Serial Jaka Sembung Eps 08 : Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung

Matahari bersinar cerah menerangi alam raya ini. Sinarnya menembus celahcelah dedaunan dan memberi kehidupan bagi pohon-pohon yang tumbuh di bawah pohon yang rindang. Air sungai yang mengalir dari kaki gunung Ciremai yang panjang berliku di bawah tebing, seperti cacing yang berliuk-liuk mencari makanan.

Pohon-pohon di sekitar  lereng Gunung Ciremai sebelah selatan tumbuh dengan lebatnya. Batu-batuan yang terhampar luas membentuk gunduk-gundukan tersusun indah baik hasil tangan Maha Pengatur. Rumput ilalang tumbuh dengan suburnya serta kerikil-kerikil berserakan di sepanjang jalan setapak menuruni lereng gunung.

Di sebuah lereng, di  sebelah selatan gunung Ciremai terlihat sesosok tubuh berjalan menuruni lembah dengan ringannya. Sekali-sekali sosok tubuh itu melompat-lompat di antara batu-batu besar dan berlumut.

Sosok tubuh itu tidak lain adalah Parmin Sutawinata, Si Jaka Sembung, murid Ki Sapu Angin! Dengan pakaian celana pangsi serta baju koko berlengan panjang yang berwarna coklat muda, serta kain sarung kuning bergaris coklat hitam, dan tongkat besi berani di tangan kanannya, itu terus melangkah dengan gesit dan mantap.

Parmin telah memasuki daerah Pasundan. Seperti di ketahui wilayah karesidenan Cirebon terbagi dalam dua bahasa. Sebelah utara gunung Ciremai penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan di sebelah selatan gunung Ciremai berbahasa Sunda.

Parmin kembali harus merayap menuruni tebing-tebing cadas yang menjulang tinggi dengan dinding-dindingnya yang licin berlumut serta lerenglerengnya yang terjal sama dengan apa yang ia tempuh di sebelah utara gunung Ciremai. Dengan keteguhan hati ia terus melangkah pasti. Setelah melalui sebuah bukit kecil, Parmin tiba di sebuah dataran luas yang sangat indah di pandang mata.

Tiba-tiba Parmin menghentikan langkahnya karena mendengar ada suara yang menyapanya.

"Assalammuallaikum...!". Suara itu datang dari arah belakang.

"Waallaikum salam...!".  Sahut Parmin segera sambil menoleh kebelakang.

Namun Parmin menjadi heran dan bingung setelah melihat tidak ada seorang pun di sekitarnya. Bola mata Parmin  mencari-cari sumber suara itu, namun tidak ada seorang manusia pun, walau pun Parmin sudah mengerahkan panca indranya untuk memantau ke segala penjuru.

"Bisakah anda menolongku, musafir?!". Kembali suara itu terdengar menyapa Parmin yang masih kebingungan.

"Hah...!!". Sentak Parmin dengan heran setelah mengetahui datangnya sumber suara itu.

"Seekor burung beo...?!".

"Mimpikah aku...?". Gumam Parmin dalam hati. Tak habis pikir.

Kiranya yang berbicara  kepada Parmin adalah seekor burung beo yang bertengger di sebuah batu yang berada di hadapan Parmin. Warna bulunya hitam pekat dengan paruh panjang dan runcing berwarna kuning. Bola matanya bundar, serta di dekat matanya ada warna kuning memanjang sampai ke leher. Kepalanya berjambul dengan sepasang kaki yang berwarna kuning dan kuku-kukunya yang tajam.

"Kukira andalah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan majikan ku! Sudah bertahun-tahun aku menunggu musafir yang lewat!". Ujar burung Beo yang kemudian mengepakkan sayapnya terbang rendah menuju sebuah goa yang tidak jauh berada di lereng, meninggalkan Parmin yang masih melongo penuh tanda tanya. "Ikutilah aku...!". Kata si Beo sambil terbang.

Parmin tersentak mendengar perintah burung Beo itu, lalu Parmin mengikuti dari belakang dengan berlari-lari kecil dan melompat-lompat dari batu ke batu yang lain.

Burung Beo itu kemudian memasuki sebuah goa dan bertengger dengan tenangnya. Parmin yang mengikuti dari belakang berhenti di mulut goa yang keadaannya sunyi senyap. Parmin segera menyapu pandang dengan sorot mata penuh selidik.

Batu-batu yang menjulur ke bawah dengan ujung runcing memagari mulut goa seperti tombak berjajar. Parmin melangkah masuk dengan tenang. Hawa di dalam goa sangat sejuk dengan dinding batu berlumut hijau tipis serta batu-batu kerikil yang berserakkan di lantai goa, tersusun rapi di antara tonjolan-tonjolan batu yang menyerupai tombak menyembul dari lantai goa tersebut.

Di sebuah sudut terlihat burung Beo itu bertengger pada sebuah kerangka manusia yang duduk bersila dengan tangan bersedakap, beralas batu berbentuk bundar yang membelakangi sebuah rongga dinding berbentuk cungkup, seolah-olah seperti kursi singgasana lengkap dengan tudung yang melingkupinya. Burung Beo itu dengan tenang bertengger di pundak sebelah kanan kerangka manusia yang membisu, seperti batu-batu yang ada di sekitarnya.

"Silahkan duduk, musafir!. "Silahkan... jangan sungkan-

sungkan!". Ucap si Beo mempersilahkan Parmin yang masih keheranan melihat burung Beo dapat berbicara secerdik itu, sepertinya ia sedang berhadapan dengan manusia sebagai tuan rumah yang menyambut dengan ramahnya.

"Benar-benar seekor burung Beo yang sangat langka". Gumam Parmin pada dirinya. Ia duduk pada sebuah batu yang berada di hadapan kerangka manusia tersebut. Diam-diam Jaka Sembung memperhatikan kerangka yang duduk seperti direkat oleh perekat yang tak terlihat sehingga sendi-sendi tulangnya tidak jatuh berantakan.

"Lihatlah kerangka ini!". Ujar burung Beo itu.

"Beliau adalah majikanku dan aku telah bertahun-tahun mengikutinya dengan setia!. Entah mengapa kerangka ini tetap utuh seperti ada perekatnya aku tidak tahu!. Beliau meninggal beberapa tahun yang lalu dalam keadaan bersemedi!." Si Beo menunda sesaat bicaranya.

"Ada beberapa pertanyaan  yang beliau belum ketemukan jawabannya semasa hidup!. Arwahnya tidak akan tenang di alam baka, jika pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab!. Semua pertanyaan itu selalu kuhafalkan setiap hari, sambil menunggu kalau-kalau lewat orang yang bisa menjawabnya!".

"Pertanyaan-pertanyaan apakah itu?"

Tanya Parmin  serius "Hmmm. baiklah!".

Lanjut burung cerdik itu.

"Yang pertama apakah agama itu dan apa gunanya?!". Suara beo itu mantap, persis seperti suara manusia.

Parmin terdiam sebentar untuk berpikir.

"Agama adalah suatu ajaran Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar!".

"Jika begitu, manusia tidak perlu memeluk agama jika misalnya ia bisa melakukan segala sesuatu dengan benar!".

"Benar...!, yang anda sebutkan itu belum tentu benar, menurut ajaran agama atau pun penilaian orang secara umum!".

"Terima kasih...!, aku puas dengan jawaban anda!."

"Pertanyaan kedua adalah. Mengapa

di dunia ini ada beberapa macam agama yang berlainan ajarannya, sehingga kadang-kadang manusia berperang karena membela agama masing-masing!". Ujar burung beo. Parmin tidak langsung menjawab. Dalam hatinya ia merasa kagum sekali dengan pertanyaan-pertanyaan yang berat yang dihafal dengan baik oleh burung beo itu.

"Agama di turunkan Tuhan untuk mengubah sifat buruk manusia menurut jaman dan nabinya masing-masing sehingga sekarang terdapat berbagai macam agama di dunia ini!. Adapun hasilnya sangat tergantung pada watak dan kemampuan pemeluknya masing-masing. Watak dan kemampuan ini tidak selalu sama pada setiap manusia. Jika manusia berperang karena agama, tidak lain disebabkan karena itu masing-masing pribadi manusia itu sendiri yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, bersaing dengan mengatas namakan agama masing-masing, karena sesungguhnya agama mana pun selalu menganjurkan untuk saling menghormati terhadap agama lain. Pada dasarnya semua agama adalah baik. Semua agama mengakui adanya kekuasaan yang tertinggi, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja upacara penyembahan atau ibadahnya berbeda menurut agama masing-masing!".

"Terima kasih!. Pertanyaan yang ketiga, Apakah ibadah itu dan apa gunanya?!".

Parmin menelan ludah, ia terteguntegun keheranan melihat kecerdasan burung Beo ini seakan-akan seekor hewan dari zaman Nabi Sulaiman.

"Ibadah adalah niat dan perbuatan bakti kepada Tuhan menurut yang di wajibkan oleh setiap agama!. Gunanya adalah untuk membatasi dan mendisiplinkan diri manusia sehingga ia selalu berada di jalan yang benar, karena dengan ibadah itu mereka selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta yang memberikan kehidupan serta memelihara kehidupan ini!".

"Terima kasih. Pertanyaan ke empat; Apakah hubungan Rasul atau nabi terhadap kitab-kitab Suci yang dianut oleh manusia?!", sambung si Beo. Ia berhenti lagi sejenak.

"Menurut  pendapatku, Nabi tidak berbeda  dengan  pujangga-pujangga  yang menciptakan karangannya, dan karangannya di anut oleh pengikutnya!. Seperti halnya pujangga-pujangga  kita, Mpu  Kanwa,  Mpu Panuluh atau juga  Jayabaya  yang hasil karyanya masih di anut oleh orang-orang!. Bagaimana  pendapat  anda?!".   Tanya   si Burung Beo.

"Itu adalah penafsiran yang sama sekali tak benar! Hubungan antara Nabi dan Kitab-kitab Suci adalah Mu'jizat!. Mu'jizat adalah suatu perbuatan yang tidak bisa dilakukan manusia dan ia melakukannya bukan dengan kemampuannya! sendiri!. Lain halnya dengan pujanggapujangga, mereka menciptakan karyanya dengan pikiran dan daya cipta mereka sendiri!. Lagi pula karya seorang pujangga tidak bisa di anut sepanjang zaman." Parmin berhenti sejenak, kemudian menambahkan.

"Ajarannya tidak bisa dikatakan sempurna!".

"Terima kasih!, anda telah membukakan pikiran kami yang picik!. Sekarang pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah wujud Tuhan?"

Ucap burung Beo sambil menatap Parmin dalam-dalam seakan-akan seorang hakim yang sedang mengadili sang terdakwa.

Parmin kembali menelan ludahnya kagumnya tidak habis-habisnya menyaksikan kecerdasan burung Beo tersebut.

"Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu bahan perbandingan! Misalnya kita membuat sebuah kursi, maka sudah jelas bahwa wujud kursi itu tidak sama dengan kita sendiri!. Dalam hal kesempurnaan, tentu manusia jauh lebih sempurna dari kursi!."

"Sedangkan si kursi itu  sendiri jika ia bisa berpikir sekalipun, pasti tak bisa membayangkan ujud manusia yang menciptakannya!. Begitupun manusia, dia tidak akan bisa membayangkan wujud Tuhannya. Alam pikiran manusia tidak akan sampai ke sana walaupun bagi seorang penghayal yang termasyhur sekali pun!. Tetapi kita bisa mengambil kesimpulan tentang ujud Tuhan!. Manusia lebih sempurna dari sebuah kursi, maka Tuhan adalah Maha Sempurna jauh lebih sempurna dari manusia!."

"Maha adalah tidak terbatas, walau bagaimana pun manusia tak bisa membayangkan wujud Tuhan sang Pencipta dengan alam pikirannya yang terbatas ini!".

Jawab Parmin menjelaskan panjang lebar. Burung Beo itu kembali menggerakkan kepalanya manggut-manggut berkali-kali merasa puas dengan jawabanjawaban yang diberikan oleh Parmin.

"Terima kasih... terima kasih!, musafir yang budiman!. Semoga tenanglah arwah beliau di alam baka, sekarang sudah tiba waktunya untuk mengebumikan jasad beliau!. Musafir yang budiman dengan apa aku bisa membalas budi anda, aku tidak tahu!. Tetapi aku ingin mengabdikan diri pada anda jika anda sudi menerimaku dan aku akan ikut ke mana anda pergi!". Ucap si burung Beo sambil terbang menghampiri Parmin dan bertengger di pundak kiri Parmin.

Setelah mengebumikan kerangka manusia tersebut, Parmin bersama teman barunya, burung Beo yang cerdik itu, segera melanjutkan perjalanan.

Parmin kini tidak lagi sendiri ia telah mendapatkan kawan baru, yaitu seekor burung yang sangat langka di dunia.

Parmin menuruni lembah dan tebing dengan langkah ceria.

Setelah beberapa hari menempuh perjalanan sampailah Parmin di sebuah tempat yang sangat indah. Di depan mata Parmin terbentang sebuah telaga dengan airnya yang jernih sehingga dasarnya terlihat jelas dan ikan-ikan yang beraneka ragam jenisnya dengan warna yang indah bergerak kian kemari di sela-sela tumbuhan yang ada di dasar telaga.

Di tengah-tengah telaga itu tersembul beberapa bebatuan yang membentuk patung-patung abstrak. Angin pun berhembus sepoi-sepoi basah membuat udara di sekitar telaga menjadi sejuk dan nyaman. Apabila angin datang berhembus menerpa air telaga, maka airnya bergelombang kecil-kecil dan hilang seketika.

Di sekitar telaga tumbuh pohonpohon yang rindang dengan daun-daunnya yang hijau subur beralas rerumputan yang menghampar bagaikan permadani yang tebal.

Parmin merasa tubuhnya letih dan ingin beristirahat barang sejenak di telaga itu. Ia lalu mereguk air telaga yang jernih itu dengan kedua belah tangannya.

"Alhamdulillah...!. Bukan main segarnya!" Ucap Parmin setelah air telaga itu memasuki tenggorokkannya dan di ikuti oleh burung Beo yang minum dengan paruhnya.

Kemudian Parmin bersandar pada sebuah batang pohon besar dengan rantingrantingnya yang menjuntai ke bawah serta daun-daun yang tumbuh lebat.

Angin tertiup sejuk semilir membuat mata Parmin menjadi berat dengan kedua belah telapak tangannya sebagai alas kepala, Parmin memejamkan matanya.

"Lebih baik anda tidur!"

"Biarlah aku yang berjaga-jaga". Tegur si Beo sambil bersiul kecil berirama perlahan-lahan mengiringi Parmin tidur.

Waktu pun terus berlalu dari detik ke detik, matahari pun bergerak menuju ke arah barat. Ketik Parmin terbangun, hari telah sore. Suasana di sekitar telaga terasa menjadi begitu romantis.

Tiba-tiba saja Parmin teringat pada kekasihnya Roijah.

"Mengapa anda melamun, pendekar?!" Tegur si Beo melihat wajah Parmin murung. "Aku terkenang  kampung, halaman!".

Jawab Parmin tersentak.

Kemudian Parmin meniup serulingnya dan mengalunkan sebuah lagu kiser "Dermayon", lagu kesayangan Roijah.

Maka lembah yang indah itu kini lebih terasa semakin indah.

"Wajahmu selalu terbayang.

"Bila engkau pergi aku tetap menanti."

"Cintaku padamu tidak akan melayang."

"Aku tetap setia sampai mati."

"Merdu sekali lagu ini!, apa namanya?!".

"Lagu ini biasa di nyanyikan oleh jejaka-jejaka pada waktu malam jaringan di desa Kandang Haur!. Jaringan itu adalah suatu upacara adat mencari jodoh yang hanya terdapat di desa Kandang Haur!". Jawab Parmin menerangkan dengan suara sendu, membayangkan wajah Roijah dengan cubitan-cubitan mesra di pipi dan belaian pada rambut hitam panjang gadis itu.

Tatapan mata Jaka Sembung  menerawang jauh, tapi lamunannya itu segera tersentak ketika ia dengar celoteh si Beo.

"Aku jadi teringat kekasihku!. Aku patah hati karena kehilangan dia. Dia cemburu dan mogok makan, kemudian mati!. Kami bangsa burung Beo memang suka mogok makan jika mempunyai perasaan tertekan!". Ujar si Beo dengan kepala menunduk sedih. "Aku turut berduka  cita atas kemalanganmu, Beo!".  Ucap Parmin pelan sambil  membayangkan bagaimana  kira-kira

bila sepasang burung sedang bercinta. "Biasanya  adat  bangsa  kami,  aku

harus ikut mati. Tetapi aku tidak mau mati karena patah hati!. Banyak jalan untuk hidup berguna, walau pun hatiku tetap setia padanya!". Suara si Beo bergetar mengenang kekasihnya yang telah tiada.

Dua makhluk yang berlainan jenis dengan akrab terlihat pembicaraan dengan kenangannya masing-masing. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti, ketika mendengar ada suara yang datang dan berkelebatnya sosok-sosok tubuh.

Tiga buah bayangan berkelebat entah dari mana datangnya dan dengan cepat mata Parmin menangkap suatu gelagat yang akan mengusik ketenangan di lembah itu.

Parmin melihat pertempuran yang  seru satu lawan dua. Gerakkan-gerakkan mereka begitu gesit, sehingga cuma bayang-bayang dan kilatan golok saja yang tampak oleh mata orang biasa.

Parmin terus mengikuti dengan pandangan mata penuh perhatian, tiga bayangan itu terus bergerak dengan cepat dan gesit. Terlihat kini orang yang dikeroyok dengan nafsu membunuh menyabetkan goloknya dengan cepat mengarah titiktitik kematian pada tubuh si pengeroyok.

Dua orang pengeroyok itu berpakaian serba hitam dengan kepala tertutup serta mulut dan hidung tertutup pula dengan sebuah kain berwarna hitam sehingga yang terlihat hanyalah dua bola mata yang bersinar-sinar.

"Ciiaat. !"

"Ha... ha... ha... percuma seorang diri menantang Lalawa Hideung!". Teriak mereka sambil tertawa sinis.

"Ha...ha...ha telah kami katakan percuma!" Bentak salah seorang sambil bersalto ke udara yang di ikuti oleh temannya.

Parmin tiba-tiba  menjadi tercengang, ketika dua orang yang berpakaian serba hitam itu membuat gerakkan jungkir balik di udara dan hinggap dengan ke dua kaki menempel di atas dahan pohon sehingga kepala mereka menjuntai ke bawah, meninggalkan musuhnya di bawah yang tercengang dan menahan serangannya.

"Beruntung  sekali  nyawa tikusmu pantang   kucabut hari ini!. Kami  sedang malas membunuh   orang!",  ujar   salah seorang dari mereka dengan nada mengejek. "Turun  kalian!!.    Aku  tak  gentar menghadapi Lalawa Hideung!!. Jangan kira aku menjadi takut menghadapi kalian!!. Ayo turun jika kalian benar-benar bajingan jantan!!". Sahutnya dengan suara lantang penuh dendam.

"Sampai bertemu lagi tikus busuk!". Teriak kawanan itu lalu mereka membuat gerakkan melompat dan bersalto dari dahan ke dahan dengan cepat, kemudian kedua sosok tubuh itu lenyap entah kemana.

"Manusia-manusia  iblis   yang keji!. Golokku harus di lumuri darah mereka sebelum aku mati!". Gerutunya dengan gigi bergetak menahan amarah.

Parmin terus memperhatikan dari balik sebuah batu besar yang tak jauh dari orang tersebut berada. Orang itu berwajah bulat dengan dagu panjang yang di tumbuhi oleh bulu-bulu halus dan kumis tebal tumbuh tidak terurus, bernama Sundata.

Ia segera meninggalkan tempat itu dengan langkah bergegas. Sementara itu Parmin dengan ilmu berjalan di atas pematang basah mengikuti langkah Sundata kemana ia pergi.

Setelah cukup lama berjalan di  suatu dataran di celah bukit, Parmin menghentikan langkahnya. Parmin memperhatikannya dari balik sebatang pohon yang tidak jauh dari Sundata.

"Oh... dia berziarah!" "Makam siapakah gerangan?!". Tanya Parmin dalam hati ambil menghela napas.

Sundata dengan tapakur bersimpuh di sebuah gundukkan tanah bernisan yang terlindung di bawah sebuah pohon yang rindang.

"Isteriku...., empat tahun  sudah kau terbaring di sini!. Luka di hati suamimu tak kan sembuh, jika kematianmu tidak ku balaskan. Tapi percayalah!, aku akan terus menuntut ilmu untuk menumpas gerombolan Lalawa Hideung!". Sundata berbicara sendiri dengan linangan air mata membasahi pipinya, sementara Parmin terus mendengarkannya.

"Lalawa Hideung keparat!!. Sudah berapa nyawa direnggutnya!. Sudah berapa banyak harta di rampok!. Sudah berapa banyak kesucian wanita yang mereka rusakkan!. Keji!, bangsat!, biadab...!!". Umpat Sundata dengan suara keras.

Mendengar kata-kata itu Parmin mengepalkan tangannya tanda bahwa naluri kependekarannya tidak terima. Lalu dekati orang tersebut. "Aku ingin sekali membantu anda, pendekar!". Sapa Parmin pelan.

"Oh., siapakah anda!". Sentak Sundata sambil berdiri penuh selidik.

"Namaku Parmin dan orang menyebutku Parmin!," jawab Parmin dengan pandangan mata memberikan rasa simpati. Ketika Sundata mendengar Parmin menyebutkan nama julukannya, ia menjadi terkejut dan di wajahnya terbayang rona cerah.

"Oh... andakah pendekar dari gunung Sembung itu?! Oh... Tuhan!, nama anda telah termashur sampai ke tanah Pasundan ini!", sergah Sundata gembira, lalu ia memperkenalkan dirinya.

"Bisakah anda ceritakan tentang Lalawa Hideung?". Pinta Parmin kepada teman barunya itu yang di jawab dengan anggukkan kepala.

"Lalawa Hideung adalah gerombolan perampok yang ganas dan kejam! Mereka adalah momok bagi rakyat daerah Kuningan ini. Gerombolan garong itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai kepandaian silat yang tinggi!. Ilmu mereka yang paling terkenal adalah 'Ilmu keseimbangan tubuh dan pernapasan' Mereka bisa berjalan dengan kaki menempel di atas, karena memiliki ilmu itu! Anggota mereka tersebar luas di pelosok daerah sebagai rakyat biasa. Itulah salah satu kesulitan untuk memberantas mereka! Kita hanya bisa mengenal mereka pada saat mengenakan pakaian seragam yang serba hitam, lengkap dengan tutup kepala dan cadar. Banyak sekali pendekar-pendekar yang hendak menuntut balas, tetapi mereka tak mengetahui di mana adanya gerombolan itu!" cerita Sundata bersemangat dan Parmin mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Terima kasih, saudara pendekar!". Ujar Parmin. Ia meneruskan kata-katanya.

"Nah... jalan satu-satunya adalah anda harus bersatu dengan para pendekar yang akan untuk mengadakan pembalasan!, anda ku percayakan untuk mengumpulkan mereka, Sundata!".

"Apa pun akan ku tempuh, dan kami tentu sangat membutuhkan saran-saran anda, pendekar Gunung Sembung," jawab Sundata penuh semangat.

"Aku berjanji membantu  anda sekalian dengan segala daya dan kemampuan yang ada padaku!, Insya Allah!... Nah... sampai bertemu lagi, pendekar!," ucap Parmin memberi semangat kepada Sundata, lalu pergi dari tempat itu.

"Oh., besar terima kasihku, pendekar!. Semoga Tuhan bersama kita," ujar Sundata gembira sambil mengacungkan tangan. Ia pun berlalu untuk memulai tugas yang dibebankan Parmin. Mereka berpisah setelah merencanakan suatu tempat sebagai pertemuan mereka.

Hari telah gelap, malam menyelubungi daerah pegunungan dan seluruh belahan bumi. Udara di sekitar pegunungan itu terasa dingin dan angin berhembus agak kencang, ketika Parmin sampai di suatu daerah.

"Lihatlah di depan itu Beo!. Bukankah itu suatu perkampungan, tetapi mengapa begitu sepi?. Lihat asap mengepul, seolah-oleh baru saja terjadi kebakaran", kata Parmin kepada burung Beo itu sambil terus melangkah memasuki mulut perkampungan.

"Tak salah lagi ini tentu perbuatan Lalawa Hideung," gumam Jaka Sembung pada dirinya sendiri.

Parmin melihat perkampungan itu sudah porak poranda dan didepannya terlihat sebuah rumah yang telah terbakar habis. Setelah beberapa saat ia menyelusuri kampung itu, ia melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, tumpang tindih satu dengan yang lainnya dengan luka yang mengerikan.

"Mereka membuat malapetaka di manamana," kembali Parmin bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ketika Parmin memasuki  sebuah rumah, di dalam ia menemukan sesosok tubuh wanita muda dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergolek disebuah balai-balai yang ambruk. Semua perabotan yang ada di ruangan itu porak poranda. Wanita muda yang malang itu mati tanpa selembar benang pun melekat di tubuhnya. Darah keluar dari dadanya yang tertusuk sebilah golok yang masih tertancap. Dari celah pahanya yang mulus itu terlihat lelehan darah. Darah seorang perawan yang baru saja direnggut dengan kejam.

"Nasib sama yang juga di alami oleh istri Sundata yang kujumpai tadi sore," desah Parmin menarik napas.

Jaka Sembung mencari-cari kalau ada kain yang bisa di gunakan untuk menutupi tubuh wanita muda itu.

Matanya segera menemukan apa yang diinginkan.

Baru saja tangannya menjulur hendak menjangkau selembar kain rombeng yang ia ketemukan, tiba-tiba indra keenamnya memperingatkan adanya sesuatu yang datang dari arah belakang.

Secepat kilat Jaka  Sembung miringkan tubuhnya sedikit dan loloslah senjata gelap yang berdesing mengancamnya. Senjata itu menancap pada dinding bilik yang berada jauh dari sampingnya.

Belum hilang rasa kagetnya, kembali Parmin harus menghindar dengan menggerakkan tongkat besi beraninya yang di putar untuk melindungi tubuh dari serangan-serangan senjata gelap berupa anak panah yang di lepaskan secara beruntun dan bertubi-tubi mengarah ke tubuhnya.

Beberapa anak panah patah dua terkena sabetan tongkat Parmin. Yang lain berterbangan ke segala penjuru, tak mampu menembus pertahanan Jaka Sembung di balik putaran tongkat yang laksana kipas raksasa melindungi tubuhnya.

Parmin merasa tak bisa bergerak bebas dalam ruangan sempit itu, oleh karena itu bergerak cepat. Dengan sebuah loncatan tubuhnya menjebol dinding bilik yang kini sudah mulai berkobar dimakan api.

"Ciaaaa.....tt!" teriak  Parmin keras sambil menggerahkan tenaga dalamnya untuk membuyarkan perhatian para penyerang gelap itu.

Brus!.

Tubuh Parmin tersembul ke luar dan berguling-guling di tanah lalu segera berdiri memasang kuda-kuda siap siaga dengan tongkat besi berani menyilang di depan tubuhnya.

"Nah... akhirnya tikus itu keluar juga!"

"Inilah yang aku harapkan.......

kepung!!" ujar salah seorang penyerang gelap itu.

Mereka dengan cepat  mengepung Parmin yang tegak siap-siaga di tengah halaman, dengan sorot mata tajam mengawasi para pengepung yang berpakaian serba hitam dengan tertutup kepala serta cadar berwarna hitam pula. Mereka berjumlah dua puluh orang dengan masing-masing memegang golok yang tajam dan mengkilap. Mata mereka liar dan nyalang dengan dengus napas ingin membunuh.

"Ha.... ha... ha... Inikah tampang Jaka Sembung yang kesohor itu?! Mari kita cincang, kawan-kawan!!"

"Kalau tidak dibikin mati, ia akan menjadi kerikil tajam bagi kita!"

"Ayo kawan-kawan, sikaaaaa...tt," teriak yang lain memberi komando kepada kawan-kawannya.

"Ciaaaaaaa.....tt!!" Suara mereka serentak memecahkan suasana yang sunyi di tempat itu. Mereka bergerak menyerang Parmin secara bersamaan dengan golok terhunus mengarah tubuh Parmin dari kaki hingga ke leher.

Parmin dengan siaga penuh menanti datangnya senjata mereka sampai pada jarak yang sudah ia perhitungkan.

Begitu senjata-senjata mereka tiba, dengan gerak ilmu tongkat yang dinamakan "Tongkat Penahan Ombak Menentang Badai" golok-golok lawan terlepas dari genggaman masing-masing.

"Haaiiiii....ttt" teriak Parmin keras mengerahkan tenaga dalamnya dengan memutarkan tongkatnya lebih cepat. Tubuhnya melejit bersalto di udara dan mendarat tanpa mengeluarkan suara di atas balok bubungan sebuah rumah.

Para pengeroyok itu tercengang sejenak melihat tubuh Jaka Sembung berkelebat begitu cepat, namun setelah jelas Parmin berdiri di atas atap, mereka segera mengejarnya ke tempat itu. Mereka ikut bersalto ke udara dan hinggap di atas atap rumah, lalu kembali mengepung Parmin.

"Ha.... ha... ha...!" Kau kira kami tidak dapat mengejarmu Jaka Sembung?!. Lalawa Hideung punya seribu mata tersebar di segala pelosok!".

Terjadilah kejar-mengejar yang tampak menggagumkan di atas atap-atap rumah.

Gerak-gerak mereka sangat cepat sehingga yang terlihat hanyalah bayanganbayangan dan sinar golok yang membentuk gulungan-gulungan putih menghimpit tubuh Parmin.

Sesuai dengan namanya, gerombolan Lalawa Hideung ini persis seperti kelelawar yang berterbangan dengan gesitnya. Gerakan mereka sulit untuk diduga oleh Parmin.

Kejar-mengejar itu terus berlangsung dari atap ke atap yang lain dengan cepatnya. Parmin terus berusaha untuk mengimbangi serangan-serangan itu. Sudah puluhan jurus Parmin mengeluarkan kepandaiannya, namun belum juga dapat menjatuhkan mereka.

"Mereka ternyata jago-jago silat yang tangguh dan cekatan!" gumam Parmin dalam hati sambil membuat gerakan salto menghindari serangan mereka dan turun dari atas atap.

Baru saja Parmin menginjakkan kaki kembali, dengan cepat para pengeroyok itu sudah menghadang di hadapannya. Ia kembali terkepung.

Keringat telah membasahi pakaian Jaka Sembung, namun para pengeroyok itu seakan-akan bertambah banyak saja. Parmin merasa bahwa kemampuannya belum dapat menanggulangi mereka untuk saat ini.

Ia segera mengambil keputusan. Dengan gerakan yang sangat cepat, tubuhnya berkelebat menerobos kepungan itu disusul dengan gerak salto ke udara untuk menghindar serangan gelap berupa senjata rahasia yang mereka lontarkan.

"Aku terpaksa melarikan diri! Perlawananku akan percuma saja." desah Parmin menarik napas sambil menangkis senjata rahasia yang datang bertubi-tubi kearahnya dengan memutar-mutar tongkat besi beraninya.

"Ciiaaaa...t!" teriak Parmin sambil melompat ke atap sebuah rumah.

Tap! tap! tap!

Beberapa senjata rahasia melekat di tongkat Jaka Sembung yang segera menghilang di balik semak belukar di belakang rumah tersebut.

"Hah!, tongkatnya terbuat dari besi berani!"

"Kurangajar! kadal buduk!".

"Hmm menghilang kemana tikus itu?" "Cepat betul! Ayo teman-teman,

lekas cari!" seseorang dari mereka bersuara menyadarkan mereka dari ketersimaannya.

Baru saja mereka hendak bergerak mencari, tiba-tiba terdengar suara di kejauhan sana.

"Ha... ha... ha..,! Aku di sini, kawan! Kejarlah aku!" suara itu keras menggema.

"He! Dia sembunyi di balik semaksemak itu!"

"Kepung! Kejar. Jangan sampai lolos!" teriak yang lain yang diikuti oleh teman-temannya yang segera mengejar ke arah suara itu.

Mereka berlompatan  saling mendahului dan berlari mengejar suara yang terdengar semakin jauh menghindari mereka.

"Ha....ha....ha.....ha...!" Kalian tidak akan sanggup menyusulku!" Suara itu kembali terdengar menggema.

Gerombolan Lalawa Hideung mempercepat lari mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejarnya. Sementara itu di balik semak-semak di belakang rumah itu terlihat Jaka Sembung berdiri keheran-heranan melihat gerombolan Lalawa Hideung berlari meninggalkan dirinya.

Parmin segera sadar apa yang telah terjadi. Kiranya suara yang bergema itu tak lain adalah ulah si burung Beo yang cerdik.

"Ha... ha... ha... ha! Kalian  adalah kucing-kucing tolol!"

Burung Beo itu terus mengejek orang-orang gerombolan Lalawa Hideung yang mengejarnya.

Selanjutnya burung yang cerdik itu terbang sampai melewati tebing yang curam dan menghilang di balik bukit.

"Ha... ha... ha... ha! Pendekar Gunung Sembung dapat lari secepat angin. Lalawa Hideung bukan apa-apa bagi pendekar Gunung Sembung!".

Suara burung Beo itu terdengar mengolok-olok dari sebuah tempat yang tinggi dan sangat jauh dari jangkauan mereka.

"Hh... hh... hh.. Bukan main cepatnya dia berlari!"

"Lihatlah!. Ia sudah  melewati tebing sana. Melewati jurang dengan cepatnya" keluh mereka. Pengejaran mereka terhenti sampai di bibir tebing curam itu. "Stop! Berhenti!" salah seorang berteriak.

"Betul-betul hebat pendekar gembel itu!" gerutu mereka dengan kagum.

"Kita harus segera lapor kepada Pak Ketua!" ujar yang lainnya.

"Hmm... saudara-saudara! Kita semua menjadi pecundang, sungguh memalukan!" kata mereka dengan bersungut-sungut.

Mereka lalu kembali ke sarangnya. Sementara itu Parmin masih berdiri tenang menantikan si burung Beo. Selang beberapa saat lamanya terlihatlah burung itu terbang mendekat ke arah Parmin dan hinggap di bahu sebelah kirinya dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa.

"Ha...ha...ha...! Kau sungguh cerdik, terima kasih Beo," ucap Parmin dengan gembira. Tangannya mengusap bulubulu burung itu dengan bangga.

"Kita harus mengurus jenazah orangorang kampung ini dulu, Beo! Setelah itu baru kita bisa beristirahat" ujar Parmin.

Malam pun merambat terus. Di sisi sungai itu tumbuh pohon-pohon serta batubatu yang menonjol. Sungai itu cukup dalam dengan ikan-ikannya yang hilir mudik di sela bebatuan yang ada di dasarnya.

Udara waktu itu sangat panas. Terik matahari menyengat, menimpa tanah-tanah yang mulai retak berbongkah-bongkah. Keringat disekitarnya membanjir. Pada saat itulah mereka merasa bersahabat dengan air... Air yang segar...

Di tepi sungai terlihat sesosok manusia sedang jongkok di sebuah mata air. Orang itu berpakaian garis-garis merah dengan dasar putih. Ikat kepalanya berwarna sama dengan pakaiannya. Di pinggangnya terselip sebuah golok panjang dengan sarungnya yang berukir.

Tangan kiri orang itu buntung sebatas siku, sehingga lengan baju panjangnya melambai-lambai bila tertiup angin. Kain sarungnya diselempangkan di pundaknya. Kain sarung itu berwarna merah kotak-kotak bergaris hitam.

Celana pangsi panjang sampai  sebatas pergelangan kaki dan tanpa alas kaki melengkapi penampilannya. Orang itu lalu membersihkan mukanya dengan air itu serta meneguknya.

"Ahh... segar sekali! Ingin rasanya aku mandi di sini," gumamnya sambil merasakan tenggorokannya dingin setelah meneguk air itu.

Ketika sedang asyik menikmati tegukan demi tegukan, tiba-tiba ia tersentak karena ada sesuatu yang menyangkut di belakang tubuhnya.

"Haah...?" Sentaknya kaget sambil memalingkan kepalanya ke belakang, ternyata kainnya telah tersangkut oleh suatu benda.

"Oh,.... maaf saudara! Aku keliru melempar tali kailku ini!" Suara itu halus terdengar.

"Maafkanlah aku!" Aku betul-betul tidak sengaja" ujarnya sopan. Ia turun dari tempat di mana ia sedang memancing, di atas sebuah batu besar yang berada di belakang orang tersebut.

"Ahh, tak mengapa. Tetapi siapakah anda?" Ia bertanya dengan nada suara yang ramah.

Orang yang sedang  memancing tersebut memakai celana dan baju berwarna hijau-hijau dengan kepala dibungkus kain berwarna hijau membentuk semacam sorban sehingga rambutnya tidak terlihat selembar pun.

Kulitnya halus, putih, bersih. Bentuk wajahnya bulat dengan bibir yang mungil dan hidung mancung. Tatapan matanya sahdu dengan bulu mata yang lentik serta alis mata hitam membentuk bulan sabit. Model bajunya berkerah membungkus lehernya yang jenjang, dengan kancing berwarna hijau tua serta bajunya berkancing berderet ke bawah sampai pinggul. Lengan bajunya dilipat sedikit sehingga terlihat jari-jari tangannya yang kecil dan telapak tangannya halus.

Ia memakai celana pangsi panjang sebatas mata kaki serta beralas terompah kulit berwarna hijau muda pula. Dengan langkah cekatan ia hampiri orang yang terkena kailnya.

Kini mereka sudah berhadapan muka dan pandangan mata mereka bertemu sejenak.

"Hmm... aku hanya seorang kelana tanpa tujuan!. Aku menghabiskan masa muda dalam perjalanan," jawabnya pelahan.

"Kau halus sekali! Sepantasnya kau adalah anak priyayi yang tinggal di gedung mewah," ujar si Lengan Tunggal memuji teman barunya itu.

"Ah... aku cuma orang biasa. Rakyat jelata. Namaku Tirta! Rupanya anda pun seorang pengembara juga," jawabnya merendah.

"Yah... beginilah. Aku baru datang Desa apakah ini namanya?" tanya Lengan Tunggal.

"Desa Kalimanggis" jawabnya Tirta singkat.

"Hm... saudara. Karena kita samasama pengembara senang sekali jika kita menjadi sahabat. Aku sudah hidup sebatang kara!" Ujar Tirta dengan sorot mata sayu. "Aku sangat senang mendengar kata-

kata itu!" ujar Lengan Tunggal dengan wajah berseri.

Mereka terlihat amat akrab walau baru saja bertemu beberapa menit. Mereka lalu melangkah naik dari tepi sungai itu. Di sebuah batang pohon besar yang sudah tumbang, mereka kemudian duduk berdampingan. Si Lengan Tunggal menyalakan api dari ranting-ranting kering yang sudah terkumpul, sementara itu Tirta sedang mempersiapkan ikan hasil tangkapannya.

Kedua kenalan baru itu semakin  akrab dan kini mereka sudah terlihat kembali dalam percakapan sambil menantikan ikan bakar itu masak.

Tirta membalik-balik ikan bakar, sementara Si Lengan Tunggal menambah ranting kayu kering supaya apinya tidak mati. Bau ikan panggang telah tercium membuat perut menjadi lapar ingin cepatcepat diisi.

"Inilah hasil kerjaku sejak pagi. Lumayan buat ganjal perut" ujar Tirta sambil tersenyum dan mengambil seekor ikan bakar yang sudah matang.

"Akan lebih enak lagi jika pakai garam," sela Si Lengan Tunggal dengan segera dan mengambil seekor ikan bakar.

"Hmm... Mari kita mulai pesta  gembel ini! Kuharap anda bisa makan ikan tanpa nasi, soalnya tempat ini jauh dari warung" ujar Tirta mengingatkan temannya kalau-kalau tidak bisa makan tanpa pakai nasi.

Tak menjawab Si Lengan Tunggal lalu mencicipi ikan bakar itu dengan penuh selera diikuti oleh lirikan mata Tirta yang diam-diam memperhatikannya.

"Oh.. Ya!, anda lupa menyebutkan nama anda," tegur Tirta lembut dan meneruskan makan ikannya sambil menatap wajah temannya.

"Namaku Umang! Kampung halamanku jauh di Selatan, yaitu Desa Cibulan. Ayah Ibuku serta kakak perempuanku mati dibunuh oleh Lalawa Hideung," jawab Umang dengan nada ditekan pada saat menyebutkan nama gerombolan itu.

"Ha! Lalawa Hideung? Keparat itu lagi!" Sentak Tirta agak terkejut.

Umang kemudian menceritakan semua kejadian-kejadian yang menimpa kampungnya, dirinya dan keluarganya. Ceritanya sangat panjang. Itu terjadi ketika aku berumur enam belas tahun!" Umang mulai bercerita.

"Malam itu gerombolan Lalawa  Hideung merampok dan membakar Desa kami, mereka sangat ganas dan kejam, sehingga siapa saja yang melawan pasti dihabisi nyawanya. Harta benda kami dirampas hingga habis tak tersisa. Keluarga kami pun tidak luput dari malapetaka itu. Ayahku berusaha melawan untuk menyelamatkan kakak perempuanku yang hendak mereka perkosa, tetapi setan-setan laknat itu lebih cepat bergerak. Dengan sekali sabetan saja leher ayahku hampir putus dan mati. Ibuku menjerit-jerit kalap begitu melihat ayahku mati terkapar. Ibuku berusaha menerjang orang yang membunuh ayahku, namun kembali perampok itu menghabisi nyawa ibuku dengan sebuah golok yang menebus dadanya. Sementara itu adikku berusaha melepaskan dirinya dari pelukan setan laknat itu"

"Ibu! Ayah," ratapnya  mengiba sambil meronta-ronta.

"Oh... Tidak!" teriakku menjerit keras melihat kejadian itu. Aku menjadi kalap dan nekat. Dengan golok ayahku, kuserang iblis laknat yang sedang memperkosa kakak perempuanku itu

"Kubunuh kau, setan jahanam!!"

Tetapi di luar dugaanku tubuh bajingan itu melesat begitu gesitnya menghindari seranganku, dibarengi sebuah kilatan putih menyambar tanganku dan sekejap mata aku melihat benda melayang berlumuran darah... yang ternyata adalah tanganku!.

Aku menjerit kesakitan sambil mendekap tanganku yang tinggal sebatas siku dengan darah terus mengucur tidak henti-henti.

Aku tak kuat menahan sakit dan kemudian tak sadarkan diri. Entah mengapa bajingan-bajingan itu tidak menghabisi nyawaku sekalian.

Setelah aku sadar, keadaan sudah sunyi sepi. Kudapatkan kakak perempuanku sudah tak bernyawa dengan keadaan menyedihkan tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.

Kemudian aku ditolong oleh mereka yang masih hidup. Aku dirawat sampai sembuh, tetapi apa gunanya hidup ini setelah kehilangan segala-galanya.

Kesedihanku kian hari kian menjadi, membeku menjadi segumpal dendam....

dendam yang membara sampai saat ini setelah lukaku sembuh, aku melatih tanganku yang sebelah dengan tekun sampai bertahun-tahun lamanya, dan aku bersumpah di depan kuburan keluargaku akan membalas dendam pati ini sampai kapan dan di mana pun bisa kutemukan gerombolan Lalawa Hideung laknat itu.

"Ibu, ayah, kakak, aku minta diri untuk pergi menyelusuri jejak Lalawa Hideung dan aku berjanji untuk menumpas mereka!".

Aku terus mengembara mencari komplotan Lalawa Hideung hingga sampai di sini dan bertemu engkau, Tirta," kata Umang mengakhiri ceritanya.

"Aku turut bela sungkawa atas kemalanganmu, Umang. Anda senasib dengan diriku! Kedua orang tuaku juga tewas, karena keganasan mereka! Itulah sebabnya aku berkelana" ujar Tirta dengan nada sedih. Mereka berdua terdiam sejenak dan menghabiskan ikan bakar masing-masing. "Kukira akan sia-sia saja jika kita

seorang diri melawan gerombolan iblis itu. Selain mereka merupakan jago-jago silat yang hebat, juga kita tak bisa mengenal mereka satu persatu. Kita tidak bisa mengenali musuh kita!, itulah susahnya!"

"Gerombolan itu tak pernah muncul  di waktu siang. Di waktu malam hari kita pun belum tahu kapan mereka muncul dan di kampung mana!. Mereka benar-benar seperti hantu bayangan! Di siang hari mereka tersebar di mana-mana menjadi orang biasa. Kita tak bisa sembarangan bicara mengenai mereka, karena mereka berada di sekitar kita" ujar Tirta mengingatkan Umang.

Sementara mereka berdua  sedang asyik bercakap-cakap, di balik sebatang pohon besar di belakang mereka, ada seorang dara sedang mengintai. Percakapan mereka itu dapat didengar dengan jelas oleh dara itu.

"Hmm... mereka sedang mempercakapkan Lalawa Hideung. Aku akan ikuti kemana mereka pergi" gumam dara itu pada dirinya sendiri.

"Umang... bagaimana jika kita berkawan terus sampai cita-cita kita tercapai?" ujar Tirta dengan sorot mata penuh arti. "Maksudmu, kita menjadi dua serangkai?" tanya Umang, Si Lengan Tunggal.

"Oh, itu lebih baik!" Lanjutnya gembira.

"Ternyata anda lebih banyak pengetahuan tentang musuh kita, sedangkan aku buta sama sekali. Bantuan anda akan sangat berguna untukku," ujar Umang.

"Untuk sementara ini baiklah kita menetap di desa ini. Desa Kalimanggis adalah desa orang-orang petani kaya tentu suatu saat akan jadi sasaran gerombolan Lalawa Hideung! Di pinggir desa ini ada sebuah pondok bekas lumbung padi yang sudah tidak terpakai!. Kita bisa tinggal berdua, untuk cari makan mudah sekali di sini asal kita mau kerja," ucap Tirta pasti. Tidak terasa oleh mereka yang sedang asyik bercakap-cakap dengan diselingi tawa ria, Matahari hampir memasuki peraduannya di ufuk barat.

Mereka pun lalu beranjak meninggalkan tempat itu menuju suatu tempat yang dikatakan oleh Tirta. Sementara itu si dara yang mengintai Tirta dan Umang terus membuntuti dengan mengendap-endap.

"Tirta... anda begitu cerdik dalam memecahkan sesuatu," ujar Umang di tengah perjalanan.

"Aku sampai di sini seminggu yang lalu. Seminggu bagiku sudah cukup untuk mempelajari suasana," jawab Tirta tegas dan pasti.

Mereka berdua terus  melangkah dengan santai dan penuh keakraban. Di lain pihak, si dara mengikuti mereka dengan langkah teratur tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Dara manis yang terus mengikuti Tirta dan Umang itu bernama Mirah. Rambutnya panjang sebatas pinggul, di kepang dua dengan pangkal masing-masing diikat pita berwarna putih.

Bola matanya bundar dengan  bulu mata halus lentik dan alis mata tebal tersusun rapi terawat serta hidungnya mancung dengan bibir yang tipis seperti dioles pemerah bibir serta dagu yang panjang dengan gigi-gigi yang tersusun rapi dan leher jenjang berkulit sawo matang.

Mirah memakai baju panjang ketat sehingga pinggangnya terlihat ramping. Celana panjang pun ketat, memperlihatkan betisnya berbentuk bunting padi dengan alas kaki sandal kulit yang talinya dililitkan sampai batas betis.

Siang itu matahari masih terik menggigit ubun-ubun. Di pinggir Desa Kalimanggis terbentang pematang-pematang sawah dengan padinya yang sedang menguning.

Desa Kalimanggis memang terkenal dengan kesuburan tanahnya, keadaannya cukup makmur.

Di pinggir desa Kalimanggis di antara pematang sawah terlihat seseorang sedang memasuki desa itu.

Orang itu memakai tudung untuk menghindari sengatan sinar matahari pada wajahnya. Ia berjalan dengan tenang. Pandangannya jauh ke depan menatap tajam dengan sorot mata memendam dendam.

Tangan kanan orang bertudung tersebut memegang sebuah tongkat yang terbuat dari kayu jati dengan pangkal tongkat yang di buat bercagak. Tongkat itu berfungsi sebagai penyangga tubuhnya serta penolong kalau ia berjalan karena kaki yang sebelah kanannya tidak sempurna lagi, kakinya telah buntung sebatas lutut.

Baju dan celana pangsinya  sudah agak lusuh. Kain sarungnya dibiarkan tersilang di dadanya sehingga membungkus sebagian dari tubuhnya.

Si kaki Tunggal sudah lama sekali menempuh perjalanan. Tudungnyapun telah menjadi lekang. Kumis serta jenggotnya di biarkan tumbuh tidak terurus, penampilannya sudah seperti seorang gembel. Ia terus melangkahkan kakinya di pematang sawah dengan bantuan tongkat tersebut.

"Kemana pun sampai ke ujung bumi akan kutempuh! Kemana angin bertiup, itulah arah perjalananku! Di mana persembunyian setan-setan laknat itu, suatu saat pasti ketemukan!!" gumam si Kaki Tunggal pada dirinya sendiri dengan gigi gemeretak.

Setelah melewati pematang sawah, ia tiba di sebuah dataran dengan rumput ilalang setinggi pinggang. Si Kaki Tunggal melihat sekelompok capung yang sedang terbang berputar-putar, ia lalu menghampiri capung-capung itu.

"Hm... lihatlah capung-capung yang berterbangan di atas huma itu," gumam si Kaki Tunggal seperti kepada seseorang.

Tiba-tiba tubuhnya bergerak, bertumpu di atas sebelah kaki tunggalnya.

Set! set!.

Beberapa kilatan cahaya putih menyambar di atas kepalanya. Beberapa ekor capung gugur di atas rumput dengan badan masing-masing terpotong menjadi dua bagian.

Kemudian di balik tudung usang itu terlihat mata yang berapi-api penuh dendam memandangi bangkai capung yang bertebaran.

"Ha...ha...ha...ha! Inilah nasib Lalawa Hideung keparat itu pada suatu saat!", desisnya geram.

Kiranya si Kaki Tunggal membabat capung-capung itu dengan tongkat yang berisi sebilah pedang panjang, runcing dan mengkilap, terbungkus sarung, terbuat dari kayu jati yang berfungsi sebagai tongkat. Si kaki Tunggal meneruskan perjalanannya memasuki desa. Matahari pun mulai membuat bayangan-bayangan memanjang.

Malam   telah  menyelimuti  desa Kalimanggis yang subur makmur itu. Bulan bersinar redup, suasana semakin mencekam. Desa itu  sunyi  sepi,  penuh  oleh suasana ketakutan. Setiap tarikan nafas penghuninya  adalah    gambaran  dari kekecutan hati. Siapa  tahu?! Malam  ini atau besok malam harta benda mereka akan di rampas oleh momok yang sangat menakut-

kan, Lalawa Hideung!.

Di sela-sela bayangan pohon yang memagari kebun liar, menyelinap sesosok tubuh dengan gerakkan yang gesit. Tidak lama kemudian sosok tubuh itu berhenti bergerak dan menyelinap di balik sebuah batang pohon besar. Pandangan matanya tertuju pada sebuah bangunan kecil di depannya. Sosok bayangan tersebut mendekati bangunan kecil berupa lumbung tua dengan mengendap-ngendap tanpa bersuara.

"Itulah mereka! Sudah tidur apa belum?" coba kuintip," gumam sosok bayangan yang tak lain adalah Mirah yang terus mengikuti Tirta dan Umang kemana pun mereka pergi. Mirah kemudian mencari celah dinding lumbung tua itu untuk melihat keadaan di dalam dengan hati-hati sekali.

Di atas tumpukan jerami tergolek Tirta dan Umang dengan Tirta lelapnya miring. Posisi tidur dengan alas kepala kedua tangannya, sedangkan Umang telentang dengan tangannya yang juga dijadikan alas untuk kepalanya. Keadaan di dalam lumbung padi itu kotor dan bau.

Mendadak Umang terbangun. Ia bermimpi Tirta berubah jadi perempuan yang cantik dan jatuh cinta kepadanya.

Inderanya yang tajam mengetahui bahwa Tirta tak bisa tidur, ia mendengar nafas Tirta seperti dengus kuda betina yang sedang birahi.

"Anda belum tidur, Tirta?" sapa Umang pelan.

"Hmm,... belum!" jawab Tirta lemah. "Itulah. Apa kataku tadi, anda

sepantasnya tinggal di gedung mewah! Di sarang tikus dan kecoa seperti ini mana bisa anda tidur pulas? Banyak nyamuk lagi!" ujar Umang sedikit menyindir.

"Napasku sesak, Umang,"  keluh Tirta. Ia lalu bangun dan duduk sambil berpangku tangan.

"Mungkin anda serang pilek," jawab Umang seenaknya. Saat itu indera Tirta mengatakan ada sesuatu yang tak beres di sekitarnya. Tangannya lalu mengambil golok yang berada di sampingnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Dengan gerakan kilat, di lemparnya golok itu menuju sebuah sasaran.

"Mampus kaul" bentak Tirta dengan keras membuat Umang terkejut dan mengikuti arah lemparan itu. "Siut..."

Tap.

Golok panjang itu secepat kilat melayang menembus dinding papan dan nyaris menembus dada si pengintai.

"Oh!" sentak Mirah sambil melompat menghindar dan berlari menjauhi Lumbung padi itu.

Tirta dan Umang segera berlompatan mengejar bayangan itu.

Selang beberapa saat kemudian Mirah sudah di hadang oleh Tirta dengan sabetan-sabetan goloknya yang sangat dahsyat.

"Tunggu, saudara! Aku tak bermaksud buruk pada kalian" teriak Mirah sambil meloncat menghindar.

"Mengapa kau  mengintip-ngintip, jika memang tidak bermaksud buruk?! Pastilah kau mata-mata Lalawa Hideung!" bentak Tirta geram.

"Bukan! Aku malahan sedang mencari Lalawa Hideung!" jawab Mirah membela diri.

"Bohong!!", suara Tirta  keras sambil mengayunkan goloknya yang panjang, sementara itu Umang menyaksikan saja di tempat.

"Jika anda tak mau mempercayaiku, tak apalah. Sebenarnya aku ingin berkawan dengan kalian untuk menumpas Lalawa Hideung, tetapi agaknya kalian mencurigai aku! Sampai berjumpa lagi, kawan!" kata Mirah sambil melompat ke semak belukar dan menghilang di kegelapan malam.

"Hebat betul ilmunya! Tangkas dan gesit, seharusnya kita menanyai lebih dahulu, Tirta!" tegur Umang mengingatkan Tirta yang masih penasaran.

"Ah., sebaiknya kita berhati-hati kepada orang yang mengaku-ngaku sebagai kawan! Siapa tahu dia anggota Lalawa Hideung yang hendak menikam kita dari belakang!" jawab Tirta dengan nada ditekan dan wajahnya merah seakan-akan memendam rasa cemburu.

"Tapi kukira dia bukan orang Lalawa Hideung! Apakah anda tak salah tebak?" tanya Umang serius.

"Sudahlah, mari kita beristirahat sambil selalu siap berjaga-jaga dan jangan sampai kita lengah," jawab Tirta mengingatkan Umang agar berhati-hati.

Mereka kembali menuju tempat semula mereka beristirahat, yaitu bangunan tua bekas lumbung padi itu.

Matahari pagi memancarkan sinarnya kembali menguap embun dari daun-daun dan pucuk-pucuk rerumputan sehingga hawa pagi pun menjadi sejuk.

Saat seperti biasanya  para pendatang makan pagi pada sebuah warung nasi. Di sebuah warung nasi yang berada di sudut jalan terlihat Tirta dan Umang memasuki warung itu bersama orang-orang lain yang ingin sarapan. Mereka lalu duduk dan memesan makanan.

"Anda pakai lauk apa, Umang?" tanya Tirta pelan. Umang mengangkat bahu, terserah apa yang Tirta inginkan.

"Hm... pak, nasi lengko dua. Minumnya teh saja dua!" ujar Tirta kepada pemilik warung yang diiyakan dengan anggukan kepala.

"Sambalnya banyakan, pak!" kata Umang cepat.

"Aku tak begitu suka sambal, bisa memendekkan napas!"

"Di pagi dingin seperti ini kita perlu pemanas untuk menjaga tubuh!"

Beberapa saat kemudian pesanan nasi lengko telah berada di hadapan mereka. Mereka segera menyantapnya.

Di ruangan dalam warung  itu terlihat tiga orang sedang asyik dengan dadu koprok di atas meja. Mata mereka masih rebekan karena belum cuci muka sama sekali sehabis begadang malamnya.

Wajah mereka beringas dengan cambang-bauk yang tidak terurus, menambah keangkeran di wajah mereka. "Sial!, lagi-lagi mata  satu!" gerutu seseorang dari mereka setelah melihat mata dadu yang keluar.

"Ha ha...ha..ha..ha!  Mangkanya punya bini tidak usah banyak-banyak, cukup satu saja. Mari sekarang giliran ku ngoprok!" sela temannya sambil mengejek, tangannya lalu mengambil dadu itu.

Si codet yang merasa kalah segera membayar semua uang taruhan dengan perasaan kesal.

"Hmm. Nih! Ambil,... ambil!. Duitku ludes semua, tetapi aku masih penasaran jika belum bisa mengeduk uang kalian sampai tak satu gulden pun bertengger dalam kantong kalian!" kata si codet penasaran.

"Ha...ha...ha...ha! Hari ini aku menang banyak!" ujar temannya dengan sangat gembira. Tangannya segera mengeduk uang yang ada di atas meja.

"He, Ujang! Tambahkan lagi tuaknya satu kendi, cepaat!!".

Bentak si codet keras melampiaskan kejengkelannya.

Tidak lama kemudian si pelayan menyerahkan kendi tuak kepada si codet dengan terbungkuk-bungkuk, dan si codet segera menenggaknya.

Pada saat itu datang seseorang menghampiri meja mereka.

Orang yang baru datang itu mengenakan tudung kepala. Dengan kakinya yang tinggal sebelah ia mendekati mereka dengan tenang.

"Tak usah gusar dulu kawan!. Aku punya sekantong uang untuk melanjutkan permainan anda!" ujar si Kaki Tunggal tegas.

Seketika itu ketiga orang yang sedang asyik berjudi menjadi terkejut mendengar suara dari belakang. Mereka menoleh ke belakang hampir bersamaan.

"Lihatlah!, aku tak omong kosong! Sekantong penuh. Boleh anda hitung berapa isinya," lanjut si kaki Tunggal sambil tangan kirinya memperlihatkan kantong uangnya kepada mereka.

"Dengan syarat apa anda memberikan uang itu kepadaku?" tanya si codet penuh selidik dengan mata melotot.

"Aku adalah orang yang suka pada hal-hal yang aneh! Lihatlah ke atas pohon gundul itu!" ujar si Kaki Tunggal dengan jari telunjuk mengarah ke pohon kapuk randu yang dahan-dahannya gundul di luar kedai itu.

Mereka kemudian keluar mendekati sebuah pohon yang di hinggapi oleh banyak sekali keluang atau kalong yang sedang tidur, di ikuti pandangan mata Tirta dan Umang yang sedang makan.

"Tolol!" gumam Tirta dalam hatinya. "Lihatlah keluang-keluang itu!. Mereka begitu enaknya mendengkur dengan kaki di atas kepala di bawah. Aku akan memberikan uang ini cuma-cuma jika anda bisa meniru perbuatan binatang-binatang itu!" ujar si Kaki tunggal memancing reaksi mereka.

"Jika aku bisa, apakah aku percaya begitu saja bahwa kau mau menyerahkan uang itu? tanya si codet serius.

"Aku yakin manusia tak bisa berbuat seperti keluang itu. Untuk itulah aku berani bertaruh!" ujar si Kaki Tunggal dengan nada yakin.

"Jika aku bisa dan kau tak mau menyerahkan uang itu, ingat! Kepala mu akan lepas dari batang leher!. Kau tidak boleh macam-macam terhadapku!!!" teriak si codet penuh ancaman sambil bertolak pinggang dan jari telunjuknya menuding si Kaki Tunggal yang masih tenang dengan senyum tersungging. Bersikap menantang.

"Aku tidak akan ingkar janji!" jawabnya pasti.

Setelah terjadi kesepakatan kedua belah pihak, Si Codet kemudian memasang kuda-kuda dan seketika tubuhnya meletik ke udara seperti kelelawar terbang.

Beberapa detik lamanya kaki si  Codet telah menempel di dahan pohon itu seperti seekor kaluang yang bertengger dalam posisi tidurnya.

Tep. Dengan pasti kaki itu menempel  lekat sekali begitu lembutnya sehingga tak mengusik hewan-hewan malam yang bergelantungan di dekatnya.

"Puaskah kau" ujar si Codet dengan tangan bersedekap tenang persis seperti keluang yang berada di sekitarnya.

"Bagus! Aku senang sekali melihat pertunjukan ini! Sekarang anda boleh turun, aku rela kehilangan sekantong uang hasil jerih payahku selama tiga bulan! Sekarang ambilah uang ini," ujar si Kaki Tunggal. Sambil menunjukkan kantong tersebut ke arah si codet yang masih bertengger di ranting pohon dengan ketawa kemenangan. Suasana tegang menyelinap di sekitar halaman kedai nasi, di ikuti pandangan mata Tirta dan Umang.

Ketika tubuh si Codet melayang turun, orang yang berkaki satu itu tegak berdiri menunggu dengan memasang kudakuda. Sedetik kemudian, tiba-tiba terdengar pekik tertahan yang keluar dari mulut si Codet.

Hekk!

Si Codet terpental ke belakang dengan tubuh hampir putus menjadi dua bagian.

Kiranya si Kaki Tunggal dengan gerakan cepat telah menyabetkan pisau panjangnya yang terbungkus tongkat sebagai penyangga tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya. Seketika itu juga tubuh si Codet ambruk ke bumi dan darah pun keluar dengan deras lalu mati seketika. Si codet mati dengan mata melotot.

"Tolol!" gumam Tirta kembali dalam hati sementara matanya melirik ke arah si Codet yang telah menjadi mayat.

"Oh... Tuhan, orang itu hampir terpotong jadi dua! Hebat betul tenaga sabetannya!" desah Umang pada dirinya sendiri penuh rasa kagum.

"Satu nyawa untuk pelunas hutang! Hanya Lalawa Hideunglah manusia yang mampu meniru perbuatan seekor kaluang!" ujar si Kaki Tunggal penuh kemenangan.

Kemudian dengan tenangnya si Kaki Tunggal berlalu dari tempat itu dengan tak acuh diikuti pandangan mata orangorang yang berada di sekitar kedai nasi tersebut.

Berita kematian anggota Lalawa Hideung cepat sekali tersebar ke seluruh pelosok desa Kalimanggis dan sekitarnya.

"Aku berani bertaruh, dalam waktu beberapa jam lagi orang berkaki buntung itu pasti sudah terkapar jadi mayat! Lalawa Hideung tak akan membiarkan anggotanya mati begitu saja!" Ujar Tirta penuh keyakinan.

"Semoga Tuhan melindungi orang yang menegakkan kebenaran!" ujar Umang berharap. Dugaan Tirta memang betul. Tatkala si Kaki Tunggal sampai di sebuah ladang kosong, beberapa sosok bayangan berkelebat mengikutinya, tetapi pendekar kaki Tunggal telah mengetahui adanya orang yang mengikuti dirinya.

"Hm, pancinganku ternyata berhasil dengan baik!" gumamnya pada diri sendiri sambil berjalan penuh kewaspadaan.

"Hei! Berhenti, kunyuk timpang! Kau kira bisa dirimu membunuh orang tanpa perhitungan!" bentak seseorang yang kini sudah hadang si Kaki Tunggal dengan golok terhunus diikuti oleh dua orang temannya dengan golok sudah terlepas dari sarungnya.

"Kita tebus kematian teman kita!" sergah temannya dengan geram.

Kini Si Kaki Tunggal telah di  kepung tiga orang dengan golok terhunus siap menerkam tubuhnya, namun pendekar Kaki Tunggal dengan tenang memandangi para pengepungnya.

Matanya bersinar tajam memandang mereka satu persatu penuh dendam.

"Hm!, Beginilah cara mencari kalong-kalong kesiangan! Mari! Perbanyaklah jumlah kalian! Nyawa istri dan anakanak ku akan ku tebus semahal-mahalnya dengan darah codot-codot seperti kalian!!!" bentak si Kaki Tunggal dengan geram. Seketika suasana menjadi tegang masing-masing dengan sorot-sorot mata mencorong tajam mengawasi lawan dengan mata yang mencerminkan rasa ingin membunuh yang menggebu-gebu.

"Hiyaaa...tttt!!" tiba-tiba si Kaki Tunggal membuat gerakkan yang sangat cepat. Dengan pisau panjang yang mencuat dari ujung tongkatnya, ia membabat seseorang yang terdekat di hadapannya

"Auw!. Aaakh!!" teriak seseorang yang terkena babatan tongkat si Kaki Tunggal, yang demikian cepat menyambarnya. Tubuh orang itu mengejang seketika. Dia mati dengan dada terburai bersimbah darah.

Melihat temannya mati, dua orang lainnya segera menyerang dengan membabi buta, namun pendekar Kaki Tunggal dengan cekatan meladeni serangan-serangan itu sambil melompat-lompat memberikan perlawanan yang tak kalah dahsyat dengan tusukan-tusukan yang mematikan. Pada kesempatan seperti sekian detik di saat musuhnya melayang sambil berjungkir balik di udara, si Kaki Tunggal segera memburu dengan kecepatan yang sangat dahsyat menusukkan tongkatnya, mengarah tenggorokan lawan.

Set!

Tongkat si Kaki Tunggal melesat cepat, tepat mengenai sasarannya. Seketika tubuh orang itu melayang jatuh berdebam ke bumi dengan darah muncrat keluar dari lukanya. Ia mati seketika.

Dengan mata yang berbinar-binar si Kaki Tunggal menyerang lawan yang tinggal seorang diri dengan sabetan-sabetan yang mematikan. Dalam pertarungan itu si Kaki Tunggal sengaja memancing mereka ke tengah ladang kosong itu, dengan demikian anggota Lalawa Hideung itu tak bisa melakukan serangan-serangan dari atas seperti dengan jalan menempel pada pohon maupun dinding batu.

Tak jauh dari arena  pertarungan itu, seorang petani sedang mencangkul dengan tenangnya. Dadanya di biarkan terbuka dengan keringat bercucuran di seluruh tubuhnya. Ia melirik ke arah pertarungan itu dan secara tiba-tiba ia mengayunkan cangkulnya ke arah tengkuk si Kaki Tunggal yang sedang menyabetkan senjatanya ke arah musuh sehingga tidak mengetahui adanya serangan dari arah belakang.

Beuut!

Cangkul itu melayang dengan cepat  ke arah tengkuk si Kaki Tunggal. Saat itu posisi si Kaki Tunggal tidak menguntungkan Cangkul itu tinggal beberapa sentimeter lagi mengenai tengkuknya. Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah batu dengan keras menyampok cangkul itu sehingga terpental jauh dengan gagang patah dua.

"Oh!" sentak si Kaki Tunggal sambil membalikkan tubuhnya ke arah penyerangan yang membokongnya dari belakang. Waktu luang yang satu detik itu tak di siasiakan oleh si Kaki Tunggal. Dengan cepat ia sabetkan senjatanya ke arah petani itu.

"Ciiaaaattt!" teriak si Kaki Tunggal keras.

Des! Aakh!

Tubuh petani gadungan itu ambruk menyusul teman-temannya dengan dada tembus oleh senjata si Kaki Tunggal.

Kiranya orang yang melempar  batu itu tak lain adalah Parmin Si Jaka Sembung yang secara kebetulan tiba di tempat itu.

Si Kaki Tunggal segera menghampiri Parmin dengan membungkuk hormat.

"Terima   kasih!,  anda  telah menyelamatkan nyawaku! Bolehkan aku tahu siapa anda?" tanya si Kaki Tunggal pelan. "Aku seorang  pengembara.   Namaku, Parmin! Orang menyebutku Jaka Sembung!"

jawab Parmin seadanya.

"Oh! Andakah pendekar yang termasyhur dari Gunung Sembung itu?. Ah, betapa senangnya aku berjumpa dengan anda, pendekar!"

"Ah, anda terlalu berlebihan. Aku hanya manusia biasa" jawab Parmin dengan nada merendah.

"Aku mendukung perjuangan anda. Semoga Lalawa Hideung segera lenyap dari muka bumi ini! Sampai bertemu lagi kawan!" ujar Parmin. Ia lalu meninggalkan si Kaki Tunggal. Dengan sekali loncatan tubuh Parmin menghilang dari pandangan mata si Kaki Tunggal yang membuat ia semakin kagum terhadap pendekar dari Gunung Sembung itu.

"Hmm, sangat mengagumkan! Manusia yang hebat pada masa ini!" gumam si Kaki Tunggal dengan mulut berdecak.

Beberapa saat kemudian Parmin sudah berada di sebuah lembah untuk menemui seseorang, yaitu Sundata. Saat itu sang surya telah mulai membuat bayanganbayangan memanjang. Parmin mendekati sebuah batu untuk duduk di situ.

"Tempat inilah yang telah ia janjikan untuk pertemuan!" gumam Parmin pada dirinya. Ia lalu duduk di atas sebuah batu. Baru saja ia duduk, tibatiba orang yang ditunggu sudah tampak berlari-lari menghampirinya.

"Perintah pertama sudah aku laksanakan. Aku berhasil mengumpulkan sembilan orang pendekar! Kami menunggu perintah anda selanjutnya, Jaka Sembung!" ujar Sundata memberi laporan.

"Perintahkan kepada sembilan pendekar itu supaya melamar pada orangorang kaya di desa Kalimanggis ini untuk menjadi tukang-tukang pukul!"

"Siap! Akan kami laksanakan!" jawab Sundata cepat, kemudian berlalu meninggalkan Parmin untuk memberitahukan pendekar lainnya.

"Selamat berjuang! Tuhan selalu di pihak yang benar!" ujar Parmin yakin.

Jaka Sembung lalu melanjutkan langkahnya. Ia tidak lagi berjalan seorang diri karena di temani oleh sahabat barunya yang setia, yaitu si Beo yang sangat cerdik itu.

"Kau kelihatan gelisah saja, Beo?" tanya Parmin melihat si Beo menggerakgerakkan kepalanya. Parmin terus melangkah, namun panca indera mengatakan ada sesuatu yang tidak beres di sekitarnya.

Betul saja dugaannya, beberapa batang anak panah melesat dari busurnya mengarah ke tubuh Parmin.

"Hiiaatt..!" seru Parmin sambil bersalto di udara mengindari serangan gelap itu.

Selamatlah jiwanya untuk sementara waktu. Namun baru saja kakinya menyentuh tanah, beberapa batang anak panah kembali meluncur ke arahnya.

Parmin kembali harus bersalto ke udara sambil memutarkan tongkatnya untuk menangis. Beberapa batang anak panah patah dua terkena sabetan tongkat Parmin, dan sebagian lolos di antara kedua kaki dan tangannya.

Serangan anak panah yang bertubitubi itu tiba-tiba berhenti. Parmin lalu mendaratkan kakinya di antara anak panah yang menancap di tanah dengan sikap waspada.

Tak lama kemudian Parmin mendengar suara derap kaki kuda yang bergemuruh dengan debu-debu yang berterbangan menuju ke arahnya.

Suara gemuruh itu kian dekat  ke arah Jaka Sembung yang menanti dengan penuh kewaspadaan.

Teriakan-teriakan penumpang kuda yang ramai itu menjadi hiruk pikuk. Para penumpang kuda dengan senjata-senjata tombak dan pedang panjang, serta tali tambang telah siap menyergap Parmin.

"Heeaaattt..." teriak Parmin sambil berguling di tanah menghindari babatan pedang serta tombak yang menghujaninya.

Kini Parmin telah terkepung. Para penyerangnya dengan memacu kuda mereka mengitari Jaka Sembung sehingga debu-debu memenuhi arena pertarungan dan membuat pandangan mata Parmin menjadi terhalang. Beberapa buah senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke tubuh Parmin. "Heeeeaattt..." seru Jaka Sembung keras sambil memutar tongkatnya dan berguling-guling. Empat buah pisau menempel di tongkatnya. Dengan cepat ia hentakkan tongkatnya dan pisau-pisau itu melayang kembali mengarah kepada pemiliknya. Seketika terdengarlah jeritan panjang diiringi suara berdebamnya tubuh salah seorang dari penyerang itu dengan pisau menancap di lehernya. Namun pada detik selanjutnya sebuah tali tambang besar telah melilit tangan Jaka Sembung.

Parmin berusaha untuk melepas jeritan itu, tetapi dua buah tambang kembali melilit tangannya dan tubuh Parmin lalu di seret oleh para penunggang kuda itu.

"Ha...ha...ha...ha! Tikus Gunung Sembung ini sudah tidak berdaya lagi!" teriak salah seorang dari mereka gembira diikuti tawa yang lainnya.

"Tarik terus sampai besot-besot! Kita bikin dendeng abon! Yaaah! Yach!" teriak yang lainnya sambil menarik tambangnya berputar-putar kian kemari.

Tubuh Parmin terus di seret-seret, pakaiannya telah koyak-koyak terkena batu-batu kerikil yang ada di lembah itu dan tubuhnya pun telah lecet-lecet.

Di sebuah pohon yang rindang di balik bukit, terlihat si Kaki Tunggal sedang makan sambil melepaskan lelah. Tiba-tiba suapan nasinya terhenti ketika telinganya mendengar suara yang meminta pertolongan.

"Toloooong! Tooloong!" Apa iya Jaka Sembung cengeng begitu, baru kena diseret kuda saja sudah teriak-teriak minta tolong? (Editor).

"Pendekar Gunung Sembung dalam bahaya!" suara itu keras terdengar olehnya.

"Hah! Itu burung Beo Jaka Sembung! Aku harus segera menolongnya!" gumam si Kaki Tunggal menghentikan makannya begitu melihat Beo menghampiri dirinya.

Tanpa pikir panjang lagi, bagaikan orang disengat lebah, si Kaki Tunggal melesat dari tempat duduknya. Tubuhnya berkelebat mengikuti si Beo yang terbang rendah sebagai petunjuk jalan.

"Cepat sedikit, kawan!" teriak si Beo memberi peringatan. Sementara itu Parmin masih berkutat dengan siksaan para penunggang kuda yang menyeret tubuhnya. Tanpa mereka ketahui tiba-tiba sebuah kilatan cahaya putih telah menerobos arena pertarungan.

Sret!

Putuslah tali pengikat tangan Parmin, si Kaki Tunggal dengan mata mencorong telah berdiri di hadapan para penunggang kuda itu.

"Heh! Kurang ajar! Siapa kau?!" "Kepung kawan-kawan!, jangan sampai kunyuk buntung ini lolos!" bentak salah seorang yang menyeret Parmin, setelah melihat ada orang yang menolong Jaka Sembung. Kini mereka berdua telah dikepung oleh para penunggang kuda itu.

"Heh! Bebel siah!" bentak si Kaki Tunggal mencaci-maki penyerangnya, karena tudung si Kaki Tunggal telah tertembus oleh sebuah tombak yang nyaris menghantam batok kepalanya.

Dengan cepat ia jatuhkan dirinya ke belakang sambil melemparkan senjatanya.

"Mampus siah!" teriaknya dan seketika itu terdengar jeritan tertahan. Si penyerang itu mati dengan dada tertembus.

Si Kaki Tunggal masih bergulingguling pada saat tiga buah cahaya dari senjata rahasia mengarah kepadanya.

Nyawa si Kaki Tunggal terancam, untung Parmin melihatnya, dan dengan gerakan cepat Parmin menyentil pisaupisau itu hingga arahnya meleset ke samping tubuh si Kaki Tunggal. Maka luputlah bahaya yang mengancam jiwanya.

"Awas pisau, kawan!" teriak Parmin sambil bergerak mendekati si Kaki Tunggal.

"Terima kasih Jaka Sembung! Beginilah susahnya punya sebelah kaki, gerakan selalu lamban!" ujar si Kaki Tunggal sambil tangannya melemparkan kembali pisau-pisau itu mengarah leher lawannya. Seketika itu juga tiga orang penunggang kuda itu jatuh dari pelananya dan mati dengan pisau menancap di leher.

Para penunggang kuda yang tinggal beberapa orang itu segera menyerang si Kaki Tunggal dan Parmin yang masih bergulingan di tanah dengan senjatasenjata mereka. Namun kembali si Kaki Tunggal dan Parmin membuat gerakan manis dengan menangkap pisau-pisau itu dengan jari tangan mereka dan mengembalikannya kepada sang pemilik dengan cepat. Tepat mengarah leher mereka, sehingga tubuh mereka jatuh berdebam ke tanah dengan nyawa melayang. Darah membasahi bekas luka itu.

Kini tinggal Parmin dan si Kaki Tunggal berdiri di antara para penunggang kuda yang tergeletak tak bernyawa lagi dan kuda-kuda mereka telah berlarian entah kemana.

"Semoga anda tak terluka, pendekar Gunung Sembung!. Rupanya kita enteng jodoh, sehingga dalam satu hari ini kita bisa bertemu dua kali," ujar si Kaki Tunggal sambil berdiri dan menghampiri Parmin yang masih duduk di tanah.

"Terima kasih, pendekar!" ujar Parmin sambil menepis bajunya yang penuh debu. "Burung Beo itulah sebetulnya yang menolong anda. Nah, baiklah kita berpisah dulu. Syukurlah jika anda baik-baik saja. Selamat malam, Jaka Sembung!" ujar si Kaki Tunggal sambil mengambil tudungnya yang bolong tertembus sebuah tombak dan berlalu dari hadapan Parmin.

"Kuharap kita bisa berjumpa lagi, pendekar!" ucap Parmin,

Hari telah berganti lagi. Siang itu matahari terik menyinari desa Kalimanggis. Dari tengah sawah terdengar teriakan-teriakan seseorang yang sedang menghalau burung-burung yang coba-coba mematuk padi yang mulai menguning.

"Huraaaaaaaaaaaaaaa...!" Hup! Hup! Huuraaaaaiii...! Haayooooooo...!!!" Suara itu keras sekali terdengar menggema, dibarengi hentakan-hentakan tangan pada tali-tali yang tergerak dengan bunyibunyian tempurung yang di isi batu-batu kecil sehingga membuat burung-burung tidak jadi memakan padi dan terbang menjauh.

Orang itu tak lain adalah Umang. Ia kini telah menjadi buruh pada seorang petani kaya di desa Kalimanggis. Kerjanya tiap hari adalah menghalau burung-burung di sawah. Keringatnya telah membasahi baju serta wajahnya. Sekali-sekali ia menyeka keringat di wajahnya dengan tangannya yang buntung. "Huraaaaaaaa...! Huuraaaaaaa!!" teriak Umang dengan penuh semangat.

"Seandainya tanganku lengkap, aku lebih baik kerja lainnya. Aku jemu setiap hari menghalau burung!" gumam Umang menyesali dirinya. Di saat itu sepasang mata lain mengawasinya dari arah belakang. Orang itu tak lain adalah Mirah yang terus berusaha mendekati Umang.

"Itulah Umang! Aku akan coba-coba berkawan dengannya. Tampaknya ia lebih bisa didekati dari pada si Tirta, kawannya itu!" gumam Mirah di dalam hatinya.

"Saudara Umang!" Sapa Mirah pelan sambil menguak batang padi yang sedang menguning di hadapannya agar tak menghalangi tubuhnya.

"Heh...siapa kau? Apa maksudmu datang kemari? Oh... andakah yang pernah mengintip kami?!" Kata Umang terkejut sambil menoleh padanya penuh selidik.

"Betul! Tetapi aku tidak punya niat jahat. Aku ingin bersahabat dengan anda berdua. Aku pun hendak menuntut balas terhadap Lalawa Hideung!" Jawab Mirah membela diri.

Umang tidak berkata sepatah pun ketika mendengar keterangan Mirah yang ingin membalas dendam pada gerombolan laknat itu.

"Percayalah!. Aku bukan seorang mata-mata gerombolan Lalawa Hideung. Ijinkanlah aku menemani anda bercakapcakap!" Ujar Mirah meyakinkan Umang agar menerima dirinya sebagai kawan.

"Heh! Berdua dalam gubuk di tengah sawah yang sepi begini? Apakah anda tak berperasangka buruk terhadapku?" tanya Umang dengan senyum penuh arti.

"Aku percaya bahwa anda seorang laki-laki yang menjunjung tinggi nilai kesucian seorang wanita!" jawab Mirah pelan penuh harapan.

"Terima kasih!. Kemarilah, dan silakan duduk!" kata Umang sambil menggeser tubuhnya ke kiri untuk memberi Mirah duduk di sampingnya.

Kemudian Mirah menghampiri  Umang dan duduk di sebelahnya. Mata mereka bertemu pandang sejenak dan untuk beberapa saat telah menimbulkan getarangetaran di dada masing-masing. Mirah memulai bercerita tentang dirinya serta keluarganya.

"Dua tahun yang lalu, desa kami dirampok oleh gerombolan Lalawa Hideung. Kekasihku serta keluargaku mati terbunuh. Juga rumah kami di bakar habis," ucap Mirah sedih mengenang peristiwa itu dan tanpa terasa air matanya menetes di pipinya.

"Semua orang bernasib sama karena kekejian Lalawa Hideung! Aku sudah banyak mendengar cerita duka seperti ini!. Aku hanya bisa turut berduka cita atas nasibmu. Hm, Siapa nama mu, dik?!" tanya Umang lembut dan membayangkan kejadian yang menimpa dirinya serta keluarga sendiri.

"Mirah!" jawab gadis  tersebut sambil mengusap air matanya dengan jarijari tangannya yang halus. Mereka berdua terlibat pembicaraan mengenai diri masing-masing dengan serius. Sementara itu, tanpa mereka sadari, sesosok tubuh dengan kain membungkus kepalanya hingga tak terlihat sehelai rambut pun menghampiri mereka dari belakang.

"Huh! Kurang ajar betul ayam hutan itu!" gumamnya penuh rasa geram. Sosok tubuh yang tak lain adalah Tirta itu terus mendekati mereka dengan perlahanlahan. Tiba-tiba tangannya bergerak.

"Heeeaaatttt... teriak Tirta keras dengan sorot mata tajam. Melesatlah tiga buah senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke punggung Mirah yang sedang asyik berbicara dengan Umang

"Haaiiii....tt!" teriak  Mirah sambil melesat ke atas menjebol atap gubuk itu dan bersalto di udara. Pisaupisau itu menancap di atas tempat duduk Mirah yang telah kosong. Umang sangat terperanjat dengan serangan yang datang secara tiba-tiba itu. Detik-detik selanjutnya Mirah yang masih berada di udara terus di hujani dengan serangan pisau-pisau kecil, sehingga Mirah terpaksa jungkir balik menghindarinya.

"Kau harus mampus, awewe jurig!!!" Bentak Tirta keras sambil melempar pisaupisaunya ke arah titik-titik kematian pada tubuh Mirah.

"Tirta, tunggu!! Hentikan Tirta!!" teriak Umang sambil melompat dari tempat duduknya dan mengejar Tirta yang masih terus memburu Mirah.

"Tirta, tunggu! Gadis itu bukan musuh kita! Dia kawan kita, Tirta!"

"Aku lebih tahu tampang seorang cecunguk!!" bantah Tirta tanpa menghiraukan perkataan Umang. Ia malah menghunus goloknya yang lalu di ayunkan ke arah Mirah yang terus menghindar tanpa memberi perlawanan.

"Tirta, hentikan kataku! Kau  terlalu mengumbar napsu!!" Sergah Umang sambil memegang tangan Tirta.

"Jangan ikut campur! Ini adalah urusanku!!" bentak Tirta sambil meronta melepaskan pegangan tangan Umang. Dengan gerakan gesit ia kembali menyerang Mirah yang berusaha melompat menghindari serangan itu.

Akhirnya dengan susah payah Umang berhasil menyergap tubuh Tirta dan mendekapnya erat-erat.

"Lepaskan aku, Umang!" teriak Tirta keras sambil berusaha meronta dan melepaskan diri dari pelukkan Umang.

"Ah?!"

Umang tersentak kaget seraya melepaskan dekapan tangannya, dan mundur dua langkah dengan sorot mata mengandung sebuah pertanyaan.

Ketika Umang mendekap  tubuh kawannya itu, ia merasakan tangannya menyentuh sesuatu yang lembut di balik baju Tirta. Seketika itu Tirta berontak dan kemudian tertunduk malu. Wajahnya seketika bersemu merah.

"Kau selalu saja menghalanghalangiku! Seharusnya aku sudah dapat mengirim perempuan itu ke neraka. Suatu saat kita sendiri dapat terbunuh karena tindakkanmu!" Ujar Tirta dengan wajah cemberut karena kesal dan malu atas kejadian yang baru saja berlangsung sambil meraba dadanya seakan-akan bekas tangan Umang masih terasa dan membuat bulu-bulu tubuhnya berdiri meremang.

"Tetapi kepada musuh wanita, kita tidak boleh bertindak secara membabi buta!" bentak Umang mengharap pertimbangan.

"Musuh wanita lebih berbahaya dari pada musuh laki-laki!. Karena menganggap wanita lemah dan remeh, kita akan menjadi lengah dan sedikit saja salah langkah, kita akan terbunuh olehnya!" Jawab Tirta dengan nada penuh emosi dan rasa benci terhadap wanita.

"Tapi aku yakin ia bukan musuh kita!" Ujar Umang kembali dengan nada ditekan.

"Itulah kebodohanmu, Umang!  Lakilaki semacam kau akan bisa dengan mudah kena perangkap dengan umpan wanita-wanita cantik!" sambung Tirta dengan nada kesal. "Tetapi  aku   tidak   melihat kebohongan pada  sinar  matanya!" bantah Umang membela  diri sambil meyakinkan teman seperjalannya itu yang masih ragu-

ragu.

Perdebatan mereka segera terhenti. Tirta bergegas meninggalkan Umang menuju lumbung tua. Umang mengikutinya dari belakang, sesampai di dalam lumbung tua tempat tinggal sementara bagi mereka, perdebatan pun di lanjutkan kembali.

Tirta  dengan   wajah   yang  masih cemberut, duduk bersandar  pada sebuah balok dengan  kaki  di lipat, sedangkan Umang merebahkan diri di atas alang-alang kering dengan tangan sebagai alas kepala. "Kita  sama-sama  lelaki, Umang!"

ujar Tirta dengan nada sumbang sambil tangannya berusaha menutup kancing leher bajunya.

"Justru karena kita laki-laki, maka naluri kita bisa menangkap denyut kebohongan dalam dada setiap wanita!" jawab Umang cepat sambil duduk dan memandang wajah Tirta dalam-dalam.

"Kusesalkan seandainya kau bisa jatuh cinta pada musuh!" Sergah Tirta dengan nada cemburu dan berusaha membuang muka menghindari tatapan Umang.

Matahari pun bergulir kearah barat dan senja telah datang. Binatang-binatang malam telah keluar dari sarangnya mencari makan. Malam itu udara di luar terasa dingin membuat orang-orang tertidur dengan nyenyaknya.

Di dalam lumbung tua terlihat Tirta dan Umang sudah terbaring dengan posisi bertolak belakang. Umang dengan posisi terlentang sedangkan Tirta dengan posisi terlungkup. Di dalam tidurnya malam itu, Umang agak gelisah. Ada sesuatu yang aneh di rasakan entah mimpi entah bukan. Dalam perasaannya ada seseorang yang membelai tubuhnya dengan begitu lembut. Pakaiannya terasa di buka satu persatu oleh tangantangan halus lalu bibirnya dipagut oleh bibir yang tipis yang mengeluarkan bau harum dari mulutnya. Lidah itu lalu menjilat lehernya sampai ke bawah pusarnya, lalu tubuhnya bergulingan bersama tubuh lain dengan napas memburu dan pada saat puncaknya, tubuh Umang menegang untuk kemudian lemas. Tatkala Umang terbangun  tengah malam itu tubuhnya terasa agak lemah seperti dilolosi dan ia menoleh kepada Tirta yang tidur lena dengan bibir tersenyum bahagia. Sungguh aneh!

Sang surya telah memancarkan sinar emasnya menerangi alam raya ini, Umang meninggalkan Tirta yang masih tertidur. Ia kemudian membersihkan tubuhnya di air pegunungan yang tak jauh dari tempat mereka tinggal.

Air pegunungan di pagi itu membuat tubuh Umang terasa lebih segar dari biasanya, Umang terus merendam tubuhnya dengan pikiran yang masih di penuhi dengan teka-teki.

"Tirta, tapi, ah... Tak mungkin!" gumam Umang membayangkan kejadian yang dialami semalam.

Ketika Umang kembali ke lumbung tua itu, Tirta sudah tidak ada di tempatnya dan ia hanya melihat sudah ada hidangan yang tersedia disana.

"Tirta, ke mana Tirta? Biasanya ia memberi tahu aku kemana dia pergi! Hmm, apakah yang di tinggalkan itu? Makanan untukku? Telur ayam setengah matang! Tentu ini di sediakan untukku!" gumam Umang pada dirinya sendiri setelah siasia mencari Tirta di tempat itu. Umang mengambil telur dan di makannya sebelum menyantap makanan lainnya yang lengkap sebagai sarapan pagi penuh dengan gizi.

Pada malam hari di suatu  tempat yang tak seorang pun tahu, telah berkumpul gerombolan Lalawa Hideung dengan berpakaian serba hitam komplit dengan cadar menutupi mukanya dan kepala terbungkus kain warna hitam pula.

Dalam ruangan yang hanya di terangi sebuah pelita yang tergantung pada sebuah balok melintang, duduk orang-orang Lalawa Hideung membentuk lingkaran mengelilingi meja perundingan dengan sang ketua duduk paling ujung menghadapi orang-orangnya yang dengan penuh perhatian mendengarkan pemimpinnya berbicara.

"Kalian  harus   waspada!   Kini desa Kalimanggis terpagar kuat oleh para pendekar yang hendak menuntut balas kepada kita!" Ujar sang ketua dengan suara lantang dan berwibawa. Semua anak buahnya mendengarkan dengan serius. Kemudian sang ketua melanjutkan pembicaraannya.

"Penjagaan mereka tersusun rapi karena siasat pendekar Gunung Sembung! Seperti kalian tahu, kalian telah dua kali gagal membunuh pendekar dari daerah utara itu! Ini berarti Lalawa Hideung mendapat tantangan yang cukup berat! Minggu depan sudah mulai panen, kita harus bersiap-siap menyusun siasat dan kekuatan kita! Lalawa Hideung harus tetap jaya! Telah bertahun-tahun Lalawa Hideung merajai daerah lereng selatan gunung Ciremai ini! Lalawa Hideung adalah momok sepanjang jaman! Ha..ha.. ha..ha!!" seru sang ketua berapi-api dan bersemangat, dengan ketawa yang keras sekali membuat berdiri bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya.

"Hidup sang ketua! Hidup Lalawa Hideung!!" teriak mereka serempak seperti ada yang memberi komando. Setelah mendengar sang ketua berbicara, kemudian mereka menyusun rencana untuk malam ini.

Hari telah larut malam, tetapi mata Umang tak mau mengantuk, lalu membuat api unggun di depan lumbung tua itu menantikan Tirta yang tak kunjung datang. Umang kemudian duduk di bawah pohon tak jauh dari api unggun itu sambil termenung.

"Sudah hampir tiga bulan  aku menetap di desa Kalimanggis ini, belum pernah seorang Lalawa Hideung pun yang kutemui!. Apakah pengembaraanku akan siasia!" gumam Umang pada dirinya sendiri.

Pikiran menerawang seakan-akan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba indera keenamnya bereaksi mengatakan ada sesuatu disekitarnya. Maka ia segera menoleh ke belakang.

"Heh, siapa itu?" Sapa  Umang melihat sesosok bayangan tubuh menghampiri dirinya. Setelah orang itu dekat Umang kembali memalingkan wajahnya menghadapi api unggun, karena orang yang baru datang itu tak lain adalah Mirah.

"Maafkanlah, lagi-lagi  aku  mengganggu  anda, Umang!" katanya dengan lembut dan segera duduk di sebelah Umang. "Oh... tidak!  Aku  justru sedang butuh kawan!" balas Umang sambil menambah

kayu bakar supaya api unggun tidak mati. "Anda   sedang   sendirian?, kemana

teman anda Tirta? apakah ia sengaja memasang perangkap untukku?!" tanya Mirah menyelidik kalau-kalau Tirta ada di sekitarnya.

"Tidak! Sejak pagi tadi ia belum pulang. Jika ia bermaksud membunuhmu, aku pasti akan turun tangan!" jawab Umang dengan pandangan mata penuh arti.

"Hmm, anda berdua mulai bertengkar karena aku? Maafkanlah segala tindakan ku!" ujar Mirah dengan bibir tersenyum sebagai balasan atas tatapan mata pemuda tampan bertangan satu itu.

"Ah... tak mengapa! Memang sebagai kawan,  Tirta  terlalu   berlebihan terhadapku   sehingga  kadang-kadang  aku merasa di  perlukan  seperti anak kecil yang harus menuruti apa yang ia katakan!" "Itu tandanya ia mempunyai  sikap

yang akrab terhadap kawan sependeritaan," komentar Mirah dengan nada agak menyindir.

"Suatu saat, ia kadang-kadang berlaku manja seperti anak kecil dan justru aku merasa tersiksa oleh kemanjaannya. Dia terlampau halus, mudah tersinggung tetapi sebaliknya ia suka mau tahu dalam segala hal! Ia marah sekali ketika aku menghalang-halanginya untuk membunuhmu, " Ujar Umang menceritakan perilaku Tirta.

"Tirta sangat mencurigaiku, tetapi aku sanggup membuktikan dengan apa saja sampai anda berdua percaya kepadaku!" Katanya dengan nada meyakinkan lawan bicaranya itu. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti, ketika sebuah benda panjang berdesing dengan deras ke arah mereka.

"Awas, Umang!!" teriak Mirah sambil bersalto ke belakang diikuti oleh Umang. Kiranya sebuah tombak telah tertancap tepat di tempat duduk Mirah yang telah kosong.

Belum sempat Mirah dan Umang membetulkan posisi mereka, kembali senjata-senjata gelap melayang mengancam nyawa mereka. Mau tak mau, mereka harus bersalto menghindar.

Mirah dengan cekatan sekali membuat gerakan-gerakan indah di udara sambil menangkis senjata-senjata rahasia tersebut dengan pedangnya. Sejenak serangan itu  terhenti. Mirah dan Umang yang kini sudah memasang kuda-kuda dengan punggung mereka menempel satu dengan yang lainnya, menanti dengan penuh kewaspadaan.

Beberapa saat kemudian sosok-sosok tubuh berlompatan dengan ringannya mengepung mereka dengan senjata-senjata tajam terhunus.

"Lalawa Hideung!!" bentak Umang sambil menyilangkan goloknya didepan dada setelah melihat orang-orang yang mengepungnya itu berpakaian serba hitam dengan cadar yang menutupi muka serta ikat kepala berwarna hitam pula.

Teriakan-teriakan mereka memecahkan suasana yang sepi menjadi hiruk-pikuk disertai dentingan-dentingan suara senjata tajam yang beradu menimbulkan percikan bunga-bunga api.

Di tengah-tengah berkecamuknya pertempuran itu, munculah sesosok bayangan lain dengan gerakan yang cepat.

"Hiiyaaaaaaa....tt! Mampus kalian semua!" bentaknya dengan suara melengking sambil menyabetkan goloknya ke arah gerombolan Lalawa Hideung yang mengepung Mirah dan Umang.

"Tirta!!" seru Umang dan Mirah hampir bersamaan.

Mereka bertiga kini menghadapi Lalawa Hideung dengan sabetan-sabetan dan serangan-serangan yang mematikan.

Namun bagaikan kelelawar-kelelawar, tubuh-tubuh berpakaian hitam itu melompat kesana-kemari memusingkan pandangan mata, kemudian menempel pada dahan-dahan pohon dengan sangat mengagumkan. Telapaktelapak kaki mereka melekat erat pada dahan-dahan itu seakan-akan memiliki daya perekat, meninggalkan musuhnya di bawah sana yang menjadi kebingungan.

"Ha...ha...ha...ha! Kalian kira kemampuan kalian akan mampu menandingi Lalawa Hideung?" Ujar salah seorang dari mereka dengan nada mengejek.

"Turun kalian! Kami tidak takut!!" bentak mereka hampir bersamaan dengan rasa penasaran.

Kemudian orang-orang di atas pohon itu membuat gerakan menukik seperti seekor kelelawar menyambar seekor serangga, dengan golok-golok terhunus mengarah kepada mereka yang berada dibawah. Namun Mirah dan Umang serta Tirta menangkiskan golok mereka masingmasing sehingga para penyerangnya kembali melesat ke atas dengan manisnya dan menempel ketat di pohon.

Mereka menjadi terkejut melihat komplotan itu kembali dengan cepatnya setelah beradu dengan senjata-senjata mereka. Rupanya kelompok Lalawa Hideung itu membuat senjata musuhnya sebagai pantulan.

Belum hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba kelompok Lalawa Hideung kembali menyerang dengan bersalto berkali-kali dengan sebuah jaring besar ditebarkan mengarah kepada mereka.

"Awas! Umang, jaring!!"  teriak Mirah memperingati Umang. Namun terlambat Umang meronta, namun sia-sia jaring itu demikian kuatnya. Secepat kilat jaring itu terangkat dengan tubuh Umang di dalamnya terperangkap tak berdaya.

"Kepung! Jangan sampai lolos awewe itu!" Ujar seseorang dari mereka yang segera menyerang Mirah dengan membabi buta, membuat gadis itu kewalahan.

"Wah... celaka! Umang tertangkap," gumam Mirah khawatir melihat keadaan pemuda yang dalam waktu singkat ini telah merebut hatinya.

"Jumlah mereka terlalu banyak untukku! He, kemana gerangan Tirta? aku tak melihatnya? Apakah ia tertangkap? Percuma melawan mereka sendirian! Aku harus segera lari. Di sini banyak sekali pohon-pohon yang sangat menguntungkan mereka," gumam Mirah kecut setelah melihat situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Sambil menangkis dan bersalto menjauhi mereka, ia segera lari dengan mempergunakan ilmu larinya seperti seekor kijang lari menyelusup ke dalam semak-semak belukar. Mirah berlari dan berlari tak tentu arah menjauhkan diri dari komplotan itu.

"He... mereka berhenti mengejar?" pikirnya setelah mengetahui dirinya tidak dikejar lagi oleh gerombolan Lalawa Hideung.

"Hh....., hh...., napasku hampir putus! Oh, Umang! Dia tertangkap! Umang, Umang... tidaak! aku sudah sebatang kara di dunia ini, aku tak mau kehilangan lagi!" desah Mirah sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon kelapa.

"Aku berjanji akan menolongmu, akan kuselamatkan! Aku akan mencarimu, Umang! Oh, Tuhan! Tuhan! Lindungilah dia! Aku tak mau lagi kehilangan seseorang yang kucintai!" pekik Mirah dengan tangis terisak dan air mata membasahi kedua pipinya, dengan deras. Kemudian ia menyabetkan pedangnya kian kemari melampiaskan rasa kesal dalam hatinya, membuat daun-daun yang terkena pedangnya menjadi terpotong berhamburan.

"Dengan saksi bintang-bintang di langit, angin yang bertiup, aku bersumpah! Akan kutumpas setan-setan keji itu yang telah merampas hidupku cintaku!!" teriaknya keras mengacungkan pedangnya ke atas.

Saat itu di tempat lain, ada sebuah gubuk reot terlihat Umang terikat pada sebuah tiang dengan dijaga ketat oleh gerombolan Lalawa Hideung.

"Mengapa kalian tak segera membunuhku?!" bentak Umang marah dengan mata melotot.

"Ketua kami memerintahkan untuk menawan anda hidup-hidup!".

Jawab salah seorang yang di percaya oleh sang ketua.

"Aku tahu!. Lalawa Hideung adalah iblis keji!. Kalian akan membunuhku secara perlahan-lahan!" Sergah Umang dengan mata melotot.

"Kami tidak tahu! Kami hanya patuh kepada perintah Pimpinan! Untuk apa anda harus ditangkap hidup-hidup!, kami tak tahu! Kami hanya menunggu perintah selanjutnya!" jawab orang kepercayaan sang ketua itu selanjutnya.

Waktu pun berlalu dengan cepatnya, tak terasa musim panen telah datang. Huma dan sawah telah dituai, lumbung-lumbung telah penuh terisi. Semua orang bergembira, tetapi kegembiraan itu di barengi pula dengan rasa cemas dan waswas karena harta benda milik mereka jelas terancam.

Tidak seorang pun di  antara penghuni rumah-rumah itu merasa tenteram setiap malam datang. Setiap laki-laki muda ditugaskan berjaga-jaga sampai pagi.

Pada suatu malam dengan sinar bulan yang enggan menampakkan diri, di pinggiran desa Kalimanggis tampaklah sesosok bayangan berdiri di kegelapan malam. Sosok tubuh itu tak lain Parmin, si Pendekar Gunung Sembung yang menempatkan diri di batas sebelah Barat.

Di atas desa sebelah Timur sesosok tubuh dengan topi tudungnya yang tak lain adalah si Kaki Tunggal, selalu mengintai bagaikan seekor Serigala.

Sementara itu untuk  pertahanan dalam desa, tersebar sepuluh pendekar dari segala pelosok. Mereka siap siaga setiap detik dengan senjata-senjata di tangan.

Begitulah suasana desa Kalimanggis setiap malam, tetapi penjagaan yang ketat itu belum bisa menghibur hati orang-orang kaya, Mereka tetap merasa tak tenteram dan ini terjadi pada minggu pertama sesudah panen. Pada malam itu terlihat di bangunan besar milik orang kaya yang badannya gemuk serta perutnya gendut.

"Sudahlah pak! Kenapa sih, belum tidur-tidur juga?" tanya istrinya sambil membelai dada suaminya manja.

"Hatiku merasa dag-dig-dug! Di mana kau simpan barang-barang berharga kita, bu?" jawab sang suami dengan nada waswas. "Dalam peti  besi buatan   kumpeni, pasti aman!. Lagi pula kita telah menyewa tukang-tukang  pukul  jago  berkelahi itu kan pak?" Ujar istrinya dengan maksud menenangkan suaminya.

"Aku tak percaya dengan kekuatan mereka, bu! Lalawa Hideung bisa menyelusup seperti jurig!" Sanggah suaminya penuh khawatir.

Memang tanpa mereka sadari, dari atas genteng terlihat sesosok bayangan hitam telah berada di atas kamar mereka dan tiba-tiba.

"Betul apa yang kalian katakan! Lalawa Hideung bisa berada di mana-mana seperti malaikat pencabut nyawa!" bentaknya mengancam dengan golok terhunus dan telapak kakinya menempel di hamparan atap kamar suami istri tersebut. Rupanya ia masuk melalui lubang langit-langit kamar setelah membongkar gentengnya.

"Hah....!!!" sentak suami-istri itu dengan wajah ketakutan yang tak terhingga, lalu mereka berpelukan dengan tubuh menggigil dan mandi keringat dingin.

"Hayo... cepat serahkan peti harta kalian kepadaku! Cepat kataku!!" bentaknya keras sambil meloncat turun dan segera menempelkan goloknya di leher si gendut yang semakin ketakutan.

"Am... am.. ampun! Ja.... jang...  an bunuh aku!" ratapnya dengan nada terputus-putus menahan ketakutan sampai tak terasa celananya telah basah akibat kencingnya sendiri.

Tetapi di luar dugaan, kemunculan anggota Lalawa Hideung itu tertangkap oleh sepasang mata burung Beo teman Parmin yang bertengger pada sebuah lemari yang berukir dalam kamar tersebut.

"Kami hanya punya harta, padi kami belum terjual!" jawab si Gendut coba mengelak sambil mendekap bantal guling untuk menutupi celananya yang basah.

"Heh, kau coba-coba membohong?, babi!! Kalian kira Lalawa Hideung tuli!! Ini... agaknya kau lebih menghendaki aku mengupas kulit kepalamu!!" bentaknya sambil menggoreskan goloknya di atas jidat si gendut... Darah pun segera keluar dari luka itu membasahi mukanya.

"Am... am.... pun, tu... an!" rintihan si gendut sambil mengusap darah di wajahnya dan menunjukkan di mana tempat hartanya disimpan.

Melihat itu, si burung Beo segera terbang menerobos kisi-kisi jendela sambil berteriak-teriak memberi peringatan kepada para pendekar.

"Toolooong! Lalawa Hideung! Tooo... looong! Lalawa Hideung datang! Siaaa... ppp!!" teriak Beo sambil berputar-putar mengelilingi desa Kalimanggis itu dengan cepat.

Beberapa saat kemudian rumah saudagar kaya itu telah dikepung oleh para pemuda desa itu dengan senjata lengkap terhunus.

"Ciiiiaaaa....ttt!!" teriak mereka keras sambil mendobrak pintu. Maka seketika keluarlah sesosok bayangan dengan cepatnya. Para pemuda desa Kalimanggis segera mengepung orang tersebut dengan tombak serta golok dan senjata lainnya secara serempak. Namun orang yang berpakaian serba hitam itu dengan manis, bersalto ke udara dan menempel pada sebuah pohon dengan tangan menggondol peti harta. Ia segera meninggalkan musuh jauh di bawah sana dengan pandangan mata kebingungan.

Detik berikutnya dengan tiada terduga-duga terjadilah hujan pisau dari atas pohon-pohon melanda pemuda-pemuda Kalimanggis itu.

Dengan leher tertancap pisau-pisau rahasia, mereka mati seketika. Disusul kemudian dari atas pohon, turunlah berpuluh-puluh anggota Lalawa Hideung! Dalam sekejap saja terjadilah pertempuran sengit. Suara-suara teriakan keras memecah suasana malam di iringi dengan suara dentingan senjata-senjata yang saling beradu.

Api telah berkobar di mana-mana diiringi jerit tangis kepanikan para wanita dan anak-anak yang ketakutan. Sudah banyak pemuda-pemuda Kalimanggis gugur bergelimpangan dengan luka mengerikan.

Namun di lain sudut, sepuluh pendekar mengamuk bagaikan banteng ketaton dengan sabetan-sabetan golok yang menimbulkan cahaya putih menyambar tubuh musuhnya yang berteriak tertahan terkena sabetan itu lalu mati seketika.

Terlihat pula Parmin melompat ke sana ke mari dengan gesitnya. Dengan tongkat besi berani di tangan kanannya serta golok pendek di tangan kiri menyambar-nyambar tubuh anggota Lalawa Hideung. Setiap tubuhnya berkelebat, tumbanglah beberapa orang Lalawa Hideung dengan jeritan tertahan.

Di lain sudut terlihat pula si Kaki Tunggal membabatkan pisau tongkatnya kesana-kemari dengan ganas. Setiap kali tongkatnya bergerak, dua tiga orang musuhnya yang berpakaian serba hitam itu mati dengan leher hampir putus.

Pertempuran itu lebih ramai lagi dengan munculnya Mirah yang begitu gesit, seakan-akan tubuhnya sedang menari-nari dengan pedangnya. Gulungan cahaya putih dari pedang Mirah menyambar-nyambar kian kemari dan mendarat tepat di tubuh para anggota Lalawa Hideung diiringi jeritanjeritan kesakitan dan ambruk seketika dengan nyawa melayang.

Para pendekar yang kini berjumlah tiga belas orang itu berjuang mati-matian dan berusaha memancing Lalawa Hideung ke tempat terbuka dan gundul dengan maksud melumpuhkan gerak Lalawa Hideung dan menjauhi kobaran api yang semakin besar.

Di tengah-tengah kemelut itu, Mirah melihat sesosok tubuh berkelebat keluar dari kancah pertempuran menuju ke suatu tempat dengan tergesa-gesa.

"Heh, itu seperti Tirta! Lari  kemana dia? Mengapa ia meninggalkan pertempuran? Baiklah kuikuti terus!" Pikir Mirah sambil berlari mengikuti kemana Tirta berlari dengan hati-hati.

"Aku harus segera mendapatkan Umang!" desis Tirta pada dirinya sendiri sambil mempercepat larinya.

"Heh, agaknya ia hendak menuju puncak bukit itu! Ada apa gerangan?" gumam Mirah setelah melihat Tirta mendaki sebuah bukit di luar desa Kalimanggis.

"He, dia menuju sebuah rumah tua!" desah Mirah keheranan sambil mengendapngendap dengan pedang selalu siap di tangannya.

Di dalam yang pekat itu Tirta memasuki rumah tua itu tanpa menyadari ada orang lain yang mengikutinya. Di dalam rumah tua itulah terlihat Umang terikat di sebuah tiang.

"Umang!" sapa Tirta pelan mendekati Umang. "Heh, siapa kau? Oh,... engkau Tirta! Syukurlah kau selamat, kukira engkau tewas malam itu!" kata Umang setelah mengetahui siapa yang datang.

"Aku baik-baik saja, Umang!" ujar Tirta lembut.

"Lalawa Hideung telah mengurung ku di sini selama dua Minggu! Mereka memberiku makan seperti anjing! Dari mana kau tahu aku meringkuk di sini? Cepat buka ikatanku! Kita segera lari!" Ujar Umang memelas.

"Jika kau menghendaki lari,  aku akan membunuhmu di sini! Kecuali jika kau mau menuruti apa yang ku katakan!" sergah Tirta dengan nada mengancam, membuat Umang terkejut seperti disambar petir.

"Aku tak mengerti apa yang kau maksud? Mengapa kau hendak membunuhku?. Apakah kau sudah tak waras Tirta?!" tanya Umang sambil mengerutkan keningnya.

"Ha.... ha... ha... ha! Umang! Umang!. Berapa tahun engkau telah berkelana untuk balas pati kepada Lalawa Hideung? Ah,... kasihan betul! Kau tolol! Jika kau hendak membalas dendam kepada Lalawa Hideung berarti kau adalah musuhku!

"Ha...ha...ha...hi..hi!" bentak Tirta dengan suara keras dan tertawa-tawa mengejek.

"Kau tolol! Kau Tolol! Umang! Akulah sebenarnya pemimpin Lalawa Hideung! Kau telah berkawan dengan seekor ular yang setiap saat bisa menelanmu!!!"

Suara   Tirta semakin  keras memperkenalkan siapa dirinya yang sesungguhnya. "Ha, apa?  Kau  pemimpin gerombolan iblis  laknat yang  terkutuk itu?!.  Kau, kau...  kaukah  itu   Tirta?"  tanya Umang terkejut mendengar  keterangan  Tirta

dengan mulut menganga dan mata melotot. "Hi...hi...hi...hi!     Telah   kau

saksikan sendiri betapa lihainya Lalawa Hideung, bukan? Tetapi kau tak usah khawatir aku tidak bermaksud membunuhmu! Kau adalah milikku, oleh karena itu sengaja kau ku tangkap hidup-hidup dan di sembunyikan di sini! Malam itu sebenarnya aku sedang bersandiwara dengan berpurapura membantu kalian melawan Lalawa Hideung! Semua ini atas siasatku! Sayang betina itu bisa lolos dari lubang jarum! Sayang sekali!!!," ujarnya dengan nada sinis dan senyum tersungging penuh arti.

"Iblis keparat kau! Bajingan licik! Terkutuk! Keji!!" bentak Umang memaki Tirta dengan wajah merah menahan dendam.

"Jangan marah Umang. Aku mencintai mu, aku sangat mencintaimu! aku sangat mencintaimu, Umang! Marilah kita hidup bersama-sama dengan harta berlimpahlimpah! Lihatlah! Akan kubuka tutup kepalaku! Kau lihat, Umang. Betapa perasaanku kepadamu selama ini!" Ujarnya sambil melepas penutup kepalanya. Tirta meneruskan dengan menanggalkan pakaiannya satu persatu. Maka kini berdirilah sesosok tubuh gadis yang cantik molek di hadapan Umang tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.

Tubuh itu begitu sempurna dengan buah dada yang begitu montok dan kencang, pinggang yang ramping serta kulit yang halus bersih, dan rambut yang terurai lepas sampai ke pinggul.

"Kau...kau seorang wanita! Siapakah kau sebenarnya?" sergah Umang heran demi melihat tubuh Tirta yang begitu indah.

"Ya aku seorang wanita. Oleh karena itu aku merasa cemburu terhadap si Mirah!. Kini... marilah sayang... kita berdua pergi ke tempat yang tenang dan tersembunyi, di mana kita dapat hidup berdua! Kita akan bahagia sebagai suami istri. Hartaku takkan habis dimakan tujuh turunan! Harta yang telah bertahun-tahun kukumpulkan! Marilah sayang,.....

marilah!"

Suara Tirta lembut dengan  sorot mata menantang dan senyuman dan rekah bibir yang meminta. Kedua tangan gadis itu terbentang sambil berlenggak-lenggok mendekati Umang dengan gaya yang merangsang.

"Tidaak!" Jangan sentuh aku! Enyaaah kau! Kau pembunuh! Pembunuh ibubapakku! Pembunuh kakak perempuanku! Pembunuh dan perampok terkutuk di muka bumi ini! Tidaak! Tiidaaakkk!!" teriak Umang keras sambil memejamkan matanya menahan amarah yang tak terbendung lagi.

"Jangan bersikap tolol, sayang. Selagi ada kesempatan gunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya. Persetan dengan penderitaan orang lain! Marilah sayang, jangan buang-buang waktu..." ujarnya manja dengan bibir mengecup leher pemuda yang masih terbelenggu tak berdaya itu. Jari-jari lentik itu segera pula menyelusup ke balik baju Umang.

Belum sampai niatnya terlaksana, tiba-tiba tubuh molek itu mengeliat dengan suara tertahan. Tubuhnya mengejang sejenak dengan dada tertembus pedang tepat di antara belahan buah dadanya. Seketika darah segar menyembur dan membasahi baju Umang di hadapannya.

"Mampus kau kunyuk!" teriak Mirah dari belakang sambil menusukkan pedangnya lebih dalam ke tubuh wanita muda yang selama ini menyamar sebagai seorang pemuda bernama Tirta itu.

"Mirah! Tepat pada waktunya kau datang! Mirah, terima kasih. Tak kusangka,... Tirta,.... Oh!" tukas Umang gembira

"Umang! Umang,.... kau tak apa-apa, sayang?" ujar Mirah dengan mesra sambil mendekap Umang yang dibalas dengan belaian mesra dari sang pemuda tersebut.

"Semuanya telah berakhir Umang... Mari kita pergi! Lalawa Hideung akan musnah bersama terbitnya matahari esok!" ujar Mirah sambil melepaskan tali belenggu Umang dan menggandengnya keluar rumah. Kepalanya disandarkan ke dada Umang. Mereka berlalu dari tempat itu menuruni bukit dengan hati cerah, secerah warna langit di ufuk timur yang mulai Jingga. Ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan menyambut sebuah hari baru. Hari berakhirnya riwayat gerombolan perampok keji dari daerah Pasundan ini.

Mereka yang masih hidup mengucapkan syukur, walaupun desa Kalimanggis sudah berubah menjadi puing-puing.

Di sana-sini mayat bergelimpangan. Bau darah yang anyir bercampur baur dengan bau asap yang menyesakkan dada. Parmin termenung memandangi sisa-sisa api dan melihat mayat-mayat yang bergelimpangan.

"Perampokan, pembunuhan, ganas dan kejam! Semua ini selalu terjadi sepanjang zaman di antara manusia di muka bumi. Ya Allah, tunjukkanlah mereka jalan yang benar, jalan yang lurus!!" Ucap Parmin dengan perasaan trenyuh. Kemudian Parmin mengumpulkan para pendekar dan memberi sedikit kata sambutan.

"Saudara-saudara pendekar! Terima kasih atas segala bantuannya. Jika kita bersatu, musuh yang paling dahsyat pun bisa kita lumpuhkan! Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!.

Kepada yang gugur, marilah kita panjatkan do'a kehadirat Illahi, semoga mereka mendapat tempat layak! Satu hal yang patut kita sadari ialah bahwa bangsa kita dalam penderitaan di bawah telapak kaki penjajah! Untuk ini marilah kita bersatu lebih kokoh, karena kita menghadapi perjuangan yang jauh lebih besar! Namun kita percaya akan menang jika kita berjuang dengan penuh pengabdian dan berada di jalan Allah!" Ujar Parmin dengan ringkas, tetapi tegas dan di dengarkan oleh para pendekar dengan serius.

Setelah mengurus semua jenazah dengan layak, Parmin pun minta diri untuk melanjutkan pengembaraannya.

"Nah, saudara-saudara sekalian, kurasa tibalah masanya kita berpisah dahulu! Tugasku masih banyak, perjalanan ku masih panjang. Kalau Tuhan masih mengijinkan langkahku, aku bermaksud menghubungi pendekar-pendekar di seluruh daerah Pasundan ini!"

Dengan hati berat, para  pendekar dan penduduk desa Kalimanggis melepas keberangkatan Parmin. Di antara mereka tak terkecuali sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran, Umang dan Mirah, Si Kaki Tunggal yang gagah dan tegar, melambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Sang Pendekar muda dari Utara yang terkenal dengan gelar Jaka Sembung tersebut.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar