1
Tugas ke Pulau Kramat membuat
Raden Klowor sedikit bingung. Ia sudah sampai ke tebing karang. Konon,
seseorang yang berdiri di tebing karang bisa melihat Pulau Kramat di depannya.
Ternyata, Klowor tidak melihat gundukan tanah segenggam pun di perairan
samudera biru itu.
"Brengsek! Mana Pulau
Kramat itu?!" gerutunya sambil tolak pinggang dan clingak-clinguk.
Pemuda berpakaian serba biru
itu masih menyelipkan sebuah senjata di pinggangnya. Cambuk Naga. Ia berjalan
menyusuri tepian tebing karang, memandang dengan sesekali menyipit, mencari
letak Pulau Kramat. Ini adalah tugas. Tugas Raden Klowor untuk membantu seorang
perempuan penguasa Pulau Kramat itu. Nyai Katri. Tugas yang datangnya lewat
mimpi itu, membuat Raden Klowor selalu bertanya-tanya di dalam hati, mengapa ia
harus membantu perempuan yang bernama Nyai Katri? Siapa dia sebenarnya, Klowor
belum pernah mengenalnya.
Pada saat itu, Klowor
bermaksud meninggalkan tebing karang. Ia menduga salah tujuan. Mungkin bukan
tebing karang yang itu yang harus dikunjunginya untuk melihat letak Pulau
Kramat. Namun tiba-tiba mata Raden Klowor terbelalak kaget. Dari kedalaman air
laut yang bergelombang itu, melesatlah sesosok tubuh ke udara, bagai anak panah
yang dilepas dari dasar laut. Semburan air berbarengan dengan melesatnya
sesosok tubuh yang sekelebat mirip lompatan ikan lumba-lumba itu.
Tubuh berambut basah kuyup
dengan pakaian ketat yang juga basah kuyup itu berdiri dengan seenaknya di atas
gulungan ombak. Wow...! Ini suatu kehebatan yang dipamerkan, pikir Klowor.
Ombak yang tahu-tahu datang menggulung besar itu sepertinya sebuah kendaraan
bagi orang yang baru saja muncul dari kedalaman laut.
Makin lama semakin jelas
bentuk dan ujudnya. Raden Klowor masih terbengong dan segera tergerak hatinya.
Ia menggumam sendirian:
"Wah, dia seorang
perempuan...?! Woow...! Punya wajah cantik, lagi! Hebat. Tapi, apa maunya dia
mendekat ke mari, ya? Mau melamar ku? Ih... mengagumkan juga ilmu perempuan
itu. Hemmm... masih muda, lagi. Wah, punya pedang di punggungnya?! Nah, nah...
dia sekarang bertolak pinggang menatap ku. Wah, janganjangan..."
Gumam dan ocehan Raden Klowor
berhenti mendadak, karena ia melihat ada sinar merah dari pantai lain yang
melesat dan menuju ke arah perempuan berambut panjang itu.
Sambil menatap luncuran sinar
merah sepanjang separoh tombak itu, perempuan cantik tersebut masih berdiri di
atas gulungan ombak yang membawanya menepi. Tiba-tiba saja tangan kanannya yang
bertolak pinggang bergerak cepat ke arah sinar merah tersebut. Telapak
tangannya terbuka dan dihentakkan, sehingga mengeluarkan kepulan asap biru
bersama kilatan cahaya biru berbintik-bintik.
"Blaaar...!"
Timbul ledakan yang membahana.
Raden Klowor terpental karena tebing karang itu berguncang. Ada semacam
hempasan angin besar dan berat yang menghantam sekeliling alam di situ, dan
membuat Klowor sepertinya ada yang menendang dari depan. Sedangkan, laut
menjadi bergejolak besar. Ombaknya seakan mental ke atas bersama amukan air
laut yang bergemuruh mengerikan. Perempuan yang tadi berdiri di atas gulungan ombak
itu juga terpental ke belakang. Namun, dengan cekatan ia bersalto, sehingga
keseimbangan tubuhnya segera dapat dikuasai. Ia menapakkan kakinya kembali di
atas gulungan ombak yang lain.
Bumi yang bergerak bagai
dilanda gempa itu kembali reda. Perempuan itu sudah semakin mendekati pantai,
di bawah Raden Klowor. Dan, tiba-tiba perempuan itu bergerak cepat dalam satu
lompatan, lalu tubuhnya bersalto beberapa kali, membuat Raden Klowor segera
memasang kuda-kuda, takut mendapat serangan mendadak. Perempuan itu menjejakkan
kakinya ke tebing karang, lalu berdiri tegap memandang Raden Klowor dalam jarak
sepuluh meter.
Perempuan itu diam, memandang
dengan matanya yang berukuran sedang, tapi punya ketajaman memandang. Pada
tepian kelopak matanya ada warna kehitamhitaman secara samar-samar, mungkin
karena pantulan dari kebeningan matanya yang hitam tanpa kesurupan sedikit pun,
bak buah duwet.
"Siapa kau?!" Raden
Klowor sedikit mengendurkan kuda-kudanya. Matanya agak menyipit memperhatikan
perempuan berpakaian kuning gading yang ketat dengan tubuhnya, sehingga
lekuk-lekuk tubuh itu terlihat jelas. Karena perempuan cantik itu diam saja,
Klowor juga diam. Matanya masih terus menyelidik keadaan gadis itu.
Klowor kagum dengan kemungilan
bibirnya yang selaras dengan kemancungan hidung yang tidak terlalu panjang itu.
Rambutnya yang panjang sebatas punggung, meriap basah, menutup sebagian
pelipisnya. Ada ikat kepala berwarna hijau, berbentuk seperti tali sutra. Tapi,
ikat kepala itu tidak begitu jelas terlihat karena kebasahan rambutnya. Dan,
pedang bergagang gading dalam ukiran kepala burung garuda itu, bertengger
mantap di punggungnya, terlihat jelas bagian gagangnya itu.
Perempuan itu memandang ke
arah cakrawala sebentar, kemudian mendekati Raden Klowor beberapa langkah.
Perempuan itu masih menyelidiki Raden Klowor dengan tatapan matanya yang tajam.
"Kau ke mari mau
bermusuhan denganku apa mau bersahabat?" tanya Raden Klowor, tapi
pertanyaannya kali ini juga belum mendapat jawaban dari perempuan tersebut.
"Kau bisu atau
tuli?!" tanya Klowor lagi seenaknya. Perempuan itu masih memandang dengan
kesan penuh curiga. Klowor jadi serba salah. Nyengir salah, bicara salah,
memandang salah, ahh.. jadi kikuk dan resah dia.
Tiba-tiba, dari arah pantai
bawah melesat sinar merah seperti tadi. Sinar itu jelas sekali ditujukan kepada
perempuan cantik. Arahnya dari belakang perempuan itu. Tetapi, melihat gerakan
mata Klowor yang membelalak, agaknya perempuan itu tahu gelagat adanya bahaya.
Ia segera melompat ke samping, dan sinar itu melesat lurus melalui tempatnya
berdiri tadi. Sinar itu kini menuju ke arah wajah Raden Klowor.
"Lho, kok ke
mari...?!" Klowor kebingungan sejenak, kemudian ia melengkungkan badan ke
belakang dalam posisi kayang. "Wesss...!"
Sinar itu pun melesat tidak
mengenai wajah Raden Klowor, melainkan melesat lewat atas perut Raden Klowor
yang melengkung ke belakang dengan kedua tangan sebagai tumpuan badannya. Sinar
itu melesat terus dan menghantam deburan ombak yang menggulung.
"Braaas...!" Ledakan terjadi bagai diredam dengan segulung air yang
padat.
Klowor baru saja berdiri lagi
dengan tegak, tahu-tahu perempuan itu sudah mencabut pedang, dan mengibaskannya
ke samping. Dua senjata rahasia berbentuk bintang sedang ditangkisnya
menggunakan pedangnya. "Triing... triing...!"
"Konyol...!" Klowor
berteriak mencaci maki sambil berkelit ke samping, sebab kibasan pedang
menghalau senjata tajam itu membuat senjata rahasia itu melesat ke arah Klowor.
Karena malas mati muda, Klowor berkelit ke samping menghindari senjata rahasia
tersebut. Sedangkan, satu lagi dari senjata rahasia itu melesat ke arah lain.
"Hei, hati-hati kalau
menangkis serangan! Jangan diarahkan ke mari, Tolol!" teriak Klowor dengan
dongkol.
Tetapi, perempuan itu tidak
menjawab sedikit pun, karena ia segera memainkan pedangnya, mengibas ke kanan
kiri dan melompat dengan lincah, sebab beberapa saat kemudian datang lagi
serangan senjata rahasia berbentuk bintang. Kali ini, bukan hanya dua senjata
rahasia yang menyerangnya, melainkan lebih dari sepuluh senjata rahasia yang
melesat berturut-turut. Arahnya dari balik semak pantai di bagian bawah tebing
karang itu.
"Perempuan itu pasti
punya musuh yang penasaran...." gumam Raden Klowor sendirian. "Musuh
gelapnya itu, pasti bukan orang berilmu cetek. Jurus pukulan atau tendangan
yang memancarkan sinar merah tadi punya kekuatan yang cukup hebat. Dan, gerakan
senjata rahasia yang dilemparkan itu ternyata bagai diatur larinya oleh suatu
kekuatan dari arah di mana senjata itu melesat. Hemm... ada persoalan apa
perempuan itu dengan orang yang berada di balik semak pantai itu?"
Klowor diam saja. Ia bahkan
sedikit menyisih, berlindung di balik gundukan batu karang sebesar gentong.
Namun, matanya masih memperhatikan gerakan perempuan cantik yang melintir,
meliuk-liuk, menghindari dan menangkis senjata rahasia lawannya. Senjata yang
sudah terlanjur melesat dan lolos dari sasaran, bisa kembali lagi dalam gerakan
berputar dan menjurus kepada perempuan cantik. Kurang lebih sepuluh senjata
berbintang sedang mengurung dan menyerang perempuan itu, sekalipun sudah
berulangkali ditangkis dan dihindari. Sungguh suatu ilmu pengendalian jarak
jauh yang belum pernah dilihat Raden Klowor selama ini. Sehingga, tidak heran
kalau Raden Klowor jadi terbengong kagum memperhatikan permainan jurus milik
penyerang gelap itu.
"Aaah...!" Perempuan
itu memekik karena ketika ia bersalto menghindari salah satu senjata rahasia
yang beterbangan itu, betis kakinya tergores salah satu dari senjata rahasia
yang lain. Hanya tergores. Untung tidak menancap. Tapi, ia masih gesit
menangkis dan menghindari senjata-senjata tersebut dengan menggunakan
pedangnya.
"Triiing... triing...
triing...!"
Perempuan itu bagaikan
bertarung sendirian tanpa lawan. Lucu juga kelihatannya. Ia melompat dan bersalto
beberapa kali hanya untuk menghindari keroyokan senjata rahasia yang
melayang-layang bagai lebah hutan yang ingin menyengat lawannya. Lama-lama, perempuan
itu kebingungan. Nyaris dihunjam senjata itu beberapa kali. Nafasnya kelihatan
ngos-ngosan, dan tubuhnya mulai melemah. Kadang ia limbung dalam melangkah,
kadang ia sempoyongan dalam berdiri. Karena, sudah cukup lama ia bertarung
sendirian melawan keroyokan senjata rahasia yang beterbangan seperti lalat
melihat borok.
"Kasihan dia...!"
gumam Klowor. "Sebetulnya bisa saja dia kubantu mengatasi keroyokan
senjata rahasia itu, tetapi, aku belum tahu siapa dia? Orang baik-baik, atau
orang jahat? Nanti, sudah kutolong, sudah kuselamatkan, eh... tidak tahunya dia
orang jahat. Kalau ku diamkan, sampai ia akhirnya mati terkena senjata rahasia
tersebut, eh... tidak tahunya ia tokoh persilatan yang baik budi. Wah,
susah...! Serba bingung aku jadinya "
Klowor masih berada di balik
batu besar, sekalipun sebenarnya batu itu tidak cukup baginya untuk bersembunyi.
Sesekali Klowor berdecak kagum melihat ilmu yang dapat dipakai untuk mengendalikan
beberapa senjata rahasia itu! Gerakan-gerakan senjata bintang itu memang cukup
cepat dan meliuk-liuk, membalik arah dengan gesit dan lincah. Perempuan cantik
itu, sekalipun masih mampu menghindar dan menangkis dengan pedangnya, tetapi
lama-lama ia sepertinya kehabisan tenaga. Kasihan sekali.
"Bagaimana, ya? Kutolong
atau kubiarkan saja?" Klowor masih dalam kebimbangan. "Ah, tapi ini
suatu
pertarungan yang tidak jantan.
Lawan perempuan itu tidak berani menampakkan diri. Jelas ini semacam serangan
membokong. Jadi, ada baiknya kalau kutolong perempuan itu, terlepas apakah ia
orang jahat atau orang baik-baik. Pertarungan itu sudah tidak sehat. Licik."
Ada formasi yang mengagumkan,
yaitu keempat senjata rahasia bisa berjajar rapat dan bergerak cepat bagai
kibasan pedang yang ingin menebas leher perempuan cantik. Untung saja perempuan
itu segera merunduk seraya mengibaskan pedangnya ke samping bawah, karena ada
dua senjata rahasia tertuju ke arahnya.
"Taar...!" Klowor
melecutkan senjata Cambuk Naga. Lalu, terdengar suara: "Trak, trak !" Dua senjata raha-
sia bintang itu hancur disabet
oleh cambuk Klowor. "Tar... tarr...!" Dua kali cambuk Naga mengibas, dan
bunyi: "Trak, trak, trak,
trak...!" Terdengar beberapa kali. Lalu, sekali lagi cambuk itu mengibas,
dan mengenai beberapa senjata bintang yang menjadi patah, hancur beberapa
keping berserakan.
Sesaat kemudian, sepi.
Perempuan cantik itu ngosngosan. Tangannya masih memegangi pedang dengan sigap,
seakan siap menebas lagi jika ada senjata yang mendekat. Raden Klowor sudah
menyiapkan cambuknya kembali. Ia duduk di atas batu karang yang datar,
memperhatikan kelelahan perempuan cantik yang masih belum mau mendekatinya.
Sebenarnya hari masih siang.
Tapi, karena mendung, maka hari kelihatannya redup. Teduh. Angin laut berhembus
menggerakkan rambut dan pakaian Klowor. Sedangkan rambut basah perempuan cantik
itu pun dihempas angin, namun tidak begitu meriap, karena masih basah.
"Hei, musuhmu sudah
pergi!" cetus Klowor sambil tetap duduk di tempatnya. Santai.
Perempuan cantik masih
memandang sekeliling, terutama ke arah semak di tepi pantai bawah. Pedang
berkilauan masih digenggam erat di tangan kanannya. Wajahnya yang cantik masih
diselingi kemarahan yang terpendam. Nafasnya pun masih terengah-engah dengan
keringat yang bercampur basahan air laut di rambut dan tubuhnya. Ia mengenakan
pinjung, penutup dada berwarna kuning gading yang dari tadi belum pernah
melorot sekalipun, padahal gerakannya cukup kepayahan dan bisa-bisa membuat
kain pinjungnya melorot. Tapi, Klowor segera tahu, bahwa kain penutup dada itu
tidak bakal melorot, karena kemontokan buah dadanya yang sungguh menggiurkan
hati lelaki mana pun. Montok, tapi indah. Tidak berlebihan.
"Hei, sudahlah...
istirahat dulu. Lawanmu sudah pergi. Kenapa masih kau cari-cari terus?!"
kata Klowor kepada perempuan itu. Tetapi, perempuan cantik masih tidak mau
perduli dengan ucapan Klowor. Ia masih menatap dengan penuh selidik dan
kewaspadaan yang tinggi. Tiba-tiba, tangan kirinya yang tidak memegang pedang
itu bergerak menghentak ke depan dengan telapak tangan terbuka dan jempol
terlipat. Lalu, keluarlah asap biru dengan percikan api birunya yang melesat ke
arah semak belukar di sisi lain, sisi yang tak pernah dicurigai.
"Duaar...!"
"Aaaah...!"
Tiba-tiba ada seseorang berteriak dan terlempar dari balik semak, darah
memercik menjijikkan, potongan tangan dan kaki berserakan terlempar ke
sembarang tempat. Hal itu membuat Klowor heran, bahwa ternyata masih ada musuh
yang bersembunyi di balik semak.
Klowor menjadi malu pada diri
sendiri. Ia cukup tolol. Ia mengira keadaan sudah menjadi aman, ternyata masih
ada musuh yang mengintai menunggu kelengahan perempuan cantik. Maka, saat itu
Klowor pun menjadi tegang, seakan bersiap siaga menunggu serangan selanjutnya.
Matanya yang sedikit lebar itu memandang dengan nanar ke sekeliling. Ia hendak
turun dari tebing karang yang menyerupai bukit kecil itu, tetapi raguragu,
takut di bawah sudah dihadang jebakan dan serangan dari tempat tersembunyi.
Sikap Klowor yang tegang dan
bersiap siaga itu kini sedang ditertawakan dalam hati oleh perempuan cantik.
Ada senyum tipis yang mekar berbau sinis di bibir yang mungil manis. Perempuan
cantik ganti duduk di batuan yang datar, tak jauh dari tempat duduk Klowor
semula. Klowor segera mendekati perempuan cantik itu, kemudian berkata....
"Kau "
"Istirahatlah. Lawan
sudah pergi," sahut perempuan cantik yang sudah menyarungkan pedangnya.
Klowor jadi tambah malu, karena kata-kata yang tadi diucapkan kembali oleh
perempuan cantik. Mata Klowor segera memandang ke arah semak di sepanjang
pantai. Ia seakan masih curiga, namun sebetulnya menutupi rasa malunya.
"Kau yakin mereka sudah
pergi?" tanya Klowor tanpa memandang perempuan itu.
"Kau sangsi dengan
penjelasanku?"
Klowor tak bisa menjawab.
Bingung dan malu membuat ia jadi seperti orang linglung. Karena Klowor diam,
maka perempuan cantik itu berkata lagi sambil menggerai-geraikan rambutnya yang
masih basah.
"Aku tahu, kapan aku
harus bersiaga menerima serangan, dan kapan aku harus istirahat dengan tenang.
Aku juga bisa tahu, di mana lawanku bersembunyi dan ke mana mereka akan
lari."
"Mereka? Apakah musuhmu
itu lebih dari satu orang?" Klowor bertanya begitu sambil menggunakan
untuk duduk di batu depan perempuan cantik. Perempuan itu masih menanggapi
Klowor dengan sikap angkuh, seakan tidak perduli Klowor duduk di depannya,
tidak perduli Klowor bertanya tentang jumlah musuhnya. Ia mengikat rambutnya
dengan tali sutra warna merah yang semula dijadikan ikat kepala. Kini rambut
itu dikucir dan dibiarkan menjulur ke belakang.
"Aku tadi telah
menolongmu, ketika kamu diserang oleh senjata-senjata rahasia yang dikendalikan
dari jarak jauh," kata Klowor yang merasa heran, mengapa perempuan itu
tidak mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Aku tidak pernah
menyuruhmu menolongku," kata perempuan cantik. Klowor jadi malu sendiri.
Ia mengalihkan pandangan mata, seperti perempuan itu juga tidak mau memandang
Klowor dengan serius.
"Aku heran, mengapa
perempuan secantik kamu punya musuh selicik itu. Kau benar-benar ingin dibunuhnya."
"Aku tidak pernah
heran," jawab perempuan itu. Klowor diam. Memandang ke laut yang ombaknya
sudah tidak seganas tadi. Dalam hati ia bertanya-tanya: di mana Pulau Kramat
itu? Mungkinkah perempuan cantik itu tahu letaknya Pulau Kramat? Ah, siapa sebenarnya
perempuan cantik itu sih? Demit? Kuntilanak? Atau manusia biasa?
"Mengapa ada orang yang
ingin membunuhmu?" tanya Klowor.
"Karena orang itu tidak
menyukai kalau aku hidup," jawabnya. Perempuan itu juga memandang ke arah
laut. Jauh ke cakrawala. Berbeda dengan cara memandang Klowor yang sedikit liar
karena mencari sesuatu.
"Tapi, aku senang dan
kagum melihat permainan pedangmu, tadi. Kau jagoan, ya?"
Perempuan itu tidak menjawab,
tidak berpaling sedikit pun. Klowor jadi salah tingkah.
"Namaku Raden Klowor.
Namamu siapa?"
Klowor yang ada di belakang
perempuan itu menunggu jawaban beberapa saat lamanya, eh... tidak ada jawaban
juga. Klowor sedikit dongkol dan mengumpat dalam hati. Mulutnya terbungkam, tak
tahu harus bicara apa lagi. Kalau ia bertanya tentang Pulau Kramat, rasa-rasanya
percuma saja. Pasti tidak akan mendapat jawaban. Perempuan cantik itu punya
nilai kesombongan tersendiri. Angkuh dan agaknya tidak suka banyak omong.
Sebenarnya ada baiknya kalau perempuan itu ditinggal saja. Tetapi, Klowor
merasa sayang. Ia mendapat kesempatan bertemu dan berkenalan dengan perempuan
secantik itu, masakan harus disia-siakan begitu saja? Uuh... sayang!
Perempuan itu berpaling
memandang Klowor yang terbengong. Klowor yang merasa dipandang jadi kikuk.
Kemudian, perempuan itu bertanya dengan suara lepas tanpa bisik dan tanpa
ragu-ragu.
"Kamu pernah mendengar
nama Kartika Rahmi?" "Kartika Rahmi...?!" Klowor berkerut dahi,
berpikir beberapa saat, bahkan ada usaha untuk mengetahuinya. Tapi, ia
menggeleng juga akhirnya. "Aku baru mendengar nama itu sekarang ini.
Kenapa? Kau mencari dia?"
"Tidak," jawab
perempuan itu, kembali tidak memandang Klowor, melainkan memandang cakrawala.
"Lalu, kenapa kau
bertanya tentang Kartika Rahmi?
Ada apa? Siapa dia
sebenarnya?"
"Dia..." Perempuan
itu terhenti sebentar. Ragu-ragu. "Katakan saja, siapa Kartika Rahmi itu,
dan di mana
ia tinggal. Kalau kau
memerlukan dia, aku sanggup mencarikannya."
"Kau sanggup mencari
Kartika Rahmi?" Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis. Tipis sekali.
"Aku sanggup. Bagaimana ciri-cirinya?"
"Tak perlu," jawab
perempuan cantik itu. Kemudian ia duduk di batu yang semula dipakai duduk
Klowor.
"Kau sudah tahu
ciri-cirinya, kan?"
"O, belum. Aku belum tahu
ciri-cirinya Kartika Rahmi. Kan sudah kubilang, mendengar namanya saja baru sekarang."
"Tolol sekali kau."
"Kok tolol?"
"Kartika Rahmi itu aku
sendiri."
"Hahh...?!" Klowor
sempat terperanjat. "Kau sendiri?
Kenapa tadi bertanya
padaku?"
"Aku cuma ingin tahu,
apakah kau mengenalku atau tidak."
"Ooo...? Lalu...?"
"Aku cuma memperkenalkan
diri."
"Ooo..." Klowor
menyeringai malu, geli sendiri. "Namamu Kartika Rahmi? Hemm... ya, ya, ya.
Lantas, kenapa kau berada di sini?"
"Aku mencari seseorang.
Tapi, belum ketemu." "Siapa itu yang kau cari? Bukan aku, kan?"
Senyum tipis menyepelekan
tersungging di bibir Kartika. Lalu, katanya, "Aku mencari seorang
perempuan, bukan lelaki jelek seperti kamu! Aku mencari Nyai Katri, penguasa
Pulau Kramat...!" Klowor terperanjat lagi. Bengong.
*
* *
2
Derap kaki kuda bagai gemuruh
amukan ombak badai. Raden Klowor lebih terperanjat lagi melihat sepasukan
berkuda sedang melaju menghampiri tempatnya.
"Siapa mereka itu?!"
gumam Raden Klowor. "Naganaganya bukan bermaksud baik. Wah, jangan-jangan
salah paham?!"
"Kita harus segera lari,
Klowor," kata Kartika sambil bergegas menuruni bukit karang itu.
"He, kenapa harus lari?
Kita tidak punya urusan apa-apa dengan mereka! Jangan takut!"
"Mereka kaum pemakan
daging manusia!" teriak Kartika.
"Hah...?!" Mata
Klowor mendelik. Rombongan berkuda semakin dekat lagi. Teriakan dan pekik
terdengar bersahutan. Senjata-senjata diacungkan, kuda pun semakin mempercepat
larinya bagai hendak menembus setiap perintang.
Mau tidak mau Klowor pun lari
mengikuti Kartika. Ia paling segan dimakan hidup-hidup oleh makhluk apa pun.
Kartika menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup sempurna. Klowor kebingungan
mengikutinya. Kartika melompat bagai anak kijang birahi. Beberapa dahan pohon
dilaluinya, dan hal itu membuat Klowor semakin kagum terhadap ketinggian ilmu
Kartika. Ia pun ikut-ikutan lari melalui jalan udara, dari dahan ke dahan
sekalipun demikian, ia masih saja tertinggal beberapa langkah dari Kartika.
"Kartika...! Kurasa
mereka sudah jauh tertinggal di belakang kita! Berhentilah dulu!"
Kartika tidak perduli.
Gerakannya semakin lincah, semakin ringan saja kelihatannya. Raden Klowor tak
mau ketinggalan jauh-jauh dengan Kartika. Mereka bergerak semakin menjauhi
pantai. Dan suara derap kaki kuda itu sudah tidak terdengar lagi.
Namun, beberapa saat kemudian,
ketika hari semakin redup, Kartika berhenti dari pelariannya. Nafasnya
terengah-engah. Matanya memandang sebuah bukit yang ada di depannya. Klowor
menyusul kemudian. Ia berhenti dengan nafas terengah-engah sambil ikut memandang
bukit di depannya.
"Di sana ada goa,"
tutur Kartika. "Dari mana kau tahu?"
"Mataku sempat melihat
satu lobang yang tertutup dedaunan dan batang pohon."
"Apakah kita akan ke
sana?"
"Entah. Kalau aku memang
mau ke sana," jawab Kartika dengan nada ketusnya.
Klowor melirik sedikit
dongkol. Ia membiarkan Kartika mulai bergerak mendaki bukit. Tetapi, alangkah
kagetnya Klowor ketika melihat Kartika terpental mendadak dan jatuh
berguling-guling ke tepat semula.
"Kartika...?! Ada
apa!" Klowor kebingungan.
Mata segera dipasang untuk
menembus segala tempat. Wajah Klowor menjadi tegang, seakan ia sedang diincar
oleh maut di tempat yang tak diketahui.
Kartika bergegas bangun dengan
mengerang lirih. Ia memegangi kepalanya. Pusing. Walau ia berhasil berdiri, tapi
masih dalam keadaan limbung. Sempoyongan. Klowor menampakkan rasa cemasnya
dengan bertanya:
"Kenapa jadi begini,
Kartika? Kau menabrak apa, hah?!"
"Uuh...! Ada yang
memukulku dari jarak jauh, Klowor."
Klowor mau menyanggah, namun
ia buru-buru terperanjat melihat pundak kiri Kartika menjadi biru sampai di
bagian lengan. Sepertinya ada yang memukul pundak itu dengan palu godam yang
besar.
"Astagaa...?! Pundakmu
jadi biru begini, Tika?" Ketika itu Klowor ingin menyentuhnya untuk
menyatakan rasa cemasnya. Tetapi, tangannya segera ditampel oleh tangan kanan
Kartika. Klowor jadi tak enak hati.
"Ada seseorang yang
memukulku, Klowor." "Siapa? Aku tidak melihat siapa-siapa di
sini."
"Kau lihat saja ke arah
batu besar di balik pohon, di samping kanan kita."
Klowor memandang arah yang
dimaksud Kartika. Ia tidak melihat siapa-siapa di samping kanannya. Bahkan batu
besar yang dimaksud Kartika itu tidak ada. Klowor jadi bingung sendiri.
"Tidak ada batu besar,
Tika. Hemm... o, ya... ada batu besar, tapi di sana. Jauh sekali."
"Kau melihat bagian atas
batu itu?"
"Hemmm... o, ya! Ada
sesuatu yang bergerak. Tapi, mungkinkah itu manusia?"
Klowor hampir tak percaya
kalau batu besar yang terlihat jauh sekali itu adalah batu yang dimaksud Kartika.
Orang yang berdiri di atas batu besar itu hanya berupa seperti batang korek api
yang diberdirikan. Kecil sekali. Bahkan pakaiannya warna apa, tidak bisa diketahui.
Mungkin ada 5 km lebih jarak antara Klowor dengan orang di atas batu itu.
"Gila...! Kalau benar dia
yang kau maksudkan, alangkah hebatnya orang itu. Dalam jarak sebegini jauh dia
masih bisa memukulmu dan membuatmu tunggang-langgang begitu."
"Dia berilmu tinggi,
Klowor."
"Aku tak tahu, apakah dia
yang berilmu tinggi atau kau sendiri. Sebab, dalam jarak sebegini jauh, kau masih
bisa melihat di mana lawanmu berada."
Klowor geleng-geleng kepala.
Serba bingung. Serba heran, dan bahkan serba kagum jadinya. Kartika sudah
selesai menenangkan diri, kemudian ia berjalan menyamping. Klowor mengikutinya
dengan tatapan mata tertuju pada orang yang ada di atas batu di kejauhan itu.
Waktu mereka hendak mencapai
sebuah pohon besar, Kartika menarik tangan Klowor sampai mereka berdua
berjatuhan di rerumputan.
"Apa-apaan kau...?!"
Klowor membentak jengkel. Pipinya tergores kayu kering, untung tidak berdarah.
Tapi, beberapa saat kemudian, terdengar sebuah letupan kecil yang membuat
batang pohon di dekat mereka bergetar, dahannya ada yang patah seketika dan
menjatuhi pinggang Klowor.
"Aaauuw...!" teriak
Klowor kesakitan. Ia menggeliat sambil menyeringai. Pada saat itu, Kartika
berbisik dengan suara terlalu pelan:
"Bersyukurlah,
Klowor...!"
"Kepalamu botak!"
umpat Klowor. "Pinggang kejatuhan dahan sebesar paha kerbau kok harus
bersyukur."
Dengan tanpa senyum, Kartika
berkata, "Daripada kepalamu yang terkena pukulan jarak jauh itu, kan lebih
baik pinggangmu yang kejatuhan dahan."
"Uuuh...!" Klowor
menggeliat sambil menyeringai memegangi pinggang. Kalau saja ia tadi sendirian,
jelas ia akan mati dengan keadaan kepala terpisah dari leher karena terkena
pukulan jarak jauh itu. "Kau kenal siapa orang itu?" tanya Klowor.
Kartika yang duduk bersandar
pada batang pohon itu menjawab tanpa senyum keramahan sedikit pun:
"Ki Punggo, tokoh
persilatan dari Wetan." "Kau yakin kalau dia Ki Punggo?"
"Ilmu Sabrang Gendeng,
hanya dia yang punya." "Apa itu ilmu Sabrang Gendeng?"
"Pukulan jarak jauh yang
tidak punya batas. Meski dia ada di pucuk gunung di seberang sana... yang hampir
menembus langit itu, kalau dia bisa melihat kita, maka pukulan ilmu Sabrang
Gendeng tetap saja bisa dilancarkan dari sana, dan akan mematikan sasaran yang
dituju."
"Ck, ck, ck...!"
Klowor berdecak sambil geleng-geleng kepala, mengagumi keampuhan ilmu Sabrang
Gendeng. "Jadi, bagaimana caranya supaya tidak terkena pu-
kulan ilmu Sabrang Gendeng
itu?" "Jangan sampai terlihat olehnya."
Kepala Klowor manggut-manggut.
Ia ingin bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba tangannya ditarik lagi oleh Kartika
hingga ia jatuh terduduk. Sebelum Klowor marah, Kartika sudah lebih dulu
berkata:
"Dia masih mengincar
kita, Tolol! Berlindunglah!"
Tetapi, mendadak ada suara
yang berkata dari jarak cukup dekat:
"Aku tahu di mana kau
berlindung, Kartika!"
Klowor dan Kartika sama-sama
terperanjat, lalu memandang ke suatu arah, dan di sana ternyata telah berdiri
tokoh persilatan dari Wetan: Ki Punggo.
Kartika merasa percuma duduk
berlindung, toh Ki Punggo sudah berada dalam jarak sepuluh langkah dari mereka.
Maka, Kartika segera berdiri, dan bersiaga menghadapi serangan apa pun
sewaktu-waktu.
Sementara itu, Klowor mulai
menggeragap dan sedikit ciut nyalinya melihat sosok Ki Punggo yang berkumis
tebal, baju hitam dan celana hitam tanpa hiasan apa pun. Baju itu tidak
dikancingkan, menampakkan sebuah trisula yang terselip di pinggang dengan
bagian gagangnya tepat di depan perutnya. Sabuk merah terbuat dari bahan tebal
itu menampakkan keangkeran penampilan Ki Punggo. Rambutnya tidak begitu panjang,
tapi diikat dengan kain kuning model ikat kepala seorang warok. Matanya lebar,
galak. Jari-jari tangannya besar-besar. Ia mengenakan empat cincin batu bermata
hitam, merah dan putih. Besar juga cincin itu, sesuai dengan gelang akar bahar
yang melingkar di lengan kanannya seukuran jempol kakinya itu. Sungguh
merupakan penampilan sesosok tokoh yang menggetarkan musuh.
"Aku tidak punya urusan
denganmu, Ki Punggo," kata Kartika dengan pandangan mata seakan tidak
gentar sedikit pun.
"Siapa bilang, Jalang?!
Kau punya urusan dengan sekian banyak orang, terutama dari daerah Wetan!"
Klowor berkerut dahi dengan
mulut ternganga bengong. Ia tiba-tiba dituding oleh Ki Punggo yang bersuara
besar.
"Dan kau, Tikus sawah,
kuharap jangan turut campur urusan ini...! Kau tidak tahu siapa perempuan jalang
itu, bukan?!" Ki Punggo maju selangkah, Klowor justru mengeraskan
otot-otot tangannya.
"Kalau kau turut campur
urusan ini," kata Ki Punggo kepada Klowor, "Maka kau akan menyesal
melihat tubuhmu tinggal tulang belulang, tahu?!"
Klowor ingin bicara, tetapi
Kartika mendahului dengan mengatakan kepada Klowor.
"Minggirlah dulu, Klowor.
Biar kuberi pelajaran sedikit kepada orang sombong ini. Biar dia tahu kalau tubuhnya
yang besar seperti gajah bunting itu tidak punya isi apa-apa " Klowor
terpaksa menyisih, sekalipun ia heran kepada Kartika yang berani berkata
demikian, padahal tadi ia kelihatan takut kepada Ki Punggo dan mengakui kesaktiannya.
"Hiaaaat...!" Ki
Punggo menyerang Kartika dengan lompatan kaki kanan maju ke depan. Kartika segera
bersalto ke samping, sehingga kaki Ki Punggo menghentak pohon dan membuat pohon
besar itu bergerak meliuk seakan hendak rubuh seketika. Itu pertanda sebuah
tendangan yang cukup keras dan kuat. Andai Kartika terlambat menghindar, maka
tubuh langsing mulus itu akan jebol karena tendangan itu.
"Monyet wadon...!
Kuhancurkan kepalamu kali ini, hiaat...!"
Ki Punggo menghantamkan
pukulannya ke arah wajah Kartika dengan gerakan tubuh melayang, tetapi Kartika
dengan gesit menangkis pukulan itu, lalu kaki kanannya bergerak cepat ke depan
dan mengenai perut Ki Punggo. Sayang, Ki Punggo tidak merasakan tendangan
Kartika. Ia bahkan semakin mengganas dan bernafsu untuk memecahkan kepala
Kartika. Dengan gerakan tangan menghentak dari arah kanan kiri bersamaan,
Kartika nyaris digencet oleh kedua telapak tangan Ki Punggo.
"Praak...!"
Untung Kartika segera
merendahkan badan, sehingga Ki Punggo jadi seperti orang bertepuk tangan saja.
Pukulan berganda dilancarkan oleh Kartika secara bertubi-tubi ke perut Ki
Punggo.
"Haaaaaaiiit...!"
teriak Kartika dengan keras. Pukulan itu mengenai perut dan ulu hati Ki Punggo.
Tetapi, lelaki berwajah kasar dan menyeramkan itu tidak memekik sedikit pun.
Tak ada erang kesakitan, kecuali suara menggeram menahan napas. Kendati begitu,
Ki Punggo yang kokoh bagai batu pilar istana itu sempat mundur beberapa langkah
akibat hentakan pukulan Kartika.
Segera Kartika melompat dan
kedua kakinya bergerak cepat di udara, menendang wajah Ki Punggo bergantian.
"Mati kau. Gajah...
huaaat...!"
"Uuuh... Aaah...!"
Kali ini Ki Punggo merasa kesakitan karena mulutnya dihajar dua kali oleh
tendangan kaki Kartika. Tetapi ia hanya sempoyongan sebentar, untuk kemudian
mengibaskan tangannya yang kanan, dan dengan cepat ternyata ia sudah mencabut
senjata trisulanya. Wow...! Cukup panjang juga senjata trisula itu, tidak
seperti umumnya senjata trisula. Bagian tengahnya runcing dan panjangnya
seukuran hampir satu lengan sendiri.
"Monyet binal...!
Terimalah saat kematianmu di ujung pusakaku ini. Hiaaaaat...!" Ki Punggo
melompat dan bersalto sampai melewati kepala Kartika. Ia mendarat tepat di
belakang Kartika dengan menghadap ke arah lain. Dalam keadaan bertolak belakang
itu, Ki Punggo menggerakkan trisulanya ke belakang, sasarannya adalah punggung
lawan yang dipunggungi. Trisula yang menghentak dari samping pinggangnya ke
belakang itu hampir saja tidak disadari oleh Kartika. Tetapi, gerakan Kartika
yang memutar ke samping kanan itu ternyata justru membuat ujung trisula tidak
jadi menembus punggung atau pinggang belakangnya.
"Sreet...!" Kartika
mencabut pedangnya. Mendadak ia sempat terkejut karena tubuh Ki Punggo bergerak
memutar dengan kaki kanannya menendang setengah lingkaran, dan mengenai rusuk
kiri Kartika.
"Aaah...!" Kartika
memekik kesakitan dan ia pun terguling ke samping sambil meringis nyeri. Ia
menggeliat sesaat karena tulang rusuknya bagai patah. Pada saat itu, Klowor
sempat berteriak cemas:
"Awas...!" Ki Punggo
menusukkan trisulanya yang panjang dan tajam bagian ujungnya itu ke arah dada
Kartika. Sekelebat pedang bergerak melintasi dada, "Traang...!" Pedang
itu mampu menghalau arah ujung trisula yang hampir sampai menembus dada. Karena
kibasan pedang itu, maka trisula tersebut menancap di tanah dalam sekali. Tubuh
Ki Punggo yang terpaksa membungkuk itu segera dihajar oleh tangan kiri Kartika.
Tangan itu bergerak memukul ke samping beberapa kali, karena Kartika masih
dalam keadaan telentang sambil menahan sakit. Karena rusuknya sakit, maka gerakan
tangan kiri itu tidak begitu kuat. Ki Punggo tidak merasakan sakit, namun
justru siku kirinya menghentak ke dada Kartika dengan kuat.
"Huuugh...!" Kartika
mendelik bagai tak bisa bernapas. Mulutnya menyemburkan darah kental. Ki Punggo
berhasil mencabut trisulanya, dan segera menghunjamkan senjata itu ke perut
Kartika. Saat itu, ternyata Kartika masih bisa mengibaskan pedang dengan sisa
tenaganya. Trang...! Dan, kakinya bergerak ke atas seketika, sehingga mengenai
kepala Ki Punggo dengan keras.
"Aaah...!" Ki Punggo
memekik kesakitan, lalu terpental ke bagian atas Kartika.
Klowor ngeri, dan tak tega
kalau Kartika yang dalam keadaan lemah itu mati diinjak oleh Ki Punggo. Segera
Klowor menarik tangan Kartika, dan membuat Kartika berdiri. Ia berbisik dengan
terburu-buru, "Bertahanlah berdiri, hadapi dia lagi!" Kemudian,
secepatnya Klowor berada di tempat semula dalam keadaan berdiri seperti tadi.
Dengan begitu, Ki Punggo yang sempoyongan sambil merundukkan kepala itu tidak
melihat bahwa Kartika berdiri karena dibantu oleh Klowor.
"Kau belum apa-apanya,
Kartika...!" geram Ki Punggo. "Kau akan menyusul ayahmu yang punya
jabatan Bangsat Seribu itu, tahu?!" Kartika tidak bicara apa-apa, ia
merasakan sakit pada bagian dadanya. Ia berusaha berdiri tegak sekalipun sukar.
Ki Punggo merasa sedikit lega melihat keadaan Kartika pada saat itu.
"Hiaaaat...!" Ki
Punggo menyerang dengan berlari dan mengarahkan trisulanya yang tajam ke dada
Kartika. Mata Kartika yang sayu sempat melihat kilatan benda putih itu.
Kemudian nafasnya dihirup panjang-panjang, dan pedangnya digerakkan menebas ke
arah depan, dari samping kanan ke kiri. "Traang...!" Terhempas lagi
trisula itu, hanya sayangnya belum bisa lepas dari genggaman Ki Punggo. Kali
ini, justru kaki Ki Punggo yang berbahaya, dan menendang tepat mengenai perut
Kartika.
"Huughh...!" Kartika
mendelik lagi dengan badan sedikit membungkuk. Ia menyeringai menahan sakit.
Klowor semakin cemas dan gatal tangannya untuk segera turun tangan. Namun,
Klowor mencoba menahan diri untuk tidak ikut terlibat urusan mereka. Pada saat
itu, Ki Punggo segera menghantamkan tangan kirinya ke arah wajah Kartika,
sehingga Kartika terdongak sambil memekik kesakitan. Kemudian tubuh perempuan
itu melayang dan jatuh dengan lemas dan suara erang kesakitan yang mengharukan
hati Raden Klowor.
"Mampus kau, Perempuan
Binaaal... hiaaat...!" Ki Punggo melompat, senjatanya siap ditancapkan ke
punggung Kartika yang dalam keadaan kepayahan itu. Tetapi, di luar dugaan,
Kartika masih sempat mengibaskan pedangnya sambil membalikkan badan dan menendang
rusuk Ki Punggo bagian kiri.
"Traaang...!" Dan,
Ki Punggo pun memekik kesakitan:
"Aaaow... bangsat
kauuu...!" Ki Punggo sempoyongan seraya tangan kirinya memegangi bagian
yang sakit.
"Sikat terus... jangan
berhenti!" teriak Klowor kepada Kartika. Kartika bagai dibakar
semangatnya, ia pun segera menerjang Ki Punggo dengan lompatan bersalto. Pada
sat itu, kaki Ki Punggo sengaja dilempar batu kecil oleh Raden Klowor, dan
bertepatan dengan itu Kartika melancarkan tendangan ke arah bawah dalam keadaan
melayang. Tendangan itu sebenarnya bisa saja ditangkis oleh Ki Punggo, bahkan
bisa saja trisula Ki Punggo menghentak ke atas dan menancap di bagian perut
atau paha Kartika. Tetapi, karena konsentrasinya tertuju pada kaki yang sakit
akibat lemparan batu kecil, maka ia pun bagai orang lengah. Tengkuk kepalanya
terkena tendangan kaki Kartika sehingga Ki Punggo pun mendelik tak bisa
berteriak.
Klowor girang dan bertepuk
tangan. Tetapi, tiba-tiba ia terjungkal ke tanah karena kaki Ki Punggo sempat
berkelebat mengenai perutnya. Ki Punggo sempat menggeram:
"Kau mulai ikut campur,
Bangsat...!" "Uuuh...! Cuma sedikit saja marah...!"
"Ciaaaat...!"
Kartika menjerit kuat, sepertinya mengerahkan sisa tenaga yang paling
penghabisan. Ia melayang menuju sasaran. Ki Punggo berkelebat berbalik dengan
kibasan senjatanya. Namun, kaki Kartika tepat menendang pergelangan tangan
kanan Ki Punggo sehingga trisula itu tertahan gerakannya. Dan, pada saat itu, pedang
Kartika bergerak menebas dari atas ke bawah.
"Aaaahhhgg...!" Ki
Punggo mendelik. Dadanya terbelah oleh kibasan pedang Kartika. Ia berusaha
untuk bertahan sekalipun berdiri dengan oleng. Sementara itu, Kartika sendiri
bagai sudah tidak dapat menahan diri dari luka dalamnya.
"Kkkaau...
kkkau...!" Ki Punggo menuding Klowor yang sedang berusaha berdiri dari
kejatuhannya. "Kkkau. gara-gara kau... akuuu... akuuu " "Kok aku
yang disalahkan? Wee...?!" Klowor sengaja memancing kemarahan Ki Punggo.
Ki Punggo memang panas hati, dan tanpa menghiraukan lukanya yang parah ia
berusaha menyerang Raden Klowor. Tetapi, belum sampai dua langkah ia maju,
Kartika telah menyekat kaki Ki Punggo, lalu ia melemparkan pedangnya ke tanah
dalam keadaan bagian tajamnya menghadap ke depan. Maka, tak ayal lagi tubuh Ki
Punggo jatuh tersungkur, tengkurap, dan disambut oleh bagian pedang yang tajam.
"Craas...!" Tepat mengenai leher.
Ki Punggo benar-benar sudah
parah, namun ia masih berusaha untuk segera bangkit dan melakukan penyerangan
lagi. Hanya saja, ia sudah kehilangan tenaga, darah pun banyak yang hilang, dan
akhirnya... nyawanya pun ikut hilang. Ki Punggo meregang sesaat kemudian mati
tak mau berkutik lagi. Sementara itu, Kartika sendiri juga ikut rubuh dan tak
sadarkan diri. Klowor menjadi kebingungan. Ia segera menghampiri Kartika dengan
sedikit panik:
"Kartika...?!
Kartika...?! Kau... kau pingsan, Kartika?" Sekali pun pertanyaan tidak
dijawab, tapi Klowor tidak merasa tersinggung, sebab Kartika benar-benar
pingsan. Mungkin luka dalamnya terlalu parah sehingga
ia tak bertahan lagi.
"Hebat...!" gumam
Klowor. "Bagaimana pun juga, kau termasuk perempuan cantik yang hebat,
Kartika. Kau ulet dan gigih mempertahankan nyawa. Memang seharusnya manusia itu
begitu, ya? Gigih mempertahankan nyawa "
Tak ada pilihan lain bagi
Klowor kecuali membawa Kartika ke arah goa yang hendak ditujunya semula. Alam
sudah semakin mendekati gelap. Paling tidak, Kartika harus mendapat tempat
untuk berlindung sementara, dan siapa tahu Klowor punya cara lain untuk
menyembuhkan Kartika. Maka, dengan susah payah ia memapah Kartika, mendaki
bukit, dan mencari goa yang dimaksud Kartika tadi. Jelas, nafas Klowor yang
pas-pasan itu jadi terengah-engah membawa beban tubuh Kartika. Hanya karena
wajah cantik saja yang membuat Klowor masih mau memapah tubuh itu, sekalipun ia
mulai kebingungan dengan kakinya yang gemetaran itu.
Sialnya lagi, goa tersebut
belum juga ditemukan oleh Klowor. Ia mencari ke sana ke mari, memandang menembus
keremangan senja yang makin menggelap, ahh... tidak ada goa yang terlihat?
Jangan-jangan tadi Kartika berbohong?
Pada saat itu, telinga Klowor
sempat mendengar derap kaki kuda bergemuruh samar-samar. Arahnya sepertinya
ditujukan ke lereng bukit itu. Wah, janganjangan mereka kaum pemakan daging
manusia yang tadi dihindarinya? Wah, kalau mereka mengetahui Klowor di situ
bersama Kartika, sudah tentu mereka akan berpesta pora memakan daging dua
orang. Iih... dongkol sekali hati Klowor mencari goa tidak ketemu-ketemu.
Hampir saja ia membuang tubuh Kartika karena jengkelnya. Sedangkan, beberapa
saat kemudian, gemuruh suara derap kaki kuda itu semakin jelas. Gawat! Jumlah
mereka kan tidak sedikit? Dilawan pun bisa sia-sia.
*
* *
3
Pada saat-saat yang kritis,
goa tersebut akhirnya ditemukan juga oleh Raden Klowor. Sebuah goa dengan
ditumbuhi semak dan pepohonan di bagian depan mulut goa. Maka, untuk menghindari
orang-orang pasukan berkuda itu, Klowor segera membawa masuk Kartika Rahmi ke
dalam goa tersebut. Nafas pun tak dapat dikendalikan dengan teratur.
Ngos-ngosan. Suasana gelap di dalam goa tak begitu diperdulikan. Ke dalam goa
seberapa juga tidak dipikirkan oleh Raden Klowor. Yang penting ia terlindung
dan terhindar dari kejaran pasukan berkuda itu.
"Mau diapakan perempuan
itu kalau susah begini?" gumam Klowor sendirian. Ia bingung. Capek. Ia
bersandar dengan santai. Sampai akhirnya ia pun tertidur di samping tubuh
Kartika yang masih pingsan itu.
Klowor tak tahu, seberapa lama
ia tertidur. Yang jelas, ia mulai bermimpi bertemu dengan Jaka Bego, orang yang
dianggap gurunya dari sekian banyak guru yang hadir di setiap mimpinya.
"Klowor, beri pernafasan
bantuan pada Kartika," kata Jaka Bego di dalam mimpi Raden Klowor.
"Bantuan nafas bagaimana,
Guru?"
"Tiup mulutnya...! Tiup
berulangkali, dan awas... jangan sekali-kali menyedotnya."
"Apa dia akan sadar
kembali, Guru?!"
"Yahh... kalau dia tidak
keburu mati, pasti sadar kembali. Nah, lakukan itu!"
"Tapi, Guru...
tapi..." Klowor terbangun dari tidurnya. Ia belum sempat bicara lebih
lanjut. Ah, sayang. Ia padahal ingin bertanya tentang cara penyembuhan untuk
Kartika, namun impiannya segera musnah dan tidurnya pun hilang. Ia kembali
memejamkan mata, tetapi tak bisa tidur lagi. Ketika matahari mulai menampakkan
diri dari ufuk Timur, Raden Klowor menggeliat pelan-pelan, kemudian
berkedip-kedip memikirkan perintah gurunya lewat mimpi itu. Ia sedikit sangsi,
apakah dengan meniup mulut Kartika maka perempuan cantik itu bisa sadar dari
pingsannya?
"Kasihan, Kartika. Banyak
luka memar di tubuhnya. Aku yakin, ada bagian dalam tubuh yang rusak berat
akibat kekejaman Ki Punggo itu. Ah, tapi sebaiknya aku menuruti perintah guru
saja "
Raden Klowor menempelkan
mulutnya ke mulut Kartika. Ia harus meniup mulut itu. Tetapi keremangan cahaya
fajar menampakkan wajah ayu itu bagai menggoda hati kelelakiannya. Gelisah juga
jadinya. Klowor sudah hampir menempelkan bibirnya ke bibir Kartika, tapi urung
lagi. Ia bahkan bertanya di dalam hati:
"Ditiup apa disedot,
ya?"
Sekali pun sebenarnya selera
Klowor adalah menyedot bibir dan mulut itu, tetapi ia ingat pesan guru agar
jangan sekali-kali menyedot mulut Kartika. Ia harus meniup. Ya, meniup. Dan...
hal itu pun akhirnya dilakukan juga.
Klowor menempelkan mulutnya ke
mulut Kartika, kemudian meniupkan udara ke dalam mulut perempuan cantik itu.
Jantung Klowor jadi berdetak-detak. Ada perasaan aneh yang mengusik hatinya dan
membuatnya berdebar-debar. Hasrat untuk menyedot mulut itu begitu besar. Untung
Klowor selalu ingat pesan guru dalam mimpinya, sehingga ia hanya bisa meniup
dan meniup mulut itu berulang kali.
Kartika bagai orang tersengat
kalajengking. Ia bergerak kaget. Kemudian membuka mata dan melihat Klowor ada
di depannya persis, menempelkan mulutnya ke mulut Kartika. Kontan saja tangan
Kartika menampar Klowor kuat-kuat.
"Ploook...!" Klowor
terlempar ke samping dan jatuh telentang.
"Kurang ajar! Kau
menggunakan kesempatan dalam kesempitan, ya?!" geram Kartika yang segera
berdiri dengan tegap, seakan ia tidak pernah menderita luka dalam yang cukup parah.
Klowor sendiri kebingungan untuk menjelaskannya. Ia baru mau bicara, tapi kaki Kartika
menendang dagunya dengan tidak begitu keras. "Uuh...! Sabar dulu,
Tika...!"
"Kau tak pantas diberi
kesabaran, Klowor! Apa yang telah kau lakukan pada diriku, hah?! Kau merenggut
mahkota kegadisanku?! Iya?!"
"Bebb... bebb... belum,
Tika...! Belum sempat kok...!" "Bohong! Kau pasti punya maksud
busuk!"
"Periksa saja...!
Periksa, apakah mahkotamu kuambil atau tidak...! Periksalah!"
Kartika yang cantik mendengus
kesal. Ia sendiri tak tahu, bagaimana harus memeriksanya. Tapi, begitu ia
memperhatikan pakaiannya masih dalam keadaan tertutup rapi, ia mulai yakin
bahwa ia tidak ternoda. Tetapi, ia masih jengkel karena Klowor telah berani
melumat mulutnya. Ia tak mau bibirnya dikecup selagi ia tertidur.
"Lalu, apa yang kau
lakukan terhadap diriku, Setan?!" ketus Kartika masih dengan bertolak
pinggang. Klowor hanya memandangnya, memperhatikan keadaan Kartika. Timbul rasa
heran dan bingung pada diri Klowor melihat Kartika bisa bertindak cepat,
berdiri dan berkata lantang. Bukankah Kartika dalam keadaan terluka parah?
Bukankah guru Klowor hanya memerintahkan untuk memberikan pernafasan bantuan
dengan cara meniup mulut Kartika? Tetapi, kenapa Kartika sudah menjadi sehat
seperti sediakala?
"Hei...!" Kartika
menendang kaki Klowor. "Kenapa memandangku dengan jalang, hah?! Aku tidak
suka kau berbuat begitu lagi, Klowor!"
"Aku... aku hanya
memberikan pernafasan bantuan padamu, supaya... supaya "
"Aku tidak perlu
bantuanmu! Aku masih bisa bernafas sendiri! Sudah, jangan berbuat sehina itu
lagi. Ingat!"
Kartika berdiri di mulut goa,
memandang kesegaran udara pagi bersama sorot matahari yang masih kemerah-merahan.
Klowor tertegun memandang punggung Kartika. Ia benar-benar heran melihat
kesehatan Kartika. Ia tidak tahu, apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk
Kartika. Ia hanya memenuhi perintah guru, tapi mengapa ia ditampar dan
dicaci-maki oleh Kartika? Ia dituduh berbuat kurang ajar. Apakah itu pantas
bagi seseorang yang telah berhasil menyadarkan Kartika dari pingsannya?
"Kartika..." Klowor
memberanikan diri berkata, sekalipun Klowor tahu, bahwa Kartika tidak
memperdulikan sapaannya.
"Kartika, apakah kau
ingat apa yang telah terjadi sebelum kita sampai ke goa ini?!"
Kartika diam, sampai lama
tidak menjawab. Klowor malas mengulang. Pikirnya; biarlah Kartika melupakan
pertarungannya dengan Ki Punggo. Biar sajalah Kartika lupa bahwa dirinya
terkena luka dalam yang membuatnya pingsan. Yang penting bagi Klowor, Kartika
jangan sampai marah lagi. Ia malu kalau dituduh hendak berbuat kurang ajar
kepada Kartika.
Namun, pada saat itu, Kartika
berbalik dan mendekati Klowor. Kartika masih menampakkan keangkuhannya, tanpa
senyum dan tanpa keceriaan sedikit pun. Ia memandang ke arah dalam goa, yang
mempunyai lorong membelok ke kiri. Entah apa isinya dan bagaimana keadaan di
balik tikungan lorong itu, Kartika tidak memperdulikan dulu. Ia berdiri di
depan Klowor yang duduk pada sebuah batu.
"Apa yang telah kau
lakukan sebenarnya, Klowor?!" tanya Kartika dengan anda ketus.
"Aku memberikan
pertolongan padamu. Sumpah. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya meniup mulutmu
beberapa kali, supaya kau sadar dari pingsanmu. Itu pun atas perintah guruku
yang hadir lewat mimpi." Kartika menggumam lirih, ada sesuatu yang membuatnya
heran dan merasa aneh. Kemudian ia duduk di batu, berseberangan dengan Klowor.
"Aku ingat pertarunganku
dengan Ki Punggo," katanya.
"Aku tidak memaksamu
mengingat-ingat hal itu, Tika."
"Memang. Tapi, aku juga
ingat bahwa aku terluka. Luka dalam yang cukup parah. Aku ingat saat aku menyemburkan
darah dari mulutku, luka memar di pundak, dada dan tulang rusukku terasa ada yang patah "
"Aku berani bersumpah,
bukan aku yang mematahkannya!" sahut Klowor, tetapi Kartika bagai tidak
menghiraukan kata-kata itu. Mungkin dia menganggap tak perlu. Ia malahan
merenung sambil berkata:
"Aku juga ingat, bahwa
keadaanku sangat terluka. Aku memaksakan diri menguras tenaga terakhir untuk
membunuh Ki Punggo. Kemudian, kepalaku terasa pening sekali, dan pandangan
mataku menjadi gelap. Sama sekali gelap. Lalu, aku tak tahu apa yang terjadi
selanjutnya."
Klowor menyahut lagi,
"Aku membawamu ke goa ini." "Aku tidak bertanya tentang
itu," sahut Kartika yang
membuat Klowor menahan malu
dalam hati.
"Yang ingin kutanyakan:
mengapa aku sekarang menjadi sehat dan segar? Padahal, sebelum aku berhasil
membunuh Ki Punggo, aku sudah memperkirakan bahwa aku akan mati. Ada kekuatan
tenaga dalam yang dilancarkan oleh Ki Punggo dan menyumbat saluran pernafasanku
pada saat itu. Ketika aku melihat Ki Punggo merenggang mati, aku juga merasakan
kehabisan nafas. Dan kupikir saat itu adalah saat kematianku yang akan tiba.
Tapi ternyata, sekarang aku menjadi sehat. Badanku tak ada yang terasa sakit.
Luka memarku hilang semua. Sama sekali tidak ada bekas bagian yang masih terasa
sakit. Ini aneh sekali, Klowor. Seharusnya aku mati, atau dalam perawatan
khusus karena luka di bagian dalam tubuhku ini. Tapi...? Kenapa sekarang aku
malah menjadi segar? Kenapa tidak ada bagian yang kurasakan sakit atau
ngilu-ngilu? Sedikit pun tak ada, Klowor."
"Saya tidak tahu, karena
yang merasakan segalanya kamu." Klowor bicara agak datar, seakan tidak mau
tahu lagi. Pada hal di dalam hatinya Klowor pun bertanyatanya heran: mengapa
Kartika bisa sesehat itu? Mengapa luka memar yang membiru di pundak, dada dan
sebagainya, hilang sama sekali?
"Klowor..." Kartika
mendekat. "Apa benar kau tiupkan udara di mulutku?"
"Kalau tidak salah,
memang begitu."
Kartika menggumam dan
manggut-manggut, ia memandang Klowor. Klowor risi dipandang demikian. Tak
berani balas menatap Kartika. Ia menatap ke arah dalam goa.
"Terimakasih, Klowor. Dua
kali kau menyelamatkan nyawaku. Dan, yang kali ini, sungguh mengherankan!"
"Aku sendiri merasa heran
kok."
Kartika tersenyum. Tipis.
Terasa sinis. Klowor diam saja, berusaha untuk tenang, sekalipun hatinya berdebar-debar
dipandang terus-terusan oleh Kartika.
"Aku percaya," kata
Kartika. "... tiupan nafasmu itu bukan semata-mata untuk menyadarkan aku
dari pingsan, melainkan punya kekuatan gaib."
"Gaib?" Klowor
memandang dengan berkerut dahi. "Kekuatan untuk menyembuhkan luka dalam
dan...
dan entah apa lagi namanya.
Yang jelas, tiupan nafasmu itu telah membuat semua lukaku hilang, dan aku
menjadi sehat secara ajaib. Menakjubkan sekali, Klowor!" "Ah,
entah...!" Klowor bersikap masa bodo. "Mau ajaib, mau gaib, terserah
kau bilang sajalah...!" Klowor kini berdiri di mulut goa dengan hati-hati.
Ia ingat derap kaki kuda yang didengarnya semalam. Ia sedikit sangsi,
jangan-jangan pengejar berkuda itu masih berkeliaran mencarinya di tempat itu.
"Klowor, aku minta
pedangku "
Klowor menghunus pedang
Kartika yang sebelum ia menggotong Kartika dari tempat pertarungan, ia sempat
menyelipkan pedang Kartika ke pinggangnya. Namun, ketika Kartika menerima
pedangnya lagi, tangannya menyahut tangan Klowor, matanya memandang tajam pada
Klowor, dan ia pun berkata dengan suara lirih:
"Kau marah?" Klowor
menggeleng.
"Kau sakit hati atas
tamparanku tadi?" Klowor menggeleng.
"Kau hanya bisa
menggeleng?"
Sekali lagi Klowor hanya
menggeleng.
Kartika memasukkan pedangnya
ke sarung pedang di punggungnya. Klowor buru-buru berpaling ke arah luar goa,
tak berani menatap pandang terlalu lama dengan Kartika.
"Klowor. maafkan aku,
ya?" Klowor diam saja. "Aku
tahu kau marah padaku, tapi
itu urusanmu! Aku tidak pernah menganjurkan begitu. Jadi, kalau kau capek dalam
marahmu, tanggunglah sendiri. Jangan salahkan aku."
Ada beberapa saat lamanya
Klowor diam, membelakangi Kartika. Ketika ia berbalik, hendak mengatakan
sesuatu, tahu-tahu Kartika sudah tidak ada di tempat.
"Kartika...?!"
Klowor memanggil dengan suara keras. Tak ada jawaban yang terdengar. Ke mana
dia? Klowor mulai kebingungan. Ia bergegas masuk ke kedalaman goa. "Kartikaaa...!"
Suara panggilan itu bernada penuh kecemasan. Klowor buru-buru memasuki lorong
yang membelok itu. Tempatnya semakin gelap. Batu-batu dindingnya lembab dan
lantainya pun bagai mengandung air. Klowor sedikit sangsi, mungkinkah Kartika
menghilang dan pergi melalui jalanan licin itu?
"Kartikaaa...!"
teriaknya lagi. Teriakan itu menggema cukup lama. Ini menandakan di ujung
lorong itu ada ruangan yang lebar, atau jalan lurus yang panjang.
"Kartika, di mana
kau...?!"
"Di sini...!"
Nah, ada jawaban. Kok kecil?
Oh, berarti Kartika berada jauh dari lorong yang becek itu. Klowor pun segera
berjalan menyusuri lorong itu dengan hati-hati. Ia bahkan sempat merayap,
berpegangan dinding lorong supaya tidak jatuh tergelincir. Oh, ternyata lorong
itu seperti perut ular yang melingkar-lingkar.
Makin dalam, Klowor semakin
menemukan berkas cahaya temaram. Ia sedikit tenang, karena pada waktu ia
berseru:
"Kartika, tunggu
aku...!" Ada jawaban dari depannya: "Ke marilah! Lekas...!"
Ternyata keadaan di dalam goa
memang semakin terang. Dan, tibalah Klowor di sebuah ruangan luas, berlangit-langit
tinggi dengan sorot cahaya matahari yang memancar dari lobang di langit-langit
goa yang tinggi itu.
"Lihatlah apa yang
kutemukan ini, Klowor?" Kartika kelihatan tersenyum tipis. Klowor masih
terbengong melihat ada telaga di dalam goa itu. Airnya berkilauan menyegarkan
karena terkena sorot matahari dari langitlangit goa. Mungkin telaga itu adalah
curahan air hujan yang ditampung di situ dalam beberapa waktu lamanya. Yang
jelas air telaga itu sungguh menyegarkan.
Bentuk telaga itu bulat tidak
beraturan. Di tepian telaga itu masih tersisa tempat luas, batuan cadas yang
tergolong datar, hanya serpihan-serpihan batu cadas yang membentuk seperti
kerikil. Sebagian tempat datar itu ada yang basah karena uap air telaga yang
bagai mengembun itu, sebagian lagi ada yang kering. Kartika duduk ke tempat
yang kering sambil memandangi air telaga bening. Ia kelihatan berwajah cerah,
sekalipun tidak secerah jika seorang gadis menemukan sesuatu yang disukai.
Kecerahan wajah itu adalah kecerahan perempuan angkuh yang sebenarnya berwajah
anggun dan berwibawa.
"Aneh, ya? Di dalam goa
ada telaga seluas ini." Kartika berkata demikian ketika Klowor
mendekatinya.
"Mengagumkan
sekali!" gumam Klowor, lalu ikut duduk di samping Kartika. "Ini pasti
tandon air."
"Apa itu tandon
air?" Kartika berkerut dahi.
"Bila air hujan datang,
ia akan masuk melalui lobang yang ada di langit-langit goa ini. Itu, lihat
saja... lobang langit-langit itu cukup lebar. Matahari memancarkan sinarnya ke
dalam sini melalui lobang itu. Tentu saja jika ada hujan, sebagian air hujan
masuk ke sini melalui lobang itu juga."
"Iya, ya...?!"
Kartika menggumam sambil memandang ke atas. "Tapi, yang jelas telaga ini
kelihatannya menentramkan hati siapa saja yang memandangnya."
"Betul. Aku sendiri
merasakan demikian. Tentram." "Aku jadi lupa tujuanku."
"Mencari Nyai
Katri?"
"He-eh..." jawab
Kartika tanpa memandang Klowor, melainkan memandangi air telaga yang
menyegarkan itu.
"Kau kenal dengan
perempuan penguasa Pulau Kramat itu?" tanya Klowor.
"Aku hanya tahu
namanya."
"Lho, lantas kau ke sana
mau apa? Kau ingin bertemu dengannya untuk apa?"
."O, itu
rahasia...!" jawab Kartika bernada angkuh. "Sebenarnya, kita punya
satu tujuan."
"Kau juga ingin ke Pulau
Kramat itu?"
"Ya. Aku harus bertemu
dengan perempuan yang bernama Nyai Katri."
"Untuk apa?"
"O, itu rahasia,"
jawab Klowor menirukan jawaban Kartika.
Kartika tertawa lirih. Baru
sekarang Klowor melihat dan mendengar tawa perempuan cantik itu. Oh, indah dan
merdu sekali kedengarannya. Klowor benar-benar mengagumi tawa yang renyah itu.
Bahkan ia sampai terbengong memandang Kartika dalam tawa yang indah itu.
"Hei, kenapa kau
terbengong memandangiku? Belum pernah melihat perempuan, ya?"
Klowor buru-buru nyengir
menggeragap. Katanya kemudian:
"Aku belum pernah melihat
tawa seorang perempuan cantik seperti kamu, Tika."
"Hemmm...!" Kartika
mencibir dan semakin membuat hati berdesir-desir. Mata Kartika kembali
memandang air telaga yang berkilauan, namun tenang tanpa ombak sedikit pun.
"Sayang Pulau Kramat
telah hilang."
Klowor sedikit kaget mendengar
gumaman Kartika yang pelan itu. Klowor buru-buru bertanya dengan cemas:
"Dari mana kau tahu kalau
Pulau Kramat telah hilang?"
"Aku telah mencarinya.
Biasanya, seseorang yang berdiri di tebing karang, tempat kita bertemu itu,
maka orang itu akan melihat sebuah pulau tak jauh dari tebing karang itu. Dan, itulah
yang dinamakan Pulau Kramat, tempat Nyai Katri tinggal sebagai penguasa tunggal."
"Ooo...!" Klowor
manggut-manggut. "Aku juga diberitahu oleh seseorang begitu. Tetapi,
ketika kau berdiri di tebing karang itu, aku tidak melihat pulau secuil pun."
"Pulau itu telah
hilang," gumam Kartika bernada kecewa. Tetapi, demi memperhatikan air
telaga kembali, Kartika menjadi bersemangat dan ceria. Aneh. Padahal keceriaan
seperti itu jarang sekali ia peroleh semasa hidupnya yang cenderung menjadi
orang angkuh, pendiam dan tegas.
"Kau ada hubungan apa
dengan Nyai Katri, Klowor?" "Entah. Aku tidak tahu, apakah aku ada
hubungan
saudara atau tidak. Yang
jelas, aku belum mengenal Nyai Katri secara langsung. Tetapi, aku memperolah pesan
dari guruku, bahwa aku harus datang ke Pulau Kramat itu."
"O, siapa gurumu itu? Aku
boleh tahu?"
"Banyak," jawab
Klowor. Kartika menganggap jawaban itu tidak serius, sehingga ia kelihatan
sedikit cemberut. Klowor menjelaskan, "Aku berkata dengan sungguh-sungguh.
Guruku tidak hanya satu. Kau mau tahu?!"
Kartika memandang Klowor
dengan menghilangkan cemberutnya. Ia memang tidak mengangguk atau menggeleng,
namun Klowor tahu, bahwa Kartika ingin mendengar siapa saja guru Klowor. Maka,
dengan menghitung jari Klowor berkata:
"Jaka Bego, Lanangseta,
istri Lanangseta, Sekar Pamikat..." Klowor berhenti bicara, karena Kartika
menggerakkan tangannya, meminta Klowor berhenti sebentar.
"Kau kenal dengan
Lanangseta juga?" "Iya. Apa kau kenal dia?"
"Aku pernah mendengar
namanya. Kalau tidak salah, dia yang bergelar Malaikat Pedang Sakti?"
"Ya. Kau tahu tentang dia, kalau begitu."
"Tidak begitu banyak. Aku
hanya pernah mendengar kesaktian-kesaktiannya dan... katanya ia tampan,
ya?"
"O, jelas. Lihat saja
muridnya..." Klowor menunjuk wajahnya sendiri. Kartika mencibir lagi
dengan bersungut-sungut. "Eh, kamu tidak mengakui kalau aku tampan?"
kata Klowor dengan wajah disodorkan di depan Kartika.
Sempat hal itu membuat Kartika
tersenyum geli. Lalu, katanya dengan anda canda:
"Kau memang ganteng, tapi
nanti, kalau kau sudah dewasa. Kalau sekarang kau masih seperti anak ingusan!"
"Jadi, aku kau anggap
belum dewasa?"
Kartika diam sejenak, tidak
memandang Klowor, tapi segera berkata:
"Kau kelihatan masih muda
belia. Mungkin pikiranmu sudah dewasa, sayang wajahmu masih seperti ke
kanak-kanakan, Klowor. Kau juga punya ketampanan yang lucu dan menggemaskan.
Sayang aku tidak berminat meremat wajahmu itu."
Klowor hanya diam tertegun.
Kartika berdiri, melepas sarung pedangnya. Kemudian ia berkata dengan Klowor:
"Kalau kau mau bersahabat
denganku, pergilah ke balik batu itu dan sembunyikan wajahmu di sana."
"Kenapa? Kenapa kau
menyuruhku demikian?"
"Aku mau mandi. Aku mau
melepas pakaianku, dan jangan coba-coba mengintipku kalau kau tak ingin buta
mendadak."
Dengan mengeluh kesal dan
gerutuan lirih, Klowor pergi ke balik batu, tak berani mengintip. Kartika
terjun ke telaga tanpa busana. Uh, segar sekali. Ia ceria dan berseru: "Klowor...!
Airnya segar sekali. Ayo, mandilah sini...!"
Klowor sempat tersenyum saat
Kartika melambaikan tangan lalu menyelam. Lama. Lama sekali tidak muncul-muncul.
Lho...? Klowor jadi cemas. Kartika tidak muncul lagi! Gawat.
*
* *
4
Raden Klowor cukup lega, setelah
Kartika ternyata muncul ke permukaan air, ketika Klowor hendak menyeburkan diri
untuk mencarinya.
"Kukira kau tenggelam,
Kartika!"
"Uh, airnya segar
sekali," kata Kartika sambil mengibaskan kepala. Air yang menyangkut di
rambutnya memercik ke kanan kiri. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan
dan mulai berkerut dahi.
"Kartika...?! Kau di
mana?!"
Klowor merasa heran. Ia
memperhatikan Kartika yang sedang berenang ke tepian.
"Klowor...?!" seruan
itu mengandung arti kecemasan. "Ooh... gelap?! Klowor aku tidak bisa
memandang apaapa!"
"Kartika...?!"
Klowor berseru kaget. Ia segera meraih tangan Kartika yang sudah dekat dengan
tepian telaga. Ia menggenggam tangan itu, dan Kartika memeganginya erat-erat
dengan perasaan cemas sekali.
"Kartika, apa kau bisa
melihatku?!" Tangan Kartika meraba-raba, dan ia berseru dengan
mengharukan:
"Ooh... aku buta! Aku
buta, Klowor...! Aku tidak bisa melihat lagi...!" Kartika menjadi panik,
demikian juga Klowor. Ia bahkan hampir saja terpeleset masuk ke telaga itu
ketika menarik tangan Kartika. Bahkan, ia sudah tidak perduli keadaan Kartika
yang telanjang bulat saat ditarik ke atas dan meraba-raba mencari pakaiannya.
"Kartika, kau tidak
main-main?"
Kartika hanya menangis dengan
panik, ia berseru menjerit-jerit, "Aku buta...! Oh, aku buta...?! Klowor
aku bagaimana ini? Mataku tak bisa melihat apa-apa lagiii...!"
Maka, tangisnya pun menjadi
terisak-isak sementara Klowor memberikan pakaian Kartika dengan tidak berpikir
soal kemulusan tubuh yang telanjang itu. Kalau saja tidak dalam keadaan panik,
mungkin Klowor akan tidak berkedip memandang tubuh Kartika yang telanjang dan
menggiurkan itu. Namun, karena dalam keadaan tegang, mengharukan, maka tak ada
pikiran Klowor ke arah negatip. Ia hanya kebingungan mengetahui keadaan Kartika
yang menjadi buta akibat mandi di air telaga itu.
"Astaga...?! Kau
benar-benar buta, Kartika...!" kata Klowor setelah mencobanya berulangkali
menggerakgerakkan tangannya di depan mata Kartika, dan Kartika diam saja
kecuali menangis dan menangis lagi. Klowor pun kemudian memeluk Kartika yang
belum sempat mengenakan pakaian, sekalipun pakaian sudah berada di tangan
Kartika.
"Bagaimana dengan nasibku
ini, Klowor...?! Mengapa aku jadi buta?! Ooh... telaga keparat! Telaga setan!"
"Tenang, Tika. Tenang.
Tabahkan hatimu. Ini bukan kecelakaan untuk selamanya. Kita masih bisa berusaha
untuk membuatmu melihat kembali." Klowor membujuk Kartika yang menangis
terisak-isak dalam pelukannya. "Kenakan dulu pakaianmu. Kenakan dulu, baru
kita cari jalan keluarnya."
Telaga yang menyegarkan,
telaga yang menggiurkan karena kebeningan airnya itu, ternyata telah merubah
nasib hidup perempuan cantik seperti Kartika. Mata yang semula mampu memandang
tajam dan awas sekali itu, kini menjadi buta, sekalipun mata itu masih utuh.
Tanpa ada cacadnya sedikit pun. Ini sungguh mengherankan dan sekaligus memukul
jiwa Kartika. Klowor sendiri yang tidak ikut menderita, bisa merasakan betapa
sedihnya jika ia yang mengalami hal itu. Sebab itu, Klowor tahu, apa yang
dibutuhkan Klowor untuk saat ini; ialah penghiburan, dan ketenangan. Klowor
harus bisa membuat Kartika tenang, untuk kemudian bisa berpikir mencari jalan
keluar bagi penyembuhan mata itu.
"Aku sudah kehilangan
segala-galanya, Klowor..." bisik Kartika dalam tangisnya.
"Tidak, Tika. Kau masih
punya banyak kesempatan, punya banyak teman yang bisa menolongmu, dan "
"Oh, aku tidak percaya
kalau ada teman yang bisa menolongku menyembuhkan kebutaan ini. Aku bagai telah
terkena kutukan yang amat keji! Telaga keparat itu telah menjebakku dan aku
sendiri oh, Klowor, aku
lebih baik mati daripada harus
menanggung siksaan seperti ini "
"Mati itu bukan jalan
satu-satunya, Tika. Masih banyak jalan yang bisa kita tempuh, selain
mati."
Tangis Kartika masih meratap-ratap,
dan Klowor memakluminya. Klowor hanya bisa memeluk Kartika sambil mengusap-usap
rambutnya untuk sekedar memberi penghiburan hati Kartika. Sampai lama mereka
sama-sama bungkam, kecuali suara tangis Kartika yang kian lama kian mereda.
Mata Raden Klowor memandang
air telaga yang bening dan menyegarkan. Terbayang ada maut di balik kebeningan
telaga itu. Klowor jadi merinding seketika, membayangkan betapa mengerikan jika
seseorang semakin lama terendam di dalam telaga tersebut. "Mari kita tinggalkan
goa keparat ini, Tika."
"Tidak! Aku akan tinggal
di dalam goa ini, sampai aku memperoleh kesembuhan mataku ini," Kartika putus
asa. "Kalau perlu, biarkan aku mati di sini. Biarkan!"
"Kartika, mari kita
berpikir secara dewasa dan kesatria. Masalahmu ini, adalah masalah yang harus
kita hadapi, yang tidak boleh kita tinggal lari begitu saja. Ini adalah
tantangan bagi jiwamu. Aku yakin, kau pasti bisa pulih seperti sedia kala! Aku
yakin, Tika! Hanya saja, kau harus tabah dan tangguh dalam menopang penderitaan
seperti ini. Jangan mau kalah oleh nasib, Kartika. Tetapi, berjuanglah
menggeluti nasibmu sendiri. Karena manusia tidak bisa lepas dari segala
penderitaan, kalau dia sendiri tidak gigih memperjuangkan kebaikan hidupnya
sendiri! Jangan bergantung pada nasib semata, tetapi bergantunglah pada
perjuangan diri kita masingmasing."
Banyak hal yang dikatakan
Klowor, banyak hal yang diungkapkan Klowor untuk memulihkan jiwa yang guncang.
Andai Klowor tidak pandai-pandai mengukuhkan jiwa Kartika, mungkin perempuan
itu sudah nekad untuk bunuh diri atau mengerjakan kebodohan lainnya.
Setelah melalui bujukan,
akhirnya Kartika berhenti menangis, dan mulai berpikir dengan sehat. Klowor
lega dan senang jika Kartika sudah mulai menggunakan otak warasnya.
"Aku punya perasaan ngeri
kalau keluar dari goa ini." kata Kartika masih sesekali tersengguk.
"Mengapa harus
ngeri?"
"Banyak orang yang ingin
membunuhku."
Klowor menghela napas, sedikit
berat, merasa iba mendengar kata-kata itu. Kartika melanjutkan kata,
"Kalau aku tidak dalam
keadaan buta begini, mungkin aku masih berani menghadapi siapa pun yang ingin
membunuhku. Tetapi, dalam keadaan aku tidak bisa melihat apa-apa begini, apa
yang bisa kulakukan untuk mempertahankan serangan dari mereka?"
Setelah bungkam sesaat, Klowor
pun bertanya: "Mengapa banyak yang ingin membunuhmu? Apa-
kah kau punya banyak kesalahan
kepada mereka?"
Kartika menggeleng. Klowor
berkerut dahi, tak jelas maksudnya. Tetapi, beberapa saat kemudian Kartika
menjelaskan:
"Aku tidak merasa berdosa
kepada mereka, tapi mereka merasa berhutang nyawa kepadaku, sehingga mereka
merasa perlu membinasakan aku."
"Mengapa begitu, Tika?
Dan, apakah Ki Punggo itu termasuk orang yang ingin membunuhmu atas dasar yang
sama?"
"Ya. Ki Punggo,
orang-orang yang menyerangku di tebing karang itu, serta beberapa dari mereka
yang berkuda itu, semuanya ingin membunuhku."
"Kenapa bisa terjadi
begitu?"
"Mereka menyimpan dendam.
Orang-orang dari Wetan, khususnya para tetua dari Wetan, semua ingin membunuhku.
Sejak usia sebelas tahun aku selalu dikejar-kejar oleh mereka, sampai usiaku 25
tahun sebesar ini, mereka masih mengejarku untuk membinasakannya. Dan... ini
semua sebenarnya dikarenakan dendam."
"Dendam?!"
"Ya. Dendam mereka kepada
ayahku." Kartika berusaha menenangkan jiwa dengan menghirup nafas panjang-panjang.
Klowor diam, masih dicekam haru melihat mata indah Kartika berkedip-kedip dalam
kebutaan. Ah, kasihan sekali perempuan cantik ini.
"Apakah ayahmu banyak
berbuat dosa terhadap mereka?" Klowor mulai penasaran dan ingin mengetahui
segalanya. Kartika hanya menjawab dengan suara lirih: "Memang. Ayahku
dulu, adalah orang jahat. Penga-
nut aliran hitam. Tetapi, ia
sendiri juga membunuh orang-orang dari partai hitam. Mungkin kau pernah
mendengar nama ayahku, karena namanya dan keganasannya itu sudah menyebar
mungkin sampai ke seluruh pelosok dunia."
"Siapa ayahmu itu,
Kartika?!"
"Mahesa Abang, atau yang
bergelar Iblis Telapak Darah."
"Ooo...?!" Klowor
manggut-manggut.
"Kau pernah mendengar
nama itu dan kekejamannya, bukan?"
"Belum. Mungkin nama itu
termasuk nama tokoh lama di rimba persilatan."
"Yah, memang ayahku itu
tokoh lama di rimba persilatan. Tokoh jahat yang tak pernah pandang bulu kalau
mau membunuh lawannya."
"Lalu, apa hubungannya
orang-orang itu hendak membunuhmu? Apakah karena kau mengikuti jejak
ayahmu?"
Dengan hati perih dan mata
buta yang berkedipkedip itu, Kartika menuturkan kisahnya secara singkat.
"Banyak orang yang
menyangka begitu. Memang, aku belajar segala ilmu yang dimiliki oleh ayahku.
Tetapi, aku sendiri tidak setuju dengan cara hidup ayahku. Aku mengakui, bahwa
ayahku itu sangat kejam. Ilmunya hebat, sehingga tak ada yang mampu menandinginya.
Dengan kehebatan ilmunya itu, ayahku menjadi orang takabur dan sombong. Cuma
aku dalam keluarga yang tidak setuju dengan cara hidup ayah. Ia merampok,
merampas hak orang lain, membunuh dengan seenaknya dan hal-hal lain yang ia
lakukan merugikan orang lain. Tetapi, aku tidak berani menyatakan pertentanganku
dengannya. Diam-diam aku hanya menerima segala ilmunya tanpa sifat-sifatnya.
Lalu, pada suatu hari, ayahku terperosok dan jatuh ke jurang yang curam, lalu
jasadnya hilang. Ia mati di Tebing Neraka. Saat itu adalah kesempatan bagi
mereka untuk membalas dendam. Empat saudaraku dibantai oleh mereka, dan ibuku
sendiri disiksa, lalu dibunuh secara beramairamai. Dan, aku yang waktu itu
masih ingusan sudah dikejar-kejar oleh mereka. "
"Gila!"
"Mereka menganggap, bahwa
anak orang jahat, pasti akan menjadi jahat pula seperti leluhurnya. Maka, mereka
berusaha membinasakan semua keluarga ayahku. Pada waktu itu, ada seorang guru
yang menyelamatkan aku dan aku dibawanya ke suatu tempat yang sunyi, lalu
dijadikan aku muridnya. Tak ada orang yang berani mendekatiku, karena guruku
itu orang yang disegani mereka, baik dari golongan hitam maupun dari golongan
putih."
"Siapa gurumu itu?"
"Resi Garba. Kau pernah
mendengar nama itu?"
"Belum."
"Dia punya satu murid
yang cukup sakti pula, namanya: Ludiro."
"Hah ?! Ludiro? Paman
Ludiro?! Oh, aku kenal den-
gan beliau. Kenal
sekali!" "Sungguh?"
"Ya. Dulu, dialah yang
diberi hak menerima pusaka Cambuk Naga, tetapi kini dia memilih menjadi petani
biasa, dan Cambuk Naga ada di tanganku. Cuma, aku tidak tahu kalau Paman Ludiro
punya guru yang bernama Resi Garba."
"Kapan-kapan, kalau
umurku panjang, bawalah aku kepadanya, seumur-umur aku belum pernah bertemu
dengannya. Karena ketika guruku mengangkat aku sebagai muridnya, ia baru saja
melepas kepergian murid tertuanya: yaitu Ludiro." "Ooo... begitu
"
"Tetapi, menurut guruku,
Eyang Resi Garba, tidak semua anak akan mewarisi sifat orang tuanya. Ada anak
orang baik-baik, tapi ia menjadi anak yang berperangai buruk. Ada ayah seorang
pendiam, mempunyai anak yang cerewet. Jadi, tidak semua orang jahat akan
mempunyai anak yang jahat pula. Dan, hal semacam itu tidak bisa dimengerti oleh
para pengejarku. Ketika aku lepas dari perguruanku, aku langsung disambut oleh
serangan mereka. Jelas, mereka berani menyerangku, sebab Resi Garba guruku
sudah wafat. Tak ada lagi yang ditakuti oleh mereka, sehingga mereka merasa
bebas membunuhku. Itulah sebabnya aku ingin lari dan bergabung dengan Nyai
Katri untuk minta perlindungan."
Klowor menggumam panjang
sambil manggutmanggut. Kartika menampakkan kesedihannya kembali, namun tidak
sampai menangis tersedu-sedu seperti tadi. Ia berkata lirih:
"Sekarang, keadaanku
semakin lemah. Mereka masih mengejarku, sedangkan aku kini telah menjadi buta.
Aku tidak akan tahu kalau ada orang yang kusangka baik, ternyata ia sedang
mempersiapkan pedang untuk membunuhku. Inilah sebabnya aku menjadi takut keluar
dari dalam goa ini."
"Kau tidak perlu takut,
Kartika."
"Bagaimana aku tidak
takut? Mereka yang bernafsu membunuhku itu bukan orang-orang tanpa ilmu, melainkan
orang-orang yang punya ilmu tinggi. Kau tahu sendiri kehebatan Ki Punggo atau
pelempar senjata rahasia itu, bukan?"
Sekali lagi Klowor menggumam,
tapi pendek saja.
Sebab, ia segera bertanya
kepada Kartika:
"Aku heran melihat
pertarungan kemarin; mengapa Ki Punggo tidak mau menggunakan pukulan jarak
jauhnya? Padahal kalau dia mau menggunakan pukulan jarak jauhnya, kau pasti
bisa lebih celaka dan "
"Dia tidak akan
bisa," sahut Kartika. Ia mulai mengalihkan pikiran, dan ini adalah tujuan
Klowor, mengapa ia tiba-tiba bertanya tentang Ki Punggo.
"Mengapa ia tidak bisa
melakukannya, Tika?" "Karena pukulan Sabrang Gendeng itu hanya bisa
di-
lancarkan dalam jarak beberapa
ratus tombak. Kalau tidak salah harus dilancarkan dari jarak dua ratus tombak
jauhnya. Tetapi, dalam jarak dekat ilmu itu tidak bisa dipakai. Itulah
kelemahan ilmu Sabrang Gendeng. Semakin jauh, semakin ampuh, semakin dekat
semakin tidak bisa dipakai."
"Ooo... jadi, kalau
"
Tiba-tiba goa itu bergemuruh.
Tanahnya bergerakgerak. Klowor dan Kartika sama tegangnya. Ada beberapa batuan
cadas berukuran kecil yang berjatuhan dari langit-langit goa itu. Wah,
gawat...! Kalau goa itu runtuh, maka terkuburlah Kartika dengan Klowor di dalamnya.
"Ada gempa...!"
Klowor terlihat begitu tegang. Ia berdiri dengan mata membelalak. Air telaga
itu bergolak. Bunyi gemuruh makin jelas.
"Kartika, lekas kita
keluar dari sini...! Lekas. !"
"Tidak. Biarkan aku di sini.
Biarkan aku mati bersama telaga ini, kalau memang langit-langit goa akan runtuh."
"Kartika, jangan menjadi
bodoh lagi. Bertahanlah menjadi orang pandai, supaya kamu tidak gampang celaka!"
Klowor menggeret tangan
Kartika. Kartika berjalan dengan sesekali terkantuk batu-batu kecil.
"Cepat, Kartika...!
Kurasa goa ini sebentar lagi akan tertutup dan hilang dari pandangan mata
kita!" "Aku ingin di sini saja, Klowor!" "Jangan begitu,
Kartika!"
"Aku tidak mau mati di
tangan musuh-musuhku!" "Kau tidak akan mati!" seru Klowor dengan
jengkel. "Bagaimana mungkin aku bisa melawan mereka
dengan mata gelap begini,
Klowor?"
"Aku ada di sampingmu,
kan? Apakah kau sangsi terhadap kepandaianku melumpuhkan lawan?"
"Tapi... tapi aku memang
belum pernah melihat kau bertarung dengan seseorang."
"Apakah itu berarti aku
tidak bisa melindungimu?"
Gemuruh semakin jelas.
Guncangan pada tanah dan dinding-dinding goa semakin nyata. Banyak reruntuhan
dari bagian atap goa, dan hal itu menambah Klowor semakin tegang. Ia segera
menyeret Kartika untuk memasuki lorong licin itu. Ia sangat hati-hati membawa
Kartika ke luar.
"Jangan berjalan ke arah
lain. Rasakan saja tarikan tanganku ini. Ikutilah dengan menjaga keseimbangan
tubuh. Ayo, lekas Kartika! Lekas keluar dan jangan mau mati diurug bebatuan
cadas ini...!"
"Klowor, kau benar-benar
mau berjanji untuk melindungi aku selama aku menjadi buta begini?!"
"Aku berjanji!"
Sambil Klowor bergerak pelan melalui lorong licin itu. "Aku berjanji akan
menjagamu, semasa aku sendiri masih hidup!"
"Apakah kau tidak ingin
menyerahkan kepalaku kepada Prabu Umbarpati...?"
"Siapa Prabu Umbarpati
itu?"
"Seorang raja di daerah
Wetan yang menyediakan hadiah, bagi siapa saja yang bisa menyerahkan kepalaku
di depan mejanya. Itu sebabnya mereka yang ingin membunuhku semakin banyak
jumlahnya!"
"Ayo, lekas... lekas...!
Kau tak perlu berkeyakinan begitu, Kartika. Kau harus percaya, bahwa tak ada
seorang yang kubiarkan menyentuh kulit tubuhmu, apalagi ia mau membunuhmu,
oh... mungkin ia harus melompati mayatku dulu!"
Memang kalimat-kalimat Klowor
sempat melegakan hati Kartika, dan membuat hati itu pula bagai melayang tinggi.
Klowor siap melindunginya. Klowor siap mati untuk Kartika. Semua itu jauh dari
dugaan Kartika sendiri. Ia mulanya mengira Raden Klowor adalah sebagian dari
orang-orang yang punya selera untuk membunuhnya, ternyata dugaannya salah.
Sorot matahari di luar goa
tidak membuat Kartika silau. Ia berjalan melangkah sedikit cepat dengan bantuan
Klowor. Ia tak bisa jauh-jauh dari Klowor, karena ia belum terbiasa berjalan
dalam kegelapan mata seperti itu.
"Klowor..." bisik
Kartika. "Aku mendengar suara seseorang sedang bertarung di arah kanan
kita."
"Ya, aku juga mendengar.
Tapi, agaknya mereka jauh dari kita, kok. Tenang saja, Tika. Aku selalu ada di
sampingmu. Tenang saja...!"
"Apa kau bisa melihatnya;
siapa yang bertarung itu?" "Mereka cukup jauh, Tika. Dan, kurasa kita
tidak perlu mengetahui siapa mereka. Nanti malah kita terli-
bat urusan mereka."
"Blegaarr...!"
Terdengar suara ledakan membahana. Lalu, tanah menjadi guncang beberapa saat.
Klowor sendiri nyaris terpelanting jatuh karena guncangan bumi yang dipijaknya.
Kartika buru-buru berpegangan pada pundak Klowor dengan rasa cemas yang
menegangkan.
"Rupanya akibat ilmu
kedua orang yang bertarung itulah, yang membuat kita tadi ketakutan di dalam
goa, Klowor."
"Ya. Benar. Yang membuat
goa seperti mau runtuh itu adalah ilmu-ilmu yang dipakai dalam pertarungan mereka."
"Maka, periksalah dulu,
Klowor. Periksalah dulu, kalau ternyata mereka tokoh sakti, mungkin kita bisa
memohon bantuan untuk mengembalikan penglihatanku, Klowor."
Setelah mempertimbangkan
sesaat, Klowor pun berkata:
"Baiklah! Mari kita
mendekati mereka. Tapi, ingat...! Kau tidak boleh terlalu dekat. Kau harus
berada di tempat yang terlindung, sedangkan aku akan mengintipnya dari atas
pohon. Kalau memang mereka yang menang adalah tokoh sakti, maka aku akan
memintakan penyembuhan matamu kepadanya."
Kartika menyetujui perjanjian
itu. Karenanya, ketika ia ditinggal naik ke atas pohon oleh Klowor, setelah mereka
berjarak dekat dengan pertarungan itu, maka Kartika hanya diam saja ketika
tubuhnya yang jongkok itu ditutup dengan berbagai daun oleh Klowor.
"Astaga...!" gumam
Klowor di atas pohon. Matanya melihat pertarungan yang cukup seru, yaitu
seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba merah dengan ikat kepala yang
botak berwarna biru tua, sedang bertanding dengan tokoh botak pula, tanpa ikat
kepala dan masih ada sisa sedikit rambut di bagian tepian kepala.
Yang membuat Klowor kaget
adalah usia mereka. Mereka itu sudah sama-sama tuanya. Sama-sama berjenggot
putih, dan sama-sama mengenakan pakaian semacam jubah. Yang satu berwarna
merah, yang satu berwarna hijau tua. Keduanya bertarung dengan sama kuat,
sama-sama punya ilmu yang dahsyat untuk menyerang maupun menangkis.
"Klowor...!" seru
Kartika dengan bingung menentukan pohon yang digunakan memanjat oleh Klowor. Rupanya
Kartika tidak betah ditutup dedaunan. Gatal semua tubuhnya. Melihat keadaan
Kartika yang berjalan dengan meraba-raba, Klowor segera turun.
"Tika...?! Ada apa kau?
Kenapa tidak diam dalam persembunyian? Kalau ada musuhmu yang kebetulan lewat
sini, bisa-bisa kau celaka tanpa setahu aku, Kartika."
"Aku cuma ingin tahu,
siapa mereka itu?"
"Yang bertarung itu,
seorang lelaki botak berambut tipis pada bagian tepiannya, berpakaian jubah
hijau dan bersenjata sebuah tongkat. Sedangkan lawannya, berpakaian merah
dengan ikat kepala warna biru tua. Ia bersenjatakan sebuah kalung
bermanik-manik besar."
"Orang itu berkepala
botak dan jenggot putihnya panjang?"
"Ya. Ya, benar! Kau
mengenalnya?"
"Ya, ampuuun...! Mengapa
aku harus bertemu dengan Ketua Perguruan Kumbang Laga?!"
"Apa itu bahaya?"
"Jelas. Karena dialah
kaki tangan Prabu Umbarpati! Ia yang mempunyai tugas utama untuk menangkap atau
membunuhku!"
"Wah, lantas bagaimana
kalau sudah begini?!"
*
* *
5
Bumi ini bagi Kartika, adalah
ladang pembantaian. Di mana dia berada, di situ selalu terjadi pembantaian.
Dirinya sendiri adalah salah satu sasaran dari pembantaian yang tak kenal
lelah. Ia diburu dan dijadikan sasaran panah dendam bagi mereka yang membenci
Iblis Telapak Darah, ayah Kartika. Padahal, Kartika sendiri tidak pernah merasa
bangga mempunyai ayah seorang pembantai yang keji. Tetapi, dosa orang tuanya
telah memercik ke dalam kehidupan Kartika, sehingga ia dijadikan sasaran
pelimpahan dendam leluhur.
Beruntung sekali, Kartika bisa
bertemu dengan Raden Klowor yang masih hijau, namun punya kekuatan yang sudah
cukup matang. Klowor bertindak sebagai pelindung, lantaran dia tahu, bahwa
Kartika bukan manusia berdosa seperti almarhum ayahnya. Klowor ingin menegakkan
keadilan dan mencelikkan mata mereka yang tertutup nafsu membunuh.
Sehingga, dengan susah payah,
Klowor tetap membawa lari Kartika, mencari tempat berlindung sebelum ia
berhasil membawa Kartika kepada gurunya: Lanangseta.
"Apakah kau yakin kalau
Lanangseta gurumu itu bisa menyembuhkan kebutaanku?!" tanya Kartika seraya
dituntun untuk menjauhi pertarungan Ketua Perguruan Kumbang Laga.
"Pasti bisa!" jawab
Klowor meyakinkan. "Guru Lanangseta banyak kesaktian, sebab dengar-dengar,
dia itu sudah diberi wewenang sama dengan seorang dewa, karenanya ia bergelar
Malaikat Pedang Sakti. Ini menurut cerita bibi guru yang kudengar pada suatu
mimpi."
"Bagaimana kalau ternyata
gurumu itu tidak bisa menyembuhkan kebutaanku, Klowor?"
"Sesuatu yang diusahakan
terus menerus, tidak mungkin akan selalu gagal. Pasti akan tiba saatnya untuk
berhasil. Percayalah, Tika... aku tetap akan berusaha mencari jalan bagi
kesembuhanmu!"
Klowor terus melangkah,
menuntun Kartika dengan sabar dan hati-hati. Perasaan haru masih terselip di hati
Klowor melihat Kartika berjalan dengan susah payah, meraba-raba dan sesekali
tersandung akar maupun batu.
"Tika, awaaas...!"
Klowor segera menarik tangan Kartika ke bawah, hingga tubuh mereka merendah, karena
pada saat itu, sebuah tombak melesat dari arah depan Klowor dan nyaris
menghunjam ke dada Raden Klowor.
"Klowor...?! Ada
apa?!" Kartika gugup. "Seseorang telah menyerang kita, Tika...!"
Pada saat itu pula, sebuah
tawa terdengar terbahakbahak. Ada juga tawa yang terkekeh di samping kiri mereka,
dan ada pula gumam memanjang di samping kanan mereka. O, tiga orang brewok
telah mengepung Klowor dan Kartika dari tiga arah: depan, kiri dan kanan.
Semuanya berwajah bengis, brewokan dan berbadan tegap.
"Tiga orang brewok
menghadang kita," bisik Klowor. "Gawat. Mereka yang bergelar Tiga
Brewok Pencabut
Uban. Mereka cukup berbahaya,
Klowor."
"Apa kelebihan mereka,
Tika?" bisik Klowor sambil memandang ketiga calon lawannya dengan curiga.
"Jurusnya selalu
dilancarkan secara berkaitan, beruntun. Hati-hati, Klowor. Jangan sampai ada
satu uban atau satu rambut pun yang tercabut oleh mereka. Rambut kita sehelai
adalah nasib nyawa kita. Kalau rambut kita diputuskan maka saat itulah nyawa
kita melayang. Mereka adalah tokoh aliran hitam yang menyimpan dendam kesumat
pada ayahku."
"Di mana
kelemahannya?"
"Cari tahu yang bernama
Somali, itulah pusat kekuatan mereka. Kalau Somali dilumpuhkan, maka jiwa mereka
berdua jatuh. Kalau kau bisa membunuh Somali, maka yang dua akan bertekuk lutut
kepadamu. Itu menurut cerita ayah, dulu."
"Ayam kampung...!"
seru seseorang yang ada di kanan. "Menyingkirlah kau, Ayam Kampung. Jangan
menghalangi kami. Kami punya urusan dengan perempuan kudis itu!"
"Apa maksud kalian menghadang
kami?!" Klowor bersikap tegar dan tenang.
"Kami tidak menghadang
kamu," kata brewok yang di depan. "Kami hanya ingin membunuh biang
penyakit yang ada di belakangmu itu!"
"Mengapa Kartika harus
dibunuh?!"
"Ha, ha, ha... Maruto,
jelaskan kepada Ayam Kampung itu!" kata seorang yang ada di depan kepada
orang yang berada di samping kanan. Maka, Klowor pun mencatat dalam hati, o...
yang ada di sebelah kanan bernama Maruto.
Maruto berkata dengan suaranya
yang berat, sedikit serak:
"Ketahuilah, Ayam
Kampung, perempuan itu adalah keturunan iblis pelalap dosa! Bapaknya setan!
Keluarganya juga setan! Kalau kau melindungi dia, berarti kau termasuk keluarga
setan! Tahu?!"
Klowor terus memancing
pertanyaan sebelum ia menghadapi ketiga brewok itu. Hanya satu nama lagi yang
ia butuhkan untuk mengetahui, yang mana yang bernama Somali.
"Kalian picik! Salah
pengertian!" kata Klowor. "Tidak semua anak akan menjadi pewaris
sifat orang tuanya! Dan, tidak semua anak berhak menanggung dosa leluhurnya.
Kalian ini kelihatannya orang-orang berilmu tinggi, tapi mengapa berpikiran
dangkal?!"
"Maruto, serang
dia!"
"Tunggu!" Klowor
bersiap siaga dengan tangan bermaksud menahan gerakan mereka. Ia mencoba mengulur
waktu:
"Jelaskan dulu, apa sebab
kalian mendendam kepada ayah Kartika? Barangkali kalau menurut kalian benar,
maka aku pun akan melepaskan perempuan ini untuk menebus dosa!"
Orang yang ada di samping
kanan berseru kepada yang da di depan Klowor. "Dubang, ceritakan kematian
teman-teman kita karena pembantaian yang dilakukan oleh Iblis Telapak
Darah!"
Dalam hati Klowor berkata,
"O, yang ada di depanku itu bernama Dubang. Berarti yang punya nama Somali
itu orang yang ada di sebelah kananku. Bagus!"
"Ayam Kampung, coba kau
pikir, bagaimana kami tidak sakit hati dan menyimpan dendam kepada ayah perempuan
itu, jika pada suatu hari "
"Cukup!" Klowor
memutus pembicaraan Dubang, sebab ia sudah tahu, yang mana yang bernama Somali.
Klowor sempat berbisik kepada
Kartika, "Usahakan jangan sampai mereka tahu kalau kau buta. Cabut pedangmu,
dan cobalah menggunakan perasaan dalam bergerak. Awas, hati-hati... jangan
sampai pedangmu membabat aku."
"Ya, aku mengerti "
balas Kartika dalam berbisik.
Lalu, Klowor berkata kepada
mereka, "Aku sudah berembuk dengan Kartika, bahwa kami siap menghadapi
tuntutan dendam kalian. Tapi, jangan salahkan kami kalau kalian bertiga mati
dengan cara kurang nyaman. Mengerti?!"
Dubang tertawa keras.
"Ayam Kampung mau unjuk kekuatan? Hah, bunuh sekalian dia!"
"Heaaaatt !"
Maruto menyerang dengan
lompatan kaki terarah pada Klowor, Somali bersalto di udara menyerang Kartika.
Pada saat itu, Klowor pun melompat dan menyongsong Somali, supaya ia gagal
menyerang Kartika. Pukulan Somali diadu dengan kepalan tangan Klowor di udara,
dan kaki Klowor sempat bertabrakan dengan kaki Somali. Keduanya sama-sama
terpental ke belakang. Namun, Klowor lebih naas. Ia jatuh disambut dengan
tendangan kaki Maruto, sehingga punggungnya terasa mau patah rasanya. "Hiaaat...!"
Dubang menyerang Kartika dengan senjata pedang gandanya, satu di tangan kiri,
satu di tangan kanan. Klowor melihat hal itu menjadi cemas. Kartika menebaskan
pedangnya ke segala arah, membabi buta. Salah satu gerakan pedangnya ada yang
mengenai pedang Dubang, sehingga Kartika tahu sasaran. Maka kakinya segera
menghentak ke depan, agak ke bawah.
"Aaauww...!" Dubang
menjerit karena kemaluannya terkena tendangan Kartika. Somali segera mencabut
kampaknya. Pada saat itu, Klowor dihantam oleh Maruto hingga dadanya terasa mau
jebol. Klowor hanya berteriak:
"Kartika, awas samping
kananmu...!"
Dengan menggunakan kedua
tangan, Kartika memegangi pedangnya dengan meliuk-liukkan tubuh sambil
menebaskan pedangnya ke arah kanan. Ia tak tahu kalau Somali melompat ke atas
kepalanya dan kakinya menendang kepala Kartika hingga Kartika jatuh terguling-guling.
Suara pekikan Kartika membuat Klowor semakin berang. Maruto yang hendak
menerjang Kartika dengan senjata mirip tombak sepanjang lengan itu, segera
diterjang oleh Klowor.
Tendangan ke arah punggung
Maruto membuat orang itu terpental dan menabrak Somali, hingga keduanya
berguling-guling. Sementara itu, Dubang sempat menendang wajah Kartika dengan
keras, kemudian pedang kirinya menyabet ke bawah dan mengenai paha Kartika.
"Aaahhh...! Aku kena,
Klowor...!"
"Bangsat brewok, kubunuh
kau...!" teriak Klowor yang siap menusukkan pedang kanannya ke bawah, ke
arah perut Kartika. Tetapi, gerakan itu belum sempat terjadi karena dengan
cepat kaki Klowor menendang beruntun dalam satu lompatan salto, dan tepat
mengenai pelipis Dubang. Orang itu terpental ke samping, kemudian sebelum
pedangnya sempat berkelebat, Klowor telah lebih dulu menghentakkan pukulan ke
arah leher Dubang. Akibatnya Dubang memekik tertahan dengan tubuh berguling
menjauh.
Kartika bingung, karena
pedangnya lepas dari tangan. Ia meraba-raba mencari pedangnya. Pada saat itu,
Maruto segera berteriak:
"Hei, ternyata perempuan
jalang itu buta...! Dia buta!"
"Ha, ha, ha...! Dia buta!
Benar!" Somali kegirangan, juga yang lain. Tetapi, Klowor menjadi cemas,
mereka sudah mengetahui kelemahan Kartika, dan itu adalah bahaya.
"Klowor... mana
pedangku?" bisik Kartika sambil merangkak menggapai-gapai pedangnya yang
ada di bagian kaki. Klowor segera mengambil pedang Kartika dan membantu Kartika
berdiri.
"Uuh... pahaku terluka
dalam, sakit sekali...!" Kartika jatuh lagi, terduduk. Saat itu, Dubang
segera menyerang bersamaan dengan Somali. Satu menyerang Klowor, satu lagi
menyerang Kartika. Somali yang menyerang Kartika dengan senjata kampaknya yang
berbahaya.
"Kibaskan pedangmu ke
kiri...!" teriak Klowor sambil ia menangkis dan menghindar serangan
Dubang. Kakinya sempat masuk menjejak dada Dubang dengan buas, Dubang terlempar
lagi, sekalipun betis Klowor sempat tergores pedang yang ada di tangan kiri
Dubang. Traang...! Untung-untungan pedang Kartika mampu menangkis kampak
Somali. Tetapi, ia tak tahu kalau tangan kiri Somali segera menghantam wajahnya
hingga mata Kartika pun mengeluarkan darah. Kemudian, kampak Somali diangkat
dan siap membelah kepala Kartika. Pada saat itu, Klowor melompat, menubruk
Somali hingga keduanya
bergulingan. "Aaahh...!" Klowor memekik, dadanya sempat tergores
kampak Somali. Namun, ia tidak perdulikan, karena ia melihat Maruto melemparkan
senjatanya yang mirip tombak runcing ke arah Kartika.
"Serangan dari depan,
Tika...! Kibaskan pedang, aah...!" Klowor menjerit kesakitan sebab kaki
Somali mengenai wajah dan mulutnya. Tapi, Kartika sempat mengibaskan pedang ke
arah depan beberapa kali, sehingga senjata yang meluncur itu berhasil
ditangkisnya. Hanya saja, ia tak tahu kalau kibasan pedang segera dilancarkan
oleh Dubang dari samping kanannya. Klowor yang melihat sekelebat hal itu segera
melemparkan batu ke arah Dubang.
"Aaaow...!" Dubang
menjerit, karena mulutnya tepat dihantam oleh batu sebesar jempol kakinya.
Akibatnya kibasan pedang ke pundak kanan Kartika tidak begitu telak mengenai
sasaran. Namun, sempat merobek punggung Kartika yang kanan. Kartika menjerit
dan mengejang ke depan.
"Taar...!"
Klowor mengambil cambuk dan
mengibaskannya ke udara. Letupan cambuk itu sendiri telah membuat hati ketiga
musuhnya menjadi tersentak seketika. Semua mata memandang Klowor, dan sikap
mereka mulai hatihati.
"Itu Cambuk
Naga...?!" teriak Dubang. Klowor memutar-mutar cambuk ke atas kepala
sambil berjalan mendekati Kartika yang mengerang kesakitan. Somali dan Maruto
mengambil jarak agar tak terjangkau oleh cambuk itu. Dubang segera menggerakkan
kedua pedangnya bersimpang siur di depan wajahnya, membuat suatu gerakan jurus
perisai pedang. Ia siap menangkis serangan cambuk bila sewaktu-waktu dilecutkan
ke arahnya.
"Klowor... aku tidak
kuat..." Kartika meratap pelan, lalu tangannya memegangi kaki Klowor
sebagai tempat untuk bersandar. Ia memeluk kaki itu dengan lemas. Darah masih
meleleh dari sudut mata kirinya. Luka di punggung dekat pangkal lengan itu pun
cukup lebar dan sakit sekali. Klowor membiarkan Kartika memeluk kaki kanannya.
Menurutnya itu lebih baik, supaya ia tidak terpancing oleh lawan untuk bergerak
menjauhi Kartika.
"Kalau kalian masih
berkeras kepala menuntut balas kepada Kartika, maka cambukku ini yang akan
bicara tanpa ampun lagi. Ku usulkan, kita berdamai saja!" kata Klowor.
"Kami lupa bagaimana
caranya berdamai...!" kata Dubang.
"Baik. Kalau begitu aku
juga lupa bagaimana cara membiarkan kalian hidup."
Mendadak, Maruto berteriak,
"Tiga pusaran angin...!" Klowor tidak tahu apa artinya, namun ia
segera melihat ketiga manusia brewok itu bergerak berjajar di depan Klowor.
Masing-masing siap dengan senjatanya, posisi mereka berdiri menyamping dengan
kaki kanan maju ke depan. Gerakan tangan kanan mereka sama; ke atas kepala
mengacungkan senjata. Kemudian Somali
yang ada di tengah segera
berteriak: "Seraaang...!"
Mereka melompat bersamaan.
Bersalto dalam satu gerakan ke arah Klowor. Tetapi, beberapa saat sebelum
mereka mencapai Klowor, posisi mereka telah terpecah menjadi tiga arah. Dubang
membelok ke arah kanan, Maruto ke arah kiri, sedangkan Somali lurus ke atas
kepala Klowor. Jurus ini memang sempat membingungkan Klowor. Namun, dengan
gerakan cepat, Klowor mengibaskan cambuknya ke udara, berputar satu kali dengan
menimbulkan letupan dan nyala api pada bagian ujung cambuk. Letupan itu seakan
mengeluarkan tenaga dalam yang cukup kuat sehingga membuat tiga lawannya
terpental ke arah masing-masing.
Somali jatuh di belakang
Klowor, membentur pohon. Sementara Dubang dan Maruto terguling-guling di semak
berduri. Kesempatan itu digunakan oleh Klowor untuk menghantam Somali dari
tempatnya berdiri. Ia menghantam dengan lecutan Cambuk Naga yang tepat dalam
satu jangkauan.
"Taar...!" Ujung
cambuk yang mengeluarkan nyala api itu mengenai paha Somali, dan saat itu pula
Somali memekik sekeras-kerasnya.
"Aaaaoohhh...!"
Paha itu terpotong dari
pangkalnya dengan darah memancar dari luka potongan. Somali menjerit-jerit kesakitan,
karena ia telah kehilangan satu kaki.
Klowor memperhatikan Dubang
dan Maruto, ternyata mereka sangat ketakutan dan menjadi gugup. Klowor tahu,
mereka berdua mulai panik.
"Somaliii...! Somali kau
terluka...?!" teriak Maruto. "Dia terpotong kakinya!" balas
Dubang yang kebin-
gungan dan kelihatan sadis
sekali.
Benar juga kata Kartika,
apabila Somali dilumpuhkan kekuatannya, maka Maruto dan Dubang pun akan turun
mentalnya, dan menjadi ciut nyalinya.
"Hantam terus
Somali..." bisik Kartika dalam erangan kesakitannya.
Klowor segera mengibaskan
cambuknya sekali lagi dengan gerakan memutar-mutar cambuk lebih dulu di atas
kepala, baru kemudian dilecutkan.
"Taaar...!
Deeer...!"
"Somaliiiiii...!"
teriak Dubang dan Maruto bersamaan. Mereka segera menghambur ke tempat Somali
dan kebingungan di sana, sebab tubuh Somali telah hancur menjadi
serpihan-serpihan daging berlumur darah. Tubuh Somali bagai meledak, lalu
hancur akibat terkena jurus Naga Penjilat Nyawa.
Dubang dan Maruto menangis
meraung-raung dengan kebingungan ingin memunguti daging-daging serpihan tubuh
Somali. Klowor memejamkan mata. Sebenarnya ia tak tega melakukan hal itu.
Tetapi, gerakan tangannya seakan tidak pernah ia sadari. Seakan bergerak
sendiri dan menggunakan jurus maut yang ia sendiri belum mengetahuinya. Bahkan,
kali ini ia sendiri bingung, mengapa tangannya yang menggenggam Cambuk Naga
yang hitam berserat putih itu kembali memutarmutar di atas kepala.
Hal itu membuat Dubang menjadi
sangat ketakutan, demikian juga Maruto. Ia segera membuang senjatanya, dan
Dubang sendiri melemparkan kedua pedangnya sambil bersujud mencium tanah,
sementara mereka berseru sambil meraungkan tangis atas kematian Somali.
"Ampunilah kami...! Ampunilah
kami...! Jangan bunuh kami seperti saudara tertua kami itu...! Oh, ampunilah
kami. Jangan bunuh kami...!"
Suara mereka bersahut-sahutan
dalam erangan tangis seperti seorang anak kecil. Dan, Klowor segera
menghentikan gerakan cambuknya. Itupun ia sendiri tidak tahu, mengapa tiba-tiba
tangannya ingin berhenti dan menggulung tali cambuk yang terbuat dari serat sutra
putih.
"Nyawa kalian ada di
mulut Kartika," kata Klowor. "Kalau Kartika memerintahkan kalian
harus dibunuh, maka cambuk ini pun akan segera melesat dan membuat kalian
seperti Somali."
"Aduuuh... ampunilah
kami, Kartika...! Ampunilah...!" rengek Maruto tanpa tahu malu lagi. Ia
benarbenar seperti anak kecil.
"Kami memang salah! Kami
memang picik dan bodoh. Ampunilah kami, Kartika...! Oh, kasihanilah kami berdua
ini...!"
Klowor bicara dengan tegas,
sementara Kartika masih memeluk kaki Klowor dengan lemas.
"Bagaimana, Kartika?
Apakah mereka harus dibunuh sekalian...?!"
Kartika diam. Maruto dan
Dubang semakin ampunampun. Mereka juga menunggu keputusan Kartika dengan
tegang. Dan, setelah beberapa saat kemudian, Kartika pun berkata:
"Bebaskan
mereka...!"
"Baik. Kalian bebas! Dan,
pergilah yang jauh sana!" seru Klowor. Kemudian Maruto dan Dubang semakin
tak kenal malu, mereka menangis sambil berpelukan. Klowor ingin tertawa dalam
hati, namun ia merasakan sakit pada dadanya yang terkena goresan kampak Somali.
"Terima kasih...! Terima
kasih, Kartika...!" Dubang membungkuk-bungkuk dengan hormat di dekat Kartika.
Demikian juga Maruto, yang mengangguk-angguk sambil mengucapkan kata terima
kasih berulang-ulang. Kemudian, Klowor segera mengusir mereka untuk cepat-cepat
pergi. Dan, mereka pun pergi dengan berlari terbirit-birit.
"Klowor... aku
lemas...!"
"Kartika,
bertahanlah...!" Kemudian Klowor mengangkat tubuh Kartika yang mulai
membiru. Mungkin ada racun dari senjata lawan yang membaur di dalam darah
Kartika, sehingga tubuh itu menjadi pucat, bahkan membiru dan dingin. Klowor
sangat cemas. Lukanya sendiri tidak dihiraukan. Ia segera membawa pergi Kartika
dengan tujuan yang satu. Langkah Klowor sendiri menjadi gontai. Ia
terseok-seok, terhuyunghuyung, karena lukanya sendiri terasa perih.
Ketika tiba di pematang sawah,
Klowor tak tahan. Ia jatuh terkulai bersama Kartika yang sudah tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Seorang petani menjerit melihat Klowor dan Kartika dalam keadaan
bermandi darah. Kemudian dua orang petani lainnya datang dan segera memberi
pertolongan. Mereka membawa Kartika dan Klowor ke perkampungan mereka. Lalu,
kampung itu pun menjadi heboh, keadaan Klowor dan Kartika menjadi bahan
pembicaraan mulut-mulut kampung yang tidak tahu masalahnya. Mereka hanya
menduga-duga dan saling mengarang cerita sendiri-sendiri.
Entah berapa lama Klowor
pingsan, ketika ia siuman, ia sudah berada di sebuah rumah berdinding papan.
Seorang lelaki beruban yang mengaku bernama Pak Kiswo, berdiri di samping
tempat tidur bambu, tempat Klowor dibaringkan. Sedangkan istri Pak Kiswo itu
sebentar-sebentar membasuh darah yang masih mengucur dari luka-luka Raden
Klowor. Ada semacam ramuan lembut yang dilumurkan pada luka-luka Klowor, namun
hal itu tidak membuat darah menjadi berhenti. Klowor mengerang karena merasakan
sekujur badannya menjadi panas sekali.
"Bertahanlah, Anak
muda," kata Pak Kiswo. "Sebentar lagi rasa sakit dan panas akan
hilang. Paling tidak akan berkurang. Bertahanlah "
"Ooh... terima kasih atas
pertolongan bapak. Tapi...
tapi di manakah saya saat ini,
Pak?"
"Di rumah saya. Nama saya
Kiswo, dan ini istri saya. Saya yang menemukan kamu bersama teman perempuanmu
di pematang sawah dalam keadaan berlumur darah."
"Ooh... uuuh...!"
Klowor mengerang. "Lalu... lalu di mana teman perempuanku itu ? Di mana,
Pak?"
"Tadi pagi seseorang
mengambilnya." "Hah ?!" Klowor mendelik. Tegang.
"Dia mengaku saudara dari
teman perempuanmu itu." "Siapa namanya?!"
"Entah. Tetapi, dia
tampaknya seorang yang sakti. Ia mengenakan jubah merah, berkepala gundul
dengan ikat kepala biru tua. Ia membawa tasbih, kalung besar dan...!"
"Celaka! Itu musuh kami.
Itu Ketua Perguruan Kumbang Laga. Ooh... Kartika, kau pasti diserahkan kepada
Prabu Umbarpati...! Celaka! Celaka sekali...!"
*
* *
6
Klowor tidak memperdulikan
kesehatannya. Ia segera berlari menyusul kepergian Kepala Perguruan Kumbang
Laga. Ia harus bisa merebut kembali Kartika, sebelum perempuan cantik itu
diserahkan kepada Prabu Umbarpati.
Sesuai dengan petunjuk
beberapa orang yang melihat kepergian mereka, Klowor berlari terus tiada henti,
mengejar waktu yang cukup mendebarkan itu. Beruntung sekali utusan Prabu
Umbarpati tidak mengambil pusaka Cambuk Naga dan pedang milik Kartika, sehingga
Klowor masih merasa mempunyai kekuatan untuk mengalahkan orang tua berkepala
botak itu.
"Kacau! Ke mana mereka
perginya ya? Tak ada jejak yang bisa dipakai tanda," gumam Klowor ketika
sampai di tengah hutan yang tandus. Banyak pepohonan yang kering, tumbang atau
pun mati sama sekali. Pandangan Klowor memang sedikit bebas, tetapi ia sangat
menyesal karena ia tidak tahu ke mana arah kepergian utusan Prabu Umbarpati
itu.
Ada sebuah bukit. Bukit cadas
tanpa tanaman. Klowor segera naik mendaki. Barangkali di atas bukit itu Klowor
bisa melihat kelebat seseorang berbaju merah yang membawa Kartika. Tetapi
harapannya itu sia-sia. Ia menjadi kebingungan di puncak bukit cadas itu. Ke
mana arah yang harus dituju? Ke Selatan? Utara? Barat? Atau Timur?
O, ya. Timur. Sebab, Klowor
ingat kata-kata Kartika, bahwa Prabu Umbarpati itu adalah raja di daerah Wetan.
Sedangkan Wetan, berarti Timur.
Luka di dada masih ternganga.
Sedikit perih, tapi sudah tidak sepanas tadi. Klowor pun tidak memperdulikan
lagi. Yang ia perhatikan kini suara derap kaki kuda yang datang dari arah
Timur. Derap kaki kuda itu semakin menjauh. Itu tandanya mereka sedang menuju
arah Timur juga. Entah derap kaki kuda milik orangorang yang dikatakan Kartika
sebagai kaum pemakan daging manusia, atau derap kaki kuda dari kelompok lain,
yang jelas Klowor harus menyelidikinya.
Dengan menggunakan Lindung
Bumi, Klowor amblas ke dalam tanah dan melakukan pengejaran ke arah derap kaki
kuda itu. Satu kelebihan jurus Lindung Bumi, adalah dapat bergerak lebih cepat
ketimbang harus berlari di atas permukaan tanah. Karena itu, Klowor dalam waktu
singkat bisa mencapai di belakang derap kaki kuda yang bergemuruh seperti
datangnya rombongan badai itu.
Derap kaki kuda itu berhenti.
Di dalam tanah Klowor pun berhenti, menyimak suara yang ada. Oh, telah terjadi
pertempuran di atas permukaan tanah itu. Suara pekik dan teriakan yang ganas
terdengar susul menyusul. Klowor mulai menjauh dari bawah tanah tempat
berhentinya kaki-kaki kuda itu. Di tempat yang diperkirakan sepi itu, Klowor
melesat dari dalam tanah bersama hamburan pasir tanah yang jebol diterjang
lompatan tubuhnya. O, rupanya ia berada di kaki sebuah bukit, tepi hutan. Ada
suara debur ombak di kejauhan. Berarti tempat itu tidak seberapa jauh dari
pantai laut.
Tetapi, yang paling menarik
bagi Klowor adalah sejumlah pasukan berkuda yang membuat suatu lingkaran. Ada orang
yang dikepung oleh mereka. Orang itu mengenakan pakaian komprang model jubah
berwarna merah, kepalanya botak diikat kain biru tua. Tak salah lagi, dialah
Ketua Perguruan Kumbang Laga. Perempuan yang tergeletak di kakinya itu
berpakaian kuning gading. Dan, itulah Kartika. Rupanya utusan Prabu Umbarpati
sedang berebut Kartika dengan orang-orang berkuda. Utusan itu memperhatikan
Kartika, sekalipun ia diserang oleh tiga orang bertampang menyeramkan dan
ganas-ganas.
Apakah Klowor harus segera
turut campur merebut Kartika? O, tidak. Klowor akan menunggu, sampai ketahuan
siapa yang unggul dalam pertarungan tersebut.
Lama kelamaan, timbul rasa
was-was di hati Raden Klowor. Ada beberapa orang dari rombongan berkuda yang
secara diam-diam berusaha menggaet kaki Kartika yang agaknya tak sadarkan diri
itu. Apabila utusan Prabu Umbarpati melihatnya, segera kaki dan tangannya
bekerja untuk menghantam orang yang berusaha menggaet tubuh Kartika. Tetapi,
pada saat itu juga, datang serangan dari orang yang berada dalam arena, dan
membuat manusia botak berjubah merah itu terjungkal tak sempat menangkis dan
menghindar.
"Kalau begini caranya,
bisa-bisa Kartika diserobot oleh mereka dan dijadikan santapan yang lezat saat
itu juga. Wah, bahaya kalau begini caranya! Aku harus bisa segera menyerobot
Kartika lebih dulu." Klowor menggumam, berpikir dan mencari-cari tempat
yang strategis.
Tak jauh dari tempatnya
mengintai, Klowor melihat ada sebuah pohon besar yang berongga. Mirip goa.
Akarnya yang berbentuk pipih menyerupai dinding penyekat kamar. Rasa-rasanya
tempat itu cukup lumayan untuk menyembunyikan Kartika. Tapi, bagaimana cara
menyerobot Kartika supaya bisa berhasil dengan mudah?
"Cambuk Naga harus bicara
lagi! Kubuat habis penunggang kuda yang mengurung Kartika dan utusan Prabu
Umbarpati itu. Ah, tetapi... jangan-jangan kekuatanku yang bisa membuat pasukan
berkuda berantakan itu malah dimanfaatkan oleh lelaki botak untuk membawa kabur
Kartika. Bisa-bisa aku berurusan dengan mereka, sementara lelaki botak itu
dengan bebas membawa kabur Kartika. Wah, jangan! Jangan menggunakan cara
itu..." celoteh Klowor sendirian.
Tak jauh dari arena itu, ada
gundukan tanah yang tinggi. Klowor harus bisa berdiri di sana. Tapi, untuk
mencari tanah gundukan itu, ia harus melalui tempat lapang yang besar
kemungkinan bisa diketahui para pasukan berkuda. Satu-satunya jalan, ia harus
menggunakan jalan bawah tanah. Sekali lagi ia menggunakan jurus Lindung Bumi
untuk mencapai gundukan tanah itu. "Blees...!" Klowor berjalan di
dalam tanah, seperti berjalan di alam bebas, hanya saja cahayanya menjadi merah
namun tidak mengganggu mata. Dan, kini ia berhasil muncul di balik gundukan
tanah itu. Pelan-pelan ia merayap dan mencapai bagian atas gundukan tanah
tersebut.
Raden Klowor berdiri tegap di
atas gundukan tanah itu. Ia akan menggunakan jurus Tapak Sembrani, yang pernah
digunakan dalam merebut sebuah selendang (dalam kisah: PRAHARA RADEN KLOWOR).
Kali ini, ia berusaha menyedot tubuh Kartika dari jarak jauh. Ia cepat-cepat
memperagakan jurus tersebut sebelum pasukan berkuda itu mengetahui gelagatnya. Klowor
mengejangkan kedua tangannya. Nafasnya ditahan beberapa saat. Kedua tangan itu
segera bergerak kaku, telapak tangan saling merapat di depan dada. Keras
sekali, sampai tubuhnya pun ikut bergetar. Lalu, kedua tangan itu dihentakkan
ke depan dalam keadaan lurus, dan kedua telapak tangan dalam posisi tengkurap.
Mata Klowor tertuju pada
Kartika yang tergeletak di tanah. Kedua tangannya bergetar dengan nafas
tertahan sejak tadi. Dan tiba-tiba tubuh Kartika bergerak-gerak. Mereka yang
melihat menyangka Kartika sadar dari pingsannya. Namun, mata mereka menjadi
terbelalak kaget, ketika tubuh Kartika melayang di udara dalam keadaan
berbaring seperti semula.
"Huuuuuuoow...!"
Hampir semua mulut berseru kagum melihat tubuh Kartika melesat terbang dan tahutahu
sudah berada di atas gundukan tanah. Klowor berdiri sambil memapah tubuh
Kartika yang membiru kaku.
"Perempuan itu
dicurinya...!" teriak mereka. "Kejaaar...!"
Raden Klowor segera melarikan
diri sambil menggendong Kartika. Sementara itu, lelaki botak berjubah merah
jadi terbengong melihat Kartika sudah tidak ada di tempat semula. Ia tidak
melihat keajaiban yang dilakukan oleh Raden Klowor, karena ia sibuk bertarung
menghadapi tiga lawan yang mewakili pasukan berkuda.
Kini, utusan Prabu Umbarpati
itu pun ikut mengejar Raden Klowor dan berusaha mendului para penunggang kuda.
Namun, sebelum mereka semua sempat mencapai Klowor, murid Jaka Bego itu sudah
lebih dulu menyembunyikan tubuh Kartika di dalam pohon berongga besar. Ia
berdiri di depan rongga pohon itu untuk memberi perlindungan, dan menghalau
siapa saja yang hendak mengambil tubuh Kartika.
"Serahkan perempuan
itu!" teriak utusan Prabu Umbarpati. "Perempuan itu harus menanggung
dosa ayahnya!"
"Hei, tua bangka yang
bodoh, dosa ayahnya bukan merupakan dosa pribadinya! Kau jangan mau dibodohi
oleh dendam tuamu!" Klowor dengan berani, sementara pasukan berkuda telah
mulai mengepungnya.
"Serahkan dia, atau
kucincang bacotmu, hah?!" "Sebelum kau cincang bacotku, mungkin
gundulmu
sudah retak lebih dulu!"
"Biadab, hiaaatt...!"
Sebuah tendangan berputar dilancarkan oleh lelaki botak berjubah merah. Klowor
tak sempat menangkis tendangan yang kedua, sehingga wajahnya telak dihentak
kaki lawannya hingga darah mengucur dari hidung. Klowor menggeram kesakitan,
dan menggerutu dalam hati:
"Gawat, belum-belum
hidungku sudah bocor...!"
Klowor buru-buru menjaga
keseimbangan dalam berdiri. Ia terpaksa merendahkan badan karena kalung
bermanik-manik besar itu menyambar kepalanya. Dengan tubuh merendah begitu,
Klowor segera berputar dan melancarkan serangan dengan jurus Turangga Sujud.
Kedua tangan menapak di tanah, dan kedua kaki menghentak ke belakang, tepat
mengenai dada lawannya yang botak. Orang itu terjengkang ke belakang. Kemudian,
salah seorang dari penunggang kuda hendak melemparkan tombak kepada Klowor,
tetapi dicegah oleh pimpinan mereka.
"Tunggu, lihat dulu siapa
yang menang, baru kita bantai beramai-ramai!"
Kalau saja Klowor mau
berpindah tempat, ia akan mendapat ruang gerak yang lebih leluasa. Tapi, kalau
ia berpindah tempat, maka Kartika akan diserobot oleh para penunggang kuda.
Jadi, sekalipun tempatnya sempit, terbatas oleh semak berduri di kanan kiri,
tapi Klowor harus bertahan di depan rongga pohon itu. Ia harus menjadi benteng
bagi siapa saja yang hendak merebut Kartika.
"Hiaaatt...!" Lawan
menyerang dengan kibasan kalung yang memercikkan bunga api berwarna biru kemerahan-merahan.
Klowor berguling ke samping, percikan api mengenai batang pohon bagian atas
rongga, dan batang pohon itu menjadi hangus seketika, membentuk sebuah garis
hitam.
Merasa dirinya dalam bahaya,
Klowor tidak mau main coba-coba. Ia bisa kehabisan tenaga, salah-salah ia bisa
lengah, dan mengancam keselamatan jiwanya, juga mengancam keselamatan Kartika.
Maka, segera ia menggunakan cambuk pusakanya.
Pada waktu itu, tepat lawan
yang botak kepalanya itu, menyerang Klowor dengan memutar-mutarkan kalungnya
yang bermanik-manik batu besar. Klowor tahu, kalau kalung itu disabetkan, pasti
akan mengakibatkan bahaya besar baginya. Maka, sebelum hal itu terjadi, Klowor
segera melecutkan cambuknya ke udara. "Taaar...!"
Tali cambuk membelit di kalung
itu. Lawan terperangah sesaat. Kemudian, Klowor menghentakkan cambuk dengan
kekuatan keras, dan kalung itu pun hancur berkeping-keping bagai sebuah batu
yang rompal akibat benturan keras.
"Biadab haram...! Kau
benar-benar mencari mampus! Hiaaat...!" Lawan yang botak itu menerjang
Klowor dengan tendangan melayang. Ketika itu, Klowor mengelakkan ke kanan, dan
kaki lawan menjejak pohon, lalu membalik dengan bersalto dan mengenai punggung
Kartika.
"Huugh...!" Klowor
berguling-guling akibat tendangan itu. Posisinya membuka rongga penyimpanan
tubuh Kartika. Maka, lawan botak itu segera menghampiri tubuh perempuan cantik
itu dan hendak membawanya lari.
"Lancang kau...!"
teriak Klowor sambil mengibaskan cambuknya dalam posisi setengah terlentang di
tanah.
"Taaar...!" Jurus
Cambuk Kelabang Murka dilancarkan tanpa ampun lagi. Lecutan itu mengenai
punggung lawan berjubah merah. Punggung itu bolong seketika. Orang tersebut
memekik kesakitan sambil oleng menjauhi rongga pohon. Klowor buru-buru berdiri
dan menghantamkan cambuknya sekali lagi ke arah kepala orang itu.
"Taaar...! Deeer...!"
"Huuuuuuh...?!"
Semua orang berteriak kagum dan ngeri melihat tubuh lelaki botak itu meledak
dan hancur berkeping-keping. Serpihan-serpihan daging tubuhnya berhamburan ke
mana-mana membuat yang memandang menjadi memejamkan mata. Tak ada lagi ujud
lelaki botak berjubah merah, yang ada hanya cuilancuilan daging yang
menjijikkan.
Klowor sendiri sempat
bergidik, karena beberapa orang dari penunggang kuda itu ada yang turun dan
memunguti cuilan daging tersebut, lalu dimakannya, dikunyahnya dengan girang
hati. Pimpinan mereka yang berkumis tebal dan bermata merah itu menghampiri
pemakan daging itu, lalu menamparnya kuat-kuat.
"Goblok...! Kan ada
daging yang lebih lezat dari itu?! Serang dia! Cincang keduanya dan habisi
sekarang juga!"
"Seraaaang...!"
Mereka turun dari kuda dan
mengacungkan senjata. Tak ada pilihan lain bagi Klowor kecuali menghancurkan
mereka secepatnya. Karena itu, Klowor pun segera memutar-mutar cambuknya di
atas kepala. Kemudian bunyi letupan dan nyala api terjadi beberapa kali.
"Tar... taarr... tarr...!" "Aaaahhh...! Aaauuh...!"
Mereka mencengkeram kejang dan
menjerit-jerit karena tubuh mereka mulai dibakar api. Seperti ada kilatan
cahaya petir yang menyambar-nyambar mengenai tubuh mereka. Bahkan beberapa
pohon pun ikut terbakar. Kuda-kuda meringkik dan berlarian dengan binal.
Kuda-kuda yang mengamuk itu pun sempat menginjakinjak beberapa orang penunggang
kudanya sendiri.
"Lariii...! Lekas
lariii...!" teriak pimpinan mereka yang bermata merah. Sempat sang
pimpinan memandang Klowor beberapa saat, kemudian dari sorot matanya itu keluar
sinar berwarna merah tua tertuju pada Raden Klowor.
"Hiaaaat...!" Klowor
melompat ke samping, sambil mengibaskan cambuknya ke arah kepala pimpinan mereka.
Ujung cambuk yang menimbulkan suara ledakan itu tepat mengenai pelipis orang
tersebut, dan pecahlah kepala itu menjadi berkeping-keping.
Taaar...! Taaar...!
Cambuk Naga beraksi terus.
Beberapa orang penunggang kuda itu lari tunggang langgang dengan tubuh terbakar
api yang susah dipadamkan. Bau sangit mengabar. Jerit dan pekik saling
bersahut-sahutan bagai irama neraka. Sementara itu beberapa pohon telah
terbakar dan menjadi berkobar.
Angin berhembus cukup kencang.
Angin itu juga akibat dari putaran cambuk yang bagai kipas angin di atas kepala
Klowor. Tak satu pun dari mereka ada yang lolos dari api. Semuanya terbakar
dengan keadaan mengerikan. Ada yang sambil berlari-lari mencari tempat air, ada
yang berguling-guling sambil berteriak. Ada pula yang hanya diam saja,
tahu-tahu rubuh dan menjadi hangus. Kuda-kuda yang terbakar pun meringkik
mengerikan sambil menggelepar-gelepar di rerumputan. Namun, ada pula kuda yang
lolos dari senjata api cambuk dan berlari ketakutan sambil menabrak beberapa
orang dari mereka.
Hutan jadi terbakar. Apinya
berkobar-kobar. Klowor jadi kebingungan sendiri. Tak ada pilihan lain bagi Klowor
kecuali membawa lari Kartika, menjauhi hutan yang sudah terlanjur terbakar itu.
Dengan menggendong Kartika di pundaknya, Klowor terus berlari meninggalkan
jerit kematian dan kobaran api yang kian mengganas itu.
Entah ke mana Klowor harus
lari, tetapi begitu ia sadari, ia sudah berada di sebuah pantai. Nafasnya terengah-engah,
matanya memandang kanan kiri dengan panik. Oh, ternyata ia sampai di tebing
karang, tempat pertama kali ia bertemu dengan Kartika.
"Kartika...!
Kartika...?!"
Perempuan cantik yang membiru
itu tidak bersuara lagi. Keadaannya benar-benar parah. Klowor menjadi gusar,
dan kepanikannya meningkat. Haruskah Kartika mati di tempat pertama kali mereka
berjumpa? O, tidak! Kartika yang sudah terlanjur buta itu harus sembuh. Ia
sudah berjanji, bahwa ia akan mencarikan jalan untuk kesembuhannya.
Tapi, dalam keadaan begini,
apakah mungkin Klowor mampu melarikan Kartika ke Puri Bukit Bulan, tempat
Lanangseta dan Kirana hidup bersuami istri itu? Apakah ada cukup waktu untuk
membawa Kartika ke sana?
Klowor menempelkan telinganya
ke dada Kartika. Ya, ampun! Detak jantungnya sangat lemah. Sebentar lagi pasti
Kartika akan mati. Ia harus segera ditolong. Harus, ya, tapi bagaimana
caranya?! Bagaimana?! Klowor benar-benar gusar dalam kebingungannya.
Ada sebuah ingatan yang
mengharukan hati Klowor, yaitu pada saat Kartika dalam keadaan pingsan dan terluka
bagian dalamnya akibat pertarungannya dengan Ki Punggo. Ia pada waktu itu
berhasil menyelamatkan jiwa Kartika. Lalu, Klowor ditampar, lalu Kartika
menyesal, lalu Kartika meminta maaf, kemudian mereka masuk ke dalam goa.
Aaah... kenangan itu sungguh menggoda hati Klowor.
"Hei, mengapa aku tidak
melakukan penyembuhan seperti yang kulakukan di goa itu?" pikir Klowor. Ia
ingat, saat ia menghembuskan nafas bantuan ke dalam mulut Kartika, ternyata
membuat Kartika sehat kembali. Waktu itu, Klowor sebenarnya cukup bangga pada
dirinya sendiri. Tetapi, bagaimana dengan tamparan Kartika dan tuduhan Kartika
tentang kekurangajaran Klowor?
"Ah, masa bodo! Dia mau
menuduhku lagi, mau menamparku lagi, mau berterima-kasih padaku... itu urusan
nanti. Yang penting sekarang aku harus memberikan nafas bantuan ke dalam
mulutnya. Guru pernah berpesan begitu!"
Maka, dengan tanpa ragu-ragu
lagi, Raden Klowor mengecup bibir Kartika yang membiru itu. Ia meniup mulut itu
beberapa, kali. Bahkan tangannya sempat membuka mulut Kartika untuk melakukan
pemberian nafas bantuan dengan lebih leluasa lagi.
Kepala Klowor jadi pusing
sendiri. Ia banyak menghembuskan nafas lewat mulut ke mulut Kartika, namun
Kartika belum sadar dari pingsannya. Ia hampir putus asa. Sekali lagi ia
mencoba meniup mulut Kartika bagai sedang meniup api di dalam tungku memakai
corong bambu.
Lama-lama, ia melihat
tanda-tanda kehidupan. Dada Kartika mulai berdegub jelas. Lalu, ada nafas pelan
yang terhembus dari hidung Kartika.
"Tika...?! Tika...?!
Sadarlah, Kartika...?!" Klowor bersemangat dan mulai berdebar-debar. Ia
tersenyumsenyum dalam keharuan. Ia mengusap-usap wajah itu dengan penuh rasa
sayang.
Sesaat kemudian terdengar
suara erangan yang lirih. Kartika merintih. Sekali pun masih merintih, namun
Klowor sudah cukup lega, sebab dengan demikian maka Kartika ada harapan untuk
bisa hidup kembali.
"Tika...? Kartika...? Kau
dengar suaraku...?!" "Ooh... di mana aku...?!"
"Kita... kita berada di
pantai, Kartika. Kita telah berhasil lolos dari buruan orang-orang pemakan
daging manusia, dan... dan Ketua Perguruan Kumbang Laga itu telah berhasil ku binasakan,
Kartika. Kita aman di sini... Di pantai tempat kita pertama kali berjumpa, Tika...!"
Kartika mengerjap-ngerjapkan
mata. Ia masih mengeluh dan mengerang dengan lemas.
"Klowor... aku
sakit...!"
"Kau akan sembuh, Tika.
Akan sembuh...!" Klowor girang sekali. "Aku telah memberikan
pernafasan bantuan lewat mulutmu, seperti dulu, sewaktu di dalam goa itu "
"Ooh... kau..."
Suara Kartika lemah. Kini Klowor mengangkat kepala Kartika dan meletakkan dalam
pangkuannya. Ombak masih menderu dan memercikkan buih-buihnya ke pantai.
"Bagaimana kalau
kulakukan lagi, Tika?" "Apa ?" tanya Kartika dengan lirih dan
parau.
"Bagaimana kalau kutiup
lagi mulutmu ?!"
"Ah..." Kartika
sempat mencubit hidung Klowor dengan tawa yang tersimpan, karena kesehatannya
belum pulih sama sekali.
Tetapi, pada saat ia berhasil
mencubit hidung Klowor, matanya menjadi membelalak dan berkedip-kedip.
"Klowor...?! Ooh... aku
bisa melihat lagi ?!"
"Apa ?! Kau bisa melihat
lagi?!"
"Ya. Aku... aku... oh,
aku bisa melihat lagi, Klowor !" Kartika memeluk Raden Klowor dengan
tangis kebahagiaannya. Rupanya tiupan nafas yang dilakukan Klowor itu telah
membuat segala penyakit sirna, baik penyakit di luar tubuh maupun di dalam
tubuh. Dan, yang sangat di luar dugaan adalah, kebutaan mata itu sendiri jadi
ikut terobati secara tidak sengaja. Rupanya itulah salah satu kehebatan Klowor
yang tidak pernah disadari selama ini, bahwa nafasnya mampu menyembuhkan segala
macam penyakit.
Luka lain pada diri Kartika
pun berangsur-angsur hilang. Lalu, Kartika pun tampil kembali sebagai sosok
perempuan cantik yang mempunyai ilmu tidak mudah disepelekan. Kini, ia selalu
bersamaan dengan Raden Klowor, terutama dalam misinya mencari Pulau Kramat yang
hilang.
SELESAI