1
Debur ombak menggelegar! Gelombang air laut menciptakan garis-garis putih, memanjang seolaholah saling berkejaran atau saling berlomba lebih dulu sampai di pantai. Terdengar air laut berdesah memanjat tepi pantai yang landai, kemudian turun dan kembali bersatu dengan gelombang yang datang menyusul.
Hari masih pagi, namun karena sang surya sedang cerah, permukaan laut tampak berkilau-kilau. Cukup indah. Tetapi hempasan ombak yang datang bergulung-gulung seolah-olah menutupi keindahannya dan kemudian menimbulkan kesan menakutkan. Gulungan ombak itu terkadang sampai sekitar sepuluh meter, tampak siap melumat benda apa saja yang ada di sekitarnya.
Burung-burung camar terbang berkelompokkelompok di langit biru. Beberapa ekor di antaranya menukik cepat sekali, kemudian melesat lagi ke atas, bergabung dengan rombongannya.
Dinding batu karang di tepi laut menjadi geronggang terkikis hantaman ombak. Tak diragukan lagi, laut di tempat itu sangat ganas! Siapa saja yang pernah terjun langsung ke lautan itu atau hanya mendengarnya, mengakui hal tersebut. Ganasnya gelombang tidak hanya dapat menghanyutkan perahu ukuran besar, tetapi juga mampu membuatnya hancur berkeping-keping.
Itulah laut Arafuru!
Laut Arafuru merupakan rangkaian samudra Hindia dari Barat ke Timur, sampai sekarang masih dikenal sebagai laut berombak besar dan ganas. Merupakan pemisah Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru dengan benua Australia, yang dikenal sebagai negeri Kanguru. Di sebelah Barat adalah laut Timor, dan di sebelah Barat Laut membentang laut Banda.
Kepulauan Aru yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil berada di sebelah Barat Daya Irian Jaya sekarang. Dari kepulauan itulah kisah ini dimulai beratus-ratus tahun silam. Kisah petualangan para pendekar muda dari Pulau Jawa.
Jika sebagian orang mendengar debur ombak yang menggelegar di laut Arafuru sudah ngeri atau ciut nyalinya, justru sekarang tampak seorang lelaki berusia muda duduk berendam di perairan yang dangkal.
Usianya baru sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Rambutnya yang panjang sebatas bahu diikat dengan sepotong kain. Tampaknya ia sudah cukup lama dan terbiasa pula duduk bersemedi di laut, sehingga wajahnya berubah agak kehitam-hitaman. Namun wajahnya yang mencerminkan kejujuran itu tetap terlihat tampan dan simpatik.
Itulah dia Karta yang lebih dikenal dengan julukan si Gila Dari Muara Bondet. Pendekar itu duduk di perairan dengan sikap tegak, kedua tangan dilipat di dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan. Walaupun arus ombak cukup kuat, tubuhnya tetap tegak tidak bergerak-gerak sehingga dari kejauhan tampak seperti patung.
Nun jauh di atas tebing, berdiri pula seorang wanita sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Ia masih muda, sekitar dua puluh satu tahun. Rambutnya yang panjang dikuncir dan dihiasi manikmanik. Wajahnya yang bulat lonjong berkulit putih bersih kelihatan memancarkan kecantikan. Namun kini wajah itu tampak muram, bagaikan cakrawala dihiasi mendung, sepasang matanya juga redup, menatap suaminya yang sedang bersemedi di laut.
Nomina, adik kandung Kepala Suku bernama Pampani adalah istri Karta. Mereka sekarang sudah dikaruniai seorang anak. Kehidupan rumah tangga Karta selama ini sebetulnya cukup sejahtera, selalu diwarnai keceriaan. Nomina dan Karta saling mencintai dan pengertian satu sama lain.
Namun kedamaian itu tidak terlalu lama mereka rasakan. Bukan karena di antara mereka terjadi kesalah pahaman. Tetapi karena suku yang dipimpin Pampani sedang terlibat perang suku dengan kelompok-kelompok Wan-Da-I dan Womere. Tokoh dari golongan sesat ini sudah sekian lama berambisi menggulingkan Pampani. Segala cara mereka tempuh untuk bisa menjadi penguasa di Kepulauan Aru
Dalam suatu pertempuran baru-baru ini Karta menderita luka dalam yang cukup parah, sehingga berhari-hari ia harus bersemedi di laut untuk memulihkan kesehatannya. Dengan setia, Nomina istrinya itu sering menjenguknya dari atas tebing dan berharap suaminya itu secepatnya sembuh seperti sedia kala.
Dari arah belakang Nomina, terdengar suara langkah tertatih-tatih. Lelaki itu menutupi kepalanya dengan topi jenis caping lebar sehingga wajahnya terlindung dari sengatan terik matahari. Ia sudah cukup tua, mungkin sudah mencapai empat puluh tahun atau lebih. Ia selalu menggunakan tongkat, karena kaki kanannya telah buntung sebatas lutut.
Namanya Baureksa. Namun karena kakinya yang buntung tetapi tetap mempunyai ilmu silat yang tinggi, di kalangan persilatan ia dijuluki Pendekar Kaki Tunggal. Ia sekarang melangkah menghampiri Nomina. Sejenak Baureksa menatap Nomina dengan mata sendu. Ia merasa sangat terharu, karena terasa benar olehnya betapa besar cinta dan kesetiaan adik Kepala Suku itu terhadap suaminya, Karta.
"Tuanku Ratu," ujar si Kaki Tunggal dengan suara lembut. Nomina sudah mengenal suara itu. Mungkin itu sebabnya ia tidak berpaling, masih melayangkan pandangan matanya ke hamparan laut di bawah sana.
"Sudahlah tuanku putri. Hari sudah mulai petang. Sebaiknya kalian berdua pulang saja. Udaranya tidak baik untuk si orok yang masih lemah. Kasihan, nanti jadi sakit."
Perlahan-lahan Nomina membalikkan badan, menatap Baureksa dengan mata berkaca-kaca.
"Biarlah aku yang menunggui suamimu. Dalam beberapa hari lagi ia tentu akan selesai bersemedi. Ia telah mengalami luka dalam cukup parah. Karena itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkannya. Tapi pasti sembuh! Ayolah biar aku antarkan kalian pulang."
Akhirnya dengan gerak perlahan, Nomina mengangguk, "Terima kasih," ujarnya lirih. Di tengah perjalanan pulang, mereka berpapasan dengan suami istri Umang dan Mirah. Sepasang pendekar muda itu mengangguk hormat, lalu tersenyum ramah.
"Oh, kau Umang dan Mirah. Kebetulan, tolong kawal tuan permaisuri ke istana. Aku akan berjagajaga di sini."
"Baik, kami akan antarkan!"
Sementara itu di sudut lain pantai karang, tampaklah seorang lelaki tegap dan tinggi besar berjalan menyusuri pantai karang. Ia mempunyai tinggi tubuh sekitar dua meter. Tubuhnya yang penuh otot itu hanya ditutupi semacam cawat, menutupi kemaluannya. Kedua lengan atas dan pergelangan tangannya dihiasi gelang-gelang perak, demikian juga pergelangan kakinya. Sementara di daun telinganya dihiasi antinganting bulat besar.
Wori, demikian nama lelaki raksasa itu. Ia sebenarnya bukan penduduk pribumi Kepulauan Aru, melainkan suku asli dari negeri Kanguru yang sekarang bernama Australia. Sama seperti suku asli di negerinya, ia juga menggunakan senjata bumerang, terbuat dari logam campuran baja dan kuningan. Senjata itu berbentuk setengah lingkaran hingga mirip bulan sabit, yang kedua ujungnya sangat runcing. Adapun keistimewaan senjata bumerang adalah jika dilemparkan namun tidak mengenai sasaran, akan kembali kepada si pemiliknya.
Setiap senjata memang mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Namun karena sudah sangat ahli menggunakannya, senjata andalan Wori hanyalah bumerang itu. Makanya di kepulauan Aru ia dijuluki Pendekar Bumerang. Ia sudah cukup lama bergabung dengan suku pimpinan Pampani, setelah dalam petualangannya terdampar di Kepulauan Aru.
Kini ia sedang berdiri tegak di dekat dinding cadas tepi pantai. Sepasang matanya yang besar menatap liar, mengamati batu cadas. Lalu dengan gerakan cepat, ia melemparkan bumerang di tangannya, meluncur menghantam batu cadas. Bumerang itu kemudian berbalik ke tangan Wori.
"Bukan! Suaranya biasa saja," kata Wori pada dirinya sendiri. Berkali-kali lelaki kekar dan tinggi besar itu melemparkan senjatanya yang unik ke setiap dinding cadas yang dijumpainya. Sampai suatu saat suara benturan bumerang terdengar lain. Wajah Wori tiba-tiba berubah jadi berseri-seri, matanya bersinarsinar.
"Nah, ini dia! Suaranya agak lain!" katanya. Lalu ia mengetuk-ngetuk dinding cadas sambil melekatkan telinganya. Setelah yakin bahwa dinding itulah yang dicarinya, maka ia pun mundur beberapa langkah dan memasang kuda-kuda. Kedua tangannya disilangkan di dada, nafasnya ditahan beberapa saat.
Sambil berteriak dengan suara menggelegar, tiba-tiba Wori menyeruduk dinding cadas itu. Kepalanya yang botak menghantam dengan dahsyat bagaikan godam raksasa.
"Bruuk!" Dinding cadas itupun jebol, hancur berkeping-keping, membuat lubang yang cukup besar, Wori agak pusing juga, tetapi ia menarik nafas lega, karena telah berhasil menemukan sebuah terowongan yang belum pernah diketahui sebelumnya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Wori segera masuk ke terowongan itu. Hanya beberapa saat kemudian, ia masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup besar, yang sekelilingnya merupakan dinding batu cadas pula. Di sudut ruangan itu tampak sebuah pintu terbuat dari sebongkah batu besar.
"Aku akan menggeser pintu ini," pikir Wori sambil mengerahkan tenaga. Namun jangankan tergeser, bergeming pun tidak. Kembali ia mencoba sampai sekujur tubuhnya dibasahi keringat, tetapi usahanya tetap sia-sia, karena pintu batu itu mempunyai urat-urat yang saling menjalin.
"Mungkin ada cara khusus untuk membukanya," kata Wori, lalu memeriksa sudut-sudut batu itu. Namun ia tak menemukan apa-apa. Dengan rasa penasaran, ia mencoba lagi mengerahkan segenap tenaganya menggeser pintu rahasia tadi.
Karena belum juga berhasil, pendekar bumerang itu akhirnya memutuskan cara lain. Ia mundur beberapa langkah, lalu berdiri tegak lurus dengan posisi kedua kaki setengah terbuka. Kedua tangannya disilangkan di dada. Sepasang matanya mencorong tajam menatap ke pintu batu, udara dihirup banyakbanyak dan untuk beberapa saat ditahan hingga dadanya tampak membusung. "Hiyaaaat!" Wori berteriak dengan suara mengguntur dan bersamaan dengan itu ia berlari kencang. Tangan kanannya ditarik ke belakang, lalu ia menghantam batu itu dengan telapak tangan seperti sedang menampar.
Tenaga dalam pendekar bumerang itu memang dahsyat luar biasa. Sewaktu tangannya mendobrak lurus ke urat nadi pintu batu, terdengar suara menggelegar bagaikan gunung runtuh. Pintu batu itu pun hancur berkeping-keping.
Dengan, wajah berseri-seri, namun tetap waspada, Wori segera melangkah masuk. Pintu batu itu ternyata menutupi sebuah lorong yang cukup sempit, sehingga Wori harus agak menunduk sewaktu menyusurinya. Suasana di dalam itu cukup gelap, karena cahaya hanya sedikit yang masuk.
Baru sekitar sepuluh meter melangkah, Wori melihat sebuah obor tergantung di dinding batu. Timbullah niat di dalam hatinya untuk menyalakannya. Lalu ia menarik obor itu dengan tangan kanan. Tetapi tanpa diduga-duga, terdengar suara berderak. Batu yang diinjak Wori bergeser dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya amblas ke bawah.
Ternyata obor itu adalah jebakan, yang diatur sedemikian rupa sehingga jika ditarik, batu yang diinjak akan amblas. Wori ingin meraih lantai batu yang tidak ikut amblas, namun terlambat sudah, tubuhnya sudah keburu melayang jatuh. Ia hanya bisa berteriak kaget.
"Buk!" Bagian punggung Wori terbanting keras ke dasar lubang, membuatnya kembali berteriak kesakitan. Lelaki bertubuh raksasa itu geram dan mengumpat dalam hati. Punggungnya terasa sakit, tetapi bukan hanya itu yang membuatnya kesal, tetapi terutama adalah karena merasa tertipu dan dipermainkan. Ia segera bangkit berdiri dan menyapu keadaan di sekelilingnya dengan tatapan mata liar.
Sebelum sempat berbuat apa-apa, terdengar suara berdesir kalajengking yang jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan, menyerbu Wori dari segala jurusan. Binatang itu sangat berbisa, sekali menggigit korbannya bisa tewas, atau paling tidak akan keracunan yang sangat berbahaya. Tak terkatakan betapa terkejutnya Pendekar Bumerang, apalagi karena binatang-binatang berbisa itu mulai merayapi sekujur tubuhnya.
Kalau saja Wori bukanlah pendekar berilmu tinggi dan belum mempunyai pengalaman, pastilah ia akan berteriak-teriak panik sambil berlari-larian ke sana ke mari. Tetapi dengan ketabahan yang luar biasa, ia berdiri tegak tanpa bergerak-gerak. Nafasnya ia tahan beberapa saat dan mengeluarkannya sepelan mungkin. Memang itulah satu-satunya jalan terbaik bagi Wori, sebab kalau ia bergerak sedikit saja, kalajengking itu pasti akan menyengatnya.
***
2
Cukup lama juga Pendekar Bumerang diam bagaikan patung. Hingga akhirnya ketika mulai cemas tidak mampu bertahan, terdengar suara air meluncur dari celah-celah dinding batu yang retak, terkena pukulannya tadi. Karena tempat itu kebetulan lebih rendah dari permukaan laut, dalam sekejap sudah penuh dengan air. Sungguh suatu pertolongan yang sangat menguntungkan, karena kalajengking takut air, sehingga segera berlarian dari tubuh Wori. Barulah pendekar dari pulau Kanguru itu bisa menarik nafas lega. Makin lama, air yang masuk ke tempat itu makin tinggi hingga akhirnya hampir menenggelamkan dirinya sendiri.
Tetapi justru hal itu membuatnya dengan mudah mencapai pintu lubang jebakan. Ia berenang ke atas, lalu meraih pinggir jebakan dan akhirnya dapat keluar dari dasar yang dalam serta gelap itu.
Kembali ia meneruskan langkahnya dengan sikap yang lebih hati-hati lagi. Apalagi karena lorong berikutnya jauh lebih gelap lagi. Langkah kakinya diusahakan seringan mungkin, sementara kedua telinganya dipasang sewaspada mungkin, siapa tahu ada suara mencurigakan.
Akan tetapi tampaknya lorong itu penuh dengan jebakan yang sangat membahayakan. Tiba-tiba Wori menginjak kayu melintang di dasar lorong. Hanya beberapa saat kemudian, dari kiri kanan dinding meluncur tombak-tom-bak runcing yang dirangkai hingga menyerupai pagar, mengarah ke tubuh Wori.
Sambil berseru kaget, laki-laki tegap itu membantingkan tubuh ke samping. Loloslah pendekar bertenaga dahsyat itu dari maut, walaupun tangan dan kakinya terluka mengeluarkan darah segar. Lelaki itu menggeram, kembali nyawanya nyaris terbang meninggalkan raga. Dipukulnya jebakan maut itu hingga jebol.
Wori menghela nafas dalam-dalam dalam ketertegunannya. Ia tak berani membayangkan bagaimana kalau pintu bergigi runcing itu menggencet tubuhnya. Hanya dalam beberapa helaan nafas saja, ia tentu akan tewas. Keadaan itu membuatnya merasa perlu meningkatkan kewaspadaan, walaupun tidaklah membuatnya gentar dan mengurungkan niat.
Ia terus melangkah menyusuri lorong di depannya dan tak lama berselang sampailah dirinya ke sebuah ruangan yang cukup besar, berukuran sekitar empat kali empat meter dan semua dindingnya terbuat dari batu cadas.
Di dinding itu ada pula gagang kayu yang tampaknya merupakan kunci dari gerbang batu di depannya. Wori sekarang lebih berhati-hati. Diperiksanya lantai kayu yang diinjaknya, karena ia bermaksud akan memutar gagang kayu itu. Namun tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan ketika gagang itu diputar, bahkan secara perlahan-lahan gerbang batu di depannya terbuka, setelah bergerak naik ke atas.
Masuk ke lorong melalui gerbang tadi itu, Wori menemukan lorong yang sedikit lebar. Kira-kira sepuluh meter di depannya terdapat sebuah belokan. Di ujung belokan itu terlihat cahaya memancar membuat Wori ingin secepatnya mengetahui benda apa yang bercahaya itu.
Astaga! Wori hampir tak percaya pada penglihatannya sendiri. Matanya terbelalak lebar. Sekitar lima meter di depannya ada sebuah cungkup (sumur) berbentuk segi empat, agak tinggi tempatnya. Di empat sudutnya terdapat alat penerangan terbuat dari api alam (gas bumi), sehingga tempat itu terang benderang.
Cungkup itu terbuat dari batu pualam yang ditata apik hingga tampak sangat indah dan di bawahnya dua anak tangga, mirip seperti singgasana raja. Wori melangkah mendekat dan ia kembali terbelalak menyaksikan cungkup berukuran sekitar enam kali enam meter itu penuh butir-butir mutiara. Seumur hidup Wori belum pernah melihat mutiara sebanyak itu, bahkan membayangkannya pun tidak. Lama pendekar bumerang itu tertegun memikirkan untuk apa tumpukan mutiara sebanyak itu dan dari mana saja dikumpulkan.
Di hadapannya terpampang pula sebuah
akuarium raksasa. Dindingnya terbuat dari batu kaca yang langsung dipahat hingga cukup tipis dan halus, serta tembus pandang. Di balik akuarium itu tampak dasar laut sepanjang kanal buatan itu. Di dalam akuarium itu berkeliaran berpuluh-puluh ekor ikan hiu. Sungguh suatu pemandangan yang menakjubkan. Tetapi lebih menakjubkan lagi kemahiran teknik Maleang Pangaru membangun cungkup berisi mutiara, akuarium dari kaca batu dan kanal buatan.
Wori sendiri tidak pernah membayangkan bahwa tokoh sesat Maleang Pangaru sudah mencapai kemahiran sehebat itu. Maleang Pangaru yang dijuluki Iblis Pulau Aru sebetulnya adalah adik dari ayah Pampani, tetapi selama hidupnya ia tidak pernah akur dengan kakaknya pemimpin suku di pulau tersebut. Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, tokoh sesat ini juga dikenal memiliki ilmu sihir yang tiada bandingannya.
Dalam petualangannya sebagai jagoan dari dunia hitam, Maleang Pangaru sering pula dijuluki si Manusia Hiu, karena bentuk mukanya persis kepala ikan hiu, yang bagian ekornya memanjang sampai ke batas lututnya melalui punggung.
Agaknya semasa hidupnya Iblis Pulau Aru itu telah mengumpulkan banyak sekali mutiara di dalam lorong rahasia. Setelah ia meninggal, lorong rahasia atau bangunan bawah tanah itupun dikuasai anaknya Wan-Da-I, yang juga mewarisi sifat buruk ayahnya. Dalam keadaan seperti itu, Wan-Da-I yang menaruh dendam kesumat kepada Pampani bermaksud menggunakan timbunan mutiara itu untuk bisa menjadi penguasa di Kepulauan Aru.
Sekarang Wori yang merupakan sahabat dekat musuh besarnya itu sedang di tempat penyembunyian mutiara. Pendekar bumerang itu meraup mutiara-mutiara itu dan memandangnya sambil menggelenggelengkan kepala. Ia tak habis pikir untuk apa mutiara sebanyak itu. Tetapi menurut perkiraannya, kalau hendak membangun istana terbuat dari mutiara tentulah bisa.
Ketika Wori masih tetap mengagumi mutiaramutiara itu, tiba-tiba sebuah bayangan bergerak di belakangnya, lalu melemparkan beberapa lembar kertas. Wori menjadi terkejut mendengar suara gemerisik itu. Secepat kilat ia berbalik dan menatap liar keadaan di sekelilingnya.
"Heh! Siapa itu?" bentaknya sambil memasang kuda-kuda. Ia segera meloncat ke balik lorong itu, di mana terdapat sebuah lemari kayu. Kebetulan ada seekor tikus melintas di antara kertas-kertas itu. Ah, cuma seekor tikus, pikir Wori, lalu memungut kertas. Kertas itu diperiksanya sejenak, ternyata berisi tulisan. Sayang sekali ia tidak bisa membaca sama sekali. Wori kemudian memasukkannya ke sela-sela cawatnya dan nanti akan ia tunjukkan kepada Pampani, siapa tahu tulisan itu berisikan sesuatu yang sangat penting.
Sementara itu, penduduk pimpinan Pampani masih sibuk membangun kembali istana baru di atas puing-puing istana yang lama. Mereka tampak bekerja sangat tekunnya, sehingga tanpa terasa hari sudah siang.
Pampani melangkah menghampiri para pekerja itu. Wajahnya tampak berseri-seri melihat kesungguhan warganya. Bentuk kasar istana itu sudah terlihat dan menurut perkiraannya, dalam beberapa hari lagi pastilah akan rampung. Sebuah istana yang mirip dengan rumah tradisional, cuma jauh lebih besar dan indah karena ditata bagus dan diberi warna-warni kontras seperti kebiasaan penduduk pribumi di sekitar laut Arafuru.
Seperti halnya rumah lainnya, istana itu dibangun dengan tiang penyangga yang cukup tinggi dan bagian atapnya dibuat melengkung dari ujung ke ujung. Terdiri dari beberapa ruangan yang luasnya berbeda-beda sesuai keperluannya, ruang pertemuan, kamar tidur dan peristirahatan, tempat singgasana, ruang penyimpanan buku-buku dan harta istana lainnya, ruang penjagaan dan yang lainnya.
Pekarangan istana itu sangat luas dan diberi pagar rapat dan tinggi sekitar enam meter, di mana ujung-ujungnya dibuat runcing, sehingga akan sulitlah bagi orang melewatinya tanpa diketahui penjaga karena di sudut kanan pekarangan istana itu dibangun pula menara pengawas. Walaupun belum rampung, dapatlah diyakini bahwa istana baru itu jauh lebih bagus dan kuat dibandingkan istana lama.
"Waktu bersantap sudah tiba. Marilah tamutamu kehormatanku! Berkumpullah untuk bersantap!" kata Pampani dengan ramah.
Para pekerja itu sama-sama menghentikan pekerjaannya. Mereka segera berkumpul di ruang tengah istana itu. Di bagian paling ujung duduklah Pampani. Di sebelah kanannya Pendekar Kaki Tunggal dan Bungoru, yang tubuhnya tinggi besar. Perawakannya hampir sama dengan Wori, hingga mirip raksasa. Di sebelah kiri Pampani duduklah sepasang suami istri Umang dan Mirah. Sedangkan di hadapan mereka telah terhidang makanan serta lauk pauknya.
"Di manakah saudara kita Wori? Barangkali ia sedang sibuk di luar," kata Pampani.
"Sejak tadi aku belum melihatnya," sahut Bungoru. "Kita tunggu saja barang sebentar. Lebih nikmat rasanya kalau bersantap bersama-sama," Umang menimpali.
Sejenak mereka berdiam diri sambil menunggu Wori yang sejak tadi tidak kelihatan batang hidungnya. Setelah itu, si Kaki Tunggal berkata: "Hm, sayang sekali! Di saat-saat seperti ini sudah berhari-hari saudara Karta tak hadir di tengah-tengah kita. Kurang nikmat rasanya."
"Ya, apa boleh buat! Kita harapkan saja semoga dia lekas sembuh. Hm, Bungoru. Coba kau panggil saudara Wori!" kata Pampani.
"Daulat, tuanku!"
Tepat ketika Bungoru bangkit dari duduknya, muncullah Wori di ambang pintu. Laki-laki bertubuh raksasa itu tertawa terkekeh-kekeh, "Tak usah repotrepot. Aku sudah datang!" katanya.
"Huh dari mana saja kau?" kata Bungoru. "Maafkan aku! Rupanya kalian agak cemas
menunggu. Aku kebetulan sedang menemukan sesuatu yang sangat penting."
"Apakah yang kau maksudkan itu?" tanya Baureksa, si Kaki Tunggal.
"Sebaiknya kita makan saja dulu! Aku pun sudah sangat lapar!"
Mereka pun segera bersantap dengan sangat lahapnya. Sama seperti Bungoru, Wori pun makannya sangat cepat dan banyak. Mulut lelaki raksasa itu berdecap-decap diiringi gerak perut yang gendut turun naik sehingga kelihatan sangat lucu. Orang lain tentulah akan geli melihat cara makan Wori dan Bungoru.
Tetapi orang-orang di ruangan itu sudah terbiasa melihatnya, jadi telah dianggap hal yang biasa pula.
Usai makan, Wori segera menceritakan pengalaman dan temuannya di dalam bangunan rahasia Iblis Pulau Aru.
"Aku membawa kabar penting untuk baginda Kepala Suku dan kita semua. Menjelang matahari terbit, aku telah berhasil menemukan gudang penyimpanan mutiara dari Iblis Pulau Aru. Banyak sekali, hampir aku tidak percaya di sini ada mutiara sebanyak itu."
"Hah? Jadi kau telah menemukannya?" kata Bungoru terkejut.
"Ya! Tak percuma kan aku dijuluki Pendekar Bumerang?" kata Wori bangga.
"Lalu bagaimana keadaan di sana?" tanya Baureksa.
"Penuh dengan jebakan mematikan. Aku hampir saja masuk liang kubur." Lalu Wori menyodorkan berkas-berkas kertas yang ditemukannya, "Aku tak bisa membaca. Tolong kau yang membacanya. Mungkin berisi sesuatu yang sangat penting!"
Baureksa menjadi tertawa masam, "Wah, sarua keneh! Waktu kecil aku cuma diajari tulisan Arab di pesantren. Kalau tulisan Belanda mah' teu tiasa jang, he-he-he!"
"Kalau tulisan Latin sebaiknya serahkan saja pada Mirah. Dia adalah putri bekas pejabat di Kuningan, tentu bisa baca!" kata si Lengan Tunggal Umang.
Wori segera menyerahkan kertas-kertas itu kepada Mirah. Tetapi wanita itu pun rupanya radarada buta huruf pula. Dengan susah payah ia mencoba mengeja huruf demi huruf, namun tetap saja ia tak bisa membacanya dengan sempurna.
"Ini... ini surat penjualan mutiara-mutiara kepada Belanda," kata Mirah agak ragu-ragu.
"Hah?" Pampani berseru kaget mendengar ucapan Mirah, "Benarkah itu?" "Ya, benarkah itu, Mirah?" tanya Baureksa pula ingin memperoleh kepastian.
Mirah kembali mengeja-ngeja huruf demi huruf. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk mantap, "Benar! Tidak salah lagi, Tulisan ini memang surat penjualan mutiara kepada Belanda!"
Para pendekar di ruangan itu saling pandang satu sama lain, seolah-olah ingin bertanya, kalau memang benar demikian, apakah gerangan maksud WanDa-I menjual mutiara-mutiara itu kepada Belanda? Dapat diterka, tokoh sesat itu pun tentu telah merencanakan sesuatu yang lebih hebat lagi untuk bisa jadi penguasa di Kepulauan Aru. Dan itu membuat Pampani serta teman-temannya pendekar dari Pulau Jawa merasa harus meningkatkan kewaspadaan.
***
3
Di tepi pantai, si Gila Dari Muara Bondet masih duduk bersemedi di antara terpaan gelombang laut yang cukup kuat. Kedua matanya terpejam dan tubuhnya tegak diam, pertanda bahwa ia benar-benar hanyut dalam semedinya.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali di atas tebing, lalu mengintai dari balik pepohonan. Tangannya yang kekar memegang sebatang lembing yang ukurannya kecil dan pendek, sehingga mirip anak panah. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, lelaki misterius itu menyambitkan lembing itu dari atas tebing ke arah punggung si Gila Dari Muara Bondet.
Agaknya lelaki yang melancarkan serangan gelap itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya, sehingga benda runcing bergagang panjang itu meluncur bagaikan kilat dan menimbulkan suara berdesing.
"Club!" Dengan kecepatan luar biasa, si Gila Dari Muara Bondet meloncat ke atas, sehingga senjata rahasia itu hanya menancap di dasar air tempat Karta tadi duduk bersemedi. Dalam semedinya, si Gila Dari Muara Bondet ternyata tetap memasang kewaspadaan, sehingga ketika senjata itu meluncur ke arahnya, ia segera mengetahui lewat pendengarannya yang sangat tajam.
Tubuhnya bersalto beberapa kali dengan gerakan yang sangat ringan dan cepat. Kakinya, kemudian mendarat di atas tebing dengan gerakan yang hampir tidak menimbulkan suara, pertanda ia sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
"Haiiiit!" Karta langsung memasang kudakuda sambil menatap liar ke sekelilingnya. Tetapi alangkah kecewanya dia, manakala menyadari bahwa orang yang menyerangnya telah lenyap. Sadarlah Karta bahwa orang itu pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi dan mempunyai sifat kejam serta sadis. Kalau saja senjata itu tadi mengenai sasaran, kemungkinan Karta akan tewas, atau paling tidak akan menderita luka parah.
Dengan kesal, Karta meloncat turun dan kembali duduk bersemedi di dalam air. Sebelum hanyut dalam semedinya, pendekar itu masih sempat bertanya-tanya siapakah gerangan musuh yang menyerangnya secara diam-diam tadi?
Sementara itu, Pampani dan kawankawannya masih duduk berbicara serius mengenai penemuan Wori yang sangat menakjubkan. Dari wajah mereka, terlihat adanya ketegangan.
"Bagaimana pendapat kalian mengenai penjualan mutiara-mutiara peninggalan Iblis Pulau Aru?" tanya Pampani.
"Menurut pendapatku lebih baik jual beli ini tidak diteruskan. Kita ambil mutiara-mutiara itu dan kita kembalikan kepada rakyat yang berhak," kata Mirah mengajukan pendapatnya.
"Hm, aku ada akal lain," sahut Baureksa, "Lebih baik mutiara-mutiara itu kita jual ke lain bangsa, tetapi bukan kepada Belanda. Kita jual saja kepada bangsa Inggris, kita cari persaingan harga yang lebih tinggi. Siapa yang berani bayar tinggi, merekalah yang dapat."
"Tapi apa bedanya?" kata Wori tampak kurang setuju dengan saran si Kaki Tunggal, "Dengan cara seperti itu, sama saja meneruskan pekerjaan Maleang."
"Tunggu dulu! Maksudku, dengan cara seperti itu maka akan timbul perang dagang di antara orangorang kulit putih. Biarlah mereka saling cakar-cakaran satu sama lain. Kita yang makan untungnya. Apakah kalian setuju?"
"Ha ha ha!" Wori tertawa tergelak-gelak sehingga perutnya berguncang-guncang, "Bagus! Bagus sekali. Aku setuju. Inggris kita adu dengan Belanda!"
Pampani tampak manggut-manggut. Wajahnya pun tampak berseri-seri, dan dengan nada ceria ia berkata: "Aku pun setuju! Tapi siapa orangnya yang bisa menghubungi bangsa Inggris?"
Sebelum sempat ada yang menjawab, tibatiba si Kaki Tunggal berteriak nyaring. Tongkatnya yang ujungnya bergagang dua disambitkan sambil mengerahkan tenaga dalam, sehingga meluncur bagaikan kilat ke atas atap istana.
"Hiyaaaat!" Suami istri Umang dan Mirah pun meluncurkan golok mereka. Wori pun tak ketinggalan, bumerang mautnya menyambar bagaikan kilat menyusul senjata teman-temannya.
Hampir secara berbarengan, semua senjata itu menembus atap. Terdengar suara seruan kaget seseorang yang sejak tadi rupanya mengintai dari atas atap. Tetapi agaknya lelaki itu bukanlah orang sembarangan. Tubuhnya segera berkelebatan di antara kilatan-kilatan cahaya senjata dari Pulau Jawa itu.
Tidak sampai satu helaan nafas berselang, tubuh keempat pendekar itu sudah melesat naik ke atap istana. Senjata bumerang Wori mencoba menghadang laki-laki misterius itu. Namun sambil bersalto di udara, kaki kanannya menendang bumerang itu dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat, sehingga senjata itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya. Hampir saja senjata makan tuan, karena gerakan lelaki itu sungguh tidak terduga-duga. Untunglah Wori segera berkelit disertai seruan kaget, dari bumerang itupun tertancap ke dinding istana.
Sewaktu para pendekar kawan akrab Pampani itu mendaratkan kakinya di atap istana, mereka hanya sempat menyaksikan sesosok bayangan berkelebat bagaikan anak panah, sehingga wajahnya tidak sempat terlihat.
"Setan! Gerakannya cepat luar biasa! Apa kalian sempat melihat wajahnya tadi?" tanya si Kaki Tunggal dengan wajah merah padam karena marah, tetapi juga bercampur kagum. Kalau pendekar berilmu tinggi seperti Baureksa sampai memaki lantaran kagum, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh laki-laki misterius tadi.
"Sayang sekali tidak sempat. Cuma potongan tubuhnya agak kurus," sahut Umang. Pendekar berlengan tunggal ini pun sangat kagum dan diam-diam harus mengakui bahwa kepandaiannya belum tentu lebih tinggi dari orang itu.
"Maleang Pangaru memang bertubuh kurus. Tetapi Wan-Da-I pun demikian. Entah siapa sebenarnya orang itu?" kata Baureksa sambil menghela nafas dalam-dalam. Agaknya orang tua itu mulai dapat merasakan bahwa saat ini musuh yang teramat lihai telah muncul yang setiap saat tidak mustahil dapat mencelakakan mereka. Karena itu ia pun berfikir bahwa dalam waktu dekat mereka pasti akan menghadapi kesulitan yang tak boleh dianggap remeh.
"Saya rasa itu bukan Wan-Da-I." kata Umang mantap. Bukankah pemberontak berilmu sihir itu belum memiliki kelihaian setinggi itu? Demikianlah perhitungan si Lengan Tunggal sehingga ia merasa sangat yakin akan kebenaran tebakannya.
Mereka kemudian meloncat turun ke halaman istana, di mana Pampani sudah menunggu dengan wajah yang sedikit memancarkan ketegangan. Betapa tidak, empat temannya pendekar dari Pulau Jawa itu bukanlah orang sembarangan. Namun rupanya tidak berhasil menangkap lelaki yang tadi mencoba mencuri dengar pembicaraan mereka. Tidak mungkin ada tokoh persilatan yang bisa lolos dari tangan teman-temannya, kalau tak memiliki kesaktian yang sangat tinggi.
"Sudahlah," kata Pampani menghibur diri sendiri, "Sekarang mari kita buktikan siapa sebenarnya dia! Kita bongkar kuburan Maleang Pangaru! Kalau betul dia sudah mati, jenazahnya tentu akan terlihat, tapi kalau masih hidup seperti yang dikatakan Wan-Da-I, apa boleh buat kita terpaksa harus mengadu nyawa dengannya!"
"Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita berangkat, makin cepat makin baik," kata Baureksa.
"Ya, tetapi kita harus tetap hati-hati dan siap siaga. Siapa tahu nanti datang musuh berikutnya. Kita harus membagi kekuatan. Sebaiknya saudara Umang dan Mirah menjaga dalam istana, melindungi tuan putri. Sedangkan aku, Wori serta Pendekar Kaki Tunggal pergi ke kuburan itu."
"Baik, kami siap berjaga-jaga di istana!" sahut
Umang.
"Berhati-hatilah, engkau saudaraku! Awasi
setiap gerakan yang mencurigakan. Kami secepatnya akan kembali!"
Pampani, Wori dan Baureksa segera menyusuri jalan kecil, menembus hutan di malam yang gelap itu. Perjalanan menuju lembah kuburan Iblis Pulau Aru cukup memakan waktu, karena selain cukup jauh, langkah mereka pun sering terhambat semak-semak dan akar pepohonan yang kurang jelas terlihat. Untunglah saat itu rembulan bersinar cukup terang, sehingga sangat membantu ketiga pendekar itu. Setelah hampir satu jam menempuh perjalanan menurun, mereka akhirnya sampai ke kuburan Maleang Pangaru. Keadaan di tempat itu sangat sepi, bahkan terasa menyeramkan. Gundukan tanah dan batu nisan makam tokoh sesat itu tampak seperti menyimpan sebuah misteri yang terlalu sukar dimengerti maknanya. Beberapa ekor burung malam terbang dari dahan pohon di dekat kuburan itu karena terkejut menyaksikan kedatangan tiga laki-laki tadi. Beberapa Saat terdengar burung memecah kesunyian malam, berbaur dengan desah dedaunan diterpa angin.
Pampani dan kedua sahabatnya berdiri tegak di sisi kuburan itu. Sejenak Pampani memeriksa kuburan itu, lalu sambil menatap si Kaki Tunggal dan Wori bergantian, ia berkata: "Inilah kuburan Maleang Pangaru. Oleh karena dia adalah adik dari ayahku, maka ia berhak mendapat cara penguburan kehormatan. Tetapi ia tidak berhak dikuburkan di halaman istana," kata Pampani.
"Bagaimana dengan Wan-Da-I?" tanya Bau-
reksa.
"Wan-Da-I telah dianggap sebagai musuh su-
ku, karena ia adalah anak haram dari pamanku. Oleh karena itu, derajatnya sama dengan pendeta Naomi, mayatnya dibuang begitu saja."
"Sudahlah, kita tak perlu terlalu banyak bicara sekarang. Sebaiknya kita menggali kuburannya!" kata Wori. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, ia menggali kuburan itu dengan peralatan yang salah satu ujungnya berfungsi seperti cangkul sedang ujung yang satunya lagi berfungsi sebagai sekop.
Wori yang memiliki tenaga bagaikan banteng, dengan sangat cekatan melakukan pekerjaan itu, sedangkan Pampani dan si Kaki Tunggal menunggu di dekat kuburan. Tak lama kemudian peti kuburan itu sudah kelihatan.
"Bukalah!" kata Pampani dengan wajah te-
gang.
Hanya dengan jari-jari tangannya, Wori mem-
buka peti itu. Terdengar suara gemeretak, dan peti itu pun terbuka.
"Hah? Kosong?" seru Pampani dan Baureksa berbarengan. Ternyata peti itu kosong melompong. Tidak ada mayat Maleang di dalamnya seperti yang mereka perkirakan sebelumnya. Bukankah Iblis Pulau Aru itu sudah tewas? Bagaimana mungkin petinya kosong? Apakah mayatnya diambil orang atau memang ia hidup kembali?
"Tak mungkin ia dapat hidup kembali. Racun buatan paman Cebol sangat ampuh. Tidak pernah gagal!" kata Pampani masih belum bisa mengatasi rasa kagetnya. Ia memang tahu persis, beberapa waktu lalu Maleang Pangaru tewas oleh racun paman Cebol dan setelah itu dikuburkan di lembah, agak jauh dari istana.
"Kalau begitu " sahut Wori ragu-ragu.
"Pasti ada orang lain yang telah membongkar kuburannya!" sela Pampani cepat, "Mungkin orang itu mempunyai maksud tertentu. Tidak mungkin hidup kembali!"
"Jika demikian, siapakah gerangan yang membongkarnya?"
Sebelum sempat menjawabnya, tiba-tiba sebuah jaring berupa jala menyambar turun dan langsung menyergap ketiga pendekar itu. Tanpa sempat mengelak, mereka menjadi terjebak. Sambil berseru kaget, ketiganya mencoba mengerahkan segenap tenaga untuk meronta. Namun rupanya jala itu terbuat dari benda yang sangat lemas tapi kuat sekali, sehingga makin meronta tubuh ketiga pendekar itu makin terjerat.
"Keparat! Kupecahkan kepalamu!" bentak Wori dengan suara mengguntur. Tiba-tiba terdengar suara terbahak-bahak, sambung-menyambung sehingga terasa menggetarkan daun-daunan di sekitar lembah itu. "Ha-ha-ha! Sekali tanggok tiga nyawa sekali-
gus! Terima kasih karena kalian telah menggali kubur sendiri. Nah, sekarang nikmatilah ajal kalian!"
Bersamaan dengan itu, menyemburlah gumpalan asap berwarna ungu dari atas tebing dan langsung menyelimuti Pampani dan kedua sahabatnya.
"Ahhh ! Asap beracun!" teriak Baureksa ter-
kejut. Ia mencoba menahan pernafasannya, tetapi racun berupa gas itu sudah terlanjur masuk ke paruparunya. Demikian juga halnya Pampani dan Wori. Dada mereka terasa sangat sesak, seolah-olah hendak meledak dan nyeri sekali. Sekujur tubuh mereka ba- gaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum dan seketika lemaslah tubuh mereka, seperti telah kehilangan semua tenaga dan kesaktian mereka. Tak diragukan lagi, gas beracun itu sangatlah berbahaya, sehingga pendekar sakti seperti Baurekso, Wori dan Pampani langsung terkulai lemas dalam waktu yang sangat singkat. Beberapa saat, tubuh mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
"Nah, sudah mampus!" teriak lelaki itu sambil tertawa puas.
Muncullah dua lelaki bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa. Rambut kedua lelaki itu dikuncir ke atas, sama seperti Wori keduanya pun mengenakan anting-anting besar di daun telinga dan hanya mengenakan cawat. Usia mereka sekitar empat puluh lima tahun. Tetapi melihat gerak-gerik dan cara mereka memandang sesuatu, dapat diterka keduanya memiliki sifat yang sangat kejam, seperti hewan buas yang siap diperintah setiap saat untuk melakukan apa saja.
Di tempat itu telah berdiri pula si ahli sihir Womere. Ternyata laki-laki itulah yang memasang jebakan dan meracuni Pampani dan kedua sahabatnya. Ia berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh yang sedang namun tegap dan tampak penuh otot berisi pertanda bahwa dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat. Rambutnya keriting dan hitam dan selalu mengembang membuat kepalanya terlihat lebih besar. Tidak seperti penduduk asli Pulau Aru, tokoh sesat ini mengenakan pakaian berupa jubah. Matanya terlihat jarang sekali berkedip dan selalu memancarkan sesuatu yang sangat mudah karena mempengaruhi orang lain.
Hal itu tidak mengherankan, karena ia memang adalah ahli ilmu sihir yang sangat jahat dan setiap saat bisa mencelakakan lawan bila berhadapan dengannya
"Angkat mereka ke atas!" perintah Womere dengan berwibawa.
Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu segera mengeluarkan tubuh ketiga tawanan mereka dari dalam jaring. Lalu hanya sekali cemplak, tubuh Pampani dan Baureksa telah tergantung lemas di atas pundak kedua laki-laki raksasa itu.
"Sekarang lemparkan Pampani dan si Buntung ke dalam kanal ikan-ikan hiu. Tetapi si pendekar bumerang Wori harus kalian bawa ke markas! Jalankan tugas kalian dengan baik! Aku masih ada urusan lain!"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kedua orang bertubuh raksasa itu menjalankan perintah atasannya dengan patuh. Mereka berjalan melalui terowongan air, yang merupakan bangunan alam. Lorong-lorong gelap itu cukup panjang dan banyak berkelok-kelok. Akhirnya mereka sampai ke dalam gua di bawah tanah. Lorong di tempat itu jauh lebih sempit, sehingga kadang-kadang kedua anak buah Womere itu terpaksa harus membungkukkan badan agar bisa lewat.
***
4
Di pinggir lorong itu, terlihat tumpukan tulang-belulang dan tengkorak manusia berserakan. Agaknya tempat itu dulunya merupakan ruangan yang khusus dibangun untuk tempat pembantaian orangorang yang dianggap pembangkang atau musuh. Melihat keadaan tulang-belulang dan tengkorak itu sudah mulai lapuk, kemungkinan mereka dibunuh beberapa tahun atau bahkan mungkin puluhan tahun silam.
Penduduk biasa tentulah akan ngeri atau sedikitnya merasa terkejut melihat pemandangan itu. Tengkorak-tengkorak itu seperti menyeringai buas, seolah-olah siap menerkam siapa saja. Tetapi kadangkadang terlihat seperti merintih kesakitan, bagaikan hendak mengungkapkan penderitaan yang sangat menyiksa sebelum mereka dihabisi. Kedua anak buah Womere melewatinya dengan tenang, bahkan ada kalanya menginjak tengkorak-tengkorak itu dengan mimik wajah biasa-biasa saja.
Tak jauh dari tumpukan-tumpukan tengkorak itu, terdapat kanal buatan tempat tersekapnya ikan-ikan hiu yang sangat ganas, karena sangat jarang diberikan makan. Itu memang disengaja, sehingga kalau ada seseorang yang dilemparkan ke sana sebagai hukuman, maka orang tersebut akan segera menemui ajalnya disantap habis-habisan oleh ikan-ikan hiu itu.
Kedua laki-laki bertubuh raksasa tadi memutar-mutar tubuh Baureksa dan Pampani dengan cepat sekali hingga berubah bagaikan baling-baling. Agaknya keduanya sengaja membuat ancang-ancang agar dapat melempar tawanannya lebih jauh.
Yang mendapat giliran pertama adalah Kepala Suku berusia muda Pampani. Setelah dibuat balingbaling beberapa saat, tubuhnya dilemparkan melayang tinggi ke arah kanal maut itu. Tubuh itu kemudian meluncur turun dan agaknya tidak akan dapat diselamatkan lagi. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat bagaikan kilat menyambar tubuh Pampani hingga terhindar dari kanal maut itu. Sesosok bayangan itu sambil mengapit tubuh Pampani bersalto beberapa kali dan akhirnya mendarat ringan di pinggir kanal.
"Bangsat!" Anak buah Womere berteriak, lantaran merasa terkejut bukan main. Sungguh tak dinyana masih ada yang berani menggagalkan pekerjaan mereka. Dan lebih hebat lagi, tubuh Pampani yang hanya tinggal beberapa jengkal dari permukaan kanal buatan itu dapat diselamatkan. Sungguh merupakan kelihaian yang luar biasa! Entah kapan pula lelaki itu masuk ke dalam ruang bawah tanah.
Tak terkatakan betapa marahnya kedua anak buah Womere. Biarpun mereka sama-sama menyadari bahwa musuh yang muncul cepat bagaikan siluman itu sangat tinggi ilmunya, keduanya tampak tidak gentar sedikitpun juga. Keduanya segera memasang kudakuda dan dari sinar mata mereka terlihat jelas bahwa mereka akan membunuh lelaki itu. (Ternyata bayangan yang berkelebat menyambar tubuh Pampani adalah si Gila Dari Muara Bondet Karta. Tadi kebetulan saja ia keluar dari air tempatnya bersemedi dan sempat menyaksikan Baureksa serta Pampani dibawa ke dalam gua bawah tanah. Pendekar dari Bondet itu pun segera menguntit dari belakang. Karena ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi, kehadirannya sama sekali tidak diketahui. Maka ketika tubuh Kepala Suku itu dilemparkan ke dalam kanal ikan hiu, ia segera bertindak cepat, sehingga loloslah Pampani dan cengkeraman maut.
Sambil berteriak nyaring, kedua raksasa hitam itu menerjang dari sebelah kiri dan kanan. Walaupun tubuh mereka tinggi besar, namun ternyata bisa bergerak cepat. Sebelum tubuh mereka menyentuh tubuh Karta, sudah terasa angin pukulan menyambar pertanda tenaga mereka sangat dahsyat.
Karta yang sejak tadi sudah menurunkan tubuh Pampani segera bersiap-siap menghadapi serangan maut kedua lawan. Ketika pukulan tangan kiri lawan menyambar lehernya, ia segera menunduk dan hampir bersamaan dengan itu, ia mengangkat lutut kanannya menyambar perut lawan.
"Buk!" Serangan itu mendarat telak, membuat lawan berteriak kesakitan. Namun sebelum ia sempat mengatur keseimbangan, pukulan tangan kanan Karta sudah menyusul menghantam punggungnya
Demikian kuatnya tenaga dalam yang dikerahkan si Gila Dari Muara Bondet, sehingga tubuh raksasa itu terlempar dan melayang ke dalam kanal buatan.
"Byuuur!" Tubuh itu pun tercebur dan hampir bersamaan dengan itu air kanal berdeburan karena rontaan lelaki bertubuh raksasa itu. Air kanal itu seketika berubah menjadi merah, karena puluhan ekor ikan hiu yang sedang lapar dengan amat ganasnya mencabik-cabik sekujur tubuh korbannya.
"Mampus kau!" teriak Karta geram, karena tadi hampir saja sahabat sekaligus kakak iparnya yang jadi korban kanal maut. Tetapi kemudian tiba-tiba ia berseru kaget, karena ikan-ikan hiu itu terlempar dari dalam kanal.
Hanya beberapa saat kemudian, muncullah laki-laki bertubuh raksasa itu dari dalam kanal, dengan keadaan tubuh yang sangat mengerikan berlumuran darah. Kaki kanannya telah buntung sebatas lutut terkena sambaran ikan-ikan hiu, demikian juga pergelangan tangan kanannya telah buntung. Bahkan wajahnya hampir tidak mempunyai bentuk lagi, karena di beberapa bagian tubuh tulang-tulangnya sudah kelihatan. Darah dan air mengucur deras dari tubuh laki-laki itu.
Akan tetapi sungguh luar biasa, ia dalam keadaan yang sangat mengerikan itu masih dapat berjalan tertatih-tatih ke arah Karta, dengan cara melompat-lompat. Mata kirinya mengalami luka yang sangat parah, sehingga pendekar sakti yang sudah sangat berpengalaman dan sudah sangat sering pula menghadapi beraneka macam kesulitan seperti si Gila Dari Muara Bondet sempat tertegun dibuatnya.
Sambil menggereng bagaikan singa kelaparan, lelaki bertubuh raksasa yang sangat mengerikan menerkam Karta. Tubuhnya melayang dan tangan kirinya mencengkeram ke arah leher lawan. Tentu saja si Gila tidak mau jadi korban keganasan lawan. Ia segera berkelit, sehingga tubuh yang sudah berlumuran darah itu terpelanting ke belakang.
Karta membalikkan badan dan ia kembali berteriak kaget manakala menyaksikan lawannya sudah bangkit kembali. Bahkan dengan gerakan yang cukup cepat laki-laki bertubuh raksasa itu sudah menerjangnya kembali,
"Hiyaaaat!" Karta berteriak nyaring, lalu kemudian membantingkan tubuh ke samping. Bersamaan dengan itu, kaki kirinya yang telah dialiri tenaga dalam menyambar tubuh lawan dengan dahsyat.
"Buk!" Tendangan yang sangat telak menghantam perut, sehingga tubuh raksasa mengerikan itu kembali terlempar. Tetapi seperti dikendalikan tenaga gaib, laki-laki itu bangkit kembali. Hampir tak bisa dipercaya, karena menurut pengalaman Karta, tendangan yang dilakukan sambil mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya tentulah akan meremukkan perut lawan. Jika tidak tewas seketika, sedikitnya akan menderita luka yang sangat parah. Entah bagaimana caranya lelaki bertubuh raksasa itu mampu berbuat sehebat itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Karta
geram.
Akan tetapi tanpa memperdulikan bentakan-
nya, laki-laki bertubuh raksasa itu kembali telah menerkamnya dengan dahsyat. Temannya yang satu lagi juga telah menurunkan tubuh Baureksa dan ikut serta menyerang, dari arah yang berlawanan.
Karta berteriak nyaring sambil meloncat cepat di depan hidung lawannya yang kedua, yang tampak masih segar bugar. Tetapi karena kurang memperhatikan lawannya yang satu lagi tadi, ia hampir saja dapat dilumpuhkan. Untunglah secepat yang bisa dilakukan ia membantingkan diri ke depan.
Gerakan Karta sebetulnya masih cepat, tetapi karena tadi ia sempat terpengaruh oleh keadaan lawan, ia jadi terlambat bertindak sehingga kedua kakinya dapat ditangkap lawan. Akibatnya tubuh pendekar dari Muara Bondet itu pun terjungkal dan terbanting keras ke tanah.
"Aduh!" Karta mengaduh kesakitan akibat rasa nyeri luar biasa di punggungnya. Ia berusaha meronta, namun tenaga kedua lelaki raksasa itu sangat kuat. Tubuhnya kini terjembreng seperti selembar serbet dapur yang hendak dirobek-robek.
Kembali pendekar gagah perkasa itu meringis menahan sakit pada pangkal pahanya. Ia mencoba mengangkat tubuh dengan cara menumpukan kedua tangan ke tanah. Tetapi justru hal itu membuat pangkal pahanya semakin sakit, seolah-olah sudah lepas persendiannya.
Adalah satu hal yang luar biasa, seorang lelaki berkaki buntung dan masih mengucurkan darah bisa memiliki tenaga sekuat itu sehingga Karta sama sekali tidak bisa berkutik. Makin lama, kaki kiri dan kanannya yang ditarik dari dua arah berlawanan membuatnya semakin tak berdaya. Hampir saja pendekar itu putus asa, namun tiba-tiba ia teringat kepada pedang di pinggangnya.
Dengan sangat bersusah payah, Karta berhasil mencabut senjata itu. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera mengayunkannya, menyambar perut kedua lawan.
"Akh!" Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu menjerit. Pedang Karta dengan telah merobek tubuh lawan, sehingga ususnya terburai menyemburkan darah segar. Karena sangat kaget dan kesakitan, pegangan kedua anak buah Womere tadi terlepas. Karta segera meloncat dan menyaksikan kedua tubuh yang bersimbah darah itu menggelepar-gelepar beberapa saat. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya pun melayang sudah meninggalkan raga.
Karta menghela nafas lega. Hampir saja tadi ia celaka di tangan kedua lawannya. Kalau saja tidak berhasil membabat tubuh lawan, kedua kakinya akan terpisah sebatas selangkangan. Sungguh memalukan bagi seorang pendekar seperti dia tewas dengan cara seperti itu.
Setelah menyarungkan senjatanya, ia segera menolong Pampani dan si Kaki Tunggal yang sedang sekarat akibat gas beracun yang mereka hirup melalui pernafasan sewaktu terjerat perangkap musuh. Diperiksanya denyut nadi kedua sahabatnya itu, masih berdenyut walaupun sangat lemah. Berarti mereka masih hidup dan mempunyai harapan bisa diselamatkan.
Karta segera menyedot gas racun dari rongga paru-paru mereka. Lalu kemudian langsung dimuntahkan kembali. Cara pengobatan seperti itu memerlukan perhitungan yang sangat tepat, karena kalau salah misalnya menghirup gas beracun itu tanpa sengaja, malah dia sendiri yang akan celaka. Karta menempelkan mulutnya ke mulut kedua sahabatnya itu secara bergantian, dan menghisap gas beracun secara berulang-ulang.
Setelah yakin gas beracun sudah habis dari rongga paru-paru Pampani dan si Kaki Tunggal, Karta segera membuat pernafasan buatan. Dada kedua lelaki yang sedang sekarat itu diurut-urut serta dikembangkempiskan dengan cermat. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Beberapa saat kemudian, Pampani dan Baureksa siuman kembali.
Kedua mengejap-ngejapkan kelopak mata, karena pandangan yang masih kabur dan agak berkunang-kunang. Sekujur tubuh mereka pun terasa sangat lemas, namun begitu melihat kehadiran Karta, mereka sangat bersyukur. Semangat pun menyala, sehingga dengan perlahan-lahan dapat bangun dan duduk.
"Alhamdulillah!" kata Baureksa sembari memijit-mijit kepalanya yang terasa pening.
"Syukurlah kau segera datang, Karta! Kalau tidak, tentu kami hanya akan tinggal nama saja. Ah, entah bagaimana bisa kami telah berada di sini. Dan....
oh, ikan-ikan hiu itu tampaknya berdarah. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa kedua orang ini?" tanya Pampani sambil mengernyitkan kening.
"Sudahlah, nanti saja aku ceritakan semuanya. Sekarang marilah kita mencari saudara kita Wori. Tadi ia dibawa secara terpisah entah ke mana. Kita harus secepatnya menemukan dia. Tampaknya ia pun sedang menghadapi bahaya!"
"Ya! Tapi bagaimana dengan tongkatku? Aku tidak bisa berjalan tanpa itu. Atau apakah engkau mau menggendong aku?" tanya Baureksa.
"Tenang! Aku menyimpannya di dalam lorong itu!" Karta segera berlari masuk ke dalam lorong gelap di ujung ruangan rahasia itu. Tak lama kemudian, ia balik lagi sambil membawa tongkat dan caping si Kaki Tunggal, "Kaki kananmu sudah kubawa ke sini. Ini dia! Dan ini senjata piring terbangmu yang sangat ampuh!"
"Ha-he-he! kau ada-ada saja, kawan!" "Ayo, kita cari sahabat kita!"
"Ya, tapi kita harus hati-hati. Menurut Wori, tempat ini penuh jebakan maut. Salah sedikit saja nyawa kita bisa melayang," kata Pampani.
Mereka segera menempuh lorong-lorong bawah tanah di sekitar kanal maut itu. Tetapi sampai ke ujung lorong, ketiganya tidak menemukan hambatan apa-apa. Di ujung lorong itu terdapat pintu putar terbuat dari batu cadas yang dibuat berbentuk persegi empat. Tanpa melepaskan kewaspadaan, ketiga pendekar itu segera menghampiri pintu yang bentuknya sangat aneh itu. Seperti buah belimbing, sehingga jika dilewati langsung tertutup kembali karena berputar.
"Lihat, seperti pintu. Tetapi aneh sekali bentuknya," kata Karta sambil mengamati pintu itu dengan seksama.
"Awas hati-hati! Siapa tahu di balik pintu itu maut sedang menanti. Kurasa Wori disembunyikan di sana," kata Pampani was-was.
"Biar aku yang memeriksa," ujar Baureksa. Lalu ia dan Karta mendekati pintu aneh itu. Keduanya meraba-raba hendak menemukan sesuatu yang mungkin merupakan kunci rahasia pintu.
"Tidak ada engselnya! Aneh sekali!" kata Bau-
reksa.
"Ini pasti pintu putar. Mari kita dorong ber-
sama-sama!"
Kedua pendekar yang memiliki tenaga dalam yang sangat kuat itu sama-sama mengerahkan segenap kemampuannya mendorong pintu. Namun jangankan berputar, bergeming pun tidak. Akhirnya keduanya merasa yakin bahwa untuk bisa membuka pintu itu tidak boleh dengan kekerasan, melainkan harus melalui rahasianya.
***
5
Ketika Baureksa dan Karta sedang merabaraba pintu itu, Pampani pun memeriksa setiap jengkal dinding batu cadas. Telapak tangannya ditempelkan dan bergerak turun-naik mencari kunci rahasia itu. Namun belum juga berhasil.
"Tunggu dulu! Aku masih berusaha mencari kuncinya. Pasti ada di sekitar dinding ini," kata Pampani. Tiba-tiba ia menyentuh benda agak menonjol di dinding. Namun sebelum sempat memeriksanya, ia sudah dikejutkan suara berderak di pintu. Sewaktu ia berpaling, tampaklah olehnya pintu berbentuk buah belimbing itu berputar, sehingga kedua sahabatnya pun terbawa ikut berputar.
"Oh, Dewa! Celaka, saudara Karta dan Kaki Tunggal sudah masuk jebakan!" kata Pampani dengan dada berdebar-debar.
Karta dan Baureksa pun tidak kalah kagetnya. Tubuh mereka terus berputar di sela-sela pintu rahasia. "Hei, kita terjebak!" teriak Karta.
"Ya, pintu ini berputar terus!"
Kemudian tubuh mereka muncul lagi di hadapan Pampani setelah pintu itu berputar seratus delapan puluh derajat. Tetapi Karta dan Baureksa tidak segera dapat menyadari keistimewaan pintu itu, sehingga keduanya sempat menduga pintu itu merupakan jebakan yang dilengkapi ilmu siluman.
"Hei, kenapa kita berada di luar kembali? Itu Pampani!" teriak si Kaki Tunggal terheran-heran. "Hai, kalian berdua tidak apa-apa!" teriak pemimpin suku itu pula girang.
Tiba-tiba Karta tertawa tergelak-gelak seolaholah lupa bahwa saat ini mereka sedang berada di sarang musuh. Ia telah mengerti rahasia pintu itu, karena merupakan pintu putar, kalau diam tetap di tempat tentu saja akan ikut terus berputar.
"Kenapa aku jadi tolol begini? Pintu ini jelas berbentuk buah belimbing. Tentu saja kita akan terus berputar. Lihat, dasar pintu tempat kita berdiri bentuknya bulat. Jadi kalau kita hendak masuk ke dalam sana, begitu tubuh kita ikut berputar, kita harus segera melangkah!"
"Kurasa juga begitu. Tadi aku sempat melihat sebuah pintu di dalamnya," sambung Baureksa.
"Tak salah lagi! Kalau begitu, kita harus mendorongnya perlahan-lahan saja agar tidak melewati ambang pintu itu!"
"Mari, aku akan ikut membantu mendorongnya!" kata Pampani. Ia memberi aba-aba, sehingga secara perlahan-lahan pintu rahasia itu berputar dan membawa ketiga pendekar itu ke depan sebuah ruangan besar dan luas.
"Kita sudah berhasil masuk!" kata Karta gi-
rang.
"Ya, tapi hati-hati langkahmu, Karta. Di sini
tidak mustahil telah dipasang jebakan," si Kaki Tunggal menasehati sambil menatap liar keadaan di sekelilingnya.
"Heran, rupanya teknik bangunan mereka sudah sangat tinggi, sehingga kita sudah ketinggalan jauh. Entah dari mana mereka mempunyai pengetahuan membangun pintu ajaib seperti ini," ujar Pampani kagum.
"Tidak dapat diragukan lagi, mereka pasti mempunyai ahli bangunan yang sangat pintar. Karena itu kita harus lebih hati-hati. Coba perhatikan "
Sebelum Baureksa sempat meneruskan ucapannya, mendadak tiga kilatan cahaya menyambar ke arah ketiga pendekar itu. Ternyata adalah tiga buah lembing runcing melesat cepat sekali ke arah bagian tubuh yang sangat berbahaya bagi lawan.
"Hait!" Karta berteriak kaget, karena sungguh tak menyangka akan diserang secara mendadak dan secepat itu. Secepat kilat ia menundukkan badan, namun masih sempat merobek baju di bagian bahunya sehingga kembali ia berseru kaget tanpa sadar. Namun dengan gerakan yang cukup mantap dan meyakinkan, pendekar gagah perkasa itu masih sempat menangkap tombak yang nyaris melukai dirinya. Baureksa yang berada beberapa langkah di belakang Karta tidak sekaget si Gila. Ia mengangkat tongkatnya menangkis senjata lawan sehingga terdengar suara berdentang keras, agaknya tombak terbuat dari logam yang keras, hingga tidak patah sewaktu beradu keras dengan tongkat Baureksa. Setelah memapaki senjata lawan, si Kaki Tunggal menangkap tombak itu dengan tangan kirinya.
"Hayiiiit!" Pampani pun berteriak kaget melihat kilatan senjata lawan menyambar ke arah lehernya. Tetapi dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat, ia mundur selangkah lalu menangkap tombak itu dengan kedua tangannya. Sama seperti kedua sahabatnya Kepala Suku itu pun merasa kedua tangannya bergetar, menandakan tenaga dalam musuh tidak boleh dianggap remeh.
Hampir bersamaan dengan itu, berloncatanlah tiga laki-laki di ruangan itu. Perawakan mereka tinggi besar dan kekar, sangat mirip dengan dua lakilaki bertubuh raksasa yang tadi hendak melemparkan Pampani serta Baureksa ke dalam kanal ikan hiu. Agaknya ketiga pria yang tampak sangat bengis itu memiliki tenaga yang sangat besar dan hanya mengandalkan nya hingga tak seorang pun di antaranya memegang senjata. Ketiga-tiganya sama-sama menggereng bagaikan singa kelaparan hendak menerkam mangsa.
Sadarlah Pampani dan kedua sahabatnya bahwa saat ini mereka sedang menghadapi musuh yang tangguh dan kuat. Ketiga musuh yang baru muncul itu sudah memasang kuda-kuda. Gerakannya terlihat agak lamban, namun terasa sangat kuat. Setiap kali menghentakkan kakinya, terdengar suara berdebum disertai ber-getarnya ruangan itu.
"Hati-hati!" teriak Baureksa, lalu bersama Karta dan Pampani segera memasang kuda-kuda dengan senjata lembing yang mereka tangkap tadi, siap digunakan merobohkan lawan.
Tak lama kemudian, terjadilah pertarungan sengit. Ketiga laki-laki tinggi besar itu menerkam lawan masing-masing. Sewaktu tubuhnya masih melayang di udara, kedua tangan diulurkan dengan posisi hendak mencengkeram.
"Ciyaat!" Pampani berteriak nyaring. Tombak di tangannya diayunkan dan dengan telak menghantam paha lawan. Namun sungguh luar biasa, laki-laki itu tidak bergeming sama sekali, bahkan merasa sakit pun tampaknya tidak. Ia justru menerjang Pampani hingga Kepala Suku itu terpaksa harus membantingkan diri ke samping menghindari cengkeraman lawan. Secepat kilat ia bangkit lagi, lalu melancarkan serangan yang lebih dahsyat lagi. Ujung tombak di tangannya diarahkan ke bagian-bagian tubuh vital, supaya dapat secepatnya merobohkan laki-laki bertubuh raksasa itu. Si Gila Dari Muara Bondet juga harus mengakui kekuatan lawan, yang memiliki tenaga bagaikan banteng. Setiap kali mengadu kekuatan terasa betapa lengannya bergetar hebat dan kesemutan. Itulah sebabnya ia selalu berusaha menghindari bentroknya pukulannya dengan lawan. Akan tetapi lawannya itu agaknya menyadari keunggulan tenaganya. Setiap kali pukulan tangan kiri Karta menyambar, ia sengaja tidak mengelak, bahkan memapakinya, dengan posisi jarijari tangan mencengkeram.
Karta tentu saja tidak mau melayani keinginan lawan. Ia pun tidak terlalu banyak melancarkan pukulan, kecuali kalau benar-benar dalam posisi menguntungkan. Ia lebih banyak memainkan tombak di tangannya, memutarnya cepat sekali hingga menciptakan gulungan sinar kehitam-hitaman dan menimbulkan suara menderu-deru. Sekali-sekali gulungan sinar senjata itu mencuat menyambar ke arah tubuh lawan yang vital.
Memasuki jurus kedua puluh, Karta dapat mendesak lawan. Ujung senjatanya beberapa kali nyaris menghunjam telak. Untunglah laki-laki bertubuh raksasa yang dihadapinya itu memiliki gerakan yang cukup cepat, sehingga masih bisa menghindar. Karta menjadi penasaran. Ia meningkatkan tekanannya dengan mengeluarkan jurus-jurus mautnya.
Suatu ketika ujung tombaknya menyambar ke arah lawan ketika penjaga gua itu sedang terdesak. Tampaknya akan sulitlah bagi lawan untuk menghindar, atau kalaupun dapat mengelak, serangan berikutnya pastilah akan mencelakakan dirinya. Namun sungguh di luar perhitungan Karta, lelaki itu menunduk sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan dengan sangat jitu berhasil menggigit gagang tombak yang sedang meluncur dengan kecepatan luar biasa. "Krek!" Terdengar suara gemeretak, namun sungguh luar biasa gigi laki-laki bertubuh raksasa itu tidak copot sama sekali, padahal Karta sudah mengerahkan hampir segenap tenaga dalamnya. Lebih terkejut lagi dia ketika menarik senjata itu, ternyata tidak bisa. Gigi lawannya seperti jepitan baja saja.
"Kurang ajar!" bentak Karta geram bercampur kagum melihat kehebatan lawan.
Sebelum sempat berbuat apa-apa, lawannya menggerak-gerakkan leher sambil berputar cepat. Akibatnya tubuh Karta ikut terangkat dan berputar-putar sesuai gerakan lawan.
"Eit!" teriak Karta kaget lantaran merasa tubuhnya bagaikan kapas saja dipermainkan seperti itu. Untunglah ia segera mencabut pedangnya, lalu secepat kilat membacok gagang tombak itu hingga putus seketika.
Lawannya tampak terpana melihat kecepatan gerak Karta. Sebelum sempat menguasai perasaannya, tiba-tiba ia melihat kilatan cahaya menyambar dari atas ke arah ubun-ubunnya. Ia hendak mengelak, namun terlambat sudah. Pedang Karta dengan telak membabat kepalanya hingga terbelah dua dari ubunubun sampai ke dada.
"Blug!" Tubuh raksasa itu pun roboh bersimbah darah. Hanya beberapa saat menggelepar-gelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.
"Mampus kau!" bentak Karta geram. Ia segera memperhatikan keadaan kedua sahabatnya. Ternyata mereka pun sudah dapat menyudutkan lawan masingmasing. Hanya beberapa saat setelah Karta merobohkan lawannya, si Kaki Tunggal pun berhasil menghunjamkan tongkatnya ke dada musuhnya hingga tembus ke punggung.
"Huk!" Laki-laki tinggi besar itu menjerit tertahan, lalu roboh bagaikan sebatang pohon tumbang ditebang. Darah menyembur dari luka di tubuhnya ketika tongkat Baureksa dicabut.
"Rasakan kau!" geram si Kaki Tunggal mema-
ki.
Pada saat bersamaan, Pampani pun berhasil
menyudutkan lawannya hingga tersandar ke sudut gua tanpa berani berkutik. Ujung tombak Pampani telah menempel di lehernya, siap menghujam kalau ia berani bergerak.
"Ayo, jawab! Siapa kalian dan siapa yang memerintahkan kalian di sini, hah? Kalau kau tidak menjawab, tombak ini akan menembus lehermu!" bentak Pampani geram. Agaknya Kepala Suku itu tadi sengaja tidak membunuh lawan karena ingin memaksanya untuk mengungkapkan rahasia dirinya.
"Hu....u!" Lelaki bertubuh raksasa itu tidak menyahut, selain sambil mengeluarkan suara yang mirip orang gagu,
"Diam! Kau jangan coba-coba berlagak bodoh di hadapanku! Lihat tombak ini siap mencabut nyawamu!"
Karta memperhatikan raut wajah lawan Pampani. Agaknya lelaki itu bersama kedua temannya tadi telah gagu, karena Karta tadi sempat memperhatikan lawannya mempunyai lidah yang buntung, seperti sengaja dipotong agar mereka tidak bisa bicara.
"Bunuh saja dia, Pampani! Percuma kita memaksanya, karena pasti tidak akan memperoleh jawaban. Lihat, lidah mereka semua telah dipotong hingga tidak bisa bicara lagi!"
Entah sengaja atau hanya karena kebetulan saja, laki-laki itu membuka mulut sampai setengah menganga. Pampani memperhatikan lidahnya. Ternyata benar juga ucapan Karta. Maka Kepala Suku itu pun kecewa sekali, lalu menghunjamkan tombak di tangannya ke leher lawan hingga tembus sampai ke gagangnya.
"Kurang ajar! Nyaris saja kita celaka karena kelicikan mereka. Untung kita waspada tadi!" kata Pampani.
Mereka kemudian mengalihkan perhatian terhadap sebuah peti berbentuk bulat dengan diameter sekitar satu meter dan panjang sekitar dua setengah meter, terletak di bagian sudut gua itu. Bentuk peti itu sangat unik dan dihiasi ukir-ukiran tradisional, sehingga tampak cukup indah dan terlihat lebih cenderung sebagai peti tempat penyimpanan harta pusaka daripada peti mati.
"Saya rasa Wori ada di dalam peti itu!" kata Baureksa pelan.
Mereka sama-sama melangkah menghampiri peti itu. Sejenak ketiga pendekar itu saling berpandangan, seolah-olah ingin bertanya apa yang harus dilakukan.
"Sebaiknya kita buka peti ini. Kita periksa apa isinya. Pasti sesuatu yang sangat penting," ujar Pampani.
"Ya, tapi kita harus hati-hati. Firasatku mengatakan peti ini bukan peti sembarangan. Rasarasanya ada sesuatu yang membahayakan di dalamnya," kata Baureksa yang tampaknya mempunyai naluri tajam dan sering bicara berdasarkan bisikan hati nuraninya.
"Kelihatannya tidak dikunci. Mari kita buka!" Karta dan Pampani membuka tutup peti yang ternyata tidak dikunci.
"Hah? Wori?" Ketiga pendekar itu sama-sama berseru kaget menyaksikan Wori terbaring kaku di dalam peti itu. Wajah mereka menjadi pucat pasi, karena sekilas pandang tak terlihat lagi tanda-tanda sahabat mereka itu masih hidup. Dadanya tidak turun naik lagi dan desah nafasnya pun tak terdengar.
"Wori ?" kata Pampani tercekat
"Tenang! Biar aku periksa, mudah-mudahan saja jantungnya masih berdenyut!" kata Karta. Lalu ia meraba-raba bagian dada pendekar bumerang itu. Tetapi tiba-tiba lengan Wori yang kekar dan kuat itu menghantam dada Karta dengan telak.
"Buk!"
"Aaaaakh!" Karta menjerit panjang. Demikian kuatnya hantaman Wori, sehingga tubuh si Gila terpelanting dan langsung terbanting ke dinding gua. Tubuhnya kemudian bergedebuk ambruk ke lantai gua dalam keadaan sangat memprihatinkan. Segumpal darah kehitam-hitaman tersembur dari mulutnya, pertanda luka dalamnya kambuh lagi akibat pukulan tadi. "Karta!" Pampani dan Baureksa berteriak ka-
get dan bermaksud memburu sahabat mereka. Namun tiba-tiba peti itu berderak keras dan hancur berkepingkeping. Bersamaan dengan itu, tubuh Wori meloncat ke luar bagaikan harimau lapar keluar dari sarangnya.
***
6
Tubuh Wori langsung melayang ke arah Pampani dan Baureksa dari belakang. Kedua lengannya menyambar ke arah punggung kedua lelaki itu.
"Buk! Buk!" Kedua tangan Wori mendarat telak di punggung Pampani dan si Kaki Tunggal. Akibatnya, tubuh keduanya pun terjerembab. Agaknya tadi, kedua pendekar itu belum menyadari apa yang telah terjadi, sehingga mereka tidak sempat mengelak.
Sambil menahan rasa sakit luar biasa di bagian punggung, Pampani dan si Kaki Tunggal meloncat bangun. Ketika keduanya berpaling, alangkah terkejutnya mereka setelah menyadari bahwa yang menyerang mereka adalah Wori sendiri.
"Wo Wori?" teriak Pampani terkejut.
"Kau Wori? Kenapa kau menyerang kami?" Si Kaki Tunggal pun bertanya.
Akan tetapi Wori tidak menyahut. Ia malahan menggereng sambil mengatupkan gigi hingga gemeretak. Kedua matanya melotot dan tampak merah sekali bagaikan memancarkan api. Tampaknya ia belum mengenali ketiga pendekar yang merupakan sahabat baiknya itu.
"Wori, ada apa denganmu? Kenapa kau tega menyerang kami?" tanya Pampani lagi.
Dengan perasaan ragu-ragu, Pampani dan Baureksa melangkah mendekati pendekar bumerang itu. Keduanya mengira Wori masih terpengaruh oleh racun gas yang dihisapnya, sehingga kesadarannya belum pulih seperti sedia kala.
"Wori, kami adalah sahabatmu!" kata Pampani lembut.
Tetapi tiba-tiba Wori menerkam dengan ganas. Kedua tangannya langsung mencengkeram lutut kaki Pampani dan si Kaki Tunggal.
"Awas!" Baureksa berteriak kaget sambil berusaha meloncat mundur. Namun sudah terlambat, kakinya dan kaki Pampani sudah tercengkeram oleh Wori dengan sangat kuatnya. Kedua pendekar itu berusaha meronta, tetapi cengkeraman Wori bagaikan jepitan baja, bukan hanya tak bisa dilepaskan, tetapi juga menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Karena kesal, si Kaki Tunggal mengayun-kan tongkatnya menghantam kepala gundul Wori.
"Tak!" Tongkat itu mendarat telak di kepala Wori. Namun karena terdorong rasa persahabatan, si Kaki Tunggal hanya mengerahkan sedikit saja tenaganya, sehingga tidak mencelakakan Wori. Namun akibatnya sungguh di luar dugaan. Pendekar bumerang itu malah semakin beringas. Sekali menggerakkan tangan, maka terlemparlah tubuh Pampani dan Baureksa. Pampani tidak sempat menguasai keseimban-
gan tubuh, sehingga punggungnya terbanting keras ke dinding gua. Si Kaki Tunggal agak beruntung, karena berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi, ia masih sempat berjumpalitan di udara untuk mengatur keseimbangan tubuh, lalu mendarat dengan ringan sekitar tujuh meter dari hadapan Wori.
"Gila kau, Wori!" bentak Pampani kesal.
"Eh, kenapa kau jadi begitu, Wori? Apakah kau tidak mau perduli pada kami teman-temanmu ini?"
Karta yang masih sadar walaupun sangat lemah lebih cepat menyadari apa yang telah terjadi pada diri Wori. Dari sinar mata Wori, ia dapat menilai bahwa sahabat mereka itu bertindak tanpa kesadaran sendiri, melainkan telah dikuasai orang lain yang memiliki ilmu sihir atau ilmu menguasai jiwa. Ilmu seperti itu sangat jahat dan berbahaya, sehingga jangankan kawan, membunuh istri atau saudara sendiri pun Orang yang terkena pengaruh jahat ilmu itu mau. Semua tindakannya dikendalikan, sehingga apapun yang dilakukannya bukanlah atas kehendak atau kemauannya sendiri melainkan orang yang mengendalikannya.
Di Pulau Jawa pun, si Gila Dari Muara Bondet yang bertahun-tahun malang melintang dalam dunia persilatan, sudah sering menghadapi ilmu sihir seperti itu. Cuma ilmu sihir yang menguasai Wori tampaknya jauh lebih kuat, dan tentu saja lebih berbahaya. Pendekar bumerang itu tampak telah dikuasai nafsu membunuh yang sangat besar dan terasa oleh Karta, sahabatnya itu tidak akan puas sebelum berhasil melampiaskan gejolak di dadanya.
"Hentikan!" teriak Karta dengan suara agak tersendat-sendat akibat rasa sakit di bagian dadanya, "Kalian jangan meladeni dia! Kita akan saling membunuh teman sendiri. Rupanya Wori telah kena pengaruh sihir jahat!"
"Benar kata Karta! Pampani, ayo kita lari dari sini!" teriak si Kaki Tunggal. Lalu bersama si Gila, mereka segera melarikan diri dari ruangan itu. Tetapi tiba-tiba Wori mencabut senjata bumerangnya, kemudian melemparkannya. Senjata berbentuk bulan sabit itu meluncur bagaikan kilat.
"Awas....!" teriak Karta sambil tiarap diikuti kedua sahabatnya, sehingga senjata unik itu tidak mengenai sasaran dan segera meluncur kembali ke arah pemiliknya. Wori menangkapnya, lalu menyambitkan kembali senjatanya ke arah ketiga sahabatnya.
"Cepat kalian menuju pintu belimbing itu!
Aku akan melindungi kalian!" teriak Baureksa.
Saat bumerang Wori meluncur lagi, ia segera mengangkat tongkatnya untuk menangkis.
"Traaak!" Bumerang itu melilit pada tongkat Baureksa dan berputar seperti kitiran. Lalu dengan dorongan tenaga dalam, Kaki Tunggal melemparkan bumerang itu kembali kepada tuannya.
"Yeaaa!" teriak Kaki Tunggal, sambil memperhatikan senjata unik itu meluncur bagaikan kilat ke arah Wori. Tetapi bumerang itu seperti lengket di tangan Wori, dengan mudah ia menyambutnya, kemudian menyambitkan kembali ke arah Baureksa. Daya luncurnya malah lebih hebat lagi, hingga nyaris memecahkan batok kepala Baureksa. Untunglah pendekar berkaki tunggal itu berkelit ke samping.
"Trak!" Bumerang itu menghantam dinding gua, sehingga tidak berbalik lagi kepada pemiliknya. Kesempatan itu digunakan Baureksa melarikan diri dari ruangan itu menyusul Pampani dan Karta.
"Dia benar-benar telah kesetanan!" kata Baureksa setelah bersama kedua temannya itu berlari melalui lorong-lorong
"Sial, kita hampir saja terkena senjata mautnya," sambung Pampani. Mereka terus berlari sambil sesekali berpaling ke belakang, ingin memastikan apakah Wori masih mengejar. Tetapi sampai mereka keluar dari tempat dan tiba di tepian pantai karang, tidak ada lagi hambatan atau serangan.
Mereka sama-sama merasa lega. Namun kemudian Pampani dan si Kaki Tunggal merasa cemas, karena kondisi Karta tampak semakin parah. Setelah berada di luar lorong itu, Karta kembali memuntahkan darah segar. Kepala Suku dan Kaki Tunggal terpaksa harus memapah sahabat mereka itu.
"Tampaknya keadaanmu semakin memprihatinkan. Biarlah aku membimbingmu sampai ke istana. Kuatkan hatimu," kata Pampani sedih melihat keadaan adik iparnya itu.
"Tidak! Kalian tak usah repot-repot. Biarlah aku kembali ke laut. Dalam keadaan seperti ini, berada di laut lebih menguntungkan bagiku daripada di darat. Aku masih kuat, kalian tak perlu cemas, sebaiknya kalian pulang ke istana. Siapa tahu ada sesuatu hal yang harus segera kalian tangani!"
"Tapi "
"Saya rasa lebih baik begitu," sela si Kaki Tunggal, "Biarlah Karta kembali ke laut. Itu memang lebih baik. Sekarang marilah kita kembali ke istana. Saudara Karta, harap kau menjaga dirimu baik-baik." "Terimakasih! Aku akan memperhatikan sa-
ranmu!"
Si Kaki Tunggal dan Pampani segera mening-
galkan tempat itu. Lama keduanya berdiam diri memikirkan keadaan Karta, maupun sikap Wori yang hampir tidak masuk di akal. Cukup lama mereka hidup sependeritaan dengan pendekar Pulau Kanguru itu, berjalan beriringan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Hubungan di antara mereka pun rasanya bukan hanya sekedar persahabatan, tetapi sudah merupakan persaudaraan, saling mengasihi dan saling membantu.
Akan tetapi sekarang, sahabat baik mereka tiba-tiba saja berubah, tak ada lagi rasa persahabatan. Yang ada cuma permusuhan dan nafsu membunuh yang sangat besar. Tidak disangka dan tidak diduga sahabat baik jadi musuh.
Hanya saja, kedua pendekar itu masih merasa agak terhibur karena menyadari bahwa Wori bersikap begitu hanyalah karena terpengaruh ilmu sihir yang sangat jahat. Kalau saja dia sadar sepenuhnya, mustahil dia bersikap sekasar itu.
"Untung saja Wori kehilangan jejak atau tidak mampu mengejar kita. Apa boleh buat, untuk sementara kita harus berpisah dengannya," kata Pampani yang tampak masih sangat sedih memikirkan keadaan sahabatnya itu.
"Ya! Dan satu hal yang patut kita syukuri, dia masih hidup. Masalah sikapnya yang aneh itu, saya rasa masih bisa berubah. Kita cari akal untuk membebaskannya dari pengaruh sihir. Entah siapa sebenarnya yang menguasai pikirannya."
"Entahlah. Tapi yang pasti, Iblis Pulau Aru pun memiliki ilmu sihir seperti itu. Aneh, kuburannya kosong dan ilmunya pun mendadak muncul kembali. Sepertinya....." Tiba-tiba Pampani menghentikan ucapannya, karena di hadapan mereka kini telah berdiri Wori.
"Hah? Wori?" Pampani dan si Kaki Tunggal berseru kaget.
Rupanya Karta yang tadi sudah sempat turun ke laut sempat mendengar kedatangan Wori. Maka ia pun memaksakan diri menghampiri kedua sahabatnya. Ia memegang bahu Baureksa sebagai tumpuan agar tidak terjatuh karena hampir tak bertenaga lagi.
"Wori, kami adalah sahabatmu! Apakah kau masih tega hendak membunuh kami? Lihatlah, saudara kita Karta sedang menderita luka-luka akibat pukulanmu barusan. Sadarlah, sahabatku! Mudahmudahan angin segar di alam terbuka ini membuat otakmu jernih kembali," kata si Kaki Tunggal dengan suara lembut dan bersahabat.
"Aku tahu, kau sedang dipengaruhi orang lain. Ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya dan siapa yang sedang kau hadapi. Wori, temukan dirimu, ingat bangsamu yang sedang dijajah Inggris. Ingatlah kami!"
Tetapi Wori diam saja, mematung seperti robot yang belum menerima perintah melalui otak komputernya, Baureksa mengira kata-katanya itu sudah mulai dapat mempengaruhi pikiran Wori. Maka ia pun tambah bersemangat meneruskan ucapannya:
"Ingat, Wori! Kau jauh-jauh mengembara dari negerimu untuk menuntut ilmu demi bangsamu! Nasib bangsamu ada di tanganmu, di tanganmu, Wori! Oleh karena itu, jaga dirimu baik-baik sampai usahamu itu berhasil!"
"Nasib bangsamu adalah sama dengan nasib bangsaku, Jadi kita sama-sama senasib dan seperjuangan." Rupanya kata-kata si Kaki Tunggal sedikit banyak dapat mempengaruhi pikiran Wori. Wajah dan sinar matanya tampak mulai meredup dan lebih tenang. Si Kaki Tunggal dan kedua sahabatnya mulai gembira dan mulai mempunyai harapan bahwa usaha mereka menyadarkan Wori akan berhasil.
***
7
Sementara itu, suasana di dalam istana Kepala Suku tampak sepi di malam yang diterangi sinar rembulan. Atap istana terlihat berkilauan, cukup indah namun terasa mengandung ketegangan. Di keheningan malam itu, sekali-sekali terdengar suara burung hantu, mungkin sebagai sebuah isyarat bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan segera terjadi.
Di dahan pepohonan rindang di belakang istana, burung-burung itu terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Matanya yang tajam serta bercahaya menatap liar ke dalam istana. Tetapi kemudian, burung itu terbang menjauh. Suaranya pun terdengar sayup-sayup, kemudian hilang terbawa angin.
"Ooooaaaaa!"
Tiba-tiba suasana hening itu dikejutkan suara jeritan tangis bayi dari dalam kamar tidur sang putri. Mirah yang sedang tidur di kamar sebelah menjadi terkejut dan semakin kaget lagi ketika mendengar suara langkah kaki yang sangat mencurigakan di dalam kamar permaisuri. Mendengar suara tangis bayi itu, yakinlah Mirah bahwa si bayi sedang dibawa oleh seseorang yang masuk ke dalam istana tanpa diketahui.
Maka Mirah pun meloncat dari tempat tidurnya, kemudian menerjang dinding pemisah kamar yang terbuat dari papan hingga jebol. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan Nomina terkapar dalam keadaan tak berdaya di lantai. Sementara si bayi pun tidak ada lagi di atas tempat tidur.
"Astaga! Tuanku Putri" seru Mirah dengan suara gemetar menahan rasa kaget dan amarah yang meluap-luap. Dengan tatapan mata liar si wanita cantik itu menyapu ke sekelilingnya, nyaris memekik kaget tatkala menyaksikan sesosok tubuh berkepala ikan hiu sedang berdiri di sudut kamar sambil memangku bayi sang putri, menangis menjerit-jerit.
Tak terkatakan betapa terkejutnya Mirah melihat orang aneh itu. Sebetulnya kepala lelaki itu bukannya terbuat dari ikan hiu, melainkan hanyalah semacam topeng dari kulit ikan hiu yang dikeringkan yang bagian tubuh dan ekornya terus memanjang sampai ke lutut. Wajahnya pun tidak dapat dilihat, sebab yang terlihat hanyalah sepasang matanya dari lubang kecil di kulit ikan hiu itu.
Akan tetapi bukan itu yang membuat Mirah terkejut setengah mati, melainkan karena orang itu sangat mirip dengan Iblis Pulau Aru. Tokoh sesat itu pun demikian adanya. Ketika Mirah mengamatinya rasanya tidak ada bedanya. Lantas hatinya pun bertanya-tanya, apakah memang betul Iblis Pulau Aru yang beberapa waktu lalu tewas telah hidup kembali?
"Kau.... kau Iblis Pulau Aru? Tapi tak, tidak
mungkin. Tidak mungkin....." kata Mirah tersendatsendat karena belum bisa menguasai rasa kagetnya.
Tiba-tiba beberapa berkas sinar menyambar ke arah bagian-bagian tubuh Mirah, yang tak lain tak bukan adalah tulang-tulang ikan hiu yang dibuat menjadi semacam senjata rahasia. Senjata rahasia itu meluncur cepat sekali sehingga yang tampak hanyalah ki- latan cahayanya saja.
"Yeaaa!" Mirah meloncat kemudian jungkir balik menghindari serangan yang sangat mendadak itu. Setelah menginjakkan kakinya di lantai, wanita itu lalu meloncat menerjang lawan dengan goloknya. Ia segera mengeluarkan ilmu simpanannya, karena disadarinya lawannya sekarang bukanlah orang sembarangan. Goloknya diayunkan membabat dan terdengar mengeluarkan suara mendesing nyaring ketika dielakkan laki-laki berpakaian hiu itu. Golok yang lolos dari sasaran itu membuat gerakan melengkung dan membalik, menyambar dari bawah ke atas sebagai serangan susulan yang lebih dahsyat lagi.
Kembali si Manusia Hiu itu mengelak dengan gerakan cepat, lalu dari samping mendorong dengan kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan itu timbul angin pukulan yang membuat Mirah nyaris terjengkang. Wanita itu berseru kaget dan meloncat ke belakang. Kesempatan itu digunakan si Manusia Hiu untuk melarikan diri melalui jendela. Tetapi Mirah tentu saja tidak mau mendiamkannya, secepat kilat ia meloncat bagaikan terbang mengejar lawan.
Si Manusia Hiu yang sudah menyadari serangan lawan cukup berbahaya, berkelit. Berhasil dia mengelak dengan cara meloncat tinggi ke atas, namun bayi di tangannya terlepas dan tanpa ampun lagi jatuh terhempas ke bawah.
"Ya, Allah! Bayi itu terlempar ke luar!" pekik Mirah terkejut bagaikan disambar petir. Secepat kilat ia mengulurkan tangan melalui jendela hendak menjangkau tubuh bayi itu, namun sudah terlambat. Masih dengan suara tangisnya yang melengking, tubuh bayi itu terus terhempas dari atas.
"Ya, Allah! Terlambat, bayi itu !"
Kesempatan itu tidak disia-siakan manusia berkerudung kulit ikan hiu, sambil berteriak nyaring ia menyambitkan senjata rahasia di tangannya. Mirah yang masih terperangah melihat si bayi terjatuh tidak sempat mengelak.
"Aaaakh!" Ia menjerit ketika tulang-tulang dan taring ikan hiu menancap di bagian punggungnya. Sebelum sempat berbuat apa-apa sebuah pukulan kembali menghantam punggungnya.
"Buk!" Tubuh Mirah terlempar lalu terbanting keras ke lantai kamar. Cairan darah segar dan kehitam-hitaman tersembur dari mulut wanita itu. Golok di tangannya terlempar entah ke mana, tetapi ia masih berusaha bangkit karena tak ingin diserang lagi. Kembali ia memuntahkan darah segar dan ketika berpaling ke samping, terlihatlah olehnya Manusia Hiu itu telah berkelebat melarikan diri dari jendela.
Mirah sebenarnya hampir tak berdaya lagi, dadanya terasa nyeri bukan main, seperti diaduk-aduk atau seperti dibebani ribuan kilo batu. Akan tetapi melihat si Manusia Hiu melarikan diri, semangatnya terasa berkobar kembali. Ia menyambar goloknya yang ternyata terlempar tak jauh dari tempatnya.
"Jangan lari, bangsat!" teriak Mirah sambil mengayunkan golok di tangannya meluncur deras ke arah si Manusia Hiu yang sedang melarikan diri. Namun karena sangat terburu-buru dan keadaannya pun cukup memprihatinkan, sasarannya tidak tepat lagi. Golok itu tertancap di dinding. Dengan sangat gesitnya, sosok tubuh misterius itu menghilang di kegelapan malam.
Hampir tubuh Mirah terhenyak lemas karena rasa sakit yang dideritanya serta karena sangat kecewa. Ia tidak berhasil meringkus musuh, bahkan dirinya yang terluka dan yang lebih gawat lagi, bayi Nomina terjatuh dari jendela. Ingat akan bayi itu, semangat Mirah menyala kembali. Dicabutnya golok yang tertancap di dinding, lalu sambil berteriak nyaring ia meloncat turun.
Mata wanita itu menatap liar ke sekelilingnya, tetapi ia menjadi lemas ketika menyadari bahwa bayi itu tidak ada di sekitar tempatnya sekarang berdiri. Ke mana gerangan bayi itu? Apakah si Manusia Hiu yang memungutnya tadi lalu membawanya kabur? Mirah memeriksa tanah di sekitar tempat itu. Kalau misalnya jatuh terhempas ke tanah, paling tidak akan meninggalkan bekas atau tidak mustahil berdarah. Namun tidak ada sama sekali. Maka hampir saja ia menangis karena tidak bisa menguasai perasaan.
Menurut perkiraan Mirah kalau tidak terjadi sesuatu hal yang luar biasa bayi itu tentulah sudah tewas. Tulang-tulangnya yang masih muda tentu remuk, karena tempatnya terjatuh cukup tinggi, sekitar enam meter. Tapi paling tidak, ia harus menemukan mayatnya. Maka ia pun bergegas memeriksa setiap sudut-sudut gelap dan kolong-kolong rumah panggung itu dengan hati cemas. Malam semakin larut, Mirah belum juga berhasil menemukan tanda-tanda di mana bayi itu berada, sementara keadaannya semakin parah. Setiap kali menghela nafas, dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main. Tetapi ia belum mau berhenti mencari sebelum berhasil menemukannya!
Tiba-tiba sebuah bayangan serba hitam berkelebat, entah dari mana datangnya langsung saja menerkam Mirah dari belakang. Sosok itu tak ubahnya seekor monyet tinggi besar. Mulai dari kepala hingga kakinya ditutupi bulu-bulu hitam. Mulutnya tampak sangat lebar dengan gigi-gigi yang panjang dan runcing-runcing. Kuku kaki dan tangannya pun pan-jangpanjang melengkung dan sangat runcing. Tangan kanannya mencengkeram bahu Mirah dari belakang. "Ah!" Mirah berseru kaget dan dengan gerak reflek menyabetkan goloknya sambil memutar kedua kaki. Senjata itu menyambar dahsyat, namun dengan gerakan yang sangat ringan, sosok itu meloncat ke atas. Mirah masih mencoba memutar senjatanya dari posisi menyabet ke samping menjadi menyambar lurus ke atas. Namun baru saja memutar pergelangan tangan, lengan lawan sudah menyambar mencengkeram ubun-ubunnya
"Akh!" Mirah terkejut bukan main, sungguh tak menyangka lawan bisa bergerak secepat dan setepat itu. Ia terpaksa meloncat mundur untuk menghindar. Namun lawan yang dihadapinya kini sepertinya mempunyai seribu kaki yang bergerak secara aneh, sehingga membuat tubuhnya seperti bisa menghilang lalu muncul dari arah yang sama sekali tidak terduga.
Setiap kali golok Mirah menyambar, tubuh itu lenyap dan langsung menyambar dari arah lain. Akibatnya, senjata di tangan Mirah hanya bisa menerpa angin membuatnya semakin penasaran. Semua ilmu yang dikuasainya sudah ia keluarkan, namun jangankan mendesak sekedar mengimbangi pun tidak mampu.
Sebetulnya tubuh manusia Kera itu tidak bisa menghilang, tetapi karena gerakannya sangat cepat dan gesit disertai langkah kaki yang aneh tubuhnya seperti menghilang. Apalagi dalam keadaan tubuh yang sudah terluka-luka, gerakan Mirah jauh lebih lamban dan tenaganya pun sudah hampir habis.
Makin lama ia makin terdesak. Kuku-kuku panjang Manusia Kera itu berkali-kali menjambret kemudian merobek-robek pakaian yang melekat di tubuh Mirah. Inginlah wanita itu menjerit dan menangis ketika kain penutup dadanya pun sudah terbang entah ke mana. Secara reflek ia menutupi dadanya dengan tangan kiri.
Kesempatan itu digunakan lawan untuk me-
nerkamnya dengan kedua tangan mencengkeram dengan kecepatan luar biasa. Mirah hanya sempat melihat bayangan hitam berkelebat. Ia ingin mengelak sambil berteriak, namun suaranya tercekat, karena lehernya sudah dicekik kuat sekali. Tubuh Mirah pun terjengkang ke belakang, namun tubuh si Manusia Kera tetap menindih sambil mencengkeram lehernya bagaikan jepitan baja.
Habislah harapan Mirah untuk bisa menyelamatkan diri. Nafasnya sudah hampir putus, pandangan matanya pun berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling. Namun di saat yang genting itu, mendadak sebuah bayangan berkelebat dan langsung menerjang punggung si Manusia Kera.
"Deg!"
Tendangan yang menghantam tubuh si Manusia Kera kuat luar biasa, sehingga terpelanting hampir enam meter! Dan beberapa saat tidak mampu bangkit lagi.
Mirah merasa lega karena selamat dari maut, dan lebih senang lagi karena yang menyelamatkannya adalah Umang, suaminya sendiri. Umang datang sambil menggendong si bayi yang masih menangis meraung-raung.
"Mirah! Apa yang telah terjadi?" "U Umang! Bayi itu?"
"Kau tak perlu cemas, dia tidak kurang suatu apapun. Tadi secara kebetulan aku mendengar suara ribut-ribut di kamar sang putri dan secepatnya keluar ingin melihat apa yang terjadi. Tapi saat itu aku melihat si bayi terjatuh dan aku berhasil menangkapnya. Beberapa saat kemudian aku melihat orang bertopeng itu melarikan diri, lalu kukejar. Sayang sekali, ia seperti setan saja. Aku kehilangan jejak."
"Syukurlah putra Karta selamat. Apakah kau tidak tahu siapa sebenarnya si Manusia Hiu itu?"
"Mirah, awas di belakangmu!" Umang tidak menjawab pertanyaan istrinya, karena tiba-tiba mahluk berwujud monyet raksasa itu telah menerjang Mirah kembali.
Mirah segera meloncat ke dekat suaminya, lalu menatap liar ke arah lawannya tadi terlempar. Ternyata si Manusia Kera itu sudah bangkit kembali dan tampak siap menyerang dengan buas.
"Mirah, kau telah mengalami luka-luka. Lebih baik kau selamatkan bayi ini dulu. Aku akan menghambat monyet besar itu," Umang menyerahkan bayi itu kepada istrinya, lalu menyuruh Mirah secepatnya melarikan diri.
Saat itu, si Manusia Kera telah menerjang Umang dengan ganas. Tubuhnya yang tinggi besar melayang dan kedua tangan diulurkan menyambar dahsyat ke arah kepala dan ulu Umang. Tentu saja Umang tidak mau tinggal diam, sambil berteriak nyaring ia berkelit ke kiri dan hanya beberapa saat kemudian goloknya sudah menyambar bagaikan kilat ke arah dada lawan.
"Krep!" Si Manusia Kera menundukkan kepala sehingga sabetan golok si Lengan Tunggal tepat menghantam ke arah mulutnya. Lalu entah bagaimana caranya, senjata itu telah digigitnya dan menempel kuat sekali seolah-olah gigi-giginya terbuat dari jepitan baja.
"Akh!" Umang berseru terkejut bukan main. Tadi ia sudah girang melihat senjatanya tampak tidak akan bisa ditangkis oleh lawan lagi. Namun sungguh di luar perhitungannya, senjatanya malah lengket dan ketika ia berusaha membetotnya ia kembali berseru kaget karena tidak kuat melepaskan senjatanya dari gigitan lawan.
Monyet besar itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, sehingga golok itu terlepas dari tangan Umang dan langsung menyambar cepat sekali ke arah lehernya,
"Ehh!" Umang kaget dan buru-buru membantingkan diri ke belakang. Golok itu pun melayang melintas di atas kepalanya lalu tertancap di dinding. Sebelum sempat berbuat apa-apa, Manusia Kera itu telah menerkamnya dan mencekik leher Umang hingga nafas pendekar berlengan tunggal itu megap-megap.
Untunglah di saat itu Mira berpapasan dengan laskar-laskar Pampani.
"Cepat! Tolonglah Umang! Hati-hati monyet itu sangat ganas!" teriak Mira. Puluhan laskar segera berlari ke arah pertarungan itu dengan senjata tombak terhunus.
"Ciaaaat! Hayiiit!" Laskar-laskar itu menyerbu dari segala penjuru. Ujung tombak menyambarnyambar dahsyat ke arah Manusia Kera. Akibatnya, Manusia Kera itu lalu melarikan diri. Para laskar semakin bersemangat mengejar sambil berteriak-teriak nyaring. Tetapi tanpa diduga-duga, monyet besar itu berbalik dan sekali gebrak, tombak-tombak itu patah berantakan.
"Kurang ajar!" Para laskar berteriak kaget, namun sebelum sempat berbuat apa-apa kedua tangan dan kaki makhluk berwujud monyet itu sudah bergerak menyambar-nyambar dahsyat.
Satu per satu tubuh para penjaga istana itu roboh berpelantingan dengan luka-luka parah, bahkan beberapa di antaranya langsung tewas. Kuku-kuku monyet itu ternyata tajam dan kuat sekali, setiap menyambar dan mengenai sasaran, maka tubuh laskar itu langsung tercabik-cabik.
Menyaksikan keadaan itu, Umang menjadi terkejut. Hanya dalam sekejap mata saja puluhan pasukan kerajaan telah roboh bermandikan darah. Pendekar Lengan Tunggal itu pun berteriak menyuruh pasukan itu mundur untuk mencegah semakin banyaknya korban berjatuhan. Ia sendiri segera bangkit dan menerjang melancarkan serangan mautnya, tetapi kali ini ia sudah lebih berhati-hati, karena dalam pertarungan pertama tadi ia sudah merasakan sendiri betapa lihainya makhluk aneh itu.
Dengan tangkas, monyet besar itu melesat ke udara menghindari sabetan golok Umang. Lalu dengan gerak kilat, tangan kanannya menyambar ulu hati pendekar lengan tunggal. Salah seorang laskar melompat memapaki cengkeraman tangan monyet itu, sementara Umang menyabet sehingga makhluk aneh itu menjadi terdesak.
"Cecar terus! Jangan kasih kesempatan!" teriak Umang memberi aba-aba. Monyet besar dan serba hitam itu makin terdesak, namun karena gerakannya sangat gesit, tak satu pun tombak laskar yang berhasil melukainya. Ia kemudian meloncat bagaikan terbang dan bersalto beberapa kali dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan mata. Para laskar menjadi ter-kejut dan ketika mereka menengadahkan wajah tampaklah Manusia Kera itu telah berada di atas atap istana. Sekali loncat, tubuhnya berkelebat bagaikan angin dan menghilang di kegelapan malam.
"Kurang ajar! Kejar!" teriak para laskar itu ge-
ram.
"Tidak perlu!" teriak Umang sambil memben-
tangkan kedua tangannya. Ia menatap para laskar itu satu per satu, lalu dengan suara penuh wibawa, ia berkata lagi "Kita tidak akan mampu mengejarnya sekarang. Sebaiknya kita mengurus teman-teman yang menderita luka-luka."
"Luar biasa, makhluk itu bagaikan setan sa-
ja!"
"Ya, tadi kita memang bisa mendesaknya wa-
laupun belum berhasil melukainya. Aku rasa lain waktu ia pasti akan datang lagi untuk meminta korban berikutnya. Kita harus tetap waspada untuk menghadapinya. Ayo, rawatlah teman-teman kita yang luka-luka. Kasihan, teman kita ada yang meninggal!" ujar Umang sedih.
Sementara itu, Mira dengan tergesa-gesa memasuki istana sambil menggendong bayi Karta. Ia segera memasuki kamar putri Nomina yang tadi tergeletak dalam keadaan tak berdaya,
Tetapi mendadak langkahnya terhenti! Ia kaget luar biasa menyaksikan sesosok tubuh wanita tua renta itu bertongkat berdiri di hadapannya. Rambut wanita tua itu semuanya sudah memutih dan dikuncir ke atas. Wajahnya kurus panjang dan penuh keriput dengan dagu yang tampak sangat panjang. Lehernya yang kurus kecil tampak pula lebih jenjang dari yang lazim. Kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut hingga kalau berjalan ia selalu bertumpu pada tongkatnya. Sorot matanya tampak sangat dingin dan tajam, seolah-olah sanggup menembus relung-relung hati setiap orang yang memandangnya. Pakaiannya yang serba hitam tampak bagai bayang-bayang di bawah sinar penerangan yang remang-remang.
"Hah? Astaga! Si... siapa kau? Kau kau
Pendeta Naomi...." kata Mirah tercekat. Jiwanya kembali tergoncang karena tokoh sesat pendeta Naomi sudah tewas beberapa waktu lalu. Tetapi sama-sama halnya si Manusia Kera, tiba-tiba saja berdiri di hadapannya mengherankan jika ia terperangah, walaupun ia sebenarnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian cukup tinggi.
Sosok tubuh kurus itu tidak menyahut, tetapi sinar matanya terus menatap Mirah dengan tajam tanpa berkedip.
"Tidak mungkin! Aku tahu kau sudah mati. Tubuhmu tak berwujud lagi ketika jatuh ke jurang!" teriak Mirah antara geram dan takut. Lalu bagaikan dalam mimpi, ia menerjang sosok tubuh itu. Goloknya diayunkan cepat sekali menyambar bagian pinggang wanita tua itu hingga putus menjadi dua. Sinar mata senjatanya kemudian menyambar leher, tangan dan kaki lawan hingga terpotong-potong berserakan di lantai.
"Mampus kau! Mampus, Manusia iblis!" teriak Mirah sambil menyabet-nyabetkan goloknya. Suara ribut-ribut itu rupanya mengundang perhatian Bungoru, yang segera berlari ke ruangan itu. Alangkah terkejutnya ia melihat Mirah mengamuk membabi buta memotong-motong sebuah boneka dari gabus.
"Mirah, apa yang terjadi padamu? Tenanglah, Mirah! Hentikan! Hentikan golokmu! Ya, Dewa, tenanglah Mirah"
Mendengar teriakan itu, Mirah tampak semakin beringas. Ia menatap Bungoru dengan tatapan mata liar dan buas. "Jangan coba-coba merampas anak itu dari tanganku. Kubunuh kau!" teriaknya mengancam bagaikan singa betina yang terluka.
Dengan tangkas, Bungoru menangkap lengan Mirah yang memegang golok, "Tenanglah, Mirah! Atur nafasmu baik-baik dan tenangkan pikiran. Curahkan perhatianmu pada diri sendiri."
"Oh, kau Bungoru. Hh.......Hh...!" kata Mirah dengan nafas tersengal-sengal. "Kini lihatlah apa yang ada di hadapanmu, Mirah? Tadi kau hanya mengiris-iris sebuah boneka kecil dari gabus. Agaknya kau telah dipengaruhi sihir yang sangat jahat, sehingga kau merasa seperti betulbetul sedang menghadapi musuh yang paling kau takuti!"
Mirah menjadi tersentak setelah menyadari apa yang telah terjadi. Di hadapannya memang berserakan potongan-potongan boneka gabus yang entah bagaimana tadi dilihatnya sebagai pendeta Naomi.
"Astaga! Benar apa katamu! Tapi tadi aku seperti melihat pendeta Naomi hendak merampas bayi ini dari tanganku."
"Ini pasti ilmu sihir dari Pulau Kolepom dekat muara sungai Digul, di pulau yang semua penghuninya orang-orang berkulit hitam. Tetapi siapa yang memasukkan ilmu jahat itu ke sini, Mirah?"
"Sihir Pulau Kolepom?" tanya Mirah mengerenyitkan kening.
"Ya. Berarti sekarang kita sedang menghadapi musuh yang sangat tangguh dari luar Kepulauan Aru. Tidak salah lagi! kita harus hati-hati, Mirah!"
"Kurang ajar! Kalau ketemu orangnya, akan kucincang tubuhnya! Kubunuh bedebah itu!" kata Mirah geram karena merasa dipermainkan dengan ilmu sihir yang sangat jahat.
"Jangan terlalu cepat emosi, Mirah! Ingat, ilmu sihir seperti itu akan lebih cepat mempengaruhi pikiran kalau kita tidak tenang. Seperti tadi, kau langsung panik hingga mengira boneka kecil sebagai pendeta Naomi!"
"Ah, terima kasih, Bungoru! Aku akan memperhatikan nasehatmu ini. Lalu bagaimana dengan tuanku putri?"
"Dia berhasil kita selamatkan! Kini beliau berbaring di bangsal dalam keadaan yang tidak mengkhawatirkan. Oh, tampaknya kau mengalami luka-luka juga. Lihat punggungmu mengucurkan darah. Kurang ajar! Tampaknya seseorang telah melukaimu dengan senjata rahasia!"
"Ya, sebelum Manusia Kera itu muncul, aku sudah terlebih dulu melihat Iblis Pulau Aru. Dia hendak membawa kabur bayi ini dan sempat terjatuh dari jendela. Untung Umang masih sempat menangkapnya. Kalau tidak....," Mirah tidak meneruskan ucapannya, karena ia pun tidak berani membayangkan apa jadinya bayi itu kalau sampai terhempas ke tanah dari ketinggian sekitar enam meter.
"Sebaiknya kita ke kamar keputrian dulu. Setelah itu, aku akan mengobati luka-lukamu. Sekarang bangsal dijaga ketat oleh laskar-laskar pilihan. Walaupun aku tahu kekuatan mereka mungkin belum bisa menandingi kekuatan musuh kita." Bungoru membimbing Mirah ke dalam kamar keputrian.
Nomina ternyata sudah berbaring di atas tempat tidur, dijaga ketat puluhan laskar pilihan dengan senjata tombak siap di tangan. "Kasihan, agaknya dia masih pingsan," ujar Mirah.
"Dia terkejut, menderita rasa takut luar biasa. Tapi tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya pasti akan pulih seperti sedia kala. Sekarang, biarlah bayi itu berbaring di sini. Aku akan mengobati lukamu."
"Terima kasih!"
***
8
Sementara itu, si Kaki Tunggal, Pampani dan Karta masih berdiri berhadap-hadapan dengan pendekar bumerang Wori. Ketiganya masih menunggu dengan harap-harap cemas. Tampaknya tadi sikap Wori agak berubah menjadi jinak. Tetapi ia belum mengucapkan sepatah kata pun terhadap sahabatsahabatnya. Pendekar dari Negeri Kanguru itu tetap berdiri tegak bagaikan patung. Matanya menatap kosong, seperti kehilangan dirinya sendiri.
"Bagaimana, Wori? Apakah kau belum mau ikut dengan kami? Sadarlah, kami sangat mengharapkan kedatanganmu!" kata si Kaki Tunggal.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan, mendadak sikap Wori berubah menjadi ganas sekali. Ia menggeram hebat dengan wajah merah padam dan sinar matanya pun tampak merah sekali bagaikan mengeluarkan api. Giginya gemeretak, siap menerkam ketiga pendekar yang berada di hadapannya.
"Wori, kau "
"Yeeaaaaa!" Wori berteriak nyaring dengan sekujur tubuh bergetar hebat, sehingga bukit batu yang diinjaknya bergetar bagai diguncang gempa dahsyat. Batu-batuan pun berjatuhan mengelinding ke arah Pampani dan kedua sahabatnya yang berdiri di bawahnya.
"Astaga! Pengaruh ilmu iblis keparat itu lebih kuat daripada kita dan dirinya sendiri," teriak Baureksa terkejut.
"Awas! Lari!" teriak Pampani melihat hujan batu yang berguguran dari atas bukit mengancam keselamatan jiwa mereka. Ketiga pendekar itu pun menjadi kerepotan berloncatan ke sana ke mari menghindari terjangan batu yang sebagian di antaranya sebesar kerbau dewasa.
"Hyaaaaat!" pekikan Wori kembali membelah angkasa dan menggetarkan bumi. Tubuhnya mencelat bagaikan terbang ke arah tiga tokoh silat itu. Wori mendorong dengan kedua tangannya sehingga serangkum angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Baureksa serta kedua sahabatnya.
"Awas!"
"Haiit!" Si Kaki Tunggal berteriak memberikan peringatan dan secara spontan Karta meloncat tinggi untuk menghindari terkaman Wori. Akan tetapi karena kurang hati-hati dan kondisi tubuhnya pun sudah sangat lemah, si Gila Dari Muara Bondet menjadi salah tindak dan berakibat fatal. Tubuhnya tergelincir dan langsung terhempas dari atas tebing ke tepi pantai curam, di mana batu-batu cadas runcing siap menyambut tubuhnya.
"Aaaaaaa!" Karta berteriak panjang. Putuslah harapannya untuk bisa menyelamatkan diri dari incaran maut di dasar tebing. Si Kaki Tunggal pun tidak kalah terkejutnya, karena ia sadar sekali tubuh Karta terhempas ke jurang yang penuh batu cadas itu, nyawanya tidak akan terselamatkan lagi.
Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal meluncurkan topi pandannya ke bawah sana, "Kartaaaa! Ini topiku!" teriak pendekar berkaki tunggal itu. Karena topi itu dilemparkan sambil mengerahkan tenaga dalam, maka benda itu pun meluncur cepat sekali dan dapat mendahului tubuh Karta yang sedang meluncur.
Dalam keadaan nyawa terancam, Karta masih sempat mendengar teriakan sahabatnya. Ia juga sempat melihat si Kaki Tunggal meluncur dengan kecepatan tinggi. Maka dengan sisa tenaga yang ada pendekar gagah perkasa itu bersalto di udara dan kedua ujung kakinya dengan tepat menjejak topi yang dilemparkan Baureksa. Sungguh suatu pemandangan yang sangat mendebarkan, sebab salah sedikit saja, nyawa Karta tentu akan melayang. Tetapi rupa-nya nasib mujur masih menyertai pendekar itu, sehingga dengan menjejak topi ajaib itu, ia dapat meloncat lebih jauh lagi hingga tubuhnya tercebur ke laut, bukannya terhempas ke batu karang tajam.
"Byur!" Tubuh pendekar itu masuk ke dalam air laut yang kebetulan cukup dalam dan terus meluncur ke bawah tersedot oleh bobot tubuhnya sendiri menuju dasar laut. Beberapa ekor ikan kecil yang tadi berenang-renang riang gembira di laut itu menjadi terkejut, lalu berpencaran menjauh karena ketakutan.
Namun celakanya, Karta tidak sadarkan diri lagi. Rupanya hempasan yang cukup keras sewaktu terhempas ke permukaan air laut tadi membuatnya pingsan seketika. Hal itu karena dirinya memang sudah terluka parah, sehingga sekarang tidak berdaya lagi menyelamatkan diri dari sedotan air laut
Tiba-tiba tubuh yang tak berdaya itu bergerak berputar, makin lama makin kencang. Ternyata ia telah terkena jaringan air pusaran di dasar laut. Arus air dalam laut itu akhirnya menyeret tubuh si Gila Muara Bondet dengan derasnya dari poros putaran.
***
9
Arus itu semakin kencang, sehingga membuat tubuh Karta meluncur semakin jauh dari tempat semula. Makin lama tubuhnya tampak makin kecil dan akhirnya hilang tergulung ombak laut yang besar.
Kepala Suku Pampani pun sebenarnya ikut juga terjatuh tadi. Tetapi ia sempat berpegangan pada pinggiran tebing hingga tidak ikut terhempas ke bawah sana. Sedangkan si Kaki Tunggal nasibnya sedikit lebih baik, hanya sempat terjengkang di atas tanah. "Baiklah. Aku sudah siap!"
"Maafkan kami, Wori. Kita terpaksa harus bermusuhan!"
Sambil berteriak nyaring, kedua pendekar itu menyerang Wori dengan dahsyat. Tongkat si Kaki Tunggal menyambar bagaikan kilat ke arah leher Wori. Sedangkan Pampani mengulurkan kedua tangan dengan cengkeraman mautnya mengarah ke bagian ubunubun dan pusar Wori.
Sungguh suatu serangan yang sangat dahsyat dan mematikan. Salah satu saja serangan itu mengenai sasaran, maka Wori akan menderita luka-luka parah bahkan tidak mustahil akan menemui ajalnya.
Akan tetapi dengan gerakan yang sangat cepat, ia menundukkan kepala sehingga hantaman tongkat Kaki Tunggal luput. Pada saat hampir bersamaan, tangan kanan Wori menangkis pukulan Pampani, sedang tangan kirinya menyambar dahsyat ke arah dada Kaki Tunggal.
"Duk! Buk!" Kaki tangan Wori beradu keras dengan tangan Pampani sedangkan tangan kirinya dengan telak berhasil menghantam dada Kaki Tunggal. Akibatnya, tubuh Pampani terdorong beberapa langkah sedangkan tubuh Baureksa sempat terpelanting beberapa meter.
"Kurang ajar!" bentak pendekar berkaki tunggal itu sambil meloncat bangun. Ia kini mengandalkan ilmu meringankan tubuh untuk menyerang lawan. Getakannya sangat cepat sehingga tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar dari segala penjuru disertai hantaman tongkat yang sangat berbahaya.
Namun kembali Wori menggeram dan mengimbangi serangan lawan dengan gerakan kaki berloncatan cepat dan kuat, sehingga semua serangan Baureksa dapat dihindarkan atau ditangkisnya. Kalau gerakan lawan sangat cepat, gerakan pendekar bumerang itu sendiri sangat aneh, seolah-olah geseran kakinya sudah cukup untuk menghindar dan jika ada kesempatan, tangannya pun langsung menyambar dahsyat.
Pampani pun tidak mau tanggung-tanggung lagi, sebab bukan hanya sekali tetapi bahkan sudah beberapa kali ia dan sahabat-sahabatnya nyaris tewas di tangan Wori. Itu sudah cukup baginya untuk tidak mau bermain-main lagi. Tepat seperti yang diucapkan si Kaki Tunggal biarpun menghadapi sahabat kental sendiri, yang namanya bertarung adalah lebih baik membunuh daripada dibunuh. Maka ia pun segera mengeluarkan segenap kemampuannya untuk merobohkan lawan.
Memang sungguh tragis, dua belah pihak yang dulunya bersahabat bahkan sudah merasa senasib seperuntungan, kini bertarung mati-matian. Sedikit lengah saja, mereka bisa celaka! Tetapi itulah kenyataannya, di mana pengaruh ilmu sihir yang sangat jahat telah menguasai pikiran Wori, sehingga tampak bahwa dia tak segan-segan untuk berbuat kejam.
Memasuki jurus yang keempat puluh, Pampani dan Baureksa berhasil mendesak Wori. Bahkan Kepala Suku itu berhasil mendaratkan pukulan tangan kirinya ke dada lawan, menyusul hantaman tongkat si Kaki Tunggal ke dada pendekar bumerang. Akan tetapi agaknya hal itu memang sengaja dibiarkan Wori, karena pada saat yang hampir bersamaan, kedua sikut tangannya berhasil mendarat telak di dada kedua lawannya.
"Duk" Tubuh Pampani dan si Kaki Tunggal terpelanting beberapa meter, kemudian terbanting keras ke tanah. Ketika keduanya berusaha bangkit, tampaklah beberapa gumpal darah kental tersembur dari mulut mereka pertanda keduanya telah menderita luka dalam yang cukup parah.
"Celaka, Pampani! Ternyata dia bukan tandingan kita. Dia terlalu tangguh dan bertenaga raksasa!"
Pampani mengeluh perlahan. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang, sama seperti nasib temannya si Kaki Tunggal. Meskipun demikian, sebagai pendekar yang gagah perkasa, mereka tentu saja tak mau menyerah begitu saja. Keduanya segera bangkit sambil berusaha menahan rasa sakit di dada.
Kembali terjadi pertarungan dahsyat, namun tidak sehebat tadi lagi, karena baik Pampani maupun si Kaki Tunggal tidak berani lagi terlalu memaksakan tenaga dalam mereka. Bagaimanapun juga, dalam keadaan terluka seperti itu adalah tidak baik mengerahkan tenaga karena tentu akan membuat luka dalam mereka bertambah parah. Kedua pendekar itu hanya mengandalkan kelincahan tubuh tanpa mau mengadu tenaga lagi, namun jika mempunyai kesempatan mereka melancarkan serangan mautnya.
Akan tetapi diam-diam kedua pendekar itu mengeluh. Mereka sudah berusaha bertarung sebaik mungkin dan telah mengeluarkan segenap kemampuan, tetapi serangan kedua pendekar itu seperti membentur tembok yang sangat kuat dan kokoh. Makin lama, kondisi mereka pun makin lemah. Kesempatan itu digunakan Wori melancarkan serangan mautnya, sehingga kedua lawannya kembali terpelanting dan tidak mampu bangkit lagi.
"Pampani, kita benar-benar tak berdaya lagi," kata Baureksa dengan suara tercekat.
"Apa boleh buat, mungkin sudah takdir kita harus mati di tangan sahabat sendiri. Semoga Dewa yang Agung mengampuni kesalahannya."
Pada saat itu, pendekar bumerang melangkah dengan pasti ke arah musuh-musuhnya. Sorot matanya yang sangat dingin dan tajam menandakan bahwa tak mungkin lagi dia, mau mengampuni Pampani maupun si Kaki Tunggal
Mendadak kedua pendekar itu berseru kaget melihat perubahan dalam diri Wori. Makin dekat kepada mereka, tubuh laki-laki itu tampak semakin tinggi besar, bagaikan balon ditiup. Hampir tak di percaya, sehingga berulang kali Pampani dan Baureksa mengejap-ngejapkan mata, seolah-olah belum yakin akan pandangan mata mereka sendiri.
Hanya beberapa langkah lagi, Wori berdiri di hadapan kedua pendekar yang sedang tergeletak tak berdaya itu. Tubuh pendekar bumerang tampak telah setinggi pohon kelapa atau belasan meter sehingga ia tampak seperti seorang manusia dewasa di hadapan dua ekor semut.
"Heh? Astaga! Dia berubah menjadi raksasa!" seru si Kaki Tunggal.
"Ya, Dewa!" teriak Pampani pula.
"Lari, Pampani!" pekik si Kaki Tunggal yang tiba-tiba saja merasa menemukan kekuatannya kembali. Sewaktu telapak kaki Wori yang lebarnya hampir satu meter itu hendak menginjak tubuhnya, ia segera bergulingan.
"Bum!" Terdengar suara berdebum dahsyat ketika telapak kaki berukuran raksasa itu menginjak tanah hanya beberapa jengkal dari tubuh si Kaki Tunggal. Tanah di sekitar tempat itu pun terguncang bagaikan dilanda gempa dahsyat. Pampani pun masih sempat mengelak dengan cara seperti yang dilakukan sahabatnya. Dalam keadaan semakin terdesak, si Kaki Tunggal masih sempat mengayunkan tongkatnya menghantam kaki Wori.
"Duk!" Dengan telak, tongkat itu menghantam kaki Wori. Tetapi laki-laki bertubuh raksasa itu tampak tidak kesakitan sama sekali, bahkan tongkat si Kaki Tunggal berbalik keras, seolah-olah memukul benda berupa karet.
"Grrrrrr!" Wori menggeram dan langsung menginjak tubuh si Kaki Tunggal dan Pampani sekaligus. Demikian besarnya telapak kaki Wori, sehingga tubuh kedua pendekar itu tenggelam diinjaknya, tak ubahnya manusia menginjak semut.
"Aaaaaaa!" Pampani dan Baureksa menjerit panjang ketika merasakan tubuh mereka telah remuk tertimpa benda keras yang beratnya ribuan ton. Walaupun demikian, Wori tidak kasihan sama sekali. Ia terus menginjak, hingga kedua lawannya hampir tak bisa bernafas lagi, selain menggigit bibir menahan rasa sakit luar biasa.
Tiba-tiba sebuah bayangan sosok tubuh serba hitam mengenakan pakaian jubah, muncul di atas tebing tak jauh dari arena pertarungan itu. Dialah si ahli sihir Womere, yang entah dari mana datangnya tibatiba saja sudah berada di tempat itu. Sambil tersenyum puas, laki-laki itu berujar dengan suara yang penuh wibawa.......
"Cukup, Wori! Untuk kali ini kau telah menunjukkan kesetiaan terhadap perintah-perintahku! Lepaskan saja kunyuk-kunyuk kecil itu. Lepaskanlah!" Wori mengurungkan niatnya dan mengangkat kakinya, sehingga si Kaki Tunggal dan Pampani merasa bagaikan lepas dari beban yang teramat berat serta menyakitkan. Pada saat itu, keduanya juga terkejut menyaksikan tubuh Wori telah mengecil kembali seperti sediakala. Lalu dengan langkah perlahan-lahan, meninggalkan kedua pendekar yang tadi hampir saja remuk redam ia injak.
"He, lihat! Dia berubah jadi kecil!" teriak Pampani seperti tanpa sadar.
"Naiklah ke mari, Wori!" ujar Womere lagi. "Kau kini betul-betul sudah dapat dipercaya untuk menjalankan tugas selanjutnya. Mengenai nyawa tikus-tikus kecil itu, kita tangguhkan dulu. Tapi lain waktu mereka tidak akan bisa lolos lagi. Itu persoalan kecil. Masih ada tugas yang lebih penting bagimu dan harus kau lakukan sebaik-baiknya. Tuanmu ingin berbicara langsung denganmu, Wori! Kini marilah ikut dengan aku!"
Pampani dan si Kaki Tunggal sangat terkejut menyaksikan kehadiran lelaki yang tampaknya adalah ahli sihir yang menguasai pikiran Wori. Setiap kali berbicara, suaranya terdengar sangat berwibawa, sehingga sedikit pun pendekar bumerang itu tidak mau membantah.
"Kurang ajar! Rupanya dialah biang keladinya!" kata si Kaki Tunggal geram.
"Ya, pasti dialah orangnya. Tapi aneh sekali, kita belum mengenalnya. Agaknya dia baru datang ke pulau ini. Dia bukan penduduk peribumi kepulauan Aru ini. Dia pasti datang dari negeri lain.
Sementara Pampani dan si Kaki Tunggal bicara perlahan-lahan namun mengandung emosi yang membara, Womere dan Wori pun masih terlibat pembicaraan dengan nada seorang hamba terhadap majikannya.
"Sekarang adalah waktunya untukmu untuk beristirahat. Kau perlu mengumpulkan tenaga, sebab aku lihat kau sudah cukup capek. Mari, Wori! Kau harus turut semua perintahku!"
Wori cuma mengangguk dan mengikuti langkah tokoh sesat itu bagaikan kerbau dicucuk hidung. Sejenak masih terdengar suara Womere sayup-sayup di keheningan malam itu, lalu tak lama berselang tubuh keduanya pun lenyap di balik tebing-tebing.
Pampani dan Baureksa bagaikan terpaku memandang kepergian sahabat mereka. Tak dapat dilukiskan bagaimana perasaan mereka sekarang. Ada rasa lega, karena barusan dapat selamat dari maut. Tapi ada juga rasa sedih, sebab kawan baik mereka sekarang telah dikuasai seorang tokoh sesat berilmu tinggi.
Terbayang di benak Kepala Suku maupun si Kaki Tunggal ketika mereka masih hidup bersamasama dengan Wori. Pendekar Benua Kanguru itu sangat baik, selalu dengan tulus hati memberikan bantuan atau bahkan berkorban demi suku yang dipimpin Pampani. Wori selain ramah tamah, juga sangat suka bercanda, sehingga kehadirannya terasa membuat suasana jadi semarak penuh tawa ceria. Entah dosa apa sebenarnya yang dilakukannya, sehingga jatuh ke dalam cengkeraman tokoh sesat berilmu jahat.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, saudara Kaki Tunggal?" Pampani bertanya setelah beberapa saat terdiam dan hanyut dalam pikiran masingmasing.
"Aku sendiri pun masih bingung. Tapi kau jangan berkecil hati atau terlalu menyesali keadaan ini. Sebaiknya kita sama-sama mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini. Tampaknya di Pulau Aru ini telah muncul tokoh sesat berilmu tinggi yang ingin menobatkan dirinya sebagai penguasa. Cepat atau lambat, kita akan menghadapi persoalan yang tidak boleh dianggap remeh. Mulai sekarang kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sayang.....
kawan kita yang cukup bisa diandalkan sudah berada dalam cengkeraman musuh. Ini merupakan suatu kerugian besar bagi kita."
"Ya, saya pun memikirkannya. Ancaman yang kita hadapi kini tidak boleh dianggap remeh, terutama karena tampaknya musuh yang ada sekarang datang dari luar pulau. Bisa jadi kedatangan lelaki tadi merupakan isyarat bagi kita bahwa mereka telah bersiapsiap melakukan penyerbuan. Mudah-mudahan kita berhasil mengatasi mereka nanti. Lalu sekarang, bagaimana dengan saudara Karta? Marilah kita mencarinya. Tadi ia jatuh ke bawah tebing, entah bagaimana nasibnya kini."
"Entahlah! Tadi sewaktu terjatuh, keadaannya sudah sangat parah. Tetapi aku sempat melihat ia menginjakkan kakinya di atas topi yang kulemparkan. Mudah-mudahan ia masih mempunyai kekuatan untuk menyelamatkan diri."
"Kalau begitu, marilah kita bersama-sama mencarinya!"
"Tunggu, Pampani! Biarlah aku sendiri yang mencarinya. Kau sebaiknya pulang saja ke istana. Kau berjaga-jaga di sana. Firasatku mengatakan bahwa istana kita pun sedang dalam incaran musuh."
"Baiklah kalau begitu. Maafkan, aku bukannya tak mau mencari saudara Karta. Tetapi tampaknya aku harus kembali ke istana sekarang. Setibanya di sana nanti, aku akan mengirimkan sejumlah laskar untuk membantumu mencari saudara Karta. Semoga dia selamat tak kurang suatu apapun!"
Pampani segera mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Ia tampak sedih, tetapi juga agak tegang karena sudah dapat merasakan kehadiran orang yang sedang mengancam keselamatan suku pimpinannya, maupun kedudukannya sebagai Kepala Suku di Kepulauan Aru. Wajah laki-laki tadi yang tampaknya telah benar-benar menguasai pikiran Wori, terbayang lagi di benaknya. Dadanya menjadi penuh gejolak amarah nan membara. Dikepalnya kedua tinjunya dan dalam hati bertekad, suatu saat nanti ia ingin berhadapan dengan orang itu kemudian membunuhnya!
Setelah berpisah dengan Pampani, si Kaki Tunggal bergegas menuruni tebing-tebing cadas itu. Yang pertama kali ia temukan adalah tudungnya, yang segera dipakainya dengan perasaan lega dan mengharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi segera dapat menemukan Karta. Akan tetapi di sekitar tempat itu ia tak berhasil menemukan sahabatnya itu. Bahkan tak terlihat adanya tanda-tanda bahwa si Gila Dari Muara Bondet berada di sekitar tempat itu.
Pendekar berkaki tunggal itu kemudian menyelusuri pantai karang tajam sambil mempertinggi daya tangkap panca inderanya. Dia sengaja turun ke dalam air laut, karena jika Karta berada di dalam laut, pendengarannya yang sangat tajam seperti kuping lintah, tentu akan dapat mendengar suara langkah kaki Baureksa. Tetapi sampai ia kelelahan dan hari mulai subuh, ia tetap tidak berhasil menemukan Karta.
Pendekar dari Muara Bondet itu seolah-olah hilang ditelan bumi. Tidak meninggalkan bekas sama sekali. Si Kaki Tunggal mulai putus asa, lalu berteriak sekuat-kuat tenaga memanggil Karta. Suaranya bergema ke segala penjuru berbaur dengan desah ombak laut yang datang bergulung-gulung. Tidak ada sahutan! Dan suara teriakan si Kaki Tunggal pun hilang ditelan angin malam.
TAMAT
Bagaimanakah nasib si Gila Dari Muara Bondet selanjutnya? Apakah dia akan menemui ajalnya di dasar laut? Bagaimana pula nasib Pendekar Bumerang Wori yang sudah dikuasai ilmu sihir lawan. Tampaknya dalam waktu dekat akan terjadi pertumpahan darah di kepulauan Aru, setelah munculnya dua tokoh sesat.
Ikuti kisah selanjutnya dalam episode:
'Raja Sihir Dari Kolepom'