Serial Mahesa Kelud Eps 04 : Mencari Mati Di Banten

SATU

WULANSARI sampai di Magetan selewatnya tengah malam. Anak perempuan dalam dukungannya tertidur nyenyak. Dari jauh kelihatan ada dua orang pengawal berjaga-jaga di pintu gerbang. Memasuki kota malam-malam begitu pasti akan mengundang kecurigaan. Apalagi dia seorang perempuan dan membawa seorang anak kecil. Kalau sampai dua pengawal menggeledahnya dan menge-nali siapa adanya anak perempuan yang dibawanya pasti urusan menjadi panjang. Bukan mustahil dia segera ditangkap.

Menghadapi dua pengawal itu tentu saja bukan satu perkara besar bagi murid Si Cakar Setan yang berkepandaian tinggi ini. Namun yang penting baginya ialah masuk ke dalam kota tanpa ada yang mengetahui. Maka sebelum mencapai pintu gerbang kota gadis itu mengambil jalan berputar. Di satu tempat yang sunyi dan gelap Wulansari melompati tembok kota. Dalam kegelapan malam gadis ini bergerak cepat, menyelinap rhenuju gedung Kadipaten.

Beberapa orang penjaga tegak di pintu depan gedung. Dua orang lainnya meronda sekeliling gedung. Setelah melihat kesempatan baik Wulansari melompati tembok gedung Kadipaten, masuk ke halaman dalam. Semua pintu dan jendela gedung Kadipaten dalam keadaan terkunci. Di sebelah dalam hanya ada satu nyala lampu samar-samar di bagian tengah gedung.

Wulansari pergunakan kepandaiannya. Hampir tanpa suara dia mencongkel sebuah jendela. Begitu jendela berhasil dibukanya dengan cepat dia melompat masuk ke dalam gedung. Karena tidak mengenal seluk beluk tempat itu dengan sendirinya Wulansari tidak mengetahui di mana letak kamar tidur Adipati Lor Bentulan. Selagi dia merasa bimbang, pada saat dia hendak melangkah mendadak dari balik sebuah tiang besar muncul seorang pengawal. Orang ini rupanya bertugas sendirian di dalam gedung. Begitu melihat Wulansari dia segera angkat tombaknya, siap untuk menusuk dan siap untuk berteriak.

Wulansari cepat bertindak. Sekali berkelebat saja gadis ini berhasil menotok leher si pengawal hingga orang ini menjadi kaku dan tegang, tak bisa bersuara tak bisa bergerak. Dia tertegun seperti patung dengan mata mendelik dan tangan ke atas mengangkat tombak. Hanya sepasang matanya yang masih mampu berputar-putar.

"Lekas kau beritahu dimana kamar tidur Adipati Lor Bentulan!" kata Wulansari. "Beritahu dengan isyarat matamu!"

Mula-mula pengawal itu hanya memandang melotot pada si gadis. Wulansari cekik lehernya hingga mukanya menjadi pucat dan nafasnya sesak. "Cepat beritahu atau kuremukkan batang lehermu!"

Sepasang bola mata si pengawal bergerak ke kanan beberapa kali. Wulansari mengikuti arah lirikan dua mata orang itu. Di ujung kanan ruangan memang dilihatnya ada sebuah pintu besar terbuat dari kayu berukir. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini segera melangkah cepat menuju pintu itu. Sekali lagi dia pergunakan kepandaian untuk membuka pintu itu lalu menyelinap masuk ke dalam.

Di tengah kamar tidur yang besar itu terletak sebuah pembaringan tertutup kelambu. Dua orang terbaring pulas di atasnya. Yang satu mengeluarkan suara mengorok. Inilah sosok Bupati Magetan Lor Bentulan. Di sebelahnya terbaring sang istri. Walau perempuan ini tertidur nyenyak namun dari raut wajahnya jelas kelihatan dia sangat letih dan cemas sepanjang harihari lenyapnya anak perempuannya.

Perlahan-lahan Wulan menyingkapkan tirai kelambu. Lalu dengan hati-hati sekali anak perempuan yang ada dalam dukungannya dibaringkannya di antara ke dua orang tuanya. Setelah memandang dengan puas dan tersenyum cepat-cepat Wulansari tinggalkan kamar itu, keluar dari dalam gedung dan lenyap melompati tembok sebelah timur gedung.

Keesokan paginya istri Lor Bentulan terbangun lebih dulu. Ketika dia membalikkan badan dan membuka mata terkejutlah perempuan ini. Digosoknya sepasang matanya berulang kali.

"Bermimpikah aku ini...?" perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri ketika pandangannya membentur sosok anak perempuannya yang tertidur pulas di sebelahnya. Perempuan ini ulurkan tangan kanannya untuk mengusap wajah anak itu. Pada saat itulah sang anak bergerak. Istri Lor Bentulan terpekik.

Gedung Kadipaten menjadi heboh di pagi buta itu. Lor Bentulan dan istrinya merasa sangat bersyukur kepada Tuhan atas kembalinya anak mereka.

"Pasti gadis itu..." desis Lor Bentulan sambil mengusap-usap kepala anaknya.

"Sayang dia tidak menemui kita.... Sepertinya dia tidak mau kita membalas jasa dan budi baiknya ini..." berucap istri sang Adipati dengan air mata berderai. Lalu dipeluk dan diciumnya anaknya berulang-ulang. Di bawah teriknya sorotan sinar matahari kelihatan seorang kakek-kakek tua renta berambut putih berlari sangat cepat mendaki bukit Jatiluwak. Tubuhnya kurus kerlng, tinggal kulit pembalut tulang. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam dan sehelai kain sarung terselempang di dadanya. Melihat kepada umur dan kecepatan larinya yang laksana angin itu maka jelaslah bahwa kakek ini memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Ketika kedua matanya yang sipit itu melihat pondok papan jauh di muka sana maka berteriaklah dia: "Warok! Aku datang...!" Kakek ini hanya menggerakkan kedua bibirnya sedikit saja, tapi suara teriakannya itu terdengar hampir ke seantero bukit! Dapat dibayangkan bagaimana kehebatan tenaga dalamnya. Dalam sekejapan mata saja dia sudah sampai di hadapan pondok papan itu dan berdiri dengan terheran-heran. Biasanya kalau dia berteriak seperti tadi, maka Warok Kate pasti sudah berdiri menyambut kedatangannya di ambang pintu. Tak ada suara jawaban. Dia melangkah ke hadapan pintu yang terbuka. Tiba-tiba terkejutnya orang tua ini bukan main karena dari pintu beterbanganlah beberapa ekor gagak hitam sambil mengoak-oak. Pada saat itu pula hidung si kakek mencium bau busuk dari dalam pondok. Dengan cepat dia masuk ke dalam.

Langkah orang tua ini terhenti serta merta ketika kedua matanya meinbentur sosok tubuh yang tergelimpang di lantai di hadapannya. "Warok!" pekik kakek ini melengking tinggi dan berlutut di hadapan mayat Warok Kate yang masih dapat dikenalinya meski keadaan mayat itu sudah sangat rusak busuk dan berlubang-lubang habis digerogoti burung-burung pemakan mayat!

"Warok! Warok...! Setan! Bedebah! Siapa yang melakukan ini?! Siapa? Siapa...?!" teriak si kakek menggeledek sampai suaranya menggetarkan pondok papan itu dan terdengar menggema ke hutan di belakang sana. "Warok! Katakan, siapa!" teriaknya lagi seperti orang gila ka-rena sampai kiamat pun mayat yang sudah busuk itu tak akan bisa menjawab. Sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya maka mulailah kakek ini menangis tersedu-sedu. Kadang-kadang suara tangisnya seperti suara tangis seorang perempuan yang kematian suami, kadang-kadang seperti suara tangis anak kecil. Namun satu hal dapat disimpulkan, bagaimanapun gayanya suara tangisan si kakek ini pastilah kematian Warok Kate sangat menyedihkan hatinya disamping menimbulkan kemarahan tentunya!

Tiba-tiba suara tangisnya terhenti mendadak sontak. Kedua matanya yang sipit membuka lebar lalu cepat-cepat dia membungkuk mengambil sebuah benda hijau yang menarik perhatiannya. Ditelitinya benda itu sejurus ddii segera diketahuinya bahwa benda itu tak lain daripada patahan ujung keris hijau yang dulu diberikannya kepada Warok Kate! Mendidihlah amarah kakek itu.

"Keparat! Laknat terkutuk! Rasakan pembalasanku! Manusia atau setan sekali pun aku tidak takut! Muridku dibunuh! Keris hijau pemberianku dibikin patah! Dibikin sumpung! Kelak akan kupatahkan batang leher manusia itu! Siapa?! Siapa yang melakukan ini semua?!" Kakek-kakek ini melangkah ke pintu. Kedua tangannya diletakkan di pinggang. Pandangannya beringas. "Hai setan bukit! Jin hutan dan seribu satu makhluk kasar serta halus yang mendiami bukit Jatiluwak ini! Jawab! Siapa yang membunuh muridku?! Siapa yang menghinakan senjata warisanku?! Jawab...!"

Tapi hanya gema dari suaranya yang merupakan jawaban. Kakek-kakek itu melangkah ke hadapan sebuah pohon. "Hai pohon!" katanya keras. "Katakan, siapa yang membunuh Warok Kate! Siapa yang menghinakan keris warisanku itu! Katakan siapa?!"

Tentu saja mana mungkin pohon itu bisa memberikan jawaban! Dan penasaranlah si kakek. "Hai jawab! Apa kau bisu?! Sialan! Kau tak mau jawab ya? Mampuslah!" Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak dan "buk". Pohon besar itu tumbang kena hantaman tangan!

Kemudian kelihatanlah orang tua renta kurus itu berlari menuruni bukit. Sambil lari tiada hentihentinya dia berteriak melengking tinggi. "Siapa...! Siapa...! Akan kupatahkan batang lehernya! Akan kukorek jantungnya! Rasakan pembalasanku! Rasakan!"

Siapakah kakek-kakek aneh yang seperti orang gila ini? Dia tak lain adalah guru Warok Kate yang diam di gunung Karang. Nama aslinya Sumo Parereg. Tapi dalam kalangan persilatan dia lebih dikenal dengan nama julukan "Si Suling Maut" dan merupakan seorang tokoh persilatan yang ditakuti di daerah utara. Gelaran aneh yang diberikan kepadanya itu adalah karena dia memiliki sebuah senjata ampuh yaitu berupa sebuah suling. Melihat kepada tingkah lakunya tadi nyatalah bahwa otaknya tidak waras. Dan memang guru dari Warok Kate ini agak sinting alias setengah gila! Tapi meskipun demikian dalam llmu silat jangan main-main dengan dia. Julukannya sebagai "Si Suling Maut" bukan julukan kosong belaka.

Dia lari terus dan mencapai kaki bukit. DI hadapannya berjalan seorang laki-laki separuh baya, bertopi anyaman bambu dan membawa sebuah pacul. Nyatalah bahwa dia seorang petani.

"Hai orang yang menyandang pacul! Berhenti dulu!" teriak Si Suling Maut. Waktu dia berteriak itu jaraknya dengan si petani masih kira-kira dua ratus langkah. Tapi sebelum teriakannya selesai dia sudah berdiri di hadapan si petani!

"Hai, kau petani ya?! Ayo katakan, siapa?! Cepat, siapa?!"

Ditanya seperti itu sudah barang tentu si petani jadi terheran-heran. Dipandangnya kakek-kakek berambut putih di hadapannya itu mulai dari kepala sampai ke kaki. Tak pernah dia melihat manusia tua ini sebelumnya.

"Sialan! Kau bisu atau tuli?! Aku tanya siapa?!" bentak Si Suling Maut.

"Orang tua, kau ini bertanyakan siapa...?"

"Kunyuk! Aku tanya siapa malahan menanya siapa!" maki si kakek. "Ayo katakan siapa! Kau pasti tahu!"

Orang tua ini pasti gila, pikir si petani. Karenanya cepat-cepat dia angkat kaki tapi bahunya ditarik. "Aku tanya siapa, mengapa pergi?!" tanya Si Suling Maut makin marah.

"Orang tua, aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu."

Si kakek membesarkan kedua matanya. "Bodoh! Aku tanya siapa yang membunuh muridku, siapa yang membunuh Warok Kate! Ayo jawab!"

"Tak tahu aku. Aku juga tak pernah dengar nama Warok Kate," jawab petani itu.

"Kurang ajar! Kau dusta, kau pasti tahu!

Ayo, katakan siapa?!" hardik Si Suling Maut seraya mencekal leher pakaian orang itu.

Gemaslah si petani. Dikibaskannya lengan si kakek. "Orang tua, minggirlah!"

"Bangsat! Kau tahu tapi tidak mau kasih tahu ya?! Terima ini dan mampuslah!"

Bersamaan dengan itu si kakek menghan-tamkan tangan kirinya ke topi si petani. Tak ampun lagi petani itu mental jauh dan melingkar di tanah. Topi bambu melesak masuk ke dalam kepalanya yang hancur dipukul! Tentu saja nyawanya sudah melayang pada detik itu juga.

Sambil berteriak melengkinglengking kakek sinting itu berlari lagi. Akhirnya dia memasuki sebuah kampung yang terletak tak jauh di kaki bukit. Seorang pemuda yang kebetulan berada di tepi jalan menghentikan langkahnya dengan terheran-heran ketika melihat munculnya seorang kakek-kakek kurus kering dengan berlari laksana angin dan berteriakteriak seperti orang gila. Dia jadi terkejut ketika tahu-tahu saja si kakek yang tadi dilihatnya masih di ujung jalan. Kini sudah berada di hadapannya dan menudingkan jari telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke hidungnya.

"Orang muda, kau pasti tahu! Ayo, katakan siapa?!"

DUA

KEDUA mata pemuda itu terbuka lebar-lebar. Dengan penuh tanda tanya dia meneliti si kakek dari ujung rambut sampai ke kaki. Tadi dia telah melihat bagaimana kakek ini sangat cepat larinya dan dia maklum pasti orang tua itu memiliki ilmu lari hebat, tapi agaknya berotak miring. Karenanya pemuda ini tidak bertindak gegabah. Dia tersenyum dan balik bertanya: "Siapa yang tengah kau caricari, orang tua?"

"Ah! Kalau aku tahu tidak tanya padamu sompret! Ayo katakan siapa?!" Pemuda itu tersenyum lagi. "Mengapa kau cari orang itu, Kakek?"

"Pemuda edan! Apa kau tidak tahu kalau dia telah membunuh muridku? Ayo katakan, siapa!"

Si pemuda kini mulai mengerti apa yang membuat kakek-kakek kurus kering ini jadi beringas. Dia menjawab: "Sayang, Kakek... orang itu sudah pergi jauh! Kau terlambat."

Si Suling Maut menghentakkan kaki kanannya ke tanah. Si pemuda menjadi sangat terkejut ketika melihat ke tanah bekas hentakan kaki itu karena kini tanah tersebut menjadi berlubang sampai sedalam sepuluh senti! Meremang bulu tengkuknya. Cepat-cepat dia berkata: "Harap dimaafkan, Kakek. Sebenarnya aku tidak tahu apa-apa. Kau cobalah minta keterangan pada orang lain!"

"Pemuda rendah tukang tipu! Tadi kau bilang dia sudah pergi jauh! Sekarang kau bilang tidak tahu apaapa! Rupanya tidak tahu siapa aku huh? Berani mempermainkan? Ini bagianmu!"

"Buk!"

Tubuh pemuda itu melintir lalu roboh ke tanah. Perutnya robek lebar kena tendang kaki kanan si kakek sakti dan nyawanya melayang!

"Rasakan! Itu bagiannya manusia yang suka menipu!" Sementara itu mendengar suara orang membentak-bentak, beberapa orang penduduk yang tinggal di sekitar sana segera keluar hen-dak melihat apa yang terjadi. Mereka jadi terkejut ketika melihat bagaimana seorang tua renta tengah menendang seorang pemuda penduduk kampung sampai pemuda itu terjungkal roboh dan mati. Mereka segera lari ke tempat kejadian itu.

"Ha... ha! Bagus! Ada banyak orang kini! Hai kalian orang kampung mari sini dekat-dekat! Aku mau tanya!" seru si kakek sinting.

Tentu saja orang-orang kampung sesudah-nya melihat kebuasan orang itu tidak berani datang mendekat. Mereka berdiri memperhatikan dari jauh. Dua orang di antaranya menggotong mayat si pemuda ke dalam satu rumah.

"Hai! Orang-orang kampung apa kalian tuli tidak dengar kalau dipanggil?!" seru Si Suling Maut. "Sini semuanya, aku mau tanya!"

Tetapi tak ada seorang yang mau datang. Maka naiklah darah si kakek sinting ini. Tubuhnya berkelebat ke muka dan banyak orang berpekikan. Tahu-tahu dua penduduk kampung sudah kena dijambak rambutnya dengan tangan kiri kanan! "Ayo, katakan di mana orang itu, cepat!"

Orang yang dijambak di tangan kanan merintih kesakitan. "Orang tua, lepaskan aku!" "Tidak! Katakan di mana orang itu!" "Orang itu siapa?!"

"Pura-pura tidak tahu hah?! Pemuda tadi mengatakan dia berada di sini! Ayo, di mana kalian sembunyikan dia!"

Orang yang dijambak di tangan kiri membuka mulut, "Orang tua, kalau kau mau melepaskan jambakanmu, aku akan terangkan padamu. "

"Tidak bisa, kalau kulepas kau pasti lari! Ayo kalian terangkan siapa orang itu? Mana dia! Cepat!" Kedua orang tersebut merintih kesakitan karena jambakan pada rambut mereka semakin keras dan sakitnya bukan main! "Orang tua, kami tidak menyembunyikan siapa-siapa di kampung

ini. Aduh lepaskan. "

"Benar-benar kalian berani omong kosong terhadapku! Manusia-manusia busuk pendusta, rasakan!"

"Brakk!"

Kedua kepala penduduk kampung itu diadu satu sama lain sampai mengeluarkan suara mengerikan. Keduanya mati dengan kepala pecah!

Sementara itu orang-orang kampung yang lain menjadi heboh. Maka buncahlah seluruh isi kampung. Di mana-mana terdengar orang berteriakteriak.

"Awas! Ada orang gila mengamuk!" "Awas orang mengamuk! Masuk ke dalam rumah!"

"Amuk! Amuk!"

Dalam sekejap mata seluruh kampung menjadi sunyi senyap. Semua orang masuk ke rumah masing-masing dan memalang pintu serta jendela. Siapa yang mau cari urusan dengan seorang gila yang tengah mengamuk?!

Tiba-tiba dari kelokan jalan kelihatan berlari dengan cepat seorang laki-laki berbadan pendek tegap, berpakaian bagus dan memakai blangkon. Dari caranya berlari jelaslah bahwa dia seorang yang memiliki ilmu juga meskipun belum mencapai tingkat tinggi.

"Hai, kau! Kemari!" perintah si orang tua.

Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Dia adalah Jiwosuto, kepala kampung. Diam-diam kepala kampung ini merasa ngeri juga melihat keangkeran tampang si kakek di hadapannya. Dia tahu bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang yang mengamuk dan otaknya tengah dikuasai setan, karenanya tak berani bertindak ceroboh.

"Saudara tua," kata si kepala kampung, "Ada apakah? Agaknya kau tengah mencari se-seorang?" suaranya lemah lembut. "Hem... kau manusia tahu diri, ya? Ha... ha! Memang benar, aku tengah mencari seseorang."

"Kalau aku boleh tanya, siapakah seseorang itu?" bertanya lagi Jiwosuto.

Si kakek memencongkan mulutnya. Tampangnya merengut buruk. "Aku tidak tahu seseorang itu, justru aku datang ke sini untuk menanyakan siapa dia. Tapi penduduk kampung menipuku, mempermainkanku!"

Dalam hatinya kepala kampung itu menjadi bingung juga, si orang tua ini tengah mencari seseorang, tapi siapa yang dicarinya itu tidak tahu! "Saudara tua, kalau kau bisa menerangkan bagaimana tampang orang yang kau cari, mungkin aku bisa tahu siapa dia. "

"Huh!" dengus si kakek. "Aku tidak perlu tampangnya! Aku perlu nyawanya! Mengerti?!"

"Mengerti saudara tua, tapi mana mungkin mencari seseorang tanpa tahu siapa dia bahkan tidak kenal  wajahnya. "

"Ah, kau bicara pandai, manusia pendek. Tapi aku tahu, kau juga sama saja dengan yang Iain-Iain! Kau hendak mempermainkanku! Hendak menipuku! Ayo, katakan siapa dia dan di mana dia sekarang?!" Celaka, orang tua ini benar-benar sudah gila sehingga tak mau mengerti, kata Jiwosuto dalam hatinya. Meskipun demikian dia berusaha

juga mengajukan pertanyaan, "Saudara tua….."

"Sudah-sudah! Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Jangan banyak mulut! Katakan saja di mana kau sembunyikan dia, cepat!"

"Orang tua, kau dengarlah baikbaik. Penduduk kampung tidak menyembunyikan siapa-siapa di sini. Orang yang kau cari-cari itu mungkin tidak lari ke sini. "

"Nah, nah... betul! Betul! Kau juga betul seorang penipu rupanya! Nasibmu tidak lebih baik dari yang lain-lainnya, penipu!" Si orang tua melompat ke muka. Tangan kirinya bergerak cepat mengirimkan serangan ke kepala Jiwosuto. Tapi kali ini dia kecele karena serangannya dapat dielakkan si kepala kampung. Jiwosuto sendiri meskipun dia dapat mengelakkan serangan ganas mematikan itu tapi terkejutnya bukan main ketika dia merasakan angin pukulan yang menyambar ke kepalanya, deras, dingin dan tajam! Kini dia mengerti bahwa kakek gila itu adalah seorang berkepandaian tinggi! Ketika dia diserang lagi dengan lebih ganas dia cepat mengelak dan berlaku hati-hati tapi tiada diduga sama sekali, begitu serangannya mengenai tempat kosong, si kakek menjejakkan kedua kakinya dan tahu-tahu kini serangannya berbalik cepat tiada sanggup dikelit oleh kepala kampung yang hanya memiliki ilmu silat tingkat rendahan saja!

"Buk," Tubuh kepala kampung itu terpelanting. Bahu kirinya yang kena terpukul remuk dan lumpuh! Sakitnya bukan main! Meskipun keadaannya sudah terluka berat dan memaklurni bahwa si kakek gila bukan tandingannya serta niscaya dalam beberapa gebrakan dia segera mati konyol di tangan lawan, namun kepala kampung ini nyatanya bukan seorang berjiwa pengecut. Sebagai kepala kampung, dia mempunyai jiwa kesatria yang bertanggung jawab terhadap isi dan penduduk kampungnya. Kalau bukan dia yang akan melawan kakek gila yang tengah mengamuk itu, siapa lagi yang akan diandalkan? Kalau dia mati, matinya tidak mati percuma, tapi mati dalam membela rakyat, mati terpuji.

Dari balik pinggangnya Jiwosuto menge-luarkan seutas tali yang panjangnya kurang sedikit dari dua meter. Baginya tali ini bukan saja merupakan sebuah senjata yang sangat diandalkan, namun juga merupakan sebuah alat yang sekaligus dapat dipakainya untuk menangkap dan mengikat orang-orang jahat yang mengganggu keamanan kampung. Namun menghadapi si kakek sakti, mana bisa senjata macam begituan dipakai? Dalam satu gebrakan saja si kakek sakti berhasil merampas tali tersebut. Sambil tertawa bekakakan kemudian Si Suling Maut memakai tali itu untuk mencambuk si kepala kampung. Pakaian Jiwosuto hancur robek-robek. Kulit dada dan punggungnya yang kena dihantam talinya sendiri berguratgurat dalam. Tubuhnya basah oleh darah. Dalam kehabisan tenaga dan nafas serta terlalu banyak mengeluarkan darah akhirnya kepala kampung itu rubuh ke tanah. Tanpa memicingkan mata sedikit pun, si kakek mengangkat kaki kanannya tinggitinggi, siap ditendangkan ke kepala Jiwosuto yang menggeletak tak berdaya itu. Ketika tendangan yang keras itu hampir mencapai sasarannya setengah jengkal lagi, tahu-tahu melayanglah sebutir batu kecil yang tepat menghantam tulang kering kaki kanan si kakek!

Meskipun itu cuma sebuah batu kecil, tapi karena dilempar dengan memakai tenaga dalam maka kaki yang kurus dari si kakek terdorong ke samping. Kepala Jiwosuto selamat sedang si kakek dengan menahan sakit memutar tubuh nya sambil memaki. "Setan alas! Siapa yang beraniberanian melempar kakiku?!"

TIGA

SEPASANG mata si kakek sakti membuka lebar lalu menyipit kembali ketika melihat beberapa langkah dari hadapannya berdiri seorang pemuda bertampang keren, berbadan tegap. Pemuda iniiah tadi yang telah melempar kaki si kakek dan menyelamatkan nyawa Jiwosuto.

"Pemuda keblinger! Kau sudah bosan hidup ya?!" hardik Si Suling Maut.

"Orang tua keji, pembunuh manusia-manusia tidak berdosa, kau angkat kakilah dari sini sebelum darahku naik ke kepala!"

Kedua mata si Suling Maut semakin menyipit. Sesaat kemudian meledaklah tertawa bekakakan kakek-kakek ini. "Kalau kau tidak gila, tentu kau sudah sinting berani bicara seperti itu padaku! Tapi aku senang pada pemuda yang punya nyali dan berilmu tinggi! Dengar pemuda, sebelum aku pecahkan kepalamu, kau sudah tahu siapa aku?!"

"Mengapa tidak?!" tukas si pemuda pula. "Kau seorang kakek-kakek berilmu tinggi sakti tapi berotak miring sehingga membunuh penduduk kampung yang tidak berdosa tanpa me-ngenal belas kasihan sama sekali! Puas akan jawabanku itu?!"

Maka marahlah si Suling Maut. Mukanya merah sekali, dan hampir tidak terlihat dia melompat ke muka. Tangan kiri kanan terpentang di kedua sisi menghantam kejurusan kepala dan dada si pemuda. Serangan ganas ini menimbulkan angin yang deras.

Si pemuda siang-siang sudah memiringkan tubuh. Jotosan yang mengarah kepala lewat. Dengan tangan kirinya dia coba menghantam sambungan siku si kakek namun dengan lihaynya tangan si kakek lebih cepat bergerak dan kini serangannya turun sedemikian rupa, menyerang ke perut si pemuda. Pemuda ini tahu bahwa tenaga dalam lawan mungkin tidak berada di bawahnya, tak berani menyambut serangan itu dengan lipatan lutut melainkan melompat ke samping sambil melepaskan pukulan jarak jauh tangan kiri. Si Suling Maut juga tak mau menganggap enteng pukulan jarak jauh pemuda itu, cepat-cepat pula dia geserkan tubuh berkelit, lalu melompat jauh kebelakang.

Dipandangnya pemuda itu dengan tampang yang angker menggidikkan. "Aku tahu... ha-ha... aku tahu! Aku tahu kini, pasti kau orangnya! Pasti kau yang melakukan! Ha... ha! Dicari-cari tidak bertemu, tahu-tahu kini datang sendiri mengantar nyawa! Bagus, bagus sekali! Bersiaplah untuk mampus anak muda!"

Pemuda itu tak mengerti apa maksud kata-kata si kakek, tapi dia tidak bisa memikir lebih lama karena saat itu lawannya kembali melancarkan serangan dahsyat. Gerakan tubuhnya dalam menyerang kali ini sangat berubah, sangat cepat dan tempattempat yang diserang adalah tempattempat yang lemah dari badan si pemuda sedangkan serangan yang bertubi-tubi itu sukar pula di duga! Si pemuda berkelebat cepat dan memperhitungkan dengan hati-hati setiap gerakannya. Sedikit saja dia berbuat ceroboh pasti jotosan lawan akan menghantam tubuhnya atau kena tergebuk lengan si kakek yang membabat kian kemari tak ubahnya seperti sayap seekor burung raksasa!

Beberapa jurus berlalu dan membuat si kakek menjadi penasaran karena dia belum juga berhasil merobohkan lawannya. Diiringi dengan bentakan-bentakan keras menggeledek yang disertai kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi untuk mengacaukan gerakan lawan, si kakek menggenjot tubuh dan gerakannya kini tak ubah seperti bayang-bayang saja! Si pemuda menjadi sibuk, dadanya bergetar oleh bentakan-bentakan keras lawan. Cepatcepat dia mengerahkan tenaga dalamnya agar jangan terpengaruh bentakanbentakan tersebut. Namun demikian dia terdesak hebat sampai akhirnya dadanya kena juga dihantam jotosan si kakek. Pemuda ini mental ke belakang beberapa langkah tapi cepat mengimbangi tubuhnya dan mengatur jalan nafasnya yang terasa sesak serta mengerahkan tenaga dalam ke dada yang sakit.

Di lain pihak si kakek sendiri diam-diam merasa terkejut ketika melihat bagaimana pukulan dahsyatnya itu hanya mengakibatkan si pemuda terhuyung-huyung saja, sama sekali tidak roboh! Meskipun tangan kanannya sendiri yang tadi dipakai meninju tidak terasa sakit tapi kulit tangan itu kelihatan kemerahan.

"Orang muda bernyali besar, siapa namamu dan kau murid orang sakti mana?!" tanya si Suling Maut dengan mengertakkan gigi-giginya.

"Ha... ha, kau benar-benar ingin tahu guru dan namaku atau hanya untuk mengumpulkan tenaga mengatur nafas belaka, orang tua?!" ejek si pemuda.

"Keparat! Kau tahu, terhadap manusia-manusia yang gegabah memperlihatkan sedikit ilmunya aku tidak tenang tidur jika membunuhnya tanpa mengetahui nama serta gurunya!"

"Jangan bicara terlalu besar orang tua gila! Namaku Jaliteng. Kalau kau mau tahu siapa guruku kau lihat saja jari-jari tangan dan kakiku!" Pada detik si kakek memperhatikan jari-jari tangan dan kaki pemuda itu maka pada saat itu puia tubuh si pemuda sudah melesat ke muka. Jarijari tangannya terpentang lebar laksana cakar burung garuda dan menyerang dengan dahsyat. Si kakek cepat-cepat menghindarkan diri.

Melihat kuku-kuku panjang itu dia tahu kini murid siapa adanya lawannya dan maklum bahwa kuku-kukunya yang panjang itu berbahaya karena mengandung racun!

"Pemuda sombong, jangan kira aku akan takut kalau mengetahui kau adalah muridnya Si Cakar Setan! Kalau gurunya bisa dibikin mampus oleh seseorang, mengapa muridnya tidak?!"

Mendidih amarah si pemuda mendengar gurunya diejek demikian rupa. Dia segera me-ngirimkan serangan berintikan ilmu silat yang gerakangerakannya tak ubah seperti setan yang mencakar mangsanya. Sibuk juga si kakek menghadapi serangan hebat itu namun se-sudah beberapa jurus matanya yang tajam segera melihat di mana kelemahan-kelemahan dari ilmu silat lawannya. Sebagai tokoh per-silatan yang terkenal di daerah utara, si kakek yang berjuluk "Si Suling Maut" itu telah men-dapat kabar tentang kematian Si Cakar Setan. Diserang sedemikian rupa si kakek ganda tertawa bergelak. Bukan main geramnya Jaliteng melihat bagaimana ilmu silat warisan gurunya yang sangat diandalkan cuma diganda tertawa oleh lawan. Dipercepatnya gerakannya, namun sia-sia belaka. Malahan kini dia terdesak hebat. Tubuh si kakek seperti lenyap dari pemandangannya dan tahutahu "buk!" Jaliteng mental ke belakang, hampir jatuh duduk kalau dia tidak segera berjumpalitan! Pemuda ini merasakan bahunya sangat sakit. Ketika dia melirik ternyata pakaian di bahu kirinya robek dan daging bahu itu merah menggembung. Pukulan lawan yang dahsyat itu tidak saja mengakibatkan luka dalam, tapi sekaligus merupakan totokan yang lihay sehingga tangan kirinya kini menjadi lumpuh dan berdirinya pun miring!

Tapi keberanian pemuda itu patut dikagumi. Tanpa memperdulikan keadaan dirinya yang sudah teriuka hebat serta tangan kiri yang lumpuh, dicabutnya keris berkeiuk tujuh pemberian gurunya! Dengan senjata ini maka mulailah dia melancarkan serangan kembali.

Sambil mengelak ke samping si Suling Maut tertawa mengejek, "Ha... ha... benda apa yang kau keluarkan itu? Pisau dapur agaknya?! Memalukan sekali, murid seorang jago silat senjatanya cuma sebuah pisau dapur!"

"Orang tua sedeng! Buka matamu lebar-lebar agar dapat membedakan mana pisau dan mana keris!" bentak Jaliteng dengan sangat gusar karena, keris pusakanya dikatakan pisau dapur! Seperti banteng terluka murid Si Cakar Setan ini mengamuk. Permainan kerisnya memang patut dipuji, tapi menghadapi si Suling Maut, pemuda ini tidak berdaya. Beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak bahkan dengan mempergunakan dua jari tangan kanannya si kakek sakti memperlihatkan kelihayannya, menjepit keris di tangan Jaliteng!

Pemuda itu tak berani mengadu kekuatan untuk menarik senjatanya. Mau tak mau dia terpaksa menyerahkan keris itu kepada lawan untuk menghindarkan pukulan tenaga dalam lawan yang jauh lebih tinggi. Si kakek tertawa bergelak ketika dia berhasil merampas senjata tersebut.

"Ha... ha.... Keris buruk, keris butut! Lihat Jaliteng, eh... namamu Jaliteng, benar? Nah lihat Jaliteng, sebentar lagi dengan senjatamu sendiri aku akan habisi nyawamu! Warok Kate muridku... kau tenang-tenanglah di alam baka, sebentar lagi aku gurumu akan menamatkan riwayat manusia yang telah membunuhmu!" "Iblis tua!" maki Jaliteng. "Aku tidak pernah membunuh manusia bernama Warok Kate! Bahkan namanya pun baru kudengar hari ini?!"

"Ha... ha! Jangan ngelindur, pemuda! Sudah mau mampus masih hendak berdusta?!"

Suling Maut menyerang dengan panas. Jaliteng berhasil mengelakkan serangan yang per-tama ini, namun serangan kedua dan ketiga yang terpaksa ditangkisnya dengan tangan kanan membuat telapak tangannya itu menjadi robek-robek berlumuran darah dihantam ujung kerisnya sendiri! Kemudian satu tusukan lagi pada bahu kanannya. Kini pemuda itu benar-benar tidak berdaya. Dia hanya bisa mempergunakan kedua kakinya untuk melompat kian kemari mengelakkan serangan keris yang bertubi-tubi. Kedua tangannya tak bisa dipergunakan lagi karena sudah terluka berat dan lumpuh! Dia tahu bahwa ajalnya sudah di depan mata, tapi tidak mau lari! Lebih baik mati secara kesatria dari pada lari menyelamatkan diri sebagai seorang pengecut!

Tiba-tiba terdengar suara aneh menggema menggetarkan gendang-gendang anak telinga! Suara ini adalah suara tertawa manusia tapi diselingi oleh auman seperti seekor harimau. Bukan Jaliteng saja yang terkejut mendengar suara ini, si kakek sakti pun demikian pula. Keduanya sama memalingkan kepala dan kelihatanlah seorang nenek-nenek bermuka aneh menyeramkan. Mukanya yang berkulit keriput itu berwarna kuning bergurat-gurat coklat, rambutnya putih sehingga tampangnya tak ubah seperti seekor harimau siluman! Nenek ini ber tubuh bongkok dan pada tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat besi yang sangat berat tapi yang dibawa oleh si nenek dengan seenaknya saja seakanakan tongkat besi itu hanya sebuah ranting kering saja! Nenek ini mengenakan pakaian berbentuk jubah seorang resi meskipun dia bukan resi. Warna pakaiannya ini biru gelap sehingga menambah keangkeran yang ada pada dirinya.

"Ha... ha, iblis tua gila! Apa tidak malu berkelahi dengan pemuda hijau bertangan kosong dan tak berdaya?!" ujar si nenek dengan tertawa tinggi dan mengeluarkan suara mengaum aneh. Air muka si Suling Maut tampak berubah. Namun cepat-cepat dia menjura kepada si nenek.

"Kalau aku yang bodoh ini tidak salah lihat, agaknya aku berhadapan dengan si nenek sakti dari pantai utara yang dijuluki Harimau Betina?"

"Ha... ha! Bagus, rupanya matamu masih awas dan bisa mengenaliku! Eh iblis tua berjuluk si Suling Maut, aku tanya mengapa kau berkelahi dengan pemuda yang sudah tidak ada daya itu?! Jawab!"

"Jangan salah sangka, Harimau Betina. Pemuda ini telah mempermainkanku, dia bicara dusta dan dia telah membunuh muridku si Warok Kate. "

Si nenek tertawa melengking lalu mengaum. Jaliteng yang berdiri di sebelah sana merasa ngeri juga melihat tampang dan suara tertawa yang seperti auman harimau itu. Di samping itu, pemuda ini juga sangat terkejut ketika mengetahui bahwa kedua manusia-manusia tua renta yang ada di hadapannya saat itu ternyata adalah tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi, yang lebih tinggi dari gurunya sendiri yaitu Si Cakar Setan!

Si Harimau Betina mengangkat tongkatnya ke muka. Dari tongkat besi yang amat berat itu keluarlah pukulan angin yang menghantam ke jurusan si kakek. Suling Maut cepat menghindar namun tak urung tubuhnya masih kena terpukul sampai terhuyung-huyung. Jaliteng sendiri yang berdiri jauh dari kakek itu merasakan sambaran angin yang deras dan membuatnya menggigil.

"Suling Maut, kau angkat kakilah dari sini! Sebenarnya kita masih ada urusan lama yang harus diselesaikan, tapi aku berbaik hati untuk menangguhkannya sampai lain kesempatan! Ayo pergi cepat!" Sekali lagi si nenek menggerakkan tongkatnya.

Suling Maut melompat ke samping dan menjawab: "Harimau Betina, sangat kuhargakan kemurahan hatimu itu. Tapi ketahuilah, urusanku dengan pemuda ini belum selesai. Kuharap kau tidak mencampurinya. "

"Iblis tua, gila! Dikasih hati mau minta kaki! Nah, terima kakiku ini!" Serentak dengan itu, disertai suara mengaum tubuh si nenek sangat cepatnya melesat ke muka. Suling Maut melompat berkelit tapi gerakan kaki si nenek seperti dapat diulur dan tendangannya bersarang di pinggul kakek itu sampai dia terpelanting jatuh duduk di tanah!

"Setan Betina!" maki si Suling Maut sangat marah. Mukanya merah sekali. "Kau kira aku tidak punya nyali melayanimu sampai seribu jurus?!" Maka dia menyerbu ke muka dengan mempergunakan keris milik Jaliteng. Dengan mengaum keras, si nenek sakti membabatkan tongkat besinya. Keris di tangan Suling Maut patah dua sedang laki-laki tua itu sendiri merasakan betapa tangannya tergetar hebat dan kesemutan sampai ke bahu! Si kakek berkelebat cepat dan mengeluarkan senjatanya yang sangat diandalkan yaitu sebuah seruling yang terbuat dari besi hitam.

"Ha, ha!" si nenek tertawa bergelak. "Rup-nya kau sudah membuat suling baru pengganti sulingmu yang aku hancurkan tempo hari?! Bagus, majulah aku ingin lihat keampuhan mainan anak-anak itu!"

Penuh geram karena senjatanya dicela mainan anak-anak, Si Suling Maut segera mengirimkan tendangan kaki kanan ke arah lawan, bersamaan dengan itu suling di tangan kanannya menotok deras ke arah tenggorokan sedang tangan kiri yang terpentang laksana sayap burung menggebuk dari samping! Sungguh hebat serangan ini. Tapi anehnya si nenek muka harimau menghadapi serangan ini dengan tertawa. Tongkat besinya diputar sedemikian rupa membabat ke muka dan tangan kanan menyelinap di bawah lengan kiri lawan.

"Buk!"

"Tring!"

Dua suara itu terdengar hampir bersamaan. Si Suling Maut mental ke belakang sedang suling di tangan kanannya patah dua! Nafas laki tua ini megap-megap karena dadanya yang terpukul sakit dan sesak. Mukanya pucat laksana mayat. Tidak diduganya, sesudah satu tahun tidak bertemu tahutahu kepandaian si nenek muka kuning ini jauh lebih tinggi. Mulanya dia menduga bahwa selama satu tahun itu dia akan sanggup menandinginya, tapi kini setelah bertemu ternyata dia masih jauh di bawah angin!

"Harimau Betina, kalau kali ini aku terpaksa mengundurkan diri jangan kira bahwa aku akan melupakan semua perlakuanmu! Aku bersumpah untuk membunuhmu dan semua murid-muridmu!" Tubuh si Suling Maut berkelebat dan tahu-tahu tubuh Jaliteng sudah berada di atas bahu kirinya.

"Hai! Iblis tua, mau bawa lari ke mana pemuda itu?!" seru si nenek muka kuning bergurat-gurat coklat. Dia menggereng dan didahului oleh suara mengaum tubuhnya melesat ke muka menyusul si Suling Maut yang melarikan Jaliteng.

Kakek-kakek itu kertakkan gigi ketika dia tahu bahwa si Harimau Betina mengejarnya. Dipercepatnya larinya namun sesaat kemudian si nenek berhasil menyusulnya. Tongkat besi membabat ke arah kaki si Suling Maut membuat kakek-kakek itu terpaksa melompat, namun sebelum lompatannya itu sampai setengahnya, tongkat lawan sudah menyambar pula di atas kepalanya. Ketika dia memiringkan kepala, tongkat itu menyerang tangan kirinya yang memegang tubuh Jaliteng. Untuk menyelamatkan tangan kiri itu dari kehancuran, Suling Maut terpaksa melepaskan pegangannya pada tubuh si pemuda. Kelihatan si nenek bergerak cepat. Tangan kirinya diulur ke muka sedang tongkat besi membabat ke perut si Suling Maut. Ketika kakek-kakek ini berusaha untuk mengelak maka tahu-tahu tubuh Jaliteng sudah berpindah tangan dan kini berada di atas bahu kiri si Harimau Betina!

Dengan gemas si Suling Maut menyerang ke muka, tapi dia tak berdaya karena lawannya memutar tongkat dengan sebat lalu berkelebat dan sudah melesat jauh meninggalkan tempat itu membawa tubuh Jaliteng!

"Iblis betina!" teriak si Suling Maut. "Rasakan pembalasanku nanti!"

Jaliteng yang berada dalam keadaan teriuka parah di antara sadar dan tiada menjadi terheran-heran ketika mengetahui bahwa dirinya dibawa lari oleh si nenek sakti yang dijuluki si Harimau Betina itu.

"Nenek, kau mau bawa aku ke manakah?"

"Anak muda, jangan banyak cerewet. Kau ikut sajalah. "

Pemuda itu hendak bertanya lagi, tapi di-rasakannya sesuatu menekan pangkal lehernya membuat dia tidak sadar apa-apa lagi. Si nenek sambil lari telah menotok urat darah dan urat dagunya! EMPAT

KITA tinggalkan dulu si nenek sakti yang membawa lari Jaliteng. Mari kita ikuti pula perjalanan Mahesa Kelud, pemuda yang mendapat dua tugas dari gurunya Embah Jagatnata yaitu mencari Simo Gembong dan mencari pedang sakti bernama Samber Nyawa. Belum satu pun dari kedua tugas itu berhasil dilaksanakannya, dalam perjalanan turun gunung dia sudah dihadapkan ke pelbagai macam urusan dan bahaya maut yang membawanya sampai bertemu dan berguru dengan si orang tua aneh Suara Tanpa Rupa, bersamasama dengan Wulansari. Waktu ditolong di gua iblis dulu oleh Karang Sewu, tokoh persilatan ini telah memberikan pula dua tugas kepada Mahesa Kelud yaitu menghambakan diri ke Kesultanan Banten dan mencari Dewi Maut.

Ketika dia disuruh mengembara ke daerah barat oleh Suara Tanpa Rupa, di samping pemuda ini merasa menyesal dan sedih karena dia telah melanggar larangan gurunya itu, tapi diam-diam dia jadi bergembira juga karena dengan disuruhnya dia ke barat berada sambil terus mencari keterangan tentang pedang Samber Nyawa dan manusia Simo Gembong, sekaligus dia bisa pergi ke Banten. Sebagai satu kerajaan Islam maka Banten menjadi musuh dari kerajaan Pajajaran di se-belah selatan yang masih menganut agama Hindu.

Perang-perang perbatasan tiada terhitung lagi banyaknya, bahkan perang besar-besaran yang meminta korban ribuan nyawa tahun belakangan ini telah pecah sampai dua kali! Namun tak ada pihak yang kalah ataupun yang menang. Masing-masing pihak yang mempunyai pendekar-pendekar sakti tulang punggung yang diandalkan sama menarik diri mundur setelah korban berjatuhan tiada terhitung lagi. Perang berhenti untuk beberapa lamanya, tapi dendam kesumat berkecamuk di hati para pimpinan kedua kerajaan itu. Dan ujung dari ini tidak dapat tidak adalah peperangan juga! Sebelum ada ketentuan siapa yang menang siapa yang kalah, siapa yang akan berkuasa dan siapa yang dijajah, maka antara Banten dan Pajajaran akan tetap berkobar api peperangan yang tiada kunjung padam.

Untuk memiliki pendekar-pendekar gagah dan tangguh dalam menghadapi Pajajaran maka Banten menempuh berbagai jalan. Satu diantaranya adalah dengan mengadakan sayembara. Demikianlah, pada suatu hari petugaspetugas istana dengan mengendarai kuda berkeliling kerajaan mengumumkan sayembara itu. Kepada siapa-siapa yang memiliki kepandaian tinggi, terutama para pemuda, dianjurkan untuk mengikuti sayembara mengadu ilmu silat. Kepada orang tertangguh yang keluar sebagai juara nanti bukan saja akan diberi hadiah sebuah keris dari Sultan tapi juga akan diangkat sebagai Kepala Balatentara Kerajaan! Tentu saja maka berduyun-duyunlah para pemuda-pemuda gagah dan orang-orang sakti di dalam kerajaan bahkan di luar kerajaan Banten datang untuk mengikuti sayembara itu. Di depan langkan istana terdapat kesibukan-kesibukan karena di sanalah akan dibuat panggung besar di mana sayembara adu ketinggian ilmu akan dilangsungkan.

Pagi-pagi, pada hari yang telah ditentukan maka ramailah seluruh penduduk kerajaan dari berbagai pelosok datang membanjiri kotaraja untuk menyaksikan sayembara hebat itu! Adu jotos secara terbuka memang baru kali ini diadakan di Banten, karenanya kesempatan ini tidak disia-siakan, bahkan tak sedikit kaum ibu yang turut hadir. Pengikut sayembara berjumlah dua puluh empat orang. Rata-rata adalah pemuda-pemuda tegap berilmu kepandaian tinggi. Cuma beberapa saja yang sudah agak berumur. Kedua puluh empat orang ini duduk di bagian panggung sebelah muka, di bagi atas dua rombongan. Setiap pengikut sayembara dari rombongan pertama telah ditentukan lawannya yaitu seorang dari rombongan kedua. Dengan demikian akan terbentuk dua belas pasangan yang akan bertempur satu lawan satu. Kesemuanya sekaligus bertempur di atas panggung yang luas itu. Pemenang-pemenang dari dua belas pasang itu akan dipecah pula menjadi dua sehingga nantinya akan bertempur enam pasangan. Enam pasangan itu dipecah pula menjadi tiga pasang. Tiga pemenang terakhir diharuskan menghadapi lawan satu demi satu sampai akhirnya didapat ketentuan siapa yang menang.

Ketika Sultan Banten muncul maka ramailah tempik sorak orang banyak mengelu-elukannya. Di hadapan Sultan, di atas sebuah meja terletak sebuah nampan yang ditutup dengan sehelai kain sutera putih. Di bawah kain sutera putih ini terietaklah keris hadiah yang akan diserahkan kelak kepada pemenang sayembara. Gong dicanang orang maka melompatlah keduapuluh empat pengikut sayembara ke atas panggung dengan gaya dan sikapnya masing-masing. Sorak sorai penonton riuhnya bukan main seakan-akan hendak runtuh langit di atas halaman istana itu! Kedua puluh empat pengikut sayembara berbaris memanjang lalu menjura memberi hormat kepada Sultan. Sultan Hasanuddin melambaikan tangannya. Gong dipukul lagi dan kali ini masing-masing pengikut sayembara mencari lawan-lawannya yang sudah ditentukan. Setelah mereka saling berhadap-hadapan maka untuk ketiga kalinya terdengar suara gong dan dimulailah sayembara baku hantam memperebutkan hadiah keris dan kedudukan tinggi. Orang banyak berteriak tiada hentinya melihat bagaimana di atas panggung dua belas pasang manusia tengah adu jotos mengeluarkan kepandaian masing-masing untuk merobohkan lawan mencari kemenangan. Tak dapat dikatakan pasangan mana yang paling hebat dan seru perkelahiannya. Kalau dilihat pasangan yang di sebelah ujung kiri yang bertanding dengan sangat cepat dan dahsyat, maka pasangan yang di ujung sana lebih mengagumkan lagi, kemudian yang di sebelah ujung kanan lebih mendebarkan pula... demikian seterusnya.

Yang pertama sekali merobohkan lawannya adalah laki-laki berpakaian hijau tua di bagian panggung sebelah kanan. Siapakah laki-laki yang begitu hebat ini sehingga mengalahkan lawannya dengan melemparkannya keluar panggung hanya dalam beberapa gebrakan saja?! Melihat kepada umurnya dia bukan seorang pemuda lagi. Umurnya lebih dari empat puluh dan tampangnya buruk. Sebenarnya bukanlah suatu hai yang aneh kalau laki-laki ini bisa mengalahkan lawannya bahkan dilempar keluar panggung dalam beberapa gebrakan saja karena dia adalah Unang Gondola, murid seorang resi sakti di puncak gunung Halimun! Sebenarnya Unang Gondola bukanlah pengikut sayembara yang datang untuk mendapatkan hadiah keris serta kedudukan tinggi saja, tapi lebih dari itu dia adalah utusan rahasia Prabu Sedah, Raja Pajajaran!

Ketika didapat kabar bahwa Banten mengadakan sayembara untuk memilih orang-orang cakap yang akan didudukkan dalam jabatan tinggi, maka Prabu Sedah segera menyuruh pembantu-pembantunya mencari seorang yang tangguh sakti dan berilmu tinggi guna diutus ke Banten. Utusan ini harus berhasil memenangkan sayembara. Dan kalau itu sudah terlaksana adalah satu hal yang mudah saja lagi untuk memusnahkan Banten, lebih mudah dari memasukkan benang ke dalam lobang jarum! Sayang sekali di Pajajaran tidak terdapat pemuda berilmu benar-benar tinggi yang dapat diandalkan untuk menjadi utusan dan memenangkan sayembara. Akhirnya dipilihlah Unang Gondola, murid resi Mintaraya di puncak gunung Halimun. Meskipun dia sudah berumur hampir setengah abad namun ketinggian ilmunya memang bisa diandalkan sehingga Prabu Sedah dan orang-orang Pajajaran tidak ragu-ragu lagi bahwa Unang Gondola akan keluar sebagai pemenang dan jabatan Kepala Balatentara Banten bisa jatuh ke tangannya!

Demikianlah dengan memakai nama samaran murid resi sakti ini berangkat ke Banten dan mengikuti sayembara. Tidak percuma dia menjadi utusan rahasia Pajajaran karena hanya dalam beberapa gebrakan saja dia berhasil merubuhkan lawannya. Tempik sorak ditujukan kepadanya ketika dia melompat turun dari atas panggung, kembali ke tempat duduknya dan menyaksikan pasangan-pasangan lainnya yang masih terus baku hantam.

Beberapa saat kemudian satu demi satu menyusul peserta-peserta dirobohkan. Ada yang terbanting ke lantai panggung, ada yang melingkar pingsan kena hantaman lawan dan ada pula yang dilempar keluar dari atas panggung! Tak lama kemudian maka selesailah babak penyisihan pertama itu. Dua belas orang roboh kalah dan dua belas lainnya sebagai pemenang.

Setelah diadakan istirahat beberapa lamanya terdengarlah gong dicanang orang. Dua belas orang melompat ke atas panggung, mencari lawan masing-masing diiringi soraksorai orang banyak. Masing-masing peserta sayembara mengeluarkan ilmu simpanan mereka, berusaha untuk bertahan, mendesak dan merobohkan lawan, sampai akhirnya keluar lagi enam orang pemenang. Seperti tadi, Unang Gondola adalah peserta yang pertama sekali merobohkan lawannya. Lawannya yang kedua ini sama saja nasibnya dengan yang pertama tadi, yaitu dipukul pada pelipisnya sementara lawan itu berdiri nanar, maka Unang Gondola melemparkannya keluar panggung!

Kini akan segera dimulai babak ketiga. Tiga pasangan saling berhadaphadapan. Gong berbunyi dan pertempuran dimulai. Mata para pe-nonton lebih banyak ditujukan kepada Unang Gondola yang karena kehebatannya jadi dikagumi. Pertarungan kali ini sungguh hebat karena kalau ketiga pasang itu berhasil melalui babak penyisihan pertama dan kedua berarti ilmu mereka sudah mencapai tingkat tinggi.

Unang Gondola berhadapan dengan lawan seorang pemuda bertubuh tinggi besar, sedang dia sendiri pendek dan agak kurus. Tapi tubuh yang tinggi besar itu bukan apa-apa bagi Unang Gondola. Dengan ilmunya yang tinggi dipermainkannya pemuda itu sehingga si pemuda tak ubahnya seperti seorang bodoh yang terhuyung kian kemari, melompat ke sana melompat ke sini menangkap seekor kodok nakal! Dua jurus berlalu. Mengetahui bahwa tingkat kepandaian lawan berada jauh di bawahnya maka sekali saja dia menggerakkan tangan kanannya ke kening pemuda itu, lawannya terjerongkang mental ke belakang. Saat itu tanpa menunggu lebih lama Unang segera mencekal leher dan ikat pinggang si pemuda, maksudnya hendak dilemparkan keluar panggung. Tapi si pemuda yang sudah kena terpukul itu dengan cepat mencekal leher Unang Gondola ketat sekali!

"Keparat!" maki Unang Gondola dalam hati. Digesernya letak kedua kakinya. Tubuhnya merunduk sedikit, siku kanannya menyodok ke iga sedang dengan tangan kirinya dijambaknya rambut lawan lalu tubuh pemuda itu dengan mengeluarkan bentakan menggeledek dibantingnya ke lantai!

"Krak!" Salah satu dari lantai papan patah dan tubuh si pemuda tidak bergerak lagi. Kepalanya pecah, tulang lehernya patah dan beberapa tulang iganya hancur! Inilah korban nyawa pertama di antara para peserta. Sementara orang banyak bertempik sorak menyambut kemenangan Unang Gondola maka Sultan Banten berpaling ke samping, ke arah Patih Sumapraja. "Paman Patih, siapakah laki-laki baju hijau yang begitu hebat itu...?" tanya Sultan.

"Saya sendiri tidak tahu, Sultan. Tunggulah saya tanyakan pada ketua sayembara." Sang Patih mendekati seorang laki-laki yang menjadi ketua sayembara itu, setelah bicara sebentar lalu kembali kepada Sultan dan menerangkan: "Laki-laki itu bernama Kuntawirya, ilmunya mo-mang hebat dan agaknya dialah yang akan keluar sebagai pemenang."

Sultan mengangguk. "Melihat kepada umurnya yang sudah agak lanjut memang tidak aneh kalau dia memiliki ilmu kepandaian yang begitu tinggi. Tapi aku tidak senang melihat cara dia melekatkan tangan sampai lawannya menghembuskan nafas penghabisan seperti itu!"

"Benar, Sultan," sahut Patih Sumapraja. "Tapi ini adalah risiko setiap sayembara adu silat."

Sultan melihat kembali ke panggung. Saat itu hanya tinggal dua pasang peserta lagi dan masing-masing mereka bertempur mati-matian untuk dapat merobohkan lawannya. Akhirnya peserta kedua roboh menyusul peserta ketiga dan kini tinggallah tiga pemenang satu di antaranya adalah Unang Gondola. Sebelum ketiga orang ini menghadapi lawan satu demi satu secara segi tiga maka diadakan istirahat yang lama sekali. Namun akhirnya suara gong menggema juga dan untuk kesekian kalinya terdengar pula tempik sorak orang banyak.

Tiba-tiba tempik sorak itu menjadi terhenti karena orang banyak melihat Unang Gondola melambailambaikan tangannya. Penonton bertanya-tanya apa yang hendak diperbuat laki-laki berbaju hijau tua ini.

Unang Gondola kelihatan melangkah ke ujung belakang panggung lalu menjura dan ber-kata dengan suara keras: "Sultan Banten Yang Mulia, seperti kita lihat bersama, saat ini ter dapat tiga orang pemenang, satu di antaranya adalah saya sendiri. Ini berarti bahwa kami akan bertanding secara segitiga. Menurut pendapat saya yang bodoh ini, pertandingan cara segitiga itu disamping akan memakan waktu lama, juga kemenangan yang dicapai tidak bersifat murni adanya karena lawan pertama atau kedua yang sudah lelah nanti akan dihadapkan dengan lawan ketiga yang masih segar bugar. Dari itu, Sultan Yang Mulia, bilamana Sultan tidak keberatan saya akan mengajukan usul yaitu sebaiknya saya menghadapi mereka berdua sekaligus. Kalau saya kalah, saya akan turun panggung dan mereka boleh melanjutkan pertandingan satu lawan satu!"

"Hem... sombong benar orang ini," kata Sultan tidak senang. "Tapi biarlah, sesuai dengan kesombongannya aku akan izinkan dia menghadapi dua lawan sekaligus!" Sultan kemudian melambaikan tangannya. Inilah suatu tanda bagi orang banyak bahwa permohonan si baju hijau disetujui Sultan. Meskipun banyak orang bersorak mendengar keputusan itu tapi banyak pula yang tidak bersenang hati melihat kecongkakan orang yang menganggap remeh dua orang peserta sayembara lainnya. Dan memang yang paling sakit hati dan paling merasa dihina adalah kedua pemuda itu. Diam-diam kedua pemuda ini saling melirik dan tersenyum. Ini satu tanda bahwa mereka sama-sama bertekad bulat untuk menghajar habis-habisan Unang Gondola, manusia bermuka buruk yang congkak itu!

Gong dipukul. Pemuda yang dua orang segera berpencar. Unang Gondola tersenyum mengejek dan maju satu langkah. Sambil bertolak pinggang dia menantang: "Ayo, pemuda-pemuda keren. Kalian mulailah! Serang aku!"

Tapi baik pemuda yang memakai baju putih maupun yang memakai baju ungu tidak bergerak. Mereka hanya menjawab tantangan itu dengan balas senyum mengejek, membuat Unang Gondola menjadi beringas. Tiba-tiba dengan bentakan menggeledek, laki-laki ini menyerbu ke muka. Tangan dan kakinya terpentang di kedua sisi. Gerakan yang hebat ini mengeluarkan siuran angin deras. Blong Ijo, pemuda berpakaian ungu melihat bagian dada lawan terbuka, sambil berkelit ke samping dia menggebuk ke arah dada Unang Gondola sedang dari samping yang lain, Karnadipa, si pemuda baju putih sambil melompat ke samping coba menotok tulang-tulang iga lawannya. Namun baik serangan Unang Gondola maupun serangan kedua lawannya sama-sama mengenai tempat kosong. Blong Ijo dan Karnadipa cepat membalik dan dengan serentak mereka mengirimkan serangan kembali, keduanya mengarah ke punggung Unang Gondola. Karena serangan itu sedemikian cepatnya sedang Unang Gondola membelakangi kedua lawannya dapatlah dipastikan oleh orang banyak bahwa laki-laki sombong itu akan jatuh menelungkup ke lantai panggung terkena hantaman dua tinju lawan yang keras!

Tapi justru dalam gebrakan kedua inilah Unang Gondola memperlihatkan kehebatannya. Laksana seekor burung elang, laki-laki ini kelihatan menukik dengan kepala ke arah lantai panggung. Bersamaan dengan itu kedua telapak tangannya ditempelkan di panggung se-  dang dua kakinya melesat ke belakang menghantam ke jurusan tubuh kedua lawannya, laksana tendangan seekor kuda jantan liar yang tengah mengamuk! Gerakan ini bukan suatu gerakan yang mudah, apalagi dalam keadaan diserang lawan sekaligus dua orang dari belakang! Namun semuanya itu dilakukan oleh Unang Gondola dengan cepat dan lihay sekali! Dapatlah dibayangkan bagaimana tingginya ilmu yang diwarisi laki-laki ini dari gurunya Resi Mintaraya.

Baik Karnadipa maupun Blong Ijo terkejutnya bukan main melihat serangan aneh ini tetapi sangat berbahaya! Cepat-cepat mereka melompat ke samping. Blong Ijo sambil mengelak coba menangkap kaki Unang Gondola dengan kedua tangannya. Tapi seperti kaki kiri laki-laki itu bermata maka sebelum maksud Blong Ijo kesampaian tiba-tiba cepat sekali kaki tersebut bergerak dan bagian tumitnya turun deras menghantam ke bagian bawah perut Blong Ijo!

Blong Ijo melipat lutut kanannya. Bentrokan antara lutut dan kaki tidak bisa dihindarkan lagi. Tubuh Blong Ijo terhuyung-huyung beberapa langkah. Lututnya sakit sekali. Di sebelah sana dengan jungkir balik Unang Gondola berdiri kembali di atas kedua kakinya tapi terpaksa harus berkelebat cepat karena saat itu Karnadipa, lawannya yang seorang lagi datang me-lancarkan serangan dan serangan ini dengan mudah dapat dielakkan. Bukan main ramainya pekik sorak orang banyak melihat pertandingan dua lawan satu yang hebat itu. Seorang penduduk kotaraja meleletkan lidahnya sambil ber-kata: "Laki-laki hijau itu memang hebat ilmunya, sayang dia agak sombong!"

Kembali Unang Gondola berada di tengah-tengah kedua orang lawannya. Blong Ijo yang berada paling dekat tiba-tiba melancarkan pukulan tangan kanan ke arah lambung sedang berbarengan dengan itu Karnadipa mengirimkan kaki kanannya ke iga Unang Gondola. Murid Resi Mintaraya ini miringkan tubuhnya ke samping. Begitu jotosan Blong Ijo lewat segera jarijari tangan kanannya yang dipentang dan dilipat lurus menyelinap ke bawah lengan. Serangan yang dilancarkannya ini dilakukan dengan memiringkan tubuh sehingga sekaligus mengelakkan tendangan yang ditujukan ke iganya!

"Duk!" Jotosan lipatan jari-jari tangan Unang Gondola menghantam bawah ketiak Blong Ijo dengan sangat tepatnya, tak kuasa dielakkan oleh pemuda baju ungu itu. Tubuhnya mental jauh. Sebuah tulang iganya patah dan tubuh dalamnya terluka parah. Unang Gondola menyeringai mengejek. Tapi seringainya ini hilang dengan serta merta laksana direnggutkan setan tatkala dari samping kiri, tiada diduganya sama sekali Karnadipa berkelebat dengan sangat cepat. Dengan pinggirantelapak tangan kanannya Karnadipa berhasil menghantam pangkal tengkuk Unang Gondola.

Pukulan pinggiran tapak tangan ini merupakan pukulan amat ampuh dan benar-benar diandalkan oleh Karnadipa. Tapi betapa terkejutnya ketika menyaksikan bagaimana Unang Gondola hanya terhuyung-huyung beberapa langkah ke muka. Setelah mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian yang terpukul tiba-tiba

Unang membalikkan tubuhnya dengan cepat. Karnadipa yang masih terheranheran karena tak percaya, tak sanggup mengelakkan kepalan tangan kanan yang dahsyat dari Unang Gondola yang menghantam pelipisnya. Pemuda ini terjungkal ke belakang dengan pandangan gelap berkunang-kunang. Pada saat itu Unang Gondola sudah melompat pula ke muka. Tangan kanannya menjambak rambut Karnadipa lalu diputar dan "krak!" Terdengar suara patahan tulang leher. Berapa orang perempuan yang menyaksikan dan mendengar suara patahnya tulang leher itu memekik dan menutup muka mereka dengan kedua tangan. Ketika jambakan dilepas, tubuh Karnadipa yang sudah tidak bernyawa itu melosoh ke lantai dan tanpa raguragu Unang Gondola menendangnya sampai keluar panggung, jatuh jauh di belakang orang banyak!

Di sebelah sana kelihatan Blong Ijo bangkit berdiri perlahanlahan. Tubuhnya miring dan mukanya pucat akibat luka dalam yang hebat. Unang Gondola melangkah mendekati pemuda Ini dengan senyum mengejek. "Orang muda, kau menyerahlah dan nyawamu akan selamat!"

Biong ijo murid seorang pendekar berhati kesairia, meskipun sadar bahwa dirinya terluka hebat dan tak akan sanggup meiawan musuh tangguh itu, namun kata-kata menyerah tidak dia kenal dalam hidupnya!

"Menyerah?!" desis pemuda itu. "Aku lebih baik mampus daripada menyerah!"

"Manusia tolol! Dikasih kehidupan maunya mampus!" ketus Unang Gondola, tubuhnya bergerak ke kanan mengirimkan pukulan tangan kiri ke kepala lawan. Blong Ijo menunduk, dengan tangannya yang sebelah kanan pemuda ini mengirimkan pukulan jarak jauh. Tapi karena bagian tubuhnya sudah terluka maka pukulan tenaga dalam ini tidak ada artinya bahkan tangannya yang dipakai memukul kena dicengkeram oleh Unang Gondola. Sesaat kemudian terdengar bentakan laki-laki itu dan semua mata melihat bagaimana tubuh Blong Ijo melesat ke udara, jatuh di luar panggung dan mati! Maka hiruk pikuklah halaman istana itu oleh suara sorak-sorai orang banyak. Unang Gondola melambai-lambaikan tangannya penuh bangga. Hatinya sangat gembira dan puas. Bukan saja dia sudah berhasil mengalahkan dua lawannya sekaligus, tapi lebih dari itu sebagai utusan rahasia yang dipercaya oleh Prabu Pajajaran dia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Dia menang, dia akan menerima hadiah keris. Tapi keris itu tidak penting, yang lebih penting adalah dia akan menjadi Kepala Balatentara Banten! Kalau jabatan tinggi itu bisa dipegangnya dengan sangat empuk. Maka untuk selanjutnya apa yang menjadi cita-cita Raja dan rakyat Pajajaran pasti mudah pula terlaksana yaitu menghancurkan Banten! Menyamaratakan Banten dengan tanah!

Diam-diam meskipun kagum akan ketinggian ilmu silat Unang Gondola tapi dalam hatinya Sultan tidak begitu senang terhadap laki-laki itu. Rasa tidak senang ini adalah dikarenakan sikap Unang Gondola yang congkak serta kejam. Sebenarnya dia bisa mengalahkan lawan-lawannya tadi tanpa membunuhnya! Tapi kenyataan yang sudah terjadi tak bisa dirobah lagi.

Dari langkan istana terdengar seruan: "Saudara pemenang, diharap menghadap Sultan Banten untuk menerima ucapan selamat dan menerima hadiah keris kerajaan!"

Diiringi tempik sorak Unang Gondola melangkah ke hadapan Sultan dan menjura. Seorang gadis cantik dayang-dayang istana mengangkat nampan di mana keris hadiah terletak. Sultan berdiri dan membuka kain penutup nampan maka kelihatanlah sebilah keris yang keseluruhannya terbuat dari perak putih, sangat bagus ukiran-ukiran sarung dan gagang-nya serta memancarkan sinar menyilaukan mata. Sultan mengambil keris perak tersebut dan menyerahkannya kepada Unang Gondola seraya berkata: "Orang gagah, keris ini kuberikan padamu karena kau telah memenangkan sayembara yang diadakan dan juga sekaligus merupakan lambang pengangkatanmu sebagai Kepala Balatentara Banten!"

Kalimat yang diucapkan oleh Sultan tersebut tidak keras tetapi karena suasana sunyi senyap maka hampir semua orang dapat mendengarnya dan sesudah itu maka kembali terdengar tempik sorak gegap gempita.

"Terima kasih, Sultan Yang Mulia," kata Unang Gondola sambil menerima keris perak itu. Dia turun dari langkan istana dan kembali ke panggung. Keris perak yang di tangannya diacung-acungkannya ke atas, dengan penuh bangga diperlihatkannya kepada orang banyak. Tiba-tiba, hampir tidak terlihat oleh mata karena sangat cepatnya, sesosok bayangan putih melompat naik ke atas panggung. Unang Gondola terdengar mengeiuarkan suara seruan tertahan dan keris perak yang dipegangnya terlepas lenyap dari tangannya!

LIMA

SEMUA orang termasuk Sultan sendiri menjadi sangat terkejut ketika melihat bagaimana kini di atas panggung, beberapa langkah dari hadapan Unang Gondola berdiri seorang laki-laki bertampang keren berpakaian putih-putih sederhana sekali. Yang membuat semua orang lebih-lebih terkejutnya ialah karena keris perak yang tadi dipegang oleh Unang Gondola kini berada di tangan si orang asing.

Bergetar tubuh Unang Gondola karena mendidih darahnya. Kedua matanya menyorot garang. Dia maju ke hadapan laki-laki gagah tak dikenalnya. Seraya membentak dia bertanya: "Manusia rendah! Apa kau punya dua nyawa sampai berani membuat kekejian terhadapku di depan ribuan manusia dan di hadapan Sultan?!"

Orang berpakaian putih-putih mengeiuarkan suara tertawa mengejek. "Baju hijau, di hadapanku tak usah bicara sombong! Jangan terlalu girang bahwa kau akan menjadi Kepala Balatentara Banten! Aku juga mempunyai hak untuk jabatan itu...!"

"Keparat edan! Kalau kau tidak mengembalikan keris itu dan turun dari panggung ini, kupecahkan kepalamu!"

"Heh! Sobat, tidak semudah itu memecahkan kepalaku!" balas si baju putih.

Karena tidak dapat menahan sabar lagi, Unang Gondola segera melompat menyerbu! Tapi serangan yang penuh keganasan ini dengan mudah dapat dielakkan oleh si baju putih. Dari langkan istana terdengar suara memerin-ah. Tahan!"

Unang Gondola yang hendak menyerang kembali segera menghentikan gerakannya dan memaiingkan kepala ke arah Sultan. "Pemuda asing baju putih! Kau yang bertindak lancang menghina calon Kepala Balatentara Banten diharap maju ke hadapan Sultan untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"

Mendengar itu, tanpa ragu-ragu, si baju putih melangkah ke hadapan Sultan Banten dan menjura. "Orang lancang, kau siapa yang berani menimbulkan kekacauan ini?!" tanya Sultan dengan nyaring.

Si baju putih tersenyum, dia menjura sekali lagi, baru menjawab: "Sultan, agaknya terlalu dibesarbesarkan kalau dikatakan saya datang ke sini untuk mengacau. Terus terang saja kedatanganku ke sini justru untuk menyelamatkan Banten dari mala petaka besar!"

Terkejut sekali semua orang dan Sultan Banten mendengar jawaban yang berani dari laki-laki itu. Apa lagi mendengar kalimat yang terakhir yaitu bahwa dia datang justru untuk menyelamatkan Banten dari malapetaka besar!

Sultan dan Patih Sumapraja saling berpandangan. Kemudian terdengar suara bertanya yang datang dari Sultan Banten. "Jawab pertanyaanku tadi dan apa maksud kata-katamu bahwa kau datang untuk menyelamatkan Banten dari malapetaka besar?!"

Tentang diri saya, Sultan, kiranya tidak penting. Saya seorang gunung yang bodoh, bernama Tirta, Guru saya bernama Ki Balangnipa, diam di Gunung Gede...." Sampai di situ orang bernama Tirta ini melirik ke samping dan melihat bagaimana air muka Unang Gondola menjadi berubah ketika dia menyebutkan nama gurunya. Untuk daerah barat nama Ki Balangnipa sebagai tokoh silat memang terkenal dan disegani. Di puncak Gunung Gede tokoh kenamaan ini mendirikan sebuah perguruan. Kalangan istana Banten sendiri termasuk Sultan dan Patih juga pernah mendengar nama Ki Balangnipa itu.

Tirta melanjutkan kata-katanya kembali. "Mengenai malapetaka besar yang saya katakan itu, akan saya terangkan nanti. Lebih dahulu saya jelaskan bahwa saya datang ke sini juga mempunyai maksud lain yaitu untuk mengikuti sayembara. "

"Sayembara sudah selesai dan sudah di-menangkan oleh saudara berbaju hijau tua bernama Kuntawirya itu!" kata Patih Sumapraja.

Tirta menganggukkan kepala dan mengulum senyum. "Saya mengerti dan saya akui saya datang terlambat karena kabar tentang adanya sayembara tersebut baru kemarin dulu saya dengar. Tapi meskipun demikian, dengan segala kerendahan hati saya mohon agar Sultan mengizinkan saya untuk tetap mengambil bagian meskipun sudah terlambat. "

"Orang gunung tidak tahu diri!" terdengar suara memaki dari samping panggung. Ini adalah suaranya Kuntawirya. "Sayembara telah selesai apa kau tak punya muka dan tidak tahu main?!" Tirta menyeringai, "Aku tidak bicara denganmu saudara, tapi dengan Sultan Banten!"

Merahlah paras buruk dari Kuntawirya alias Unang Gondola. Tirta berpaling pada Sultan Hasanuddin kembali dan membuka mulut: "Ketahuilah Sultan, bila Sultan mengizinkan saya untuk ambil bagian dalam sayembara ini maka sekaligus saya diberikan jalan untuk menolong Banten dari malapetaka besar itu. "

Di samping sana Kuntawirya maju ke muka, "Sultan," katanya seraya mengangkat tangan kanan ke atas. "Demi keadilan aku minta agar orang sinting ini diperintahkan turun dari atas panggung. Atau perlukah aku menendangnya dari sini?!"

Sultan Banten tak bisa memberikan jawaban dengan segera. Orang yang mengaku bernama Tirta itu datang terlambat dan memang tidak bisa lagi untuk ambil bagian dalam sayembara yang sudah selesai. Tapi Sultan memaklumi pula bahwa manusia Tirta ini bukan orang sembarangan, berilmu tinggi bahkan mungkin lebih tinggi dari Kuntawirya sendiri! Gunung Gede letaknya tidak dekat dari Banten dan kalau Tirta berhasil sampai ke Banten dalam tempo dua hari sebagaimana yang diterangkannya, dapat dibayangkan ilmu lari macam mana yang dimilikinya. Di samping itu tadi Tirta telah pula memperiihatkan kehebatannya yaitu merampas keris perak yang berada di tangan Kuntawirya, si calon Kepala Balatentara Banten! Apakah seorang yang akan menjadi Kepala Balatentara Banten bisa dipreteli begitu saja? Lagi pula mengingat sikap Kuntawirya yang pongah itu maka semakin bimbanglah hati Sultan Banten ini.

"Bagaimana pendapatmu, Paman Patih?" tanya sang Sultan tanpa berpaling pada Patih Sumapraja.

Patih ini, yang tahu kalau Sultan berada dalam kebimbangan segera menjawab, "Agaknya tidak ada salahnya bilamana Kuntawirya diuji lebih dahulu dengan orang baju putih itu, Sultan."

Sultan melambaikan tangan kirinya. 'Tirta, kau kuizinkan untuk bertanding dengan Kuntawirya. Jika kau kalah kau harus menghambakan diri kepada Kuntawirya! Dan kau Kuntawirya, ini suatu ujian bagimu. Buktikanlah bahwa kau memang benar-benar bukan seorang Kepala Balatentara Banten yang mengecewakan. Sebaliknya jika kalah maka kau akan menduduki jabatan sebagai wakil Tirta, Wakil Kepala Balatentara!"

Gusarlah Kuntawirya mendengar keputusan ini. "Apakah tidak ada kebenaran dan ke-adilan di Banten ini?!" tanyanya sambil memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian menatap tepat-tepat kepada Sultan. "Sultan, tadi Sultan sendiri yang telah memberikan keris itu kepada saya, Sultan sendiri yang memutuskan bahwa saya telah menjadi Kepala Balatentara Banten! Apakah keputusan tersebut dapat diubah sedemikian enak dan mudahnya, seperti membalikkan telapak tangan? Alangkah memalukannya! Terlebih lagi mengingat itu adalah keputusan seorang Raja, seorang Sultan!"

Air muka Sultan tampak memerah. Patih Sumapraja membuka mulutnya dan berkata dengan suara keras. "Kuntawirya, jangan bicara sembrono terhadap Sultan Banten! Sultan Banten berhak membuat segala macam keputusan dan berhak pula merubah keputusan Itu bilamana dianggapnya perlu! Bila kau tidak punya nyali melawan orang yang bernama Tirta itu, turunlah dari panggung!"

Bergetar kedua tinju Kuntawirya alias Unang Gondola ketika mendengar kata-kata Sumapraja bahwa dia tidak punya nyali untuk menghadapi Tirta! "Patih Banten!" katanya dengan suara tak kalah keras. "Buruk-buruk begini, tapi sepuluh manusia macam orang gunung ini masih sanggup aku hadapi!"

"Kalau begitu pertandingan bisa dimulai!" kata Patih Sumapraja pula. Dia melambaikan tangannya dan terdengarlah suara gong meng-gema.

ENAM

TANPA menunggu lebih lama Kuntawirya segera menyerang Tirta. Dari angin pukulan dan tendangan yang datang dengan sekaligus Tirta maklum bahwa lawannya tidak enteng, tapi kalau tadi dia sanggup merampas keris perak maka walau bagaimanapun tingkat kepandaian Kuntawirya masih berada di bawahnya. Dia melompat menjauh ke tepi panggung dan berseru: "Sultan, harap dimaafkan kalau perbuatan saya ini lancang. Tapi adalah lebih baik kalau keris perak murni ini untuk sementara diletakkan kembali di tempatnya semula!" Bersamaan dengan itu Tirta menggerakkan tangannya. Keris yang tadi dipegangnya melesat ke udara dan jatuh di atas nampan di hadapan Sultan. Tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun! Semua mata memandang tak percaya. Sultan sangat kagum dengan kehebatan Tirta ini dan segera berkata: "Hadapi lawanmu, Tirta."

Pada saat datang sambaran angin dari belakangnya, Tirta cepat menggeser tubuh ke samping. Jotosan tangan kanan yang berbahaya dari Kuntawirya lewat di dekat kepalanya. Sambil menekuk lutut Tirta menyodok bagian yang lowong di pinggang lawan. Tapi Kuntawirya tidak bodoh. Dengan memiringkan tubuh sedikit saja dia berhasil mengelakkan serangan itu. Serentak dengan gerakannya ini maka kaki kirinya membabat ke bawah perut Tirta sedang lututnya sekaligus memapaki sodokan lawan! Namun sodokan Tirta ke pinggangnya itu cuma serangan tipuan belaka karena dengan cepat Tirta menarik pulang tangannya dan sebagai gantinya kini tangan kanannyalah yang meluncur ke pangkal leher Kuntawirya! Dalam keadaan seperti itu tidak memungkinkan bagi Kuntawirya alias Unang Gondola untuk merundukkan kepala mengelak serangan Tirta. Dia membuang diri ke belakang. Untuk menghindari jotosan lawan mengenai dadanya, laki-laki ini mempergunakan tinju kanannya pula untuk menyambut. Dua kepalan saling beradu dengan dahsyat di udara. Maka kelihatanlah Kuntawirya terhuyunghuyung jauh ke belakang sedang Tirta hanya beberapa langkah saja! Ramailah pekik sorak orang yang banyak melihat pertandingan yang hebat ini!

Kuntawirya terkejutnya bukan main ketika melihat bagaimana kulit tangannya yang tadi beradu dengan kepalan lawan kini menjadi biru bengkak. Untuk selanjutnya dia tidak berani lagi mengadu kekuatan cara itu dengan Tirta. Memaklumi bahwa tenaga dalam Tirta tidak berada di bawahnya, maka dengan mengandalkan kegesitan dan kecepatan gerakannya Kuntawirya segera melancarkan serangan bertubi-tubi. Dia harus tidak memberikan kesempatan pada lawannya, karena sekali lawan kena mendesak, akan payah bagi dia untuk menghadapi. Namun kecepatan dan kegesitan murid Resi Mintaraya itu tak ada artinya bagi Tirta. Bahkan demikian juga ketika Kuntawirya mengeluarkan ilmu simpanannya yang sangat diandalkan, Tirta seakan-akan tahu seluk-beluk ilmu silat yang dimainkan lawannya itu! Beberapa kali tubuh Tirta berkelebat seperti lenyap dan pada permulaan jurus ke empat saja Kuntawirya dipaksa berkenalan dengan lutut kiri Tirta. Tubuh Kuntawirya mental, hampir jatuh duduk di lantai panggung dan pada saat ini pula datang lagi serangan tendangan maut dari Tirta. Dengan jungkir balik murid Resi Mintaraya berusaha mengelakkan serangan itu, namun celakanya begitu dia berdiri di atas kedua kakinya kembali tahu-tahu sudah datang pula serangan yang sangat cepat dari lawannya, tak sanggup dielakkan! Satusatunya jalan adalah menangkis dengan lengan kanan. Namun serangan jotosan tangan kanan Tirta meskipun tertuju ke kepala sasaran sebenarnya adalah tulang iga lawan. Dengan sendirinya Kuntawirya tertipu!

"Krak!" Tulang iga Kuntawirya patah. Tubuhnya mental dan roboh tak sadarkan diri di atas panggung!

Seperti hendak runtuh langit di atas halaman istana itu ketika terdengar tempik sorak yang tiada hentinya dari penonton pertandingan menyambut kemenangan Tirta, yang demikian hebatnya sehingga Kuntawirya yang berilmu tinggi dapat dibereskan dalam tempo lima jurus saja!

Tirta melambai-lambaikan tangannya. Setelah sorak-sorai orang banyak mereda maka dia berpaling kepada Sultan Hasanuddin. "Sultan Yang Mulia, sekarang tiba saatnya bagi saya untuk menerangkan malapetaka besar yang saya katakan tadi." Tirta menunjuk ke tubuh Kuntawirya yang menggeletak pingsan di atas panggung. "Sultan Yang Mulia, mungkin Sultan dan seluruh rakyat Banten yang hadir di sini tidak tahu siapa manusia ini adanya. Sultan dan semua orang di sini cuma mengenalnya, dengan nama Kuntawirya! Tapi itu adalah nama palsu belaka, Sultan. Manusia ini sebenarnya bernama Unang Gondola! Utusan rahasia Prabu Sedah dari Pajajaran, murid.  "

Sampai di situ Tirta tidak dapat meneruskan kata-katanya karena  dengan sangat tiba-tiba, dari jurusan kiri melesat bayangan biru. Dan bersamaan dengan itu terdengar suara "pess". Di atas panggung mengepul asap putih tebal serta berbau busuk. Tubuh Tirta dan Kuntawirya tidak kelihatan sama sekali, tertutup oleh asap tebal itu. Gaduhlah semua orang melihat kejadian itu. Beberapa saat berlalu. Sedikit demi sedikit asap tebal mulai menipis. Kemudian samar-samar kelihatanlah Tirta duduk bersila di lantai panggung tidak bergerak-gerak. Kedua matanya terpejam seperti seseorang yang tengah bersemadi. Pemuda ini tengah mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak serangan asap putih yang busuk dan jahat yang hendak merobohkannya! Sesudah asap aneh itu hilang sama sekali dari atas panggung maka bahwa tubuh Kuntawirya yang tadi menggeletak pingsan di atas panggung kini sudah tidak ada lagi, hilang lenyap! Semakin gaduhlah orang banyak sedang pihak kalangan istana termasuk Sultan sendiri disamping keheranan juga merasa cemas.

Apakah sesungguhnya yang terjadi? Waktu Tirta bicara menerangkan tentang Siapa sesungguhnya Kuntawirya maka dari bawah panggung melesat sesosok bayangan biru. Ini tak lain adalah sosok tubuh dari Resi Mintaraya, guru Unang Gondola alias Kuntawirya yang tengah menyamar itu! Sambil melompat ke atas panggung si resi sakti mengeluarkan senjata rahasianya yaitu berupa asap tebal yang busuk sehingga ketika mata semua orang tak melihat apa-apa, tertutup oleh asap tebal itu, dengan cepat Resi Mintaraya membopong tubuh muridnya dan berkelebat meninggalkan tempat itu! Bagaimana pula resi sakti ini sampai di kotaraja Banten? Sewaktu muridnya dikirim menjadi utusan rahasia Sang Prabu Sedah, Raja Pajajaran, maka diam-diam Mintaraya mengikuti perjalanan muridnya. Unang Gondola adalah murid yang paling disayangi oleh sang resi. Dia memaklumi bahwa di Banten bukan sedikit terdapat orang-orang sakti, tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan, yang mungkin akan mencelakai muridnya itu meskipun sang murid juga mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Karenanya diamdiam Mintaraya mengikuti perjalanan muridnya itu. Dan ketika tadi dengan mata kepalanya sendiri dilihatnya Unang dirobohkan lawan serta hendak dibuka kedok rahasia siapa dia sebenarnya maka tidak menunggu lebih lama lagi Mintaraya segera melompat ke atas panggung menolong muridnya seraya melepaskan senjata rahasia berupa asap tebal yang busuk. Senjata rahasia ini dilepaskannya dengan dua maksud. Pertama untuk menutupi agar tidak seorang pun melihat dia mengangkat tubuh Unang Gondola sehingga bisa berlalu tanpa banyak kesukaran dan kedua adalah untuk membunuh Tirta. Namun untungnya Tirta memiliki ilmu batin yang kuat sehingga berhasil menolak bahaya keracunan dengan duduk bersila dan menutup kelima panca inderanya. Adapun orang banyak yang berada di sekitar panggung cepat-cepat menjauhkan diri ketika membaui asap busuk sehingga mereka juga terhindar dari keracunan.

Perlahan-lahan Tirta membuka kedua matanya. Dia memandang berkeliling dan melihat betapa orang banyak yang tadi berkerubung di sekitar panggung kini berdiri menjauhi panggung. Sedang di langkan istana orang-orang kalangan istana yang tadi duduk sampai ke dekat tepi panggung kini juga kelihatan menjauh sampai ke tempat duduk Sultan dan para hulubalang! Tirta berdiri dan melangkah ke hadapan Sultan, dia sudah maklum kalau tubuh Unang Gondola sudah tidak ada lagi di atas panggung.

"Sultan, harap dimaafkan kalau saya telah berlaku lengah sehingga manusia biang malapetaka itu berhasil dibawa lari orang dari sini. Sepanjang sepengetahuan saya, satu-satunya manusia yang mempunyai ilmu asap beracun itu adalah Resi Mintaraya dari gunung Halimun dan tak lain adalah seorang Resi jahat yang menjadi guru Unang Gondola!"

Air muka Sultan Banten kelihatan pucat. Kemudian dengan berusaha mengulum senyum dia berkata: "Tak apa Tirta. Walau bagaimanapun kau tetap telah menyelamatkan Banten dari malapetaka besar. Jika kau tidak muncul di sini, dan manusia Kuntawirya itu berhasil menduduki jabatan Kepala Balatentara, maka celakalah Kerajaan Banten! Tirta, kau majulah. Terimalah keris perak ini. "

Di hadapan Sultan Hasanuddin Tirta menjura lalu mengulurkan tangannya menerima keris perak yang berukir indah itu. Dan untuk kesekian kalinya, suasana yang tadi sunyi senyap diliputi ketegangan yang menggidikkan kini pecah dirobek oleh suara tempik sorak orang banyak.

TUJUH

HARI itu di istana diadakan sidang penting. Turut hadir di antaranya adalah Raden Mas Tirta, yang sudah diangkat sejak setahun yang lalu menjadi Kepala Balatentara Banten dan kepadanya diberikan gelaran Raden Mas. Sidang kali ini khusus membicarakan mengenai penyelundup-penyelundup dan mata-mata Pajajaran yang semakin menjadi-jadi menyusup ke Banten. Berbagai kerugian telah ditimbulkan oleh penyusup-penyusup itu. Gudang padi di beberapa tempat dibakar, tangultanggul air dibobol dan lain sebagainya,sebegitu jauh baru satu orang pelaku yang dapat ditangkap dan dihukum,Selain itu masih ada belasan orang lagi berkeliaran.

Seorang pemuda berpakaian sederhana kelihatan mundar-mandir di halaman luas hadapan istana. Dia bergerak di antara orang banyak yang lalu-lalang sehingga tidak menjadi kecurigaan para pengawal. Namun sesungguhnya pemuda ini seorang matamata Pajajaran juga adanya. Dia langsung dikirim, atas kehendak Prabu Sedah, Raja Pajajaran. Namanya Ismaya. Meskipun masih muda tapi tangkas dan tinggi ilmunya, cuma satu tingkat kalahnya di bawah Unang Gondola. Matamata Pajajaran yang seorang ini mendapat tugas istimewa dari Prabu Sedah yaitu mencari berita-berita penting dari kalangan orang-orang istana Banten yang bisa "dibeli" dan menimbulkan kekacauan huru-hara di Kotaraja untuk melemahkan Banten dari dalam!

Demikianlah, hari itu ketika diketahuinya bahwa di istana sedang diadakan sidang penting maka Ismaya segera menuju ke sana. Tapi sidang kali ini dijaga keras oleh para pengawal sehingga ismaya tidak dapat menyusup mencari berita. Bukan main kesalnya pemuda ini. Dia mundar mandir dan kedua kakinya mulai terasa pegal. Apa yang harus dikerjakannya? Sidang sudah berjalan sejak pagi dan tentu tak beberapa lama lagi akan segera selesai sedang dia masih juga belum berhasil mendapatkan keterangan barang sedikitpun! Dalam kebingungannya, pemuda mata-mata itu akhirnya pandangannya membentur seekor kerbau jantan besar, bertanduk runcing melengkung, berkulit bersih mengkilap. Di leher binatang ini tergantung telong-telong yang terbuat dari perak sedang di atas punggungnya terkembang sehelai permadani berkembang-kembang indah. Pada ujung ekornya diberi rumbai-rumbai kuning. Kerbau jantan ini tak lain adalah binatang kesayangan peliharaan Pangeran, putra Sultan Banten. Kepada sang Pangeran, binatang ini penurut dan mengerti sekali. Namun bukan itu saja yang membuat Pangeran sayang kepadanya. Ada pula sebab yang lain yaitu bahwa binatang ini dulu pada suatu ketika pernah menyelamatkan Pangeran dari bahaya maut diterkam harimau di tepi hutan. Melihat binatang ini, maka timbullah pikiran jahat di otak Ismaya yaitu sesuai dengan tugasnya mengacaukan dan menimbulkan huru-hara di Banten. Dengan tersenyum buruk pemuda ini melangkah ke balik sebuah pohon. Diambilnya sebutir batu kecil. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sejenis bubuk lalu batu kecil tadi digosoknya dengan bubuk tersebut. Bubuk ini adalah sejenis obat perangsang yang membuat manusia atau binatang bisa menjadi mengamuk seperti orang gila atau kemasukan setan! Kerbau besar itu melangkah perlahanlahan dengan tegapnya sambil memamah rumput hijau yang ada dalam mulutnya. Ismaya memandang dulu berkeliling. Melihat tak ada satu orang pun di dekat-dekat sana yang memperhatikannya maka dengan segera dilemparkannya butiran batu kecil tadi ke arah hidung kerbau Pangeran.

Seperti suara geledek yang tibatiba, demikianlah keras serta panjangnya kuak kerbau tersebut. Hidungnya mendengus-dengus. Ini menambah mudah bubuk rangsangan bekerja.

Kerbau itu menguak lagi sekeraskerasnya lalu mengangkat kedua kaki mukanya ke atas sedang ekornya berputar-putar gesit laksana sebuah cambuk! Kedua mata binatang itu yang tadi putih bening kini kelihatan menjadi merah laksana saga. Dan ketika di hadapannya muncul sebuah kereta istana yang membawa barang-barang perbekalan dapur, ditarik oleh dua ekor kuda hitam, tak ayal lagi kerbau yang sudah menjadi gila dan jalang itu berlari menyongsong! Sambil mengeluarkan suara menguak yang dahsyat ditanduknya kedua ekor kuda kereta tersebut. Kuda kereta meringkik tinggi lain roboh bermandikan darah. Keretanya sendiri terbalik dan barangbarang perbekalan yang dibawa berhamburan.

Kusir kereta melompat dari kereta yang terbalik itu, tapi karena gugup telah melompat ke hadapan kerbau yang tengah menggila sehingga dengan sendirinya diapun menjadi korban ditanduk pada perutnya sehingga ususnya berbusaian! Melihat kejadian itu maka orang yang lalu-lalang di muka istana segera lari menjauh sambil berteriak-teriak: "Kerbau mengamuk!"

"Awas kerbau mengamuk!"

"Kerbau Pangeran mengamuk! Lari!

Awas ditanduk!"

Beberapa orang prajurit bersenjatakan tom-bak yang mengawal di dekat situ segera turun tangan. Namun mereka pun disapu semuanya hingga roboh mandi darah oleh kerbau yang mengamuk itu dan diinjak-injak kepalanya! Penjinak kuda dan orang yang biasa mengurus kerbau Pangeran Jusuf ini dipanggil dimintakan bantuan mereka. Orang-orang inipun tidak berdaya bahkan menerima nasib sama, menemui ajal ditanduk! Dalam waktu kurang dari sepuluh menit saja sudah delapan korban berkaparan di halaman luas itu. Jerit orang ramai semakin menjadi-jadi disertai ringkik kuda dan diatasi oleh suara menguak kerbau yang mengamuk itu sendiri! Kotaraja menjadi puncak heboh! Meskipun semua orang takut dan ngeri mendengar kejadian itu tapi banyak di antara mereka yang datang berlari-lari ke sana untuk menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri dari kejauhan, dari balik-balik pohon atau dari balikbalik bangunan.

Beberapa orang prajurit datang lagi. Ada yang mencoba mendekati binatang ini dari belakang, tapi roboh konyol kena tendangan kaki. Dua orang yang datang dari muka dengan serentak menangkap tanduk sang kerbau. Binatang ini menguak dan sekali saja dia menggerakkan kepalanya maka berpentalanlah kedua prajurit itu. Yang satu segera meregang nyawa karena tersambar tanduk di dadanya sedang yang satu lagi masih sempat menyelamatkan diri. Tapi nasibnya tidak lebih baik dari kawannya tadi. Kerbau gila itu mengejarnya dengan cepat lalu menanduknya dari belakang!

Dalam keadaan yang kacau balau itu beberapa orang prajurit dengan takut-takut berani melemparkan tombak mereka dari jauh. Tiga batang tombak meleset. Dua batang menancap di tengkuk dan di pinggul. Kerbau itu menguak memperlihatkan gigi-giginya yang besar-besar lalu lari ke arah prajurit-prajurit yang menombaknya itu, untung saja prajurit-prajurit ini sudah lebih dahulu angkat langkah seribu. Darah keluar dari luka kena tombak di tubuh kerbau. Binatang ini menggeser-geserkan badannya ke tembok istana sehingga salah satu dari tombak yang menancap di tubuhnya patah. Bagi seekor binatang yang sedang mengamuk menggila maka terluka akan menambah gila amuknya. Demikian juga dengan kerbau kesayangan Pangeran ini. Beberapa orang korban lagi jatuh di kalangan rakyat. 

Dari gardu istana mendadak kelihatan berlari seorang kepala prajurit berpangkat rendah. Di tangannya tergenggam sebuah keris dan prajurit yang masih muda ini segera menerjang binatang itu. Tumit kaki kanannya menghantam tengkuk kerbau dari samping. Kerbau yang terhuyunghuyung seketika lalu membalik dengan cepat dan menanduk. Gesit sekali gerakan kepala prajurit itu sehingga dia berhasil mengelakkan serangan maut tersebut dan bahkan menghunjamkan kerisnya ke kening kerbau. Binatang itu menguak. Kedua kakinya naik ke atas, ekornya menyabat buas dan dia membalikkan tubuhnya dengan dahsyat. Gerakan yang tiba-tiba ini hampir saja mencelakai prajurit muda tersebut. Dia menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Kerbau yang mengamuk memburu dan menanduk tapi pemuda itu berguling lagi sehingga yang ditanduk hanyalah tanah halaman istana! Tanah itu berlobang besar!

Melihat apa kini yang terjadi di muka istana yaitu perkelahian maut antara seorang kepala prajurit muda dengan kerbau yang mengamuk gila, maka semakin banyaklah orang datang berkerumun ke sana. Prajurit-prajurit yang tadinya hendak menghujani binatang itu dengan tombak jadi terkesiap dan tanpa menyadari mereka ikut pula menonton dari kejauhan! Manusia lawan binatang, ini memang satu tontonan yang luar biasa! Lupa orang banyak itu kini betapa ngerinya korban-korban yang berkaparan di sekitar halaman luas itu!

Seorang pengawal yang tahu akan tugasnya segera lari ke dalam istana dan memberi laporan pada Sultan. Pangeran Yusuf terkejut sekali mendengar bahwa kerbau peliharaan yang sangat disayanginya itu tengah mengganas mengamuk dan telah membunuh beberapa orang prajurit serta rakyat. Sidang dihentikan Pangeran orang yang nomer satu keluar dari istana dan tanpa menyadari bahaya dia lari ke halaman.

"Aduh kerbauku! Kenapa kau jadi begini? Kerbauku sayang...!" seru Pangeran seraya berlari ke arah binatang yang kini mandi darah karena tusukan-tusukan keris di tangan kepala prajurit tadi. Kalau dulu dipanggil seperti itu sang kerbau yang mengerti dan penurut pasti akan datang dan menjilat-jilat tangan Pangeran. Tapi dalam keadaan mengamuk mana dia perduli sama sang Pangeran?! Kerbau itu menyerudukkan tanduknya ke perut sang Pangeran! Orang banyak menjerit! Pasti berbusaian usus Pangeran itu. Namun dengan sangat gesit sekali, kepala prajurit tadi mendahului gerakan sang kerbau. Dengan tangan kirinya ditariknya lengan Pangeran.

"Maaf Pangeran! Sebaiknya menghindarlah! Kerbau ini mengamuk gila, tak bisa dibikin jinak sekalipun oleh Pangeran sendiri!"

Pangeran terguling di tanah. Pakaiannya kotor oleh debu dan darah. Kepala prajurit tadi begitu menyelamatkan Pangeran segera mengirimkan tendangan ke tengkuk kerbau. Binatang ini terhuyung-huyung dan melenguh lalu menyabatkan ekornya ke muka kepala prajurit itu tapi meleset. Tanpa disadari orang banyak yang tadinya ngeri melihat amukan kerbau itu kini karena saking asyiknya melihat perkelahian antara manusia dan binatang itu jadi bersorak-sorak! Sorak-sorai yang gegap gempita ini menelan suara teriakan Pangeran dari ujung sana yang tiada henti-hentinya berteriak: "Jangan bunuh kerbauku! Jangan bunuh kerbauku!"

Beberapa tusukan keris ampuh pada kepala agaknya masih belum melemahkan binatang yang mengamuk itu malahan dia menggila lebih dahsyat. Sambil mengelak gesit kian kemari kepala prajurit tiada henti-hentinya menusukkan kerisnya. Namun kegesitannya itu merupakan satu kesiasiaan belaka ketika kaki kirinya tergelincir oleh licinnya darah yang bertebaran di tanah. Tak ampun lagi tubuhnya terpelanting ke belakang dan bersamaan dengan itu si kerbau menyerudukkan tanduk menyerangnya. Orang banyak yang menonton dari kejauhan tidak mengetahui betapa sesungguhnya kepala prajurit itu tengah diancam bahaya maut. Mereka mengira bahwa dia cuma melakukan satu gerakan menjatuhkan diri untuk menghindari serangan binatang gila itu. Namun di antara sekian banyaknya pasang mata yang menyaksikan masih ada seorang manusia yang memaklumi bahwa sesungguhnya kepala prajurit itu sudah dikejar maut di depan mata! Tanpa menimbulkan perhatian orang-orang di dekatnya, laki-laki yang juga masih muda ini menggerakkan tangannya. Tak terlihat karena kecil dan cepatnya maka melayanglah sebutir batu yang menghantam dengan tepat ke mata kiri kerbau itu. Binatang ini menguak tinggi. Matanya pecah dan kepalanya terdorong ke samping sehingga tanduknya hanya menghantam tanah! Kepala prajurit itu melompat dengan cepat. Orang bersorak gemuruh. Tak satu pun di antara mereka yang melihat lemparan batu itu tapi tidak demikian halnya dengan si kepala prajurit yang telah tertolong jiwanya. Kepala prajurit ini sambil melompat tadi masih sempat melihat gerakan tangan penolongnya!

Kini prajurit itu tidak main-main lagi. Tubuhnya berkelebat dan kerisnya menusuk kepala kerbau berulang kali. Lambat laun binatang itu menjadi lemas juga. Tubuhnya limbung terhuyunghuyung sedang suara menguaknya tidak sedahsyat tadi lagi. Akhirnya robohlah binatang itu ke tanah tanpa nyawa! Menggemuruh sorak-sorai orang banyak. Seorang pengawal datang berlari menyongsong kepala prajurit yang tangkas dan berjasa besar itu. "Saudara," kata prajurit ini. "Kau dipanggil menghadap oleh Sultan."

Sebelum melangkah kepala prajurit itu mendekati penolongnya tadi terlebih dahulu dan berkata berbisik: "Sahabat, kau jangan kemana-mana. Tunggu aku di sini."

Pemuda berpakaian putih-putih serba sederhana itu tersenyum dan menganggukkan kepala. Kepala prajurit tadi datang menghadap Sultan yang menyambutnya dengan gembira: "Aku bangga mempunyai seorang prajurit sepertimu ini. Siapakah namamu?"

"Nama saya Ekawira, Sultan," jawab kepala prajurit itu pula.

"Hemm, dengar Ekawira. Mulai hari ini kuberi gelar Raden Mas kepadamu! Karena jasamu yang tiada ternilai, karena kau telah menyelamatkan puteraku dari amukan kerbau itu dan sekaligus juga telah menyelamatkan korban-korban yang pasti akan jatuh, maka mulai hari ini pula kuangkat kau menjadi Kepala Pengawal Istana! Harap jabatan itu kau terima dengan hati puas dan jalankan tugasmu dengan baik!"

Ekawira menjura: 'Terima kasih, Sultan. Akan saya jalankan tugas dengan sebaik-baiknya," katanya dengan hati sangat gembira karena tiada menduga akan diberikan pangkat kedudukan sedemikian tingginya.

Sultan Banten melambaikan tangannya kepada seorang pegawai rumahtangga istana dan berkata pada orang ini: "Berikan kepadanya pakaian angkatan sebagai Kepala Pengawal Istana." Kemudian Sultan berpaling pada Ekawira, "Raden Mas Ekawira, tukarlah pakaianmu. Jika sudah selesai segera kembali ke sini untuk mengikuti sidang yang tadi belum selesai."

Ekawira menjura. Parasnya kelihatan kemerahan karena itulah untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia dipanggil orang dengan gelar "Raden Mas" dan oleh Sultan pula! Semua orang juga merasa gembira melihat pengangkatan Kepala Pengawal Istana itu. Memang kalau melihat kepandaian dan jasa yang telah diperbuat laki-laki muda itu sudah sepantasnya dia diberikan jabatan tersebut. Namun agaknya akan salah kalau kita katakan "semua" orang merasa gembira karena rupanya ada salah satu di antara mereka yang merasa tidak senang dengan pengangkatan itu. Orang ini tak lain adalah Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara Banten! Me-ngapa pula dia ini tidak senang? Ini tak lain ialah karena sejak diangkat menjadi Kepala Balatentara maka sifat-sifat baik dari Tirta lama kelamaan hilang satu demi satu, berganti dengan sifat dengki iri hati, gila hormat dan gila kemewahan, sehingga setiap ada seseorang baru yang diberi pangkat tinggi, meskipun masih berada di bawahnya namun karena rasa dengkinya, dia jadi tak ubahnya seperti cacing kepanasan!

Seiesai sidang, Raden Mas Ekawira meminta diri karena ada urusan yang harus diselesaikannya. Cepat-cepat dia keluar dari istana. Hatinya cemas kalau pemuda yang telah menolongnya tadi sudah pergi karena kelewat lama menunggu. Tapi nyatanya pemuda itu masih ada di ujung halaman istana, menanti di bawah sebatang pohon beringin yang sangat rindang dan teduh. Dengan tersenyum Raden Mas Ekawira menghampiri pemuda itu.

"Sahabat, aku berhutang nyawa kepadamu. Namamu siapa dan kau  datang

.dari mana?" Sambil bertanya itu Raden Mas Ekawira meletakkan tangan kanannya di pundak kiri si pemuda. Pemuda ini merasakan betapa tangan yang diletakkan di atas pundaknya laksana beban yang beratnya ratusan kati. Dia maklum bahwa laki-laki itu tengah menguji kekuatannya. Diam-diam si pemuda mengerahkan tenaga dalamnya dari pusar terus ke pundak kiri. Dan Ekawira jadi terkejut ketika merasakan betapa pundak itu tidak tergetar sama sekali bahkan dia tak ubahnya seperti memegang satu kepingan batu karang yang keras membaja!

Pemuda itu tersenyum: "Aku cuma seorang dusun saja Raden, yang kebetulan datang melihat-lihat ke Kotaraja ini dan turut menyaksikan kegaduhan karena kerbau mengamuk tadi itu. "

Ekawira menarik tangannya dengan cepat ketika bagaimana pundak yang masih dipegangnya itu mendadak mengeluarkan hawa dingin sekali yang membuat tulang-tulang tangannya sampai terasa ngilu! "Sahabat! Rupanya kau bukan orang sembarangan. Katakan namamu!"

"Namaku Mahesa Kelud, Raden Mas," jawab si pemuda.

"Gurumu siapa?"

"Ah, saya cuma berguru pada seorang jago silat kampungan, Raden Mas. Apalah artinya," sahut Mahesa.

"Hem, tak usah merendah, Mahesa. Kalau kau cuma belajar pada guru silat kampungan mengapa kau membawa-bawa pedang segala?" ujar Raden Mas Ekawira seraya melirik ke punggung si pemuda di belakang mana tersembul gagang sebuah pedang berwarna merah dan berumbai-rumbai. "Baiklah kalau kau tak mau menerangkan siapa gurumu," kata Ekawira tak hendak mendesak. 'Tapi katakanlah, apakah kedatanganmu ke Banten ini disertai maksud yang baik?"

"Justru aku datang ke sini adalah untuk menghambakan diri, Raden Mas. Kudengar terlalu banyak penyusuppenyusup Pajajaran yang menimbulkan huru-hara di Kotaraja ini."

"Bagus sekali, Mahesa!" kata Raden Mas Ekawira dengan gembira. "Memang orang-orang macam kau inilah yang sangat dibutuhkan oleh Banten. Dengar Mahesa, aku baru saja diangkat menjadi Kepala Pengawal Istana oleh Sultan! Secara jujur dan terus terang kukatakan pangkat tinggi itu kudapat adalah berkat bantuanmu. Di samping itu aku maklum pula bahwa kau berilmu tinggi yang mungkin lebih tinggi dariku. Kalau kau suka, aku tidak ragu-ragu untuk mengambilmu jadi pembantuku, Mahesa Kelud!"

"Terima kasih, Raden Mas. Kalau tawaran itu memang diajukan dengan hati jujur dan kepercayaan, saya bersedia menerimanya dan sekali lagi saya menghaturkan terima kasih," jawab Mahesa Kelud.

Saat itu lewatlah seorang berpakaian bagus. Raden Mas Ekawira berpaling. Yang datang ternyata adalah Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara Banten. "Eh, Dimas Ekawira. Kukira siapa. Hem, Dimas aku turut mengucapkan selamat atas pengangkatanmu menjadi Kepala Pengawal istana. Tak kusangka di antara kepala prajuritku ada seseorang yang berkepandaian demikian tingginya. Agaknya kau memiliki keris pusaka yang ampuh, Dimas?"

Raden Mas Ekawira cepat-cepat menjura karena dia maklum dengan siapa dia berha-dapan. "Terima kasih atas ucapan selamat itu Raden Mas Tirta."

Raden Mas Tirta melirik pada Mahesa Kelud. "Eh, siapakah pemuda ini Dimas, mengapa kau bercakap-cakap dengan pemuda dusun macam beginian?"

"Oh, saya lupa menerangkan. Dia adalah pembantu saya yang barusan saya angkat, Raden Mas."

"Hemmm... pembantumu?" desis Raden Mas Tirta seraya meneliti Mahesa Kelud dengan pandangan mengejek. Yang dipandang cuma senyum-senyum saja namun kedua matanya memandang dengan menyorot tajam pada Kepala Balatentara Banten itu. Ketika Raden Mas Tirta menatap ke mata pemuda ini, dia membuang muka dengan sikap mencemooh padahal hatinya tergetar dan sesuatu hal yang tidak dapat dimengerti membuat dia tak sanggup balas menatap tantangan mata Mahesa itu!

Raden Mas Tirta berpaling pada Ekawira, "Baiklah Dimas, dalam kedudukanmu yang baru ini kau akan banyak berhubungan denganku. Mudahmudahan kita bisa bekerja sama dalam pengabdian kita kepada kerajaan."

"Mudah-mudahan, Raden Mas." "Nah, aku pergi sekarang." "Baik Raden Mas."

Sesudah Kepala Balatentara Banten itu berlalu maka Ekawira menepuk bahu Mahesa Kelud. "Dimas, marilah. Sultan telah memberikan tempat kediaman baru untukku. Kebetulan aku memang belum beristeri sehingga kita bisa tinggal sama-sama di sana."

"Terima kasih. Kau baik hati sekali Raden Mas."

DELAPAN

SESUNGGUHNYA keadaan bisa membuat sifat manusia yang baik menjadi buruk dan yang tadinya buruk menjadi baik. Misalnya seseorang yang tadinya miskin. Dalam kemiskinan dan penuh duka derita kehidupannya dia lebih dekat kepada Tuhan. Taat beribadat, suka menolong sesama manusia, tinggi budi rendah hati. Tapi ketika dia menjadi seorang kaya raya, berharta banyak dan ber-pangkat tinggi, lupalah dia bahwa dulunya dia seorang miskin sengsara. Kehidupan yang mewah menutup matanya terhadap segala kebaikan. Kalau waktu miskin dulu dia tidak kenal dengan segala macam minuman keras, maka kini dia sangat gemar dengan minuman macam begituan, kalau selagi hidup sengsara dulu dia tidak kenal perjudian, maka kini dia setelah kaya raya dan berpangkat, judi macam mana yang tidak diketahuinya? Kalau dulu isterinya cuma satu dan dia tidak kenal paras yang cantik jelita atau tubuh yang indah menggiurkan, maka kini gundik-selir peliharaannya bertebaran di mana-mana, hampir tidak terhitung jumlahnya. Terhadap orang miskin tidak memandang sebelah mata, lupa dia bahwa dulu dia juga manusia macam begituan. Tak ada lagi sifat hati welas asih dan penolong! Meski harta sudah banyak, pangkat sudah tinggi tapi dia selalu digerayangi setan dengki dan nafsu tamak bila melihat seorang lain hidup senang dan menduduki pangkat yang tinggi pula! Perumpamaan di atas itu rupanya benar terjadi atas diri Tirta, yang sudah hampir setahun lamanya mendapat gelar Raden Mas dan mendapat pangkat tinggi sebagai Kepala Bala tentara Banten. Sikap dan sifatnya jauh berbeda dari dahulu, laksana siang dengan malam laksana putih di atas hitam!

Sesudah pertemuan dengan Raden Mas Ekawira serta Mahesa Kelud tadi, dia langsung menuju ke tempat kediamannya. Kedatangan-nya disambut oleh isterinya yang pertama yaitu Ratnawati. Kalau kita katakan isteri pertama, maka berarti ada pula yang kedua dan ketiganya! Memang demikianlah adanya! Ternyata pangkat yang tinggi dan harta yang melimpah telah pula membuat Tirta menjadi seorang laki-laki mata keranjang doyan perempuan! Isteri sahnya ada tiga, tapi selir atau gundiknya ada lima. Kedelapan perempuan yang rata-rata masih muda belia belasan tahun itu tinggal serumah, diberi kamar dan perlengkapannya masing-masing! Jumlah delapan itu baru yang kita ketahui dengan jelas saja, jadi belum terhitung perempuan-perempuan yang menjadi peliharaannya yang kabarnya tersebar di setiap kampung yang ada di Banten!

Melihat tampangnya yang asam, seperti cuka, melihat kerut muka yang seperti parutan tahulah para isteri dan gundik-gundiknya bahwa ada sesuatu kejadian yang tidak menyenangkan hati Raden Mas Tirta. Kalau sudah begitu di antara perempuan-perempuan itu tidak ada yang berani mendekat kecuali sang isteri pertama Ratnawati! Perempuan ini pada takut karena kalau sedang marah-marah sikap Raden Mas Tirta kasarnya bukan main. Dari mulutnya menyemprot kata-kata kasar dan kotor bahkan tak jarang pula dia melekatkan kaki tangannya!

"Kangmas, agaknya ada sesuatu yang terjadi?" tanya Ratnawati.

"Ah, kalian orang-orang perempuan jangan ikut campur urusanku! Pergi sana, tak usah menggangguku!" kata Raden Mas Tirta kasar dan keras.

Ratnawati tersenyum simpul. Dia sudah biasa dengan semprotan macam begituan. "Aih, kangmas Tirta. Kau ini bicara seperti aku dan yang lainlainnya itu bukan isteri-isteri kangmas saja. Katakanlah ada apa, kangmas?" tanya Ratnawati dengan manja dan lemah lembut seraya mencium pipi suaminya. Kalau sudah begini agak dingin hati Raden Mas Tirta sedikit. Namun suaranya tetap keras ketika berkata: "Sialan Sultan Hasanuddin itu!"

"Sialan bagaimana, kangmas?" tanya Ratna-wati.

"Coba kau pikir, masakan seorang kepala prajurit rendahan karena membunuh seekor kerbau gila mengamuk saja diangkat menjadi Kepala Pengawal Istana! Sialan tidak?!"

"Siapakah kepala prajurit yang kejatuhan bintang terang itu, kangmas?" tanya Ratnawati pula.

"Si keparat Ekawira! Malahan dia dapat gelar Raden Mas pula! Kunyuk benar!" "Hemmm..." gumam Ratnawati sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Memang tidak pantas kalau prajurit rendah macam dia diangkat untuk jabatan yang demikian tingginya. Tapi yah, apa mau dikata? Sultan berhak menjalankan apa maunya. Lagi pula kangmas, menurut isterimu yang bodoh ini kurasa itu tidak akan memberi pengaruh yang buruk bagimu. Sebagai Kepala Balatentara Banten bukankah dia berada di bawahmu?"

"Benar, tapi aku tetap tidak senang dia menduduki jabatan itu! Biar aku jadi Kepala Balatentara namun dalam segala urusan mengenai istana, aku harus berhubungan dengan dia, harus berunding, tak dapat lagi mengambil keputusan sendiri!"

"Itu memang betul, kangmas. Tapi kita lihat sajalah. Manusia macam Ekawira itu mana becus memegang jabatan sedemikian tingginya. Dalam waktu satu minggu saja dia pasti akan digeser atau diperhentikan!" membujuk Ratnawati.

Hati Raden Mas Tirta agak terhibur sedikit mendengar kata-kata isterinya itu. "Dan kau tahu, Ratna," kata laki-laki itu pula, "Mentangmentang sudah berpangkat tinggi kini, si Ekawira itu mengangkat seorang pembantu! Seorang pemuda dusun yang tolol! Dasar, begitulah kalau orang goblok berpangkat tinggi, pembantunya pun dari kalangan tolol! Mereka seharusnya jadi penggembalapenggembala kerbau atau tukang bersihkan kandang kuda istana!"

Ratnawati tertawa cekikikan mendengar ucapan suaminya itu, tapi tertawa yang cuma dibuat-buat. Saat itu muncul seorang pengawal.

"Keparat!" maki Raden Mas Tirta. "Ada apa kau tidak dipanggil datang menghadap?"

"Maaf Raden Mas. Tapi di luar ada seorang tamu yang hendak bertemu dengan Raden Mas. Dia mengaku bernama Jaka Luwak."

Kalau saja pengawal itu tidak menyebutkan nama Jaka Luwak cepatcepat tentu pipinya sudah kena tamparan Raden Mas Tirta. Siapakah gerangan manusia bernama Jaka Luwak yang begitu memberi pengaruh kepada sang Kepala Balatentara Banten ini? Jaka Luwak adalah saudara atau tepatnya kakak seperguruan dari Tirta. "Hem... Jaka Luwak katamu? Kalau begitu suruh dia masuk, langsung

antarkan kepadaku! Cepat!"

"Kangmas, siapakah orang yang bernama Jaka Luwak itu?" tanya Ratnawati.

Raden Mas Tirta tertawa bergelak. "Dia adalah kakak seperguruanku, Ratna. Ilmunya lebih tinggi dan lebih lihay dariku! Kalau dia mau kusuruh menetap di sini, dia bisa diharapkan menjadi pembantu dan tulang punggungku!"

Tak lama kemudian dengan diantar oleh pengawal tadi maka masuklah seorang pemuda berkulit kuning berbadan tegap dan bertam-pang keren. Dia memelihara kumis kecil yang menambah kegagahan parasnya.

"Kakang Jaka Luwak, silahkan duduk. Tak sangka kau akan datang menemuiku. Bagai-mana kabar guru?" tanya Raden Mas Tirta.

Pemuda bernama Jaka Luwak itu berdiri dengan bertolak pinggang. Dia melirik pada Ratnawati, dua isteri lainnya dan gundik-gundik adik seperguruannya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan main dimas, kau sudah hebat sekali rupanya, sehingga tidak mau melihat kami saudarasaudaramu di gunung Gede. Kalau aku bertemu denganmu di tengah jalan dalam pakaian kebesaran ini, pasti aku tak akan mengenalimu! Tentang guru, beliau ada baik. Beliaulah yang menyuruh aku datang ke sini untuk rnendampingimu."

"Bagus dan syukur kakang Jaka Luwak. Memang seorang yang berilmu tinggi sepertimu sangat dibutuhkan di Banten ini!"

Jaka Luwak mengambil tempat duduk di hadapan adik seperguruannya. Raden Mas Tirta berpaling pada Ratnawati dan berkata: "Ratna, kau dan yang lainlainnya segera siapkan makan siang! Aku akan makan sama-sama kakak seperguruanku ini!" Beberapa orang gundik Raden Mas Tirta melirik genit pada pemuda yang baru datang dan bertampang gagah itu. Sedang Jaka Luwak sendiri tengah memperhati-kan Ratnawati karena memang perempuan inilah yang paling cantik daripada yang lain-lainnya.

Jaka Luwak berpaling kepada adik seperguruannya lalu berkata: "Dimas, waktu aku ke sini aku membawa seorang tawanan."

"Seorang tawanan?" tanya Raden Mas Tirta seraya mengerutkan keningnya.

Jaka Luwak mengangguk. "Aku berada di pinggir kotaraja tengah berlari menuju ke sini. Tiba-tiba kulihat seorang pemuda berlari cepat. Sikap dan tampangnya mencurigakan. Kukejar dia dan kutegur. Eh, tak hujan tak angin tahu-tahu dia menyerangku. Aku segera turun tangan dan merobohkannya dalam dua jurus. Kutotok urat kakinya agar tidak lari lalu kupaksa dia untuk memberi keterangan. Ternyata dia seorang mata-mata Pajajaran dan mengaku bernama Ismaya. Dia juga mengakui bahwa dialah yang telah melempar kerbau Pangeran dengan sebutir batu yang dibubuhi obat perangsang sehingga binatang itu menjadi gila dan mengamuk! Bangsat Pajajaran itu ada di luar sekarang."

"Sebaiknya bawa dia ke sini, kakang," kata Raden Mas Tirta. Dia menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar keterangan Jaka Luwak tadi bahwa kakak seperguruannya ini telah menawan seorang mata-mata Pajajaran. Jaka Luwak berdiri dan keluar. Tak lama kemudian dia masuk lagi dengan menyeret sesosok tubuh pemuda yang mukanya babak belur bekas pukulan. Pemuda ini dihempaskan ke lantai.

"Kakang, tolong kau lepaskan totokannya," kata Raden Mas Tirta.

Jaka Luwak memandang dengan tak mengerti pada Kepala Balatentara Banten itu namun tanpa banyak tanya dia segera melepaskan totokan tawanan itu.

"Namamu Ismaya?" tanya Raden Mas Tirta.

Tawanan itu mengangguk dan duduk men-jelepok di lantai.

"Kau mata-mata Pajajaran?!" "Betul!" jawab Ismaya tanpa ragu-ragu ataupun takut.

"Kau tahu apa artinya kalau dirimu ditawan seperti saat ini?!" tanya Raden Mas Tirta.

"Mengapa tidak? Tapi aku tidak takut! Kalau orang-orang Banten hendak membunuhku, hendak menggaritung atau mencincang ataupun hendak membakarku hidup-hidup aku tidak takut! Aku akan mati tapi puluhan mata-mata Pajajaran masih banyak bertebaran di sini dan ratusan lagi akan terus menyusup sampai akhirnya Banten sama rata dengan tanah! Aku tidak takut mati karena Sang Prabu telah memberikan hadiah yang tiada ternilai bagiku dan jaminan kehidupan untuk tujuh turunanku! Salah satu di antara hadiah yang aku terima dari Sang Prabu adalah keris...." Dari balik pinggangnya Ismaya mengeluarkan sebuah keris yang keseluruhan-nya terbuat dari emas murni, gagangnya berbentuk kepala burung garuda yang pada kedua matanya dihiasi dengan butiran berlian sebesar jagung!

Jaka Luwak dan Raden Mas Tirta kagum bukan main melihat keris yang indah itu. Saat itu terdengar pula suara Ismaya kembali: "Saudarasaudara, kalian berdua tentunya orangorang berkepandaian tingi. Orang-orang semacam kalian sangat dibutuhkan oleh Sang Prabu. Kalau. "

"Tutup mulutmu keparat!" bentak Jaka Luwak. Tapi kembali pemuda ini jadi terheran-heran ketika dilihatnya adik seperguruannya melambaikan tangan dan berkata: "Biarkan saja dia bicara terus kakang." "Orang-orang semacam kalian," meneruskan Ismaya. "sangat dibutuhkan oleh Sang Prabu. Kalau kalian mau berpihak kepada Pajajaran dan membantu Pajajaran dalam menghancur-kan Banten, pasti kalian akan dihadiahi harta benda dan kekayaan serta jaminan hidup yang jauh lebih besar serta mewah dariku. Ini bukan omong kosong belaka mengingat Pajajaran jauh lebih kaya dari Banten."

Seperti yang sudah diterangkan sebelumnya sejak dia menjabat pangkat Kepala Balatentara Banten maka Raden Mas Tirta telah menjadi buruk dan jahat, busuk dan iri hati, tamak serta loba gila harta dan wanita! Di samping itu dia juga cerdik sekali. Mendengar keterangan mata-mata Pajajaran itu diam-diam di hatinya timbullah maksud untuk mengeduk keuntungan yang sebesar-besarnya.

"Hmm... Ismaya," gumam Raden Mas Tirta. "Apakah kau masih ingin hidup?" "Sernua orang ingin hidup. Bahkan mayat-mayat dalam kuburpun akan berkata demikian, kalau saja mereka

bisa bicara," jawab Ismaya.

Raden Mas Tirta memencongkan mulutnya dan mendengus. "Dengar Ismaya. Dari Sultan Banten aku sudah menerima kemewahan hidup dan berbagai hadiah yang tiada ternilai harganya. Jika hari ini kau kulepaskan dan kau kembali ke Pajajaran untuk memberikan laporan kepada Rajamu maka katakanlah kepadanya bahwa aku, Kepala Balatentara Banten akan bersedia membantunya dengan diam-diam asal kepadaku kelak akan dijanjikan kedudukan sebagai Patih Pajajaran!"

"Ah, kalau cuma pangkat itu yang Raden Mas kehendaki dari Sang Prabu Pajajaran, soal mudah, Raden Mas. Keinginanmu pasti terkabul!" sahut Ismaya.

"Bagus, aku menjadi Patih Pajajaran dan Banten ada di bawah kekuasaanku," menambahkan Raden Mas Tirta.

"Mudah, itu soal mudah. Aku akan sampaikan kepada Sang Prabu," meyakinkan Ismaya.

"Nah, kau kulepaskan sekarang. Tapi keris emas itu tinggalkan di sini sebagai jaminan."

"Dengan senang hati Raden Mas. Dan saya menghaturkan terima kasih karena Raden Mas telah melepaskan dan memperlakukan saya dengan baik." Matamata Pajajaran itu menjura lalu memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.

Demikianlah, Raden Mas Tirta, Kepala Balatentara Banten itu telah menentukan dirinya sebagai pengkhianat besar, sebagai musuh dalam selimut. Ini lain tidak disebabkan karena nafsu tamaknya, gila terhadap harta dan pangkat tinggi sehingga lupa kalau bukan karena Sultan Banten tidak akan mungkin dia mendapat ke-dudukan empuk dan terhormat seperti saat itu, dan ini pun masih kurang pula baginya!

SEMBILAN

MALAM itu di tempat kediaman Raden Mas Tirta diadakan pesta. Suatu pesta malam yang tidak mengundang siapa-siapa. Pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangan kakak seperguruannya dan kedua sebagai upacara selamat atas dimulainya persekutuannya dengan Raja Pajajaran di mana dia pasti akan dijadikan Patih! Bergelas-gelas minuman keras masuk ke perut Raden Mas Tirta sampai akhirnya Kepala Balatentara Banten itu menjadi mabuk dan terkapar tak sadarkan diri di atas kursi besar di ruang tengah. Jaka Luwak hanya tersenyum-senyum saja melihat adik seperguruannya yang gila pangkat itu. Sekali-kali mata pemuda ini melirik ke pintu-pintu kamar yang berleret-leret di sebelah sana. Saat itu telah larut tengah malam dan para isteri serta gundik Raden Mas Tirta sudah tertidur di masing-masing kamar mereka. Jaka Luwak memandang pada adik seperguruannya sejurus lalu berdiri mendekati laki-iaki itu dan menotoknya pada dada kanan. Totokan ini akan cukup membuat Raden Mas Tirta yang tak sadarkan diri itu untuk berada terus dalam keadaan seperti itu selama beberapa jam. Kemudian Jaka Luwak melangkah ke pintu kamar di ujung kiri. Dia tahu inilah kamar Ratnawati karena tadi dilihatnya perempuan itu masuk ke sini dan tak keluar-keluar lagi. Dia mengetuk, tidak keras tapi cukup jelas terdengar oleh orang yang berada di dalam.

"Siapa?" terdengar suara bertanya. Suara Ratnawati.

"Aku, dik Ratna," sahut Jaka Luwak. Suaranya bergetar karena disertai dengan tenaga dalam untuk mempengaruhi perempuan cantik muda belia itu.

Ratnawati yang terbaring di atas tempat tidur merasakan dadanya berdebar. Sejak pertemuannya pertama kali dengan kakak seperguruan suaminya itu dia memang sudah tertarik karena secara kenyataan Jaka Luwak jauh lebih gagah dari Tirta dan kulitnya kuning bersih pula. Sambil memegangi pakaian tidurnya yang terbuka lebar di bagian dada, Ratnawati turun dari atas tempat tidur. Dirapikannya dulu letak rambutnya di muka kaca rias lalu dia melangkah ke pintu. Pintu terbuka sedikit dan perempuan itu memunculkan parasnya yang jelita. "Ada apa, Kakang Jaka?"

Mau tak mau Jaka Luwak menjadi gugup melihat paras cantik tersebut yang berada sangat dekat dengan kepalanya sehingga dia dapat merasakan hembusan nafas harurn Ratnawati. Dari celah daun pintu jelas dilihatnya bahwa Ratnawati saat itu hanya memakai baju tidur yang tipis sehingga samarsamar dibawah sorotan lampu terang di ruang tengah dapat terlihat kulit tubuhnya yang putih mulus. Ini menambah rangsangan yang ada di diri Jaka Luwak. Darah panas pemuda ini mengalir cepat-cepat

"Maafkan kalau aku mengganggu tidurmu, dik Ratna. "

"Oh, tak apa Kakang Jaka, saya memang belum tidur. Ada apakah? Mana kangmas Tirta?" tanya Ratnawati pula.

"Itulah Dik Ratna," sahut Jaka Luwak seraya menuding ke ruang tengah. "Dimas Tirta terlalu banyak minum sehingga mabuk dan tak sadarkan diri. Kini terbaring di kursi besar sana. Apakah perlu kutolong bopong ke kamar ini?"

"Ah, tidak usahlah," jawab Ratnawati. "Siapa yang sudi tidur dengan suami bau minuman seperti dia." Jaka Luwak tersenyum. Memang dia sudah duga bahwa perempuan Itu akan menjawab demikian. "Apakah dimas Tirta sering dan suka mabuk-mabuk seperti saat ini?" tanyanya.

"Sering sekali. Dulunya dia tak pernah menyentuh minuman macam begituan tapi sekarang sudah demikian candunya."

Jaka Luwak menggeteng-gelengkan kepalanya Dia memancing: "Dik Ratna rnungkin kau sudah mau tidur. Biar aku mengundurkan diri" saja. "

Semalaman ini tak bisa mataku dipejamkan. Dari tadi aku cuma berbaring saja. Kurasa ada baiknya kalau kita bercakap-cakap di dalam. Sebagai seorang ahli silat yang kepandaiannya lebih tinggi dari kangmas Tirta sendiri tentu kau banyak pengalaman dan kisah-kisah luar biasa."

"Ah, aku cuma orang gunung biasa saja, Dik Ratna," jawab Jaka Luwak. Hatinya gembira sekali mendengar ajakan itu. Tapi Jaka Luwak yang cerdik ini tidak segera memperlihatkan rasa girangnya itu. "Dik Ratna, kalau kita bicara di dalam sana, bagaimana jika diketahui isteri-isteri dan selir dimas Tirta nanti?"

"Mereka sudah pada tidur semua. Kalaupun ada yang tahu mereka tidak akan berani meng-adu. Lagi pula apa yang harus ditakutkan? Bukankah kita cuma bicara-bicara saja?" Perempuan itu tersenyum. Senyum manis yang membuat dada Jaka Luwak semakin menggelora. Ketika Ratnawati membuka daun pintu lebih lebar tanpa ragu-ragu dia segera masuk. Pintu ditutupkan kembali. Kamar itu berbau harum semerbak. Di kamar ini terdapat sebuah meja yang dikelilingi oleh sebuah kursi panjang dan dua buah kursi kecil. Jaka Luwak sengaja duduk di kursi yang panjang. Dan hati pemuda ini semakin bergetar, darahnya semakin panas merangsang ketika Ratnawati dengan beraninya mengambil tempat duduk pula di sudut yang lain dari kursi panjang. Karena perempuan ini memakai baju tidur yang tipis sehingga dalam jarak dekat seperti itu Jaka Luwak dapat melihat pakaian dalamnya yang berwarna merah jambu.

"Kakang Jaka Luwak, harap dimaafkan kalau saya menerimamu dengan pakaian tidur seperti ini," kata Ratnawati seraya melontarkan satu lirikan tajam kegenitan.

"Sayalah yang salah karena bertamu waktu orang hendak tidur!" jawab Jaka Luwak seakan-akan menyesali diri.

'Tapi tak apa-apa, bukankah saya yang mengundangmu masuk ke sini?" dan kedua orang itu sama-sama tertawa. Jaka Luwak kemudian bercerita tentang kehidupan di Gunung Gede selama dia menuntut berbagai ilmu kepada gurunya Ki Balangnipa. "Tentang pengalaman, aku masih belum ada Dik Ratna, karena aku baru saja turun gunung dan langsung disuruh guru kemari," kata Jaka Luwak mengakhiri ceritanya. Kemudian dia bertanya: "Sudah berapa lamakah kau berumah tangga dengan dimas Tirta, dik Ratna?" "Belum ada satu tahun Kakang

Jaka."

"Kalau begitu masih belum mendapatkan anak?"

"Sampai sekarang belum," jawab Ratnawati seraya mengusap perutnya dengan tangan kiri. Tapi karena tangan kirinya itu tadi dipakai untuk memegang pakaiannya di atas dada maka kini belahan pakaiannya jadi terbuka dan kelihatanlah dadanya yang putih membusung. Untuk sejurus lamanya Jaka Luwak terpesona oleh keindahan yang baru pertama kali dilihatnya itu. Kedua pipi Ratnawati kelihatan memerah. Perempuan ini cepat-cepat mempergunakan tangan kanannya untuk menutup kembali pakaiannya yang terbuka.

"Dik Ratna," kata Jaka Luwak pula. "Hidupmu dengan dimas Tirta tentu bahagia sekali bukan?" "Ya, apalah arti kebahagiaan seorang isteri orang berpangkat yang dimadu, kakang Jaka?" ujar perempuan itu.

Tapi dimas Tirta tentu sangat sayang kepadamu."

Isteri Raden Mas Tirta menganggukkan kepala. "Namun terus terang saja, saya tidak mencintainya, kakang Jaka."

Jaka Luwak menjadi heran mendengar ucapan itu. Keningnya berkerut. "Ah, aku benar-benar tidak mengerti dik Ratna. Kalau kau tidak cinta, mengapa bersuamikan dia?"

"Soalnya terpaksa, kakang Jaka." "Terpaksa bagaimana?"

"Dulunya saya seorang anak petani di desa Mantrinan, tak jauh dari tepi timur kotaraja. Suatu hari Raden Mas Tirta datang ke sana untuk melihatlihat dan mengatur pertahanan Banten terhadap serangan-serangan orang-orang Pajajaran dan bertemu dengan saya yang kebetulan hendak mengantarkan nasi untuk ayah di sawah. Sehari sesudah itu maka datanglah utusan Raden Mas Tirta menemui ayah. Utusan ini datang untuk melamar saya dan membawa barangbarang yang banyak tiada terkira. Saya tidak cinta kepadanya karena saya sudah maklum bagaimana cara hidup pembesar berpangkat tinggi macam dia. Tapi siapa yang berani menolak lamaran itu? Kalau ditolak, salah-salah bisa membawa kesulitan. Tak ada jalan lain bagi ayah ibu dan juga saya sendiri dari pada menerima lamaran."

"Hem... begitu?" desis Jaka Luwak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Orang tuamu sekarang di mana?"

"Tetap tinggal di desa. Tapi kehidupan mereka sudah dijamin oleh kerajaan. Sudah dibikinkan rumah bagus dan segala keperluan hidup tinggal tahu ada."

"Nah, orang tuamu bahagia, kaupun hidup mewah di sini, apalagi?"

"Hidup mewah belum tentu berarti bahagia, kakang Jaka," jawab Ratnawati. "Bagaimana akan bahagia kalau suami tukang mabuk seperti itu dan kita tidak  pula  cinta  kepadanya. "

"Ya, memang dapat dimaklumi," kata Jaka Luwak.

"Oh, tidak kakang Jaka Luwak.

Aneh, memang.

"Kau sendiri apakah juga doyan minum, kakang Jaka?" tanya Ratnawati.

"Kalau aku doyan minum tentu aku sudah terkapar pula di kursi seperti suamimu," sahut Jaka Luwak.

"Syukurlah, aku memang tidak suka pada orang peminum!"

"Kalau begitu rupanya kau suka padaku karena aku tidak senang minuman keras?" tanya Jaka Luwak bergurau. "Kakang ini pandai menggoda," kata Ratnawati dengan paras merah dan tersipu-sipu. Tapi dalam hatinya perempuan muda ini tidak dapat berdusta bahwa dia memang menyukai pemuda gagah itu.

"Dik Ratna malam sudah larut. "

"Dan kalau sudah larut memangnya kenapa?" tanya Ratnawati dengan manja seraya senyum genit.

Berdebar dada Jaka Luwak dan dia menggeser duduknya. Dengan beraninya dipegangnya tangan Ratnawati lalu berkata: "Malam telah larut dan kau harus tidur sedang aku harus meninggalkan tempat ini, bukankah demikian?"

"Kakang Jaka, mengapa terburuburu benar? Saya sungguhsungguh belum mengantuk," Jawab perempuan itu seraya mempermain kan jari-jari tangan si pemuda yang membuatnya semakin menggelora.

"Kau cantik sekali, Ratna," bisik Jaka Luwak seraya membelai pipi perempuan itu.

Ratnawati menundukkan kepala. "Aduh, jangan menggoda kakang Jaka. Kau tahu, di antara isteri-isteri dan para selir kangmas Tirta akulah yang paling jelek!"

"Hemmm... malahan sebaliknya, Ratna. Kau yang kulihat paling cantik, paling jelita. " Air muka Ratnawati kemerahmerahan. "Benarkah itu, kakang Jaka?"

"Mengapa tidak?" sahut Jaka Luwak seraya memegang dagu perempuan itu dan mengangkat kepalanya. Ratnawati tersenyum kepadanya dan memejamkan kedua matanya. Senyum dan pejaman mata yang mengundang. Dengan penuh nafsu Jaka Luwak menarik tubuh perempuan itu lalu dipeluknya erat-erat.

"Kakang Jaka, kaupun pemuda paling gagah yang pernah kutemui..." bisik Ratnawati lirih. Jaka Luwak memeluk tubuh yang indah lembut itu lebih erat. Ciumannya menjalar mulai dari pangkal leher sampai ke seluruh muka Ratnawati dan diakhiri dengan pertemuan sepasang bibir mereka penuh kehangatan. Karena saat itu Ratnawati melingkarkan kedua tangannya ke leher si pemuda maka pakaian tidurnya jadi terbuka lepas. Dada dan perut Ratnawati kelihatan dengan jelas. Berkobar birahi Jaka Luwak,nafsunya menggelora dan kedua tangannya itu menggerayang ke setiap pelosok tubuh mulus tersebut. Ratnawati merintih halus kegelian.

"Ratna... aku... aku suka sekali padamu. Aku senang padamu..." bisik Jaka Luwak. Pikirannya membumbung laksana sudah berada di kayangan saja saat itu. "Hanya suka dan senang saja, kakang Jaka?" bisik Ratnawati pula.

"Tidak... tidak hanya itu manisku. Aku juga... aku juga cinta padamu."

"Oh, kakang Jaka. Inilah yang aku harap-harapkan selama ini. "

Ratnawati menyelinapkan kepala ke dada pemuda itu. Tiba-tiba Jaka Luwak berdiri. Nafas pemuda itu sudah memburu.

"Ada apa, kakang Jaka?" tanya Ratnawati.

Pemuda itu tidak menjawab melainkan menggerakkan kedua tangannya dan tahu-tahu tubuh perempuan itu sudah ada di dalam dukungannya. "Kakang Jaka kau ini... kukira ada apa berdiri dengan tiba-tiba," kata Ratnawati tersenyum mesra dan memandang dengan kedua bola matanya yang mulai menguyu tanda nafsu juga telah membakar dirinya. "Kau kuat sekali bisa mendukungku. Tapi kakang, kau mau bawa aku ke mana?"

Jaka Luwak tersenyum. Hidungnya kembang kempis. Dia melangkah membawa Ratnawati ke atas tempat tidur.

"Kakang Jaka, kau ternyata nakaL Aku masih belum mengantuk. Mengapa dibawa ke tempat tidur?" ujar Ratnawati sambil mencubit lengan Jaka Luwak. "Kakang Jaka aku...." Isteri pertama Kepala Balatentara Banten itu tak dapat meneruskan ucapannya karena saat itu bibirnya telah ditindih bibir Jaka Luwak. Penuh nafsu perempuan yang memang jarang dijamah oleh suaminya itu pejamkan kedua matanya. Lalu dirasakannya tubuhnya dibaringkan di atas tempat tidur. Lalu terasa jarijari tangan Jaka Luwak membuka pakaiannya.

Malam itu pengkhianatan telah dilakukan oleh kakak seperguruan Raden Mas Tirta. Sang istri telah berbuat serong. Apapun alasannya dosa besar ini kelak akan mendapat ganjaran sangat pedih dari Yang Maha Kuasa.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar