Serial Pendekar Cambuk Naga Eps 05 : Pedang Semerah Darah

1

Kemunculan seorang pemuda berambut ombak dan mengenakan ikat kepala berwarna emas itu sungguh di luar dugaan. Secara jujur, Pendekar Pusar Bumi mengakui ketampanan pemuda itu. Bahkan wajah itu boleh dibilang wajah yang cantik. Bibir pemuda itu semerah jambu muda. Hidungnya mancung, dan matanya mempunyai daya tarik yang lain dari pemuda mana pun, bahkan berbeda dengan sepasang mata Pendekar Pusar Bumi sendiri.

Sesungguhnya ia type pemuda yang lembut dan imut-imut. Tapi di balik kelembutan itu, ternyata ia orang yang keras hati. Kurang mengerti tata sopan santun. Menyerang dari belakang dengan suatu tendangan yang tak boleh diremehkan kehebatannya.

Tendangan itu meluncur dari atas pohon dan mengenai punggung Pendekar Pusar Bumi, atau yang mempunyai nama asli Domas Lanangseta. Akibatnya, Lanangseta tersentak ke depan dengan keadaan limbung. Ia segera berbalik seraya memegangi punggungnya yang terasa bagai mau patah. Ia menatap pemuda berwajah imut-imut itu dengan sorot mata tajam, menyiratkan kemarahan yang terpendam.

Pemuda berusia sepadan dengan Lanangseta itu tersenyum sinis. Berdiri tegap dengan kaki terentang kokoh. Ia mengenakan celana model pangsi yang terbuat dari bahan semacam beludru merah. Pada bagian tepi celana dihiasi dengan rangkaian benang emas yang menimbulkan kesan mewah pada celana itu. Ikat pinggangnya berwarna hitam kulit macan kumbang. Ia juga mengenakan baju model rompi warna coklat tan ah dari bahan yang sama mutunya dengan celana ketat sebatas bawah lutut itu. Sebilah pedang bergagang mulut singa terselip di pinggang, dalam sarung yang terbuat dari logam perak. Begitu megah dan mewah pedang itu, sehingga orang pun akan tergiur melihat sarungnya saja...

"Apa kau mengenal aku sehingga kau menyerangku?" tanya Pendekar Pusar Bumi dengan menahan kegeraman.

"Ya, tentu aku mengenalmu, sehingga aku ingin membunuhmu. Kau yang bernama Domas Lanangseta, bukan? Kau yang bergelar Pendekar Pusar Bumi, bukan? Kau yang akan menikah dengan putri cantik anak Rama Sabdawana itu, bukan?"

Suara pemuda itu cukup berat, pantas untuk suara seorang bupati atau pejabat tinggi. Dan hal itu membuat Lanangseta terheran-heran. Tak disangka pemuda bertampang imut-imut itu mengenai identitas dirinya, sekalipun tidak sebegitu detil. Jika seseorang bisa menyebutkan nama Lanangseta dengan kata Domas di depannya, berarti ia sudah cukup hebat dalam mencari keterangan tentang Lanang. Sedangkan, dalam hal ini Lanang sendiri masih bingung, siapa pemuda yang tahu-tahu menyerangnya dari atas pohon itu? Ia merasa baru sekarang bertemu dengan pemuda itu.

"Siapa kau? Bagaimana kau bisa mengenalku sedangkan aku tidak mengenalmu?"

Senyum sinis mekar di bibir pemuda itu. Ia melangkah ke samping, namun pandangan matanya masih tertuju pada Lanangseta.

"Apa kau butuh mengetahui nama calon pembunuh mu?" ucapnya bernada angkuh.

"Tak peduli apa yang akan kau lakukan, tapi kau telah menyerangku. Kau telah mengetahui namaku, bahkan berani menyebut nama kehormatanku yang diberikan oleh kakekku. Jadi, sebelum kita terjadi kesalahpahaman, sebaiknya aku ingin tahu lebih dulu, siapa kamu sebenarnya?"

Gaya berdiri pemuda itu sungguh menarik perhatian. Ia berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, matanya lurus ke depan, namun tubuhnya menghadap ke samping. Kesan angkuh terlihat di wajahnya, namun itu suatu keangkuhan tersendiri, yang punya daya tarik spesifik.

"Kurasa calon istrimu tahu, siapa pemuda yang punya nama Prabima Wardana. Kelak rohmu bisa menanyakannya dari alam kubur." Pemuda itu memamerkan giginya yang putih, rapi dan indah itu.

"Kau mengenai gadis Bukit Badai itu?"

"Tentu. Sebab itu aku harus membunuhmu...!" Selesai bicara begitu, Prabima meloncat dengan kaki maju lebih dulu. Lanang tergeragap sejenak, kemudian segera menangkis serangan itu dengan tangan kirinya. Namun ia jadi terpelanting ke samping dan terhuyunghuyung lagi.

"Gila, tendangannya amat keras," pikir Lanangseta. Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, Lanang te lah mendapat serangan lagi, berupa tendangan berputar dari kaki kiri Prabima yang tadi menapak pada saat menendang pertama kalinya. Dan kali ini tendangan 

itu tepat mengenai wajah Lanangseta.

"Auuhh...!" Lanang mengaduh dan terjengkang ke belakang. Prabima bagai tidak memberi kesempatan Lanang untuk mengatur nafas. Kaki kanannya menerjang bagai hendak menginjak habis kepala Lanangseta. Untuk kali ini Lanangseta mampu bergulir ke kiri lalu melentik ke udara, bersalto dua kali sehingga ia mencapai sebuah dahan pohon. Ia duduk di dahan pohon itu seraya mengusap darah yang merembes dari bibir dan gusinya. Muka Lanang bagai tertimpa karung seberat satu kuintal rasanya. Pandangannya jadi sedi-

kit kabur, tapi hanya sebentar, lalu kembali normal.

Pemuda itu masih di bawah, dan bertolak pinggang sambil mendongak ke atas.

"Kalau kau turun, kematianmu sedikit panjang, sebab aku ingin bermain-main dulu denganmu. Tapi kalau kau tetap di atas, kau cepat mati. Nah, silakan turun...!" Prabima bicara dengan tenang. Nada angkuhnya cukup jelas, dan membuat Lanangseta berpikir "Haruskah ia meladeni Prabima?"

O, tidak. Ia harus segera datang ke Goa Malaikat untuk mengambil bunga teratai sebagai pelengkap mas kawinnya. Ia ingin segera diresmikan menjadi suami syah dari Kirana Sari, putri Bukit Badai itu. Jadi, buat apa ia harus melayani pemuda gila seperti Prabima itu? Ia harus pergi.

Baru saja Lanang berpikir demikian, tahu-tahu ia sudah melesat dan berguling-guling menghindari jarum-jarum maut yang ditebarkan oleh Prabima Wardana. Jarum-jarum warna hitam meluncur ke arahnya, dan berjumlah lebih dari seratus mata jarum. Hal ini mengingatkan Lanangseta pada serangan Kirana sebelum mereka saling jatuh cinta. (dalam kisah MISTERI GOA MALAIKAT).

Lanangseta semakin tertegun sewaktu jarum-jarum hitam itu menancap pada dahan pohon dan membuat pohon itu mati seketika. Daunnya kering dan rontok. Benar-benar luar biasa kehebatan jarum-jarum itu, pohon sebesar itu dapat kering dan mati dalam beberapa detik saja. Apalagi kalau manusia yang terkena jarum-jarum tersebut. Dulu, Kirana juga menyerang Lanangseta, dan jarumnya membuat semak belukar yang terkena menjadi kering dan mati seketika.

Tetapi, Lanang tidak punya waktu untuk berpikir dan bertanya tentang jarum. Hari sudah hampir senja. Goa Malaikat akan menutup sendiri pintunya jika tanpa ada sinar matahari. Dan kalau pintu goa tertutup, berarti Lanang harus menunda waktu sampai besok pagi untuk, mengambil bunga teratai. Lanang sudah tak sabar lagi menunggu saat perkawinannya sampai besok. Jadi, sekarang juga ia melejit bagaikan kilatan cahaya, pergi meninggalkan Prabima yang tampaknya lembut namun sebenarnya haus darah itu.

"Hei, jangan lari...!" teriak Prabima. Ia segera ikut melejit bagai kilasan angin. "Tunggu...! Jangan mati sebagai pengecut, tolol...!!"

Lanangseta tidak mempedulikan teriakan itu. Ia terus saja berlari dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Prabima tidak kalah gesit dan cepatnya. Ia juga mempunyai ilmu peringan tubuh yang sempurna, sehingga dalam waktu singkat ia telah berhasil menyusul Lanangseta.

Prabima berdiri di depan Lanangseta, "Berhenti...!" seraya tangannya yang kanan diacungkan ke depan. Tetapi Lanangseta tidak mau menuruti perintahnya. Ia melesat menerjang tubuh Prabima sehingga pemuda tampan itu terpelanting ke samping, kemudian bergegas mengejarnya lagi.

Dalam sekelebat Lanangseta mampu memperhatikan gerakan Prabima yang berlari di sampingnya, menembus celah-celah pohon. Waktu yang dibutuhkan sangat singkat, Prabima sudah berada di depan Lanangseta. Kali ini ia tidak bicara apapun, kecuali berteriak:

"Heeaaaatt...!!"

Dan sebuah pukulan tenaga dalam meluncur cepat, menghantam Lanangseta. Pukulan itu mengenai pangkal lengan kiri Lanang, dan membuat Lanang berjumpalitan, bagai pohon yang rubuh tunggang langgang. Tulang lengannya itu terasa panas dan ngilu. Lanang menggeliat bangun, tapi kaki Prabima sudah lebih dulu menyerang wajah Lanang.

Untung pada saat itu Lanang sudah mempunyai dugaan akan mendapat serang-an secepat itu, sehingga dengan tangkas tangan kanan Lanangseta berhasil menangkap kaki Prabima. Prabima menekannya lebih kuat, dan Lanang bertahan. Namun dalam detik berikutnya, Prabima menjerit dalam keadaan terpental setelah kaki Lanang menendang bagian kemaluan Prabima. Lanang sendiri tak peduli apakah telur itu pecah atau hanya retak, tetapi ia harus segera pergi ke Goa Malaikat. Matahari sudah tipis, sudah di ambang peraduannya. Lanang tak ingin ketinggalan matahari. Ia tak ingin menunda niatnya sampai esok pagi. Ia harus mengambil bunga teratai pada sore itu juga. Maka tubuhnya pun melesat cepat meninggalkan Prabima yang mengerang kesakitan.

Mulanya Lanang ingin mengambil jalan bawah, menggunakan jurus Lindung Bumi, dan ia dapat berlari di dalam lapisan tanah sehingga tidak diketahui Prabima. namun sebelum ia melaksanakan niatnya, Prabima telah berseru:

"Pendekar pengecut...! Mampus kau...!" Dan bersamaan dengan itu seratus jarum melayang cepat ke arah tubuh Lanangseta. Mau tak mau Lanangseta harus meloncat dan berguling di udara menghindari jarum-jarum beracun itu. Dalam keadaan yang serba terpepet itu, ternyata Prabima semakin gencar menebarkan jarum-jarum beracun ke arah Lanangseta sehingga Pendekar Pusar Bumi itu kewalahan.

"Orang gila...!" pikirnya sambil menghindari jarumjarum beracun. Kalau saja pedang Wisa Kobra tidak dicuri Si Tongkat Besi (Dalam kisah GERHANA  TEBING NERAKA), sudah tentu Lanangseta akan melayani serbuan jarum-jarum hitam itu dengan pedang tersebut. Sayang pedang itu ada di tangan kakek tua itu, sehingga kali ini ia terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk menghindari serbuan seratus jarum beracun itu.

Prabima tertawa girang sambil masih melancarkan jarum-jarum beracun dari tangannya. Jarum-jarum itu keluar sendiri dari telapak tangan kanan dan kiri bergantian. Tanaman sudah banyak yang mati kering karena menjadi sasaran jarum-jarum tersebut. Lanangseta tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan serangan balasan, karena ia sibuk menghindari kecepatan jarum beracun itu. hanya ada satu yang bisa dilakukan oleh Lanang. Namun hatinya bertanya-tanya: Haruskah kugunakan itu hanya untuk menghadapi orang gila ini?

Ya, tak ada pilihan lain. Lanangseta sudah benarbenar keteter oleh serangan maut Prabima. Karena itu ia pun segera berteriak sambil berjumpalitan:

"Kiranaaaa...!!"

Angin bertiup dari kecepatan sedang menjadi deras. Badai mengamuk, dan guntur di angkasa menggelegar dua kali. Langit menjadi merah, dan bumi bagai berguncang-guncang. Tapi hanya sekejap. Tidak seperti biasanya, sampai merubuhkan pohon-pohon di sekitar daerah itu. Kali ini badai yang mengamuk menjadi reda seketika, dan langit menjadi terang kembali setelah Prabima berseru:

"Shalindra...!"

Pendekar Pusar Bumi yang telah kehilangan pedangnya itu terbengong sejenak. Ia meneliti sekeliling, oh… sungguh tak ada badai yang mengamuk, sungguh tak ada petir yang menyambar-nyambar. Sekali lagi ia berseru: "Kirana Sarii...!!"

Badai datang, petir menggelegar. Namun hanya beberapa helaan nafas sudah reda kembali, karena suara Prabima terdengar lagi berseru:

"Shalindraaa!!"

Sepi. Keduanya terbungkam dan saling pandang. Angin pun semilir, biasa. Lanangseta terkagum-kagum melihat kehebatan Prabima yang mampu meredakan amukan badai misterius itu. Baru sekali ini Lanang melihat seseorang yang mampu menolak kehadiran badai Kirana. Dan hal ini membuat Lanang jadi terbungkam, seakan merasa dirinya menjadi kecil di hadapan Prabima. Sampai-sampai ia tak tahu kalau Prabima mengibaskan tangan kanannya dan seratus lebih jarum berwarna hitam melesat cepat menyerang Lanangseta.

Angin panas dirasakan menyerang tubuh, dan seketika itu juga Lanang segera berjungkir balik ke arah belakang. Ia baru menyadari kalau jarum beracun itu telah menyerangnya kembali. Sekalipun kecepatan refleknya cukup bagus, tapi naas tak dapat dihalau begitu saja. Dalam gerakan secepat itu, ada salah satu jarum yang menancap di betis Lanangseta. Lanang terpekik bagai disengat kalajengking. Rasa sakitnya luar biasa. Ia mengejang dan memegangi betisnya. Sebatang jarum telah masuk, dan membaur dengan darahnya di dalam daging. Lanangseta mati-matian menahan rasa sakit yang baru kali itu ia rasakan sangat menyiksa. Lebih-lebih setelah ia menyadari, bahwa kaki itu kini menjadi layu. Pucat bagai tak berdarah lagi.

"Aaoouuhh...!! Kakikuuu...!" ia menahan sakit hingga teriakan tak mampu keluar dari mulutnya.

Prabima mendekat dan memandang dengan senyum kemenangan. Ia bertolak pinggang dan tertawa pendek memandangi Lanangseta yang kesakitan.

"Cukup satu jarum, sudah mampu membuatmu kering dan... mati secara perlahan-lahan...!"

"Setan! Apa salahku sebenarnya?! Mengapa kau begitu kejam dan... dan... aaaooww... Kakiku...!!" Lanang mengencangkan seluruh otot tubuh untuk menahan rasa sakit. Keringat sampai membanjir di sekujur tubuh. Rasa sakit masih menyengat dan menimbulkan siksaan yang luar biasa. Saat itu, Prabima Wardana semakin terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan meninggalkan kata:

"Aku puas, kau bisa tersiksa dulu baru mati. Aku puas. Puas sekali...! Nah, selamat tinggal Pendekar Pusar Bumi yang banci, ha, ha, haaa...!!"

Prabima pergi. Pergi dengan meninggalkan kekejian yang sangat menyiksa. Lanangseta menjadi semakin tegang dan kelojotan. Ia meringis dengan kuat-kuat menahan sakit.

Alam menjadi sepi dan menambah siksaan saja rasanya. Tak ada orang lewat di hutan itu. Tak ada yang berani melewati Bukit Badai, jika bukan orang tersasar seperti dirinya dulu. Dan saat ini juga, tak ada orang yang tahu bahwa kaki Lanangseta itu mulai berubah mengerikan. Telapak kakinya menjadi berkeriput, dan makin mengkerut. Sakitnya luar biasa. Lanangseta dapat membayangkan kengerian yang bakal terjadi. Jika pohon saja menjadi kering, rontok dan mati, apalagi kakinya nanti: Pasti akan semakin kering dan mengkerut, lalu ia pun akan mati dalam tubuh kering semua.

"Kirana...!" desah Lanangseta dalam hati. "Kirana, aku terluka... Ooh, sakit. Sakit sekali, Kirana... Auuh, datanglah, tolonglah aku... Kirana...!"

Lanangseta sengaja menyebut dan meratap kepada Kirana di dalam hati. Tak ada orang lain yang bisa diharapkan dapat mendengar ratapannya kecuali Kirana. Tak ada orang lain yang bisa diharapkan mampu mengobati kakinya selain Kirana, sebab perempuan cantik itu juga mempunyai jurus dan senjata jarum beracun, sama dengan Prabima yang gila itu. Tapi, Lanangseta bagai tak dapat bertahan lagi. Tubuhnya yang kekar dan berotot itu sudah memerah, selain akibat menahan rasa sakit juga karena pengaruh racun dalam jarum tersebut. Sedangkan telapak kakinya, semakin mengering. Berkeriput dan bagai bergerak mengkerut.

Lalu sekelebat bayangan hijau datang. Seorang perempuan cantik dan anggun berdiri di depan Lanang. Wajahnya menjadi tegang dan ia segera memeluk Lanangseta setelah melihat kaki Lanangseta menjadi kering dan mengkerut.

"Lanang...?! Kau... ooh, kau pasti telah bertarung melawan Prabima Wardana? Benar, bukan? Benar...?!"

Lanangseta hanya bisa mengangguk-angguk sambil menyeringai menahan sakit mati-matian.

"Iblis itu muncul pada saat yang tepat...!!" geram Kirana. "Dia memang biadab! Terkutuk! Seharusnya kau jangan berhadapan dengannya. Apalagi tanpa pedang di tanganmu. Ia sangat berbahaya...!!"

Lanangseta sempat merasa jengkel kepada Kirana Sari. Ia berusaha membentak sambil menahan sakit dengan susah payah:

"Jangan banyak bicara dulu. Aaaoow...! Beri aku penawar racun jarum itu...! Lekaaass...! Aaduuuh...!"

"Aku... aku tidak punya!" "Hah...?! Celaka...!"

"Jadi... aauhh...! Jadi aku harus mati menjadi kering seperti... seperti... aaauhh!"

Melihat kaki Lanang semakin berkeriput dan sebentar lagi juga sekujur tubuhnya menjadi kering, maka dengan satu kekuatan tersendiri yang dimilikinya, Kirana mengangkat tubuh kekasihnya, dan melesat membawanya pergi dalam keadaan tegang.

"Ayah yang harus menyembuhkannya...!! Pelajaran itu belum diberikan kepadaku, dan waktu itu aku menolak untuk menerima pengobatan racun jarumku. Dulu, aku tak pernah punya niat untuk menyembuhkan siapa saja yang terkena senjata jarum beracun. Ooh... aku tak sangka kalau ternyata buah hatiku sendiri yang menderita seperti ini..."

Sambil ngoceh tak karuan Kirana Sari melayang di udara, membawa pulang Lanangseta yang dalam keadaan bahaya. Setibanya di Griya Teratai Wingit, Lanangseta segera dibawa kepada ayahnya, Sabdawana.

"Belum terlambat..." gumam ayah Kirana Sari setelah melihat keadaan. luka Lanangseta. Lalu, ia segera menyuruh Ludiro dan Kirana mengangkat Lanangseta di tempat tersendiri, yaitu di sebuah kamar yang dinamakan kamar perawatan. Lanangseta masih kejangkejang karena menahan rasa sakit. Pada waktu itu, ayah Kirana menyiramkan semacam cairan bening, seperti air bilas. Cairan itu disiramkan pada bagian yang telah keriput dan mengkerut itu.

Begitu cairan itu menyiram kaki Lanangseta, tibatiba seringai kesakitan menghilang di wajah Lanang. Ia menjadi tenang. Rasa dinginnya air bagai meresap dalam tulang dan membaur di sekujur tubuhnya. Rasa sakit itu hilang. Nafas pun terhempas, terengah-engah. Rupanya kelegaan itu pun mampu membuat Lanangseta pingsan beberapa saat.

Dalam masa-masa itu, kecemasan dan kegelisahan sangat mencekam diri Kirana Sari. Tidak biasanya ia dapat segelisah itu. Tidak biasanya pula ia mendengus-dengus kesal dan berjalan mondar-mandir di depan kamar perawatan. Ludiro duduk dengan tenang, tak jauh dari kamar perawatan. Bahkan ia sesekali masih mengajak bicara salah seorang dari sepuluh pelayan dan pengawal Griya Teratai Wingit itu. Namun, Kirana tahu hal itu dilakukan oleh Ludiro hanya sekedar menghilangkan kecemasannya. Kalau saja ia bisa mengalihkan perhatian seperti Ludiro, mungkin hal itu akan ia lakukan. Sayang, dalam benaknya yang terpikir hanya keselamatan Lanangseta. Sejak tadi ayah Kirana belum keluar dari kamar perawatan. Padahal Kirana ingin mengetahui keadaan Lanangseta menurut pemeriksaan ayahnya. Ah, suatu kegelisahan yang benar-benar menyiksa diri.

Dalam benak Kirana ia teringat betapa ganasnya jarum beracun yang dimilikinya, juga yang dimiliki Prabima itu. Ia tahu betul keganasan jarum itu, dan ia tahu betul bahwa hanya ada dua orang di dunia ini yang memiliki racun dalam tebaran jarum hitam seperti itu. Hanya dia dan Prabima. Selain itu tak ada yang punya.

"Aaah..." sekali lagi Kirana mendesah. Ludiro mengetahui betapa tersiksanya Kirana pada saat itu. Ia jadi kasihan kepada perempuan cantik yang anggun dan berwibawa. Perempuan itu bagai tak peduli dengan sikapnya yang mulai tidak nampak tegar itu.

Ludiro mendekat dan mengajak Kirana bicara dengan hati-hati:

"Kalau kau tahu siapa pelakunya, dan tahu di mana tempatnya, tolong tunjukkan padaku. Aku akan ke sana dan membuat suatu perhitungan sendiri dengannya."

"Jangan! Dia bukan tandingan mu, Paman Ludiro. Kau akan mati bila berhadapan dengannya," kata Kirana cemas.

Dengan kalem Ludiro berkata lagi, "Mati itu memang bagianku. Sejak aku menjadi pengawal Puteri Ayu Sekar Pamikat, tugasku adalah untuk mati membelanya. Dan sekarang aku ditugaskan untuk menjaga Lanangseta. Aku ingat pesan Puteri Ayu ketika di dalam goa, maka ku siapkan diriku untuk mati di depan Lanangseta..."

Kirana kagum atas kesetiaan Ludiro, namun sayang sekali kalau orang seperti Ludiro harus mati di tangan Prabima.

"Tenanglah dulu, Paman. Orang itu pasti akan ke sini, sebab ia akan mengira bahwa Lanangseta telah mati..."

*

*   * 2

LUDIRO menggeram gemas. Ia bagai tak sabar menunggu kedatangan orang yang telah membuat Lanangseta celaka. Sejak ia dan Lanangseta berhasil lolos dari pertempuran di Tebing Neraka, dia merasa berhutang nyawa kepada Pendekar Pusar Bumi itu (baca kisah Gerhana Tebing Neraka) Maka, dalam hatinya Ludiro selalu bertanya-tanya; kapan ia akan dapat membalas hutang nyawa itu kepada Lanangseta. Rasarasanya risi dan tak enak jika ia punya hutang. Jadi, setiap ada kesempatan ia selalu berusaha untuk menyelamatkan Lanangseta sebagai tindakan balas budi sang Pendekar Pusar Bumi itu.

Tetapi terlepas dari urusan pribadinya itu, ia memang harus tetap menjaga Lanangseta, sesuai dengan amanat putri asuhannya yang kini telah menjadi orang suci di dalam Goa Malaikat, yaitu Putri Ayu Sekar Pamikat, bekas kekasih Lanangseta. Ia sangat patuh kepada perintah Sekar Pamikat. Jiwa pengabdiannya begitu besar, sehingga sekalipun ia merasa enak jika ke mana-mana tanpa membawa senjata, kecuali senjata rahasianya, namun untuk sekarang ia harus membiasakan diri dengan membawa senjata berupa pedang Jalak Pati dan Cambuk Naga.

Sebetulnya Ludiro sendiri tidak mahir memainkan pedang atau cambuk, namun seperti yang pernah ia rasakan ketika penyerbuan di Tebing Neraka, pedang itu seakan menggerakkan sendiri tangannya untuk membabat kian ke mari. Tentang Cambuk Naga, ia tidak tahu apakah tangannya dapat menirukan jurusjurus milik Sekar Pamikat atau tidak, itu belum pernah dibuktikan oleh Ludiro. Tapi yang jelas, ia tetap menyelipkan pedang Jalak Pati di pinggangnya dan Cambuk Naga di bagian punggungnya. Sedangkan senjatanya yang asli, yaitu mata pisau beracun, masih tetap terselip di antara baju buntung dan ikat pinggangnya yang tebal itu.

Ludiro sedang melamunkan hal itu, ketika tiba-tiba ayah Kirana muncul dari kamar perawatan, lalu memanggilnya:

"Ludiro..." Ludiro segera mendekat dengan sikap sopan. "Tolong carikan seekor ular kobra jantan."

Tak tahu ke mana Ludiro harus mencari seekor ular kobra jantan, dan tak tahu apa manfaat ular kobra itu, tetapi Ludiro hanya tahu itu adalah perintah. Perintah yang harus ditaati, sehingga tanpa bertanya ini dan itu Ludiro pun segera berangkat mencari seekor ular kobra jantan.

"Bagaimana, Ayah? Dapatkah dia...?"

"Tinggal pemulihan," potong Sabdawana yang mengetahui kalau putrinya sangat cemas. Dengan memberi senyum bernada menggoda, Sabdawana tahu bahwa putrinya sudah merasa lega. Karena itu Kirana segera bertanya:

"Bolehkah aku menemuinya, Ayah?"

"Temuilah, dan hiburlah dia biar dia tidak penasaran. Jangan boleh dia turun dari pembaringan sebelum Ludiro datang membawakan ular kobra jantan."

Sabdawana membiarkan Kirana masuk ke kamar, tempat di mana Lanangseta terbaring. Agaknya pemuda itu benar-benar tertolong. Wajahnya memang masih sedikit pucat, tapi itu hanya proses pengembalian menuju normal saja. Lanangseta sudah bisa tersenyum kendati kaki kirinya masih dibalut kain oleh ayah Kirana.

Pertama-tama yang dilakukan Kirana adalah menebus kecemasannya dengan sebuah ciuman di kening Lanangseta. Itu tanda ia gembira melihat keadaan Lanangseta.

"Syukurlah, kau dapat diselamatkan oleh Ayah," ucap Kirana dengan senyum kelegaan.

"Apakah kau kira aku tidak akan dapat diselamatkan?"

"Aku tidak bilang begitu. Tapi setidaknya aku mencemaskan keadaanmu, Lanang. Sebab aku tahu, betapa ganasnya racun itu. Mungkin hampir sama dengan racun yang pernah menyerang tubuh adikmu, Ekayana itu."

"Kau kenal betul dengan pemuda bernama Prabima itu?" suara Lanang masih sedikit lemah, bahkan agak serak karena terlalu banyak berteriak dalam keadaan tertahan.

Ketika Lanangseta menanyakan hal itu, Kirana jadi tertunduk. Sepertinya ia menyembunyikan suatu perasaan yang cukup mencurigakan Lanangseta, sehingga Lanang pun segera berkata lagi:

"Waktu aku menyebutkan namamu, badai pun datang. Tapi tidak seperti biasanya. Karena badai itu tiba-tiba berhenti setelah Prabima menyebutkan nama... Shalindra."

Kirana kelihatan terperanjat dan melirik ke pintu, seakan takut ada yang mendengarnya. Kemudian ia mendekatkan wajah dan berbisik:

"Itu... itu nama ibuku."

"Oh..?" Lanangseta terpekik tertahan. "Jadi, itu nama almarhumah ibumu?"

Kirana mengangguk. "Prabima adalah murid kesayangan ibu, dan dialah yang mengetahui nama ibu sebenarnya. Nama itu memang nama sebuah ilmu peninggalan leluhur ku yang mampu membungkam segala kemarahan, dari kemarahan manusia maupun kemarahan hewan, bahkan alam yang marah pun dapat dibungkamnya seketika. Itulah kehebatan nama ibu. Aku juga tidak tahu kalau Prabima mewarisi ilmu tersebut. Sebab semasa hidupnya, ibu tidak pernah menceritakan hal itu kepada kami." "0oo..." Lanang manggut-manggut pelan, sedikit termenung beberapa saat.

Marwa, pelayan khusus dapur datang membawakan semangkok minuman yang sering dipakai buat memulihkan kesehatan siapa pun. Ketika Marwa pergi, Kirana segera membantu mengangkat kepala Lanangseta dan meminumkan minuman tersebut. Ayah Kirana juga yang menemukan membuat ramuan penyegar badan itu. Rasanya sedikit getir, namun memang menyegarkan setelah diminum beberapa saat.

Perlahan-lahan Kirana meletakkan kepala Lanangseta sehingga pemuda itupun terbaring lagi. Sekali lagi Kirana mencium kening Lanangseta dan mengusap rambutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Seharusnya kau tidak meladeni dia, Lanang. Sebab..."

"Dia menyerangku dengan tiba-tiba," sahut Lanang bernada protes. "Aku sudah menanyakan apa salahku, tapi dia bahkan menyuruhku menanyakannya kepadamu."

Sehela nafas dihempaskan oleh Kirana, sepertinya ia sedang merasakan sesuatu yang mengganjal di dalam hati. Lanang tidak mempedulikan keadaan itu, ia mendesak dengan pertanyaan yang diplomatis

"Kenapa aku harus bertanya kepadamu?"

Kirana duduk pada sebuah bangku kayu, letaknya tak jauh dari jangkauan tangan Lanangseta. Karena itu, sekalipun Kirana berkata dengan pelan, Lanangseta cukup jelas mendengar jawaban itu:

"Prabima mencintai ku "

"Oh, celaka. !" desah Lanang.

"Tapi aku tidak mencintainya, Lanang. Sumpah! Aku tidak pernah bisa mencintainya. Aku memang pernah ke mana-mana bersama Prabima, tapi karena aku menganggapnya sebagai kakak sendiri. Dia adalah murid kesayangan ibu, dan dia hidup lama bersama kami sehingga sudah seperti saudara. Aku sendiri tidak tahu kalau dia selama ini mencintai ku. Dan bahkan... bahkan pernah bicara langsung dengan ayah dan ibu bahwa dia ingin memperistri aku. Waktu itu, ibu masih hidup, dan karena ia murid kesayangan ibu, maka ibu sangat setuju, sedangkan ayah tidak."

Nada bicara Kirana memang pelan, namun mempunyai penegasan-penegasan yang mengharapkan suatu kepercayaan dari Lanangseta. Mau tidak mau Lanang harus mempercayai kata-kata itu, sebab wajah Kirana tampak sangat sedih dan memohon pengertian yang dalam dari Lanangseta.

"Teruskan "

"Kau tidak marah?"

"Aku ingin mendengar seluruhnya."

Perempuan cantik berbibir sensual itu menelan ludah sekali, bagai sedang menelan suatu kegetiran yang memuakkan. Lalu ia bicara dengan kelembutannya yang anggun.

"Ayah berdebat dengan ibu, dan akhirnya ayah memberi keputusan atau syarat seperti yang diberikan kepadamu. Kalau Prabima ingin memperistri aku, dia harus mengalahkan orang-orang Tebing Neraka, yang dari dulu selalu mengincar tempat kami."

"Dan Prabima berangkat juga tentunya?"

"Ya," jawab Kirana dalam desah. "Tapi dia merengek kepada ibu untuk membantu menyerang orangorang Tebing Neraka. Ibu tidak keberatan, sebab memang dasarnya Prabima adalah murid kesayangannya yang tak ingin celaka karena syarat dari ayah itu. Tapi ibu tidak menyadari bahwa itu adalah akal bulus Prabima. Ibu turun ke lembah dan menyerang orangorang Tebing Neraka, sementara Prabima enak-enak menunggu di tepi Jurang Gempal.

Ketika ibu menemui nasibnya, jatuh di jurang berasap dan lenyap begitu saja, Prabima segera melarikan diri bersama kedua pelayan kami yang menyertainya. Lalu dia merasa malu untuk kembali ke mari, sehingga ia hanya mengutus kedua pelayan kami untuk memberitakan hal itu.

Sejak saat itu, ayah sangat benci kepada Prabima, demikian juga aku. Dan rupanya selama belakangan ini dia selalu mengintai perkembangan di Griya Teratai Wingit ini, lalu dia juga dapat mengetahui bahwa kau telah menjadi calon suamiku. Mungkin juga dia mengetahui bahwa kau telah berhasil menghancurkan orang-orang Tebing Neraka itu, sehingga ia merasa perlu membunuhmu.

Bagi Prabima, kau adalah penghalang besar atas cintanya kepadaku. Aku yakin, dia menunggu saatsaat tertentu, misalnya menunggu kematian ayah, dan bila ayah telah tiada, dia dapat memaksaku untuk menjadi istrinya. Aku tahu dia amat tergila-gila kepadaku. Sebab itu, dia bertekad dengan cara apapun harus mendapatkan aku..."

"Lalu apa rencanamu selanjutnya? Menghampiri Prabima dan meluluhkan kemarahannya dengan membalas cintanya?"

Kirana menggeleng, "Menemuinya dan membunuhnya!"

Jawaban Kirana itu sempat membungkus kecemburuan Lanangseta. Pemuda tampan berambut panjang, lembut itu menghempaskan nafas, pertanda sedang mencari ketenangan hati..

"Kau akan mencari Prabima?"

Kirana menggeleng. "Dia akan datang sendiri ke mari, dan akan menemuiku secara diam-diam. Dia pasti mengira kau telah mati akibat jarum mautnya itu."

"Dengan diam-diam? Dan kau akan menuruti pertemuan dengan diam-diam itu?" Lanang menjadi seperti anak kecil, membiarkan kecemburuan menguasai dirinya.

Usapan lembut jemari Kirana pada rambut Lanangseta sedikit menenangkan hati yang cemburu. Kirana berbisik:

"Jangan berpikiran buruk kepadaku, Sayang. Masih kurangkah aku membuktikan bahwa aku mencintaimu?"

"Tapi kau akan mengadakan pertemuan dengan diam-diam itu? Dan... dan semua pertemuan yang dilakukan diam-diam pasti menuju jalan yang serong."

Nada gerutu dari Lanangseta sempat membuat Kirana tertawa kecil. Ia bahkan meledek, "Kau lucu kalau sedang cemburu. Aku senang melihat kecemburuan itu. Baiklah, akan kubuat kau selalu cemburu sepanjang waktu. Kau... kau lebih tampan dan lebih menggairahkan dalam keadaan muka cemburu begini..."

Lanangseta hanya mendengus kesal dan buang muka. Kirana tertawa sedikit keras. Lalu dia memeluk kepala Lanang dengan satu ciuman di pipi. Kini bahkan pipinya ditempelkan lekat-lekat pada pipinya Lanangseta seraya ia berbisik:

"Izinkan aku menemuinya diam-diam, kalau ia datang. Aku menemuinya untuk membunuh, bukan untuk bercinta...!"

"Kau janji?" "Janji!"

"Kau tidak akan lari dengannya." "Aku sudah bisa lari sendiri denganmu."

Beberapa saat setelah mereka tercekam keheningan, maka tangan Lanangseta pun bergerak memeluk Kirana dengan mesra. Dan sebuah kecupan segera mendarat di bibir yang merekah sensual itu.

Malam menggelincir menjadi malam kembali. Ludiro belum pulang. Menurut kekhawatiran Kirana, Ludiro belum mendapatkan ular kobra jantan atau mati dipatok ular kobra.

Tapi Lanang menjelaskan bahwa Ludiro tak mungkin dapat digigit ular kobra. Lanang menjelaskan tentang kekebalan tubuh Ludiro yang tidak mempan senjata apapun akibat memakan lumut bercahaya (dalam, kisah RAHASIA SENDANG BANGKAI).

Kirana sempat tertegun beberapa saat setelah mendengar kehebatan yang dimiliki Ludiro. Entah apa yang ia pikirkan dalam lamunannya, yang jelas Lanangseta merasa terganggu sejak ia menceritakan goa yang berlumut cahaya, seperti yang pernah didengarnya dari Ludiro. Ketika malam terus bergulir dan menjadi malam kembali, keresahan mulai meliputi pikiran Lanangseta.

Sesekali ia diizinkan turun dari pembaringan oleh ayah Kirana, namun sudah beberapa saat ini ia tidak menemui Kirana. Pikiran Lanangseta begitu kacau. Ia terbayang pertemuan diam-diam yang akan dilakukan Kirana dengan Prabima. Dalam hatinya timbul kekhawatiran yang kuat, bahwa Kirana telah lari bersama Prabima dan mengkhianati dirinya. Malam sepi, bagai tak bergeming, dan Kirana benar-benar tak muncul. Geram di hati Lanangseta bercampur dengan kegelisahan yang menyiksa. Kakinya masih terpincang-pincang ketika ia turun dari pembaringan secara diam-diam, dan ia melangkah pelan-pelan ke luar dari kamar untuk mencari Kirana. Para penjaga Griya Teratai Wingit tak ada yang tahu kalau Lanangseta sudah berada di luar pagar dan bergegas Untuk pergi sendirian mencari Kirana.

Cahaya api penerang jalan berbinar-binar dalam tempat khusus. Lanangseta baru saja akan melangkah tanpa pamit, tapi tiba-tiba ia harus menghentikan langkah.

Seorang pemuda bertampang imut-imut, ganteng dan manis itu berdiri menghadang Lanangseta. Pedang bersarung perak memantulkan cahaya dari api penerang jalan. Senyum licik tersungging di bibir yang sebenarnya menawan itu. Lanangseta menggeram dalam suatu tanya:

"Mana gadis itu...?! Kembalikan dia padaku, Setan!"

Prabima Wardana tertawa kecil. Ia tahu bahwa Kirana pasti tidak ada, walau sebenarnya ia tidak menyangka kalau Lanangseta ternyata masih hidup. Tujuannya malam itu datang untuk menculik Kirana. Tetapi begitu mendengar pertanyaan Lanangseta, maka tahulah Prabima bahwa Kirana malam itu tak ada di rumah, dan Lanangseta menuduhnya sebagai orang yang menyembunyikan Kirana. Suasana itu dimanfaatkan oleh Prabima dengan mengatakan:

"Kau pikir dia sungguh-sungguh mencintaimu?!" "Setan!" geram Lanangseta sambil mengepalkan

tinjunya kuat-kuat. Prabima merasa pancingannya mulai mengena.

Dengan angkuh Prabima berkata:

"Mungkin dia memang mencintaimu, tapi tidak sampai meresap di dalam hatinya. Buktinya, malam ini ia telah menyerahkan keperawanannya kepadaku, lalu menyuruhku untuk melukaimu kembali. Paling tidak dengan kau terluka perkawinanmu akan ditunda, dan itu kesempatan bagi dia untuk memuaskan diri bersamaku. Kau memang tolol, Lanangseta!" Prabima tertawa pelan namun memanjang.

Merah seketika wajah Lanangseta mendengar katakata itu. Darahnya mendidih, jantungnya bagai dibakar oleh nyala api yang maha dahsyat. Ia telah termakan tipu daya Prabima yang memang ahli dalam hal itu.

Dengan mengerahkan tenaga yang ada, Lanangseta menyerang Prabima dengan pukulan bernafsu, "Mampus kau, Setaaan...!" Pukulan itu diarahkan ke dada Prabima, tetapi Prabima meloncat mundur sambil mengibaskan tendangan kaki memutar. Tendangan itu tepat mengenai rahang Lanangseta sehingga Pendekar Pusar Bumi Itu pun sempoyongan menahan sakit.

"Aku harus melukaimu, sesuai dengan perintah gadis itu...!"

"Sreet...!" Prabima mencabut pedangnya. Lanangseta menahan keseimbangan tubuh dan memusatkan perhatian pada pedang berkilauan itu. Kakinya masih terasa sakit, namun tak dihiraukan lagi. Ia masih mampu meletik bagai udang ke udara pada saat ujung pedang meluncur ke arah perutnya bersamaan dengan meluncurnya tubuh Prabima Wardana.

"Hiaaaat...!!" Pekikan itu menambah kekuatan Lanangseta untuk melancarkan tendangan ke punggung Prabima yang berhasil diloncati.

"Bukk...!" Punggung itu menjadi sasaran Lanangseta, dan Prabima tersungkur mencium bebatuan. ia cepat-cepat bangkit, lalu semakin bernafsu untuk melukai Lanangseta. Pada saat itu, dua pengawal pintu gerbang Griya Teratai Wingit telah keluar dari pagar dan bergegas ke arah datangnya teriakan itu. Tapi kedua pengawal tersebut akhirnya bingung sendiri, mana yang harus dibela. Mereka mengenal Lanangseta sebagai calon suami Kirana, tetapi mereka juga mengenal Prabima sebagai bekas anggota keluarga Teratai Wingit. Jadi, yang bisa mereka lakukan saat itu hanya melototkan mata dalam kebingungan. Lanangseta tidak perduli, apakah pengawal itu akan membela dia atau membela Prabima. Yang jelas ia harus segera menyerang dan membuatnya kewalahan sebelum Prabima melancarkan serangan lagi. Maka, dengan bersalto satu kali di udara, kaki Lanangseta meluncur ke dada Prabima. Sengaja kaki itu menyerang tempat yang kosong, sehingga tebasan pedang Prabima pun akan meleset. Dan begitu kaki kanan itu menginjak tanah kembali, pukulan telah meluncur deras dan keras di wajah Prabima. Pedang dikibaskan saat itu pula, tapi hal itu sudah diperkirakan oleh Lanangseta, sehingga dengan cepat ia merundukkan kepala. Pedang berlalu di atas kepalanya, dan Lanangseta pun berguling setelah kakinya menjejak dada Prabima seperti seekor kuda liar mengamuk. Prabima terpental sekali lagi, namun ia segera berdiri dan menyarungkan pedangnya.

Lanangseta tahu gelagat, pasti ia akan melancarkan jarum-jarum beracun lagi ke arah Lanangseta. Sebab itu, Pendekar Pusar Bumi segera melompatlompat, berguling-guling di udara dengan cepat sehingga membingungkan Prabima yang hendak melancarkan serangan jarum beracun. Satunya jalan, Prabima harus melumpuhkan kekuatan Lanang lebih dulu sebelum ia menyerang dengan jarumnya. Dengan lumpuhnya kekuatan Lanang, maka tak ada daya lagi bagi pendekar berikat kepala kulit macan tutul itu untuk melayang dan berjumpalitan membingungkan.

Prabima segera melayang juga menyongsong tubuh Lanang dalam satu jurus tendangan menyamping. "Praak...!" Ia berhasil menendang tulang rusuk Lanangseta dengan keras, dan membuat Lanangseta mengaduh kesakitan, lalu jatuh tak bertenaga lagi. Itulah saat Prabima memperoleh kesempatan menyerang Lanangseta dengan jarum beracunnya.

Namun pada saat ia ingin mengeluarkan jarumjarum racun dari tangan dan setiap jari-jarinya, mendadak ia harus terguling-guling di tanah beberapa kali karena sebuah tendangan yang cukup dahsyat. Lengannya terasa hampir putus, dan ia menyeringai kesakitan, tapi matanya sempat memandang seorang bertubuh terhitung pendek dengan badan kekar dan berotot gempal berdiri di depannya. Orang itu menyandang pedang di pinggang dan cambuk di punggung. Sedangkan di tangan kiri lelaki itu, terlihat seekor ular kobra yang digenggamnya kuat-kuat dan masih hidup.

"Paman Ludiro...?!" seru Lanangseta. Tapi Ludiro tidak menyahut. Ia memandang tajam pada Prabima, lalu menyumpah dengan sengit:

"Rupanya kau bajingan tengik itu, ya?!"

Prabima tidak mengenal siapa Ludiro, yang ia tahu orang tersebut ada di pihak Lanangseta. Karena itu dalam keadaan masih melonjor di tanah, ia melancarkan serangan jarum beracun yang meluncur bagai hujan dari setiap ujung jarinya. Ludiro berkelit dengan cepat, melompat ke samping kiri dengan badan berputar, kemudian menghentakkan kaki sehingga melambung tinggi dan bersalto satu kali, kemudian tendangannya tepat jatuh di kepala Prabima. Waktu itu, Prabima baru saja bergegas untuk berdiri, tahu-tahu ia harus telentang lagi, dan terguling-guling menghindari kaki Ludiro yang berkali-kali gagal menginjaknya.

Dengan gerakan cepat, Prabima dapat melentikkan tubuh untuk menjauhi Ludiro. Begitu keadaannya sudah cukup jauh, kedua tangannya segera lurus ke depan dengan jari-jari terarah pada Ludiro. Tanpa menunggu gerakan lain, Ludiro segera mencabut cambuk naganya sambil melayang menghindari jarum-jarum yang melesat. Cambuk naga melecut keras, menimbulkan letupan kecil, dan menghantam kedua tangan Prabima. Tangan itu berdarah, Prabima menjerit kesakitan, kemudian segera melarikan diri ke balik kegelapan malam. Di sana ia menghilang entah ke mana. Tapi Lanangseta segera melesat mengejar Prabima dengan kemarahan yang meluap.

*

*   * 3

AYAH Kirana terperanjat ketika melihat Lanangseta berkelebat mengejar Prabima. Ia menampakkan rasa khawatirnya, sehingga ia pun berseru kepada Ludiro, "Kejar dia! Bawa pulang! Kesehatannya belum pulih betul! Ia bisa sekarat di perjalanan!"

"Bagaimana dengan ular kobra jantan ini?" tanya Ludiro sambil memperlihatkan ular kobra jantan di tangannya.

"Sambu!" seru ayah Kirana kepada salah seorang pelayannya. Orang yang bernama Sambu itu mendekat. "Bawa ke belakang ular kobra jantan itu, dan usahakan masih tetap hidup sampai darahnya kuambil untuk diminumkan kepada Lanangseta."

"Baik, Rama," jawab Sambu yang kemudian dengan hati-hati menerima ular kobra jantan dari tangan Ludiro. Setelah itu Ludiro segera pergi mencari Lanangseta yang dikhawatirkan pingsan di tengah jalan.

Tetapi sampai jauh malam, Ludiro tidak menemukan Lanangseta. Bahkan sampai matahari terbit, Lanangseta masih tak terlihat jejaknya. Agaknya ayah Kirana sangat mencemaskan keadaan Ludiro dan Lanangseta, sehingga ia pun mengutus dua pengawalnya, yaitu: Bonang dan Lande. Tetapi sampai jauh siang mereka tidak menemukan orang yang dicari. Hanya saja, pada rimbunan semak berduri tiba-tiba Bonang dan Lande menemukan ikat kepala dari kulit macan tutul, warnanya kuning bertotol-totol hitam.

"Ini seperti ikat kepala Lanangseta," kata Bonang. Lande mengangguk, "Bawa pulang ikat kepala ini.

Ayo...!"

Waktu mereka berdua sampai di Griya Teratai 'Wingit, Ludiro sudah berada di sana, di halaman belakang, berbicara dengan Sabdawana, ayah Kirana. Kedatangan Bonang dan Lande membuat mereka tegang dan ayah Kirana segera bertanya, "Bagaimana? Kalian menemukan Lanangseta?"

"Tidak, Rama," jawab Lande. "Tapi, kami menemukan barang ini..." Kemudian Lande menyerahkan barang temuannya.

Ludiro dan ayah Kirana memandang dengan tegang, lalu mereka saling tatap. Ludiro segera bertanya kepada Lande:

"Di mana ikat kepala Lanang ini kalian temukan?!" "Di semak berduri, dekat jalan menuju Goa Malai-

kat," jawab Bonang dengan semangat.

"Mungkinkah dia masuk ke dalam Goa Malaikat?" tanya Ludiro kepada ayah Kirana. Lelaki berambut uban itu hanya mendengus kesal dalam kebingungannya.

"Tapi tadi kau bilang sudah mencari di Goa Malaikat?" kata ayah Kirana. "Benar, Rama," jawab Ludiro. "Tapi saya tidak mencari sampai di kedalaman goa. Kalau begitu, akan saya cari sampai ketemu, Rama."

Sabdawana mengangguk. "Carilah dan temukan dia. Aku sudah terkesan kepadanya, dan hanya dia yang menurutku pantas menjadi pengganti ku di Teratai Wingit ini."

"Hemm... bagaimana dengan putri Rama yang katanya juga pergi sejak kemarin lusa itu?"

"Jangan khawatirkan dia. Itu sudah biasa bagi dia, pergi tanpa pamit! Memang sedikit bandel putriku itu!" "Baiklah, saya pergi ke Goa Malaikat, Rama..." kata Ludiro, lalu ia pun pergi ke sana dengan hati masih cemas akan keselamatan Lanangseta. Ia tahu, dalam kondisi yang masih lemah itu, Lanangseta akan mudah dikalahkan oleh Prabima, apalagi Lanang dalam keadaan tanpa pedang Wisa Kobra. Keadaan Lanang sangat membahayakan, dan itu adalah tanggung jawab Ludiro. Sebab itulah Ludiro mati-matian untuk menemukan Lanangseta kembali ke manapun Pendekar Pu-

sar Bumi itu pergi.

Namun yang paling dikhawatirkan oleh Ludiro adalah pemuda yang bernama Prabima. Luka di tangan bekas cambukkan Ludiro itu memang tidak seberapa. Dalam beberapa saat bisa sembuh. Dan dalam keadaan seperti itu bisa saja ia menyerang Lanangseta, lalu menyeret Lanang ke suatu tempat untuk dibunuh dan disembunyikan mayatnya.

Bukan hal yang aneh jika Prabima sengaja menyembunyikan Lanang baik dalam keadaan parah atau pun mati, sebab menurut penuturan ayah Kirana yang sempat didengarnya tadi, bahwa Prabima memang mempunyai naluri untuk mengacau kehidupan di Teratai Wingit. Secara sekilas, Ludiro juga mendengar bahwa Prabima mencintai Kirana, tetapi cintanya bagai sampah yang terbuang begitu saja. Dalam kasus itu, Lanangseta adalah pihak yang menjadi korban suatu peristiwa masa lalu, yaitu peristiwa penolakan cinta Prabima kepada Kirana. Kalau memang benar begitu kenyataannya, Ludiro sudah siap untuk menyiksa Prabima dengan memotong-motong tubuh pemuda itu menjadi berkeping-keping.

Memang tidak semua orang tahu di mana Lanangseta atau Pendekar Pusar Bumi itu. Juga tidak semua orang tahu bagaimana keadaannya sekarang. Tetapi seorang lelaki tua berjubah kuning dan berjenggot putih kemerah-merahan itu hanya tersenyum dan terkekeh-kekeh pelan. Matanya yang sudah berkelopak keriput itu masih memandangi

Lanangseta yang tengah mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Oohh... di mana aku ini? Uuh...!"

Lanangseta belum menyadari bahwa dirinya ada dalam pondok si tua Tongkat Besi. Kakek tua itulah yang mencuri pedang Wisa Kobranya dan selalu berharap agar Lanangseta mau membunuhnya (dalam kisah GERHANA TEBING NERAKA). Maka, ketika Lanangseta mulai menyadari di mana dia berada, mata yang semula buram itu kini menjadi terbelalak kaget. Ia mengucal-ngucal matanya, dan sekali lagi memandang, lalu mengeluh lemas:

"Oouh... kau, Tongkat Besi...?!"

Lanangseta merebah lemas, telentang di atas dipan bambu tanpa kasur, kecuali tikar pandan yang telah lusuh.

"Memang sebaiknya kau beristirahat dulu, Lanang. Kau tak akan kuat melawanku dalam keadaan lemas seperti itu. Nah, sementara kau beristirahat, ku carikan ramuan untuk memulihkan kekuatanmu. He, he, hee..." Tongkat Besi terkekeh.

Entah bagaimana mulanya, Lanangseta tak bisa menjabarkan. Hanya saja, menurut dugaannya ia tentu dalam keadaan lemas. Mungkin pingsan dalam pengejaran terhadap Prabima, lalu dalam keadaan pingsan itu bisa saja kakek berjubah kuning itu membawanya ke suatu tempat, yaitu suatu tempat berupa pondok yang sangat sederhana. Mengapa Tongkat Besi membawanya ke pondok sederhana itu, Lanangseta sudah mengetahui. Pasti berhubungan dengan pedang Wisa Kobra yang dicuri, atau lebih tepatnya lagi diserobot, oleh Si Tua Tongkat Besi. Denyut di kepala Lanangseta semakin kuat, tetapi ia tetap berusaha untuk bangkit dan duduk di tepian dipan bambu yang sering disebut orang sebagai lincak. Matanya redup, dan pandangan matanya memang berkunang-kunang. Meski demikian, ia masih mampu menatap sebuah benda yang digantungkan pada dinding rumah, di mana dinding tersebut terbuat dari batangan-batangan kayu pohon tanpa dihaluskan atau dibelah menjadi papan demi papan. Batangan kayu itu masih utuh dan memang kelihatan kokoh. Benda yang tergantung pada dinding tersebut tak lain dari pedangnya sendiri, yakni pedang Wisa Kobra.

Kaki terasa lemas. Tak kuat untuk berdiri. Mungkin ini akibat racun dari jarum milik Prabima itu. Pengaruhnya begitu kuat, dan Rama Sabdawana belum selesai melakukan perawatan, tapi Lanangseta sudah kabur lebih dulu dari Griya Teratai Wingit itu. Sebab itu, kali ini Lanangseta mendesah penuh kesal; mengapa dirinya nekad mengejar Prabima pada malam itu? Ketika kakinya menapak pada lantai pondok yang ternyata juga dari kayu tanpa dihaluskan, ia mulai sadar bahwa penyesalannya itu tiada  guna untuk kali ini. Yang panting, ia harus mengambil pedang Wisa Kobra dari dinding itu. Ia harus merayap, karena pandangannya goyah. Perlahan dengan cara merambat dan berpegangan pada meja, Lanangseta mencoba

mendekati pedangnya. Ketika tangannya menyentuh pedang tersebut, hatinya menjadi tenang. Nafasnya terhempas lega. Kemudian ia membawanya ke pembaringan, dan dipeluknya pedang itu sesaat.

Dengan pandangan mata yang masih sedikit kabur, Lanang mengamati pedang tersebut. Ia menghunus dari sarungnya, dapat menyunggingkan senyum kebanggaan melihat pedang itu masih utuh. Segera ia memasukkan kembali pedang Wisa Kobra pada sarungnya, dan ia membawanya dalam pelukan sambil membaringkan badan. Lama sekali ia meresapi kerinduannya terhadap pedang Wisa Kobra, sehingga ia pun akhirnya tertidur beberapa lama.

Ketika ia bangun, hari sudah malam. Pedang Wisa Kobra sudah tidak ada dalam pelukannya. Ia sempat terperanjat kaget. Lalu tawa yang terkekeh dari Tongkat Besi terdengar menyadarkan Lanangseta.

"Mana pedangku?!" Itulah pertanyaan pertama setelah ia melihat ke dinding dan pedang itu tidak juga tergantung di sana.

"Pedangmu kusimpan sampai persepakatan antara kita terjadi," ujar kakek tua yang sedikit nyentrik itu.

Lanangseta mendenguskan keluh, pertanda ia sedang menahan kedongkolan. Ia tahu, Tongkat Besi sebenarnya tidak bermaksud jahat kepadanya, hanya saja sikapnya yang sering menjengkelkan itu membuat Lanangseta rasa-rasanya ingin menampar muka Tongkat Besi.

"Kau harus minum ramuan ini," kata Tongkat Besi sambil menyerahkan sebuah cairan kental dalam batok kelapa. Cairan itu berwarna hitam dan amis.

"Apa ini?!"

"Minumlah dulu, nanti ku jelaskan."

Lanangseta membuang keragu-raguan. Cairan hitam yang berbau anyir dan amis itu diminumnya dengan mata terpejam kuat-kuat. Habis. Ia menyeringai sambil bergidik beberapa kali. Tongkat Besi hanya menertawakannya. Kemudian mengambilkan air putih biasa untuk sekedar penawar rasa pahit dan amis di mulut Lanangseta. Setelah meminum air putih itu, Lanangseta mulai tenang. ia sengaja duduk sambil bersandar pada dinding kayu dengan kedua kaki ditekuk, hampir menyatu dengan dada.

"Bagaimana? Enak?" tanya Tongkat Besi setelah mengembalikan tempat minum ke meja.

"Cairan apa yang kuminum tadi, Kek?" "Darah kobra jantan."

Mata Lanangseta terbelalak. Lalu, ia ingat katakata Rama Sabdawana, bahwa kesehatannya akan pulih sama sekali kalau ia sudah meminum darah kobra jantan. Tongkat Besi pun berkata demikian.

"Darah kobra jantan dapat memulihkan kekuatanmu yang hampir tawar karena racun yang ganas. Tadi aku sempat memeriksa kakimu, lalu aku berpendapat, bahwa kau habis terluka dan luka itu mengandung racun ganas yang tak kenal belas kasihan. Begitu, ya?"

"Kau mengenal jenis racun itu?"

Kakek tua yang sudah berkulit keriput itu mengangguk. "Dalam dunia persilatan, hanya ada satu macam racun seperti itu, yang diberi nama racun Mayat Seribu."

Pendekar Pusar Bumi menggumam. Kemudian, Tongkat Besi ikut naik ke atas tempat tidur bambu dan berkata lagi.

"Racun Mayat Seribu, hanya dimiliki oleh keluarga Shalindra, tempatnya di Bukit Badai, di mana aku menemukan kau dalam keadaan pingsan itu."

Dalam hati Lanang berkata, "Kakek ini hebat juga. Ia bisa mengenal racun dan pemiliknya. Sungguh banyak pengalamannya di dunia persilatan.'"

"Kau mengenal keluarga Shalindra?"

Lanang mencoba untuk berbohong dengan menggelengkan kepala. Ia ingin tahu sampai di mana pengetahuan kakek tua itu tentang keluarganya Kirana.

Dengan suara tua, sedikit serak, Tongkat Besi mengatakan, "Leluhur Shalindra terkubur di Bukit Badai. Mereka dulu melawan suatu kekuatan di daerah Selatan, dan bahkan berhasil menenggelamkan sebuah pulau tempat suatu kerajaan terkutuk. Kukatakan terkutuk, karena raja dan rakyatnya sebegitu banyak sering melakukan kejahatan dan bejat semua moralnya. Perilakunya seperti iblis, kesaktiannya yang kejam itu tak ada yang mampu mengalahkan kecuali leluhur keluarga Shalindra."

"Apakah sampai sekarang masih ada keluarga Shalindra itu, Kek?"

Kakek Tongkat Besi manggut-manggut. Ia melinting tembakau cacah, dan menghisapnya dengan santai.

"Sebetulnya..." kata Tongkat Besi sambil menikmati isapan tembakaunya, "...nama Shalindra adalah nama sebuah ilmu, yaitu ilmu pembungkam. Manusia, hewan, petir, dan apa saja yang bersuara dapat dibungkam oleh ilmu Shalindra. Bahkan kalau ia mau, Shalindra dapat membuat bumi berhenti berputar dalam waktu tertentu. Jadi, dari sesuatu yang bergerak, atau bersuara, menjadi diam atau berhenti. Itulah kehebatan ilmu Shalindra."

Sekali lagi Lanangseta manggut-manggut dalam gumam, dan ia sengaja tidak memberi komentar apapun sebelum segalanya dibeberkan oleh kakek Tongkat Besi itu.

"Tetapi..." lanjut kakek tua, "...dalam kurun waktu berikutnya, ternyata Shalindra dipakai untuk nama seorang bayi perempuan. Bayi Shalindra dapat tumbuh menjadi dewasa dan kawin dengan seorang lelaki yang masih satu buyut dengannya. Hal ini mereka lakukan guna menjaga perkawinan darah campuran. Pada masa itu, keluarga Shalindra mempunyai suatu keistimewaan, bahwa barang siapa kawin dengan satu darah, tapi bukan satu ibu, maka ilmu dan kesaktian mereka semakin bertambah dengan sendirinya. Hal ini berlaku sampai tujuh turunan. Dan perempuan yang bernama Shalindra itu adalah turunan mereka yang terakhir. Jadi mereka kawin, maksudku perempuan Shalindra itu kawin dengan saudara satu buyut, yang bernama Sabdawana."

"Apakah Sabdawana itu juga berilmu tinggi?" tanya Lanang memancing keterangan sebenarnya.

"O, sakti. Ilmunya cukup hebat. Terutama dalam ilmu pengobatan dan ilmu yang dinamakan ajaran suci. Tapi... sudah tentu lebih hebat aku daripada dia "

Mulut Lanangseta mencibir sewaktu Tongkat Besi terkekeh. Walaupun dalam hatinya Lanangseta mengakui bahwa sejak ia disuruh minum darah kobra dengan campuran khusus itu badannya berangsurangsur menjadi segar. Malahan sekarang rasa pusingnya hilang, dan pandangan matanya terang kembali. Tapi, mendengar kesombongan Tongkat Besi, muak rasanya perut Lanangseta.

Tongkat Besi masih tetap menghisap tembakau cacahnya. Ia kelihatan sangat tenang dan santai dalam duduk bersila.

Ia melanjutkan kisahnya: "Perkawinan Sabdawana dan perempuan Shalindra menghasilkan seorang putri yang bernama " Tiba-tiba ia berhenti, seperti teringat

sesuatu. Lalu, katanya, "Ooh... nama anaknya itu tak boleh disebutkan."

"Kenapa?" Lanangseta berlagak tak tahu.

"Nama itu adalah nama sebuah ilmu yang bila disebutkan oleh siapa saja akan mendatangkan badai kencang, dan bumi bagai dilanda gempa. Alam mengamuk, langit merah dan petir menyambar-nyambar. Sebab itu, namanya tak berani kusebutkan. Pokoknya putri Sabdawana itu cantik dan kabarnya berilmu tinggi. Tapi sudah tentu belum ada sekuku hitamnya

dengan ilmuku "

Sekali lagi Lanangseta mendesah. Sebal dengan kesombongan Tongkat Besi. Sampai-sampai Lanang bertanya:

"Kau kelihatannya sombong sekali, Kek! Kenapa mau menjadi orang sombong?"

Kakek tua itu hanya terkekeh sejenak. "Dari dulu, aku tidak pernah hidup sombong. Jadi sekarang ini, aku ingin bagaimana rasanya hidup sombong. Sebelum ajalku tiba di tanganmu, aku ingin merasakan menjadi orang sombong. Ternyata banyak orang yang muak dan membenci ku, he... he..." Tongkat Besi kelihatan bangga dengan hasil percobaannya, yaitu menjadi orang sombong. Aneh. Ya, memang begitulah keanehan pada diri kakek tua itu. Namun dari sekian pembicaraan Tongkat Besi, ada sesuatu yang terselip dan menjadi ganjalan di hati Lanangseta. Lalu, ia pun menanyakannya langsung:

"Apa dulu kakek juga pernah mengenai perempuan Shalindra?"

"Kenal...!" jawabnya tegas sambil manggutmanggut. "Tetapi waktu itu ia masih bayi. Jangankan kepada perempuan yang bernama Shalindra, kepada canggahnya atau buyutnya Shalindra aku juga kenal."

"O, ya? Jadi, kakek mengenai leluhur Shalindra?"

Tongkat Besi tertawa sinis bernada sombong. "Dulu kan sudah kukatakan, bahwa usiaku ini sudah ratusan tahun!"'

Dahi Lanangseta berkerut-kerut, ia menganggukangguk.

"Ya, memang dulu pernah kau katakan... antara empat ratus tahun, atau enam ratus tahun..."

"Atau lebih..." tambahnya.

"Ya. Tapi kukira waktu itu kau hanya membual, Kek."

"Nah, di situlah kepicikan zaman. Sekarang zaman telah mempengaruhi kehidupan manusianya. Zaman yang menghendaki sesuatu yang benar bisa disalahkan dan sesuatu yang salah bisa dibenarkan. Zaman juga yang menganggap orang jujur itu pembohong, sementara seorang penipu akan dianggap orang jujur. Dan manusia yang hidup di zaman itulah yang menjadi korban kebodohan tersebut."

"Eh, soalnya begini Bagaimana mungkin seorang

manusia dapat hidup sampai ratusan tahun seperti yang kakek alami itu. Aku jadi sangsi dan... dan memang tidak masuk akal, Kek."

"Kamu belum tahu siapa aku sebenarnya," Tongkat Besi melengos dengan gerutu bernada angkuh. Lalu sambungnya lagi dengan tanpa memandang Lanangseta, kecuali melirik sinis, "Kau menganggapku manusia biasa, kan?"

"Ya. Apakah itu salah?"

Tongkat Besi menggeleng. "Salah...!" katanya angkuh sekali. Lanang menahan tawa melihat keangkuhan yang lucu.

"Jadi, siapa dirimu sebenarnya, Kek?"

Tongkat Besi menatap Lanangseta beberapa saat, seperti ada keraguan yang sedang dipertimbangkan. Namun beberapa saat kemudian ia pun menjawab:

"Sebenarnya aku... seorang dewa "

Lanangseta terperanjat, bahkan ia sempat berdiri di atas tempat tidur bambu itu.

Matanya membelalak lebar dan mulutnya ternganga bengong. Tongkat Besi bicara dengan pelan, tapi serius. Tak ada kesombongan, tak ada canda dan sifat main-main. Serius namun berwibawa. Terpancar satu kharisma tersendiri dari cermin wajahnya pada saat ia menyebutkan siapa dirinya sebenarnya. Jantung Lanangseta menjadi berdebar-debar dan tak sedikit pun ia berani menyanggah dan membantah. Sebegitu hebat kekuatan yang terpancar dari ekspresi wajahnya, sehingga Lanang sangat terkesima.

"Duduk...!" ucap Tongkat Besi. Suaranya pelan, bahkan bisa dikatakan suara yang lembut. Namun, tanpa disadari Lanangseta menuruti kata-kata itu. Ia duduk dengan gerakan perlahan-lahan.

"Berdiri...!" sekali lagi suara itu sangat lembut, bukan membentak dan menakutkan. Tapi, toh hal itu membuat Lanangseta kembali berdiri lagi perlahanlahan bagai di luar kesadarannya.

Tongkat Besi tersenyum dan Lanangseta mulai sadar. Ia bertanya dalam hati: "Kenapa mau-maunya aku disuruh duduk dan berdiri lagi, ya? Ooh... gila betul orang ini! Dia mampu memerintah jiwaku dengan satu kata dan aku menjadi menurutinya. Benar-benar hebat. Benar-benar aku berhadapan dengan seorang dewa."

Perlahan-lahan Lanangseta duduk sendiri. Terdengar suara Tongkat Besi berkata lirih:

"Jangan menjadi takut karena pengakuan ku tadi, Lanang. Sebuah pengakuan tidak selalu murni. Adakalanya hanya berupa tipuan yang terselubung. Tetapi, untuk pengakuan ku tadi, kau bisa menarik kesimpulan sendiri setelah aku mengajarkan ilmuku kepadamu. Setelah selesai kuajarkan semua ilmuku, lalu tariklah kesimpulan, apakah benar pengakuan ku tadi. Biasanya manusia membutuhkan bukti dari suatu pengakuan. Tapi bagiku, orang yang mempercayai suatu kebenaran tanpa melihat bukti, dia adalah orang bijak yang akan memperoleh hidupnya. Yaitu keselamatan diri akibat suatu kepercayaan. Mengerti?"

Karena Lanang menggeleng, maka Tongkat Besi menerangkan, "Kepercayaan itu adalah senjata paling ampuh, Seorang anak kecil, misalnya, ia sedang dikejar anjing. Lalu ia lari dan di depannya ada pagar tinggi menghalanginya. Karena rasa takut kepada anjing, maka timbul satu kepercayaan bahwa ia akan mampu melompati pagar itu. Ia harus percaya akan berhasil, sebab kalau gagal ia pasti digigit anjing. Dan ternyata ia berhasil. Memang berhasil melompati pagar itu … Lalu ia akan terbengong dan bertanya dalam hati: "kok bisa ya?". Nah, itulah bukti bahwa kepercayaan yang kuat mampu mengalahkan kesulitan apapun juga "

Lanangseta manggut-manggut, masih terkesima pada kenyataan. Namun ada satu hal lagi yang perlu ia tanyakan.

*

*  *  * 4

LANANGSETA sedikit ragu, tapi akhirnya terlontar juga pertanyaan itu.

"Mengapa seorang dewa hidup sebagai manusia di permukaan bumi ini, Kek? Bukankah di alam para dewa, mereka hidup dengan enak, tentram, damai dan sejahtera?"

"Ini pertanyaan yang paling bagus," kata si Tongkat Besi sambil menggerakkan jari telunjuknya. Ia merubah posisi duduknya, dari duduk dengan kaki ditekuk satu ke atas, di mana lututnya bisa dipakai tumpuan lengan, kini menjadi duduk bersila. Serius, bagai seorang guru sedang mengajarkan satu falsafah hidup pada muridnya.

"Aku mempunyai kesalahan yang kurasa tak perlu dijelaskan kesalahan apa, tapi yang jelas karena kesalahanku itu aku dihukum. Aku diusir dari Suralaya, setelah sidang para dewa memutuskan bahwa aku tak pantas lagi menjadi dewa. Lalu aku terlempar dari Suralaya sebagai manusia di bumi ini. Tetapi, karena aku pernah berjasa dalam suatu pertempuran membela Suralaya, maka sebagai tanda jasa, para dewa tidak mencabut kekuatanku, yaitu kesaktian dan ilmu kaweruh yang ada pada diri setiap dewa. Hanya saja, wewenangku dan hak guna pakai sebagai dewa, dicabut dan dibatalkan.

Jelasnya, aku telah dicoret dari daftar para dewa di Suralaya. Jadi aku beredar di bumi bukan sebagai dewa tetapi sebagai manusia. Karena itu, rasa-rasanya aku tidak pantas menggunakan nama asliku, maka kubiarkan orang menjuluki aku sebagai si Tongkat Besi"

"Kakek tidak menentang hukuman itu?" Tongkat Besi menggeleng. "Aku memang salah. Aku pantas di hukum. Dan, kuterima diriku menjadi sosok manusia di bumi. Tapi, lama-lama aku bosan. Di bumi ini banyak kericuhan. Kepalaku sering sakit dan pernafasanku sering tersendat karena ulah kehidupan di bumi. Jadi, aku ingin segera mati. Tapi betapa susahnya mati itu sebenarnya. Bahkan sampai ku curi pedangmu untuk bunuh diri, tapi ternyata pedang itu tidak bermanfaat sama sekali di tanganku. Bahkan untuk memotong daun pun sulit robeknya. Kupikir, di tangan orang lain pedangmu itu tak lebih dari sebatang besi bekas. Tapi di tanganmu, barulah pedang itu mampu menunjukkan kehebatannya. Sebab itu aku membawamu ke mari."

Kali ini Tongkat Besi tampak murung dan sorot matanya memandang dengan sayu. Kasihan. Sebenarnya Lanang memang kasihan kepada Tongkat Besi. Tapi haruskah ia menolong kakek tua itu? Membunuh seseorang apakah bisa digolongkan sebagai perbuatan yang bijak? Apakah bisa dikatakan sebagai 'menolong' seseorang yang dalam kesulitan?

"Tidurlah, besok kita mulai latihan," ujar kakek tua.

"Latihan? Latihan apa?"

"Akan kuturunkan semua ilmuku kepadamu." "Tidak," tiba-tiba di hati Lanang ada rasa khawatir

yang susah diungkapkan. "Aku tidak mau mempelajari ilmumu, Kek."

"Goblok kamu!" Tongkat Besi menggeram. "Ilmuku ini jarang ada di dunia. Tak seorang pun yang pernah memiliki ilmuku. Hebat lho...!"

"Tidak. Aku tidak mau!"

"Harus mau!" bentak Tongkat Besi dengan bersungguh-sungguh. "Aku hanya akan menurunkan ilmuku pada orang yang pasti mampu membunuhku."

Lanangseta sempat menggeragap. Pandangan Tongkat Besi begitu tajam dan menusuk hati, bagai melemahkan persendian tulang. Ia tidak bisa bicara, ia hanya menggeleng dalam cekaman rasa takut yang jarang dimilikinya.

"Kenapa kau menolak," kali ini pertanyaan Tongkat Besi cukup lunak.

"Karena... karena aku tak ingin seperti kamu, Kek." "Maksudmu?"

"Hemm... tidak bisa... tidak bisa mati sampai beratus-ratus tahun... aku tidak mau hidup terlalu berlebihan umur."

Senyum tipis mekar di bibir yang keriput. "Setiap manusia akan mati dengan caranya sendiri. Cara yang telah digariskan di dalam hidupnya."

"Kalau begitu, kakek tidak perlu memaksa aku harus menerima ilmumu dan setelah itu membunuhmu."

"Aku punya kelainan dengan manusia seperti kau, tolol! Kalau aku, aku bisa membunuhmu dengan tanpa menyentuh dan tanpa memerlukan waktu lebih dari satu helaan nafas. Tapi kalau kau, untuk membunuhku kau harus mempunyai satu kekuatan tersendiri yang membutuhkan waktu untuk belajar."

"Tapi..."

"Tidur, dan besok mulai belajar!" kata Tongkat Besi dengan tegas. Matanya memancarkan cahaya lain, janggal. Namun barangkali kekuatan dari pancaran mata itulah yang membuat Lanangseta menguap, lalu tertidur pulas.

Ketika matahari baru muncul sebagian, Lanangseta sudah dibangunkan oleh si Tongkat Besi. Ia diajak ke samping rumah, yang ternyata rumah atau pondok itu ter-letak di lereng sebuah bukit. Lanangseta baru menyadari kalau ia berada dalam pondok di lereng bukit, di mana dalam jarak beberapa langkah terdapat jurang yang lebar dan dalam. Tempat itu sangat sepi. Dingin. Kabut pagi masih tebal dan suara kicau burung saling bersahutan dengan jelas. Agaknya hanya pondok itulah yang ada di lereng bukit itu. Dan hutan di sekitarnya itu, sepertinya hutan yang jarang dijamah manusia kecuali Si Tongkat Besi. Samar-samar terdengar suara deru air berjatuhan, Lanangseta dapat memastikan tak jauh dari daerah itu pasti terdapat aliran air terjun yang cukup curam.

Lanangseta yang merasa badannya sudah benarbenar sehat itu tiba-tiba tersentak. Ujung tongkat menyodok punggungnya dengan keras.

"Jaga naluri mu...!" tukas kakek tua.

Sebenarnya Lanangseta benar-benar malas mempelajari ilmu yang dimiliki Tongkat Besi. Yang ia pikirkan adalah 'imbalannya', bahwa ia harus mau bertarung dengan Tongkat. Besi dengan menggunakan pedangnya. Tetapi kemalasan yang ada pada Lanangseta ternyata tidak mampu melawan perintah Tongkat Besi walau sedikit pun. Tanpa disadari ia telah berada dalam pengaruh kekuatan magis yang ada pada diri bekas dewa itu.

Tanpa ia sadari pula, ia telah melupakan segala pikiran sebelumnya. Tak ada Kirana di dalam otak, tak ada Sekar Pamikat, tak ada Prabima, tak ada Ludiro dan tak ada semuanya. Lanangseta sendiri merasa heran, mengapa ia jadi sangat menurut kepada Tongkat Besi. Pikirannya hanya tertuju kepada soal ilmu yang diajarkan oleh kakek tua itu. Suatu kali ia pernah memanggil Kirana di dalam hatinya, yaitu pada saat Tongkat Besi memberikan waktu istirahat selama 100 hitungan. Tetapi, panggilan hati itu sudah tak berfungsi lagi. Nyatanya Kirana tak pernah muncul selama Lanangseta berada di pondok tersebut selama satu bulan lebih. Pada saat itu ia hanya ditertawakan oleh Tongkat Besi. Laki-laki tua berjanggut lebat, panjang berwarna putih kemerah-merahan itu berkata:

"Jangan coba-coba memanggil seseorang di dalam hatimu. Aku telah menutup raga mu dengan satu lapisan yang tak mampu ditembus oleh suara hati siapa pun. Bahkan suara hatimu sendiri hanya bisa kudengarkan setiap saat...! Ayo, latihan lagi."

"Aku... aku capek dan mengantuk, Kek!" "Minum ini...!"

Lagi-lagi Lanangseta disuruh meminum suatu ramuan yang ada di dalam mangkok dari tanah liat. Ramuan itu terasa pahit sekali dan getir. Namun, sangat diakui, bahwa setelah minum ramuan itu, Lanangseta menjadi bergairah dan badannya segar kembali, seperti ia tak pernah bekerja keras. Rasa kantuk hilang seketika. Dan ia pun mulai berlatih lagi.

Sementara itu, di Goa Malaikat seorang pengawal dari Griya Teratai Wingit berdiri di depan mulut goa. Sudah dua hari lebih ia berdiri di mana menunggu kemunculan Ludiro.

Namun pada hari ketiga setelah Bonang menunggu, barulah Ludiro keluar dari dalam goa, dan terkejut melihat Bonang berada di mulut goa.

"Bonang? Ada apa kau berdiri di situ?" tanya Ludiro dengan perasaan heran.

"Paman Ludiro, aku sudah tiga hari berada di sini menunggu kemunculanmu, Paman."

"O, ya?!" Ludiro berkerut dahi. "Ada apa?" "Rama Sabdawana memanggilmu."

Ludiro mendesis sambil duduk pada sebuah batu. "Aku belum menemukan Lanangseta."

"Dia ingin bertemu denganmu, Paman. Ada yang ingin dibicarakan sekalipun kau datang tanpa Lanangseta."

Ludiro yang semula termenung, kini menatap Bonang.

"Apa ada sesuatu yang penting? Apa Lanangseta sudah kembali?"

"Tidak. Lanangseta belum kembali. Tetapi Putri Bukit Badai telah kembali dua minggu yang lalu. Sekarang ada di rumah. Dan... ah, pokoknya datanglah saja. Ini panggilan dari Rama Sabdawana, Paman," bujuk Bonang.

Mulanya Ludiro tidak ingin kembali ke Griya Teratai Wingit sebelum menemukan Lanang, entah hidup atau mati. Tetapi karena rupanya ada sesuatu yang penting, maka Ludiro pun harus menghadap ayah Kirana. Belakangan ini memang ayah Kira itulah yang dianggapnya sebagai pucuk pimpinan, menggantikan almarhum ayah Sekar Pamikat, yaitu: Patih Sambangbumi.

Sambil melangkah menuju Griya Teratai Wingit, Ludiro menanyakan sesuatu yang tadi dirasakan cukup ganjil.

"Bonang, tadi kau bilang bahwa Putri Bukit Badai itu telah kembali dua minggu yang lalu?"

"Benar, Paman." "Aneh."

"Apanya yang aneh?"

"Dua minggu yang lalu...?" Ludiro menggumam sendiri sambil melangkah. "Berarti aku sudah dua minggu berada di dalam goa itu, ya?"

"Satu bulan lebih satu minggu, Paman." "Hah...?!" Ludiro berhenti dan mendelik.

"Betul, Paman!" laki-laki tinggi, jangkung itu menegaskan jawabannya. "Paman berada di dalam goa itu sudah selama satu bulan lebih satu minggu."

"Gila! Rasa-rasanya aku baru berada sehari semalam di dalam sana! Sungguh!" Ludiro terheran-heran. Tapi Bonang kelihatan tenang-tenang saja dan tidak terkejut dengan hal itu. Ia bahkan tersenyum dan berkata menjelaskan:

"Memang begitulah keanehan goa tersebut, Paman Ludiro. Menurut cerita Rama Sabdawana, goa itu mempunyai keanehan tidak hanya satu-dua saja. Tapi banyak. Dan kalau kurang beruntung, orang dapat mati terkena udara beracun di sana. Satu di antara dari sekian keanehan adalah yang Paman alami sendiri itu. Sepertinya hanya sebentar berada di dalam goa, namun sebetulnya waktu di luar goa sudah berjalan lebih cepat lagi. Bahkan menurut perkiraan... ini hanya perkiraan saja, bahwa goa itu bisa menembus ke Tebing Neraka jika tidak salah lorong."

"Oooo... ya, ya, ya..." Ludiro mengangguk-angguk. "Dan, kalau kita berada di dalam goa itu, perut kita

terasa selalu kenyang, juga tahan haus."

"Benar, Bonang. Aku juga begitu. Aku rasakan sendiri bahwa selama ini, kalau memang benar aku sudah berada selama satu bulan lebih satu minggu, aku tidak pernah lapar tidak pernah haus, dan tidak mengantuk."

"Ya, begitulah, Paman. Katanya lagi, semua penyakit dapat beku bila berada di dalam goa itu. Artinya, tidak bertambah parah, tapi juga tidak bertambah baik. Tetap. Tenaga kita pun akan tetap. Nyala api "

"Juga tetap, kan?" sahut Ludiro. "Aku pernah mengalaminya. Pernah sekali. Sebatang ranting ku bakar dan apinya tak pernah padam, padahal kata Lanang aku sudah beberapa hari berada di dalam goa itu. Wah, sungguh aneh goa itu. Sepertinya tak punya waktu. Tak ada hari di sana. Mungkin kita bisa awet muda jika mau tinggal di dalam Goa Malaikat walaupun selama seratus tahun, ya?" "Mungkin begitu, Paman. Tapi, tentunya tinggal di kedalaman goa, bukan di bagian dekat mulut goa itu."

Ludiro manggut-manggut merenungi keanehan Goa Malaikat. Tanpa disadari, mereka sudah sampai di pintu gerbang Griya Teratai Wingit. Seorang lelaki berambut uban telah berdiri di pintu gerbang dengan didampingi dua pengawal lainnya.

"Saya mendengar kabar dari Bonang, katanya Rama memerlukan saya untuk datang ke mari? Betulkah itu, Rama?" kata Ludiro dengan sopan dan penuh hormat.

"Ya. Mari ke dalam, Ludiro," kata Sabdawana yang lebih tua ketimbang Ludiro.

Sabdawana membawa masuk Ludiro ke sebuah kamar, namun mereka hanya berada di pintu, tidak masuk sampai di ranjang. Sementara di ranjang mata Ludiro terbelalak melihat Kirana yang pucat pasi bagai kan mayat. Tubuhnya sangat kurus dan matanya cekung. Bibirnya yang dulu ranum dan sensual, kini membiru dan beku. Sorot matanya nyaris bukan milik Kirana Sari lagi

"Paman..." ia menyebut sepotong nama itu dengan suara yang sangat lemah. Hampir tak terdengar oleh Ludiro.

Meratap hati Ludiro melihat kenyataan itu. perih dan terharu rasanya memandang keadaan Kirana yang sedemikian parah. Ludiro sendiri bertanya-tanya dalam hati; apa gerangan yang membuat Kirana menderita sedemikian parah? Racun lagi?

"Mendekatlah, Ludiro..." bisik Sabdawana.

Maka, Ludiro pun mendekati Kirana yang terbaring bagai tidak mempunyai tenaga lagi itu. Dalam jarak satu jangkauan lebih Ludiro berhenti dan membungkukkan badan, memberi hormat sebagai seorang hamba.

"Lanang bagaimana, Paman?"

Semakin pedih rasa hati Ludiro mendengar pertanyaan itu. Dengan hati-hati Ludiro menjawab:

"Sementara ini, Lanangseta memang belum kami. temukan, Putri. Tetapi, dalam waktu dekat ia pasti akan pulang. Dia memang senang mempermainkan saya, Putri."

"Tapi dia pasti pulang.... kan?" pertanyaan ini terlontar dengan suara parau.

Dengan tegas, seakan yakin betul, Ludiro mengangguk.

"Pasti! Saya berani bertaruh nyawa..."

Kirana yang sayu, Kirana yang pucat, kini menghempaskan nafas bagai dalam kelegaan yang semu. Ia berkata tanpa berpaling memandang Ludiro, "Kabari aku jika ia telah terlihat jalan di seberang jembatan, Paman."

"Tentu. Tentu saya akan segera datang mengabarkan hal itu dan kita akan menjemputnya segera, Putri." Sebenarnya Ludiro tak habis pikir, apa sebab Kirana sebegitu parah? Hanya karena rindukah ia bisa menjadi separah itu? Ah, terlalu mengada-ada, pikir Ludiro. Tetapi ia segera menanyakan kecurigaan hatinya itu kepada ayah Kirana. Waktu itu, mereka berada di halaman belakang, pada sebuah taman kecil yang dihiasi dengan bebatuan indah. Banyak tanaman bunga di sana, walau sebenarnya tanah yang ada adalah tanah cadas putih, tapi ada tanaman bunga khusus yang bisa tumbuh di tanah cadas seperti itu.

"Apakah ada racun yang mengganas di dalam tubuh Putri, Rama?" tanya Ludiro dengan menyebut kata 'Putri' sebagai ganti kata 'Kirana'.

Sabdawana, laki-laki yang kelihatan berwibawa, punya kharisma dan berhati bijak itu menghela nafas dengan berat. Sepertinya saat itu hatinya sedang mengeluh dalam memprihatinkan keadaan putrinya.

"Mungkin racun yang tak dapat ditawarkan lagi, Rama?" desak Ludiro, dan Sabdawana menjawab lirih:

"Semacam itu..." "Semacam racun?"

"Ya. Dan penyakit itu di luar kebisaan ku, Ludiro."

Ludiro mengerutkan dahi dan berpikir beberapa saat. Lalu, setelah mereka bungkam beberapa saat, Sabdawana berkata lagi dengan suara berat:

"Leluhur ku mempunyai sebuah ilmu yang namanya dipakai oleh nama anak itu. Jika ada yang menyebutkan nama itu, maka akan datang, badai besar, alam mengamuk seperti hendak kiamat. Ilmu itu hanya milik keluarga kami, dan sekarang seolah-olah mutlak menjadi milik anak itu. Kalau dia mati, maka ilmu itu pun akan mati..."

"Ck, ck, ck... begitu hebatnya ilmu itu, Rama,"  ucap Ludiro dengan kagum.

"Ya. Tapi ada pan tangannya."

Alis Ludiro semakin beradu, berkerut ingin tahu.

Sabdawana berkata lagi:

"Dia tak boleh jatuh cinta pada seorang lelaki, dalam arti yang sebenarnya. Dia boleh mengasihi seorang lelaki, boleh mencintai, tapi tidak boleh terlalu dalam. Jika ia benar-benar mencintai seorang lelaki, maka hatinya akan diperbudak oleh cinta. Jika hatinya dikuasai oleh cinta, maka ia akan mengenal rindu. Nah, sebenarnya yang menjadi pantangan keras baginya adalah rindu. Rindu terhadap seorang lelaki, itu yang dapat menghancurkan dirinya."

"Rindu...?!" Ludiro bersungut-sungut kebingungan. "Ya, rindu! Memang sulit untuk menjelaskannya, Ludiro... Tetapi pada pokoknya, jika ia rindu dan sampai meratap di dalam hati, maka dirinya akan hancur dimakan ilmunya sendiri. Dia akan segera mati jika tidak bertemu dengan Lanangseta. Sebab itu, dari dulu

ia tak pernah mau jatuh cinta pada siapa pun." "Aneh..." gumam Ludiro yang didengar Sabdawana. "Memang aneh, tapi itulah kenyataan hidupnya. Kerinduan jelas akan menyiksa hati. Jika hati rindu setengah mati, maka ia akan meratap. Unsur rindu itu sendiri sebenarnya ungkapan lain dari nafsu birahi yang terpendam. Nah, di dalam darahnya, nafsu birahi yang terpendam itu akan mengendap dan lama-lama akan meracuni dirinya. Meracuni darah itu, lalu darah beredar ke seluruh tubuh dan menghancurkan tubuhnya. Racun semacam itu, Ludiro... belum pernah kutemukan obatnya. Kecuali mempertemukan dia dengan lelaki yang dirindukan. Sekalipun tanpa melalui hubungan badaniah, dengan bertemu lelaki yang dirindukan, lalu dipeluk dan dicium, secara dengan sendirinya nafsu birahi itu mulai luntur, lalu tawar. Tidak menjadi racun lagi. Jadi racun semacam itu, adalah racun yang paling berbahaya bagi dia. Kalau sampai Lanangseta ternyata mati, lantas ke mana ia harus memperoleh obatnya?"

"Apakah... apakah dia sendiri tidak tahu ke mana Lanang berada?"

Sabdawana menggeleng. "Dalam keadaan seperti itu, sudah jelas ia telah kehilangan kontak batin dengan kekasihnya."

Sekali lagi Ludiro manggut-manggut dengan mulut ternganga mendengar keterangan dari ayah Kirana.

"Kalau dia tidak kehilangan kontak batin, dia akan dapat berbicara dari jarak jauh dengan Lanangseta, akan dapat bermesraan dalam jarak jauh. Tetapi sekarang ia bukan tidak mau melakukan, tapi ia telah kehilangan kontak batin itu. Dan biasanya..." Sabdawana terbungkam sesaat, sepertinya berat untuk mengemukakan sesuatu. Namun, akhirnya ia katakan juga karena Ludiro tampak menunggu dan segera ingin tahu:

"Biasanya jika sudah begitu itu suatu pertanda, bahwa... kekasihnya telah tiada. Mati."

"Tidak!" tiba-tiba Ludiro tersengat telinganya dan ia menjadi garang. "Tak ada yang sanggup membunuhnya sebelum orang itu mampu melangkahi mayat saya, Rama."

"Sabar, tak perlu sekeras itu kemarahan mu. Ada yang perlu kita lakukan untuk itu, Ludiro."

Ludiro menghempaskan nafas, mencari ketenangan dalam hatinya. Kemudian ia berkata dengan tegas:

"Berikan perintah pada saya, saya akan kerjakan sekarang juga!"

"Ludiro... aku akan mencarinya melalui rohku. Aku akan masuk ke kamar dan bersemadi. Mudahmudahan dengan cara begitu aku bisa melacak di mana Lanangseta. Tetapi aku minta bantuanmu, berjagajagalah di sini. Jangan ke mana-mana. Jangan jauhjauh dari Griya Teratai Wingit ini. Kau yang kutugaskan menjagaku, sekaligus menjaga keamanan di sini. Usir siapa saja yang ingin menemuiku, dan atasi jika ada yang hendak membuat keonaran di sini. Mengerti?"

"Mengerti. Saya mengerti, Rama. Dan saya akan jalankan tugas itu dengan senang hati...!"

Memang aneh penyakit Kirana itu. Ada-ada saja penyakit semacam itu, pikir Ludiro. Kerinduan, cinta, birahi, ternyata mampu menghancurkan diri seseorang jika tak mampu mengendalikannya. Tapi syukurlah, sekarang ayah Kirana sudah masuk ke dalam kamar. Ludiro berharap mudah-mudahan ayah Kirana dapat menemukan di mana Lanangseta berada. Mudahmudahan roh Sabdawana dapat lebih teliti mencari letak kedudukan Lanangseta saat ini. Sementara itu, Ludiro merasa bertanggungjawab terhadap keamanan di tempat itu.

*

*  *  * 5

JAUH di lereng bukit, yang konon bernama Bukit Dewa, seorang pemuda tampan berbadan tegap, kekar, sedang asyik memandang tepian jurang yang dalam. Tetapi sesungguhnya saat itu ia hanya menggunakan kesempatan yang ada. Kesempatan untuk melamun, setelah sekian lama ia melupakan seorang perempuan yang sangat menggetarkan hatinya. Kirana Sari! Itulah yang sedang terlintas dalam ingatan Lanangseta di Bukit Dewa.

Sebenarnya ia ingin meratap karena kerinduan yang baru disadari saat ini. Namun, ingatannya pun kembali melayang pada wajah Prabima, pemuda bertampang imut-imut, ganteng dan berbibir ranum yang amat mengganggu kerinduannya. Ia masih ingat saat terakhir bertemu dengan Prabima, pada malam sebelum ia pingsan dan dibawa oleh si Tongkat Besi. Yang terngiang adalah kata-kata Prabima:

"Mungkin dia memang mencintaimu, tapi tidak sampai meresap di dalam hatinya... malam ini ia telah menyerahkan keperawanannya kepadaku, lalu menyuruhku untuk melukaimu kembali... perkawinanmu akan tertunda, dan itu kesempatan bagi dia untuk memuaskan diri bersamaku..."

Gemertak gigi Lanangseta, dan menggenggam kuatkuat kedua tangannya. Kalimat itu sekarang terngiang lebih dari tiga kali. Padahal selama ia tinggal di situ, ia tak pernah sempat terngiang kalimat tersebut. Dendam dan kemarahan tersembur dari nafas Lanangseta. Sudah cukup lama ia tinggal bersama si Tongkat Besi, sudah tiba saatnya untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya kepada Prabima. Namun, kemudian dia ingat, bukankah Prabima hanya menuruti perintah Kirana? Bukankah itu berarti Kirana yang mengkhianati cintanya? Uuh...! Keji! Sungguh keji hati Kirana. Licik! Jadi, untuk apa ia harus marah dan mendendam kepada Prabima, kalau toh Kirana sendiri dengan suka rela menyerahkan keperawanannya kepada Prabima? Bangsat! geram Lanangseta.

Sebuah pukulan tongkat begitu keras disabetkan ke arah kepalanya. Lanangseta dengan tenang, tetap memandang dasar jurang berair jernih, tetap bicara mengumpat dalam hati, namun tangan kanannya dengan gesit melintang ke atas kepala.

"Plak..." Tongkat dari besi itu tertangkap oleh tangan Lanangseta sekalipun ia tidak melihat dan bahkan sedang melamunkan sesuatu.

Lalu sebuah tendangan menyusul menyerangnya dari belakang. Lanangseta masih melamunkan kekejian Kirana, namun tubuhnya meliuk ke samping kiri, dan tendangan kaki itu melesat di samping kanannya, mengenai tempat kosong. Itulah perkembangan kecil ilmu yang diperolehnya. Tanpa berpikir anggota tubuhnya sudah bergerak sendiri menghindari bahaya. Wajah penyerang tua tampak cerah. Terkekeh-kekeh sesaat. Lanang pun berpaling.

"Apa yang sedang kau lamunkan, ha?" tegur si Tongkat Besi.

Lanang masih memperlihatkan wajah yang murung. Ia berjalan ke pondok seraya berkata:

"Perempuan yang mengkhianatiku, Kek...!"

"Itu yang bisa merusak jiwamu kalau terlalu kau pikirkan terus, Lanang." Setelah berkata demikian, Tongkat Besi melemparkan sebatang kayu sebesar satu pelukan. ia melemparkan dari arah belakang Lanangseta. Dengan cepat Lanangseta tahu-tahu melompat dan kakinya terentang. Ia menggunakan jurus tendangan kipas yang tepat mengenai batang kayu besar itu. Dalam waktu kurang dari sekejap, batang kayu itu berubah menjadi serbuk halus, lebih halus dari gula pasir. Dan Tongkat Besi manggut-manggut.

"Sudahlah jangan pikirkan dulu... mari kita berlatih jurus Pedang Suralaya..." ujar Kakek tua.

"Bukankah aku sudah menguasai jurus pedang yang kemarin kau ajarkan itu?"

"Itu jurus pedang Gegana Sakti. Kali ini lain. Kalau jurus pedang Gegana Sakti dapat menebas dari jarak sepuluh langkah dari benda yang akan kau potong, jadi seperti kau bermain pedang sendiri namun sebenarnya kau sedang membabat musuhmu dan ia akan mati. Tetapi pedang Suralaya berbeda, Lanang."

"Apa itu perlu? Dan apa ada keistimewaannya?"

"O, iya. Perlu dan ada keistimewaannya. Kau tak perlu menancapkan pedang itu ke tubuh lawan. Cukup menyentuhkan ujungnya pada bagian tubuh lawanmu. Maka ia akan mati seketika."

"Ah, itu biasa, Tidak istimewa. Di mana letak istimewa nya? Malahan lebih hebat jurus pedang Gegana Sakti," kilah Lanangseta menyepelekan. Tongkat Besi hanya tersenyum.

"Kelihatannya memang tak ada keistimewaannya, tapi lihatlah contoh yang akan kumainkan..."

Kemudian Tongkat Besi mengambil pedang tiruan, yang dibuat semirip mungkin dengan pedang Wisa Kobra. Baik bentuk, bahan, dan beratnya, sama persis, Hanya bedanya, kalau pedang Wisa Kobra dapat untuk memotong besi, apalagi kayu. Tapi kalau pedang tiruan itu tak dapat untuk memotong rumput sekalipun. Lanangseta sempat terkejut ketika Tongkat Besi menyerahkan pedang tiruan itu. Bahkan ia heran, begitu pintarnya Kakek tua itu dalam meniru sebuah benda.

Waktu itu, Tongkat Besi berkata, "Kau harus berlatih untuk menggunakan pedang yang sama persis dengan pedang Wisa Kobra; baik beratnya, panjangnya, bentuknya, bahannya, harus sama persis supaya kau tidak ada kejanggalan jika kau bermain dengan pedang Wisa Kobra yang sebenarnya "

Itulah tujuan Tongkat Besi yang diakui Lanangseta sebagai orang cerdik terselubung kesederhanaannya.

Seperti saat itu, Wisa Kobra yang ash ada di tangannya, sedangkan yang palsu diberikan kepada Lanangseta. Lalu, Tongkat Besi memainkan jurus Pedang Suralaya dengan gerakan yang masih asing bagi Lanangseta. Tubuhnya meliuk ke kiri, lalu melangkah maju, meliuk ke kanan, lalu membalik lagi dan menusukkan pedang itu ke batang pohon.

"Deep...!" Ujung pedang bagai menyentuh pohon, tanpa harus terbenam sedikitpun. Kemudian pohon jati kecil itupun roboh dengan menimbulkan bunyi gemuruh. Tongkat Besi tersenyum memandang Lanangseta yang masih tenang berdiri memperhatikannya. Ia menunjuk pada pohon yang roboh. Tapi Lanangseta hanya mencibir, menyepelekan kehebatan jurus itu. "Kuno " ejeknya.

Tapi beberapa saat kemudian mata Lanangseta membelalak lebar. Ternyata pohon yang ada di belakang pohon pertama itu ikut roboh juga. Menyusul pohon ketiga, dan pohon keempat yang berjarak sekitar enam langkah dari pohon ketiga. Terbengong mulut Lanangseta menyaksikan satu tusukan ujung pedang namun mampu merobohkan tiga pohon yang ada di belakang pohon pertama.

"Kuno, bukan?" sindir Tongkat Besi dengan sinis. "Kalau kau tak berminat, ya sudah... tak perlu kuajarkan!"

"Aku berminat!" jawab Lanangseta cepat. Dan Tongkat Besi terkekeh menertawakan semangat Lanangseta.

"Lakukan dengan pedang palsu itu... gerakannya harus mantap dan konsentrasikan pikiranmu pada ujung pedang. Tak perlu keras mendorongnya, cukup ujungnya kau sentuhkan pada benda yang kau tuju, maka benda yang ada di belakangnya akan ikut tertusuk, asal masih dalam jarak 15 langkah dari benda yang kau tusuk pertama itu."

Dengan tekun Lanangseta berlatih jurus Pedang Suralaya, Memang, Tongkat Besi mempunyai banyak ilmu, termasuk ilmu pedang beraneka ragam. Belum lagi sebegitu banyak ilmu tenaga dalam yang dahsyatdahsyat, yang ternyata dapat diselesaikan oleh Lanangseta dalam waktu singkat. Itu bukan lantaran Lanangseta punya otak cerdas, melainkan karena bantuan unsur hidup yang ada pada Tongkat Besi telah mengalir dalam jiwa Lanangseta, sehingga semua itu bagai sebuah ulangan dari pelajaran yang pernah dilupakan saja.

Tanpa menggunakan daya pengalihan unsur hidup yang ada pada diri Tongkat Besi, maka ilmu sebegitu banyak hanya akan rampung dalam tempo 200 tahun. Tetapi kali ini Tongkat Besi pun gembira, karena dapat menurunkan semua, hampir semua, ilmunya kepada Lanangseta dalam waktu kurang dari 2 bulan. Ini pun di luar dugaan Tongkat Besi sendiri.

Semua terjadi di luar dugaan. Lanang sendiri tidak menyangka kalau ia akan tertarik dan sangat antusias dalam mempelajari semua ilmu pemberian Tongkat Besi. Ilmunya aneh-aneh, dan menghadirkan banyak kejutan. Sebab itulah Lanang menjadi betah dan hanyut dalam keasyikannya mempelajari ilmu yang diturunkan kakek berjubah kuning itu.

Dan suatu kehebatan lain yang mengherankan Lanang adalah, bahwa selama ini dia tidak pernah tidur, tidak pernah merasa letih dan ngantuk. Istirahat boleh dibilang tidak pernah. Makan sambil mempelajari gerakan jurusjurus yang akan dipraktekkan sehabis makan nanti. Mandi sambil mendengarkan petunjukpetunjuk yang akan dilatihnya nanti, dan begitu seterusnya, pagi, siang, sore dan malam hari. Sehingga sesekali Lanangseta lupa bahwa semua itu telah dicapainya dengan kemustahilan yang menjadi nyata.

Seperti pagi ini, setelah Lanangseta berlatih ilmu yang mampu menghentikan gerakan air terjun secara mendadak, ia kembali ke pondok. Di pondok, ia telah disambut oleh 'gurunya' yang eksentrik itu.

"Bagaimana? Sudah bisa menghentikan jalannya air berapa helaan nafas?" tanya Tongkat Besi.

"Sudah mencapai sembilan puluh kali helaan nafas, Kek."

"Yah... lumayan lah. Nah, sekarang kita berlatih jurus Pedang Pamungkas Dewa. Ingat, kau hanya boleh menginjak tanah dua kali selama pertarungan Je-

las?!"

"Jelas, Kek."

"Kemarin kau empat kali menginjak tanah. Sekarang jangan lebih dari dua kali. Nan, ambil pedangnya dan kita pergi ke lereng atas. "

Lanangseta bergegas mengambil dua pedang. Lalu mereka berdua pergi ke lereng atas, di mana ada tanah sedikit lega dan pepohonannya berjarak cukup jauh dari pohon yang satu ke pohon yang lain.

"Pilih, kau mau pakai pedang yang mana?!" kata Tongkat Besi.

Lanangseta cukup hati-hati sekali memilih kedua pedang itu. Sebab salah-salah ia memakai pedang  yang asli dan dapat mengenai gurunya betulan, wah...

repot. Lanang tak ingin membunuh Kakek tua itu, apapun alasannya ia tak mau sampai terjadi begitu. Lebih baik dia yang dibunuh daripada harus membunuh gurunya.

"Yang, ini, Kek..." kata Lanang setelah ia memilih pedang yang palsu.

"Baik. Mari kita mulai " Lalu Tongkat

Besi melompat dan kakinya menginjak dedaunan semak, begitu juga Lanangseta, ia sudah terbiasa menginjak dedaunan semak tanpa harus membuat daun itu melengkung sedikit pun.

"Lanangseta...!" kata si Tongkat Besi. "Jika kau berhasil kali ini, kau patut menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti "

Lanangseta tersenyum bangga, ia yakin bahwa ia akan berhasil sesuai dengan ketentuan yang dikatakan gurunya tadi, tidak boleh menginjak tanah lebih dari dua kali. Itu patokan yang diingat Lanangseta.

Tongkat Besi berdiri di atas dedaunan semak tanpa membuat daun itu melengkung sedikit pun. Lalu dengan tangan kiri bertolak pinggang, ia berkata:

"Sebaiknya kau memakai pedang yang ini saja, Lanang."

"Tidak. Aku pakai pedang yang sudah kupegang pegang ini!" jawab Lanangseta dengan tegas. Tongkat Besi tersenyum mencurigakan. Tapi Lanangseta memperhatikan pedangnya lagi. Ia telah memberi tanda secara diam-diam pada pedang palsunya dengan seutas benang tipis pada lingkaran di bawah kepala kobra, di gagang pedang itu. Dan pedang yang dipegangnya saat itu mempunyai benang tipis, warna hitam, tepat di bawah kepala kobra pada bagian gagangnya. Berarti pedang itu adalah pedang palsu. Tetapi ia jadi ciut nyalinya setelah Tongkat Besi berkata:

"Ini latihan terakhir, Lanang. Kau tak boleh mainmain. Ingat, hanya pedang Wisa Kobra yang asli yang akan dapat menembus tubuhku. Jika pedangmu itu asli, maka kau hari ini juga akan berhasil membunuhku, dan aku sangat berterima kasih kepadamu. Tetapi kalau ternyata pedangku ini adalah Wisa Kobra yang asli, aku mohon maaf... karena itu berarti aku yang akan membunuhmu. Tak boleh ada rasa menyesal di antara kita. Aku tidak akan menyesal membunuhmu, kalau memang kau yang terbunuh, dan kau tak boleh menyesal jika kau yang ternyata membunuhku."

"Tunggu...! Jangan begitu, Kek. Aku "

si Tongkat Besi tidak menghiraukan lagi ketegangan di wajah Lanangseta. Tubuhnya yang kerempeng itu melesat cepat bagaikan anak panah. Pedang di tangannya menjurus ke tubuh Lanangseta, dan Lanangseta takut terkena. pedang itu, karenanya ia melompat tinggi, hingga mencapai dahan pohon besar. Ia mau bicara sesuatu, namun dari belakang datang serangan tak diduga cepatnya.

"Trang !!"

Ia menangkis pedang yang dibabatkan oleh Tongkat Besi dengan hanya menggerakkan pedangnya ke belakang. Kaki Lanangseta maju ke depan, gerakannya seperti hendak melompat ke bawah. Namun sebenarnya kaki yang masih menginjak dahan pohon itulah yang tahu-tahu menendang ke belakang sambil ia bersalto di udara. Tendangan kaki Lanangseta mengenai perut Tongkat Besi. Ia terhempas seperti pohon kering ditiup angin. Tetapi posisi jatuhnya begitu indah. Kelebat jubah kuningnya bagai sayap garuda menghampiri sarangnya. Kaki Tongkat Besi menginjak pada selembar daun, sedangkan Lanangseta bagaikan cicak, kakinya menempel pada batang pohon yang berdiri tegak. Agaknya Tongkat Besi ingin mengadakan serangan balasan setelah ia berhasil ditendang Lanangseta.

Dengan sekali loncatan bagai harimau terbang, ia mengarahkan pedangnya ke dada Lanangseta.

"Heeeaaaahh...!!" Teriakan itu begitu keras dan membuat Lanangseta gugup sedikit, lalu ia bersalto di udara menghindari tusukan pedang Tongkat Besi.

"Traang...!"

Pedang mereka beradu. Anehnya tak ada yang patah salah satu. Pada saat mereka mengadu pedang, tangan kiri Tongkat Besi sempat memukul wajah Lanangseta dengan kerasnya, sehingga Lanang menjadi limbung, namun cepat menjejakkan kaki ke pohon lain. Maksudnya supaya ia jangan sampai jatuh ke tanah dan menginjak tanah. Tubuh yang melesat dalam kesakitan wajah itu disambut dengan meluncurnya tendangan miring oleh si Tongkat Besi. Lanangseta menghindari tendangan yang membahayakan itu. Tetapi pada saat ia menghindar, pedang si Tongkat Besi menyambar kepalanya, "wesss..." Kepala Lanang buruburu merunduk, dilangsungkan dengan gerakan saltonya. Lalu sebelum kaki Lanang sempat menyentuh tanah, ia telah menyentuh ranting kering dan dengan bantuan ranting kering itu tubuhnya dapat melesat naik lagi. Sementara itu, pedang Tongkat Besi berhasil menyentuh tanah, dan dengan tenaga tangan ia meletik ke udara.

Pada saat tubuh Tongkat Besi meletik ke udara, bertepatan dengan itu, tubuh Lanangseta sedang melayang melalui depannya dan ia mengibaskan pedang palsu itu sekuat tenaga agar dapat menjatuhkan tubuh Tongkat Besi. Pedang berhasil mengenai tubuh Tongkat Besi dan Kakek tua itu berseru:

"Aaauuhh...!!" '

Lalu tubuhnya benar-benar jatuh ke tanah dalam keadaan telentang. Lanangseta terbelalak kaget. "Kakekkk...?!"

Perut Tongkat Besi robek total, isi perutnya menghambur ke luar. Lanangseta menjerit sekali lagi setelah memperhatikan pedangnya berlumuran darah dari ujung sampai sebatas gagang. Merah segar warnanya.

"Kakek...?! Kakek, kau terluka betulan...?!"

Tongkat Besi tersenyum, lalu tertawa terkekehkekeh sambil menyeringai kesakitan.

"Aku berhasil!! Aku berhasil...! He, he, heee...!" Kakek tua itu bahkan tertawa dan senang melihat perutnya amburadul mengerikan begitu. Lanang segera mengangkat kepala Tongkat Besi dengan wajah ngeri dan menegang. "Kek... maafkan aku...?! Kenapa yang kupakai itu jadi pedang Wisa Kobra yang asli...? Oh, aku tidak tahu, Kek...!"

"Lanang... aku telah menukar benang yang kau pakai tanda pada gagang pedang palsu ke pedang yang asli. Jadi yang kau pilih itu sebenarnya pedang Wisa Kobra yang asli. Dan dengan cara begini kau akan bisa membunuhku...! Tapi ingat, aku mati secara kesatria lho.... Ingat itu. Dan, dan..." Tongkat Besi tak menghiraukan ratapan Lanangseta. Ia meraba tangan Lanangseta dan berjabat tangan dengan muridnya, sekaligus pembunuhnya.

"Terima kasih. Terima kasih, Lanang.... Kini citacitaku ratusan tahun ini telah berhasil. Aku dapat mati... ya, dapat mati walau harus melalui pedang dan tanganmu...!"

"Kek, kau keterlaluan! Kau gila!" bentak Lanangseta jengkel sendiri.

"Ingat, jangan menyesal! Aku tadi sudah... sudah katakan sebelumnya...! Karena penyesalan itu seperti halnya sebuah borok! Mau diapakan lagi kalau memang sudah borok! Dipulihkan kembali? Toh tetap meninggalkan bekas...! Hey, lihat pedangmu itu, banyak darahnya...!"

"Persetan dengan kata-katamu!" bentak Lanangseta dalam kesedihan dan penyesalannya. Ia berusaha mengangkat tubuh Tongkat Besi, namun kewalahan karena tubuh itu nyaris terpotong menjadi dua bagian. "Mau dibawa ke mana aku? Tak usah repot-repot,

Lanang."

"Kau harus disembuhkan, Kek. Harus...!"

"Mana bisa.... Kamu masih kalah sakti denganku. Kamu belum menguasai semua cara pengobatan. Ada lima cara yang belum kuajarkan kepadamu dan merupakan simpanan ku, salah satu di antaranya adalah pengobatan sakit seperti yang ku derita saat ini. Oohh... usus ku keluar. Brodol! He, he..."

Geram dan kebingungan membuat Lanangseta benar-benar stres. Ia mencari-cari akal untuk membawa Tongkat Besi ke pondok, namun tidak ketemu. Otaknya bagai beku.

"Sudahlah..." ucap Tongkat Besi dengan suara semakin pelan dan tubuh melemas dalam kepucatan yang pasi. "Tak usah repot-repot membawa... ku. Kita... kita ngobrol sebentar di sini, sebelum ajalku selesai... Ini pesan gurumu yang terakhir, Lanang..."

Akhirnya Lanangseta tak dapat berbuat apa-apa kecuali menuruti pesan guru yang terakhir kali. Barangkali dengan mendengarkan pesan guru itulah yang bisa menggantikan ungkapan rasa sesalnya.

"Lanang...! Pedangmu itu berdarah. Bersihkan dengan lidahmu. Lekas, sebelum menjadi kering "

Lanangseta buru-buru melaksanakan perintah gurunya. Tanpa ada rasa jijik kecuali sedih, ia menjilati darah yang berlumuran di sekujur pedang. Tetapi anehnya, pedang itu masih saja berlumur darah walau telah dijilat berulangkali. Terdengar suara Tongkat Besi terkekeh-kekeh pelan. "Cukup, jangan habiskan. Pedang itu tetap akan merah dan mempunyai kekuatan tersendiri. Sekarang, lemparkan pedang itu ke tempat semak-semak itu."

Lanang melemparkan tanpa banyak berpikir. "Panggil namanya...!"

Lanang berseru tertahan kepedihan, "Wisa Kobra...!" Lanang tak dapat berseru keras. Namun tibatiba dari semak itu muncul pedang Wisa Kobra yang segera meluncur sendiri ke arah Lanangseta, dan tangan Lanang segera menangkapnya dengan sigap. Matanya yang memerah menahan kesedihan itu sempat terbelalak sedikit karena heran dan kagum. Tetapi Tongkat Besi yang mulai sekarat itu masih berusaha menertawakan Lanang, walau pelan dan serak.

"Kau telah menjadi seorang kesatria tangguh. Pendekar hebat yang boleh menyandang gelar pemberianku... Malaikat Pedang Sakti... Pedang Wisa Kobra, tetap akan berwarna merah, karena di situlah pangkal dari kehidupanku yang panjang. Di pedangmu itulah akhir dari perjalananku yang jauh     Kuburkan aku di

belakang pondok itu... Oh, aku capek. Dingin. Dan...

oh... oh ya... kuminta... kuminta jangan    jangan susul

aku, ya...? Selesaikan dulu tugasmu di dunia ini, lalu... lalu... ah, aku lemas...." Lalu suaranya menghilang, mulutnya ternganga, bibirnya bergerak-gerak pelan. Mata Tongkat Besi semakin redup. Lanang memandangnya dengan hati ditabah-tabahkan. Mata itu kian redup, sayu... lalu terpejam pelan-pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Dan... nafasnya terhempas habis lewat lobang hidung.

"Guru...?! Guru...!" suara Lanangseta mulai gemetar menahan derai tangis dan keharuan atas kepergian seorang guru. Ia mendekap kepala Tongkat Besi. Mendekap kuat-kuat seperti bagian dari hidupnya sendiri. Namun ia juga menahan kuat-kuat air mata yang mendesak di pelupuk mata.

Angin pun bertiup deras. Matahari tertutup mega hitam. Mendung. Lalu, tak lama kemudian hujan pun turun membasahi mayat Tongkat Besi dan muridnya yang masih tenggelam dalam kesedihan. Petir menyambar sesekali. Dedaunan serempak melambai, bagai mengucapkan selamat jalan kepada kakek berjubah kuning itu. Selamat jalan, selamat menempuh kelanggengan hidup yang ia cita-citakan selama ini.

Menjelang sore, Lanangseta memakamkan jenazah gurunya yang nyentrik itu di belakang pondok. Kemudian ia berkabung selama tiga hari di pondok itu sendirian. Sesekali ia memandangi pedang Wisa Kobra yang asli, dan pedang itu masih berwarna merah. Darah mengering, namun justru membuat mengkilat. Terbayang di pelupuk mata Lanang saat pedang itu beradu dengan pedang di tangan gurunya. Siapa sangka kalau justru pedang di tangan guru itu yang palsu. Kalau saja saat itu Tongkat Besi tidak menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya, pasti pedangnya telah patah ditebas Wisa Kobra yang asli. Semua itu sengaja dilakukan kakek tua untuk menjebak pikiran Lanangseta yang bertekad tak mau membunuh gurunya.

Bagaimanapun lihainya seorang murid, tetap masih kalah pintar dengan gurunya. Dan kenyataan itu dihadapi sendiri oleh Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi yang kini menyandang gelar baru: Malaikat Pedang Sakti. Apa yang terjadi, seperti sebuah kepastian yang tak dapat diingkari. Dewa yang terusir dari Suralaya, telah mengetahui di mana letak akhir hidupnya. Dan kepada Lanang setelah ia menurunkan ilmunya walau sebenarnya Lanangseta sendiri takut menanggung resiko yang telah terjadi itu: yakni membunuh gurunya.

Tetapi penyesalan memang seperti borok, yang apabila kering tetap meninggalkan bekas. Jadi, Lanangseta berkeras hati untuk tidak menelan penyesalan. Ketika ia melangkah meninggalkan pondok di lereng Bukit Dewa, ia telah menyimpan penyesalan itu di lubuk jiwanya, dipendam bersama kemelut yang akan dihadapinya nanti.

Ia teringat kepada Kirana, tapi ia juga teringat kata-kata Prabima. Kirana sudah tidak perawan lagi. Kirana telah mengkhianati cintanya. Kirana kejam dan tak tahu bagaimana cara kasihan kepada orang lain. Bagi Lanangseta, Kirana perlu belajar mengenai kasih.

Tapi benarkah sejauh itu kekejaman Kirana? Benarkah ia telah menyerahkan keperawanannya kepada Prabima? Lanang dalam kebimbangan. Ia sendiri tak tahu apakah Kirana saat ini sudah menikah resmi dengan Prabima, atau pergi memuaskan diri bersama pemuda imut-imut itu? Tak tahu apakah Kirana Sari masih mempunyai cinta kepada Lanangseta?

Memang tak tahu bagaimana nasib Kirana yang telah terserang racun rindu itu, Lanang pun tak tahu? Apakah kepergian Kirana yang tergiur oleh cerita tentang lumut bercahaya itu juga bisa dipakai alasan bagi Lanang, untuk menuduh Kirana telah serong dan mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi dengan Prabima? Haruskah pemuda tampan berikut kepala kain emas itu dimusnahkan? Apakah Ludiro tak bisa menangani Prabima?

Malaikat Pedang Sakti dapat menjawab semua pertanyaan itu. Kisahnya sungguh membuat seseorang akan mengerti sulitnya melangkah dalam kebenaran dan kesucian.

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar