunyi di pohon kayu yang berada ditepi jalan, karena pohon-pohon besar di tepi jalan itu akan ditumbangkan ke arah jalan.

Sementara itu sang mentari diatas Hutan Simpang sudah mulai merayap turun, sinarnya sudah mulai memudar kuning redup. Rasa jenuh sudah mulai menghinggapi para prajurit pembidik gelap diatas pohon persembunyiannya, tapi mereka tetap memaksakan semangatnya untuk tetap bertahan di tempatnya.

Menunggu memang sebuah tugas yang sangat membosankan, dan dapat membuat kejenuhan hati. Kadang seseorang yang tengah jenuh dapat berbuat sesuatu keisengan dan berbagai kenakalan untuk mengusir rasa jenuh mereka.

Dan hal itu terjadi pula pada seorang prajurit Singasari dimana dari tempat persembunyiannya dilihat seekor anak celeng tengah berjalan lurus ditepi hutan, kelihatannya anak celeng itu bermaksud ingin menyeberang.

Maka ketika anak celeng yang cukup gemuk itu baru beberapa langkah berlari menyebrangi jalan untuk menuju tepi hutan lainnya, sebuah anak panah telah meluncur tepat menembus perut anak celeng itu. Naas, anak celeng itu langsung rebah tidak mampu berdiri.

Semua mata tertuju kepada anak celeng yang rebah ditengah jalan itu, semua orang saat itu pasti mengumpat salah seorang prajurit diantara mereka yang  telah berlaku nakal itu.

“Gila !, siapa yang melakukan keisengan seperti itu?”, berkata Ki Bancak dalam hati mencela orang yang melakukan kebodohan itu.

Ternyata pikiran Ki Bancak saat itu dipenuhi rasa tanggung jawabnya sebagai seorang prajurit kawakan yang takut bahwa musuh akan melihat bangkai anak celeng itu dan dapat menimbulkan kecurigaan.

Maka tanpa perintah siapapun, terlihat Ki Bancak sudah turun dari sebuah pohon kayu tempat persembunyiannya dan langsung menuju jalan dimana anak celeng itu tergeletak.

Namun begitu Ki Bancak sudah sampai didekat anak celeng itu, pikirannya jadi meragu. Yang dikhawatirkan adalah semua mata pasti saat itu tengah memandangnya dan menuduhnya sebagai seorang yang melepaskan anak panah kearah anak celeng itu.

“Aku bukan pembunuh anak celeng ini”, berteriak Ki Bancak dengan suara yang cukup keras dan langsung membawa anak celeng itu dari tengah jalan serta menyembunyikannnya disebuah tempat yang tidak akan mungkin dapat dilihat oleh siapapun.

Sementara itu seorang prajurit Singasari dipersembunyiannya terlihat tersenyum geli menyaksikan kenakalannya sendiri membunuh seekor anak celeng yang ingin menyeberang. Namun dihati kecilnya berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya yang disadari akan berdampak besar, rusaknya rencana dan siasat mereka hanya karena sebuah keisengan kecil.

Namun kejadian kecil itu tiba-tiba saja seperti dilupakan manakala sayup dari jauh terdengar suara dengung panah sanderan. Suara panah sanderan itu saling bersambung dan semakin jelas terdengar sangat dekat sekali karena dilepaskan oleh prajurit pemantau berantai yang terdekat. Dengung suara panah sanderan itu begitu jelas karena dilepaskan oleh tangan yang kuat seperti merobek udara sore diatas hutan Simpang.

Penglihatan Mahesa Amping yang sudah terlatih untuk melihat dikejauhan memang sudah dapat melihat jelas sebuah rombongan besar pasukan Kediri tengah berjalan mendekati sasaran jalan Simpang dimana para prajurit Singasari tengah menunggu mereka.

Segera Mahesa Amping mencari sebuah tempat tersembunyi yang tidak mudah terlihat oleh siapapun. Akhirnya Mahesa Amping sudah mendapatkan tempat yang dicarinya itu dan langsung duduk bersila melepaskan segala nalar budinya, mencurahkan segenap rasa tertuju hanya kepada Sang Maha Agung pemilik segala alam jagad raya, pemilik semua sumber kekuatan kasar dan kasat mata.

Tiba-tiba saja dari ubun-ubun kepala Mahesa Amping keluar sebuah asap tipis. Namun asap tipis itu akhirnya telah berubah menjadi sebuah kabut yang menutupi seluruh tubuh Mahesa Amping. Sungguh luar biasa dan tidak bisa diterima oleh akal sehat orang biasa bahwa kabut itu menjadi terus melebar dan telah menutupi sepanjang jalan Simpang.

Dan pada saat itu pasukan Kediri yang terdiri dari dua ribu prajurit itu tidak segera berhenti manakala didepan mereka melihat kabut menutupi pandangan. Iring-iringan panjang itu terus bergerak masuk kedalam kabut itu.

Bersamaan dengan masuknya iring-iringan besar itu  lebih dalam lagi menembus kabut yang bersumber dari ilmu puncak Mahesa Amping, terdengar suara kayu besar berdegum keras dikiri kanan pasukan Kediri.

Krak !! bum..!!!

Dua buah pohon kayu tumbang dikiri kanan jalan pasukan Kediri menimpa beberapa orang yang bernasib naas saat itu.

Dan suara itu ternyata bukan hanya sekali, menyusul dan menyusul kembali suara pohon kayu besar tumbang membuat bumi dan tanah tempat berpijak seperti terguncang. Dan korban prajurit Kediri terus bertambah.

Siapa yang menumbangkan pohon-pohon besar kalau bukan oleh tangan dua orang sakti mandraguna yang telah menunjukkan tingkat ilmu mereka yang sangat sukar sekali dijajaki ketinggiannya.

Dua orang sakti itu tidak lain adalah Raden Wijaya dan Ki Sandikala. Disisi kanan hutan Simpang terlihat Ki Sandikala dengan senjata pusakanya sebuah cakra yang digenggamnya telah merubuhkan begitu banyak pohon kayu besar sepanjang jalan Simpang hanya dengan sekali ayunan layaknya sebuah golok besar yang sangat begitu tajam membelah sebatang pohon pisang, begitulah Ki Sandikala dengan mudahnya merobohkan pohon-pohon kayu besar di sepanjang pinggir sisi kanan jalan Simpang

Disisi kiri hutan Simpang, mata siapapun seperti terbelalak tidak percaya ketika melihat Raden Wijaya hanya dengan sebuah pukulan tak berujud menghantam pangkal pokok pohon kayu besar didepannya yang langsung hangus sebesar telapak tangan. Dan dengan sekali tendangan yang dilambari tenaga cadangan yang luar biasa kuatnya telah menumbangkan pohon kayu itu rebah kearah jalan. Begitulah Raden Wijaya merobohkan pohon-pohon kayu sepanjang pinggir sisi kiri hutan Simpang.

Pasukan Kediri yang berada didalam kabut tebal seperti kumpulan semut tertumbuk batang-batang lidi lari kocarkacir tak terarah.

Bersamaan dengan semua itu, pasukan Kediri ini benarbenar seperti masuk kedalam sebuah kubah neraka. Dalam keadaan yang serba kacau tidak tahu kemana harus menyelamatkan dirinya, tiba-tiba saja ratusan desir anak panah berdesing menembus udara jatuh seperti hujan dari langit dan langsung mencari korbannya. Dan ratusan prajurit Kediri saat itu langsung merasakan tubuhnya tertembus anak panah, ada yang merasakan perih dibahu tangannya. Tapi ada juga yang tidak merasakan apapun karena sudah langsung tewas tertembus anak panah yang tepat dijantungnya.

Pohon-pohon kayu yang tumbang serta hujan panah seketika itu juga telah banyak memakan korban prajurit Kediri.

Namun untungnya kejadian itu tidak berlangsung lama sehingga korban jiwa prajurit Kediri tidak terus bertambah.

Suara pohon kayu yang tumbang tidak terdengar lagi bersamaan dengan berhentinya hujan panah, dan kabut tebal perlahan semakin berkurang.

Akhirnya kabut tebal semakin menipis dan akhirnya hilang lenyap terbawa angin kencang di jalan tanah di tepi hutan Simpang itu.

Bukan main kumuhnya suasana di jalan simpang itu setelah pandangan mata tidak lagi terhalang kabut tebal. Terlihat puluhan pohon-pohon besar malang melintang memenuhi kiri kanan jalan tepi hutan Simpang. Terlihat ratusan orang yang tergeletak mati dan terluka bersama suara jerit perih memilukan para prajurit yang terluka cukup parah. Sementara itu yang masih selamat terlihat seperti mayat hidup yang baru keluar dari mimpi yang begitu menakutkan, mereka memang baru saja keluar dari sebuah lubang neraka yang mengerikan.

Kemana gerangan para prajurit Singasari setelah kejadian ini ?

Mereka benar-benar telah menguasai siasat perang senyap sesungguhnya, mereka seperti hantu yang langsung menghilang di kerepatan hutan Simpang, menyusup jauh tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, pergi hilang senyap seperti tidak pernah ada dan sudah diberada di sebuah tempat yang jauh, mungkin tengah menunggu dan menanti sisa para prajurit Kediri yang selamat namun masih belum pupus hilang rasa jerih mereka setelah kejadian di jalan Simpang itu, sebuah jalan neraka yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup mereka.

“Mereka hanya sebuah pasukan kecil, tapi diantara mereka pasti bersama orang sakti”, berkata Senapati Jaran Pekik dalam ketika memeriksa batang-batang pohon yang tumbang yang tidak mungkin hanya dilakukan oleh orang biasa.

Akhirnya Senapati Jaran Pekik meyakini bahwa pihak musuh sudah jauh dan tidak akan kembali. Maka diputuskan pasukannya untuk sementara bermalam disekitar jalan simpang.

Bukan main sibuknya pasukan Kediri itu, meski hari sudah mulai masuk malam, mereka tetap mengumpulkan jenasah kawannya dan langsung melaksanakan pemakaman pada malam itu juga dengan sebuah upacara penyempurnaan yang sangat sederhana.

“Kita kehilangan sekitar enam ratus prajurit yang tewas hari ini, sementara ada sekitar delapan puluh orang terluka cukup parah”, berkata seorang perwira kepada Senapati Jaran Pekik menyampaikan laporannya.

“Tinggalkan semua yang terluka parah disini, besok pagi kita sudah harus segera melanjutkan perjalanan”, berkata Senapati Jaran Pekik dengan suara penuh kegusaran tidak pernah membayangkan bahwa jalan  menuju Bandar Ujung Galuh ternyata tidah semudah yang dia pikirkan.

“Satu malam beristirahat apakah tidak begitu singkat?”, bertanya perwira itu dengan wajah ragu-ragu takut akan membuat Sang Senapati akan menjadi bertambah gusar. “Sementara para prajurit kita perlu waktu untuk membangkitkan semangatnya yang terguncang”, berkata kembali perwira itu yang mengetahui hampir semua prajuritnya seperti tengah mengalami guncangan jiwa setelah peristiwa sore tadi.

“Menjelang siang kita harus berangkat”, berkata Senapati Jaran Pekik kepada perwira itu yang diam-diam membenarkan perkataannya.

Demikianlah, pasukan Kediri pimpinan Senapati Jaran Pekik itu akhirnya bermalam di Jalan Simpang itu. Terlihat beberapa prajurit tengah merawat kawankawannya yang terluka cukup parah. Sementara beberapa prajurit lagi telah mempersiapkan dapur umum untuk makan malam mereka. Maka jalan Simpang malam itu menjadi begitu ramai dipenuhi para prajurit Kediri  yang mencari tempat di beberapa sisi hutan untuk sekedar beristirahat. Namun dihati kecil mereka sudah tumbuh rasa takut dan kekhawatiran yang begitu sangat bahwa mungkin saja pihak musuh akan datang kembali membuat kekacauan baru. Kegusaran yang amat sangat memang sudah mengendap menghantui diri mereka, saat itu.

Sementara itu pasukan kecil Raden Wijaya sudah berada jauh dari hutan Simpang, mereka ternyata sudah berkumpul disebuah tempat sesuai dengan yang direncanakan sebagaimana layaknya sebuah pasukan senyap yang muncul dan menghilang. Malam itu mereka telah berada di sebuah padang Konjaran, sebuah  padang ilalang yang sangat begitu luas. Sejauh mata memandang hanya terlihat ilalang yang tumbuh setinggi badan manusia. Banyak orang tersasar berjalan di padang Konjaran ini karena tidak cukup dirinya untuk melihat arah kedepan, terutama dimalam hari yang gelap tanpa satu pun bintang sebagai penunjuk arah perjalanan.

“Hari ini kita telah berhasil mematahkan semangat mereka”, berkata Raden Wijaya kepada para prajuritnya yang baru saja sampai beristirahat di sebuah tanah lapang berbatu, satu-satunya tempat yang tidak dipenuhi ilalang di Padang Kanjoran itu. ”Kurasa padang Konjaran ini sangat cocok untuk memberikan sebuah permainan baru”, berkata kembali Raden Wijaya kepada pasukan kecilnya sambil menyampaikan beberapa siasat dan rencana barunya menghadapi pasukan Kediri yang dipastikan akan melewati Padang Kanjoran itu. Sebuah tempat yang paling cepat untuk melintas menuju Bandar Ujung Galuh lewat jalan darat.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar