Serial Pendekar Cambuk Naga Eps 11 : Istana Langit Perak

1

Ludiro terpaksa berguling ke tanah secara tiba-tiba, karena sebuah batu seukuran genggaman tangannya meluncur dari arah samping. Seseorang telah melemparkannya dari balik persembunyian. Andai kata Ludiro yang bertubuh sedikit pendek itu tidak segera berguling ke depan, sudah pasti batu itu akan mengenai pelipisnya. Pelemparnya tergolong jitu dan mempunyai daya lempar yang cukup cepat.

Sayang sekali Ludiro tak sempat memeriksa siapa pelempar gelapnya itu. Karena begitu ia bangkit, hendak meneliti keadaan sekitarnya, tahu-tahu ada dua batu yang meluncur dari arah kiri dan kanannya. Sekali lagi Ludiro berguling ke depan dalam keadaan tubuh menyentuh tanah.

"Bangsaaatt...! Keluar kau kalau berani....!" teriak Ludiro seraya berguling lagi, karena kini tiga batu menyerang dalam satu arah. Salah satu batu ada yang mengenai betisnya, namun ilmu kekebalan tubuh yang ada pada Ludiro membuat lemparan itu bagai tak terasa menyentuh kulitnya.

Sebelum serangan batu datang lagi, Ludiro buruburu bersembunyi dari balik akar pohon yang berlapislapis bagai dinding papan itu.

Mata tuanya masih lugas bergerak nanar, mencari pelempar gelap dari balik rimbunan semak berduri. Ia tak menemukan tanda-tanda kehidupan di balik semak itu. Ia mendengus kesal. Kemudian dengan satu gerakan menghentak, tubuhnya melenting bagai belalang terbang, dan hinggap di sebuah dahan pohon tanpa suara.

"Setan mana yang berani membokongku tadi?" gerutunya pelan sambil ia memeriksa keadaan sekeliling dari atas pohon.

Sepi. Gerakan samar pun tak ada yang menimbulkan kecurigaan. Geram dan dongkol hati Ludiro menghadapi serangan licik itu. Namun ia tetap bersabar, berdiri di atas dahan sebuah pohon berdaun lebat, matanya bergerak liar dan tangan kanannya siap memegang pedang Jalak Pati yang terselip di pinggang kirinya.

"Pasti perbuatan orang iseng yang berjiwa pengecut!" geramnya seraya hendak meninggalkan dahan pohon.

Namun tiba-tiba, sebatang dahan kering seukuran lengan manusia dewasa meluncur ke arahnya. Dahan kering itu melesat dari bawah menuju ke atas. Dada atau kepala Ludiro yang menjadi sasarannya. Dahan itu meluncur dengan cepat tanpa sempat diketahui Ludiro siapa pelemparnya. Namun dengan cepat pula Ludiro mencabut pedang Jalak Pati dan menangkis dahan itu sehingga benda tersebut berubah arah, meluncur menuju tempat di mana ia lemparkan tadi.

Harapan Ludiro, dahan kering itu akan mengenai pelemparnya sendiri dari balik persembunyian. Tetapi, ternyata dahan itu hanya menembus semak ilalang dan rimbunan berduri. Hanya suara "Krrosaaaak...!" tanpa ada pekik seseorang yang terkena dahan tersebut.

"Gila...! Siapa orangnya yang melakukan kelicikan seperti ini?!" geram Ludiro seraya memasang kewaspadaan, menoleh kian ke mari dengan pedang siap ditebaskan. Ia pun berseru dengan jengkelnya:

"Hei, Setan kurap...! Keluar kau dari persembunyianmu. Kalau memang kita ada urusan, selesaikan secara jantan!"

Detik demi detik berlalu. Namun tak ada jawaban apa pun yang didengar Ludiro. Hanya hembusan angin yang sangat tipis, dan bahkan suara Krosak pun tak terdengar sedikit pun. Sepi. Dan benar-benar sunyi.

Ludiro menyabarkan diri, menunggu dengan waspada di atas pohon itu. Lama sekali ia tenggelam dalam kesunyian hutan yang berada tak jauh dari pantai. Mungkin penyerang gelap merasa bosan mempermainkan Ludiro, sehingga ia pergi begitu saja setelah beberapa serangan gelapnya tak berhasil mengenai tubuh Ludiro.

Karena merasa aman, Ludiro pun bergegas turun dari atas pohon. Tapi baru saja ia merendahkan kaki hendak meloncat ke bawah, tahu-tahu beberapa batu meluncur dari arah belakangnya dengan cepat. Ludiro merasakan ada hembusan angin yang menuju ke arah punggungnya. Segera ia berbalik sambil mengibaskan pedang Jalak Pati. Terdengar bunyi, "tring... tring....

tring... buk!" Salah satu batu menghantam dada Ludiro dengan keras. Memang tidak menimbulkan luka, namun hentakannya yang keras itu membuat Ludiro terjengkang ke belakang, dan jatuh dari atas pohon. Untung ia segera bersalto ke belakang dua kali, sehingga tubuhnya dapat menapak ke tanah kembali dengan mulus.

"Keluar kau, Jahanaaaaam....!" teriak Ludiro sangat marah. Karena lama tak terdengar jawaban dan tak ada serangan lagi, Ludiro merasa benar-benar dipermainkan oleh musuh gelapnya.

Segera ia memasukkan pedang Jalak Pati ke sarungnya. Dengan hati bergetar karena marah, Ludiro mencabut Cambuk Naga yang bertengger di pundaknya. Cambuk itu bergagang hitam, terbuat dari serat sutra warna putih. Namun senjata warisan Putri Ayu Sekar Pamikat itu memang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ludiro melecutkan cambuk tersebut ke udara dengan satu gerakan yang belum pernah dilakukan olehnya, yaitu gerakan memutarkan cambuk di udara bagai sedang mengelilingi bagian atas kepalanya. Dan memang seperti yang sudah-sudah, Ludiro selalu tidak mengerti harus bergerak bagaimana dalam menggunakan cambuk itu. Namun, biasanya tangan dan kakinya bergerak sendiri, bagai ia sedang melancarkan satu jurus untuk senjata Cambuk Naga itu. Sehingga, kali ini pun ia sedikit heran dan kagum, karena gerakan memutar dari cambuk itu menimbulkan letupan beberapa kali: "Taar...tar...taar... tar...taaar...!"

Pada saat itu pula, dari ujung cambuk keluar kilatan api yang bagai memercik ke sana-sini. Ludiro sendiri heran dan tidak tahu jurus apa itu namanya. Yang jelas, ia segera menghentikan gerakan memutar cambuk di udara setelah ia tahu bahwa rumput ilalang dan semak berduri mulai terbakar di sana-sini. Api menyala dan menjadi makin berkobar. Ludiro kebingungan sendiri, lalu segera melesat cepat ke arah lain, ke tempat yang belum terbakar. Tempat itu lebih mendekati tepian hutan dan lebih lega dari tempat semula. Dari situ ia dapat melihat hutan yang terbakar dengan asap kian lama semakin menebal.

Bukan nyala api yang ditunggu Ludiro, tapi kemunculan penyerang gelapnya yang diharapkan muncul karena terkurung api. Ternyata, sampai beberapa lama, tak satu pun manusia yang kelihatan muncul atau bergerak melarikan diri dari kobaran api tersebut. Sepertinya di hutan itu hanya ada Ludiro seorang diri.

"Brengsek...!" geram Ludiro dengan hati menjadi semakin dongkol dan penasaran kepada penyerang gelapnya. "Ia mampu bertahan dalam kobaran api. Manusia atau setan sebenarnya dia itu? Gila! Betul-betul gila! Aku dipermainkan dengan seenaknya. Apa maksud orang itu sebenarnya?"

Ludiro memasukkan Cambuk Naga pada tempatnya yang melekat pada punggung. Ia menghempaskan nafas panjang dalam satu kekesalan. Sekali lagi ia mencoba bersabar untuk menunggu kemunculan penyerang gelapnya, namun tetap saja tak ada yang muncul. Padahal menurut perkiraan Ludiro, mereka lebih dari satu orang. Buktinya mereka mampu menyerang dengan batu dari beberapa arah secara bersamaan.

"Ah, untuk apa mengurus kelicikan gila ini?!" pikir Ludiro. "Tugasku adalah pergi ke Pulau Kramat dan menolong Jaka Bego dari cengkeraman Nyai Katri, penguasa pulau tersebut. Kasihan Jaka jika ia harus mati dengan sia-sia di sana..." Ludiro melangkah dengan tenang, namun gerakannya tetap seperti lompatan anak kijang menembus hutan. Ia tak mau peduli lagi dengan penyerang gelapnya. Baginya, lebih cepat mencapai pantai lebih baik, dan ia akan segera menyeberangi lautan, menuju Pulau Kramat tempat Jaka Bego ditawan.

Namun ketika ia tiba di pantai, langkahnya terhenti seketika, dan tubuhnya merunduk dengan rendah, nyaris jongkok di tempat. Sebuah batu karang lebih besar dari kepalan tangannya melayang dari arah samping kiri. Batu itu bagai dilemparkan dengan tenaga dalam sehingga gerakannya mirip seulas sinar membias dan menyerang Ludiro. Untung Ludiro sigap, sehingga batu itu melesat di atas kepalanya, dan membentur tebing karang yang berada jauh di sebelah kanan Ludiro. Terdengar suara dentuman kecil akibat benturan batu karang dengan tebing. Dentuman itu pun mengakibatkan tebing karang rontok sebagian dan batu pelemparnya hancur bagai debu.

"Edan! Pasti orang berilmu tinggi yang menyerangku dari tadi itu," kata Ludiro dalam hati sambil memandang kagum terhadap benturan batu karang tersebut. "Untung bukan kepalaku yang terkena batu karang itu. Untung hanya tebing kokoh yang akhirnya rontok juga sebagian bebatuannya."

Ludiro mencari-cari penyerangnya. Hatinya sangat jengkel. Ia pun berteriak keras-keras, "Setaaaaan...! Di mana kamu?! Keluaaar...! Keluar...! Hadapi aku secara jantan, Kunyuk...!"

Deburan ombak samar-samar bagai sebuah riak laut. Tak ada jawaban dan kata. Ludiro memeriksa tempat datangnya lemparan tadi, namun ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Tapak manusia pun tak ada di sana. Kesal sekali hati Ludiro. Akhirnya dengan beberapa kali gerakan, Ludiro bersalto ke udara dan memekik, "Ciaaaatt...!"

Senjata rahasianya yang berupa mata pisau kecil itu meluncur di beberapa arah dan mengenai beberapa tempat belukar. Sekali lagi Ludiro melesat sambil bersalto di udara, tangannya bergerak cepat melemparkan senjata rahasianya yang sudah jarang terpakai. Namun senjata-senjata itu bagai mengenai tempat kosong. Tak ada suara orang mengaduh atau memekik kesakitan. Berarti tak ada seseorang yang terkena lemparan senjata rahasia beracun itu. Ludiro berseru, "Pengecut...! Keluarlah! Ayo, kita bertanding secara ksatria! Jangan main sembunyi-sembunyi seperti tikus sawah!"

Tiba-tiba Ludiro bergerak cepat, merundukkan kepala dalam posisi miring ke kiri dan tangannya bergerak cepat ke atas, menangkap satu benda yang dilemparkan dari arah tak diketahui. Benda itu berdesing lembut, tapi telinga Ludiro mampu menangkap desingan itu, sehingga dengan cepat dan tangkas ia pun berhasil menangkap benda itu ke dalam genggamannya.

"Seet...!"

Ludiro tercengang melihat benda yang ditangkapnya dengan tangan kanan itu. Ternyata sebuah senjata rahasia berupa mata pisau beracun. Senjatanya sendiri.

"Biadab...! Ini senjataku sendiri yang dikembalikan oleh penyerang gelapku. Gila! Edan! Apa-apaan sebenarnya ini? Siapa dia? Atau mereka? Atau..." Ludiro memandang nanar ke arah tempat datangnya lemparan tersebut. Ia masih menggenggam senjata rahasianya sendiri sambil mencari-cari sesuatu yang bisa menimbulkan kecurigaan. Ia berseru:

"Baiklah, Kawan..! Aku tak mau melawan seorang perempuan! Sebaiknya kita lupakan saja masalah ini dan kau kuanggap menang! Aku tak mau melayanimu!"

Dari suatu tempat balik pohon, ada suara yang menyahut:

"Aku bukan perempuan, Babi!"

Ludiro terperanjat, kini mulai menegang karena sebentar lagi ia pasti akan mengetahui siapa penyerang gelapnya itu.

"Kau bohong, Kawan. Kau pasti seorang perempuan. Kau dapat merasakan kebancianmu, Kawan!" Ludiro sengaja membuat panas hati lawannya dengan penghinaan itu.

"Bagaimana dengan kebancianmu, ha? Kamu tidak bisa temukan aku, ha?! Kamu tolol!"

Ludiro agak berkerut dahi. Suara orang itu sepertinya aneh. Punya nada dan aksen tersendiri. Ludiro memancing pembicaraan lagi, "Apakah aku perlu menemukan kamu?! Apakah aku perlu datang kepadamu dan memenggal kepalamu?!"

"Sebaiknya begitulah...!"

O, rupanya suara itu datang bukan dari semak atau balik pohon, melainkan dari atas pohon. Tapi pohon yang mana, Ludiro masih bingung memastikannya. Ia hanya berkata lagi:

"Apa kau tak menyesal kalau aku memenggal kepalamu?!"

Ludiro segera memasang telinga baik-baik, menyimak arah jawaban yang akan didengarnya. Suara itu mengatakan:

"Tidak mungkin aku menyesal, karena sebelum kamu memenggal kepalaku, kepalamu sudah akan hancur lebih dulu!"

Begitu mengetahui arah datangnya suara, Ludiro segera melemparkan senjata rahasianya itu ke arah atas pohon berdaun lebat. Senjata mata pisau kecil itu melesat cepat, menembus rimbunan daun. Lalu Ludiro menunggu suara orang mengaduh atau pekik kesakitan. Tetapi tidak ada suara itu. Ini pertanda senjata tidak mengenai tubuh lawannya. Sebetulnya, justru sekarang Ludiro mendengar suara berdesing lembut menuju arahnya. Ludiro segera bersalto ke udara dengan posisi tangannya menukik ke bawah, lalu menangkap sesuatu yang terlempar dari atas pohon tersebut.

Oh, ternyata senjata rahasianya yang tadi kembali lagi dari balik rimbunan daun pohon itu. Ini menandakan bahwa ketangkasan orang yang bersembunyi tak dapat dianggap remeh. Orang itu seperti punya ilmu yang cukup tinggi dan cukup membahayakan. Buktinya, sudah dua kali ia mampu menangkap senjata rahasia dari Ludiro, dan bahkan mampu mengembalikan lagi dengan suatu serangan yang membuat Ludiro sedikit terteter.

Tangan Ludiro sudah hendak mencabut Cambuk Naga untuk membuat semua daun terbakar. Tetapi niatnya itu tertunda, karena seorang lelaki telah muncul dari balik kerimbunan daun. Ia meloncat dalam satu gerakan ringan, turun dari atas pohon. Ia berdiri tegap dan sigap menghadap Ludiro.

"Apakah aku seorang perempuan?" katanya, dan Ludiro masih terpana beberapa saat.

Ludiro merasa belum mengenal lelaki tinggi, tegap dengan rambut putih semua, sama putihnya dengan rambut Ludiro sendiri. Lelaki itu mengenakan pakaian hitam, baju lengan panjang yang dilapisi rompi merah sepanjang bawah perut. Ia bermata sipit, tajam, dan berkumis melengkung ke bawah hingga di dagu. Celananya hitam berhias garis kuning emas di bagian tepiannya. Alas kakinya berupa sepatu kulit binatang yang panjangnya nyaris sampai ke betis. Ia menampakkan betul sosok seorang keturunan Tiongkok.

Rompi merahnya yang panjang itu berhias benang emas membentuk sirip ikan atau sisik ikan yang lebarlebar. Ludiro dapat memastikan rompi itu cukup berat karena agaknya terbuat dari campuran logam dengan kain. Mungkin itu merupakan baju anti senjata tajam yang menjadi pelindung bagian tubuhnya. Sedangkan ikat pinggang yang dikenakan mirip seutas tali besar, namun terbuat dari lapisan kain dan pada kedua ujungnya terdapat logam runcing berbentuk mata tombak sebesar telinganya yang caplang. Agaknya, ikat pinggang itulah satu-satunya senjata yang dimiliki lelaki bermata sipit namun tajam itu. Badannya memang sedikit gemuk, tapi bukan gendut. Sikapnya berdiri yang menaruh kedua tangannya di belakang itu menampakkan betul bahwa ia orang berilmu tinggi, sekaligus merupakan orang terhormat di kalangannya. Tapi anehnya, ia hanya sendirian, tanpa pendamping satu pun. Keadaan pakaiannya pun tidak begitu rapi, ada beberapa bagian yang robek, terutama pada bagian lengan. Ini menandakan bahwa ia habis melakukan perjalanan jauh, atau setidaknya habis menemukan malapetaka yang tak sempat merenggut nyawanya.

Ludiro sejak tadi memperhatikan lelaki Cina dengan dahi berkerut. Bahkan di hati Ludiro mencoba-coba menerka apa maksud lelaki itu menyerangnya?

"Kamu heran melihat aku, ha?" kata lelaki itu seraya melangkah mendekat beberapa kali.

"Kita memang belum pernah saling berjumpa, bukan?"

Senyum sinis tersungging di bibir lelaki itu. "Mungkin memang baru kali ini kita berjumpa. Tetapi aku masih ingat wajahmu, ketika kau menghancurkan anak buahku dan kapalku di sebuah pantai..." (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO).

Ludiro semakin berkerut dan bersungut-sungut. Lelaki itu makin mendekat dengan kedua tangan masih bertaut di belakang pinggangnya.

"Aku Laksamana Chou...! Aku ayah dari gadis Yin Yin yang diculik oleh pemuda picisan, dan kau telah menghambat gerakan anak buahku yang ingin mencari pemuda itu. Kau telah membantai mereka, lalu menghancurkan kapalku dengan isinya. Sekarang, sudah saatnya aku menuntut balas kekejianmu!"

Ludiro manggut-manggut dengan tenang. Kini ia ingat peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika ia bertarung melawan orang-orang Tiongkok di sebuah pantai. Pada waktu itu mereka sedang memburu Jaka Bego untuk mengorek keterangan di mana Yin Yin, putri Laksamana Chou itu disembunyikan. Sebenarnya, mereka hanya salah sangka. Karena sesungguhnya yang melarikan gadis Yin Yin itu adalah Ekayana, saudara kembar Lanangseta. Tapi Laksamana Chou menuduh Lanangseta itulah yang membawa kabur anak gadisnya. Laksamana Chou hanya tahu, bahwa Ludiro dan Jaka Bego adalah orang-orangnya Lanangseta.

"Bersiaplah untuk mati dengan tersiksa..!" kata Laksamana Chou yang sudah tidak menautkan kedua tangan ke belakang. Ia bersiap mengadakan pertarungan dengan Ludiro.

"Tunggu! Tahan emosimu, Laksamana. Kita jangan sampai salah anggapan dan menjadi korban karenanya."

"Aku tidak salah anggapan. Aku melihat sendiri dari teropong di kapalku, bahwa kaulah orangnya yang membantai semua anak buahku, kecuali si pengkhianat Huang Pai!" "Memang. Memang aku yang membantai mereka, tetapi itu karena mereka salah anggapan juga, dan aku terpaksa mempertahankan diri daripada harus mati di tangan anak buahmu!" kata Ludiro tetap menjaga kesiagaan. "Ketahuilah, Laksamana Chou, bahwa putrimu, Yin Yin itu, ada di tangan Pendekar Maha Pedang yang bernama Ekayana. Dan aku bukan orangnya Ekayana. Aku ada di pihak Lanangseta, Si Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti!"

Chou menuding Ludiro dengan geram, "Kau tidak perlu mengulur-ulur waktu, sekarang saatnya aku menuntut balas atas kematian anak buahku dan kehancuran kapalku!"

Tiba-tiba dari tangan yang menunjuk itu keluarlah semacam kabut tipis yang melesat bagai disemburkan dari ujung telunjuk. Ludiro buru-buru menghindar dengan menghentakkan kaki dan menjadi melambung, melesat ke arah Laksamana Chou. Kaki Ludiro miring, lurus, menerjang kepala Laksamana Chou. Namun tangan Laksamana menepaknya sebagai sebuah selendang yang menyabet mata kaki Ludiro.

Sabetan itu cukup lembut dan pelan, namun mampu membuat tubuh Ludiro bagai dilemparkan oleh suatu tenaga yang cukup kuat. Ludiro jatuh tanpa bisa mengatur keseimbangan tubuhnya. Kaki Chou menghentak ke tanah kuat-kuat. Andai Ludiro tidak berguling ke kiri, maka kepala Ludirolah yang akan terkena hentakan kaki tersebut. Ludiro tahu kalau kaki Laksamana yang satu pasti akan menyusul menyerangnya, namun sebelum hal itu terjadi, Ludiro telah mengirimkan jurus Tendangan Dewa Mimpinya. Ia berputar dengan pinggulnya, lalu kedua kakinya menendang ke atas dalam kecepatan yang luar biasa sehingga kedua kaki itu mengenai paha dan selangkangan Laksamana Chou. Akibatnya, Laksamana Chou menyeringai kesakitan, dan ia buru-buru melompat mundur sampai beberapa langkah.

"Kuingatkan sekali lagi," kata Ludiro yang telah berdiri tegak, "Jangan kita menjadi korban hawa nafsu, Laksamana. Pertarungan ini adalah pertarungan siasia!"

"Jahanam kau! Kau boleh menganggap pertarungan ini sebagai pertarungan sia-sia, tetapi aku merasa dituntut oleh sekian banyak arwah anak buahku yang mati di tanganmu. Dan saat ini mereka mendesakku untuk segera membunuhmu. Karena itu, sekarang terimalah jurus Paruh Rajawaliku, hiiiaaat...!"

Kedua tangan Laksamana terangkat ke depan wajahnya, menampakkan kedua jari di masing-masing tangan yang mengeras. Kaki Laksamana terangkat bersatu, juga ke depan, seakan seekor Rajawali yang siap mencocok ubun-ubun manusia. Ludiro masih memandangi gerakan jurus yang terasa aneh baginya itu. Ia mundur satu langkah pada saat kaki Laksamana Chou yang kiri maju ke depan dengan kedua tangan membentang kokoh, sekuat kedua jari yang mengeras bagai besi itu. Lalu gerakan tangan Laksamana menyilang dan bergerak-gerak cepat membingungkan penglihatan. Pada saat itu, ia berguling ke tanah beberapa kali, dan berhenti tepat di bawah Ludiro. Lalu dengan cepat kedua tangannya menotok masing-masing kaki Ludiro dengan keras. Ludiro hanya berkelit, mengangkat kedua kakinya menghindari totokan yang mungkin berbahaya. Dengan cepat kaki kanan Ludiro menendang dagu Laksamana Chou. Lelaki sipit dan berkumis melengkung sampai di dagu itu terdongak seketika. Tetapi di luar dugaan, kedua kakinya melengkung ke atas, dengan posisi dada masih menempel di tanah. Kedua kaki yang melengkung itu bergerak cepat, hingga sampai ke bagian depan. Pada saat itu kedua tangan Laksamana Chou menghentak ke tanah, sehingga meluncurlah tubuh itu dalam keadaan telentang. Kaki terarah ke dada Ludiro dan keduanya menjejak Ludiro dengan keras.

Laksamana Chou tak memberi kesempatan Ludiro untuk bertindak memberi serangan balik. Laksamana sudah lebih dulu mengandalkan kekuatan jari-jarinya untuk menembus dada Ludiro. Tetapi dengan sigap tangan Ludiro menangkis tiap pukulan.

"Hiaaat...! Hiiaat...! Hiiat...!"

"Huaaah...! Huuh...! Huuh...!" Ludiro menangkis serangan ke dada, ke leher, ke perut, ke mata dan kemana saja arah kedua jurus tangan menotok itu ditangkisnya dengan cepat. Namun pada satu kesempatan, Ludiro berhasil menyodokkan lututnya ke perut Laksamana dalam posisi tubuh miring ke kiri dan merendah. Lutut Ludiro masuk telak mengenai ulu hati Laksamana sehingga lelaki berbaju hitam itu mendelik bagai sukar bernafas. Pada saat tubuh Laksamana mengejang itulah Ludiro menghantam dada Laksamana dengan pukulan ganda. Akibatnya, tubuh Laksamana terpental ke belakang dengan mulut menyemburkan darah kental. Ia terhuyung-huyung. Mengusap darah di mulutnya dengan lengan baju dan siap menerjang Ludiro. Kalau saja Ludiro tidak berkelit dengan melambung ke atas, mungkin ia akan terkena tendangan beruntun dari kaki Laksamana Chou.

"Hiaaaat...!" Ludiro memekik seraya bersalto dan kakinya dapat mendarat di pundak Laksamana Chou. Ia ingin menghantamkan tinjunya ke ubun-ubun Laksamana Chou, namun dengan cepat dan di luar dugaan, Laksamana Chou menggerakkan kakinya ke atas. Lututnya hampir mencium hidung sendiri, dan pada saat itu tendangan kuat mengenai punggung Ludiro. Hentakan kaki itu sangat keras, sehingga Ludiro mengerang kesakitan dengan tubuh terguling ke bawah. Ludiro belum sempat berdiri pada saat itu kaki Laksamana menendang sekali lagi dengan tendangan putar yang amat keras. Kaki Laksamana dengan telak menghajar rahang Ludiro, sehingga Ludiro terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Posisi Ludiro telentang pada saat itu. Dan Laksamana menyerangnya dengan jurus totok kedua jari yang kekar bagai besi itu. Ludiro masih sempat menangkis setiap serangan balik dengan tangan atau dengan kaki yang mengibas kian ke mari.

"Hiaaaaaat...!" Tubuh Ludiro berputar di tanah dengan menggunakan punggungnya. Tendangan Dewa kembali menerjang perut Laksamana dengan kuat sehingga tubuh Laksamana terpental, melambung ke atas. Ludiro segera berguling dan berdiri tegap dengan kepala sedikit pusing.

Sewaktu kaki Laksamana hampir menempel pada tanah, Ludiro buru-buru menyerangnya dengan satu pukulan tangan kanan ke arah perut laksamana. Tetapi pukulan itu di tangkis dengan telapak kaki Laksamana sehingga pergelangan tangan Ludiro merasa ngilu. Ludiro sempat terpelanting terputar tubuhnya, dan pada saat itulah tangan Laksamana menyerobot cepat sambil ia melayangkan tubuh ke atas. Ludiro tak sadar apa yang telah terjadi. Ia bergegas untuk mencabut pedang Jalak Patinya, namun gerakannya itu terhenti, karena ia melihat laksamana Chou telah berdiri dengan menggenggam Cambuk Naga.

Mata Ludiro terbelalak kaget dengan mulut ternganga. Sementara itu, Laksamana Chou sengaja mengambil posisi agak menjauhi Ludiro. Ia tersenyum getir seraya mengacungkan tangan yang memegang Cambuk Naga.

"Kau akan mati oleh pusakamu sendiri, Iblis Busuk...!" Laksamana Chou tertawa. "Tapi bukan sekarang kau harus mati. Aku punya gagasan untuk menukar cambuk ini dengan Yin Yin putriku! Serahkan putriku Yi Yin, maka kau boleh mengambil cambuk ini, itu pun kau harus merebutnya!"

"Tunggu...!" Laksamana Chou melesat seperti kilasan cahaya kemerah-merahan. Ludiro terbengong, cambuknya hilang.

***

2

Tanpa menunggu banyak pertimbangan, Ludiro pun melesat mengejar laksamana Chou.

"Berhenti kau, Bajingan...! Berhenti...!" Ludiro berteriak keras dalam luapan amarahnya. Betapa pun jadinya, Ludiro tetap harus mengejar Cambuk Naga yang berhasil diserobot oleh Laksamana Chou. Barangkali Laksamana Chou telah mengetahui letak kekuatan Ludiro ada pada cambuk tersebut. Barangkali juga ia telah melihat betapa dahsyatnya Cambuk Naga itu sewaktu dipakai melawan sekian banyaknya anak buahnya. Samudra bisa bergolak dan kapalnya pun tunggang langgang diterbalikkan oleh kekuatan yang ada pada cambuk tersebut. Karena itu, mungkin sejak awalnya memang sudah menjadi rencana Laksamana Chou, bahwa ia harus bisa mencuri cambuk yang selalu disandang di pundak Ludiro.

Sementara itu, Ludiro sendiri tidak mau kehilangan pusaka warisan bekas putri asuhannya, yaitu Sekar Pamikat. Memang tanpa cambuk itu pun Ludiro telah mempunyai suatu keistimewaan, yaitu tubuhnya tak dapat digores oleh senjata tajam. Ia telah menjadi kebal karena makan lumut bercahaya yang ditemukan dalam goa Malaikat, (dalam kisah RAHASIA SENDANG BANGKAI). Tetapi, tanggung jawabnya terhadap tugas merawat dan menjaga dua pusaka: Cambuk Naga dan Pedang Jalak Pati milik Sekar Pamikat, itulah yang membuat ia harus mengejar Laksamana Chou.

"Laksamana Chou...! Laksamana Chou...! Kita bertanding secara ksatria...! Bangsat, kau...!" Ludiro menyumpah-nyumpah dalam kemarahan ia seraya ia berlari bagai kilat.

Namun agaknya ia telah kehilangan jejak. Ia menyusuri pantai, tepian hutan, juga tak terlihat jejak Laksamana Chou. Ia bergegas naik ke bukit karang yang ada di tepi pantai, siapa tahu Laksamana Chou ada di sana. Namun yang ia temui justru keadaan lain.

Ia melihat sosok wanita berdiri di tepi tebing dari bukit karang itu. Di samping dari situ ia bisa melihat gugusan Pulau Kramat yang ada di tengah lautan, juga ia telah menemukan sosok wanita tanpa daya berpakaian serba hitam. Mulanya ia mengira Laksamana Chou, tetapi setelah ia memperhatikan rambut panjang terurai dan dipermainkan angin pantai itu, ia yakin betul bahwa perempuan itu adalah Mahani, anak Pak Lodang yang dulu diselamatkan oleh Lanangseta dari cengkeraman Adipati Legowo. Ludiro mengenal betul siapa gadis itu, sebab waktu itu ia pula yang mengawal keluarga Lodang mengungsi ke desa Tayub.

"Mahani..." sapa Ludiro dengan hati-hati.

Mahani berpaling menampakkan wajahnya yang penuh tangis serta luka memar. Di sudut mata kirinya tampak membiru, ujung bibirnya berdarah, kering. Bagian atas alisnya yang tebal itu tergores luka yang sudah mengering namun masih kelihatan memerah.

"Paman Ludiro..." Mahani menyapa pelan, namun ia masih berdiri di tepian tebing. Satu kali ia melangkah, maka tubuhnya akan hancur dihunjam karang-karang runcing yang bercuatan di dasar tebing itu. Ludiro sedikit curiga melihat keadaan Mahani seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ingin dilakukan gadis berkulit sawo matang itu.

"Mahani, apa yang telah terjadi?" Ludiro mendekat pelan-pelan.

"Jangan mendekati, Paman...! Jangan mendekat...!" tangis Mahani menghambur tersengguk-sengguk.

Semakin heran saja Ludiro melihat keanehan tersebut.

"Mahani, tolong jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?" Ludiro berhenti melangkah. "Apa yang telah terjadi padamu dan apa yang akan kau lakukan di tepi tebing itu?"

Mahani menggeleng. Mengisak dalam tangisnya. Keadaannya yang berpaling sangat mengkhawatirkan hati Ludiro. Sekali kakinya terpeleset, maka tamatlah riwayat Mahani.

"Mahani tolong jelaskan segalanya yang terjadi..." Ludiro sengaja bicara dengan hati-hati.

"Aku ingin mati, Paman..." jawab Mahani mengisak sekali lagi.

Ludiro semakin berkerut dahi. "Ada apa kau sebenarnya? Mengapa kau berkata begitu, Mahani?"

"Lanangseta, Paman...! Lanangseta... ooh..." Mahani menangis semakin jadi. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Mengapa dengan Lanangseta?" "Ia kejam. Kejam sekali, Paman...!"

Ludiro merasa bingung dengan kalimat demi kalimat yang diucapkan Mahani.

"Bagaimana kalau kita bicara baik-baik, Mahani. Pergilah dari situ, nanti kau tergelincir jatuh ke bawah."

"Biar! Memang itu tujuanku. Mati!"

Ludiro menggeleng-geleng samar, sekalipun Mahani tidak melihatnya. "Agaknya anak ini mau bunuh diri," pikir Ludiro yang kemudian mengambil sikap hati-hati, berusaha mengulur niat Mahani, syukur bisa menunda langkah picik gadis itu.

Ludiro memperlihatkan sikapnya yang tenang, sekalipun sebenarnya menyimpan kecemasan yang mendebarkan hati.

"Mungkin aku bisa menolongmu, Mahani. Bicaralah dengan tenang dan menjauhlah dari tepi tebing."

"Tidak! Tidak ada yang bisa menolongku! Hatiku telah dihancurkan oleh Lanangseta, ia membiarkan gadisnya menyiksaku seperti ini, Paman..." Mahani memperlihatkan beberapa luka di pundak, atas dada, serta di tangannya.

Agak janggal rasanya jika gadis Lanangseta setega itu melakukan penyiksaan kepada Mahani. Jika benar kata-kata Mahani, berarti Kirana itulah yang dimaksud gadis Lanangseta. Sebab Kirana, putri Bukit Badai itulah yang menjadi istri Lanangseta secara syah. Menurut Ludiro, tak mungkin Kirana akan berbuat setega itu. Ia kenal betul, bahwa Kirana seorang perempuan yang anggun dan berwibawa. Ia memang bisa berbuat kejam, tapi terhadap lawan yang kasar dan ganas. Bukan terhadap gadis selugu Mahani.

"Mahani, dalam keadaan serba sedih dan gelap, memang tak terlihat ada kesempatan untuk bisa lolos. Tapi kalau kita mau menenangkan diri dan berbagi kesedihan dengan orang lain, pasti ada jalan keluar dari masalah yang kau hadapi. Nah, sekarang tolong ceritakan, masalah apa yang kau hadapi sebenarnya. Sehingga kau hendak mengambil jalan picik itu?!"

Mahani masih mengisak beberapa kali, dan Ludiro bersabar. Beberapa saat kemudian, Mahani pun menceritakan apa yang telah dialaminya.

***

Agaknya selama ini Mahani benar-benar ingin menjadi pendamping hidup Lanangseta. Ia sangat mencintai pendekar muda yang tampan itu. Tetapi, hatinya menjadi hancur ketika ia mendengar kabar bahwa Lanangseta hendak menikah dengan perempuan lain. Kemudian ia berlari dari rumah, mencari Lanangseta dan bermaksud menggagalkan perkawinan Lanangseta dengan Kirana.

Dalam pelariannya itu, ia sempat bertemu dengan seorang gadis Cina. Gadis itu sedang bermesraan dengan Ekayana, adik kembar Lanangseta. Lalu, Mahani mengamuk dalam keadaan tanpa memiliki ilmu bela diri sedikit pun. Peristiwa itu pernah dipergoki oleh Ludiro dan Jaka Bego, yang kemudian dijelaskan oleh Ludiro, bahwa orang yang disangka Mahani sebagai Lanangseta itu sebenarnya adalah Pendekar Maha Pedang. Ekayana. Adik kembar Lanangseta. Sedangkan pada waktu itu, Jaka Bego mengatakan bahwa Lanangseta sendiri saat ini sedang mengejar pencuri Bunga Teratai Wingit di Pulau Kramat. Maka seketika itu pula Mahani pergi mengejar Lanangseta ke pantai yang akan menjadi jalur perjalanan Lanang menuju Pulau Kramat. Mahani bermaksud mencegat perjalanan Lanangseta untuk mengutarakan cinta dan kesetiaannya. Memang selama ini ia belum mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya kepada Lanang. Karena itu, ia lekas-lekas meninggalkan Ludiro. Jaka Bego dan sepasang kekasih yang konon adalah adik kembar Lanangseta itu. Dan pada waktu itu, Jaka Bego segera memburu Mahani, sebab Jaka Bego memang naksir gadis lugu itu. (ada dalam kisah: IBLIS PULAU KRAMAT)

Rupanya Mahani gagal menemukan Lanangseta. Ia tak berhasil mencegat perjalanan Lanangseta. Lalu timbul pemikiran dalam benaknya, bahwa mungkin sekali ia dibohongi oleh Ludiro dan Jaka Bego. Mungkin saja pemuda ganteng yang disangkanya Lanangseta itu sesungguhnya memang Lanangseta. Sebab seingatnya, Lanangseta tidak pernah menceritakan tentang adik kembarnya, dan lagi, apa yang ada pada pemuda yang dipergokinya sedang bermesraan dengan gadis Tiongkok itu, memang serupa betul dengan Lanangseta. Tak ada yang berbeda sedikit pun. Itulah menurut pemandangan dan pendapat Mahani. Sehingga, Mahani pun kembali masuk ke hutan, tempat ia memergoki gadis Cina dengan pendekar tampan itu. Mahani yakin, bahwa Ekayana itu sebenarnya adalah Lanangseta yang merubah nama demi menutupi penyelewengannya.

Hampir saja Mahani kehilangan jejak. Ia tiba di tempat semula, tapi tempat itu telah kosong. Namun suara tawa seorang gadis masih terdengar samar-samar. Kemudian Mahani segera memburu arah suara tawa itu. Pasti gadis Cina itu dengan Lanangseta sedang bercanda, pikir Mahani.

Ternyata dugaannya itu benar. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Lanangseta saat itu sedang menggendong Yin Yin, gadis Cina, seraya sesekali menciumi gadis itu. Mahani yang percaya betul bahwa pemuda itu adalah Lanangseta, merasa hatinya bagai ter iris pedih melihat canda dan kemesraan mereka. Namun ia bersabar sampai ia mengikuti dari kejauhan ke mana perginya kedua orang tersebut.

Dengan hati hancur, Mahani menguntit langkah mereka, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah sungai kecil. Mereka menyusuri tepian sungai, dan Mahani pun ikut menyusuri tepian sungai. Sungai itu semakin melebar, dan di ujung sana terdapat sebuah air terjun yang tidak begitu lebat namun cukup deras. Yin Yin dan kekasihnya yang disangka Mahani adalah Lanangseta itu menyusuri tepian sungai sampai masuk di balik derasnya air terjun. Rupanya di sana ada sebuah goa yang tertutup air terjun itu. Goa tersebut menjadi tempat persembunyian Yin Yin dengan kekasihnya, sekaligus menjadi tempat berlindung bagi mereka.

Cinta sudah terlanjur membakar darah. Mahani tak memperdulikan bahaya. Ia meniti bebatuan licin untuk mencapai batuan tepi goa. Kemudian dengan bersusah payah, ia berhasil juga masuk ke dalam goa tersebut. Agaknya sudah cukup lama gadis Yin Yin dan pemuda yang disangka Lanang itu tinggal di dalam goa tersebut, terbukti dengan banyaknya obor dan perapian yang ada di dalam goa.

"Lanang..!" seru Mahani. Suara itu menggema, dan kedua orang itu belum terlihat. Mahani masuk lebih ke dalam. Ia masih berteriak, "Lanang...! Jangan tinggalkan aku...!"

Langkah Mahani sangat hati-hati. Di situ keadaan tidak bertanah datar. Banyak bebatuan yang menonjol dan berlumut. Obor-obor penerang tertempel pada dinding dan di sela bebatuan. Tanpa obor penerang itu, Mahani akan terantuk batu beberapa kali, atau bahkan akan menabrak batu-batu besar yang bertonjolan bagai dinding-dinding penyekat kamar.

"Lanangsetaaaaaa...! Jangan bohongi aku! Aku tahu kau Lanangseta...! Aku mencintaimu, Lanang...! Jangan tinggalkan aku...! Aku lebih dulu mengenalmu dan mencintaimu daripada gadis bermata sipit ituuu...!" seru Mahani tanpa memperhitungkan hal-hal lain. Ia terus saja masuk ke kedalaman goa, melompati bebatuan, membelok di sela-sela batu setinggi lebih dari tinggi tubuhnya.

"Perempuan lacur...!" terdengar suara menggema dari mulut seorang perempuan yang belum terlihat Mahani.

Mahani berhenti melangkah, dan ia pun mulai menggeletukkan gigi melihat kemunculan Yin Yin dalam busana setengah telanjang. Agaknya ia telah mengerjakan sesuatu yang tertunda karena kehadiran Mahani yang berteriak-teriak tadi. "Apa perlumu ke mari, Perempuan lacur?!" kata Yin Yin yang bersuara kecil namun tandas. Menyakitkan hati.

"Kau yang perempuan lacur!" balas Mahani. "Kau merebut kekasih orang! Rakus!" Mahani bicara dengan mata membelalak lebar, memancarkan dendam dan kemarahan.

Yin Yin dengan berani menyampar Mahani dan menampar pipi Mahani keras-keras, sehingga Mahani memekik kesakitan.

"Berani bicara seenaknya di depanku, kubunuh kau! Kau belum tahu siapa aku, hah?!" bentak Yin Yin sambil merapikan pakaiannya.

Mahani semakin marah. Ia menatap Yin Yin dengan sorot mata berapi-api. Pada saat itu, Yin Yin meludahinya dengan kasar. Mahani semakin sakit hatinya, ia segera mengambil batu dan melemparkannya kepada Yin Yin. Tetapi belum sempat Mahani melemparkan batu itu, pergelangan tangannya telah tersentil batu kecil yang melesat dari jari jemari Ekayana.

"Uuh...!" Mahani menyeringai kesakitan. Tulangtulang jemarinya bagaikan dipatah-patah. Terasa sakit dan ngilu sekali, sehingga untuk menggenggam batu pun ia tak sanggup. Mahani berpaling memandang Ekayana yang berada di atas sebuah batu ceper. Lelaki itu sudah telanjang dada dan hanya mengenakan bagian bawah pakaian saja. Ia tersenyum sinis kepada Mahani.

"Lanang...?! Kau lupa padaku?!" Mahani meratap. "Dia bukan Lanang! Dia Ekayana!" bentak Yin Yin.

Mahani berpaling memandang Yin Yin dengan geram kemarahan. Lalu ia memaki Yin Yin dengan kata-kata:

"Perempuan murahan! Kau bohongi aku dengan seenak perutmu, ya? Kau pikir aku tidak bisa mengenali Lanangseta? Hem...! Ketahuilah olehmu, Perempuan Jalang, bahwa aku lebih kenal Lanang ketimbang kamu! Aku memandang Lanang dengan mata hatiku yang menyimpan cinta, sedangkan kau memandang Lanang hanya dengan nafsu binatangmu! Ciih...!"

"Plak...! Plak...!"

Yin Yin menampar muka Mahani dengan keras. Gadis desa itu tak dapat menghindar, sebab ia memang tidak pernah berkelahi dan tidak memiliki ilmu silat sedikit pun. Sedangkan Yin Yin agaknya mempunyai ilmu silat sekali pun hanya beberapa jurus. Ia segera menghampiri Mahani yang tengah merangkak karena terjatuh, dan dengan keras Yin Yin menendang mulut Mahani hingga tepian bibirnya robek dan berdarah.

"Ini upah bagi perempuan lancang!" kata Yin Yin.

Mahani menjerit kesakitan. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan dan memandang Ekayana.

"Lanang... tolong aku...!" ucapnya tak jelas sambil menangis. Ekayana hanya tersenyum dan tetap duduk di tempat.

"Maaf, aku bukan Lanangseta...! Aku Ekayana...!" "Bohong!" teriak Mahani. "Aku tahu kau adalah La-

nangseta. Aku pernah memelukmu dan..."

"Pergi kau dari sini, Keparat!" teriak Yin Yin yang mempunyai suara kecil seraya menendang perut Mahani. Mahani terguling dan kepalanya membentur batu. Yin Yin yang merasa tak suka mendengar Mahani pernah memeluk Ekayana, segera menarik rambut Mahani. Lalu dengan keras ia menghantam wajah Mahani sehingga membiru mata Mahani yang kiri. Belum puas dengan itu, Yin Yin mengibaskan kukunya hingga menggores kening Mahani dan berdarah.

"Laannaaang...! Tolooooong....!" Mahani menjerit-jerit dalam kesakitannya. Mahani tak sempat melihat apakah orang yang dikira Lanang itu bertindak atau tidak, tapi yang ia ketahui, bahwa tubuhnya dilemparkan dari atas batu oleh Yin Yin. Ia berusaha untuk bangkit setelah kepalanya membentur tepian batu, namun Yin Yin telah siap menghajarnya lagi dengan tendangan ke pinggang Mahani.

"Pergi kau...! Pergi dari sini...! Kau mengganggu kebahagiaan kami, hih...!"

"Aaauhh...!" Mahani terguling menabrak bebatuan runcing. Yin Yin terus menghajarnya, memukul, menendang, bahkan melemparnya dengan batu beberapa kali, Mahani tak dapat menghindar sedikit pun. Ia lemas. Dan ia membiarkan tubuhnya terseret-seret oleh tangan Yin Yin. Kemudian ia masih sadar saat ia dilemparkan keluar goa, menembus curahan air terjun. Dan ketika ia jatuh ke sungai, ia sudah tidak sadarkan diri lagi. Ketika ia siuman, ia mendapatkan dirinya terdampar di tepi sungai. Kakinya tersangkut lilitan akar pohon.

***

Ludiro menghela nafas, merasa iba mendengar cerita Mahani. Ia sengaja membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Sebab jika ia mendekat, takut kalau Mahani bahkan nekad loncat dari atas tebing karang itu.

"Sebab itu, Paman..." kata Mahani di sela isaknya. "Saya lebih baik mati daripada menanggung siksaan seperti ini."

Ludiro menghela nafas lagi. Lalu berkata pelan:

"Aku ingin menolongmu, tapi izinkan aku mendekat..."

"Tidak! Paman mendekat, aku loncat!" ancam Mahani dengan sungguh-sungguh. Ludiro hanya angkat bahu, merasa tak sanggup menjelaskan maksudnya lagi.

"Saya ingin mati dengan cara saya sendiri, Paman.

Biar lengkap sudah penderitaanku ini." "Kau mencintai Lanangseta sungguh?" Mahani memandang Ludiro, mulai tertarik dengan kata-kata Ludiro.

"Apakah.... apakah Paman benar-benar bisa menolongku?"

"Akan kucoba. Kalau kau yakin maka aku akan bisa."

Mahani menggeleng. "Tapi semuanya sudah terlanjur, Paman. Aku sudah terlanjur sakit hati kepadanya, terlebih kepada gadis Cina itu! Aku ingin membunuhnya!"

"Kalau kau mati bunuh diri, apakah kau bisa membunuh Yin Yin, gadis Cina itu?" Ludiro memancing kesadaran Mahani.

Mahani diam saja. Mengisak dalam tangisnya.

Ludiro berkata lagi dengan tenang, dan ia bergerak maju perlahan-lahan.

"Kalau kau bunuh diri, kau bodoh! Kau tidak akan bisa membalas dendam kepada Yin Yin, yang telah menyiksamu sedemikian keji. Kalau aku jadi kamu, aku akan membalas dendam dulu kepada Yin Yin, setelah itu baru bunuh diri. Andaikata sekarang kau bunuh diri, bukankah mereka berdua tetap bermesraan dan semakin menghangat? Oh, alangkah tololnya kamu jika kamu mau mati demi kebahagiaan mereka?"

Suara isak tangis masih terdengar. Namun kata-kata Mahani tenggelam tak terdengar lagi. Agaknya ia mulai menyadari apa yang dikatakan Ludiro itu.

"Mahani.." Ludiro berkata lagi dengan hati-hati. Ia mencoba merubah jalan pikiran gadis anak Pak Lodang itu dengan bujukannya. "Kau seharusnya bisa menyingkirkan Yin Yin. Kau akan bebas memiliki kekasih Yin Yin jika gadis itu sudah kau singkirkan. Kau bebas bercinta dengan pemuda yang kau harapkan itu..."

"Tidak! Aku sudah terlanjur benci dengan Lanangseta!" teriak Mahani sambil bergegas menepi. Ludiro cemas.

"Sabar...! Pikirkan lebih masak lagi, Mahani."

"Aku sudah pikirkan, dan inilah keputusanku! Aku harus pergi meninggalkan mereka, meninggalkan dunia ini!"

Mahani semakin menepi, sesekali memandang ke bawah. Ludiro menjadi khawatir sekali.

"Mahani, dengarkan nasihatku... kau bisa mencintai pemuda lain yang lebih ganteng dan lebih gagah dari Lanangseta. Kau bisa..."

"Tidak, Paman! Tidak ada pilihan lain bagiku!" "Sabar, Mahani... Aku bisa membantumu...!" "Tidak ada yang bisa membantuku!"

Gadis ini keras kepala juga, pikir Ludiro dalam kebingungannya.

"Begini saja, Mahani... sebaiknya..."

Mahani menyahut, "Sebaiknya aku pergi sekarang, Paman. Selamat tinggal. Sampaikan salamku kepada Lanangseta, semoga ia berbahagia di atas kematianku ini...!"

"Mahani...! Mahani, tunggu...!" "Aaaahhh...!"

Mahani terpeleset kakinya dan ia pun terguling jatuh dari atas tebing.

"Mahaniiii....!" teriak Ludiro yang menjadi panik melihat peristiwa itu. Ia hampir saja terjerumus ikut masuk ke dalam tebing kalau saja ia tidak segera menghentikan langkah kakinya. Ia buru-buru menjauh dari mulut tebing karang dan berlutut dengan mata terpejam dan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.

"Picik...! Picik sekali otakmu, Mahani...!"

Ludiro merasa gagal menolong Mahani. Ia merasa seperti orang bodoh. Ia jengkel sendiri kepada dirinya, juga kepada Mahani yang benar-benar keras kepala itu.

"Bodoh! Bodoh aku, Ludiro...!" teriak Ludiro sendiri dalam kejengkelannya. Ia memukul-mukulkan tinjunya ke paha sendiri sampai beberapa kali. Kemudian ia tertunduk diam. Nafasnya yang terengah-engah diredakan. Ia mencari ketenangan diri dengan menghela nafas beberapa kali. Ia masih bersimpuh dan menjaga keseimbangan jiwanya.

Tiba-tiba ada suara yang dikenal Ludiro memanggilnya.

"Paman..."

Ludiro bergegas mengangkat wajah dan memandang lelaki gagah dan kekar yang berjalan sambil menggendong Mahani.

"Lanang...?!" Ludiro segera bangkit dan mendekat. "Kau... kau telah berhasil menyelamatkan dia, La-

nang?"

Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti itu hanya menyunggingkan senyum tipis. Kedua tangannya masih menggendong tubuh Mahani yang dalam keadaan pingsan.

"Luar biasa. Sangat di luar dugaan...!" kata Ludiro. "Dia menjadi korban nafsunya sendiri! Hampir saja

dia mati dengan sia-sia...!" kata Lanang sambil memperhatikan Mahani yang terpejam pingsan.

"Ya. Dan... syukurlah kau berhasil menyelamatkan dia."

"Kebetulan saja saya berada di bawah, memandangi Pulau Kramat itu. Saya menerka-nerka, apa yang dilakukan Nyai Katri, penguasa Pulau Kramat itu terhadap Jaka Bego, teman kita. Dan saya juga sedang membayangkan apa yang sedang kau lakukan di pulau itu, Paman. Tapi rupanya, kau belum berangkat ke sana. Aku mendengar suaramu berbicara dengan Mahani. Lalu kulihat, keadaan Mahani sangat gawat kau pasti tak akan bisa menolongnya, Paman. Dia gadis keras kepala. Sebab itu, diam-diam aku berjaga-jaga di bawah sana. Dan ketika dugaanku benar, Mahani nekad terjun dari tebing jurang karang ini, aku segera melesat menangkapnya. Tapi... dia sudah tak sadarkan diri."

Lanangseta meletakkan Mahani pelan-pelan di tempat yang agak datar. Ludiro manggut-manggut, ada perasaan lega yang terhempas lewat nafasnya.

"Aku tak bisa memusatkan pikiran untuk menolongnya, Lanang. Ada masalah lain yang lebih penting."

"Dan masalah itu yang membuat paman Ludiro belum berangkat menyeberang ke Pulau Kramat?" tanya Lanang.

Ludiro mengangguk. "Ya. Aku... aku..." Ludiro kelihatan bingung. Lanangseta memperhatikan gugusan pulau di seberang lautan. Pulau Kramat. Tiba-tiba ia terkejut mendengar Ludiro berkata:

"Cambuk Naga hilang, Lanang..."

Wajah Lanang berpaling cepat, bagai mendapat suatu tamparan keras demi mendengar kata-kata itu.

Mata Lanangseta memandang punggung Ludiro, dan ia tidak melihat Cambuk Naga di sana. Ia menggeram dalam kecemasan.

"Gila! Siapa yang mencurinya, Paman?! Siapa!"

Pandangan mata Ludiro sayu. Ia menunduk, merasa bersalah. Lalu dengan suara pelan ia pun menjawab:

"Ayah Yin Yin..." "Laksamana Chou itu?"

Ludiro mengangguk. Lanangseta menggeram gemas dan memukulkan tangan kirinya ke tangan kanannya.

"Kurang ajar...! Orang itu agaknya perlu mendapat pelajaran yang keras, supaya ia tahu persis bahwa kita sebenarnya tidak mempunyai urusan dengan dia!"

"Aku sudah mencoba bertarung dengannya..." "Dan, Paman Ludiro kalah?"

"Tidak begitu. Bukan soal kalah atau menang, tetapi rupanya ia telah mengincar Cambuk Naga. Ia ingin membalas dendam terhadap kematian anak buahnya yang kuhancurkan beberapa waktu yang lalu itu. Tetapi yang paling utama, dia ingin agar anak gadisnya dikembalikan. Dia masih mengira kita-kita orang yang melarikan Yin Yin."

"Biadab! Jahanam juga Yin Yin itu...!"

"Dia akan menukar Cambuk Naga dengan putrinya. Jika Yin Yin dikembalikan, maka Cambuk Naga pun akan dikembalikan, meski dengan cara harus merebutnya!"

Lanangseta termenung dengan geraham menggeletuk. Kemudian ia bertanya dengan kemarahan yang terpendam:

"Ke mana arah kepergiannya? Biar aku saja yang merebut kembali Cambuk Naga."

Ludiro menggeleng. "Entah ke mana. Tetapi sewaktu aku mengejarnya, tahu-tahu aku kehilangan jejak, dan menemukan Mahani di sini, mau bunuh diri."

"Aaaah...!" Lanang mendesah jengkel. "Kalau begitu, sekarang Paman pergi saja dengan Mahani. Dia yang tahu tempat persembunyian Ekayana dan Yin Yin, menurut ceritanya yang sempat kudengar tadi. Paksa Yin Yin untuk kembali kepada orang tuanya, dan paksa Ekayana untuk melepaskan Yin Yin, lalu merebut kembali Cambuk Naga. Katakan, aku yang menyuruhnya. Dan, aku sendiri yang akan membebaskan Jaka Bego di Pulau Kramat itu...!"

***

3

JAKA BEGO, sosok manusia muda yang kurus kerempeng dengan rambut tak pernah teratur. Tampang bloon yang menghias setiap penampilannya itu sering membuat orang gemas kepada ketololannya. Kini ia menjadi tawanan Nyai Katri, seorang perempuan cantik sebagai penguasa Pulau Kramat.

Lanangseta dan Ludiro pernah keteter menghadapi kesaktian Nyai Katri ketika peristiwa di Tebing Neraka, maupun di istana Sendang Bangkai. Perempuan itu hidup pada zaman ayah Kirana, Sabdawana, belum lahir. Usianya sudah cukup banyak. Ia dulu pernah menjadi suami keturunan leluhur Bukit Badai, yaitu leluhur Kirana, istri Lanangseta. Bahkan menurut cerita Sabdawana, Nyai Katri yang dulu bernama Areswara itu pernah menjadi pimpinan kapal bajak laut, yang kejam, tak kenal ampun, dan kekuatannya itu tak ada yang bisa menandingi. Banyak kapal yang pernah dijungkirbalikkan, dihancurkan dengan tenaga dalamnya setelah seluruh hartanya terkuras habis oleh anak buah Nyai Katri.

Tetapi siapa sangka ia akan bertekuk lutut di hadapan Jaka Bego, pemuda ingusan yang tak tentu rimbanya itu. Siapa akan menduga kalau seluruh kesaktian Nyai Katri dapat terkuras habis ketika ia bercumbu dengan Jaka Bego sampai beberapa hari beberapa malam. Bahkan Andini, bekas kekasih Ekayana yang lebih cenderung mencintai Lanangseta itu juga tertunduk lunglai dalam dekapan Jaka Bego. Andini bukan perempuan sembarangan. Ia mempunyai kesaktian juga yang bisa diandalkan. Tapi toh ia kini menyesal dan menangis setelah ilmu Asmara Pusaka Dewa menyerap segala ilmu tenaga dalamnya melalui kemesraan bersama Jaka Bego.

Andini yang ingin bergabung dengan Nyai Katri, ini sudah menjadi perempuan biasa, tanpa kepandaian dan kekuatan yang dahsyat. Begitu juga Nyai Katri, tak jauh berbeda dengan ibu rumah tangga yang lebih banyak memikirkan makanan dan masakan ketimbang bertanding adu kedigdayaan. Kedua perempuan yang mendiami Pulau Kramat itu masih belum mengerti, siapa sebenarnya Jaka Bego itu, Yang mereka tahu, Jaka Bego hanyalah sosok pemuda kurus kerempeng yang tidak punya daya tarik seperti laki-laki lainnya. Jaka Bego lebih kelihatan ketololannya ketimbang kehebatannya dalam hidup keseharian. Satu-satunya kehebatan yang ada pada Jaka Bego adalah kejantanannya yang membius sukma kedua perempuan itu. Nyai Katri sendiri mengakui, bahwa belum pernah ia menemukan kejantanan yang luar biasa hebatnya sepanjang hidup Nyai. Hanya pada Jaka Bego sajalah segala impiannya dalam bercinta menjadi satu ujud kenyataan yang mencekam jiwa.

Apa yang bisa dilakukan Nyai Katri dan Andini tanpa ilmu dan kesaktian, adalah menjadi seorang perempuan yang selalu merindukan kehangatan Asmara Pasak Dewa. Hanya itu. Dari hari ke hari, mereka tak habishabisnya bagai kumbang menghisap madu dari setangkai bunga surgawi. Jaka Bego yang memang bego itu tak merasa dijadikan kuda dari kedua perempuan itu. Malam, siang, maupun pagi, Jaka Bego bagai seorang nelayan yang siap mengarungi samudra dengan sampan dan dayung kejantanannya. Sebenarnya ia bisa saja lari dari pulau tersebut. Nyai Katri maupun Andini tak akan mampu menghalanginya lagi, sebab kedua perempuan itu sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan Jaka Bego. Tetapi, Jaka Bego tidak mau. Bahkan ia bisa saja membunuh Nyai Katri dan Andini, namun ia juga tidak mau.

"Mengapa kau tidak mau lari atau membunuh kami?" Nyai Katri pernah bertanya begitu pada suatu malam, di mana Andini pun tidur di dalam pelukan Jaka Bego sebelah kiri, sedang Nyai Katri di sebelah kanannya. Waktu itu Jaka Bego hanya berkata:

"Lari? Lari ke mana?"

"Ke mana saja!" jawab Nyai Katri seraya tangannya melakukan kegiatan yang sesekali membuat Jaka Bego mendesis.

"Aku tidak punya rumah, Nyai. Aku tidak punya tempat tinggal. Jadi, di mana aku merasa senang, di situ aku tinggal dan berdiam diri sampai aku bosan."

"Jadi kau senang tinggal di pulau ini bersama kami berdua ini?" Andini menyahut sambil merayapkan jari jemarinya dan membuat Jaka Bego menggelinjang geli.

"Kupikir, saat ini aku memang masih senang hidup di pulau ini," kata Jaka Bego. "Tenang, damai, aku tidak dimusuhi orang lain dan tidak memusuhi orang lain."

"Apakah kau akan bosan, Jaka?" bisik Nyai Katri. "Bosan?" Jaka Bego mengerutkan kening. Diam se-

saat, lalu menggeleng. "Entahlah. Mungkin juga bisa bosan. Sebab aku dulu tinggal bersama seorang petani juga bosan, disuruh mencangkul sawah terus."

"Gawat! Padahal di sini kaupun disuruh mencangkul terus," timpal Andini. Dan Nyai Katri tertawa kecil.

Kata Nyai, "Rasa-rasanya kami bisa mati jika kau tak mau mencangkul, Jaka. Kami butuh tenagamu dan cangkulmu untuk mencangkuli sawah kami, agar kami bisa tetap hidup." Andini menimpal lagi:

"Cangkul yang panjang dan berkekuatan seratus tenaga kuda, bukan?" Lalu perempuan berkulit kuning langsat itu tertawa mengikik, demikian juga Nyai Katri dan Jaka Bego.

"Aku khawatir kalau kau akan bosan mencangkul di sini."

Jaka Bego menjawab, "Kalian ini seperti orang dungu. Di sini kan tidak ada sawah? Bagaimana aku bisa mencangkul? Dan, apakah kalian lupa bahwa sehariharian aku jarang turun dari ranjang, bagaimana bisa kalian berkata bahwa aku di sini juga mencangkul? Rasanya kok tidak pernah."

Andini yang manja itu tertawa dalam desah, ia memainkan bibir Jaka Bego seraya berkata, "Sawah di sini kan berbeda dengan sawah di tempat lain."

"Di sini memang tidak ada sawah," kata Jaka Bego yang belum mengerti maksud pembicaraan itu.

"Kami inilah sawah-sawahmu," bisik Nyai Katri. Andini dan Nyai Katri semakin mengikik, tetapi Jaka

Bego diam dalam ketololannya. Di luar pengetahuannya, tentang bahasa cinta itu, Jaka Bego merasa bangga, sebab kini dirinya yang dulu seperti daun kering tak pernah ada yang mau meliriknya, sekarang malahan dua perempuan cantik sekaligus yang mau meremasremasnya. Kalau saja ia daun kering biasa, sudah tentu hancur dalam beberapa remasan. Beruntung sekali ia daun kering yang berlapis logam baja, sehingga kendati diremas-remas beberapa kali oleh dua perempuan tak akan retak sedikit pun.

Suatu kekuatan misterius ada pada diri Jaka Bego, dan hal ini tidak disadari oleh Jaka Bego sendiri. Namun Nyai Katri tahu, bahwa Jaka bego bukan orang sembarang. Secara diam-diam ia mengakui bahwa dirinya telah mutlak dikalahkan oleh Jaka Bego yang mampu membuat Nyai Katri seperti perempuan desa, tanpa kekuatan dan ilmu. Tetapi sesekali memang sering timbul kecemasan pada diri Nyai maupun Andini, mereka takut kalau Jaka Bego kehabisan tenaga tak mampu lagi mencangkul untuk mereka. Karena itu, Nyai Katri dan Andini pagi itu bergegas untuk mencarikan ramuan yang akan menjaga kekuatan Jaka Bego dalam mencangkul.

"Aku tak ingin ia kehabisan daya," kata Nyai.

Andini menyahut, "Aku khawatir juga begitu, Nyai, jadi, setidaknya kita harus merawat dia supaya tetap sehat dan mempunyai daya untuk mengarungi lautan lepas bersama kita. Apakah Nyai ada gagasan lain?"

Nyai Katri yang berwajah lebih cantik dan lebih mempesona dari Andini itu hanya mengangguk. Beruntung sekali walau segala ilmunya telah sirna, namun kecantikannya yang muda tidak ikut luntur akibat serapan Asmara Pasak Dewa dari Jaka Bego itu. Sehingga gelora Nyai Katri dalam bercumbu, tak jauh berbeda dengan hasrat bercinta Andini. Gairahnya adalah gairah perempuan berusia muda yang seakan sedang di puncak pubertas. Karena itu, Nyai pun tak ingin gairahnya kandas hanya karena Jaka Bego lunglai.

"Seingatku, di Pulau ini ada lebah dan sarangnya pada sebuah pohon. Bagaimana kalau kita mencari madu di sarang lebah itu. Dengan madu dan rebusan daun binari, kita dapat menjaga kesehatan dan kekuatan bertahan Jaka Bego," kata Nyai Katri kepada Andini.

"Aku setuju. Tapi jangan katakan kecemasan ini kepada Jaka Bego, nanti dia tahu kalau kita lemah dan tergantung kepada dia."

"Ah, dia memang sudah tahu. Hanya saja dia sendiri juga menyukai ketergantungan kita."

Andini tersenyum bangga. Paling tidak ia masih mempunyai harapan bahwa suatu impian mesra akan mampu diresapi sampai beberapa hari. Ia merasa sebentuk kebahagiaan batiniah akan mampu dilahapnya sampai beberapa lama, jika benar bahwa Jaka Bego menyukai ketergantungannya.

"Tapi, Nyai... apakah kekuatan kita, ilmu-ilmu kita tidak dapat kembali lagi melalui bantuan Jaka Bego? Apakah akan hilang selamanya?"

Nyai Katri juga menggelisahkan hal itu Namun ia berkata dengan mata memandang ke atas, mencari di mana ada sarang lebah yang tergantung pada dahan pohon. Mereka bicara sambil melangkah memburu madu hutan.

"Setahuku, ilmu yang telah terserap oleh kekuatan Asmara Pasak Dewa tidak bisa kembali lagi kepada kita. Hilang musnah begitu saja dari kita,, namun menjadikan kuat pada diri orang yang memilik ilmu Asmara Pasak Dewa. Sebetulnya, saat ini Jaka Bego mempunyai kesaktian yang maha dahsyat, seperti kesaktianku dulu. Apalagi sekarang ia juga memiliki kesaktianmu, itu akan membuatnya menjadi lebih hebat lagi. Mungkin dapat mengalahkan Lanangseta."

Andini menggumam panjang. Nyai meneruskan kata: "Ia dapat bergerak di luar kesadaran, memperagakan ilmu pukulan Bidadari Senja milikmu, atau Siluman Raga Muspra yang kumiliki itu, dan yang lain-lainnya.

Kala dia mau dia bisa. Tapi agaknya dia tidak mau..." "Tidak mau atau memang tidak tahu?"

Nyai berhenti melangkah. "Maksudmu tidak tahu bahwa ia telah memiliki semua ilmu kita?"

"Ya. Bisa saja ia menggunakan ilmu Pasak Dewa di luar kesadarannya, sehingga ia tidak tahu persis bahwa dirinya sebenarnya sudah berilmu tinggi."

Nyai Katri manggut-manggut. "Bisa juga... ya, ya.." Nyai Katri tampak bimbang. "Tapi, siapa tahu ia hanya berlagak tolol dan mempunyai maksud tersendiri?"

Kini Andini menggumam panjang lagi. Lalu ia pun berkata, "Kita belum pernah membicarakan hal itu dengannya, Nyai. Siapa tahu dia bisa mengembalikan kekuatan kita sebenarnya?"

Nyai Katri yang bergaun ungu itu memandang Andini yang mengenakan gaun tipis milik Nyai berwarna kuning gading.

"Dulu aku secerdas kamu, malah lebih cerdas dari kamu," kata Nyai. "Tetapi, aneh... sekarang aku tidak mempunyai kecerdasan seperti itu, sehingga aku tidak mempunyai pikiran seperti yang kau katakan tadi." Andini hanya angkat bahu dan berkata, "Aku hanya ingin melawan Lanangseta dan istrinya, kalau kekuatan dan ilmu-ilmuku itu bisa kembali lagi."

Nyai diam merenung, seperti ada yang sedang ia pikirkan. Andini memandangnya dengan heran, seakan menunggu sesuatu yang akan diucapkan Nyai Katri.

"Lanangseta...?" ucap Nyai dalam gumam. "Apakah dia belum dikalahkan oleh Prabima, si Putra Tunggal itu?"

"Nyatanya sampai detik ini Prabima tidak pernah datang lagi kepada kita. Pasti ia telah dibunuh Lanangseta, Nyai."

"Dibunuh...?" kata-kata ini pun terucap dalam gumam.

"Kau yakin Prabima bisa dikalahkan Lanangseta?" "Ya. Aku mempunyai keyakinan akan hal itu."

Nyai mendengus dan berjalan lagi, matanya memandang ke atas pohon, mencari sarang lebah yang bisa diambil madunya buat campuran minuman Jaka Bego. Hati Nyai sebenarnya gelisah jika memikirkan Prabima, bimbang dengan pertarungan Prabima. Karena sampai saat itu pun Nyai tidak bisa mengontrol apakah Prabima masih hidup atau sudah mati. Jika memang benar Prabima yang sudah dibekali beberapa ilmu oleh Nyai itu dapat dikalahkan Lanangseta, maka sekarang ini tak ada lagi orang yang bisa mengalahkan Pendekar Pusar Bumi itu kecuali... Jaka Bego sendiri. Jaka Bego mempunyai kekuatan yang maha dahsyat, dan kekuatannya itulah yang mampu menandingi kehebatan Lanangseta. Tapi, dapatkah Nyai Katri mengadu Jaka Bego dengan Lanangseta?

Nyai Katri menghilangkan pikiran itu, sebab sarang lebah yang dicari-carinya sudah ketemu. Namun ia mengeluh sedih, lalu berkata:

"Kalau saja aku masih mempunyai kesaktian yang dulu, dengan mudah aku dapat terbang mengambil sarang lebah itu."

"Ya. Aku pun dapat demikian, Nyai. Tetapi keadaan kita sekarang sudah lain. Kita harus memanjatnya, Nyai..."

Jaka Bego sendiri tidak tahu kemana kedua perempuan cantik berambut panjang itu pergi. Yang ia rasakan adalah masa istirahat yang nyaman. Ia tidak terganggu gelitik dan desahan nafas kedua perempuan itu. Ia tertidur dengan nyenyak, bahkan mendengkur. Dan pada sore hari, ia bangun. Di meja telah terhidang makanan, buah-buahan dan segelas minuman berwarna kehijau-hijauan. Setelah menyantap ikan bakar bersama kedua perempuan bergaun tipis sekali itu, Jaka Bego pun disuruh meminum ramuan yang dibikin oleh Nyai Katri.

"Minumlah, supaya badanmu tetap sehat dan segar," kata Nyai kepada Jaka Bego yang memandang heran ke arah minuman tersebut.

"Percuma saja..." ujar Jaka Bego lesu. "Badanku tak akan bisa segar. Tetap saja kurus kerempeng begini dari dulu sampai sekarang. Dulu juga ada orang yang menyuruhku minum jamu. Katanya jamu gemuk badan. Setelah kuminum beberapa gelas, badanku tetap saja kurus kerempeng, tidak bisa gemuk-gemuk juga. Malahan perutku kembung karena kebanyakan minum jamu itu."

"Ramuan ini memang tidak bisa menggemukkan badan, hanya membuat badan menjadi segar, sehat dan..." "Bersemangat tinggi," sahut Andini seraya mengikik.

Tangannya masih saja mempermainkan sesuatu pada diri Jaka Bego sehingga Jaka Bego sesekali menggelinjang dalam desis yang pendek.

"Apakah menurut kalian aku kurang mempunyai semangat hidup?" tanya Jaka Bego yang tidak paham dengan arah pembicaraan mereka. "Bukan semangat hidup maksudku."

"O, jadi semangat apa yang kau maksud?"

"Biasa... semangat untuk mendayung sampan," balas Nyai Katri yang sama sekali tidak kelihatan wibawa dan angker seperti dulu.

"Apakah kita akan berlayar mengarungi lautan? Kenapa aku harus mendayung lagi? Apakah kalian tidak bisa mendayung sendiri?" Jaka Bego, jelas kelihatan begonya.

"Sekali pun kami siap mendayung sendiri, tapi kau harus tetap punya semangat mengarungi lautan, Jaka," kata Nyai Katri. "Karena itu minumlah ramuan ini, tidak pahit dan tidak meracuni kok."

"Ah, tak perlu...!"

"Biar kau sehat, Jaka" bujuk Nyai.

"Aku masih tetap sehat walau ceking begini." "Jaka..." Andini mau bicara tapi terpotong oleh kali-

mat Jaka Bego.

"Kau tidak percaya kalau aku tetap sehat? Kau lihat aku sakit-sakitan, ya?"

Andini memandang Jaka Bego dengan tatapan penuh nafsu. Ia melirik ke bagian bawah Jaka bego, dan ia menelan ludahnya sendiri. Tanpa sadar ia berkata,

"Kau memang kelihatan sehat. Selalu sehat. Dan ini membuatku merasa heran. Sudah sekian lama, bahkan terlalu sering kamu mencangkul di ladang asmara, tapi kau masih kelihatan sehat-sehat saja. Kau tidak kelihatan pucat seperti kami berdua. Benar-benar aneh, bagiku."

"Bagiku tidak aneh. Kau pucat karena kau kurang darah." ujar Jaka Bego sambil mencomot buah seperti jambu, namun bukan jambu, Jaka tak tahu namanya.

"Kau memang luar biasa, Jaka," timpal Nyai Katri. "Kau sangat mengagumkan. Hanya saja tampangmu tidak mempunyai daya tarik. Perempuan lain yang belum mengetahui kehebatan cangkulmu, ia tidak akan tergiur sedikit pun denganmu. Kecuali kami, kami telah mengetahui keistimewaanmu, sehingga kami tak pernah memperdulikan wajahmu yang tak sedikit pun tampan." "Menghina...!" Jaka Bego bersungut-sungut cembe-

rut.

"Jangan marah..." Nyai mencium pipi Jaka Bego. "Aku bicara sesungguhnya. Aku tidak pernah memperdulikan apakah kau tampan atau tidak. Kau telah memikatku dengan keistimewaanmu, Jaka."

Jaka Bego masih bersungut-sungut, dan ia menggerutu:

"Kalau aku sudah memperlihatkan ketampananku, kalian akan menyanjungku sampai ke ujung langit," ujarnya.

"Kenapa tidak?" sahut Andini. "Perhatikanlah siapa dirimu sebenarnya, Jaka. Kami merindukan hal itu."

Jaka Bego melirik Andini yang bergelayutan di pundaknya. Andini bahkan mencium bibir Jaka Bego, kendati Jaka Bego masih tertegun bagai sedang mempertimbangkan sesuatu. Menurutnya, itu sebuah rengekan manja yang jarang ia peroleh dari seorang perempuan cantik seperti Andini.

"Ayolah, Jaka..." sekali lagi Andini memperkuat rengekannya. Nyai Katri juga ikut bergelayutan di pundak satunya lagi. Jaka Bego memandang wajah cantik berhidung bangir dan berbibir ranum segar itu. Nyai ikut merengek, namun lebih menyerupai sebuah bujukan:

"Ayolah... ceritakan segalanya jika kau mampu menunjukkan ketampananmu, tunjukkanlah kepada kami."

Jaka tersenyum geli sendiri.

"Kalian akan menjadi gila jika melihat ketampananku." "Kami memang sudah tergila-gila kepadamu," bisik Nyai dalam desah sambil mencium belakang telinga Jaka Bego.

Andini menambahkan kata seraya menciumnya juga, "Sekarang pun kami sudah tergila-gila padamu, Jaka."

Hati Jaka Bego merasa bangga, dirinya seakan melayang mendapat pujian seperti itu. Saat itu, terutama sejak Nyai dan Andini kehilangan ilmu mereka, Jaka Bego merasa seperti seorang Pangeran di pulau itu. Seorang pangeran yang dikagumi oleh kedua perempuan cantik dan menggairahkan. Tanpa disadari sebenarnya dialah yang kini menjadi penguasa tunggal Pulau Kramat, sebab hanya dialah orang terkuat di pulau itu. Namun, ketololan Jaka Bego membuat ia tidak menyadari hal itu, dan masih saja merasa sebagai tawanan Nyai Katri, sehingga segala perintah Nyai Katri selalu dilaksanakan.

"Siapa dirimu sebenarnya, Jaka Bego? Mengapa kau sampai menguasai ilmu Asmara Pasak Dewa yang amat dahsyat itu? Dari mana kau peroleh ilmu Pasak Dewa itu, Jaka?" Nyai mendesaknya dengan halus, sehingga Jaka Bego tidak merasa dipaksa mengaku siapa dirinya. Dalam hal itu, Jaka Bego hanya berkata: "Kalau kau tanya padaku itu salah, Nyai. Sebab aku sendiri tidak tahu, siapa diriku. Aku juga tidak percaya kalau aku mempunyai ilmu Pasak Dewa. Menurutku, aku ini bi-

asa-biasa saja."

"Tapi kau mempunyai kesaktian yang mengagumkan," bisik Andini sambil mendengus-dengus di leher jaka Bego. Sesekali Jaka Bego menggelinjang. Ia berkata:

"Ah, kesaktian itu kan hanya kebetulan saja." "Kebetulan bagaimana?" tanya Nyai Katri penuh seli-

dik.

"Yaaah... kebetulan saja kau menemukan aku sebagai orang paling sakti seantero jagad raya. Kalau kau bertemu dengan, orang lain, yaah... kau kebetulan saja menemukan orang yang tidak sesakti aku. Jelas?"

Nyai Katri merasa kecewa, ternyata jawaban Jaka Bego tak lebih dari jawaban konyol. Ia membanggakan diri secara tak langsung, dan Nyai tak mau menanggapinya lagi. Ia sibuk meremas-remas sesuatu yang membuat Jaka Bego berkata:

"Nyai... apakah aku harus tidur sesore ini?" "Sebaiknya begitu," jawab Andini yang sudah mulai

bernafas tak teratur.

"Ah... masih terlalu sore, kan?" Jaka mengeluh.

"Hari boleh menjadi sore tapi kau harus tetap sesegar udara pagi, Jaka," bisik Nyai Katri yang mengalami hal serupa dengan Andini. "Aku senang berlayar di pagi hari, udaranya segar dan..."

Andini menyahut, "Dan karena itu kau harus meminum ramuan itu, supaya seperti pagi yang segar, Jaka..."

"Ya, minumlah...! Percaya saja kepada kami, itu bukan racun yang membahayakan jiwamu. Alangkah bodohnya kalau kami punyai niat meracuni kamu, lantas siapa yang akan mendayung sampan kami nanti jika kau mati, Jaka. Minumlah... Itu tanda sayang kami kepadamu."

"Aaaah...! Perempuan katanya memang selalu banyak menuntut.... dasar!" Jaka Bego menggerutu, namun ia mengambil juga minuman itu. Ia pun segera meminum ramuan yang terbuat dari seduhan air daun binari dengan madu lebah hutan. Sekali tenggak, minuman itu habis. Andini dan Nyai Katri tersenyum bersama, merasa mereka akan memperolah suatu keistimewaan lebih hangat lagi dari Jaka Bego. Syaraf kedua perempuan itu memang sudah tak banyak bisa berpikir hal-hal lain kecuali tentang kemesraan yang menghangat. Itu juga akibat pengaruh ilmu Pasak Dewa yang telah berhasil menjerat dan mempengaruhi jiwa mereka.

Andini dan Nyai Katri sama-sama menuntun Jaka Bego ke kamar. Sambil bercanda dan tertawa mengikik merek sengaja menggoda Jaka Bego dengan sentuhansentuhan yang sensitif. Jaka Bego mengikik dalam suatu gerakan menggelinjang jika bagian tubuhnya yang peka disentuh atau pun digelitik oleh kedua perempuan itu.

Waktu ia sampai di pembaringan, ia menguap. Matanya mulai sayu, bicara dan tawanya mulai mengambang.

"Hei, kau jadi mengantuk, ya? Mengantuk sungguh?" goda Andini seraya mempermainkan bagian tubuh Jaka Bego. Saat itu, Jaka Bego mengangguk-angguk, tak dapat bicara apa-apa. Nyai Katri menelentangkan Jaka Bego dengan gairah yang berkobar-kobar. Ia tertawa seraya memandang Andini:

"Ia sengaja mempermainkan kita, supaya kita mendayung sendiri, hi, hi, hiii..."

Andini menyahut dalam tawanya pula: "Untung aku sudah bersiap diri untuk mendayung..."

Beberapa saat, terdengar dengkuran Jaka Bego. Nyai Katri dan Andini sama-sama masih mengikik geli.

"Dia tertidur betulan..." "Biarkan saja, justru kita bebas mendayung dan berlayar ke mana pun kita mau," jawab Nyai Katri. Kemudian ia bicara berbisik kepada Andini, "Lihat... semakin kuat dan perkasa, bukan?"

"Ramuanmu sungguh hebat, Nyai. Jaka kelihatan tetap segar dan semakin mengagumkan walau dalam keadaan tertidur. Hi, hi, hi... Dia benar-benar embun pagi yang segar dan... dan..." Andini memandang heran wajah Jaka Bego. Ia kini semakin berbisik: "Hei, Nyai... lihat wajahnya berasap...?!" Nyai membelalakkan mata kendati tetap bekerja dengan teratur. "Astaga... benar! Ia berasap, bahkan... bahkan di bagian dada serta perutnya ini, lihat... ini juga berasap."

Andini menjadi tegang. "Oooh...?! Dia mulai membengkak, Nyai. Dia membengkak dan...dan..." Andini menutup mulutnya dengan tangan. "Aku takut ia akan meledak Nyai..."

"Ajaib sekali! Apa yang terjadi pada dirinya sebenarnya "

Nyai Katri ketakutan, ia segera turun dari pembaringan. Andini juga demikian. Ia melangkah mundur dengan mata masih membelalak memandang Jaka Bego yang mengeluarkan asap. Seluruh tubuhnya membengkak sedikit demi sedikit, bahkan pada bagian pusakanya itu pun kian membesar dan bertambah tinggi. Nyai sendiri segera lari ke luar dari kamar dengan kepanikan dan ketakutan yang tak pernah dimiliki sebelumnya. Andini menyusul dalam kegugupan. Nafasnya tak teratur. Ia sama saja dengan Nyai. Tidak menghiraukan pakaian yang tertinggal di lantai kamar.

"Nyai bagaimana dia? Apa yang kau minumkan ke-

padanya itu sebenarnya?" Andini sangat cemas dan bingung.

"Entahlah. Kupikir... kupikir itu ramuan yang biasa, wajar-wajar saja, aku... aku pernah memberikan ramuan serupa kepada Prabima, tetapi... ia tidak mengalami perubahan mengerikan seperti Jaka.... Oh, Andini aku tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri

Jaka Bego "

"Kita telah membunuh dia, Nyai...! Kita lari saja. !"

"Di luar, hari sudah malam... Kita mau lari ke mana?" Nyai Katri sangat cemas, dan Andini kebingungan.

"Bagaimana kalau arwahnya sampai menuntut kepada kita?" Kata Andini, dan memang baru sekarang juga mereka berdua merasa takut kepada arwah, padahal dulu Nyai Katri justru sering bercanda dan bertarung dengan arwah-arwah penasaran. Tapi kali ini, ia benar-benar merasa takut sekali jika arwah Jaka Bego memburu dan mencekiknya. Ia memiliki unsur ketakutan yang sama dengan perempuan biasa.

Tiba-tiba dari kamar terdengar suara seseorang memanggil:

"Nyai....?! Andini...?!"

Kedua perempuan itu saling pandang dalam ketakutan yang memuncak. Kaki dan tangan mereka gemetaran.

"Di mana kalian...! Kenapa pergi? Nyai...?!"

"Nyai, kau dipanggil...!" bisik Andini dalam ketakutan. Nyai Katri menggeleng, ketika di dorong maju ke kamar, ia tetap bertahan tidak mau masuk ke kamar.

"Itu suara Jaka, bukan?" bisik Nyai. Andini mengangguk. "Dia masih hidupkah...?"

Andini menggeleng. "Entah! Atau... arwahnya yang memanggilmu, Nyai..."

***

4

Kedua perempuan tanpa busana itu melangkah mundur menjauhi kamar. Keringat dingin mengucur dari pori-pori kulit mereka yang halus lembut. Suara seorang lelaki dari dalam kamar membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan tak tahu harus berbuat apa mereka.

"Andini....! Ah, brengsek kau. Kenapa kau biarkan aku seperti ini...?!" suara itu terdengar lagi.

Andini menjadi lebih ketakutan lagi. Ia mendekati pintu keluar, dan Nyai Katri buru-buru menyusulnya. Mereka berniat melarikan diri keluar dari rumah. Tetapi baru saja pintu hendak dibuka, wajah-wajah mereka yang cantik itu semakin menegang dalam kekaguman yang mencekam.

Seorang pemuda tampan keluar dari kamar Nyai Katri. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap. Badannya kekar dan berotot. Rambutnya tak terlalu panjang dan bergelombang ikal. Wajahnya bersih, dengan hidung bangir dan mata kebiru-biruan. Alis matanya tidak terlalu tebal, namun bulu matanya cukup lebat dan lentik bagi ukuran bulu mata lelaki.

Pemuda itu tidak mengenakan baju, sehingga dadanya yang bidang dan kekar itu tampak terbentang jelas. Ia hanya mengenakan kain selimut yang dililitkan asal jadi pada bagian perut sampai batas paha ke atas sedikit. Ia berkulit kuning langsat, halus dan bersih. Di wajahnya ada kumis yang tipis. Sangat tipis, namun justru menambah ketampanannya yang luar biasa memukau. Kedua pundaknya datar, otot-otot lengannya kelihatan menonjol namun lembut.

Andini dan Nyai Katri sama-sama terbengong seperti patung bugil. Mata mereka tak bisa berkedip, dan mulut mereka tetap melongo. Mereka benar-benar terpukau oleh ketampanan pemuda itu. Mulut dan lidah bagai susah untuk digerakkan. Kelu. Mereka benar-benar terkesima oleh pemandangan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Pemuda itu mendekati Nyai Katri dan Andini setelah memeriksa tubuhnya sendiri. Ia tersenyum mempesona, namun kedua perempuan itu tak mampu membalasnya. Mereka masih terpukau dalam keheranan yang amat tinggi.

"Nyai...?" sapanya lembut dan menyejukkan hati. "Andini...?" ia memandang Andini dengan sepasang mata kebiru-biruan. Bau harum yang sangat melenakan tercium dari tubuh pemuda itu.

Beberapa saat kemudian, setelah pemuda itu melipat tangan di dada seraya tersenyum tipis mempesona. Nyai Katri mulai dapat menelan ludahnya sendiri, dan matanya pun bisa untuk berkedip. Ia mengucal-ngucal sepasang matanya, dan sekali lagi memandang tegastegas ke arah pemuda tampan berbibir ranum itu. Debar-debar di dada Nyai Katri bagai ingin menghentikan detak jantung.

Pemuda itu berkata dengan lembut, "Kau pasti telah memberiku minuman yang mengandung madu. Benar, bukan?"

Nyai Katri seperti orang dihipnotis. Ia mengangguk, bahkan kelihatan ketololannya. Lalu, dengan bibir gemetar ia berkata:

"Si... siapa... siapakah kau... sebenarnya...?" suara itu pun nyaris hilang, tak terdengar.

"Kalian sama sekali tidak mengenaliku?"

Nyai Katri mengangguk, Andini juga mengangguk dengan mulut masih melongo. Mereka berdua benarbenar seperti orang tolol tanpa busana selembar benangpun. Pemuda itu kelihatan semakin tenang dan menawan dengan senyumnya.

"Aku... Jaka Bego."

Kedua pasang mata perempuan itu sama-sama bergerak melebar. Lalu mereka saling pandang dalam kebisuan, dan setelah itu kembali memandang pemuda tersebut. Mereka menampakkan tatapan mata tidak percaya, sehingga pemuda itu meraih tangan Nyai Katri dan tangan Andini, lalu ia menuntun kedua perempuan itu ke dekat meja. Nyai dan Andini seperti sepasang kerbau yang dicucuk hidungnya: menurut saja. Di situ, pemuda tampan itu berkata dengan bahasa yang ramah, suara yang lembut, enak di dengar serta mengagumkan.

"Namaku yang sebenarnya Indra Mada. Aku hidup

bukan di alam ini, tetapi di Suralaya. " "Suralaya?!" Andini dan Nyai sama-sama mendesiskan kata itu. Lalu dengan sedikit susah payah Nyai Katri berkata pelan:

"Suralaya... tempat para dewa..."

"Ya. Benar. Dari sana asalku. Aku mencari ayahku, yaitu seorang dewa yang melakukan kesalahan, lalu dibuang ke alam kehidupan manusia. Ia menjelma menjadi manusia. Ayahku itu bernama Bhirawa Mada. Karena ia terusir dari Suralaya, dan menjadi manusia, kabarnya ia bernama Pramban Jati, atau dikenal sebagai Si Tongkat Besi. Ayahku itu adalah dewa Kejayaan, sedangkan aku anaknya, dewa Seribu Mimpi. Tugasku mengatur impian-impian yang mempunyai makna sebagai perlambang kehidupan manusia yang bersangkutan. Dan aku sengaja melakukan kesalahan di Suralaya, supaya aku dibuang ke alam ini. Dengan dibuangnya aku ke sini, maka aku akan dapat bertemu dengan ayahku, yang sejak kecil tak pernah kutemui..."

Andini dan Nyai Katri termangu-mangu mendengar penuturan kisah itu. Mereka sama sekali tidak memiliki keraguan sedikit pun. Cerita dan ketampanan Indra Mada telah melunakkan segala kecurigaan, sehingga membuat mereka sangat percaya dan tetap mengagumi Indra Mada.

Pemuda jelmaan Jaka Bego itu berjalan mondarmandir sambil berbicara penuh kelembutan dan enak didengar.

"Ibuku seorang bidadari," katanya. "Sewaktu ia melihat aku dibuang ke alam kehidupan ini, ia menangis sampai mencucurkan air mata darah. Lalu penguasa Suralaya menjadi iba dan kasihan kepada ibuku, Ia berjanji akan mengembalikan ujudku seperti semula, apabila aku telah mengecap kemanisan alam manusia ini, yaitu madu dan cinta!"

Tak satupun dari kedua perempuan itu ada yang berani bicara. Selain memang Indra Mada mencerminkan kharisma tersendiri, juga mereka merasa sayang jika harus bicara dan membuat suara Indra Mada itu terhenti. Karena itu, mereka diam, menyimak suara Indra Mada yang enak di dengar dan menimbulkan getaran tersendiri di dalam hati mereka.

"Dulu..." sambung Indra Mada. "Aku pernah menelan setetes madu, ketika aku menjadi seorang tawanan di kapal. Dan aku hampir saja menjelma menjadi ujud yang sebenarnya. Tetapi aku tidak merasakan cinta, bahkan memang belum pernah sehingga aku kembali lagi menjadi ujud Jaka Bego."

Indra Mada menceritakan sekilas peristiwa ia ditahan di kapal Laksamana Chou dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO. Ia pun menjelaskan.

"Tetapi di sini, aku telah merasakan manisnya cinta seorang perempuan, dan manisnya madu yang kau berikan padaku. Maka, ujud Jaka Bego pun terpaksa kutinggalkan dan berubah dengan sendirinya menjadi ujudku seperti ini..." seraya Indra Mada mengembangkan kedua tangannya, seakan memperlihatkan keadaan dirinya.

"Apakah..." Nyai Katri ragu-ragu ingin bicara. Tapi Indra Mada menyuruh Nyai Katri tenang dan tak perlu takut-takut untuk bicara, maka Nyai pun melanjutkan kata-katanya:

"Apakah... aku akan kembali ke Suralaya jika sudah berubah seperti ini?"

"O, tidak! Dalam keadaan seperti ini, berarti aku telah bebas. Aku boleh tinggal di alammu, atau boleh pulang ke alam para dewa kapan saja aku mau. Tetapi aku tidak ingin kembali lebih dulu sebelum aku menemukan ayahku: Si Tongkat Besi. Apakah kalian pernah mendengar nama itu?"

"Ya. Dulu aku pernah mendengar namanya, tapi sekarang tidak lagi. Dan aku tidak tahu di mana dia," jawab Nyai Katri yang mulai memperoleh ketenangan batinnya.

"Bagaimana dengan Lanangseta...?"

Nyai Katri dan Andini saling bertatapan

sejenak, kemudian Andini bertanya kepada Indra Mada.

"Apakah Lanangseta itu ayahmu?"

Indra Mada melangkah menjauhi Andini dan Nyai Katri dengan senyum menghias bibirnya yang ranum.

"Bukan begitu maksudku. Selama ini, aku sengaja mengikuti Lanangseta, karena aku mencium bau darah dewa pada dirinya. Aku tak tahu apakah dia dewa atau bukan, tetapi ia pernah menyebutkan gelar Malaikat Pedang Sakti. Dan itu adalah gelar dari ayahku. Aku belum sempat menanyakannya, sebab selama ikut dia, selalu saja ada masalah yang harus kutangani. Kepada dia pun aku belum sempat menceritakan siapa diriku. Dan memang dalam keadaan penting saja aku harus menceritakan tentang jati diriku, termasuk kepada kalian..."

"Apakah kami termasuk orang penting menurutmu?" tanya Andini yang juga mulai tenang.

"Ya. Penting, karena kalian telah melihat ujudku yang sebenarnya. Itulah tadi kukatakan, kalian akan gila jika melihat wajahku yang sebenarnya."

Nyai Katri mulai tersipu. Ia berkata lirih, "Agaknya kata-katamu itu memang benar."

"Nah, kau sudah mulai memancing-mancingku, bukan?"

Nyai Katri semakin tersipu, demikian juga Andini.

Lalu dengan pelan Nyai bertanya:

"Apakah aku tak boleh lagi memancing-mancingmu?" Indra Mada merasa terpojok dengan pertanyaan itu.

Ia ingin mengalihkan pembicaraan, tetapi Nyai sudah menyerang dengan pertanyaan serupa:

"Apakah kita sudah tidak boleh saling bercinta lagi?" "Ya, apakah kami tak boleh berlayar lagi denganmu?"

sahut Andini yang mulai bersemangat.

Indra Mada tersenyum lebar, dan semakin menggetarkan hati Nyai Katri dan Andini.

"Aku seorang dewa..." kata Indra Mada. "Seharusnya, seorang dewa tidak boleh bercumbu dengan manusia."

Wajah-wajah cantik itu lesu dan tampak kecewa. Indra Mada memperhatikan sejenak, lalu berkata:

"Tapi karena aku hidup di alam manusia, dan aku kembali berujud seperti ini karena manusia, maka... aku pun harus mau menerima kodrat kemanusiaanku, yaitu mengenal cinta!"

"Jadi...?!" Mata Nyai Katri berbinar-binar penuh harap.

"Jadi, tak ada salahnya aku bercinta, kalau toh cinta dan kemesraan itu bagian dari naluri manusia."

"Dan kau masih mau bercinta dengan kami sekali pun untuk satu malam?" Andini mendesak.

Indra mada tersenyum, bahkan tertawa tanpa suara.

Ia berkata dengan wibawa:

"Apa salahnya, kalau toh kuanggap hal itu adalah suatu persembahan bagi dewa. Sungguh penghormatan atas diriku yang telah hadir di antara kalian..."

Andini tertawa girang seraya memandang Nyai Katri. "Aku ingin malam ini jangan berlalu sampai berbu-

lan-bulan," kata Andini.

"Kuharap juga dinginnya malam jangan bergeser sedikit pun, sehingga aku dapat meresapi betapa hangatnya pelukan dewa itu," sahut Nyai Katri.

"Tunggu dulu..." sergah Indra Mada. Kedua perempuan itu menatapnya dengan ragu. Indra Mada berkata lagi:

"Tapi jangan salahkan aku kalau kalian menjadi budak nafsu kalian sendiri. Dan jangan salahkan aku kalau kalian menjadi sakit karena bercumbu denganku."

"Menjadi sakit...?" Andini berkerut dahi.

Indra Mada mengangguk. "Kau sudah mengenal kehebatan Jaka Bego bukan?"

"Ya..." jawab Andini dan Nyai bersahut-sahutan. "Kalian mengagumi keistimewaan dayung Jaka Bego

yang dulu pernah kalian katakan sebagai pedang panjang yang mampu menembus dinding karang, bukan?"

"Ya... ya, betul!"

Indra Mada tersenyum. "Itu Jaka Bego. Dengan sosok Jaka Bego saja kau telah terkagum-kagum dan kecanduan, sedangkan aku... di atas Jaka Bego lima tingkat lebih tinggi keberadaanku."

Nyai Katri dan Andini saling berpandangan, berkerut dahi pertanda kurang jelas dengan kata-kata itu. Kemudian Indra Mada membuka kain penutup tubuhnya, dan mata kedua perempuan itu membelalak lebar-lebar memandang ke suatu arah yang membuatnya berdebardebar namun juga menggairahkan.

Andini dan Nyai Katri sudah terpengaruh oleh kekuatan ilmu Asmara Pasak Dewa, sehingga pikiran mereka tak akan pernah jauh dari masalah birahi dan kemesraan. Kini mereka baru tahu, bahwa memang pantas Jaka Bego mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa, sebab sebenarnya Jaka Bego itu adalah Dewa Seribu Mimpi yang sangat mengagumkan.

Nyai Katri dan Andini sama-sama merasa menjadi perempuan paling beruntung di dunia itu, karena hanya mereka berdualah yang benar-benar mampu menjadikan impian berubah kenyataan. Khayalan tentang seorang lelaki jantan yang maha hebat sering mereka bayangkan, bahkan impikan. Dan sekarang Dewa Seribu Mimpi membuat impian itu menjadi kenyataan yang mengakibatkan Andini dan Nyai Katri memekik-mekik di tengah kesunyian malam.

Indra Mada, memang jauh lebih tinggi nilainya dengan Jaka Bego. Kalau pada saat Indra Mada menjadi Jaka Bego, Nyai Katri sudah sangat mengagumi dan tergila-gila, maka kali ini, Nyai hampir-hampir tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang perempuan. Andini sendiri juga tidak bisa menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang wanita. Mereka lepas kontrol dan mengerang keras-keras, bahkan terkadang menjerit tinggi menikmati nilai yang lima kali lebih besar dari Jaka Bego.

Indra Mada mendayung sampannya dengan tanpa berhenti sebentar pun. Ia membiarkan perempuanperempuan itu berada di puncak paling tinggi, bahkan berulangkali. Dan ia sendiri masih mampu melesatkan anak panah dengan kuat sekali pun sudah sepuluh kali ia memanah dalam kondisi cepat dan kuat. Ia bagai seorang pemanah yang tak pernah kehabisan panah, bagai seekor ular yang menyemburkan bisa beracun tanpa pernah mengalami kekurangan semburan bisa, sekalipun ia telah menyembur musuhnya berkali-kali.

Waktu fajar menyingsing, di mana Indra Mada belum berhenti sebentar pun untuk mendayung sampan, pada saat itu Andini telah terkapar di lantai dengan lunglai. Sedikit pun tak ada tenaga yang tersisa kecuali nafas, sementara itu, Nyai Katri pun menyusul lemas bagai kapas setelah Indra Mada sama-sama mendaki ketinggian gunung dan berjaya di puncaknya.

Indra Mada segera berlabuh ketika matahari mulai memancarkan sinar kemerahan. Keringatnya yang bercucuran, mengabarkan bau harum tak berkesudahan. Keringat dewa ternyata telah mampu menimbulkan pengaruh tersendiri bagi manusia yang menciumnya.

Indra Mada yang dulunya dikenal Jaka Bego itu baru saja ingin membaringkan tubuh di sisi Nyai Katri yang pucat pasi itu. Namun ia terpaksa bergegas bangun karena ia merasa ada sepasang mata yang mengintainya dari sela-sela dinding kamar. Indra Mada mengenakan pakaian Jaka Bego, sebuah rompi kulit binatang dan celana hitam. Ia bergegas keluar dari kamar. Tapi anehnya, sepasang mata yang mengintainya itu masih tetap menempel pada dinding kamar yang terbuat dari kayukayu kasar. Bahkan sampai Indra Mada berada di belakang orang yang mengintip, orang itu masih belum bisa lepas dari dinding rumah panjang itu. Ia masih saja mengintip, bagai tak menyadari bahwa di dalam kamar sudah tak terdapat seorang lelaki dengan segala kegiatannya.

Indra Mada melemparkan selembar daun kering ke kaki pengintip itu seraya berkata:

"Tontonan yang mahal, ya Bung...?!"

"Aaaauuwa...!" Orang itu menjerit tertahan. Mata kakinya bagai dilempar dengan batu besar, sekali pun sebenarnya hanya dengan daun kering.

"Apakah itu pekerjaanmu, Laksamana?!" kata Indra Mada.

Rupanya orang yang mengintip itu adalah Laksamana Chou. Ia terkejut ketika Indra Mada menyebutkan namanya. Ia merasa tidak mengenal lelaki tampan dan berkulit bersih itu. Karenanya, Laksamana Chou bersungut-sungut, matanya memandang tajam, bertanyatanya dalam hati.

"Seorang Laksamana dari negeri Tiongkok, sungguh memalukan melakukan kegiatan mengintip dua putri yang sedang dimabuk birahi. Kurasa bukan itu tujuanmu ke mari, Laksamana Chou," tutur Indra Mada dengan tenang sekali.

Sambil masih menyeringai kesakitan pada mata kakinya, Laksamana Chou bertanya: "Siapa kamu sebenarnya, hah?!" "Aku Indra Mada," jawab Indra Mada dengan tersenyum-senyum. Laksamana Chou tampak semakin heran.

"Indra Mada?! Aku tidak kenal sama kamu..."

"Tentu. Tapi aku kenal kamu, Laksamana Chou. Aku juga kenal dengan anak buahmu, algojomu yang bernama Huang Pai. Dan aku tahu, kau mencari anakmu yang bernama Yin Yin, bukan?!"

Tentu saja kata-kata itu sangat mengherankan Laksamana Chou, sebab dia tidak tahu kalau yang ada di hadapannya itu adalah orang yang pernah ditawannya dalam urusan hilangnya anak gadis Laksamana: Yin Yin. Lelaki berambut putih dengan kumis melengkung sampai di dagu itu tidak tahu, bahwa pemuda yang ada di depannya itu adalah Jaka Bego yang telah merubah ujudnya menjadi Indra Mada.

"Dari mana kau mengetahui namaku, nama anakku, nama penghianatku: Huang Pai itu? Dari mana kau peroleh keterangan itu, hah?!"

"Dari... yah... dari dirimu sendiri, Laksamana." Indra Mada menertawakan Laksamana Chou.

"Kalau begitu kau tahu di mana putriku Yin Yin berada? Apakah kau ikut membantu pemuda yang melarikan Yin Yin?"

Indra Mada menggeleng dengan tenang, santai.

"Saya tidak pernah berurusan dengan putrimu. Dari dulu sudah kukatakan, saya tidak mengenal siapa itu Yin Yin. Dan terus terang..." Indra Mada berbisik, "Aku tidak pernah punya keinginan untuk mengenal putrimu itu, tahu?!"

"Biadab kau...! Sekali lagi berkata begitu, kurobek mulutmu, Babi!"

"Dan sekali lagi kau berani mengintip rumah ini, kucungkil matamu keduanya, Babi juga!"

Laksamana Chou menggeram. Indra Mada sengaja berjalan menjauhi Laksamana Chou.

"Tunggu...! Ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu...!" seru Laksamana sambil mengikuti langkah Indra Mada.

Indra Mada berjalan terus, tidak menghiraukan katakata tersebut. Namun tujuannya adalah memancing Laksamana Chou agar menjauh dari rumah Nyai Katri.

"Indra Mada..! Berhenti...!" seru Laksamana Chou bagai menghardik anak buahnya saja. Indra Mada tetap melangkah, dan Laksamana Chou merasa tidak dihormati. Padahal ia terbiasa di hormati dan disegani anak buahnya. Maka, menghadapi sikap Indra Mada seperti itu, ia menjadi marah. Segera ia bermaksud memberi pelajaran kepada anak muda tersebut: Kakinya miring dalam posisi lurus, dan ia melayang menerjang tengkuk kepala Indra Mada.

Namun dengan tanpa menoleh sedikit pun Indra Mada segera berpaling ke belakang dengan kaki kanannya melayang bagai sebuah sabetan pedang, mengenai tulang kering Laksamana. Akibatnya, Laksamana Chou meringis kesakitan dan tubuhnya terpelanting sampai memutar satu kali. Lalu ia jatuh terduduk di tanah. Indra Mada berdiri di depannya tanpa hormat sedikit pun. Laksamana sebenarnya semakin panas hatinya, namun apa boleh buat, ia terpaksa harus mengusap-usap tulang kakinya yang terasa sakit sekali, bagai berbenturan dengan kaki yang terbuat dari besi.

"Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Laksamana?" tanya Indra mada dengan tenang dan tangannya bersilang di dada. Rompi Jaka Bego yang dikenakan itu sebenarnya sangat mengganggu kenyamanannya karena sesak, tapi untuk sementara ini Indra Mada tidak menghiraukannya dulu.

Laksamana Chou berkata dalam posisi duduk di tanah sambil mengusap-usap tulang keringnya. "Aku tadi melihat seorang perempuan cantik yang tergolek di kamar bersamamu..."

"Aku yakin kau menelan air liurmu, bukan?"

Laksamana gelisah antara terhina dan tak dapat berbuat apa-apa. Kakinya masih terasa ngilu, dan dikuat-kuatkan untuk berbicara dengan Indra Mada.

"Kau seharusnya menghormatiku. Aku seorang Laksamana!"

"Aku belum sempat memikirkan bagaimana cara menghormatimu. Yang jelas, apa maksudmu membicarakan perempuan itu kepadaku?"

Laksamana diam sebentar, menghela nafas. "Berdirilah, Laksamana... rasa-rasanya lebih enak

kau bicara dengan berdiri, bukan?"

Laksamana Chou sedikit terbelalak dan terbengong. Aneh, rasa sakit pada tulang kering kakinya hilang. Kakinya jadi ringan dan enak dipakai untuk berdiri! Laksamana menggoyang-goyangkan kakinya itu, dan memang sudah tak merasa ngilu sedikit pun.

"Bicaralah, Laksamana..! Aku tidak suka bicara denganmu terlalu lama. Kau memuakkan di mataku!"

Laksamana merasa tersinggung. Ia menggeram dan melancarkan pukulan. Namun pukulan itu dihindari oleh Indra Mada dengan cara menarik kepalanya ke belakang.

"Sudahlah, jangan main-main...!" Indra Mada bagai menghardik, dan Laksamana menjadi enggan menyerangnya lagi.

"Kenapa dengan perempuan yang kau intip tadi?" Laksamana menjawab dengan bersungut-sungut ka-

rena masih menyimpan kedongkolan:

"Aku sepertinya pernah melihat perempuan itu dalam sebuah lukisan Tiongkok."

"O, ya...? Lantas?"

"Apakah dia yang bernama Areswara?" "Entah, ya...?" jawab Indra Mada, lalu hendak pergi lagi. Tapi Laksamana Chou segera melompat tinggi dan bersalto melewati atas kepala Indra Mada. Namun pada saat ia hendak menjejakkan kakinya ke tanah, Laksamana Chou itu terjengkang bagai kehilangan keseimbangan tubuh. Ia menyeringai sambil memegangi pinggangnya, sedangkan Indra Mada hanya tertawa tanpa suara.

"Kau tidak sopan, lewat di atas kepalaku tanpa permisi, itulah akibatnya...!" kata Indra Mada masih dalam gaya Jaka Bego.

Laksamana Chou berusaha berdiri sambil mengurut pinggangnya yang nyeri sedikit itu.

"Indra Mada, dengar keteranganku..." kata Laksamana. "Kalau benar ia yang bernama Areswara, maka ia adalah Ratu Bajak Laut pada zaman dulu yang sangat kejam dan ganas. Ia memang cantik, tapi kecantikannya itu adalah maut bagi lelaki yang mencoba mendekatinya."

Indra Mada menggumam. "Dari mana kau bisa tahu hal itu?"

"Kedatanganku ke sini adalah ingin menemuinya! Itu tujuan yang sebenarnya."

"Kalau begitu, temui saja dia! Tapi ingat, kau bisa bertemu dengannya, tapi tidak bisa bernafas selamanya." Indra Mada bicara sambil tersenyum-senyum, sedangkan Laksamana Chou begitu tegang dan serius.

"Indra Mada, kuperingatkan kepadamu, jangan berlagak jadi pahlawan iblis betina itu! Kau akan celaka sendiri di tangannya, tahu?!"

"Alasannya apa?"

"Dia perempuan paling kejam di dunia! Leluhurku, bangsa Cina sejak zaman dinasti I-Tsing, telah banyak yang menjadi korban keganasannya sebagai Ratu Bajak Laut Perairan Selatan. Memang, ia pernah bercinta dengan seorang keturunan Liang Tau Ming, tokoh bajak laut juga pada masa itu, dan ia pernah dilukis oleh kekasihnya itu. Namun, akhirnya sang kekasih dibunuhnya juga. Dan... aku adalah keturunan dari Liang Tau Ming. Aku tahu persis kehidupan Ratu Areswara, perempuan yang ada di dalam kamar itu. karenanya, aku ke mari justru mencarinya..."

"Untuk apa? Kamu kan sudah bertemu dengannya di kamar, tadi?" kata Indra Mada.

Laksamana Chou menggumam pelan dan berfikir. Kalau ia berkata lagi, "Bagaimana kalau kita kerja sama?"

"Ah, aku tidak suka bekerja," jawab Indra Mada seenaknya. Laksamana semakin keki dengan sikap Indra Mada.

"Kerjasama ini akan menghasilkan sesuatu yang amat berharga dari hidup kita, Indra Mada."

"Sangat berharga?" Indra menertawakan pertanda kurang tertarik atas tawaran tersebut. Tapi, ia jadi ingin tahu.

"Maksudmu, kerjasama apa, Laksamana?" "Perempuan itu..." Laksamana mendekat dan agak

berbisik, "Perempuan itu menimbun harta karun yang cukup banyak dari hasil bajakannya.... Konon, harta tersebut disimpannya dalam sebuah tempat yang diberi nama Istana Langit Perak..." Laksamana clingak-clinguk sebentar, lalu katanya lagi. "Desak dia, bujuk dia supaya memberitahu di mana letak Istana Langit Perak. Nanti harta-harta berharga itu kita bagi dua. Bagaimana? Setuju?"

*** 5

INDRA MADA hanya tersenyum sinis mendengar rencana Laksamana Chou. Kemudian tanpa memberi jawaban apa pun, Indra mada melangkah meninggalkan lelaki bermata sipit itu.

"Indra Mada..." sapa Laksamana lagi. "Pikirkanlah kesempatan ini. Hanya kita berdua yang akan menjadi penguasa harta karun tersebut. Ayolah, Indra..."

Laksamana mendesak Indra Mada sambil mengikuti langkahnya. Tetapi Indra Mada seperti orang tuli, tetap berjalan dengan tenang. Ia sedang menikmati kesejukan dan kesegaran udara pagi.

Laksamana menahan pundak Indra Mada seraya berkata:

"Jangan bodoh, Indra Mada. Di dunia ini hanya aku yang tahu kalau perempuan itu menyimpan harta karun hasil bajakannya. Hanya aku yang memiliki buku catatan tentang dirinya, dan lukisan dari leluhurku tentang dia. Percayalah...! Percayalah, bahwa aku tidak akan menipumu..."

Pundak Indra Mada disentakkan, kemudian ia melangkah lagi seraya berkata:

"Hartaku lebih banyak dari harta yang kau incar!" Laksamana sedikit bingung. Ia berhenti, lalu berkata: "Kalau begitu, baiklah... akan kupaksa sendiri dia

supaya mengaku..."

Indra Mada tetap bagaikan tidak peduli dengan katakata Laksamana. Ia berjalan terus menyusuri rimbunan semak di kanan kiri jalan setapak. Sampai akhirnya ia tiba di pantai, memandang birunya laut yang bagai permadani menghampar. Menikmati cahaya pagi yang kian meninggi.

Tapi di dalam hati Indra Mada menggumam beberapa kali dan berkecamuk sendiri.

"Istana Langit Perak...? Apa benar di sana ada harta karun yang amat banyak? Apa benar. Nyai Katri masih menyimpan harta bajakannya dulu? hemm. Laksamana Chou itu akhirnya mengaku sendiri apa yang menjadi tujuan utamanya. Ia memburu legenda lama. Barangkali juga ayah atau kakeknya pun pernah gagal memburu legenda lama itu, sehingga ia bertekad meneruskannya. Ah, manusia terkadang menjadi gelap mata hatinya jika sudah berurusan dengan harta benda. Laksamana itu sendiri sudah tidak begitu mementingkan jiwa putrinya. Pikirannya mulai dipadati oleh Istana Langit Perak yang belum tentu ada." Indra Mada tertawa sendiri.

Namun tiba-tiba ia berkerut dahi, seperti ada sesuatu yang baru saja disadarinya. Ia pun menggumam dan manggut-manggut, lalu berkata dalam hati:

"Tapi... sepertinya aku tadi melihat cambuk yang terselip di pinggang belakang? Ya, cambuk itu... cambuk itu kurasa bukan cambuknya. Pasti Cambuk Naga milik Paman Ludiro. Oh, benar. Mataku tak dapat dibohongi. Aku kenal betul dengan Cambuk Naga yang sering bertengger di pundak Ludiro. Jika begitu, berarti telah terjadi sesuatu pada diri Ludiro. hemm... Laksamana itu telah berhasil merampas Cambuk Naga dan... dan barangkali senjata itulah yang menjadi andalannya untuk menemukan Istana Langit Perak?!"

Indra Mada bergegas kembali ke rumah. Hatinya sedikit was-was tentang diri Nyai Katri dan Andini. Kegelisahannya itu ternyata menjadi kenyataan. Indra Mada melihat laksamana Chou menggeret dengan paksa tangan Nyai Katri untuk diikatkan pada pohon di samping rumah.

"Lepaskan...! Lepaskan aku, Setan...!" Nyai Katri masih meronta-ronta, dan ia tidak mempunyai kekuatan untuk melawan kekerasan. Laksamana Chou dengan bangga menampar Nyai Katri berulang kali. Ia merasa dapat mengalahkan perempuan yang dianggapnya sakti dan hebat itu. Ia merasa berhasil membaca sebuah mantera yang diucapkan sebelumnya, dan berguna untuk menundukkan perempuan. Kali ini ia merasa telah berhasil menundukkan perempuan yang terkenal kekejamannya. Laksamana Chou mengikat tubuh Nyai Katri yang hanya mengenakan gaun tipis sekali itu pada pohon, setelah itu memaksanya dengan cara kasar.

"Katakan sekarang juga, di mana letak Istana Langit Perak, hah...?! Di mana?! Ayo, katakan!"

Nyai Katri hanya menyeringai kesakitan ketika rambutnya dijambak dengan kasar oleh Laksamana Chou.

"Cepat katakan, Iblis...! Atau kupenggal kepalamu untuk tumbal Istana Langit Perak itu, hah?!"

"Aku tidak tahu...! Aku tidak tahu sama sekali...!" Nyai Katri merengek kesakitan. Ia benar-benar tidak berdaya. Kalau saja ia masih mempunyai ilmunya yang tersedot Asmara Pasak Dewa, barangkali sudah dilumatkan tubuh Laksamana Chou itu saat ini juga.

"Kau harus kusiksa supaya mau mengaku, ya?!" bentak Laksamana Chou seraya hendak mencabut cambuk yang terselip di pinggangnya. Nyai Katri sangat ketakutan.

"Jangan..! Oooh... jangan siksa aku...!"

"kalau begitu, katakan, di mana letak Istana Langit Perak. Lekas...!"

"Kau salah alamat...! Mungkin bukan aku orangnya yang mengetahui tentang istana itu...! Bukan aku! Aku tidak tahu tentang Istana itu...!"

"Bohong...!" bentak Laksamana seraya memukulkan cambuk yang masih digulung itu. Pipi Nyai Katri tergores gagang cambuk, dan berdarah. Ia menjerit kesakitan. Lalu Laksamana Chou mengambil jarak untuk mencambuk tubuh Nyai Katri. Cambuk itu sudah tidak di gulung lagi. Kini bahkan melambai ke atas dan siap untuk dilecutkan.

Tetapi waktu dihentakkan ke depan, ternyata cambuk itu menjadi kaku bagaikan akar pohon. Meliukliuk, namun tidak lemas, sehingga tidak dapat dilecutkan. Laksamana Chou memandang dengan heran dan kebingungan. Bagaimana mungkin cambuk itu bisa menjadi seperti akar yang tak memiliki kelenturan sama sekali? Nyai Katri sendiri menghentikan tangisnya dan memandang heran pada keajaiban tersebut.

"Babi...! Babi busuk...! Kenapa jadi begini?!" caci Laksamana Chou sambil mencoba mengibas-ngibaskan cambuk.

"Mana bisa kau memakai dan menggunakan cambuk orang lain..." Indra Mada berkata dari belakang Laksamana Chou.

"Babi panggang...!" geram Laksamana Chou melihat kehadiran Indra Mada. Pemuda tampan itu tersenyum sinis dengan matanya yang biru berkerling kepada Nyai Katri yang amat ketakutan itu.

"Indra Mada...! Kalau kau mau bergabung denganku, bergabunglah, tapi jangan ganggu urusanku!" kata Laksamana Chou. Ia masih mencoba mengibas-ngibaskan cambuk yang tetap kaku seperti akar pohon.

"Bergabung denganmu hanya mendidik diri menjadi orang serakah, Laksamana...!"

"Kalau begitu, pergilah. Jangan ganggu pekerjaanku!"

Indra Mada hanya tertawa pendek, "kalau mau pergi, bukan aku, tapi kamu yang seharusnya pergi, Laksamana. Ingatlah pada putrimu Yin Yin, pikirkan keselamatannya, siapa tahu ia sedang diperkosa oleh banyak pemuda di sana !"

"Tutup mulutmu, Bangsat!" teriak Laksamana yang gampang terpancing menjadi marah itu. "Daripada kau mengejar harta Istana Langit Perak yang belum tentu ada, lebih baik kau mengejar putrimu agar tidak menjadi perempuan jalang yang keluyuran setiap malam!"

Laksamana Chou menggeram dengan mata mendelik. Kemudian ia menyerang Indra Mada dengan sebuah tendangan yang melayang. Indra Mada hanya mengelak ke kiri, lalu berjalan ke arah Nyai Katri. Sementara itu, Laksamana terjerembab ke tanah dan mengerang kesakitan. Anehnya, pada saat itu cambuk tersebut menjadi lemas, bisa untuk melecut, dan bisa mengibas dengan luwes.

"Indra Mada...!" serunya, tapi Indra Mada tidak menjawab, dengan tenang ia membuka tali yang mengikat tubuh Nyai Katri. Ia mencium perempuan itu sekali dan sekilas.

"Masuklah ke kamar, Nyai... biar kutangani urusan ini."

"Jaka... hati-hati..." Nyai Katri menampakkan kekhawatirannya. Indra Mada hanya mengangguk sambil mengerlingkan mata. Pada saat itu, Laksamana Chou melecutkan cambuk ke arah punggung Indra Mada.

"Awas...!" pekik Nyai Katri.

Dengan tanpa menoleh, tangan Indra Mada mengibas ke punggung dan menangkap ujung cambuk yang nyaris menghantam punggungnya. Ia berbalik seraya masih memegangi cambuk itu. Laksamana Chou berusaha menariknya dengan sekuat tenaga. Namun ia tidak berhasil, padahal Indra Mada memegangi ujung cambuk dengan tersenyum-senyum kepada Nyai Katri, bahkan kali ini karena Nyai Katri cemas, ingin membantu Indra Mada menarik cambuk itu, ia mendekat. Tetapi oleh Indra Mada justru dipeluk pinggangnya, dan dicium, pipinya. Indra Mada berkata pelan.

"Kusuruh ke dalam malah mendekat...! Nanti kamu terkena cambuk Laksamana itu lho !"

"Mari kubantu menariknya, Jaka. " kata Nyai.

"Tidak usah. Ini sebuah permainan kecil kok. O, ya...

kenapa ia menyiksamu, Nyai? Benarkah kau mengetahui tentang Istana Langit Perak ?"

Indra Mada menarik cambuk itu dengan santai sambil ngobrol dengan Nyai Katri. Sedangkan Laksamana Chou jangan kewalahan. Ia memeras tenaga untuk bertahan supaya jangan tertarik ke depan, namun tarikan Indra Mada begitu kuat walau dilakukan dengan santai, sehingga Laksamana Chou pun tersentak maju.

"Apa benar kau menyimpan harta di dalam Istana Langit Perak itu? Di mana letak istana itu, Nyai !"

Sambil berkata begitu, Indra Mada menyongsong tubuh laksamana dengan gerakan kaki menyamping dan terhempas ke depan, mengenai dada Laksamana. Pada saat itu, tangan Indra Mada melepaskan cambuk, dan tubuh Laksamana terhempas beberapa langkah karena tendangan tadi. Ia menggeram dan berusaha untuk berdiri. Cambuk dilipat kembali, diselipkan ke pinggang, karena Laksamana merasa tidak terbiasa menggunakan cambuk itu sehingga seakan menghambat setiap gerakannya.

"Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu, Jaka. Tapi... kau harus mau berjanji," bisik Nyai Katri yang masih dalam dekapan Indra Mada.

"Janji? O, ya ? Janji apa?"

Indra Mada tertawa-tawa, tapi tangan kirinya dengan cepat mampu menangkap lemparan batu dari Laksamana, sekalipun ia tidak melihatnya.

"Bagaimana kalau kita ke dalam, mumpung Andini belum bangun dari tidurnya " bisik Nyai Katri, dan In-

dra Mada bertambah mengakak pelan, tetapi kakinya menendang kian ke mari, mengembalikan lemparan batu dari Laksamana Chou. "Gila...!" pikir Laksamana Chou. "Ia dapat menangkis dan menghindari seranganku sekalipun ia tidak melihat ke arah sini. Ilmu apa yang dimilikinya itu? Ia ngobrol dengan santai, sambil menangkap lemparan batu, bahkan mampu mengembalikan dengan tendangan kakinya yang bagai mempunyai mata sendiri kaki itu. Masa, aku harus kalah dengan anak ingusan?! Hemm....!" Laksamana Chou, kagum, tapi juga jengkel dan ingin menghajar Indra Mada. Ia belum tahu siapa Indra Mada itu. Kalau saja ia tahu mungkin ia akan sungkan bertarung dengan orang muda yang tampan itu.

"Kau ke dalam dulu, nanti aku menyusul." kata Indra Mada kepada Nyai Katri. "Aku bereskan soal semut merah itu, Nyai...!"

Nyai Katri segera masuk ke dalam rumah. Laksamana Chou menyerang Indra Mada dengan gerakan matanya yang mampu mengangkat bebatuan untuk menyerang Indra Mada. Indra Mada berkelit, menghindar dan menangkapi batu-batu yang melayang sendiri dengan kekuatan pandangan mata Chou. Namun lamalama Indra Mada berkata:

"Capek, ah...!" Ia diam saja, menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu, batu-batu yang melayang cepat ke arahnya hanya berhenti beberapa jengkal dari depan hidungnya. Batu itu berjatuhan sendiri, seakan membentur dinding yang tebal yang terpasang di depan Indra Mada. Sehingga dewa tampan itu tanpa merunduk, menghindari kian ke mari, namun telah mampu melumpuhkan serangan yang belum sempat menyentuh tubuhnya.

"Laksamana Chou..!" seru Indra Mada. "kuminta kalau mau bertarung denganku, yang niat...! Jangan ogah-ogahan begitu. Menyerang yang betul...!" ledek Indra Mada dan membuat Laksamana Chou semakin penasaran. Ia melemparkan batu besar dengan kedua tangannya.

"Rasakan lemparan Inti Besiku ini, hiaaat...!" Batu itu dilemparkan kuat-kuat, melayang cepat ke arah Indra Mada.

Pada saat batu melayang ke atas, Indra Mada tersenyum girang, Ia menendang kerikil di tanah. Kerikil itu melayang cepat, menyongsong gerakan batu besar, lalu membenturnya. "Prool...!" Batu besar itu hancur seketika karena benturan dengan kerikil yang ditendang oleh kaki Indra Mada itu.

Laksamana Chou terperanjat kaget, lalu tertegun memandang batu besar yang sudah dialiri tenaga Inti Besi itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang memukau. Padahal biasanya tenaga Inti Besi yang dimiliki Laksamana itu mampu menghancurkan sebuah kapal dengan sekali lempar. Batu yang disaluri tenaga Inti Besi, akan menimbulkan ledakan keras jika menyentuh benda lain. Tetapi kali ini, batu bertenaga Inti Besi itu hanya ambrol bagai cadas keropos ketika menyentuh kerikil kecil yang ditendang Indra Mada.

"Kamu mau berkelahi apa mau main-main, hah?" tanya Indra Mada meledek. Laksamana Chou menggeram dengan nafas terengah-engah diburu amarah.

"Anak babi...! Jangan sombong dulu dengan ilmumu yang baru sekuku hitam itu. Terimalah ilmu Api Naga ini, heeaat...!" Laksamana menggerakkan tangannya yang berjari terbuka ke arah samping kiri semua, lalu dirapatkan kedua telapak tangannya itu, di tarik dengan kuat ke arah depan dada, dan sekarang dihentakkan ke depan dengan teriakan seperti tadi. Lalu dari telapak tangan itu keluarlah dua gumpal api yang menyembur bagi terlepas dari mulut naga. Dua gumpalan api itu melesat cepat ke arah Indra Mada. Indra Mada meniup pelan, seperti ia meniup lilin. Dan gulungan api itu berbalik arah, kini menuju Laksamana sendiri. Mata Laksamana Chou tak sempat berkedip, bahkan ia tercengang bagai patung di tempat. Lalu, tak ayal lagi kedua gulungan api itu menerjang tubuhnya, dan Laksamana Chou berteriak-teriak dengan jejingkrakkan.

"Ooouuww... Aaauuw...! Aapiii...! Oooh, tubuhku terbakar...! Aauuuuh... panaaaas...! Panaaaaas !"

Laksamana berguling-guling untuk memadamkan api yang membungkus tubuhnya, tetapi api belum mau padam. Ia terpaksa berlari sempoyongan mencapai pantai untuk memadamkan api tersebut.

Indra Mada tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kepanikan Laksamana Chou. Ia hanya berteriak:

"Makanya jangan suka main api...! Nanti terbakar !"

"Jaka..." panggil Nyai Katri yang keluar dari rumah dan memandang keadaan Laksamana. "Ia pasti terjun ke laut, Jaka "

"Biar saja," sambil Jaka Bego yang sudah merubah diri menjadi Indra Mada itu mendekati Nyai Katri. "Salahnya sendiri bermain api, ya kebakar. Kalau bermain cinta, ya... ya enak..." Indra Mada mencubit pipi Nyai Katri yang tidak terluka. Nyai ketawa canggung, sepertinya ada sesuatu yang meresahkan. Ia segera menggeret tangan Indra Mada untuk masuk ke dalam.

Ia duduk di depan meja yang tingginya hanya sebatas betis manusia jika berdiri. Ia duduk bersimpuh di lantai, sedangkan Indra Mada masih memandang kepergian api yang membungkus Laksamana. Ia memandangnya dari jendela yang terbuka lebar.

"Jaka, duduklah sini dekat aku " kata Nyai Katri.

Jaka Bego melirik dengan senyum menggoda. Ia duduk di dekat Nyai Katri seraya berkata:

"Kau masih capek kan, Nyai?"

Nyai hanya tersenyum malu. "Sudah agak segar setelah tertidur sejenak tadi," katanya.

"Dan kau membutuhkan aku lagi?" "Mungkin selamanya aku membutuhkan kamu, Jaka. Apalagi sekarang kau sudah tidak seperti Jaka Bego yang dulu. Sekarang kau sudah menjadi dirimu sebenarnya: Indra Mada. Tentu aku semakin enggan melepaskan pelukan ini darimu..." Nyai Katri memeluk erat Jaka Bego. Ia memang lebih senang memanggil Indra Mada dengan nama Jaka Bego, atau Jaka saja. Rasarasanya lebih enak dan lebih romantis bagi Nyai.

"Ingin ke kamar sekarang?" bisik Jaka Bego atau Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi itu.

"Nanti saja," jawab Nyai dengan suara pelan. "Ada sesuatu yang sangat kucemaskan."

"Tentang diriku?"

"Tentang orang yang terbakar tadi..."

Indra Mada sedikit heran, sekali pun tak dikelihatkan.

"Ada apa? Kenapa kau mencemaskan dia, Nyai?" "Dia... dia pasti menyelam dalam-dalam untuk me-

madamkan apinya."

"Ya, biar saja. Kau juga menyelam semalaman bersamaku untuk memadamkan api birahimu, bukan?"

Nyai mencubit kecil di pipi Indra Mada. Ia berbisik dalam keresahan:

"Orang itu membahayakan jika sampai menyelam terlalu dalam Jaka."

"Mengapa membahayakan?"

"Dia akan..." kata-kata itu terhenti, Nyai bagai ragu untuk mengatakan sesuatu, tetapi setelah Indra Mada mendesaknya, akhirnya Nyai pun berkata lagi:

"Dia akan menemukan apa yang dicarinya." Indra Mada kurang jelas. "Maksudmu...?" "Dia mencari Istana Langit Perak, bukan?"

"Ya. Ia tadi juga sempat membujukku untuk bekerja sama mencari istana itu." Indra Mada mengusap-usap rambut Nyai yang panjang dan halus bagai serat sutera itu. Lalu ia bertanya:

"Apakah istana itu memang ada?"

"Ya..." jawab Nyai pelan setelah berdiam sesaat. "Ada sungguh?"

"Sungguh." "Di mana?"

"Di bawah pulau ini..."

"Wow...!" Indra Mada tampak serius. "Jadi, di bawah pulau ini terdapat sebuah istana yang megah?!"

Nyai memandang Indra Mada. Ia mengangguk.

"Aku yang membangunnya bersama anak buahku, dulu ketika aku menjadi pimpinan bajak laut. Di situ aku menyimpan harta rampokan dari beberapa kapal bangsawan maupun kapal dagang. Tetapi, hanya emas permata yang kusimpan di sana. Harta itu akan kuwariskan kepada keturunanku kelak, yaitu anak-anak kuat yang telah kurancang untuk menguasai bumi. Dengan harta itu nantinya keturunanku akan membangun sebuah istana megah di atas laut, sebagai pusat pemerintahan kerajaan dunia utama. Itu rencanaku, Jaka..."

"Wah, suatu rencana yang amat besar...!" ujar Indra Mada dengan sungguh-sungguh.

"Memang. Karena itu, aku harus menjaganya di pulau ini. Aku tak rela jika harta itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi... keadaanku sekarang sudah berbeda dengan yang dulu, Jaka... Aku sudah lemah dan tidak mempunyai tenaga apa-apa. Hanya itu sisa tenagaku, dan mungkin juga dengan Andini pun demikian..." Nyai Katri menampakkan wajah dukanya. Ia permainkan tepian rompi yang dikenakan Indra Mada, matanya memandang sayu dan mengharukan.

Nyai berkata lagi dengan sendu, "Aku telah lalai, telah melakukan kebodohan yang sangat kubenci. Asmara Pasak Dewamu telah menyerap semua ilmuku dan merubahku menjadi perempuan biasa, tanpa kehebatan dan kekuatan sebagai pendekar putri. Kalau saja kau pergi meninggalkan aku, saat ini juga aku akan bunuh diri, karena merasa tidak mempunyai harapan lagi dalam hidupku. Kurasa Andini pun demikian. Dan... dalam keadaan seperti ini, aku tak bisa menjaga Istana Langit Perak. Aku membiarkan harta itu lolos diserobot orang tanpa bisa kulakukan sesuatu untuk mencegahnya "

Sepasang mata yang bening indah itu kini mulai memerah. Bahkan berkaca-kaca karena basah oleh air mata yang hendak menetes. Indra Mada memperhatikan Nyai Katri dengan suatu keharuan dan rasa kasihan yang menggelisahkan hati.

Nyai berkata dengan sendatan isak tangis yang memilu:

"Jaka... tolonglah aku. Kembalikan segala ilmuku dengan caramu. Aku berjanji akan menyerahkan Istana Langit Perak ke tanganmu. Kuserahkan semua kepadamu harta-harta itu, asal kau kembalikan kekuatanku yang telah kau serap dengan ilmu Asmara Pasak Dewa itu.."

"Untuk apa aku memiliki harta sebanyak itu? Di Suralaya sudah banyak harta, Nyai "

"Oooh... Jaka, tolonglah aku. Aku ingin memperoleh kekuatanku kembali, dan tentang harta itu terserah

kau, mau kau apakan, terserah... aku menurut saja !"

Indra Mada termenung beberapa lama, lalu berkata: "Aku ingin melihat istana itu dulu, lalu kuputuskan

aku harus berbuat apa."

"Baik. Tapi... bagaimana aku bisa berenang sampai ke kedalaman laut, aku tidak mempunyai ilmu penahan nafas seperti dulu. Aku akan kehabisan udara jika harus berenang mencapai istana itu."

"Gampang. Menghisaplah udara dari mulutku. maka kau akan seperti menghirup udara di alam bebas..." Nyai tertawa girang. Ia memeluk Indra Mada. Hara-

pan dan semangatnya untuk menjadi perempuan sehebat dulu mulai terbayang di pelupuk mata. Maka saat itu juga Nyai Katri mengajak Indra Mada ke pantai. Andini masih tertidur, dan mereka sepakat untuk tidak membangunkannya.

Langka-langkah kaki Nyai Katri terlihat ringan dan lincah, bagai penuh harapan masa depan. Ia menggandeng tangan Indra Mada, sesekali bergelayutan di pundak. Canda mereka membaur menjadikan tawa. Kelakar mereka tak jauh dari masalah nafsu dan birahi.

Namun langkah mereka terhenti seketika karena di depan mereka telah berdiri sesosok tubuh tegap, gagah dan tampan. Orang itu mengenakan rompi dari kulit beruang dan menyandang pedang di punggungnya. Indra Mada terbelalak, demikian juga Nyai Katri. Tapi masingmasing mempunyai arti kejutan yang berbeda. Nyai Katri terkejut dan cemas melihat Lanang menghadang di depannya, karena ia takut jika Lanang menyerang sedangkan ia sudah tidak mempunyai ilmu apa pun. Tetapi Indra Mada terkejut karena saat ini ia berhadapan dengan Lanang bukan sebagai Jaka Bego, tetapi sebagai Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi yang menjalin hubungan erat dengan Nyai Katri. Indra Mada tahu, kedatangan Pendekar Pusar Bumi itu untuk membunuh Nyai Katri, tetapi Indra Mada sendiri punya urusan dengan perempuan tersebut tentang Istana Langit Perak. Indra Mada dalam kebimbangan yang samar.

"Selamat jumpa, Nyai Katri..." sapa Lanangseta dengan wajah tegas, seakan siap membunuh. Nyai dan Indra Mada saling bungkam. Lanangseta berkata dengan tegas:

"Bebaskan Jaka Bego, temanku! Jangan menunggu pedangku membunuhmu, Nyai...!" "Lanangseta..." sapa Indra Mada. "Kau telah berhadapan dengan Jaka Bego."

Lanang menggeleng tanpa senyum. "Jangan bodohi aku, dan jangan mendesak naluriku untuk membunuh kalian!"

Nyai menyahut pembicaraan, "Lanangseta, dia ini adalah..."

Indra Mada segera menyahut, "Nyai... tinggalkan dia.

Nanti kita urus setelah urusan kita selesai. Mari...!"

Indra Mada meraih tubuh Nyai Katri yang semampai dan seksi itu, kemudian ia melesat pergi meninggalkan Lanangseta. Lanang segera berseru: "Berhenti...!"

Karena tak ada balasan, Indra Mada tetap melesat sambil menggendong Nyai Katri, maka tak ada pilihan lain bagi Lanangseta untuk melancarkan serangannya. Ia menghentakkan tangannya ke depan, "Wiwaha Moksaaaa...!" Dan seberkas sinar hijau muda melesat dari telapak tangannya ke arah Indra Mada. Sinar itu akan menghancur-leburkan tubuh Indra Mada dan Nyai Katri. Tetapi Indra Mada memutar tubuhnya dengan cepat sehingga seperti gumpalan asap. Akibatnya, sinar hijau muda itu memantul balik saat hendak menghantamnya. Lanangseta merunduk menghindari sinar hijau muda yang meluncur ke arah kepalanya sendiri. Lalu, suara ledakan terdengar, dan beberapa pohon rubuh seketika karena terkena benturan sinar hijau muda itu. Lanangseta tercengang, karena baru sekarang ia melihat seseorang bisa mengembalikan pukulan ilmu Wiwaha Moksa yang biasanya membuat orang yang terkena menjadi debu seketika. Pohon yang roboh itu pun kini tinggal serbuk hitam bagai debu arang.

"Siapa pemuda yang menyelamatkan Nyai Katri itu...?" pikir Lanangseta seraya mengejarnya.

Tubuh Indra Mada melayang tinggi sewaktu mencapai pantai. Dengan tetap menggendong Nyai Katri, ia melesat ke tengah lautan. Lalu menyelam di kedalaman air seperti sebuah lembing yang dipanahkan dari udara. Lanangseta yang sempat menyaksikan hal itu, sungguh kagum. Gerakan Indra Mada membuatnya semakin penasaran, ingin mengetahui siapa pemuda itu. Maka dengan segera ia pun melesat ke tengah lautan, dan ikut-ikutan menyelam dengan gerakan seperti angin topan menembus lautan. Lanang berenang dengan gerakan tenaga dalamnya sehingga ia meluncur cepat seperti anak panah di dalam air. Namun, Indra Mada pun juga seperti anak panah di dalam air. Cepat, bahkan lebih cepat dari gerakan Lanangseta.

Nyai Katri kehabisan nafas, ia megap-megap. Kemudian Indra Mada segera mengecup bibir Nyai Katri yang tetap digendongnya dalam posisi sejajar dengan tubuhnya, jadi seperti sepasang suami istri sedang bercinta di atas ranjang. Tangan Nyai Katri memeluk erat leher dan punggung Indra Mada, sementara itu, gerakan telapak kaki Indra Mada begitu cepat, dan setiap hentakannya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang jarang dimiliki orang.

Nyai Katri seperti bernafas di alam bebas. Ia menyedot udara dari dalam mulut Indra Mada, dan bernafas dengan cara begitu. Tetapi repotnya, perpaduan kedua bibir itu menimbulkan gejolak birahi di hati Nyai Katri. Begitu kuat gejolaknya itu sehingga tangan Nyai Katri yang satu berani merayap ke bagian tertentu dari Indra Mada.

Mereka meluncur menghindari karang-karang dengan gesit, sedangkan Lanangseta yang mengejarnya sesekali nyaris membentur karang. Akibatnya, ia agak tertinggal jauh. Namun sebuah ilmu yang telah dipelajari dari gurunya telah membuat ia pun tahan tidak bernafas beberapa lama. Ia terus meluncur mengejar Indra Mada. Dan sesekali ia curiga, merasa heran dan nyaris tak percaya melihat gerakan Indra Mada yang berada di atas tubuh Nyai Katri. Dalam hati Lanangseta hanya mengecam, "Dasar perempuan mesum... sempatsempatnya dalam keadaan seperti ini berbuat yang tidak senonoh...! Uhh... gila! Tapi ke mana pun mereka pergi, akan kukejar terus! Nyai Katri harus mati di tanganku, dan pemuda itu pun harus ikut ke neraka bersama perempuan mesum itu..."

Tepat Indra Mada dan Nyai Katri melintasi puncak kebahagiaan yang menggila, pada saat itu Nyai menunjuk sebuah tebing berlereng di kedalaman laut. Pada lereng tebing itu terdapat goa karang yang sangat lebar. Nyai menyuruh Indra Mada masuk ke sana dengan gerakan isyarat. Lalu Indra Mada pun meluncur ke goa karang, dan Lanangseta mengejarnya. Rupanya goa itu tidak semata-mata sebuah goa biasa, melainkan mempunyai bangunan mewah di dalamnya. Di dalam goa itu, ada bagian yang tidak terendam air. Di sana ada tangga menuju ke atas. Indra Mada dan Nyai Katri naik ke atas, ternyata mereka sampai di tempat datar dan berdinding lapisan perak dari berbagai perhiasan yang ditempelkan.

Semakin naik ke atas, ke lantai berikutnya, mata Indra Mada terbelalak dalam senyuman megah. Di lantai itu terdapat ruangan sangat lebar, berlantai susunan emas batangan, dan dindingnya pun terbuat dari lapisan-lapisan emas tebal. Agaknya emas yang sudah dilebur untuk dijadikan suatu lempengan pelapis dinding. Sedangkan bagian atap ruangan lebar itu terbuat dari perak putih dengan hiasan batu-batu warna-warni yang mengagumkan. Di dalam ruangan tersebut keadaan sangat terang, karena banyak lampu dari obor yang terbuat dengan bahan tembaga-tembaga berbentuk pipa. Agaknya nyala api itu bukan dari minyak tanah biasa, melainkan memakai semacam batu bara yang menghasilkan warna api biru ke kuning-kuningan. "Mengagumkan sekali...!" ujar Indra Mada. "Kuserahkan semua ini untukmu, Jaka, asal kau

kembalikan kekuatanku dan ilmu-ilmuku..." kata Nyai Katri yang berjalan ke singgasana, kursi singgasana itu terbuat dari perak berlapis emas dan berhiaskan batubatu jamrud, pirus dan intan permata lainnya. Ada sebuah ruangan di belakang kursi singgasana. Pintu ruangan itu terbuat dari emas murni, dan ketika Nyai Katri membukanya, maka berkerliplah segunung perhiasan yang menyilaukan pandangan mata.

"Apakah tempat ini tidak ada penjaganya?"

"Dulu ada," jawab Nyai Katri. "Aku telah membuat beberapa pagar yang terdiri dari aliran tenaga dalamku. Jangankan orang masuk ke sini, baru berada di perairan luar goa saja mereka akan mati hangus termakan pagar tenaga Mata Apiku yang kupasang sejak dari sini sampai di kejauhan luar goa. Tapi sejak ilmuku kau serap dengan Asmara Pasak Dewamu, maka pagar itu pun hilang, dan tempat ini menjadi sangat rawan. Mudah dimasuki siapa saja."

Ada lima pintu kamar yang sengaja dibuka oleh Nyai Katri, dan kelima pintu kamar itu terbuat dari emas, juga di dalamnya terdapat segunung perhiasan yang menyilaukan.

"Makanya, Jaka... kalau kau mau mengembalikan ilmu-ilmuku, maka tempat ini menjadi milikmu. Terserah akan kau apakan itu urusanmu. Aku tak akan ikut campur lagi..."

Nyai Katri berjalan ke arah lain, saat itu Indra Mada mengagumi enam pilar besar yang terbuat dari emas murni dengan manik-manik batu permata yang berkilauan, tersusun rapi serta sangat indah. Ia ikut melangkah ke arah Nyai Katri berjalan. Rupanya perempuan itu membawa Indra Mada ke sebuah kamar berpintu emas berukir. Pintunya cukup besar, ada batu permata warna merah pada bagian tengahnya sebesar piring makan. Nyai Katri mengusap batu merah delima itu dari atas ke bawah, dan pintu itu pun terbuka ke samping. Maka terlihatlah sebuah kamar tidur yang berlimpah perhiasan serta permata mengagumkan. Ranjang dan segala perabot di kamar tidur itu semua terbuat dari emas dan perak putih. Nyai menyuruh Indra Mada masuk ke kamar. Ia berbisik.

"Atau kau akan tinggal di kamar ini sebagai suami istri bersamaku? Kujamin kau tak akan sempat keluar dari kamar." Nyai Katri mengikik dalam gelitikan jemarinya yang nakal.

"Jaka..." sambungnya lagi, "Lakukanlah keinginanku. Kembalikanlah keadaanku seperti semula, dan... kau bebas berbuat dengan harta kekayaan ini. Kaulah yang akan menjadi penguasa Istana Langit Perak !"

Indra Mada tertawa pelan, ia memeluk Nyai Katri dan mencium kening Nyai Katri, sementara itu Nyai Katri masih sempat merayapkan tangannya ke daerah tertentu di tubuh Indra Mada. Lalu setelah Nyai merengek dengan erangan memancing birahi, Indra Mada pun berkata:

"Akan kukembalikan kekuatanmu. Kukembalikan semua ilmu yang terserap oleh Pasak Dewa, tetapi ada satu hal yang harus kau lakukan untuk itu "

"Oh, apakah itu, Jaka? Aku akan melakukannya !"

"Semadi Serap !"

"Semadi Serap?!" Nyai berkerut dahi. "Apa itu?" "Tubuhmu harus sanggup berdempet dengan tubuh-

ku selama empat puluh  hari dengan  keadaan    saling

berhubungan badan."

Nyai memekik kegirangan. Tentu saja ia sangat sanggup dan mau melakukannya. Tetapi bagaimana dengan nasibnya dalam incaran Lanangseta? Bisakah ia selamat sampai melakukan Semadi Serap? Benarkan Istana Langit Perak menjadi milik Indra Mada? Dan bagaimana nasib Cambuk Naganya sendiri? Kisah SERULING KEMATIAN itulah yang akan menuntaskan cerita ini.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar