Serial Pendekar Pedang Roh eps 05 : Pemanah Bintang

Gadis berpakaian daun itu tidak tahu lagi kemana arah yang hendak dituju. Suasana di sekelilingnya gelap gulita. Sementara di belakang sana dia masih saja mendengar suara teriakan orang-orang yang mengejarnya. Dalam gelap dia terus berlari tanpa arah demi menyelamatkan diri dari kejaran Kaliwangsa dan orang-orang yang menjadi kaki tangannya. Sampai kemudian si gadis melihat kerlip cahaya nun jauh di ujung sana.

Gadis ini menjadi ragu, apakah dia akan terus berlari menuju ke arah cahaya itu ataukah berbalik menyerahkan diri pada Kaliwangsa. Dalam keadaan panik dan di tengah rasa takut yang mencekam dia berpikir. Gadis itu tiba-tiba saja menggelengkan kepala.

"Aku seorang puteri. Kecantikanku terkenal di delapan penjuru angin. Tubuhku menebar bau harum semerbak, para dewa bahkan ada yang jatuh cinta padaku. Sedangkan Kaliwangsa...ilmunya kuakui sangat tinggi. Tapi dia bukan laki-laki yang baik, usianya juga sudah tidak terbilang muda lagi. Tidak! Aku tidak boleh kembali ataupun menyerahkan diri. Rasanya lebih baik mati dari pada hidup menjadi istri Kaliwangsa!" Pikir si gadis.

Di sisi lain dia juga menyadari Kaliwangsa bukan orang yang suka dibantah. Bila sampai tertangkap, lalu menolak keinginan Kaliwangsa. Manusia satu itu bisa membunuhnya. Dia bukan hanya bakal dibunuh, lebih mengerikan lagi sebelum kematian datang menjemputnya Kaliwangsa pasti bakal memperkosanya sampai puas. Baru setelah merasa bosan Kaliwangsa kemungkinan bakal menyerahkan dia pada pengikutnya setelah itu baru dibunuhnya. Rasanya ini adalah sebuah malapetaka mengerikan bagi wanita manapun di dunia ini.

Gadis ini tidak punya waktu. Di belakangnya kembali dia dikejutkan oleh suara teriakan orang yang mengejarnya. Gadis ini menoleh dan melihat ada cahaya dimana-mana, cahaya yang berasal dari batu hitam yang dibakar. Selanjutnya dia mendengar suara seseorang berteriak.

"Dia ada di depan kita. Puteri Padara sudah terjebak. Kita harus menangkapnya agar tetua tidak menghukum kita!"

Kata salah seorang kaki tangan Kaliwangsa dengan suara lantang. Si gadis terkejut. Orang-orang berlari mengepungnya. Dia sendiri berusaha meloloskan diri dari sergapan laki-laki beringas itu. Tapi sayang jalan di sisi kirinya buntu. Sebuah tebing menghalangi langkahnya. Satu-satunya cara adalah dengan menembus semak belukar yang menghadang di depannya.

Mengapa semua seakan jadi berubah, si gadis bingung kemana hilangnya kerlip cahaya yang dilihatnya tadi? Apakah dia telah salah melihat? Semak belukar yang sangat lebat itu tentu saja sukar ditembus. Sementara itu gadis berkulit putih mulus tiba-tiba dikejutkan oleh suara teriakan di belakangnya.

"Puteri Padara, kemana lagi kau hendak melarikan diri? Kau sudah terjebak. Kurasa itu pertanda takdirmu sudah ditetapkan untuk berjodoh dengan tetua Kaliwangsa. Lebih baik kau menyerah dari pada kami harus memaksamu dengan kekerasan!" Ujar salah seorang di antara mereka.

Sang dara membalikkan badan dan memandang ke arah laki-laki itu. Yang ditatap justru basahi bibir dan leletkan lidah. Di balik tatap mata itu tersimpan hasrat dan gejolak terpendam. Sang puteri merasa takut, namun dengan tegas langsung menolak.

"Kalian tidak bisa memaksaku. Aku tidak sudi menjadi istri Kaliwangsa. Orang seperti dia hanya pantas mempunyai istri dari golongan Kolonyonyo. Kalau kalian memaksa, lebih baik aku membunuh diri!"

Teriak si gadis yang selalu menutupi tubuhnya yang indah itu dengan jalinan daun. Orang-orang yang mengepungnya jadi marah besar. Sungguh ucapan gadis itu mereka pandang sebagai hal yang keterlaluan. Masa tetua mereka di sarankan kawin dengan Kolonyonyo, padahal Kolonyonyo berarti monyet hitam dengan pantat botak dan berwarna hitam

"Mulutmu sangat keterlaluan! Kau mau bunuh diri tidak ada yang melarang. Kalau kau sudah mati, keinginan Kaliwangsa boleh jadi batal. Tapi bagi kami mayatmu masih cukup berharga untuk memuaskan gelora keinginan kami! Ha ha ha,"

Kata laki-laki berpakaian hitam berwajah angker itu disertai tawa. Orang-orang di belakangnya juga ikut tertawa.

"Benar! Aku mendapat giliran paling akhir setelah teman-teman, aku juga tidak menolak. Aku akan bercinta dengan jasadnya hingga jasad itu membusuk" Timpal satunya lagi.

Terdengar suara derai tawa. Sang dara yang memang puteri Padara tambah ketakutan. "Kalian orang-orang gila. Sebaiknya kalian pergilah ke Kambung!"

Teriak gadis itu. Sambil berteriak tanpa terduga gadis ini melepaskan pukulan maut bertenaga dalam tinggi.       Untuk diketahui ketika kecil gadis ini pernah belajar silat dengan beberapa orang guru. Namun walau kepandalan silatnya cukup lumayan, tetapi soal tenaga dalam gadis ini belum menguasainya dengan sempurna. Sedangkan yang menjadi pimpinan pengejaran itu bukan manusia sembarangan. Ilmu kesaktiannya hanya berada satu tingkat di bawah Kaliwangsa.

Serangan yang dilancarkan dengan tiba-tiba itu dengan mudah dapat dimentahkan oleh orang kepercayaan Kaliwangsa. Wuuus! Bress! Puteri Padara kaget bukan main. Setelah pukulannya gagal, gadis ini berpikir mana mungkin menghadapi orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Dia tidak punya pilihan lain, lari menjauh meninggalkan mereka rasanya hanya itu pilihan satu-satunya.  

Tidaklah mengherankan bila kemudian tanpa banyak pikir lagi sang dara segera membalikkan badan dan siap hendak lari meninggalkan tempat itu. Sayang sebelum niatnya kesampaian laki-lak berwajah angker yang memimpin di barisan paling depan melompat dan siap menangkap gadis ini. Sekejab lagi pinggang puteri Padara yang indah mulus dan menawan itu kena dirangkulnya. Sekonyong-konyong tanpa terduga dari balik kegelapan malam di kejauhan sana melesat belasan cahaya ke arah para pengepungnya.

Laki-laki yang menjadi pimpinan sempat terkejut melihat cahaya menderu ke arah dirinya juga ke arah orang-orang yang menyertainya. Dia berkelit sambil menghantamkan tangannya ke arah cahaya tersebut. Angin menderu dari kedua tangan laki-laki itu. Tapi tangkisan yang dilakukannya tidak memiliki arti.

Malah cahaya itu menembus telapak tangan, dada hingga ke punggungnya. Laki-laki itu menjerit. Di belakangnya jeritan teman-temannya terjadi susul-menyusul. Lebih selusin kaki tangan Kaliwangsa bergeletakan menemui ajal dengan tubuh tertembus anak panah. Puteri Padara terkejut bukan main.

"Dia tidak tahu siapa yang telah menyelamatkannya dari orang-orang suruhan Kaliwangsa." Dia juga heran mengapa anak-anak panah itu bisa memancarkan cahaya dalam kegelapan. Dan yang lebih mengherankan lagi mengapa belasan anak panah itu tidak satu pun yang melesat dari sasaran. Sang puteri memungut salah satu batu hitam milik orang-orang itu yang masih menyala. Dengan mempergunakan penerangan batu hitam dia memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tidak ada yang terlihat, tidak nampak ada yang datang.

Sang puteri menjadi heran. "Siapa yang telah menolongku!" Batinnya dalam hati.

Selanjutnya dia memandang lurus ke depan. Matanya berkedip-kedip ketika melihat dikejauhan sana cahaya yang sempat lenyap tadi kini muncul lagi.

"Cahaya itu, apakah mungkin ada kehidupan di sana? Ataukah di tempat itu ada sebuah kampung, dusun atau apa? Orang-orang yang mengejarku terbunuh tanpa kuketahui siapa pembunuhnya.Sejauh Ini keadaan bekal aman untuk beberapa lamanya. Tapi begitu mengetahui kaki tangannya tidak kembali, Kaliwangsa pasti bakal turun tangan sendiri mencariku."

"Aku harus menyingkir, aku akan datang ke arah kerlip cahaya yang kulihat itu, barangkali ada tempat yang aman. Kudengar kakang Karamuna juga menetap di daerah Lumajing ini sejak lama. Barangkali dia bisa menolongku dari segala kesulitan yang kuhadapi selama ini."

Setelah bulat dengan keputusannya, puteri Padara akhirnya tinggalkan tempat itu. Dia terus melangkah dengan penuh waswas, sementara semakin ke depan udara terasa semakin sejuk. Setelah bersusah payah melewati semak berduri. Justru kini puteri Padara sampai di suatu kawasan aneh yang udaranya terasa dingin menggigit. Pepohonan yang tumbuh di kawasan Itu sangat berbeda dengan di daerah lain. Tidak ada pohon yang tinggi, semua pohon di daerah itu dipenuhi duri. Sementara gumpalan memutih akibat pembekuan air bertebar di mana-mana.

"Aku tidak tahu tempat macam apa ini namanya. Daerah ini diselimuti es. Udara dingin terasa menusuk hingga ke sumsum tulang. Tubuhku menggigil. Kalau aku tetap berada di alam terbuka, cepat atau lambat aku bisa mati beku," Kata gadis itu.

Dia melihat ke sekeliling tempat. Dia melihat cahaya. Cahaya terang yang dikejauhan tadi hanya berupa titik . Cahaya itu nampaknya berasal dari dalam gua. Puteri Padara mulai merasa bahwa tidak mustahil bahwa di dalam gua memang ada seseorang yang menetap.

"Ingin sekali aku masuk ke dalam gua itu, tapi bagaimana jika ternyata gua tersebut ditinggali oleh orang jahat. Bisa jadi nasibku bisa lebih buruk lagi," Kata si gadis.

Cukup lama sang puteri tenggelam dalam keraguan. Sampai akhirnya dia mendengar suara gaung aneh. Sang puteri terkejut, kemudian lapat-lapat namun jelas dia mendengar suara orang berkata.  

"Orang yang berada di luar, jika ingin selamat sebaiknya segera masuk ke dalam gua ini. Kalau kau tetap berada di luar, siapa yang bisa menjamin sampai besok pagi kau masih hidup?"

Sang puteri tidak mengetahui apakah yang baru bicara adalah orang yang telah membunuh kaki tangan Kaliwangsa dengan panahnya. Atau justru yang bicara adalah orang lain. Puteri Padara tidak ingin membuang waktu. Dia segera bergegas dekati mulut gua. Saat itu malam sudah hampir pagi. Keadaan di sekelilingnya yang gelap gulita kini telah berubah temaram. Sampai di depan mulut gua, Puteri Padara memandang ke dalam. Dia melihat hamparan memutih seperti salju.

"Goa es. Baru kali ini aku melihat gua sebagus ini.Lantai, dinding dan langit-langit gua semuanya berwarna putih diselimuti es. Dinding es itu yang ternyata memantulkan cahaya. Cahaya terang berkilau, pantas saja aku dapat melihatnya di kejauhan.," Batin sang puteri.

Selagi dirinya terkagum-kagum melihat keindahan yang ditampilkan oleh gua itu. Pada waktu bersamaan tiba-tiba dia mendengar suara dari dalam.

"Tunggu apa lagi. Cepatlah masuk, aku sudah menantimu di sini."

Puteri tersentak, dia tersadar dari lamunannya. Gadis jelita ini hendak melangkah masuk. Tetapi sebelum keinginannya terlaksana, tiba-tiba dia mendengar ada suara lain berkata.

"Jangan lakukan! Kau jangan masuk ke dalam gua itu. Dirimu bisa mengalami nasib celaka jika tetap nekad mengikuti perintahnya."

Puteri Padara tersentak kaget. Dia memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Si dara tidak melihat ada orang di luar gua. Tapi suara yang dia dengar begitu jelas, penuh larangan juga kekhawatiran.

"Siapa yang bicara? Apakah kau yang telah menyelamatkan aku?"

"Begitulah. Sebenarnya itu bukan persoalan penting. Yang pasti sebaiknya kau tidak usah masuk ke gua kalau ingin selamat," Kata suara itu.

Sang puteri tersenyum mencibir, senyumnya walau sengit tapi tetap menggetarkan hati laki-laki yang melihatnya.

"Kau aneh, suara dari gua menyuruh agar aku segera masuk ke dalam. Sedangkan dia juga mengatakan akan berbahaya bila aku berada di luar. Sementara kau sendiri mengatakan sebaliknya, mana yang betul dan mana yang harus kupercaya?"

Kata Puteri Padara bingung juga heran.

"Aku tidak memaksa, mana yang kau percaya itu terserah dirimu. Tapi aku berani menjamin, kalau kau masuk ke dalam gua es, kau bakal menjadi korban, sebagaimana perempuan cantik yang lain yang dulu pernah datang kemari."

Kening puteri jelita ini berkerut mendengar ucapan suara itu.

"Memangnya kau siapa? Kau tidak bisa menunjukkan diri sehingga hanya pandai blcara saja. Atau kau sejenis dedemit yang tidak punya ujud?"

"Aku... apakah itu perlu? Namaku Sandi Laya, aku manusia sepertimu. Penampakan diri bisa saja kulakukan bila keadaan sangat memaksa,"

Si gadis terdiam. Matanya terpejam. Tapi kemudian dia bertanya.

"Kau pernah masuk ke dalam?"

"Tentu?"

"Apa yang kau lihat?" Tanya Puteri Padara ingin tahu.

"Yang kulihat adalah sesuatu yang pasti tidak ingin kau lihat."

"Siapakah penghuni gua Itu?"

"Untuk apa kau menanyakannya?"

"Jawab pertanyaanku!" Desak Puteri Padara.

"Kau terlalu keras kepala. Sesungguhnya pertanyaanmu itu tidak perlu kujawab. Yang jelas dia merupakan ancaman yang paling mengerikan bagi perempuan."

"Bicaramu aneh. Kau tidak ingin berterus terang! Aku jadi penasaran. Kau tak dapat dipercaya, karena itu untuk membuktikan benar tidaknya ucapanmu aku harus masuk ke dalam gua itu..." ujar Puteri Padara ketus.

"Jangan lakukan!"

Teriak suara itu. Percuma saja dia memberi peringatan karena sang puteri ternyata tidak menghiraukannya. Gadis itu kemudian lenyap dari pandangan mata. Di luar suara tadi menyesalkan.  

"Gadis jelita menjadi dambaannya. Seorang puteri cantik, sayang bodoh dan keras kepala. Dia mengira akan mendapatkan kesenangan. Sungguh dia bakal menyesalinya. Tapi...apakah aku harus tetap berpangku tangan membiarkan dia manjadi korban? Kalau aku mengeluarkannya dari dalam gua, atau penghuninya bakal marah dan menganggap aku telah melanggar daerah, melanggar batas yang telah ditentukan. Sungguh gila...!"

Kata suara itu dalam keresahan. Selanjutnya suara yang mengumandang di luar mulut gua tidak terdengar lagi. Sementara itu di dalam gua, Puteri Padara justru sedang terkagum-kagum melihat keindahan ruangan dalam gua yang tertata rapi. Dinding gua yang berlariskan es dihiasi dengan ukiran berupa patung yang terdiri dari binatang buas yang perkasa, patung manusia yang sebagian tubuhnya terbenam di dinding sedangkan sebagian lagi muncul ke permukaan dinding. Yang membuat sang puteri tidak mengerti, mengapa seluruh ukiran patung setengah terpendam itu dalam keadaan telanjang.

"Tempat ini sangat indah. Sayang patung lakilaki ini dalam keadaan polos seperti ini sehingga aku merasa jengah. Aku masih buta dan belum berpengalaman dalam soal cinta, tapi mimik wajah patung ini menggambarkan ciri seorang laki-laki yang sangat perkasa dan selalu dahaga akan cinta. Apakah yang seperti ini yang dilihat oleh orang di luar gua. Kalau cuma begini apa yang harus aku takutkan?" 
Pikir sang dara. Dan Puteri Padara kemudian mendengar suara lagi, suara itu datang dari bagian dalam gua.

"Aku berada di sini, kau tidak perlu takut. Masuklah, aku sudah menunggumu!" Ujar suara itu.  

Karena penasaran dan ingin tahu siapa yang bicara itu, maka sang puteri segera melangkah ke bagian lebih dalam gua itu. Tetapi sang dara akhirnya tertegun, kakinya serasa terpantek, matanya melotot memandang ke satu arah di sudut dinding gua. Gadis ini hendak berteriak, sayang hanya mulutnya saja yang ternganga. Seketika Itu juga perasaan lega di hatinya mendadak raib dan berganti dengan perasaan takut yang teramat sangat.

Sungguh semua yang terpampang di dalam ruangan itu merupakan kenyataan lain yang tidak pernah terduga sedikit pun. DI setiap penjuru sudut ruangan gua dia melihat belasan wanita tewas dalam keadaan membeku. Tubuh mereka nyaris tidak berpakaian, mata melotot membayangkan ketakutan yang luar biasa saat menjelang ajal. Tidak ada luka yang terlihat, hanya di sepanjang paha hingga ke ujung kaki dipenuhi lelehan darah yang telah membeku.

Sang dara tidak tahu apa yang terjadi, namun dia segera melayangkan pandang ke segenap penjuru. Pada saat itulah di tengah keremangan cahaya yang muncul dari dinding dan langit-langit gua di atas lantai es yang dingin diwarnai kepulan uap putih, Puteri Padara melihat sosok seorang laki-laki tua bertubuh kekar. Laki-laki itu bertelanjang dada. Selembar kulit kayu menutup auratnya. Sementara ketika sang puteri melihat ke bagian wajahnya.

Maka wajah itu hampir mirip dengan wajah Kolonyonyo yaitu rupa monyet besar berbulu hitam namun hidungnya tidak pesek, melainkan besar bundar hingga sekilas hidung itu seperti batok kelapa yang ditelungkupkan. Sementara itu sepasang mata juga terasa aneh dibandingkan manusia pada umumnya. Mata si kakek bulat besar seperti mau melompat keluar.

"Siapa dia?"

Pikir Puteri Padara heran. Perlahan rasa takut mulai merayapi hatinya. Sang puteri melangkah mundur. Tapi laki-laki di sudut gua yang sedari tadi memperhatikan gadis itu dengan penuh kagum dan keinginan terselubung tidak membiarkan gadis itu berlalu begitu saja. Tiba-tiba saja dia membentak.

"Siapa saja yang telah masuk kemari tidak boleh keluar sesukanya sendiri. Gadis jelita, kau pasti Puteri Padara. Oh, kau tidak usah pergi, kau telah kutunggu di gua es ini untuk waktu yang lama."

"Kk... kau siapa?" Tanya Puteri Padara.

"Ha ha ha. Aku Bukara Kendro, para wanita yang pernah bertemu denganku sering memberiku julukan Lelanang Sejati. Aku belum pernah dikalahkan wanita dalam urusan cinta. Malah kebanyakan wanita bertekuk lutut di bawah kakiku."

Mendengar jawaban kakek itu, kuduk sang puteri pun meremang. Dia teringat pada perempuan perempuan beku yang telah menjadi mayat itu.

"Apa yang terjadi dengan mereka?"

Tanya sang puteri tiba-tiba. Bukara memandang ke arah deretan dinding di mana mayat-mayat itu berjejer dalam posisi berdiri. Bukara mendengar, tapi kemudian dia memperlihatkan sesungging seringai yang menakutkan.

"Untuk apa kau hiraukan orang yang sudah mati? Perempuan-perempuan itu tadinya adalah orang yang melarikan diri dari kenyataan. Aku menolongnya dengan memberi perlindungan di sini. Tapi tidak semua pertolongan bisa kuberikan secara cuma-cuma, pada akhirnya mereka juga terpaksa harus menerima kenyatan dalam bentuk lain yang kusuguhkan..." ujar Bukara, seraya mengulum senyum.

"Kau pasti memaksa mereka untuk berbuat sesuatu di luar kehendak dan keinginan mereka," Tebak Puteri Padara.

"Oh, tuduhan itu terlalu kejam."

"Aku memberikan dua tawaran pada mereka. Tawaran pertama mereka harus bisa setidaknya memberikan keterangan penting tentang tempat bersembunyinya seorang dewa panah yang bergelar Pemanah Bintang," Ujar Bukara Kendro.

Wajah laki-laki tua itu entah mengapa secara tiba-tiba berubah mengelam begitu menyebut nama Pemanah Bintang. Puteri Padara sendiri terheran-heran mendengar ucapan Bukara. Dia tidak mengenal siapa Pemanah Bintang. Tetapi dia memang pernah mendengar nama Pemanah Bintang yang terkenal itu. Konon Pemanah Bintang adalah seorang ahli panah yang hebat.

"Kehebatannya dalam soal panah memanah pernah menghebohkan dewa-dewa yang ada di kayangan."

Ketampanan Pemanah Bintang serta keahliannya dalam soal memanah membuat para bidadari kayangan jatuh hati padanya. Dia digila-gilai bukan hanya oleh para wanita cantik, para bidadari kayangan bahkan amat kagum padanya. Namun Pemanah Bintang adalah seorang jago nomor satu yang berhati dingin.

"Pemanah Bintang tidak mudah jatuh cinta pada wanita."

Sebuah pertanyaan kini muncul dalam benak Puteri Padara. Apa yang membuat Bukara begitu menginginkan Pemanah Bintang. Sang dara pun tidak dapat menahan keinginannya untuk bertanya.  

"Gerangan apakah yang membuat dirimu ingin bertemu dengan Pemanah Bintang?"

Mata bulat besar yang seolah hendak melompat dari rongga itu berputar liar. Seluruh wajah Bukara berkeredutan seolah urat-urat darah di sekitar wajahnya seperti mau meletus. Tapi dia tersenyum, senyum yang membuat setiap orang yang memandangnya jadi gelisah.

"Aku bukan menginginkan Pemanah Bintang. Justru aku ingin membunuhnya," Tegas Bukara berapi-api.

"Kau nampaknya punya dendam khusus padanya?" Sindir sang puteri.

"Dendam? Ha ha ha. Aku tidak punya dendam khusus pada Pemanah Bintang. Tapi ketampanannya dan kecakapannya dalam soal panah telah menyita perhatian banyak wanita cantik di jagad ini. Malah tidak sedikit bidadari kayangan yang tergila-gila padanya. Selama dia hidup, mana mungkin aku bisa tenang. Gelarku Lelanang Sejati tidak ada artinya jika aku harus menjadi garong bagi kehormatan gadis-gadis yang kuinginkan."

"Berbeda dengan Pemanah Bintang yang banyak digila-gilai wanita, sementara aku sebaliknya. Aku harus memaksa wanita untuk bermain cinta denganku. Di samping semua yang telah kusebutkan itu paling penting adalah aku ingin mengetahui sebuah rahasia besar yang harus kuketahui tentang dirinya. Seandainya aku dapat mengambil rahasia itu. Hmm, tentu aku akan menjadi yang nomor satu dalam segala hal."  

"Hmm, rupanya begitu. Jadi perempuan-perempuan yang telah kau bunuh ini ternyata gagal memberikan keterangan padamu tentang keberadaan Pemanah Bintang?" Tanya Puteri Padara "Mereka orang bodoh yang tolol. Orang bodoh yang tidak bisa menggunakan kecantikannya untuk memikat laki-laki. Lagi pula aku tidak membunuhnya. Aku hanya mengajaknya bercinta.Mereka mencapai puncak, di atas puncak tidak ada puncak lagi sehingga mereka menemui ajal."

"Mengapa kau tidak mencari Pemanah Bintang sendiri?" Tanya sang puteri. Sepasang mata Bukara mendelik besar mendengar pertanyaan si gadis.

"Kau tidak tahu tentang diriku. Aku membutuhkan waktu lama untuk bisa keluar dari gua es ini. Tapi niatku untuk meninggalkan gua es segera terlaksana asal kau mau membantu diriku!" Ujar Bukara. Puteri Padara sedikit pun tidak menaruh prasangka jelek terhadap ucapan Bukara yang terpenting Bukara tidak memperlakukannya sebagaimana yang dia telah lakukan terhadap perempuan-perempuan itu. Tanpa sadar dia menggumam.

"Seandainya saja aku bisa membantumu?"

"Ha ha ha. Kau pasti bisa membantu aku."

"Apa bantuan yang bisa kuberikan?" Tanya sang dara. Bukara tidak menunggu, dia langsung menjawab.

"Cukup kau melayani diriku dalam bermain cinta. Jika kau menyerahkan diri secara sukarela, pasti kutukan yang menimpa diriku sirna. Dan untuk jasa baikmu itu serta pengorbanan yang kau berikan aku akan menjadikan dirimu sebagai seorang istri terpilih."

Mendengar dentuman petir di siang hari, Puteri Padara tidak mungkin sekaget seperti yang dialaminya saat itu. Ucapan dan keinginan Bukara baginya merupakan penghinaan dan keinginan yang menakutkan. Bagaimana mungkin dirinya yang terhormat sudi menuruti kehendak bejat kakek tua itu. Seandainya saja Puteri Padara jatuh cinta pada si kakek sekalipun dia tidak ingin bermain cinta dengannya tanpa ikatan nikah yang sah.

"Kau diam puteri, apakah ini berarti kau setuju dengan permintaanku ini?"

Tanya Bukara mengejutkan Puteri Padara dari lamunannya. Wajah sang dara seketika berubah merah padam. Dengan cepat dia menggelengkan kepala.

"Kau manusia yang tidak tahu diri. Apakah dengan alasan ingin membebaskan diri dari kutukan kau juga membunuh gadis-gadis itu?" Tanya sang dara marah sekali.

"Kau harus mendengar penjelasanku. Ketahuilah belakangan aku mendapat petunjuk untuk bebas dari kutukan Dewi Kabut. Aku harus bisa menemukan seorang wanita berdarah biru. Wanita itu harus perawan, walau berdarah biru juga percuma jika wanita itu pernah berkeluarga atau pernah bermesraan dengan laki-laki lain. Kebetulan sekali kau muncul. Bagiku kehadiaranmu kuanggap sebagai anugerah terbesar yang pernah kumiliki."

"Dan bagiku permintaan gilamu itu jelas merupakan malapetaka terbesar yang tidak pernah dikehendaki oleh gadis manapun di dunia ini," Jawab sang puteri sinis.

"Kau harus menolongku, jika tidak dalam waktu satu purnama di depan aku bisa menjelma menjadi sesuatu yang tidak dikehendaki!" Ujar si kakek dengan suara memelas.

"Aku tidak perduli dengan alasan-alasan yang kau ajukan. Bagiku lebih baik mati dari pada melayani kehendak bejatmu itu!" Tegas Puteri Padara ketus.

"Oh sayang sekali. Harapanku untuk menghentikan kutukan lenyap, cita-citaku untuk menangkap Pemanah Bintang sirna. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kau telah ditetapkan menjadi milikku terlepas dari rasa suka atau tidak!"

Geram Bukara. Kaget di hati Puteri Padara bukan kepalang. Tanpa sadar dia melangkah mundur.  

"Kau gila. Aku harus pergi dari tempat ini secepatnya," Kata gadis itu.

"Oh tidak! Kau tidak akan pergi kemana-mana," Teriak Bukara.

Seiring dengan teriakannya itu tiba-tiba saja dia membuka mulutnya. Dari mulut Bukara keluar lidah yang amat panjang berwarna kemerah-merahan. Lidah itu bercabang dua. Yang membuat sang dara ketakutan, lidah Bukara dapat menjulur panjang dan bergerak ke arahnya siap menjilati wajah, dada dan sekujur tubuhnya. Puteri Padara menjerit ketakutan. Dia membalikkan badan dan berusaha berlari keluar dari ruangan dalam gua.

Tetapi sambaran lidah Bukara ternyata jauh lebih cepat dari gerakan sang puteri. Hanya dalam waktu singkat sekali salah satu kakinya kena disambar oleh lidah itu. Lidah melilit kakinya. Sekali sentak sang puteri jatuh terpelanting. Bukara terus menyeret sang puteri hingga mendekat ke arahnya. Sang puteri meronta. Justru lidah Bukara kini menjilati wajah dan lehernya. Jilatan itu membuat sekujur tubuhnya merinding.

Terlebih-lebih ketika lidah yang liar itu kemudian menyusup di balik pakaian daun yang menutupi dada sang puteri. Sang puteri menggelepar. Jilatan lidah terasa membelai-belai sekujur tubuhnya, membuat sang puteri merasakan sesuatu yang aneh. Dia seperti terbius, perasaannya melayang-layang aneh dan jantungnya berdegup tidak teratur.

Bukara menyeringai, dia terus menggerak-gerakkan lidahnya bukan hanya di bagian tubuh sebelah atas. Tapi jilatan lidah kini bergerak ke bagian tubuh sebelah bawah. Puteri Padara berusaha berontak, tapi pemberontakan diri anehnya kini didorong oleh keinginan yang lain. Keinginan itulah yang hampir melenyapkan seluruh kesadaran dan menghilangkan perasaan malu. Bukara memang sangat ahli dalam hal memperdaya wanita.

Gadis yang semula menolak keinginan bejadnya dengan tegas kini menjadi penurut. Dan tentu saja pada akhirnya bakal mengikuti apa yang dia inginkan. Bahaya besar justru kini bakal terjadi pada Puteri Padara. Tetapi ketika Bukara merasa berhasil menaklukkan gadis itu. Di saat Puteri Padara mulai kehilangan akal sehatnya. Pada saat itu, mendadak terdengar suara yang mengerikan. Di tengah suara gaung terdengar suara makian marah.

"Manusia terkutuk perusak kehormatan harga diri wanita. Kau tidak mungkin bebas dari kutukan. Lidahmu yang penuh racun memabukkan akan kupotong! Selamanya kau bakal terpasung di sini!"  

Wuees! Bukara tersentak kaget. Sekonyong-konyong dia melihat kilatan senjata berupa pedang yang terbuat dari batu. Pedang itu meluncur deras siap memenggal lidahnya. Kalau saja Bukara tidak bertindak cepat menarik lidahnya dari tubuh Puteri Padara. Tentu Bukara bakal kehilangan lidahnya. Orang tua itu memaki. Sementara orang yang telah menyerangnya dengan pedang batu langsung menyambar Puteri Padara lalu melemparkannya keluar dari dalam gua.

 "Siapa kau!"

"Kau mau mengetahui siapa aku?"

"Aku Sandi Laya, si buruk wajah yang ingin menghentikan keinginanmu dari perbuatan keji!" Sahut lawannya.

Bukara memandang ke depan. Dia melihat di depan sana seorang laki-laki muda berpakaian biru terbuat dari kulit kayu berdiri tegak sambil memegang sebilah pedang yang terbuat dari batu pualam putih. Pedang itulah yang tadi hampir saja membabat putus lidahnya.

"Rasanya aku tidak mengenal siapa dirimu?" gumam Bukara setelah merasa tak pernah melihat atau bertemu dengan pemuda itu.

Pemuda itu tersenyum, walau tersenyum namum senyumannya terasa mengerikan. Karena wajah pemuda itu begitu rusaknya seperti orang yang pernah terserang penyakit lepra.

"Boleh jadi kau tidak mengenalku, tapi tidak tertutup kemungkinan kau sebenarnya mengenal siapa diriku,"       Jawab pemuda itu

"Pemuda muka buruk. Apa saja yang kau katakan aku tidak perduli. Bagiku kau telah menghancurkan semua rencanaku. Tadi seharusnya aku bisa melenyapkan kutukan Dewi Kabut andai saja kau tidak ikut campur urusanku. Dan niatku untuk bercinta dengan Puteri Padara jadi lenyap gara-gara tindakanmu," Hardik Bukara sengit.

"Setelah aku menggagalkan niatmu yang keji itu. Kemudian apa yang hendak kau lakukan? Tidaklah kau menyadari bahwa semua yang terjadi kepadamu karena ulahmu sendiri?"

"Pemuda keparat! Kau tahu apa tentang diriku?"

Maki Bukara sengit. Dia menjadi lebih geram lagi ketika melihat pemuda itu malah tersenyum seperti mengejeknya.

"Aku mengenal riwayat hidupmu Bukara! Aku juga tahu mengapa kau dipasung di tempat ini. Bukankah yang memasungmu adalah Dewi Kabut, seorang dewi kegelapan yang sakti yang dapat menjatuhkan kutukan pada siapa saja. Kau pasti telah mengecewakannya. Apa yang kau lakukan bersamanya, kau bermain cinta dengannya. Tapi sebagai orang yang memiliki gelar Lelanang Sejati kau tidak mampu memuaskan hasrat cintanya."

"Kau telah membuatnya kecewa hingga membuatnya murka dan menjatuhkan kutuk kepadamu. Kurasa ini cukup menggelikan di samping waktumu sangat sempit. Dalam waktu satu purnama mendatang kalau kau tidak salah kau segera berubah menjadi manusia Lempur, menjadi Lempur berarti kau bisa menggonggong. Memang tubuhmu tidak pernah berubah. Tubuhmu tetap manusia, tetapi dari leher ke atas ujudmu bakal berubah menjadi anjing."

"Kemudian kau berusaha memusnahkan kutukan itu dengan bermain cinta. Puteri Padara menjadi sasaranmu, karena dirinya dari golongan darah biru. Sayang yang menjadi korbanmu sudah terlanjur banyak. Aku tidak bisa membiarkanmu. Kalau kau ingin korban, mengapa kau tidak pergi saja ke Lembah Dieng? Di sana perempuan-perempuan cantik bisa kau temukan, kau bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya dan kau tak ada yang menyaingi karena tidak satupun laki-laki yang hidup di tempat itu!"

Bukara tidak dapat menutupi rasa kagetnya. Dia tidak menyangka pemuda buruk rupa itu ternyata mengetahui semua rahasia yang selama ini dipendamnya. Dia menduga pemuda yang mengaku bernama Sandi Laya Itu adalah orang suruhan Dewi Kabut. Tapi seingatnya Dewi Kabut tidak punya anak buah, apalagi kaki tangan laki-laki. Apalagi setelah peristiwa kelabu yang terjadi antara dirinya dengan Dewi Kabut. Seluruh kaki tangan dan pembantunya dia bunuh.

Bahkan di Lembah Dieng dia membunuh setiap laki-laki yang hidup di sana. Terakhir dia juga melakukan pembunuhan secara besar-besaran pada setiap bayi laki-laki yang terlahir di daerah itu. Jadi pemuda ini sesungguhnya siapa? Dengan suara perlahan namun dengan tatap penuh curiga, Bukara bertanya.

"Kau bukan kaki tangan Dewi Kabut, tapi kau mengetahui banyak tentang diriku dan tentang dirinya. Lalu dirimu itu siapa sesungguhnya."  

"Aku si buruk rupa. Gadis itu tidak layak menjadi korbanmu. Dan kau tidak perlu lagi mencari korban untuk menghentikan proses kutukan yang sedang berjalan atas dirimu."

"Manusia lancang! Kau sudah menggagalkan rencanaku dan sekarang ingin pula mengguruiku! Sekarang lebih baik kau terimalah kematianmu!"

Teriak Bukara. Begitu berteriak Bukara langsung menghantam Sandi Laya dengan dua pukulan bertubi-tubi. Cahaya hitam berkiblat menghantam ke arah pemuda seperti tebasan pedang. Sandi Laya keluarkan seruan tertahan, namun dengan gerakan enteng dia melesat ke langit-langit gua. Selanjutnya dia melompat ke arah kakek itu sementara pukulan jarak jauh yang dilepaskan Bukara yang menghantam dinding es di ujung ruangan gua.

Gua itu bergetar, namun si kakek tidak perduli. Justru kini dia menangkis tendangan Sandi Laya yang mengarah ke bagian wajah dan dadanya. Plak! Plak! Dess! Dua tendangan dapat ditangkis, namun ketika Sandi Laya susupkan pukulannya, serangan mendadak itu tidak sempat lagi dihindari oleh Bukara. Dia yang tidak dapat menggerakkan kaki karena dalam keadaan terpasung tersentak ke belakang.

"Bocah buruk kurang ajar!"

Maki orang tua itu. Bukara sudah merasakan pukulan yang menyambar pelipisnya ternyata mengandung tenaga dalam tinggi. Kenyataan yang dilihatnya membuat si kakek tidak mau bertindak ayal. Dengan cepat dia menghimpun tenaga. Tenaga dalam kemudian dia salurkan ke dua tangannya hingga membuat tangan itu berubah menghitam dan mengepulkan asap tipis berhawa dingin mengerikan.

Sandi Laya sempat kaget menyaksikan apa yang dilakukan oleh lawannya. Namun pemuda ini tidak menjadi gentar. Ketika Bukara berteriak sambil melepaskan pukulan secara bertubi-tubi ke arahnya. Sandi Laya langsung memutar pedang membentuk perisai diri. Sinar putih bertabur mengelilingi Sandi Laya hingga pemuda itu seolah terbungkus oleh gulungan cahaya pedang batunya.

Angin menderu, cahaya hitam menyambar, menghantam perisai yang ditimbulkan oleh cahaya pedang batu pualam. Terjadi ledakan tiga kali berturut-turut. Gua es serasa mau runtuh, Sandi Laya terlempar jauh. Tubuhnya terjungkal. Dia segera menyadari seandainya dia terus bertahan, dirinya bisa celaka mengingat Bukara akan menjadi semakin kuat bila berada di tempat pemasungannya. Tidak ingin mengambil resiko, pemuda ini segera memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.  

Bukara yang mengetahui lolosnya lawan berusaha mencegahnya dengan melepaskan pukulan. Namun pukulan itu hanya menghantam mulut gua, sedangkan Sandi Laya sendiri melarikan diri dengan membawa serta puteri Padara. Tinggallah Bukara yang marah bukan main atas perginya lawan yang melarikan gadis Jelita itu.

"Manusia keparat pengecut! Dia telah menggagalkan rencanaku. Kelak dia bakal menanggung akibatnya."

Geram Bukara mengancam. Bukara lalu terdiam. Dia masih pernasaran sekali. Tapi dia menyadari, kali ini dia harus bersabar menunggu kesempatan berikutnya.

***

Setiap malam tiba gadis yang memiliki rambut panjang hingga ke pinggang itu pasti akan menyempatkan diri untuk menyepi di puncak Dieng. Biasanya dia akan berada di sana hingga menjelang pagi. Para penghuni Lembah Dieng yang keseluruhannya terdiri dari kaum perempuan tidak ada yang berani mengusik mengingat kedudukan gadis ini sangat tinggi. Gadis yang memiliki nama Hening Anyali ini adalah pemimpin yang sangat berpengaruh di lembah Dieng.

Sebagai seorang gadis yang memiliki kepandalan sangat tinggi, Hening Anyali tentu tidak dapat melawan kodratnya sebagai seorang wanita. Dia tidak Ingin hidup menghabiskan waktu sampai tua dalam kesendirian. Dia ingin punya pendamping hidup yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi baik dalam keadaan suka maupun duka.

Tetapi keinginan seperti itu tentulah hanya keinginan yang tidak mungkin dapat terlaksana mengingat betapa kehadiran laki-laki di lembah itu justru akan mengundang malapetaka baru yang dapat mencelakakan para pengikutnya. Kini Hening Anyali hanya bisa merenungi masa depan kaumnya yang suram. Pada saatnya mereka semua akan menjadi tua dan mati, sementara mereka tidak punya anak ataupun cucu yang kelak dapat melanjutkan kehidupan mereka sebagai generasi penerus.

Mungkinkah semua ini bisa dihindari? Hening Anyali memandang ke langit. Betapa indah langit di atas sana pada malam hari. Bintang-bintang berkedip seperti kunang-kunang yang beterbangan di kejauhan. Hening Anyali menghembuskan nafas, matanya berbinar pada saat dirinya teringat dengan seorang pemuda tampan yang digila-gilai banyak wanita.

Beberapa waktu lalu pemuda itu pernah muncul. Dia hadir di hadapannya. Hening merasa saat itu darahnya berdesir, jantung berdetak tidak karuan. Hening Anyali belum pernah bertemu dengan pemuda setampan itu. Bahkan bertemu dengan pemuda yang wajahnya biasa biasa saja pun dia tidak pernah. Setiap laki-laki banyak yang terbunuh, bukan hanya di Lembah Dieng, di daerah lain pun sama saja.

Banyak orang mengatakan, pembunuh para laki-laki Itu adalah Dewi Kabut. Tapi benarkah Dewi Kabut yang melakukannya? Rasanya sulit diterima mengingat Dewi Kabut itu bagi kebanyakan orang hanya merupakan sebuah legenda dari sebuah sejarah masa lalu yang hitam dan mengerikan untuk dikenang. Dewi Kabut telah lama mati. Mayatnya konon dikubur di laut selatan. Kalau demikian, lalu siapa yang telah membunuh kaum lelaki yang hidup di tanah Dipa ini?

Hening Anyali tidak menemukan jawaban dari pertanyaan yang sering muncul dalam benaknya itu. Justru ingatannya sekarang kembali tertuju pada pemuda tampan yang pernah menemuinya saat itu. Dan pemuda itu adalah Pemanah Bintang yang terkenal. Dia seorang ahli panah yang tiada tanding. Dengan panah saktinya yang bernama Cakra Kalima Inggil, ahli panah nomor satu ini bahkan sanggup merontokkan bintang yang jaraknya jutaan tombak dari bumi. Pemuda tampan dengan kesaktian sehebat Itu siapa yang tidak tergila-gila padanya.

"Hmm, andai saja aku dapat bersanding dengan Pemanah Bintang. Aku akan menyerahkan jiwa dan ragaku sepenuh hati, aku akan membaktikan hidupku untuknya. Tapi rasanya impianku ini sulit terwujud. Akupun tidak sampai hati bila Pemanah Bintang menjadi korban keganasan Dewi Kabut!" Ujar gadis itu seorang diri.

Sekali lagi si gadis memandang ke langit. Seperti waktu yang lalu dia berharap, Pemanah Bintang muncul dari atas sana. Pemuda itu muncul dengan jubah putihnya yang menebar angin semilir menyejukkan. Betapa damainya hidup dalam suasana yang seperti itu. Lamunan Hening Anyali semakin jauh hingga membuat dirinya hilang kewaspasdaan dan tidak menyadari bahwa di puncak gunung itu kini dirinya tidak sendiri.

Ada orang lain yang baru saja sampai di situ dan berdiri menatapnya dengan penuh rasa heran. Melihat Hening Anyali diam tidak bergerak, sementara matanya memandang ke langit sementara bibirnya pun menyungging senyum, orang yang berada di depannya itu kemungkinan adalah perempuan yang kurang waras. Orang ini lalu jadi bicara sendiri.

"Sungguh aku tidak menyangka bahwa di daerah yang banyak mengandung racun ini masih ada kehidupan yang layak. Yang mengherankan ketika aku sampai di lembah, aku hanya menemukan para perempuan tua dan muda yang kesepian. Kemana orang laki-lakinya? Tanpa laki-laki mana mungkin perempuan bisa melahirkan."

"Aku pun berusaha mencari jawaban, namun sesampainya di sini aku malah heran lebih lagi. Di tempat yang sunyi di puncak gunung yang tinggi ada seorang gadis terus menerus memandang ke langit. Mata berbinar-binar, bibir tersenyum, entah apa yang membuatnya tersenyum, atau barangkali dia memang sudah gila?!"

Kata orang yang baru datang seperti ditujukan pada dirinya sendiri. Hening Anyali terkejut setengah mati. Tiba-tiba dia bangkit dengan muka merah. Dia memandang ke depan sambil bersikap waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi. Astaga! Bola mata indah gadis Itu mendelik besar. Dia mengusap matanya boberapa kali saking tidak percaya dengan yang dilihatnya. Di depan sana dia melihat seorang pemuda berambut gondrong.

ajah pemuda itu tampan, dengan bantuan api unggun, Hening Anyali melihat pemuda itu memandang ke arahnya. Dia berpakaian dari kulit warna cokelat, rambutnya juga diikat dengan selembar kulit warna cokelat pula. Pemuda Ini walau tampan jelas bukan Pemanah Bintang karena wajahnya berbeda dan pakaiannya juga berbeda.

"Siapa dirimu?" Tanya Hening Anyali curiga. Pemuda itu tersenyum, dia merasa aneh dipandangi seperti itu. Dari cara si gadis menatap, seakan akan dia tidak pernah bertemu dengan laki-laki.

"Aku datang dari sebuah tempat yang jauh!" Ujar pemuda itu.

"Seharusnya demi keselamatanmu, kau segera angkat kaki dari tempat ini dan jangan pernah muncul lagi"

Kata Hening Anyali memperingatkan. Saat itu wajahnya juga mulai membayangkan rasa khawatir.  

"Gadis ini sepertinya takut atas sesuatu, apa yang ditakutinya?" Pikir pemuda itu.

"Kau mengusirku?"

"Siapa namamu?" Tanya sang dara.

"Namaku Saga Merah." Jawab si pemuda. Kening Hening Anyali berkerut. Nama itu dirasakan aneh.  

"Saga Merah, kalau kau sayang dengan nyawamu, lebih baik kau tinggalkan tempat ini secepatnya."  

Pemuda murid dari gabungan tiga tokoh sakti yang ada di puncak Merapi ini gelengkan kepala.

"Aku baru saja datang, kau belum memperkenalkan namamu. Tiba-tiba kau mengusirku? Apakah kau selalu bersikap begitu pada setiap orang?"

"Aku tidak mengusir tamu, tapi harus tamu perempuan. Kalau tamu yang datang di wilayah yang menjadi kekuasaanku adalah laki-laki. Demi kebaikannya sendiri tentu aku wajib mengusirnya."  

"Aku tidak mengerti? Kau mengaku sebagai orang yang menguasai gunung dan Lembah Dieng. Mengapa kau bersikap seperti itu?"

"Kau orang asing, aku tidak mungkin menjelaskannya padamu!"

"Hmm, kau ingin agar aku pergi? Tidak mengapa? Tapi katakan dulu siapa namamu?" Kata Saga Merah.

"Hening Anyali." Jawab dara itu singkat. Sang pendekar manggut-manggut.

"Pantas saja kau suka di tempat yang sunyi tidak tahunya kau punya nama seperti itu. Satu lagi yang ingin sekali ku tanyakan!" Kata pemuda itu.

"Katakanlah cepat sebelum peringatan itu datang dan kami akan menuai musibah." Kata si gadis si gadis tambah cemas. Saga Merah tambah terheran-heran.

"Aku ingin bertanya kemana perginya kaum laki-laki di lembah ini?"

"Kau menyembunyikan sesuatu, ada yang kau rahasiakan. Mengapa kau tidak mengatakannya saja padaku agar aku bisa menolongmu!"

Kata-kata Saga Merah membuat Hening Anyali tersenyum sinis.

"Bantuan apa yang bisa kau tawarkan. Sedangkan kau sendiri tak mungkin dapat menolong dirimu."  

"Kau terlalu memandang rendah orang lain."

Hening Anyali menjadi geram, dia yang semula memberi hati pada pemuda itu dengan bicara perlahan kini hilang kesabaran. Sementara itu sebelum Hening Anyali sempat memutuskan apa yang harus dia lakukan pada pemuda itu tiba-tiba saja puncak gunung Dieng bergetar. Bukan hanya Hening Anyali yang dibuat keget, sebaliknya Saga Merah sendiri menyangka gunung itu kini mulai dilanda gempa.

"Apa kataku, peringatan itu datang dengan cepat! Aku sudah mengatakan kau cepat angkat kaki dari sini. Tapi kau terlalu keras kepala." Dengus sang dara menyesalkan.

"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini walaupun gunung ini meletus ataupun runtuh." Jawab pemuda itu tegas. Jawaban Saga Merah membuat Hening Anyali menjadi tak sabar lagi.

"Nampaknya aku harus mengusir dirimu dengan cara yang keras," Kata si gadis marah.

"Aku tidak takut"

"Dasar pemuda....!" Hening Anyali tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena ketika itu mendadak saja ada angin menderu menyambar puncak Dieng disertai suara peringatan yang seakan datang dari sebuah tempat yang amat jauh sekali.

"Melanggar pantangan berarti kematian bagi yang melakukannya dan bencana bagi orang yang membiarkan pantangan itu dilanggar."

"Penguasa Dieng, apakah kau sudah bosan hidup? Membiarkan seorang laki-laki berada di depanmu hukumannya sangat berat"

"Eh siapa yang bicara itu? Suaranya seperti perempuan, tapi tidak tertutup kemungkinan yang bicara bukan perempuan." Ujar Saga Merah.

Si gadis tidak menjawab, hanya wajah dan tatapan matanya saja yang memperlihatkan perasaan serba salah.

***

Laki-laki berpunuk itu masih duduk bersimpuh di depan sebatang pohon beringin putih. Dia tidak berani memandang ke atas apalagi ke sekeliling tempat yang dipenuhi dengan tulang belulang. Sejak pagi hingga sore, sampai tiba pagi berikutnya dia terus duduk sambil memanjatkan doa berupa mantra mantra yang diyakini oleh nenek moyangnya sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak dulu nenek moyangnya memang menjadi penyembah pohon beringin itu.

Segala hajat yang berhubungan dengan kepentingan hidup selalu dimintakan pada tuah pohon. Meninggalkan sesembahan pohon berarti malapetaka akan menimpa. Dan ini diangap sebagai pengingkaran kodrat. Kini setelah sekian lama laki-laki bernama Kaliwangsa adanya ini datang lagi menghadap pada pohon yang dianggapnya telah memberikan tuah besar dalam perjalanan hidupnya.  

Seperti biasa, dia juga telah memberikan sesajen sebagai persembahan terhadap penguasa yang menunggu di pohon tersebut. Sebelumnya sepanjang malam tadi, Kaliwangsa tanpa tidur terus mengucapkan keinginannya. Masih belum ada jawaban atau pun petunjuk yang didapatnya. Suasana malam hingga pagi ini masih hening, bedanya kini langit nampak mendung. Kaliwangsa mulai dilanda gelisah.

Dia berfikir kemungkinan besar penguasa pohon tidak mau menjumpainya. Atau barangkali juga penguasa pohon memang tidak sudi memberikan petunjuk apa-apa. Kaliwangsa tidak habis mengerti mengapa dia harus menunggu selama itu.

"Pasti ada yang salah," Pikirnya dalam hati.

Dia lalu mengangkat wajah. Saat itu dia melihat mendung di langit semakin menghitam, angin dingin berhembus. Kaliwangsa berpikir sebentar lagi tentu hujan akan turun. Di saat seperti itu mahluk sejenis uwur-uwur atau sebangsa siluman akan muncul gentayangan mencari korbannya. Dan korban yang diinginkan oleh uwur-uwur biasanya laki-laki.

Kaliwangsa memutuskan alangkah baiknya jika dia pergi secepatnya. Tetapi sebelum dirinya sempat melakukan apa yang menjadi niatnya. Sekonyong-konyong dia mendengar Suara aneh datang dari dalam batang pohon. Suara itu seperti suara orang yang baru terjaga dari tidur yang panjang.  

"Syukurlah, penguasa pohon ini ternyata sudah bangun."

Kata laki-laki berpunuk itu merasa lega. Dia pun kemudian tidak ingin membuang waktu. Dengan cepat dia mengucapkan permohonannya.

"Aku Kaliwangsa Pradanya. Aku datang mengetuk hati Danyang penguasa pohon beringin putih. Harap Danyang sudi kiranya mengabulkan permohonanku."

Kaliwangsa menunggu, kemudian dia mendengar suara trompah kayu. Laki-laki ini berpikir tentulah Danyang penguasa pohon yang juga menguasai kehidupan disekelilingnya memiliki istana yang indah di dalam pohon kayu itu. Andai saja dia bisa melihat dan dapat masuk ke dalam pohon itu.  

"Kaliwangsa....pada akhirnya kau datang juga setelah sekian lama kau meninggalkan apa yang menjadi sesembahanmu!"

Kata satu suara. Dan suara itu bergema seperti suara orang yang bicara di dalam gua. Lamunan Kaliwangsa buyar seketika. Dia menjadi gugup karena mendengar teguran tersebut.

"Ampunkan aku wahai Danyang yang menguasai pohon. Selama itu aku menyembahmu karena aku percaya dengan anugerah-anugerah yang kau limpahkan kepadaku. Belakangan aku tidak datang kemari dan menyuguhkan sesajen sebagaimana layaknya yang sering kulakukan. Bukan berarti aku melupakan dirimu Danyang, aku tidak lupa. Yang terjadi semata-mata karena aku sibuk dengan segala urusanku yang sangat menyita waktu," Kilah Kaliwangsa lirih.

"Hmm, sebenarnya aku tidak bisa menerima alasanmu, Kaliwangsa. Sesajen yang kau persembahkan kepadaku juga sebenarnya tidak pantas kuterima," Ujar suara dari dalam pohon.

Kaliwangsa ketakutan setengah mati. "Apakah ada yang salah, Danyang?"

Tanyanya dengan perasaan tegang.

"Ada yang salah? Apakah kau tidak tahu bahwa sesajen yang yang kau persembahkan bunganya sudah layu dan tidak harum lagi, makanannya juga sudah basi. Baunya seperti muntahan musang."  

Kaliwangsa mengendus-endus. Caping hidung bergerak-gerak, dia tidak mengendus bau seperti yang dikatakan oleh sang Danyang. Walau begitu dia tidak mau bersikeras, dia mengalah untuk memuaskan perasaan sang Danyang.

"Hamba mengaku salah, hamba mungkin saja keliru. Sesuguhan ini sudah hampir dua hari karena memang sejak semalam hamba sudah berada di sini. Maafkanlah hamba Danyang."

"Aku bisa memaafkanmu. Sekarang katakan apa keinginanmu sehingga kau rela duduk di situ dalam waktu sekian lama?" Tanya sang Danyang.

Kaliwangsa tidak segera menjawab, dia membutuhkan waktu untuk mengatur nafas agar dapat bicara dengan benar.

"Hamba... terus terang saja sedang membutuhkan pertolonganmu. Danyang yang mulia. Saat ini sebenarnya hamba bingung."

"Apa yang membuatmu bingung?"

"Begini, sudah hampir dua pekan hamba memerintahkan pengikut setia hamba untuk mengejar seorang gadis cantik. Hamba ingin menjadikannya seorang istri. Gadis itu menolak lalu melarikan diri. Sejauh ini orang-orang suruhan hamba belum kembali. Hamba khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada mereka. Tapi bila mengingat gadis itu adalah gadis yang berkepandaian biasa seharusnya kami tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan orang-orang suruhan hamba."  

"Kaliwangsa, berapa usiamu sekarang?" Tanya sang Danyang. Sama seperti tadi suaranya bergema.  

"Umur hamba? Kalau tidak salah baru enam puluh tahun."

"Enam puluh tahun. Kau terbilang tidak muda lagi, mana mungkin gadis secantik puteri Padara sudi menjadi istrimu."

"Bagaimana Danyang bisa mengetahui bahwa gadis yang hamba inginkan adalah puteri Padara?" Tanya Kaliwangsa kaget.

"Percuma aku menjadi penguasa atas hajat hidup orang banyak jika aku tidak mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di sekelilingku. Kau tidak perlu heran. Gadis itu tidak ditakdirkan berjodoh dengan dirimu. Lagi pula kau tak bakal menemukannya. Dia telah berada di tangan orang lain. Selain itu kau tak usah lagi mengharapkan kembalinya kaki tanganmu karena mereka sudah tewas."

"Siapa yang membunuh mereka?"

Tanya Kaliwangsa kaget. Tiba-tiba saja darahnya seperti mendidih. Dia sangat marah sekali mendengar kematian para pengikutnya.

"Kau tidak perlu gusar. Seluruh anak buahmu tewas. Mereka mati tertembus anak panah. Kau tidak perlu bertanya, kurasa kau sudah tahu siapa yang membunuh mereka!"

"Pemanah Bintang?" Desis laki-laki itu gusar.

"Ya, mereka terbunuh oleh Pemanah Bintang."

"Lalu gadis itu berada di mana?" Tanya Kaliwangsa panasaran.

"Bagaimana seandainya kukatakan padamu bahwa gadis itu ada di tangan seseorang yang memiliki wajah buruk."

"Hamba merasa tidak mengenalnya. Danyang, katakan padaku apa yang harus hamba lakukan?"  

"Yang kau lakukan tentu saja tergantung apa yang kau inginkan," Kata suara dari dalam pohon.  

"Hamba tidak percaya pada takdir. Puteri Padara dengan cara apapun harus menjadi milik hamba!" Ujar Kaliwangsa tetap ngotot.

Laki-laki itu kemudian mendengar suara tawa tergelak-gelak. Tidak lama setelah itu Kaliwangsa mendengar suara,

"Kau akan mengetahui apa yang aku lakukan sesuai dengan petunjukku. Petunjuk hanya kau dapatkan setelah kau mendekat kepadaku." Kaliwangsa kebingungan.

"Mendekat bagaimana Danyang."

"Manusia tolol, tentu saja kau mendekat ke pohon agar aku bisa menyentuhmu. Lekas lakukan apa yang kuperintahkan ini!"

Dengan tergopoh-gopoh Kaliwangsa mendekati pohon. Hingga kepala itu menyentuh ke bagian batangnya.       Begitu kepala menyentuh pohon. Serta merta pohon beringin putih mengeluarkan kilatan cahaya. Di balik kilatan cahaya yang muncul, terlihat ada sepasang tangan menyambar kepala Kaliwangsa. Ketika tangan itu menyentuh kepala si orang tua, Kaliwangsa menjerit kesakitan.  

"Akrgh... apa yang kau lakukan?"

Teriak Kaliwangsa yang kepalanya serasa hangus dan mengepulkan asap menebar bau rambut dan kulit yang terbakar.

"Ha ha ha! Kaliwangsa, kau ini manusia bodoh. Sama seperti nenek moyangmu atau orang lainnya. Ketahuilah, tidak ada petunjuk yang dapat kuberikan untukmu. Saat ini aku justru membutuhkan kekuatan tambahan untuk keluar dari pohon beringin terkutuk yang telah membuatku tersiksa selama puluhan tahun. Sedikit sumbangan tenaga dan kekuatan yang ada padamu membuat aku dapat menghancurkan pohon ini!"

Kaliwangsa tersentak kaget. Dia meronta dan berusaha membebaskan diri dari cengkeraman tangan yang terjulur keluar menembus batang pohon itu. Tetapi tenaganya justru semakin tersedot. Sementara rasa sakit tambah menghebat.

"Orang tua tolol, mampuslah engkau!"

Teriak suara dari pohon. Seketika itu juga kepala Kaliwangsa meledak. Pohon beringin itu juga ikut meledak. Dari pertengahan batang pohon yang growong berlubang melesat satu bayangan berupa sosok laki-laki berambut panjang awut-awutan berbadan pendek dan hanya memakai selembar penutup auratnya.

Tanpa memperdulikan Kaliwangsa yang terkapar tidak bernyawa, laki-laki itu berkelebat meninggalkan pohon yang telah membuatnya tersiksa selama puluhan tahun. Kaliwangsa tidak pernah tahu, siapa adanya sosok yang baru terbebas dari pohon itu karena dirinya terlanjur menemui ajal.

***

Matahari sudah muncul di ufuk timur ketika Sandi Laya sampai di ujung selatan Kulon Progo. Sampai di sini, pemuda berwajah buruk itu lalu menurunkan Puteri Padara yang sejak melarikan diri dari Gua Es terus menerus berada dalam dukungannya Puteri Padara merasa lega walau dirinya saat itu bersama dengan seorang pemuda berwajah buruk, namun dia telah diselamatkan dari perbuatan bejad Bukara Kendro. biarpun dirinya telah selamat dari sebuah aib besar, tidak urung bermacam-macam pertanyaan muncul dalam benaknya. Puteri Padara tidak dapat menahan keinginannya untuk bertanya.

"Aku mendengar laki-laki yang dipasung dalam gua itu menyebut sebuah nama, apa benar namamu Sandi Laya?"

Pemuda berpakaian biru terbuat dari kulit kayu itu bersikap acuh. Tanpa menghiraukan pertanyaan Puteri Padara sebaliknya dia berkata.

"Dari tempat ini kau harus berjalan bersamaku. Tempat tinggalku tidak Jauh lagi dari sini. Bukara tidak mungkin mengejar, selama kutukan itu belum musnah, dia bakal mendekam di dalam Gua Es sampai klamat."

"Aku tidak perduli kalau pada akhirnya tua bangka itu mampus. Manusia seperti dia tidak ada gunanya hidup berlama-lama di dunia ini karena hanya membuat sengsara perempuan. Kau belum menjawab pertanyaanku, atau kau memang orang yang suka mengacuhkan pertanyaan orang," Kata gadis itu agak jengkel.

"Anggap saja namaku seperti yang dikatakan oleh Bukara. Aku Sandi Laya ataupun yang lainnya. Apakah ini penting bagimu?"

"Kau telah menolongku, setidaknya aku harus berterima kasih kepadamu. Satu lagi yang ingin kuketahui, apa yang telah terjadi pada dirimu. Mengapa keadaan....!"

Pemuda itu tersenyum, dia mengangkat tangannya sebagai isyarat agar Puteri Padara tidak melanjutkan ucapannya.

"Aku tahu, kau bermaksud bertanya tentang rupaku yang buruk. Aku tidak perlu menjawabnya karena semua ini adalah bagian dari sebuah masa laluku yang tak mungkin kuceritakan padamu. Yang kutahu, tugasku hanya membantumu, menolong dirimu dari keinginan bejad Bukara."

Sikap yang ditunjukkan Sandi Laya dianggap oleh gadis itu sebagai sikap yang angkuh.

"Baiklah, kau sudah menolongku. Sekarang aku merasa telah berhutang nyawa dan hutang kehormatan padamu. Sebagai imbalannya apakah aku harus mengabdi padamu atau bahkan menjadi isterimu?"

Dengus Puteri Padara sinis. Telinga Sandi Laya bergerak-gerak. Rupanya yang buruk dipenuhi bopeng-bopeng seperti bekas terserang wabah penyakit bersemu merah. Jauh di dalam hati sesungguhnya dia tersinggung mendengar ucapan sang puteri. Tetapi Sandi Laya tetap bersabar. Matanya pun bahkan tetap datar jauh dari kemarahan.

"Kau seorang puteri, wajahmu cantik rupawan. Sayang kecantikanmu tidak dimiliki oleh hatimu. Kau terlalu berburuk sangka, walau harus diakui, sikap waspada mutlak dibutuhkan dalam menjalani hidup ini. Aku bukan manusia pemuja dunia, dunia ini bagiku juga bukanlah segalanya. Dan kau kali ini terperangkap dalam pendapat yang salah. Aku tidak mau berdebat denganmu. Masih banyak yang harus kukerjakan sebelum tibanya purnama mendatang." Ujar Sandi Laya. 

Walau tidak mengerti tentang apa yang dibicarakan oleh pemuda itu, namun setidaknya kata-kata serta penjelasan yang diberikan Sandi Laya setidaknya memberikan sebuah gambaran seperti apa pemuda itu yang sebenarnya. Kini dara itu tidak ingin berdebat lagi dengan Sandi Laya dan berusaha menepis segala prasangka buruk yang sempat muncul dalam benaknya. Puteri Padara lalu bertanya. 

"Tempat tinggalmu ada dimana?" 

Di balik hutan belukar yang menghampar di hadapannya Sandi Laya mengacungkan telunjuknya. 

"Kau tinggal di tengah hutan belantara?" Tanya sang puteri. 

Mata indah gadis itu membulat besar, wajahnya kembali membayangkan rasa cemas. Dia menatap pemuda itu. Kembali dia melihat wajah itu, wajah buruk yang tidak enak dipandang. 

"Kau ikut saja, jangan sampai tertinggal. Sebentar lagi kau bukan hanya dihadapkan oleh hutan lebat, sebaliknya kau juga akan menjumpai belantara kabut. Orang yang tersesat di belantara yang kusebutkan itu tak akan bisa keluar terkecuali atas pertolongan orang yang benar-benar mengenali daerah ini."

"Nampaknya sungguh mengerikan. Aku khawatir, selamanya kau tidak bisa keluar dari tempat tinggalmu."       Ujar gadis itu dengan wajah membayangkan rasa ngeri. 

"Aku yang membawamu. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu. Kau tidak perlu khawatir. Mari ikuti aku!" 

Sandi Laya kemudian memberi isyarat agar sang puteri tidak bicara lagi. Keduanya kemudian memasuki rimba. Dalam perjalanan sebelum mencapai belantara kabut Puteri Padara dikejutkan oleh suara-suara rintih, jerit tangis dan lolong sakit dan ketakutan. 

"Suara apa itu?" Tanya sang dara tidak dapat lagi membendung keingintahuannya. 

"Ssst! Ini adalah daerah penantian tempat berkumpulnya arwah-arwah yang tersesat. Mereka datang dari waktu ke waktu hingga daerah Ini dipenuhi oleh arwah. Sayang kau tak dapat melihat mereka, seandainya kau bisa melihat sebagaimana aku melihat. Kau bahkan tidak punya waktu untuk tertawa."

"Aku tidak mengerti apa maksudmu?"

"Apakah kau pernah mendengar tentang sebuah negeri, nama negeri itu adalah negeri Kebahagiaan."  

"Aku...aku tidak pernah mendengarnya." Ujar Puteri Padara sambil menggelengkan kepala. 

"Kalau begitu bakal membutuhkan waktu lama jika aku menerangkannya padamu. Lebih baik kau lupakan tentang Negeri Kebahagiaan. Lebih baik pusatkan perhatianmu karena sebentar lagi kita akan memasuki rimba kabut," Ujar Sandi Laya. 

Walau hatinya masih penasaran, Puteri Padara tidak ingin bertanya-tanya lagi. Sementara suara rintih dan jerit telah tertinggal jauh di belakang mereka. Perjalanan selanjutnya ternyata jauh lebih sulit. Puteri Padara tidak dapat melihat apa-apa karena sekeliling tempat itu dipenuhi kabut tebal. Demikian gelapnya tempat itu sampai-sampai sang puteri tidak dapat melihat jari tangannya sendiri. Tapi dia beruntung karena Sandi Laya terus membimbing tangannya. Seandainya saja dia dibiarkan berjalan sendiri. Dirinya bisa tersesat kemana-mana. 

"Tempat ini gelap sekali. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku takut." Keluh gadis itu. 

"Di sini malam atau siang tidak ada bedanya. Kau tidak perlu takut, kau tidak akan tersesat selama ada yang membimbingmu, tanpa pembimbing kau seperti orang buta yang berjalan di kegelapan." 

Puteri Padara hanya bisa menganggukkan kepala. Kini setidaknya dia bisa mulai menarik nafas lega karena rimba kabut telah mereka lewati. Setelah lolos dari rimba kabut, sang dara melihat hamparan pemandangan yang hijau. Nun di kejauhan sana dengan jelas terlihat pula kilauan cahaya warna warni. 

"Cahaya apakah itu?" Tanya sang puteri. 

"Itu pancaran dari benda-benda yang pada suatu saat nanti memiliki nilai tinggi. Siapa yang paling banyak mempunyai benda itu dia pantas dikatakan orang kaya. Di sana aku tinggal, aku dan orang-orang senasib."

"Orang-orang senasib, apa maksudmu?" 

Tanya Puteri Padara tidak mengerti. Sandi Laya tersenyum. Sambil terus melangkah dia berkata. 

"Seorang dari dunia luar telah membuat kami seperti ini. Mereka menebarkan racun di sumber mata air kami."

"Oh, jadi luka-luka di wajahmu itu karena akibat terkena racun?" 

Gumam sang dara dengan tatapan seakan tidak percaya. Pada saat itu ada pertanyaan muncul dalam benaknya. Seandainya ada orang lain sanggup menembus rimba kabut. Tentu orang itu memiliki iImu tinggi. Tapi apa yang dicari? Seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh Puteri Padara. Sandi Laya tiba-tiba berkata. 

"Orang itu datang ingin mengambil Pemanah Bintang. Ketika itu Pemanah Bintang masih kecil."

"Mengapa Pemanah Bintang selalu menjadi incaran orang-orang di rimba persilatan sejak dulu sampai sekarang?"

"Di dalam dirinya ada sebuah rahasia besar. Ketika Pemanah Bintang masih kecil, darahnya diyakini menjadi sumber kesaktian bagi orang yang meminumnya. Siapa saja yang berhasil mendapatkan darahnya, tidak diragukan lagi walau yang meminumnya orang biasa dan tidak punya kepandaian apa-apa, dia bakal menjadi manusia sakti. Setelah dewasa kehendak hatinya sanggup mewujudkan sesuatu yang menjadi keinginannya."

"Kata-katanya manjur seperti dewa. Dan sesungguhnya dia akan menjadi wakil sang dewata di muka bumi ini andai Pemanah Bintang tidak mengotori kedua tangannya dengan darah. Dia manusia suci yang harus tetap dijaga kesuciannya. Tapi itu tidak bisa dipertahankan jika tidak ada orang yang melindungi dan menjaga keselamatannya."

"Sebagai bagian dari para suci, apakah Pemanah Bintang tidak punya kesaktian yang lain?" Tanya Puteri Padara ingin tahu. 

"Kesaktiannya sangat tinggi. Dia bahkan memiliki senjata pamungkas bernama Sirna Raga. Seseorang yang terkena panah itu, tubuhnya akan menguap menjadi debu. Dan yang satu lagi, dia memiliki panah Pusaka Langit. Dengan panah saktinya itu, dia bukan saja sanggup menghancurkan gunung. Kalau dia mau. Bulan dan bintang-bintang yang tinggi sekalipun dapat dibuatnya rontok."

"Sungguh luar biasa. Aku ingin sekali bertemu dengan dirinya. Sebagai wali dewa....!"

"Bukan. Dia belum menjadi wali dewa, dia masih baru calon wakil para dewa. Ujian masih terus bergulir. Selama dia tidak mengotori tangannya dengan darah manusia, tidak lama lagi kemungkinan besar para dewa akan turun dari kayangan untuk memberikan restunya pada Pemanah Bintang. Setelah pengangkatan itu, sang bijaksana yang akan membimbing manusia ke jalan lurus."

"Kurasa itu tidak akan mudah." Ujar Puteri Padara. 

"Aku tahu. Orang seperti Bukara, Dewi Kabut dan yang lainnya pasti menginginkan Pemanah Bintang untuk kepentingan dan nafsu pribadi. Tapi aku dan yang lainnya tidak akan membiarkan ini terjadi. Seorang pendekar bergelar Saga Merah akan datang membantuku."

"Saga Merah? Belakangan ini aku sering mendengar nama itu. Kudengar dia seorang pendekar yang baru turun gunung. Dia memiliki senjata sakti bernama Pedang Roh." Ujar Puteri Padara bersemangat. 

"Ah, ternyata kau juga sering mendengar tentang pendekar muda itu. Mudah-mudahkan dalam waktu singkat aku dapat bertemu dengannya. Sekarang pejamkan matamu. Aku akan membawamu melewati dataran hijau ini dengan cara yang mudah." 

Perintah Sandi Laya. Tanpa merasa curiga sang puteri memejamkan matanya. Dia lalu merasakan tangan pemuda itu menggendong tangannya. Selanjutnya sebuah perjalanan dilakukan. Sang puteri merasa tubuhnya melayang seperti tidak menyentuh tanah. Dia merasa takjub tapi tidak berani membuka mata untuk melihat apa yang terjadi.

***

Hening Anyali tidak punya pilihan lain. Dia memang harus memutuskan jika tidak ingin tergilas oleh peraturan yang ditetapkan oleh Dewi Kabut dirinya harus menegakkan peraturan itu. Tapi pada sisi yang lain gadis ini merasa tidak tega menyakiti pemuda itu. 

"Anyali! Lakukan perintahku! Mengapa kau hanya memandang? Bunuh pemuda itu. Kalau kau tidak mau melakukannya, aku yang akan membunuhnya dan kau sendiri serta para pengikutmu bakal mendapat hukuman berat dariku!" Ancam suara itu. 

"Kalau kau ingin membunuh, mengapa kau suruh gadis itu yang melakukannya? Mengapa tidak kau sendiri saja yang melakukannya? Kau takut menampakkan diri atau mungkin kau punya wajah jelek yang tidak sedap untuk dipandang?" Kata Saga Merah. 

"Oh bagiku membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan. Akan tiba waktunya bagiku untuk meninggalkan tempat tapaku. Tapi tidak sekarang. Masih dibutuhkan beberapa pekan lagi."

"Apakah kau benar-benar Dewi Kabut?" Tanya Saga Merah curiga. 

"Begitulah orang memanggilku," Kata suara itu. 

Tidak lama kemudian dia kembali mengulangi perintahnya. "Hening Anyali, lakukan perintahku sekarang!" 

Sang dara segera tersadar dari lamunannya. Saat itu juga dia memandang pemuda itu. Dengan suara menggeram dan tubuh gemetar, gadis ini berkata. 

"Kau sudah mendengar sendiri. Seperti yang dikatakannya aku harus membunuhmu karena aku tidak ingin terjadi sesuatu pada para pengikutku." Saga tersenyum. 

"Kau ini gadis cantik yang bodoh. Perintah yang kau dengar itu adalah perintah sesat yang tidak diketahui siapa orangnya. Belum tentu yang bicara adalah Dewi Kabut. Kudengar belasan tahun belakangan ini Dewi Kabut tidak lagi berkelana di rimba persilatan. Dia telah mengasingkan diri di Menara Langit karena ingin mencapai nirwana."

"Mungkin... mungkin kabar yang kau dengar itu adalah kabar dusta. Dewi Kabut tetap berkuasa, tetap berpengaruh dan perintahnya baru saja kau dengar. Aku tidak mungkin menolak demi kelangsungan hidup orang-orang di Lembah Dieng" Tegas Hening Anyali.

"Kau gadis keras kepala yang pernah kulihat. Adakah kau tahu di mana tempat tinggal Dewi Kabut sebelum dia memutuskan menetap di Menara Langit?"

"Menara Langit ada di Salatiga, tapi Dewi Kabut kuketahui tinggal di sebuah gua yang banyak ditempati oleh Kelelawar. Gua itu bernama Gua Lawa." Kata Hening Anyali. 

"Tempat yang kau sebutkan sudah tepat. Barangkali kau harus memeriksa tempat itu!" Ujar Saga Merah memberi saran. 

Namun Hening Anyali tidak menanggapi. Sebaliknya dia siap menyerang. Sebelum keinginannya itu terlaksana pada waktu yang sama dari arah lereng gunung bermunculan para wanita bersenjata pedang batu. Mereka segera mengurung Saga sambil mengangkat obor tinggi-tinggi. Dikepung dengan ketat seperti itu, sang pendekar hanya tersenyum. Hening Anyali menatap ke arah salah seorang di antara mereka. Seorang gadis yang selama ini menjadi wakilnya melangkah maju, namanya Tupu Lanjar. 

"Mengapa kau datang kemari?" 

Tanya Hening Anyali. Gadis ini berusaha menyembunyikan kegusarannya. 

"Tetua. Pemuda itu sore tadi datang ke Lembah. Gerak-geriknya mencurigakan. Itu sebabnya kami memutuskan untuk menemui tetua di sini, tidak disangka pemuda asing ini ternyata sudah berada di sini. Kita harus menyingkirkannya. Itupun kalau tetua setuju." Ujar gadis itu agak ragu. 

"Tupu Lanjar. Peringatan baru saja aku terima belum lama berselang. Kalau kita tidak melakukan perintah Dewi Kabut, kita semua bakal celaka. Tadinya aku hendak turun tangan sendiri, tapi karena kalian juga datang. Sekarang perlihatkan padanya kemampuan kallan...!" Ujar Hening Anyali tegas. 

Seperti biasanya, tidak ada yang berani membantah perintah pimpinan mereka. Begitu mendengar aba-aba, Tupu Lanjar dan anak buahnya segera bergerak dan lakukan pengepungan. Tanpa menunggu belasan anak buah Hening Anyali Ini segera menyerang sang pendekar. Murid tiga tokoh sakti dari puncak Merapi ini sangat menyayangkan tindakan mereka. Sambil menghindar dari serangan mereka yang cepat dan cukup ganas, Saga Merah berteriak. 

"Masih ada waktu bagi kalian untuk menggunakan akal sehat. Jika kalian lebih mementingkan perintah Dewi Kabut, ketahuilah perintah itu kemungkinan perintah sesat yang datang dari orang lain."

Wuut! Sing! Hampir saja Saga Merah menjadi korban serangan Tupu Lanjar. Pemuda ini untungnya segera berkelit. Dengan menggunakan rangkaian jurus Tarian yang diwariskan Sabai Baba yaitu salah satu gurunya yang berasal dari pegunungan Himalaya, serangan Tupu Lanjar yang mengincar bagian perut dan mengarah ke batang lehernya dapat dihindari. Lolos dari serangan gadis itu, dari arah belakang dan samping beberapa mata pedang siap menembus tubuhnya. 

Serangan ini datangnya laksana curah hujan. Saga Merah segera lipat gandakan tenaga dalamnya. Seiring dengan itu dia lalu bergerak cepat dan... Wuuut! Kini tubuhnya berjumpalitan di udara dengan gerakan yang mengagumkan sekali. Di atas ketinggian dia berputar, merubah posisi hingga kaki menghadap ke atas dan kepala menghadap ke bawah. Kemudian jari-jari tangannya menyambar lakukan totokan ke arah lawan yang berada dalam jangkauannya. 

Para wanita itu tentu tidak menyangka lawan masih dapat berbuat banyak meski posisinya dalam keadaan sedemikian rupa. Tanpa ampun lima orang di antaranya langsung bergelimpangan dalam keadaan kaku tertotok. Melihat ini teman-temannya yang semula ragu-ragu untuk menyerang Saga segera memutar pedang, lalu melesat sambil melepaskan pukulan beruntun. Namun sang pendekar seakan sudah dapat membaca gerakan serangan ini, sehingga dalam gerakan yang sulit untuk dihindari lawan lawannya Des! Des! Des! 

"Wuarkh...!" 

Untuk kedua kalinya terdengar suara jerit di sana sini, Anak buah Hening Anyali menjadi korban. Tupu Lanjar terkesima, Hening Anyali justru sangat marah. 

"Kau mencelakai anak buahku!" 

Teriak gadis itu. Sekali melompat gadis berparas cantik ini telah berdiri di depan Saga Merah. Sedangkan Tupu Lanjar diam tidak bergerak di belakang Hening Anyali untuk menjaga setiap kemungkinan yang tidak diinginkan. 

"Anak buahmu dalam keadaan baik-baik saja. Aku hanya menotok mereka. Mereka baru akan terbebas dari totokan sepekan mendatang. Kalau saja aku berniat jahat mereka semua bisa kubuat mati. Dari kenyataan yang kau lihat seharusnya kau sudah bisa menilai bahwa aku mempunyai itikad dan niat yang baik."

"Tetapi untuk bertahan hidup dan menjamin keselamatan mereka tidak cukup dengan itikad baik saja, jiwa kami dalam ancaman Dewi Kabut?" 

Geram Hening Anyali yang menilai tindakan yang dilakukan Saga Merah adalah tindakan yang memberikan rasa malu. Hening Anyali merasa lebih baik anak buahnya terbunuh dari pada ditotok begitu rupa. 

"Ketakutanmu sangat berlebihan, mana suara yang selalu memberimu perintah itu? Apakah kau masih mendengarnya?" 

Kata Saga Merah. Hening Anyali tidak menjawab, kemarahan telah membuat nafasnya memburu tidak teratur hingga membuat dadanya yang padat berisi bergerak turun naik cepat sekali. Sementara pada kesempatan itu, Tupu Lanjar nampaknya lebih bisa berpikir sederhana, gadis berambut panjang itu tiba-tiba berkata. 

"Kakang mbok, kurasa yang dikatakannya itu memang benar. Kita harus menyelidiki Gua Lawa untuk memastikan apakah Dewi Kabut benar masih ada di sana atau memang sudah pergi ke Menara Langit. Aku khawatir saat ini ada pihak tertentu untuk mencari keuntungan dalam menghadapi situasi seperti ini." 

Mendengar ucapan wakil yang sangat dipercaya, mata Hening Anyali mendelik besar. Wajahnya berubah merah padam pertanda dirinya sangat geram sekali. 

"Tupu Lanjar, apakah ketampanan pemuda itu telah melunturkan semangatmu hingga membuat kau bicara melantur tak karuan. Kau sudah terpikat padanya, ataukah mungkin pemuda tengik ini punya ilmu pelet yang membuat dirimu tertarik padanya? Sejak kapan kau berpihak pada musuh?" 

Damprat Hening Anyali gusar. 

"Ah, kau terlalu curiga dan berperasangka buruk padaku. Aku hanya melihat sebuah sisi yang memungkinkan ada dalam ucapannya. Apakah itu salah?" Bantah Tupu Lanjar membela diri. 

"Tentu saja kau salah besar. Kita tidak tahu itikad di balik kata-katanya. Karena itu kutegaskan, cepat bunuh dia?!" 

Perintah Hening Anyali tidak sabar. 

"Aku... aku....!" 

Tupu Lanjar gugup. Dia memandang ke arah pimpinannya dan juga ke arah Saga Merah silih berganti. Karena Tupu Lanjar tidak juga bergerak mematuhi perintahnya, maka dengan marah sekali Hening Anyali membentak. 

"Seperti yang kuduga kau telah berpihak padanya. Kalau demikian aku harus membunuhmu lebih dulu, baru setelah itu aku membereskannya." 

Tupu Lanjar tidak menyangka tetuanya mengambil keputusan segila itu. Dia sendiri tidak takut pada Hening Anyali mengingat ilmu kesaktian yang mereka kuasai tidak memiliki perbedaan yang jauh. Tapi dia juga berpikir haruskah mereka saling bunuh hanya demi sebuah perbedaan pendapat dan salah pengertian?       Tupu Lanjar yang memiliki wawasan luas dan mengerti banyak hal dibandingkan dengan ketuanya ini menggelengkan kepala. 

"Kau mau membunuhku, bunuhlah! Dengan membunuhku pun kau tak bakal bisa menemukan akar dari persoalan yang kita hadapi. Untuk mengetahui semua rahasia seharusnya kau meninggalkan Lembah Dieng, Dengan begitu kau dapat menemukan jawaban siapa sebenarnya yang membunuh setiap laki-laki di Lembah itu dan sekaligus mencari tahu siapa yang telah melakukan teror terhadap kita hingga kita semua bisa terbebas dari segala bentuk ancaman yang selama ini membayang-bayangi hidup kita!"

"Pendapatnya itu kukira benar, aku tidak bermaksud membelanya. Kalau kalian mau, alangkah lebih baiknya bagi kita secara bersama-sama menyelidik ke Gua Lawa," Ujar Saga Merah. 

Hening Anyali mendengus. Wajahnya sinis, tatap matanya garang. 

"Keajaiban hanya bisa terjadi bila aku bisa bertemu dengan Pemanah Bintang. Tapi kita tidak tahu di mana tempat tinggal Pemanah Bintang. Yang kudengar Pemanah Bintang menetap di sebuah kawasan bernama Lembah Batas Dunia. Tapi dimana Lembah Batas Dunia jarang yang mengetahui letaknya secara pasti. Tempat itu dikelilingi oleh belantara kabut," Kata Tupu Lanjar. 

"Aku memutuskan lebih baik mencari tempat itu. Kalau kau mau bersenang-senang dengan pemuda ini, aku tidak melarang. Tapi kupikir yang pergi dengannya hanya arwahmu saja. Sheeaa....!" 

Dengan tidak terduga, dengan gerakan cepat sekali Hening Anyali berbalik ke belakang. Kemudian dengan cepat dia menghantam orang yang selama ini sangat dia percaya dengan pukulan membabi buta. Hening Anyali nampaknya bertindak di luar kendali, ini karena dalam dirinya telah terbakar amarah dan rasa cemburu. Dia menyangka, Tupu Lanjar berani membangkang perintahnya karena telah tertarik pada Saga Merah. 

Di lain pihak sebagian besar anak buah Hening Anyali sebenarnya mendukung niat baik Tupu Lanjar. Tapi dalam keadaan tertotok tentu mereka tidak berani menyampaikan pendapatnya karena takut dibunuh oleh tetua mereka sendiri. Akhirnya mereka hanya bisa menyaksikan serangan Hening Anyali dengan perasaan tegang. Sebaliknya Tupu Lanjar sendiri sama seperti yang telah dikatakannya terbukti memang tidak berusaha menghindar dari pukulan yang dilepaskan oleh Hening Anyali. 

Sinar biru berturut-turut melesat dari telapak tangan Hening Anyali. Hawa panas terpancar siap menghanguskan Tupu Lanjar. Orang-orang yang dalam keadaan tertotok menahan nafas. Melihat Tupu Lanjar hanya diam berpasrah diri. Saga Merah tidak tinggal diam. Sekonyong-konyong pemuda itu melesat. Begitu Hening Anyali berada dalam jangkauannya dia mengibaskan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan segera dihantamkan ke arah sinar biru yang siap membuat Tupu Lanjar hangus gosong. Des! Glaar! 

Serangan tangan kiri menghantam bahu Hening Anyali, sedangkan pukulan tangan kanan menghancurkan tiga sinar biru yang melesat deras ke arah Tupu Lanjar. Ledakan keras berdentum mengguncang puncak Dieng. Tupu Lanjar melihat betapa para sahabatnya yang tertotok berpentalan dari tempatnya masing-masing, namun mereka tidak terluka akibat ledakan itu. 

Kenyataan ini tidak mungkin terjadi jika Saga Merah tidak memiliki ilmu yang tinggi di samping dia juga punya niat yang baik. Namun tindakan yang dilakukan sang pendekar justru menimbulkan kemarahan di hati Hening Anyali. Dia segera bangkit dan menghardik pemuda itu. 

"Kau benar-benar mencari mati!" Dengan sikap tenang Saga Merah justru berkata. 

"Kau seperti yang pernah kukatakan tadi, sesungguhnya manusia tolol. Kau hanya bertindak menuruti nafsumu!" 

Sudah barang tentu ucapan pendekar Pedang Roh ini tambah memancing kemarahan gadis itu. Sekonyong-konyong dia melompat ke arah pemuda itu. Selanjutnya dia menyerang Saga Merah dengan Jurus-jurus tangan kosong yang sangat berbahaya. Setiap serangan yang dilakukan Hening Anyali pasti mengarah ke bagian yang mematikan di samping serangan itu sendiri mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi. 

Berkat kelincahan gerak serta pengalamannya digembleng di puncak Merapi dalam waktu yang lama, sejauh itu Saga masih sempat menyelamatkan diri bahkan beberapa kali nyaris membuat lawannya terjungkal. Tetapi Hening Anyali juga ternyata bukan lawan sembarangan. Dengan gerakan lincah dia terus mendesak sambil susupkan pukulan tangan kosong ke arah lawan. Serangan gadis ini ternyata hanya tipuan saja, begitu sang pendekar menangkis, kakinya melesat menyambar ke arah kaki lawannya. 

Pendekar Pedang Roh ini sama sekali tidak menyangka lawan menyerang dengan gerakan aneh seperti itu. Dia lakukan satu lompatan, namun gerakan yang dilakukannya ini boleh dibilang terlambat. Dengan keras tendangan sang dara menghantam punggungnya. Sang pendekar jatuh terguling. Melihat lawannya jatuh, Hening Anyali memburunya, sambil melesat ke arah pemuda itu gadis ini melepaskan pukulan Neraka Dieng. Itu adalah pukulan yang paling keji dan mengandung racun jahat. 

Tupu Lanjar sama sekali tidak menyangka bahwa tetuanya tega melepaskan ilmu pukulan sejahat itu. Dia ingin memberi peringatan, namun dirinya justru merasa tidak enak pada Hening Anyali. Akhirnya dia hanya bisa diam dengan mulut ternganga. Sementara itu cahaya merah kehitaman berkiblat, melesat dari telapak tangan Hening Anyali melabrak Saga Merah. Tercium bau busuk bercampur belerang menyertai pukulan itu. 

Si pemuda tercengang, namun segera mengambil tindakan. Dengan bertumpu pada tangan kirinya, kakinya dihentakkan sedemikian rupa. Wuus! Tiba-tiba pemuda itu melesat ke samping, selanjutnya sosoknya lenyap. Ketika pukulan mengandung racun jahat itu menghantam ke tempat dimana tadinya Saga berada, tiba-tiba terjadi ledakan berdentum. Asap mengepul tinggi, api berkobar dan Hening Anyali terkesima melihat lawannya lenyap. 

Dia memandang kesekelilingnya. Dan gadis ini terkejut bukan main ketika merasa ada seseorang menepuk bahunya. Ketika gadis itu balikkan badan lawan telah berdiri di dekatnya. Begitu dekat jarak di antara mereka hingga seandainya pemuda itu berniat jahat, tentu dirinya kena dibuat celaka. 

"Kau ingin mati demi membela Dewi Kabut, hantu gentayangan yang telah menyengsarakan kaummu? Tidaklah terpikir olehmu untuk melakukan penyelidikan?" 

Kata pemuda itu setengah menggeram. Hening Anyali melangkah mundur. Jauh di dalam hati sesungguhnya dia masih panasaran melihat pemuda itu dapat menyelamatkan diri. 

"Aku masih punya senjata yang dapat kugunakan untuk membunuhnya!" 

Batin gadis itu dalam hati. Tanpa mau melihat kenyataan, Hening Anyali tiba-tiba mencabut senjatanya berupa kebutan berwarna putih berkilau. Si pemuda tentu saja menjadi geram melihat gadis keras kepala ini. Dia lalu berkata. 

"Kau hendak melawanku demi kebodohanmu? Baiklah, aku akan memberimu kesempatan lima jurus di depan. Jika kau tak sanggup menjatuhkan aku kuharap kau menghentikan tindakanmu yang tolol!"

"Gondrong kurang ajar, kau terlalu memandang rendah diriku. Lihat serangan....!" 

Hening Anyali membarengi teriakan itu dengan serangan ganas. Kebutan itu dihantamkan ke perut dan dada Saga. Sang pendekar tidak bergeming. Angin serangan menderu melabrak tubuhnya. Saga Merah bergeser, sekujur tubuhnya kini berubah kemerahan. Ketika melihat kebutan di tangan sang dara berubah kaku seperti kawat baja, sadarlah dia bahwa lawan menyalurkan tenaga dalamnya ke arah senjata itu. 

Sang pendekar mengangkat tangannya. Dengan jurus Sang Budha warisan guru Sun, tangan itu diputar begitu rupa. Angin menderu mengeluarkan suara bergemuruh mengerikan. Sepasang tangan lenyap, kini berubah menjadi puluhan pasang. Ketika Hening Anyali terus mendesak sambil menusukkan kebutan ke dada dan wajah pemuda itu. Mendadak sang dara menjerit. 

Dalam gerakan secepat itu tangan Saga Merah bukan saja sanggup menepis serangan kebutan sebaliknya pemuda ini juga dapat menghantam perut sang dara hingga membuat Hening Anyali terlempar dengan mulut semburkan darah. Tupu Lanjar entah mengapa merasa lega. Dia sendiri sejak tadi bingung tidak tahu harus berbuat apa. Di satu pihak dia tidak setuju dengan pendirian Hening Anyali, di lain kesempatan dia merasa prihatin melihat tetuanya yang keras kepala. 

"Aku minta kau menghentikan tindakanmu yang tidak berguna ini!" Kata pendekar itu dingin. 

"Kau telah membuat malu diriku di depan orang-orangku sendiri. Apakah aku harus membiarkan dirimu melakukan tindakan yang lebih memalukan lagi pada kami?"

"Dia tidak bisa diajak bicara. Aku harus menggunakan sihir!" 

Kata Saga Merah yang mewarisi ilmu sihir putih dari Sabai Baba guru kedua dari pegunungan Himalaya India ini. Ketika Hening Anyali bangkit dan bersiap untuk menyerang dengan kekuatan penuh Saga Merah hanya diam saja. Mulutnya berkemak-kemik. Tubuh pemuda itu kemudian bergetar. Hampir bersamaan dengan itu pula, tubuhnya berubah tinggi, wajahnya berubah menjadi mahluk langka yang mengerikan. 

Hening Anyali terkesiap. Penggunaan sihir yang dilakukan pemuda itu adalah sesuatu yang tidak pernah diduganya. Dia melangkah mundur. Saga menggeram, Karena dirinya sedang dalam perubahan seperti itu tentu serangannya membuat puncak gunung Dieng terguncang seperti dilanda gempa. Lumer sudah nyali Hening Anyali. Anak buahnya yang tertotok bahkan tak dapat menahan kencingnya. 

Saga menyeringai. Dia lalu balikkan badan, selanjutnya dia melangkah meninggalkan puncak gunung itu. Getaran hebat menyertai langkah kaki pemuda ini. Tupu Lanjar sempat bimbang, namun dia kemudian memutuskan untuk mengikuti pemuda itu. Dalam gelap dia berlari mengejar ke arah lenyapnya sang pendekar. Tentu saja tanpa rasa takut sebagaimana yang dirasakan oleh teman-temannya.

***

Menjelang malam, suasana di sekitar Gua Lawa selalu diramaikan oleh cericit dan kepakan sayap kelelawar. Setiap malam tiba ribuan kelelawar berserabutan meninggalkan gua itu. Bila pagi datang kawanan kelelawar yang tidak terhitung banyaknya akan kembali ke gua tidur bergelantungan di langitlangit gua hingga sore harinya. Tetapi kali ini kebiasaan rutin yang berlangsung selama ratusan tahun itu seolah berhenti. 

Sejak matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Suara kepakan ataupun cicit kelelawar tidak terdengar. Suasana di kawasan Gua Lawa terasa sunyi mencekam, Tidak ada yang tahu apa penyebabnya. Yang pasti ketika bulan mulai menampakkan diri di atas langit sana, Kesunyian yang terjadi di Gua Lawa dipecahkan oleh dengus suara seperti orang yang baru saja berlari dari tempat yang jauh. Tidak berselang lama di tempat itu muncul sosok bayangan tinggi serba hitam. 

Begitu tingginya sosok hitam ini hingga kepalanya hampir menyentuh langit langit bagian atas pintu gua. Orang ini mendengus, bau busuk yang menebar dari dalam gua membuatnya meludah. 

"Keparat! Harusnya aku tidak datang kemari. Bau busuk ini membuat kepalaku pusing!" Geram sosok tinggi serba hitam ini kesal. "Kalau saja aku tidak terlanjur membuat janji. Aku tak bakal sudi menginjak tempat celaka ini." 

Orang ini lalu menyumbat lubang hidungnya dengan rerumputan yang tumbuh di sekitar mutut gua. Dia teringat sesuatu, sekali lagi orang ini menatap ke arah mulut gua. Selanjutnya dia berteriak. 

"Demit Angin.... aku telah datang memenuhi janji. Kuharap kau cepat keluar dari dalam gua itu." 

Suara teriakannya lenyap, dia menunggu. Terdengar suara desir angin membelah kesunyian. Dari dalam gua yang gelap gulita tidak terdengar jawaban seperti yang diinginkannya. 

"Demit Angin! Kau jangan membuat aku menghancurkan gua ini! Aku sudah tidak sabar menunggu!"

"Ha ha ha! Akhirnya kau datang Juga, bagaimana kau bisa membebaskan diri dari liang batang pohon beringin itu. Kau telah mendapatkan darah dan nyawa sebagai tumbalmu?" 

Kata satu suara yang datang dari dalam kegelapan gua. Sosok tinggi yang berdiri di mulut gua menarik nafas lega. 

"Kau tak usah bertanya, soal keberhasilan keluar dari dalam batang pohon karena kebodohan seorang laki-laki bernama Kaliwangsa. Seperti nenek moyangnya yang penyembah pohon. Dia datang menemui aku untuk minta bantuanku."

"Bantuanmu? Bukankah kau sengaja melakukan tapa di rongga pohon beringin itu?"

"Kenyataan memang begitu. Aku bertapa di sana, tapi tapa itu banyak sekali mengalami hambatan. Hambatan dan godaan itu antara lain datang dari para pemuja pohon. Sekarang aku sudah bebas, tapa yang kujalani telah kuselesaikan dengan baik setelah jatuhnya korban. Nah.... Demit Angin, aku tidak punya banyak waktu untuk membicarakan soal orang yang telah menjadi korbanku. Sekarang aku ingin tahu apakah kau telah melakukan penyelidikan tentang keberadaan Pemanah Bintang?"

"Hmm, kau nampaknya selalu ingin cepat mendapatkan apa yang menjadi keinginanmu. Kau tidak pernah mengetahui, bahwa untuk menemukan tempat kediaman Pemanah Bintang, aku harus menggunakan seribu muslihat agar perhatian orang lain tidak tertuju pada Pemanah Bintang."  

"Caramu menyusun rencana sangat baik sekali. Aku sangat mendukungmu Demit Angin. Sebagai sahabat baik yang punya tujuan sama, aku Hantu Tinggi Tanpa Muka aku ingin tahu perkembangan terakhir dunia persilatan!"

"Hantu Tinggi! Dunia ini berkembang sangat cepat. Siapa yang pandai bermuslihat kurasa dia bakal menjadi penguasa..."

"Aku tidak bertanya soal muslihat memuslihati. Yang ingin kuketahui adalah langkah apa saja yang telah kau lakukan?" Ujar Hantu Tinggi Tanpa Muka. 

Sosok hitam yang memiliki wajah berubah-ubah dan tidak mempunyai batang hidung namun punya satu mata yang terletak di atas keningnya ini nampaknya memang sudah tidak sabar. 

"Ha ha ha. Hantu Tinggi, kau adalah orang yang suka tergesa-gesa, sebagai sesama mahluk hantu. Otakku ternyata jauh lebih baik dibandingkan otakmu. Perlu kau ketahui, sebelum aku mencari tempat kediaman Pemanah Bintang selama berpuluh-puluh tahun aku harus menyingkirkan orang-orang yang kuanggap bakal menjadi hambatan bagi usaha kita untuk mendapatkan pemuda itu."

"Kau menakut-nakuti yang hidup dan menyingkirkan para laki-lakinya?"

"Tepat. Tetapi sangat kusesalkan aku tidak sempat menyingkirkan Dewi Kabut. Ketika aku datang kemari, Dewi Kabut telah pergi entah kemana."

"Ah celaka. Dia bisa menjadi batu sandungan kelak di kemudian hari." 

Sesal Hantu tinggi khawatir. Demit Angin sudah menduga, Hantu Tinggi pasti tidak bisa menerima kegagalan itu. Dewi Kabut bagi Hantu Tinggi adalah momok nomor satu yang harus selalu diwaspadai mengingat ilmu kesaktiannya sulit ditandingi. Tetapi ada hal lain yang selalu mengganjal di hati Demit Angin, mengapa sahabatnya itu sangat berkeinginan untuk menangkap Pemanah Bintang. 

Keingintahuan yang sudah terpendam lama itu akhirnya ditanyakan juga pada Hantu Tinggi. Mahluk tinggi yang nyaris tidak memiliki bentuk wajah ini sempat terdiam lama. Tapi karena Demit Angin terus mendesaknya, Hantu Tinggi Tanpa Muka akhirnya berkata. 

"Pemanah Bintang bukan manusia biasa. Sedikitnya dia memiliki tiga senjata pusaka, yang pertama adalah Panah Sirna Raga. Dengan panah itu dia bisa membuat lenyap tubuh lawan yang dipanahnya. Yang kedua adalah Panah Pusaka Langit. Bila panah itu dipergunakan dia bisa mengundang seluruh dewa hingga hadir ke depannya. Yang ketiga dia punya panah Cakra Kalima Inggil."

"Bukankah tiga senjata itu tidak pernah digunakan," Tanya Demit Angin. 

"Aku Ingin memilikinya. Pemanah Bintang adalah calon wakil para dewa di bumi ini. Itu sebabnya dirinya tidak melumuri tangannya dengan darah orang lain. Singkatnya dia pantang membunuh."

"Kurasa bukan itu satu-satunya alasan mengapa kau terlalu ingin menangkap Pemanah Bintang. Ya, kurasa yang ingin mendapatkan Pemanah Bintang bukan hanya aku. Alasanku juga bukan karena tiga panah hebat yang dia miliki. Kau mungkin tidak tahu, jika sampai sepuluh tahun mendatang Pemanah Bintang tidak menodai tangannya dengan darah, maka setiap kata-katanya akan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang mencari kedamaian. Pemikirannya bisa mendatangkan kebahagiaan. Aku tidak Ingin ada kedamaian di rimba persilatan ini."

"Kau Inginkan kekacauan? Sifatmu sangat mirip dengan Dewa Perang. Lalu apa arti semua itu bagimu?"

Tanya Demit Angin. Hantu Tinggi tertawa dingin mendengar pertanyaan itu. Wajahnya yang sering berpindah-pindah tempat tampak memerah, sedangkan matanya bertengger di atas keningnya itu jelalatan liar tidak mau diam. 

"Demit Angin! Rencana hidupku sejalan dengan Dewa Perang. Kedamaian adalah kenyataan yang paling tidak aku sukai adalah menjadikan Pemanah Bintang menjadi budakku. Budak sakti, penuh kejujuran dan selalu patuh pada perintahku!" 

Demit Angin tidak menjawab. Di balik gelap ruangan gua dia berpikir apakah perlu dia mengatakan apa yang telah diketahuinya. Belum sempat dia memutuskan, saat itu juga dia mendengar Hantu Tinggi berkata. 

"Demit Angin, sekarang aku datang menagih janji. Cepat katakan padaku dimana Pemanah Bintang selama ini bersembunyi?"

"Sahabatku! Memang benar aku telah mengetahui tempat kediaman pemuda itu. Tapi tempatnya sangat jauh dari sini. Tepatnya di sebelah selatan Kulon Progo, Di tempat itu ada sebuah kawasan hutan lebat di tengah hutan yang kusebutkan terdapat hutan kabut...."

"Hutan Kabut?" Potong Hantu Tinggi kaget juga heran 

"Ya. Di tengah hutan itu ada rimba kabut yang tidak dapat kuketahui luasnya. Aku telah berusaha menembus kabut itu, sayang rimba kabut itu seolah tidak mempunyai batas. Aku tersesat dan tidak menemukan tempat yang kutuju. Tujuh hari kemudian baru kutemukan titik terang...."

"Kau temukan tempat itu?" Dengus Hantu Tinggi. 

"Ya. Sebuah tempat yang damai, Indah dan menyenangkan. Tempat itu kalau tidak salah namanya Lembah Batas Dunia. Tempat yang diberkati oleh para dewa dan jauh dari pengaruh dunia luar."

"Bagaimana kau bisa yakin Pemanah Bintang menetap di sana?" Tanya Hantu Tinggi tidak sabar. 

"Aku sudah menyelidik. Aku bertanya pada salah seorang penduduk yang menetap di tempat itu. Tapi aku tidak bisa berlama-lama di sana, orang di Lembah Batas Dunia mudah curiga pada orang yang tidak mereka kenal." Ujar Demit Angin. 

"Kau manusia bodoh. Kalau saja aku yang sampai ke sana, tentu diriku dapat merubah diri sehingga sama persis dengan salah seorang dari mereka."

"Aku tahu tentang kelebihanmu yang satu itu. Tapi apakah kau masih ingin ke sana?"

"Nampaknya kau mengkhawatirkan sesuatu, apa yang kau pikirkan?" Tanya Hantu Tinggi curiga. 

"Satu yang belum kuceritakan padamu, bahwa beberapa waktu belakangan ada beberapa tokoh rimba persilatan berada di sekeliling rimba kabut. Aku curiga tidak tertutup kemungkinan orang-orang itu juga sedang mengincar Pemanah Bintang"

"Apakah mereka menemukan jalan masuk menuju Lembah Batas Dunia?" Tanya Hantu Tinggi kaget juga cemas. 

"Aku tidak tahu. Lagi pula mana mungkin aku bisa melakukan banyak tugas. Kalau saja aku tidak menerima pesanmu aku tidak mungkin sudi bersusah payah menempuh bahaya. Sekarang tempat itu telah kutemukan, apa pendapatmu?" 

Tanya Demit Angin. Hantu Tinggi tertawa tergelak-gelak. 

"Jalan penting telah ditemukan. Tidak ada lagi keraguan, sekarang juga kita harus pergi ke tempat itu!"

"Baiklah. aku hanya mengikut saja. jika itu sudah menjadi keputusanmu, sekarang aku hendak bersiap-siap dulu!" 

Kata Demit Angin. Hantu Tinggi menyeringai, di depan mulut gua dia menunggu. Penantiannya ternyata tidak berlangsung lama. Kemudian muncul sesosok tubuh bening seperti batu kristal di depan mulut gua tersebut. Sosok bening itu memiliki bentuk tubuh sama seperti manusia, namun bila terancam bahaya atau dalam keadaan terdesak tubuh itu akan meleleh seperti lilin yang dipanaskan. Agak lama Hantu Tinggi memperhatikan Demit Angin. Sambil tersenyum dia lalu berkata, 

"Kau sudah siap?"

"Ya."

"Kalau begitu kecilkan dirimu. Aku akan membawamu berlari!"

"Hmm, ini yang kutunggu. Sesekali aku juga ingin dimanjakan sebagai balas jasa atas semua usaha yang kulakukan untuk membantu dirimu," Ujar Demit Angin. 

Mahluk sebening air itu lalu menghembuskan nafas dalam-dalam. Seiring dengan itu tubuhnya yang seukuran manusia dewasa langsung mengempis dan mengecil sesuai keinginan Hantu Tinggi. Setelah tinggi tubuhnya hanya tinggal sejengkal dengan besar seukuran lengan bayi dia bertanya. 

"Apakah seperti Ini sudah cukup?" 
  
"Ya. Cukup sekali. Sekarang Kau naik di bahuku" perintah Hantu Tinggi lagi. 

Demit Angin mengangguk. Selanjutnya dia melompat tinggi. Sekejab kemudian Demit Angin telah bertengger di atas bahu Hantu Tinggi. Tanpa membuang waktu Hantu Tinggi balikkan badan. Selanjutnya dia melangkah lebar, lalu berlari dan pada akhirnya melesat di atas ketinggian melewati pucuk-pucuk pepohonan. Hanya dalam waktu singkat Hantu Tinggi Tanpa Muka lenyap di kawasan itu.

***

Ketika Sandi Laya memerintahkan Puteri Padara untuk membuka matanya, gadis itu pun segera menyadari bahwa mereka telah sampai ke tempat yang dituju. Dengan patuh gadis ini membuka matanya. Puteri Padara terkejut, matanya berbinar memperlihatkan perasaan takjub 

"Amboi....aku melihat keajaiban dunia ada di sini. Rumah rumah yang terbuat dari emas dan susunan batu berkilau indah....!" Gumam Puteri Padara. 

"Yang berkilau itu adalah bebatuan permata, permata merah, biru dan putih disusun sedemikian rupa oleh ahlinya. Benda-benda ini menurut Pemanah Bintang kelak di kemudian hari akan diburu oleh orang-orang kaya. Tapi di sini di Lembah Batas Dunia, benda-benda yang berjejer di sepanjang dinding bangunan menjadi pemandangan sehari-hari yang lumrah", menerangkan sandi Laya. 

"Apakah tidak takut ada perampok merampas bebatuan berharga ini?" Tanya Puteri Padara heran. Sandi Laya menggelengkan kepala. 

"Seperti yang kau lihat sendiri. Kawasan ini dibentengi oleh kabut abadi. Kejahatan hanya datang dari luar dunia kami. Sedangkan orang-orang kami tidak ada yang menjadi penjahat. Lagi pula tempat ini tidak diketahui orang." 

Si gadis manggut-manggut. Dia kemudian melayangkan pandang ke segenap penjuru sudut. Setelah itu kembali memandang ke arah pemuda berwajah buruk itu. 

"Kau tinggal di sini sendiri?" 

Pertanyaan itu menyadarkan Sandi Laya. Dia sadar ada sesuatu yang aneh sejak dirinya sampai di lembah itu. Dia tidak melihat para kerabat yang biasa melakukan kesibukannya setiap hari. 

"Aku tidak sendiri. Seperti yang kukatakan, rumah rumah ini seluruhnya ditempati oleh kerabat senasib. Kemudian ada satu tempat rahasia yang khusus ditempati oleh Pemanah Bintang. Tapi sejak kita sampai aku tidak melihat seorang pun di sekitar sini?!" Ujar sang puteri terheran-heran. 

Sandi Laya mengangguk membenarkan. Dalam hati timbul rasa curiga. Dia juga mulai dihantui perasaan was-was. 

"Sepertinya ada yang tidak beres!" 

Sandi Laya kemudian menghampiri salah satu bangunan megah yang terdapat di depannya. Dia lalu mengetuk pintu yang berlapiskan emas itu beberapa kali. 

"Paman... .bibi Kenji....apakah anda ada di dalam?" 

Tanya Sandi Laya. Tidak ada jawaban. Pemuda itu dan sang puteri saling pandang. 

"Mungkin sebaiknya diperiksa di dalam!" Saran gadis jelita itu. 

"Aneh, saat ini baru tengah hari. "Seharusnya paman dan bibi Kenji ada di tempat. Apa yang terjadi? Mungkin sebaiknya aku melakukan pemeriksaan di dalam sana." 

Sandi Laya pun kemudian mendorong pintu yang berat itu. Pintu berlapis emas berderit terbuka. Kedua orang ini melayangkan pandang ke ruangan dalam. Sandi Laya terperangah, wajah buruk pemuda itu berubah pucat hingga menambah buruk penampilannya. Puteri Padara sendiri cepat-cepat palingkan wajahnya ke arah lain. Sandi Laya melangkah masuk ke dalam. Di depannya di atas lantai yang berlapiskan batu berkilau terkapar dua sosok tubuh tanpa nyawa. 

Satu di antara mayat itu adalah seorang laki-laki sedangkan lainnya perempuan. Sandi Laya segera melakukan pemeriksaan. Dia menjadi heran ketika mendapati bahwa pada kedua korban ternyata tidak ditemukan luka senjata maupun luka akibat pukulan. Hanya saja ketika pemuda itu melakukan pemeriksaan di bagian keningnya dia menemukan tanda membiru. Sandi Laya segera meraba bagian ubun-ubun mayat. 

Jari tangannya yang bergerak-gerak itu kini berhenti, pemuda ini terpana begitu mengetahui ubun-ubun paman Kenji dan isterinya berlubang. Tidak ada otak yang tercecer, hanya darah yang menggenang di lantai. Jelas sekali keduanya dibunuh dengan menggunakan senjata yang sangat tajam. Pasangan suami isteri itu bukan manusia sembarangan. Mereka memiliki ilmu silat serta tenaga dalam yang cukup tinggi. 

Jika ada orang yang sanggup membunuhnya, sudah bisa dipastikan pembunuhnya memiliki ilmu tinggi. Tapi siapa dia? Pembunuhnya tidak mungkin berasal dari lingkungan mereka sendiri. Mereka pasti orang luar yang berhasil melewati rimba kabut. Khawatir dengan keselamatan kerabatnya yang lain, Sandi Laya bergegas keluar. Melihat Sandi Laya yang berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke arah bangunan yang lain, maka Puteri Padara segera mengikutinya. 

"Siapa yang membunuh mereka?" Tanya si gadis dengan nafas mengengah. 

"Seandainya saja aku tahu." Kata Sandi Laya. Dia kemudian sampai di depan sebuah bangunan yang lain. Untuk yang kedua kalinya dia mendorong pintu itu. Ketika pintu terbuka pemuda ini dengan diikuti oleh Puteri Padara segera menyerbu ke dalam. 

"Tidak ada orang di sini?!" 

Desis pemuda Itu. Sementara matanya liar mencari-cari. 

"Lihat...." seru sang puteri. 

Sandi Laya melihat di lantai itu ternyata terdapat onggokan tulang belulang yang telah hangus menjadi debu. Seluruh penghuni rumah tewas mengenaskan. 

"Kekuatan ilmu apakah yang telah menghancurkan tubuh kerabatku hingga menjadi seperti ini ?" 

Desis Sandi Laya. Mata pemuda itu nampak berkaca-kaca. 

"Semua ini pasti hasil perbuatan orang luar yang berhasil menyusup ke tempat ini" gumam Putri padara ikut merasa prihatin. 

"Aku tidak mengerti mengapa mereka dibunuh dengan cara yang sangat keji seperti ini. Entah apa yang dicari oleh si pembunuh. kita harus memeriksa seluruh rumah yang terdapat di sini" 

Gumam Sandi Laya. Dengan perasaan kalut pemuda ini lalu keluar dari bangunan itu, selanjutnya dengan ditemani Putri Padara mereka segera melakukan pemeriksaan ke bagian bangunan lainnya hasil yang mereka dapatkan. 

Ternyata Sama saja seluruh penghuni lembah batas dunia semuanya tewas mengerikan tidak ada yang tersisa. Sandi Laya merasa Terpukul sekali sekujur tubuhnya terasa lunglai dia tidak tahu lagi apa yang harus dipikirkan. Melihat pemuda itu mengalami guncangan batin yang hebat. Putri padara mencoba mengingatkan.

"Kau mengatakan Pemanah bintang tinggal menetap di sini. Kalau penduduk di lembah Batas dunia tidak ada yang selamat.... apakah mungkin" 

Dara cantik itu tidak melanjutkan ucapannya, dia melihat Sandi layar terkesiap seperti layaknya orang yang baru terjaga dari sebuah mimpi buruk.

"Ikut denganku!" 

Kata pemuda itu ditujukan pada Puteri Padara. Mereka kemudian meninggalkan bangunan dan berlari menuju ke bagian utara lembah. Di tempat yang mereka tuju sebenarnya tidak terdapat satupun bangunan seperti yang telah mereka tinggalkan, terkecuali pohon-pohon yang sedang berbuah lebat. 

"Apa yang di lakukannya?" 

Pikir gadis itu ketika melihat Sandi Laya mulai memasuki semak belukar di balik pohon buah yang tidak pernah dilihat Puteri. Karena merasa khawatir, sang puteri terus mengikuti pemuda itu. Sampai akhirnya Sandi Laya berhenti di sebuah tempat. Dia lalu membungkuk. Putri Padara melihat ada batu menonjol di permukaan tanah. Batu itu berukir indah, seperti patung manusia yang belum jadi. 

Tanpa bicara Sandi Laya memutar patung batu setengah jadi itu. Terdengar suara berkeretekan sebanyak tiga kali. Setelah itu terdengar pula suara bergemuruh. Semak belukar yang terdiri dari tanaman merambat tersibak. Permukaan tanah terkuak. Di balik permukaan tanah yang tersingkap, terlihat undakan tangga batu menuju ke ruangan bawah.

"Apa yang hendak kau lakukan?" 

Tanya Puteri Padara waktu melihat Sandi Laya mulai bergerak menuruni undakan tangga itu,

"Pemanah Bintang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan tapa di ruangan Penyucian Dosa. Ruangan itu ada di bawah sana. Aku ingin memastikan bagaimana keadaannya." Kata pemuda itu. 

"Jika demikian sebaiknya aku berjaga-jaga di luar sini. Aku khawatir pembunuhnya masih berkeliaran di sekitar sini." Ujar puteri Itu. 

Sandi Laya merasa keberatan. Namun setelah berpikir, untuk menjaga sesuatu yang tidak mereka inginkan, usul puteri Padara boleh juga. 

"Kau harus berhati-hati. Siapa saja yang datang kau harus memberi laporan kepadaku secepatnya" pesan Sandi Laya. 

Sang puteri tersenyum sambil menganggukkan kepala tanpa ragu. Sandi Laya merasa lega. Dia kemudian menuruni anak tangga menuju ke ruangan yang terdapat di bawah sana. Di ruangan bawah dia melihat puluhan sarang laba-laba masih dalam keadaan utuh. Berarti belum ada orang yang masuk ke tempat Penyucian Dosa. 

Jaring laba-laba itu menghalangi setiap orang menuju ruangan utama. Si pemuda memandang ke satu jurusan. Jauh di ujung ruangan, dia melihat cahaya merah. Cahaya itu adalah satu-satunya pelita yang menyala. Sandi Laya rangkapkan kedua tangannya, dia menjura ke arah ruangan di balik sarang laba-laba itu. 

"Salam dari hamba buat putera yang di berkati para dewa. Aku Sandi Laya bertemu denganmu Pemanah Bintang?" 

Kata pemuda itu dengan suara lirih. Sebagai jawaban cahaya merah yang menerangi ruangan utama padam berganti dengan nyala cahaya putih menyejukkan yang muncul di setiap sudut. Sandi Laya merasa lega. Setelah cahaya berganti terang di tengah ruangan pemuda ini melihat sosok seorang pemuda berwajah tampan luar biasa berpakaian selempang putih layaknya pertapa duduk diam dengan mata terpejam. 

Wajah itu begitu menakjubkan seolah memancarkan cahaya. Sandi Laya mengaguminya, di samping itu dia juga sangat menghormati pemuda itu. Cukup lama Sandi Laya terdiam, menunggu penyampai kebenaran membuka matanya, namun mata Itu ternyata tetap tertutup. Si pemuda berwajah buruk merasa tidak enak hati. 

Pemanah Bintang pasti sedang khusyu dengan tapanya. Dia tidak tahu kapan tapa itu akan berakhir, Sandi Laya berpikir apakah dia harus menunggu? Jika menunggu tentu akan membutuhkan waktu yang lama padahal kabar yang Ingin disampaikan ini menyangkut persoalan yang sangat penting. Sandi Laya menggeleng keras. Dia harus membangunkan Pemanah Bintang dari tapanya. Sekali lagi dia menjura. 

"Pemanah Bintang, aku mohon kau mau mendengar laporanku! Aku datang kepadamu untuk menyampaikan kabar yang sangat penting!" 

Pemuda tampan berwajah polos seperti orang yang tidak mempunyai dosa itu akhirnya membuka matanya. Sandi Laya menarik nafas lega. Sementara di tengah ruangan Pemanah Bintang memandang dengan tatap mata yang teduh menyejukkan dan memberi kedamaian. 

"Sandi Laya, harusnya kau tidak mengusikku. Ada apa gerangan? Kau datang membawa serta orang lain." Sapa Pemanah Bintang dengan suara berwibawa. 

"Maafkan aku Pemanah Bintang. Aku menghadapmu karena terpaksa. Dan orang yang kubawa serta kemari hanya perempuan lemah yang mnembutuhkan perlindungan. Dia seorang puteri, namanya Puteri Padara." Ujar Sandi Laya. 

Kemudian pemuda Itu menceritakan apa yang dialami oleh gadis itu.

"Nampaknya dia orang Baik-baik, tapi kebaikan hanya ada di dalam hati. Seperti halnya kejahatan yang tersimpan dalam hati. Penampilan seseorang tidak dapat dijadikan jaminan baik buruknya seseorang. Lalu apa yang Ingin kau sampaikan?" Tanya Pemanah Bintang. 

"Pemanah Bintang apakah kau benar-benar tidak tahu bahwa ada penyusup telah memasuki daerah kita. Penyusup itu membunuhi semua orang yang berdiam di tempat ini secara keji. Orang-orang yang berada dalam naungan kita semuanya tewas. Mayat mereka menjadi onggokan debu dan tulang yang hangus." Tegas Sandi Laya 

"Oh para dewa yang bijaksana. Hanya kalian yang tahu muslihat di balik musibah ini. Semoga Sang Hyang Tunggal memberikan tempat yang layak disisiNya buat saudara kita." 

Gumam Pemanah Bintang. Pemuda ini tetap tenang, dia sedikitpun tidak memperlihatkan kemarahan. Sebab ketenangan sudah mendarah daging dalam hidupnya. 

"Apa yang harus kita lakukan, Pemanah Bintang!" Tanya Sandi Laya 

"Sahabatku, aku melihat api kemarahan dan dendam dalam dirimu. Apakah kau lupa bahwa kemarahan tidak pernah menyelesaikan persoalan sedangkan dendam adalah penyakit hati. Nafsu selalu menjerumuskan manusia pada perbuatan nista yang merugikan."

"Apakah kita harus berdiam diri?" Tanya Sandi Laya dengan suara parau. 

"Darah tidak boleh dibalas dengan darah, kalau saja kita bisa memaafkan. Kurasa tindakan itu jauh lebih mulia." Ujar Pemanah Bintang. 

"Sampai kapan kita harus mengalah. Aku tidak sabar, penyusup itu harus kita cari dan dihukum dengan setimpal."

"Aku setuju dengan keputusan untuk menghukum orang bersalah, namun harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya." Tegas Pemanah Bintang. 

"Hampir lima puluh orang penghuni lembah ini tewas. Pembunuhnya pantas mendapat hukuman sebanyak lima puluh kali." Geram Sandi Laya berapiapi. 

"Dimana penyusup itu?" Tanya Pemanah Bintang. 

"Aku belum menemukannya. Aku baru saja hendak mencarinya. Dia bisa masuk ke tempat ini, tapi aku yakin dia tidak bisa keluar."  

"Baiklah. Kurasa yang lebih utama adalah mencari tahu mengapa pembunuh itu datang kemari. Apa yang dicarinya? Adakah dia menginginkan emas, batu-batu berharga atau.."

"Bagaimana kalau dia menghendaki dirimu, bagaimana jika dia ternyata menginginkan dirimu untuk mendapatkan satu tujuan?"

"Satu tujuan? Kedengarannya sangat menarik sekali" gumam Pemanah Bintang polos. 

Sandi Laya tersenyum, tapi wajahnya menyiratkan rasa prihatin yang mendalam. 

"Apakah kau lupa, kau punya hubungan yang dekat dengan para dewa. Permintaanmu selalu didengar, permohonanmu selalu dipenuhi dan doamu selalu dikabulkan. Barangkali pembunuh itu punya niat khusus yang dengan perantara dirimu keinginannya itu dapat terwujud."

"Tapi kau juga harus ingat, aku punya pantangan untuk mengotori tanganku walau dengan setetes darah manusia. Aku tidak bisa menyakiti mahluk lain. Tindakan itu yang membuat aku bisa mencapai percerahan jiwa, hati dan juga raga. Para dewa akan membatalkan keinginannya untuk menjadikan diriku menjadi penyambung lidah mereka. Aku sudah tahu itu sejak lama. Lalu tindakan apa yang akan kau ambil jika keselamatanmu terancam?"

"Aku menyerahkan hidup dan matiku pada Hyang Tunggal. Aku tidak pernah risau tentang diriku karena yang kumiliki semuanya hanya pinjaman yang di berikan oleh penciptaku." 

Sandi Laya menarik nafas panjang, dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Baginya hidup adalah untuk bertahan, dia tidak bisa memandang kebenaran dari balik kata-kata yang arif. Menurutnya kenyataan harus di hadapi dengan kenyataan. Tidak ada kelemah lembutan di balik kekerasan yang terjadi pada kerabatnya.

"Pemanah Bintang, aku selalu berada di pihakmu, aku juga selalu mendukungmu. Aku bukan orang bijaksana sepertimu. Aku juga bukan penyambung lidah kebenaran bagi para dewa. Didalam diriku masih ada lautan marah, di dalam dadaku terdapat lautan api. Aku tahu, kebencian adalah perbuatan sia-sia yang akan menghancurkan diri sendiri. Tapi aku tidak bisa memungkiri adanya kenyataan. Sekarang aku memohon restumu untuk mencari pembunuh para kerabat kita."  

"Aku memberi restu! Tapi aku tidak pernah memberimu ijin untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang."

"Kuharap aku tidak mengecewakanmu. Sekarang aku mohon diri!" Ujar Sandi Laya dengan perasaan tidak puas. 

"Tunggu...!" cegah Pemanah Bintang begitu melihat Sandi Laya siap meninggalkan ruangan besar itu. 

"Adakah yang ingin kau sampaikan lagi?" tanya pemuda itu sambil menghadap kembali ke arah Pemanah Bintang. 

"Aku tidak mengutamakan bahwa kepercayaan para dewa yang akan dianugerahkan padaku sebagai sesuatu yang menjadi tujuan hidupku. Aku tidak ingin sesuatu terjadi atas dirimu. Bagiku yang telah kujalani di masa lalu kuanggap sebagai langkah bersih dari dosa. Namun perasaanku sebagai manusia juga tidak dapat dikesampingkan....!"

"Apa maksudmu? Kau akan menolak sebagai yang terpilih jika keadaan memaksamu? Apakah begitu?" tanya Sandi Laya kaget. 

"Tindakan yang lebih jauh lagi, kemungkinan aku akan mengotori tanganku dengan darah manusia jika aku kehilangan orang-orang yang kuanggap dekat dengan hidupku!" Tegas Pemanah Bintang. 

"Astaga! Apakah kau sadar dengan apa yang kau ucapkan itu?"  

"Tentu. Dan kau tak pernah melihat diriku meneguk air yang memabukkan walau barang setetespun." Ujar Pemanah Bintang. 

Sandi Laya terkesima, dia melihat Pemanah Bintang dengan pandangan tidak percaya. Selama ini pemuda itu selalu bicara dengan tutur kata yang santun menyejukkan hati. Bahkan setiap kata yang diucapkannya tidak pernah mengandung ancaman. Yang terjadi kali ini, walau wajah dan mata Pemanah Bintang tidak menunjukkan rasa amarah, namun membuat khawatir Sandi Laya. 

"Pemanah Bintang. Dirimu adalah calon manusia terpilih. Kau bakal menjadi salah satu para suci yang terkenal. Sekarang pun kalau kau mau, kau dapat pergi ke kayangan sesuka hatimu. Haruskah kau hancurkan kesempatan yang luhur itu untuk mencapai puncak tertinggi yang selalu dicita-citakan oleh manusia sejati?"

"Aku menerima seribu usul, aku menerima sejuta nasehat. Namun pada akhirnya segala sesuatu kembali terpulang pada diriku sendiri. Kau pergilah, cari pembunuh kerabat kita. Kalau kau sudah menemukannya, kau boleh menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadapnya." Ujar pemuda itu. Sandi Laya menghela nafas sambil menggeleng. 

"Kau paling mengetahui apa yang harus kau lakukan dibandingkan diriku yang bodoh dan lemah hati ini Pemanah Bintang. Satu yang mungkin perlu kau ketahui bahwa aku adalah orang yang selalu mematuhi semua nasehatmu." 

Setelah berkata begitu Sandi Laya bangkit berdiri. Selanjutnya tanpa bicara lagi dia segera balikkan badan dan tinggalkan ruangan Itu. Sandi Laya menaiki undakan anak tangga menuju ke atas. Sesampainya di atas dia memutar patung setengah jadi sebagai kunci jalan keluar masuk menuju ke tempat pertapaan Pemanah Bintang. 

Kemudian terdengar suara bergemuruh. Pintu rahasia yang dilapisi tanah menutup. Sandi Laya menarik nafas lega. Dia berbalik arah dimana Puteri Padara menunggu sekaligus berjaga dari setiap kemungkinan yang tidak diinginkan. Tetapi alangkah kaget pemuda ini dibuatnya ketika dia tidak melihat Puteri Padara berada di tempatnya. 

"Puteri....Puteri Padara...?" 

Teriak Sandi Laya memanggil-manggil nama gadis itu. Namun pemuda ini tidak mendapat jawaban. Sandi Laya jelalatan memandang keadaan di sekelilingnya. Tidak terlihat tanda-tanda bekas terjadinya perkelahian. Berarti pembunuh itu datang secara diam-diam dan menyergap Puteri Padara dari arah belakang. Sandi Laya menggeram. Sudah barang tentu dia tak dapat menahan kemarahannya. 

"Pembunuh terkutuk, apa sebenarnya yang kau cari?"

"Unjukkan dirimu, aku benci tindakan pengecut seperti ini!" 

Teriak pemuda itu dengan suara lantang bergema. Tidak lama setelah teriakan Itu. Sayup-sayup Sandi Laya mendengar suara gelak tawa. Suara tawa datang dari beberapa penjuru. Si pemuda tertegun dia tidak dapat memastikan apakah yang mengumbar tawa laki-laki ataukah perempuan. Tawa itu sangat aneh, tidak datang dari sebuah tempat, sebaliknya berpindah-pindah. 

"Siapapun dia adaya setidaknya dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Ilmunya tinggi, tapi mengapa bertindak pengecut. Perbuatan menculik hanya dilakukan oleh manusia berhati culas." 

Gumam pemuda itu sinis. Sandi Laya menunggu, dia memang harus sabar menanti sambil memastikan di sudut sebelah mana kira-kira suara itu berasal. kemudian Sandi Laya tersenyum sendiri. 

"Kau boleh memindah-mindahkan suara, tapi aku orang yang dipercaya untuk menjaga Lembah Batas Dunia dari tindakan keji orang-orang dunia luar tidak dapat ditipu. Suara itu datang dari sudut barat lembah ini. Aku akan melakukan penyelidikan ke sana." 

Pikir Sandi Laya. Sayangnya belum sempat dirinya beranjak dari tempatnya. Pada saat Itu tiba-tiba terdengar seseorang berkata, 

"Anak muda, kau bertanya tentang keinginanku? Tidakkah kau menyadari bahwa keinginanku sangat banyak sekali. Pertama aku ingin mengambil alih tempat Ini. Yang kedua, aku ingin memiliki semua kekayaan yang terdapat di sini. Ketiga aku ingin sekali memiliki tiga buah panah sakti yang dimiliki oleh Pemanah Bintang. Dan yang terakhir, aku ingin mendapatkan darah pemuda itu. Di tambah dengan puteri ini di tanganku. Kurasa semua yang kubutuhkan sudah lengkap."

"Bangsat terkutuk! Kau manusia serakah yang tidak tahu diri. Kau menyangka bisa lolos dari tempat ini?!" Teriak Sandi Laya. Pemuda itu mendengar suara gelak tawa. 

"Ha ha ha. Yang mau meloloskan diri dari Lembah Batas Dunia itu siapa?" Kata orang itu. 

"Aku lebih menyukai tempat ini karena segalanya memang terdapat di sini, makanan, buah-buahan serta air yang sejuk. Sungguh kalau kupikir dewata itu senang bertindak pilih kasih, di dunia luar mahluk buas dan manusia saling bunuh untuk mendapatkan makanan. Sebaliknya di tempat ini segalanya hanya tinggal menikmati "

"Kau jangan bermimpi bisa menetap di sini. Setiap kebencian yang datang ke lembah Ini akan musnah."

"Kenyataannya aku dapat menggunakan kebencian sebagai senjata sehingga dengan mudah aku bisa membantai kerabatmu yang tolol! Ha ha ha....!" 

Sandi Laya merasa seperti tertantang. Dia tidak memberi tanggapan apa-apa. Namun saat itu justru dirinya langsung melayang memburu ke arah di mana suara itu berasal. 

"Anak muda, kau di mana?" Lagi-lagi suara itu terdengar. 

"Aku ada di sini, tak jauh darimu!" Jawab Sandi Laya. 

Di bawah sebatang pohon terlihat sesosok tubuh berdiri tegak. Wajah orang ini sulit untuk dikenali karena wajah itu ditumbuhi oleh bulu-bulu yang lebat. Dan bulu-bulu itu bukan hanya berupa bulu seperti rambut, melainkan bulu berwarna kuning seperti bulu anak burung yang baru tumbuh. Dengan bulu menutupi sekujur tubuhnya. Sosok satu ini tidak dapat dikatakan manusia seutuhnya, melainkan setengah manusia dan setengah mahluk. Apalagi ketika Sandi Laya melihat ke arah kaki dan tangan. 

Maka sepasang kakinya yang besar mirip sekali dengan kaki ayam jantan. Begitu juga dengan kedua tangannya. Yang membedakan mahluk ini dengan burung, dia tidak mempunyai paruh. Wajahnya seperti manusia namun terlindung bulu. Sedangkan sepasang matanya bundar. Dan mata Itu mirip sekali dengan mata ikan yang melotot. 

Berhadapan dengan sosok aneh ini, Sandi Laya seakan merasa telah tersesat ke dunia yang lain, sebuah dunia asing yang tidak dikenalnya sama sekali. Tanpa sadar tengkuknya merinding, dia tegang dan cemas terlebih-lebih ketika dia tidak melihat Puteri Padara bersama mahluk aneh itu.

***

Mantra yang dibacanya telah mengemballkan keadaan dirinya sama seperti sediakala. Setelah meninggalkan puncak Dieng, Saga Merah pewaris Pedang Roh ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai di Gua Lawa, Dalam perjalanan sang pendekar merasa diikuti oleh seseorang. Kemudian dia segera mengetahui bahwa orang yang mengikutinya ternyata Tupu Lanjar. 

Saga tidak keberatan dengan kehadiran Tupu Lanjar, apalagi gadis ini jelas-jelas mengaku ingin mencari tahu tentang keberadaan Dewi Kabut yang diyakini telah menimbulkan berbagai persoalan termasuk juga melakukan pembunuhan terhadap kaum lelaki di Lembah Dieng. 

Walau begitu sang pendekar tetap menjaga jarak mengingat dirinya tidak mempercayai niat gadis itu dengan sesungguhnya. Kini mereka sudah semakin yang mereka tuju. Sementara itu Tupu Lanjar yang terus mengikuti tidak jauh di belakang Saga Merah tiba-tiba berkata. 

"Tidakkah kau mendengar suara-suara Itu?" Tanpa menghentikan langkahnya, sang pendekar bertanya. 

"Suara apa?"

"Suara seperti sekawanan Kolonyonyo monyet hitam besar" Jawab Tupu Lanjar. 

Gadis ini sebenarnya sudah mulai dicekam perasaan cemas. Tapi karena Saga Merah nampak tenang saja, diapun sedikit merasa lega.

"Aku tidak perduli"

"Mungkin begitu, namun harus kau Ingat. Di daerah ini kudengar berdiam kelompok sisa-sisa manusia lama. Manusia jaman batu yang sangat kolot dan pemangsa manusia. Mereka buas, tidak beradap dan tidak punya perasaan."

"Ya, aku tahu. Yang kau maksudkan tentu Manusia Jaman Batu, orang seperti mereka tak dapat membedakan benar dan salah. Yang mereka pikirkan hanya makanan melulu. Untuk apa mengkhawatirkan mereka. Orang-orang itu hanya badannya saja yang besar, tapi otaknya tidak ada" kata Saga sambil mengulum senyum.

"Kau jangan memandang remeh pada mereka."

"Siapa yang bilang begitu. Kau Ini lucu, aku heran mengapa kau justru memikirkan orang-orang seperti mereka"

"Mereka ada dan mereka sangat buas" gumam Tupu Lanjar cemas. 

Saga Merah tertawa. Dia lalu memandang ke depan tepat ke arah sebuah mulut gua. 

"Kita sudah sampai!" 

Kata pemuda itu. Saga menghentikan langkah, di belakangnya Tupu Lanjar Juga berhenti. Keduanya memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan seksama. Mereka merasa heran. Gua Ini sunyi sekali 

"Apakah penghuninya sudah pindah ke tempat lain?" Ujar Tupu Lanjar. 

Yang dimaksudkan gadis Ini tentu saja kawanan kelelawar yang biasa menetap di dalam gua ltu. 

"Tidak mungkin, Sejak dari nenek moyang mereka, sampai ke cicit dan cucu para kelelawar menempati gua selama berabad-abad. Aku tidak perduli dengan kawanan binatang itu. Yang aku pikirkan apakah Dewi Kabut masih tinggal di dalam gua ini, ataukah seperti yang kudengar dia telah pergi ke Menara Langit untuk mencapai Nirwana."kata sang pendekar. 

Si gadis tersenyum. "Orang seperti Dewi Kabut apa mungkin dapat mencapai Nirwana? Kejahatannya saja selangit tembus seluas lautan. Kupikir untuk sampai ke emperannya Nirwana saja dia tidak bakal sanggup." Celetuk Tupu Lanjar. 

"Aku tidak perduli seandainya pun Dewi Lanjar pergi ke Kambung. Sekarang alangkah baiknya kalau kita periksa gua itu!" 

Saga Merah tidak perlu menunggu. Dia kemudian bergegas menuju ke pintu gua. Sesampainya di depan mulut gua justru dia mengendus bau pesing dan busuknya kotoran kelelawar. Tupu Lanjar sendiri terpaksa menutup jalan nafasnya karena tidak tahan mengendus bau busuk yang menyengat. 

"Tempat ini baunya melebihi bau kotoran kuda. Tidak pernah kumengerti mengapa Dewi Kabut menjadikan gua ini sebagai tempat tinggalnya," Ujar Tupu Lanjar terheran-heran. 

"Hanya Dewi Kabut yang bisa menjawabnya. Kupikir dia punya alasan tertentu. Semua ini ada hubungannya dengan ilmu yang diyakininya." Ujar Saga Merah. 

"Sekarang aku akan masuk ke dalam, Aku tidak memaksamu untuk mengikutiku. Semua terserah padamu, jika kau ingin tetap berjaga-jaga di mulut gua kurasa lebih baik untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan!" 

Tupu Lanjar berpikir sejenak. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk ikut melakukan pemeriksaan di dalam. Mereka melangkah masuk. Saga Merah mengeluarkan empat buah batu hitam sepanjang satu Jengkal. Dua dari batu itu diberikan pada Tupu Lanjar, sedangkan sisanya dia gosokkan antara satu dengan yang lain. Hanya sekejab saja salah satu batu itu menyala. 

Kegelapan di dalam gua sirna. Terdengar suara berisik di langit-langit gua. Saga mendongakkan kepala ke atas. Dia melihat berpasang-pasang mata dalam jumlah yang sangat luar biasa sekali. Mereka kawanan kelelawar yang sedang tidur, mahluk-mahluk ini jadi gelisah dan mengeluarkan suara berisik karena tidurnya merasa terganggu. 

"Jangan hiraukan mereka. Mereka tidak menyerang kalau kita tidak mengusiknya!" kata pemuda itu. 

Tupu Lanjar hanya diam sambil mengangguk. Selanjutnya tanpa bicara lagi mereka segera menyebar memeriksa seluruh ruangan gua yang luas dan becek. Di lantai gua yang becek dan berlumpur mereka menemukan jejak-jejak kaki. Ada batu bundar yang biasa dipergunakan untuk melakukan semedi juga ruangan kecil yang menjorok ke dinding gua serta pakaian. Setelah diteliti ternyata pakaian itu adalah pakaian wanita. 

"Dewi Kabut nampaknya memang pernah tinggal di sini!" Ujar Saga Merah. 

"Tapi dia sudah pergi dari sini sejak lama. Aku tidak dapat memastikan apakah dia benar-benar ke Menara Langit."

"Aku ragu. Yang aku takutkan dia justru pergi ke Lembah Batas Dunia. Jika dia pergi ke sana, tentu yang di incar adalah Pemanah Bintang dan tiga panah sakti yang dimilikinya."

"Pemanah Bintang adalah orang yang harus dilindungi karena walaupun dirinya sakti, dia berpantang membunuh. Tapi untuk mencapai lembah itu sebenarnya tidak mudah karena tempatnya dikelilingi kabut yang menghampar luas seperti hutan belantara. Di samping itu kau lihat sendiri. Di lantai gua ini terlihat jejak kaki yang lain." 

Tupu Lanjar memperhatikan bagian lantai gua dengan seksama. Melihat ini gadis berparas ayu itu langsung menanggapi. 

"Kurasa bukan hanya Dewi Kabut yang menetap di sini. Ada orang lain setelah dia. Orang itu nampaknya belum lama meninggalkan gua."  

"Tapi siapa?" Ujar Saga Merah. 

Pemuda itu berpikir, dia teringat dengan suara yang bergaung di puncak Dieng. Mengingat jauhnya antara Gua Lawa dan Gunung Dieng. Mustahil stuara itu dikirimkan dari Gua Lawa, terkecuali yang mengirimkannya benar-benar memiliki kesaktian dan tingkat tenaga dalam yang sempurna. Suaranya suara perempuan. 

"Tidak tertutup kemungkinan Dewi Kabut yang melakukannya" Tanya Tupu Lanjar. 

"Aku tidak yakin, kemungkinan yang kulihat banyak sekali. Di dunia ini tidak sedikit orang yang punya kemampuan untuk merubah suara. Kemampuan untuk memindah-mindahkan suara Juga bukan perkara yang sulit."

"Jika begitu kita akan mengalami kendala yang cukup besar untuk melacak jejak Dewi Kabut. Satu-satunya tempat yang mungkin adalah Lembah Batas Dunia. Kurasa setiap orang melirik daerah Itu mengingat segala yang diinginkan ada di sana di samping tentunya Pemanah Bintang bisa dijadikan alat untuk mencapai tujuan."

"Kau banyak tahu tentang calon penyambung lidah para dewa itu. Apakah kau pernah bertemu dengannya?" Tanya Tupu Lanjar heran. 

"Aku tidak pernah bertemu dengan dirinya. Tapi Jauh sebelumnya, aku sudah pernah mendengar tentang pemuda yang satu itu dari guruku." Jawab Saga Merah. 

"Siapa gurumu? Aku merasa kagum dengan ilmu sihir yang kau pergunakan untuk menghadapi Hening Anyali." Ujar Tupu Lanjar. 

Mata gadis Itu berbinar sementara wajahnya memperlihatkan rasa ingin tahu yang mendalam. 

"Aku tidak dapat mengatakan padamu siapa guruku. Soal kemampuanku dalam ilmu sihir, semua kulakukan semata-mataa untuk membela diri atau mencegah terjadinya sesuatu yang tidak kuinginkan. Sudahlah, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini. Semakin lama kita berada di dalam gua Ini rasanya nafasku semakin menyesak."

"Kalau begitu mari kita keluar!" Ujar Tupu Lanjar memutuskan. 

Gadis itu kemudian melangkah mendahului Saga. Sebelumnya dia sempat mencuri pandang ke arah pemuda itu. Saga hanya tersenyum saja melihat Tupu Lanjar yang kelihatannya jadi salah tingkah. Keduanya nampaknya sudah lama sepakat untuk segera meninggalkan gua dan menuju ke Lembah Batas Dunia. Mereka akan memasuki kawasan Kulon Progo. 

Namun sebelum keduanya sempat mencapai mulut gua. Di luar sana tiba-tiba terdengar suara bentakan seseorang. 

"Sebaiknya kau menyingkir! Aku datang mencari Dewi Kabut yang telah membuat diriku celaka. Aku tidak berurusan denganmu!" Teriak satu suara. 

"Siapa yang bicara?" 

Tanya Tupu Lanjar yang segera mematikan batu hitamnya dan mencari tempat berlindung di samping mulut gua. Walau sempat terkejut, hal yang sama juga dilakukan oleh Pendekar Pedang Roh ini. Dia mematikan batu menyala di tangannya. Setelah itu dari tempat yang terlindung dan gelap pemuda ini memandang ke arah luar mulut gua. Saat Itu jelas dia melihat seorang laki-laki tua berbadan tinggi berwajah seperti anjing atau Lempur berdiri tegak menghadap ke arah gua. 

Sedangkan yang berada di depannya dalam posisi membelakangi mulut gua terlihat satu sosok berpakaian mirip jubah berwarna hitam menghadang langkah laki-laki berwajah lempur itu. Orang berjubah mirip sayap kelelawar itu hanya mendengus mendengar hardikan orang berwajah anjing lempur. Tapi tidak lama kemudian dia berkata dengan tegas. 

"Orang yang kau cari tidak lagi tinggal di dalam gua ini. Kemana dia pergi aku tidak perduli. Dan aku tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Perubahan rupamu pasti bukan karena kutukan."

"Ya, karena kutukan! Dan kutukan itu dilakukan oleh Dewi Kabut!" 

Dengus laki-laki tua yang wajahnya mirip lempur dan berhidung bundar sengit. Orang berjubah mirip dengan sayap kelelawar gelengkan kepala. Justru sikap yang di perlihatkan orang berjubah kelelawar membuat kakek muka lempur Jadi geram sekali. 

"Kau mengaku sudah mengenal diriku? Katakan diriku Ini siapa?" Tanya si kakek sengit. 

"Kau orang tua yang sudah dungu ataukah memang tolol. Tentu saja aku mengenal siapa dirimu Bukara? Bukankah kau kunyuknya yang memiliki gelar Lelanang Sejati. Kudengar kau adalah laki-laki yang kuat, perkasa dan tangguh. Melihat anumu yang menggelantung panjang hampir menyentuh tanah. Aku sungguh percaya, namun aku juga ingin tertawa. Orang yang tidak tahu pasti menyangka yang tergantung Itu adalah ekor. Ha ha ha! Tapi yang kuketahui ekor letaknya ada di belakang, sedangkan ekormu ada di depan. Berapa banyak wanita yang tidak berdosa menjadi korbanmu Bukara?" 

Tanya laki-laki itu dingin dan dengan nada mengejek. Laki-laki yang wajah berubah menjadi Lempur diam-diam dibuat kaget. Dia sungguh tidak menyangka ada yang mengenali siapa dirinya. Namun keheranan Itu berlangsung sekejab. Tidak berselang lama dengan sinis dia berkata, 

"Aku datang untuk menemui Dewi Kabut. Akibat pengaruh kutuknya telah membuat diriku menjadi seperti ini. Jadi kau tidak perlu menghalangi keinginanku karena jika Dewi Kabut tidak mau memunahkan pengaruh kutuk itu, aku pasti akan membuatnya sengsara sepanjang sisa hidupnya"  

"Kuyakin kau mencari orang yang salah! Dewi Kabut tidak memiliki mantra-mantra yang bisa mengutuk seseorang. Kuakui dia memiliki ilmu yang tinggi. Namun soal kutuk mengutuk itu hanyalah urusan dewata dan para demit!" Ujar laki-laki itu. Bukara menggeram, dia memandang laki-laki di depannya dengan mata mendelik 

"Katakan kau siapa?"

"Aku Pendekar Kelelawar." jawab laki-laki berpakaian jubah mirip kelelawar 

"Kau membela Dewi Kabut, apa hubunganmu dengan perempuan jahanam itu?" Tanya Bukara. 

"Aku punya kepentingan yang orang lain tidak boleh tahu. Aku mengetahui siapa Dewi Kabut yang sesungguhnya, aku juga tahu kemampuannya. Karena itu dia berada dalam pengawasanku, siapa yang punya urusan atau kepentingan dengan Dewi Kabut alangkah baiknya dia membicarakannya denganku!" 

Kata laki-laki yang mengaku bergelar Pendekar Kelelawar itu. Bukara sudah tentu menyangka Pendekar Kelelawar berniat menghalangi niatnya. Tidak mengherankan sekali lagi dia berkata. 

"Aku harap kau menyingkir karena aku punya kepentingan dengan perempuan itu."

"Kepentinganmu adalah melenyapkan kutukannya?"

"Ya."

"Kalau begitu kau salah. Seperti yang kukatakan Dewi Kabut memang memiliki kesaktian tinggi. Namun dia tidak punya ilmu yang bisa menjadikan dirinya sanggup mengutuk seseorang!" Ujar Pendekar Kelelawar. 

"Kulihat kau terlalu membela perempuan yang telah membuat wajahku seperti ini. Aku yakin kau punya hubungan khusus dengannya!" Kata Bukara geram. Pendekar Kelelawar tersenyum. 

"Aku tidak perlu mengatakan soal alasanku. Kau harus percaya padaku. Aku yakin Dewi Kabut tidak mungkin membuat wajahmu berubah buruk seperti itu. Kalau kemudian kuketahui dia terbukti bersalah, aku yang berhak untuk menghukumnya!" 

Janji Pendekar Kelelawar selain membuat Bukara bingung juga menjadikan dirinya tidak percaya. 

"Kau kurasa tidak perlu membuat janji apa-apa dengan diriku. Yang penting bagiku sebaiknya kau menyingkir sekarang juga! Aku ingin memeriksa gua itu!" Tegas laki-laki berwajah anjing tidak sabar. 

"Dewi Kabut tidak ada di gua itu. Sejak beberapa tahun yang lalu dia pergi. Aku telah melakukan penyelidikan atas serangkaian persoalan rumit yang dituduhkan pada dirinya. Aku terpaksa kembali kemari karena aku kehilangan jejaknya."

"Mengapa dia pergi?" Tanya Bukara curiga. 

"Kepergiannya masih menimbulkan tanda tanya bagiku, kukira dia sengaja menghindar dari seseorang. Aku bersumpah demi langit dan bumi dan demi Hyang Tunggal yang menguasai kehidupan ini, dia tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan banyak orang!" 

Kata Pendekar Kelelawar tetap bersikeras. Bukara tersenyum, namun senyum itu kemudian berubah menjadi tawa dingin menyeramkan. Selagi laki-laki itu tertawa, tiba-tiba dari dalam gua terdengar suara Tupu Lanjar. 

"Pendekar Kelelawar! Apakah engkau manusianya yang menjadi pelindung Dewi Kabut? Ulah Dewi Kabut telah membuat para wanita di Lembah Dieng kehilangan suami dan kehilangan Jodoh. Kau harus mengatakan apa hubunganmu dengan Dewi Kabut. Kalau kau tetap merahasiakan siapa dirimu, maka sebagai wakil dari ketua Lembah Dieng, aku juga punya hak untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal pada Dewi Kabut!" 

Pendekar Kelelawar kaget bukan main mendengar ancaman Tupu Lanjar. Dia tidak menyangka ada orang bersembunyi di dalam gua yang ditinggalkannya. Berbeda dengan Bukara, dia merasa seperti mendapat angin dan mendapat dukungan. 

"Siapa yang bersembunyi di tempat tinggalku, harap keluar dan tunjukkan diri!" 

Teriak Pendekar Kelelelawar tersinggung. Pada kesempatan itu Saga Merah memberi teguran pada Tupu Lanjar. 

"Seharusnya kau tidak bicara seperti itu. Kita tidak pernah tahu mana di antara keduanya yang patut untuk dibela" 

Sesal pemuda itu. Walau demikian bersama Tupu Lanjar dia berkelebat keluar dan lakukan gerakan berjumpalitan di udara lalu berdiri tegak tak jauh dari Pendekar Kelelawar. Laki-laki setengah baya itu memandang pada Tupu Lanjar dan Saga Merah silih berganti. Dia merasa tidak mengenal kedua muda mudi itu. Sebaliknya Bukara sendiri menduga, kedua orang yang baru datang itu pasti berada di pihaknya. Jadi dia tidak sendiri menghadapi pendekar Kelelawar. 

"Kalian begitu lancang memasuki gua yang menjadi tempat tinggalku." Kata Pendekar Kelelawar penuh teguran. 

"Tempat tinggalmu bau busuk sekali. Tapi kau harus percaya, tidak sepotong pun kotoran kelelawar yang kami curi. Kami hanya melihat-lihat. Dan nampaknya bukan hanya dirimu dan Dewi Kabut yang menetap di sana. Jejak terbaru yang ditinggalkan kami ketahui sebagai jejak orang yang tubuhnya tidak memiliki bobot. Artinya dia sangat ringan sekali. Jejak yang ditinggalkan mengambang" Ujar Tupu Lanjar. 

"Berarti sejak kutinggalkan tempat ini tiga tahun yang lalu dalam usahaku mencari Dewi Kabut, ada yang memanfaatkan gua sebagai tempat tinggalnya." Gumam Pendekar Kelelawar. 

"Mengapa dia menetap di dalam gua berbau busuk itu dalam waktu yang lama? Ada yang dicari, mungkin juga ada yang ditunggu. Hanya kau yang bisa memberikan Jawabannya orang tua." Ujar Saga Merah ditujukan pada Pendekar Kelelawar. 

"Pemuda ini nampaknya bukan pemuda sembarangan. Otaknya cerdas dan dia sangat teliti" Batin Pendekar Kelelawar. Dia kemudian ajukan pertanyaan. 

"Anak muda siapakah dirimu? Dan siapa gadis yang bersamamu itu?"

"Orang tua, temanku itu adalah Tupu Lanjar wakil ketua dari Lembah Dieng. Aku Saga Merah, kami datang kemari untuk menyelidiki misteri terbunuhnya kaum laki-laki di lembah itu. Pembunuh itu sendiri belum pernah tertangkap, orangpun tidak kami kenal. Tapi melalui Ilmu mengirimkan suara dia mengaku sebagai Dewi Kabut...."ujar sang pendekar. 

Secara panjang lebar si pemuda menuturkan kenyataan yang sebenarnya. Begitu Pendekar Pedang Roh ini menjelaskan semua yang diketahuinya. Bukara tiba-tiba tertawa mengekeh. 

"Pendekar Kelelawar, kau sudah mendengar sendiri. Dewi Kabut telah melakukan kejahatan di mana-mana. Kau tidak perlu memberikan perlindungan kepadanya terkecuali kau memang kekasih gelapnya." Ejek Bukara disertai seringai sinis. 

Wajah Pendekar Kelelawar berubah sengit, dia nampak tersinggung, namun sejauh itu masih berusaha menahan kegeraman yang menyesak di dadanya. Dengan suara lirih dia berkata.

"Kau tidak tahu siapa Dewi Kabut yang sesungguhnya. Kalaupun dia bersalah, aku ingin kau dan mereka yang berada di sini memberikan bukti yang jelas!"

"Bukti apa lagi yang kau butuhkan. Padahal sudah cukup banyak pengakuan yang datang kepadamu!" Hardik Bukara. 

Sementara itu Tupu Lanjar dan Saga Merah tidak memberi tanggapan. Mereka rupanya lebih tertarik untuk pergi ke Lembah Batas Dunia. Namun sedikit banyak mereka juga ingin tahu hubungan pendekar itu dengan Dewi Kabut itu sebabnya mereka menunggu untuk melihat perkembangan selanjutnya 

"Bukara! Jangan kau mendesakku. Beri aku kesempatan untuk menemukan Dewi Kabut! Setelah dirinya kutemukan aku ingin bertanya tentang kejadian yang sebenarnya. Seperti yang kujanjikan Jika terbukti dirinya bersalah kalian bebas berbuat apa saja pada dirinya."

"Omong kosong! Siapa yang sudi mendengar janji-janjinya!" kata Bukara sengit. 

Pendekar Kelelawar untuk kali yang kedua menyeringai. Dia kemudian berkata. 

"Aku tidak meminta kau mematuhi Janji-janjiku, Bukara. Kau bebas menentukan apa saja yang kau inginkan. Tindakan apa saja yang kau ambil akibatnya akan kembali kepadamu."

"Kalau begitu aku akan membunuhmu! Baru setelah itu aku bebas berbuat sekehendak hatiku!" Kata laki-laki itu. 

Si muka lempur ini lalu berpaling pada Tupu Lanjar. "Gadis ayu, apakah kau berminat ikut berebut pahala mengenyahkan pendekar busuk ini ke kambung?" 

Tanyanya dengan lirikan mata yang liar penuh nafsu. Tupu Lanjar merasa muak, dengan sinis dia berkata. 

"Aku tidak pernah bersekutu dengan manusia sepertimu. Masih ada hal yang lebih menarik untuk ku lakukan. Bertempurlah kalian sampai mampus, dan kami segera angkat kaki dari sini," Ujar gadis Itu. 

Dia dan Saga Merah kemudian berbalik. Selanjutnya berkelebat tinggalkan tempat itu. Pendekar Kelelawar berusaha mencegah dengan berkata. 

 "Kalian berdua, ada yang ingin kubicarakan dengan kalian. Apakah kalian bisa menunggu?"

"Kami tidak punya waktu, kalau kau menyembunyikan sesuatu, mengapa tidak kau katakan sejak daritadi?" 

Sahut Saga Merah sayup-sayup di kejauhan. Pandekar Kelelawar merasa serba salah, dia yakin pemuda dan gadis Itu adalah manusia Baik-baik. Sehingga kemungkinan besar mudah diajak bicara. Sementara itu Bukara tertawa mengekeh melihat Pendekar Kelelawar tidak berhasil mencegah keinginan kedua orang muda Itu untuk pergi. 

"Ha ha ha! Tidak ada lagi orang yang kau harapkan bisa berada di pihakmu yang tertinggal di sini hanya kau dan aku! Pendekar Kelelawar, aku muak melihat dirimu! Andai saja kau tidak mengatakan dirimu punya hubungan tertentu dengan Dewi Kabut, kemungkinan besar aku memaafkanmu. Tapi sekarang sudah terlambat. Terimalah kematianmu!" Teriak Bukara. 

Laki-laki yang wajahnya mirip anjing akibat kutukan Dewi Kabut ini keluarkan seruan keras disertai lengkingan aneh. Kedua kaki direnggangkan membentuk kuda-kuda yang amat kokoh. Sementara kedua tangannya satu sama lain disatukan. Dari gerakan yang dilakukan oleh Bukara Ini Pendekar Kelelawar segera menyadari bahwa lawannya berniat mengadu kesaktian dengannya. Laki-laki berusia setengah baya ini tidak membuang waktu lagi. 

Melihat lawannya mulai bergetar sementara kedua tangannya mengepulkan asap tipis dan mulai berwarna kemerah-merahan. Pendekar Kelelawar rentangkan kedua tangannya yang berbentuk seperti sayap. Ujung jubahnya yang menyatu dengan lengan melambai-lambai mengeluarkan angin. Selanjutnya tidak dari kedua tangan Bukara saja angin menderu. Sebaliknya dari lengan jubah pendekar itu hawa dingin melesat menghantam Bukara tepat pada saat lakl-laki itu mendorong kedua tangannya ke arah Pendekar Kelelawar. 

Wuuus! Brees! 

Angin panas dan angin menebarkan hawa dingin seperti es saling bentrok di udara. Dentuman keras menggelegar, keduanya terdorong dan terjajar ke belakang. Pendekar Kelelawar tergetar hebat. Dia merasa dadanya sesak bukan main, namun segera mengambil posisi sambil memutar tangannya untuk melindungi diri sekaligus melakukan serangan susulan. Bersamaan dengan itu sang pendekar kibaskan ujung lengan jubahnya ke depan. 

Satu gelombang angin dingin melanda ke depan membuat semak belukar hancur dan pohon-pohon tercabut hingga ke akar-akarnya. Bukara keluarkan seruan keras, tubuhnya nyaris terhempas. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Sebagian tenaga sakti dia salurkan ke bagian kaki. Sehingga kedua kaki kini seakan menancap di dalam tanah. Laki-laki itu menggerakkan tangannya begitu rupa, hingga sepasang tangan Bukara berubah memutih seperti es. 

Selanjutnya sambil menggeram keras dia menghentakkan kakinya. Sekonyong-konyong laki-laki tua itu melambung tinggi ke udara. Sekejab dia mengapung di atas ketinggian, lalu tubuhnya berputar secara aneh, selanjutnya meluncur deras ke arah lawannya. Serangan ini dikenal dengan serangan tercepat yang pernah dia miliki karena saat itu Bukara menggunakan jurus Membalik Kabut Menyongsong Kebekuan. 

Dan jurus ini dipelajarinya selama dirinya terpasung di dalam gua es. Akibatnya sungguh mengerikan. Begitu Bukara melesat ke arah lawan, dia bukan hanya sanggup memupus serangan Pendekar Kelelawar, sebaliknya dengan tidak terduga dia berhasil melancarkan serangannya itu hingga menghantam lawannya. Pendekar Kelelawar jatuh terpelanting dan terguling-guling. Tapi daya luncur tubuhnya kemudian terhenti setelah melabrak dinding gua. 

Sementara itu sang pendekar menggigil, namun dia berusaha bangkit dengan tubuh gemetar. Belum sempat Pendekar Kelelawar berdiri tegak. Dia merasakan tiga perempat dari bagian tubuhnya mulai membeku. 

"Celaka! Ilmu apa yang dimilikinya? Mengapa sekarang dia menjadi sehebat ini. Padahal dulu Bukara hanya dikenal karena keperkasaan itunya." 

Kata Pendekar Kelelawar dalam hati. Laki-laki setengah baya ini sungguh tidak memiliki waktu lama untuk memikirkan kemajuan limu yang dikuasai oleh lawannya. Dia harus memusnahkan pengaruh dingin yang ditimbulkan oleh serangan lawannya jika tidak ingin mati beku. 

Segala sesuatunya dia lakukan dengan cepat. Tenaga dalam dia salurkan melalui pusarnya. Hawa panas mulai mengalir, justru pertentangan yang terjadi dalam tubuhnya antara pengaruh hawa dingin dan hawa panas membuat tubuhnya bergetar. Bukara menyeringai puas. 

"Bisakah kau menyelamatkan dirimu dari kematian. Kau sudah terkena Jurus Membalik Kabut Menyongsong Kebekuan. Kau tidak akan selamat, tapi aku masih berbaik hati untuk mempercepat kematianmu agar tidak membuatmu menderita. Tapi.... katakan dulu apa hubunganmu dengan Dewi Kabut!" 

Kata Bukara, rupanya diam-diam dia masih penasaran. Pendekar Kelelawar menggeram, dia meludah dan ludahnya bercampur dengan gumpalan darah beku. Saat Itu dia hampir sanggup memusnahkan pengaruh hawa dingin yang menyerang tubuhnya. Sang pendekar dengan ilmu kelelawarnya tetap bertahan. Dia membuka mulut untuk menjawab, namun hanya bibirnya yang bergetar, Sadarlah pendekar itu. 

Sementara Itu dia harus memusatkan perhatian pada satu titik yaitu titik pemusnahan pengaruh serangan Bukara yang dahsyat itu. Justru diamnya Pendekar Kelelawar membuat Bukara murka, dia menyangka lawan meremehkan dirinya. Dari bersabar diri menjadi kehilangan rasa sabar, kemarahan memuncak berubah menjadi bentakan. 

"Pendekar keparat! Sudah mau mampus ternyata kau masih juga keras kepala. Kutanyakan sekali lagi apa hubunganmu dengan perempuan tengik itu? Kau bergendak dengannya hingga kau terkesan sangat melindunginya?"  

"Hrkh..." 

Pendekar Kelelawar menggeram. Pengaruh hawa dingin musnah sudah meskipun dia akhirnya muntahkan darah kental. Pendekar Ini lakukan beberapa gerakan penutup. Kini dia berdiri tegak, Bukara melihat sepasang mata lawannya berubah merah kehijawan. 

"Jahanam itu nampaknya sudah pulih. Mengherankan mengapa begitu cepat. Aku yakin luka di bagian dalamnya belum pulih benar. Tidak mengapa, aku masih memiliki dua pukulan pamungkas yang membuatnya mampus percuma!" Geram laki-laki itu dalam hati. 

"Bukara." kata Pendekar Kelelawar dengan nafas mengengah. "Di antara orang yang pernah kubenci di dunia ini, kaulah orangnya. Aku tidak pernah mengatakan diriku adalah manusia baik-baik. Berbeda dengan dirimu aku masih bisa membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak. Kau ingatlah apa yang kukatakan ini."

"Urusan Dewi Kabut menjadi tanggunganku. Kalau dia bersalah, akulah yang membunuhnya. Dia bukan kekasihku, tapi dia juga bukan gendakku. Hubungan kami sangat dekat mirip seperti antara jari telunjuk dan jari kelingkingku. Di antara sekian banyak kesalahan, Dewi Kabut telah melakukan kekeliruan terbesar dalam hidupnya. Dia yang kuketahui harus bisa bertemu dengan Pemanah Bintang!"

"Untuk urusan apa? Dia ingin memikat pemuda tampan itu ataukah ingin mengutuknya?!" Tanya Bukara sambil menyeringai sinis. 

"Saat ini rasanya tidak layak bagiku untuk menjelaskannya padamu. Untuk lebih jelas mengapa kau tidak pergi ke Lembah Batas Dunia?" 

Kata Pendekar Kelelawar. Bukara tersenyum. 

"Aku menganggap penjelasanmu sebagai sebuah keterangan"

"Namun dalam hatiku masih tersimpan amarah dan dendam. Dendamku telah membutakan hati dan pikiran. Mungkin aku akan mengikuti saranmu, tapi yang lebih penting hidupmu harus berakhir sampai di sini! Ha ha ha!" Bukara mengumbar tawa dingin. 

Kakinya bergeser ke depan dan ke samping. Kaki kiri lalu ditekuk, sedangkan tangan kiri berputar seperti gerakan menari dan segera diangkat ke atas kepala. Sedangkan tangan kanan ditarik ke belakang lalu didorongnya sekuat tenaga ke depan. Hawa dingin menyilaukan kembali berkiblat. Pendekar Kelelawar keluarkan seruan kaget, namun kali ini dia tidak ingin mengambil resiko. Begitu serangan datang dan memporak porandakan apa saja yang dilaluinya orang tua ini bukan menangkisnya, melainkan langsung melesat ke atas. 

Dengan cepat dia keluarkan suara aneh, seperti suara cericit mirip kelelawar. Dari dalam Gua Lawa mendadak terdengar suara yang sama namun dalam jumlah ribuan. Selanjutnya terdengar suara bergemuruh. Bukara tidak tahu suara apa yang didengarnya. Yang jelas pukulan yang dilepaskannya justru menghantam tempat kosong membuat dinding gua longsor. 

"Pendekar Kelelawar! Apakah bisamu hanya menghindar. Di manakah ilmu kalongmu yang kesohor itu!" Teriak Bukara sengit. 

Si kakek berwajah anjing ini melihat Pendekar Kelelawar berdiri di atas sebuah batu tinggi. Pendekar setengah baya di atas batu dilihatnya menyeringai. 

"Kau bertanya tentang ilmuku? Kuakui kesaktian yang kau miliki semakin maju. Mungkin belum kau sadari bahwa aku baru saja menjawab pertanyaanmu, Bukara!" 

Kata Pendekar Kelelawar. Orang tua itu tidak hanya kaget, namun juga heran. Dia melihat Pendekar Kelelawar tidak melakukan tindakan apa-apa terkecuali berdiri di batu, lalu mengapa dia mengatakan baru menunjukkan ilmunya. Selagi orang tua ini bertanya-tanya dalam hati, pada saat itu dirinya dikejutkan oleh suara gemuruh mengerikan datang dari arah gua. Dengan cepat dia berpaling memandang ke arah Gua Lawa. 

Seandainya saja wajah Bukara tidak terlindung oleh bulu bulu lebat, tentu parasnya yang berubah pucat Itu terlihat jelas. Ribuan kelelawar keluar dari dalam gua! 

"Kurang ajar! Dia pasti yang mengundangnya!" Geram Bukara.

"Bagaimana tua bangka congkak! Aku telah kirimkan para sahabatku, apakah kau sudah siap untuk menyambutnya?!" pertanyaan bernada mengejek Ini tidak ditanggapi Bukara, sebaliknya dengan mulut terkatub dia segera melompat mundur. 

Tangan kiri diputar dipergunakan untuk melindungi diri sedangkan tangan kanan secara bersamaan dihantamkan ke atas ke arah kawanan kelelawar itu. Perisai pelindung diri yang dibuat Bukara tidak sembarangan. Angin dingin yang menderu akibat putaran tangan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu benar-benar membuat Bukara terlindung. Sementara pukulan tangan kanan menimbulkan hantaman hebat yang berakibat puluhan kelelawar Jatuh terkapar dalam keadaan membeku. 

Namun mahluk-mahluk Ini berubah menjadi beringas melihat kematian kawan-kawannya. Dan mereka sepertinya sangat terlatih. Bukannya menghindar, sebaiknya ribuan kelelawar kini menyerang dari seluruh penjuru arah. Walau tidak sedikit yang berhasil dibuat rontok oleh Bukara. Namun serbuan kelelawar itu tidak ubahnya seperti serbuan lalat hijau yang menggerubuti bangkai. Bukara terdesak, mahluk-mahluk malam menyerang sekujur tubuhnya. 

Sesakti apapun Bukara mendapat serangan mahluk dalam jumlah ribuan dan dalam waktu bersamaan akhirnya pertahanan yang dibuatnya Jebol juga. Ketika sebagian kelelawar menyerang kaki, perut, dan dada. Di sinilah pertahanan Bukara goyah. Dia menjerit ketika kelelawar mulai menggerogoti kaki dan bagian tubuhnya yang lain. Bukara pada akhirnya ambruk. Pendekar Kelelawar yang menyaksikan kejadian itu hanya mengurai senyum. 

"Anak-anak! Aku mau kalian pulang ke kandang. Sewaktu-waktu bila kubutuhkan kalian akan kupanggil!" Ujar laki-laki itu. 

Dia kemudian keluarkan suitan aneh dan panjang. Mahluk-mahluk yang menggerubuti Bukara mencericit. Seperti terbius mereka meninggalkan korbannya. Lalu terbang dan kembali masuk ke dalam gua. Suara gemuruh lenyap, Suara mencericit Juga lenyap. Yang tertinggal hanya pendekar itu seorang. Dia menoleh ke arah Bukara, dia melihat Bukara terkapar dengan tubuh penuh luka dan berlumur darah. 

"Kau telah mendapatkan apa yang kau minta. Berbaringlah kau di situ selamanya karena aku akan pergi!" Ujar Pendekar Kelelawar. 

Dia kemudian merentangkan tangannya yang mirip dengan sayap. Jubahnya melebar dan ketika kedua tangan diayunkan ke bawah tubuhnya melesat. Membubung tinggi ke udara. Sang Pendekar berputar-putar, lalu melesat ke satu arah untuk akhirnya hilang dari pandangan. Pendekar Kelelawar sama sekali tidak tahu bahwa begitu dia pergi, Bukara yang terbaring diam kini bergerak-gerak. 

Dia lalu bangkit, dengan gerakan kaku dia menoleh memperhatikan sekelilingnya. Karena tidak melihat Pendekar Kelelawar akhirnya dia menghirup nafas panjang. Begitu udara masuk ke dalam paru-paru, sebuah keajaiban terjadi. Luka-luka di tubuhnya mendadak raib tidak meninggalkan bekas. Bukara tersenyum. 

"Pendekar Kelelawar aku tidak bisa mati hanya karena ulah mahluk suruhanmu. Aku akan mencarimu, kau harus merasakan balasanku. Ha ha ha.."

***

Pemanah Bintang telah memikirkan bahwa tindakan yang dilakukannya sudah barang tentu mengundang teguran para dewa. Dugaannya ini terbukti. Pada malam berikutnya Dewa Pembawa Amanat datang menemuinya. Dewa Itu memberi teguran dangan keras. Walaupun Dewa Pembawa Amanat tidak memperlihatkan ujudnya namun Pemanah Bintang yakin Dewa Pembawa Amanat menyesalkan keputusan yang ditempuh oleh Pemanah Bintang.       

"Dewa Amanat, setelah kupertimbangkan cukup lama. Aku berpikir barang kali diriku ini tidak bisa memenuhi harapan para dewa. Aku tidak bisa bertahan apalagi menjaga diriku dari perbuatan dosa jika situasi yang berkembang memaksaku mengambil tindakan. Aku masih mencintai kerabat di lembah ini." Ujar pemuda tampan itu tenang. 

"Dalam hal ini kami menganggap kau telah mengambil keputusan yang keliru Bintang. Kau terlalu terbawa oleh suasana yang berkembang. Padahal semua yang terjadi adalah ujian. Hyang Tunggal mengujimu dengan rasa kecintaan. Kau sendiri lebih tahu rasa cinta pada manusia, rasa cinta pada kebendaan semua itu hanya semu belaka. Dunia ini adalah maya, siapapun yang cinta pada maya, maka cintanya tidak kekal. Cinta abadi adalah cinta yang tidak mengutamakan hal yang ada kaitannya dengan keduniawian."

"Cinta abadi sesungguhnya cinta yang mengutamakan kehidupan setelah mati. Tempat tertinggi adalah nirwana. Sedangkan tempat sebaik baiknya adalah Jalane. Kau adalah manusia suci, calon penyambung lidah dan penyampai kebenaran. Kebenaran harus kau sampaikan pada manusia walau sepahit apapun ujian yang harus kau terima. Kalau kau bertindak atas nama kerabatmu, sesungguhnya kau telah dikalahkan oleh nafsumu sendiri."

"Padahal sepanjang waktu mulai dunia ini terkembang sampai kiamat, nafsu rendah selamanya menjerumuskan manusia pada perbuatan yang merugikan dirinya sendiri". 

"Dewa Amanat! Jika demikian aku mau kau mengambil nafsu dan mengeluarkannya dari tubuhku!" Ujar Pemanah Bintang. 

"Jlka nafsu dikeluarkan dari tubuhmu. Maka berakhirlah ujian itu. Tanpa nafsu menjadikan ujian jauh darimu. Nafsu itu sesungguhnya mahluk, akal juga merupakan mahluk. Tanpa nafsu, berarti kau sudah tidak punya lagi keinginan. Tanpa keinginan kau tidak mungkin melakukan tindakan apa-apa, dalam keadaan seperti itu dirimu tidak ubahnya seperti pohon."

"Hmm, lalu aku harus membiarkan para kerabat penghuni lembah Ini tewas ?" Tanya Pemanah Bintang. 

Walau nada ucapannya terkesan tenang, sebenarnya saat itu hatinya gelisah. 

"Kau punya akal, kau juga punya banyak kelebihan dibandingkan manusia kebanyakan. Apa saja yang menimpa kerabatmu, apa saja yang kau alami dan juga yang terjadi padamu. Semua itu termasuk dalam ujian."  

"Kapan aku terbebas dari ujian?"

"Kau sudah tahu. Kau bebas dari ujian bila rohmu sudah meninggalkan ragamu"

"Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit!" Keluh Pemanah Bintang. 

"Kesulitan itu muncul dari hati kecilmu. Mengapa kau merisaukannya?" Tanya Dewa Amanat. 

"Dari hati kecil ku?" Desis Pemanah Bintang. 

"Ya, dari hati kecilmu. Kau terlalu merisaukan hal yang seharusnya tidak perlu kau risaukan. Sekarang kau pikir sendiri. Seandainya saja kau membalas kematian orang-orang di lembah ini yang telah kau anggap sebagai kerabatmu Itu, apakah kau pikir mereka bisa hidup, Itu adalah tindakan yang tidak perlu kau lakukan!"

"Bagaimana dengan orang-orang yang mencariku? Mereka menghendaki darahku, bahkan ada di antaranya yang menginginkan senjata ini." Ujar pemuda Itu. 

"Dewata pasti melindungimu. Tidak semua orang memusuhi dirimu, di antara mereka pasti ada yang membelamu" Ujar Dewa Amanat. 

"Seandainya aku gagal mengendalikan diri, apa yang akan terjadi?" Tanya Pemanah Bintang khawatir. 

"Seandainya harus terjadi, berarti para dewa terpaksa menunggu bayi yang terlahir kemudian. Dan kau kehilangan hak istimewa. Di antara hak Istimewamu, setiap doa selalu dikabulkan, setiap permohonan selalu didengar dan kata-katamu membawa tuah." 

Pemanah Bintang terdiam, pergolakan dan pertentangan jiwa kini muncul di dalam dirinya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah akan menjadi penyampai kebenaran ataukah justru akan memperturutkan kehendak hati. Dewa Amanat lalu berkata. 

"Aku tidak bisa menunggu lama, kau sendiri yang menjadi penentu hitam putihnya setiap langkahmu. Sekarang aku mohon diri aku harus kembali ke kayangan!" 

Pemanah Bintang hanya menganggukkan kepala. Dia tidak memberikan tanggapan apa-apa. Tidak berselang lama pemuda itu merasakan ada angin berdesir. Seiring dengan itu dia melihat kilatan cahaya putih meninggalkan ruangan menembus langit-langit ruangan yang terdiri dari lapisan tanah. 

Seperginya Dewa Amanat, Pemanah Bintang duduk termenung seorang diri. Dia berpikir tidak mungkin membiarkan Sandi Laya mengatasi semua pertikaian dengan pendatang dari luar seorang diri. Firasatnya mengatakan. Jika dibiarkan cepat atau lambat sahabatnya Itu bisa celaka. 

"Keputusan itu harus kuambil sekarang juga atau tidak sama sekali. Aku tidak ingin terlambat. Orang-orang dari kehidupan luar kurasakan terus berdatangan menuju tempat Ini." 

Pemanah Bintang menarik nafas lalu menghembuskannya secara periahan. Dia melirik ke arah dinding tempat di mana di sana tergantung busur dan anak panah istimewa. 

"Pusaka Langit, Sirna raga dan Cakra Kalima Inggil. Seandainya kupergunakan anak-anak panah itu semuanya. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi! Dunia ini bisa dilanda bencana secara terus menerus!" 

Gumam pemuda Itu dengan perasaan serba salah. Dia segera bangkit, baru saja dirinya dapat berdiri tegak. Dia mendengar suara ngiang datang dari pintu utama menuju tangga yang menghubungkan ke dunia bebas. 

"Pemanah Bintang! Sampai kapan kau akan mendekam di ruangan pengab itu. Apakah hidupmu akan kau habiskan secara sia-sia di sini?" 

Kata suara itu, Pemanah Bintang memandang ke jurusan di mana suara itu berasal. Sikapnya tenang dan berwibawa. 

"Siapa kau?" Tanya pemuda itu. 

"Aku Sargo."

"Sargo berarti panglima perang. Kau panglima perang dari mana?" Tanya pemuda itu tanpa minat. 

"Hmm, ternyata otakmu cukup awas. Memang aku seorang panglima perang. Namaku Bayabala, aku datang dari Negeri Angin."

"Negeri Angin, sebuah tempat yang jauh, kau dari kerajaan lelembut kerajaan mahluk halus dengan bala pasukan yang tidak dapat ditandingi oleh kejaran manusia yang bertebaran di bumi ini. Aku tidak tahu mengapa kau datang kemari?!"

"Aku ingin datang menemuimu, aku membawa kekasihku, namanya Puteri Embun. Sang puteri saat ini sedang dalam keadaan sakit."

"Kau menyangka aku seorang tabib?"

"Aku tahu kau bukan tabib. Kau manusia, calon pesuruh dewa." ujar suara Itu 

"Sayang kedudukan sekarang sedang kuragukan," Jawab Pemanah Bintang 

"Aku tahu. Ketahuilah, kekasihku itu mengalami sakit yang kurasakan aneh. Tidak ada keluhan yang dia rasakan, tapi dia tidur sepanjang masa."

"Kurasa penyakitnya itu erat kaitannya dengan ilmu sihir. Seorang penyihir telah mengguna-gunainya" 

"Benar. Yang kau katakan itu memang benar. Di negeriku ada seorang ratu sihir jahat bernama Nyuk Antan Alu. Dia yang telah menenung kekasihku ini sehingga keadaannya sama seperti orang mati."  

"Lalu apa hubungannya dengan diriku?" Tanya pemuda Itu tidak mengerti.

"Aku telah menjelajah ke segenap pelosok Negeri Angin. Tapi aku tidak pernah mendapatkan obat untuk memusnahkan pengaruh sihir Nyuk Antan Alu. Pada suatu malam aku bermimpi, kekasihku Puteri Embun hanya bisa dlsembuhkan olehmu karena kau memiliki panah Cakra Kalima Inggil. Hanya dengan panah itu saja kekasihku bisa terjaga dari tidurnya. Kuharap kau mau menolongku. Kalau tidak selamanya aku akan hidup dalam kesendirian"

"Sekarang kau berada di mana?" Tanya pemuda itu curiga. 

"Aku berada di sekitar lembah. Aku datang membawa kereta burung langit. Kumohon kau mau keluar dari tempat tapamu." 

"Kau orang luar, apalagi kau datang dari Negeri Angin. Bagainmana kau bisa menjamin bahwa kau datang hanya untuk menyembuhkan kekasihmu?" Tanya Pemanah Bintang.

"Kau tidak perlu takut. Aku adalah mahluk yang dapat dipercaya. Aku berjanji begitu kekasihku dapat sadar, aku segera meninggalkan tempat ini secepatnya"

"Kedengarannya cukup sopan. Baiklah, aku akan menemuimu. Ingat, aku hanya memberikan apa yang kau minta, lebih dari Itu berarti kau melakukan pelanggaran," Ujar Pemanah Bintang. 

"Kau boleh memegang janjiku", kata suara Itu. 

Pemanah Bintang kemudian meraih busur dan kantong anak panah yang terbuat dari bambu berlapiskan emas. Tempat anak panah digantungkan di punggungnya. Setelah menentang busur di tangan kiri. Dia lalu menuju ke arah anak tangga yang menghubungkan ke alam luar. Sesampai di ujung undakan anak tangga paling atas, dia memutar tonjolan batu yang menyembul di dinding sebanyak tiga kali. 

Kemudian terdengar suara berkerekutan. Pintu rahasia yang terdapat di atasnya bergerak terbuka. Pemanah Bintang segera merasakan betapa sejuknya udara luar yang tersedot masuk ke dalam paru-parunya. 

"Ini adalah alam kebebasan. Aku sudah menutup diri dengan udara kebebasan dalam waktu lama. Tapi sekarang..." 

Pemanah Bintang tidak melanjutkan ucapannya. Dia justru melangkah keluar. Sesampainya di luar Jalan rahasia menuju ke tempat tapa itu menutup dengan sendirinya. Pemanah Bintang segera menuju ke lembah. Dia tertegun ketika melihat tidak jauh di depan sana tegak sebuah kereta berwarna hitam. Kereta itu tidak ditarik oleh kuda, melainkan ditarik oleh dua ekor burung besar berkepala botak, namun memiliki paruh besar bengkok terkesan kuat sekali. 

Mahluk penarik kereta itu sangat menyeramkan. Kedua matanya putih seperti buta, namun yang sesungguhnya Burung Langit itu dapat melihat lebih jelas dari burung biasa. Tidak jauh dari burung penarik kereta, Pemanah Bintang juga melihat seorang laki-laki berpakaian aneh. Pakaian Itu terdiri dari jalinan lempengan batu besi, namun memancarkan kilau cahaya yang menyilaukan mata. 

 "Inikah orangnya yang mengaku sebagai Sargo. Penampilannya aneh dan topi yang menutup kepalanya juga aneh. Bagian depan topi berbentuk lancip seperti paruh burung penarik kereta hitam, wajahnya tidak terlihat karena terlindung bagian topi yang berbentuk paruh." 

Pemanah Bintang melangkah maju. Sargo panglima perang yang berpenampilan aneh seketika menoleh begitu mendengar suara langkah menuju ke arahnya. Dia tersenyum melihat kehadiran pemuda itu. Tentu senyumnya tidak terlihat karena terlindung bagian depan topinya yang menutupi seluruh wajah. 

"Aku sudah menduga, Pemanah Bintang orangnya pasti sangat muda dan gagah. Oh tempat menyimpan anak panahmu sangat bagus sekali." Pasti Bayabala dengan sikap yang ramah bersahabat 

"Diriku bukan tempat untuk menerima pujian. Saat ini kurasa urusanku sangat banyak sekali. Kau mengaku membawa kekasihmu, sekarang kau keluarkanlah kekasihmu Itu dari dalam kereta." Perintah Pemanah Bintang. 

"Tentu saja. Aku membawanya dengan kereta hitam. Aku beruntung Burung Langit ini tidak tersesat. Dia tahu tempat tinggalmu, aku patut berterima kasih kepada mereka." 

Sambil berkata demikian, Bayabala menghampiri kereta hitam. Pintu kereta yang terlindung lembaran kain hitam disingkapkannya. Dari kejauhan Pemanah Bintang dapat melihat sesosok tubuh tergeletak tidak berdaya di atas pembaringan yang juga berwarna hitam. Bayabala kemudian membopong seorang gadis berambut panjang dengan mahkota bertengger di kepalanya. Gadis itu selain cantik berkulit putih kemerahan. Tubuhnya yang mulus terbalut pakaian berwarna kuning keemasan. 

Si panglima kemudian membaringkan gadis itu di atas batu yang biasa dipergunakan untuk menghabiskan waktu menikmati malam oleh penduduk di sekitarnya. Pemanah Bintang datang menghampiri. Semakin dekat dirinya dengan batu semakin bertambah Jelas dia melihat wajah gadis itu. Si pemuda memperhatikannya sejenak. Dia melihat wajah itu agak pucat. Matanya terpejam, gerakan nafasnya turun naik dengan teratur sekali. 

"Sudah berapa lama dia dalam keadaan seperti Ini?" Tanya Pemanah Bintang. 

"Sudah lama, sejak kami memutuskan untuk mengikat diri dalam sebuah keluarga."Jawab Bayabala singkat. 

"Aku Ingin memeriksa!" 

Ujar pemuda itu. Dia kemudian julurkan tangan hendak menyentuh pergelangan tangan puteri Embun. Tetapi baru saja jemari tangannya menyentuh kulitnya, Pemanah Bintang merasa seperti ada kekuatan yang tidak terlihat menghantam tangannya. Si pemuda terhuyung, keningnya mengernyit hatinya bertanya. 

"Gerangan apakah yang terjadi? Apakah kekuatan itu datang dari diri Puteri Embun ataukah datang dari yang lain?" Pemanah Bintang menoleh ke arah Bayabala. 

"Apa yang terjadi?" Tanya pemuda itu curiga.

"Aku tidak tahu. Setiap kali dia disentuh, satu penolakan yang keras keluar dari tubuhnya. Kupikir itu adalah sejenis pagar gaib yang dibuat oleh penyihir Nyuk Antan Alu." 

Pemanah Bintang jadi tersenyum. "Kedengarannya aneh. Aku melihat sendiri kau menggendong puteri ini, kau mengeluarkannya dari kereta hitam dan membaringkannya di atas batu ini."

"Kulihat kau biasa saja, tidak ada sesuatu pun yang terjadi atas dirimu. Tidakkah ini mengherankan?"

Kata pemuda itu curiga. Sargo Bayabala tidak memperlihatkan reaksi apaapa, sikapnya dangat tenang sekali. Bahkan dengan tenang dia berucap memberi penjelasan. 

"Setiap waktu diriku dihantui rasa cemas, maafkan aku karena lupa menjelaskan sebuah persoalan kecil padamu. Terus terang akupun tidak mengerti mengapa dirinya mempunyai kekuatan yang sanggup menolak kehadiran orang iain, anehnya lagi penolakan itu tidak terjadi pada diriku. Seratus kali aku menyentuhnya aku tidak merasakan akibat apa-apa."

"Sungguh mengherankan. Nampaknya penyihir itu sengaja memberi peluang kepadamu. Jika demikian si penyihir sesungguhnya tidak membenci dirimu?" Ujar Pemanah Bintang. 

"Kuakui memang demikian adanya, tapi dia tidak menghendaki adanya perkawinan di antara kami!" Ujar Bayabala. 

"Lalu apa yang harus kulakukan! Apakah aku harus memanah kekasihmu itu dengan Cakra Kalima Inggil?" Tanya Pemanah Bintang berpura-pura. 

"Kalau kau memanah tepat di jantung. Dia akan terbebas dari pengaruh ilmu Nyuk Alu."

"Tapi Itu akan membunuhnya. Bukan hanya membunuh, lebih mengerikan lagi tubuhnya akan tercerai berai. Tidakkah ini mengherankan?"

"Maksudku kau tidak perlu menggunakan busur dan panah. Kau cukup mencelupkan anak panah ke dalam air. Aku akan mengambilkan air itu untukmu!" Ujar Bayabala. 

Laki-laki Itu segera bergegas kembali ke kereta hitam, tidak lama kemudian dia membawa sekendi air. 

"Air ini kubawa dari negeriku. Sekarang lekas kau keluarkan anak panah Cakra Kalima Inggil!" Pinta Bayabala. 

Walau sudah berniat mengeluarkan panah dari wadahnya, entah mengapa hati kecil Pemanah Bintang menjadi ragu-ragu. 

 "Aku belum pernah merasakan kegelisahan seperti ini. Aku tidak tahu apa yang direncanakan firasatku mengatakan dia bukan mahluk baik-baik yang membawa tujuan yang baik pula." 

Batin Pemanah Bintang, Walau begitu tangannya mencoba menarik ujung anak panah Cakra Kalima Inggil. Melihat gerakan tangan pemuda Itu, mata di balik topi paruh itu berbinar. 

"Ambil, cepat ambil! Aku sudah tidak sabar menunggunya?!" Batin Bayabala penuh keinginan ingin memiliki.

***

Sandi Laya memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Kini dirinya semakin yakin bahwa mahluk setengah manusia itu memang datang seorang diri. Jika demikian siapakah orang Ini dan di mana dia menyembunyikan Puteri Padara? "

Apa yang kau cari, Sandi Laya?" kata mahluk berkaki dan bertangan mirip cakar Itu dingin. 

"Puteri Padara! Kau menculik puteri itu?" Tanya Sandi Laya. 

Mahluk yang sekujur wajah dan tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu itu tertawa tergelak-gelak. Dia menyingkapkan pakaiannya. 

"Kau lihat sendiri. Jika aku menculik berarti aku menyembunyikan di balik pakaianku ini. Kau tidak perlu gusar begitu. Cobalah kau lihat di atas pohon itu!" 

Ujar mahluk aneh ini sambil menunjuk ke arah cabang pohon dengan menggunakan cakarnya. Sandi Laya memandang ke arah itu. Dia terkejut melihat Puteri Padara tergeletak di sana dalam keadaan menyerangsang. Sandi Laya berseru memanggil nama sang puteri. Tapi di atas pohon tidak terdengar jawaban. Pemuda ini jadi khawatir, dia takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dengan puteri Ini. 

Tidaklah mengherankan tanpa menghiraukan mahluk aneh itu, Sandi Laya segera melesat ke atas dan menghampiri Puteri Padara. Mahluk yang wajahnya ditumbuhi bulu-bulu berwarna kuning itu tidak mengambil tindakan apa-apa, nampaknya dia sengaja membiarkan Sandi Laya untuk sementara waktu. 

Sesampainya di cabang pohon tempat di mana Puteri Padara tergeletak. Sandi Laya melihat sekujur tubuh si gadis nampak membiru, Ketika dia memeriksa nadi di lengannya, ternyata nadi itu tidak berdenyut. Dengan seksama dia memperhatikan sekujur tubuh si gadis. Tidak ada luka, tidak terlihat tanda-tanda pukulan. Bagaimana sang puteri bisa tewas? 

"Siapa kau?" 

Hardik Sandi Laya. Pemuda ini melayang turun sambil membopong sang puteri. Gadis itu kemudian dia baringkan di bawah pohon. Mahluk itu menyeringai. 

"Kau bertanya tentang siapa diriku? Ketahuilah, namaku Sabarantu, julukanku Sang Penyesat Dari Selatan!" 

Jawab mahluk setengah manusia Ini dingin. Kening Sandi Laya berkerut dalam, diam-diam dia terkejut. Dia tidak pernah bertemu dengan mahluk satu ini sebelumnya.Tapi nama besarnya sering dia dengar. Di wilayah selatan Sabarantu malang melintang menebar maut. Dia memiliki kesaktian yang amat tinggi. Sabarantu díkenal sebagai momok yang ditakuti setiap orang, mendengar namanya saja orang menjadi ciut. Kehebatannya bukan sekedar omong kosong, terbukti dia mampu menembus belantara kabut dan memasuki wilayahnya yang tersembunyi. 

"Kulihat kau terkejut. Kau takut melihatku atau kau sebenarnya gentar mendengar namaku?" Kata lakilaki itu sinis. 

"Kau telah membunuhnya?" Hardik Sandi Laya tanpa menghiraukan ucapan Sabarantu. 

"Penilaianmu tergantung dari sudut mana kau memandangnya. Aku hanya melakukan totokan mematikan di bagian pembuluh darah utama. Dalam waktu satu hari jika totokan tidak dibebaskan kemungkinan besar dia mati" Jawab Sabarantu. 

Sandi Laya menyadari ucapan Sabarantu bukan ancaman, melainkan sebuah kenyataan yang berbahaya bagi Puteri Padara. Terhentinya aliran darah ke bagian kepala dalam waktu lama bisa membuat Puteri Padara mengalami kelumpuhan bahkan tewas.       

"Dia tidak bersalah, mengapa kau memperlakukannya seperti itu?" 

Tanya Sandi Laya sambil berpikir cara apa yang akan dipergunakanya agar dia dapat melumpuhkan mahluk itu secepatnya. 

"Mula-mula aku iri melihat kecantikannya, kemudian aku berpikir aku membutuhkan dia untuk memancingmu kemari!"

"Aku sudah datang, mengapa kau tidak membebaskan totokannya?"

"Kalau kau bisa mengapa tak kau lakukan sendiri?" 

Kata Sabarantu pula dengan sinisnya. Sandi Laya menggeram. Mengingat pembantaian yang dilakukan oleh Sabarantu terhadap kerabatnya. Dia tidak mungkin mengampuni mahluk satu itu. Rencana itu bisa dilakukannya kemudian, sekarang yang terpenting adalah menolong Puteri Padara secepatnya. 

Dan tanpa pikir panjang pemuda ia segera berusaha membebaskan totokan itu. Namun dia kaget sendiri karena totokan di tubuh Puteri Padara ternyata tak dapat dimusnahkan. Melihat ini Sabarantu kembali mengumbar tawa dingin. 

"Sampai tuli kau tak mungkin sanggup memunahkan totokan itu karena aku menotoknya dengan jari kematian?"  

"Bangsat terkutuk! Sungguh besar dosa yang telah kau perbuat. Kau tidak tahu akibat yang bakal kau pikul." 

Geram pemuda itu dalam kemarahan. Tapi kemarahan si pemuda ditanggapi oleh Sabarantu dengan dingin. 

"Aku ingin menjadi majikan di negeri ini. Kalau kau mau menjadi budakku dan selalu patuh pada perintahku, maka dengan senang hati aku bebaskan totokannya. Kau bisa hidup dengannya karena walau gadis itu memiliki wajah jelita, sayangnya aku hanya bisa jatuh cinta pada kaum sejenis!" 

Pengakuan Sabarantu membuat perut Sandi Laya bergelung mual dan dia keluarkan suara seperti mau muntah. 

"Mahluk busuk menjijikkan. Kau bukan hanya keji, ternyata juga kau bejad budi pekerti. Mahluk hina sepertimu kalau tidak kubunuh sekarang, kelak hanya akan menjadi biang penyakit!"

"Ha ha ha! Tidakkah kau tahu, bahwa dunia Ini sesungguhnya dipenuhi oleh manusia-manusia munafik, manusia culas dan serakah."

"Pernahkan kau melihat kedamaian terkecuali di sini? Orang yang menganggap dirinya suci sesungguhnya penuh dengan dosa. Mereka yang mengaku cinta kebenaran sesungguhnya dalam dirinya terdapat banyak kesalahan. Aku hidup lebih dari seratus tahun dan aku mengetahui banyak hal yang tidak kau ketahui"

"Mahluk biadab, hentikan segala ocehanmu! Sekarang sudah saatnya kau bertanggung jawab atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap kerabatku!" 

Teriak pemuda Itu. Saat itu juga dia segera membuka serangan dengan jurus-jurus yang menjadi andalannya, Sabarantu tertawa tergelak-gelak. Walau dirinya menyadari serangan yang dilakukan lawan tidak bisa dipandang dengan sebelah mata, namun di balik serangan Sandi Laya yang datangnya seperti badai Ini dia melihat celah dari serangan itu. Tidaklah mengherankan. Ketika lima jari tangan menyambar ke bagian wajah disusul dengan jotosan yang mengarah ke bagian dada. 

Sabarantu yang kebal terhadap pukulan ini hanya bergeser ke samping. Sandi Laya yakin sekali serangan jari tangannya dapat merobek wajah yang dipenuhi bulu Itu, sedangkan pukulannya dipastikan dapat membuat remuk tulang dada. Dan ketika dua serangan masuk ke arah sasaran secara bersamaan. Sabarantu Sang Penyesat dari Selatan Ini kibaskan tangannya ke bagian wajah, namun dia membiarkan pukulan Sandi Laya mengenai sasarannya. 

Plak! Dess! 

Serangan lima jari tangan berhasll ditepis, namun pukulan yang mengarah ke dada dengan telak mengenai sasaran. Sandi Laya diam-dlam terkesiap. Tangannya yang menghantam dada serasa mau remuk. Dan tangan itu nampak membiru. Dia tidak ubahnya seperti menghantam batu besi. Sabarantu tidak bergeming di tempatnya, sedangkan pemuda Itu nampak terhuyung-huyung. 

"Celaka! Ilmu kesaktian apa yang dimilikinya? Mengapa tubuhnya begitu keras sekali?!" 

Batin pemuda itu tidak habis mengerti. Kini dia bukan hanya geram, tapi juga dibuat penasaran. Sandi Laya segera memutuskan untuk menggunakan ajian Tapak Dewa. Selain ajian yang menjadi andalannya ini, Sandi Laya juga memiliki ilmu pukulan Inti Api. Tanpa bicara apa-apa, dua tangan kemudian didorong lurus ke depan hingga sejajar dengan bahu, secara berbarengan tangan itu ditarik ke belakang lalu saling bertaut di depan dada. 

Tubuh pemuda itu bergetar, angin menderu dari dua tangan yang menyatu, membuat rambutnya yang panjang berkibar kibar. Selanjutnya selain mengeluarkan deru angin, perubahan juga terjadi pada kedua tangan itu. Tangan si pemuda berubah berwarna putih kebiruan. Hawa dingin dan panas menebar silih berganti. Kalau bukan Sabarantu yang menjadi lawannya, serangan hawa aneh yang memancar dari tangan Sandi Laya tentu membuat lawan terjajar atau tidak sadarkan diri. 

Tapi Sabarantu walau sempat terkejut masih dapat mengurai senyum. Dia berpikir lawannya ini hebat Juga. Dari benturan yang terjadi tadi Sabarantu mengetahui bahwa tingkat tenaga dalam yang dimilikinya tidak rendah. Dalam waktu lima tahun mendatang jika berlatih secara terus menerus, tentu Sandi Laya dapat menjadi salah seorang tokoh dunia persilatan yang amat disegani. 

"Kau memiliki ilmu kebal, Sabarantu! Apakah ajian Tapak Dewa yang kumiliki tak dapat menghancurkan tulang belulangmu?!" Geram Sandi Laya sengit. 

"Kehebatan ajianmu sudah kurasakan dari rebawa yang ditimbulkannya. Tapi aku tidak yakin kau dapat menghancurkan tubuhku!" Sahut Sabarantu sinis. 

"Heaaa!" 

Sandi Laya mengawali serangan dengan satu pekikan dahsyat. Dia menghentakkan kaki kirinya. Seperti sambaran kilat saja pemuda ini bergerak. Selagi Sabarantu dibuat bingung oleh gerakan lawannya Ini. Dua pukulan berturut-turut menghantam dada dan punggungnya. Sabarantu terguncang keras tidak ubahnya seperti pohon yang dihempas angin dari dua sisi. Tapi dia tidak Jatuh. 

Dengan beberapa gerakan yang dilakukannya membuat posisinya kembali seperti semula. Dia hanya merasakan dada dan punggungnya linu luar biasa. Sandi Laya sendiri kini jejakkan kaki dengan posisi siap serang. Dia memandang ke depan. Astaga! Ternyata dia masih belum sanggup merobohkan lawannya. 

"Ha ha ha. Masih adalah lagi tambahan yang lebih hebat?" 

Tanya Sabarantu menantang. Sandi Laya mengatupkan bibirnya. Tidak ada pillhan lain, dia harus menggunakan pukulan Inti Api untuk menghadapi lawannya kali ini. ITULAH ilmu yang paling dia andalkan dalam menghadapi situasi yang tidak menguntungkan

***

Sementara itu Saga Merah, Pendekar Pedang Roh dan Tupu Lanjar yang sempat tersesat di tengah hutan kabut terpaksa menggunakan ilmu sihirnya untuk keluar dari perangkap kabut itu. Dia beruntung Sabai Baba gurunya dari pegunungan Himalaya mewariskan ilmu sihir kepadanya. Dan kini setelah berhasil menembus hutan kabut. Mereka melihat perkelahian sengit yang terjadi antara Sabarantu dan Sandi Laya. Mereka mendekam di tempat tersembunyi untuk melihat perkembangan yang terjadi. 

"Gadis yang tergeletak di bawah pohon itu, apakah sudah mati?" Tanya Tupu Lanjar. 

"Wajahnya biru, tubuhnya juga. Kau sudah mendengar mahluk bercakar tadi mengaku dia telah menotoknya. Totokan bisa berakibat kematian jika tidak dibebaskan dalam waktu satu hari."

"Kita harus menolongnya Aku yakin manusia berbulu itu seorang penyusup yang punya kepentingan tertentu pada Pemanah Bintang."

"Totokan memang harus kita bebaskan. Tapi harus diingat, mahluk bercakar itu kuyakin bukan tandingan pemuda itu. Aku tidak meragukan kemampuan Sandi Laya. Tapi dengan ilmu kebal yang dimiliki si kakek membuatnya unggul beberapa tingkat di atas Sandi Laya."

"Lalu apakah kau akan membantu pemuda Itu dan membiarkan gadis berpakaian daun mati?"

"Aku akan menolong gadis itu, sementara kau harus berjaga-Jaga diri setiap kemungkinan!" Ujar Saga Merah.

"Aku setuju. Aku tahu tenaga dalammu jauh lebih tinggi di atasku. Tadi pemuda itu telah berusaha melakukannya tapi tidak berhasil. Mari kita lakukan sekarang!" Ujar Tupu Lanjar. 

Tanpa menunggu lebih lama, keduanya segera keluar dari tempat persembunyiannya. Melihat kehadiran Saga dan Tupu Lanjar. Sabarantu kaget, demikian juga dengan Sandi Laya yang sedang mengerahkan ilmu pukulan Inti Apinya. 

"Siapa kallan?" Tanya pemuda Itu curiga. 

"Kau tidak usah takut, aku berada di pihakmu. Aku akan menolong gadis ini. Kau hadapilah mahluk berbulu itu!" Ujar Saga Merah. 

Sandi Laya merasa lega, lawannya ternyata tidak begitu merisaukan kehadiran mereka karena Sabarantu yakin dapat mengatasi mereka semua. 

"Kau berjaga-jaga!" Ujar Saga mengingatkan Tupu Lanjar. 

"Aku akan melakukannya semampuku!" jawab gadis Itu. 

Saga Merah mendekati gadis Itu. Dia melihat wajah yang cantik itu serta mahkota yang bertengger di atas kepalanya. Semakin lama Saga menatap wajah yang rupawan Itu, hatinya bergetar. Darah pemuda Itu berdesir. Saga tidak tahu mengapa dia merasakan ada yang aneh. Padara bukan hanya cantik tapi Juga membuat Saga terpesona, padahal hal seperti ini belum pernah dia rasakan sebelumnya. 

"Cepat lakukan! Apa lagi yang kau tunggu!' sentak Tupu Lanjar tidak sabar melihat Saga duduk termangu. 

"Aku....baiklah....!" 

Setelah menghembuskan nafasnya pemuda ini segera menggerakkan tangannya ke atas tubuh sang puteri. Dia Ingin mengetahui di bagian mana si gadis tertotok. Sepuluh Jari terkembang. Jari tangan Itu kemudian bergeser dari bagian kepala hingga ke ujung kaki tanpa menyentuh tubuh sang puteri. Karena tidak merasakan ada totokan di tubuh bagian depan, maka Saga pun kemudian segera membalikkan Puteri Padara dalam posisi menelungkup. 

Ketika dia menemukan dua titik yang tertotok. Pemuda Ini lalu mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian jari telunjuk sebelah kanan dan sebelah kiri. Ujung jari kemudian ditempelkan ke dua titik yang terkena totokan. Saga Merah berkonsentrasi. Des! Des! Usaha membebaskan dari totokan gagal, sang pendekar mengulanginya sampai beberapa kali Sampai! dirinya bermandi keringat, dia masih belum sanggup membebaskan totokan itu. 

"Bagaimana?"

"Totokannya sangat hebat, aku telah melakukan berbagai macam cara untuk memunahkannya. Usahaku tidak berhasil, sekarang aku akan memadukan sihir dengan tenaga dalam!" Ujar pemuda itu. 

"Berhati-hatilah, dua orang itu mulai terlibat perkelahian kembali. Kulihat Sabarantu menyeringai ke arahmu. Itu pertanda dia yakin kau tak akan sanggup membebaskan diri puteri Ini dari totokannya" Kata Tupu Lanjar 

"Kita lihat saja nanti!" Ujar Saga. 

Pemuda ini memejamkan matanya. Dia mengerahkan tenaga dalam ke bagian jari telunjuknya. Bersamaan dengan itu dia juga merapal mantra-mantra sihir putihnya. Tidak lama terdengar suara ngiang, kepala pemuda itu bergoyang ke kiri dan kanan. Selanjutnya. Di atas kening tepat di antara kedua alis Saga Merah muncul sebuah titik bening seperti batu bersinar. Tupu Lanjar sempat kaget. Saga Merah kini meracau, tentu dia sedang membaca mantra mantranya. 

"Muleh asal bali asal. Asal air kembali ke air, asal tanah kembali ke tanah. Rajah-rajah mantra sihir. Langit bintang rembulan ada dalam genggamanku. Sihir putih sihir abadi, tempat kebaikan sarana untuk menyembuhkan. Byah, musnahkan totokan laknat ditubuhnya!" 

Kata pemuda itu. Wuuus! Benda putih mirip batu namun bercahaya yang muncul dikening Saga mendarat melesat meninggalkan kening. terus bergerak ke arah leher belakang, lalu membelah menjadi dua, Pecahan dari cahaya yang satu ke arah lengan dan yang satunya lagi ke arah lengan kiri. Selanjutnya terus meluncur ke ujung Jari telunjuk disertai pancaran cahaya menyilaukan. Tess! Tess! 

Terdengar dua kali letupan berturut-turut disertai mengepulnya asap tipis kebiruan totokan musnah. Dua cahaya yang berasal dari kening lenyap. Tubuh Puteri Padara bergerak-gerak. Namun matanya masih terpejam, yang membuat Saga merasa lega warna biru di sekujur tubuh sang puteri berangsur memudar seiring dengan mengalirnya darah ke sekujur tubuhnya secara normal. 

"Dia masih belum sadar!" Kata Tupu Lanjar cemas. 

"Dibutuhkan waktu cukup lama. Dia akan sadar sendiri. Sekarang lihatlah!" 

Sentak pemuda itu serasa menunjuk ke arah perkelahian. Ternyata pada saat itu kedua tangan Sandi Laya telah berubah merah seperti bara dari ujung jari hingga ke pangkal lengannya. Sandi Laya telah menggunakan ilmu pukulan Inti Api untuk menyerang Sabarantu. Mahluk aneh ini tidak tinggal diam melihat serangan Sandi Laya yang menggunakan ilmu tingkat tinggi itu. Ketika pukulan pemuda itu menyambar mencari sasaran di sekujur tubuh si kakek, Sabarantu berkelit sambil menghantamkan tangannya yang bercabang empat itu. 

Sandi Laya tidak mengurangi kecepatannya. Dia menghindar namun pukulannya menghantam ke arah rusuk kakek itu, membuat lawan tergetar dan bulu-bulu yang tumbuh di bagian rusuk serta pakaiannya terbakar. Kalang kabut kakek ini berusaha memadamkan api. Dengan cara berguling-guling api dapat dipadamkan. Sandi Laya menubruknya dengan gerakan menerkam. Orang tua ini keluarkan suara menggerung. 

Kakinya yang berbentuk cakar didorong ke depan menyambuti kedatangan lawannya. Sandi Laya kaget tak menyangka mendapat serangan seperti ini. Dia terpaksa menghindar ke sebelah kiri. Namun pada saat Itu si kakek menggerakkan punggungnya hingga membuat dirinya mampu melesat ke depan, selanjutnya tangan kiri kakek itu berkelebat menyambar perut lawan. Breet! "Akh ..!" 

Sandi Laya menjerit keras, tubuhnya terjungkal, pakaian dan perutnya robek besar, ususnya berburaian disertai semburan darah segar. Pemuda ambruk. Sebelum tewas dia masih sempat berteriak 

"Selamatkan puteri itu dan beri peringatan pada sahabatku Pemanah Bintang!" Ujarnya. 

Teriakan pemuda ini lenyap begitu kaki Sabarantu yang berbentuk cakar menginjak putus lehernya. Tupu Lanjar tercengang, Saga Merah sendiri tidak menghiraukan peringatan Sandi Laya. Justru dia melompat menghampiri kakek itu disusul oleh Tupu Lanjar di belakangnya. 

"Anak muda dan gadis manis! Sebutkan namamu agar aku bisa menuliskan nama kalian di batu nisan masing-masing." 

Saga Merah tersenyum, tapi wajahnya tegang membayangkan kemarahan. 

"Aku Saga Merah. temanku Ini Tupu Lanjar. Orang tua, kau tidak akan lolos dari tanganku!" 

Kata pemuda itu penuh ancaman. 

"Hahaha, nasibmu tidak mungkin lebih baik dari yang dialaminya. Kalian akan mati sia-sia!" Kata kakek itu dingin. 

"Mulut besar! Matilah kau ...!" teriak Tupu Lanjar yang merasa kaget melihat kematian Sandi Laya yang tragis. 

Gadis ini langsung mencabut pedang batunya. Pedang berwarna hitam Itu selanjutnya menderu menusuk ke bagian wajah, dada, kepala dan perut Sabarantu. Si kakek mendengus, dengan serangkaian gerakan yang aneh, Sabarantu berkelit menghindari serangan pedang gadis itu yang datangnya seperti badai. Setelah berlangsung lebih dari lima jurus Tupu Lanjar berhasil menusukkan pedang ke dada Sabarantu. Tapi tusukan yang dilakukannya tidak ubahnya seperti membentur karang. Tusukan itu membuat api memercik. 

Tapi si kakek tidak bergeming. Tupu Lanjar penasaran, dia memutar tubuhnya lalu babat pedang ke bagian kaki. Craah! Trang! Ternyata bagian kaki Sabarantu jauh lebih atos dari bagian tubuh yang lain. Gadis itu terkesima. Rasa heran membuatnya lengah dan ini berakibat fatal. Ketika Sabarantu Sang Penyesat Dari Selatan melihat sebuah peluang, maka kesempatan ini tidak disia-sakan. Dia melompat, tangannya berkelebat dua kali berturut-turut. 

Serangan pertama, Tupu Lanjar masih dapat menghindari namun sambaran cakar Sabarantu yang mengarah ke bagian lehernya sudah tidak dapat lagi dielakkannya. Leher sang dara terbabat dan mengalami robek besar seperti terbabat senjata tajam. Sabarantu tertawa, lawan tidak sempat menjerit. Tubuhnya limbung. Kemudian terjatuh dan tewas menggenaskan. 

Saga Merah sesungguhnya sempat memberi peringatan, dia sendiri mencoba membantu gadis itu, sayang tindakan yang dilakukannya kalah cepat dibanding serangan lawan terhadap Tupu Lanjar mengingat jarak di antara mereka cukup dekat. Kini setelah Tupu Lanjar tidak berkutik, Saga Merah segera menggempur Sabarantu. 

Mula-mula memang memandang rendah serangan itu, tetapi ketika Saga mengerahkan jurus Naga Berkejaran yang kemudian dipadukan dengan jurus Sang Budha. Sabarantu mulai terdesak. Sehebat apapun dia mancoba mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Tetap saja dirinya terdesak dan terkena jotosan dan tendangan yang dilakukan lawannya. 

"Kutu kampret! Serangan pemuda ini ternyata sukar ditebak, aku yang biasanya gampang mencari kelemahan jurus lawan-lawanku sekarang tidak melihat celah yang memungkinkan untuk melukainya." 

Sabarantu tiba-tiba melompat ke belakang. Kaki kanannya diangkat ke atas dengan bertumpu pada kaki kiri, tangannya bergerak sedemikian rupa, menghantam ke segenap penjuru disertai berhembusnya angin berhawa dingin luar biasa. Ketika Sang Penyesat Dari Selatan ini merangsak ke depan menyerang tubuh bagian bawah Saga Merah, pemuda ini nyaris kehilangan kakinya. Cakar kaki dan cakar tangan Sabarantu ternyata menjadi senjata yang sangat berbahaya. 

Hampir saja Saga mendapat celaka saat kaki Itu melesat meluncur dan menghantam ke arah perutnya. Pemuda ini leletkan lidah, dia sudah memahami bahwa lawan kebal terhadap pukulan, dia Juga tidak mempan oleh tusukan pedang, Saga Merah berpikir ingin menggunakan pedang untuk mengakhiri hidup Sabarantu. Tapi dia harus menjajal kakek Ini. dengan serangan yang mengandalkan pukulan mautnya. 

Tidak mengherankan setelah bergerak ke samping dan merubah serangan dengan menggunakan jurus-jurus warisan Dewa Tujuh Bumi, kaki pemuda itu bergerak sedemikian rupa. Gerakannya sangat cepat, sulit diduga di samping itu cukup mematikan. Seperti diketahui jurus-jurus maut warisan Dewa Tujuh Bumi kebanyakan berpusat di kaki, sedangkan tangan mempunyai peranan untuk menunjang serangan kakinya. 

Kehebatan dari jurus ini, kemanapun Saga bergerak hentakkan kakinya membuat tanah di sekitarnya terguncang. Guncangan itu yang mengacaukan bagian dalam tubuh lawannya. Akibatnya bisa mual dan pusing. Kiranya Ini yang sedang dialami Sabarantu. Dia memiliki kekebalan tubuh di bagian luar, tapi bagian dalam tetap merupakan bagian yang lunak dan lemah. Melihat lawan menyerangnya dengan cara seperti itu hentakan-hentakan kaki Saga membuat perutnya mual dan kepalanya pening. 

Sabarantu tidak ingin kehilangan keseimbangan. Dia pun melesat ke atas ketinggian, dari udara dia menghantam Saga Merah dengan pukulan jarak jauh. Sinar merah dan hitam menghujani pemuda ini. Beruntunglah Saga memiliki jurus ampuh bernama Tanpa Arah-Tanpa Bentuk-Tanpa Bayangan. Ledakan berdentum terjadi dimana-mana, lubang menganga disertai kobaran api berserakan. Asap hitam mengepul membubung tinggi ke udara. 

Sabarantu tertawa mengekeh menyangka lawannya tewas akibat pukulannya. Dugaannya ini ternyata keliru. Pada saat itu sang pendekar yang sempat terkena salah satu pukulan dalam keadaan terhuyung akibat bahunya sakit luar biasa segera membalas serangan Itu dengan pukulan Halilintar. Kilatan cahaya seperti petir menyambar menghantam ke atas secara bertubi-tubi. Sabarantu kalang kabut dan melengak kaget. 

Dia berjumpalitan menghindari serangan yang datang dari bawah. Sementara tanpa pernah dia duga, Saga ternyata melakukan lompatan, tubuh pemuda itu melesat ke arah lawan. Mahluk berujud aneh ini menyeringai, kakinya dihentakkan ke arah kepala pemuda itu. Saga Merah yang telah memperhitungkan setiap kemungkinan segera mengelak. Kepalanya yang menjadi sasaran serangan disentakkan ke belakang, begitu lolos tangan kirinya menyambar kaki lawan yang meluncur di samping wajahnya. 

Tep! Dengan tepat kaki itu kena di cengkeram dengan erat. Sabarantu menjadi gugup, namun dia menghantamkan kakinya yang lain ke arah bahu Saga Merah. Sebelum kaki yang bebas bergerak itu menghantam robek bahunya dan membuat tanggal lengannya. Sekuat tenaga Saga memutar kaki dalam cengkeramannya. Sabarantu terkejut melihat kecerdikan lawannya. Dia mencoba membebaskan diri namun tubuhnya kini justru ikut berputar seiring dengan gerakan kaki yang diputar oleh lawannya. 

"Keparat terkutuk! Aku akan menjebol dadamu dengan kedua tanganku ini!" 

Teriak orang tua itu. Saga tidak menanggapi. Sebaliknya siku kirinya ditekuk, lalu bergerak ke arah kaki dalam cengkeramannya. 

Buuk! Kraak! 

"Wuarkh...." 

Sabarantu untuk pertama kalinya menjerit keras. Saga melepaskan cengkeramannya sehingga Sabarantu jatuh terpental seperti dilemparkan. Ketika orang ini terjatuh, dia sulit berdiri tegak karena kaki kirinya ternyata patah di bagian betis akibat hantaman keras lawannya. Sabarantu terpincang-pincang, wajahnya pucat. Beruntung wajah itu terlindung bulu-bulu halus. Saga menjejakkan kaki tak Jauh di depannya. 

"Ternyata tubuhmu cuma atos. Keras tapi bukan berarti tidak bisa dipatahkan! Kalau begitu aku akan mematahkan bagian tubuhmu yang lain....!"

"Pemuda kurang ajar! Kau telah mematahkan kakiku, kau harus mendapat ganjaran yang setimpal dariku!" 

Sambil berkata demikian dengan tubuh miring Sabarantu menyatukan kedua tangannya di depan wajahnya. Mulut orang tua ini berkemak-kemik. Dan tubuh itu seolah memudar. Sebelum Sabarantu berubah menjadi sosok mahluk yang lain. Sayup sayup terdengar suara suitan disusul dengan suara orang berkata ditujukan pada Sabarantu. 

"Jangan membuang waktu. Datanglah kemari, tinggalkan lawanmu kita sudah hampir mencapai tujuan!" 

Sabarantu tersentak. Saga melihat gelagat Sabarantu siap meninggalkannya setelah mendengar suara teriakan itu. Sang pendekar tidak membiarkannya. Dia langsung menghantam lawannya dengan pukulan Neraka Perut Bumi Warisan Sabai Baba. Sinar biru berkiblat, udara di sekitarnya sontak berubah panas seperti di tengah gejolak api. Pukulan kemudian menghantam ke arah sasaran. Tempat di sekeliling Sabarantu berdiri hangus porak poranda. 

Namun lawan ternyata lolos dan melarikan diri. Melihat ini Saga jadi tidak ingat dengan Tupu Lanjar yang tewas, dia juga tidak menghiraukan Puteri Padara yang sudah terjaga dan menyaksikan perkelahian sengit tadi. Saga berlari mengejar ke arah lenyapnya Sabarantu. Sang puteri yang tidak mengetahui seluruh kejadian yang berlangsung sadar seseorang telah memunahkan totokan di tubuhnya. Tidak ada lagi tempat bertanya terlebih-lebih dia mengetahui Sandi Laya juga tewas. Gadis Ini bangkit dan segera mengejar ke arah perginya pemuda berambut gondrong itu. 

S E L E S A I
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar