Serial Jaka Sembung Eps 15 : Raja Sihir Dari Kolepom

1

Hujan gerimis sudah mulai mereda, tinggal kecil dan jarang. sebentar lagi tentu akan berhenti. Di Timur, sinar matahari mulai menerobos awan, mengusir dingin. Angin laut berhembus perlahan, seakan-akan sedang membelai Kepulauan Aru dan segenap isinya, baik benda hidup maupun benda mati. Terasa benar angin itu membawa kesejukan, yang bukan saja dapat menciptakan kenyamanan tetapi juga kedamaian. Pepohonan dan dedaunan hijau tampak me-lambailambai seperti sedang menari riang gembira.

Akan tetapi tak lama berselang, matahari yang tadi sempat tersembul, kini tertutup lagi oleh awan, seolah-olah seorang gadis cantik yang sengaja menyembunyikan wajah lantaran merasa malu. Dan tiupan angin yang tadi semilir, sekarang berubah jadi, kencang sekali, sehingga tidak mungkin lagi dinilai sebagai suatu salam kedamaian, melainkan terjangan dahsyat yang ingin merobohkan pepohonan dan apa saja yang dilewati.

Benar saja, beberapa pohon tumbang, ter-kapar di bumi seperti prajurit perang yang tewas diterjang senjata musuh. Keadaan itu layaknya bisikan naluri alam, bahwa di jagat raya ini tidak hanya kedamaian yang ada, tetapi juga ketegangan atau permusuhan. Saling mengaku kekuatan, saling berlomba memenuhi ambisi. Tidak perduli benar atau salah seolah-olah tiada batas lagi antara yang baik dan benar. Langit pun menangis disertai raungan petir sambung menyambung.

Tampaknya demikianlah adanya suasana di Kepulauan Aru sekarang ini. Kepulauan yang tadinya aman tenteram itu kini dilanda kepanikan dan permusuhan dua kelompok, yang senantiasa menganggap dirinya benar atau paling tidak selalu menilai dirinya tak patut disalahkan.

Di Kepulauan tersebut sudah lama berdiri sebuah kerajaan yang sebetulnya hanyalah ter-diri satu kelompok suku yang dipimpin seorang Kepala Suku. Kelompok suku itu terdiri dari beberapa puluh kepala keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan, yang sekelilingnya dipagar tinggi yang semua ujungnya dibuat runcing, sehingga tidak akan mudah bagi musuh untuk menyelusup ke dalam tanpa diketahui. Apalagi karena di empat sudutnya dibuat pula semacam menara pengawas, yang selalu dijaga oleh seorang laskar secara bergiliran pula.

Di bagian tengah kerajaan itu, dibangunlah sebuah istana yang jauh lebih besar dan megah dibandingkan rumah penduduk. Sekelilingnya pun dijaga ketat oleh puluhan laskar pilihan, ditambah penjaga di dalam istana yang tentu saja terdiri dari penduduk yang lebih kuat lagi. Untuk masuk atau ke luar pemukiman itu, dibuatlah sebuah gerbang berukuran sekitar empat meter yang juga tak pernah ditinggalkan laskar yang ditugasi untuk itu.

Pemimpin kerajaan itu disebut Kepala Suku, bukannya raja seperti sebutan di masa-masa yang lebih modern kemudian. Akan tetapi kedudukan maupun kekuasaannya sama seperti raja. Setiap kata yang terlempar dari bibirnya merupakan titah yang tidak boleh dibantah oleh siapapun, sehingga lebih tepat barangkali kalau dikatakan sebagai ultimatum.

Demikian mutlaknya kekuasaan Kepala Suku, sehingga haruslah dipilih yang paling arif bijaksana. Sebab kalau tidak demikian, kiranya kerajaan yang dipimpinnya akan cepat hancur, karena kekuasaannya yang boleh dikatakan tiada batas itu. Beruntunglah penduduk Pulau Aru sebab Kepala Suku mereka sekarang adalah seorang yang arif bijaksana. Tegas bahkan keras, namun selalu bersikap adil dan jujur. Tidak segan-segan menjatuhkan hukuman berat, tetapi sangat mencintai rakyatnya. Meskipun ia tahu kekuasaannya mutlak, ia tak pernah mau betindak sendiri. Selalu terlebih dulu meminta pertimbangan atau saran-saran dari para penasehatnya. Dengan demikian, semua keputusan yang ditetapkannya boleh dikatakan semata-mata adalah kehendak rakyatnya sendiri.

Nama Kepala Suku itu adalah Pampani, ka-kak ipar Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet. Dahulu, Karta bersama tiga orang sahabatnya yakni suami istri Umang dan Mirah serta si Kaki Tunggal Baureksa terdampar di Kepulauan Aru, sedangkan sahabat mereka Parmin si Jaka Sembung sampai sekarang belum mereka ketahui di mana berada.

Sewaktu terdampar di pulau itulah Karta berkenalan dengan Nomina, adik kandung Pampani. Nomina yang cantik jelita itu ternyata jatuh cinta kepada Karta dan karena suatu hal yang tak dapat dielakkan lagi, maka keduanya kemudian menikah. Walaupun sebetulnya Karta sudah mempunyai istri yakni Ranti, yang ditinggalkannya di Pulau Jawa. Pasangan suami istri itu sekarang sudah dikaruniai seorang putra, sehat dan kuat serta lincah sehingga sangat disukai penduduk di kerajaan tersebut.

Boleh dikatakan, hampir semua penduduk sangat menyukai Pampani. Tindak tanduknya hampir tak bercela sedikitpun jua. Demikian pula halnya Nomina, istri Karta selalu menunjukkan budi pekerti yang patut dicontoh.

Akan tetapi kedamaian yang tercipta lewat tangan Pampani yang arif bijaksana itu tidak terlalu lama dapat dirasakan penduduk. Itu karena di Pulau Aru telah muncul seorang tokoh sesat yang sangat berambisi jadi penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya, menumbangkan kekuasaan Pampani. Namanya Wan-Da-I, yang sebetulnya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Pampani.

Ayah Wan-Da-I adalah adik kandung ayah Pampani. Tetapi tokoh sesat itu adalah anak haram, sehingga kedudukannya tidaklah dapat diakui. Ayah Wan-Da-I semasa hidupnya jahat bukan main, tidak segan-segan membunuh atau menyiksa siapa saja yang dianggap berani menentangnya. Ilmunya pun sangat tinggi, sehingga sangatlah sukar mencari tandingannya. Ia dijuluki Iblis Pulau Aru! Nama sebenarnya adalah Maleang Pangaru, tetapi sejak sepak terjangnya yang sangat kejam serta sadis seolah-olah membuat orang lupa akan nama itu, selain julukan Iblis Pulau Aru. Sebuah julukan yang bukan saja menyeramkan, tetapi juga bisa membuat bulu roma merinding.

Ada satu keistimewaan tokoh sesat ini, yakni setiap muncul di muka umum, ia selalu mengenakan semacam topeng ikan hiu. Mukanya ditutupi bagian kepala ikan, sedangkan bagian tubuh serta ekor ikan yang terkenal ganas itu memanjang sampai ke lutut kakinya, melalui punggung. Hal itu membuat wajahnya yang menyeramkan hampir tak pernah bisa dilihat orang banyak. Sedangkan matanya yang selalu mencorong tajam dan dingin, menyambar melalui bagian mata ikan hiu yang sengaja dilobangi sedemikian rupa sehingga ia bebas melihat ke mana saja seperti layaknya orang biasa. Selain Iblis Pulau Aru, Maleang Pangaru pun dijuluki pula si Manusia Hiu.

Dalam pertarungan melawan pihak Pampani beberapa waktu lalu, tokoh sesat itu bersama seorang tokoh lainnya yang bernama Pendeta Naomi yang juga tak kalah jahatnya, tewas terjatuh ke dalam jurang.

Beberapa hari lalu, muncul seorang laki-laki bertopeng ikan hiu dan sempat merampas putra Karta yang masih bayi. Maka gemparlah kerajaan tersebut. Tokoh sesat Iblis Pulau Aru yang diyakini telah tewas itu, dikira hidup kembali. Mereka tidak tahu bahwa lelaki yang muncul itu adalah Wan-Da-I sendiri, yang sengaja menyamar untuk melumpuhkan dan membikin kacau suasana di istana. Kalau suku yang dipimpin Pampani percaya Iblis Pulau Aru dan nenek sihir Pendeta Naomi sudah hidup kembali, mereka tentu akan ketakutan. Dengan demikian, akan mudah bagi Wan-Da-I melumpuhkan kekuatan mereka.

Dalam melaksanakan segala niatnya itu, WanDa-I dibantu seorang raja sihir dari Pulau Kolepom bernama Womere. Tokoh sesat yang selalu mengenakan jubah serba hitam ini memiliki berbagai ilmu hitam yang sangat tangguh, sehingga bisa menguasai pikiran seseorang dan memerintahnya untuk melakukan apa saja pun sesuai kehendaknya.

Sekarang kedua tokoh sesat itu sedang berbincang-bincang di ruangan rahasia di bawah tanah. Keduanya sedang asyik membicarakan tentang rencana mereka selanjutnya. Wan-Da-I masih mengenakan topeng ikan hiunya dan bicaranya tampak sangat bersemangat.

"Bagaimana rencana kita. Apakah sudah beres?" "Semuanya sudah dipersiapkan, Tuan. Barang-

barang itu telah diangkut ke tempat yang kita rencanakan semula."

"Bagus! Lalu bagaimana dengan Pendekar Bumerang Wori? Apa kita sudah bisa memakai dia?"

"Siap, Tuan! Saya sudah membuktikannya sendiri. Ia bahkan hampir membunuh ketiga kawannya sendiri. Suatu jaminan yang tak perlu diragukan lagi." "Ha-ha-ha!" Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak se-

hingga topeng ikannya bergoyang-goyang, "Bagus! Bagus! Berarti langkah-langkah selanjutnya sudah bisa kita laksanakan secepat mungkin."

"Tentu, Tuan!"

"Jika barang-barang itu telah sampai ke tangan pemiliknya, kita akan langsung menerima tukarannya sesuai keinginan kita. Dan benda-benda ajaib itu pasti akan menggegerkan seluruh Kepulauan Aru, bagai dentuman halilintar atau kutukan Dewa dari langit. Aku akan menjadi penguasa di Pulau Trangan dan sekitarnya tanpa seorang pun dapat mencegahnya."

"Saya turut bergembira, Tuan!"

"Bagus! Sekarang aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Tolong antarkan aku ke sana!"

Womere mengangguk sambil tersenyum. Karena gigi-giginya besar dan bibirnya pun tebal hitam, senyuman itu tampak lebih mirip seringai buas, bagaikan harimau lapar siap menerkam mangsa. Ia membentangkan kedua tangan mempersilahkan Wan-Da-I melangkah.

"Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu sekarang!"

Sambil manggut-manggut penuh kegembiraan, putra Iblis Pulau Aru itu melangkah diikuti oleh Womere serta beberapa penjaga yang tampak tak berani memandang majikan mereka karena sangat segan dan takut.

Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam ruangan khusus tempat Wori ditidurkan di dalam sebuah peti bulat. Panjangnya sekitar tiga meter dan bagian luarnya penuh ukiran dengan warna warni kontras. Ukiran itu sebetulnya cukup indah, tetapi karena kombinasi warnanya yang sangat kontras menimbulkan kesan agak menyeramkan, Seolah-olah peti itu adalah tempat iblis bersembunyi.

Wan-Da-I mengamati peti itu beberapa saat, lalu sambil menatap Womere, ia berkata:

"Aku ingin mencoba berbicara dengan Wori. Buka peti itu!"

"Silahkan, Tuanku! Dia sedang menunggu!" ujar Womere sambil memberi isyarat agar pengawal membuka peti mati itu. Ketika sudah dibuka dua pengawal, Womere mengangguk seraya tersenyum ke arah WanDa-I.

"Cobalah Tuan berbicara padanya! Semua-nya sudah berjalan dengan lancar!"

"Baik!" sahut Wan-Da-I sambil mengarah-kan pandangan matanya ke wajah Wori.

"Hai, Wori! Apakah kau dengar suaraku? Cobalah kau katakan siapa aku. Kau pasti kenal dengan suaraku. Jawablah!"

Tubuh Wori yang tadinya terbujur kaku di dalam peti mati dengan kedua tangan dilipatkan di dada, kini mulai tampak bergerak perlahan-lahan. Kelopak matanya terbuka dan menatap si Manusia Hiu dengan sayu. Lalu bibirnya yang tampak kaku itu mengeluarkan kata-kata sahutan:

"Tentu. Aku kenal siapa Tuan. Aku siap melaksanakan segala perintah Tuan. Apapun yang akan terjadi, aku sanggup melaksanakan. Sekarang, besok, lusa atau kapan saja!"

"Bagus, Wori! Kau betul-betul seorang panglima yang setia. Aku percaya sepenuhnya padamu!" kata Wan-Da-I dengan gembira. Benar juga rupanya ucapan si Raja Sihir dari Kolepom Womere itu. Wori benarbenar sudah bisa dikuasai dan dapat diperintah melakukan apa saja dan kapan saja tanpa dapat membantah. Wori, lelaki bertubuh raksasa yang dijuluki Pendekar Bumerang itu sebenarnya adalah sahabat baik Pampani maupun Karta. Bertahun-tahun ia hidup bersama di lingkungan Kerajaan Pampani. Ia adalah penduduk Benua Kanguru yang sekarang bernama Australia. Sama seperti penduduk pribumi di sana, ia pun sangat mahir menggunakan senjata bumerang, yakni semacam senjata yang bentuknya seperti bulan sabit dengan kedua ujungnya yang sangat runcing dan tajam. Senjata itu disambitkan dengan kecepatan kilat dan jika tidak mengenai sasaran, akan kembali melayang kepada pemiliknya.

Pada suatu hari, dalam petualangannya untuk memperdalam ilmunya yang kelak diharap-kan dapat digunakan untuk mengusir kaum penjajah Inggris dari negerinya, ia sampai ke Kepulauan Aru, lalu menjalin persahabatan dengan Pampani serta para pendekar Pulau Jawa.

Siapa tahu, ketika sedang menyusup ke dalam bangunan bawah tanah yang menjadi mar-kas WanDa-I, ia terjebak. Wori tidak dibunuh, bahkan sengaja dibiarkan hidup dengan tenang. Tetapi berkat kehebatan ilmu sihir Womere, lelaki perkasa dan memiliki tenaga yang sangat kuat itu berubah seperti binatang jinak atau bahkan seperti boneka. Pikirannya telah dikuasai Womere, sehingga bisa diperintah sesuka hatinya. Demikian hebat dan jahatnya ilmu sihir Womere, sehingga beberapa waktu lalu, Wori hampir saja membunuh Pampani serta sahabat-sahabatnya yang lain.

Sewaktu bertarung menghadapi Pendekar Bumerang itu, si Gila dari Muara Bondet ter-cebur ke dalam laut. Si Kaki Tunggal berusaha mencarinya. Ia menyelusuri pinggir pantai dan sesekali turun ke laut, namun tubuh Karta telah lenyap bagaikan ditelan bumi.

Sampai sekarang, si Kaki Tunggal masih terus mencari Karta. Akan tetapi setelah hampir seharian melakukan pencarian namun tetap tidak berhasil, Baureksa akhirnya menjadi putus asa. Ia berdiri menatap hamparan laut yang terbentang di hadapannya. Rasanya tiada lagi harapan baginya untuk bisa menemukan Karta. Bahkan rasanya mustahil pula pendekar itu masih bisa menyelamatkan diri setelah begitu lama berada di dalam laut. Si Kaki Tunggal Baureksa kemudian duduk lesu di pinggir pantai. Tongkatnya yang pangkalnya bercagak dibiarkan menyentuh air laut, seolah-olah dengan berbuat demikian ia ingin menyatakan kepedihan hatinya mengingat nasib Karta.

Lamunan si Kaki Tunggal tiba-tiba buyar, dan ia menjadi tersentak mendengar suara gemerciknya gelombang laut yang tiba-tiba kacau. Ia segera berdiri dan memusatkan perhatian. Melihat gerakan air itu, yakinlah dirinya bahwa di dalamnya sedang bergerak sebuah makhluk besar. Mungkin ikan, atau siapa tahu adalah Karta sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara berteriak dan muncullah sesosok mahluk aneh di hadapan Baureksa. Pendekar Kaki Tunggal sempat melangkah mundur karena sangat terkejut. Di-kucek matanya beberapa kali seolah-olah tak percaya akan penglihatannya sendiri, namun pemandangan di depannya tetap tidak berubah sedikit pun.

Mahkluk itu bertubuh manusia biasa dan hanya ditutupi sejenis celana dalam menutupi kemaluannya. Di kedua tangannya terdapat gelang dari akar-akar pohon seperti yang biasa dipakai suku di Pulau Aru. Akan tetapi wajahnya yang luar biasa dengan hidung yang panjang sekali melengkung ke atas. Rambutnya tidak ada sama sekali dengan kulit yang sama dengan wajah, bergaris-garis hitam dan berlobang-lobang. Seumur hidup si Kaki Tunggal belum pernah melihat mahluk seperti itu, sehingga timbullah dugaannya bahwa itu adalah Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut.

Dugaan si Kaki Tunggal adalah makhluk itu memiliki kesaktian luar biasa serta suka memangsa orang. Siapa tahu kemunculannya sekarang adalah karena sudah sangat lapar lalu ingin melahap siapa saja yang ditemukannya. Maka si Kaki Tunggal pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tongkatnya disilangkan di dada dan sepasang matanya mencorong tajam.

Akan tetapi makhluk itu tampak tenang-tenang saja. Ia kemudian tampak seperti hendak mencopot kepalanya. Si Kaki Tunggal kembali berseru kaget. Ternyata yang berdiri di hadapannya adalah Bungoru sendiri. Hidung panjang melengkung serta kulit hitam bergaris-garis itu hanyalah sebuah topeng atau barangkali alat untuk menyelam, si Kaki Tunggal belum bisa memastikan.

Bungoru adalah pengawal Pampani yang selain sangat setia juga memiliki kesaktian yang cukup tinggi, terutama karena tenaganya seperti gajah. Hal itu karena ia memang memiliki tubuh tinggi besar bagaikan raksasa dan sejak kecil sudah terbiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat serta rajin pula berlatih silat. Di kerajaan yang dipimpin Pampani, tak seorang pun yang mampu mengimbangi kekuatan Bungoru selain Wori sendiri.

"Mungkin sesuatu yang sangat tak diinginkan telah terjadi terhadap diri Karta," kata Bungoru sambil mempermainkan alat selamnya yang ajaib.

"Oh, jadi kau pun mencarinya?"

"Menyesal sekali aku tidak berhasil menemukan saudara kita itu. Hampir semalam suntuk aku menyelam di laut mencarinya atas perintah Pampani. Heran, entah ke mana tubuhnya lenyap. Padahal biasanya kalau ada yang tenggelam, dalam beberapa jam saja sudah bisa kutemukan."

Si Kaki Tunggal yang tadi sempat kaget bagaikan orang melihat setan di siang bolong, kini menjadi tertawa geli.

"He-he-he. Tapi ngomong-ngomong aku menjadi geli. Ada-ada saja kau, Bungoru. Pakai apa sih itu? Bikin orang jadi kaget saja. Tadinya kukira kau adalah Raja Kodok yang baru muncul dari dasar laut mencari mangsa."

Bungoru pun tertawa tergelak-gelak, terutama karena tadi dia sempat memperhatikan Baureksa mundur beberapa langkah dan langsung memasang kuda-kuda. Tetapi ia pun menjadi maklum, sebab sahabatnya itu tentu belum pernah melihat alat menyelam hasil ciptaannya yang sederhana namun sangat bermanfaat.

"Heh, Kaki Tunggal! Dengarkan baik-baik. Tanpa alat ini, aku takkan mungkin dapat menyelam semalam suntuk. Pipa hawa ini dapat ditarik panjang sampai ke permukaan air, Dengan demikian, aku tetap dapat menghirup udara walaupun sedang di dalam air."

"Wan, sialan! Tetapi hebat betul alat menyelam mu itu. Ternyata biar tubuhmu gendut bagaikan gajah, otakmu cerdik juga. Rasanya aku ingin mencoba alat ajaib itu."

"Ah, sudahlah saudara Kaki Tunggal! Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita sudah berusaha mati-matian mencari saudara Karta, tetapi hasilnya nihil. Aku jadi malu pada diriku sendiri, hampir semalam suntuk mencarinya namun tak berhasil."

"Sudahlah, Bungoru! Kita tak perlu terlalu berkecil hati. Mungkin sudah takdirnya harus begitu. Walaupun begitu, kita doakan saja se-moga saudara Karta masih selamat. Memang melihat keadaannya, tipis sekali harapan bahwa dia masih hidup. Tetapi nyawa manusia ada di tangan Tuhan. Sebaiknya kita pulang saja dulu ke istana. Biar aku nanti yang menjelaskan semuanya."

Apa yang diucapkan si Kaki Tunggal memang ada juga benarnya. Dalam hidup ini banyak sekali kejadian yang sangat di luar dugaan dan perkiraan. Seperti kata pepatah, sebelum ajal berpantang mati, maka demikian pula halnya dengan Karta.

Setelah beberapa jam dihanyutkan gelombang laut dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuh Karta akhirnya terdampar pada tepi pantai laut. Rambutnya yang panjang jatuh terurai di atas tanah. Ia tergeletak dengan posisi tertelungkup, di mana sebatas pinggang sampai ke kaki masih terbenam dalam air.

Entah berapa lama pendekar gagah perkasa itu tergeletak dalam keadaan seperti itu, tak seorang pun tahu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan ia merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Dadanya pun mulai turun naik, walaupun belum teratur tetapi telah menunjukkan bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba membuka kelopak matanya dan baru beberapa saat kemudian bisa melihat keadaan di sekelilingnya dengan pandangan kabur.

Ternyata sekarang ia sedang berada di dalam sebuah gua, entah di pantai sebelah mana ia sekarang berada belum bisa diketahuinya, sebab tempat itu terasa masih sangat asing baginya. Sekilas pandang saja, ia sudah yakin bahwa selama ini belum pernah menginjakkan kaki di sana. Ia pun bertanya-tanya, siapa gerangan yang membawanya ke tempat itu. Bisa jadi ada yang menyeretnya atau hanya kebetulan saja terdampar sewaktu dirinya masih tak sadarkan diri.

Lama Karta berpikir-pikir sebelum tiba-tiba ia menyadari bahwa tubuhnya terasa sudah lebih segar dibandingkan pada saat ia tercebur ke laut karena diserang Wori secara mendadak. Perlahan-lahan ia bangkit dan yang pertama-tama dilakukannya adalah meraba-raba dinding batu cadas di tempat itu. Siapa tahu ada kunci rahasianya! Tetapi tampaknya tidak ada sama sekali, sehingga makin kuatlah dugaannya bahwa terowongan itu adalah buatan alam. Mungkin karena arus air laut yang deras memukul-mukul sepanjang hari, tebing cadas itu akhirnya berlobang membentuk terowongan.

Walaupun demikian, Karta tidak mau bertindak sembrono. Sewaktu melangkah menyusuri terowongan itu, ia tetap berhati-hati dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Kenyataan yang di hadapinya selama berada di Kepulauan Aru adalah banyak sekali jebakan-jebakan yang sangat sukar ditebak sebelumnya.

Sekitar lima meter kemudian, Karta menemukan banyak sekali tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia. Agaknya itu berasal dari dasar laut bekas keganasan ikan-ikan hiu, yang kemudian terseret arus ke dalam terowongan itu. Sadarlah Karta bahwa selama berada di laut, ia sebenarnya terancam maut dan rasanya hanya karena pertolongan Tuhan-lah makanya dirinya selamat.

2

Malam sudah tiba, ibukota Pulau Trangan tampak sunyi senyap. Semua penduduknya sudah tertidur pulas, atau kalaupun masih ada yang terjaga, mungkin hanya beberapa orang saja. Di sebelah Selatan perkampungan penduduk tampaklah sebuah lembah di kaki bukit-bukit.

Di lembah itu banyak tumbuh pepohonan liar besar dan rimbun. Jarang ada penduduk yang berani mendatangi lembah itu, karena selain hampir tak ada yang bisa diambil dari sana kecuali kayu bakar juga dipercaya penduduk bahwa di situ ada makhluk halus yang suka mengganggu. Itulah sebabnya sampai saat itu tidak ada persawahan maupun kebun di sana, walaupun tanahnya sebetulnya sangat subur.

Jika siang hari saja penduduk sudah tak berani, malam harinya pun tentu tambah takut lagi. Di tempat itulah dulunya tokoh sesat atau si Nenek Sihir Pendeta Naomi tewas. Itu sebabnya sebagian besar penduduk menduga, roh jahat yang suka mengganggu itu adalah arwah nenek tua itu sendiri.

Akan tetapi sekarang, di tengah malam yang sunyi senyap dan menyeramkan itu, tampak sesosok tubuh melangkah menyusuri lembah. Mungkinkah itu roh halus yang dipercaya penduduk sangat suka menggoda? Tidak! Dia adalah manusia biasa, seorang laki-laki yang masih tergolong muda. Usianya paling sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya yang hanya ditutupi selembar kain penutup aurat itu tampak tidak terlalu gemuk, namun tetap tegar penuh otot, pertanda dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat.

Sepasang matanya dengan alis mata tebal dan hitam tampak mencorong tajam di kegelapan malam, tak ubahnya mata seekor kucing, jarang sekali berkedip. Tulang pipinya menonjol, pertanda bahwa dia yang keras hati dan memiliki sifat kejam. Rambutnya yang keriting dan hitam diikat dengan selembar kain yang diberi beberapa buah perhiasan mutiara hingga tampak berkilauan di timpa sinar rembulan yang redup.

Laki-laki yang tak lain tak bukan adalah: WanDa-I itu melangkah menghampiri dua kuburan dan setelah dekat, ia segera berlutut memberikan hormat. Wajahnya yang tadi tampak bengis kini berubah jadi muram, seperti langit yang disapu mendung. Perlahanlahan meluncurlah kata-kata dari mulutnya yang selama ini lebih banyak terkatup mencerminkan keangkuhan dan kelicikan.

"Aku tahu ayah sangat mencintai ibu. Oleh karena itu aku telah memindahkan kuburanmu ke lembah ini."

Sejenak putra Maleang Pangaru itu diam sembari menyeka air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Kepalanya tertunduk pilu, tetapi kemudian diangkat tegak lurus kembali.

"Memang sebaiknya tempat ayah di sini, daripada harus dikubur dalam makam pengasingan oleh Pampani si keparat itu."

Lalu wajah itu kembali tampak beringas. Sepasang matanya mendorong, merah bagaikan memancarkan api. Kedua tangannya dibuka lebar-lebar dan diangkat tinggi-tinggi hingga melewati kepalanya.

"Tetapi ayah dan ibu tidak perlu mati pena-saran! Masih ada aku anakmu yang akan menuntut balas. Tak seorang pun bisa merenggut nyawaku. Aku bisa hidup seribu kali. Akan ku-hancurkan si Pampani keparat itu bersama anak buahnya. Akan kuhancurkan. Itu sumpahku, biarlah arwah ayah dan ibu yang menjadi saksi!"

Kemudian Wan-Da-I tertawa tergelak-gelak menyeramkan, sehingga bergema ke seluruh lembah itu. Seandainya ada orang lain yang mendengarnya tentu akan mengira suara itu adalah ketawa iblis sehingga akan menggigil ketakutan.

"Ha-ha-ha! Akan kumusnahkan mereka semua!"

Saat itulah si Raja Sihir Womere muncul sambil membawa topeng ikan hiu. Dengan gerakan yang sangat ringan hingga hampir tak menimbulkan suara, ia sudah meloncat dan berada beberapa langkah di belakang Wan-Da-I.

"Ingat, Tuanku! Tuan masih dalam penyamaran. Tuan tampaknya lupa memakai topeng ikan hiu ini untuk mengelabui musuh. Ingat Tuanku! Ini sudah merupakan sebagian dari rencana kita!"

"Oh, kau Womere!"

"Pakailah terus sampai mereka patah semangat karena gentar. Makin sering melihat kau memakai topeng ini, mereka pasti akan percaya bahwa Iblis Pulau Aru dan Pendeta Naomi telah hidup kembali!"

"Terima kasih, Womere! Kau telah mengingatkan aku!" Tanpa banyak bicara lagi, Wan-Da-I segera mengenakan topeng ikan hiu itu.

"Sekarang marilah kita menemui Wori! Pengawal Tuan yang setia itu telah siap menjalankan perintah selanjutnya!"

Wan-Da-I mengangguk-angguk, lalu mengikuti langkah Womere meninggalkan lembah itu. Tampaknya laki-laki itu sangat patuh kepada Womere. Hal itu tidaklah mengherankan, karena sebetulnya orang yang paling diandalkan dan dipercayainya adalah si Ahli Sihir tersebut.

Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang sejak tadi telah mengintip segala apa yang terjadi di lembah itu. Mata itu sempat terbelalak saking kaget mendengar kata-kata yang terucap dari bibir Wan-Da-

I. Keduanya adalah si Kaki Tunggal dan Bungoru sendiri, ketika hendak pulang tadi merasa curiga mendengar suara langkah di sekitar lembah itu, lalu mengintip dari balik pepohonan.

"Hmhhh! Baru terbuka kedoknya! Maleang Pangaru dan Naomi memang sudah benar-benar mampus," bisik si Kaki Tunggal. "Ya, tapi aku heran mengapa Wan-Da-I masih hidup?"

"Mungkin hari itu nyawanya belum mau meninggalkan raga. Sst, Bungoru! Mereka sudah dekat, kita cepat! Siap?"

"Siap!"

Kedua pendekar itu segera meloncat dari tempat persembunyiannya dan langsung menghadang WanDa-I dan Womere. Kedua tokoh sesat yang sama sekali tidak menduga hal itu menjadi terkejut dan serentak menghentikan langkah.

"Jangan lari, iblis-iblis tengik! Sekarang kedok kalian sudah terbuka dan karena kalian bermaksud meruntuhkan pemerintahan Pampani, maka malam ini juga kalian berdua harus mampus di tangan kami!" bentak si Kaki Tunggal sambil mengayun-ayunkan tongkatnya, sehingga terdengar menimbulkan angin pukulan yang dahsyat.

"He-he-he! Kalian berdua memang benar-benar iblis yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini," sambut Bungoru dan sambil mengeluarkan bentakan keras, ia menerjang Womere.

Kedua tangan Bungoru menyambar mencengkeram ke arah leher Womere dan ternyata biarpun bertubuh raksasa, gerakannya sangat cepat, sehingga lawannya tampak tersentak kaget. Womere berusaha menunduk, namun sudah terlambat karena kedua tangan Bungoru telah mencekik lehernya.

"Ekh!" Womere berseru tertahan sambil berusaha melepaskan cekikan lawan. Namun tangan yang mencekik itu seperti jepitan baja saja. Makin ia meronta, jepitan itu terasa makin kuat, sehingga nafasnya terasa hendak putus.

"Hihhh! Enyah kau tukang sihir dari Pulau Kolepom!" bentak Bungoru sambil mendorong tubuh lawan hingga terjatuh. Tubuhnya yang sebesar kerbau itu kemudian menindih Womere sementara cekikan lengannya pun tidak di-lepaskan, sehingga membuat lawan tampak semakin tak berdaya.

"Aaaaaak!" Womere menjerit panjang dengan mata mendelik. Kepalanya pun terkulai dan tidak bergerak-gerak lagi.

Nasib si Topeng Ikan Hiu lebih mengerikan lagi. Setelah berhasil mengelakkan sambaran tongkat si Kaki Tunggal, ia terdesak oleh serangan-serangan yang sangat cepat dan kuat serta mengandung maut. Jurusjurus ilmu tongkat si Kaki Tunggal memang luar biasa, biarpun kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut, namun gerakannya sangat cepat, sehingga tubuhnya tampak hanya bayang-bayang saja. Senjata tongkat di tangannya juga tampak seolah-olah berubah jadi banyak sekali, mengincar tubuh lawan dari segala penjuru.

Agaknya kedua pendekar sahabat Pampani itu sudah menyadari bahwa lawan yang sedang dihadapi memiliki kesaktian yang tinggi, se-hingga mereka segera mengeluarkan jurus-jurus maut mereka. Ternyata dalam waktu singkat keduanya segera dapat mendesak lawan. Belum sampai sepuluh jurus, ujung tongkat si Kaki Tunggal menyambar dahsyat ke arah jantung Wan-Da-I. Begitu cepatnya serangan si Kaki Tunggal, sehingga si Topeng Ikan Hiu itu tampak tidak sempat mengelak lagi. Dan ujung tongkat itu pun menancap di bagian jantung dan tembus sampai ke punggungnya.

Darah segar tersembur disertai jeritan panjang yang terdengar sampai ke segenap penjuru lembah itu. Si Kaki Tunggal menyeringai, tetapi ia tampak belum puas. Dicabutnya tongkat yang tertancap di tubuh lawan dan ditancapkannya lagi ke bagian-bagian tubuh lainnya sampai beberapa kali. "Orang seperti kau tidak boleh diberi am-pun!" bentaknya geram. Lalu setelah tubuh Wan-Da-I tampak sudah tercabik-cabik, si Kaki Tunggal berkata kepada Bungoru

"Beres, Bungoru! Bagaimana dengan si Tukang Sihir itu!"

Bungoru tertawa kecil dan masih tetap menginjak perut Womere. Ia pun tampak sangat senang dan bangga, karena dalam waktu yang demikian singkatnya dapat membunuh lawan.

"Kepalanya sudah kucopot! Mudah-mudahan tak ada setan gentayangan lagi," katanya. Dan memang kepalanya Womere sudah terpisah dari badan, darah segar masih mengucur deras dari leher yang telah buntung itu. Luar biasa kuatnya tenaga laki-laki bertubuh raksasa itu, hanya dengan sekali cekikan sudah dapat memisahkan kepada dari badan.

"Hei, tentu dia akan jadi setan tanpa kepala nanti," teriak si Kaki Tunggal yang diam-diam merasa agak ngeri juga menyaksikan kesadisan sahabatnya itu.

"Mau jadi setan apa nanti terserah dialah. Sekarang apa yang harus kita lakukan?"

"Sebaiknya kau pulang ke istana membawa bangkai-bangkai ini  kepada  Pampani  dan umumkan bahwa kedua tikus inilah yang selama ini mencoba mengacau. Aku sendiri masih tetap di sini untuk mencari jejak Karta. Siapa tahu dia muncul nanti!"

"Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan membantumu mencari sahabat kita itu. Bagai-manapun juga, kita harus menemukannya, hidup atau mati!"

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari atas puncak bukit cadas. Suaranya keras sekali terbahak-bahak, seakan-akan orang itu sedang menyaksikan sesuatu yang sangat lucu. Akan tetapi si Kaki Tunggal dan Bungoru yang tadi bercakap-cakap  di lembah menjadi kaget dan merasakan bulu kuduk mereka meremang mendengar suara ketawa itu bergema ke segala penjuru, sehingga udara di malam hari itu terasa dipenuhi suara ketawa. Hebatnya lagi, suara itu mendatangkan hawa dingin dan menusuk-nusuk, sehingga jantung seakan-akan hendak berhenti berdetak.

Si Kaki Tunggal dan Bungoru saling pan-dang, seperti dua orang yang baru tersadar dari mimpi buruk. Lalu serentak mereka memandang ke puncak bukit cadas. Nun jauh di puncak itu, di bawah sinar remang-remang rembulan, tampak dua sosok tubuh sedang tertawa yang tak lain tak bukan adalah Wan-Da-I dan Womere sendiri.

"Ha-ha-ha! Kalian benar-benar hebat, sejak tadi bertarung dengan batu-batu cadas. Benar-benar lucu, dua pendekar hebat ternyata hanya berani melawan batu. Luar biasa!" suara dari puncak bukit cadas itu terdengar sangat mengejek, sehingga membuat si Kaki Tunggal dan Bungoru tersentak.

Secara berbarengan mereka melihat ke tanah di hadapan mereka. Tubuh Wan-Da-I maupun Womere yang tadi tergeletak berlumuran darah dalam keadaan tak bernyawa ternyata sudah lenyap. Sebagai gantinya di situ tergeletak atau lebih tepatnya berserakan pecahan-pecahan batu cadas.

Si Kaki Tunggal dan Bungoru boleh merupakan pendekar yang gagah perkasa dan dikagumi banyak orang, bahkan Baureksa sendiri sudah kesohor pula di Pulau Jawa karena kesaktiannya. Namun menghadapi kenyataan seperti itu, tidak urung mereka terkejut juga. Tadi jelas sekali mereka bertarung dengan Wan-DaI serta Womere dan dengan mudah dapat melumpuhkan lawan-lawannya. Tetapi sekarang bagaimana bisa terjadi kedua musuh mereka itu sudah lenyap dan bahkan sedang tertawa-tawa atau mentertawakan mereka dari puncak bukit cadas?

Bungoru lebih cepat dapat mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi, karena sebagai penduduk pribumi, ia segera bisa mengenali ilmu yang dipergunakan lawan.

"Celaka, ternyata mereka telah menggunakan ilmu sihir yang sangat memuakkan itu. Ku-rang ajar! Saudara Kaki Tunggal, hati-hati! Itulah ilmu sihir dari Pulau Kolepom."

"Keparat! Kita serang lagi mereka! Aku tidak takut!" bentak si Kaki Tunggal sambil bersiap-siap menerjang lawan yang kini masih berada di puncak bukit batu cadas.

"Ha-ha-ha!" Womere tertawa lagi, "Kenapa kalian begitu kesal seperti kakek kehilangan tongkat? Hai, Bungoru yang tolol! Sejak kapan kau mimpi bisa mengalahkan aku?"

"Bangsat! Hiyaaaaat!" Bungoru sadar bahwa lawan yang dihadapi kini sangat hebat dan licik. Tetapi bukan Bungoru lagi namanya kalau menghadapi lawan seperti itu sudah gentar. Sejak masa mudanya, ia sudah terbiasa menghadapi lawan-lawan tangguh bahkan sudah sangat sering bercanda dengan maut. Maka ia pun segera berteriak nyaring seraya meloncat menerjang lawan.

Si Kaki Tunggal pun tidak mau. tinggal diam. Ia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi, sehingga tubuhnya melayang bagaikan terbang ke puncak bukit cadas. Tongkatnya diputar cepat sekali untuk melindungi diri kalau lawan menyerang secara tiba-tiba dan sekaligus mempersiapkan serangan mautnya. Ia sekarang sengaja menerjang Womere si Ahli Sihir yang sangat jahat itu.

Setelah berada dalam jarak jangkauan, si Kaki Tunggal mengayunkan tongkatnya dengan gerakan kilat menyambar leher Womere. Tukang sihir itu berseru kaget, lalu buru-buru menundukkan badan sehingga pukulan lawan tidak mengenai sasaran. Akan tetapi Womere kemudian dibuat kaget setengah mati, karena ujung tongkat lawan sudah menyambar turun ke arah ubun-ubunnya. Cepat luar biasa gerakan si Kaki Tunggal dan sangat kuat pula, sehingga lawan yang ilmunya biasa-biasa saja tentu akan tewas oleh serangan itu.

"Akh...!" Womere mengeluarkan seruan kaget lalu meloncat mundur. Akan tetapi ujung tongkat lawan seperti mempunyai mata saja, selalu mengikuti dan mengancam dirinya ke sebelah manapun ia mengelak. Karena puncak bukit cadas itu cukup terjal, akhirnya Womere tidak dapat mundur lagi karena tubuhnya tentu akan menggelinding ke bawah. Tampaknya ia tak menginginkan hal itu, lalu sambil berteriak panjang ia mencelat ke udara dan ketika tubuhnya meluncur turun kedua tangannya memantul ke arah kepala dan ulu hati si Kaki Tunggal.

Serangan si Tukang Sihir itu cukup cepat dan kuat, tetapi si Kaki Tunggal tampak tenang saja, bahkan sempat tersenyum mengejek. Ia sengaja tidak segera mengelak dan barulah ketika tangan lawan hendak menyentuh tubuhnya ia berkelit ke samping. Lalu dengan gerakan kilat ujung tongkatnya menyambar dahsyat ke arah ulu hati Womere.

"Blesss! Augh!"

Tongkat si Kaki Tunggal dengan telak menghunjam di bagian jantung Womere hingga tembus sampai ke punggung, membuat tukang sihir Kolepom itu menjerit kesakitan. Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah dalam keadaan bermandikan darahnya sendiri.

"Mampus kau!" Si Kaki Tunggal memaki geram, mencabut tongkatnya, lalu mengayunkan ke arah leher Womere hingga nyaris putus. Kembali darah segar muncrat membasahi puncak bukit cadas itu.

Begitu pun halnya dengan Bungoru, tanpa perlawanan berarti ia sudah berhasil merobohkan Wan-Da-

I. Dan dengan mengerahkan tenaganya yang sangat besar, ia mencabik-cabik tubuh musuhnya itu sehingga terpisah-pisah menjadi beberapa bagian.

Si Kaki Tunggal sudah hendak berbicara menyatakan kegembiraan hatinya karena berhasil membunuh lawannya. Tetapi tiba-tiba keduanya menyadari bahwa pekerjaan mereka kali ini ternyata sia-sia saja seperti yang pertama tadi. Tubuh Womere dan WanDa-I yang tadi terkapar berlumuran darah, kini sudah menghilang entah ke mana dan di tempat itu telah berserakan pecahan-pecahan batu cadas.

"Astaga! Ke mana mereka? Tidak ada be-kasnya sama sekali!" kata si Kaki Tunggal se-tengah berteriak.

"Sial, kita terkena sihir lagi." gerutu Bungoru ge-

ram.

Kembali terdengar suara tertawa terbahak-bahak

bergema ke seluruh lembah dan puncak bukit cadas itu. Si Kaki Tunggal dan Bungoru serentak berpaling dan tampaklah oleh keduanya Womere dan Wan-Da-I telah berada di puncak bukit cadas yang satu lagi.

"Itu mereka di sana! Sungguh ilmu iblis yang terlalu sukar dikalahkan," kata Bungoru yang tampak mulai cemas tidak akan dapat mengatasi ilmu sihir lawan.

"Jangan putus asa, Bungoru! Ingat, segala yang batil di alas bumi ini pasti dapat dimusnahkan. Mereka toh adalah manusia biasa, seperti kita juga. Mereka tidak akan luput atau bisa melepaskan diri dari ajal," kata si Kaki Tunggal sambil mempersiapkan tongkatnya kembali. "Apa yang akan kau lakukan, saudara Kaki Tunggal?"

Si Kaki Tunggal melirik ke arah jurang yang ada di hadapannya yang merupakan pemisah bukit cadas tempatnya berdiri dengan bukit tempat Womere dan Wan-Da-I. Jurang itu tidak terlalu lebar, tetapi kelihatannya cukup dalam. Sekali loncat saja, orang yang ilmunya tidak terlalu tinggi tentu akan dapat melewati jurang itu, apalagi pendekar seperti si Kaki Tunggal.

"Tenanglah, Bungoru! Aku akan meloncati jurang yang pendek ini, kemudian akan menyerang mereka secara mendadak. Aku sudah mempersiapkan jurus mautku untuk menghajar mereka sekali gebrakan!"

"Tunggu, saudara Kaki Tunggal!" kata Bungoru sambil menarik tangan Baureksa, "Jangan kau lakukan itu! Ini pasti tipuan muslihat sihir lagi. Jangan kau lakukan!"

"Tidak, Bungoru! Aku percaya akan penglihatanku sendiri. Akan kuhajar mereka sampai mampus. Hiyaaat!" Si Kaki Tunggal berteriak nyaring dan bersamaan dengan itu tubuhnya mencelat bagaikan terbang ke bukit cadas tempat Womere dan Wan-Da-I berdiri sambil tertawa mengejek.

Tongkat di tangan Kaki Tunggal diayunkan dengan gerakan kilat menyambar dahsyat ke arah Womere dan Wan-Da-I. Inilah jurus maut yang merupakan salah satu inti ilmu silat tongkat si Kaki Tunggal. Keistimewaan jurus itu selain cepat dan kuat, juga memiliki perkembangan yang sangat tidak terduga-duga dan dapat dilakukan secara beruntun, sehingga dalam waktu yang hampir bersamaan dapat memukul roboh dua orang lawan sekaligus.

"Wuuuuut!" Tongkat itu terus menyambar ke arah lawan. Namun tiba-tiba si Kaki Tunggal tersentak kaget karena tiba-tiba tubuh kedua lawannya sudah lenyap, sehingga tongkatnya hanya memukul angin. Dan lebih kaget lagi dia ketika hendak menginjakkan kakinya di bukit cadas itu, ternyata juga sudah lenyap. Tanpa ampun lagi, tubuh si Kaki Tunggal terhempas jatuh ke dalam jurang.

Tepat seperti yang dikatakan Bungoru tadi, pemandangan yang ada di hadapan mereka hanyalah permainan ilmu sihir lawan, di mana mereka seolaholah melihat kedua lawan sedang berdiri di atas bukit cadas, padahal sebenarnya bukit itu tidak ada.

"Aaaaaa!" Si Kaki Tunggal menjerit panjang ketika menyadari bahwa tubuhnya sudah terhempas jatuh ke jurang di bawah bukit cadas. Ia berusaha mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dengan maksud kalau terhempas nanti tidak akan terlalu kuat. Beruntung sekali dia, karena tubuhnya terhempas tepat ke dasar jurang yang tanahnya merupakan rawa-rawa berlumpur.

Si Kaki Tunggal menjerit, kaget dan girang. Tak disangka dalam keadaan seperti itu dia masih dapat selamat. Ia tidak menderita luka-luka, selain kulit pinggangnya yang terasa agak nyeri karena terbentur lumpur rawa-rawa. Bagi pendekar sakti seperti dia rasa sakit seperti itu tentu tidak ada artinya. Ia segera berusaha melangkah ke luar dari rawa-rawa itu, akan tetapi, ia kembali berseru kaget manakala menyadari semakin banyak bergerak tubuhnya semakin terseret dan terbenam dalam pasir berlumpur.

Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal bergerak dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Namun tetap seperti tadi, setiap menggerakkan tubuhnya, ia semakin tenggelam hingga sekarang pasir berlumpur sudah sampai ke batas lehernya.

"Saudara Kaki Tunggal, jangan bergerak! Pasir berlumpur itu akan semakin menelan tubuhmu bila bergerak. Tenanglah!" teriak Bungoru sambil meluncur turun dari atas puncak bukit. Ia bagaikan pemain ski es saja, meluncur di atas kedua tumit kakinya dengan sangat mengagumkan. Dalam waktu singkat saja, ia sudah berada di tepi rawa-rawa maut itu.

Pada saat itu, dari puncak tebing di sebelah sana terdengar lagi suara tertawa bersorak-sorak mengejek. Siapa lagi kalau bukan si Tukang Sihir Womere dan Wan-Da-I. Mereka geli menyaksikan si Kaki Tunggal mengulurkan tongkatnya kepada Bungoru.

"Sedikit lagi, belum sampai saudara Kaki Tunggal. Perlahan-lahan, jangan sampai membuat gerakan mengejutkan. Ulur lagi " kata Bungoru.

"Ha-ha-ha! Sungguh lucu tingkah mereka, Womere. Aku geli melihatnya," kata Wan-Da-I

"Sudah pasti mereka tidak akan tertolong, Tuanku! Pasir apung itu sangat lembut untuk dipijak. Bagaimana pun tingginya ilmunya, mereka tidak akan bisa selamat dari cengkeraman rawa-rawa itu. Lihat, akan kubikin lebih lucu lagi!"

Setelah berkata begitu, Womere segera merubuhkan bebatuan dari atas puncak tebing dan langsung berhamburan menggelinding ke arah si Kaki Tunggal dan Bungoru.

"Pengawal setia Pampani itu harus ikut ter-cebur ke dalamnya. Biar tahu rasa dia!" teriak tukang sihir itu dengan suara keras mengatasi hiruk pikuknya puluhan bahkan mungkin ratusan bongkah batu yang runtuh.

Hujan batu itu meluncur sangat cepat dan karena jumlahnya banyak sekali, Bungoru tidak sempat mengelak. Tubuhnya terpelanting ketika punggungnya dihantam sebongkah batu yang sebesar rusa dewasa. Laki-laki bertubuh raksasa itu masih mencoba bertahan sambil menghindar ke samping, namun pada saat itu, bongkahan batu lainnya kembali menghantam dadanya.

"Aaaaakh!" Bungoru menjerit panjang. Dadanya terasa nyeri dan tanpa ampun lagi, tubuhnya pun tercebur ke dalam rawa-rawa. Batu-batuan yang menyusul menimpanya membuat tubuhnya cepat terbenam ke dalam pasir berlumpur, sedangkan si Kaki Tunggal yang berada di tengah rawa luput dari hantaman hujan batu itu.

"Awas, Bungoru!" teriak si Kaki Tunggal tanpa sadar. Secara refleks ia hendak meloncat, namun tubuhnya malah tambah terbenam. Untunglah ia segera menyadari bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, sehingga tak berani lagi bergerak.

"Wah, hebat sekali permainanmu. Aku benarbenar puas mempermainkan mereka seperti itu." kata Wan-Da-I sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Tak percuma Tuanku mengundang aku jauhjauh dari Pulau Kolepom. Biarlah mereka merasakan penderitaan yang sangat hebat sebelum tewas. Tapi sayang sekali, kita tidak bisa menyaksikan pemandangan yang sangat menarik ini. Waktu kita sangat mendesak, Tuanku! Sekarang kita harus menemui Wori, karena se-galanya sudah siap. Tak perlu ragu, kedua tikus itu pasti akan mampus di sana!"

"Baiklah kalau begitu, Womere. Bagaimana pun urusan inilah yang paling penting bagi kita."

Kedua makhluk sakti tapi sesat itu berkelebat bagaikan angin, meloncati bukit-bukit dengan sangat ringannya, sehingga dalam sekejap sudah menghilang dalam kegelapan malam.

Melihat kepergian kedua lelaki iblis itu, hati si Kaki Tunggal agak lega. Akan tetapi karena sadar bahwa ia dan Bungoru tidak akan mungkin menyelamatkan diri tanpa bantuan orang lain, maka hatinya pun cemas juga. Bagaimanapun juga, rawa-rawa tersebut memiliki tenaga sedot yang sifatnya sangat lemas, sehingga tidak akan mungkin bisa dilawan. Hal itu kembali menyadarkan si Kaki Tunggal bahwa tenaga lemas sebetulnya jauh lebih berbahaya daripada tenaga yang sifatnya keras. Seandainya tubuh si Kaki Tunggal tertanam di dalam tanah atau bahkan di dalam tembok, besar sekali kemungkinan ia akan dapat menyelamatkan diri. Tetapi sekarang, berada di dalam rawa yang punya daya sedot dahsyat yang sifatnya lunak ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Malahan semakin banyak bergerak, tubuhnya terasa makin tersedot.

Seorang pendekar gagah perkasa seperti si Kaki Tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan dan tidak terhitung lagi entah berapa kali menghadapi atau terancam maut, sebenarnya tidak pernah takut mati. Tetapi kalau caranya sangat konyol seperti itu, diam-diam hatinya bergidik juga. Kalau mampus sewaktu bertarung tentu mempunyai kebanggaan tersendiri, paling tidak akan dianggap tokoh yang bukan pengecut.

Untunglah saat itu terdengar suara derap langkah kaki disertai suara pembicaraan yang] cukup ramai. Si Kaki Tunggal dan Bungoru sangat girang karena rombongan yang baru muncul di tempat itu adalah pasukan laskar yang dipimpin langsung oleh Pampani.

"Tolong keluarkan kami dari lumpur iblis ini!" teriak si Kaki Tunggal. Sikap pendekar itu tampak menggelikan, wajahnya kadang-kadang pucat tetapi sebentar kemudian berubah merah lagi. Hal itu membuat beberapa orang anggota laskar tersenyum tertahan-tahan dan menduga si Kaki Tunggal sangat takut berada di dalam rawa tersebut tetapi juga merasa malu untuk berterus terang. Baru sekarang mereka melihat pendekar yang sangat sakti dan gagah perkasa itu ketakutan!

Pampani segera melemparkan seutas tali ke arah Kaki Tunggal, lalu setelah ujungnya dipegang erat-erat oleh pendekar itu, ia berkata:

"Pegang erat-erat, jangan sampai terlepas. Jangan khawatir, kau pasti selamat!"

Dibantu beberapa orang anak buahnya, Pampani berhasil mengangkat tubuh si Kaki Tunggal dari rawa berlumpur itu. Sedangkan yang lain ramai-ramai pula mengeluarkan tubuh Bungoru yang seperti gajah itu.

"Untunglah kalian segera datang. Kalau tidak "

kata si Kaki Tunggal tanpa meneruskan ucapannya. Sejenak ia melirik rawa berlumpur pasir itu. Seandainya ia dan Bungoru terbenam tadi, tentu tidak akan ada bekasnya dan mereka akan mampus tanpa pernah diketahui di mana berada.

"Aku sengaja membawa laskar kita untuk mencari saudara Karta. Tetapi tadi kami mendengar suara mencurigakan di sekitar tempat ini, sehingga dapat membantu kalian. Aneh, ada apa sebenarnya sampai kalian tercebur ke dalam rawa-rawa itu?"

"Wah, kami baru saja bertemu dengan "

"Ah, tidak!" Si Kaki Tunggal cepat-cepat menyela ucapan Bungoru yang tampaknya sangat bernafsu menceritakan pengalaman mereka tadi. Akan tetapi si Kaki Tunggal segera menyadari bahwa di situ cukup banyak pasukan laskar, karena itu pertemuan mereka dengan Wan-Da-I serta Womere tidak perlu diceritakan. Nanti nyali laskar itu menjadi ciut dan jika itu benar-benar terjadi yang rugi adalah mereka sendiri

"Kami kebetulan saja tergelincir dari atas tebing cadas. Tapi aku sungguh tak menyangka akibatnya seperti ini. Luar biasa, aku merasa seperti orang lumpuh saja." "Syukurlah kalian tidak apa-apa. Lalu bagaimana dengan saudara Karta? Sebaiknya kita mengadakan pencaharian lagi. Laskar yang ada di sini sekarang sengaja kupilih orang-orang yang pintar menyelam. Kita harus bisa menemukannya!"

"Baiklah, Pampani. Tapi bagaimana dengan Bungoru? Tampaknya ia masih tak sadarkan diri dan menderita luka-luka."

"Tidak apa-apa, tak perlu dikhawatirkan. Sebentar lagi dia pasti siuman. Dialah satu-satunya manusia katak yang betah menyelam berjam-jam lamanya."

"Kasihan dia!"

Pampani cuma menghela nafas panjang, lalu menyuruh beberapa anak buahnya merawat Bungoru. Dan kepada yang lainnya, ia berkata dengan suara yang tidak terlalu keras namun penuh wibawa:

"Sekarang kita harus melakukan pencaharian lagi. Saudara Karta jatuh di sekitar tempat ini. Kalau tidak terjadi sesuatu yang luar biasa, tubuhnya pasti masih di sekitar perairan tepi pantai ini!"

Tanpa banyak mengucapkan kata-kata, para laskar itu pun segera terjun ke laut menyelam mencari Karta. Sebagian di antaranya berjaga-jaga di tepi pantai sambil memeriksa keadaan di sekelilingnya siapa tahu dapat menemukan tanda-tanda untuk mempermudah mereka melakukan pencaharian.

3

Sementara itu, si Gila dari Muara Bondet masih duduk termenung di dalam terowongan di pinggir laut. Ia yakin dirinya sekarang sudah sangat jauh dari tempatnya tercebur ke laut. Entah bagaimana sebenarnya ia bisa selamat dan lebih mengherankan lagi, tubuhnya terasa segar kembali. Padahal tadinya ia menderita luka-luka yang sangat parah hingga beberapa kali memuntahkan darah segar. Ia pun menduga air laut di sekitar tempat itu mengandung zat-zat penyembuhan yang mujarab.

Sekarang yang menjadi beban pikirannya adalah bagaimana ke luar dari tempat itu, dan ke arah mana ia harus berenang agar lebih cepat bisa kembali ke istana. Ia teringat tulang belulang dan tengkorak manusia di dalam terowongan, berarti kemungkinan besar terowongan itu tidak jauh dari kandang ikan-ikan hiu. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia segera terjun dan menyelam cepat sekali di dalam laut.

Karena Karta sejak kecil memang sudah sangat pintar berenang, dan sekarang tubuhnya terasa jauh lebih segar, maka tubuhnya pun melesat cepat sekali bagaikan ikan cucut. Hanya dalam waktu singkat, ia sudah berhasil menyelam jauh dari terowongan tadi.

Tiba-tiba telinga Karta yang tajam bagaikan alat pendengaran lintah itu menangkap gerakan-gerakan mencurigakan di atas permukaan laut, seperti gerak benda yang sedang meluncur. Entah benda apa ia sendiri belum bisa menduga. Ketika tubuhnya meluncur makin ke atas, suara itu semakin jelas terdengar olehnya.

Karena ingin tahu benda apa yang mencurigakan hatinya itu, maka Karta pun segera muncul secara perlahan-lahan ke permukaan air laut. Ternyata sebuah perahu! Entah perahu siapa, namun yang pasti bukan perahu penduduk pribumi. Bukankah perahu penduduk Kepulauan Aru biasanya selalu memakai cadik? Tidak seperti perahu yang dilihatnya, selain tak mempunyai cadik, bentuknya juga tampak lebih bagus dan diperlengkapi peralatan yang sangat menarik.

Karta segera menyelam kembali karena tidak ingin kehadirannya diketahui penumpang perahu itu, tetapi diam-diam ia mengikutinya dari jarak yang cukup dekat. Ternyata perahu itu telah merapat di tepi pantai, di bawah tebing-tebing cadas terjal. Karta pun segera timbul ke permukaan di balik bebatuan agak jauh dari perahu itu.

Di kegelapan malam, secara samar-samar Karta dapat melihat penumpang perahu itu. Ternyata hanya dua orang laki-laki berkulit putih. Tentu saja Karta terkejut bukan main. Apa gerangan maksud kedua orang kulit putih itu?

Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, si Gila mengamati kedua laki-laki itu. Salah seorang di antaranya sudah tua, mungkin berusia sekitar enam puluh tahun, dengan kepala kelimis di bagian depan, sedangkan rambut yang tumbuh di belakang kepala sudah memutih dan tumbuh jarang. Tubuhnya gemuk, namun tampak masih sehat dan kuat, terbukti dengan langkah kakinya yang masih cukup cepat dan mantap walaupun di punggungnya tergantung ransel berukuran cukup besar. Laki-laki itu mengenakan kaca mata tetapi hanya di sebelah mata kanan diikatkan dengan rantai halus. Kumis dan janggutnya yang panjang dan agak kurang terurus tampak sudah memutih. Melihat ciri-cirinya dapat diduga ia datang dari negeri Belanda. Lelaki berkulit putih lainnya masih muda belia, paling berusia tiga puluh tahun. Kulitnya putih bersih dan bentuk wajah yang bulat lonjong sehingga tampak sangat tampan. Rambutnya yang pendek disisir rapi dan tubuhnya tegak dan tampak sangat kuat. Sepasang matanya selalu berbinar-binar dan tak hentihentinya melirik ke kiri ke kanan, pertanda lelaki itu memiliki kewaspadaan yang tinggi. Tetapi bisa juga ia seorang lelaki yang sangat sulit percaya kepada orang lain dan memiliki sifat sombong. Di pinggangnya tergantung sebuah pistol dan di punggungnya, di atas ransel ia menyandang sebuah senapan laras panjang.

Kedua lelaki berkulit putih itu sama-sama mengenakan sepatu laras panjang pula, sehingga selalu menimbulkan suara berdetak-detak jika menginjak batu-batu cadas.

Laki-laki tua itu adalah seorang ahli biologi dan ilmu alam bernama Profesor Van Leinen, sedangkan yang muda bernama Simon. Ahli biologi dan ilmu alam itu tampaknya hendak melakukan penyelidikan di sekitar Kepulauan Aru, sedangkan Simon yang gagah tapi terlihat angkuh merupakan pengawal.

"Aku yakin kita mendarat di tempat yang benar," kata Profesor Van Leinen sambil membuka sebuah peta yang tadi dikeluarkan dari saku bajunya.

"Enam setengah derajat lintang Selatan, seratus tiga puluh empat derajat bujur Timur. Cocok pada peta," kata Simon setelah memperhatikan peta itu beberapa saat,

"Bagus! Kita sudah separuh berhasil, Simon. Dunia Barat tentu akan gempar oleh hasil ekspedisi kita. Luar biasa! Nama kita akan terkenal dan dihormati para ahli biologi di seluruh dunia." Sejenak profesor tua itu menghentikan ucapannya sambil melepaskan kegembiraan hatinya dengan tersenyum.

"Menurut kapten kapal sahabatku yang diperkuat pula oleh keterangan nelayan-nelayan pribumi di pulau ini, buruan kita itu berkeliaran di sekitar bukit-bukit itu. Kita tidak mungkin salah lagi."

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang.

Prof?"

"Sekarang adalah waktunya bagi kita untuk istirahat. Kita harus menyusun tenaga untuk memulai pemburuan beberapa hari lagi. Suatu perburuan besar." Kedua orang kulit putih itu melanjutkan perjalanan dengan mendaki lereng-lereng bukit cadas. Simon mengatakan agar mereka secepatnya memilih tempat yang cocok untuk berkemah. Kawan seperjalanannya mengangguk setuju, tetapi tiba-tiba Simon menghentikan langkahnya.

"Tunggu dulu. Prof! Naluriku menyatakan bahwa ada yang mengikuti kita dari belakang."

"Ah, kau Simon! Itu hanya ilusimu saja. Karena kau baru mendarat di sebuah pulau asing, maka selalu mencurigai setiap gemerisik daun-daunan."

"Mungkin juga. Prof!" sahut Simon agak ketus, "Tetapi kau harus mengingat bahwa aku dari pendidikan kepolisian. Firasatku sudah sangat tajam sebagai seorang penyelidik!"

Mendengar itu, diam-diam Karta merasa kagum juga. Betapa tidak, sejak tadi ia sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, namun ternyata laki-laki yang dipanggil Simon itu masih sempat mencurigainya. Kalau tidak memiliki ilmu pendengaran yang sangat tajam, sedikitnya lelaki muda itu pastilah mempunyai naluri yang sangat tajam.

"Jangan bergerak!" Tiba-tiba Simon sudah meloncat berbalik dan langsung menodongkan pistolnya ke arah Karta. "Tetap di tempat dan jangan coba-coba menipu kami!" Nada bicara lelaki itu benar-benar mengancam dan dari sinar matanya yang mencorong tajam dan buas dapat diterka bahwa ia akan betul-betul menembak jika kata-katanya tidak dituruti. Karta tidak berani main-main lagi dan sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

"Lihat, Profesor! Firasatku terbukti, bukan? Penduduk pribumi ini hendak membokong kita. Dia harus kita singkirkan!"

"Simon, jangan!" Profesor Van Leinen berteriak mencegah. Namun sudah terlambat, karena senjata api genggam itu sudah menyalak dan jilatan-jilatan api mendesing ke arah si Gila Dari Muara Bondet.

Karta terkejut bukan main melihat sambaran kilatan api yang mengarah ke tubuhnya. Selama petualangannya di dunia persilatan ia sudah sangat sering menghadapi senjata rahasia lawan. Tetapi peluru senjata Simon tampaknya jauh lebih cepat dan berbahaya lagi. Maka sambil berseru nyaring, ia segera meloncat ke samping. Ia dapat mengelakkan peluru yang dilepas Simon, tetapi tak urung dadanya berdebar juga karena tadi nyaris ia tewas karena senjata lawan.

"Stop! Jangan menembak, Simon!" Kembali Profesor tua itu berteriak mencegah. Tetapi Simon tampak tidak mau perduli lagi. Sebagai seorang yang pernah mengikuti pendidikan kepolisian di negerinya dan sudah sangat mahir menembak, ia penasaran juga melihat lawan bisa menghindar. Hampir tak dipercaya dia bahwa di dunia ini ada orang yang bisa mengelak secepat itu.

"Kali ini tidak akan meleset! Mampus kau, kepa-

rat!"

Kembali terdengar suara tembakan menggelegar

dan beberapa butir peluru akan menyambar tubuh Karta. Namun tak percuma Karta dijuluki si Gila Dari Muara Bondet kalau tidak bisa mengatasi ancaman seperti itu. Setelah berhasil menghindari terjangan peluru lawan, ia meraup segenggam rumput dan dengan mengerahkan segenap tenaga dalam, ia menyambitkan rumput-rumput itu ke arah pistol Simon.

Daun-daun itu meluncur dengan kecepatan luar biasa sehingga tidak tampak oleh Simon maupun Profesor tua. Mereka hanya sempat melihat seberkas kilat di kegelapan malam dan tahu-tahu pistol di tangan Simon sudah terpukul jatuh. "Hah?" Simon berseru kaget. Ia mencoba melihat ke arah mana senjatanya melayang. Namun tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berkelebat dan sebelum menyadari apa yang telah terjadi, di hadapannya telah berdiri Karta sambil menodongkan pistol ke arahnya.

Sungguh luar biasa kecepatan gerak Karta, sehingga Simon dan Profesor Van Leinen tidak sempat melihat bagaimana caranya pendekar itu memukul jatuh senjata itu kemudian menyambarnya. Tadi mata Karta yang tajam bagaikan mata kucing sempat memperhatikan bagaimana cara Simon mempergunakan senjata maut itu, dengan demikian biarpun merasa agak janggal ia sudah bisa menggunakannya.

"Jangan coba-coba melawan atau melarikan diri. Kalau aku mau sekali pukul saja kalian berdua pasti akan tewas. Karena itu sekarang jawab pertanyaanku. Apa maksud kalian datang ke mari, hah?"

"E... eh...!" Simon tergagap dengan wajah pucat dibasahi keringat dingin. Ia sadar sekali peluru senjata itu menyembur, maka nyawanya akan melayang. Tak mungkin ia bisa berbuat atau mengelak seperti halnya Karta.

"Kalau kalian tidak mau menjawab, kupecahkan batok kepala kalian dengan senjata ini. Kalian boleh percaya, boleh tidak. Tetapi jangan menyesal jika aku terlanjut membunuh kalian di sini. Hm, kalian tampaknya memilih diam daripada berterus terang. Baiklah, akan kuhitung sampai tiga dan jika kalian belum juga menjawab jangan harap masih hidup lebih lama lagi. Satu... dua... ti "

"Tunggu!" teriak Profesor Van Leinen dengan wajah pucat pasi, "Jangan tembak kami! Baiklah, kami akan bicara terus terang. Kedatangan kami ke pulau ini sebenarnya adalah untuk menyelidiki tentang adanya manusia kera, yang menurut keterangan hanya muncul di kala terang bulan. Kami sama sekali tidak bermaksud jahat. Harap saudara yang baik hati mau memaafkan kami."

"Jangan coba-coba menipuku!"

"Tidak! Aku Profesor Van Leinen dan ini sahabatku Simon bermaksud menyelidiki manusia yang sewaktu-waktu bisa berubah jadi kera, yang di negeri kami Eropa juga terdapat. Tetapi para Sarjana Eropa saat ini sedang berlomba-lomba menyelidiki kebenaran itu setelah mendapat petunjuk dari buku-buku kuno."

"Baiklah, orang tua seperti engkau tentu tidak akan mau berbohong. Aku percaya pada keterangan kalian. Hanya saja, kalian hanya akan menemui kekecewaan, karena makhluk seperti itu hanya ada satu di kepulauan ini dan itu pun sudah mati kira-kira sebulan yang lalu. Aku sendiri ikut menyaksikannya."

"Ah, tidak mungkin! Makhluk seperti itu tidak mudah mati. Ia bisa menderita luka tapi tidak akan mati, kecuali jika jantungnya ditembak dengan sebutir peluru dari emas murni."

"Baiklah kalau begitu. Karena kalian tidak bermaksud buruk, maka pistol ini kukembalikan dan kita bisa bersahabat. Mari kubantu kalian mendirikan perkemahan."

Karta jelas mempercayai lelaki yang me-ngaku bernama Profesor Van Leinen itu, karena sinar mata dan sikapnya kelihatan benar-benar tulus, bukan seperti si orang muda bernama Simon yang tampaknya angkuh. Ia sebetulnya menyadari bahwa manusia kera yang dimaksud orang kulit putih itu adalah Wan-Dai-I sendiri. Dikatakan bisa berubah sewaktu-waktu menjadi kera sebenarnya tidak demikian hanya karena tokoh sesat itu memang sering mengenakan topeng sehingga mirip kera raksasa.

Namun diam-diam, Karta merasa kagum juga mendengar penuturan profesor tua itu, bahwa si manusia kera hanya bisa mati jika jantungnya ditembak dengan peluru emas murni. Siapa tahu ketika WanDa-I dahulu kala menderita luka-luka sebetulnya belum mati, melainkan hanya menderita luka-luka dan karena jantungnya tidak ditembus peluru emas murni, ia bisa sehat kembali. Dengan demikian, sedikit banyaknya, kedua lelaki berkulit putih itu tentu bisa membantunya nanti melumpuhkan Wan-Da-I.

Menjelang tengah malam, kemah itu pun rampunglah sudah. Profesor tua itu dengan ramah tamah mengajak Karta tidur bersama-sama di dalamnya. Namun dengan halus ditolak oleh si Gila Dari Muara Bondet dan mengatakan bahwa ia sudah terbiasa hidup di alam terbuka.

Saat itulah Simon mengatakan sesuatu yang terasa sangat menyakitkan perasaan Karta.

"Profesor, mengapa engkau selalu membujukbujuknya? Biarkan saja dia tidur di luar," katanya. Agaknya selain karena memiliki sifat congkak, pemuda itu pun masih penasaran akan peristiwa barusan di mana senjatanya dapat direbut Karta dengan gerakan yang sangat cepat.

Karta tidak mau menunjukkan isi hatinya yang jelas tersinggung, melainkan tersenyum dan suaranya masih tetap terdengar dengan nada bersahabat.

"Jangan terlalu menghiraukan diriku. Seperti saya bilang tadi, saya sudah biasa tidur di alam terbuka. Harap Tuan-tuan berdua mau mengerti."

Kemudian Karta tidur di luar, sekitar sepuluh meter dari kemah kedua orang kulit putih itu. Sejenak ia masih kesal mengingat sikap Simon. Sebagai pendatang, pemuda itu seharusnya bersikap sopan, tidak seperti itu. Inginlah rasanya Karta mengusir kedua kulit putih itu. Bila perlu dengan cara kekerasan, kalau pun misalnya mereka melawan, sekali atau dua kali pukul saja tentu kedua orang asing itu akan tewas. Tetapi ia adalah seorang pendekar yang memiliki hati tabah, selalu mau bersabar sebab bagaimanapun juga, bersahabat adalah lebih baik daripada bermusuhan.

Agaknya profesor tua itu pun tidak setuju dengan sikap Simon. Sewaktu berbaring di kemah, ia menasehati Simon agar bersikap lebih ramah dan sopan kepada penduduk pribumi, karena bagaimana pun jika mereka bermusuhan dengan pribumi, misi mereka tentu tidak akan bisa berjalan lancar.

Simon tetap saja membantah dan selalu berbicara dengan menyebut-nyebutkan pendidikan kepolisiannya. Bagi dia, sikap Karta hanyalah tipuan saja, pura-pura bersikap baik, padahal maksudnya adalah untuk memperdayai. Cukup lama kedua laki-laki berkulit putih itu berdebat mempertahankan pendapat masing-masing, hingga akhirnya Profesor Van Leinen tertidur kelelahan.

Ternyata perdebatan itu pun membuat Simon semakin penasaran. Kemarahannya semakin memuncak dan karena terlalu menurutkan perasaan, ia akhirnya bermaksud membunuh Karta. Setelah merasa yakin bahwa profesor tua itu sudah tertidur pulas, ia segera bangkit dan mengambil pistolnya, kemudian melangkah ke luar kemah.

Matanya segera menatap liar ke arah Karta yang sedang tertidur di atas semak-semak berselimutkan kain sarungnya. Dengan berjingkat-jingkat supaya tidak menimbulkan suara mencurigakan, ia mendekati Karta. Setelah tinggal dua langkah lagi, Simon berhenti. Ia menarik nafas sekedar menenangkan perasaannya yang penuh gejolak amarah. "Mampus kau, manusia penipu." Hatinya memaki geram. Perlahan-lahan, ia menarik pelatuk senjatanya dan beberapa saat kemudian terdengarlah suara ledakan sebanyak tiga kali. "Dor! Dor! Dor!"

Simon tersenyum puas. Tetapi ketika ia menarik kain sarung itu ia berteriak kaget bahkan sempat meloncat mundur, seakan-akan tak percaya pada penglihatannya sendiri. Ternyata di dalam bungkusan kain sarung itu hanyalah sebatang kayu serta daun-daun kering.

"Hah? Kosong? Bangsat!" bentak Simon tak sa-

dar.

Sebelum ia bisa menguasai perasaan, tiba-tiba

sebuah bayangan berkelebat cepat sekali dan langsung menghantam punggungnya.

"Buk!"

Tubuh Simon terpelanting hampir sepuluh meter. Untung ia seorang pemuda yang memiliki tubuh kuat. Kalau tidak, sedikitnya ia akan pingsan menerima pukulan sekuat itu. Karta yang memukulnya dengan geram. Tadi pendekar gagah perkasa itu sudah sempat berbaring di atas semak-semak berbantalkan sebatang kayu yang cukup besar. Tapi karena firasatnya membisikkan bahwa Simon akan berbuat jahat padanya, maka ia tetap waspada. Apalagi ketika ia melihat Simon melangkah ke luar kemah secepat kilat ia meloncat ke balik semak-semak setelah terlebih dulu membungkus batang kayu tadi dengan kain sarungnya. Tak terkatakan betapa marahnya pendekar itu melihat Simon menembak batang kayu itu. Seandainya ia tidak waspada tadi, tentu ia sudah mati diterjang pelurupeluru senjata Simon.

Sungguh suatu sikap yang tidak bisa dimaafkan begitu saja! Dengan pikiran seperti itu, Karta pun segera meloncat dari tempat persembunyiannya dan langsung menghajar Simon. Masih untung ia tak mengerahkan segenap tenaga dalamnya, sehingga Simon masih dapat bernafas walaupun dengan tulang punggung retak menimbulkan rasa yang sangat nyeri.

"Kurang ajar! Manusia seperti kau harus diberi pelajaran!" kata Karta geram. Secepat kilat ia menarik krah baju Simon dan sekali menggerakkan tangan, tubuh itu pun terangkat dan langsung dibantingkan sekuat tenaga. Simon menjerit tertahan, karena tiba-tiba saja ia merasa. kerongkongannya tersumbat dan pandangan matanya pun berkunang-kunang. Ia hendak memaki, namun tiba-tiba ia merasa tubuhnya diangkat kembali, kemudian dilemparkan dari atas tebing sehingga jatuh berguling-gulingan ke bawah.

Setelah meloncat ke bawah, ia mengangkat tubuh Simon tinggi-tinggi kemudian dibantingkan lagi. Setelah itu, ditariknya rambut pemuda itu dengan kasar dan tinjunya pun melayang tepat menghantam mulut. Terdengar suara gemeretak ketika empat buah gigi Simon copot mengeluarkan darah segar.

"Aku paling tidak suka melihat lelaki pengecut seperti kau. Kini apa yang dapat kau lakukan tanpa pestolmu itu? Ayo, bangun! Kau harus diberi pelajaran yang lebih hebat lagi agar kepalamu yang penuh akal busuk itu lebih dingin. Ayo, berendamlah di situ sampai pikiranmu bersih kembali!" Karta melemparkan tubuh Simon ke dalam air laut.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Simon berusaha bangkit agar tidak kehabisan nafas. Namun dengan kasar, Karta menginjak tengkuknya sehingga kembali tubuhnya terbenam. Tentu saja Simon gelagapan dan berusaha meronta sekuat tenaga, tetapi ia tak berdaya sama sekali. Kaki Karta tak ubahnya sebongkah batu besar yang beratnya ribuan kilo.

Tanpa bisa dicegah, air laut pun makin banyak masuk ke dalam perut Simon. Ia sudah hampir tak sadarkan diri ketika Karta mengangkat tubuhnya, sehingga pemuda itu dapat menarik nafas. Tetapi hanya beberapa saat kemudian, tubuhnya sudah dibenamkan kembali. Demikianlah berulang-ulang, sebab maksud Karta sebenarnya adalah membuat Simon sampai pingsan.

Akan tetapi dari arah perkemahan terdengar suara tembakan. Karta terkejut dan menghentikan tindakannya terhadap Simon. "Agaknya telah terjadi sesuatu di atas. Mari ikut aku. Lain kali kau akan mendapat perlakuan yang lebih manis lagi jika masih berani main-main denganku!"

Sambil menarik tubuh Simon yang hampir tidak berdaya lagi, si Gila Dari Muara Bondet mendaki tebing. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan profesor tua itu telah diseret segerombolan laskar ke luar kemah dan puluhan tombak telah ditodongkan di leher dan dadanya.

Laskar itu ternyata dipimpin Pampani sendiri, kebetulan saja mereka mendengar suar mencurigakan ketika sedang dalam perjalanan ke luar untuk mencari Karta. Sambil mengendap-endap, mereka mendekati kemah itu dan langsung menyerbu. Dalam keadaan gugup profesor tua itu sempat melepaskan tembakan secara serampangan dan tidak melukai laskar! Namun sekali gebrak saja, Pampani sudah memukul jatuh senjata di tangan laki-laki asing itu.

"Jawab pertanyaanku! Apa maksudmu menyusup ke daerah kekuasaan kami tanpa ijin hah? Apakah kau utusan orang-orang kumpeni Belanda? Cepat jawab! Apa hubunganmu dengan penjualan mutiara-mutiara Maleang Pangaru, hah?"

"Kalau tidak mau jawab, cincang saja tubuhnya. Biar tahu rasa dia!" kata si Kaki Tunggal tak sabar lagi. "Aku... aku tak mengerti maksud kalian. kata

profesor tua itu dengan wajah pucat pasi "Sungguh! Aku tidak tahu mutiara apa maksud Tuan-tuan."

"Bagus! Seperti yang kuduga kau pasti akan berbohong. Itu berarti riwayatmu akan berakhir sampai di sini."

"Hei, dia datang!" Tiba-tiba si Kaki Tunggal berteriak bagaikan kesurupan setan, "Itu si Karta!"

Semua orang yang berkumpul di tempat itu menjadi terkejut dan serentak berpaling. Secara berbarengan mereka berseru melihat Karta berjalan ke arah perkemahan sambil menyeret seorang lelaki yang juga berkulit putih.

Kaget bercampur girang si Kaki Tunggal meloncat ke hadapan Karta. Kakinya terlebih dulu melayang ke dada Simon hingga terpental ke belakang.

"Ah, Karta! Karta! Jadi... jadi kau masih hidup?" ujarnya sambil merangkul bahu pendekar gagah perkasa itu erat-erat seakan-akan masih belum percaya pada penglihatannya sendiri. Pampani memburu Karta dengan perasaan riang gembira. Dalam beberapa hari terakhir ini, ia pun sudah sangat cemas memikirkan keselamatan adik iparnya itu, sehingga saking girangnya ia tidak tahu harus mengucapkan apa

"Harap saudara-saudara semuanya tenang!" kata Karta, "Saya tidak apa-apa dan seperti kalian lihat sendiri, aku tidak kurang sesuatu apapun juga."

"Kau tidak tahu beberapa hari aku terpaksa selalu berada di laut mencarimu. Begitu juga! Bungoru  dan yang lainnya!" kata si Kaki Tunggal.

"Maaf, aku telah merepotkan kalian. Tetapi semua itu terjadi di luar kehendak kita semua. Nantilah kita membicarakannya. Aku ingin membicarakan masalah kedua orang kulit putih ini. Mereka tidak punya hubungan apa-apa dengan penjualan mutiara-mutiara. Mereka bahkan dapat membantu kita menyeret si Manusia Kera yang tampaknya masih berkeliaran di kepulauan ini."

"Bagaimana kita bisa mempercayai omong-an orang-orang kulit putih ini?" tanya Pampani sambil mengerutkan kening.

"Aku sudah membuktikannya sendiri, Pampani. Dan akulah yang akan bertanggungjawab atas diri mereka."

"Baiklah kalau begitu. Kami percaya sepenuhnya kepada saudara Karta. Dan kami sangat gembira karena saudara Karta dalam keadaan selamat. Kepada kalian berdua bangsa kulit putih, kami ucapkan selamat datang di negeri kami. Selamat mengadakan penyelidikan. Jika Tuan-tuan memerlukan bantuan tenaga atau bahan-bahan makanan, kami akan segera membantu dengan segala senang hati. Nah, sekarang kami akan kembali ke istana. Selamat malam!"

"Lalu bagaimana dengan kau, Karta?" tanya si Kaki Tunggal.

"Untuk sementara aku harus kembali ke luar. Besok atau lusa aku akan berkumpul lagi dengan kalian."

"Baiklah! Jaga dirimu baik-baik!" Demikianlah setelah laskar yang dipimpin Pampani itu kembali, Karta membantu kedua orang kulit putih itu mendirikan kemah yang tadi sempat berantakan diacak-acak. Profesor tua itu berulang kali mengucapkan terimakasih, karena tanpa pertolongan Karta, agaknya mereka akan mengalami kesulitan, bahkan tidak mustahil sudah tewas dibunuh!

Setelah itu, Karta pamitan meninggalkan kedua orang asing itu. Dan seperti biasa dilakukannya, ia bersemadi di tengah-tengah gempuran ombak laut di pantai Laut Arafuru. Kedua tangannya didekapkan di dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan, membersihkan pikiran dari segala permasalahanpermasalahan yang dihadapi.

4

Sementara itu, di suatu tempat tanah Pulau Trangan, Wan-Da-I dan Womere sedang berada di ruangan khusus tempat Wori terbaring dalam peti mayat. Si manusia ikan hiu itu duduk di kursi yang dihiasi ukiran dan permata sehingga mirip singgasana raja. Sedangkan Womere berdiri di dekat peti.

"Bangunlah, Wori...!" kata Wan-Da-I dengan pelan, namun terasa suara halus itu mengandung pengaruh yang sangat kuat yang se-akan-akan dapat menembus jantung siapa saja yang mendengarnya. Tak lama kemudian, pintu peti itu terbuka! Wori bangkit dengan gerak kaku sehingga mirip mayat yang baru bangkit dari Hang kubur. Langkah kakinya terlihat agak kaku ketika melangkah menghadapi Wan-Da-I, kemudian mengangguk memberi hormat.

"Daulat, Tuanku!" katanya lalu duduk bersimpuh di bawah kaki Wan-Da-I.

"Bagus, Wori! Ternyata kau masih tetap seorang pengawal yang sangat setia! Hari ini kau harus memulai tugas yang sangat penting dan tidak boleh gagal. Semuanya sudah dipersiapkan. Kapal Belanda telah menunggu di pulau Uglo!" Wan-Da-I memberikan keterangan secara singkat, sedangkan Wori yang masih duduk bersimpuh mendengarkan dengan penuh perhatian. Pulau Uglo yang dimaksudkan itu terletak antara kepulauan Aru dan Kepulauan Tanimbar (tidak terdapat dalam peta).

"Daulat, Tuanku!" "Bagus! Mutiara-mutiara yang harus kau bawa sekarang adalah barang kiriman pertama yang harus ditukar dengan bahan-bahan peledak atau mesiu serta senjata-senjata api dari orang-orang Belanda! Ingat, Wori! Misi ini tidak boleh gagal, harus berhasil!"

Besok harinya ketika matahari baru muncul di ufuk Timur, sebuah kapal layar bertolak dari sebuah teluk yang tersembunyi di Kepulauan Aru, bertolak menuju laut lepas. Angin bertiup dari arah Barat sehingga layar menjadi terkembang, menambah cepatnya laju perahu.

Wan-Da-I dan penasehat utamanya Womere untuk pertama kalinya telah mengirimkan sejumlah mutiara kepada pihak kumpeni Belanda. Kedua belah pihak baru-baru ini telah sepakat untuk melakukan barter perdagangan, di mana pihak Wan-Da-I memberikan mutiara-mutiara sedang kumpeni Belanda menukarkan dengan bahan-bahan peledak serta senjata api!

Sungguh jitu perhitungan tokoh sesat itu, sebab agaknya ia telah menyadari kekuatan musuh bebuyutannya Pampani yang dibantu sejumlah pendekar dari Pulau Jawa. Dengan cara-cara seperti yang selama ini ia lakukan, agaknya akan sulitlah baginya meruntuhkan kekuasaan musuh. Itulah sebabnya ia memutuskan menjual mutiara-mutiara kepada orang-orang Belanda. Dengan mesiu serta senjata api, ia akan lebih mudah menghancurkan Pampani, sehingga niat hatinya menjadi penguasa di Pulau Trangan akan berhasil baik.

Wori, yang telah dikuasi pikirannya sehingga berubah seperti robot dipercayakan mengawal kiriman pertama itu. Wan-Da-I sadar bahwa misi mereka akan menghadapi banyak rintangan terutama dari pihak lawan yang tidak mustahil sudah mengetahui semua rencananya. Jadi kalau Wori yang memiliki kesaktian tinggi itu mengawalnya, dapat diyakini semua hambatan itu bisa diatasi.

Demikianlah Wori bersama sejumlah anak buah Wan-Da-I berlayar mengharungi laut lepas menuju pulau Uglo di pagi yang cerah itu. Di haluan perahu Wori berdiri tegak, mengawasi keadaan di sekelilingnya kalau-kalau ada hal-hal mencurigakan.

Tiba-tiba mata lelaki bertubuh raksasa itu mencorong tajam. Hidungnya kembang kempis, seperti seekor tikus sedang mencium makanan lezat. Ia mendengar dan dapat merasakan gerak mencurigakan di dalam laut tak jauh dari perahu. Telinganya dirapatkan ke dinding perahu dengan cara berjongkok. Lalu beberapa saat kemudian, Pendekar Bumerang itu meloncat berdiri dan memanggil anak buah Wan-Da-I.

"Ada gerakan-gerakan halus di dalam air, seperti makhluk berkaki empat. Tidak ada ikan yang punya ekor empat. Heh, pengawal! Coba pinjam tombakmu!"

Wori kemudian melangkah ke sebelah kanan perahu. Sambil berteriak:

"Mampus!"

Ia menancapkan tombak itu ke laut. Gerakannya sangat cepat, sehingga ia sudah yakin bahwa sekali serang saja, makhluk mencurigakan itu pasti akan kena. Namun ia menjadi terkejut manakala merasakan makhluk itu dengan sangat gesitnya melesat ke sebelah kiri.

"Kurang ajar! Dia mengelak!" teriak Wori, membuat para pengawal semakin tegang. Dengan memperhatikan gelembung-gelembung udara di atas permukaan air laut, Wori dapat mengetahui ke arah mana makhluk mencurigakan itu melesat. Tombaknya kembali melesat bagaikan anak panah.

Ternyata makhluk tersebut adalah si Gila Dari Muara Bondet sendiri! Ketika sedang bersemadi di laut, ia melihat sebuah perahu berlayar di laut lepas. Karena merasa sangat curiga, ia segera mengejar dengan cara menyelam. Tetapi tak terkatakan betapa terkejutnya pendekar itu ketika menyadari bahwa Wori sudah mengetahui keberadaannya. Untunglah ia sangat pandai berenang dalam air sehingga dapat mengelakkan tusukan-tusukan tombak Wori.

Agaknya Wori menjadi penasaran karena semua serangan tombaknya dapat dielakkan musuh. Dengan wajah merah padam, ia segera menyambitkan bumerangnya. Senjata yang mirip bulan sabit itu meluncur cepat sekali dan menyambar dahsyat ke arah kepala Karta.

Karta terkejut bukan main! Pertama karena kepalanya nyaris jadi sasaran senjata lawan dan kedua karena sama sekali tidak mengira bahwa senjata itu pun dapat digunakan di dalam air. Setelah tidak mengenai sasaran, bumerang itu kembali meluncur kepada pemiliknya.

"Bangsat! Dia berkelit. Yeaaaa!" Wori berteriak dengan suara menggelegar bagaikan guntur, sehingga para pengawal meloncat kaget saking terkejutnya. Bumerang di tangannya kembali meluncur cepat sekali menyambar ke arah kepala Karta. Secepat kilat, Pendekar Dari Muara Bondet itu mengangkat tombak yang tadi berhasil ditangkapnya untuk menangkis bumerang itu.

"Traaak!"

Tombak itu putus menjadi dua, tetapi bumerang tidak berhasil mengenai sasaran sehingga kembali meluncur kepada pemiliknya.

Habislah kesabaran Wori karena ia segera menyadari bahwa lawan yang sedang berada di dalam air bukan main lihainya. Ia pun segera mempergunakan cara lain untuk memaksa lawan bertekuk lutut. Disimpannya bumerang senjata andalannya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menahannya sehingga dadanya tampak membusung. Sepasang matanya mencorong tajam. Lalu ia berteriak:

"Yeaaaaa!"

Tangan kanannya dengan jari-jari terbuka melancarkan pukulan jarak jauh ke laut.

Serangkum tenaga pukulan dahsyat menyambar dan akibatnya memang luar biasa. Air laut tiba-tiba tersibak seperti terbelah sepanjang beberapa meter. Semua pengawal yang menyaksikan keadaan itu menjadi tersentak kaget dengan mata terbelalak. Beberapa di antaranya mengatakan kehebatan Wori itu adalah ilmu sihir.

"Brrrrr!"

Air laut kemudian menyatu kembali menimbulkan suara dahsyat. Ikan-ikan dan makhluk hidup lainnya dalam air menjadi tersedot ke atas. Demikian juga tubuh Karta, terasa ditarik tenaga yang sangat hebat, sehingga membuatnya tidak berhasil mempertahankan diri.

"Astaga! Ilmu iblis!" teriak pendekar itu dalam hati. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke permukaan air laut. Sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuh, sebuah serangan dahsyat telah mengancam dadanya.

Sejak tadi Karta sebetulnya sudah mengetahui bahwa yang menyerangnya adalah Wori sendiri. Dan itu membuatnya bertambah kecewa karena sahabatnya itu ternyata masih di pengaruhi ilmu sihir lawan. Melihat kedua tangan Wori menyambar ke arah dada dan lehernya, Karta menjadi terkejut sekali. Angin pukulan itu saja sudah terasa mengandung kekuatan dahsyat, apalagi kalau sampai menghantam tubuhnya, mungkin akan menjadi remuk redam. "Ciaaat!" Karta jungkir balik di udara dan pukulan Wori pun hanya menerpa angin. Akan tetapi agaknya, Pendekar Bumerang itu sudah menduganya, karena begitu kedua tangannya tidak berhasil melukai lawan, kaki kirinya sudah menyambar lagi dengan kecepatan kilat.

"Wori, ingatlah aku adalah temanmu!" teriak Karta dengan harapan sahabatnya itu tersadar. Namun Wori malah tampak semakin beringas dan buas.

"Sudah kuduga pasti kaulah Monyet Gila Dari Muara Bondet yang berani main-main denganku. Mampus kau!"

Luar biasa hebatnya serangan Wori ini, karena selain sangat cepat, juga tidak memberikan Karta kesempatan untuk mendaratkan kakinya. Repotlah pendekar gagah perkasa itu. Ia tak punya kesempatan lagi untuk menghindar, maka ia menjulurkan tangan kanannya menangkis tendangan lawan.

"Plak!"

Telapak tangan Karta beradu keras dengan kaki kiri Wori. Dan beradunya tangan dan kaki itu mendorong tubuh Karta kembali ke atas, lalu ia bersalto beberapa kali ke belakang dan bergelantungan di atas layar.

Seketika perahu itu menjadi oleng ke kiri, sehingga pengawal menjadi panik menarik tali-tali layar untuk menjaga keseimbangan. Tetapi Pendekar Bumerang tampak tenang saja, dengan mata melotot ia menginjak pinggir perahu sebelah kanan sehingga kedudukan perahu itu pun menjadi stabil kembali.

Dua pengawal tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan segera mengayunkan tombak-nya ke arah Karta yang masih bergelantungan di atas layar. Karena tidak menduga akan diserang mendadak seperti itu, Karta tidak sempat lagi mengelak. Kedua tombak itu menembus kulit tubuh di bawah kedua ketiaknya. "Aaaaah!"

Dengan kedua tombak masih lengket di tubuhnya, Karta tercebur ke laut. Tubuhnya segera tenggelam dipermainkan ombak yang tampak memerah oleh darah dari luka di tubuh si Gila.

"Aku yakin dia pasti belum mampus. Tapi bau anyir darah itu cukup untuk memancing ikan-ikan hiu. Tubuhnya pasti habis tercabik-cabik tanpa seorang pun dapat menolong. Hahaha! Ayo, pengawal! Kita teruskan perjalanan!" kata Wori sambil menyeringai buas. 

Perahu kecil itu pun kembali berlayar dengan tenang menuju ke Pulau Uglo. Sesekali Wori memberikan perintah dengan suara keras, sehingga terdengar bergema sampai puluhan mil jauhnya.

Pada saat itu, Pampani dan Bungoru sedang asyik bercakap-cakap dengan tiga pendekar asal Pulau Jawa sahabat mereka. Kelima pendekar gagah perkasa itu duduk berkeliling di ruang tengah istana membahas rencana mereka selanjutnya.

"Saudara-saudara! Bagaimana langkah kita selanjutnya? Kita telah kehilangan seorang pendekar tangguh seperti Wori. Dan kita belum dapat menaksir kekuatan musuh." kata Pampani.

"Kedudukan kita saat ini memang cukup berbahaya. Tetapi aku yakin bahwa kita pasti dapat menumpas musuh. Ilmu sihir yang mereka gunakan itu pasti bisa dilawan dengan kemurnian bathin. Jika di antara kita ada yang memiliki ilmu ini, maka kita tak akan dapat dipengaruhi ilmu hitam seperti itu!" kata si Kaki Tunggal sambil menatap satu per satu sahabatnya yang berkumpul di ruangan itu.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Umang. "Tugas kita sekarang adalah mencari orang yang dapat berbuat seperti itu. Ah, sungguh sayang saudara Jaka Sembung tidak ada di sini. Aku sendiri tidak mampu! Aku tidak dapat menjernihkan bathin dari pengaruh-pengaruh luar. Bagaimana pendapatmu, Pampani?"

Percakapan mereka tiba-tiba terhenti ketika pintu terbuka dengan kasar dan muncullah Karta berjalan sempoyongan dalam keadaan berlumuran darah.

"Pampani," kata Karta dengan suara lirih. "Astaga! Karta terluka! Apa yang telah terjadi?"

teriak Umang yang lebih dulu melihat kedatangan Karta.

"Kau disakiti orang kulit putih itu, ya?" tanya si Kaki Tunggal sambil meloncat berdiri dan membantu Karta duduk.

"Harap saudara-saudara tenang. Aku tidak apaapa, hanya menderita sedikit Iuka, terserempet tombak anak buah sahabat kita Wori."

"Hah? Dia lagi!"

"Ya, apa boleh buat! Aku telah gagal mencegah keberangkatan Wori menjual mutiara-mutiara itu kepada orang-orang Belanda. Pagi tadi mereka berangkat berlayar."

"Wah, kalau begitu kita sudah terlambat! Apa akal kita sekarang? Satu-satunya orang yang mengetahui penyimpanan mutiara itu hanyalah Wori sendiri."

Pampani tampak mengerutkan kening, me-mutar otak untuk memikirkan apa yang harus mereka lakukan. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan berkata dengan suara memerintah:

"Bungoru, perintahkan laskar kita untuk menguntit dan menyelidiki di mana tempat per-temuan Wori dengan kapal kumpeni Belanda. Pilihlah orangorang kita yang ahli dalam bidang ini!" "Daulat, Tuanku!"

Mirah kemudian menggeser duduknya ke dekat Karta.

"Karta, sebaiknya lukamu ini segera dirawat! Biar kau bilang tadi hanya luka ringan, tapi kita harus merawatnya biar lebih cepat sembuh!"

"Terimakasih, Mirah! Bagaimana keadaan istri dan anakku selama kutinggalkan? Selama ini aku selalu mempunyai perasaan tak enak"

"Tak suatu pun terjadi. Coba lihat, di ambang pintu sana!"

Karta berpaling. Seketika ia tersenyum melihat istrinya Nomina sedang berdiri di ambang pintu sambil mengendong putra mereka. Adik perempuan Pampani itu pun tersenyum dan dari sinar matanya dapat dilihat adanya rasa rindu yang cukup lama dipendam. Tanpa memperdulikan rasa sakit di badannya. Karta segera berlari ke hadapan Nomina. Dipeluknya dengan segenap perasaan, lalu diciuminya putranya tercinta.

"Oh, Nomina istriku. Anakku…!" lirih suara Karta dan penuh perasaan. "Apa yang telah terjadi selama ini? Aku selalu bermimpi buruk mengenai kalian."

Nomina cuma menggelengkan kepala dengan perlahan. Matanya tampak berkaca-kaca dan bibirnya bergerak-gerak kaku. Agaknya banyak yang hendak diucapkannya, tetapi karena ia seorang wanita bisu, hanya sinar matanya yang bisa memancarkan isi hatinya. Sekalipun mulutnya tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, namun matanya mengatakan bahwa ia sangat berbahagia setelah bertemu dengan suaminya.

Lama kedua insan suami istri itu terlena dalam keharuan dan kebahagiaan, sehingga semua yang hadir di ruangan itu hanya diam saja, seolah-olah ikut terlena dalam suasana itu. Perlahan-lahan, Mirah bangkit dan melangkah ke ruang belakang. Wanita itu bersandar lemas pada dinding dan menatap ke luar dengan mata sayu. Pertemuan itu, alangkah mesranya, kata hatinya sedih.

Terasa benar olehnya betapa Karta dan Nomina saling mencintai serta saling pengertian. Dan sebetulnya, Mirah dan Umang pun begitu juga, tetapi ada satu perbedaan menyolok yang seolah-olah membuat kehidupan rumah tangga mereka terasa gersang. Sampai sekarang, Umang dan Mirah belum mempunyai anak, padahal mereka sudah cukup lama melangsungkan perkawinan.

Sekalipun mereka adalah pendekar yang sudah sering menghadapi tantangan sehingga mental mereka pun sudah sangat kuat, namun keadaan itu tak urung memukul perasaan mereka juga. Untunglah selama ini Umang dan Mirah tidak mau saling menyalahkan dan sedapat mungkin tidak mau membicarakannya. Namun sekarang, melihat Karta dan Nomina berpelukan demikian mesranya sembari menggendong putra mereka, rasa sedih itu pun langsung menusuknusuk hati tanpa bisa dicegah lagi.

Agaknya Umang cukup memahami perasaan istrinya. Maka ia pun melangkah menghampiri Mirah. Ditepuknya bahu istrinya itu dan dibelainya rambutnya, "Mirah, apa yang sedang kau pikirkan?" bisiknya.

"Umang, betapa mesra pertemuan mereka! Kadang-kadang aku iri karena mereka bisa se-mesra itu adalah karena sudah mempunyai anak. Tapi kita "

"Aku mengerti perasaanmu, Mirah!" sela Umang sambil berusaha berbicara sewajar mungkin di atas hatinya yang tak menentu. "Selama ini kita sudah berusaha, namun barangkali belum waktunya. Sabar sajalah istriku. Mungkin Tuhan belum berkenan memberikan anak pada kita." "Ah, maafkan aku, Umang! Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Sudahlah, sebaiknya kita segera bergabung dengan mereka. Tak baik jika mereka melihat kita seperti ini."

"Ah, aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi padamu. Aku sebenarnya masih bisa menahan perasaanku sendiri. Tetapi kalau memikirkan perasaanmu, aku jadi sedih. Sepertinya aku tidak bisa memberimu kebahagiaan."

5

Matahari sudah mulai siang dengan sinarnya yang cerah menimpa bumi, seperti sedang mengusapusap tanah Kepulauan Aru. Profesor Van Leinen dan Simon sudah sejak tadi membenahi perkemahan mereka, lalu melanjutkan perjalanan untuk melakukan penelitian mereka.

Kedua lelaki berkulit putih itu sedang melintasi rawa-rawa berlumpur dan tampaknya cukup berbahaya jika melewatinya tanpa berhati-hati. Barangkali profesor tua itu menyadarinya, sehingga berulangulang memperingatkan sobat mudanya supaya hatihati.

"Menurut pengalamanku, dalam rawa-rawa dengan air paya-paya seperti ini banyak lubang yang dapat menjebak kita. Harap kau hati-hati Simon!" kata profesor tua itu tanpa melirik kepada Simon yang kini sedang berjalan di belakangnya.

'"Tak usah khawatir, Profesor! Medan alam yang bagaimana pun berbahayanya sudah ku-tempuh dalam latihan kemiliteranku. Aku justru mengkhawatirkan dirimu."

Sambil mendengus, Profesor Van Leinen meneruskan langkahnya menembus hutan be-rawa-rawa menuju bukit yang mereka cari. Tepat seperti yang dikhawatirkannya, Simon mendadak menginjak lubang dalam rawa. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terjeblos hingga sebatas leher.

"Aaaaaah!" Pemuda itu menjerit, sehingga membuat profesor tua itu terkejut. Ia berpaling tapi tidak berani bertindak gegabah, sebab dirinya pun tidak mustahil mengalami nasib seperti Simon. Pemuda itu berusaha ke luar dari lubang rawa-rawa itu dengan cara meronta-ronta. Celakanya, semakin ia bergerak, tanah yang diinjaknya semakin amblas pula. Dan akhirnya pemuda yang sombong itu pun berteriak:

"Profesor, tolonglah aku!" "Huh! Apa kubilang tadi?"

"Aku tak dapat bangun. Beban di punggungku sangat berat."

Sambil memberengut dan kadang-kadang tersenyum geli, Profesor Van Leinen menarik tangan Simon. "Apa dalam latihan kemiliteranmu tidak diajar-

kan cara keluar dari lubang semacam ini?" sindirnya. "Jangan mengejekku, Profesor. Kau beruntung ti-

dak terperosok. Kalau kau yang mengalami hal semacam ini, tubuhmu akan segera amblas ke bawah karena gembrot."

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di lereng bukit. Profesor Van Leinen mengamati puncak bukit itu dengan teropongnya. Ia tampak manggut-manggut, sementara Simon hanya memandanginya dengan perasaan dongkol karena peristiwa di dalam rawa-rawa barusan.

"Kita akan menuju puncak bukit itu. Ku rasa menjelang sore kita sudah bisa sampai kemudian mendirikan kemah."

"Ya, saya juga memperkirakan demikian. Tidak terlalu jauh lagi. Tetapi... hei, ada apa di badanku? Pedih!" Tiba-tiba Simon berteriak karena sekujur tubuhnya terasa pedih dan sepertinya ada benda licin dan menjijikkan bergerak-gerak. Dengan wajah pucat, ia meraba badannya sendiri di balik baju. Dan ia kembali menjerit ketakutan.

"Hah? Darah! Darah!" Dengan tergopoh-gopoh ia melepas ransel di pundaknya, lalu se-cepatnya membuka bajunya. Ternyata sekujur tubuhnya telah ditempeli lintah. Beberapa ekor di antaranya tampak sudah sangat membesar karena kekenyangan menghisap darah Simon.

"Oh, mijn god! Apa itu? Lintah! Lintah penghisap darah," seru Profesor Van Leinen sambil memeriksa sekujur tubuhnya, takut kalau-kalau lintah itu pun sudah merayap di tubuhnya. Tetapi ternyata tidak. Agaknya binatang-binatang penghisap darah itu merayap ke tubuh Simon ketika terperosok tadi di dalam rawa-rawa.

Dengan terburu-buru profesor itu mengeluarkan botol-botol obat dari tasnya.

"Tenang, Simon! Engkau adalah seorang militer yang hebat. Jangan takut hanya berhadapan dengan lintah seperti itu. Minyak in akan mengusir binatangbinatang rakus itu. Gosokkanlah ke sekujur tubuhmu!"

Sambil menggerutu dan terkadang memaki-maki, Simon menggosokkan minyak itu. Benar saja, lintahlintah itu segera menggelinding jatuh karena bau obat gosok yang sangat keras. Barulah Simon merasa lega, tetapi tampak masih belum puas karena profesor tua itu tidak ikut diserang lintah.

Tepat seperti perhitungan profesor tua itu menjelang sore hari mereka telah sampai di puncak bukit. Dari atas, keduanya dapat memandang bebas ke bawah, ke lembah-lembah yang membujur panjang diselimuti kabut tipis. Pucuk-pucuk pepohonan melambai-lambai seakan-akan sedang mengucapkan selamat datang kepada dua orang kulit putih di negeri Kepulauan Aru. Sungguh merupakan suatu pemandangan yang sangat indah dan mendatangkan perasaan damai.

Beberapa ekor burung kecil sambil berkicau terbang dari dahan yang satu ke dahan lainnya. Sebentar naik ke puncak bukit, lalu kemudian turun lagi ke pohon-pohon di lembah.

"Lihatlah lembah itu, Simon. Sungguh sangat in-

dah."

"Ya, indah sekali, Profesor. Tapi sebaiknya kita

mendaki lebih ke puncak lagi untuk men-dirikan kemah."

Karena dinding bukit itu terjal, mereka ter-paksa menggunakan tali untuk mendakinya. Namun dalam hal ini, Profesor Van Leinen juga bisa melakukannya dengan baik. Padahal ia sudah tua dan tubuhnya pun gemuk. Lain halnya dengan Simon yang masih muda dan sudah pernah mengikuti pendidikan kemiliteran, sehingga tidaklah terlalu mengherankan jika ia dapat mendaki bukit dengan lancar.

Di puncak bukit itu ada semacam kawah yang cukup luas. Mungkin dulunya adalah bekas gunung berapi yang meletus, demikianlah kedua orang kulit putih itu menduga-duga. Mereka segera mendirikan kemah di tempat itu.

"Beberapa hari lagi bulan purnama akan muncul." kata Profesor Van Leinen sambil menancapkan tiang kemah mereka.

"Berarti kita akan memulai perburuan ini."

"Tepat sekali, Simon!" Keduanya terus tekun mendirikan kemah. Tanpa mereka sadari, dua orang laki-laki sedang mengintai mereka. Entah dari mana keduanya datang, tiba-tiba saja telah berada di tempat itu. Siapa lagi kalau bukan Wan-Da-I dan tukang sihir Womere yang tampaknya mempunyai maksud tertentu menemui kedua orang kulit putih itu.

Akan tetapi naluri Simon yang sangat tajam segera berbisik bahwa di belakangnya sekarang ada orang lain sedang memperhatikan mereka. Apakah Karta sendiri? Hatinya bertanya-tanya! Tetapi rasanya bukan! Atau siapapun yang sedang berada di belakangnya patut dicurigai, karena tidak mustahil bermaksud jelek terhadap mereka. Maka secepat kilat, Simon menyambar senapannya dan langsung berbalik mengarahkan laras senjatanya kepada orang itu.

"Jangan bergerak! Kutembak kalau berani!" Profesor Van Leinen terkejut bukan main, dan di-

am-diam harus mengakui kewaspadaan Simon. Tetapi ia juga khawatir, karena sobat mudanya itu sangat cepat emosi dan memiliki sifat congkak pula, sehingga tidak mustahil melukai orang yang belum tentu bersalah.

"Stop, Simon! Jangan tembak mereka. Tunggu dulu!"

Dengan tergopoh-gopoh, profesor tua itu melangkah menghampiri Wan-Da-I dan Womere. Ia mengangguk hormat, walaupun sebetulnya perasaannya kurang enak melihat penampilan dua lelaki di hadapannya yang tampaknya memiliki niat kurang baik

"Maafkan sahabat muda aku ini, Tuan-tuan. Memang ia selalu bersikap curiga terhadap setiap gerak gerik di sekitarnya. Mungkin ia mengira ada binatang buas tadi. Ternyata adalah Tuan-tuan sendiri. Harap Tuan-tuan tidak salah paham. Maksud kami ke sini hanyalah untuk melakukan penelitian. Untuk itu, kami telah mendapat ijin dari Kepala Suku. Kami ingin menyelidiki dan menangkap manusia kera demi ilmu pengetahuan!"

Wajah Wan-Da-I tiba-tiba membeku seperti batu karang. Matanya mencorong tajam dan merah sekali bagaikan memancarkan api. Sulit diterka kenapa sikapnya tiba-tiba saja berubah seperti itu, namun Profesor Van Leinen dan Simon dapat menerka bahwa laki-laki itu tidak senang mendengar penjelasan mereka.

"Kurang ajar!" bentak Womere geram. "Apa yang harus kuperbuat Tuanku? Biar kubunuh saja mereka!" "Jangan!" kata Wan-Da-I sambil menarik tangan Womere, lalu dengan sikap ramah yang dibuat-buat, ia berkata kepada dua lelaki berkulit putih di hadapan-

nya:

"Tuang-tuan telah meminta ijin pada tempat yang salah. Kepala Suku Kepulauan Aru adalah aku sendiri. Pampani yang kau maksudkan itu tadi adalah pemberontak yang telah merebut kedudukanku dengan cara yang sangat keji. Tapi aku akan memberikan ijin dan siap membantu kalian berdua menangkap manusia kera. Sebaliknya kalian berdua pun harus membantu kami dengan pikiran-pikiran kalian. Jadi kita menjalin hubungan kerjasama yang baik. Aku kira tidak ada salahnya, bukan?"

"Oh, kalau begitu kami telah salah meminta ijin kemarin. Terimakasih, Tuan-tuan atas ke-murahan hati kalian kepada kami."

"Bawa mereka, Womere!"

Si Tukang Sihir itu segera bertindak. Mulutnya komat kamit sebentar, lalu kemudian kedua matanya melotot memancarkan pengaruh yang sangat kuat yang seolah-olah menembus relung-relung hati Profesor Van Leinen dan Simon.

"Tatap mataku! Tatap mataku! Hai orang-orang kulit putih. Tataplah aku! Ikutlah aku...!" Tiba-tiba saja profesor tua dan Simon merasa jiwanya seperti terbang meninggalkan raga. Mereka merasa kehilangan diri sendiri dan ada suatu kekuatan gaib yang telah menyelusup ke dalam pikiran mereka, sehingga mereka berubah seakan-akan jadi robot.

Womere kemudian merentangkan kedua tangan mengarah kepada kedua orang kulit putih itu. Suaranya terdengar semakin berpengaruh.

"Dengar kata-kataku! Tidur... tidur... tidur-lah sepulas mungkin. Tidur! Tidur kataku!"

Sungguh luar biasa pengaruh ilmu sihir tokoh sesat dari Pulau Kolepom ini. Kedua lelaki kulit putih itu tiba-tiba saja diserang rasa kantuk yang sangat hebat. Hanya beberapa saat kemudian, kepala mereka tertunduk, mata ter-pejam. Terdengar pula suara dengkuran yang cukup keras. Masih dalam posisi berdiri, keduanya tertidur.

"Bagus!" seru Womere girang. "Sekarang melangkahlah maju. Turut semua perintahku dan petunjukpetunjukku. Berbaliklah!" Kedua orang kulit putih itu berbalik seperti sedang bermimpi.

"Bagus! Kalian sudah tunduk padaku! Sekarang melangkahlah. Melangkah!"

Profesor Van Leinen boleh jadi mempunyai ilmu pengetahuan terutama di bidang biologi dan ilmu alam yang sangat tinggi. Seluruh sisa hidupnya ia menghabiskan waktunya untuk melanglang buana ke berbagai penjuru di dunia ini untuk melakukan penelitian. Ilmu pengetahuan baginya lebih dari segala-galanya dibandingkan semua yang ada di dunia ini. Dalam petualangannya melakukan berbagai penelitian ilmiah, banyaklah pengalaman yang diperolehnya.

Dan Simon pun boleh bangga atas latihan kemiliteran yang pernah diikutinya. Naluri detektifnya sangat tinggi dan kalau saja ia tidak memiliki sifat congkak, sudah dapat dipastikan ia akan menjadi seorang anggota militer yang sangat hebat dan patut diteladani oleh teman-temannya. Ia pun sudah sering menghadapi tantangan, bahkan tidak jarang bercanda dengan maut.

Akan tetapi sekarang, kedua lelaki perkasa berkulit putih itu tidak bisa berbuat apa-apa. Pikiran mereka telah dikuasai Womere sehingga semua yang mereka lakukan semata-mala hanyalah atas kehendak tukang sihir itu. Profesor Van Leinen dan Simon terus melangkah sesuai petunjuk Womere. Tak lama kemudian, mereka sampai di tepi pantai.

"Turunlah ke air sekarang! Ayo, turun! Kalian akan kubawa ke istana kami yang sangat besar dan megah di bawah tanah!"

Menyaksikan hal itu, Wan-Da-I tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Demikian mudahnya Womere menguasai kedua lelaki berkulit putih itu. Sungguh suatu hal yang menakjubkan, sebab ternyata ilmu sihir Womere tidak hanya mempan kepada penduduk pribumi, tetapi juga terhadap orang berkulit putih. Ia bertepuk tangan ketika si Profesor tua dan Simon sudah turun ke pinggir laut.

"Sekarang berenang! Ayo, berenang! Kalian harus berenang!" kata Womere dan masih tetap mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah kedua orang asing itu. Seolah-olah dari telapak tangan itu memancar tenaga dahsyat yang sangat jahat.

Van Leinen dan Simon segera berenang. Gerakkan mereka di dalam air sangat ringan dan tangkas, seolah-olah keduanya adalah perenang-perenang handal. Padahal selama ini Profesor Van Leinen tak pernah bisa berenang, apalagi menyelam. Di sinilah kemudian terlihat betapa pengaruh ilmu sihir Womere dapat digunakan sebagai alat untuk membuat orang lain tidak berdaya.

Seperti dua ekor bebek, dua orang kulit putih itu terus berenang, menyeberangi teluk yang cukup luas. Wan-Da-I dan Womere hanya memandangnya saja dari puncak bukit. Mereka sangat senang, sehingga tertawa terpingkal-pingkal.

Dengan nafas terengah-engah karena menyandang pakaian lengkap dan sepatu laras panjang, Profesor Van Leinen dan Simon akhirnya sampai juga ke tempat yang dimaksudkan Womere. Sebuah mulut terowongan yang cukup gelap, dipenuhi air, menembus bukit-bukit cadas yang kokoh.

"Mari masuk, Tuan-tuan! Kalian adalah tamu kehormatan kami. Karena itu jangan ragu-ragu. Berjalanlah terus menyusuri terowongan itu sampai nanti kuberikan perintah selanjutnya." terdengar lagi perintah Womere, entah dari mana datangnya, tetapi jelas sekali bergema ke segenap ruangan terowongan itu.

Profesor Van Leinen dan Simon tetap menurut bagaikan kerbau dicucuk hidung, seolah-olah perintah itu datang dari otak mereka sendiri.

"Bagus! Tuan-tuan jangan lurus ke depan. Beloklah ke kiri. Ya! Bagus! Terus... terus! Jangan ragu-ragu atau takut. Tidak ada apa-apa di sini."

Tubuh kedua laki-laki kulit putih itu sebenarnya sudah sangat letih dan sudah berkali-kali hendak terjatuh. Tetapi terasa ada kekuatan gaib yang menopang tubuh mereka dan terus memaksa untuk berjalan. Keduanya sekarang mulai memasuki terowongan yang airnya sampai sebatas dada. Di sebelah kiri dan kanan terlihat tulang belulang serta tengkorak manusia bahkan ada di antaranya yang mengambang. Sejenak Profesor Van Leinen dan Simon merasa ngeri, tetapi suara yang langsung menyusup ke jaringan otak mereka memerintahkan agar tidak memperdulikannya. Selama berjalan seperti itu, keduanya tidak pernah mengeluarkan suara percakapan, karena sepertinya mereka telah melupakan segala-galanya. Hanya desah nafas mereka yang terdengar memburu dan kadang-kadang disertai suara rintihan halus.

Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ke atas, seperti ada sebuah alat derek yang muncul dari dalam air. Alat ajaib yang entah dikendalikan dari mana itu bergerak membawa tubuh keduanya ke pintu jeruji kayu. Pintu itu pun terbuka sendiri dan ketika kedua orang kulit putih itu sudah berada di dalam, pintu itu tertutup sendiri kembali. Di hadapan mereka sekarang telah berdiri Womere, sedangkan Wan-Da-I duduk santai di kursi singgasananya.

"Selamat datang, Tuan-tuan! Kami senang sekali melihat kehadiran Tuan-tuan," ujar Womere sambil mengamati wajah Profesor Van Leinen dan Simon bergantian. Seulas senyuman tersungging di  bibirnya yang tebal dan hitam dan karena matanya memancarkan sikap buas, senyum itu tampak lebih mirip seringaian. Kedua laki-laki berkulit putih itu hanya memandang Womere dengan tatapan mata kosong dan mulut setengah menganga. Si Tukang Sihir manggutmanggut, lalu menghampiri Wan-Da-I.

"Apa yang harus kulakukan kepada kedua tawanan ini, Tuanku!"

"Bawa mereka ke dalam kamar mutiara dan kau bujuk mereka agar dua orang kulit putih itu mau menyumbangkan pikirannya kepada kita."

"Baik, Tuanku!" Womere kembali melangkah menghampiri profesor tua dan Simon.

"Tuan-tuan yang terhormat, sekarang Tuan-tuan dipersilahkan masuk ke kamar itu."

Tanpa mengucapkan apa-apa, keduanya membalikkan badan. Pintu di belakang mereka ternyata sudah terbuka dan dari dalamnya tampak cahaya terang benderang. Womere kembali memberikan perintah agar keduanya segera melangkah masuk.

Sekarang Profesor Van Leinen dan Simon berada di hadapan cungkup segi empat berisikan tumpukan mutiara-mutiara. Di sebelah depannya terdapat sebuah kanal buatan dan aquarium raksasa berisikan puluhan ekor ikan hiu yang tampak hilir mudik menunggu mangsa.

"Cobalah Tuan-tuan naik ke atas cungkup itu! Apa yang dapat kalian lihat di dalamnya? Kurasa biji mata kalian akan melotot dibuatnya!"

Profesor Van Leinen dan Simon melangkah menaiki anak-anak tangga ke atas. Alangkah terkejutnya kedua lelaki ini melihat timbunan mutiara, seperti tumpukan batu kerikil yang hendak digunakan membangun gedung saja.

"Oh, mijn god! Mutiara-mutiara tertimbun sebanyak ini? Banyak sekali!" kata Profesor Van Leinen termangu-mangu.

Womere tertawa terkekeh-kekeh, sangat girang hatinya melihat kedua orang kulit putih itu tersentak kaget dan tampak seolah-olah tidak percaya pada penglihatannya sendiri melihat mutiara sebanyak itu.

"Betul, Tuan-tuan! Sebagian dari mutiaramutiara itu akan kami hadiahkan kepada kalian. Tetapi dengan syarat kalian bersedia menyumbangkan hasil-hasil pemikiran teknik dari orang-orang Barat! Kami membutuhkan  orang-orang seperti  kalian untuk menggempur pertahanan Pampani si pemberontak itu." "Aku belum mengerti," kata Profesor Van Leinen

dengan suara parau.

"Nanti Tuan-tuan akan tahu sendiri. Tapi ingat, jangan coba-coba membangkang terhadap perintahperintah kami. Taruhannya adalah nyawa Tuan-tuan sendiri. Sekali orang masuk ke dalam tempat rahasia ini, ia tidak akan dapat ke luar dalam keadaan hidup."

"Oh...!"

"Coba lihat pada dinding kaca di belakang Tuantuan!"

Profesor tua itu dan Simon melirik ikan-ikan hiu yang hilir mudik dan diam-diam keduanya merasa ngeri juga karena mereka menyadari ikan seperti itu sangat ganas dan buas.

"Nasib tuan dipertaruhkan pada gigi-gigi runcing dari tajam binatang-binatang laut yang sangat ganas itu. Ikan-ikan bekas itu sengaja kami buat dalam keadaan lapar, sehingga siap menunaikan tugas kapan saja kami perlukan. Tuan-tuan tentunya tahu betapa ganasnya ikan-ikan seperti itu, tubuh tuan-tuan akan tercabik-cabik habis dalam sekejap. Nah, bagaimana pendapat kalian?"

Bergidik hati kedua laki-laki kulit putih itu mendengarnya. Rupanya penduduk pribumi yang berada di hadapan mereka sekarang jauh lebih licik dan kejam. Mereka menyadari bahwa ikan-ikan dalam aquarium raksasa itu sangat ganas dan buas. Ancaman Womere bukan hanya sekedar gertak sambal belaka. Tak berani keduanya membayangkan apa jadinya tubuh mereka kalau dijadikan santapan ikan-ikan buas itu.

Karena pengaruh sihir itu tidak mempengaruhi pikiran mereka yang tentu saja atas kehendak Womere sendiri, keduanya menjadi ketakutan. Simon menundukkan kepala, namun matanya menatap liar ke sekelilingnya untuk melihat jalan ke luar melarikan diri. Tetapi ia menjadi putus asa, karena ruangan itu tampak penuh rahasia. Kalau pun bisa lari, belum tentu dapat ke luar. Dan laki-laki bengis di hadapannya tampaknya bukanlah orang sembarangan, yang tentu saja tidak akan mau membiarkan mereka lolos. Simon menjadi putus asa, lalu berbisik ke telinga Profesor Van Leinen agar menerima tawaran Womere.

"Kita terima saja, Profesor daripada kita mati konyol sebelum ekspedisi kita selesai."

"Kita belum tahu apa yang mereka kehendaki. Kalau disuruh membunuh orang, rasanya tidak mungkin kita menurutinya," bisik Profesor tua itu yang tampaknya sudah mulai bisa menebak maksud musuh.

"Tapi bagaimana kalau tubuh kita dilemparkan ke dalam aquarium maut itu?"

"Jangan berbisik-bisik, Tuan-tuan! Percuma saja, karena aku bisa mendengarnya. Kalian harus mengambil keputusan sekarang. Tak perlu menunggu terlalu lama. Ya atau tidak, kemudian tinggal terima resikonya."

Pelan suara Womere, namun kedua tawanannya dapat merasakan di balik suara yang pelan dan sikap yang dingin itu terkandung sebuah ancaman maut. Dan mengambil keputusan terlalu lama akan diartikan pula sebagai penolakan. Maka Simon dan ahli biologi dan Ilmu alam itu hanya saling pandang.

"Harap Tuan-tuan ketahui, musuh-musuh Kepala Suku Wan-Da-I mempunyai dua jenis kekuatan, yakni kekuatan bathin dan kekuatan otak. Untuk kekuatan bathin sudah menjadi bagianku untuk melalapnya. Tetapi untuk kekuatan otak, kuserahkan kepada kalian berdua! Sekarang mari kutunjukkan kamar kegiatanku. Dari dalam kamar inilah aku menjalankan kegiatan bathin!"

Womere melangkah ke kamar di sebelahnya melalui pintu semacam lorong sempit. Keadaan di ruangan itu hanya samar-samar saja, namun Profesor Van Leinen dan Simon dapat memperhatikan apa saja yang ada di dalamnya. Di sudut sebelah kanan ada sebuah meja terbuat dari sebongkah batu berukuran sekitar satu kali dua meter. Di atasnya terdapat beberapa botol ukuran kecil dan besar berisi cairan yang entah apa gunanya. Di dekatnya, terdapat pula beberapa tengkorak kepala manusia, yang tampaknya sengaja disimpan dalam ruangan untuk maksud tertentu. Agak di sebelahnya, ada pula sebuah sangkar berukuran kecil berisikan seekor burung hantu berbulu hitam.

Di sudut ruangan yang satu lagi, terdapat pula sebuah meja panjang dari kayu dan di atasnya berjejer boneka-boneka gabus yang berukuran kecil. Di ujung barisan boneka-boneka itu terdapat pula sebuah tengkorak kepala manusia.

"Ini adalah kamar kegiatanku. Kepada Tuan-tuan aku bermurah hati menunjukkan dan membawa Tuantuan ke sini. Perhatikan baik-baik semua yang ada di ruangan ini. Semoga dengan ini Tuan-tuan dapat membawa kenang-kenangan jika sudah kembali ke negeri tuan kelak."

"Oh, mijn god! Aku seperti berada di dalam gua Tukang Sihir seperti dalam cerita dongeng Eropa. Bergidik bulu kudukku!" kata Profesor Van Leinen. Ia segera menduga bahwa tengkorak-tengkorak di ruangan itu pastilah orang-orang hukuman yang disiksa sampai mati lalu tengkoraknya diambil untuk keperluan si tukang sihir. Kalau benar dugaannya, berarti alangkah sadisnya laki-laki yang mengajak mereka ke kamar itu. Sejenak Profesor Van Leinen melirik Womere, tetapi laki-laki itu tampak tenang-tenang saja, seolah-olah menganggap tengkorak-tengkorak itu hanyalah mainan belaka.

"Sayang sekali penerangan di sini agak remangremang dan itu memang saya sengaja. Sekarang lebih dekatlah ke meja yang satu ini, Tuan-tuan."

Setelah kedua tamu atau lebih tepatnya tawanannya itu berada di dekat meja tempat bonekaboneka, Womere berkata:

"Lihat di atas meja itu. Itu adalah boneka-boneka gabus yang kubuat mirip dengan musuh-musuh kami. Melalui boneka-boneka itu aku bisa berbuat sesuka hati sesuai dengan rencana yang telah kuatur untuk melaksanakan penumpasan terhadap Pampani. Barangkali Tuan-tuan sudah pernah melihat orang yang mirip dengan boneka itu. Cobalah perhatikan lebih seksama!"

Profesor Van Leinen dan Simon melangkah lebih dekat lagi dan mengamati boneka itu satu per satu.

"Oh, itu Kepala Suku Pampani, tuan Karta dan lelaki berkaki buntung. Tapi yang lainnya belum kukenal " kata profesor tua itu terkejut. Karena otaknya

memang sangat cerdas serta sudah sangat berpengalaman pula, ia segera dapat menduga bahwa boneka itu adalah keperluan ilmu-ilmu berbau mistik. Semacam vodoo dari Afrika.

"Selain itu, aku juga telah membuat boneka gabus yang mirip Tuan-tuan. Ini dia!" Womere meletakkan dua boneka gabus di atas meja di hadapan kedua tawanannya. Profesor Van Leinen dan Simon memperhatikan kedua boneka itu.

"Oh !"

Kedua laki-laki kulit putih itu sama-sama terkejut menyaksikan boneka itu sangat mirip dengan mereka. Kapan Womere membuatnya dan bagaimana ia bisa tahu wajah mereka?

"Untuk apa boneka-boneka itu?" tanya Simon dengan dada berdebar-debar.

Womere tertawa terkekeh-kekeh, seolah-olah menganggap pertanyaan Simon itu sangat lucu.

"Kalian akan tahu sendiri nanti. Dan sekarang aku akan menunjukkan bagaimana caranya bonekaboneka ini beraksi. Kalian tentu ingin menyaksikannya, bukan?"

Profesor Van Leinen dan Simon mengangguk tanpa sadar dan menunggu dengan perasaan tegang.

"Baiklah! Kalian memang tamu-tamu yang sangat baik. Lihat baik-baik!" Mulut Womere komat kamit sejenak dan kedua tangannya di-rentangkan ke arah kedua boneka di atas meja. Sepasang matanya melotot memancarkan sinar yang sangat aneh, sehingga diamdiam Profesor Van Leinen dan Simon yang menyaksikannya bergidik ngeri.

"Hai, bergeraklah! Bergerak! Bergerak...!" kata Womere setengah mendesis lirih.

Dan ajaib! Boneka-boneka gabus-gabus itu bergerak sendiri saling menghampiri. Akibat atau pengaruhnya pun luar biasa! Profesor Van Leinen dan Simon saling bertatapan dengan mata melotot dan wajah mereka sama-sama merah padam, seolah-olah dua orang yang saling bermusuhan dan siap mengadu nyawa.

Sesuai dengan gerak boneka itu, profesor tua dan Simon pun ikut bergerak saling menghampiri. Kedua boneka gabus itu semakin berdekatan dan bagian kepalanya saling membentur seperti wayang kelitik (acel).

"Buk!"

Pukulan tangan kanan Simon mendarat telak di mulut Profesor Van Leinen. Demikian kerasnya tenaga pukulan itu, sehingga mulut laki-laki tua itu berdarah dan tubuhnya pun terdorong mundur. Itulah refleksi dari beradunya bagian kepala kedua boneka gabus yang digerakkan oleh Womere dengan ilmu sihirnya.

"God verdom je, Simon! Kurang ajar...!" bentak Profesor tua itu geram. Namun mendadak Simon sudah menyerangnya kembali dengan melayangkan pukulan tangan kiri ke arah mulutnya.

Sambil memaki-maki, laki-laki berambut ubanan itu menangkis pukulan Simon dengan tangan kanannya. Lalu secepat kilat tangan kirinya menyambar dada sobat mudanya itu.

"Buk!"

Simon tak sempat mengelak dan ia pun terjengkang sambil merintih kesakitan. Ia pun memaki lalu meloncat berdiri dengan tangkas. Kedua tangannya dikepalkan dan sepasang matanya menatap liar seperti harimau muda yang hendak menerkam mangsa.

Ketika Profesor Van Leinen menerkamnya, Simon dengan cepat berkelit ke samping sehingga tubuh lakilaki tua itu meluncur di sampingnya. Saat itulah kaki kiri Simon melayang menghantam perut sahabat tuanya. Kembali Profesor Van Leinen terpelanting, tetapi tanpa memperdulikan rasa sakit di tubuhnya, ia bangkit lagi.

"God verdom!"

Ia memaki dengan wajah yang tampak semakin merah padam. Simon yang tadi sangat kesal karena dadanya dipukul dengan sangat telaknya hingga sampai sekarang pun masih terasa sakit tidak mau memberikan lawan kesempatan untuk menyerang. Sebelum diterkam, ia sudah lebih dulu menerkam. Agaknya pemuda ini pun memiliki ketangkasan berkelahi dan tenaga yang cukup besar. Kepalanya menghantam ke arah perut Profesor Van Leinen dan ketika lawannya itu mengelak, tangan kanannya melayang menghantam mulut Profesor tua.

Demikianlah kedua laki-laki berkulit putih yang sebetulnya bersahabat bahkan satu perjalanan itu saling baku hantam. Mereka berganti-gantian memukul lawan dan bergantian pula jatuh terpelanting.

Tanpa mereka sadari, Womere tersenyumsenyum puas melihat kedua tawanannya itu terlihat perkelahian yang seru. Dengan tergopoh-gopoh ia ke luar dari ruangan itu, lalu menghampiri Wan-Da-I yang masih duduk bermalas-malasan di kursi singgasananya.

"Ada apa, Womere?" tanya Wan-Da-I agak terkejut melihat tangan kanannya itu masuk tergopohgopoh. Ia mengira ada sesuatu hal yang sangat penting atau telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sehingga ia segera berdiri dari kursinya.

"Lihat, Tuanku! Di dalam sedang terjadi sesuatu yang cukup menarik. Tuan pasti tertarik, hitunghitung sebagai hiburan di kala waktu senggang seperti ini."

Wan-Da-I yang sudah mengerti betul watak Womere menjadi tersenyum lega. Berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bahkan si Tukang Sihir dari Pulau Kolepom itu mengajaknya menonton sesuatu yang tentu sangat menarik. Maka ia pun mengikuti Womere masuk ke ruangan rahasia itu.

Profesor Van Leinen dan Simon masih bergumul seru, saling menindih dan memukul. Agaknya sewaktu ditinggalkan Womere tadi, profesor tua itu telah berhasil memukul mulut Simon, hingga tampak berlumuran darah. Tetapi Profesor Van Leinen pun mengalami hal sama, bahkan pelupuk matanya tampak sudah benjolbenjol membiru.

"Coba perhatikan boneka gabus ini, Tuanku!" bisik Womere ke telinga Wan-Da-I

"Apakah tidak akan terlalu berbahaya terhadap mereka?" tanya Wan-Da-I yang tampaknya khawatir juga jika kedua tawanan mereka saling membunuh.

"Tentu tidak, Tuanku! Perkelahian mereka hanya sampai ke tingkat yang biasa-biasa saja. Paling-paling mereka hanya menderita luka-luka memar. Itu perlu agar nanti mereka semakin menyadari kekuatan kita. Sekarang kita sudah betul-betul bisa menguasai mereka Tuanku! Setelah menguasai Wori, tenaga kita semakin kuat. Sekarang dengan menguasai kedua orang kulit putih itu, tenaga pikiran pihak kita pun semakin hebat. Si keparat Pampani dan para pendekar Pulau Jawa itu tentu tidak akan berdaya lagi. Kita hancurkan dan kita basmi sampai ke akar-akarnya!"

"Bagus, Womere! Cara berpikirmu betul-betul hebat. Aku yakin dengan adanya kau di sini, maksud hatiku jadi penguasa di pulau Trangan akan segera tercapai."

"Tentu, Tuanku! Tidak akan ada lagi yang bisa menghalang-halangi kita. Kita sudah memiliki kekuatan yang unggul dalam segala-galanya. Kedua kulit putih itu akan kita paksa dengan cara kita untuk menciptakan bahan peledak dari mesiu yang kita terima dari orang-orang Belanda sebagai tukaran mutiara. Maka Pampani dan sekutu-sekutunya akan segera hancur."

"Ha-ha-ha! Dan dendamku kepada si keparat itu pasti akan terlampiaskan!"

Womere kemudian melangkah menghampiri kedua orang kulit putih yang sedang baku hantam itu. Ia bertepuk tangan tiga kali dan menyuruh mereka berhenti berkelahi.

"Cukup! Cukup! Berhentilah!" teriaknya. dengan suara keras dan sangat berpengaruh.

Profesor Van Leinen dan Simon menghentikan serangannya. Kedua laki-laki itu saling pandang seperti orang yang baru tersadar dari mimpi buruk.

"Terimakasih! Terimakasih! Tuan-tuan ternyata sudah bisa kami percayai. Bangunlah! Ayo, bangun!"

Profesor tua dan Simon merasa tubuhnya sangat lemas dan nyeri terutama di bagian mulut yang masih mengucurkan darah. Baru sekarang mereka menyadari bahwa keduanya tadi saling menyerang hingga sampai babak belur. Ada rasa marah di dalam hati nurani mereka karena merasa dipermainkan. Namun ada pula pengaruh yang sangat kuat merasuki pikiran, sehingga keduanya merasa tidak mampu melakukan apa-apa.

Diam-diam keduanya mengeluh dan menyadari bahwa mereka telah jatuh ke dalam cengkeraman musuh yang sangat jahat. Terasa benar oleh kedua lakilaki berkulit putih itu bahwa ruangan rahasia itu merupakan sarang iblis, yang diciptakan sebagai semacam pangkalan untuk melakukan perbuatanperbuatan jahat di Kepulauan Aru.

TAMAT

Setelah berhasil menguasai Pendekar Bumerang Wori, tokoh sesat Wan-Da-I dan tukang sihir Womere juga menguasai dua orang kulit putih yang hendak melakukan penelitian di Kepulauan Aru.

Apakah yang akan terjadi di Kepulauan tersebut? Apakah benar-benar akan hancur seperti yang direncanakan musuh Pampani?

Tunggu episode berikutnya yang berjudul:

"Kemelut Di Pulau Aru"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar