1
DEBU beterbangan dan denting
senjata tajam beradu semakin tiada hentinya. Seorang kakek berjenggot panjang
memainkan tongkat besinya dengan gerakan cepat, ia menangkis pedang bermata dua
yang dilancarkan ke arahnya. Bukan hanya pedang bermata dua yang ia layani,
namun sebuah tombak bermata pedang pun sesekali ditangkisnya dengan gerakan meliuk-liuk.
Kakek berjenggot panjang
berwarna putih kemerah-merahan itulah yang dikenal sebagai Si Tongkat Besi.
Sedangkan kedua lawannya itu, sebelum mereka menyerang, mereka telah
memperkenalkan diri sebagai Perampok Bergolo. Nama Perampok Bergolo cukup
kondang kekejamannya. Mereka adalah: Naroma dan Mando. Keduanya dikenal sebagai
manusia haus darah. Setiap bertemu dengan orang yang melintasi hutan Bergolo, mereka
selalu tidak memberikan orang tersebut untuk bernafas seterusnya. Tak peduli
lelaki atau perempuan, besar atau kecil, asal lewat kawasan hutan Bergolo,
pasti mereka bunuh. Adakalanya mereka cincang mayat orang tersebut dan direbus
untuk dijadikan santapan.
"Rupanya kau cukup
tangguh juga, Kakek peot!" kata Mando dengan mengibaskan pedangnya ke arah
perut si Tongkat Besi. Tetapi menangkisnya sambil mengayunkan kaki kanannya ke
wajah Mando.
"Heaaat...!" pekik
Naroma seraya meloncat dan menerjang Tongkat Besi. Pinggang kakek tua itu terkena
tendangan Naroma hingga ia tersungkur ke depan. Tongkatnya segera menancap di
tanah, dan kakek tua itu tak sempat roboh. Tubuhnya bagai ditopang tongkat besi
berkepala monyet. Ujung tongkat yang berbentuk kepala monyet dari ukiran besi
itu segera menyodok Naroma dengan gerakan balik yang cukup mengagetkan Naroma
sendiri.
"Heeg...!" Naroma
mendelik, dan ujung tongkat yang lain segera berputar ke atas lalu menghantam
kepala Naroma. Lelaki berpakaian serba merah itu mengaduh sambil berjungkir
balik di tanah. Senjata pedang bermata dua dari Mando menebas dari arah
belakang kakek tua. Tapi dengan tanpa memandang lawannya, kakek tua itu
menggerakkan tongkatnya, menyodok ke belakang dan tepat mengenai selangkangan
Mando. Akibatnya, lelaki bercelana hitam dengan bajunya yang hitam pula itu
menyeringai kesakitan. Ia sempat terpincang-pincang menjauhi Tongkat Besi.
Kakek tua itu terkekeh
sebentar, sambil berdiri seenaknya menunggu serangan berikutnya. "Masa' perampok
yang sudah kesohor kekejamannya cuma bisa mengaduh dan meringis? Ayo, keluarkan
semua ilmu kalian, jangan sungkan-sungkanlah... aku siap menerimanya."
"Kakek sombong!"
geram Naroma dengan sengit. "Terimalah jurus Tapak Braja-ku ini,
hiaaat...!"
Kedua tangan Naroma terbuka,
diarahkan ke kakek tua dengan satu gerak pukulan berganda. Tongkat Besi berdiri
tegak, kedua kakinya sedikit merentang, dan kedua tangannya ditarik mundur,
sehingga seakan ia menonjolkan dadanya. Dengan telak sekali kedua telapak
tangan Naroma menghantam dada Tongkat Besi.
"Daab...!" Lalu
keluarlah asap dari pukulan itu. Namun si Tongkat Besi yang berjubah kuning itu
hanya terkekeh selagi kedua telapak tangan Naroma belum terlepas dari dadanya.
Kakek tua itu malahan mengangkat pundaknya dengan tangan terbuka, seakan
menyepelekan pukulan Tapak Braja tersebut.
Melihat temannya disepelekan
oleh kakek tua, maka Mando buru-buru melepas senjatanya dan bergerak gesit
mengerahkan tenaganya. Jurus yang dipakai hampir sama gerakannya dengan yang
digunakan Naroma tadi. Hanya saja, Mando tidak membuka telapak tangannya, namun
ada dua jari yang terlipat, jari kelingking dan jari manis. Kedua jari itu
ditekuk sedang yang lainnya mengejang kaku. Kedua tangan yang berposisi
demikian itu disodokkan dengan kuatkuat ke arah punggung kakek tua.
"Jubb...!" Kedua jari dari masing-masing tangan Mando bagai membenam
di punggung kakek tua. Asap tipis mengepul berwarna abu-abu. Saat itu pula,
asap putih yang mengepul dari tangan Naroma masih terlihat menempel di dada
kakek tua.
Si Tongkat Besi
terkekeh-kekeh. Lalu menunggu sejenak, dan ia mencibirkan bibirnya dengan wajah
kecewa. Mando dan Naroma segera mundur, mencabut pukulan andalan masing-masing.
Mereka sama-sama memandang bengong dan terheran-heran. Mando mendekat Naroma
dan berbisik, "Setan alas! Jurus andalan kita tidak membuatnya bergeming
sedikit pun."
"Ada lagi?" tanya Si
Tongkat Besi dengan sorot mata orang yang sedang kecewa. "Jangan jadi
perampok kalau tidak bisa membunuh orang. Jadi penari sajalah " ejek
Tongkat Besi dengan sinis.
Kedua perampok Bergolo itu
semakin geram. Mereka merasa tidak dihargai sama sekali. Baru sekarang mereka
menemukan lawan yang sama sekali tidak punya rasa takut atau pun ngeri terhadap
mereka. Baru kali ini juga pukulan Tapak Braja Naroma sama sekali tidak
berguna. Biasanya batu besar saja hancur oleh pukulan Tapak Braja, tetapi kali
ini bahkan manusia tua seperti Si Tongkat Besi, benar-benar melebihi dari batu
manapun. Bergeming saja tidak, malah sempat menyepelekan dan mengejeknya.
"Gila! Orang macam apa dia?" pikir Naroma. Demikian pula Mando yang
berbisik geram kepada Naroma: "Kita ketemu setan. Sukar dipercaya kalau
pukulan Gempur Batu-ku tak punya kekuatan sama sekali buat menghancurkan si tua
bangka ini! Bah!"
Tongkat Besi bersandar di
pohon serapa berkata, "Yah... berembuklah dulu sana. Cari jurus yang bisa
buat membunuh. Jangan cari jurus yang hanya bisa buat membakar jagung, Tidak
hebat itu...!"
"Kurang ajar...!"
geram Mando. "Kita serang dengan jurus Hujan Darah...!"
"Mari...!" jawab
Naroma dengan gemas. Lalu keduanya memanfaatkan senjata masing-masing lagi.
Jurus Hujan Darah mereka lancarkan, yaitu suatu jurus yang harus menggunakan
senjata tajam, di mana masing-masing senjata telah dialiri tenaga inti. Gerakannya
begitu cepat, keduanya mempunyai gerakan yang serupa. Kemudian mereka meluncur
bagai sepasang kumbang terbang.
"Heaaat...!!"
Kakek tua itu malah an
tenang-tenang saja, menonton gerakan mereka yang meluncur bagai kumbang hendak
menyerbu kelopak bunga. Kakek tua itu hanya memegangi tongkat besinya dan
menundukkan kepala bagai mendapat serangan angin yang bisa membuat mata pedas.
Tapi ia tidak melawan atau menghindar sama sekali.
"Crak...! Crak...!
Juub...! Juub, jub, jub...!!" Senjata perampok Bergolo dengan rakus meng-
hunjam tubuh tua renta itu. Bertubi-tubi
dengan kecepatan melebihi derasnya hujan, senjata-senjata itu menebas
dan menusuk ke seluruh tubuh kurus, tinggal tulang dan kulit. Anehnya, sejauh
ini belum ada darah dan belum ada luka yang ke luar dari tubuh yang tinggal
tulang terbungkus kulit itu. Bahkan sehelai jenggotnya tak ada yang terpotong.
Tapi kedua perampok kondang dari hutan Bergolo itu masih terus menghujani tubuh
kurus itu dengan senjata mereka masing-masing.
Pada saat itu, ada sepasang
mata yang memandang adegan tersebut. Sepasang mata itu milik seorang lelaki
bertubuh tegap, kekar dan bermata tajam namun meneduhkan. Ia mengenakan ikat
kepala dari kulit macan tutul untuk merapikan rambutnya yang panjang sebatas
punggung, namun tidak menutupi sebilah pedang bergagang kepala ular kobra yang
bertengger di punggungnya. Orang itu, tak lain adalah Pendekar Pusar Bumi, atau
yang bernama asli: Domas Lanangseta.
"Keterlaluan! Memalukan
sekali, seorang kakek sampai dikeroyok dua dan dihujani senjata bertubitubi!"
geram Lanangseta. Ia buru-buru melesat cepat ke arah mereka. Kemudian dengan
bersalto dalam satu loncatan, kedua kakinya berhasil menendang Naroma dan Mando
dengan keras.
"Lepaskan...! Pengecut
kalian!"
Perampok Bergolo terpental
lima langkah dari tempat Si Tongkat Besi berdiri. Naroma sempat mencium tanah
dengan kasar, akibatnya mulutnya nyonyor dan berdarah. Sedangkan Mando, hanya
terguling-guling ke arah semak-semak. Lalu ia segera bangkit dengan pedang
bermata duanya di angkat ke atas.
Ia segera menyerang Lanangseta
dengan geram dan buas. "Bangsat busuk... heeaaat...!"
"Wes, wes...!" Dua
kali tebasan diberikan untuk Lanang. Tapi gerakan Lanang dalam menghindar cukup
dengan memiringkan badan ke kanan dan kemudian ke kiri. Lewat sudah sabetan
pedang bermata dua itu. Kini tinggal sebuah pukulan yang selayaknya pantas
diberikan di pelipis Mando.
"Aaahkk...!" Mando
menjerit kesakitan. Kepalanya menjadi puyeng. Ia tersungkur mencium akar pohon.
"Jangan turut campur
dengan urusan kami!" bentak Naroma sambil sesekali meludah karena mulutnya
berdarah. "Kami tidak punya urusan denganmu, setan kencur!"
Lanangseta memandang kakek tua itu sebentar. Oh, ia tidak terluka, pikir
Lanang. Dan kakek tua itu malahan tetap bersandar di pohon dengan tenang,
seakan ia menyaksikan suatu pertarungan yang seru.
"Pergi kau, atau memang
ingin mencoba kebuasan kami: perampok-perampok Bergolo? Iya?!" Naroma
berseru dari arah belakang Lanangseta. Saat itu, Lanang hanya menyunggingkan
senyum tipis. Matanya yang tajam bergerak-gerak penuh kewaspadaan.
"Kalau boleh kutahu, apa
kesalahan kakek tua itu sehingga kalian menyerangnya sampai membabi buta?"
tanya Lanangseta.
"Kami lapar! Sudan tujuh
hari tidak ada orang lewat sini, sebab itu sudah tujuh hari kami puasa!"
jawab Mando.
"O, jadi kalian membunuh
manusia untuk dimakan?!"
"Ha, ha, ha... kau belum
tahu kalau daging manusia itu lebih gurih, lebih manis dan sangat menguatkan
badan!" Naroma berkata sambil bertolak pinggang sebelah.
Mando menyahut, "Kalau
perlu, tubuh kekar seperti kamu itulah yang menjadi santapan istimewa kami!
Tetapi, terlebih dulu kami akan menikmati daging kakek tua peot ini yah...
sebagai hidangan kecil atau buat camilan."
"Biadab!" geram
Pendekar Pusar Bumi. "Manusia seperti kalian memang harus di
musnahkan...!!"
"Naroma...!
Serang...!"
Kedua perampok Bergolo
meloncat dan menyerang Lanangseta dari arah kiri dan kanan. Lanangseta bersalto
mundur dua loncatan. Kedua perampok Bergolo itu hampir saja saling bertabrakan.
Namun hal itu dapat dihindari dengan bergulirnya tubuh Naroma ke arah samping.
Begitu kakinya menjejakkan bumi, ia berada dalam satu jangkauan di depan
Lanangseta. Tanpa menunggu serangan law an, Lanangseta menyerang dengan pukulan
kuat yang mengenai rahang Naroma. Orang bersenjata tombak itu terdongak dan
memekik kesakitan. Tombaknya yang berujung mata pedang itu digerakkan menusuk
Lanangseta. Tetapi belum sempat tombak itu menyentuh perut Lanangseta, kaki
Pendekar Pusar Bumi itu telah lebih dulu menendang tulang rusuk Naroma hingga
terdengar bunyi berderak, "Kraak...!"
"Aaaoow...!!" Naroma
menjerit sambil memegangi tulang rusuknya. Ia terhuyung-huyung dan jatuh.
Lanangseta hendak menendang kepala Naroma, tetapi sekelebat pedang bermata dua
melintas di kepalanya membuat Lanang terpaksa berguling menghindarinya.
Mando menyusul ikut berguling
sembari menebaskan pedangnya, tetapi Lanangseta lebih dulu melejit bagai udang.
Melambung ke udara dan kembali berdiri dalam posisi sigap. Pendekar Pusar Bumi
merasa tak perlu terlalu banyak membuang waktu. Ia harus segera memberi
pelajaran terhadap kedua orang tersebut. Dan seketika itu pula,
"srett..!" Pedang Wisa Kobra melesat dari sarungnya yang ada di
punggung.
Mando tampak paling penasaran,
karena sejak tadi mereka tak dapat menyentuh tubuh Lanangseta. Maka dengan
gerakan jurus Hujan Darah, ia menyerang, menebaskan pedangnya dalam berbagai
arah dan berbagai cara. Tetapi pada saat pedang Wisa Kobra menangkisnya,
terdengar bunyi: "Trrakk...!" Mando terbengong menatap pedang mata
duanya. Pedang itu telah buntung, tinggal beberapa jari dari gagangnya.
Melihat pedang temannya
buntung di tebas pedang lawan, Naroma melompat seraya melemparkan tombaknya
dengan cepat. Gerakan tombak itu bagai tak bisa diikuti oleh pandangan mata
manusia. Tetapi agaknya pedang Wisa Kobra lebih awas, sehingga dengan sekali
sekelebat saja pedang itu telah berhasil menangkis tombak Naroma.
Agaknya Naroma juga mengalami
nasib sama seperti Mando. Tombaknya itu jatuh ke tanah dalam keadaan patah
terpotong menjadi dua bagian.
"Jahanaaaam...!!"
Naroma menyerang dengan marah. Lanangseta menghindar sambil menyarungkan
pedangnya kembali. Mando menyerang dari arah belakang, tetapi tangan kiri
Lanang dengan tangkas berhasil memegang pergelangan tangan Mando, tanpa ia
menoleh ke belakang lebih dulu. Dengan satu tarikan kuat, tubuh Mando melayang
dan jatuh di depan Lanangseta. Secepat itu pula tangan kanan Lanangseta memukul
dada Mando. Kuat dan bertenaga pukulan itu. Mando memekik kesakitan, dadanya
menjadi biru legam.
Naroma tak bisa tinggal diam.
Ia mengeluarkan jurus tendangan Kipas Rantai. Tendangannya begitu cepat dan
berputar-putar, yang kiri ganti kanan, ganti kiri, dan sangat cepat. Debu tanah
berhamburan. Lanangseta menghindar beberapa kali, lalu tiba-tiba ia memperoleh
peluang untuk menghantam tulang iga Naroma. "Kraak...!" Bunyi tulang
iga patah. Naroma melejit sambil mengaduh kesakitan.
Tanpa banyak pertimbangan
lagi, Naroma melompat semakin menjauhi Lanangseta. Mando tahu gelagat, Naroma
ingin kabur. Lalu ia berkata kepada Lanangseta;
"Ada saat untuk bertemu
dan membalas. Tunggulah itu...!" Mando segera melesat dengan memegangi
dadanya yang terkena pukulan hebat dari Lanangseta. Keduanya kabur dengan
cepat, bagai menghilang di balik tumpukan batu cadas. Lanangseta hendak mengejar,
tapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena kakek tua itu telah berdiri
menghadangnya dengan tongkat besi di tangan, ujungnya menancap di tanah.
"Hebat...! Pedangmu itu
sungguh hebat...!" kata Tongkat Besi. Janggutnya yang berbulu merah keputih-putihan
itu melambai-lambai dihempaskan semilirnya angin. "Kau punya kesaktian di
dalam pedangmu itu, anak muda."
"Hanya sekedar pedang
biasa, Kek. Tetapi "
Belum habis Lanangseta
berkata-kata, kakek tua itu mendadak menyerangnya dengan menggunakan tongkat
besi tersebut.
"Hei, apa-apaan
ini...?!" Lanang terkejut heran. Ia sempat melompat untuk menghindari
sodokan tongkat besi.
"Cobalah tongkat besiku
ini, anak muda !"
Mampukah kau
memotong-motongnya? Heaaahh !"
Lanangseta berguling di udara.
Hempasan angin tongkat besi begitu kuat sehingga tubuh Lanangseta bagai
terdorong oleh suatu tenaga besar. Lanang sedikit menggeragap, ia canggung
untuk melawan. Ia bingung, mengapa kakek ini sudah ditolong . malah ganti
menyerang? Bahkan serangannya amat cepat, bertubi-tubi sehingga tidak memberi
kesempatan kepada Lanangseta untuk bicara. Lanang hanya melompat, menghindar,
berguling, berkelit, dan begitu seterusnya sampai-sampai hal itu membuat Si
Tongkat Besi menjadi geram dan dongkol sendiri.
"Keparat...! Seranglah
aku jangan hanya bertahan! "Gunakan pedangmu itu! Ayo...! Ayooo...!"
"Wuss... Wsuuss...!"
Tongkat memukul dan menyodok dengan satu kekuatan dalam yang tersalur di batang
tongkat itu. Lanangseta tak berani menangkis pukulan tongkat yang dialiri
tenaga dalam itu. Ia hanya menghindar terus sampai-sampai keringatnya membanjir
di sekujur tubuh. Untuk menguji kekuatan tenaga dalam tongkat itu, Lanang
sengaja mencari tempat di dekat pohon, tempat di mana kakek tua itu tadi
bersandar santai. Ternyata dugaan Lanangseta tidak meleset. Ketika tongkat besi
itu melayang ke arah kepalanya, Lanang menyempatkan diri untuk tetap diam.
Dalam jarak beberapa mili saja ia segera merunduk, dan tongkat itu mengenai
batang pohon. Tanpa tanggung-tanggung lagi, kulit batang pohon itu mengelupas
dan tongkat itu ada di kedalaman batang pohon tersebut. Bagai sebilah pisau
menancap pada gedebong pisang yang busuk.
"Pukulan yang
hebat!" kata Lanangseta. Kakek tua itu sedang berusaha mencabut kembali
tongkatnya dari batang pohon. Sebab itu ada kesempatan bagi Lanang untuk
bertanya, "Mengapa kakek menyerangku dengan sungguh-sungguh?" "Karena
kau tolol, tidak mau menyerangku!" "Aku sudah menolong kakek, dan di
antara kita
memang tidak ada masalah?
Haruskah aku menyerang orang tanpa salah dan tanpa persoalan apapun?"
"Ya. Harus...!"
"Beet...!" Tongkat
berhasil dicabut, dan segera dipukulkan ke arah Lanangseta.
Hampir saja perut Lanangseta
terkena goresan dari ujung tongkat itu jika ia tidak berkelit ke belakang. Lalu
gerakan tongkat itu cukup mencengangkan Lanangseta, di mana ia mendapat
serangan lagi, tongkat itu bergerak bagai hendak menebas perutnya. Lanang
menggerakkan perutnya ke belakang, otomatis kepalanya maju ke depan. Tapi
ternyata tongkat itu tidak menebas melewati depan perut, melainkan berhenti di
depan perut, lalu dengan cepat dihentakkan ke atas menuju muka Lanang. Karena
terlatih bergerak gesit, maka Lanang dapat menghindari gerakan tipuan itu
dengan memiringkan kepala ke kiri pada saat tongkat bergerak ke atas. Tapi
tongkat itu turun kembali dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga hampir
saja menghantam ubun-ubun Lanangseta jika ia tidak segera berguling sambil
mencabut pedangnya.
Baru saja ia bangun, tahu-tahu
tongkat besi itu berkelebat di depan batang. hidungnya dengan cepat. Anginnya
cukup kuat sehingga ia terjengkang jatuh. Kakek tua dengan seringai kemenangan
segera menghunjamkan tongkatnya ke perut Lanangseta, tetapi pedang Wisa Kobra
menangkisnya. Dengan satu kali tebasan, pedang itu mampu memotong tongkat tersebut
menjadi dua bagian. Lalu menebas lagi, dan tongkat itupun terpotong lagi.
Lanang segera melejit bagai udang, dan bersalto ke belakang menjauhi kakek tua.
Tawa terkekeh dan tepuk tangan
terdengar dari arah Si Tongkat Besi berdiri.
"Hebat...! Bagus...! Itu
namanya pendekar sakti...!" puji Tongkat Besi yang sempat membingungkan
pikiran Lanang. Ia benar-benar tak tahu, mengapa kakek tua yang bernafsu
membunuhnya itu sekarang malahan kelihatan gembira setelah senjatanya terpotong-potong
menjadi tiga bagian. Ia manggut-manggut seraya memandang bangga kepada
musuhnya. Bahkan kini ia mengacungkan jempol tanda memuji.
Dengan dahi masih berkerut,
Lanangseta menyarungkan kembali pedangnya ke punggung. Tapi kakek tua itu
segera berteriak dengan cemas, "Hei, hei... jangan sarungkan dulu
pedangmu!"
"Aku tidak punya urusan
denganmu, Kakek
Tua."
"Namaku Si Tongkat Besi.
Kumohon dengan
hormat, bertarunglah denganku.
Ku mohon dengan sangat, jangan kecewakan aku. Ayo, bertarunglah dan gunakan
senjatamu itu. Aku tak akan menggunakan senjata apa-apa "
"Itu bahkan tidak
adil," seraya Lanang menyunggingkan senyum sinisnya.
"O, tidak. Tidak apa-apa.
Aku tidak menuntut keadilan, aku hanya menuntut suatu pertarungan."
"Aneh!" pikir
Lanangseta. "Sudah tua renta, tinggal tulang terbungkus kulit, kok masih
senang berkelahi? Apa maunya sebenarnya?"
"Ayo, seranglah aku
dengan pedangmu. Aku tahu, pedang itulah yang akan mampu memotong kepalaku!"
"Tidak!" jawab
Lanang. "Tidak ada pertarungan di antara kita, tidak ada permusuhan dan
tidak ada persoalan. Seharusnya kakek berterima kasih kepadaku, karena aku telah
menyelamatkan kamu, kek. Tapi mengapa...?"
"Nah, sekarang kau tahu
aku tidak berterima kasih kepadamu. Sebab itu, marahlah. Tuntutlah aku, dan
bertarunglah bersamaku. Ayo, jangan. sungkansungkan...!"
Lanang menggeleng, ia
mendekati kakek tua
itu.
"Kakek Tongkat Besi...
jangan memaksa seseo-
rang untuk bertindak jahat,
karena dirimu akan digolongkan sebagai orang yang lebih jahat dari yang kau
suruh. Nah, sekarang, pertemuan kita cukup sampai di sini saja. Aku punya
urusan penting di tempat lain...!"
"Tunggu...! Tunggu dulu
dan jangan pergi...!" Tongkat Besi memegangi tangan Lanangseta.
"Siapa namamu, nak?" ia bertanya dengan ramah.
"Lanangseta...!"
"Lanangseta, ooh... nama
yang bagus. Kama yang punya perlambang bahwa kau akan menjadi orang terkenal di
rimba persilatan dari seluruh pelosok dunia. Tetapi hal itu hanya akan terjadi
apabila kau mau melawanku untuk bertarung. Kau memakai pedangmu dan aku tidak.
Bagaimana? Mau...?"
Lanangseta merasa berhadapan
dengan orang gila. Kemudian ia menggeleng dan menarik genggaman tangan Tongkat
Besi, dan ia berjalan kembali. Tetapi kakek tua itu kembali memegang tangan
Lanangseta seraya memohon dengan nada kasihan:
"Tolonglah... ayo,
bertarung denganku. Kau pasti akan menang. Percayalah! Bertarunglah sebentar saja,
dan kujamin dengan sekali tebas kepalaku akan terpisah dari leher. Kau bisa
melanjutkan perjalanan kembali "
Lanang jengkel sendiri.
"Aku bukan jagoan tengik!" bentaknya. Dan tiba-tiba Tongkat Besi
menarik tangan Lanangseta kuat-kuat, kemudian melemparkannya tubuh yang kekar
dan tegap itu. Dengan sekali ayun, Lanang terlempar dan jatuh di dekat potongan
tongkat besi itu.
"Gila...!" teriak
Lanangseta.
Kakek tua atau Si Tongkat
Besi, itu tersenyum. "Rupanya kau perlu kusiksa dulu supaya mau melawanku...!"
"Kakek gila?! Apa-apaan
ini sebenarnya? Mengapa kau bernafsu sekali bertarung denganku...?"
Kakek tua tidak menjawab, ia
menendang Lanangseta. Mau tak mau Lanangseta berguling ke kiri, dan melejit ke
atas, dan disambut dengan pukulan berantai dari dua tangan kurus itu. Lanang
sempat limbung dan sempoyongan. Pernafasannya sangat sesak, ia nyaris tak bisa
bernafas lagi.
Padahal yang diterimanya
adalah pukulan tanpa tenaga dan dilancarkan dari kedua tangan kurus kering.
"Ayo, lawan aku. Jangan
dengan tangan kosong, nanti kau mati jika melawanku dengan tangan kosong. Pakai
pedangmu!"
"Gila! Betul-betul gila!
Apa maunya sebenarnya?!" pikir Lanang sambil melangkah mundur. Memandang
penuh keheranan.
*
** 2
KAKEK TUA itu memungut kembali
potonganpotongan tongkat besinya. "Barangkali kau mau belajar padaku
tentang ilmu Sambung Besi, asal kau janji, setelah kuajarkan ilmu itu, kau mau
bertarung denganku dun harus memakai pedangmu itu."
Karena penasaran, Lanangseta
bertanya. "Kenapa harus memakai pedangku ini?"
"Menurut dugaanku,
pedangmu itu bisa memotong besi, atau benda apapun. Dan itu berarti akan bisa
memotong leherku juga."
Mulut Lanangseta masih dalam
kebisuan, matanya memandang potongan tombak besi yang dirapatkan kembali. Bekas
kedua potongan itu digenggam oleh kakek tua, lalu diurut sambil tersenyum memandang
Lanang. Dan kali ini, Lanang jadi terbelalak. Tongkat Besi yang terpotong itu
telah tersambung lagi tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Dua tempat potongan
telah menyatu, rapat dan halus, sepertinya tongkat itu tak pernah terpotong
sebelumnya.
"Hebat...!" gumam
Lanangseta. "Memang. Dan kau bisa mempelajari ilmu Sambung Besi dengan syarat
seperti yang kukatakan tadi," kata kakek tua dengan suaranya yang serak.
"Keinginan yang
aneh," desis Lanangseta. "Kalau kau melawanku tanpa pedang itu, kau
akan kalah. Aku punya ilmu
silat lebih tinggi dari kamu. Juga beberapa jurus tenaga dalam yang lebih hebat
dari kamu. Aku bisa membuat harimau mati seketika jika aku membentakkan kata
mati di hadapannya. Dan aku bisa menghancurkan gunung sekokoh apapun, jika aku
bilang hancur kepada gunung itu. Hebat kan kesaktianku itu? Kau mau coba?"
Pendekar Pusar Bumi masih tertegun
dan berpikir bingung. Kakek tua itu berkata lagi dengan seenaknya, bagai
seseorang sedang membual:
"Kalau pedangmu bisa
melukaiku, apalagi sampai bisa memotongku, maka pedangmu itu akan dapat terbang
sendiri dan menuruti kehendakmu. Pedangmu dapat membunuh siapa saja yang kau
perintahkan untuk dibunuh. Kau bisa enak-enak duduk sambil makan, atau tidur di
samping istri mu. Eh, kau sudah punya istri, anak muda?"
"Belum."
"Nah, kalau kau bisa
membunuhku dengan pedangmu, maka oleskanlah darahku pada bibirmu, dan seumur
hidup kau akan menjadi rebutan perempuanperempuan cantik. Tak ada perempuan
yang mampu berpaling dan pergi jika memandang bibirmu. Mereka akan merengek dan
kasmaran, lalu bersedia menuruti perintahmu tanpa punya rasa cemburu."
Senyum Lanangseta tersungging
tipis, kaku, seakan menyepelekan kata-kata Si Tongkat Besi. Kakek tua itu
merasa sedang diremehkan oleh pemuda tegap dan perkasa yang dari tadi berdiri
di depannya. Kemudian Tongkat Besi mengambil sebutir batu kerikil "Ini
apa...?" ia memperlihatkan batu itu kepada Lanang.
"Batu," jawab Lanang
yang semakin seperti orang bego.
"Iya, yang bilang ini
kepalamu siapa?" kakek tua itu terkekeh. Lanang geli sendiri. Orang ini
sangat aneh dan punya daya tarik tersendiri, pikir Lanang.
Kakek tua itu berkata lagi,
"Nah, menurut penglihatan siapa pun, ini adalah batu. Lalu, kugenggam...!"
Ia menggenggam batu tersebut. "Ini bukan batu, tapi emas...!"
Tongkat Besi membuka
genggamannya, dan mata Lanangseta terbelalak, bahkan ia sempat merunduk untuk
memperjelas penglihatannya.
"Gila...! Menjadi emas?
Emas betulan...?!"
Dibiarkan tangan Lanangseta
memungut batu yang telah berubah menjadi emas. Lanangseta memandanginya
lekat-lekat, nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Kakek tua itu hanya
terkekeh-kekeh dengan gayanya yang sombong dibuat-buat.
"Ambillah kalau kau mau.
Dan buktikan, sampai berapa tahun pun ia tetap akan menjadi emas...!" kata
kakek tua.
Lama sekali Lanangseta
tertegun dan memperhatikan keanehan itu. Kakek tua berkipas-kipas dengan
menggunakan bagian jubahnya. Rambutnya yang putih sudah mulai kemerah-merahan
itu sudah pasti amat panjang, namun karena ditekuk dan digulung menjadi satu di
atas kepalanya, maka ia kelihatan rapi. Hanya kumis dan jenggotnya saja yang
kelihatan acak-acakan.
"Kau bisa mempelajari
ilmu itu, kalau kau mau bertarung denganku memakai pedang itu. Ku ajarkan dulu
semua ilmuku, dan kalau sudah habis, baru kita bertarung. Ku jamin kau pasti
menang."
"Dan kakek akan
mati?" "Ya."
"Tidak menyesal mati di
tanganku?"
Ia menghela napas. Santai
sekali, seakan ogahogahan berbicara. Katanya, "sebetulnya mati di tangan
siapa pun aku mau. Tapi sudah lama aku menunggu orang yang bisa membunuhku,
nyatanya tak ada."
Kata-kata itu kedengarannya
sangat aneh dan ganjil, sehingga Lanangseta merasa perlu ikut duduk di sebelah
Si Tongkat Besi.
"Jadi, apa inti kemauan
kakek sebenar-nya?" tanya Lanangseta setelah membisu beberapa saat sambil
memandangi batu yang telah menjadi emas itu. "Keinginan mu yang paling
utama apa, Kek?"
"Mati!" jawabnya
pelan, tapi tegas. Hanya saja Lanang masih merasa hal itu adalah main-main.
"Aku bertanya dengan
sungguh-sungguh, Kek.
Jangan dijawab dengan
becanda."
"Hei, kau kira mati itu
pekerjaan becanda? Kau kira orang ingin mati itu lucu? Kau saja yang tolol jika
menganggap begitu. Mati itu suci. Mati itu suatu kegiatan yang memerlukan
kesungguhan. Tidak main-main. Dan bagiku, mati itu indah."
"Indah...?"
Lanangseta tertawa pendek.
"Nah, sekarang kau yang
becanda," ujar Tongkat Besi. "Ada pepatah yang mengatakan: mati itu
sebagian dari pada hidup. Dan hidup itu kodrat!"
Lanang menatap dengan bingung,
dan Tongkat Besi menjelaskan:
"Kamu bisa hidup, itu
karena memang kamu dikodratkan untuk hidup. Jadi hidup itu adalah kodrat. Dan
di dalam kehidupan mu itu, kau akan menemui berbagai perjalanan yang berujung
pada kematian. Jadi, kematian itu adalah sebagian dari pada hidup. Jelas?"
Lanangseta menggeleng. Kakek tua menghela nafas. Kesal. Kemudian Lanangseta
buru-buru bertanya:.
"Yang membuatku kurang
jelas adalah: mengapa kakek ingin mati? Orang-orang berjuang mempertahankan
hidup dengan berbagai cara, kadang-kadang cara salah pun dilanggarnya, asal dia
bisa tetap hidup. Nah, sekarang aku menemukan seseorang yang dengan cara apa
pun ingin mati. Ini aneh. Janggal bagi alam pikiran saya, Kek."
Tongkat Besi menggumam lirih,
merenung sebentar, kali ini ia kelihatan lebih serius memandang Lanangseta.
"Usiaku sudah ratusan
tahun. Mungkin empat ratus tahun, barangkali juga enam ratus tahun. Aku sendiri
tidak jelas dan bingung mengingat-ingatnya."
Pendekar Pusar Bumi berkerut
dahi memandang Tongkat Besi dengan keheranan yang menyolok. Tongkat Besi
mengusap-usap jenggotnya seraya berkata:
"Jenggotku sudah bukan
putih lagi. Sudah bukan uban lagi, tapi sudah mulai kemerah-merahan. Jadi
ibarat buah anggur, aku ini sudah kelewat matang dan busuk. Sudah banyak
ulatnya. Tapi karena kesaktianku, aku jadi sulit mati. Padahal aku sudah bosan
hidup. Betul, aku tidak becanda. Aku sudah bosan hidup. Sebab itu, aku ingin
segera mati."
"Orang lain berusaha
untuk mempertahankan hidup, supaya panjang umur. Tapi, kakek malahan ingin
memperpendek umur. Bagaimana bisa begitu? Bukankah hidup itu indah?"
"Orang yang tidak
memahami kehakikian hidup, akan berkata begitu. Tetapi kalau orang yang sudah
mengerti betul apa itu hidup dan apa itu mati, maka akan memilih mati. Sebab di
dalam kematian itu sebenarnya terdapat kehidupan yang langgeng, yang abadi.
Bukankah orang-orang yang cetek pikiran selalu menghendaki hidup yang langgeng
atau yang abadi? Nah, untuk mencapai itu, dia harus mati. Kalau dia takut mati,
berarti dia takut hidup langgeng. Kalau dia takut hidup langgeng, untuk apa ia
punya cita-cita panjang umur segala? Kan begitu?"
Lanangseta dihadapkan pada
suatu falsafah yang berputar-putar memusingkan. Ia tertegun, melamun panjang,
merenungi kata demi kata. Tapi ia belum juga menemukan suatu pemahaman yang
kongkrit. Tiba-tiba ia berkata:
"Kenapa kakek tidak bunuh
diri saja? Dengan begitu kakak dapat mati sesuai keinginan Kakek itu?"
"Itu kalau bisa,"
jawabnya kalem. "Seratus kali aku mencoba bunuh diri dengan berbagai cara,
sampai minum racun yang paling ganas sekalipun pernah kulakukan. Tapi,
nyatanya, aku tidak mati. Cuma sakit, kelojotan, cengap-cengap, ehh... sembuh
lagi, sembuh lagi. Sampai akhirnya aku bosan bunuh diri. Dan secara jujur
kuakui, bahwa...." Ia berhenti sebentar lalu berbisik kepada Lanangseta:
"Aku ini orang tolol. Nyatanya bunuh diri saja tidak becus. Kalau orang
membunuh dirinya saja tidak bisa, bagaimana dia akan bisa mengatasi hidupnya?
Sebab bunuh diri itukan pekerjaan gampang. Guampaaaang... sekali...! Bagi yang
bisa. Nah, kalau pekerjaan yang gampang itu tidak mampu dikerjakan, apalagi
pekerjaan yang sukar, yaitu
hidup. Eh, percaya atau tidak, kau harus mengakui bahwa hidup itu sukar lho?
Iya,. kan?"
Lanangseta mengangguk tanpa
memahami pertanyaan itu. Tapi tiba-tiba ia berkata, "Cuma... saya rasa
sama sukarnya dengan mati, Kek. Memang ada persamaannya dan ada perbedaannya.
Persamaannya adalah sama-sama membutuhkan waktu dan kesabaran, perbedaannya
adalah: beda artinya."
Kakek tua itu tertawa senang.
"Nah, sekarang kau mulai masuk dalam lingkaran hidup dan mati. Aku senang
apabila kaulah orang yang akan membunuhku. Mati di tangan orang pandai itu
lebih bermakna daripada mati di tangan orang bodoh. Mengerti maksudku?"
Lanangseta hanya mendesah
dalam gumaman nya. Kemudian ia bergegas bangkit, "Maaf, Kek... senang
sekali sebenarnya aku bisa ngobrol panjang-lebar denganmu. Tapi ada satu
keperluan yang harus kukerjakan sekarang ini. Aku harus pergi meninggalkan kakek."
"Mungkin aku bisa
membantu menyelesaikan pekerjaanmu. Mari kubantu...! Asal nanti kau bunuh aku.
Setuju?"
"Ini persoalan pribadi.
Maaf...!" Setelah bicara begitu, Pendekar Pusar Bumi melesat cepat dengan
menggunakan peringan tubuhnya yang cukup handal. Tongkat Besi masih sempat
berseru: "Lanangseta...! Tunggu...!" Kakek tua berjenggot
kemerah-merahan itu ikut mengejar Pendekar Pusar Bumi. Larinya lebih cepat, dan
dalam tempo singkat ia dapat mengejar Lanangseta. Tahu-tahu kakek tua itu sudah
berada di depan Lanangseta. Gawat! Padahal Lanangseta tidak ingin urusannya
dicampuri orang lain. Ia ingin menghadapi resiko itu sendiri, tanpa bantuan
siapapun. Sebab itu, untuk menghindari Si Tongkat Besi, Lanang segera
mengalihkan arah ke kiri, maka Tongkat Besi menjadi salah arah. Ia terpaksa
menyusul ke arah kiri. Ia sempat berteriak lagi.
"Akan kubantu segala
kesukaranmu! Tunggulah aku, Lanangsetaaa...!"
Melihat Tongkat Besi
berkelebat menyusulnya, Lanangseta segera menggunakan ilmu Lindung Bumi.
Tubuhnya yang tegap, kekar dan perkasa itu tiba-tiba hilang bagai tersedot ke
dasar bumi. Ia berjalan dalam lapisan tanah tanpa bisa diketahui Tongkat Besi.
Tentu saja kakek tua itu merasa kehilangan jejak, dan menggerutu,
menyumpah-nyumpah tak karuan. Padahal ia yakin, pedang yang bertengger di
punggung Lanangseta itulah yang mampu membunuhnya kelak.
Sedangkan bagi Lanangseta, ia
merasa tidak puas jika tugas yang diberikan oleh Rama Sabdawana, ayah dari
Kirana Sari itu, dikerjakan secara bahumembahu dengan orang lain. Mengingat
tugas itu adalah tugas yang menyangkut harga dirinya, maka harus dikerjakan
secara pribadi.
Lanang masih ingat kata-kata
ayah Kirana ketika perempuan itu bicara di depan ayahnya:
"Aku akan kawin dengan
Lanangseta, Ayah.
Aku minta izin dan doa
restu."
Waktu itu, Lanangseta berdiri
di samping Kirana dan Sabdawana, ayah Kirana itu, duduk di atas sebuah batu
yang dijadikan tempat duduk antik. Berlapis kain halus yang empuk, dan berukir
gambar bunga teratai, sehingga lelaki lanjut usia itu bagaikan duduk di atas
bunga teratai. Sebab itu pula rumah tersebut dinamakan Griya Teratai Wingit.
"Apakah kalian saling
mencintai?"
Pertanyaan itu meluncur dari
mulut ayah Kirana dengan suara halus, bahkan hampir tidak terdengar oleh Lanang.
Untuk pertanyaan itu, Kirana menjawab lebih dulu:
"Sudah, Ayah."
Sabdawana yang bermata lembut
dan bersikap kalem itu melirik Pendekar Pusar Bumi. Maksudnya ia ingin
mendengar jawaban dari pemuda itu juga. Maka buru-buru Lanang pun memberi
jawaban:
"Sudah, Rama.",
Lelaki tua yang duduk bersila
itu tersenyum sambil memandang ke arah lain.
"Bagaimana dengan Putri
Ayu Sekar Pemikat
itu?" Lanangseta masih
ingat, ketika itu ia sangat terkejut, sebab tak pernah menyangka sama sekali kalau
ayah Kirana ternyata sudah mengetahui hubungan Lanang dengan Sekar Pamikat.
Kirana sendiri menghempaskan nafas, kemudian melirik Lanang, dari pandangan
matanya seakan ia mengatakan bahwa ia tidak tahu kalau ayahnya bisa menyebutkan
nama Putri Ayu Sekar Pamikat. Maka, Lanang pun paham bahwa ayah Kirana
mengetahui hal itu bukan atas dasar informasi dari putrinya, melainkan karena
ilmu yang dimiliki itu dapat membaca sejarah hidup dan latar belakang Lanangseta.
Barangkali juga ia hanya menuntut kejujuran dari Lanangseta akan hal itu.
Dengan tegas dan polos, Lanang pun menjawabnya:
"Apakah menurut Rama saya
masih ada kesempatan mengawani Pendekar Cambuk Naga itu? Saya memang masih
menyimpan cinta kepadanya. Tapi kalau memang dia akan menjadi milik Goa
Malaikat itu, maka saya tak akan memilikinya lagi. Dan penebus kehancuran cinta
saya adalah... putri Rama sendiri ini. Saya berusaha mengubur cinta saya kepada
Sekar Pamikat, asalkan putri Rama bisa memandu hidup saya. Saya akan mencintai
gadis di samping saya ini, asalkan dia juga mencintai saya. Cuma itu yang ada,
Rama."
Lelaki tua berambut putih
semua itu manggutmanggut. Dalam hati ia mengakui suatu ucapan yang jujur, yang
tidak mempunyai kepalsuan sedikitpun. Ia bahkan sempat berbisik kepada Kirana,
walau tidak harus mendekatkan mulut ke telinga putrinya: "Dia jujur, dan
kau beruntung."
"Aku tahu, Ayah,"
Kirana mengangguk.
"Jadi, Ayah menyetujui
dan merestui perkawinan kami?" Kali ini Sabdawana turun dari tempat duduknya,
melangkah ke tangga teras, memandang alam di sekitarnya. Lalu dengan sangat
berwibawa dan menyimpan kharisma ia berkata:
"Apakah dia sanggup
memenuhi persyaratan-
ku?"
Kirana berkerut dahi. Ia tidak
suka ayahnya
banyak tingkah begitu. Ia
memprotes syarat apa pun yang akan disampaikan oleh ayahnya.
"Apakah aku harus
menunggu beruban baru boleh kawin?"
"Sekarang pun sudah
kelewat waktumu untuk bersuami."
Itu jawaban ayah Kirana yang
tetap kalem, namun tegas. Lalu sambungnya lagi, "Aku hanya ingin mempunyai
menantu yang sesuai dengan seleraku, tapi juga sesuai dengan seleramu."
"Lanangseta sesuai dengan
seleraku, Ayah." Sabdawana mengangguk-angguk. "Yah, me-
mang sesuai dengan seleramu.
"Tapi belum tentu sesuai dengan seleraku. Ingat, Kirana, kalau kau kawin
dengan dia, berarti dialah yang akan menjadi penguasa tunggal di Bukit Badai
ini setelah aku tiada. Jadi, aku bukan hanya sekedar memilihkan calon suami
buatmu, tetapi sekaligus memilih calon penggantiku sendiri. Jelas?"
Mau tidak mau, Kirana pun
mengangguk. Ia tahu bahwa kelak, jika ayahnya tidak ada lagi, suaminya itulah
yang akan menjadi penguasa Bukit Badai, penjaga makam leluhur mereka, sekaligus
penguasa segala isi goa-goa yang ada di sekitar wilayah Bukit Badai. Hanya Goa
Malaikat yang tidak boleh dikuasai, kecuali dijaga dan dipertahankan menjadi
milik leluhur Kirana. Bukit Badai tidak boleh dipimpin oleh seorang perempuan.
Harus lelaki. Jadi, bukan Kirana yang akan menjadi pengganti ayahnya kelak,
melainkan suaminyalah yang akan menjadi pengganti penguasa Bukit Badai
nantinya.
"Rama, boleh saya tahu
syarat apa yang harus saya kerjakan? Dan apakah itu berupa maskawin buat...
putri Rama?"
"Ya. Maskawin dan
penobatan.!" jawab Sabdawana, tegas.
Suasana hening sejenak.
Lanangseta mencoba mengira-ngira bentuk maskawin yang dikehendaki. Tapi ia
masih kurang berani memastikan. Hanya saja dalam saat itu juga, ayah Kirana
berkata dengan jelas di depan Lanangseta dan anak gadisnya:
"Lanangseta, kau boleh
memperistri putriku, tetapi pertama kali yang kuminta: Hancurkan Puri Tebing
Neraka, dan carilah bunga teratai di dalam Goa Malaikat!"
"Ayah...?!" Kirana
tersentak kaget.
"Itu sama saja penolakan.
Sama saja Ayah ingin membunuh Lanangseta!" sambung Kirana dengan cemas.
Ayahnya diam saja, tidak
mengomentari katakata anaknya. Ia hanya memandang tajam pada Lanangseta dan
bertanya, "Bagaimana? Sanggup?"
Setelah menghempaskan nafas
panjang, Lanangseta menjawab dengan tegas, "Demi mendapatkan... dia,"
Lanangseta tak berani menyebutkan nama Kirana, takut terjadi hujan badai
seperti dulu lagi (dalam kisah Misteri Goa Malaikat). Lalu ia menyambungnya:
"Saya sanggupi
persyaratan itu, Rama." "Bagus! Lakukanlah mulai sekarang, Nak."
"Aku akan menyertaimu,
Lanang," ujar Kirana. Tapi Ayahnya menyahut:
"Jangan! Berilah
kesempatan kepadanya untuk menunjukkan betapa ia mencintaimu, Ki..."
"Tapi, orang-orang Tebing
Neraka itu bukan orang-orang sembarangan, Ayah. Mereka mempunyai ilmu yang
tinggi dan kekejamannya di luar batas kemanusiaan!" debat Kirana.
"Justru itulah letak
cinta kasih Lanang kepadamu. Kalau dia kusuruh membunuh seekor kerbau, hargamu
hanya seharga seekor kerbau. Dan, maukah kau mendapat maskawin hanya seekor
kerbau?"
"Ayah, orang-orang Tebing
Neraka itu "
"Maskawinmu sangat
berharga," sahut ayahnya. "Yaitu sejumlah nyawa yang susah
dikalahkan. Untuk itu, kau pun kelak tak akan bertindak sembrono terhadap
suamimu. Ia telah membelimu dengan nyawa dan darah. Ini juga demi mengikat
dirimu, agar kau tidak semena-mena terhadap suami!"
Lanangseta masih ingat apa
yang dikatakan Kirana pada malam sebelum ia berangkat:
"Kau... kau keberatan
sebenarnya dengan kedua syarat itu, bukan?"
Lanangseta menggeleng.
"Aku senang. Aku mempunyai kesempatan untuk menunjukkan cintaku
kepadamu."
"Tebing Neraka,
benar-benar neraka bagi setiap orang asing yang datang ke sana. Selain
tempatnya yang sulit dicapai, juga banyak perintang yang mengerikan. Setiap
orang asing datang ke sana, ia tak pernah pulang selamanya. Dan...
kau...." Kirana ragu untuk melanjutkan ucapannya, sedangkan Lanangseta
semakin melebarkan senyum.
"Kau menyangsikan
cintaku?" tanya Lanangse-
ta. "Tidak. Tanpa kau ke
sana, aku tidak sangsi dengan kasih setiamu, Lanang."
"Dari mana kau
tahu?"
"Aku sering mendengar
kata hatimu yang sangat mendambakan aku dan sangat menyayangiku. Aku pernah
mendengar kata hatimu, bahwa kelak kau ingin memanjakan aku, sebab itu adalah
cita-citamu, yaitu memanjakan seorang istri. Ah, sudahlah lupakan saja
permintaan ayahku, Lanang."
"Itu sama saja kau
menyuruh aku untuk melupakan cintamu. Tidak. Aku tidak mau meminta persyaratan
lain. Aku harus ke Puri Tebing Neraka. Mungkin memang bahaya, tapi di sana ada
cinta yang ingin kupersembahkan kepadamu."
Kirana menjatuhkan kepalanya
dalam pelukan Lanangseta. Bau harum dari rambut Kirana tercium oleh Lanang dan
menjadikan suatu gelora yang berdebaran di dalam dadanya. Karena itu,
Lanangseta semakin mempererat pelukannya. Saat itu pula ia mendengar bisikan
Kirana dalam keluh.
"Lanang... aku takut
kehilangan kamu "
"Aku juga," bisik
Lanangseta. Pelukannya semakin mesra, seolah-olah diresapi betul, betapa hangat
dan mesranya berada dalam kerapatan tubuh Kirana.
"Percayalah, kita tak
akan saling kehilangan," kata Lanangseta. Dan, Kirana membisikkan kata
lain:
"Carilah dulu Sekar
Pamikat, mintalah restu darinya supaya cintanya pun ikut menyertaimu. Bukan
mengutukmu!"
Sekar? Mencari dia di dalam Goa
Malaikat? Haruskah itu dilakukan Lanangseta? Betulkan dia akan terkutuk jika
tak direstui Sekar Pamikat? Ah, ada-ada saja yang mengganggu otaknya kali ini. *
**
3
DOMAS LANANGSETA menuang
minumannya dari dalam guci. Orang-orang di kedai itu sesekali mencuri pandang
ke arah Lanangseta. Sebenarnya tatapan mata mereka yang secara
sembunyi-sembunyi sudah diketahui Lanangseta. Ia sadar bahwa dirinya menjadi
pusat perhatian di kedai itu. Tetapi itu semua jelas dikarenakan dia orang
asing di situ.
Kecurigaan lain sebenarnya tak
ada pada pikiran Lanang, kalau saja pemilik kedai itu berbisik pada saat
mengantar makanan yang dipesan Lanang.
"Sebaiknya Tuan lekas
makan dan cepat tinggalkan desa kami."
Bisikan itulah yang membuat
Lanang jadi curiga dan memasang kewaspadaannya.
"Memangnya, kenapa?"
Lanang balas berbisik. Ia sendiri tak enak kalau kehadirannya sampai meresahkan
pemilik kedai. Tetapi pemilik kedai itu menjadi ragu-ragu untuk menjawab
pertanyaan Lanang.
"Kenapa Bapak
kelihatannya gelisah?" desak Lanang.
"Mereka pasti akan
datang, cepat atau lambat." "Mereka siapa?" Lanang semakin tidak
mengerti.
dai.
"Tuan datang dari Barat,
bukan?" "Betul."
"Tujuannya mau ke
mana?" selidik pemilik ke"Mau ke Tebing Neraka. Apakah saya salah jalan?"
Wajah pemilik kedai menjadi
pucat. Ia bertam-
bah gelisah, kecemasannya
sempat membuat giginya gemetar.
"Berarti... berarti Tuan
datang dari Bukit Ba-
dai?"
Sambil mengangguk Lanangseta menjawab,
"Ya. Benar."
"Celaka...!" desis
pemilik kedai yang berbadan kurus dan berkumis tipis itu.
"Kenapa celaka?"
"Mereka akan semakin
bernafsu membunuh Tuan!" bisikannya semakin tegang. Tapi Lanangseta tetap
tenang. Ia menikmati paha ayam hutan dan secangkir tuak. Pemilik kedai itu
sangat ketakutan. Ia berbisik lagi:
"Setiap orang yang datang
dari Barat, pasti mereka bunuh. Tak ada ampun lagi bagi pendatang dari arah
Barat. Apalagi Tuan mengaku dari Bukit Badai, ooh... pasti mereka tak akan
memberi kesempatan kepada Tuan untuk bicara dan meminta maaf."
Aneh pembicaraan pemilik kedai
ini, pikir Lanang. Bagaimana pun aneh dan ganjilnya suasana di kedai itu,
Lanang masih tetap berpenampilan tenang. Ia ingat pesan Kirana sebelum ia
pergi:
"Tenang. dan bersabarlah.
Tanpa ketenangan dan kesabaran yang tinggi, kau tak akan dapat mengalahkan
orang-orang Tebing Neraka."
Kata-kata Kirana bagai bekal
seorang istri kepada suaminya yang akan ke medan tempur. Berbekal pesan Kirana
itulah, maka Lanang tidak ikut gelisah seperti orang-orang yang berada di kedai
itu. Banyak yang tergesa-gesa pulang, atau berpindah tempat duduk menjauhi
Lanang. Namun semua itu tidak membuat Lanang berubah sikap.
"Tuan..." bisik
pemilik kedai seraya menyajikan lalap sayuran mentah. "Saya mohon, jika
mereka datang, Tuan mau bicara dengan mereka di luar kedai ya? Terus terang
saja, saya takut kedai saya jadi rusak dan kacau semuanya. Saya tidak ingin
terulang untuk yang kedua kalinya."
"Siapa maksud Bapak yang
akan datang itu? Raja? Kaisar?" tanya Lanangseta sambil mengunyah makanannya
dengan kalem.
"Mereka itu, maksud
saya... hem... anak buah Surobedog! Apa Tuan belum mendengar kabar bahwa
Surobedog itu kaki tangan penguasa Puri Tebing Neraka? Kejam-kejam dan
rakus-rakus. Setiap sebulan sekali anak perawan dari desa kami selalu dijadikan
korban bakar, sebab memang desa kami inilah desa yang terdekat dengan Tebing
Neraka."
Lanang manggut-manggut.
"Apakah Surobedog penguasa di Tebing Neraka?"
"Memang bukan. Tapi,
untuk daerah desa kami, dialah yang diserahi tugas menjadi ketua pengawasan.
Kalau ketua pusatnya, Si Cakar Setan, memang belum pernah datang ke mari.
Sebab, anak buahnya saja sudah cukup mampu menangani pengawasan sekaligus penguasaan
terhadap rakyat desa ini. Para pemuda desa ini telah banyak menjadi korban
keganasan Si Cakar Setan."
"Dijadikan korban
bulanan?"
"Bukan. Bukan dijadikan
korban, tapi... dipaksa untuk menjadi anak buah Cakar Setan. Lalu mereka
disuruh menyerang ke mana-mana, tanpa memperhitungkan keselamatan nyawa mereka.
Jadi, para pemuda desa itu banyak yang dijadikan umpan di mana mereka hendak
menyerang." "Dan Si Cakar Setan sendiri?" "Si Cakar Setan...?
Oh, dia tidak pernah ke luar dari Puri Tebing Neraka. Dia hanya bisa memberi
perintah dari tempat kerjanya."
"Kalau begitu, Si Cakar
Setan itulah yang harus kutemui, sebab dialah penguasa Tebing Neraka," gumam
Lanang.
"Eh, bukan. Penguasanya
bukan Si Cakar Setan. Ada sendiri, dan kami tidak pernah mendengar namanya.
Yang kami dengar mereka, orang-orang Tebing Neraka itu, Bering menyebut-nyebut
nama Gusti Dalem. Orang yang disebut Gusti Dalem itulah yang memegang tampuk
kekuasaan Tebing Neraka seluruhnya. Tapi... kalau Tuan mau menuruti saran saya
jangan ke sana. Orang yang pergi ke sana, pasti tidak pernah kembali
lagi."
"Mungkin kali ini hanya
aku yang akan kembali lagi," ujar Lanang setelah meneguk tuaknya satu
kali.
Pemilik kedai mendesah dalam
resah. Semakin gelisah lagi setelah ia melihat empat orang berjalan mendekati
kedainya. Pemilik kedai mengenal siapa mereka, sebab itu ia menjadi tegang dan
berkata:
"Ssstt... Tuan, mereka
datang... Betul apa kata saya tadi, bukan? Wah, gawat...!"
Lanang hanya melirik kehadiran
empat orang bertubuh kekar, dengan pakaian semacam rompi yang dihiasi dengan
logam-logam putih berbentuk bintang lima. Hiasan itu sangat banyak menempel di
dada dan seluruh baju itu. sehingga mereka bagai mengenakan pakaian lapis
logam.
Orang-orang yang berada di
dalam kedai mulai beranjak meninggalkan tempat, makin menjauhi Lanangseta.
Wajah-wajah mereka penuh ketegangan, terutama wajah pemilik kedai. Lelaki kurus
yang masih berkalung serbet makan itu kelihatan lebih pucat dan sangat
ketakutan.
Lanang tak tega melihat ketakutan
pemilik kedai. Pasti yang ditakutkan adalah kehancuran kedai dan dagangannya.
Sebab itu, Lanangseta segera membayar semua ongkos makan dan minumnya lalu ke
luar lewat pintu samping. Ia berjalan meninggalkan kedai bagai tak menghiraukan
kehadiran keempat orang kekar itu.
Rupanya keempat orang
menyeramkan itu merubah arah, yang semula hendak masuk ke dalam kedai lewat
pintu depan, kini berbelok ke arah samping kedai. Mereka memburu Lanang dengan
langkahlangkah beremosi.
"Berhenti...!" seru salah
seorang dari keempat orang itu. Lanangseta tetap melangkah, sengaja menjauhi
kedai. Orang-orang di sekitar situ memandanginya dengan tegang dan penuh
kecemasan. Ada pula yang memperhatikan dengan bersembunyi di balik pohon atau
di balik gerobak sapi.
"Berhenti, congek!"
bentak lelaki bermuka tebal,
hitam.
Lanangseta seperti tidak
mendengar seruan itu.
Ia tetap melangkah kendati ia
tahu orang-orang yang memperhatikannya semakin ngeri sendiri.
Dengan kecepatan yang hebat
dan ketangkasan yang tinggi, Lanangseta berbalik secara mendadak. Tangannya
bergerak menangkap sebuah pisau yang dilemparkan dengan cepat ke arahnya. Pisau
itu tergenggam erat di tangan Lanangseta, tepat pada bagian gagang pisau.
Orang-orang yang memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi itu tercengang sendiri.
Kaki Lanangseta berdiri tegap, sedikit renggang, dan tangannya mempermainkan
pisau yang berhasil ditangkapnya. Keempat lelaki bengis itu mendekat, lalu mengepung
Lanang; dua di depan, dua di samping kiri kanan.
"Kamu orang Bukit Badai,
ya?!" tanya orang di depannya.
"Anggap saja begitu. Mau
apa kalian?"
Lanang bicara dengan tenang,
tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun.
"Berarti kamu yang ikut
membantai saudarasaudara kami, yang sedang berusaha mencari Goa Malaikat itu.
Iya?"
"Kalau tidak salah,
memang akulah yang membantai mereka. Apa kalian ingin menyusul
mereka...?!" Lanang bicara semakin membakar kemarahan keempat orang bengis
itu.
"Kunyuk! Bunuh
dia...!" Si Muka Tebal memberi perintah, dan ketiga temannya segera
menyerang Lanang dalam satu hentakan serempak. Senjata-senjata mereka di
arahkan ke tubuh Lanangseta. Mereka bertiga melayang bagai peluru, meluncur
dalam satu teriakan: "Heeaaatt...!!!"
Lanangseta melompat ke atas
sambil membuang pisau yang berhasil ditangkapnya itu. Ketiga orang itu
berguling, karena senjata mereka menemui tempat kosong, Tanpa diduga-duga pisau
lemparan Lanang itu menuju ke arah ubun-ubun Si Muka Tebal. Dengan gerakan
bagai mengibas burung terbang, pisau itu dapat ditangkis oleh Si Muka Tebal.
Lanang sudah berdiri di suatu
tempat,
dalam jarak yang tak terlalu
jauh dari mereka. Lelaki bersenjata dua trisula itu segera berlari ke arah
Lanangseta dan menghunjamkan trisula kanannya.
"Waoww...!" Lanang
berkelit ke kiri dengan nada meremehkan serangan itu. Trisula lolos melewati samping
pinggang Lanang. Sementara itu, trisula yang satunya hendak dilancarkan
menghunjam perut Lanangseta. Namun dengan melompat semakin ke kiri, senjata itu
berhasil dielakkan oleh Lanangseta. Kakinya segera menendang tangan yang
memegangi trisula kanan. "Plak...!" Keras sekali tendangan itu sehingga
pemilik senjata trisula meringis kesakitan. Tulang tangannya terasa ngilu,
sampai-sampai ia tak sanggup mengangkat trisulanya lagi. Kini tinggal satu
trisula di tangan kirinya.
Sementara itu, dari samping
kiri datang serangan lelaki bergolok pendek. Kendati pendek namun gerakan golok
itu tak dapat dilihat oleh mata penonton karena cepatnya. Namun pandangan mata
Lanang sudah terlatih melihat kelebatan senjata apa pun, sehingga dapat
bersalto ke belakang menghindari bacokan golok pendek itu. Posisinya tepat
jatuh di depan Si Muka Tebal, yang tanpa menunggu waktu lama lagi, ia langsung
menyerang Lanangseta dengan pedangnya yang berujung runcing. Lanang bahkan
semakin bergerak mendekati tubuh Muka Tebal sehingga gerakan pedang runcing
yang hendak menusuknya itu terlewatkan.
Bertepatan dengan lolosnya
pedang runcing yang bagai hendak mengiris pinggang Lanang, pada saat itu juga
kedua pukulan Lanangseta menghantam keras wajah Si Muka Tebal dengan pukulan
ganda. Si Muka Tebal terpental beberapa langkah. Dan kaki Lanangseta segera
menyambut kehadiran lawan satunya lagi yang datang dari arah samping kanannya.
Tendangan samping itu nyaris beradu dengan pedang orang itu. Hanya berjarak
beberapa inci saja. Tetapi tendangan samping itu tidak pernah meleset. Tepat
mengenai leher orang itu, sehingga untuk beberapa saat orang itu tersedak dan
sukar bernafas. Keseimbangan orang itu mulai limbung, dan Lanangseta tak
tanggung-tanggung lagi, mendekat satu langkah dan menghantamkan pukulannya di
ulu hati lawan dengan pukulan ganda. Darah tersembur dari mulut orang itu yang
membungkuk kesakitan.
Secepat itu Lanang melompat ke
udara, bersalto ke depan. Sebuah kilatan senjata melesat ke arahnya. Benda
kecil yang semula berbentuk bintang lima itu hampir saja menyerempet
pelipisnya, kalau saja Lanang tidak memiringkan kepala ke arah kanan.
Orang yang habis menyerang
dengan lemparan bintang tajam itu tahu-tahu terpekik tertahan dan terguling-guling
di tanah, karena Lanangseta melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan tepat. Dua
orang yang masih dalam keadaan segar segera maju bersama. Mereka adalah Si Muka
Tebal dan lelaki bersenjata trisula kembar. Pertama-tama kedua trisula menyerang
bersamaan dalam posisi sejajar. Tujuannya ke dada Lanangseta. Tak dapat ditawar
lagi, Lanangseta terpaksa segera berguling ke dengan, tepat di bawah kaki
lawannya. Kemudian sebuah pukulan menggunakan ujung-ujung jari tangannya
menyerang paha lelaki bersenjata trisula. Lelaki itu menjerit, pahanya seperti
ditutul dengan jari tangan Lanangseta. Tapi ia kelihatannya sangat kesakitan.
Ketika ia berbalik sambil memegangi salah satu pahanya, Lanangseta meletik
bagai udang, dan melancarkan pukulan totok jari ke punggung orang itu. Pukulan
totok jari tersebut membuat lelaki bertrisula tak mampu bergerak lagi. Tangan,
kaki dan bahkan jari-jarinya pun tak mampu digerakkan. Tetapi kepalanya masih
bisa menengok kian ke mari. Ia berteriak kepada Muka Tebal: "Aku... aku
tertotok, tak bisa bergerak! Hancurkan dia!" "Hiaaaaat...!" Si
Muka Tebal berteriak sambil mengibaskan pedang runcingnya ke arah lengan Lanangseta.
Tubuh kekar itu hanya miring ke depan, dan pedang runcing tak sempat menggores
lengannya. Ia melancarkan tendangan samping ke wajah Muka Tebal, namun Si Muka
Tebal menangkis tendangan itu dengan salah satu tangan yang tidak bersenjata.
Rupanya gerakan menangkis itu diiringi dengan gerakan cabut bintang, sehingga
ketika tangan itu lempang lagi, sekilas benda mengkilat melayang cepat tertuju
ke dada Lanangseta. Hanya dengan cara berguling ke tanah secepatnya senjata
kecil itu mampu dihindari Lanangseta. Namun di luar dugaan, senjata itu melesat
ke belakang Lanang, dan di sana ada orang yang tadi mengeluarkan darah dari
mulutnya akibat pukulan Lanang. Orang itu tak sadar kalau senjata Si Muka Tebal
melesat ke arahnya, sehingga terpekiklah ia karena senjata bintang itu menancap
di keningnya. Menancap dalam, hampir terbenam seluruhnya. Lalu orang itu roboh
oleh senjata temannya sendiri.
Si Muka Tebal semakin ganas.
Ia menyerang dengan kibasan pedangnya secara bertubi-tubi. Lanang sempat
keteter mundur menghindari kibasan pedang yang cepat itu. Tahu-tahu dari
belakang punggungnya, ada tangan yang menyekap kuat leher Lanang. Tangan itu
adalah tangan pemilik golok pendek Tangan itu begitu kekar, dan Lanang sudah
dapat memperkirakan bahwa sesaat lagi golok pendek itu akan merobek tubuhnya,
mungkin di pinggang, mungkin langsung berkelebat ke depan merobek perutnya.
Atau, kalau tidak ia akan ditahan dalam posisi leher terjepit begitu sehingga
Si Muka Tebal dapat membabatnya habis-habisan. Maka secara refleks, Lanang
memutar tubuh dengan kuat, sehingga orang bergolok pendek itu menjadi berbalik
ke arah belakangnya. Punggungnya menghadapi amukan pedang Muka Tebal. Tangannya
kuat-kuat menghimpit leher Lanang. Tangan kirinya siap mengayunkan golok ke
pinggang Lanang. Namun perkiraan Lanang cukup tepat, sebelum golok menyentuh
kulitnya, pasti punggung orang itu sudah terbabat lebih dulu oleh pedang Si
Muka Tebal. Dan ternyata benar; "breet...!" Orang itu tersabet pedang
Muka Tebal. Ia menjerit dan melemas, lalu roboh. Sedangkan Muka Tebal semakin
garang setelah ia melihat pedangnya mengenai teman sendiri.
Wajah Muka Tebal semakin
kelihatan berminyak, bagai dibakar oleh kemarahannya.
"Bangsat buruk...!"
geram orang itu. "Kau pikir hanya kaulah orang berilmu silat tinggi,
hah?"
Lanangseta tampak tenang,
berdiri dengan tegap dan bersikap menunggu serangan berikutnya. Kata-katanya
cukup jelas, tegas, tapi santai:
"Kau telah mengakuinya
sendiri, bukan?!" "Manusia busuk! Terimalah jurus Karang Sak-
tiku ini "
Si Muka Tebal menggerakkan
kedua tangannya ke samping kanan-kiri. Kemudian salah satu tangan dilipat ke
dada dengan menggenggam kuat-kuat, sampai bergetar. Sementara itu kaki kirinya
ditarik mundur dan direndahkan hingga lututnya hampir menyentuh tanah. Ia
bergerak maju dalam posisi kerendahan tubuh yang tetap sama dan gerak tangan
yang gemetar ke depan ke belakang bergantian, seperti orang hendak berenang.
Lalu, semua orang yang menyaksikan pertarungan itu dengan sembunyi-sembunyi
menjadi tercengang melihat tubuh Muka Tebal menjadi putih, berbintik-bintik.
Mirip karang berjalan. Tubuh itu melesat cepat, menghantam Lanangseta. Pendekar
Pusar Bumi tak kalah cepat, ia pun melesat naik ke atas dan bersalto beberapa kali.
Ketika ia berguling-guling di udara, rupanya Muka Tebal pun mengikutinya, sehingga
ketika Lanang menapakkan kaki ke tanah, Si Muka Tebal pun telah berdiri di
sampingnya, lalu memukul kuat-kuat.
Lanangseta terpental akibat
angin pukulan Karang Sakti itu, sedangkan pukulan itu sendiri mengenai pohon
dan robeklah pohon itu bagai selembar kain dicabik binatang buas. Daun-daun
pohon berguguran dan pohon itupun menjadi gundul seketika. Semua orang yang
melihat dengan sembunyi-sembunyi mulai terkagum-kagum dan takjub, mereka tak
sadar menyerukan kata: "Oohh?!" sebagai pelampiasan ketakjuban
mereka.
Lanang baru saja hendak
menyerang Muka Tebal yang sudah berubah menjadi batu karang yang lentur, namun
kakinya bagai tertahan sesuatu. Rasanya perih sekali. Sepintas sebelum itu, ia
mendengar lecutan cambuk dua kali.
Oh, ternyata sebuah cambuk
bertali dua telah membelit salah satu kakinya. Cambuk itu berduri pada setiap
talinya yang agaknya terbuat dari semacam kawat. Tentu saja darah mulai
membasah di kaki kiri Lanangseta dan ia menyeringai menahan sakit. Cambuk itu
ditahan kuat-kuat oleh seorang bertubuh gemuk tanpa memakai baju. Salah seorang
penonton gelap ada yang berseru;
"Itu dia
Surobedog...!!"
Lanangseta mendengar seruan
itu, dan ia menatap orang yang mengenakan ikat kepala dari bahan semacam logam
perak yang bulat bagaikan pipa kecil. Di bagian keningnya terdapat semacam
simbol berbentuk muka raksasa bermulut lebar. Oh, dia yang namanya Surobedog?
Pikir Lanang sambil menahan sakit.
Muka Tebal melihat musuhnya
terjerat cambuk Surobedog segera memanfaatkan keadaan. Ia melayang dan
menyerang Lanangseta. Tapi Lanangseta secepat itu pula menjatuhkan tubuhnya ke
samping kendati kakinya masih terikat cambuk dua tali. Namun ia sudah berhasil
menghindari goresan tubuh Si Muka Tebal yang seperti karang tajam itu. Tubuh
Muka Tebal meluncur dan jatuh beberapa langkah dari tempat Lanang merobohkan
badan. Surobedog menggeret kaki Lanangseta dengan satu hentakan kuat. Selain
luka di kaki Lanang semakin terluka parah, juga tubuhnya menjadi lebih dekat
dengan Muka Tebal. Menurut perkiraan Lanangseta, tubuh yang sudah berubah menjadi
seperti karang itu sangat beracun dan tak boleh tersentuh kulit manusia lain.
Buktinya pohon saja bisa menjadi robek dan daunnya berguguran semua. Lain tanah
tempatnya berpijak dan sekarang diduduki itu mengepulkan asap dan menjadi
hangus.
Karena itu, tak ada jalan lain
bagi Lanangseta kecuali segera mencabut pedang Wisa Kobranya dari punggung.
Kaki semakin dihentakkan oleh Surobedog, dan dia semakin dekat dengan Muka
Tebal. Pada saat tangan Muka Tebal hendak menjamahnya, tiba-tiba pedang Wisa
Kobra membabat kuat tangan itu. Terdengar teriakan keras dari Muka Tebal ketika
tangannya terpotong. Buntung seketika. Karena Lanangseta menganggap Muka Tebal
sangat berbahaya untuk posisinya kali ini, maka dengan satu kali kibasan lagi,
Lanangseta menghantamkan pedangnya ke tubuh Muka Tebal. Tubuh yang seperti
karang itu terbelah menjadi dua bagian. Ia tak sempat menjerit atau berseru
sepatahpun. Ia langsung berkelojot sebentar lalu mati tak berkutik lagi.
"Biadab! Kau bunuh teman
baikku, bangsat...!" teriak Surobedog dengan kemarahan yang meluap. Dengan
keras ia menarik cambuknya yang masih membelit dan menancap pada kaki
Lanangseta. Tarikan itu membuat Lanangseta menyeringai kesakitan. Ia berusaha
menahannya walau rasa sakit semakin meresap sampai ke ubun-ubun. Lalu dengan
satu kali loncatan menggunakan kakinya yang satu lagi, pedang Wisa Kobra
berhasil menebas tali cambuk ganda. "Breet...!" Tak ayal lagi, cambuk
itu pun putus. Ujungujungnya tertinggal di kaki Lanangseta. Pada saat Lanangseta
berusaha melepas potongan cambuk yang tertinggal, Surobedog diam terbengong
memandang cambuknya telah menjadi pendek.
Rupanya orang yang bernama
Surobedog itu punya ilmu yang cukup tinggi pula. Ia segera membuang cambuknya
yang dirasakan tidak berguna lagi itu. Kini ia berkonsentarasi dengan
merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lanangseta selesai melepasi
duri yang menusuk daging kakinya. Ia segera berdiri hendak menghadapi
Surobedog. Namun tibatiba dari ujung-ujung jari yang salingmerapat itu ke
luarlah asap putih. Kedua tangan yang merapat itu diarahkan ke tubuh
Lanangseta, dan asap putih yang menyembur dari tiap ujung jarinya membuat tubuh
Lanangseta menggigil. Asap itu semakin banyak mengurung Lanangseta, dan
akhirnya beku bagaikan es. Lanangseta makin meringis kesakitan dan kedinginan.
Ia terpaku di tempat, di mana asap putih yang menyelimutinya itu membeku. Kian
lama kian keras, dan Lanangseta mulai seperti berada dalam lapisan balok es
yang tebal.
"Gawat...! Aku terkurung
dalam lapisan es, dan ini sangat memudahkan Surobedog untuk menghancurkan es
bersama diriku. Uuhh...! Sialan!" pikir Pendekar Pusar Bumi. Ia ingin
menggerakkan salah satu jarinya saja sukar sekali.
Namun pada saat itu ia sempat
mendengar suara keras Surobedog yang masuk di telinganya secara sayup-sayup:
"Kali ini tamatlah riwayatmu, haram jadah! Ha, ha, ha...!"
Surobedog bersiap melancarkan
pukulan andalannya ke arah Lanangseta. Lanangseta berusaha berontak, tapi
gagal.
*
**
4
BETAPApun juga Lanangseta
masih teringat akan pukulan berbahaya yang dimiliki oleh orangorang Tebing
Neraka. Sebuah pukulan yang mempunyai kekuatan dahsyat, memancarkan sinar biru
tua, dan membuat korbannya hilang tanpa bekas. Itulah pukulan maut andalan
mereka. Seperti halnya yang pernah dialami Lanangseta ketika melawan orangorang
Tebing Neraka yang hendak menguasai Goa Malaikat dulu (dalam seri Rahasia Goa
Malaikat).
Dan kali ini agaknya Surobedog
juga akan melancarkan ilmu tersebut kepada Lanangseta. Gerak jurus pembukanya
masih diingat oleh Lanang, hanya nama jurus itu yang tidak diketahui oleh
Lanangseta. Dugaan Lanang ternyata memang benar. Dari telapak tangan Surabedog
yang dihentakkan ke depan itu keluarlah sinar biru tua, terarah kepada
Lanangseta yang tak dapat bergerak karena dibekukan oleh balokbalok es.
"Oh, tamat betul
riwayatku kali ini," keluhnya dalam hati. Sinar warna biru tua itu
meluncur cepat menghantam balok es yang berisi Lanangseta.
Namun sebelum sinar biru tua
itu menyentuh balok es tersebut, tiba-tiba ada sesosok tubuh yang melesat dari
suatu tempat, langsung berdiri di depan balok es itu. Sesosok tubuh kurus
berjubah kuning menghalangi penglihatan Lanangseta terhadap sinar biru tua itu.
Yang ia tahu, sinar biru tua yang melesat cepat itu menghantam tubuh kurus
berjubah kuning. Namun tubuh itu tidak hilang seperti biasanya, melainkan
justru sinar biru tua itu yang memantul kembali ke arah Surobedog.
"Bangsat...!"
Surobedog kelabakan menghindari sinar itu.
Surobedog melompat sambil
berguling-guling ke arah kiri, dan sinar biru tua yang memantul ke arahnya itu
melesat terus, melewati tempat berdiri semula, lalu menghantam sebuah rumah di
mana di situ banyak orang menonton secara sembunyi-sembunyi. Lalu, dalam
sekejap mata rumah tersebut hilang tanpa bekas, dan orang-orang yang ada di
situ juga hilang semua tanpa kecuali.
Orang yang berdiri menghalangi
serangan sinar biru tua itu terkekeh-kekeh. Samar-samar Lanangseta mendengar
suara kekehannya. Dan ia yakin, bahwa orang berjubah kuning dan berjenggot
putih kemerahan itu tak lain dari Si Tongkat Besi. Kakek tua itu langsung
menyerang Surobedog dengan tongkat besinya. Tubuhnya yang kurus melayang
seperti kapas ditiup angin. Surobedog berdiri tegak siap menerima serangan
kakek tua. Namun, ternyata dia tidak mampu menahan pukulan Tongkat Besi yang
menotok lehernya. Ia menjerit dengan leher miring, tanpa bisa berbalik lagi.
"O, hanya begitu...? Wah,
masih harus belajar lagi kamu, Celeng Mabok!" ucap Si Tongkat Besi. Kemudian
ia melesat, dan mendarat di dekat balok es tempat Lanangseta tersekap di
dalamnya. Kakek tua itu tersenyum, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa
gelintir itu. Kemudian ia memukulkan tongkatnya pada balok es itu dengan
pukulan seakan iseng-iseng saja. Namun, akibatnya cukup mengagetkan orang yang
masih menyaksikan adegan tersebut dari balik persembunyian mereka. Balok es itu
pecah dan menimbulkan suara letupan kecil. Lalu Lanangseta ke luar dari dalam
pecahan balok es tersebut. Ia masih menggigil ketika Tongkat Besi berkata,
"Dingin? Ah, itu biasa. Anggap saja mandi pagi hari. O, ya... itu musuhmu
di sana. Tulang-tulangnya sebentar lagi akan melemas akibat pukulan tongkat
besiku. Hebat aku, ya?"
Lanangseta melihat Surobedog
sedang berusaha melepaskan diri dari kekakuan lehernya. Kepalanya masih tetap
miring. Lanangseta hanya berkata, "Terima kasih, Kek " kemudian ia
segera mendekati Suro-
bedog. Namun baru saja ia maju
selangkah, Surobedog melancarkan pukulan jarak jauhnya. Lanangseta melompat,
dan secara tak sengaja pukulan itu mengenai Tongkat Besi yang berada di
belakang Lanangseta.
Tongkat Besi berjumpalitan
sambil mencaci maki tak karuan. Namun ia segera bangkit, ketika itu Lanang
sudah menyerang Surobedog.
Kedatangan kaki Lanangseta
begitu cepat menghentak kuat dada Surobedog. Lelaki gemuk tanpa baju itu
terpental ke belakang dan terguling-guling beberapa kali. Ia pun menyeringai
menahan sakit di dadanya yang menjadi merah akibat tendangan itu. Surobedog
merasa tak akan sanggup melawan pedang Wisa Kobra yang masih di tangan Pendekar
Pusar Bumi itu. Ia ketakutan, dan segera berusaha melarikan diri dengan kepala
miring ke kanan.
Lanangseta tak mau tinggal
diam begitu saja. Ia sempat berseru, "Tunggu! Jangan pulang ke pimpinanmu
begitu saja. Sampaikan salamku buat dia! Hihh...!"
Lanangseta meloncat dan
berguling di udara, sambil begitu ia mengibaskan pedangnya dan tepat memotong
telinga Surobedog. Tentu saja lelaki tanpa baju itu menjerit sekuat tenaga dan
berlutut seketika. Telinga kirinya yang terpotong itu mengucurkan darah segar.
Ia berusaha mencari potongan daun telinganya sambil menangis kesakitan. Seorang
anak kecil yang bersembunyi di balik gerobak sapi melihat potongan daun
telinga, lalu dengan polos dan seperti orang kebingungan anak itu memungut
potongan daun telinga Surobedog, kemudian menyerahkannya kepada si pemilik daun
telinga itu.
"Pak... ini Pak,
telinganya jatuh di situ "
Surobedog geram. Segera
menyambut daun telinganya, dan memukul anak kecil itu dengan keras sebagai
pelampiasan amarahnya. Tentu saja anak kecil itu terpental jauh dan kepalanya
membentur kayu rumah. Anak itu pingsan atau mati, entahlah, tapi yang jelas
Surobedog segera melarikan diri seperti seekor babi yang ketakutan.
Perhatian orang-orang terpecah
menjadi empat bagian. Ada yang memperhatikan Lanangseta, ada yang memperhatikan
larinya Surobedog yang lucu itu, ada juga yang memandangi kakek tua Si Tongkat
Besi, dan ada yang memperhatikan anak kecil itu. Agaknya anak itu mati akibat
pukulan Surobedog yang keji itu.
"Tidak kau kejar
dia?" tanya Tongkat Besi ketika Lanang duduk di bawah pohon sambil
memegangi kakinya yang berdarah. Lanangseta menggeleng, "Biar dia lapor
kepada ketuanya, bahwa aku telah menantang mereka."
"Mereka, siapa
maksudmu?" desak kakek tua yang ingin tahu tujuan Lanangseta. Tapi Lanang
menyadari hal itu, karenanya ia hanya menjawab:
"Siapa mereka itu tidak
penting bagimu, Kek. Hanya akulah yang penting berurusan dengan mereka. Kuminta
jangan ikuti saya...!"
"Aku tidak mengikutimu.
Aku hanya sekedar lewat dan melihat kau terkurung dalam gumpalan es. Lalu
lawanmu akan memusnahkan kamu dengan ilmu Tapak Musti yang dapat melenyapkan
apa saja yang di serangnya. Lalu, yaah... aku iseng-iseng saja menolongmu."
"Kakek tahu itu ilmu
Tapak Musti dari mana?" Kakek tua berjubah kuning dan berjenggot pan-
jang itu menyeringai,
memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa biji itu. "Semua ilmu aku
kuasai, aku kenal dan aku pernah miliki. Termasuk ilmu totok tongkatku yang
jarang dimiliki orang ini...." Seketika itu Tongkat besi menotok luka di
kaki Lanangseta akibat goresan cambuk ganda berduri itu. Tentu saja Lanang
menjerit dan berteriak kesakitan. Tubuhnya mengejang. Totokan tongkat besi pada
lukanya sangat luar biasa sakitnya. Namun itu terasa hanya beberapa hitungan
saja. Setelah itu, tak ada rasa perih, pegal. sakit ataupun ngilu. Tak ada.
Yang ada hanya rasa dingin, nikmat. Dan ketika Lanangseta kembali memandang
luka kakinya, ternyata sudah tak ada. Kaki itu mulus kembali. Lukanya hilang tanpa
bekas. Bahkan setetes darah pun tak ada. Baik di kaki maupun di tangan yang
bekas menyapu lelehan darah tadi, sama sekali bersih, sepertinya tak pernah ada
luka di kaki Lanangseta.
Mata yang memandang kagum pada
kaki itu akhirnya merambat pelan-pelan ke wajah Si Tongkat Besi yang keriput.
Lanang memandangnya dengan terbengong. Tapi Tongkat Besi melengos seraya
berkata pada diri sendiri:
"Dua kali sudah aku
menolongnya, apakah ia tidak tahu berterimakasih?"
Karena Lanangseta mendengar
kata-kata itu, maka ia pun segera berkata, "Terima kasih, Kakek yang baik
hati...!"
"Makanya belajarlah kalau
kau belum pintar," ujarnya.
Tapi Lanang tak mau
membuang-buang waktu
lagi.
Pada saat Si Tongkat Besi
berpaling, ia terkejut
karena sudah tidak menemukan
Lanangseta duduk di tempatnya semula. Ia clingak-clinguk sebentar, kemudian
menyumpah serapah. "Manusia dungu! Keras kepala! Goblok...! Pergi tanpa
pamit! Seenaknya saja! Kucing kurap dia itu...!" seraya kakek tua itu
bersungut-sungut pergi dari situ.
Ke mana Lanangseta sebenarnya?
Ia melejit ke atas pohon dengan ilmu peringan tumbuh yang sempurna, yang sampai
tak terdengar dan tak terasa anginnya. Ketika Tongkat Besi pergi semakin jauh,
berlawanan arah dengan larinya Surobedog tadi, maka Lanangseta pun turun dari
atas pohon, kemudian melesat menyusul Surobedog. Ia yakin langkah Surobedog
akan menuju Tebing Neraka. Setidaknya ia harus melaporkan atas kematian tiga
anak buahnya dan satu anak buahnya lagi masih terdiam kaku tak diurus, akibat
terkena totokan darah dari Lanangseta.
Betul dugaan Lanang. Surobedog
lari menuju arah jurang, yang konon diberi nama Jurang Gempal. Barangkali di
sana tidak jauh dari tempat Puri Tebing Neraka. Pendekar Pusar Bumi mengamati
dari kejauhan. Ketika Surobedog melompat ke bawah jurang, Lanangseta terbelalak
kaget. "Wah, dia bunuh diri?! Sialan!" gerutu Lanangseta seraya
menghambur mendekati tepian jurang.
Ternyata ia salah duga. Dari
tepian jurang ia melihat Surobedog berjalan pada suatu lereng tebing yang
datar. Tempat itu sepertinya sengaja dibuat datar sebagai jalan rutin yang akan
dilalui oleh beberapa orang. Dari jalanan datar di lereng tebing sampai ke
tepian jurang mempunyai ketinggian yang cukup mengerikan. Tapi, mungkinkah
jalanan datar itu menuju ke Puri Tebing Neraka? Untuk menjaga kepenasarannya,
Lanangseta pun turun ke lereng tebing yang curam. Ia melompat-lompat,
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Namun pada satu kali ia nyaris salah menapakkan
kaki. Sebuah batu yang diperkirakan cukup kuat menahan berat badannya, ternyata
ambrol. Lanangseta terpelanting, terguling-guling. Gemuruh batu berjatuhan
terdengar samar-samar. Batu itu menggelinding melewati jalanan datar, masuk ke
celah jurang di bawah jalanan datar itu. Batu tersebut hilang, tanpa bunyi
lagi. Dan itu berarti jurang di seberang jalan itu sangat dalam. Mungkin tak
ada manusia yang dapat selamat jika jatuh ke sana.
Lanangseta segera berhasil
menguasai keseimbangan tubuhnya kembali. Akhirnya ia pun mampu mendarat di
jalanan datar tersebut dengan baik. "Woww...! Rupanya jalanan ini cukup
panjang, dan makin lama semakin melebar," pikir Pendekar Pusar Bumi. Ia
sempat melihat Surobedog di kejauhan sana. Hampir seperti setitik yang berjalan
cepat.
"Aku harus mengikuti
Surobedog. Pasti dia menuju pusat pemerintahan orang-orang Tebing Neraka."
Lanangseta pun meneliti
keadaan sekeliling, ternyata jurang yang di seberang jalanan datar itu pun
makin lama semakin melebar. Ada satu keunikan dalam jurang tersebut, yaitu
adanya asap tipis, sangat tipis, yang bergerak berputar-putar. Meski jurang itu
berasap tipis, namun tidak mengganggu pemandangan di dasarnya. Jurang itu tidak
setinggi antara jalanan datar dengan tepian jurang tempat kedatangan Lanang
tadi. Jurang berasap tipis itu cukup rendah. Dasarnya terlihat mengkilat, bagai
berlapis batu-batu permata warna putih. Bagus dan indah sekali. Dari batas asap
tipis ke bawah, dinding jurang itu pun bagai berhiaskan batu-batu mutiara laut.
Berkerelap menakjubkan. Barangkali batu-batu permata yang indah itulah yang
dipertahankan oleh penguasa Puri Tebing Neraka itu.
Lanangseta bermaksud turun ke
dasar jurang berasap tipis itu. Namun ia takut kehilangan jejak Surobedog,
sehingga ia membatalkan niatnya, menarik kakinya yang sudah hendak turun ke
tebing jurang berasap. Ia segera lari secepat mungkin, mengejar Surobedog.
"Gila...!" gumam
Lanangseta. Ia memandang sebuah dataran yang berada di tengah jurang berasap.
Dataran itu bagai tersembul dari dasar jurang dan membentuk bukit, atau pulau
kecil terdiri dari bebatuan dan cadas merah. Jurang semakin lebar, kedalamannya
tetap, seperti sebuah kawasan bekas sungai yang kering. Asapnya tipis mengitari
pulau cadas merah itu. Di atas cadas merah yang selebar alun-alun di depan
Kadipaten Nilakencana itu terdapat sebuah bangunan. Bangunan semacam rumah
bersama, atau lebih tepatnya sebuah asrama itu terbuat dari batu pualam
seluruhnya. Dindingnya jelas amat kokoh. Bangunan itu agaknya bertingkat dengan
genting dari kayu-kayu berukir. Mewah dan mengagumkan sekali.
Jika orang akan ke sana, ia
harus turun ke jurang berasap dan menaiki tangga menuju dalam bangunan
tersebut. Tetapi, Lanang tidak melihat ada tangga yang menuju ke sana.
Surobedog juga tidak berjalan menuruni jurang berasap, tapi dia meniti sebuah
jembatan yang terdiri dari seutas akar pohon yang telah dirajut menjadi seutas
tali. Hanya seutas. Jembatan aneh itu terentang dari jalanan datar sampai ke
pintu gerbang bangunan tersebut. Jelas hanya orangorang yang punya ilmu
peringan tubuh yang dapat meniti jembatan tersebut.
Pendekar Pusar Bumi segera
bersembunyi di balik suatu celah tebing ketika tubuh Surobedog terlihat
melayang bagai daun kering melewati seutas jembatan itu. "Hemm... ilmu
peringan tubuhnya cukup lumayan," pikir Lanangseta. Semakin dekat Lanangseta
mengintai, semakin jelas bahwa bangunan besar di atas pulau cadas merah itu
tidak mempunyai pintu gerbang seperti layaknya pintu gerbang di sebuah istana,
atau sebuah Kadipaten. Pintu gerbang itu hanya berbentuk sebuah pintu yang
tertutup, namun sebenarnya itu adalah pagar dari batu pualam yang diukir
menyerupai pintu gerbang. Buktinya sewaktu Surobedog memasuki pintu gerbang, ia
mengandalkan ilmu peringan tubuhnya, meloncat dengan cepat dan masuk dalam
bangunan berpagar batu pualam itu. Lanangseta manggut-manggut. Sebelum jauh ia
bergerak, memang ada baiknya ia mempelajari kelemahan dan kekuatan daerah
tersebut. Bagi Lanangseta, masuk ke dalam bangunan itu memang tidak mudah.
Resikonya cukup besar, kalau tidak jatuh ke dasar jurang, mati dihunjam
jebakan. Pasti ada jebakan di sekitar jembatan seutas itu, atau di depan pintu
gerbang palsu itu. Kalau jatuh ke dasar jurang berasap masih lumayan, kemungkinan
mati tipis, tapi kemungkinan patah tulang besar. Hemm... jadi harus bagaimana
untuk masuk ke sana dan bertemu dengan Cakar Setan? Pikir Pendekar Pusar Bumi
dari tempat persembunyiannya.
Sebenarnya Lanangseta ingin
segera bergerak mendekati jembatan kecil itu. Namun terpaksa ia berguling
sejenak, karena merasa ada angin kencang datang dari arah belakang. Lalu,
"craak...!" Sebuah tombak menancap pada batu cadas coklat tempatnya
bersembunyi. Ia berpaling, ooh...
Tiga orang berotot dan
bertampang sangar berdiri tegap dalam jarak kira-kira sepuluh langkah dari
Lanangseta. Mereka memandang dengan sorot mata yang dingin, menyeramkan.
Pastilah mereka itu adalah pengawal jalanan datar yang tidak pernah mempunyai
belas kasihan sedikitpun. Wajah-wajah mereka, adalah wajah-wajah pembunuh
berdarah dingin yang tidak bisa diremehkan.
Lanangseta mengajaknya
tersenyum. Namun tidak ada balasan. Jelas sudah naluri bermusuhan telah
menjalar pada darah mereka, dan nafsu membunuh tak terelakkan lagi.
Hei, sobat... aku ingin
bertemu dengan Si Cakar setan, bagaimana caranya?" Lanang tetap bersikap
ramah namun penuh kewaspadaan. "Kau ingin bertemu pimpinan kami?"
tanya seseorang dari ketiga manusia berdarah dingin itu.
"Ya, bagaimana caranya
untuk mencapai ke bangunan itu?"
"Dengan melangkahi mayat
kami," jawab orang yang berkumis tebal, paling tebal dari kedua kumis
temannya.
"O, kalau begitu kalian
harus mati dulu? Apa tidak sayang pada nyawa sendiri? Apa tidak menyesal mati
di tanganku?"
"Jangan banyak bacot!
Kalau sudah masuk ke wilayah Tebing Neraka, berarti sudah mati!
Ciaaaat..!"
Orang bersenjata semacam
clurit itu berteriak dan melompat menyerang Lanangseta. Tebasan cluritnya
begitu cepat, dan menimbulkan hentakan angin yang membuat Lanang
terhuyung-huyung ke belakang. Kemudian dua orang lagi melompat ke dua sisi,
kiri dan kanan. Maka terkepunglah Lanangseta, masuk dalam perangkap jurus
ketiga penjaga jembatan itu.
Orang di samping kanan
Lanangseta mencabut senjatanya berupa bumerang logam yang tajam dan mengkilap
itu. Sedangkan orang berbaju merah di samping kiri memegang senjata tombak
trisula bergagang pendek, kira-kira separoh dari ukuran tombak biasanya.
Trisula itu cukup tajam. Buktinya ketika Lanang diserang dengan gerakan
menebas, dan berhasil dielakkan oleh Lanang dengan menarik kepala ke belakang,
senjata itu menyasar mengenai batu besar di samping Lanangseta. Batu itu gompal
beberapa bagian dan bunyi denting akibat benturan senjata dengan batu amat
keras dan jelas.
Juga sebuah bumerang besi yang
melayang cepat berputar-putar nyaris menebas hidung Lanang, begitu berhasil
dielakkan, senjata itu menyentuh sebuah tonjolan batu hitam. Batu keras itu
bagai terkikis hancur pada bagian ujungnya, dan senjata bumerang itu kembali
lagi ke tangan pemiliknya.
"Busyet...! Tak bisa
dibuat malas-malasan kalau begini...." pikir Lanangseta sambil mencabut pedang
Wisa Kobra dari punggungnya. Tepat pada waktu ia mencabut, datangnya serangan
dari orang yang bersenjata tombak trisula. "Wuuus...!" Benda itu
hampir saja menebas perut Lanangseta kalau tidak segera berkelit miring ke
kiri. Namun rupanya itu suatu gerak tipuan, di mana saat Lanang berkelit, ia
disambut dengan satu tendangan amat kuat. "Aaakh...!"
Lanangseta kesakitan, ia
terjengkang ke belakang. Tendangan itu cukup keras. Jika orang biasa yang
menerimanya mungkin orang itu akan mati seketika, atau pingsan mendadak.
Lanangseta segera bangkit, tapi sebuah benda melayang ke arah lehernya. Seinci
lagi menggores dada Lanang. Untung dia segera merebah telentang, lalu dengan
gesit kedua kakinya melengkung ke bagian kepala dan dengan satu hentakan kuat
ia melentik ke udara. Pedang siap di tangan pada saat ia disambut oleh lelaki
berkumis paling tebal. Senjata cluritnya membabat leher Lanang berulangkali,
namun Lanang menundukkan kepala dan berguling secepatnya. Ia baru saja hendak
menebaskan pedangnya, tapi tombak pendek bermata trisula tajam itu telah lebih
dulu menancapnya di tanah. Untung gerakan pedang sangat cepat sehingga trisula
itu mampu ditebasnya dan patah menjadi dua bagian.
Ketiga penjaga tercengang
melihat kehebatan pedang tersebut. "Serang bersamaaa...!" teriak
salah seorang, dan Lanangseta segera menjejakkan kakinya ke tanah walau dalam
keadaan terbaring. Tubuhnya melesat tinggi, dan serangan ketiga pengawal itu
membentur tanah cadas.
Lanang mendarat tepat di bibir
tebing berasap. Pikirnya, kalau keadaan memaksa ia bisa melarikan diri dengan
terjun ke dalam jurang berasap itu. Menurutnya ia lebih baik buru-buru lari ke
bawah jurang dan menunggu mereka menyerang.
Baru saja ia hendak melompat
ke bawah, tahutahu ia terpaksa sibuk menangkis serangan bumerang yang
mengagetkan. Bumerang itu diadu dengan pedang Wisa Kobra. Terdengar bunyi:
"craang...!!" Dan bumerang itu pun pecan menjadi tiga bagian. Pemiliknya
semakin emosi. Ia melayang dengan kaki kanan lurus menyerang Lanangseta dan
kaki kirinya ditekuk ke arah selangkangan. Gerakan itu sangat cepat, bagai
hembusan angin. Kalau saja dada Lanang terkena tendangan, sudah pasti
setidaknya ia akan terjungkal ke dasar jurang berasap. Tetapi kegesitan Lanang
membuktikan bahwa dalam keadaan bagaimanapun sempitnya, ia masih mampu
menghindari tendangan maut itu dengan meloncat ke arah samping depan dan kakinya
bergerak memutar seperti kipas. Kaki Lanangseta mengenai kepala orang itu, dan
orang itulah yang terjungkal ke jurang berasap. Ia menjerit ketakutan, untuk
kemudian diam selamanya. Sepi. Kedua temannya membelalakkan mata dan memburu ke
tepi jurang, melongok ke bawah, sama seperti Lanang juga. Lalu Lananglah yang
menjadi amat heran melihat tubuh orang tadi tidak kelihatan sama sekali. Ia
hilang. Musnah dan di dasar jurang tak tertinggal bekas baju atau pun sobekan
celananya.
Seketika itu merindinglah
tubuh Lanangseta. Ternyata jurang berasap tipis itu bukan jurang yang ramah. Ia
mampu menelan orang atau benda apa pun tanpa meninggalkan bekas. Uff... untung
Lanang tadi tak sempat nekad terjun ke dasar jurang dan menunggu lawannya di
sana. Kalau dia tadi sempat terjun ke dasar jurang berasap, atau berjalan
menyusuri dasar jurang seperti rencananya semula, sudah pasti ia akan lenyap
seperti itu. Iih... selamat, selamat.....pikir Lanang sambil bergidik.
Itulah saat kelengahan Lanang.
Ia tak sadar kalau musuhnya sudah menyiapkan pukulan jarak jauh secara
bersamaan. Pukulan itu melancar keras, mengenai dada serta ulu hati Lanang.
terpentallah tubuh Pendekar Pusar Bumi yang kekar itu. Ia tak dapat mengontrol
diri sehingga jatuh ke tepian jurang berasap. Kepalanya sudah terjuntai ke arah
dasar jurang. Lawannya bergegas untuk merampungkan serangan berikutnya, sebagai
serangan yang akan melemparkan Lanang ke dasar jurang berasap. Namun pada saat
itu, sekelebat bayangan berkelit dan menyambar tubuh Lanangseta. Dengan ringan
bayangan warna hijau itu mengangkat tubuh Lanang dan pergi bagai kilat melesat.
*
* *
5
FAJAR pagi masih menghantarkan
butiran embun dingin. Kendati matahari telah bergegas bangkit dari peraduannya
dan memancarkan surya kehangatan, namun udara dingin masih tersisa di kulit
tubuh Pendekar Pusar Bumi. Lelaki tampan yang berbadan tegap perkasa itu
berkejap-kejap matanya. Seluruh tulangnya terasa ngilu, pegal, sepertinya ia
baru saja bangkit dari kematian.
Sebuah tangan halus mengusap
keningnya. Ia mulai sadar bahwa saat itu ia sedang merebah dalam bantalan kedua
paha yang hangat. Dan saat itu pula ia sadar, bahwa ia berada dalam Goa
Malaikat, tepat di persimpangan lorong. Seraut wajah anggun yang menggetarkan hati
terpampang jelas di matanya. Wajah itu, wajah Kirana Sari yang sepanjang
perjalanan menuju Tebing Neraka selalu lekat di pelupuk mata Lanangseta.
"Lanang...." sapa
perempuan berwajah cantik dan anggun itu. Sapaan itu bagai ucapan selamat pagi
dari sekerat hati yang mencintainya.
Lanangseta bergegas bangkit
dari rebahannya. Tapi ia terpaksa menyeringai karena ada rasa nyeri pada bagian
dada dan ulu hati.
"Pelan-pelan...."
bisik Kirana yang ayu. "Kau baru saja terbebas dari Racun Neraka."
Kirana membantu Lanangseta
untuk duduk. Jemari tangan lentik itu mengusap lembut rambut Lanangseta dan
merapikannya anak rambut yang meriap di kening.
"Apakah aku terkena Racun
Neraka?" Lanang sedikit parau.
Kirana mengangguk lembut.
"Kau terkena pukulan tenaga dalam dari Kumba Kumbi. Pukulannya itu
mengandung racun yang sangat berbahaya, bernama Racun Neraka."
Lanangseta berkerut dahi dan
mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya. Lalu, ingatannya telah
berhasil merekam segala kejadian; jalanan datar di lereng tebing, jembatan
seutas, jurang berasap tipis yang mampu melenyapkan salah satu musuhnya, dan
kedua orang bengis yang melancarkan pukulan jarak jauh secara tiba-tiba.
"Oh, ya. "
Lanangseta mengangguk-angguk da-
lam renungannya. "Tapi
mengapa aku bisa berada di Goa Malaikat ini? Siapa yang membawaku dari Tebing
Neraka itu?"
Senyum manis mekar di bibir
Kirana Sari yang sensual. Pendekar Pusar Bumi merasa diguyur sepercik air
surgawi yang menyegarkan hati begitu melihat senyuman itu. Pandangan matanya
tak mau terlepas dari sorot mata Kirana. Dalam bisik yang samar Lanangseta
berkata:
"Kaukah penyelamatku?
Yang membawaku ke
mari?"
Dalam kedipan mata bagai
kerling permata itu
Kirana mengangguk, senyumnya
pun masih menghias wajah cantik yang anggun. sorot mata tajam yang meneduhkan
itu masih memandang Lanangseta. Kedipkedip. Lalu menjadi sayu. Dan itulah
sebuah pertanda yang dimiliki Kirana Sari. Ia telah meregangkan bibirnya yang
ranum, merekah pasrah. Lanangseta tak mau
mengecewakan harapan hati Kirana. Maka dikecupnya bibir itu perlahan-lahan.
Semula hanya tersentuh-sentuh lembut, kemudian menjadi menghangat dalam dekapan
yang mesra. Darah berdesir dan membuat debaran di dalam dada semakin nyata.
Itulah debaran cinta mereka, dibarengi rindu mereka yang kian hangat kian
membuat sejuta bunga bertaburan merangkai sukma.
Desir kemesraan berhenti di
ujung genggaman tangan mereka. Kirana tersenyum puas, membiarkan kepalanya
bersandar di pundak Pendekar Pusar Bumi. Jemarinya yang lentik itu bermainkan
ujung rambut kekasihnya. Mereka bungkam sesaat, menikmati derasnya aliran
kerinduan. yang tadi sempat berdesir di dalam darah mereka. Lambat laun,
ingatan Lanangseta kembali menerawang pada tebing maut berpemandangan aneh.
Tebing Neraka yang menyeramkan di balik kesunyiannya, sungguh membuat merinding
bulu kuduk tiap manusia.
"Baru sekarang seseorang
berhasil melukaiku dengan pukulan jarak jauhnya," ujar Lanangseta bagai
bicara pada diri sendiri.
"Kumba, Kumbi... memang
cukup tangguh. Karena itu mereka ditempatkan sebagai penjaga Jembatan Kubur.
Mereka tak dapat mati. Jika seorang mati, yang seorang menghentakkan kakinya ke
tanah, maka yang mati akan hidup kembali. Mereka kakak beradik yang mempunyai
ilmu tinggi."
Kirana berkata dengan
mempermainkan rambut Lanangseta.
"Jembatan Kubur itu yang
seperti seutas tali?" tanya Lanangseta seraya berpaling memandang Kirana,
dan Kirana mengangguk. Lanang bertanya lagi, "Dari mana kau tahu daerah
itu dan seluk-beluk manusianya?"
Lama sekali Kirana terbungkam,
seperti sedang meresapi suatu kenyerian di hatinya. Beberapa saat kemudian, ia
pun menjawab dengan suara datar:
"Ibuku, tewas di sana
"
"Oh ?!" Lanangseta
bagai disengat kelabang. Ia
membelalakkan mata dan memandang
Kirana lebih tegas lagi.
"Ibumu ?!"
Kirana mengangguk.
"Kekuatan kami tidak seimbang. Mereka orang-orang yang bagaikan tak bisa
mati. Terutama Si Cakar Setan dan "
"Dan siapa yang dimaksud
dengan sebutan Gusti Dalem itu?" sahut Lanangseta. "Pucuk pimpinan
mereka yang tidak setiap orang bisa bertemu dengannya. Dia paling jahat dari
semua penjahat di bumi ini. Kabarnya, dia pernah memakan bayi mentah-mentah
dalam keadaan bayi itu masih hidup, sampai akhirnya mati sebelum habis termakan
semua."
"Gila...!" desis
Lanangseta membayangkan kekejaman itu.
"Karena itu, sejak ayah
menyuruhmu menumpas orang-orang Tebing Neraka, sejak saat itu hatiku selalu
cemas dan gelisah. Kubayang-bayangi kau dari rumah, dan ternyata kecemasanku
menjadi kenyataan. Kau hampir saja lenyap ditelan waktu."
Berkerut dari Lanang mendengar
kata-kata yang terasa janggal di hatinya.
"Ditelan waktu? Bukankah
aku nyaris masuk ke jurang berasap itu?"
Kirana bangkit, berjalan
menatap sinar matahari dari mulut goa. Lalu ia berkata dengan tenang, tanpa
memandang kekasihnya:
"Manusia memandang jurang
itu sebagai jurang berasap yang kelihatannya tidak mempunyai suatu kedahsyatan.
Tetapi di situlah sebetulnya letak pusaran arus waktu. Dari jurang berasap
itulah alam ini terpengaruhi masanya. Semakin mendekati jurang itu, semakin
cepat perbedaan waktu dengan di sini atau di tempat lain."
"Aku kurang jelas,"
sergah Lanangseta sambil berkerut-kerut memandang Kirana. Lalu, Kirana pun
mendekat.
"Berapa hari kau pergi ke
Tebing Neraka itu dari rumahku?" tanya Kirana. Ia menyempatkan mengusap-usap
pipi Lanangseta dengan lembut.
"Tiga hari sejak
keberangkatanku dari rumahmu itu."
Kirana menggeleng dalam senyum
tipis yang disuguhkan kepada Lanangseta. "Dua hari kau berangkat dari rumah,
kau tiba di sebuah desa, bukan?"
"Ya."
"Lalu kau berjalan dari
desa itu ke Jurang Gempal kira-kira hampir satu hari.'"
"Ya. Hampir satu hari aku
mengikuti Surobedog," kata Lanangseta sambil mengangguk.
"Dan kau turun pada saat
itu juga?".
"Benar. Aku turun ke
tebing, mencapai jalanan datar yang berada di lereng tebing itu."
"Pada saat kau berada di
jalanan datar itu, kau tidak terasa telah melewati empat kali masa matahari
terbenam."
"Hah...?!"
Lanangseta terkejut, wajahnya tegang, mulutnya melongo. Namun bagi Kirana ia
tetap tampan dalam keadaan seperti itu. Kirana menjelaskan lagi: "Semakin
kamu masuk ke kawasan tebing itu, semakin cepat waktu berputar. Kau melihat
sorot matahari di sana?"
Setelah berkerut
mengingat-ingat, Lanang pun menggeleng. "Tidak. Aku hanya menemukan alam
yang teduh, mendung tidak, panas tidak. Teduh dan nyaman sekali tinggal di
sana."
"Nah, itulah sebabnya kau
tidak akan merasa bahwa kau telah ada dalam pengaruh perputaran waktu. Kau
tidak merasa kalau di permukaan bumi ini sudah berjalan 4 hari, empat kali
matahari terbit dan tenggelam."
"Gila...." desis
Lanang, sekali lagi dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Kirana tertawa
pendek melihat pendekar tampan tertegun bengong seperti itu. Lalu ia mencium
dengan gemas pipi Lanangseta dalam tawanya.
"Jadi, aku telah berada
empat hari di sana? Ah rasanya baru beberapa saat saja."
"Kau sudah seminggu
berpisah dengan ku, Lanang." bisik Kirana dalam pelukannya.
"Sukar dipercaya. Sungguh
sukar dipercaya hal itu."
ini." "Memang. Tapi
itulah keajaiban alam semesta "Oh, jadi... bukan karena bikinan
orang-orang Tebing Neraka itu?"
Kirana menggeleng.
"Mereka hanya memanfaatkan keganjilan yang ada di jagad ray a ini. Dan
memang bukan hanya jurang berasap saja yang menjadi keganjilan seperti itu.
Sebenarnya banyak keganjilan alam lainnya yang bisa dimanfaatkan, tapi umumnya
manusia bahkan menjauhi dan merasa ngeri. Berbeda dengan orang-orang Tebing
Neraka itu, mereka memanfaatkan keganjilan alam tersebut, hanya saja berada di
jalan yang hitam."
"Ob, ya... ya... ya...
sekarang aku baru tahu, mengapa lawanku yang terlempar ke dasar jurang berasap
itu hilang. Tak ada bekas sesobek pun pakaiannya yang terlihat di dasar
jurang."
"Ia tak pernah menyentuh
dasar jurang. Ia hilang sebelum kulitnya menyentuh dasar jurang. Karena di
situlah letak perbedaan waktu yang amat jauh dengan waktu di permukaan bumi
ini. Dan... orang itu mengalami nasib serupa dengan ibuku. Lenyap, tak tahu di
mana rimbanya. Tapi menurut ayah, ibu berada di alam lain."
"Alam kematian?"
"Tak pasti alam kematian.
Tetapi menurut ayah, ada alam lain yang membentang di jagad raya ini. Yaitu
tempat suatu kehidupan yang tak pernah terjangkau oleh mata dan pikiran
manusia, sehingga hanya disimbolkan dalam sebuah dongeng, dan di golongkan
sebagai dunia khayalan. Menurut ayah, pikiran manusia sangat terbatas, sehingga
tidak dapat menjangkau pengetahuan soal itu. Jadi, sarannya, lebih baik kita
menerima keganjilan itu sebagai sesuatu yang aneh, yang tak perlu ditelusuri
kehakikiannya. Saranku pun demikian kepadamu " "Saran apa?"
"Lebih baik kau cari
Sekar Pamikat sekarang juga, dan mintalah restu darinya. Ingat, saat ini Sekar
Pamikat jauh lebih sakti dari kita, bahkan dari ayahku sendiri."
"Sekar...?"
Lanangseta termenung. Ada guratan duka di permukaan wajah tampannya. Guratan
duka itu tak jauh dari segenggam kenangan. Kenangan masa lalu bersama Sekar
Pamikat. Dan, kenangan itulah yang mencipta rindu menyengat hati, lalu menumbuhkan
kilasan-kilasan duka di wajahnya. Kirana tahu hal itu, namun ia tidak cemburu.
Ia bisa memaklumi perasaan orang lain, sebab ia ingin orang lain pun dapat
memaklumi perasaannya.
"Aku khawatir Sekar sudah
masuk ke dalam kenyataan goa ini, seperti yang pernah kau sebutsebutkan."
"Memang. Itu tidak
salah."
"Tapi di mana letak goa
ini sebenarnya? Di mana pusat goa ini yang kau sebut sebagai kenyataan goa
itu?"
Kirana angkat bahu. "Aku
belum pernah menemukan. Tetapi, mungkin aku bisa menemanimu mencarinya."
Lanangseta bangkit dari
duduknya. Rasa nyeri di dada serta ulu hati telah berkurang. Ia mengusap dadanya
sebentar. Kirana berkata: "Mungkin pengobatanku kurang sempurna, ya? Masih
sakit?"
Lanangseta tersenyum.
"Tak seberapa. Tapi... terima kasih atas pengobatanmu. Aku kagum padamu,
cantik...." kata Lanangseta dengan menyebut kata 'cantik' sebagai ganti
nama Kirana. Perempuan anggun yang berpandangan dewasa itu tersenyum tipis,
lalu melangkah lebih dulu sebelum Lanangseta bergerak.
Sebenarnya mereka akan melangkah
berdua, mencari pusat goa yang sebenarnya, yang menurut istilah Kirana sebagai
'kenyataan goa' itu. Tetapi mereka terpaksa membatalkan niatnya untuk melangkah
berdua, sebab dari arah depan mereka, terlihat seorang berlari-lari membawa api
pada sebatang kayu. Lanangseta menatap di kedalaman lorong, menggumam lirih
pada saat api itu semakin mendekati mereka. Lalu terlontarlah kata panggilan:
"Ludiro...?! Paman
Ludirokah itu...?!"
"Ya, aku...! Ada kabar
buruk, Lanang...!" suara Ludiro yang semakin lama menghilang bagaikan
biasabiasa saja.
"Paman...?! Aku
mencemaskan dirimu. Sudah satu minggu lebih aku mencari kesempatan untuk
mencarimu tapi "
"Seminggu lebih?!"
Ludiro kaget. "Astaga ! Aku
sampai tidak merasa kalau
sudah seminggu lebih mencari Putri Ayu Sekar Pamikat...?! Dan... dan aku tidak
merasa lapar atau dahaga di dalam goa ini? Aneh!"
Kirana dan Lanangseta juga
merasakan keanehan itu. Lalu Kirana berkata kepada Lanangseta, "Mungkin itulah
keistimewaan Goa Malaikat ini "
"Maaf, Nona siapa?"
Ludiro bertanya.
Lanang menjelaskan kepada
Ludiro siapa Kirana itu, dan juga menceritakan tentang Pendekar Maha Pedang
yang telah selamat serta telah pergi bersama kekasihnya: Andini, si gadis manja
itu. Lanang perlu menceritakan hal itu, sebab Ludiro tidak ikut dalam
pertempuran melawan serbuan orang-orang Tebing Neraka (dalam kisah Rahasia Goa
Malaikat). Sudah tentu hal itu sangat mengagetkan Ludiro dan membuat lelaki
pendek berbadan kekar itu terheran-heran. Kepada Kirana sendiri. Lanangseta
menjelaskan sekali lagi siapa itu Ludiro, dan apa hubungannya dengan Sekar Pamikat.
Kirana hanya mengangguk-angguk memahami keterangan tersebut.
"Baiklah, ada yang lebih
penting yang harus kusampaikan kepadamu, Lanang," kata Ludiro.
"Tentang apa?"
"Sekar," katanya
terputus karena ia harus menelan ludah. Ludiro kelihatan tegang. "Saya
menemukan lorong lain, tempatnya masuk ke dalam melalui tangga batu. Kemudian
di sana aku juga menemukan ruangan aneh, ada semacam kamar besar yang tertutup
batu atau tembok batu amat kokoh. Aku yakin itu ruangan. Dan di depan ruangan
itu, aku menemukan Cambuk Naga milik Putri Ayu Sekar Pamikat...!"
"Dia sendiri?"
Lanang semakin ikut tegang. "Putri sendiri... tidak kutemukan di mana-
mana. Dan... marilah ikut aku.
Coba perhatikan apakah cambuk itu benar milik Putri Ayu atau bukan "
Lanang dan Kirana mengikuti
langkah Ludiro yang membawa kayu bakar. Nyala api kayu itu cukup stabil, tidak
meliuk-liuk karena hembusan angin. Ludiro bahkan berkata: "Semua ini
terjadi sangat aneh. Sudah seminggu lebih aku berada di dalam goa, sedangkan
api kayu ini belum sempat padam sejak kunyalakan tempo hari itu, Lanang." Lanang
hanya menggumam dan merenungi keanehan yang ada. Entah berapa lama mereka berjalan
menyusuri lorong demi lorong. Ludiro yang tahu liku-likunya tempat itu. Rupanya
ia sengaja mempertajam ingatannya untuk dapat kembali ke tempat yang dimaksud.
Dan ternyata, setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah lorong yang menuju
ke bawah. Lorong itu mempunyai tangga batu yang menuju ke bawah dengan ukuran
lebar 3 kali ukuran tombok.
"Di dalam sana saya
menemukan Cambuk Naga milik Putri," kata Ludiro kepada Kirana Sari.
"Mari kita ke
bawah," bisik Kirana kepada Lanang, dan Ludiro segera melangkah lebih
dulu. Mereka menuruni anak tangga dari batu yang tersusun rapi. Jumlahnya lebih
dari 100 anak tangga, bahkan Lanang sendiri sempat berhenti satu kali untuk
mengatur pernafasannya. Maklum, ia baru saja sembuh dari sakitnya, sehingga
kondisinya tidak seprima biasanya.
Jika tanpa penerangan lampu
kayu yang dibawa Ludiro, mungkin mereka akan tersasar ke lorong kiri, sebab di
situ ada juga anak tangga yang menuju lorong kiri. Tetapi berkat bantuan nyala
api kayu itu, mereka akhirnya tiba di ruangan yang lembab. Hawa dingin menembus
tulang. Debu-debu melekat dengan barang yang ada di sana karena kelembapan.
Juga lumut-lumut menghijau pada dinding sebuah ruangan besar. Menurut Kirana,
ruangan itu adalah sebuah balairung yang disebut oleh sejarah leluhurnya
sebagai Pendopo Agung. Tepat seperti tertulis dalam kitab sejarah leluhur
Kirana, di situ memang ada sebuah bangunan; menyerupai sebuah kotak atau kamar
besar yang terbuat dari batu. Bangunan itu, dan juga dinding di sekitar Pendopo
Agung itu, mempunyai bebatuan yang terpotong rapi dan halus. Disusun rapi dengan
tanah perekat yang begitu kokoh. Di sisi bangunan tengah itu terdapat sebuah
pintu dari batu berbentuk lengkung bagian atasnya. Di depan pintu itulah Ludiro
memperlihatkan ada Cambuk Naga tergeletak di sana. Selain Cambuk Naga, juga
Pedang Jalak Pati milik Sekar Pamikat. Lanangseta memungut benda itu dan
mengamatinya dengan keharuan hati yang menyayat. Tak sadar mulutnya mengucap
kata: "Sekar...." dalam desah menghibakan.
"Aku yakin, Putri ada di
kamar ini," kata Ludi-
ro.
Lanangseta memandang kamar
tersebut, lalu
berusaha membukanya namun
berulangkali ia gagal mendorong pintu tersebut.
Kirana memegang tangan
Lanangseta ketika pendekar itu hendak memukul pintu. Kirana berkata dengan
tenang:
"Jangan bertindak bodoh.
Aku tahu tempat ini tidak seperti tempat lainnya. Banyak jebakan dan perangkap
yang mematikan."
"Aku butuh bertemu dengan
Sekar! Paling tidak untuk minta restu kepadanya seperti saranmu itu."
"Tapi tidak harus dengan
kekuatan pisik. Pendopo Agung ini, menurut catatan sejarah leluhurku,
dikerjakan dengan segala kelembutan; pekerjaan yang lembut, tenaga-tenaga yang
lembut, dan hati mereka pun penuh kelembutan, sehingga dengan kelembutan pun
kita harus bertindak di sini." Kirana memandang sekeliling, sebuah
kesunyian membentang di sanaLalu, tiba-tiba ia bicara setelah berpikir beberapa
saat:
"Ketuklah pintu itu
dengan lembut sebanyak tujuh kali."
"Apa?!" Lanang
merasa heran dengan anjuran itu. Kirana mengulangi kata-katanya dan Lanangseta nyata
betul menampakkan keheranannya. Namun kemudian ia mengikuti juga saran Kirana.
Ia mengetuk pintu batu yang kokoh itu sebanyak tujuh kali
Ya. Tujuh kali ia mengetuk
pintu dengan kelembutan, lalu pintu itu benar-benar terbuka. Bergeser
pelan-pelan bagai langkah seorang putri yang penuh kelembutan. Lanang dan
Kirana tersentak mundur, demikian juga Ludiro yang merasa ngeri berada di
tempat tersebut. Mata Lanang berkejap-kejap bagai tidak mempercayai apa yang
telah dilihatnya pada saat pintu batu tersebut terbuka semua.
Seorang perempuan cantik.
dengan rambut terurai dan mengenakan kain putih yang hanya dibalutkan pada
tubuhnya itu, kelihatan begitu memukau dan sempat membuat lutut bergetar. Wajah
itu, jelas wajah yang tak asing bagi Lanangseta maupun Ludiro. Tetapi ketika
Lanang hendak mendekati sambil berseru: "Sekar...?!"
Perempuan itu berkata dengan
kelembutan yang nyata:
"Lanangseta. " Ia
tersenyum sambil mengulur-
kan tangan, memberi isyarat
agar Lanang jangan mendekat. Gemuruh hati Lanangseta menahan gejolak keharuannya.
Sekar Pamikat yang berpenampilan jauh berbeda dari sebelumnya itu berkata bagai
perkataan seorang dewi.
"Aku sudah tahu apa kata
hatimu, Lanangseta. Tapi semua itu adalah garis hidup yang tak terelakkan oleh
siapapun. Berangkatlah ke Tebing Neraka, selesaikan urusan mu di sana.
Genggamlah cinta kasih yang ada dan peruntukkan bagi gadis yang kau cinta itu.
Aku tak dapat lama-lama menemui kalian. Hanya saja, satu yang harus kau ingat,
Lanangseta, yaitu gerhana bulan akan datang tiba. Pada saat gerhana bulan itu]
ah orang-orang Tebing Neraka kehilangan kekuatan. Serang mereka, jangan izinkan
mereka masuk ke tempat semadiku ini. Percayalah, aku tetap mendampingi kalian.
Aku merelakan Cambuk Naga menjadi milik Paman Ludiro, beserta Pedang Jalak Pati
itu. Tetapi untuk keperluanmu, pakailah dulu pusaka Cambuk Naga itu, Lanang.
Berangkatlah pada saat gerhana tiba, dan hati-hatilah. Jika kau selamat, kau
pasti akan datang lagi ke mari, dan aku sudah menyiapkan sebuah hadiah
perkawinan kalian, yaitu setangkai bunga teratai Goa Malaikat. Aku akan persiapkan
dan akan kuberikan padamu kelak jika kau pulang dari Tebing Neraka. Paman
Ludiro... bantu Lanangseta "
"Ba... baik Putri Ayu
"
Mulut Lanang bagaikan terpatri
rapat. Lidahnya kelu tak dapat berkata apapun. Sekar Pamikat masuk ke dalam
kamar itu, dan .pintu kamar tertutup sendiri, rapat, kokoh serta tegar.
Ludiro orang yang pertama kali
berani bergerak. Ia memungut Pedang Jalak Pati dan Cambuk Naga dengan hati-hati
sekali. Senjata yang diwariskan kepadanya itu, bagai sebuah mimpi yang tak
pernah menembus di hati. Namun, kali ini ia harus menyerahkan Cambuk Naga
kepada Lanangseta, sesuai dengan amanat Putri Ayu Sekar Pamikat, yang agaknya
sudah menjadi orang suci, atau seorang resi perempuan yang muda dan cantik itu.
"Bawalah cambuk ini, dan
mari kita hancurkan Tebing Neraka," kata Ludiro kepada Lanangseta yang
masih terbengong. Lanangseta melangkah menaiki anak tangga dengan perasaaan
haru. Sesekali ia menengok ke belakang, memandang Pendopo Agung itu. Sedangkan
Kirana, dengan penuh kesetiaan menggandengnya dan sabar menunggu langkah kaki
Lanang yang sebenar-sebentar berhenti itu. Seperti biasa, Ludiro berjalan di
belakang, mengawal Lanangseta sebagai pengganti Sekar Pamikat.
Langit mulai menampakkan
kesuramannya. Sebentar lagi malam akan menjelma. Di tepi tebing Jurang Gempal,
dua sosok berdiri tegap. Mereka adalah Lanangseta dan Ludiro. Mereka menunggu
malam. Mereka menunggu rembulan muncul dari balik awan. Mereka memandang ke
bawah, terlihat juga sempit yang nantinya akan melebar itu mengepulkan asap
tipis. Jurang itu tampak memerah, bagai nyala bara.
Di bawah sana, ladang
pembantaian telah siap menunggu penggarapnya. Pedang Jalak Pati di pinggang
Ludiro, dan Pedang Wisa Kobra bertengger di punggung Pendekar Pusar Bumi.
Sementara itu, Cambuk Naga tampak terselip di balik ikat pinggang yang terbuat
dari kulit buaya.
Malam telah menyelubungi bumi
dan kesunyian begitu mencekam. Sinar bulan muncul dari balik mega, lalu surut
karena gerhana telah tiba.
"Saatnya kita bergerak,
Paman! Hati-hati dengan jurang berasap itu. Ingat keteranganku tadi."
"Aku siap! Mari...!"
Dengan ilmu peringan tubuh
yang cukup sempurna, mereka berjumpalitan menuruni tebing Jurang Gempal, yang
menurut banyak orang disebut Tebing Neraka. Keduanya bergerak dengan gesit dan
lincah. Namun suatu keanehan telah terjadi setibanya mereka menapak di jalanan
datar yang menyusuri tebing itu. Mereka bagai berada di alam lain, asing. Gelap
tidak teramat pekat, dan terang tidak benderang. Namun pancaran pijar bara
terlihat jelas di jurang berasap. Dasar jurang yang dulu dilihat Lanangseta
sebagai pemandangan indah, bergemerlap batuan permata, saat ini menjadi merah,
bagai bara neraka yang siap melumatkan tubuh yang menyentuhnya. Kepulan asap
semakin banyak, tidak seperti dulu saat Lanangseta melihatnya untuk yang
pertama kali. Jalanan kelihatan terang. Batu-batuannya terlihat jelas. Mereka
bagai berada di luar malam. Tidak seperti di tepi jurang tadi.
"Kita bergerak ke sana,
Paman," kata Lanangseta sambil melesat menuju arah di mana terdapat jembatan
seutas, yang menurut Kirana sebagai Jembatan Kubur. Sayup-sayup terdengar suara
berdengung. Semakin mendekati Jembatan itu, semakin nyata suara berdengung itu.
Lanang dan Ludiro saling tatap, saling bertanya-tanya dalam hati: suara apakah
itu?
"Sebuah gumam orang
banyak...." bisik Ludiro menerka suara dengung itu. Lanangseta menggelengkan
kepala.
"Bukan. Sepertinya orang
banyak yang sedang mengucapkan mantra, atau semacam kidung pujaan."
"Arahnya dari bangunan di
atas cadas merah
itu."
'Ya. " Lanang mengangguk.
"Kita harus masuk
ke gedung tersebut dan memukul
mereka pada saat seperti ini. Pasti mereka tak berani keluar, karena kekuatan
mereka hilang pada saat ini. Pasti mereka tabu, bahwa saat ini di atas jurang
terjadi gerhana bulan."
"Sekarang kita bergerak,
sebelum bulan menjadi purnama kembali."
"Hati-hati " bisik
Lanangseta. "Ada dua penja-
ga tangguh yang berada di
ujung jembatan seutas itu. Dulu aku terkena pukulan beracunnya."
"Aaah... dulu mereka
memang kuat. Tapi sekarang kan tidak. Mereka dalam keadaan lemah."
Pendekar Pusar Bumi
membenarkan kesimpulan Ludiro. Lalu mereka bergerak, melesat bagai sebuah
cahaya hitam. Ketika mereka tiba di ujung jembatan, dugaan Lanangseta memang
benar, mereka dihadang dua orang bertampang bengis. Lanangseta kenal betul, dua
orang itu adalah Kumba dan Kumbi, yang konon jika mati, salah satu
menghentakkan kaki akan menjadi hidup lagi. Tapi apakah ilmu itu berguna untuk
saat gerhana begini?
"Mau apa kau datang lagi,
kunyuk?!" bentak Kumba.
"Mereka masih menjaga
wibawa, walau sudah kehilangan tenaga," bisik Ludiro.
"Manusia memang kadang
bersifat begitu," balas Lanang. Kemudian ia berkata kepada kedua penjaga
jembatan itu:
"Kau pikir akan apa aku
ke sini kalau bukan akan membunuh kalian? Semua orang-orang Tebing Neraka
ini!"
Sepintas Lanang dan Ludiro
sama-sama melihat Kumba dan Kumbi tercengang. Ketakutan tampak di permukaan
wajah mereka, namun sengaja ditutupi dengan kebengisan yang ada.
"Kuingatkah kepadamu,
pulanglah daripada mati di Tebing Neraka ini. Lihat, jurang berasap itu, betapa
panas pijar bara di dasarnya. Kalian akan mati hangus di sana!"
"Bukankah setiap orang
datang ke mari tak pernah boleh hidup lagi? Bukankah kalian pasti akan
membunuhnya? Kenapa sekarang kalian justru memerintahkan kami untuk pulang?
Sejak kapan kalian menjadi murah kasih?!"
Agaknya Kumbi masih bertahan
untuk menjaga kewibawaan, sekaligus mengulur waktu. Ia berkata dengan
sombongnya: "Kau tidak tahu, kunyuk bahwa kami ini sukar dikalahkan. Seorang
dari kami mati, seorang lagi akan menghentakan tanah dan dia yang mati akan
hidup lagi."
"O, ya?! Apakah hal itu
berlaku pula di saat gerhana bulan seperti ini?!" kata Lanang dengan tersenyum
sinis. Kedua orang bengis itu semakin gelisah. Saling memandang, saling mencari
kesempatan untuk berbuat sesuatu, saling kebingungan. Dan hal itu tak bisa
dibiarkan oleh Ludiro.
"Mereka sengaja mengulur
waktu supaya gerhana cepat sirna, serang sekarang juga...!" Kemudian
Ludiro maju menyerang sambil menghunus Pedang Jalak Pati. Kumbi yang diserang
berjumpalitan menghindar tebasan pedang. Sementara itu, Lanangseta segera
mencabut Pedang Wisa Kobra dan membabat leher Kumba. Kegesitan memang masih ada
pada mereka, terbukti mereka bisa menghindar serangan Ludiro dan Lanangseta,
namun sejauh ini mereka tak melakukan serangan balasan. Ludiro berteriak:
"Lanang, mereka hanya
mengulur waktu! Gerhana hanya sebentar, cepat selesaikan urusan ini, aku akan
menerjang ke bangunan kokoh itu...!!"
Ludiro melentik meniti jembatan
dengan tiga kali kakinya menyentuh seutas tali panjang itu. Menyadari kata-kata
Ludiro, Lanangseta segera bergerak cepat. Pedang Wisa Kobra menebas kian ke
mari, dan akhirnya menyentuh leher salah seorang dari mereka. Kepala orang itu
terlepas dari lehernya. Salah seorang menghentak-hentakkan kaki ke tanah dengan
bingung, namun yang terpenggal tetap saja mati. Dengan satu tendangan
menyamping yang cukup kuat, Lanangseta berhasil membuat tubuh Kumba terpental
jatuh, terguling-guling dan akhirnya masuk ke jurang berasap itu. Tubuh Kumba
hilang tak berbekas, sementara dengan kasar Lanangseta menendang kepala Kumbi
yang terpotong itu, lalu menyeret tubuhnya dan memasukkan ke dalam jurang, dan
tubuh serta kepala itu pun lenyap. Lanang tak mau bertahan di situ terlalu
lama, ia segera menyusul Ludiro yang sudah berada di tanah cadas merah. Ia
berseru, "Paman Ludiro... tunggu!"
Dalam sekejap tubuh Lanangseta
sudah berada di depan Ludiro. Ludiro sempat berkata, "Kita masuk lewat
pintu gerbang saja!"
"Jangan. Itu bukan pintu
gerbang sebenarnya. Bangunan ini tidak mempunyai pintu gerbang. Mereka semua
menggunakan ilmu peringan tubuh untuk memasuki bangunan itu."
"Kalau begitu, cepat kita
bertindak...!" kata Ludiro setelah memandang ke arah rembulan dalam gerhana
di langit. Rembulan itu kelihatan sangat samarsamar, bagai tersapu kabut tebal.
Dan dalam satu kali hentakan, tubuh mereka melejit, bersalto satu kali dan
sampailah mereka pada bagian dalam halaman bangunan tersebut.
Suara orang menggumam bagai
mengucapkan mantra dan kidung yang tetap itu semakin jelas. Arahnya dari
ruangan di sebelah kanan. Sekali lagi Ludiro mengingatkan, "Gunakan
jurus-jurus pamungkas. Keadaan ini tidak bisa diulur-ulur. Mereka harus binasa
sebelum gerhana sirna!"
Lanangseta mengangguk,
kemudian ia segera mencabut Cambuk Naga.
"Hiaaaatt...!"
Gelegar suara cambuk
membahana. Bangunan itu goyah. Suara ricuh dan kalang kabut terjadi di dalam
gedung. Kemudian satu persatu mereka berhamburan keluar dalam keadaan
ketakutan. Lanangseta melecutkan Cambuk Naga dengan gerakan asal saja. Ia tidak
menyadari bahwa gerakan itu sebenarnya jurusjurus pamungkas dari Sekar Pamikat.
Sementara Lanang mengibaskan cambuk berulangkali dan menimbulkan ledakan
bergema, Ludiro menerjang masuk ke arah lain, membantai setiap orang yang
ditemuinya dengan Pedang Jalak Pati. Ludiro sendiri juga merasa heran, mengapa
dirinya bisa bermain pedang seperti yang pernah dimainkan oleh Sekar Pamikat.
Tapi, hal itu tidak terlalu dipikirkan. Ia melompat, bagai terbang di atas
mereka yang panik, lalu pedang Jalak Pati menebas beberapa kepala. Jerit dan
teriakan histeris terjadi membisingkan. Terbayang di benak Ludiro, mungkin
beginilah keadaan di neraka sebenarnya. Jerit, tangis dan rintihan saling
berpacu dalam lengking kematian yang membuat bulu kuduk merinding.
Orang-orang itu, benar seperti
orang-orang tanpa ilmu silat apapun. Mereka tak dapat menggunakan ilmu dan
kekuatan tenaga dalam mereka. Bahkan ketika seorang lelaki bermata buta sebelah
berdiri di depan Lanangseta, ia pun menyembunyikan rasa takut. Melihat kukunya
yang tajam pada setiap ujung jari, Lanangseta yakin, dialah Si Cakar Setan,
pimpinan mereka setelah Gusti Dalem.
"Cakar Setan...! Ayo,
bergeraklah...!" bentak Lanang.
Cakar Setan berusaha tetap
tenang. "Kami menunggu perintah dari Gusti Dalem. Kalau kau memang seorang
kesatria tangguh, mari kita bertarung satu lawan satu di lain tempat. Tentukan
waktunya. Silakan kau yang menentukan waktu dan tempat untuk adu tanding
denganku!"
"Sekarang waktunya, dan
di sini!" teriak Lanangseta. Cakar Setan kelihatan gugup. "Tidak.
Jangan di sini. Ini tempat suci, tak baik untuk "
Belum habis Cakar Setan
bicara, Cambuk Naga melecut dirinya dengan satu ledakan yang menggema.
"Blegaarr. !!"
Jerit kematian menggema pula,
tubuh Cakar Setan yang konon sadis dan sakti itu meliuk-liuk sambil menjerit
kesakitan. Kemudian Lanangseta mencambuknya sekali lagi sambil tubuhnya
melayang tinggi menuju ke arah serambi bangunan tersebut. Untuk yang kedua kali
Cakar Setan meliukkan tubuh, namun kali ini ia terbelah menjadi dua bagian pada
perutnya. Lanangseta segera masuk ke dalam, mengobrak-abrik tempat itu dengan
lecutan Cambuk Naga berulangkali. Jerit kematian semakin riuh dan mengerikan.
Pada saat itu, muncullah
seorang perempuan yang berdiri tanpa mengenakan busana kecuali bagian bawah
pusarnya. Dia sangat mengenal Lanangseta, dan Lanangseta pun mengenalnya.
Sebelum ia bicara, beberapa orang telah bersujud menyembahnya sambil meratap:
"Gusti Dalem... tolonglah
kami...! Bertindaklah Gusti Dalem !"
Lanangseta tersenyum sinis,
"Oh, kau rupanya yang disebut Gusti Dalem? Kau, Peri Sendang Bangkai?!
Hah...! Sekarang pun kau akan binasa seperti mereka!"
"Tunggu...! Kuakui kau
menang terhadap mereka, tapi belum tentu dapat mengalahkan aku!"
Peri Sendang Bangkai, yang dulu
pernah merencanakan menjadikan Lanangseta sebagai 'bibit unggul' dari sebuah
pembuahan keturunan, kini sedang melayang menyerang Lanangseta. Dari kedua
tangannya terpancar sinar biru tua yang dulu nyaris merenggut jiwa Lanangseta.
Tapi sekali lagi, sesuatu yang di luar dugaan terjadi sangat mencengangkan
Lanangseta. Kali ini ia merasa dihalang-halangi oleh seseorang berpakaian serba
putih. Orang itu yang mengembalikan sinar biru tua ke arah Peri Sendang
Bangkai. Sinar biru tua itu nyaris mengenai tubuh Peri sendiri, namun ia segera
melesat ke samping dan sinar tersebut menghantam orangorang yang panik. Lalu,
mereka pun hilang, lenyap begitu saja tanpa bekas.
Peri Sedang Bangkai menggeram,
"Lagi-lagi kau muncul Sekar Pamikat. Bah...!"
"Sekar...." desah
Lanangseta yang tercengang. Namun Sekar Pamikat yang berpakaian putih itu menerjang
Peri Sendang Bangkai. Dalam kesempatan itu, perempuan bugil tersebut berubah
diri menjadi bayang-bayang yang bergaris tipis. Serangan Sekar Pamikat bagai
menembus udara hampa. Lalu terdengar suara Peri Sendang Bangkai sebelum ia
menghilang lenyap bagai ditelan bumi:
"Tunggulah... saat
pembalasanku pasti akan tiba untuk kalian...!!" Dan Lanangseta kelabakan
mencari di mana sosok Gusti Dalem atau Peri Sendang Bangkai itu. Namun ia juga
kebingungan lagi, karena Sekar Pamikat pun hilang begitu saja tanpa meninggalkan
pesan apapun.
"Dewiii...?!" teriak
Lanangseta. Kemarahannya bagai meluap, ia melesat ke luar dan menemukan Ludiro
sedang sibuk membantai beberapa orang. Lanang berseru:
"Kiranaaaa...!!"
Badai pun datang. Ludiro
dipegang erat-erat oleh Lanangseta. "Bertahanlah, Paman...!"
Alam mengamuk. Guntur
menggelegar di angkasa. Yang mati maupun yang masih hidup terlempar dan.
terhempas. Seperti yang sudah-sudah, jika nama Kirana disebutkan, maka langit
pun bergemuruh, memerah bagai terbakar kilatan petir yang sahutmenyahut. Badai
begitu kencang sehingga tembok batu pualam roboh. Mayat-mayat dan mereka yang
berlarian dengan panik terlempar ke jurang berasap. Lanang dan Ludiro saling
berdekapan menahan diri agar tidak ikut terlempar oleh hembusan angin maha kencang
itu.
"Kita harus segera
menyingkir dari sini, sebelum bangunan ini rubuh semua...!" teriak Ludiro.
"Dapatkah kita
menyeberangi jembatan seutas itu?" Lanangseta sangsi. Mereka sudah berdiri
di tepi tebing jurang berasap. Ternyata keadaannya semakin mengerikan. Dasar
jurang itu menyala dan asap mengepul berputar-putar bagai membentuk satu
pusaran mengerikan. Mereka nyaris ikut terlempar ke dasar jurang itu karena
hempasan badai amat kencang. Untung pada waktu itu, tangan Lanangseta
menancapkan Pedang Wisa Kobra ke tanah dan pedang itulah yang dipakai sebagai
pegangan mereka berdua.
Bangunan tersebut benar-benar
rubuh. Bumi semakin terasa berguncang keras. Langit masih memerah menyemburkan
petir bertubi-tubi. Batu-batu pualam bergelimpangan. Dan tanah cadas merah yang
dipakai berdirinya bangunan itu perlahan-lahan bergerak miring, seakan hendak
menuang seluruh penghuni di atasnya. Gawat! Mereka pasti ikut tertuang ke jurang
berasap.
Namun pada saat itu, badai
mulai reda. Alam kembali tenang, dan sekarang tenang sekali. Kepulan asap
reruntuhan, hancurnya alam, begitu mengerikan dipandang mata. Sedangkan posisi
pulau cadas merah sangat miring. Jembatan seutas telah hilang, mungkin tersapu
badai saat tadi. Tinggal Ludiro dan Lanangseta yang masih bertahan berpegangan
Pedang Wisa Kobra. "Kita harus melompati jurang itu...." bisik La-
nang.
"Perbuatan gila...."
balas Ludiro. Namun mere-
ka berdua tetap berusaha untuk
bangkit dalam kemiringan. Lanang mencoba lebih dulu menggunakan ilmu peringan
tubuhnya, "wesss...!" Ia menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya
melayang di udara, berguling beberapa kali dan dengan mulus sampai di jalanan
datar. Lalu Ludiro melentikkan tubuh, bersalto beberapa kali, dan nyaris
terpeleset jatuh di bibir jurang berasap. Tangan Lanangseta meraih baju Ludiro
sehingga selamatlah ia. Keduanya saling tertawa dalam pelukan.
Setibanya di atas Jurang
Gempal, mereka disambut oleh seorang perempuan cantik yang anggun: Kirana Sari.
Perempuan itu tersenyum tipis, namun menyembunyikan kebanggaan yang luar biasa.
Ia segera memeluk Lanangseta erat-erat, dan membiarkan pendekar muda itu
mencium pipinya.
"Dari mana kau tahu kalau
tugasku sudah selesai, Cantik?" bisik Lanangseta.
Kirana menjawab dalam bisikan,
"Kau memanggil namaku, bukan?"
Lanangseta hanya tertawa
pelan, seperti dalam gumam. Pelukannya semakin erat melekat. Kirana menyelusupkan
kepalanya di dalam dekapan Pendekar Pusar Bumi. Sementara itu Ludiro sibuk
menggerutu karena bajunya sobek pada saat Lanangseta menariknya dari bibir
jurang berasap.
Terlepas dari kewaspadaan
mereka bertiga, sekelebat bayangan melesat dan menyambar Pedang Wisa Kobra.
Spontan Lanangseta terpekik sambil meraba punggungnya. "Ooh...
pedangku...?!"
Dan seorang kakek berjubah
kuning telah berdiri di atas pohon. Kakek tua itu memegang Pedang Wisa Kobra
dan Tongkat Besi. Jenggotnya yang panjang berwarna putih kemerahan dihempaskan
angin bagai melambai-lambai mengejek Lanangseta. Dia adalah Si Tongkat Besi
yang susah mati.
Setelah terkekeh panjang,
Tongkat Besi berkata; "Lanang... sudah sebulan aku mencarimu, rupanya kau
sedang memadu kasih, ya? Eh, Nang... aku pinjam pedangmu ini. Percayalah, dia
akan kembali sendiri setelah aku mati dalam tikamannya. Selamat jumpa...! He,
he, hee...!"
Kakek tua itu melesat bagai
bayangan, hilang entah ke mana. Kirana hendak mengejar, tapi tangan Lanangseta
menggenggamnya kuat-kuat.
"Tak usah kau kejar...!
Dia bukan orang jahat! Dia akan menemuiku sendiri. Dia tak akan bisa menggunakan
pedang itu. Percayalah...!"
"Tapi... tapi kau akan
kehilangan senjatamu...!
Kau kehilangan pusakamu
dan..."
Dan kaulah kini pusakaku,
Cantik...!" Lanangseta tertawa dalam gumam. Kirana se-
makin tersipu. Lalu ia
membiarkan keningnya dikecup Pendekar Pusar Bumi. Dan pada. saat itu Ludiro berpaling
dengan gerutu tak jelas.
TAMAT