Serial Jaka Sembung Eps 01 : Bajing Ireng Maling Budiman

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka.

Hari telah larut malam. Seluruh penduduk kampung telah tidur dengan lelap. Sinar purnama memancarkan sinarnya yang lembut keperakan. Serangga malam mengisi keheningan malam dengan tembang-tembangnya yang membangkitkan rasa kekaguman manusia terhadap suasana malam. Suasana syahdu itu dibuyarkan oleh jerit tangis anak kecil dari sebuah pondok yang letaknya terpencil dari pondok-pondok lainnya. Suara tangisan itu terdengar begitu menyayat hati yang mendengarnya.

Pondok itu dihuni sepasang suami istri yang dikaruniai seorang anak perempuan yang berumur tiga tahun. Anak itu diberi nama Kinong. Pak Kinong bekerja sebagai buruh tani yang hanya mengandalkan upah dari pemilik tanah yang digarapnya, istrinya bekerja mengumpulkan kayu bakar yang kemudian dijual di pasar. Ia juga kadang-kadang bekerja sebagai buruh potong padi pada saat musim panen tiba.

"Pak, cobalah pinjam beras barang sedikit saja kepada tetangga...! Siapa tahu mereka menaruh belas kasihan kepada kita.....!" bujuk Bu Kinong penuh harap.

Suaminya hanya duduk termenung ke arah jendela memandang keluar dengan tatapan matanya yang kosong.

"Kasihan, sih, kasihan...! Tetapi mereka juga sama seperti kita, kelaparan!" keluh Pak Kinong dengan nada putus asa.

"Coba-coba sajalah, Pak! Si Kinong ini sangat lapar!" seru istrinya sambil menenangkan si Kinong yang merengek-rengek minta makan.

"Pinjam sama siapa, Bu?" tanya pak Kinong sambil bangkit mengambil rokok kawungnya diatas meja.

"Lagipula semua orang sedang enak-enaknya tidur! Salah-salah aku bisa disangka maling oleh penduduk! Sudahlah, kamu suruh tidur saja anak itu, Bujuklah sebisamu Bu!" ujar Pak Kinong sambil menghisap rokok kawungnya dalam-dalam.

"Sampai kapan kita hidup terus begini ya, Pak? kita mungkin orang tua bisa saja tahan lapar, tapi anak kecil...?" keluh istrinya.

Kinong seolah tahu sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya, maka ia sengaja meledakkan tangis sekuat-kuatnya sampai otot-otot lehernya menegang.

"Makaaaan......! Hengg.......

Kinong lapaaal. !" "Sampai kapan kau bilang? Huh! Tentu saja sampai tuan tanah Van Eisen mampus! Atau sampai penjajah itu angkat kaki dari negeri kita!" umpat Pak Kinong sambil menggebrak meja bambu di hadapannya. Meja yang sudah reyot itu semakin bertambah reyot jadinya.

"Berapa   lama   lagi?   Sebulan?

Setahun?" tanya Bu Kinong sengit. "Sampai kita masuk liang kuburpun

belum tentu hal itu terjadi!" Pak Kinong mendengus. Suasana kembali hening. Suami istri itu sama-sama terdiam.

Sementara itu di antara atap-atap rumah   terlihatlah  sesosok  tubuh melompat-lompat dengan lincahnya dari atap rumah  yang satu  ke  atap  rumah yang lain seperti  seekor bajing. Ia mengenakan    pakaian  serba  hitam. Rambutnya  terurai   sebatas  pinggang. Wajahnya  ditutupi  cadar hitam,  hanya sepasang matanya saja yang tampak. Di pinggangnya    terselip  sebuah golok, yang terjepit di antara sabuk dan kain sarung yang melapisi celana pangsinya. Begitu ringan tubuhnya  melompat kesana kemari tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun.   Hanya   sesekali ditandai dengan terhentinya suara unggas bernyanyi karena terganggu dengan

kelebatan sosok tubuhnya. Dengan satu hentakan ia meloncat turun. Tubuhnya melayang seperti sehelai daun kering yang jatuh di tanah, namun kedua kakinya berpijak dengan mantap.

Setelah mengamati keadaan sekelilingnya untuk meyakinkan dirinya bahwa sudah tidak ada orang lain yang membuntutinya, ia berjalan mengendapendap. Di punggungnya terlihat sebuah bungkusan seperti sebuah karung.

Tiba-tiba ia berhenti melangkah karena mendengar suara tangisan anak kecil yang sudah parau dan tersendatsendat. Lalu orang itu melangkah menuju sebuah pondok dimana suara tangisan itu berasal.

* * *

Seketika pintu rumah gubuk itu didorong dari luar lebar-lebar, sesosok tubuh dengan pakaian serba hitam sudah berdiri tegak di ambang pintu.

Sepasang suami istri itu terkejut dan sambil gemetar melangkah mundur merapat ke dinding bilik.

"A... ampun! Kami orang miskin yang tak punya apa-apa lagi untuk dimakan, apalagi barang berharga!" kata Pak Kinong dengan tersendatsendat. Keringat dingin mengaliri tubuhnya. "Jangan takut! Aku bukan perampok! Namaku Bajing Ireng!" seraya menghampiri sepasang suami istri tersebut dengan tenang. Sorot matanya terlihat ramah dan lembut.

"Jangan takut! Aku adalah Bajing Ireng! Ambillah beras dalam karung

ini, Pak!" Dalam remang-remang cahaya lampu tempel yang menerangi pondok itu, terlihatlah sepasang mata yang bening dan indah dengan bulu-bulu lentik di antara rambut yang tergerai di dahi dan cadar yang menutupi batang hidungnya sampai dagu. Ternyata ia seorang wanita.

Bajing Ireng tersenyum sambil menyodorkan karung yang digendongnya kepada suami istri tersebut.

"Karung ini berisi beras, ambillah! Anak Bapak sudah sangat menderita karena menahan lapar!" Bajing Ireng berkata lembut.

Tetapi mereka masih ragu-ragu untuk menerima pemberian tak terduga dari seseorang yang sama sekali belum mereka kenal dengan baik.

"Jangan ragu-ragu! Ambillah! Aku paling tidak suka menyaksikan rakyat yang terlalu menderita!" suaranya berubah tinggi.

Akhirnya Pak Kinong menerima karung beras tersebut sambil menjatuhkan diri berlutut diikuti oleh Bu Kinong di hadapan Bajing Ireng.

"Terimakasih Pendekar! beribu terima kasih atas pemberian ini. Bagaimana kami yang miskin ini harus membalas budi baik anda....?" katanya dengan mata berkaca-kaca.

Bajing Ireng mengangkat bahu Pak Kinong agar segera berdiri. "Sudahlah, Pak! Bapak dan Ibu tidak perlu berkata seperti itu. Bersyukurlah kepada Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena aku hanya sekedar perantara untuk menyampaikan pertolonganNya! Berdoalah selalu agar tidak terlalu lama menghadapi hidup yang miskin dan sengsara seperti ini!"

Kedua orang tua itu perlahanlahan berdiri memandang Bajing Ireng dengan mata berbinar-binar karena terharu mendengar ucapan yang begitu mulia dari seseorang yang begitu peduli terhadap nasib rakyat kecil seperti mereka.

Sementara itu Kinong yang duduk di balai bambu dalam kamar sudah berhenti menangis. Ia seperti menyadari bahwa telah datang seorang dewa penolong khusus bagi dirinya.

"Baiklah, Pak! Aku sekarang mohon diri!" pamit Bajing Ireng. Tanpa bicara lagi langsung berkelebat menghilang entah kemana ditelan oleh kegelapan malam.

Kedua suami istri itu hanya saling pandang seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Alhamdulillah... Mak! Kita bisa makan sekarang. Inilah salah satu Rahmat yang diberikan oleh Tuhan untuk kita!" desah Pak Kinong sambil mengangkat tangan dan wajah menengadah ke atas merasa bersyukur.

"Mari pak, kita segera menanak nasi! Kitapun sudah lapar sekali bukan?" kata Bu Kinong sambil menggendong si Kinong keluar kamar menuju dapur.

"Ya, Tuhan! Siapakah dewa penolong tadi ya, Pak? Mungkin ia seorang Malaikat yang sengaja diturunkan oleh Tuhan ke bumi untuk menolong orang-orang miskin seperti kita ya, Pak!" ujar Bu Kinong sambil cepat-cepat mencuci beras dengan air yang diambilnya dari dalam gentong di sudut dapur itu. Pak Kinong menganggukkan kepalanya seraya tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhan.

Kinong duduk di atas dingklik di sisi ibunya sambil sebentar-sebentar menyeka ingus dan menghapus air matanya dengan punggung telapak tangannya. Sepasang matanya kini terlihat bundar berbinar-binar penuh harapan.

***

Di suatu senja dari kejauhan terlihat sebuah rumah yang paling besar dan bagus di wilayah Kandang Haur. Atap rumah itu terbuat dari genteng berwarna coklat, dindingnya terbuat dari batu bata. Halamannya ditumbuhi bunga mawar dan tanaman hias lainnya yang tersusun rapi berpagar tembok.

Rumah itu adalah rumah Kepala Desa, Pak Marta namanya. Sebenarnya ia masih keturunan bangsawan Sunda dengan nama lengkap Marta Wargasasmita. Setelah menjadi Kepala Desa Kandang Haur, ia terkenal dengan sebutan Pak Marta.

Beliau tinggal bersama anak gadisnya, Roijah. Sedangkan istrinya telah lama meninggal ketika Roijah berumur sepuluh tahun.

Dari dalam rumah itu terdengar alunan suara Roijah yang sangat merdu melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Suaranya terdengar begitu syahdu merasuk kalbu bagi siapa saja yang mendengarnya.

Beberapa saat kemudian suara merdu tersebut berhenti. Roijah selesai mengaji. Setelah menutup kitab suci Al Qur'an di atas lekarnya, ia lalu menggeser duduknya menghadap ayahnya yang sedang istirahat duduk di atas sebuah kursi goyang sambil menghisap cerutu.

"Ayah, kudengar tadi malam gudang beras milik tuan Van Eisen kemalingan lagi, Ayah....!" tanya Roijah memecah keheningan senja selepas waktu maghrib. "Ya!" jawab Pak Marto singkat sambil menghembuskan asap cerutunya kuat-kuat.

"Tetapi jangan kuatir! Mulai malam ini tuan tanah Van Eisen akan menyewa jago-jago bayaran untuk menangkap si pencuri yang berani kurang ajar tersebut!" dengus Pak Marta si Kepala Desa.

"Kalau aku menjadi kepala desa, aku akan menyewa jago-jago bayaran untuk melindungi pencuri itu!" tibatiba Roijah menyeletuk.

Bagaikan mendengar petir di siang hari, seketika Pak Marta meloncat dari tempat duduknya.

"Hah! Apa katamu, Roijah? Coba katakan sekali lagi!" teriak Pak Marta menahan marah.

"Ya, Ayah! Aku akan melindungi pencuri itu!" jawab Roijah sekali lagi dengan nada menantang. Ia berbicara seolah-olah bukan dengan ayahnya.

Roijah berjalan menuju jendela melempar pandangannya keluar. Diam sesaat dan membalikkan tubuhnya kembali menghadap ayahnya.

"Coba saja pikir...! Ayah diperbudak oleh penjajah hanya untuk memeras bangsa sendiri. Rakyat menderita dan kelaparan akibat perbuatan ayah secara tidak langsung!!" kata Roijah mengecam ayahnya sendiri sehingga membuat Pak Marta mendidih darahnya menahan amarah yang tak terbendung lagi.

"Heh! Roijah! siapa yang mengajari kau berkata begitu terhadap orang tua mu, hah!!" bentak Pak Marta menggelegar.

Roijah menggigit bibirnya tertunduk diam.

Melihat anaknya tak menjawab pertanyaannya Pak Marta tak kuasa menahan amarahnya.

"Siapa yang mengajari kau? Siapa! Akan kupecahkan batok kepalanya! Siapa dia? Jawab!!" tanya Pak Marta semakin geram dan penasaran.

"Tak seorangpun mengajari aku, Ayah! Aku melihat dengan mata kepala sendiri. Mereka yang terus menerus memeras keringat tetapi hidupnya menderita! Sedangkan mereka yang kerjanya menjilat penjajah hidupnya mewah uncang-uncang kaki tanpa merasa bersalah!" sahut Roijah tenang.

"Kau berani mengatakan ayahmu sendiri sebagai penjilat, hah?! Kau anak perempuan tahu apa! Urus saja dapur! Kau tak perlu tahu urusan orang tua mengerti?" bentak Pak Marta.

Perkataan ayahnya bukan membuat Roijah takut, justru sebaliknya ia semakin berani menyangkal segala perkataan ayahnya.

"Ayah merendahkan derajat kaum wanita! Justru ayah seharusnya menghargai perasaan wanita yang dapat merasakan penderitaan dan kesengsaraan bangsanya yang dijajah!" Roijah menarik napas panjang. Sementara Pak Marta bersungut-sungut mendengarkan.

"Mengapa perasaan itu tidak timbul dari hati seorang pemimpin seperti ayah? Ayah bisa saja menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan kepada tuan-tuan tanah kalau ayah mau! Ayah adalah seorang yang paling berkuasa di desa ini. Ayah kan seorang kepala desa!!" seru Roijah menyakinkan ayahnya.

Merasa dipojokkan oleh anaknya sendiri, Pak Marta tak kuasa lagi menahan amarahnya yang memang sejak tadi ditahannya.

"Diaaaamm!! Kau anak tak tahu diuntung! Berani benar kau nasehati ayahmu, he? Kutampar kau nanti!!" bentak Pak Marta dengan tatapan nanar dan napas mendengus, serta terdengar gemertaknya gigi.

Roijah meninggalkan ayahnya dan ia segera berlari masuk ke kamarnya langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menangis. Hanya itu yang dapat dilakukan oleh seorang anak perempuan, walaupun terhadap ayahnya sendiri.

Sementara itu Pak Marta duduk menghisap cerutunya dalam-dalam sambil pikiran menembus masa lalu pada saat istrinya masih hidup. Kalau saja ibunya Roijah masih ada, tentu saja Roijah tidak menjadi anak pembangkang seperti sekarang ini. Mungkin jadi seorang anak yang penurut.

Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang.

Roijah segera bangkit dan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Kemudian berjalan ke sumur untuk mengambil air wudhu melakukan sholat Isya.

Selesai sholat Roijah memanjatkan

doa.

"Ya Allah! Berikanlah hambaMu

kekuatan untuk menghadapi cobaanMu, ya Allah! Berikan keinsyafan pada ayahku, Sadarkanlah dia dari kekeliruannya...! Ya Allah! Lindungi bangsaku! Lepaskanlah bangsaku dari cengkeraman penjajah! Amiiin. "

Tanpa terasa air matanya kembali menetes membasahi kedua pipinya.

Selesai melakukan sholat, Roijah bergegas ke dapur. Ia harus menyiapkan makan malam untuk ayahnya.

***

Malam kembali menyelubungi desa Kandang Haur. Bulan di langit semakin lerang menyebarkan cahayanya ke seluruh marcapada. Namun suasana sunyi dan mencekap menyelimuti desa tersebut. Demikian pula suasana di sekitar gudang penggilingan beras milik tuan tanah Van Eisen.

Tapi di balik kegelapan malam, berdiri sosok-sosok tubuh yang kekar dan bertampang seram di setiap tempattempat tertentu di desa itu, terutama di sekitar gudang penggilingan beras milik tuan tanah Van Eisen.

Menjelang tengah malam, keluarlah sesosok tubuh serba hitam menyelinap di balik pohon yang rimbun sambil mengamati daerah sekitar gudang penggilingan beras itu. Langkahlangkahnya tidak menimbulkan bunyi sedikitpun. Sosok tubuh itu lalu berjalan ke balik gudang penggilingan beras tersebut.

Sementara para penjaga berusaha menghalau dinginnya malam dengan kegiatan masing-masing, tanpa sepengetahuan mereka sosok tubuh hitam itu sudah tegak berdiri di belakang salah satu penjaga yang sedang menikmati sebatang rokok sambil melamun. Dengan satu pukulan keras orang tersebut melenguh sekejap, kemudian tubuhnya melorot jatuh untuk tidak bangun lagi. Dari mulutnya keluar darah kental tanda ia mengalami luka dalam cukup parah akibat pukulan dari seorang yang benar-benar berilmu tinggi. Melihat temannya roboh diserang oleh orang tak dikenal, yang lainnya segera berlari mengepung. Masingmasing mencabut golok dan sosok tubuh serba hitam itu kini dikelilingi oleh tidak kurang dari sepuluh orang jagojago bayaran.

"Heiitt! Ladalah! Rupanya kau maling keparat yang sering mencuri beras dari gudang ini!" teriak salah satu penjaga gudang dengan lantang sambil memutar-mutarkan goloknya.

"Hi hi hi! Kalian semua hanya manusia-manusia kerbau yang cuma bisa membela perut sendiri saja!"

Suara mengejek itu sangat merdu namun menyakitkan telinga bagi mereka yang mendengarkannya.

Merasa dihina, mereka segera mengepung membentuk lingkaran yang ketat mengelilingi sang maling selama ini berani menguras gudang milik tuan besar mereka.

"Ayo, maju satu persatu biar aku tebas batang leher kalian! Aku Bajing Ireng tidak segan-segan menyingkirkan siapa saja yang menjadi budak Kompeni Belanda!!" seru Bajing Ireng siap memasang kuda-kudanya.

Tetapi tak satupun dari mereka yang berani menyerang. Masing-masing hanya berdiri pasang kuda-kuda. Sementara Bajing Ireng tak merasa gentar sedikitpun walau menghadapi pengepung yang semakin bertambah jumlahnya.

"Inikah jagoan-jagoan termashur yang selalu dibanggakan oleh tuan tanah bule itu? Tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian adalah manusiamanusia yang bisa dibeli dengan gulden! Manusia-manusia yang kecanduan roti dan keju! Aku malu melihat bangsaku sendiri yang diperalat oleh penjajah begitu tega hidup enak di atas penderitaan serta kemiskinan bangsanya sendiri! Sebenarnya aku muak berkelahi dengan kalian!!" katanya sambil berkacak pinggang. "Tapi apa boleh buat! Aku tak sudi melihat penderitaan rakyat kecil yang tertindas!"

Jago-jago sewaan masih terpana memandang Bajing Ireng tanpa mulai membuka serangan.

"Kalian lihat! Bangsa siapakah yang dijajah ini? Bangsa siapakah yang menderita ini? Aku, Bajing Ireng akan memberi pelajaran sedikit kepada kalian." seru Bajing Ireng sambil matanya tajam mengawasi para begundal yang mengelilinginya dengan posisi siap siaga.

"Kalian manusia-manusia! Tidak lebih berharga dari seekor lalat! Siapa yang menjadi tuanmu, haa! Orang asing bukan....? Dan kalian yang memusuhi adalah aku, bangsamu sendiri! Berkulit sawo matang dan berambut hitam seperti kalian juga!!" Kata Bajing Ireng menyadarkan para penjaga itu.

"Jika masih sayang nyawa dan sayang anak istri, minggirlah kalian! Ini peringatan dariku!" ancam Bajing Ireng siap menyerang.

Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka memberi isyarat kepada teman-temannya agar mulai menyerang Bajing Ireng secara serentak. Mereka mulai mendesak. Tapi Bajing Ireng langsung saja menendang dengan satu gerakan yang memutar dan cepat sekali tanpa bisa mereka hindari. Begitu cepat dan beruntun.

Tendangan itu mengenai dada para pengepungnya. Mereka langsung roboh hanya dengan satu gebrakan saja.

"Rupanya kalian menganggap remeh peringatanku! Ayo, siapa lagi yang berani mati, majulah!" teriak Bajing Ireng siap dengan jurusnya. Tangan kanan menyilang di dada dan tangan kirinya di atas kepala. Sebuah jurus yang sama sekali baru mereka lihat.

Melihat lawan-lawannya tidak memberikan reaksi lagi Bajing Ireng segera menurunkan tangannya kembali  ke posisi semula dan berdiri tegak, setelah menarik kuda-kudanya. Para penjaga gudang dan jago-jago bayaran itu hanya berdiri diam memegangi dadanya masing-masing sambil meringis menahan sakit dan dari sela bibir mereka mengalir darah hitam, darah luka dalam.

"Ingat! Jangan coba-coba menghalangiku lagi, kalau kalian masih ingin melihat sinar matahari esok pagi! Selamat malam dan sampai jumpa lagi...!" seru Bajing Ireng sambil membuat satu gerakan salto ke belakang dan disusul dengan sebuah loncatan ke atap bangunan gudang beras yang cukup tinggi itu dengan mudahnya.

Bajing Ireng meloncat hilang ke balik semak-semak dan hilang di kegelapan malam. Para penjaga itu hanya bisa saling pandang merasa heran dan kagum.

Keesokan harinya Pak Marta bersungut-sungut karena para jago-jago desanya gagal menangkap si pencuri yang telah diketahui menamakan dirinya Bajing Ireng.

"Hm, pantas! Pencurinya seorang jago silat yang luar biasa! Buktinya ia dapat menghajar beberapa orang sekaligus!" kata Pak Marta kepada anaknya Roijah yang sedang menjahit kebaya baru pemberiannya sebagai tanda penyesalannya kemarin. Begitu caranya ia meminta maaf pada anaknya.

Pak Marto bangkit dari tempat duduknya. "Bayangkan, sekali gebrak tiga orang roboh dan muntah darah tanpa ampun!!" seru Pak Marta sambil berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang cukup luas.

Roijah hanya tersenyum melihat ayahnya menggerutu terus-menerus.

"Tadi pagi Tuan Leonard Van Eiser? memanggilku! Katanya, jika aku tidak sanggup menyingkirkan pencuri itu, maka tuan Leonard Van Eisen akan membuat laporan langsung ke Residen Cirebon!" gumam Pak Marta merasa kesal. Tanpa disadarinya, rokok cerutu yang dipegangnya remuk diremasnya.

"Dan tahukah kau?" tanya Pak Marta pada Roijah yang sedang sibuk memasukkan benang ke lubang jarum.

"Ini berarti jabatanku sebagai kepala desa akan dicopot!!"

Roijah acuh tak acuh menanggapi ayahnya yang takut kehilangan jabatan, dan masa depannya. Ia bangkit meninggalkan jahitannya untuk membuat segelas teh tubruk kegemaran ayahnya. Mudah-mudahan setelah mereguk teh itu, amarah ayahnya agak menurun dan tidak uring-uringan terus-menerus.

"Kenapa ayah begitu takut! Tidak jadi kepala desapun kita masih bisa hidup! Kita tidak usah diperbudak oleh bangsa Belanda!" kata Roijah menutup gelas besar setelah mengaduk teh di dalamnya dengan tutup gelas. "Hidup yang bagaimana? Aku tidak mau makan singkong dan ikan asin! Aku ingin hidup layak, punya pendapatan besar dan menjadi orang terhormat....!" ucap Pak Marta dengan penuh keyakinan.

"Tak ada bangsa yang dapat hidup layak selama bangsa itu sendiri masih dijajah!!" jawab Roijah dengan nada sedikit ketus.

Roijah berhenti menjahit karena ujung jarinya tertusuk jarum.

"Karena takut menghadapi hidup ini, ayah hanya menggantungkan hidup di bawah telapak kaki penjajah Belanda. Bila penjajah sudah tidak lagi membutuhkan ayah lagi, maka ayah pasti akan dicampakkan begitu saja seperti orang yang membuang kulit pisang ke dalam tong sampah!!" sindir Roijah sambil mengulum jari telunjuknya yang berdarah.

Pak Marto mendengar ocehan anaknya yang sudah melanggar batas, membuat darahnya bergejolak sampai ke ubun-ubun. Ia tak kuasa lagi menahannya, sehingga napasnya terdengar bagai dengusan hewan liar yang siap mencabik-cabik mangsanya.

"Diaaaamm!! Anak setan! Lagi-lagi kau mau mengajari aku! Aku tidak perlu dinasehati. Aku ini ayahmu, mengerti?!" teriak Pak Marta seolah kesetanan. Kedua tangannya mengepal keras dan ia memukul meja yang berada di hadapannya, tanpa menghiraukan bahwa meja marmer itu terlalu tebal dan keras dibanding dengan kepalan tangannya.

"Kau berkata sembarangan! Kalau ketahuan mata-mata Belanda bisa-bisa kamu dianggap pemberontak!! Dan kau tahu apa hukuman bagi seorang pemberontak, ha? Ditembak mati!! Penjajah tidak mau tahu terhadap siapapun! juga terhadap anak kepala desa sekalipun, mengerti!!" bentak Pak Marta seraya menghampiri Roijah dengan tatapan mata yang nanar.

"Itulah kematian yang paling mulia, ayah! Kita akan mati sebagai pahlawan bangsa! Kita akan dikenang oleh seluruh masyarakat! Bahkan bukan saja mulia dihadapan masyarakat, tetapi dihadapan Tuhan. Kita mati syahid, karena menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan ajaran agama kita!!" sahut Roijah tenang dan mantap seolah-olah tak sedikitpun ia merasa takut kepada ayahnya.

"Tutup mulutmu!! Ayo masuk ke kamarmu dan jangan keluar-keluar lagi...! Awas kalan berani keluar lagi akan kuhajar! Kau hanya membuat pikiranku jadi bertambah ruwet saja, bukannya berusaha meringankan beban orang tuamu!" hardik Pak Marta. Lalu menendang pintu kamar Roijah sampai pintu tersebut terbuka lebar.

"Maafkan aku, ayah! Sebetulnya aku tidak bermaksud menyakiti perasaan ayah!" kata Roijah sambil berusaha menghindari tatapan mata ayahnya dengan menundukkan wajahnya. Roijah berusaha juga sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, maka Roijah meninggalkan ayahnya menuju kamarnya.

Pak Marta hanya menarik napas panjang, karena ia sebenarnya sangat sayang pada Roijah buah hati satusatunya.

* * *

Suatu hari di alun-alun pasar terpancang papan pengumuman yang dapat dilihat oleh setiap orang yang lewat.

Ditulis  dalam    huruf   Arab berbahasa   Sunda-Jawa.  Pengumuman  itu bersifat sayembara yang dipasang atas perintah tuan tanah Leonard Van Eisen. Leonard   Van   Eisen   melebarkan sayapnya    ke  daerah-daerah seluruh kawasan  Karesidenan Cirebon  bagian utara. Hal ini  dimungkinkan  karena prestasinya yang tinggi dalam membantu terlaksananya    kehendak  pemerintah Kompeni Belanda di daerah pantai utara

Pulau Jawa bagian barat.

Di antara kerumunan orang-orang yang membaca pengumuman tersebut, terlihatlah seseorang bertubuh pendek dan gemuk berjalan menuju papan pengumuman. Matanya sipit dengan alis tebal seperti semut yang menumpuk. Kepalanya botak. Ia mengenakan pakaian serba kuning. Lelaki itu berjalan menyeruak kerumunan orang untuk melihat dari dekat papan pengumuman. Setelah membaca alisnya terangkat ke atas sambil meludah.

"Akan kutangkap Bajing Ireng hidup-hidup!" desisnya.

Lalu ia membalikan tubuhnya dan mendadak bertabrakan dengan seorang ibu yang menggendong sebuah bakul. Si botak menatap ibu itu dengan mata begis sehingga si ibu ketakutan.

Segera si botak  berjalan menuju kediaman tuan tanah Leonard Van Eisen. Sambil membenahi   isi  bakul  yang tercecer,   ibu   itu   melihat  papan pengumuman dan coba memahami apa yang tertulis disana. Tapi ia sadar bahwa dirinya buta huruf dan mau tak mau ia harus bertanya kepada orang lain yang berada  di  sekitar   papan pengumuman itu. Di   wajahnya  terlihat  kecemasan setelah mengetahui isi pengumuman itu. Ia lalu   pulang  ke  tempat tinggalnya dengan langkah tergesa-gesa agar cepat sampai dan   memberitahukan kabar ini

kepada suaminya.

Ibu tersebut tak lain adalah Bu Kinong. Setelah sampai ia menaruh bakul di atas balai-balai. Suaminya, Pak Kinong, sedang duduk melepas lelah sehabis membabat rumput liar di teritisan rumah.

"Pak, di pasar orang-orang ribut membaca pengumuman yang dipasang oleh tuan tanah Van Eisen. Katanya barang siapa yang dapat menangkap maling tersebut akan mendapat hadiah yang besar!" kata Bu Kinong sambil mengambil kue serabi kesukaan suaminya dari dalam bakul.

"Maling apa ya, Pak? Katanya maling yang setiap saat selalu mencuri beras dari gudang penggilingan. Apakah orang yang memberi beras pada kita malam-malam tempo hari ya, pak?" sambung Bu Kinong sambil menghampiri si Kinong yang baru saja terbangun dari tidurnya di kamar karena balaibalai tempat tidurnya sudah banjir oleh ompolnya sendiri.

Kemudian ia menggendong si Kinong untuk membersihkan tubuh si Kinong dan sekalian mengganti otonya yang basah kuyup.

Suaminya hanya diam saja.

"Bu makan, Kinong lapaaal!" teriak si Kinong membetot-betot baju ibunya.

"Tapi dia telah menolong kita,"

Di saat itu jauh segala kegiatan dan berbagai keluh kesah yang terjadi di desa Kandang Haur, terlihatlah dua bayangan berkelebat di udara dengan ringannya di atas pasir pantai Eretan yang seperti perak. Tampak dua orang yang sedang bertarung. Suara deburan ombak yang menghantam karang disertai lengking burung-burung camar tak mengusik konsentrasi kedua orang tersebut.

"Hiaaaaaat!!" dengan jurus-jurus yang luar biasa, pemuda tegap itu menghindari setiap serangan yang ditujukan kepadanya. Beberapa kali ia melakukan gerakan salto di udara dan meliuk-liuk seperti seekor burung elang yang menyambar-nyambar ke bawah mematuk mengsanya.

Sementara lawannya adalah kakek bertelanjang dada dengan rambut yang kumel dan janggut panjang berwarna putih, dengan gencar menyerang muridnya yang meliuk-liuk di udara. Mereka sebenarnya sedang melakukan latihan, tetapi dengan sungguh-sungguh seperti dua orang musuh yang sedang bertarung mati-matian.

Tiba-tiba si kakek menghentikan serangannya.

"Ha ha ha! Kau hampir mengalahkanku dalam dua puluh lima jurus! Cukuplah latihan kita kali ini, muridku! Akhir-akhir ini kau semakin maju pesat." kata sang guru yang bernama Ki Sapu Angin. Pemuda itu bernama Parmin yang kemudian menurunkan tangannya kembali tegak berdiri memandang gurunya dengan penuh rasa hormat dan cinta kepada gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri.

"Kini kau telah menguasai semua jurus-jurus silat GUNUNG SEMBUNG dengan sempurna! Ilmu ini belum ada tandingannya untuk seluruh cabang pencak silat manapun di daerah Pasundan!" kata Ki Sapu Angin kepada Parmin yang tegap dan tampan sambil menepuk-nepuk pundak murid tunggalnya itu.

"Ilmu silat GUNUNG SEMBUNG dahulu hanya dimiliki oleh para wali dan para kyai untuk menghadapi segala kekerasan dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa ini, anakku!"

Parmin mendengarkan segala wejangan dari ilmu yang disampaikan gurunya dengan penuh perhatian.

Sejak lepas susu ibunya, Parmin sudah diminta Ki Sapu Angin untuk menjadi murid tunggalnya dan tinggal bersamanya di pantai Eretan.

Maka tibalah saat yang telah lama dinantikan sampai hari ini.

"Kurasa sudah cukup bekal ilmu yang kuturunkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini. Semua ilmu yang kumiliki sudah kuwariskan kepadamu. Kau tak perlu lagi merasa kuatir dalam menghadapi musuh-musuhmu yang tangguh sekalipun, kau pasti menang! Asal kau lakukan dengan tenang dan pasrah kepada Tuhan, karena ridho Ilahi adalah di atas segalanya bagi kita, anakku." lanjut gurunya dengan yakin.

Lalu ia mengalihkan pandangannya ke laut lepas.

"Sayang aku sudah tua, tenagaku sudah mulai melemah walaupun semangatku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan masih menyala-nyala!" keluh gurunya sambil membalikan tubuhnya memandang muridnya. Kemudian ia memegang pundak muridnya dan menatap penuh harap.

"Nah, sekarang pergilah! Bergabunglah dengan pendekar-pendekar dari selatan. Nasib bangsamu terletak di tangan pemuda-pemuda seperti kau! Doaku menyertaimu, Parmin! Jangan segan-segan kau meringankan tangan untuk menolong sesamamu yang sedang menderita kesusahan. Dan sampaikan salamku untuk kawan-kawan seperjuanganku. Biarlah aku menghabiskan sisa hidupku dengan jala, kail, dan dayung. Pantai Eretan adalah tempat yang cocok bagi pengembaraanku yang terakhir!" perintah gurunya dengan air mata berkaca-kaca dan menetes membasahi pipinya yang penuh dengan keriput di usianya yang telah senja.

Sementara itu Parmin mendengarkan segala petuah yang disampaikan Ki Sapu Angin dengan rasa haru. Tiba-tiba Parmin melorot tanpa tenaga ke bawah bertekuk lutut di hadapan gurunya yang sangat ia sayangi untuk mohon doa restu.

"Kek! Aku akan selalu ingat akan petuah kakek. Aku akan menegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini. Selama dibumi ini masih merajalela segala kejahatan, aku tidak tinggal diam!" janji muridnya pada sang guru. "Aku mohon diri sekarang, kek!" hampir-hampir ia tak sanggup menahan rasa haru.

Kemudian ia berjalan meninggalkan gurunya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Betapa tidak, karena harus menghadapi perpisahan setelah lebih dari lima belas tahun mereka hidup bersama dalam suka dan duka sebagai dua orang murid dan guru di tempat yang sunyi terpencil itu.

Parmin terus berjalan menyelusuri pantai sampai tidak terlihat lagi oleh mata Ki Sapu Angin.

"Semoga Tuhan selalu menyertaimu, nak!" desahnya lirih.

Malam itu terjadi ribu-ribut di luar rumah Pak Marta. Rupanya para jago di desa itu bersama-sama mendatangi rumah Pak Marta dan dengan tak sabar mereka menggedor-gedor pintu. Sepertinya ada keperluan yang teramat penting untuk dibicarakan.

"Pak Marta! Pak Marta! Buka pintu sebentar, cepat! Pak Marta!" teriak para jago tersebut.

Pintu segera terbuka. Tampak wajah Pak Marta geram karena terganggu tidur nyenyaknya dengan kedatangan orang-orang yang tak tahu waktu.

"Ada apa ini? Kalian tak tahu diri, malam-malam begini mengganggu orang tidur. Ada apa?" teriak Pak Marta melototkan matanya.

"Maaf, Pak Marta!" sahut para jago merendah.

"Malam ini kami mengintai maling yang selalu mencuri beras di gudang penggilingan, salah seorang jago berilmu tinggi berhasil menguntit maling itu. Tiba-tiba maling itu masuk ke dalam rumah Pak Marta dan tidak keluar lagi sampai saat ini!"

Mendengar pernjelasan dari para jago desa, Pak Marta kaget bukan main. "Hah, apa katamu! Maling itu masuk kemari?" pekik Pak Marta seolah

tak percaya.

"He, jangan-jangan dia datang ingin merampok hartaku!  Bangsat....

maling itu!!" umpat Pak Marta sambil mengepalkan tangannya. "Oleh karena itu kami ingin menggeledah seluruh isi rumah ini, barangkali maling itu masih berada dalam rumah ini!" seru seorang jago desa yang bertampang seram itu mewakili teman-temannya.

Tak ayal lagi Pak Marta mengijinkan para jago itu untuk menggeledah rumahnya. Mereka masuk sambil tetap siaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi sambil memeriksa setiap sudut rumah Pak Marta. Mereka bertindak dengan teliti, sampai-sampai dapur dan sumur serta jamban di belakang rumah tak terlewat begitu saja.

Sementara para jago sibuk memeriksa, Pak Marta menuju pintu kamar Roijah.

"Roijah! Roijah! Bangunlah sebentar, buka pintunya," teriak ayahnya dari luar.

Dan pintu kamar terbuka.

Tampak Roijah keluar sambil mengucek-ucek matanya dan menguap berusaha menahan rasa kantuk.

"Apakah ada orang yang masuk ke dalam kamarmu, tadi? Maling itu masuk kemari kata mereka!" kata ayahnya merasa cemas. Ia takut, khawatir maling itu akan melukai anak tunggalnya.

"Entahlah! Aku tidur nyenyak sekali sampai ayah mengetok pintu dan aku terkejut. Oh ya? Apakah maling itu memang benar-benar kemari? Ah, jika demikian aku mau saja menjadi istrinya. Dan jika ternyata ia seorang perempuan aku akan menjadikan dia sebagai saudaraku!" sahut Roijah dengan senyum menantang sambil membetulkan rambutnya yang tergerai menunggu reaksi ayahnya.

Seketika Pak Marta kalap mendengar Roijah berkata seperti itu terhadapnya apalagi di depan para jago desa yang sudah berkumpul di depan kamar anaknya.

"Diam! Diam kau!!'" bentak Pak Marta sambil berjalan menuju ruang tamu.

Lalu Pak Marta menghampiri para jago desa yang sudah duduk-duduk di kursi tamu. Ada beberapa orang di antaranya sedang menikmati rokok kelobot dan sigaret. Salah seorang dari mereka memberi laporan.

"Semua ruangan sudah kami periksa! Tetapi maling itu tidak diketemukan! Nah, selamat malam Pak Marta. Maafkan kami yang terpaksa mengganggu istirahat bapak tadi!" kata mereka sambil beranjak satu persatu keluar rumah.

"Oh, tak apa-apa! Bukankah kita harus selalu waspada menjaga lingkungan kita dari segala kerusuhankerusuhan yang akan terjadi!" tukas Pak Marta mengantarkan para jago desa itu sampai ke depan pintu.

"Baiklah, pak kami mohon diri untuk berjaga-jaga kembali!" kata mereka langsung berjalan meninggalkan rumah Pak Marta.

Pak Marta menutup pintu rumahnya dengan wajah lesu dan dalam benaknya menyimpan tanda tanya besar. Kemana perginya maling tersebut? Apa mungkin ia lenyap begitu saja seperti ditelan lantai kamar rumahnya ini? Rasarasanya tak masuk akal!

Keesokan harinya matahari bersinar cerah menerangi kaki langit sebelah timur yang ditingkahi kokok ayam dan cicit burung diatas dahan. Dari kejauhan seseorang berjalan dengan tenangnya melintasi desa. Orang itu memakai tudung kepala dari anyaman bambu berbentuk caping sehingga sebagian wajahnya tertutup. Kain sarung menyilang di dadanya. Ia berjalan menelusuri pematang sawah menikmati cerahnya pagi hari itu dengan nikmat. Seorang petani sedang mencangkul sawahnya berhenti sesaat memandang orang tersebut. Ia memastikan adanya kehadiran seorang pendatang baru yang lewat di kampungnya.

Tiba-tiba ia terkejut.

"Heh?! Orang itu mengherankan sekali! Dia seenaknya saja berjalan di atas pematang sawah yang basah baru kubikin, tapi... dia tidak meninggalkan jejak kakinya barang sedikitpun di atasnya, seakan-akan dia sedang terbang! Mungkin dia seorang jago silat yang sengaja datang dari jauh untuk mengikuti sayembara yang dibuat tuan tanah Van Eisen untuk menangkap maling itu!" pikir petani itu dengan wajah keheranan sambil menyeka keringat yang mengalir di keningnya. Ia seperti tak percaya dengan apa yang sedang disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri.

Pendatang itu kemudian berhenti di depan sebuah papan yang tertancap di atas pematang sawah. Dia memperhatikan papan tersebut sambil berkacak pinggang dan membaca tulisan dengan huruf-huruf latin yang tertera di situ.

"Tanah ini milik Van Eisen...? katanya sinis.

"Van Eisen? Mengapa bukan milik si Salim atau si Tarjo...? Tahukah kau he? Bahwa aku akan mengusirmu dari bumi nusantara ini!!" desis pendatang baru bertudung caping itu seraya mencabut goloknya yang terselip dipinggangnya.

"Van Eisen! Terimalah kehancuran secara simbolik dariku!! Dari Bangsa nusantara!" dengusnya. "Hiyaaaaaaat!! teriaknya sambil mengayunkan goloknya secepat kilat membabat papan tersebut berulang kali. Tetapi papan itu terlihat masih tetap saja berdiri tegak menancap di atas pematang sawah tak bergeming. Apa karena golok yang diayunkan hanya menebas udara? Atau goloknya yang tumpul?

Tiba-tiba angin bertiup kencang dan menerpa papan bertonggak itu.

Pemuda dengan tudung coping itu menyabetkan goloknya berulang-ulang pada papan nama yang terpancang di pematang sawah itu. Dan apa yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Papan pengumuman itu roboh menjadi tiga bagian.

"Itulah hari depanmu!" kata si pendekar caping berdiri tegak menyaksikan papan tersebut roboh dan terkapar dipematang sawah.

Sementara itu petani yang sejak tadi melihat apa yang dilakukan pendatang aneh itu sekali lagi ia dibuat terperangah heran.

"Oh! Masya Allah! Kayu pancang itu semula masih tegak berdiri tapi tak tahunya kayu itu sudah terpotong tiga dan baru roboh setelah tertiup angin. Begitu tinggi ilmu tenaga dalam mengiringi sabetan golok yang dimiliki pendatang itu!!" desisnya kagum.

"Kau harus enyah dari bumi kami!!" geram orang itu sambil menatap papan pancang yang sudah bertebaran tak berdiri angkuh lagi.

Kemudian dengan satu sentakan ia menendang papan yang bertuliskan nama Van Eisen itu ke hadapan si petani yang sedang mencangkul. Si petani hanya bisa melongo keheranan dan sama sekali tak mengerti apa arti kehancuran simbolik yang diucapkan oleh orang itu.

"Kau bukan bangsa tempe yang mau memeras keringat untuk kesenangan dan kekayaan penjajah semata-mata, bukan? Ayo injak papan itu demi kehormatan bangsa nusantara!!" perintahnya pada petani itu.

Setelah menyaksikan si petani menginjak papan itu atas perintahnya kemudian ia kembali meneruskan perjalanannya. Sedangkan si petani hanya memandang orang itu dengan pandangan heran dan ia sama sekali tak tahu kalau pendatang bertudung caping itu tidak lain adalah Parmin murid tunggal Ki Sapu Angin yang kini dalam perjalanan sudah sampai di daerah Kandang Haur.

* * *  

Pemuda dengan tudung caping itu menyabetkan goloknya berulang-ulang pada papan nama yang terpancang di pematang sawah itu

Saat itu di rumah Leonard Van Eisen terlihat orang berkepala botak berbaju kuning yang beberapa hari berselang membaca papan pengumuman sayembara yang dipasang di pasar, bertemu langsung dengan tuan Van Eisen. Ternyata ia mendaftarkan diri untuk ikut membekuk maling yang dikenal dengan julukan Bajing Ireng. Si Botak memperkenalkan diri dengan nama Beruang Kuning Dari Gurun Gobi, minta bayaran yang sangat tinggi pada tuan Van Eisen.

"Kami sanggup memenuhi permintaan anda, asalkan anda dapat menangkap maling itu dalam keadaan mati atau hidup..!"

"Tuan akan melihat sendiri hasilnya nanti malam! Aku akan menangkap maling itu hidup-hidup!" jawab si Beruang Kuning dengan pasti.

"Bagus! Saudara harus membuktikan janji anda untuk menangkap maling itu ludup-hidup. Kalau janji anda meleset, maka anda akan tahu sendiri akibatnya!! Sekarang mari kita rayakan pertemuan mi dengan minum anggur, ayo...!" seru Van Eisen sambil menyodorkan gelas kepada Beruang Kuning.

Beruang Kuning menerima gelas yang disodorkan padanya. Tanpa  ragu lagi ia menenggak habis isi gelas itu. Demikian juga dengan Leonard Van

Eisen.

Malam harinya seperti biasa di saat orang telah tidur dengan lelap. Sesosok tubuh serba hitam melompatlompat dan mengendap-endap seperti seekor Bajing di atas atap-atap rumah penduduk. Dia tak lain adalah Bajing Ireng sang maling budiman penolong rakyat miskin.

Tiba-tiba sesosok bayangan lain berkelebat cepat ke atas atap salah satu rumah dan berdiri menghadang Bajing Ireng. Gerakan orang tersebut yang ternyata adalah Beruang Kuning dari Gurun Gobi, itu sukar diikuti dengan mata biasa. Bajing Ireng agak gentar menghadapi lawannya kali ini. Beruang Kuning tertawa terbahak-bahak. Suaranya mengandung tenaga dalam yang hebat sehingga membuat telinga menjadi pekak bagi siapa saja yang mendengarnya. Apa lagi bagi orang yang ilmu tenaga dalamnya masih rendah maka telinganya bisa menjadi tuli.

Bajing Ireng menggerakan ilmu pernapasan dan tenaga dalamnya untuk menghalau suara yang dilancarkan pendekar berkepala botak tersebut.

"Ha ha ha ha ha ha ha!! Pantas malingnya begitu lihai dan hebat. Tentu saja tak tertandingi oleh jagojago pribumi disini! Ternyata julukan Bajing Ireng tidak percuma kau sandang, karena gerakanmu memang mirip seekor bajing. Tetapi lebih baik kau menyerah saja, manis! Karena malam ini adalah malam terakhir petualanganmu, maling manis! Aku akan menyerahkan dirimu pada tuan Van Eisen!" kata Beruang Kuning dengan gaya rayuan yang tengik. Bajing Ireng menjadi panas hati mendengar cara lawannya berbicara dan tarikan-tarikan wajahnya yang begitu nyinyir menyebalkan. Saat itu ia seperti menghadapi seorang dengan wajah seperti ketimun suri yang sudah lodo karena busuk.

"Bangsat! Siapakah kau, he bajingan gendut berkepala botak?! Pulanglah kau kembali ke negeri asalmu, botak!" hardik Bajing Ireng dengan nada begitu lugas dan ketus. Emosinya sebagai seorang perempuan terlihat begitu nyata.

Mendengar hinaan itu, Beruang Kuning dari Gurun Gobi hanya tersenyum. Senyuman sinis penuh ancaman.

"Dunia persilatan  di negeriku mengenalku dengan julukan Si Dewa Suci Penyebar    Bala!  Dan di   negeri   Jawa Dwipa ini aku bergelar Beruang Kuning dari Gurun Gobi sesuai dengan tempat asalku di sana!" jawab Beruang Kuning. "Hi hi hi hi hi hi hi! Hai, Dewa Gundul!  Kau   datang  jauh-jauh   dari tanah leluhurmu  hanya  untuk  membuat kegaduhan disini. Sesudah itu kau akan mengeruk   kekayaan negeri  kami  untuk mengisi perut  gendutmu  yang  seperti gentong air  itu! Kau  memang  benarbenar bangsat!! Dan kau tak lebih dari sebuah  benalu   bagi   bangsa kami,

Beruang gundul!" kata Bajing Ireng dengan nada mengejek. Dan hal ini membuat Beruang

Kuning tak dapat lagi menahan

amarahnya.

"Hayyaa! Aku tidak membutuhkan ocehanmu! Uang adalah raja dari segala raja! Manusia dapat dikendalikan dengan uang! Hidup ini hanya untuk uang! Hanya manusia bodoh saja yang tidak mau menggunakan kesempatan emas yang berada di depan mata!" katanya sambil merentangkan tangannya membentuk sebuah jurus. Agaknya inilah jurus pembukaan gaya Beruang Kuning.

"Oh, rupanya demikian sifat dari seorang dewa!" sindir lembut Bajing Ireng sambil membentuk kuda-kuda.

"Aku tidak akan mundur menghadapi manusia tengik macam kau! Majulah daripada hidup di bawah telapak kaki penjajah lebih baik mati berkalang tanah! Ayo gundul gendut!!" teriak Bajing Ireng menanti serangan Beruang Kuning.

Tanpa banyak bicara lagi, Beruang Kuning melancarkan serangan yang pertama dan merangsak Bajing Ireng. Jurus-jurus yang dilancarkan Beruang Kuning menderu-deru seperti angin puyuh. Bajing Ireng mengeluarkan semua ilmu yang dimilikinya dalam menghadapi serangan dari pendekar asing yang berilmu tinggi itu. Serangan demi serangan dilancarkan secara bergantian oleh pendekar itu sehingga udara di sekitarnya bergetar dan merontokkan daun-daun kering akibat kehebatan tenaga dalam masing-masing.

Dengan cengkeraman, Beruang Kuning segera melancarkan serangan ke

arah Bajing Ireng. Para penjaga gudang penggilingan beras datang berlari untuk menyaksikan pertarungan itu. Salah seorang dari mereka menunjuk ke atas dengan perasaan kagum dan terpesona.

"Lihat! Orang dari negeri seberang itu bertarung dengan Bajing Ireng di atas sana, lihat!!" teriaknya kepada teman-temannya.

"Kurasa kedua-duanya bukan orang sembarangan. Mereka memiliki ilmu meringan tubuh yang tinggi, sehingga dapat bertarung di atas atap rumah dengan lincah!" decak kagum dari para penjaga gudang beras menyaksikan kehebatan kedua orang itu.

Pertarungan sengit itu berlangsung cukup lama. Berpuluh-puluh jurus sudah mereka kerahkan tetapi pertarungan itu masih terlihat seimbang dan tampaknya pertarungan ini tak mungkin berakhir sampai pagi.

Suara ayam berkokok tidak menarik perhatian kedua orang yang sedang bertarung, itu. Beruang Kuning justru semakin gencar melancarkan serangannya sehingga Bajing Ireng terdesak. Bajing Ireng merasa dirinya kewalahan, ia meloncat turun ke bawah diikuti oleh gerak salto Beruang Kuning yang terus mengejarnya. Pertarungan dilanjutkan di atas tanah yang mulai berembun.

"Hmm, lihatlah Bajing Ireng sudah mulai kelihatan terdesak oleh serangan maut yang dilancarkan pendekar dari negeri seberang itu!!" komentar para penjaga gudang terus menyaksikan pertarungan tersebut dengan rasa ingin tahu yang kian menggebu.

Pertarungan mereka beralih menuju makam tua, suatu kawasan kuburan yang sudah ditumbuhi semak-belukar.

Suatu kesempatan tiba-tiba pendekar botak itu melancarkan serangan dan berhasil mengenai ulu hati Bajing Ireng.

"Aduh!" Bajing Ireng mengerang kesakitan. Tubuhnya melorot ke bawah tak sanggup berdiri lagi. Bajing Ireng terkulai lemas dan bersandar pada batu nisan salah satu makam tua di situ.

Seketika wajah Beruang Kuning berseri-seri melihat tubuh Bajing Ireng sudah tergolek tak berdaya dan suara tawanya memecah dinginnya udara pagi saat itu.

"Ha ha ha ha ha ha ! Sekarang kau baru mengakui kehebatanku? Kau tak dapat bergerak lagi dan semua orang tentu ingin tahu siapa sebenarnya Bajing Ireng!" teriak Beruang Kuning alias Dewa Suci Penyebar Bala kepada para penjaga gudang yang menghampirinya dengan berbondongbondong.

"Tahukah kalian? Kalian kan penduduk desa ini, bukan..? Tentu dapat mengenali wajah yang tersembunyi di balik cadar hitam ini!" teriak Beruang Kuning kepada para penjaga gudang yang berkerumun mengelilingi Bajing Ireng yang sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi.

"Tahukah kalian, berapa hadiah yang akan aku terima dari tuan Van Eisen ha? Lima kali lipat dari hadiah yang dijanjikan dalam sayembara itu! Bukankah ini suatu keberuntungan yang sangat besar, bukan? Selanjutnya aku akan hidup uncang-uncang kaki menikmati hadiah itu!" ujar Beruang Kuning dengan kesombongan yang membuat iri para jago-jago pribumi bila mendengarnya.

"Nah, cobalah kalian dekat kemari! Kita akan menyaksikan siapa sebenarnya maling ini!" kata Beruang Kuning meng-hampiri Bajing Ireng yang terbujur lemah tanpa daya dan menyerah kepada nasib. Walaupun dengan sekuat hati Bajing Ireng mencoba untuk bergerak, tetap seluruh persendian tubuhnya terasa lolos tak berfungsi lagi.

Beruang Kuning mengulurkan tangan untuk membuka cadar yang menutupi wajah Bajing Ireng.

"Jangan sentuh aku, bangsat!" teriak Bajing Ireng dengan cemas.

"Ha ha ha ha ha! Tenang saja anak manis. Aku dapat berbuat apa saja terhadap dirimu!" sahut Beruang Kuning semakin jumawa penuh kesombongan.

Ketika tangan kekar itu hendak membetot cadar dari wajah Bajing Ireng tiba-tiba sebuah batu melayang tepat mengenai tangannya, sehingga tangan Beruang Kuning yang menjulur itu ditariknya kembali sambil meringis kesakitan.

"Huh ! Siapa yang berani kurang ajar kepadaku? Ayo. Tunjukkan dirimu...!" umpat Beruang Kuning bagai disengat lebah.

Dan seketika berdirilah sesosok tubuh tegap bertudung caping di hadapan mereka. Orang itu melangkah dengan tenang mendekati Beruang Kuning yang masih terperangah kagum dengan ilmu tenaga dalam yang dimiliki orang itu. Para penjaga gudang segera mengurung orang itu dengan golok terhunus. Mereka telah memastikan bahwa siapapun yang datang membantu Bajing Ireng berarti musuh yang harus disingkirkan pula.

Parmin si pendekar bertudung caping segera memberi peringatan.

"Jangan sentuh gadis  itu! Pergilah kalian menyingkir!" katanya dengan nada yang mantap dan berwibawa. "Uh...uhh! Siapa kau, he? Mengapa

kau membokongku?! Kau telah berani mencampuri urusanku! Siapa namamu, pemuda?" tanya Beruang Kuning sambil terus memegangi tangannya yang melepuh biru akibat lemparan batu itu.

"Apalah arti sebuah nama? Nama bagiku tak begitu penting! Aku tekankan sekali lagi kalau ingin selamat segeralah menyingkir dari sini! He, pernahkah kau mendengar nama Syarif Hidayatullah?" tanya Parmin pada Beruang Kuning alias Dewa Suci Penyebar Bala.

Dengan sekali kibas, senjatasenjata rahasia itu rontok

berpelantingan "Atau  orang   menyebutnya  Sunan Gunung   Jati.      Beliau     telah mempersunting  seorang   putri   dari negerimu!    Hmm,   oleh   karena    itu seharusnya  kau  tidak   menodai nilainilai persahabatan   itu!" sambungnya tanpa merasa gentar terhadap siapapun. "Janganlah    kau   mengotori  tanah Cirebon  dengan   segala ulahmu   yang memuakkan!!"   lanjut   Parmin   mengusir pendekar dari Gurun Gobi dengan nada

keras dan menyakitkan.

Beruang Kuning merasa diremehkan oleh pemuda pribumi itu di hadapan para penjaga gudang seorang tuan tanah Belanda yang saat ini menumpahkan harapan kepadanya.

"Persetan dengan ocehanmu!!" teriak Beruang Kuning.

Lalu ia tiba-tiba berteriak sambil melontarkan senjata rahasianya ke arah Parmin. Senjata rahasia itu meluncur begitu cepat sehingga tak terlihat oleh pandangan mata biasa.

Melihat serangan yang dilontarkan oleh lawannya secara tak terduga, lalu Parmin secepat kilat mencabut golok yang terselip di pinggangnya, dan tiba-tiba

Ting! Ting! Ting! Ting!

Terdengar suara benturan dua senjata yang terbuat dari logam. Pisau-pisau itu beradu dengan golok, melejit lalu menancap di tanah tanpa dapat menyentuh sama sekali sasarannya.

"Ha ha ha ha ha ha! Percuma saja kau menggunakan senjata rahasiamu, kakek gundul!!" ujar Parmin sambil menyarungkan goloknya kembali.

Melihat senjata rahasianya berhasil ditangkis lawan dengan mudah Beruang Kuning menjadi geram sekali. Kemudian tanpa diduga ia melancarkan serangan ke aran Parmin. Tendangan Beruang Kuning hanya mengenai caping pemuda itu sampai terpental lepas sehingga terlihatlah wajah pemiliknya yang sangat tampan dan simpatik. Kehadirannya membuat pesona baru bagi dunia persilatan. Ia seorang pendekar yang naik darat bukan turun gunung seperti kebanyakan pendekar pada umumnya.

Bajing Ireng dan para penjaga menyaksikan pertarungan sengit itu berdecak kagum. Hanya beberapa jurus saja Parmin berhasil mendaratkan tendangan keras ke dahi Beruang Kuning. Tendangan tersebut sempat membuat tubuh lawannya mundur beberapa langkah ke belakang. Baru saja ia mengatur napas untuk membuka serangan baru, secepat itu pula sebuah tendangan telah mendarat lagi di dada Beruang Kuning.

Beruang Kuning memegangi dadanya merasakan sakit yang teramat sangat. "U-huk! U-huk! Hoak....! Stop! Stop! Aku mengakui kau lebih unggul dariku. Tetapi jangan merasa bangga dulu, tunggulah saat pembalasanku...!" desisnya sambil terbatuk-batuk. Dari mulutnya mengalir darah kental, darah luka dalam rongga dadanya.

Parmin menghentikan serangannya.

Beruang Kuning berjalan sempoyongan. Kemudian ia melakukan gerakan salto meloncat ke atas atap sebuah rumah.

"Sampai berjumpa    lagi, kawan!" katanya  langsung  menghilang di kegelapan malam menjelang remang pagi. "Aku akan menunggumu walau sampai dunia kiamat!" teriak  Parmin membiarkan Beruang Kuning pergi. Lalu ia menghampiri para   penjaga  gudang

yang hanya berdiri mematung.

"Hei, kalian kerbau-kerbau dungu! Mengapa bengong di sini saja? Ayo pergi semuanya?" bentak Parmin.

Tanpa bicara sepatah katapun para penjaga gudang itu segera pergi menuju posnya masing-masing.

***

Parmin lalu mendekati Bajing Ireng yang masih tergeletak tak berdaya. Ia menatap Bajing Ireng penuh rasa kasihan dan perlahan-lahan duduk di sisi Bajing Ireng yang coba beringsut menjauhi pemuda yang sama sekali tak dikenalnya.

"Ijinkanlah aku melepaskan totokan pada tubuhmu akibat serangan si Beruang Kuning itu!" kata Parmin dengan lembut.

Bajing Ireng menganggukkan kepalanya memberi ijin kepadanya. Parmin lalu membalikan tubuh Bajing Ireng dan memijit leher Bajing Ireng. Beberapa saat kemudian Bajing Ireng dapat menggerak-gerakkan tubuhnya. Ia lalu duduk bersila mengatur napas untuk memulihkan kesegaran tubuhnya.

"Aku sangat berhutang budi kepada anda!" ucap Bajing Ireng.

"Ah, kita adalah kawan seperjuangan sekarang. Tubuhmu sudah bebas dari pengaruh totokan itu. Nah! Ceritakan siapa dirimu sebenarnya!" pinta Parmin pada kawan barunya itu.

Tetapi Bajing Ireng hanya diam saja. Ia tak berani menceritakan siapa dirinya. Parmin dapat menangkap apa yang tersirat di hati Bajing Ireng.

"Ceritakanlah! Tidak apa-apa! Tak seorangpun mendengar percakapan kita! Ayo, ceritakan!" kata Parmin sambil mengamati daerah sekelilingnya untuk meyakinkan Bajing Ireng.

"Bolehkah aku menolongmu membuka cadar itu?"  

"Boleh aku membuka cadarmu?"

Bajing Ireng kembali diam. Ia tak kuasa menolak permintaan Parmin.

Parmin kemudian membuka cadar yang menutupi wajah Bajing Ireng dengan lembut dan perlahan-lahan sekali. Ia menatap wajah Bajing Ireng seakanakan tak percaya. Baru kali ini ia melihat gadis secantik Bajing Ireng. Parmin tidak menyangka bahwa gadis secantik Bajing Ireng sudah mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi dan berani berjuang melawan kekuasaan tuan tanah Belanda yang bercokol di desa kandang haur dan mencengkram daerah sekitarnya.

"Siapakah kau? Aku ingin mengenalmu lebih jauh!" bisik Parmin penuh harap.

Bajing Ireng menundukkan kepalanya menghindari tatapan pemuda yang baru dikenalnya tetapi telah terasa menyentuh kalbunya.

"Namaku Roijah! Aku adalah anak Pak Marto, kepala desa di sini!" sahut Bajing Ireng pelan.

Kemudian ia memberanikan diri menatap mata pemuda tersebut. Mata kedua anak muda itu sekilas beradu pandang.

"Siapakah anda? Kelihatannya anda adalah seorang pengembara." tanya Roijah tersipu malu dan pipinya tibatiba merona merah jambu.

"Ya, benar! Namaku Parmin. Aku seorang pengembara yang datang dari pantai utara." jawab Parmin terus menatap wajah Roijah yang cantik rupawan. Hatinya bergetar segencar getaran yang ada di hati Roijah juga.

Roijah malu wajahnya dipandangi terus-menerus oleh Parmin. Ia hanya tertunduk diam. Demikian juga dengan Parmin. Ia menjadi serba salah. "Hmm.... ilmu silatmu cukup tinggi! Boleh aku mengetahui gurumu? Barang-kali kau tidak berkeberatan untuk menyebutkannya, bukan?" tanya Parmin memulai kembali pembicaraan yang agak lama terhenti.

Roijah agak terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Aku... aku... aku mempelajarinya di sebuah buku kuno!" sahutnya terbata-bata.

"Dari sebuah buku kuno? Darimana kau mendapatkan kitab itu?" tanya Parmin merasa heran sambil terus menatap Roijah.

Roijah dipandangi Parmin seperti merasa malu. Lagi-lagi wajahnya memerah dan hatinya berbunga-bunga. Ia membuang wajahnya ke arah lain.

"Oh, mengapa kau menatapku seperti itu? aku malu! Berpalinglah ke arah lain!" kata Roijah dalam hati.

Parmin tersenyum dan segera memalingkan wajahnya membelakangi Roijah. Ia seakan dapat membaca isi hati Roijah.

"Baiklah! Aku menghadap ke sini. Rupanya kau masih gadis pingitan, ya..? Sekarang ceritakanlah bagaimana kau mendapatkan buku kuno tersebut!"

Roijah masih tertunduk membisu, maka Parmin membalikkan tubuhnya kembali berhadapan dengan Roijah. Sejenak ia merhandangi wajah cantik yang tak pernah jemu bagi siapa saja yang memandangnya.

Parmin menarik napas. Mendadak ia bicara terputus.

"Roijah, tahukah kau? Aku... aku... hatiku berkata bahwa aku telah mencintaimu!" kata Parmin dengan jantung yang berdebar-debar.

Roijah terkejut sekali mendengar keterus terangan Parmin. Tubuhnya terasa bergetar mendengar Parmin menyebut namanya. Begitu mesranya, sampai meresap ke dalam dada.

"Oh! Akupun.....ah! Aku malu mengatakannya! Sebenarnya tadi ketika kau memijit leherku, dadaku terasa bergemuruh! Sepertinya kau...aku juga mencintaimu!" desah Roijah lembut sekali sambil memalingkan wajahnya yang memerah ke arah lain.

Parmin senang sekali mendengar Roijah berkata begitu. Ia lalu memegang bahu Roijah mesra sekali. Dunia ini terasa indah. Kuburan di sekitarnya mereka seperti berubah menjadi taman sari yang ditumbuhi oleh aneka warna bunga.

Sementara itu sinar bulan menyelimuti malam yang menyongsong dini hari. Cakrawala begitu bening dan indah. Rinai embun yang turun menambah suasana malam itu menjadi sensual. Unggas-unggas malam dan rumput-rumput liar menjadi saksi pernyataan cinta sepasang muda-mudi tersebut. Mereka begitu polos dalam mengutarakan perasaannya masing-masing. Kemudian mereka duduk di atas batu-batu makam yang beronggok tak bernisan lagi.

***

"Aku menemukan buku itu di atas tikar shajadah di dalam kamarku!" kata Roijah menceritakan asal mula buku kuno itu. Sementara Parmin duduk dengan tenang sambil mendengarkan cerita Roijah dengan penuh perhatian.

"Sehabis mengambil air wudhu, aku terkejut sekali melihat buku yang entah darimana datangnya. Aku memperhatikan buku itu dan berniat untuk memberitahukan kepada ayah. Tetapi aku membaca serangkaian katakata yang tertulis di halaman depan buku kuno tersebut. PELAJARILAH BUKU INI SAMPAI SELESAI DAN JANGAN ADA SEORANGPUN   YANG   BOLEH   TAHU.  Aku

berpikir, siapa yang telah memberikan buku kuno ini? Lalu aku membuka halaman berikutnya. Sungguh di luar dugaan! Ternyata buku kuno itu berisi gambar-gambar yang melukiskan jurusjurus silat! Gambar-gambar itu sederhana namun mudah untuk dimengerti. Terlukis di atas lembarlembar kulit yang bersih dan tipis. Lembaran-lembaran  buku  itu  dibundel dan dijahit dengan benang dari kulit juga. Di samping itu yang lebih mengejutkanku adalah kutemukan pula satu stel pakaian silat serba hitam berikut sebuah cadar dan sebuah golok berhulu kayu hitam dengan ukiran berbentuk kepala bajing, kemudian aku mencoba pakaian itu dan mempelajari jurus-jurus yang tertera dalam buku itu. Aku mulai membaca bab pertama. Kitab itu ternyata bertulisan hurufhuruf Arab dengan bahasa Jawa Cirebon. Aku mulai mempelajari jurus pertama. Tanganku menyilang di dada dan kedua kaki berdiri sejajar dengan tubuh agak merendah membentuk kuda-kuda. Begitulah sampai aku terasa lelah. Setiap malam selesai sholat, aku mempelajari kembali jurus demi jurus dengan tekun. Semua itu aku lakukan tanpa sepengetahuan ayahku. Setiap malam selesai sholat, aku selalu mengurung diri di kamar sehingga ayah sedikit curiga. Tetapi aku bilang padanya bahwa aku hanya sedikit merasa tidak enak badan atau alasan-alasan lainnya. Ayahku percaya saja!" kata Roijah dengan nada bersemangat sambil menggeser duduknya. Dan tanpa sadar ia semakin dekat dengan Parmin. Parmin sendiri bukan tidak tahu akan hal itu. Ia diam-diam mengulum senyum dengan harapan agar Roijah lebih dekat menggeser duduknya lagi. Roijah kembali melanjutkan ceritanya.

"Begitulah terus-menerus setiap malam. Aku selalu mempelajari buku tersebut dengan sungguh-sungguh. Tepatnya pada bulan yang ketigapuluh aku dapat menyelesaikan bab terakhir. Semua jurus-jurusnya berjumlah seratus satu!" lanjut Roijah.

"Aku merasa puas dapat menjalankan amanat yang diberikan seseorang untuk mempelajari buku tersebut. Dan pada malam Jum'at dibulan Ramadhan menjelang makan sahur ketika aku sedang mempelajari jurus yang paling terakhir dengan semangat yang menyala-nyala, terdengar suara seseorang di luar jendela kamarku. Aku merasa terkejut sekali! Kemudian aku bergegas ke jendela untuk meyakinkan sumber tersebut.

"Selamat, muridku! Kau telah berhasil mempelajari buku itu dengan baik! Nah, sekarang kembalikanlah buku itu dan ikutlah aku keluar!" perintah suara itu pelan.

"Memang terdengar seperti orang yang berbisik tetapi sungguh aneh, suara itu terdengar begitu jelas ditelingaku." Lanjut Roijah.

"Aku segera membuka jendela dan aku terkejut! Dari pantulan sinar bulan terlihat sesosok tubuh berdiri di balik semak-semak. Kemudian orang tersebut menghampiriku. Ternyata ia seorang nenek-nenek! Wajahnya yang keriput dengan rambut putih sebatas pinggang berjumbai-jumbai ditiup angin. Wajahnya masih terlihat cantik meskipun sudah tua. Aku memastikan bahwa di usia mudanya tentu dia seorang gadis yang cantik jelita!"

"Keluarlah, muridku! Aku akan memberi restu kepadamu!" ujar nenek itu dengan suara yang tenang. Kedua tangannya terbentang untuk menyambutku.

"Baik, guru!" kataku lalu meloncat keluar menghampirinya dan aku segera bertekuk lutut di hadapannya sebagai pernyataan hormat seorang murid kepada gurunya.

"Kau sudah menguasai ilmu silat Dermayon! Aku adalah Nini Sari! Sekarang kau resmi menjadi muridku. Aku akan memberimu pelajaran ilmu meringankan tubuh agar kau dapat dengan mudah melompat-lompat seperti seekor bajing."

"Aku menganggukkan kepala. Kemudian ia membawaku ke suatu tempat yang sangat terpencil. Setelah sampai ia berdiri tegak di depan sebuah pohon yang besar dan tinggi. Aku memperhatikan guruku dengan penuh rasa ingin tahu apakah yang akan ia lakukan? Tiba-tiba guruku meloncat ke atas dahan pohon itu. Aku hanya diam memperhatikan guruku yang sudah berdiri diatas dahan pohon itu. Kemudian guruku menggerakan jarinya mengisyaratkan agar aku mengikuti apa yang dilakukannya. Aku meloncat ke atas salah satu dahan pohon yang lain. Lalu guruku segera menjatuhkan dirinya seperti seekor kelelawar yang sedang tidur. Kepalanya menjuntai ke bawah sedangkan kakinya menjepit dahan tersebut yang semula sebagai tempat berpijak. Kedua tangannya tersedakep menyilang di dada aku mengikuti apa yang dilakukan guruku tanpa banyak bicara. Mula-mula aku hampir saja terjatuh ke bawah ketika mencoba posisi bergelantung dengan kepala dibawah, karena jepitan kakiku pada dahan pohon kurang kuat dan hampir terlepas! Tapi lama kelamaan aku dapat menguasai diri dan bisa menggelantung seperti kelelawar yang dicontohkan Nini Sari guruku. Namun sekarang timbul masalah baru! Kepalaku pusing seakan-akan seluruh darah dalam tubuhku menumpuk di kepala dan kepalaku rasanya akan meledak! Itupun akhirnya dapat kuatasi atas petunjuk guruku melalui sistim pernapasan, sehingga aliran darah dapat terbagi rata secara normal seperti posisi dalam keadaan berdiri."

"Ternyata guruku mengetahui semua kesulitanku!" "Atur napasmu dengan baik! Jurus pertama ini merupakan kunci dari ilmu meringankan tubuh yang akan kuturunkan kepadamu, muridku!' katanya tenang, mantap dan penuh wibawa.

Untuk pertama kali Roijah merasa sulit untuk bergantung dengan kaki di atas dahan seperti seekor Kelelawar yang sedang tidur itu. "Aku merasa malu dan kagum pada guruku. Ia dapat merasakan getaran tubuh ku dan suara napasku yang tidak teratur. Betapa tinggi ilmu silat yang dimilikinya. Padahal jarak antara dahan pohon yang kugelantungi dengan dahan yang digelantungi guruku cukup jauh! Mungkin karena meniru posisi kelelawar tidur maka pendengarannyapun menjadi tajam seperti kelelawar! Demikianlah setiap malam aku digembleng oleh guruku. Dan pada bulan pertama aku dapat menguasai jurus pertama dengan sempurna. Melihat aku sudah dapat menguasai jurus yang diberikannya, guruku mulai memberikan jurus berikutnya. Guruku berjalan mencari pohon yang cabang-cabangnya bersudut siku agar dapat ditiduri dengan baik. Lalu ia melompat dengan ringannya ke cabang pohon itu. Ia tidur terlentang pada salah satu cabang tak ubahnya seperti orang yang tidur diatas tempat tidur saja. Tangannya disilangkan di perut. Semakin lama semakin aku tahu betapa tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki guruku, betapa tidak! Dari cabang pohon yang besar kemudian beralih rebah terlentang di cabangcabang pohon yang lebih kecil. Aku lalu melompat juga ke cabang-cabang pohon itu mengikuti segala yang dilakukan oleh guru!"

Roijah menarik napas panjang. "Demikianlah setiap malam aku

selalu keluar rumah melalui jendela untuk menerima gemblengan dari guruku. Semua itu kulakukan dengan tekun dan semangat yang menyala. Kemajuankemajuan yang kucapai dalam latihan itu begitu cepat bukan semata-mata karena bakat, tetapi karena kemauan serta semangat yang tinggi. Selain itu guruku pernah berkata bahwa semangat yang ada pada diriku timbul karena rasa benci kepada penjajah Kumpeni Belanda yang mengakibatkan rakyat hidup semakin miskin dan sengsara".

"Demikianlah akhirnya pada bulan yang ketigapuluh aku berhasil menamatkan pelajaran ilmu meringankan tubuh itu. Jadi jumlah seluruh waktu untuk menuntut ilmu silat itu adalah enam puluh bulan atau lima tahun. Itu adalah waktu yang sama bagi seorang gadis untuk menjalankan masa pingitan dari usia tiga belas tahun sampai usia delapan belas tahun!" Sambung Roijah.

"Muridku, kau telah berhasil menguasai semua ilmu yang kuberikan! Nah, mulai sekarang kau harus menggunakan ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dibumi ini. Dan kau jangan takabur tetapi harus bersikap tawadhu...! Ingat pesanku baik-baik!" ujar guruku sambil mengelus-elus bahuku.

"Aku akan menjalankan perintah guru! Dan akan menumpas segala bentuk kejahatan dibumi ini!" kataku dengan penuh kesungguhan dan menanamkan tekad dalam kalbu.

"Maka sejak saat itu guruku pergi meninggalkan aku dan kembali ke tempat dari mana ia datang. Pada awalnya perpisahan itu begitu berat kurasakan, karena ia bukan hanya sebagai guru yang memberiku ilmu silat tapi ia juga sebagai ibu yang menyayangiku dengan sepenuh jiwanya." kata Roijah mengakhiri kisahnya kepada Parmin.

***

"Dan aku sebagai gadis pingitan, rasanya tak ada jalan lain bagiku untuk menolong bangsaku sendiri selain menjadi seorang pencuri beras dari gudang milik tuan Van Eisen! Aku tak tahan melihat penderitaan rakyat!" kata Roijah kesal.

Parmin menggeser duduknya lebih dekat kepada Roijah. Sinar matanya berbinar.

"Aku bangga melihatmu, Roijah!" kata Parmin dengan senyum dan pandangan penuh arti.

"Ditengah-tengah kebejatan moral bangsa yang dijajah ini masih ada pula orang yang berjiwa patriot seperti kau!"

Roijah merasa senang dipuji oleh laki-laki yang dicintainya.

Parmin lalu berdiri. Sedangkan pandangannya tak lepas-lepas dari Roijah, yang sibuk membenahi rambutnya. Rambut yang semula dibiarkan tergerai sebatas pinggang itu kini dibuntelnya menjadi berbentuk sanggul. Dengan dandanan rambut seperti itu, Parmin melihat Roijah menjadi seorang gadis yang lebih dewasa dengan kecantikan yang anggun.

"Marilah kita membulatkan tekad untuk berjuang mengusir penjajah dari negeri ini bahu-membahu, Roijah!" seru Parmin seraya mengepalkan tangan kanannya.

Roijah menganggukkan kepalanya tanda setuju. Disusul pula dengan acungan tangan kanan yang mengepal.

Sementara itu di ufuk timur mulai terang dan tak terasa ayam telah mulai berkokok. Dinginnya malam berangsurangsur mulai terusir.

Parmin menghampiri Roijah. Lalu ia memegang bahu Roijah lembut dan mesra. Wajah mereka begitu dekat. Roijah menundukkan kepalanya tak sanggup membalas tatapan Parmin yang terasa menembus jantung Roijah sehingga jantungnya berdetak keras. Suara kokok ayam bersahut-sahutan bahkan terasa tenggelam oleh gemuruhnya dada sepasang muda-mudi yang sedang dilanda cinta itu.

"Sekarang hampir menjelang subuh! Cepatlah kau pulang dan kita berjumpa kembali besok untuk menyusun kekuatan! Pulanglah Roijah...!" kata Parmin begitu mesra sambil mencium kening Roijah.

Jantung Roijah terasa berhenti saat Parmin mencium keningnya. Ia merasa sangat bahagia saat itu. Roijah hanya tertunduk diam seribu bahasa. Parmin mengangkat wajah Roijah dan ditatapnya dalam-dalam. Dalam sekali seperti seorang yang menyelami sebuah telaga hati yang bening dan teduh.

"Pulanglah!" seru Parmin.

Roijah membalas tatapan Parmin dengan hati yang berbunga-bunga seperti ledakan bunga yang tiba-tiba mekar dengan indahnya.

"Baiklah, aku segera pulang, kang Parmin!" sahut Roijah lembut.

Tanpa sengaja Roijah memanggil kang kepada Parmin, sesuatu yang mengandung arti khusus.

Kemudian mereka berjalan berlawanan arah sambil melambaikan tangan tanda berpisah. Roijah berjalan perlahan-lahan membawa perasaan bahagia.

Begitu juga dengan Parmin. ***

Beberapa waktu kemudian secara serempak terjadilah pemberontakanpemberontakan para petani kepada tuantuan tanah. Mereka menuntut haknya supaya tanah mereka dikembalikan. Kerusuhan itu terus menjalar sampai kotapraja Cirebon. Mereka mendatangi rumah tuan-tuan tanah beramai-ramai sambil mengacungkan senjata mereka masing-masing. Ada yang bersenjata golok, parang, kayu, arit, sekop dan sebagainya. Para tuan tanah kewalahan menghadapi mereka dan para tuan tanah menyampaikan hal ini ke Residen, agar segera mengambil tindakan yang tegas guna menanggulangi para pemberontakan itu secepatnya.

Pihak pemerintah Kumpeni Belanda yang berkepentingan dengan tanggung jawab keuntungan terhadap pemerintah pusat di Negeri Belanda, merasa perlu mempertahankan kekuasaan para tuan tanah Belanda sebagai sumber devisa bagi negaranya di eropa sana. Oleh karena itu Kumpeni Belanda segera mengerahkan segenap kekuatan militernya, mengirimkan serdadu beserta persenjataannya untuk menumpas pemberontak para petani di seluruh wilayah karesidenan Cirebon. Akibatnya banyak korban jatuh, terutama di pihak para petani dan rakyat kecil yang tak berdosa. Sebagai penguasa setempat, Residen merasa serba salah. Residen sebagai penguasa sipil harus bertanggung jawab kepada penguasa militer Kumpeni Belanda dan bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai warganya yang terdiri dari para tuan tanah serta rakyat pribumi tanah jajahan. Kedudukannya benarbenar terjepit seperti menghadapi buah simalakama, dimakan ibu mati tidak dimakan bapak mati. Tapi biar bagaimanapun Residen harus berani mengambil keputusan yang terbaik. Keputusan yang fragmatis bagi kehidupan sebuah negeri jajahan.

Kemudian atas kebijaksanaan Residen, maka para tuan tanah harus mengembalikan tanah-tanah kepada pemiliknya masing-masing. Keputusan tersebut disambut gembira oleh rakyat Cirebon. Sedangkan para tuan tanah menganggap keputusan itu sangat merugikan mereka. Akhirnya dengan terpaksa mereka mengembalikan tanah kepada pemiliknya masing-masing.

Kini rakyat Cirebon bagian utara telah mulai mengerjakan tanahnya kembali dengan tenang tanpa pemerasan dari tuan-tuan tanah Belanda. Dan mereka tidak perlu membayar pajak tanah. ***

Demikian juga dengan tanah Pak Kinong dan Bu Kinong.

Mereka kelihatan sangat gembira menggarap tanahnya sendiri. Peluh membasahi seluruh tubuh Pak Kinong. Wajahnya terlihat begitu cerah di siang hari meskipun tubuhnya terasa lelah.

Sementara itu dari kejauhan Bu Kinong berjalan membawa bakul yang berisi makanan untuk Pak Kinong yang sedang duduk istirahat di pinggiran sawahnya melepaskan lelah sambil memandangi tanah yang habis dicangkulnya.

"Pak, makanan sudah siap!" teriak Bu Kinong sambil menurunkan bakul di punggungnya.

Melihat istrinya sudah menyiapkan makan, Pak Kinong langsung menghampirinya. Mereka berdua duduk dibawah pohon yang rindang sambil menyantap makanan dengan lahap walau cuma dengan lauk ikan asin, sambal dan sayur bening.

"Hmm... akhirnya kita dapat menggarap tanah kita kembali ya, Bu! Kita harus bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan KaruniaNya kepada kita ya, Bu?" kata Pak Kinong sambil menyendok sayur bening kesukaannya dan dituangkan di atas nasinya.

"Ya, Pak! Kita harus bersyukur! Tapi kau habiskan dulu nasimu baru bicara lagi. Nanti batuk!" seru Bu Kinong mengingatkan suaminya.

Pak Kinong menuruti kata istrinya. Setelah selesai makan, pak Kinong lalu kembali melanjutkan pembicaraannya, sementara Bu Kinong membenahi bakulnya.

"Ini berkat jasa kepemimpinan seorang pendekar dari pantai utara Eretan itu, Bu! Ternyata dia yang telah memompakan semangat kemerdekaan kepada rakyat di segala pelosok kampung di seluruh wilayah Karesidenan Cirebon ini!" kata Pak Kinong sambil menghisap rokok kawungnya seperti biasa.

Bu Kinong agaknya tidak mau kalah. Maka ia membanggakan seseorang dari jenis kaumnya.

"Hei, Pak! Bukan cuma karena jasa pemuda Eretan itu saja! Tapi  jangan lupa pula  keberadaan  pendekar  wanita yang terkenal dengan nama Bajing Ireng yang pernah menolong kita tempo hari. Ternyata tidak lain dia itu putrinya Pak Marto, kepala desa kita sendiri!!" "Tentu saja aku tak   mengabaikan jasa  Bajing Ireng,  Bu! Apalagi dia pernah  menolong   kita sewaktu kelaparan. Tanpa dia mungkin si Kinong tidak hidup sampai sekarang!" ujar Pak Kinong sambil menyulut rokok kawungnya yang tiba-tiba mati tertiup angin. Berkali-kali ia menyalakan batu pemantik api namun gagal, membuat ia menggerutu.

"Apa cita-citamu untuk anak kita si Kinong, Bu?"

"Aku akan minta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar si Kinong kelak menjadi seorang pendekar seperti Bajing Ireng, Pak!" sahut Bu Kinong sambil pandangan matanya menerawang ke langit. Hening sejenak.

"Eh, Pak! Jang Parmin dan Neng Roijah itu pantasnya jadi suami-istri saja...! Benar-benar pasangan yang cocok, serasi! Pemudanya tampan dan gagah sedangkan gadisnya cantik jelita. Anu... seperti Arjuna dan Srikandi ya, Pak?" kata Bu Kinong seakan-akan mewakili kehendaknya sendiri, dan ia ingin melihat pemuda dari Eretan itu menjadi suami Bajing Ireng.

"Sayang, Pak Marto tak sudi punya menantu seorang pemuda yang ia anggap sebagai musuh, musuh pemerintah Kumpeni Belanda dan musuh bagi dirinya!" jawab pak Kinong dengan sengit seakanakan ia pun mewakili kehendaknya sendiri untuk menyatakan protes kepada kepala desanya. "Ya ya! Oleh sebab itu jadinya mereka terpaksa mengadakan pertemuan secara diam-diam dan sembunyisembunyi. Sebaliknya Pak Marto sendiri mengancam akan menangkap Parmin dengan tuduhan maling bila ia suatu saat memergoki pertemuan mereka itu! Huh! Orang tua macam apa itu? Kepada anaknya sendiri tega berbuat sekejam itu!!" tak kalah sengitnya Bu Kinong bicara.

***

Malam semakin larut. Angin bertiup dengan lembut. Bulan purnama memancarkan sinarnya menerangi seluruh alam. Suara serangga malam membuat suasana malam itu menjadi ceria dan indah. Para penduduk telah tidur lelap. Mereka sudah terbuai mimpi yang indah. Mimpi tentang panen yang berlimpah-ruah, dan mimpi tentang kehidupan yang layak tanpa kehadiran segala bentuk penjajahan dan pemerasan.

Tapi lain halnya dengan Roijah. Ia belum dapat memejamkan matanya. Hatinya begitu gelisah. Sekali-kali ia membalik-balikkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia teringat kembali saat pertemuannya yang pertama dengan Parmin. Ia tersenyum sendiri tatkala mengingat saat Parmin mencium keningnya. Hatinya merasa rindu sekali kepada Parmin kekasihnya.

Di saat Roijah sedang membayangkan wajah Parmin yang tampan dan simpatik tiba-tiba ia dikejutkan dengan terdengarnya sesuatu yang memecahkan kesunyian malam itu.

"Hmm.... malam-malam begini kudengar suara seruling demikian merdunya. Lagunya adalah kidung kesayanganku! Siapa yang meniup seruling itu? Aku jadi penasaran!" desah Roijah dalam hati.

Suara seruling itu terdengar begitu merdu dan syahdu sekali seakanakan melukiskan perasaan orang yang meniupnya. Perasaan menahan rindu yang mendalam.

Roijah perlahan-lahan bangkit dari tempat tidurnya. Ia sepertinya diperintah oleh sanubarinya untuk menghampiri suara tersebut. Pakaian yang melekat ditubuhnya masih lusuh tidak karuan. Ia lalu berdiri menghadap cermin yang terletak persis di depan tempat tidurnya. Segera ia membenahi diri.

Setelah selesai berhias diri, Roijah berjalan ke arah jendela untuk melihat siapa gerangan yang meniup seruling itu.

Lalu Roijah membuka jendela kamar tidurnya perlahan-lahan. Sinar bulan langsung menerobos ke dalam kamar tidur yang sengaja dimatikan lampunya oleh Roijah agar tidak ketahuan oleh orang yang sedang meniup seruling itu.

Roijah memperhatikan orang itu. "Heh?!    Oh...    tak   kusangka

ternyata dialah yang  meniup seruling itu!" gumam Roijah seakan tak percaya. Benarlah  ternyata dia adalah

Parmin!

Roijah tertegun memandang Parmin yang sedang meniup seruling sambil berdiri di luar pekarangan rumahnya.

Dan sebaliknya Parmin tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Roijah. Ia sedang menikmati lagu yang dibawakannya melalui alunan suara seruling. Ternyata peniup seruling itu tak lain adalah Parmin, pemuda yang sedang

dirindukannya.

Tiba-tiba Roijah memberi sebuah isyarat.

"Sstt....!!" seru Roijah.

Parmin segera menghentikan lagunya karena mendengar suara seorang wanita. Lalu ia menoleh ke arah jendela sumber suara tersebut. Dilihatnya Roijah berdiri memakai kebaya dengan rambut berbentuk sanggul tersenyum di ambang jendela kamarnya.

Tanpa bicara lagi Parmin segera menghampiri Roijah.

Ia melompati pagar yang berada di depannya dengan sigap.

"Belum tidur kau, sayang? Lihatlah bulan purnama di atas sana bersinar begitu indahnya memanggil kehadiran kita berdua...!" kata Parmin dengan nada penuh harapan.

Wajahnya menengadah keatas memandang keindahan sinar bulan purnama. Roijah ikut menengadahkan wajahnya memandang langit dengan perasaan yang sama. Tetapi perasaan itu sirna kembali dengan perasaan rindu yang mendalam.

Kemudian Parmin memegangi tangan Roijah dan meremasnya dengan erat. Roijah membalas meremas tangan Parmin dengan erat pula.

"Aku terbangun oleh alunan serulingmu!" kata Roijah pelan.

Parmin tersenyum memandang Roijah yang semakin erat meremas jarinya.

Mereka saling pandang-pandangan. Tetapi tiba-tiba Roijah memalingkan wajahnya merasa malu. Parmin kembali tersenyum memandang wajah Roijah dengan senang.

Dari jauh terdengar sayup-sayup suara kentongan dipukul oleh para ronda yang sedang berkeliling kampung. Suara itu menyadarkan Roijah yang kemudian melongokkan kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mengamati daerah sekeliling rumahnya dengan cemas! Takut-takut kalau ada orang yang melihat mereka.

"Cepatlah kau masuk! Nanti ada ronda datang kemari!" seru Roijah pada Parmin yang masih memegangi tangannya.

Wajahnya terlihat sangat cemas dan takut. Parmin lalu segera masuk ke dalam kamar Roijah meloncat melalui jendela.

Kemudian Roijah mengamati keadaan di luar untuk menyakinkan bahwa tidak ada orang yang sedang berdiri mengamati keadaan kamar tidurnya sambil tersenyum. Parmin membalikkan tubuhnya dan terkejut melihat Roijah sudah berdiri di hadapannya. Ia tersenyum.

"Besok aku berangkat ke selatan, Roijah!" kata Parmin sambil menggapit tangan Roijah dan digenggamnya eraterat.

Roijah agak terkejut mendengar apa yang dituturkan Parmin. Wajahnya melukiskan ketakutan dan kecemasan. Tapi sedapat mungkin ia menekan perasaan itu agar tak terlihat di hadapan Parmin. Ia harus tetap berjiwa besar.

"Aku akan berdoa untuk keselamatan dan keberangkatanmu, kang Parmin...!" Ujar Roijah membalas genggaman tangan Parmin erat sekali. Seakan-akan ia tidak mau ditinggalkan. Dan tanpa terasa air matanya yang meleleh jatuh dikedua belah pipinya.

Parmin terharu melihatnya. "Mengapa kau menangis, sayang?"

kata Parmin sambil memegang dagu indah milik Roijah.

"Seorang pendekar tak pantas mengeluarkan air matanya di saat-saat seperti ini!!" bujuk Parmin menyeka air mata Roijah dengan penuh kelembutan.

Roijah menatap Parmin dalamdalam.

"Sebagai seorang wanita, aku menangis meratapi kesepian yang akan kuhadapi setelah kau pergi. Aku akan merasa kehilanganmu! Ingin rasanya aku meninggalkan kamar yang membosankan ini untuk turut serta mendampingimu dalam menjalankan tugas tersebut!" desah Roijah merebahkan kepalanya di atas dada Parmin yang bidang. Ia menemukan kesejukan di sana.

Parmin mendekap tubuh Roijah erat sekali. Kehangatan rasa cinta yang suci dan menggelora menjalari tubuh mereka saat ini. Parmin dapat merasakan debar jantung Roijah melalui pelukannya.

Kemudian Parmin membelai rambut Roijah dengan mesra.

"Sabarlah, sayang....! tugas yang lebih besar dan mulia telah menanti kita. Jika tugas itu telah aku jalankan, kita akan segera berkumpul kembali!" kata Parmin penuh kasih sayang.

Tangannya kembali membelai ujung rambut halus yang tumbuh dikening Roijah. Rambut halus seperti itu akan dipangkas habis bila seorang gadis habis masa pingitannya dan siap memasuki jenjang perkawinan.

Dan Roijah semakin erat mendekap Parmin. Seakan-akan ia tak mau ditinggalkan oleh Parmin.

"Parmin! Kaulah laki-laki yang pertama yang telah menyentuhku! Ayah terlalu kejam!" isak Roijah lebih erat lagi mendekap Parmin.

"Sudahlah jangan menangis, sayangku! Percayalah, aku akan cepat kembali setelah tugas itu selesai. Dan aku akan kembali untuk meminangmu, Roijah...! Nah, selamat tinggal, sayang! Aku pergi, ya?" ujar Parmin mencium kening Roijah dengan lembut dan penuh perasaan. Lama sekali. Seakan-akan Parmin ingin meresapinya dalam-dalam. Roijah memejamkan matanya menikmati ciuman itu. Parmin melepaskan ciumannya. Kemudian ia menatap wajah Roijah lekat-lekat dan berjalan menghampiri jendela. Parmin lalu membuka jendela dan meloncat keluar sambil melambaikan tangannya. Roijah membalas lambaian tangan Parmin melepas kepergian sang kekasih dengan setulus hati. Dan Roijah berdoa dalam hati agar Tuhan selalu melindungi Parmin dan semoga Tuhan merestui pertautan tali kasih diantara mereka.

Kemudian Roijah menutup jendelanya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tak lama kemudian ia memejamkan matanya. Sementara itu Parmin terus berjalan menembus kegelapan malam untuk menunaikan tugas yang dibebankan oleh agama, bangsa dan tanah airnya.

*** Ketika Parmin melangkahkan kaki dari pekarangan rumah Bek Marto, belasan pasang mata dengan tajam mengikutinya dari kegelapan rumpunrumpun pohon di sekelilingnya. Naluri pendekar muda dari daerah pantai Eretan ini segera menangkap segala yang mencurigakan itu, tetapi ia berusaha untuk bersikap setenang mungkin dan melangkah dengan mantap meninggalkan desa Kandang Haur.

Persis di batas desa, beberapa sosok tubuh berloncatan menghadang dan mengepung Parmin dari segala penjuru. Mereka adalah jago-jago bayaran yang didatangkan dari desa-desa lain. Yang lebih istimewa kali ini adalah kehadiran beberapa serdadu Kumpeni Belanda dengan senjata lengkap bedil, pestol dan kele-wang. Mereka berdiri berjajar siap-siaga di belakang barisan jago-jago pribumi.

"Tidak semudah itu kau meninggalkan Kandang Haur setelah kau hancurkan segala rencana Tuan Van Eisen!" tampil salah seorang dari mereka yang mewakili siapa yang merencanakan pencegatan itu.

"Tuanmu itu sebenarnya seorang sipil Belanda tetapi mengatas namakan semua usaha dan kegiatannya di daerah ini kepada serdadu Kumpeni Belanda. Dia menggunakan serdadu Kumpeni sebagai tameng! Bagiku sama saja, Van Eisen mau pun Kumpeni Belanda adalah penjajah negeri kita!" Parmin bicara dengan nada penuh penekanan agar jagojago bayaran yang terdiri dari orangorang pribumi itu menyadari siapa sebenarnya mereka.

"Kami tak butuh kotbahmu, santri busuk!"

"God Verdome Ceg!" terdengar makian dari barisan belakang dan disusul oleh bunyi kokangan senjata mesiu.

"Terserah kalian dan kalian boleh singkirkan aku! Tetapi bagi ku berpantang mati sebelum ajal, karena nyawaku bukanlah milik kalian. Soal hidup dan mati hanya di tangan Tuhan!" jawab Parmin dengan tegas.

"Tutup bacotmu, bangsat!" disusul dengan isyarat penyerangan, maka serempak jago-jago bayaran itu meluncur dengan nafsu membunuh yang ganas dan keji.

"Haiiiiit!!" Parmin menangkis kian-kemari dibarengi dengan gerak sepasang kakinya yang bergerak lincah sambil sesekali melancarkan tendangan yang telak, sehingga pada gebrakan pertama itu tiga orang pengeroyoknya dibuat terpelanting.

Sementara itu serdadu Kumpeni Belanda yang berfungsi sebagai backing tak bisa berbuat apa-apa menghadapi pertarungan yang semrawut ini. Pestol dan bedilnya tak bisa mereka gunakan, karena kuatir menembak orang-orang bayaran itu.

Beberapa orang jago pribumi bertumbangan ke tanah terkena hantaman jurus-jurus silat Gunung Sembung yang konon dulu adalah ilmu silat para wali dalam menghadapi kekerasan selama mereka menjalankan tugas penyebaran agama. Namun dilain fihak, beberapa buah sayatan senjata tajam berhasil juga menerobos pertahanan Parmin dan masih terbatas dengan koyaknya baju dan celana yang dipakainya.

Pendekar muda ini benar-benar mengamuk bagaikan banteng ketaton. Lawan-lawan yang ganas itu hampir seluruhnya telah ambruk dan berpelantingan seperti diterpa angin beliung. Kini tinggal beberapa gelintir orang saja yang tersisa dan itupun sudah kepayahan dengan gerak limbung dan ngawur.

Melihat hal itu, serdadu-serdadu Kumpeni belanda segera mencabut kelewangnya dan menyerang secara berbarengan.

"Mampus kowe orang! Hiyaaaaa!!" tetapi begitu mereka menyerbu sasaran, Parmin tiba-tiba melesat ke udara dengan sebuah loncatan disusul dengan tendangan kedua kakinya secara bersamaan menghantam kepala dua orang serdadu yang terdekat.

"Duivel!" umpat mereka sempoyongan dengan pandangan mata yang penuh kunang-kunang, lalu roboh ke tanah.

Parmin mendarat tepat di belakang dua orang serdadu yang masih terkesima dengan loncatan mendadak tersebut. Begitu mereka menoleh ke belakang, tangan Parmin yang mengepal menghajar wajah mereka sehingga terhuyung-huyung dengan bibir masing-masing pecah berhamburan darah.

"Untuk menghadapi kalian tak perlu aku memakai senjata, kalau perlu aku bisa menggunakan senjata kalian sendiri!" ujar Parmin sambil merampas sebuah kelewang dari tangan salah seorang serdadu Kumpeni dan segera membalikkan kelewang itu menghujam perut si pemilik sendiri.

Terkejut bukan main serdadu yang malang itu, namun segera disusul dengan nyawanya yang terputus. Sementara kawan-kawan lainnya yang tercecer tadi segera bangkit untuk memulai serangan pembalasan. Mereka bergerak mengelilingi pendekar muda yang gagah perkasa itu dengan nafas yang menggebu-gebu karena geram bukan main. Di lain fihak Parmin memandangi mereka satu persatu melalui lirikan matanya yang tenang namun penuh kewaspadaan.

Angin malam mengiringi suasana tegang mencekam itu dengan desirannya yang merontokkan daun-daun kering, sehingga suasana pertarungan itu semakin tampak dramatis.

Tiba-tiba dari suatu arah terdengar seruan seseorang yang segera menghentikan pertarungan itu.

"Tunggu dulu!"

Ternyata suara itu datang dari seorang lelaki setengah baya yang sudah mereka kenal baik selama ini.

Dia adalah Pak Marta atau Bek Marto.

Melihat kedatangannya, Parmin segera bersiap-siap pula untuk menghadapi kemungkinan dengan melipat gandakan kemampuannya.

"Tuan-tuan biarkan dia pergi!" ujar Bek Marto dengan penampilan yang berwibawa membuat Parmin tertegun sejenak melihat perubahan itu. Ia melihat ada sesuatu yang berubah pada diri ayah kekasihnya, Roijah.

"So? Kenapa tuan Bek bicara seperti itu?" tanya seorang serdadu sambil memegangi pipinya yang bengkak dan biru legam.

"Dia orang telah merusak rencana Kumpeni! Dia orang telah membuat Van Eisen mengembalikan tanah orang-orang pribumi! Dia orang telah bikin pailit Van Eisen! Dia orang harus kita bikin mampus!" sambungnya sambil meludah ke tanah. Ludah itu berwarna merah oleh darahnya sendiri.

"Pemuda itu benar, tuan!" jawab Bek Marto tenang.

"Aku tidak takut lagi kehilangan jabatanku sebagai kepala desa dan aku juga tidak bernafsu lagi untuk menjadi seorang demang atau pangkat-pangkat lain yang lebih tinggi seperti yang pernah dijanjikan oleh Leonard Van Eisen kepadaku bila aku selalu mematuhi kehendaknya!" lanjut lelaki setengah baya itu dengan ekspresi wajah yang datar tanpa emosi sedikitpun.

Kata-kata itu merupakan sambaran geledek bagi telinga serdadu Kumpeni dan membuat mereka tersekat kaget.

"Apa yang membuat dia berubah?" tanya Parmin dalam hati.

"Katakan hal ini kepada tuan besar anda!" seru Bek Marto tegas, kemudian pandangan matanya ditujukan kepada Parmin yang masih mengambil sikap siap-siaga.

"Anakku Roijah telah membuka mataku yang buta selama ini, nak Parmin! Silahkan pergi dan semoga berhasil dengan perjuanganmu!"

"Terima kasih, pak." jawab Parmin, sementara para pengepungnya sudah bangun dan bermaksud mengadakan pembalasan dengan mengurungnya rapatrapat. Senjata tajam berbagai bentuk siap untuk dihujamkan, tinggal menunggu komando dari pimpinan serdadu Kumpeni.

"Tetapi aku tak mau mengorbankan keselamatan Bapak sendiri. Biarkan aku menghadapi mereka sampai titik darah yang penghabisan! Bukan tidak mungkin mereka juga akan membunuhmu sekarang!" Parmin memperingatkan Bek Marto dengan menatap orang-orang yang mengepungnya satu persatu.

Bek Marto tersenyum senang dan tangannya tiba-tiba menunjuk ke sekeliling tempat itu.

"Aku tidak sendirian, nak! Lihatlah di sekitar kita, rakyat Kandang Haur berkumpul membentuk pagar betis dengan senjata apa adanya untuk menghadapi segala kemungkinan!"

Terkesiap jago-jago bayaran dan para serdadu itu demi melihat di sekitar mereka penduduk desa berbondong-bondong memagari tempat itu membawa obor dan senjata apa saja seperti cangkul, arit, pisau dapur, pentungan dan sebagainya. Bahkan diantara mereka ada yang membawa alu penumbuk padi.

Seketika hati mereka menjadi ciut. Kalaupun dilawan, jumlah mereka sendiri jauh tak sebanding dengan jumlah seluruh penduduk yang sudah berkumpul itu.

"Kita rajam mereka!"

"Usir mereka dari desa Kandang Haur!"

"Ya, kita tak sudi dijajah!"

Teriak dan pekik penduduk desa itu semakin riuh dan meninggi sehingga memekakkan telinga membuat wajah-wajah para jago bayaran dan serdadu-serdadu itu berkeringat dingin karena merasa cemas.

"Mereka menuntut kebebasan, tuan!" tegas Bek Marto lebih jauh mewakili suara hati penduduk desanya.

"Ya, betul!!" disambut pekik gegap-gempita penduduk desa secara serempak.

Melihat gejala yang tak menguntungkan ini, kepala serdadu Kumpeni memberikan isyarat kepada anak buahnya termasuk kepada jago-jago bayaran itu.

"Kita bubar! Kita gotong kawankawan kita yang terluka. Cepat. !!"

perintahnya dengan nada gugup. Parmin hanya tersenyum melihat semuanya ini, dan setelah membungkuk hormat kepada Bek Marto, iapun segera bergegas pergi meninggalkan desa Kandang Haur.

Sore itu sehabis sholat isya, Roijah membuat teh tubruk dicampur dengan gula batu kesukaan ayahnya. Kemudian ia membawanya keruang tamu dimana biasanya Bek Marto duduk berleha-leha di atas kursi goyangnya.

Segelas besar teh tubruk itu ia letakkan diatas meja marmer besar disamping ayahnya duduk. Setelah mengaduk dengan sendok, lalu meletakkan tutup gelas bersandar pada tatakan.

"Ayah tidak mengisap cerutu lagi?"

"Persetan dengan rokok borjuis itu!" sahut Bek Marto dengan sengit disusul lemparan senyum manis kepada Roijah anak tunggal yang disayangnya.

"Kalau ibu masih ada, tentu ia sangat bangga melihatnya." komentar Roijah sambil mencium pipi ayahnya.

"Dengan  rokok   kelobot, rasanya jauh lebih nikmat!"  ujar  Bek Marto sambil memilih   tembakau  didalam lembaran   daun  jagung yang  sudah dimasak dan mengundang rasa manis itu. "Bagaimana   kalau  ayah  dicopot oleh Van  Eisen dari jabatan sebagai

kepala desa?"

"Aku bisa jadi petani!" lanjut Bek Marto lebih semangat.

Setelah berdiam sejenak, Roijah kembali menggoda ayahnya.

"Kabarnya sejak Van Eisen mengembalikan tanah-tanah kepada rakyat, gudang beras Tuan Belanda itu sudah tidak lagi disatroni oleh Bajing Ireng ya, pak?" "Ya!" Bek Marto menjawab singkat. "Lalu kemana Bajing Ireng itu

kini berada ya?" lanjutnya pula sengaja memancing pendapat ayahnya tentang si maling budiman itu.

Sementara itu di tempat tinggal Pak Kinong, Bu Kinong sedang tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan anaknya yang masih berusia balita itu. Kinong gadis kecil yang lucu dengan rambut di kuncir dua kiri dan kanan sedang melakukan gerak-gerak seperti seorang pendekar silat.

Yang lebih lucu lagi adalah separuh dari wajahnya ditutup dengan kain serbet, sehingga sepasang matanya saja yang bundar seperti telur itu yang terlihat. Rambut poninya menutupi seluruh dahinya yang nong-nong, yang membuat dia diberi nama Kinong, berkali-kali ia sibakkan karena sering menutupi pandangan matanya.

"Ciaaat! Heyaaat!" begitu teriaknya berulang kali sambil kakinya menendang ke depan dan tangannya dikibaskan ke kiri dan ke kanan dengan lincahnya.

"Ini si Bajing Ileng!" celotehnya dengan lidah yang cadel menyebut tokoh idolanya dengan penuh rasa bangga.

"Apa benar anak emak mau jadi seorang pendekar yang sakti?" tanya Bu Kinong menggoda. "Benal!" jawab Kinong dengan cepat sambil melompat-lompat dengan lincahnya. Kini tubuhnya sudah gemuk karena tak kurang makan lagi. Kinong tumbuh dengan gemuk dan montok sekali membuat siapapun yang melihatnya akan merasa gregetan ingin mencubitnya. Apalagi pipinya yang mengencang dan kemerahan seperti buah tomat yang ranum itu sangat menggoda orang untuk menjawilnya.

Tiba-tiba ia menghentikan geraknya mencopot serbet yang menutupi wajahnya.

"Kinong lapal, mak!" teriaknya sambil memegangi perutnya yang mulai keroncongan. Anak kecil ini memang makannya kuat, sehari lebih dari tiga kali. Selain itu Pak Kinong sepulangnya dari sawah sering membawa oleh-oleh jajanan yang ia beli di warung. Kue serabi sangat disukai oleh anak tunggalnya itu, sehingga kawankawannya main sekampungnya menjulukinya Si Muka Serabi.

Sewaktu-waktu Pak Kinong sering memancing jawab dari anaknya yang lucu itu dan Kinong sendiri segera menjawabnya dengan lugas.

"Kalau besar mau jadi apa kau, Nong?"

"Jadi Bajing Ileng!"

"Kenapa mau jadi Bajing Ireng?" "Kalena kalo ada anak yang lapal, dia cuka kasih belas."

Kinong bergerak lincah seperti seorang pendekar sambil berteriak:

"Inilah dia Bajing Ileng!" "Oh, kalau ada anak yang lapar, Bajing Ireng suka kasih beras ya?" tanggap Bu Kinong menengahi pembicaraan bapak dan anak itu. Memang di usianya yang hampir senja itu, Pak Kinong dan Bu Kinong baru dikaruniai anak dan sekarang baru menginjak usia dua setengah tahun.

***

Baru beberapa hari Roijah berpisah dengan pemuda yang dicintainya, rasanya seperti sudah beberapa bulan baginya. Ini membuat ia sering melamun dan pandangan matanya menerawang jauh seperti berusaha menembus batas-batas ruang untuk mencari jejak dimana sang kekasihnya itu kini sedang berada.

Hari itu Roijah sedang mengingat Parmin kekasihnya. Tetapi lamunan Roijah segera terputus ketika didengarnya orang berbicara dengan ayahnya di ruang depan. Suara itu cukup keras dan dapat ditangkap dengan jelas dari kamarnya.

"Bek Marto pasti berkomplot dengan maling itu!"

"Ya, kau pasti bersekongkol dengan Bajing Ireng!" Dari balik gorden pintu, Roijah melihat beberapa orang dengan wajahwajah kasar bertolak pinggang sambil menuding-nuding ayahnya.

"Dengan alasan apa kalian menuduhku?" tanya Bek marto dengan tenang. Roijah diam-diam merasa bangga terhadap perubahan perangai ayahnya akhir-akhir ini.

"Pertama, kami pernah membuntuti maling itu dan ternyata ia masuk ke rumah ini dan tidak keluar lagi. Kedua, setelah tanah milik rakyat dikembalikan oleh Van Eisen dan rakyat mengerjakan sawahnya masing-masing, Bajing Ireng sudah tidak muncul-muncul lagi. Tepat sekali waktunya dengan perubahan sikapmu terhadap Kumpeni Belanda!" tukas mereka dengan berapiapi.

"Tuduhan tanpa bukti adalah fitnah!" Bek Marto masih bisa men jawab dengan tenang.

"Baik! Kalau begitu kami akan menggeledah kamar anakmu! Berikan kunci lemarinya pada kami!"

"Apa hubungannya dengan anakku Roijah?" kali ini Bek marto agak meninggikan suaranya.

Mendengar maksud para jago desa yang berfihak pada Van Eisen itu, Roijah menjadi terkejut bukan kepalang. Apa mereka sudah tahu bahwa Bajing Ireng adalah dirinya? Dari mana mereka tahu? Seingatnya hanya Parmin dan Pak Kinong serta istrinya saja yang tahu siapa Bajing Ireng sebenarnya.

"Jangan banyak tanya! Mana kunci lemari anakmu!" desak tukang-tukang pukul sang tuan tanah kepada Bek Marto.

Roijah tahu, jika mereka menggeledah lemari dikamarnya tentu akan menemukan sebuah peti berisi kitab dan seperangkat pakaian silat pemberian gurunya Peti itu sudah lama ia simpan di sana tanpa siapapun yang mengetahuinya termasuk ayahnya sendiri. Maka Roijah segera keluar menuju ruang tamu untuk menghadapi jagoan-jagoan tersebut.

"Aku tidak sudi memberikan kunci lemariku pada mereka, ayah!"

"Roijah?" sambut Bek Marto dengan nada heran.

"Ini suatu penghinaan terhadap seorang gadis yang sedang menjalani masa pingitan. Lebih baik terus terang dari siapa sumbernya, mereka menuduh aku sebagai Bajing Ireng?"

"Kami memiliki orang andalan yang dapat menembus segala sesuatu yang tersembunyi, seorang dukun sakti yang dapat bekerja sama dengan makhlukmakhluk halus!" ujar salah seorang dari mereka dengan nada pongah. "Kalau benar, kenapa tidak ia suruh makhluk halus itu langsung membunuh orang yang dicurigai? Aku tak gentar menghadapi jenis makhluk seperti itu" tantang Roijah.

"Nah, jelas dialah orangnya, terbukti tidak mau digeledah!! Ayo tunggu apa lagi? Tangkap anak Bek Marto itu dan kita hadapkan kepada Tuan Leonard Van Eisen agar dijatuhi hukuman yang setimpal. Ayo kita tangkap!"

Dua orang dari mereka segera menyergap Roijah yang meronta-ronta sebagaimana layaknya seorang anak perempuan biasa yang tak punya ilmu bela diri. Melihat hal ini Bek Marto bertindak mencegahnya, tetapi ia segera terjerembab karena kakinya digaet oleh begundal yang lain!

"Lepaskan! Jangan sentuh aku!" "Kalau tidak mengaku juga, kau

akan kukerjai didepan ayahmu ini, neng!" disusul tangan mereka yang kekar itu membetot kebaya Roijah sampai robek bagian dadanya sehingga kutangnya tampak dan membuat nafsu binatang mereka semakin memuncak.

Sekali lagi Bek Marto mencoba melindungi anaknya, tetapi sebuah tendangan telak segera membuatnya terpelanting ke lantai. Sementara itu salah seorang dari mereka mencoba untuk membetot angkin pengikat kain yang dipakai Roijah.

Tepat pada detik-detik kritis itu tiba-tiba tangan begundal yang terjulur itu tersentak keras karena sebuah batu kerikil di lemparkan orang tepat mengenainya.

Serentak ketiga jago bayaran itu memekik dengan ranting pohon tertancap

di dahi masing-masing. "Woaaaaaa?!" begundal biadab itu menjerit dengan kerasnya dan kedua temannya menoleh kearah datangnya suara lantang dari atas dahan pohon di depan rumah Bek Marto. Semua yang hadir disitu terperangah kaget melihat sesosok tubuh dengan pakaian serba hitam dan wajah yang tertutup kain cadar berwarna hitam pula.

"Kalian mencari Bajing Ireng? Inilah aku! Silakan tangkap aku barangkali Van Eisen akan membuat kalian jadi kaya-raya!"

Kontan tiga orang jago bayaran itu melepaskan Roijah dan segera memburu orang yang dicarinya, masingmasing dengan senjata terhunus. Namun baru saja sampai di bawah pohon itu, tiba-tiba mereka bertiga meraung kesakitan dengan potongan ranting pohon yang tertancap di dahi masingmasing. Ketiganya kemudian secara bersamaan ambruk ke tanah untuk tidak bisa bangun lagi.

"Mereka hanya kecoa-kecoa busuk.yang sepantasnya harus bernasib seperti itu!" ujar pendekar yang menamakan dirinya Bajing Ireng, disaksikan oleh Bek Marto dengan pandangan penuh rasa kagum dan heran.

Roijah sendiri untuk beberapa saat masih terperangah menatap pendekar sakti yang masih bertengger di atas dahan pohon tepat di samping pintu pekarangan itu.

"Hi hi hi hi hi. terpaksa

Bajing Ireng muncul di siang hari bolong!" katanya dan disusul dengan sebuah gerak salto di udara beberapa kali ia melesat meninggalkan pekarangan rumah Bek Marto dan lenyap dibalik rimbunan pohon di seberang sana.

Roijah menghela nafas dengan puji syukur kepada Tuhan karena tanpa terduga dapat lepas dari ancaman bahaya para begundal yang kemaruk hadiah itu. Bibirnya yang rekah delima itu bergetar dan membisikkan sesuatu hampir tidak terdengar oleh ayahnya sendiri yang masih menahan sakit akibat tendangan tadi.

"Terimakasih, guru!"

Kemana tujuan perjalanan Parmin murid tunggal Ki Sapu

Angin selanjutnya?

Ikutilah kisah Jaka Sembung selanjutnya dalam episode

SI GILA DARI MUARA BONDET 

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar