Serial Pendekar Cambuk Naga Eps 04 : Gerhana Tebing Neraka

1

DEBU beterbangan dan denting senjata tajam beradu semakin tiada hentinya. Seorang kakek berjenggot panjang memainkan tongkat besinya dengan gerakan cepat, ia menangkis pedang bermata dua yang dilancarkan ke arahnya. Bukan hanya pedang bermata dua yang ia layani, namun sebuah tombak bermata pedang pun sesekali ditangkisnya dengan gerakan meliuk-liuk.

Kakek berjenggot panjang berwarna putih kemerah-merahan itulah yang dikenal sebagai Si Tongkat Besi. Sedangkan kedua lawannya itu, sebelum mereka menyerang, mereka telah memperkenalkan diri sebagai Perampok Bergolo. Nama Perampok Bergolo cukup kondang kekejamannya. Mereka adalah: Naroma dan Mando. Keduanya dikenal sebagai manusia haus darah. Setiap bertemu dengan orang yang melintasi hutan Bergolo, mereka selalu tidak memberikan orang tersebut untuk bernafas seterusnya. Tak peduli lelaki atau perempuan, besar atau kecil, asal lewat kawasan hutan Bergolo, pasti mereka bunuh. Adakalanya mereka cincang mayat orang tersebut dan direbus untuk dijadikan santapan.

"Rupanya kau cukup tangguh juga, Kakek peot!" kata Mando dengan mengibaskan pedangnya ke arah perut si Tongkat Besi. Tetapi menangkisnya sambil mengayunkan kaki kanannya ke wajah Mando.

"Heaaat...!" pekik Naroma seraya meloncat dan menerjang Tongkat Besi. Pinggang kakek tua itu terkena tendangan Naroma hingga ia tersungkur ke depan. Tongkatnya segera menancap di tanah, dan kakek tua itu tak sempat roboh. Tubuhnya bagai ditopang tongkat besi berkepala monyet. Ujung tongkat yang berbentuk kepala monyet dari ukiran besi itu segera menyodok Naroma dengan gerakan balik yang cukup mengagetkan Naroma sendiri.

"Heeg...!" Naroma mendelik, dan ujung tongkat yang lain segera berputar ke atas lalu menghantam kepala Naroma. Lelaki berpakaian serba merah itu mengaduh sambil berjungkir balik di tanah. Senjata pedang bermata dua dari Mando menebas dari arah belakang kakek tua. Tapi dengan tanpa memandang lawannya, kakek tua itu menggerakkan tongkatnya, menyodok ke belakang dan tepat mengenai selangkangan Mando. Akibatnya, lelaki bercelana hitam dengan bajunya yang hitam pula itu menyeringai kesakitan. Ia sempat terpincang-pincang menjauhi Tongkat Besi.

Kakek tua itu terkekeh sebentar, sambil berdiri seenaknya menunggu serangan berikutnya. "Masa' perampok yang sudah kesohor kekejamannya cuma bisa mengaduh dan meringis? Ayo, keluarkan semua ilmu kalian, jangan sungkan-sungkanlah... aku siap menerimanya."

"Kakek sombong!" geram Naroma dengan sengit. "Terimalah jurus Tapak Braja-ku ini, hiaaat...!"

Kedua tangan Naroma terbuka, diarahkan ke kakek tua dengan satu gerak pukulan berganda. Tongkat Besi berdiri tegak, kedua kakinya sedikit merentang, dan kedua tangannya ditarik mundur, sehingga seakan ia menonjolkan dadanya. Dengan telak sekali kedua telapak tangan Naroma menghantam dada Tongkat Besi.

"Daab...!" Lalu keluarlah asap dari pukulan itu. Namun si Tongkat Besi yang berjubah kuning itu hanya terkekeh selagi kedua telapak tangan Naroma belum terlepas dari dadanya. Kakek tua itu malahan mengangkat pundaknya dengan tangan terbuka, seakan menyepelekan pukulan Tapak Braja tersebut.

Melihat temannya disepelekan oleh kakek tua, maka Mando buru-buru melepas senjatanya dan bergerak gesit mengerahkan tenaganya. Jurus yang dipakai hampir sama gerakannya dengan yang digunakan Naroma tadi. Hanya saja, Mando tidak membuka telapak tangannya, namun ada dua jari yang terlipat, jari kelingking dan jari manis. Kedua jari itu ditekuk sedang yang lainnya mengejang kaku. Kedua tangan yang berposisi demikian itu disodokkan dengan kuatkuat ke arah punggung kakek tua. "Jubb...!" Kedua jari dari masing-masing tangan Mando bagai membenam di punggung kakek tua. Asap tipis mengepul berwarna abu-abu. Saat itu pula, asap putih yang mengepul dari tangan Naroma masih terlihat menempel di dada kakek tua.

Si Tongkat Besi terkekeh-kekeh. Lalu menunggu sejenak, dan ia mencibirkan bibirnya dengan wajah kecewa. Mando dan Naroma segera mundur, mencabut pukulan andalan masing-masing. Mereka sama-sama memandang bengong dan terheran-heran. Mando mendekat Naroma dan berbisik, "Setan alas! Jurus andalan kita tidak membuatnya bergeming sedikit pun."

"Ada lagi?" tanya Si Tongkat Besi dengan sorot mata orang yang sedang kecewa. "Jangan jadi perampok kalau tidak bisa membunuh orang. Jadi penari sajalah " ejek Tongkat Besi dengan sinis.

Kedua perampok Bergolo itu semakin geram. Mereka merasa tidak dihargai sama sekali. Baru sekarang mereka menemukan lawan yang sama sekali tidak punya rasa takut atau pun ngeri terhadap mereka. Baru kali ini juga pukulan Tapak Braja Naroma sama sekali tidak berguna. Biasanya batu besar saja hancur oleh pukulan Tapak Braja, tetapi kali ini bahkan manusia tua seperti Si Tongkat Besi, benar-benar melebihi dari batu manapun. Bergeming saja tidak, malah sempat menyepelekan dan mengejeknya. "Gila! Orang macam apa dia?" pikir Naroma. Demikian pula Mando yang berbisik geram kepada Naroma: "Kita ketemu setan. Sukar dipercaya kalau pukulan Gempur Batu-ku tak punya kekuatan sama sekali buat menghancurkan si tua bangka ini! Bah!"

Tongkat Besi bersandar di pohon serapa berkata, "Yah... berembuklah dulu sana. Cari jurus yang bisa buat membunuh. Jangan cari jurus yang hanya bisa buat membakar jagung, Tidak hebat itu...!"

"Kurang ajar...!" geram Mando. "Kita serang dengan jurus Hujan Darah...!"

"Mari...!" jawab Naroma dengan gemas. Lalu keduanya memanfaatkan senjata masing-masing lagi. Jurus Hujan Darah mereka lancarkan, yaitu suatu jurus yang harus menggunakan senjata tajam, di mana masing-masing senjata telah dialiri tenaga inti. Gerakannya begitu cepat, keduanya mempunyai gerakan yang serupa. Kemudian mereka meluncur bagai sepasang kumbang terbang.

"Heaaat...!!"

Kakek tua itu malah an tenang-tenang saja, menonton gerakan mereka yang meluncur bagai kumbang hendak menyerbu kelopak bunga. Kakek tua itu hanya memegangi tongkat besinya dan menundukkan kepala bagai mendapat serangan angin yang bisa membuat mata pedas. Tapi ia tidak melawan atau menghindar sama sekali.

"Crak...! Crak...! Juub...! Juub, jub, jub...!!" Senjata perampok Bergolo dengan rakus  meng-

hunjam tubuh  tua renta itu.  Bertubi-tubi  dengan kecepatan melebihi derasnya hujan, senjata-senjata itu menebas dan menusuk ke seluruh tubuh kurus, tinggal tulang dan kulit. Anehnya, sejauh ini belum ada darah dan belum ada luka yang ke luar dari tubuh yang tinggal tulang terbungkus kulit itu. Bahkan sehelai jenggotnya tak ada yang terpotong. Tapi kedua perampok kondang dari hutan Bergolo itu masih terus menghujani tubuh kurus itu dengan senjata mereka masing-masing.

Pada saat itu, ada sepasang mata yang memandang adegan tersebut. Sepasang mata itu milik seorang lelaki bertubuh tegap, kekar dan bermata tajam namun meneduhkan. Ia mengenakan ikat kepala dari kulit macan tutul untuk merapikan rambutnya yang panjang sebatas punggung, namun tidak menutupi sebilah pedang bergagang kepala ular kobra yang bertengger di punggungnya. Orang itu, tak lain adalah Pendekar Pusar Bumi, atau yang bernama asli: Domas Lanangseta.

"Keterlaluan! Memalukan sekali, seorang kakek sampai dikeroyok dua dan dihujani senjata bertubitubi!" geram Lanangseta. Ia buru-buru melesat cepat ke arah mereka. Kemudian dengan bersalto dalam satu loncatan, kedua kakinya berhasil menendang Naroma dan Mando dengan keras.

"Lepaskan...! Pengecut kalian!"

Perampok Bergolo terpental lima langkah dari tempat Si Tongkat Besi berdiri. Naroma sempat mencium tanah dengan kasar, akibatnya mulutnya nyonyor dan berdarah. Sedangkan Mando, hanya terguling-guling ke arah semak-semak. Lalu ia segera bangkit dengan pedang bermata duanya di angkat ke atas.

Ia segera menyerang Lanangseta dengan geram dan buas. "Bangsat busuk... heeaaat...!"

"Wes, wes...!" Dua kali tebasan diberikan untuk Lanang. Tapi gerakan Lanang dalam menghindar cukup dengan memiringkan badan ke kanan dan kemudian ke kiri. Lewat sudah sabetan pedang bermata dua itu. Kini tinggal sebuah pukulan yang selayaknya pantas diberikan di pelipis Mando.

"Aaahkk...!" Mando menjerit kesakitan. Kepalanya menjadi puyeng. Ia tersungkur mencium akar pohon.

"Jangan turut campur dengan urusan kami!" bentak Naroma sambil sesekali meludah karena mulutnya berdarah. "Kami tidak punya urusan denganmu, setan kencur!" Lanangseta memandang kakek tua itu sebentar. Oh, ia tidak terluka, pikir Lanang. Dan kakek tua itu malahan tetap bersandar di pohon dengan tenang, seakan ia menyaksikan suatu pertarungan yang seru.

"Pergi kau, atau memang ingin mencoba kebuasan kami: perampok-perampok Bergolo? Iya?!" Naroma berseru dari arah belakang Lanangseta. Saat itu, Lanang hanya menyunggingkan senyum tipis. Matanya yang tajam bergerak-gerak penuh kewaspadaan.

"Kalau boleh kutahu, apa kesalahan kakek tua itu sehingga kalian menyerangnya sampai membabi buta?" tanya Lanangseta.

"Kami lapar! Sudan tujuh hari tidak ada orang lewat sini, sebab itu sudah tujuh hari kami puasa!" jawab Mando.

"O, jadi kalian membunuh manusia untuk dimakan?!"

"Ha, ha, ha... kau belum tahu kalau daging manusia itu lebih gurih, lebih manis dan sangat menguatkan badan!" Naroma berkata sambil bertolak pinggang sebelah.

Mando menyahut, "Kalau perlu, tubuh kekar seperti kamu itulah yang menjadi santapan istimewa kami! Tetapi, terlebih dulu kami akan menikmati daging kakek tua peot ini yah... sebagai hidangan kecil atau buat camilan."

"Biadab!" geram Pendekar Pusar Bumi. "Manusia seperti kalian memang harus di musnahkan...!!"

"Naroma...! Serang...!"

Kedua perampok Bergolo meloncat dan menyerang Lanangseta dari arah kiri dan kanan. Lanangseta bersalto mundur dua loncatan. Kedua perampok Bergolo itu hampir saja saling bertabrakan. Namun hal itu dapat dihindari dengan bergulirnya tubuh Naroma ke arah samping. Begitu kakinya menjejakkan bumi, ia berada dalam satu jangkauan di depan Lanangseta. Tanpa menunggu serangan law an, Lanangseta menyerang dengan pukulan kuat yang mengenai rahang Naroma. Orang bersenjata tombak itu terdongak dan memekik kesakitan. Tombaknya yang berujung mata pedang itu digerakkan menusuk Lanangseta. Tetapi belum sempat tombak itu menyentuh perut Lanangseta, kaki Pendekar Pusar Bumi itu telah lebih dulu menendang tulang rusuk Naroma hingga terdengar bunyi berderak, "Kraak...!"

"Aaaoow...!!" Naroma menjerit sambil memegangi tulang rusuknya. Ia terhuyung-huyung dan jatuh. Lanangseta hendak menendang kepala Naroma, tetapi sekelebat pedang bermata dua melintas di kepalanya membuat Lanang terpaksa berguling menghindarinya.

Mando menyusul ikut berguling sembari menebaskan pedangnya, tetapi Lanangseta lebih dulu melejit bagai udang. Melambung ke udara dan kembali berdiri dalam posisi sigap. Pendekar Pusar Bumi merasa tak perlu terlalu banyak membuang waktu. Ia harus segera memberi pelajaran terhadap kedua orang tersebut. Dan seketika itu pula, "srett..!" Pedang Wisa Kobra melesat dari sarungnya yang ada di punggung.

Mando tampak paling penasaran, karena sejak tadi mereka tak dapat menyentuh tubuh Lanangseta. Maka dengan gerakan jurus Hujan Darah, ia menyerang, menebaskan pedangnya dalam berbagai arah dan berbagai cara. Tetapi pada saat pedang Wisa Kobra menangkisnya, terdengar bunyi: "Trrakk...!" Mando terbengong menatap pedang mata duanya. Pedang itu telah buntung, tinggal beberapa jari dari gagangnya.

Melihat pedang temannya buntung di tebas pedang lawan, Naroma melompat seraya melemparkan tombaknya dengan cepat. Gerakan tombak itu bagai tak bisa diikuti oleh pandangan mata manusia. Tetapi agaknya pedang Wisa Kobra lebih awas, sehingga dengan sekali sekelebat saja pedang itu telah berhasil menangkis tombak Naroma.

Agaknya Naroma juga mengalami nasib sama seperti Mando. Tombaknya itu jatuh ke tanah dalam keadaan patah terpotong menjadi dua bagian.

"Jahanaaaam...!!" Naroma menyerang dengan marah. Lanangseta menghindar sambil menyarungkan pedangnya kembali. Mando menyerang dari arah belakang, tetapi tangan kiri Lanang dengan tangkas berhasil memegang pergelangan tangan Mando, tanpa ia menoleh ke belakang lebih dulu. Dengan satu tarikan kuat, tubuh Mando melayang dan jatuh di depan Lanangseta. Secepat itu pula tangan kanan Lanangseta memukul dada Mando. Kuat dan bertenaga pukulan itu. Mando memekik kesakitan, dadanya menjadi biru legam.

Naroma tak bisa tinggal diam. Ia mengeluarkan jurus tendangan Kipas Rantai. Tendangannya begitu cepat dan berputar-putar, yang kiri ganti kanan, ganti kiri, dan sangat cepat. Debu tanah berhamburan. Lanangseta menghindar beberapa kali, lalu tiba-tiba ia memperoleh peluang untuk menghantam tulang iga Naroma. "Kraak...!" Bunyi tulang iga patah. Naroma melejit sambil mengaduh kesakitan.

Tanpa banyak pertimbangan lagi, Naroma melompat semakin menjauhi Lanangseta. Mando tahu gelagat, Naroma ingin kabur. Lalu ia berkata kepada Lanangseta;

"Ada saat untuk bertemu dan membalas. Tunggulah itu...!" Mando segera melesat dengan memegangi dadanya yang terkena pukulan hebat dari Lanangseta. Keduanya kabur dengan cepat, bagai menghilang di balik tumpukan batu cadas. Lanangseta hendak mengejar, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena kakek tua itu telah berdiri menghadangnya dengan tongkat besi di tangan, ujungnya menancap di tanah.

"Hebat...! Pedangmu itu sungguh hebat...!" kata Tongkat Besi. Janggutnya yang berbulu merah keputih-putihan itu melambai-lambai dihempaskan semilirnya angin. "Kau punya kesaktian di dalam pedangmu itu, anak muda."

"Hanya sekedar pedang biasa, Kek. Tetapi "

Belum habis Lanangseta berkata-kata, kakek tua itu mendadak menyerangnya dengan menggunakan tongkat besi tersebut.

"Hei, apa-apaan ini...?!" Lanang terkejut heran. Ia sempat melompat untuk menghindari sodokan tongkat besi.

"Cobalah tongkat besiku ini, anak muda !"

Mampukah kau memotong-motongnya? Heaaahh !"

Lanangseta berguling di udara. Hempasan angin tongkat besi begitu kuat sehingga tubuh Lanangseta bagai terdorong oleh suatu tenaga besar. Lanang sedikit menggeragap, ia canggung untuk melawan. Ia bingung, mengapa kakek ini sudah ditolong . malah ganti menyerang? Bahkan serangannya amat cepat, bertubi-tubi sehingga tidak memberi kesempatan kepada Lanangseta untuk bicara. Lanang hanya melompat, menghindar, berguling, berkelit, dan begitu seterusnya sampai-sampai hal itu membuat Si Tongkat Besi menjadi geram dan dongkol sendiri.

"Keparat...! Seranglah aku jangan hanya bertahan! "Gunakan pedangmu itu! Ayo...! Ayooo...!"

"Wuss... Wsuuss...!" Tongkat memukul dan menyodok dengan satu kekuatan dalam yang tersalur di batang tongkat itu. Lanangseta tak berani menangkis pukulan tongkat yang dialiri tenaga dalam itu. Ia hanya menghindar terus sampai-sampai keringatnya membanjir di sekujur tubuh. Untuk menguji kekuatan tenaga dalam tongkat itu, Lanang sengaja mencari tempat di dekat pohon, tempat di mana kakek tua itu tadi bersandar santai. Ternyata dugaan Lanangseta tidak meleset. Ketika tongkat besi itu melayang ke arah kepalanya, Lanang menyempatkan diri untuk tetap diam. Dalam jarak beberapa mili saja ia segera merunduk, dan tongkat itu mengenai batang pohon. Tanpa tanggung-tanggung lagi, kulit batang pohon itu mengelupas dan tongkat itu ada di kedalaman batang pohon tersebut. Bagai sebilah pisau menancap pada gedebong pisang yang busuk.

"Pukulan yang hebat!" kata Lanangseta. Kakek tua itu sedang berusaha mencabut kembali tongkatnya dari batang pohon. Sebab itu ada kesempatan bagi Lanang untuk bertanya, "Mengapa kakek menyerangku dengan sungguh-sungguh?" "Karena kau tolol, tidak mau menyerangku!" "Aku sudah menolong kakek, dan di antara kita

memang tidak ada masalah? Haruskah aku menyerang orang tanpa salah dan tanpa persoalan apapun?"

"Ya. Harus...!"

"Beet...!" Tongkat berhasil dicabut, dan segera dipukulkan ke arah Lanangseta.

Hampir saja perut Lanangseta terkena goresan dari ujung tongkat itu jika ia tidak berkelit ke belakang. Lalu gerakan tongkat itu cukup mencengangkan Lanangseta, di mana ia mendapat serangan lagi, tongkat itu bergerak bagai hendak menebas perutnya. Lanang menggerakkan perutnya ke belakang, otomatis kepalanya maju ke depan. Tapi ternyata tongkat itu tidak menebas melewati depan perut, melainkan berhenti di depan perut, lalu dengan cepat dihentakkan ke atas menuju muka Lanang. Karena terlatih bergerak gesit, maka Lanang dapat menghindari gerakan tipuan itu dengan memiringkan kepala ke kiri pada saat tongkat bergerak ke atas. Tapi tongkat itu turun kembali dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga hampir saja menghantam ubun-ubun Lanangseta jika ia tidak segera berguling sambil mencabut pedangnya.

Baru saja ia bangun, tahu-tahu tongkat besi itu berkelebat di depan batang. hidungnya dengan cepat. Anginnya cukup kuat sehingga ia terjengkang jatuh. Kakek tua dengan seringai kemenangan segera menghunjamkan tongkatnya ke perut Lanangseta, tetapi pedang Wisa Kobra menangkisnya. Dengan satu kali tebasan, pedang itu mampu memotong tongkat tersebut menjadi dua bagian. Lalu menebas lagi, dan tongkat itupun terpotong lagi. Lanang segera melejit bagai udang, dan bersalto ke belakang menjauhi kakek tua.

Tawa terkekeh dan tepuk tangan terdengar dari arah Si Tongkat Besi berdiri.

"Hebat...! Bagus...! Itu namanya pendekar sakti...!" puji Tongkat Besi yang sempat membingungkan pikiran Lanang. Ia benar-benar tak tahu, mengapa kakek tua yang bernafsu membunuhnya itu sekarang malahan kelihatan gembira setelah senjatanya terpotong-potong menjadi tiga bagian. Ia manggut-manggut seraya memandang bangga kepada musuhnya. Bahkan kini ia mengacungkan jempol tanda memuji.

Dengan dahi masih berkerut, Lanangseta menyarungkan kembali pedangnya ke punggung. Tapi kakek tua itu segera berteriak dengan cemas, "Hei, hei... jangan sarungkan dulu pedangmu!"

"Aku tidak punya urusan denganmu, Kakek

Tua."

"Namaku Si Tongkat Besi. Kumohon dengan

hormat, bertarunglah denganku. Ku mohon dengan sangat, jangan kecewakan aku. Ayo, bertarunglah dan gunakan senjatamu itu. Aku tak akan menggunakan senjata apa-apa "

"Itu bahkan tidak adil," seraya Lanang menyunggingkan senyum sinisnya.

"O, tidak. Tidak apa-apa. Aku tidak menuntut keadilan, aku hanya menuntut suatu pertarungan."

"Aneh!" pikir Lanangseta. "Sudah tua renta, tinggal tulang terbungkus kulit, kok masih senang berkelahi? Apa maunya sebenarnya?"

"Ayo, seranglah aku dengan pedangmu. Aku tahu, pedang itulah yang akan mampu memotong kepalaku!"

"Tidak!" jawab Lanang. "Tidak ada pertarungan di antara kita, tidak ada permusuhan dan tidak ada persoalan. Seharusnya kakek berterima kasih kepadaku, karena aku telah menyelamatkan kamu, kek. Tapi mengapa...?"

"Nah, sekarang kau tahu aku tidak berterima kasih kepadamu. Sebab itu, marahlah. Tuntutlah aku, dan bertarunglah bersamaku. Ayo, jangan. sungkansungkan...!"

Lanang menggeleng, ia mendekati kakek tua

itu.

"Kakek Tongkat Besi... jangan memaksa seseo-

rang untuk bertindak jahat, karena dirimu akan digolongkan sebagai orang yang lebih jahat dari yang kau suruh. Nah, sekarang, pertemuan kita cukup sampai di sini saja. Aku punya urusan penting di tempat lain...!"

"Tunggu...! Tunggu dulu dan jangan pergi...!" Tongkat Besi memegangi tangan Lanangseta. "Siapa namamu, nak?" ia bertanya dengan ramah.

"Lanangseta...!"

"Lanangseta, ooh... nama yang bagus. Kama yang punya perlambang bahwa kau akan menjadi orang terkenal di rimba persilatan dari seluruh pelosok dunia. Tetapi hal itu hanya akan terjadi apabila kau mau melawanku untuk bertarung. Kau memakai pedangmu dan aku tidak. Bagaimana? Mau...?"

Lanangseta merasa berhadapan dengan orang gila. Kemudian ia menggeleng dan menarik genggaman tangan Tongkat Besi, dan ia berjalan kembali. Tetapi kakek tua itu kembali memegang tangan Lanangseta seraya memohon dengan nada kasihan:

"Tolonglah... ayo, bertarung denganku. Kau pasti akan menang. Percayalah! Bertarunglah sebentar saja, dan kujamin dengan sekali tebas kepalaku akan terpisah dari leher. Kau bisa melanjutkan perjalanan kembali "

Lanang jengkel sendiri. "Aku bukan jagoan tengik!" bentaknya. Dan tiba-tiba Tongkat Besi menarik tangan Lanangseta kuat-kuat, kemudian melemparkannya tubuh yang kekar dan tegap itu. Dengan sekali ayun, Lanang terlempar dan jatuh di dekat potongan tongkat besi itu.

"Gila...!" teriak Lanangseta.

Kakek tua atau Si Tongkat Besi, itu tersenyum. "Rupanya kau perlu kusiksa dulu supaya mau melawanku...!"

"Kakek gila?! Apa-apaan ini sebenarnya? Mengapa kau bernafsu sekali bertarung denganku...?"

Kakek tua tidak menjawab, ia menendang Lanangseta. Mau tak mau Lanangseta berguling ke kiri, dan melejit ke atas, dan disambut dengan pukulan berantai dari dua tangan kurus itu. Lanang sempat limbung dan sempoyongan. Pernafasannya sangat sesak, ia nyaris tak bisa bernafas lagi.

Padahal yang diterimanya adalah pukulan tanpa tenaga dan dilancarkan dari kedua tangan kurus kering.

"Ayo, lawan aku. Jangan dengan tangan kosong, nanti kau mati jika melawanku dengan tangan kosong. Pakai pedangmu!"

"Gila! Betul-betul gila! Apa maunya sebenarnya?!" pikir Lanang sambil melangkah mundur. Memandang penuh keheranan.

*

** 2

KAKEK TUA itu memungut kembali potonganpotongan tongkat besinya. "Barangkali kau mau belajar padaku tentang ilmu Sambung Besi, asal kau janji, setelah kuajarkan ilmu itu, kau mau bertarung denganku dun harus memakai pedangmu itu."

Karena penasaran, Lanangseta bertanya. "Kenapa harus memakai pedangku ini?"

"Menurut dugaanku, pedangmu itu bisa memotong besi, atau benda apapun. Dan itu berarti akan bisa memotong leherku juga."

Mulut Lanangseta masih dalam kebisuan, matanya memandang potongan tombak besi yang dirapatkan kembali. Bekas kedua potongan itu digenggam oleh kakek tua, lalu diurut sambil tersenyum memandang Lanang. Dan kali ini, Lanang jadi terbelalak. Tongkat Besi yang terpotong itu telah tersambung lagi tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Dua tempat potongan telah menyatu, rapat dan halus, sepertinya tongkat itu tak pernah terpotong sebelumnya.

"Hebat...!" gumam Lanangseta. "Memang. Dan kau bisa mempelajari ilmu Sambung Besi dengan syarat seperti yang kukatakan tadi," kata kakek tua dengan suaranya yang serak.

"Keinginan yang aneh," desis Lanangseta. "Kalau kau melawanku tanpa pedang itu, kau

akan kalah. Aku punya ilmu silat lebih tinggi dari kamu. Juga beberapa jurus tenaga dalam yang lebih hebat dari kamu. Aku bisa membuat harimau mati seketika jika aku membentakkan kata mati di hadapannya. Dan aku bisa menghancurkan gunung sekokoh apapun, jika aku bilang hancur kepada gunung itu. Hebat kan kesaktianku itu? Kau mau coba?"

Pendekar Pusar Bumi masih tertegun dan berpikir bingung. Kakek tua itu berkata lagi dengan seenaknya, bagai seseorang sedang membual:

"Kalau pedangmu bisa melukaiku, apalagi sampai bisa memotongku, maka pedangmu itu akan dapat terbang sendiri dan menuruti kehendakmu. Pedangmu dapat membunuh siapa saja yang kau perintahkan untuk dibunuh. Kau bisa enak-enak duduk sambil makan, atau tidur di samping istri mu. Eh, kau sudah punya istri, anak muda?"

"Belum."

"Nah, kalau kau bisa membunuhku dengan pedangmu, maka oleskanlah darahku pada bibirmu, dan seumur hidup kau akan menjadi rebutan perempuanperempuan cantik. Tak ada perempuan yang mampu berpaling dan pergi jika memandang bibirmu. Mereka akan merengek dan kasmaran, lalu bersedia menuruti perintahmu tanpa punya rasa cemburu."

Senyum Lanangseta tersungging tipis, kaku, seakan menyepelekan kata-kata Si Tongkat Besi. Kakek tua itu merasa sedang diremehkan oleh pemuda tegap dan perkasa yang dari tadi berdiri di depannya. Kemudian Tongkat Besi mengambil sebutir batu kerikil "Ini apa...?" ia memperlihatkan batu itu kepada Lanang.

"Batu," jawab Lanang yang semakin seperti orang bego.

"Iya, yang bilang ini kepalamu siapa?" kakek tua itu terkekeh. Lanang geli sendiri. Orang ini sangat aneh dan punya daya tarik tersendiri, pikir Lanang.

Kakek tua itu berkata lagi, "Nah, menurut penglihatan siapa pun, ini adalah batu. Lalu, kugenggam...!" Ia menggenggam batu tersebut. "Ini bukan batu, tapi emas...!"

Tongkat Besi membuka genggamannya, dan mata Lanangseta terbelalak, bahkan ia sempat merunduk untuk memperjelas penglihatannya.

"Gila...! Menjadi emas? Emas betulan...?!"

Dibiarkan tangan Lanangseta memungut batu yang telah berubah menjadi emas. Lanangseta memandanginya lekat-lekat, nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Kakek tua itu hanya terkekeh-kekeh dengan gayanya yang sombong dibuat-buat.

"Ambillah kalau kau mau. Dan buktikan, sampai berapa tahun pun ia tetap akan menjadi emas...!" kata kakek tua.

Lama sekali Lanangseta tertegun dan memperhatikan keanehan itu. Kakek tua berkipas-kipas dengan menggunakan bagian jubahnya. Rambutnya yang putih sudah mulai kemerah-merahan itu sudah pasti amat panjang, namun karena ditekuk dan digulung menjadi satu di atas kepalanya, maka ia kelihatan rapi. Hanya kumis dan jenggotnya saja yang kelihatan acak-acakan.

"Kau bisa mempelajari ilmu itu, kalau kau mau bertarung denganku memakai pedang itu. Ku ajarkan dulu semua ilmuku, dan kalau sudah habis, baru kita bertarung. Ku jamin kau pasti menang."

"Dan kakek akan mati?" "Ya."

"Tidak menyesal mati di tanganku?"

Ia menghela napas. Santai sekali, seakan ogahogahan berbicara. Katanya, "sebetulnya mati di tangan siapa pun aku mau. Tapi sudah lama aku menunggu orang yang bisa membunuhku, nyatanya tak ada."

Kata-kata itu kedengarannya sangat aneh dan ganjil, sehingga Lanangseta merasa perlu ikut duduk di sebelah Si Tongkat Besi.

"Jadi, apa inti kemauan kakek sebenar-nya?" tanya Lanangseta setelah membisu beberapa saat sambil memandangi batu yang telah menjadi emas itu. "Keinginan mu yang paling utama apa, Kek?"

"Mati!" jawabnya pelan, tapi tegas. Hanya saja Lanang masih merasa hal itu adalah main-main.

"Aku bertanya dengan sungguh-sungguh, Kek.

Jangan dijawab dengan becanda."

"Hei, kau kira mati itu pekerjaan becanda? Kau kira orang ingin mati itu lucu? Kau saja yang tolol jika menganggap begitu. Mati itu suci. Mati itu suatu kegiatan yang memerlukan kesungguhan. Tidak main-main. Dan bagiku, mati itu indah."

"Indah...?" Lanangseta tertawa pendek.

"Nah, sekarang kau yang becanda," ujar Tongkat Besi. "Ada pepatah yang mengatakan: mati itu sebagian dari pada hidup. Dan hidup itu kodrat!"

Lanang menatap dengan bingung, dan Tongkat Besi menjelaskan:

"Kamu bisa hidup, itu karena memang kamu dikodratkan untuk hidup. Jadi hidup itu adalah kodrat. Dan di dalam kehidupan mu itu, kau akan menemui berbagai perjalanan yang berujung pada kematian. Jadi, kematian itu adalah sebagian dari pada hidup. Jelas?" Lanangseta menggeleng. Kakek tua menghela nafas. Kesal. Kemudian Lanangseta buru-buru bertanya:.

"Yang membuatku kurang jelas adalah: mengapa kakek ingin mati? Orang-orang berjuang mempertahankan hidup dengan berbagai cara, kadang-kadang cara salah pun dilanggarnya, asal dia bisa tetap hidup. Nah, sekarang aku menemukan seseorang yang dengan cara apa pun ingin mati. Ini aneh. Janggal bagi alam pikiran saya, Kek."

Tongkat Besi menggumam lirih, merenung sebentar, kali ini ia kelihatan lebih serius memandang Lanangseta.

"Usiaku sudah ratusan tahun. Mungkin empat ratus tahun, barangkali juga enam ratus tahun. Aku sendiri tidak jelas dan bingung mengingat-ingatnya."

Pendekar Pusar Bumi berkerut dahi memandang Tongkat Besi dengan keheranan yang menyolok. Tongkat Besi mengusap-usap jenggotnya seraya berkata:

"Jenggotku sudah bukan putih lagi. Sudah bukan uban lagi, tapi sudah mulai kemerah-merahan. Jadi ibarat buah anggur, aku ini sudah kelewat matang dan busuk. Sudah banyak ulatnya. Tapi karena kesaktianku, aku jadi sulit mati. Padahal aku sudah bosan hidup. Betul, aku tidak becanda. Aku sudah bosan hidup. Sebab itu, aku ingin segera mati."

"Orang lain berusaha untuk mempertahankan hidup, supaya panjang umur. Tapi, kakek malahan ingin memperpendek umur. Bagaimana bisa begitu? Bukankah hidup itu indah?"

"Orang yang tidak memahami kehakikian hidup, akan berkata begitu. Tetapi kalau orang yang sudah mengerti betul apa itu hidup dan apa itu mati, maka akan memilih mati. Sebab di dalam kematian itu sebenarnya terdapat kehidupan yang langgeng, yang abadi. Bukankah orang-orang yang cetek pikiran selalu menghendaki hidup yang langgeng atau yang abadi? Nah, untuk mencapai itu, dia harus mati. Kalau dia takut mati, berarti dia takut hidup langgeng. Kalau dia takut hidup langgeng, untuk apa ia punya cita-cita panjang umur segala? Kan begitu?"

Lanangseta dihadapkan pada suatu falsafah yang berputar-putar memusingkan. Ia tertegun, melamun panjang, merenungi kata demi kata. Tapi ia belum juga menemukan suatu pemahaman yang kongkrit. Tiba-tiba ia berkata:

"Kenapa kakek tidak bunuh diri saja? Dengan begitu kakak dapat mati sesuai keinginan Kakek itu?"

"Itu kalau bisa," jawabnya kalem. "Seratus kali aku mencoba bunuh diri dengan berbagai cara, sampai minum racun yang paling ganas sekalipun pernah kulakukan. Tapi, nyatanya, aku tidak mati. Cuma sakit, kelojotan, cengap-cengap, ehh... sembuh lagi, sembuh lagi. Sampai akhirnya aku bosan bunuh diri. Dan secara jujur kuakui, bahwa...." Ia berhenti sebentar lalu berbisik kepada Lanangseta: "Aku ini orang tolol. Nyatanya bunuh diri saja tidak becus. Kalau orang membunuh dirinya saja tidak bisa, bagaimana dia akan bisa mengatasi hidupnya? Sebab bunuh diri itukan pekerjaan gampang. Guampaaaang... sekali...! Bagi yang bisa. Nah, kalau pekerjaan yang gampang itu tidak mampu dikerjakan, apalagi

pekerjaan yang sukar, yaitu hidup. Eh, percaya atau tidak, kau harus mengakui bahwa hidup itu sukar lho? Iya,. kan?"

Lanangseta mengangguk tanpa memahami pertanyaan itu. Tapi tiba-tiba ia berkata, "Cuma... saya rasa sama sukarnya dengan mati, Kek. Memang ada persamaannya dan ada perbedaannya. Persamaannya adalah sama-sama membutuhkan waktu dan kesabaran, perbedaannya adalah: beda artinya."

Kakek tua itu tertawa senang. "Nah, sekarang kau mulai masuk dalam lingkaran hidup dan mati. Aku senang apabila kaulah orang yang akan membunuhku. Mati di tangan orang pandai itu lebih bermakna daripada mati di tangan orang bodoh. Mengerti maksudku?"

Lanangseta hanya mendesah dalam gumaman nya. Kemudian ia bergegas bangkit, "Maaf, Kek... senang sekali sebenarnya aku bisa ngobrol panjang-lebar denganmu. Tapi ada satu keperluan yang harus kukerjakan sekarang ini. Aku harus pergi meninggalkan kakek."

"Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan pekerjaanmu. Mari kubantu...! Asal nanti kau bunuh aku. Setuju?"

"Ini persoalan pribadi. Maaf...!" Setelah bicara begitu, Pendekar Pusar Bumi melesat cepat dengan menggunakan peringan tubuhnya yang cukup handal. Tongkat Besi masih sempat berseru: "Lanangseta...! Tunggu...!" Kakek tua berjenggot kemerah-merahan itu ikut mengejar Pendekar Pusar Bumi. Larinya lebih cepat, dan dalam tempo singkat ia dapat mengejar Lanangseta. Tahu-tahu kakek tua itu sudah berada di depan Lanangseta. Gawat! Padahal Lanangseta tidak ingin urusannya dicampuri orang lain. Ia ingin menghadapi resiko itu sendiri, tanpa bantuan siapapun. Sebab itu, untuk menghindari Si Tongkat Besi, Lanang segera mengalihkan arah ke kiri, maka Tongkat Besi menjadi salah arah. Ia terpaksa menyusul ke arah kiri. Ia sempat berteriak lagi.

"Akan kubantu segala kesukaranmu! Tunggulah aku, Lanangsetaaa...!"

Melihat Tongkat Besi berkelebat menyusulnya, Lanangseta segera menggunakan ilmu Lindung Bumi. Tubuhnya yang tegap, kekar dan perkasa itu tiba-tiba hilang bagai tersedot ke dasar bumi. Ia berjalan dalam lapisan tanah tanpa bisa diketahui Tongkat Besi. Tentu saja kakek tua itu merasa kehilangan jejak, dan menggerutu, menyumpah-nyumpah tak karuan. Padahal ia yakin, pedang yang bertengger di punggung Lanangseta itulah yang mampu membunuhnya kelak.

Sedangkan bagi Lanangseta, ia merasa tidak puas jika tugas yang diberikan oleh Rama Sabdawana, ayah dari Kirana Sari itu, dikerjakan secara bahumembahu dengan orang lain. Mengingat tugas itu adalah tugas yang menyangkut harga dirinya, maka harus dikerjakan secara pribadi.

Lanang masih ingat kata-kata ayah Kirana ketika perempuan itu bicara di depan ayahnya:

"Aku akan kawin dengan Lanangseta, Ayah.

Aku minta izin dan doa restu."

Waktu itu, Lanangseta berdiri di samping Kirana dan Sabdawana, ayah Kirana itu, duduk di atas sebuah batu yang dijadikan tempat duduk antik. Berlapis kain halus yang empuk, dan berukir gambar bunga teratai, sehingga lelaki lanjut usia itu bagaikan duduk di atas bunga teratai. Sebab itu pula rumah tersebut dinamakan Griya Teratai Wingit.

"Apakah kalian saling mencintai?"

Pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah Kirana dengan suara halus, bahkan hampir tidak terdengar oleh Lanang. Untuk pertanyaan itu, Kirana menjawab lebih dulu:

"Sudah, Ayah."

Sabdawana yang bermata lembut dan bersikap kalem itu melirik Pendekar Pusar Bumi. Maksudnya ia ingin mendengar jawaban dari pemuda itu juga. Maka buru-buru Lanang pun memberi jawaban:

"Sudah, Rama.",

Lelaki tua yang duduk bersila itu tersenyum sambil memandang ke arah lain.

"Bagaimana dengan Putri Ayu Sekar Pemikat

itu?" Lanangseta masih ingat, ketika itu ia sangat terkejut, sebab tak pernah menyangka sama sekali kalau ayah Kirana ternyata sudah mengetahui hubungan Lanang dengan Sekar Pamikat. Kirana sendiri menghempaskan nafas, kemudian melirik Lanang, dari pandangan matanya seakan ia mengatakan bahwa ia tidak tahu kalau ayahnya bisa menyebutkan nama Putri Ayu Sekar Pamikat. Maka, Lanang pun paham bahwa ayah Kirana mengetahui hal itu bukan atas dasar informasi dari putrinya, melainkan karena ilmu yang dimiliki itu dapat membaca sejarah hidup dan latar belakang Lanangseta. Barangkali juga ia hanya menuntut kejujuran dari Lanangseta akan hal itu. Dengan tegas dan polos, Lanang pun menjawabnya:

"Apakah menurut Rama saya masih ada kesempatan mengawani Pendekar Cambuk Naga itu? Saya memang masih menyimpan cinta kepadanya. Tapi kalau memang dia akan menjadi milik Goa Malaikat itu, maka saya tak akan memilikinya lagi. Dan penebus kehancuran cinta saya adalah... putri Rama sendiri ini. Saya berusaha mengubur cinta saya kepada Sekar Pamikat, asalkan putri Rama bisa memandu hidup saya. Saya akan mencintai gadis di samping saya ini, asalkan dia juga mencintai saya. Cuma itu yang ada, Rama."

Lelaki tua berambut putih semua itu manggutmanggut. Dalam hati ia mengakui suatu ucapan yang jujur, yang tidak mempunyai kepalsuan sedikitpun. Ia bahkan sempat berbisik kepada Kirana, walau tidak harus mendekatkan mulut ke telinga putrinya: "Dia jujur, dan kau beruntung."

"Aku tahu, Ayah," Kirana mengangguk.

"Jadi, Ayah menyetujui dan merestui perkawinan kami?" Kali ini Sabdawana turun dari tempat duduknya, melangkah ke tangga teras, memandang alam di sekitarnya. Lalu dengan sangat berwibawa dan menyimpan kharisma ia berkata:

"Apakah dia sanggup memenuhi persyaratan-

ku?"

Kirana berkerut dahi. Ia tidak suka ayahnya

banyak tingkah begitu. Ia memprotes syarat apa pun yang akan disampaikan oleh ayahnya.

"Apakah aku harus menunggu beruban baru boleh kawin?"

"Sekarang pun sudah kelewat waktumu untuk bersuami."

Itu jawaban ayah Kirana yang tetap kalem, namun tegas. Lalu sambungnya lagi, "Aku hanya ingin mempunyai menantu yang sesuai dengan seleraku, tapi juga sesuai dengan seleramu."

"Lanangseta sesuai dengan seleraku, Ayah." Sabdawana mengangguk-angguk. "Yah, me-

mang sesuai dengan seleramu. "Tapi belum tentu sesuai dengan seleraku. Ingat, Kirana, kalau kau kawin dengan dia, berarti dialah yang akan menjadi penguasa tunggal di Bukit Badai ini setelah aku tiada. Jadi, aku bukan hanya sekedar memilihkan calon suami buatmu, tetapi sekaligus memilih calon penggantiku sendiri. Jelas?"

Mau tidak mau, Kirana pun mengangguk. Ia tahu bahwa kelak, jika ayahnya tidak ada lagi, suaminya itulah yang akan menjadi penguasa Bukit Badai, penjaga makam leluhur mereka, sekaligus penguasa segala isi goa-goa yang ada di sekitar wilayah Bukit Badai. Hanya Goa Malaikat yang tidak boleh dikuasai, kecuali dijaga dan dipertahankan menjadi milik leluhur Kirana. Bukit Badai tidak boleh dipimpin oleh seorang perempuan. Harus lelaki. Jadi, bukan Kirana yang akan menjadi pengganti ayahnya kelak, melainkan suaminyalah yang akan menjadi pengganti penguasa Bukit Badai nantinya.

"Rama, boleh saya tahu syarat apa yang harus saya kerjakan? Dan apakah itu berupa maskawin buat... putri Rama?"

"Ya. Maskawin dan penobatan.!" jawab Sabdawana, tegas.

Suasana hening sejenak. Lanangseta mencoba mengira-ngira bentuk maskawin yang dikehendaki. Tapi ia masih kurang berani memastikan. Hanya saja dalam saat itu juga, ayah Kirana berkata dengan jelas di depan Lanangseta dan anak gadisnya:

"Lanangseta, kau boleh memperistri putriku, tetapi pertama kali yang kuminta: Hancurkan Puri Tebing Neraka, dan carilah bunga teratai di dalam Goa Malaikat!"

"Ayah...?!" Kirana tersentak kaget.

"Itu sama saja penolakan. Sama saja Ayah ingin membunuh Lanangseta!" sambung Kirana dengan cemas.

Ayahnya diam saja, tidak mengomentari katakata anaknya. Ia hanya memandang tajam pada Lanangseta dan bertanya, "Bagaimana? Sanggup?"

Setelah menghempaskan nafas panjang, Lanangseta menjawab dengan tegas, "Demi mendapatkan... dia," Lanangseta tak berani menyebutkan nama Kirana, takut terjadi hujan badai seperti dulu lagi (dalam kisah Misteri Goa Malaikat). Lalu ia menyambungnya:

"Saya sanggupi persyaratan itu, Rama." "Bagus! Lakukanlah mulai sekarang, Nak."

"Aku akan menyertaimu, Lanang," ujar Kirana. Tapi Ayahnya menyahut:

"Jangan! Berilah kesempatan kepadanya untuk menunjukkan betapa ia mencintaimu, Ki..."

"Tapi, orang-orang Tebing Neraka itu bukan orang-orang sembarangan, Ayah. Mereka mempunyai ilmu yang tinggi dan kekejamannya di luar batas kemanusiaan!" debat Kirana.

"Justru itulah letak cinta kasih Lanang kepadamu. Kalau dia kusuruh membunuh seekor kerbau, hargamu hanya seharga seekor kerbau. Dan, maukah kau mendapat maskawin hanya seekor kerbau?"

"Ayah, orang-orang Tebing Neraka itu   "

"Maskawinmu sangat berharga," sahut ayahnya. "Yaitu sejumlah nyawa yang susah dikalahkan. Untuk itu, kau pun kelak tak akan bertindak sembrono terhadap suamimu. Ia telah membelimu dengan nyawa dan darah. Ini juga demi mengikat dirimu, agar kau tidak semena-mena terhadap suami!"

Lanangseta masih ingat apa yang dikatakan Kirana pada malam sebelum ia berangkat:

"Kau... kau keberatan sebenarnya dengan kedua syarat itu, bukan?"

Lanangseta menggeleng. "Aku senang. Aku mempunyai kesempatan untuk menunjukkan cintaku kepadamu."

"Tebing Neraka, benar-benar neraka bagi setiap orang asing yang datang ke sana. Selain tempatnya yang sulit dicapai, juga banyak perintang yang mengerikan. Setiap orang asing datang ke sana, ia tak pernah pulang selamanya. Dan... kau...." Kirana ragu untuk melanjutkan ucapannya, sedangkan Lanangseta semakin melebarkan senyum.

"Kau menyangsikan cintaku?" tanya Lanangse-

ta. "Tidak. Tanpa kau ke sana, aku tidak sangsi dengan kasih setiamu, Lanang."

"Dari mana kau tahu?"

"Aku sering mendengar kata hatimu yang sangat mendambakan aku dan sangat menyayangiku. Aku pernah mendengar kata hatimu, bahwa kelak kau ingin memanjakan aku, sebab itu adalah cita-citamu, yaitu memanjakan seorang istri. Ah, sudahlah lupakan saja permintaan ayahku, Lanang."

"Itu sama saja kau menyuruh aku untuk melupakan cintamu. Tidak. Aku tidak mau meminta persyaratan lain. Aku harus ke Puri Tebing Neraka. Mungkin memang bahaya, tapi di sana ada cinta yang ingin kupersembahkan kepadamu."

Kirana menjatuhkan kepalanya dalam pelukan Lanangseta. Bau harum dari rambut Kirana tercium oleh Lanang dan menjadikan suatu gelora yang berdebaran di dalam dadanya. Karena itu, Lanangseta semakin mempererat pelukannya. Saat itu pula ia mendengar bisikan Kirana dalam keluh.

"Lanang... aku takut kehilangan kamu "

"Aku juga," bisik Lanangseta. Pelukannya semakin mesra, seolah-olah diresapi betul, betapa hangat dan mesranya berada dalam kerapatan tubuh Kirana.

"Percayalah, kita tak akan saling kehilangan," kata Lanangseta. Dan, Kirana membisikkan kata lain:

"Carilah dulu Sekar Pamikat, mintalah restu darinya supaya cintanya pun ikut menyertaimu. Bukan mengutukmu!"

Sekar? Mencari dia di dalam Goa Malaikat? Haruskah itu dilakukan Lanangseta? Betulkan dia akan terkutuk jika tak direstui Sekar Pamikat? Ah, ada-ada saja yang mengganggu otaknya kali ini. *

**

3

DOMAS LANANGSETA menuang minumannya dari dalam guci. Orang-orang di kedai itu sesekali mencuri pandang ke arah Lanangseta. Sebenarnya tatapan mata mereka yang secara sembunyi-sembunyi sudah diketahui Lanangseta. Ia sadar bahwa dirinya menjadi pusat perhatian di kedai itu. Tetapi itu semua jelas dikarenakan dia orang asing di situ.

Kecurigaan lain sebenarnya tak ada pada pikiran Lanang, kalau saja pemilik kedai itu berbisik pada saat mengantar makanan yang dipesan Lanang.

"Sebaiknya Tuan lekas makan dan cepat tinggalkan desa kami."

Bisikan itulah yang membuat Lanang jadi curiga dan memasang kewaspadaannya.

"Memangnya, kenapa?" Lanang balas berbisik. Ia sendiri tak enak kalau kehadirannya sampai meresahkan pemilik kedai. Tetapi pemilik kedai itu menjadi ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Lanang.

"Kenapa Bapak kelihatannya gelisah?" desak Lanang.

"Mereka pasti akan datang, cepat atau lambat." "Mereka siapa?" Lanang semakin tidak mengerti.

dai.

"Tuan datang dari Barat, bukan?" "Betul."

"Tujuannya mau ke mana?" selidik pemilik ke"Mau ke Tebing Neraka. Apakah saya salah jalan?"

Wajah pemilik kedai menjadi pucat. Ia bertam-

bah gelisah, kecemasannya sempat membuat giginya gemetar.

"Berarti... berarti Tuan datang dari Bukit Ba-

dai?"

Sambil mengangguk Lanangseta menjawab,

"Ya. Benar."

"Celaka...!" desis pemilik kedai yang berbadan kurus dan berkumis tipis itu.

"Kenapa celaka?"

"Mereka akan semakin bernafsu membunuh Tuan!" bisikannya semakin tegang. Tapi Lanangseta tetap tenang. Ia menikmati paha ayam hutan dan secangkir tuak. Pemilik kedai itu sangat ketakutan. Ia berbisik lagi:

"Setiap orang yang datang dari Barat, pasti mereka bunuh. Tak ada ampun lagi bagi pendatang dari arah Barat. Apalagi Tuan mengaku dari Bukit Badai, ooh... pasti mereka tak akan memberi kesempatan kepada Tuan untuk bicara dan meminta maaf."

Aneh pembicaraan pemilik kedai ini, pikir Lanang. Bagaimana pun aneh dan ganjilnya suasana di kedai itu, Lanang masih tetap berpenampilan tenang. Ia ingat pesan Kirana sebelum ia pergi:

"Tenang. dan bersabarlah. Tanpa ketenangan dan kesabaran yang tinggi, kau tak akan dapat mengalahkan orang-orang Tebing Neraka."

Kata-kata Kirana bagai bekal seorang istri kepada suaminya yang akan ke medan tempur. Berbekal pesan Kirana itulah, maka Lanang tidak ikut gelisah seperti orang-orang yang berada di kedai itu. Banyak yang tergesa-gesa pulang, atau berpindah tempat duduk menjauhi Lanang. Namun semua itu tidak membuat Lanang berubah sikap.

"Tuan..." bisik pemilik kedai seraya menyajikan lalap sayuran mentah. "Saya mohon, jika mereka datang, Tuan mau bicara dengan mereka di luar kedai ya? Terus terang saja, saya takut kedai saya jadi rusak dan kacau semuanya. Saya tidak ingin terulang untuk yang kedua kalinya."

"Siapa maksud Bapak yang akan datang itu? Raja? Kaisar?" tanya Lanangseta sambil mengunyah makanannya dengan kalem.

"Mereka itu, maksud saya... hem... anak buah Surobedog! Apa Tuan belum mendengar kabar bahwa Surobedog itu kaki tangan penguasa Puri Tebing Neraka? Kejam-kejam dan rakus-rakus. Setiap sebulan sekali anak perawan dari desa kami selalu dijadikan korban bakar, sebab memang desa kami inilah desa yang terdekat dengan Tebing Neraka."

Lanang manggut-manggut. "Apakah Surobedog penguasa di Tebing Neraka?"

"Memang bukan. Tapi, untuk daerah desa kami, dialah yang diserahi tugas menjadi ketua pengawasan. Kalau ketua pusatnya, Si Cakar Setan, memang belum pernah datang ke mari. Sebab, anak buahnya saja sudah cukup mampu menangani pengawasan sekaligus penguasaan terhadap rakyat desa ini. Para pemuda desa ini telah banyak menjadi korban keganasan Si Cakar Setan."

"Dijadikan korban bulanan?"

"Bukan. Bukan dijadikan korban, tapi... dipaksa untuk menjadi anak buah Cakar Setan. Lalu mereka disuruh menyerang ke mana-mana, tanpa memperhitungkan keselamatan nyawa mereka. Jadi, para pemuda desa itu banyak yang dijadikan umpan di mana mereka hendak menyerang." "Dan Si Cakar Setan sendiri?" "Si Cakar Setan...? Oh, dia tidak pernah ke luar dari Puri Tebing Neraka. Dia hanya bisa memberi perintah dari tempat kerjanya."

"Kalau begitu, Si Cakar Setan itulah yang harus kutemui, sebab dialah penguasa Tebing Neraka," gumam Lanang.

"Eh, bukan. Penguasanya bukan Si Cakar Setan. Ada sendiri, dan kami tidak pernah mendengar namanya. Yang kami dengar mereka, orang-orang Tebing Neraka itu, Bering menyebut-nyebut nama Gusti Dalem. Orang yang disebut Gusti Dalem itulah yang memegang tampuk kekuasaan Tebing Neraka seluruhnya. Tapi... kalau Tuan mau menuruti saran saya jangan ke sana. Orang yang pergi ke sana, pasti tidak pernah kembali lagi."

"Mungkin kali ini hanya aku yang akan kembali lagi," ujar Lanang setelah meneguk tuaknya satu kali.

Pemilik kedai mendesah dalam resah. Semakin gelisah lagi setelah ia melihat empat orang berjalan mendekati kedainya. Pemilik kedai mengenal siapa mereka, sebab itu ia menjadi tegang dan berkata:

"Ssstt... Tuan, mereka datang... Betul apa kata saya tadi, bukan? Wah, gawat...!"

Lanang hanya melirik kehadiran empat orang bertubuh kekar, dengan pakaian semacam rompi yang dihiasi dengan logam-logam putih berbentuk bintang lima. Hiasan itu sangat banyak menempel di dada dan seluruh baju itu. sehingga mereka bagai mengenakan pakaian lapis logam.

Orang-orang yang berada di dalam kedai mulai beranjak meninggalkan tempat, makin menjauhi Lanangseta. Wajah-wajah mereka penuh ketegangan, terutama wajah pemilik kedai. Lelaki kurus yang masih berkalung serbet makan itu kelihatan lebih pucat dan sangat ketakutan.

Lanang tak tega melihat ketakutan pemilik kedai. Pasti yang ditakutkan adalah kehancuran kedai dan dagangannya. Sebab itu, Lanangseta segera membayar semua ongkos makan dan minumnya lalu ke luar lewat pintu samping. Ia berjalan meninggalkan kedai bagai tak menghiraukan kehadiran keempat orang kekar itu.

Rupanya keempat orang menyeramkan itu merubah arah, yang semula hendak masuk ke dalam kedai lewat pintu depan, kini berbelok ke arah samping kedai. Mereka memburu Lanang dengan langkahlangkah beremosi.

"Berhenti...!" seru salah seorang dari keempat orang itu. Lanangseta tetap melangkah, sengaja menjauhi kedai. Orang-orang di sekitar situ memandanginya dengan tegang dan penuh kecemasan. Ada pula yang memperhatikan dengan bersembunyi di balik pohon atau di balik gerobak sapi.

"Berhenti, congek!" bentak lelaki bermuka tebal,

hitam.

Lanangseta seperti tidak mendengar seruan itu.

Ia tetap melangkah kendati ia tahu orang-orang yang memperhatikannya semakin ngeri sendiri.

Dengan kecepatan yang hebat dan ketangkasan yang tinggi, Lanangseta berbalik secara mendadak. Tangannya bergerak menangkap sebuah pisau yang dilemparkan dengan cepat ke arahnya. Pisau itu tergenggam erat di tangan Lanangseta, tepat pada bagian gagang pisau. Orang-orang yang memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi itu tercengang sendiri. Kaki Lanangseta berdiri tegap, sedikit renggang, dan tangannya mempermainkan pisau yang berhasil ditangkapnya. Keempat lelaki bengis itu mendekat, lalu mengepung Lanang; dua di depan, dua di samping kiri kanan.

"Kamu orang Bukit Badai, ya?!" tanya orang di depannya.

"Anggap saja begitu. Mau apa kalian?"

Lanang bicara dengan tenang, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun.

"Berarti kamu yang ikut membantai saudarasaudara kami, yang sedang berusaha mencari Goa Malaikat itu. Iya?"

"Kalau tidak salah, memang akulah yang membantai mereka. Apa kalian ingin menyusul mereka...?!" Lanang bicara semakin membakar kemarahan keempat orang bengis itu.

"Kunyuk! Bunuh dia...!" Si Muka Tebal memberi perintah, dan ketiga temannya segera menyerang Lanang dalam satu hentakan serempak. Senjata-senjata mereka di arahkan ke tubuh Lanangseta. Mereka bertiga melayang bagai peluru, meluncur dalam satu teriakan: "Heeaaatt...!!!"

Lanangseta melompat ke atas sambil membuang pisau yang berhasil ditangkapnya itu. Ketiga orang itu berguling, karena senjata mereka menemui tempat kosong, Tanpa diduga-duga pisau lemparan Lanang itu menuju ke arah ubun-ubun Si Muka Tebal. Dengan gerakan bagai mengibas burung terbang, pisau itu dapat ditangkis oleh Si Muka Tebal.

Lanang sudah berdiri di suatu tempat,

dalam jarak yang tak terlalu jauh dari mereka. Lelaki bersenjata dua trisula itu segera berlari ke arah Lanangseta dan menghunjamkan trisula kanannya.

"Waoww...!" Lanang berkelit ke kiri dengan nada meremehkan serangan itu. Trisula lolos melewati samping pinggang Lanang. Sementara itu, trisula yang satunya hendak dilancarkan menghunjam perut Lanangseta. Namun dengan melompat semakin ke kiri, senjata itu berhasil dielakkan oleh Lanangseta. Kakinya segera menendang tangan yang memegangi trisula kanan. "Plak...!" Keras sekali tendangan itu sehingga pemilik senjata trisula meringis kesakitan. Tulang tangannya terasa ngilu, sampai-sampai ia tak sanggup mengangkat trisulanya lagi. Kini tinggal satu trisula di tangan kirinya.

Sementara itu, dari samping kiri datang serangan lelaki bergolok pendek. Kendati pendek namun gerakan golok itu tak dapat dilihat oleh mata penonton karena cepatnya. Namun pandangan mata Lanang sudah terlatih melihat kelebatan senjata apa pun, sehingga dapat bersalto ke belakang menghindari bacokan golok pendek itu. Posisinya tepat jatuh di depan Si Muka Tebal, yang tanpa menunggu waktu lama lagi, ia langsung menyerang Lanangseta dengan pedangnya yang berujung runcing. Lanang bahkan semakin bergerak mendekati tubuh Muka Tebal sehingga gerakan pedang runcing yang hendak menusuknya itu terlewatkan.

Bertepatan dengan lolosnya pedang runcing yang bagai hendak mengiris pinggang Lanang, pada saat itu juga kedua pukulan Lanangseta menghantam keras wajah Si Muka Tebal dengan pukulan ganda. Si Muka Tebal terpental beberapa langkah. Dan kaki Lanangseta segera menyambut kehadiran lawan satunya lagi yang datang dari arah samping kanannya. Tendangan samping itu nyaris beradu dengan pedang orang itu. Hanya berjarak beberapa inci saja. Tetapi tendangan samping itu tidak pernah meleset. Tepat mengenai leher orang itu, sehingga untuk beberapa saat orang itu tersedak dan sukar bernafas. Keseimbangan orang itu mulai limbung, dan Lanangseta tak tanggung-tanggung lagi, mendekat satu langkah dan menghantamkan pukulannya di ulu hati lawan dengan pukulan ganda. Darah tersembur dari mulut orang itu yang membungkuk kesakitan.

Secepat itu Lanang melompat ke udara, bersalto ke depan. Sebuah kilatan senjata melesat ke arahnya. Benda kecil yang semula berbentuk bintang lima itu hampir saja menyerempet pelipisnya, kalau saja Lanang tidak memiringkan kepala ke arah kanan.

Orang yang habis menyerang dengan lemparan bintang tajam itu tahu-tahu terpekik tertahan dan terguling-guling di tanah, karena Lanangseta melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan tepat. Dua orang yang masih dalam keadaan segar segera maju bersama. Mereka adalah Si Muka Tebal dan lelaki bersenjata trisula kembar. Pertama-tama kedua trisula menyerang bersamaan dalam posisi sejajar. Tujuannya ke dada Lanangseta. Tak dapat ditawar lagi, Lanangseta terpaksa segera berguling ke dengan, tepat di bawah kaki lawannya. Kemudian sebuah pukulan menggunakan ujung-ujung jari tangannya menyerang paha lelaki bersenjata trisula. Lelaki itu menjerit, pahanya seperti ditutul dengan jari tangan Lanangseta. Tapi ia kelihatannya sangat kesakitan. Ketika ia berbalik sambil memegangi salah satu pahanya, Lanangseta meletik bagai udang, dan melancarkan pukulan totok jari ke punggung orang itu. Pukulan totok jari tersebut membuat lelaki bertrisula tak mampu bergerak lagi. Tangan, kaki dan bahkan jari-jarinya pun tak mampu digerakkan. Tetapi kepalanya masih bisa menengok kian ke mari. Ia berteriak kepada Muka Tebal: "Aku... aku tertotok, tak bisa bergerak! Hancurkan dia!" "Hiaaaaat...!" Si Muka Tebal berteriak sambil mengibaskan pedang runcingnya ke arah lengan Lanangseta. Tubuh kekar itu hanya miring ke depan, dan pedang runcing tak sempat menggores lengannya. Ia melancarkan tendangan samping ke wajah Muka Tebal, namun Si Muka Tebal menangkis tendangan itu dengan salah satu tangan yang tidak bersenjata. Rupanya gerakan menangkis itu diiringi dengan gerakan cabut bintang, sehingga ketika tangan itu lempang lagi, sekilas benda mengkilat melayang cepat tertuju ke dada Lanangseta. Hanya dengan cara berguling ke tanah secepatnya senjata kecil itu mampu dihindari Lanangseta. Namun di luar dugaan, senjata itu melesat ke belakang Lanang, dan di sana ada orang yang tadi mengeluarkan darah dari mulutnya akibat pukulan Lanang. Orang itu tak sadar kalau senjata Si Muka Tebal melesat ke arahnya, sehingga terpekiklah ia karena senjata bintang itu menancap di keningnya. Menancap dalam, hampir terbenam seluruhnya. Lalu orang itu roboh oleh senjata temannya sendiri.

Si Muka Tebal semakin ganas. Ia menyerang dengan kibasan pedangnya secara bertubi-tubi. Lanang sempat keteter mundur menghindari kibasan pedang yang cepat itu. Tahu-tahu dari belakang punggungnya, ada tangan yang menyekap kuat leher Lanang. Tangan itu adalah tangan pemilik golok pendek Tangan itu begitu kekar, dan Lanang sudah dapat memperkirakan bahwa sesaat lagi golok pendek itu akan merobek tubuhnya, mungkin di pinggang, mungkin langsung berkelebat ke depan merobek perutnya. Atau, kalau tidak ia akan ditahan dalam posisi leher terjepit begitu sehingga Si Muka Tebal dapat membabatnya habis-habisan. Maka secara refleks, Lanang memutar tubuh dengan kuat, sehingga orang bergolok pendek itu menjadi berbalik ke arah belakangnya. Punggungnya menghadapi amukan pedang Muka Tebal. Tangannya kuat-kuat menghimpit leher Lanang. Tangan kirinya siap mengayunkan golok ke pinggang Lanang. Namun perkiraan Lanang cukup tepat, sebelum golok menyentuh kulitnya, pasti punggung orang itu sudah terbabat lebih dulu oleh pedang Si Muka Tebal. Dan ternyata benar; "breet...!" Orang itu tersabet pedang Muka Tebal. Ia menjerit dan melemas, lalu roboh. Sedangkan Muka Tebal semakin garang setelah ia melihat pedangnya mengenai teman sendiri.

Wajah Muka Tebal semakin kelihatan berminyak, bagai dibakar oleh kemarahannya.

"Bangsat buruk...!" geram orang itu. "Kau pikir hanya kaulah orang berilmu silat tinggi, hah?"

Lanangseta tampak tenang, berdiri dengan tegap dan bersikap menunggu serangan berikutnya. Kata-katanya cukup jelas, tegas, tapi santai:

"Kau telah mengakuinya sendiri, bukan?!" "Manusia busuk! Terimalah jurus Karang Sak-

tiku ini "

Si Muka Tebal menggerakkan kedua tangannya ke samping kanan-kiri. Kemudian salah satu tangan dilipat ke dada dengan menggenggam kuat-kuat, sampai bergetar. Sementara itu kaki kirinya ditarik mundur dan direndahkan hingga lututnya hampir menyentuh tanah. Ia bergerak maju dalam posisi kerendahan tubuh yang tetap sama dan gerak tangan yang gemetar ke depan ke belakang bergantian, seperti orang hendak berenang. Lalu, semua orang yang menyaksikan pertarungan itu dengan sembunyi-sembunyi menjadi tercengang melihat tubuh Muka Tebal menjadi putih, berbintik-bintik. Mirip karang berjalan. Tubuh itu melesat cepat, menghantam Lanangseta. Pendekar Pusar Bumi tak kalah cepat, ia pun melesat naik ke atas dan bersalto beberapa kali. Ketika ia berguling-guling di udara, rupanya Muka Tebal pun mengikutinya, sehingga ketika Lanang menapakkan kaki ke tanah, Si Muka Tebal pun telah berdiri di sampingnya, lalu memukul kuat-kuat.

Lanangseta terpental akibat angin pukulan Karang Sakti itu, sedangkan pukulan itu sendiri mengenai pohon dan robeklah pohon itu bagai selembar kain dicabik binatang buas. Daun-daun pohon berguguran dan pohon itupun menjadi gundul seketika. Semua orang yang melihat dengan sembunyi-sembunyi mulai terkagum-kagum dan takjub, mereka tak sadar menyerukan kata: "Oohh?!" sebagai pelampiasan ketakjuban mereka.

Lanang baru saja hendak menyerang Muka Tebal yang sudah berubah menjadi batu karang yang lentur, namun kakinya bagai tertahan sesuatu. Rasanya perih sekali. Sepintas sebelum itu, ia mendengar lecutan cambuk dua kali.

Oh, ternyata sebuah cambuk bertali dua telah membelit salah satu kakinya. Cambuk itu berduri pada setiap talinya yang agaknya terbuat dari semacam kawat. Tentu saja darah mulai membasah di kaki kiri Lanangseta dan ia menyeringai menahan sakit. Cambuk itu ditahan kuat-kuat oleh seorang bertubuh gemuk tanpa memakai baju. Salah seorang penonton gelap ada yang berseru;

"Itu dia Surobedog...!!"

Lanangseta mendengar seruan itu, dan ia menatap orang yang mengenakan ikat kepala dari bahan semacam logam perak yang bulat bagaikan pipa kecil. Di bagian keningnya terdapat semacam simbol berbentuk muka raksasa bermulut lebar. Oh, dia yang namanya Surobedog? Pikir Lanang sambil menahan sakit.

Muka Tebal melihat musuhnya terjerat cambuk Surobedog segera memanfaatkan keadaan. Ia melayang dan menyerang Lanangseta. Tapi Lanangseta secepat itu pula menjatuhkan tubuhnya ke samping kendati kakinya masih terikat cambuk dua tali. Namun ia sudah berhasil menghindari goresan tubuh Si Muka Tebal yang seperti karang tajam itu. Tubuh Muka Tebal meluncur dan jatuh beberapa langkah dari tempat Lanang merobohkan badan. Surobedog menggeret kaki Lanangseta dengan satu hentakan kuat. Selain luka di kaki Lanang semakin terluka parah, juga tubuhnya menjadi lebih dekat dengan Muka Tebal. Menurut perkiraan Lanangseta, tubuh yang sudah berubah menjadi seperti karang itu sangat beracun dan tak boleh tersentuh kulit manusia lain. Buktinya pohon saja bisa menjadi robek dan daunnya berguguran semua. Lain tanah tempatnya berpijak dan sekarang diduduki itu mengepulkan asap dan menjadi hangus.

Karena itu, tak ada jalan lain bagi Lanangseta kecuali segera mencabut pedang Wisa Kobranya dari punggung. Kaki semakin dihentakkan oleh Surobedog, dan dia semakin dekat dengan Muka Tebal. Pada saat tangan Muka Tebal hendak menjamahnya, tiba-tiba pedang Wisa Kobra membabat kuat tangan itu. Terdengar teriakan keras dari Muka Tebal ketika tangannya terpotong. Buntung seketika. Karena Lanangseta menganggap Muka Tebal sangat berbahaya untuk posisinya kali ini, maka dengan satu kali kibasan lagi, Lanangseta menghantamkan pedangnya ke tubuh Muka Tebal. Tubuh yang seperti karang itu terbelah menjadi dua bagian. Ia tak sempat menjerit atau berseru sepatahpun. Ia langsung berkelojot sebentar lalu mati tak berkutik lagi.

"Biadab! Kau bunuh teman baikku, bangsat...!" teriak Surobedog dengan kemarahan yang meluap. Dengan keras ia menarik cambuknya yang masih membelit dan menancap pada kaki Lanangseta. Tarikan itu membuat Lanangseta menyeringai kesakitan. Ia berusaha menahannya walau rasa sakit semakin meresap sampai ke ubun-ubun. Lalu dengan satu kali loncatan menggunakan kakinya yang satu lagi, pedang Wisa Kobra berhasil menebas tali cambuk ganda. "Breet...!" Tak ayal lagi, cambuk itu pun putus. Ujungujungnya tertinggal di kaki Lanangseta. Pada saat Lanangseta berusaha melepas potongan cambuk yang tertinggal, Surobedog diam terbengong memandang cambuknya telah menjadi pendek.

Rupanya orang yang bernama Surobedog itu punya ilmu yang cukup tinggi pula. Ia segera membuang cambuknya yang dirasakan tidak berguna lagi itu. Kini ia berkonsentarasi dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lanangseta selesai melepasi duri yang menusuk daging kakinya. Ia segera berdiri hendak menghadapi Surobedog. Namun tibatiba dari ujung-ujung jari yang salingmerapat itu ke luarlah asap putih. Kedua tangan yang merapat itu diarahkan ke tubuh Lanangseta, dan asap putih yang menyembur dari tiap ujung jarinya membuat tubuh Lanangseta menggigil. Asap itu semakin banyak mengurung Lanangseta, dan akhirnya beku bagaikan es. Lanangseta makin meringis kesakitan dan kedinginan. Ia terpaku di tempat, di mana asap putih yang menyelimutinya itu membeku. Kian lama kian keras, dan Lanangseta mulai seperti berada dalam lapisan balok es yang tebal.

"Gawat...! Aku terkurung dalam lapisan es, dan ini sangat memudahkan Surobedog untuk menghancurkan es bersama diriku. Uuhh...! Sialan!" pikir Pendekar Pusar Bumi. Ia ingin menggerakkan salah satu jarinya saja sukar sekali.

Namun pada saat itu ia sempat mendengar suara keras Surobedog yang masuk di telinganya secara sayup-sayup: "Kali ini tamatlah riwayatmu, haram jadah! Ha, ha, ha...!"

Surobedog bersiap melancarkan pukulan andalannya ke arah Lanangseta. Lanangseta berusaha berontak, tapi gagal.

*

**

4

BETAPApun juga Lanangseta masih teringat akan pukulan berbahaya yang dimiliki oleh orangorang Tebing Neraka. Sebuah pukulan yang mempunyai kekuatan dahsyat, memancarkan sinar biru tua, dan membuat korbannya hilang tanpa bekas. Itulah pukulan maut andalan mereka. Seperti halnya yang pernah dialami Lanangseta ketika melawan orangorang Tebing Neraka yang hendak menguasai Goa Malaikat dulu (dalam seri Rahasia Goa Malaikat).

Dan kali ini agaknya Surobedog juga akan melancarkan ilmu tersebut kepada Lanangseta. Gerak jurus pembukanya masih diingat oleh Lanang, hanya nama jurus itu yang tidak diketahui oleh Lanangseta. Dugaan Lanang ternyata memang benar. Dari telapak tangan Surabedog yang dihentakkan ke depan itu keluarlah sinar biru tua, terarah kepada Lanangseta yang tak dapat bergerak karena dibekukan oleh balokbalok es.

"Oh, tamat betul riwayatku kali ini," keluhnya dalam hati. Sinar warna biru tua itu meluncur cepat menghantam balok es yang berisi Lanangseta.

Namun sebelum sinar biru tua itu menyentuh balok es tersebut, tiba-tiba ada sesosok tubuh yang melesat dari suatu tempat, langsung berdiri di depan balok es itu. Sesosok tubuh kurus berjubah kuning menghalangi penglihatan Lanangseta terhadap sinar biru tua itu. Yang ia tahu, sinar biru tua yang melesat cepat itu menghantam tubuh kurus berjubah kuning. Namun tubuh itu tidak hilang seperti biasanya, melainkan justru sinar biru tua itu yang memantul kembali ke arah Surobedog.

"Bangsat...!" Surobedog kelabakan menghindari sinar itu.

Surobedog melompat sambil berguling-guling ke arah kiri, dan sinar biru tua yang memantul ke arahnya itu melesat terus, melewati tempat berdiri semula, lalu menghantam sebuah rumah di mana di situ banyak orang menonton secara sembunyi-sembunyi. Lalu, dalam sekejap mata rumah tersebut hilang tanpa bekas, dan orang-orang yang ada di situ juga hilang semua tanpa kecuali.

Orang yang berdiri menghalangi serangan sinar biru tua itu terkekeh-kekeh. Samar-samar Lanangseta mendengar suara kekehannya. Dan ia yakin, bahwa orang berjubah kuning dan berjenggot putih kemerahan itu tak lain dari Si Tongkat Besi. Kakek tua itu langsung menyerang Surobedog dengan tongkat besinya. Tubuhnya yang kurus melayang seperti kapas ditiup angin. Surobedog berdiri tegak siap menerima serangan kakek tua. Namun, ternyata dia tidak mampu menahan pukulan Tongkat Besi yang menotok lehernya. Ia menjerit dengan leher miring, tanpa bisa berbalik lagi.

"O, hanya begitu...? Wah, masih harus belajar lagi kamu, Celeng Mabok!" ucap Si Tongkat Besi. Kemudian ia melesat, dan mendarat di dekat balok es tempat Lanangseta tersekap di dalamnya. Kakek tua itu tersenyum, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa gelintir itu. Kemudian ia memukulkan tongkatnya pada balok es itu dengan pukulan seakan iseng-iseng saja. Namun, akibatnya cukup mengagetkan orang yang masih menyaksikan adegan tersebut dari balik persembunyian mereka. Balok es itu pecah dan menimbulkan suara letupan kecil. Lalu Lanangseta ke luar dari dalam pecahan balok es tersebut. Ia masih menggigil ketika Tongkat Besi berkata, "Dingin? Ah, itu biasa. Anggap saja mandi pagi hari. O, ya... itu musuhmu di sana. Tulang-tulangnya sebentar lagi akan melemas akibat pukulan tongkat besiku. Hebat aku, ya?"

Lanangseta melihat Surobedog sedang berusaha melepaskan diri dari kekakuan lehernya. Kepalanya masih tetap miring. Lanangseta hanya berkata, "Terima kasih, Kek " kemudian ia segera mendekati Suro-

bedog. Namun baru saja ia maju selangkah, Surobedog melancarkan pukulan jarak jauhnya. Lanangseta melompat, dan secara tak sengaja pukulan itu mengenai Tongkat Besi yang berada di belakang Lanangseta.

Tongkat Besi berjumpalitan sambil mencaci maki tak karuan. Namun ia segera bangkit, ketika itu Lanang sudah menyerang Surobedog.

Kedatangan kaki Lanangseta begitu cepat menghentak kuat dada Surobedog. Lelaki gemuk tanpa baju itu terpental ke belakang dan terguling-guling beberapa kali. Ia pun menyeringai menahan sakit di dadanya yang menjadi merah akibat tendangan itu. Surobedog merasa tak akan sanggup melawan pedang Wisa Kobra yang masih di tangan Pendekar Pusar Bumi itu. Ia ketakutan, dan segera berusaha melarikan diri dengan kepala miring ke kanan.

Lanangseta tak mau tinggal diam begitu saja. Ia sempat berseru, "Tunggu! Jangan pulang ke pimpinanmu begitu saja. Sampaikan salamku buat dia! Hihh...!"

Lanangseta meloncat dan berguling di udara, sambil begitu ia mengibaskan pedangnya dan tepat memotong telinga Surobedog. Tentu saja lelaki tanpa baju itu menjerit sekuat tenaga dan berlutut seketika. Telinga kirinya yang terpotong itu mengucurkan darah segar. Ia berusaha mencari potongan daun telinganya sambil menangis kesakitan. Seorang anak kecil yang bersembunyi di balik gerobak sapi melihat potongan daun telinga, lalu dengan polos dan seperti orang kebingungan anak itu memungut potongan daun telinga Surobedog, kemudian menyerahkannya kepada si pemilik daun telinga itu.

"Pak... ini Pak, telinganya jatuh di situ "

Surobedog geram. Segera menyambut daun telinganya, dan memukul anak kecil itu dengan keras sebagai pelampiasan amarahnya. Tentu saja anak kecil itu terpental jauh dan kepalanya membentur kayu rumah. Anak itu pingsan atau mati, entahlah, tapi yang jelas Surobedog segera melarikan diri seperti seekor babi yang ketakutan.

Perhatian orang-orang terpecah menjadi empat bagian. Ada yang memperhatikan Lanangseta, ada yang memperhatikan larinya Surobedog yang lucu itu, ada juga yang memandangi kakek tua Si Tongkat Besi, dan ada yang memperhatikan anak kecil itu. Agaknya anak itu mati akibat pukulan Surobedog yang keji itu.

"Tidak kau kejar dia?" tanya Tongkat Besi ketika Lanang duduk di bawah pohon sambil memegangi kakinya yang berdarah. Lanangseta menggeleng, "Biar dia lapor kepada ketuanya, bahwa aku telah menantang mereka."

"Mereka, siapa maksudmu?" desak kakek tua yang ingin tahu tujuan Lanangseta. Tapi Lanang menyadari hal itu, karenanya ia hanya menjawab:

"Siapa mereka itu tidak penting bagimu, Kek. Hanya akulah yang penting berurusan dengan mereka. Kuminta jangan ikuti saya...!"

"Aku tidak mengikutimu. Aku hanya sekedar lewat dan melihat kau terkurung dalam gumpalan es. Lalu lawanmu akan memusnahkan kamu dengan ilmu Tapak Musti yang dapat melenyapkan apa saja yang di serangnya. Lalu, yaah... aku iseng-iseng saja menolongmu."

"Kakek tahu itu ilmu Tapak Musti dari mana?" Kakek tua berjubah kuning dan berjenggot pan-

jang itu menyeringai, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa biji itu. "Semua ilmu aku kuasai, aku kenal dan aku pernah miliki. Termasuk ilmu totok tongkatku yang jarang dimiliki orang ini...." Seketika itu Tongkat besi menotok luka di kaki Lanangseta akibat goresan cambuk ganda berduri itu. Tentu saja Lanang menjerit dan berteriak kesakitan. Tubuhnya mengejang. Totokan tongkat besi pada lukanya sangat luar biasa sakitnya. Namun itu terasa hanya beberapa hitungan saja. Setelah itu, tak ada rasa perih, pegal. sakit ataupun ngilu. Tak ada. Yang ada hanya rasa dingin, nikmat. Dan ketika Lanangseta kembali memandang luka kakinya, ternyata sudah tak ada. Kaki itu mulus kembali. Lukanya hilang tanpa bekas. Bahkan setetes darah pun tak ada. Baik di kaki maupun di tangan yang bekas menyapu lelehan darah tadi, sama sekali bersih, sepertinya tak pernah ada luka di kaki Lanangseta.

Mata yang memandang kagum pada kaki itu akhirnya merambat pelan-pelan ke wajah Si Tongkat Besi yang keriput. Lanang memandangnya dengan terbengong. Tapi Tongkat Besi melengos seraya berkata pada diri sendiri:

"Dua kali sudah aku menolongnya, apakah ia tidak tahu berterimakasih?"

Karena Lanangseta mendengar kata-kata itu, maka ia pun segera berkata, "Terima kasih, Kakek yang baik hati...!"

"Makanya belajarlah kalau kau belum pintar," ujarnya.

Tapi Lanang tak mau membuang-buang waktu

lagi.

Pada saat Si Tongkat Besi berpaling, ia terkejut

karena sudah tidak menemukan Lanangseta duduk di tempatnya semula. Ia clingak-clinguk sebentar, kemudian menyumpah serapah. "Manusia dungu! Keras kepala! Goblok...! Pergi tanpa pamit! Seenaknya saja! Kucing kurap dia itu...!" seraya kakek tua itu bersungut-sungut pergi dari situ.

Ke mana Lanangseta sebenarnya? Ia melejit ke atas pohon dengan ilmu peringan tumbuh yang sempurna, yang sampai tak terdengar dan tak terasa anginnya. Ketika Tongkat Besi pergi semakin jauh, berlawanan arah dengan larinya Surobedog tadi, maka Lanangseta pun turun dari atas pohon, kemudian melesat menyusul Surobedog. Ia yakin langkah Surobedog akan menuju Tebing Neraka. Setidaknya ia harus melaporkan atas kematian tiga anak buahnya dan satu anak buahnya lagi masih terdiam kaku tak diurus, akibat terkena totokan darah dari Lanangseta.

Betul dugaan Lanang. Surobedog lari menuju arah jurang, yang konon diberi nama Jurang Gempal. Barangkali di sana tidak jauh dari tempat Puri Tebing Neraka. Pendekar Pusar Bumi mengamati dari kejauhan. Ketika Surobedog melompat ke bawah jurang, Lanangseta terbelalak kaget. "Wah, dia bunuh diri?! Sialan!" gerutu Lanangseta seraya menghambur mendekati tepian jurang.

Ternyata ia salah duga. Dari tepian jurang ia melihat Surobedog berjalan pada suatu lereng tebing yang datar. Tempat itu sepertinya sengaja dibuat datar sebagai jalan rutin yang akan dilalui oleh beberapa orang. Dari jalanan datar di lereng tebing sampai ke tepian jurang mempunyai ketinggian yang cukup mengerikan. Tapi, mungkinkah jalanan datar itu menuju ke Puri Tebing Neraka? Untuk menjaga kepenasarannya, Lanangseta pun turun ke lereng tebing yang curam. Ia melompat-lompat, menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Namun pada satu kali ia nyaris salah menapakkan kaki. Sebuah batu yang diperkirakan cukup kuat menahan berat badannya, ternyata ambrol. Lanangseta terpelanting, terguling-guling. Gemuruh batu berjatuhan terdengar samar-samar. Batu itu menggelinding melewati jalanan datar, masuk ke celah jurang di bawah jalanan datar itu. Batu tersebut hilang, tanpa bunyi lagi. Dan itu berarti jurang di seberang jalan itu sangat dalam. Mungkin tak ada manusia yang dapat selamat jika jatuh ke sana.

Lanangseta segera berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya kembali. Akhirnya ia pun mampu mendarat di jalanan datar tersebut dengan baik. "Woww...! Rupanya jalanan ini cukup panjang, dan makin lama semakin melebar," pikir Pendekar Pusar Bumi. Ia sempat melihat Surobedog di kejauhan sana. Hampir seperti setitik yang berjalan cepat.

"Aku harus mengikuti Surobedog. Pasti dia menuju pusat pemerintahan orang-orang Tebing Neraka."

Lanangseta pun meneliti keadaan sekeliling, ternyata jurang yang di seberang jalanan datar itu pun makin lama semakin melebar. Ada satu keunikan dalam jurang tersebut, yaitu adanya asap tipis, sangat tipis, yang bergerak berputar-putar. Meski jurang itu berasap tipis, namun tidak mengganggu pemandangan di dasarnya. Jurang itu tidak setinggi antara jalanan datar dengan tepian jurang tempat kedatangan Lanang tadi. Jurang berasap tipis itu cukup rendah. Dasarnya terlihat mengkilat, bagai berlapis batu-batu permata warna putih. Bagus dan indah sekali. Dari batas asap tipis ke bawah, dinding jurang itu pun bagai berhiaskan batu-batu mutiara laut. Berkerelap menakjubkan. Barangkali batu-batu permata yang indah itulah yang dipertahankan oleh penguasa Puri Tebing Neraka itu.

Lanangseta bermaksud turun ke dasar jurang berasap tipis itu. Namun ia takut kehilangan jejak Surobedog, sehingga ia membatalkan niatnya, menarik kakinya yang sudah hendak turun ke tebing jurang berasap. Ia segera lari secepat mungkin, mengejar Surobedog.

"Gila...!" gumam Lanangseta. Ia memandang sebuah dataran yang berada di tengah jurang berasap. Dataran itu bagai tersembul dari dasar jurang dan membentuk bukit, atau pulau kecil terdiri dari bebatuan dan cadas merah. Jurang semakin lebar, kedalamannya tetap, seperti sebuah kawasan bekas sungai yang kering. Asapnya tipis mengitari pulau cadas merah itu. Di atas cadas merah yang selebar alun-alun di depan Kadipaten Nilakencana itu terdapat sebuah bangunan. Bangunan semacam rumah bersama, atau lebih tepatnya sebuah asrama itu terbuat dari batu pualam seluruhnya. Dindingnya jelas amat kokoh. Bangunan itu agaknya bertingkat dengan genting dari kayu-kayu berukir. Mewah dan mengagumkan sekali.

Jika orang akan ke sana, ia harus turun ke jurang berasap dan menaiki tangga menuju dalam bangunan tersebut. Tetapi, Lanang tidak melihat ada tangga yang menuju ke sana. Surobedog juga tidak berjalan menuruni jurang berasap, tapi dia meniti sebuah jembatan yang terdiri dari seutas akar pohon yang telah dirajut menjadi seutas tali. Hanya seutas. Jembatan aneh itu terentang dari jalanan datar sampai ke pintu gerbang bangunan tersebut. Jelas hanya orangorang yang punya ilmu peringan tubuh yang dapat meniti jembatan tersebut.

Pendekar Pusar Bumi segera bersembunyi di balik suatu celah tebing ketika tubuh Surobedog terlihat melayang bagai daun kering melewati seutas jembatan itu. "Hemm... ilmu peringan tubuhnya cukup lumayan," pikir Lanangseta. Semakin dekat Lanangseta mengintai, semakin jelas bahwa bangunan besar di atas pulau cadas merah itu tidak mempunyai pintu gerbang seperti layaknya pintu gerbang di sebuah istana, atau sebuah Kadipaten. Pintu gerbang itu hanya berbentuk sebuah pintu yang tertutup, namun sebenarnya itu adalah pagar dari batu pualam yang diukir menyerupai pintu gerbang. Buktinya sewaktu Surobedog memasuki pintu gerbang, ia mengandalkan ilmu peringan tubuhnya, meloncat dengan cepat dan masuk dalam bangunan berpagar batu pualam itu. Lanangseta manggut-manggut. Sebelum jauh ia bergerak, memang ada baiknya ia mempelajari kelemahan dan kekuatan daerah tersebut. Bagi Lanangseta, masuk ke dalam bangunan itu memang tidak mudah. Resikonya cukup besar, kalau tidak jatuh ke dasar jurang, mati dihunjam jebakan. Pasti ada jebakan di sekitar jembatan seutas itu, atau di depan pintu gerbang palsu itu. Kalau jatuh ke dasar jurang berasap masih lumayan, kemungkinan mati tipis, tapi kemungkinan patah tulang besar. Hemm... jadi harus bagaimana untuk masuk ke sana dan bertemu dengan Cakar Setan? Pikir Pendekar Pusar Bumi dari tempat persembunyiannya.

Sebenarnya Lanangseta ingin segera bergerak mendekati jembatan kecil itu. Namun terpaksa ia berguling sejenak, karena merasa ada angin kencang datang dari arah belakang. Lalu, "craak...!" Sebuah tombak menancap pada batu cadas coklat tempatnya bersembunyi. Ia berpaling, ooh...

Tiga orang berotot dan bertampang sangar berdiri tegap dalam jarak kira-kira sepuluh langkah dari Lanangseta. Mereka memandang dengan sorot mata yang dingin, menyeramkan. Pastilah mereka itu adalah pengawal jalanan datar yang tidak pernah mempunyai belas kasihan sedikitpun. Wajah-wajah mereka, adalah wajah-wajah pembunuh berdarah dingin yang tidak bisa diremehkan.

Lanangseta mengajaknya tersenyum. Namun tidak ada balasan. Jelas sudah naluri bermusuhan telah menjalar pada darah mereka, dan nafsu membunuh tak terelakkan lagi.

Hei, sobat... aku ingin bertemu dengan Si Cakar setan, bagaimana caranya?" Lanang tetap bersikap ramah namun penuh kewaspadaan. "Kau ingin bertemu pimpinan kami?" tanya seseorang dari ketiga manusia berdarah dingin itu.

"Ya, bagaimana caranya untuk mencapai ke bangunan itu?"

"Dengan melangkahi mayat kami," jawab orang yang berkumis tebal, paling tebal dari kedua kumis temannya.

"O, kalau begitu kalian harus mati dulu? Apa tidak sayang pada nyawa sendiri? Apa tidak menyesal mati di tanganku?"

"Jangan banyak bacot! Kalau sudah masuk ke wilayah Tebing Neraka, berarti sudah mati! Ciaaaat..!"

Orang bersenjata semacam clurit itu berteriak dan melompat menyerang Lanangseta. Tebasan cluritnya begitu cepat, dan menimbulkan hentakan angin yang membuat Lanang terhuyung-huyung ke belakang. Kemudian dua orang lagi melompat ke dua sisi, kiri dan kanan. Maka terkepunglah Lanangseta, masuk dalam perangkap jurus ketiga penjaga jembatan itu.

Orang di samping kanan Lanangseta mencabut senjatanya berupa bumerang logam yang tajam dan mengkilap itu. Sedangkan orang berbaju merah di samping kiri memegang senjata tombak trisula bergagang pendek, kira-kira separoh dari ukuran tombak biasanya. Trisula itu cukup tajam. Buktinya ketika Lanang diserang dengan gerakan menebas, dan berhasil dielakkan oleh Lanang dengan menarik kepala ke belakang, senjata itu menyasar mengenai batu besar di samping Lanangseta. Batu itu gompal beberapa bagian dan bunyi denting akibat benturan senjata dengan batu amat keras dan jelas.

Juga sebuah bumerang besi yang melayang cepat berputar-putar nyaris menebas hidung Lanang, begitu berhasil dielakkan, senjata itu menyentuh sebuah tonjolan batu hitam. Batu keras itu bagai terkikis hancur pada bagian ujungnya, dan senjata bumerang itu kembali lagi ke tangan pemiliknya.

"Busyet...! Tak bisa dibuat malas-malasan kalau begini...." pikir Lanangseta sambil mencabut pedang Wisa Kobra dari punggungnya. Tepat pada waktu ia mencabut, datangnya serangan dari orang yang bersenjata tombak trisula. "Wuuus...!" Benda itu hampir saja menebas perut Lanangseta kalau tidak segera berkelit miring ke kiri. Namun rupanya itu suatu gerak tipuan, di mana saat Lanang berkelit, ia disambut dengan satu tendangan amat kuat. "Aaakh...!"

Lanangseta kesakitan, ia terjengkang ke belakang. Tendangan itu cukup keras. Jika orang biasa yang menerimanya mungkin orang itu akan mati seketika, atau pingsan mendadak. Lanangseta segera bangkit, tapi sebuah benda melayang ke arah lehernya. Seinci lagi menggores dada Lanang. Untung dia segera merebah telentang, lalu dengan gesit kedua kakinya melengkung ke bagian kepala dan dengan satu hentakan kuat ia melentik ke udara. Pedang siap di tangan pada saat ia disambut oleh lelaki berkumis paling tebal. Senjata cluritnya membabat leher Lanang berulangkali, namun Lanang menundukkan kepala dan berguling secepatnya. Ia baru saja hendak menebaskan pedangnya, tapi tombak pendek bermata trisula tajam itu telah lebih dulu menancapnya di tanah. Untung gerakan pedang sangat cepat sehingga trisula itu mampu ditebasnya dan patah menjadi dua bagian.

Ketiga penjaga tercengang melihat kehebatan pedang tersebut. "Serang bersamaaa...!" teriak salah seorang, dan Lanangseta segera menjejakkan kakinya ke tanah walau dalam keadaan terbaring. Tubuhnya melesat tinggi, dan serangan ketiga pengawal itu membentur tanah cadas.

Lanang mendarat tepat di bibir tebing berasap. Pikirnya, kalau keadaan memaksa ia bisa melarikan diri dengan terjun ke dalam jurang berasap itu. Menurutnya ia lebih baik buru-buru lari ke bawah jurang dan menunggu mereka menyerang.

Baru saja ia hendak melompat ke bawah, tahutahu ia terpaksa sibuk menangkis serangan bumerang yang mengagetkan. Bumerang itu diadu dengan pedang Wisa Kobra. Terdengar bunyi: "craang...!!" Dan bumerang itu pun pecan menjadi tiga bagian. Pemiliknya semakin emosi. Ia melayang dengan kaki kanan lurus menyerang Lanangseta dan kaki kirinya ditekuk ke arah selangkangan. Gerakan itu sangat cepat, bagai hembusan angin. Kalau saja dada Lanang terkena tendangan, sudah pasti setidaknya ia akan terjungkal ke dasar jurang berasap. Tetapi kegesitan Lanang membuktikan bahwa dalam keadaan bagaimanapun sempitnya, ia masih mampu menghindari tendangan maut itu dengan meloncat ke arah samping depan dan kakinya bergerak memutar seperti kipas. Kaki Lanangseta mengenai kepala orang itu, dan orang itulah yang terjungkal ke jurang berasap. Ia menjerit ketakutan, untuk kemudian diam selamanya. Sepi. Kedua temannya membelalakkan mata dan memburu ke tepi jurang, melongok ke bawah, sama seperti Lanang juga. Lalu Lananglah yang menjadi amat heran melihat tubuh orang tadi tidak kelihatan sama sekali. Ia hilang. Musnah dan di dasar jurang tak tertinggal bekas baju atau pun sobekan celananya.

Seketika itu merindinglah tubuh Lanangseta. Ternyata jurang berasap tipis itu bukan jurang yang ramah. Ia mampu menelan orang atau benda apa pun tanpa meninggalkan bekas. Uff... untung Lanang tadi tak sempat nekad terjun ke dasar jurang dan menunggu lawannya di sana. Kalau dia tadi sempat terjun ke dasar jurang berasap, atau berjalan menyusuri dasar jurang seperti rencananya semula, sudah pasti ia akan lenyap seperti itu. Iih... selamat, selamat.....pikir Lanang sambil bergidik.

Itulah saat kelengahan Lanang. Ia tak sadar kalau musuhnya sudah menyiapkan pukulan jarak jauh secara bersamaan. Pukulan itu melancar keras, mengenai dada serta ulu hati Lanang. terpentallah tubuh Pendekar Pusar Bumi yang kekar itu. Ia tak dapat mengontrol diri sehingga jatuh ke tepian jurang berasap. Kepalanya sudah terjuntai ke arah dasar jurang. Lawannya bergegas untuk merampungkan serangan berikutnya, sebagai serangan yang akan melemparkan Lanang ke dasar jurang berasap. Namun pada saat itu, sekelebat bayangan berkelit dan menyambar tubuh Lanangseta. Dengan ringan bayangan warna hijau itu mengangkat tubuh Lanang dan pergi bagai kilat melesat.

*

* *

5

FAJAR pagi masih menghantarkan butiran embun dingin. Kendati matahari telah bergegas bangkit dari peraduannya dan memancarkan surya kehangatan, namun udara dingin masih tersisa di kulit tubuh Pendekar Pusar Bumi. Lelaki tampan yang berbadan tegap perkasa itu berkejap-kejap matanya. Seluruh tulangnya terasa ngilu, pegal, sepertinya ia baru saja bangkit dari kematian.

Sebuah tangan halus mengusap keningnya. Ia mulai sadar bahwa saat itu ia sedang merebah dalam bantalan kedua paha yang hangat. Dan saat itu pula ia sadar, bahwa ia berada dalam Goa Malaikat, tepat di persimpangan lorong. Seraut wajah anggun yang menggetarkan hati terpampang jelas di matanya. Wajah itu, wajah Kirana Sari yang sepanjang perjalanan menuju Tebing Neraka selalu lekat di pelupuk mata Lanangseta.

"Lanang...." sapa perempuan berwajah cantik dan anggun itu. Sapaan itu bagai ucapan selamat pagi dari sekerat hati yang mencintainya.

Lanangseta bergegas bangkit dari rebahannya. Tapi ia terpaksa menyeringai karena ada rasa nyeri pada bagian dada dan ulu hati.

"Pelan-pelan...." bisik Kirana yang ayu. "Kau baru saja terbebas dari Racun Neraka."

Kirana membantu Lanangseta untuk duduk. Jemari tangan lentik itu mengusap lembut rambut Lanangseta dan merapikannya anak rambut yang meriap di kening.

"Apakah aku terkena Racun Neraka?" Lanang sedikit parau.

Kirana mengangguk lembut. "Kau terkena pukulan tenaga dalam dari Kumba Kumbi. Pukulannya itu mengandung racun yang sangat berbahaya, bernama Racun Neraka."

Lanangseta berkerut dahi dan mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya. Lalu, ingatannya telah berhasil merekam segala kejadian; jalanan datar di lereng tebing, jembatan seutas, jurang berasap tipis yang mampu melenyapkan salah satu musuhnya, dan kedua orang bengis yang melancarkan pukulan jarak jauh secara tiba-tiba.

"Oh, ya. " Lanangseta mengangguk-angguk da-

lam renungannya. "Tapi mengapa aku bisa berada di Goa Malaikat ini? Siapa yang membawaku dari Tebing Neraka itu?"

Senyum manis mekar di bibir Kirana Sari yang sensual. Pendekar Pusar Bumi merasa diguyur sepercik air surgawi yang menyegarkan hati begitu melihat senyuman itu. Pandangan matanya tak mau terlepas dari sorot mata Kirana. Dalam bisik yang samar Lanangseta berkata:

"Kaukah penyelamatku? Yang membawaku ke

mari?"

Dalam kedipan mata bagai kerling permata itu

Kirana mengangguk, senyumnya pun masih menghias wajah cantik yang anggun. sorot mata tajam yang meneduhkan itu masih memandang Lanangseta. Kedipkedip. Lalu menjadi sayu. Dan itulah sebuah pertanda yang dimiliki Kirana Sari. Ia telah meregangkan bibirnya yang ranum, merekah pasrah. Lanangseta tak  mau mengecewakan harapan hati Kirana. Maka dikecupnya bibir itu perlahan-lahan. Semula hanya tersentuh-sentuh lembut, kemudian menjadi menghangat dalam dekapan yang mesra. Darah berdesir dan membuat debaran di dalam dada semakin nyata. Itulah debaran cinta mereka, dibarengi rindu mereka yang kian hangat kian membuat sejuta bunga bertaburan merangkai sukma.

Desir kemesraan berhenti di ujung genggaman tangan mereka. Kirana tersenyum puas, membiarkan kepalanya bersandar di pundak Pendekar Pusar Bumi. Jemarinya yang lentik itu bermainkan ujung rambut kekasihnya. Mereka bungkam sesaat, menikmati derasnya aliran kerinduan. yang tadi sempat berdesir di dalam darah mereka. Lambat laun, ingatan Lanangseta kembali menerawang pada tebing maut berpemandangan aneh. Tebing Neraka yang menyeramkan di balik kesunyiannya, sungguh membuat merinding bulu kuduk tiap manusia.

"Baru sekarang seseorang berhasil melukaiku dengan pukulan jarak jauhnya," ujar Lanangseta bagai bicara pada diri sendiri.

"Kumba, Kumbi... memang cukup tangguh. Karena itu mereka ditempatkan sebagai penjaga Jembatan Kubur. Mereka tak dapat mati. Jika seorang mati, yang seorang menghentakkan kakinya ke tanah, maka yang mati akan hidup kembali. Mereka kakak beradik yang mempunyai ilmu tinggi."

Kirana berkata dengan mempermainkan rambut Lanangseta.

"Jembatan Kubur itu yang seperti seutas tali?" tanya Lanangseta seraya berpaling memandang Kirana, dan Kirana mengangguk. Lanang bertanya lagi, "Dari mana kau tahu daerah itu dan seluk-beluk manusianya?"

Lama sekali Kirana terbungkam, seperti sedang meresapi suatu kenyerian di hatinya. Beberapa saat kemudian, ia pun menjawab dengan suara datar:

"Ibuku, tewas di sana "

"Oh ?!" Lanangseta bagai disengat kelabang. Ia

membelalakkan mata dan memandang Kirana lebih tegas lagi.

"Ibumu ?!"

Kirana mengangguk. "Kekuatan kami tidak seimbang. Mereka orang-orang yang bagaikan tak bisa mati. Terutama Si Cakar Setan dan "

"Dan siapa yang dimaksud dengan sebutan Gusti Dalem itu?" sahut Lanangseta. "Pucuk pimpinan mereka yang tidak setiap orang bisa bertemu dengannya. Dia paling jahat dari semua penjahat di bumi ini. Kabarnya, dia pernah memakan bayi mentah-mentah dalam keadaan bayi itu masih hidup, sampai akhirnya mati sebelum habis termakan semua."

"Gila...!" desis Lanangseta membayangkan kekejaman itu.

"Karena itu, sejak ayah menyuruhmu menumpas orang-orang Tebing Neraka, sejak saat itu hatiku selalu cemas dan gelisah. Kubayang-bayangi kau dari rumah, dan ternyata kecemasanku menjadi kenyataan. Kau hampir saja lenyap ditelan waktu."

Berkerut dari Lanang mendengar kata-kata yang terasa janggal di hatinya.

"Ditelan waktu? Bukankah aku nyaris masuk ke jurang berasap itu?"

Kirana bangkit, berjalan menatap sinar matahari dari mulut goa. Lalu ia berkata dengan tenang, tanpa memandang kekasihnya:

"Manusia memandang jurang itu sebagai jurang berasap yang kelihatannya tidak mempunyai suatu kedahsyatan. Tetapi di situlah sebetulnya letak pusaran arus waktu. Dari jurang berasap itulah alam ini terpengaruhi masanya. Semakin mendekati jurang itu, semakin cepat perbedaan waktu dengan di sini atau di tempat lain."

"Aku kurang jelas," sergah Lanangseta sambil berkerut-kerut memandang Kirana. Lalu, Kirana pun mendekat.

"Berapa hari kau pergi ke Tebing Neraka itu dari rumahku?" tanya Kirana. Ia menyempatkan mengusap-usap pipi Lanangseta dengan lembut.

"Tiga hari sejak keberangkatanku dari rumahmu itu."

Kirana menggeleng dalam senyum tipis yang disuguhkan kepada Lanangseta. "Dua hari kau berangkat dari rumah, kau tiba di sebuah desa, bukan?"

"Ya."

"Lalu kau berjalan dari desa itu ke Jurang Gempal kira-kira hampir satu hari.'"

"Ya. Hampir satu hari aku mengikuti Surobedog," kata Lanangseta sambil mengangguk.

"Dan kau turun pada saat itu juga?".

"Benar. Aku turun ke tebing, mencapai jalanan datar yang berada di lereng tebing itu."

"Pada saat kau berada di jalanan datar itu, kau tidak terasa telah melewati empat kali masa matahari terbenam."

"Hah...?!" Lanangseta terkejut, wajahnya tegang, mulutnya melongo. Namun bagi Kirana ia tetap tampan dalam keadaan seperti itu. Kirana menjelaskan lagi: "Semakin kamu masuk ke kawasan tebing itu, semakin cepat waktu berputar. Kau melihat sorot matahari di sana?"

Setelah berkerut mengingat-ingat, Lanang pun menggeleng. "Tidak. Aku hanya menemukan alam yang teduh, mendung tidak, panas tidak. Teduh dan nyaman sekali tinggal di sana."

"Nah, itulah sebabnya kau tidak akan merasa bahwa kau telah ada dalam pengaruh perputaran waktu. Kau tidak merasa kalau di permukaan bumi ini sudah berjalan 4 hari, empat kali matahari terbit dan tenggelam."

"Gila...." desis Lanang, sekali lagi dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Kirana tertawa pendek melihat pendekar tampan tertegun bengong seperti itu. Lalu ia mencium dengan gemas pipi Lanangseta dalam tawanya.

"Jadi, aku telah berada empat hari di sana? Ah rasanya baru beberapa saat saja."

"Kau sudah seminggu berpisah dengan ku, Lanang." bisik Kirana dalam pelukannya.

"Sukar dipercaya. Sungguh sukar dipercaya hal itu."

ini." "Memang. Tapi itulah keajaiban alam semesta "Oh, jadi... bukan karena bikinan orang-orang Tebing Neraka itu?"

Kirana menggeleng. "Mereka hanya memanfaatkan keganjilan yang ada di jagad ray a ini. Dan memang bukan hanya jurang berasap saja yang menjadi keganjilan seperti itu. Sebenarnya banyak keganjilan alam lainnya yang bisa dimanfaatkan, tapi umumnya manusia bahkan menjauhi dan merasa ngeri. Berbeda dengan orang-orang Tebing Neraka itu, mereka memanfaatkan keganjilan alam tersebut, hanya saja berada di jalan yang hitam."

"Ob, ya... ya... ya... sekarang aku baru tahu, mengapa lawanku yang terlempar ke dasar jurang berasap itu hilang. Tak ada bekas sesobek pun pakaiannya yang terlihat di dasar jurang."

"Ia tak pernah menyentuh dasar jurang. Ia hilang sebelum kulitnya menyentuh dasar jurang. Karena di situlah letak perbedaan waktu yang amat jauh dengan waktu di permukaan bumi ini. Dan... orang itu mengalami nasib serupa dengan ibuku. Lenyap, tak tahu di mana rimbanya. Tapi menurut ayah, ibu berada di alam lain."

"Alam kematian?"

"Tak pasti alam kematian. Tetapi menurut ayah, ada alam lain yang membentang di jagad raya ini. Yaitu tempat suatu kehidupan yang tak pernah terjangkau oleh mata dan pikiran manusia, sehingga hanya disimbolkan dalam sebuah dongeng, dan di golongkan sebagai dunia khayalan. Menurut ayah, pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak dapat menjangkau pengetahuan soal itu. Jadi, sarannya, lebih baik kita menerima keganjilan itu sebagai sesuatu yang aneh, yang tak perlu ditelusuri kehakikiannya. Saranku pun demikian kepadamu " "Saran apa?"

"Lebih baik kau cari Sekar Pamikat sekarang juga, dan mintalah restu darinya. Ingat, saat ini Sekar Pamikat jauh lebih sakti dari kita, bahkan dari ayahku sendiri."

"Sekar...?" Lanangseta termenung. Ada guratan duka di permukaan wajah tampannya. Guratan duka itu tak jauh dari segenggam kenangan. Kenangan masa lalu bersama Sekar Pamikat. Dan, kenangan itulah yang mencipta rindu menyengat hati, lalu menumbuhkan kilasan-kilasan duka di wajahnya. Kirana tahu hal itu, namun ia tidak cemburu. Ia bisa memaklumi perasaan orang lain, sebab ia ingin orang lain pun dapat memaklumi perasaannya.

"Aku khawatir Sekar sudah masuk ke dalam kenyataan goa ini, seperti yang pernah kau sebutsebutkan."

"Memang. Itu tidak salah."

"Tapi di mana letak goa ini sebenarnya? Di mana pusat goa ini yang kau sebut sebagai kenyataan goa itu?"

Kirana angkat bahu. "Aku belum pernah menemukan. Tetapi, mungkin aku bisa menemanimu mencarinya."

Lanangseta bangkit dari duduknya. Rasa nyeri di dada serta ulu hati telah berkurang. Ia mengusap dadanya sebentar. Kirana berkata: "Mungkin pengobatanku kurang sempurna, ya? Masih sakit?"

Lanangseta tersenyum. "Tak seberapa. Tapi... terima kasih atas pengobatanmu. Aku kagum padamu, cantik...." kata Lanangseta dengan menyebut kata 'cantik' sebagai ganti nama Kirana. Perempuan anggun yang berpandangan dewasa itu tersenyum tipis, lalu melangkah lebih dulu sebelum Lanangseta bergerak.

Sebenarnya mereka akan melangkah berdua, mencari pusat goa yang sebenarnya, yang menurut istilah Kirana sebagai 'kenyataan goa' itu. Tetapi mereka terpaksa membatalkan niatnya untuk melangkah berdua, sebab dari arah depan mereka, terlihat seorang berlari-lari membawa api pada sebatang kayu. Lanangseta menatap di kedalaman lorong, menggumam lirih pada saat api itu semakin mendekati mereka. Lalu terlontarlah kata panggilan:

"Ludiro...?! Paman Ludirokah itu...?!"

"Ya, aku...! Ada kabar buruk, Lanang...!" suara Ludiro yang semakin lama menghilang bagaikan biasabiasa saja.

"Paman...?! Aku mencemaskan dirimu. Sudah satu minggu lebih aku mencari kesempatan untuk mencarimu tapi "

"Seminggu lebih?!" Ludiro kaget. "Astaga ! Aku

sampai tidak merasa kalau sudah seminggu lebih mencari Putri Ayu Sekar Pamikat...?! Dan... dan aku tidak merasa lapar atau dahaga di dalam goa ini? Aneh!"

Kirana dan Lanangseta juga merasakan keanehan itu. Lalu Kirana berkata kepada Lanangseta, "Mungkin itulah keistimewaan Goa Malaikat ini "

"Maaf, Nona siapa?" Ludiro bertanya.

Lanang menjelaskan kepada Ludiro siapa Kirana itu, dan juga menceritakan tentang Pendekar Maha Pedang yang telah selamat serta telah pergi bersama kekasihnya: Andini, si gadis manja itu. Lanang perlu menceritakan hal itu, sebab Ludiro tidak ikut dalam pertempuran melawan serbuan orang-orang Tebing Neraka (dalam kisah Rahasia Goa Malaikat). Sudah tentu hal itu sangat mengagetkan Ludiro dan membuat lelaki pendek berbadan kekar itu terheran-heran. Kepada Kirana sendiri. Lanangseta menjelaskan sekali lagi siapa itu Ludiro, dan apa hubungannya dengan Sekar Pamikat. Kirana hanya mengangguk-angguk memahami keterangan tersebut.

"Baiklah, ada yang lebih penting yang harus kusampaikan kepadamu, Lanang," kata Ludiro.

"Tentang apa?"

"Sekar," katanya terputus karena ia harus menelan ludah. Ludiro kelihatan tegang. "Saya menemukan lorong lain, tempatnya masuk ke dalam melalui tangga batu. Kemudian di sana aku juga menemukan ruangan aneh, ada semacam kamar besar yang tertutup batu atau tembok batu amat kokoh. Aku yakin itu ruangan. Dan di depan ruangan itu, aku menemukan Cambuk Naga milik Putri Ayu Sekar Pamikat...!"

"Dia sendiri?" Lanang semakin ikut tegang. "Putri sendiri... tidak kutemukan di mana-

mana. Dan... marilah ikut aku. Coba perhatikan apakah cambuk itu benar milik Putri Ayu atau bukan "

Lanang dan Kirana mengikuti langkah Ludiro yang membawa kayu bakar. Nyala api kayu itu cukup stabil, tidak meliuk-liuk karena hembusan angin. Ludiro bahkan berkata: "Semua ini terjadi sangat aneh. Sudah seminggu lebih aku berada di dalam goa, sedangkan api kayu ini belum sempat padam sejak kunyalakan tempo hari itu, Lanang." Lanang hanya menggumam dan merenungi keanehan yang ada. Entah berapa lama mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong. Ludiro yang tahu liku-likunya tempat itu. Rupanya ia sengaja mempertajam ingatannya untuk dapat kembali ke tempat yang dimaksud. Dan ternyata, setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah lorong yang menuju ke bawah. Lorong itu mempunyai tangga batu yang menuju ke bawah dengan ukuran lebar 3 kali ukuran tombok.

"Di dalam sana saya menemukan Cambuk Naga milik Putri," kata Ludiro kepada Kirana Sari.

"Mari kita ke bawah," bisik Kirana kepada Lanang, dan Ludiro segera melangkah lebih dulu. Mereka menuruni anak tangga dari batu yang tersusun rapi. Jumlahnya lebih dari 100 anak tangga, bahkan Lanang sendiri sempat berhenti satu kali untuk mengatur pernafasannya. Maklum, ia baru saja sembuh dari sakitnya, sehingga kondisinya tidak seprima biasanya.

Jika tanpa penerangan lampu kayu yang dibawa Ludiro, mungkin mereka akan tersasar ke lorong kiri, sebab di situ ada juga anak tangga yang menuju lorong kiri. Tetapi berkat bantuan nyala api kayu itu, mereka akhirnya tiba di ruangan yang lembab. Hawa dingin menembus tulang. Debu-debu melekat dengan barang yang ada di sana karena kelembapan. Juga lumut-lumut menghijau pada dinding sebuah ruangan besar. Menurut Kirana, ruangan itu adalah sebuah balairung yang disebut oleh sejarah leluhurnya sebagai Pendopo Agung. Tepat seperti tertulis dalam kitab sejarah leluhur Kirana, di situ memang ada sebuah bangunan; menyerupai sebuah kotak atau kamar besar yang terbuat dari batu. Bangunan itu, dan juga dinding di sekitar Pendopo Agung itu, mempunyai bebatuan yang terpotong rapi dan halus. Disusun rapi dengan tanah perekat yang begitu kokoh. Di sisi bangunan tengah itu terdapat sebuah pintu dari batu berbentuk lengkung bagian atasnya. Di depan pintu itulah Ludiro memperlihatkan ada Cambuk Naga tergeletak di sana. Selain Cambuk Naga, juga Pedang Jalak Pati milik Sekar Pamikat. Lanangseta memungut benda itu dan mengamatinya dengan keharuan hati yang menyayat. Tak sadar mulutnya mengucap kata: "Sekar...." dalam desah menghibakan.

"Aku yakin, Putri ada di kamar ini," kata Ludi-

ro.

Lanangseta memandang kamar tersebut, lalu

berusaha membukanya namun berulangkali ia gagal mendorong pintu tersebut.

Kirana memegang tangan Lanangseta ketika pendekar itu hendak memukul pintu. Kirana berkata dengan tenang:

"Jangan bertindak bodoh. Aku tahu tempat ini tidak seperti tempat lainnya. Banyak jebakan dan perangkap yang mematikan."

"Aku butuh bertemu dengan Sekar! Paling tidak untuk minta restu kepadanya seperti saranmu itu."

"Tapi tidak harus dengan kekuatan pisik. Pendopo Agung ini, menurut catatan sejarah leluhurku, dikerjakan dengan segala kelembutan; pekerjaan yang lembut, tenaga-tenaga yang lembut, dan hati mereka pun penuh kelembutan, sehingga dengan kelembutan pun kita harus bertindak di sini." Kirana memandang sekeliling, sebuah kesunyian membentang di sanaLalu, tiba-tiba ia bicara setelah berpikir beberapa saat:

"Ketuklah pintu itu dengan lembut sebanyak tujuh kali."

"Apa?!" Lanang merasa heran dengan anjuran itu. Kirana mengulangi kata-katanya dan Lanangseta nyata betul menampakkan keheranannya. Namun kemudian ia mengikuti juga saran Kirana. Ia mengetuk pintu batu yang kokoh itu sebanyak tujuh kali

Ya. Tujuh kali ia mengetuk pintu dengan kelembutan, lalu pintu itu benar-benar terbuka. Bergeser pelan-pelan bagai langkah seorang putri yang penuh kelembutan. Lanang dan Kirana tersentak mundur, demikian juga Ludiro yang merasa ngeri berada di tempat tersebut. Mata Lanang berkejap-kejap bagai tidak mempercayai apa yang telah dilihatnya pada saat pintu batu tersebut terbuka semua.

Seorang perempuan cantik. dengan rambut terurai dan mengenakan kain putih yang hanya dibalutkan pada tubuhnya itu, kelihatan begitu memukau dan sempat membuat lutut bergetar. Wajah itu, jelas wajah yang tak asing bagi Lanangseta maupun Ludiro. Tetapi ketika Lanang hendak mendekati sambil berseru: "Sekar...?!"

Perempuan itu berkata dengan kelembutan yang nyata:

"Lanangseta. " Ia tersenyum sambil mengulur-

kan tangan, memberi isyarat agar Lanang jangan mendekat. Gemuruh hati Lanangseta menahan gejolak keharuannya. Sekar Pamikat yang berpenampilan jauh berbeda dari sebelumnya itu berkata bagai perkataan seorang dewi.

"Aku sudah tahu apa kata hatimu, Lanangseta. Tapi semua itu adalah garis hidup yang tak terelakkan oleh siapapun. Berangkatlah ke Tebing Neraka, selesaikan urusan mu di sana. Genggamlah cinta kasih yang ada dan peruntukkan bagi gadis yang kau cinta itu. Aku tak dapat lama-lama menemui kalian. Hanya saja, satu yang harus kau ingat, Lanangseta, yaitu gerhana bulan akan datang tiba. Pada saat gerhana bulan itu] ah orang-orang Tebing Neraka kehilangan kekuatan. Serang mereka, jangan izinkan mereka masuk ke tempat semadiku ini. Percayalah, aku tetap mendampingi kalian. Aku merelakan Cambuk Naga menjadi milik Paman Ludiro, beserta Pedang Jalak Pati itu. Tetapi untuk keperluanmu, pakailah dulu pusaka Cambuk Naga itu, Lanang. Berangkatlah pada saat gerhana tiba, dan hati-hatilah. Jika kau selamat, kau pasti akan datang lagi ke mari, dan aku sudah menyiapkan sebuah hadiah perkawinan kalian, yaitu setangkai bunga teratai Goa Malaikat. Aku akan persiapkan dan akan kuberikan padamu kelak jika kau pulang dari Tebing Neraka. Paman Ludiro... bantu Lanangseta "

"Ba... baik Putri Ayu "

Mulut Lanang bagaikan terpatri rapat. Lidahnya kelu tak dapat berkata apapun. Sekar Pamikat masuk ke dalam kamar itu, dan .pintu kamar tertutup sendiri, rapat, kokoh serta tegar.

Ludiro orang yang pertama kali berani bergerak. Ia memungut Pedang Jalak Pati dan Cambuk Naga dengan hati-hati sekali. Senjata yang diwariskan kepadanya itu, bagai sebuah mimpi yang tak pernah menembus di hati. Namun, kali ini ia harus menyerahkan Cambuk Naga kepada Lanangseta, sesuai dengan amanat Putri Ayu Sekar Pamikat, yang agaknya sudah menjadi orang suci, atau seorang resi perempuan yang muda dan cantik itu.

"Bawalah cambuk ini, dan mari kita hancurkan Tebing Neraka," kata Ludiro kepada Lanangseta yang masih terbengong. Lanangseta melangkah menaiki anak tangga dengan perasaaan haru. Sesekali ia menengok ke belakang, memandang Pendopo Agung itu. Sedangkan Kirana, dengan penuh kesetiaan menggandengnya dan sabar menunggu langkah kaki Lanang yang sebenar-sebentar berhenti itu. Seperti biasa, Ludiro berjalan di belakang, mengawal Lanangseta sebagai pengganti Sekar Pamikat.

Langit mulai menampakkan kesuramannya. Sebentar lagi malam akan menjelma. Di tepi tebing Jurang Gempal, dua sosok berdiri tegap. Mereka adalah Lanangseta dan Ludiro. Mereka menunggu malam. Mereka menunggu rembulan muncul dari balik awan. Mereka memandang ke bawah, terlihat juga sempit yang nantinya akan melebar itu mengepulkan asap tipis. Jurang itu tampak memerah, bagai nyala bara.

Di bawah sana, ladang pembantaian telah siap menunggu penggarapnya. Pedang Jalak Pati di pinggang Ludiro, dan Pedang Wisa Kobra bertengger di punggung Pendekar Pusar Bumi. Sementara itu, Cambuk Naga tampak terselip di balik ikat pinggang yang terbuat dari kulit buaya.

Malam telah menyelubungi bumi dan kesunyian begitu mencekam. Sinar bulan muncul dari balik mega, lalu surut karena gerhana telah tiba.

"Saatnya kita bergerak, Paman! Hati-hati dengan jurang berasap itu. Ingat keteranganku tadi."

"Aku siap! Mari...!"

Dengan ilmu peringan tubuh yang cukup sempurna, mereka berjumpalitan menuruni tebing Jurang Gempal, yang menurut banyak orang disebut Tebing Neraka. Keduanya bergerak dengan gesit dan lincah. Namun suatu keanehan telah terjadi setibanya mereka menapak di jalanan datar yang menyusuri tebing itu. Mereka bagai berada di alam lain, asing. Gelap tidak teramat pekat, dan terang tidak benderang. Namun pancaran pijar bara terlihat jelas di jurang berasap. Dasar jurang yang dulu dilihat Lanangseta sebagai pemandangan indah, bergemerlap batuan permata, saat ini menjadi merah, bagai bara neraka yang siap melumatkan tubuh yang menyentuhnya. Kepulan asap semakin banyak, tidak seperti dulu saat Lanangseta melihatnya untuk yang pertama kali. Jalanan kelihatan terang. Batu-batuannya terlihat jelas. Mereka bagai berada di luar malam. Tidak seperti di tepi jurang tadi.

"Kita bergerak ke sana, Paman," kata Lanangseta sambil melesat menuju arah di mana terdapat jembatan seutas, yang menurut Kirana sebagai Jembatan Kubur. Sayup-sayup terdengar suara berdengung. Semakin mendekati Jembatan itu, semakin nyata suara berdengung itu. Lanang dan Ludiro saling tatap, saling bertanya-tanya dalam hati: suara apakah itu?

"Sebuah gumam orang banyak...." bisik Ludiro menerka suara dengung itu. Lanangseta menggelengkan kepala.

"Bukan. Sepertinya orang banyak yang sedang mengucapkan mantra, atau semacam kidung pujaan."

"Arahnya dari bangunan di atas cadas merah

itu."

'Ya. " Lanang mengangguk. "Kita harus masuk

ke gedung tersebut dan memukul mereka pada saat seperti ini. Pasti mereka tak berani keluar, karena kekuatan mereka hilang pada saat ini. Pasti mereka tabu, bahwa saat ini di atas jurang terjadi gerhana bulan."

"Sekarang kita bergerak, sebelum bulan menjadi purnama kembali."

"Hati-hati " bisik Lanangseta. "Ada dua penja-

ga tangguh yang berada di ujung jembatan seutas itu. Dulu aku terkena pukulan beracunnya."

"Aaah... dulu mereka memang kuat. Tapi sekarang kan tidak. Mereka dalam keadaan lemah."

Pendekar Pusar Bumi membenarkan kesimpulan Ludiro. Lalu mereka bergerak, melesat bagai sebuah cahaya hitam. Ketika mereka tiba di ujung jembatan, dugaan Lanangseta memang benar, mereka dihadang dua orang bertampang bengis. Lanangseta kenal betul, dua orang itu adalah Kumba dan Kumbi, yang konon jika mati, salah satu menghentakkan kaki akan menjadi hidup lagi. Tapi apakah ilmu itu berguna untuk saat gerhana begini?

"Mau apa kau datang lagi, kunyuk?!" bentak Kumba.

"Mereka masih menjaga wibawa, walau sudah kehilangan tenaga," bisik Ludiro.

"Manusia memang kadang bersifat begitu," balas Lanang. Kemudian ia berkata kepada kedua penjaga jembatan itu:

"Kau pikir akan apa aku ke sini kalau bukan akan membunuh kalian? Semua orang-orang Tebing Neraka ini!"

Sepintas Lanang dan Ludiro sama-sama melihat Kumba dan Kumbi tercengang. Ketakutan tampak di permukaan wajah mereka, namun sengaja ditutupi dengan kebengisan yang ada.

"Kuingatkah kepadamu, pulanglah daripada mati di Tebing Neraka ini. Lihat, jurang berasap itu, betapa panas pijar bara di dasarnya. Kalian akan mati hangus di sana!"

"Bukankah setiap orang datang ke mari tak pernah boleh hidup lagi? Bukankah kalian pasti akan membunuhnya? Kenapa sekarang kalian justru memerintahkan kami untuk pulang? Sejak kapan kalian menjadi murah kasih?!"

Agaknya Kumbi masih bertahan untuk menjaga kewibawaan, sekaligus mengulur waktu. Ia berkata dengan sombongnya: "Kau tidak tahu, kunyuk bahwa kami ini sukar dikalahkan. Seorang dari kami mati, seorang lagi akan menghentakan tanah dan dia yang mati akan hidup lagi."

"O, ya?! Apakah hal itu berlaku pula di saat gerhana bulan seperti ini?!" kata Lanang dengan tersenyum sinis. Kedua orang bengis itu semakin gelisah. Saling memandang, saling mencari kesempatan untuk berbuat sesuatu, saling kebingungan. Dan hal itu tak bisa dibiarkan oleh Ludiro.

"Mereka sengaja mengulur waktu supaya gerhana cepat sirna, serang sekarang juga...!" Kemudian Ludiro maju menyerang sambil menghunus Pedang Jalak Pati. Kumbi yang diserang berjumpalitan menghindar tebasan pedang. Sementara itu, Lanangseta segera mencabut Pedang Wisa Kobra dan membabat leher Kumba. Kegesitan memang masih ada pada mereka, terbukti mereka bisa menghindar serangan Ludiro dan Lanangseta, namun sejauh ini mereka tak melakukan serangan balasan. Ludiro berteriak:

"Lanang, mereka hanya mengulur waktu! Gerhana hanya sebentar, cepat selesaikan urusan ini, aku akan menerjang ke bangunan kokoh itu...!!"

Ludiro melentik meniti jembatan dengan tiga kali kakinya menyentuh seutas tali panjang itu. Menyadari kata-kata Ludiro, Lanangseta segera bergerak cepat. Pedang Wisa Kobra menebas kian ke mari, dan akhirnya menyentuh leher salah seorang dari mereka. Kepala orang itu terlepas dari lehernya. Salah seorang menghentak-hentakkan kaki ke tanah dengan bingung, namun yang terpenggal tetap saja mati. Dengan satu tendangan menyamping yang cukup kuat, Lanangseta berhasil membuat tubuh Kumba terpental jatuh, terguling-guling dan akhirnya masuk ke jurang berasap itu. Tubuh Kumba hilang tak berbekas, sementara dengan kasar Lanangseta menendang kepala Kumbi yang terpotong itu, lalu menyeret tubuhnya dan memasukkan ke dalam jurang, dan tubuh serta kepala itu pun lenyap. Lanang tak mau bertahan di situ terlalu lama, ia segera menyusul Ludiro yang sudah berada di tanah cadas merah. Ia berseru, "Paman Ludiro... tunggu!"

Dalam sekejap tubuh Lanangseta sudah berada di depan Ludiro. Ludiro sempat berkata, "Kita masuk lewat pintu gerbang saja!"

"Jangan. Itu bukan pintu gerbang sebenarnya. Bangunan ini tidak mempunyai pintu gerbang. Mereka semua menggunakan ilmu peringan tubuh untuk memasuki bangunan itu."

"Kalau begitu, cepat kita bertindak...!" kata Ludiro setelah memandang ke arah rembulan dalam gerhana di langit. Rembulan itu kelihatan sangat samarsamar, bagai tersapu kabut tebal. Dan dalam satu kali hentakan, tubuh mereka melejit, bersalto satu kali dan sampailah mereka pada bagian dalam halaman bangunan tersebut.

Suara orang menggumam bagai mengucapkan mantra dan kidung yang tetap itu semakin jelas. Arahnya dari ruangan di sebelah kanan. Sekali lagi Ludiro mengingatkan, "Gunakan jurus-jurus pamungkas. Keadaan ini tidak bisa diulur-ulur. Mereka harus binasa sebelum gerhana sirna!"

Lanangseta mengangguk, kemudian ia segera mencabut Cambuk Naga.

"Hiaaaatt...!"

Gelegar suara cambuk membahana. Bangunan itu goyah. Suara ricuh dan kalang kabut terjadi di dalam gedung. Kemudian satu persatu mereka berhamburan keluar dalam keadaan ketakutan. Lanangseta melecutkan Cambuk Naga dengan gerakan asal saja. Ia tidak menyadari bahwa gerakan itu sebenarnya jurusjurus pamungkas dari Sekar Pamikat. Sementara Lanang mengibaskan cambuk berulangkali dan menimbulkan ledakan bergema, Ludiro menerjang masuk ke arah lain, membantai setiap orang yang ditemuinya dengan Pedang Jalak Pati. Ludiro sendiri juga merasa heran, mengapa dirinya bisa bermain pedang seperti yang pernah dimainkan oleh Sekar Pamikat. Tapi, hal itu tidak terlalu dipikirkan. Ia melompat, bagai terbang di atas mereka yang panik, lalu pedang Jalak Pati menebas beberapa kepala. Jerit dan teriakan histeris terjadi membisingkan. Terbayang di benak Ludiro, mungkin beginilah keadaan di neraka sebenarnya. Jerit, tangis dan rintihan saling berpacu dalam lengking kematian yang membuat bulu kuduk merinding.

Orang-orang itu, benar seperti orang-orang tanpa ilmu silat apapun. Mereka tak dapat menggunakan ilmu dan kekuatan tenaga dalam mereka. Bahkan ketika seorang lelaki bermata buta sebelah berdiri di depan Lanangseta, ia pun menyembunyikan rasa takut. Melihat kukunya yang tajam pada setiap ujung jari, Lanangseta yakin, dialah Si Cakar Setan, pimpinan mereka setelah Gusti Dalem.

"Cakar Setan...! Ayo, bergeraklah...!" bentak Lanang.

Cakar Setan berusaha tetap tenang. "Kami menunggu perintah dari Gusti Dalem. Kalau kau memang seorang kesatria tangguh, mari kita bertarung satu lawan satu di lain tempat. Tentukan waktunya. Silakan kau yang menentukan waktu dan tempat untuk adu tanding denganku!"

"Sekarang waktunya, dan di sini!" teriak Lanangseta. Cakar Setan kelihatan gugup. "Tidak. Jangan di sini. Ini tempat suci, tak baik untuk "

Belum habis Cakar Setan bicara, Cambuk Naga melecut dirinya dengan satu ledakan yang menggema.

"Blegaarr. !!"

Jerit kematian menggema pula, tubuh Cakar Setan yang konon sadis dan sakti itu meliuk-liuk sambil menjerit kesakitan. Kemudian Lanangseta mencambuknya sekali lagi sambil tubuhnya melayang tinggi menuju ke arah serambi bangunan tersebut. Untuk yang kedua kali Cakar Setan meliukkan tubuh, namun kali ini ia terbelah menjadi dua bagian pada perutnya. Lanangseta segera masuk ke dalam, mengobrak-abrik tempat itu dengan lecutan Cambuk Naga berulangkali. Jerit kematian semakin riuh dan mengerikan.

Pada saat itu, muncullah seorang perempuan yang berdiri tanpa mengenakan busana kecuali bagian bawah pusarnya. Dia sangat mengenal Lanangseta, dan Lanangseta pun mengenalnya. Sebelum ia bicara, beberapa orang telah bersujud menyembahnya sambil meratap:

"Gusti Dalem... tolonglah kami...! Bertindaklah Gusti Dalem !"

Lanangseta tersenyum sinis, "Oh, kau rupanya yang disebut Gusti Dalem? Kau, Peri Sendang Bangkai?! Hah...! Sekarang pun kau akan binasa seperti mereka!"

"Tunggu...! Kuakui kau menang terhadap mereka, tapi belum tentu dapat mengalahkan aku!"

Peri Sendang Bangkai, yang dulu pernah merencanakan menjadikan Lanangseta sebagai 'bibit unggul' dari sebuah pembuahan keturunan, kini sedang melayang menyerang Lanangseta. Dari kedua tangannya terpancar sinar biru tua yang dulu nyaris merenggut jiwa Lanangseta. Tapi sekali lagi, sesuatu yang di luar dugaan terjadi sangat mencengangkan Lanangseta. Kali ini ia merasa dihalang-halangi oleh seseorang berpakaian serba putih. Orang itu yang mengembalikan sinar biru tua ke arah Peri Sendang Bangkai. Sinar biru tua itu nyaris mengenai tubuh Peri sendiri, namun ia segera melesat ke samping dan sinar tersebut menghantam orangorang yang panik. Lalu, mereka pun hilang, lenyap begitu saja tanpa bekas.

Peri Sedang Bangkai menggeram, "Lagi-lagi kau muncul Sekar Pamikat. Bah...!"

"Sekar...." desah Lanangseta yang tercengang. Namun Sekar Pamikat yang berpakaian putih itu menerjang Peri Sendang Bangkai. Dalam kesempatan itu, perempuan bugil tersebut berubah diri menjadi bayang-bayang yang bergaris tipis. Serangan Sekar Pamikat bagai menembus udara hampa. Lalu terdengar suara Peri Sendang Bangkai sebelum ia menghilang lenyap bagai ditelan bumi:

"Tunggulah... saat pembalasanku pasti akan tiba untuk kalian...!!" Dan Lanangseta kelabakan mencari di mana sosok Gusti Dalem atau Peri Sendang Bangkai itu. Namun ia juga kebingungan lagi, karena Sekar Pamikat pun hilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apapun.

"Dewiii...?!" teriak Lanangseta. Kemarahannya bagai meluap, ia melesat ke luar dan menemukan Ludiro sedang sibuk membantai beberapa orang. Lanang berseru:

"Kiranaaaa...!!"

Badai pun datang. Ludiro dipegang erat-erat oleh Lanangseta. "Bertahanlah, Paman...!"

Alam mengamuk. Guntur menggelegar di angkasa. Yang mati maupun yang masih hidup terlempar dan. terhempas. Seperti yang sudah-sudah, jika nama Kirana disebutkan, maka langit pun bergemuruh, memerah bagai terbakar kilatan petir yang sahutmenyahut. Badai begitu kencang sehingga tembok batu pualam roboh. Mayat-mayat dan mereka yang berlarian dengan panik terlempar ke jurang berasap. Lanang dan Ludiro saling berdekapan menahan diri agar tidak ikut terlempar oleh hembusan angin maha kencang itu.

"Kita harus segera menyingkir dari sini, sebelum bangunan ini rubuh semua...!" teriak Ludiro.

"Dapatkah kita menyeberangi jembatan seutas itu?" Lanangseta sangsi. Mereka sudah berdiri di tepi tebing jurang berasap. Ternyata keadaannya semakin mengerikan. Dasar jurang itu menyala dan asap mengepul berputar-putar bagai membentuk satu pusaran mengerikan. Mereka nyaris ikut terlempar ke dasar jurang itu karena hempasan badai amat kencang. Untung pada waktu itu, tangan Lanangseta menancapkan Pedang Wisa Kobra ke tanah dan pedang itulah yang dipakai sebagai pegangan mereka berdua.

Bangunan tersebut benar-benar rubuh. Bumi semakin terasa berguncang keras. Langit masih memerah menyemburkan petir bertubi-tubi. Batu-batu pualam bergelimpangan. Dan tanah cadas merah yang dipakai berdirinya bangunan itu perlahan-lahan bergerak miring, seakan hendak menuang seluruh penghuni di atasnya. Gawat! Mereka pasti ikut tertuang ke jurang berasap.

Namun pada saat itu, badai mulai reda. Alam kembali tenang, dan sekarang tenang sekali. Kepulan asap reruntuhan, hancurnya alam, begitu mengerikan dipandang mata. Sedangkan posisi pulau cadas merah sangat miring. Jembatan seutas telah hilang, mungkin tersapu badai saat tadi. Tinggal Ludiro dan Lanangseta yang masih bertahan berpegangan Pedang Wisa Kobra. "Kita harus melompati jurang itu...." bisik La-

nang.

"Perbuatan gila...." balas Ludiro. Namun mere-

ka berdua tetap berusaha untuk bangkit dalam kemiringan. Lanang mencoba lebih dulu menggunakan ilmu peringan tubuhnya, "wesss...!" Ia menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melayang di udara, berguling beberapa kali dan dengan mulus sampai di jalanan datar. Lalu Ludiro melentikkan tubuh, bersalto beberapa kali, dan nyaris terpeleset jatuh di bibir jurang berasap. Tangan Lanangseta meraih baju Ludiro sehingga selamatlah ia. Keduanya saling tertawa dalam pelukan.

Setibanya di atas Jurang Gempal, mereka disambut oleh seorang perempuan cantik yang anggun: Kirana Sari. Perempuan itu tersenyum tipis, namun menyembunyikan kebanggaan yang luar biasa. Ia segera memeluk Lanangseta erat-erat, dan membiarkan pendekar muda itu mencium pipinya.

"Dari mana kau tahu kalau tugasku sudah selesai, Cantik?" bisik Lanangseta.

Kirana menjawab dalam bisikan, "Kau memanggil namaku, bukan?"

Lanangseta hanya tertawa pelan, seperti dalam gumam. Pelukannya semakin erat melekat. Kirana menyelusupkan kepalanya di dalam dekapan Pendekar Pusar Bumi. Sementara itu Ludiro sibuk menggerutu karena bajunya sobek pada saat Lanangseta menariknya dari bibir jurang berasap.

Terlepas dari kewaspadaan mereka bertiga, sekelebat bayangan melesat dan menyambar Pedang Wisa Kobra. Spontan Lanangseta terpekik sambil meraba punggungnya. "Ooh... pedangku...?!"

Dan seorang kakek berjubah kuning telah berdiri di atas pohon. Kakek tua itu memegang Pedang Wisa Kobra dan Tongkat Besi. Jenggotnya yang panjang berwarna putih kemerahan dihempaskan angin bagai melambai-lambai mengejek Lanangseta. Dia adalah Si Tongkat Besi yang susah mati.

Setelah terkekeh panjang, Tongkat Besi berkata; "Lanang... sudah sebulan aku mencarimu, rupanya kau sedang memadu kasih, ya? Eh, Nang... aku pinjam pedangmu ini. Percayalah, dia akan kembali sendiri setelah aku mati dalam tikamannya. Selamat jumpa...! He, he, hee...!"

Kakek tua itu melesat bagai bayangan, hilang entah ke mana. Kirana hendak mengejar, tapi tangan Lanangseta menggenggamnya kuat-kuat.

"Tak usah kau kejar...! Dia bukan orang jahat! Dia akan menemuiku sendiri. Dia tak akan bisa menggunakan pedang itu. Percayalah...!"

"Tapi... tapi kau akan kehilangan senjatamu...!

Kau kehilangan pusakamu dan..."

Dan kaulah kini pusakaku, Cantik...!" Lanangseta tertawa dalam gumam. Kirana se-

makin tersipu. Lalu ia membiarkan keningnya dikecup Pendekar Pusar Bumi. Dan pada. saat itu Ludiro berpaling dengan gerutu tak jelas.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar