Senja Jatuh di Pajajaran Jilid 12

Jilid 12  

Setelah tiba di wilayah Cibarusa, Ginggi tak mendapat kesulitan berarti untuk mencari tahu ke mana arah menuju Pakuan. Jalan pedati antara Cibarusa dan Pakuan cukup ramai sebab setiap hari banyak orang datang dan pergi ke Pakuan. Kebanyakan dari mereka terdiri dari kaum pedagang, baik berdagang hasil bumi seperti padi huma, kacang-kacangan dari ladang, atau pun buah-buahan, sampai kepada hasil ternak seperti kerbau, sapi, kambing dan ayam. Para saudagar yang berdagang macam-macam kain, dari mulai kain kasar sampai kain halus. Kain kasar dibawa orang dari wilayah-wilayah seputar Pakuan untuk diperdagangkan di sana, sebaliknya kain halus dibawa dari Pakuan untuk diperdagangkan di wilayah-wilayah seputar Pakuan.

Ginggi masih cukup memiliki uang logam perak hasil pemberian Kuwu Wado. Ketika dari Cibarusa mohon ikut menumpang sebuah pedati dengan imbalan beberapa keping uang logam perak, pemilik kendaraan bertenaga sapi itu amat bersenang hati menolongnya. "Ayo naiklah. Tapi kau harus duduk di tumpukan kain belacu ini, anak muda," kata pemilik pedati.

Ginggi duduk menclok di atas tumpukan kain. Kain belacu itu semua berwarna putih, digulung di sebuah kayu bulat hampir menyerupai tongkat tapi dengan ukuran besar.

"Ramai sekali lalu-lintas di sini, Paman …" kata Ginggi sambil menoleh kiri-kanan.

Bagi pemuda itu, ini pemandangan pertama, melihat orang di jalan besar berlalu-lalang dengan berbagai kesibukan dan keperluannya masing-masing.

"Tidak seramai puluhan tahun silam, anak muda," kata pemilik pedati. Seorang tua bertopicotom (topi anyaman bambu bulat melengkung seperti wajan) dan berbaju kampret hitam dengan dada dibiarkan terbuka.

Ginggi tersenyum pahit. Sementara orang suka mengatakan bahwa zaman cenderung bergerak maju. Tapi Pajajaran sepertinya tak terikat oleh kecenderungan ini. Buktinya, pemilik pedati ini menyebutkan, lalu-lintas ke Pakuan malah lebih ramai puluhan tahun silam dibanding sekarang.

"Dulu ketika Pajajaran di bawah pimpinan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, Pakuan begitu makmur sebab perdagangan amat maju," katanya pelan dan sesekali menengok kiri-kanan sepertinya ucapannya ini tak boleh didengar banyak orang.

"Sekarang mengapa tidak semaju dulu?" tanya Ginggi mencoba menguji keberanian orang ini berbicara.

Pemilik pedati hanya tersenyum tipis.

"Zaman memang telah berubah, anak muda, dan semuanya membawa perubahan juga. Perubahan itu bisa berupa kemajuan, tapi bisa juga berupa kemunduran. Dan barangkali bagi Pajajaran roda kehidupan sedang ada di bawah. Pajajaran sedang ada dalam kemunduran.
Sebab roda kemajuan telah berada di tangan kekuasaan yang baru," kata pemilik pedati berkata serius.

Ginggi menoleh untuk menatap pemilik pedati ini. Orang tua ini ternyata tahu juga masalah perkembangan negara.

"Ya, bagaimana tidak tahu, aku kan sejak muda berniaga kecil-kecilan. Dari wilayah seputar Pakuan aku kirimkan kain kasar, sebab bangsa-bangsa lain memborong kain kasar buatan Pajajaran. Sebaliknya bangsa-bangsa asing seperti Cina, Keling, Campa dan Maladewa datang ke Pajajaran menjual kain halus atau berbagai barang keperluan yang di Pakuan belum dibuat. Pedagang dan pembeli, semua berkumpul di pelabuhan-pelabuhan milik Pakuan, seperti di Cirebon, Banten, atau di Muara Cimanuk. Perdagangan dengan bangsa asing paling banyak dilakukan di Pelabuhan Kalapa. Dalam setahun, Pakuan butuh seribu ekor kuda dan dibelinya dari Pulau Sumba atau Sumbawa. Tapi sebaliknya orang-orang Pakuan dalam satu tahun sanggup menjual merica, lada, dan buah asam masing-masing seribu buah kapal. Begitu majunya perdagangan ketika itu," kata pemilik pedati sambil mengatur langkah penghela sapi agar bisa memilih jalan yang agak rata. "Sekarang perdagangan hanya dilakukan sebatas di dalam negri saja, sebab semua pelabuhan milik Pakuan sudah jatuh ke tangan Banten atau Cirebon. Banten yang dulu termasuk pelabuhan penting milik Pakuan dalam hubungan dagang dengan negri-negri di Andalas, sekarang malah jadi musuh Pakuan yang setiap saat bisa melakukan penyerbuan," kata pemilik pedati. "Zaman telah berubah, anak muda. Ada yang maju ada yang mundur. Giliran Pajajaran yang mundur, sebab kemajuan sekarang ada di tangan orang lain, Banten, Cirebon dan Demak. Merekalah kini yang melakukan perdagangan antar pulau," katanya lagi.

"Sang Rumuhun memang sudah mengaturNya. Ada yang datang ada yang pergi. Ada yang lama ada yang baru dan yang usang digantikan dengan yang bagus. Tak ada sesuatu yang tetap di dunia ini," ucapnya lagi.

"Engkau darimana berasal, anak muda, dan mau apa datang ke Pakuan?" tanya pemilik pedati sambil lalu.

"Aku dari wilayah Kandagalante Tanjungpura dan berniat mengunjungi sanak saudara. Kalau Paman kerapkali datang kedayo (ibukota), barangkali pernah kenal pemuda yang bernama Purbajaya?" tanya Ginggi setengah berbohong, setengahnya lagi berkata benar. Mencari pemuda bernama Purbajaya memang sudah termasuk bagian dari rencananya.

Untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti Suji Angkara, sekarang bisa ditelusuri lewat diri Purbajaya, anak bangsawan wilayah Tanjungpura Utara itu.

Ginggi ingat, menurut cerita pelayan Juragan Ilun Rosa, secara diam-diam Purbajaya menjalin hubungan cinta dengan anak gadis Juragan Ilun Rosa. Anak gadis itu tiba-tiba mati bunuh diri, dan dianggapnya karena putus asa membaca surat yang ditulis Purbajaya yang mengabarkan dirinya akan kawin dengan putri bangsawan di Pakuan. Keterangan ini bertolak belakang dengan cerita ayahanda Purbajaya yang hanya mengatakan bahwa anak muda itu pergi ke Pakuan karena akan melamar kerja sebagaipuhawang atau ahli kelautan. Bahkan diceritakannya pula, bahwa Purbajaya pernah berkata, bila sudah berhasil mencapai citacitanya, dia meminta ayahnya agar sudi meminang gadis pujaannya yang ada di Tanjungpura.

Mana yang benar dari kedua bukti ini, Ginggi belum bisa mengambil kesimpulan. Tapi urusan ini sepertinya ikut melibatkan perilaku Suji Angkara. Pemuda pesolek ini berjanji akan ikut menangani kasus ini. Bagaimana cara membantu menanganinya? Pemuda yang bertutur-sapa selalu sopan tapi terkadang bertindak kejam ini mengatakan bahwa dia akan menindak Purbajaya. Mengapa Suji Angkara ingin menyelesaikan perkara ini seperti itu?

Ginggi ingat, pelayan Juragan Ilun Rosa menceritakan pula bahwa secara diam-diam Suji Angkara menggoda gadis anak Juragan Ilun Rosa di taman belakang rumah, tapi gadis itu selalu menolaknya dengan mengatakan bahwa dirinya sudah ada yang punya.

Antara pertemuan Suji Angkara dengan peristiwa terjadinya bunuh diri gadis itu hanya berselang satu hari saja. Kapan surat nipah yang berisi "pengkhianatan" Purbajaya diterima gadis itu? Kalau mengingat cerita pelayan, ketika ditemui Suji Angkara di taman belakang rumah, gadis itu masih demikian setia terhadap Purbajaya. Bila begitu, maka surat dari pemuda itu pasti diterima dalam sehari saja. Tapi pelayan tak pernah mengatakan melihat orang mengirimkan surat kepada gadis itu. Dari mana surat itu didapat? Satu hal penting lagi yang perlu disimak Ginggi. Ibunda gadis itu secara naluri menangkap suatu bukti, anaknya mati bukan sekadar kecewa atas "pengkhianatan" kekasihnya, melainkan karena sebab lain juga. Istri Juragan Ilun Rosa mendapatkan anak gadisnya bunuh diri dengan menusukkanpatrem ke lehernya sambil dandanan tak karuan , kusut-masai tak beraturan, bahkan seperti ada bekas cakaran kuku di beberapa bagian tubuhnya.

Sayang sekali Juragan Ilun Rosa perhatiannya telah terpusat kepada surat daun nipah itu. Dia lebih percaya anaknya mati karena kecewa merasa dikhianati. Juragan Ilun Rosa bahkan langsung setuju ketika Suji Angkara berjanji akan menindak bahkan membunuh Purbajaya bila ditemukan di Pakuan.

"Saya tak kenal dengan pemuda bernama Purbajaya, anak muda," kata pemilik pedati sambil mengingat-ingat. "Dia bekerja sebagai apa didayo ?" pemilik pedati balik bertanya.

"Sekitar enam bulan lalu, Purbajaya pergi dari Tanjungpura ke Pakuan karena ingin melamar bekerja sebagaipuhawang ," kata Ginggi mengubah duduknya karena sejak tadi menclok terus di atas timbunan gulungan kain.

"Maksudmu petugas akhli dalam bidang penelusuran laut dan teluk?" "Ya, ya begitulah!"
"Di Pakuan ada pejabat yang pernah berurusan dengan itu. Dia Pangeran Yogascitra, masih kerabat Sang Prabu walau kerabat jauh. Kalau kau bisa mengunjunginya, barangkali punya celah-celah untuk mencarinya," kata pemilik pedati.

Ginggi tersenyum cerah mendengarnya. Berarti ada harapan mencari di mana pemuda Purbajaya berada.

"Bagaimana, apa mudahkah aku mengunjungi Pangeran Yogascitra, Paman?" tanya Ginggi.

"Semua bangsawan di Pakuan pandai menjaga kehormatan dirinya. Tapi, ada banyak cara untuk menjaganya. Ada yang tidak sembarangan berhubungan dengan siapa saja, ada juga yang begitu ramah menerima kehadiran siapa saja. Namun yang penting, kau datanglah ke sana secara baik-baik dan dengan tindak-tanduk sopan. Etika hidup bagi mereka berada di atas segalanya. Kalau kau pandai menggunakan etika dan menyenangkan mereka, kau pasti tidak akan sulit bertamu ke kediaman Pangeran itu, anak muda," kata pemilik pedati memberikan petuah.

Senja mulai jatuh ketika roda pedati menggelinding pelan memasuki pintu gerbangdayo (kota) Pakuan.

Berdebar hati Ginggi ketika melihat pintu gerbang kota yang demikian besar dan berwibawa.

Pintu gerbang ini tidak dibuat oleh kayu-kayu jati sepertilawang kori di wilayah kandagalante atau apalagi bila dibandingkan denganlawang kori sebuah wilayah desa. Pintu gerbangdayo Pakuan menjulang tinggi dan terbuat dari batu-batu dengan ukiran halus. Di kiri kanannya, membelakangi gapura, berdiri kokoh patungrotadenawa (raseksa) sambil memanggul sebuah penggada besar, seolah-olah tengah menjaga keamanan Pakuan dari gangguan musuh. Pedati berhenti sejenak sebab akan menghadapi pemeriksaan para jagabaya. Ini pemeriksaan kedua, sebab ketika tadi siang pedati menyebrangi jembatan besar Sungai Cihaliwung (Ciliwung), pedati bermuatan gulungan kain katun dan belacu ini pun diperiksa petugas sebelum melakukan penyebrangan.

Namun karena tak ada sesuatu yang mencurigakan, pedati berjalan kembali dan diperbolehkan memasukidayo .

Sekarang pedati berjalan melewati sebuah alun-alun yang amat luas. Jauh di sebrang alunalun nampak lagi sebuah gerbang. Lebih mewah dan lebih berwibawa lagi bentuknya. Terbuat dari batu hitam halus yang terdapat ukiran-ukiran yang bernilai seni tinggi. Gerbang itu seperti pintu masuk ke sebuah kompleks besar yang dikelilingi benteng kokoh.

Remang-remang di dalam benteng terlihat bangunan-bangunan baik terbuat dari batu mau pun dari kayu-kayu jati, menjulang melampaui tingginya benteng.

"Itulah pintu gerbang untuk memasuki pusatdayo , anak muda. Raja dan para bangsawan tinggal di sana," kata pemilik pedati.

"Apakah Paman akan masuk ke sana?" tanya Ginggi.

"Aku ini hanya pedagang biasa. Keperluanku ke sini untuk mengirim barang-barang dagangan ke pasar. Tidak sembarangan orang msuk ke sana, apalagi malam hari. Jadi, sebaiknya malam ini kau cari penginapan di luar benteng. Esok hari baru minta izin jagabaya untuk bertamu ke kediaman Pangeran Yogascitra," kata pemilik pedati.

Ginggi turun dari tumpukan kain dan mengucapkan terima kasih karena dirinya diperkenankan menumpang pedati.

Keramaian di Pakuan

Ginggi berdiri sendirian di tepi alun-alun yang dikelilingi pohon-pohon besar. Di sudut alunalun dekat gerbang ada tiga pohon amat besar. Daunnya rimbun dan rantingnya bergayut ke permukaan tanah hampir-hampir menyerupai jenggot raksasa. Di Puncak Cakrabuana pun pohon besar seperti ini ada terdapat dan Ki Darma menyebutnya sebagai pohon beringin.
Hanya bedanya, beringin yang terdapat di sudut alun-alun benteng luar ini nampak lebih terawat. Batangnya tak memiliki lumut, sepertinya setiap hari ada petugas yang khusus bekerja membersihkan lumut pohon yang usianya pasti sudah amat tua ini.

Di depan pohon itu pun ada semacam tempat pemujaan. Ada asap dupa mengelun dari sudut tempat pemujaan itu. Bunga dan macam-macam sesaji juga nampak bertebaran di sana.
Ketika hari sudah hampir gelap benar, ada seorang membawa pelita dan ditaruhnya di tempat pemujaan.

Ginggi melangkah menyusuri tepi alun-alun. Kata Ki Banaspati, Pakuan inidayo (ibukota) yang amat ramai. Penduduknya lebih dari limapuluh ribu orang dan jumlah pasukan keamanan di seluruh negri berjumlah lebih dari seratus ribu prajurit ditambah seribu orang perwira pengawal raja. Berbicara soal pengawal raja, Ginggi jadi teringat Ki Darma.
Bukankah dulu orang tua ini bekerja sebagai pengawal raja? Betapa besar sebetulnya jasa Ki Darma. Dia mengabdi puluhan tahun kepada tiga orang Raja Pajajaran yang berturut-turut memerintah di Pakuan. Namun hanya karena Ki Darma selalu berani melontarkan kritik terhadap raja, maka jasanya seperti tertimbun oleh kesalahan ini. Tak ada orang yang berani memuja dan memperlihatkan perasaan bangga terhadap Ki Darma, sebab kata Ki Rangga Guna, siapa yang menyebut Ki Darma akan dianggap punya hubungan tertentu dengan orang tua itu. Dan yang memiliki pertalian dengan Ki Darma akan ditangkap petugas karena akan mendapat perlakuan yang sama, yaitu dituduh pemberontak.

"Hati-hati bila memasuki Pakuan, jangan sekali-kali mengaku sebagai murid Ki Darma!" perkataan ini dikeluarkan oleh Ki Banaspati dan Ki Rangga Guna dalam tempat dan waktu yang terpisah.

Ginggi kembali melangkah menyusuri tepian alun-alun yang sebagian ditumbuhi rumput hijau, sebagian lagi hanya berupa tanah merah sedikit berdebu.

Ginggi membayangkan tempat ini sebagai wahana untuk latihan perang-perangan para prajurut Pakuan. Mungkin juga digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara kebesaran raja dan berbagai demontrasi ketangkasan berkuda atau permainan senjata. Tapi yang pasti terbayang di pelupuk matanya adalah pertempuran besar di alun-alun ini ketika pasukan misterius yang diduga dari Banten diperintah oleh Sultan Hasanudin secara rahasia menyerang Pakuan. Ki Rangga Guna mengabarkan, dalam pertempuran besar ini seribu pengawal raja mati-matian menahan serangan prajurit tanpa identitas ini. Dan sekali pun berhasil menghalau pasukan penyerbu tapi Pakuan banyak kehilangan perwira tangguh. Dua Senopati Pajajaran yang amat tangguh yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet tewas di medan laga. Kepahlawanan kedua senapati ini kata Ki Rangga Guna banyak disebut dan dibanggakan oleh prepantun (juru pantun, pembawa cerita yang diambil dari kisah nyata) tapi sambil meremehkan dan menyesalkan perbuatan Ki Darma yang dianggapnya membuat gara-gara terjadinya serangan.

Hanya beberapa bulan setelah penyerbuan ini, khabarnya Ki Darma mengundurkan diri dan langsung dituding mengkhianati raja. Begitulah yang terjadi belasan tahun silam di saat Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata.

Ginggi melangkah sunyi menyisir tepian alun-alun. Di hatinya tetap ada kebanggaan terhadap Ki Darma, kendati perasaan ini tetap disembunyikannya di lubuk hati paling dalam.

Sekarang Ginggi tiba di sebuah perempatan jalan. Perempatan ini merupakan akhir dari alunalun. Bila Ginggi menengok ke kiri, di sepanjang jalan tepi benteng istana nampak beberapa bangunan, terang benderang oleh cahaya lampu gantung. Di sana terlihat banyak orang, ada yang duduk-duduk di bangku panjang, ada juga yang sekadar berjalan-jalan sambil melihat ke sana ke mari. Ginggi menuju ke sana, kalau-kalau ada kedai nasi di tempat itu.

Dan benar perkiraan pemuda itu. Di sana terdapat juga kedai makanan. Sudah terlihat banyak orang yang makan-makan di sana. Nampaknya para pedagang atau para pengirim barang yang baru datang kedayo ini.

Ginggi menyelip duduk di antara dua pembeli yang tengah makan nasi dengan lahapnya. Ketika Ginggi ikut duduk, kedua orang itu menggeser duduknya untuk memberi kaleluasaan kepada Ginggi. Yang seorang malah mengangguk sambil menawari pemuda itu makan.
Ginggi hanya balas mengangguk sebagai tanda ucapan terima kasih. Ginggi memesan nasi dan lauk-pauknya apa saja menurut pilihan pemilik kedai.

Sementara menunggu penganan disodorkan, Ginggi melirik ke kiri dan kanan. Di petak-petak lain terdapat juga sekumpulan orang. Mereka tengah memperhatikan sekelompok lainnya yang duduk saling berhadapan dan sibuk melakukan permainan judi. Macam-macam tingkah lakunya. Ada yang cemberut, ada yang tegang, tapi kebanyakan hanya berteriak-teriak memberi semangat. Ginggi tersenyum tipis. Bila menyaksikan tingkah laku mereka, di bumi Pajajaran ini sepertinya tak terjadi apa-apa. Ada orang yang berjudi, tertawa dan bersenda gurau, hanya menandakan kehidupan mereka damai dan tak kurang suatu apa. Barangkali benar di dayo (ibukota) pusat pemerintahan, orang tak merasakan berbagai kesulitan berarti sebab segala keperluan hidup tersedia di sini. Tapi barangkali juga tawa dan senda gurau di sini hanya bersifat semu belaka. Ginggi pernah menyaksikan ada orang tertawa padahal hatinya tengah dirundung duka. Ginggi juga pernah melihat orang yang memiliki banyak masalah tapi dia tak acuh dengan masalahnya karena sudah pasrah terhadap kemelut hidup yang dideritanya.

Ketika makanan sudah disodorkan , Ginggi mulai makan dengan lahapnya. Makanan yang disodorkan pemilik kedai ini terasa enak dan nikmat. Barangkali karena memang pandai mengatur bumbu masak. Tapi barangkali juga karena pemuda itu sudah lama tak mendapatkan makanan enak.

Makanan enak yang dimakan terakhir kalinya yaitu di kedai wilayah Tanjungpura. Sesudah itu, dia hanya makan makanan yaang ada di hutan saja. Baru kali ini dia kembali menemukan makanan yang begitu mengundang selera makannya.

Begitu asyiknya dia makan, sampai-sampai Ginggi tak tahu bahwa yang duduk di samping kirinya sudah tergantikan oleh orang yang baru datang. Ginggi tak akan memperhatikan kalau saja orang itu tidak menepuk bahunya dengan cukup keras.

"Hei!" kata orang di samping kirinya. Ginggi hampir saja tersedak saking terkejutnya melihat siapa yang menepuknya ini.

"Eh … engkau Madi?" pekik Ginggi heran.Ya, Madi, pemuda jangkung berkulit hitam bergigi tonghor sahabat Seta, calon suami Nyi Santimi, secara tiba-tiba sudah ada di sampingnya.

Ginggi menatap pemuda tonghor ini. Bukan karena heran mengapa Madi ada di Pakuan, sebab sejak dari Sagaraherang pun Ginggi sudah mendengarnya ada rombongan Suji Angkara yang "melarikan" diri menuju Pakuan. yang diherankan Ginggi, penampilan Madi kini lain.
Dia tak lagi berkampret hitam dengan ikat kepala hitam. Malam ini pemuda yang diketahui Ginggi sebagai pemuda yang gampang marah tapi sedikit bodoh ini dadanya lebih lebar dengan terbuka lebar karena menggunakan pakaian rompi tanpa lengan dan baju kancing. Bajunya dari kain tebal, ada ornamen warna perak di sepanjang sisi-sisi bajunya. Kepala Madi pun tak mengenakan ikat kepala. Sekarang rambutnya yang panjang digelung ke atas dan disisir cukup rapih. Ada gelang menghias terbuat dari tanduk kerbau yang sudah diperhalus dan diberi ukiran walau sedikit kasar buatannya. Gelang-gelang itu satu pasang dikenakan sebagai penghias pergelangan tangan dan satu pasang lagi dikenakan di tangan bagian atas sikut. Ginggi melirik ke bawah, pinggang Madi dibelitangkin (sabuk kain) batikhihinggulan dan digunakan sebagai pengikat kain warna ungu yang menutupi celanasontog (celana panjang sebatas betis) warna hitam.

"Hei … kau ada di sini rupanya?" kata Ginggi menunjuk hidung pemuda tonghor itu. Madi menepiskan telunjuk Ginggi dengan gemas, namun Ginggi sudah lebih dahulu menarik mundur telunjuknya.

"Sialan kau anak setan! Jangan sembarangan menyapa orang. Kau tahu, siapa aku ini?" kata Madi melotot marah.

"Ya, siapa lagi? Bukankah namamu Madi? Ataukah sekarang sudah kau ubah namamu? Apa namamu sekarang?" tanya Ginggi cengar-cengir.

"Tengik kau! Namaku sejak dulu tak pernah kuubah!" kata Madi masih gemas. Ginggi menggaruk-garuk kepalanya sebagai tanda bingung.

"Heran, namamu tetap Madi, tapi kau tak mau ku sapa …" gumam Ginggi.

"Namaku tetap Madi. Tapi cobalah kau sedikit sopan padaku. Sekarang di sini aku bukan sebagai rakyat biasa seperti tempo hari!" kata Madi sombong.

"Kau bukan rakyat lagi sekarang? Anak bangsawankah engkau? Ginggi tetap berpura-pura bodoh. Tuk! Ubun-ubun kepalanya digetok Madi.

"Jangan kau hina aku. Aku memang bukan anak bangsawan. Tapi di Pakuan sini siapa tak kenal Madi prajurit keraton?" kata Madi tersenyum lebar.

"Wah, kau jadi pegawai istana rupanya! Aku bangga padamu!" Ginggi hahah-heheh ketawa. Madi pun ikut ketawa senang mendengar Ginggi bangga dan kagum padanya.

"Yang lainnya bagaimana? Apakah semua sama bernasib baik sepertimu, Madi?"

"Ya, semua bernasib lumayan. Seta, Ki Ogel dan Ki Banen, semuanya menjadi abdi dalem istana,"

"Hebat!"

"Segalanya berkat Raden Suji Angkara," kata Madi. Ginggi mulutnya menganga.
"Aku memang sudah menduga sejak dulu. Raden Suji Angkara memang bukan orang sembarangan. Dia sebetulnya putra Juragan Bagus Seta!"

"Bagus Seta?"

"Sssst!!!" Madi membekap mulut Ginggi yang bicara terlalu keas. Dan Ginggi meronta-ronta karena tangan Madi terlalu lama membekapnya "Mengapa kau bekap mulutku?" tanya Ginggi tak senang.

"Mengapa kau berteriak tak sopan? Kau harus tahu diri di sini, tolol! Juragan Bagus Seta kau sebut begitu saja. Itu tak sopan namanya!" kata Madi berdesis marah. Ginggi memang tadi secara tak sadar berseru menyebut nama Bagus Seta seenaknya saja. Itu karena saking kagetnya. Tidakkah yang di maksudnya adalah Ki Bagus Seta murid kedua Ki Darma?
Betulkah sekarang di Pakuan sudah jadi bangsawan? Hebat sekali. Ginggi tak boleh terlihat oleh Madi bahwa dirinya memperhatikan Ki Bagus Seta secara khusus. Untuk itulah kini dia mengalihkan pembicaraan.

"Prajurit Madi, kau katakan tadi Raden Suji Angkara putra Bangsawan Bagus Seta. Bukankah di Desa Cae pemuda tampan itu anak Ki Suntara Kuwu Cae?" tanya Ginggi.

"Ya, aku juga dulu menduga demikian. Barangkali semua penduduk Cae pun berpikiran begitu. Tapi selama di perjalanan mengikutinya, terkesan bahwa dia bukan pemuda sembarangan. Tindak-tanduknya seperti bangsawan. Kekayaannya pun jauh lebih besar ketimbang yang dipunyai seorang kuwu. Raden Suji Angkara bukan anak seorang kuwu, melainkan memang putra bangsawan asli yang di dayoini sudah cukup terkenal," kata Madi.

Akhirnya pemuda itu pun menerangkannya panjang-lebar. Bahwa sebetulnya Suji Angkara ini benar-benar putra Ki Bagus Seta. Akan halnya hubungannya dengan Kuwu Suntara, karena ibunda Suji Angkara dulu merupakan istri Kuwu Suntara. Bagaimana caranya istri Kuwu Suntara "berpindah" menjadi istri Ki Bagus Seta, Madi tidak mengetahuinya.

"Biarlah itu urusan orang-orang besar dan tak ada pertaliannya dengan urusanku. Aku tak perlu tahu," kata Madi. Ginggi pun mengangguk tanda menyetujui. Padahal di lubuk hatinya berkata lain. Ini masalah tambahan yang cukup menarik buat dirinya. Dari Sagaraherang Ginggi disuruh Ki Banaspati untuk membuntuti Suji Angkara untuk kemudian harus dibunuhnya. Tapi di lain fihak pemuda pesolek ini terbukti putra Ki Bagus Seta. Mustahil Ki Banaspati yang sering tinggal di Pakuan dan merupakan tangan kanan muhara (petugas penarik pajak negara) tidak tahu bahwa Ki Bagus Seta juga ada di Pakuan dan menjadi bangsawan istana. Mustahil Ki Banaspati tak tahu bahwa Suji Angkara putra Ki Bagus Seta. Sampai di sini, jalan pikiran Ginggi terhenti. Sepasang alisnya yang tebal membentuk golok melengkung karena benaknya berpikir keras. Ini memang aneh dan penuh misteri. Kalau Ki Banaspati harus mengetahui bahwa Suji Angkara putra Ki Bagus Seta, mengapa pemuda itu sendiri seperti tidak kenal siapa sebenarnya Ki Banaspati?

Menurut penelitian Ginggi, hubungan Suji Angkara dengan Ki Banaspati ketika itu hanya sebatas hubungan kerja semata. Suji Angkara dikenal sebagai pembantu utama Ki Banaspati dalam mengurusi seba ke wilayah timur. Lain dari hubungan itu, sepertinya Suji Angkara tak tahu apa-apa. Ginggi pun teringat kembali, betapa dalam percakapan dirinya dengan Ki Banaspati di Sagaraherang, Ki Banaspati tak pernah mengungkit-ungkit bahwa Ki Bagus Seta ada di Pakuan. Ki Banaspati dalam percakapannya dengan Ginggi tempo hari seolah-olah menampakkan kesan bahwa dia tak pernah tahu di mana para saudara seperguruannya berada. Sekarang baru ketahuan, bahwa ada dugaan Ki Banaspati sudah tahu saudara seperguruannya ada di Pakuan dan sama-sama mengabdi di istana, tapi ada kesan "diatur" bahwa satu sama lain tak saling kenal. Mungkinkah keduanya menjalin kerjasama rahasia sehingga hubungan mereka perlu disembunyikan dari pengetahuan orang lain? Ginggi punya dugaan keras ke arah itu. Apalagi semua murid Ki Darma harus merahasiakan identitas masing-masing, terutama karena pertaliannya dengan Ki Darma. Baik Ki Bagus Seta mau pun Ki Banaspati dipastikan Ginggi bisa memasuki istana karena mengubur identitas diri mereka terhadap hubungannya dengan Ki Darma.

Betulkah kedua orang itu menjalin kerjasama untuk mengejar satu tujuan? Bila begitu halnya, mengapa Ki Banaspati harus membunuh Suji Angkara hanya karena pemuda itu menyibak rahasia kegiatannya dalam "merampok" dan menggelapkan hasil kekayaan seba? Bila Suji Angkara harus dibunuh, berarti rahasia kegiatannya tidak boleh diketahui Ki Bagus Seta.
Atau, bisa juga Ki Bagus Seta juga sama-sama berkomplot mempermainkan seba untuk Pakuan. Hanya saja Ki Banaspati benar-benar tak tahu bahwa Suji Angkara orang Pakuan dan putra saudara seperguruannya.

Ginggi memijit-mijit dahinya. Semua yang dia uraikan di dalam hatinya hanyalah perkiraanperkiraan semata. Untuk meneliti kebenarannya dia harus langsung terjun menyelidikinya.

"Prajurit Madi, tolong bawalah aku pada Raden Suji Angkara," pinta Ginggi tiba-tiba.

"Ya, aku akan bawa kau ke hadapan Raden Suji Angkara. Mudah-mudahan kau dihukum berat!" kata Madi dengan mulut tersenyum penuh ejekan.

"Lho, mengapa aku harus dihukum?" tanya Ginggi heran.

"Akan aku katakan kau pengkhianaat, sebab kau malah tinggal di Sagaraherang ketika kami pergi!" kata Madi.

"Malah kalian yang aku tuduh pengkhianat!" teriak Ginggi balas menudingkan telunjuk. Giliran Madi yang heran.
"Mengapa malah kami yang kau anggap pengkhianat, anak tolol?" sergah Madi.

"Habis, kalian secara tiba-tiba meninggalkan diriku di Sagaraherang. Kalian tinggalkan pula beberapa orang pemikul dongdang. Bukankah kau pun tahu aku ikut rombongan kalian dan Raden Suji Angkara pun sudah setuju aku ikut kerja padanya?" tanya Ginggi. Madi mengedip-ngedipkan kedua matanya sambil tertunduk ke bawah bangku.

"Ayo, coba siapa yang mengkhianati? Aku tersaruk-saruk di hutan, kabur dari Sagaraherang, sebab ketika kalian pergi, orang Sagaraherang menjadi beringas dan seperti mau membunuhku. Aku akhirnya lari, ke mana saja, sebab aku tak tahu ke mana aku harus pergi. Berbulan-bulan kemudian, baru aku tiba di sini. Eh, aneh sekali, kau ada di sini. Hanya bedanya, engkau demikian maju di sini, sedangkan aku penuh derita …" Ginggi bicara sedikit ngibul. Madi terkekeh-kekeh mentertawakan nasib "buruk" yang menimpa Ginggi. Tapi serentak tawanya hilang ketika Madi meneliti keadaan tubuh Ginggi.

"Kau membual anak tolol. Kalau kau katakan kau berkelana penuh derita, mengapa kau mampu masuk ke kedai ini dan mengambil makanan-makanan enak? Pakaianmu juga mencurigakan. Itu pakaian golongan santana (masyarakat golongan menengah) kendati terlihat dekil," kata Madi. "Nah, dekil, kan?" Ginggi tak kehilangan akal untuk terus ngibul. "Selama mengembara kesana-kemari aku kerja apa saja. Sekarang aku sedikit punya uang dan juga punya pakaian santana kumal karena ketika aku berhenti kerja, majikan memberiku bekal-bekal seperti ini," kata Ginggi.

"Hm, begitu, ya …" Madi mengangguk-angguk.

"Nah, sekarang coba aku bawa pada Raden Suji Angkara agar aku tak tersaruk-saruk mencari pekerjaan!" kata Ginggi lagi.

"Enak saja mau cari kerja di istana!" dengus Madi. "Hanya orang-orang cakap dan pandai berkelahi saja yang bisa diterima bekerja di Pakuan. Sedangkan kau bisa apa?"

"Tempo hari Ki Banen sudah bersedia mengajariku ilmu berkelahi padaku, agar lain kali aku bisa mengalahkanmu!" kata Ginggi.

Madi terkekeh-kekeh mendengar ucapan Ginggi ini.

"Boleh kau minta latih sama Ki Banen. Limapuluh tahun baru kau bisa menandingiku, anak tolol!’ kata Madi.

"Baik, akan kubuktikan limapuluh tahun lagi!" kata Ginggi tak kepalang ngaco. Madi hanya tertawa-tawa saja.
"Boleh, besok aku bawa kau kepada Raden Suji Angkara!" kata Madi. Ginggi bersyukur dalam hatinya bahwa pada akhirnya dia sanggup menundukkan pemuda bodoh ini kendati harus perang mulut gila-gilan.

"Nah, kalau begitu malam ini aku ikut numpang tidur di rumahmu!" kata Ginggi.

"Enak saja! Kau cari tempat tidur sendiri. Di tepi-tepi tembok benteng dalam, banyak emperan. Tidurlah di emper sana!" kata Madi berjingkat dan berlalu.

"Hei, dimana aku bisa menemuimu besok?"

"Ya, kau tunggulah di kedai ini!" kata Madi sambil negeloyor pergi. "Atau di alun-alun sebab akan ada keramaian," lanjutnya.

Pemuda bodoh, pikir Ginggi. Tapi dia pun tetap memuji Madi sebagai orang jujur dan cukup punya perasaan. Buktinya, pemuda itu mau juga meluluskan dia ikut kerja dengan Suji Angkara.

Ginggi tak begitu sulit mencari tempat untuk menginap. Banyak kedai makanan yang juga menyediakan tempat untuk menginap.

Esok paginya Ginggi sudah berjalan-jalan di seputar dayo. Pada siang hari. Kesibukan nampak lebih meningkat. Dari wilayah seputarnya kaum pedagang memasuki pusat-pusat keramaian dan mereka menggelar dagangan di sana, seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, atau barang keperluan sehari-hari. Ada juga orang mencari penghasilan dengan berdagang bermacam obat-obatan untuk menanggulangi berbagai penyakit. Di satu sudut bahkan ada orang memamerkan kepandaian aneh semacam permainan sulap. Penonton bertepuk tangan gembira bila pesulap itu berhasil memamerkan satu kepandaian yang mencengangkan. Atau penonton terkekeh-kekeh bila pesulap memperlihatkan tindak-tanduk lucu. Anak-anak terbahak-bahak dan para gadis menahan tawa dengan jalan menutup mulutnya.

Semakin siang jumlah yang datang semakin banyak juga. Tua-muda, besar-kecil, lelaki dan wanita seperti beriringan seperti hendak menuju satu tempat. Pakaian mereka bagus-bagus. Beruntung Ginggi sempat mengganti pakaiannya, sehingga dia pun nampak sebagai pejalan kaki dari kalangan kaum berada. Pakaian yang dikenakannya, baju kurung dari kain halus warna merah darah dengan ikat kepala warna yang sama. Celananya jeniskomprang dan diikat dengan ikat pinggang kain. Semuanya hasil pemberian Kuwu Wado. Mengenai jenis kain halus yang dipakainya, baru akhir-akhir ini saja Ginggi tahu bahwa kain seperti ini dibeli dari pedagang asing, kalau tidak dari Parasi (Parsi) mungkin dari Cina. Termasuk barang langka, apalagi di saatsaat sekarang ini hubungan dagang di pantai utara sudah tak mungkin dilakukan. Kalau pun masih terdapat, khabarnya harganya cukup mahal sebab barang-barang itu bisa masuk ke Pakuan melalui beberapa tangan. Bila dulu sebelum pelabuhan-pelabuhan utama direbut Cirebon dan Demak, hubungan dagang antara Pakuan dengan negri-negri sebrang bisa langsung dilakukan, sekarang harus menggunakan perantara. Salah satu perantara di antaranya adalah para pedagang yang sudah berpihak kepada kekuatan agama baru di pesisir. Merekalah yang melakukan transaksi langsung dengan saudagar negri sebrang. Barang-barang itu, sedianya hanya boleh diperdagangkan di wilayah-wilayah kekuasaan agama baru saja. Dan orang-orang Pajajaran merupakan santapan empuk, sebab mereka yang sudah sejak dulu terbiasa menggunakan barang-barang indah, terutama dari kalangan santana sampai bangsawan, selalu tetap memerlukannya.

Ginggi sebetulnya tak senang menggunakan pakaian-pakaian mewah ini. Tapi apa daya, di buntalan pakaiannya hanya terdapat tiga pasang pakaian mewah hasil pemberian Kuwu Wado dan juga dari Ki Sunda Sembawa. Ada kampret halus warna kuning emas dan satunya warna biru tua terbuat dari kain agak tebal namun tetap halus. Warna merah darah yang dikenakannya sebetulnya hanya pantas digunakan oleh pemuda pesolek saja. Dan melihat potongan tubuh Ginggi yang semampai, berdada bidang, serta kulit wajah putih dengan hidung agak mancung bermata bundar dan sepasang alis tebal seperti golok melengkung, segalanya pas menggambarkan dia pemuda pesolek dari kalangan santana (kaum menengah). Banyak gadis terpaksa melirik atau menyapu dengan kerlingan ketika berpapasan dengannya. Bahkan para pemuda sebayanya menatap bagaikan penuh rasa iri karena menganggap Ginggi seperti memamerkan wajah tampan yang dibalut pakaian mewah.

Ginggi ikut ke mana orang menuju. Sekarang baru ingat, tadi malam pemuda Madi berkata di alun-alun akan ada keramaian. Keramaian apa, Madi tak menjelaskan. Hanya saja tadi malam pemuda itu akan menunggunya di alun-alun.

Ginggi bergegas menuju alun-alun. Di lain fihak ingin segera bertemu Madi, di lain fihak lagi ingin segera melihat bentuk keramaian itu.

Alun-alun tidak terlalu jauh. dan sebentar kemudian dia sudah berada di tempat itu. Di sana sudah banyak orang berkerumun dan bergerombol, atau berderet di sepanjang sisi alun-alun. Seputar alun-alun sudah dikelilingi penonton. Ginggi melihat berkeliling. Ternyata di sisi bagian alun-alun, ada sebuah panggung berhias diapit dua bangunan bertenda memanjang di kiri kanannya. Semuanya dihiasi kain warnawarni. Di setiap ujungnya tertancap umbul-umbul. Demikian pun di depan, umbul-umbul bahkan berderet lebih banyak lagi. Ginggi heran, kapan panggung ini dibuat, bukankah kemarin senja suasana di alun-alun masih sepi? Melihat kenyataan ini, hanya menampilkan bahwa orang-orang Pakuan terampil dalam bekerja.

"Paman, akan ada keramaian apakah ini?" tanya Ginggi pada seorang lelaki setengah baya yang ada di sampingnya.

"Hari ini akan diadakan uji ketrampilan. Sang Susuhunan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan memerlukan prajurit-prajurit pilihan untuk kelak dididik dan dipersiapkan menjadi perwira pengawal Raja. Sekarang seribu pengawal Raja sudah banyak yang berusia lanjut dan perlu penggantinya," kata lelaki setengah baya itu menjelaskan.

Kata orang itu Susuhunan Pakuan, Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan berkenan menyaksikan uji ketrampilan ini bersama para pejabat lainnya. Ketika mendengar keterangan ini, hati Ginggi bergetar. Nama Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan sudah sejak lama dia dengar melalui mulut Ki Darma. Tiga tahun sebelum Sang Susuhunan ini memerintah, Ki Darma sudah mengundurkan diri dari kegiatan di istana. Namun kendati begitu, kata Ki Darma, raja ini mengenalnya sejak menjadi putra mahkota. Namun jauh sebelum putra mahkota inidiwastu (dinobatkan), hubungannya dengan Ki Darma sudah kurang baik. Itulah sebabnya, jauh hari sebelum putra mahkota dinobatkan, Ki Darma mengundurkan diri, yang belakangan dituduhnya sebagai pengkhianat dan pemberontak.

Sekarang Ginggi akan melihat dengan mata kepala sendiri, Raja Pajajaran yang berkedudukan di Pakuan ini.

Keramaian di Alun-alun

Ketikacahaya matahari menyorot hangat lewat celah dedaunan pohon beringin, terdengar bunyi suara gong yang dipukul tiga kali. Serentak dengan itu terdengar pula suara gamelan yang ditabuh dari pinggir balandongan.Lawang saketeng (pintu gerbang) benteng dalam terkuak lebar, dibuka oleh delapan prajurit berpakaian lengkap. Penonton yang tepat berada di depanlawang saketeng yang tadinya bergerombol menutupi pinggir alun-alun segera menguak sambil membalikkan badan menghadap lawang saketeng. Suara gamelan ditabuh demikian bersemangat dan ambarahayat yang ada di seputar alun-alun mendadak duduk berlutut, tangan menyembah takzim dan kepala tertunduk ketika dari dalam benteng keluar iring-iringan.

Ginggi menoleh ke kiri dan kanan. Namun ketika dilihatnya ada prajurit melihat dirinya dengan mata melotot, dia segera ikut berlutut dan kedua tangan menyembah takzim.

Ginggi sebenarnya ingin menunduk juga. Tapi hati dan perasaannya tak kuasa membendung keinginannya untuk menyaksikan iring-iringan yang keluar dari pintu benteng itu.

Dan kendati dengan wajah tertunduk, tapi mata Ginggi memaksakan diri untuk mengerling guna melihat iring-iringan.

Itu nampaknya sebuah iring-iringan besar. Mula-mula ada barisan pengawal berjumlah duabelas prajurit. Semuanya berambut panjang digelung ke atas dan disisir rapi. Kepalanya masih diikat oleh semacam pengikat kepala terbuat dari ornamen logam. Duabelas prajurit pengawal ini hanya bertelanjang dada, namun leher dan sepasang tangannya dihiasipinggel (gelang) logam warna perak. Semuanya bercelanasontog terbuat dari beludru kasar tapi diberi ornamen kerlap-kerlip warna perak. Duabelas orang prajurit pengawal ini semua memakai kain batik kebat tapi dilipat dua, kecuali satu ujungnya dibiarkan terbuka hampir menjuntai ke bawah.

Duabelas prajurit pengawal ini memegang senjata di tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri. Enam orang bersenjatakan tombak, enam orang lainnya memegang pedang terhunus. Mereka berbaris raph dengan irama langkah yang sama.

Rombongan kuda keluar dari lawang seketeng. Jumlahnya ada duabelas prajurit juga. Mereka pembawa bendera dan umbul-umbul. Sesudah itu, rombongan ketiga keluar pula. Mereka bukan prajurit dengan langkah gagah dan wajah tegang, melainkan rombongan gadis-gadis dengan lemah gemulai membuat orang terpesona memandangnya.

Melalui sudut matanya Ginggi menghitung ada sekitar empatpuluh orang gadis yang wajahnya molek-molek. Rombongan gadis itu semua menggunakan kain warna hijau muda dan ke atas memakai pakaian kebaya warna kuning. Ada selendang tipis warna hijau tua melintang di leher masing-masing, menutupi sebagian leher dan dada bagian atas yang putih mulus, membuat kaum lelakigreget melihatnya.

Rombongan empatpuluh gadis cantik ini semuanya membawa tempayan perak dengan setumpuk bunga warna-warni di atasnya.

Kini suara gamelan mengalun pelan ketika rombongan ketiga keluar darilawang saketeng . Rombongan ini diawali oleh barisan pengawal dengan senjata trisula lengkap dengan perisai di tangan kiri. Mereka gagah-gagah, jumlahnya sekitar duabelas orang pula.

Serasa bergetar dada Ginggi ketika lirikan matanya menyaksikan siapa yang keluar darilawang saketeng ini. Enam orang prajurit memangguljampana (alat angkut yang diusung) dengan posisi dua orang-dua orang mengusung tangan-tanganjampana di bagian depan, serta dua orang-dua orang lagi mengusung tangan-tanganjampana di bagian belakang. Siap yang duduk menumpangjampana kayu halus berukir indah dengan motif ukir burung garuda ini membuat dada Ginggi kembali bergetar hebat. Barangkali, ya, barangkali inilah Sang Susuhunan Pakuan, raja keempat Kerajaan Pajajaran, atau raja urutan ketigapuluh delapan dari susunan raja-raja dari Kerajaan Sunda yang didirikan Sri Maharaja Tarusbawa, hampir 900 tahun lampau (9670 M) bila dihitung sampai pengangkatan raja hari ini yaitu Ratu Sakti Sang Mangabatan (1543-1551 M).

Menyaksikan iring-iringan besar yang menuju alun-alun ini, di telinga Ginggi terngiang kembali tembang-tembangprepantun yang pernah dia simak di Desa Cae beberapa bulan silam

Singasari keri-kanan payung wilis lilingga gading dipuncakan manik molah payung getas dililinggaan dipuncakan ku omas deung payung saberilen
beunang ngagaler ku lungsir tapok terong emas keloh gelewer paranjang papan kikiceup deungeun lilieuk deg semut sama sadulur petana tataman indah
Bur kadi kuta manglayang Lumenggang di awang-awang Juru kendi tipandeuri
Juru kandaga tiheula

Deung sawung galing kiwa tengen Di tengah kidang kancana
Saha nu di singa barong Bur tiheula ler pandeuri Satangganan lain deui
Itulah tembang-tembang prepantun dalam memberitahukan kepindahan iring-iringan rombongan Sri Baduga Maharaja bersama para istri daridayo (kota) lama Galuh (Ciamis) kedayo baru Pakuan (Bogor) pada tahun 1482 Masehi, atau 30 tahun silam sebelum hari ini.

Barangkali iring-iringan perjalanan Sri Baduga Maharaja dari galuh ke Pakuan yang terbesar, tapi iring-iringan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan yang juga disebut Sang Prabu Dewata Buana adalah yang termegah kendati hanya melakukan iring-iringan dari istana menuju alunalun benteng luar di tepi Sungai Cisadane ini.

Semua ambarahayat diperintahkan untuk berdiri kembali oleh teriakan dan aba-aba seorang prajurit yang berdiri di tepibalandongan atau panggung. Dan mendengar aba-aba ini, serentak semua orang berdiri. Ginggi pun berdiri dan tatapannya langsung ke arahbalandongan .
Empatpuluh gadis cantik nampak berjejer di depanbalandongan , dan menaburkan bunga warna-warni kepada seseorang yang duduknya terpisah di sebuah singgasana kayu mengkilap. Ginggi berdiri tidak terlalu depan, tapi juga tidak terlalu jauh, sehingga sanggup menyaksikan orang yang duduk di singgasana itu. Ginggi hampir-hampir tak sanggup menatap lama kepada orang itu. Barangkali karena Ginggi sadar bahwa yang ditatapnya adalah seorang raja dari kerajaan yang pernah mengalami zaman keemasan puluhan tahun silam. Atau, barangkali memang benar orang itu amat berwibawa.

Sang Raja duduk tegap dengan anggunnya. Usianya sekitar empatpuluh tahunan, tapi begitu nampak muda. Kulit wajahnya nampak putih halus dan seperti bercahaya. Matanya bening dengan sorot tajam penuh keyakinan. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis, lebih tampan lagi karena dihiasi kumis tipis. Di atas kepalanya terpasang mahkota yang dihiasi emas murni. Sepasang telinganya dihiasisusumping juga mengkilap kuning karena terbuat dari logam emas. Itulah mungkinMakuta Binokasih Sanghyang Pake ( kini disimpan di Museum Geusan Ulun, Sumedang), mahkota Raja Pajajaran yang dibuat Oleh Prabu Bunisora untuk digunakan Raja Pajajaran pertama, yaitu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 Masehi) dan kemudian secara turun-temurun dipakai oleh raja-raja seterusnya (hingga Prabu Geusan Ulun, Raja Kerajaan Sumedanglarang, sesudah Pajajaran hancur).

Sang Prabu memakai baju kurung tipis dari kain sutra warna kuning muda tanpa lengan. Namun sepasang tangannya dihiasi gelang-gelang emas, baik gelang untuk pergelangan atau tangan di dekat bahu. Leher Sang Prabu pun dihiasi kalung emas susun tiga membentuk daun dan kembang.

"Hhm … gagah benar Sang Susuhunan," lelaki setengah baya yang berdiri di samping Ginggi berdecak kagum, "Lihatlah anak muda, beliau menggunakanMakuta Emasbinokasih Sanghiang Pake , yang dulu dipergunakan Sang Susuhunan Sri Baduga Maharaja, atau bergelar Sang Ratu Jaya Dewata, atau lebih harum lagi disebut sebagai Prabu Siliwangi.
Lihatlah pulabenten emas yang membelit pinggangnya, ataupunsusumping garuda mungkur yang terpasang di kedua telinga Sang Prabu. Oh, serasa aku kembali ke zaman kebesaran Pakuan ketika Sang Susuhunan Sri Baduga Maharaja masih ada," gumam lelaki setengah baya ini. Ginggi menoleh, ternyata ada genangan airmata meleleh di sepasang pipinya lelaki itu.

Hanya sebentar saja Ginggi mencari makna dari ucapan ambarahayat ini sebab dari tepibalandongan ada terdengar lagi teriakan prajurit yang menyuruh semua orang diam dan menundukkan kepala. Semua orang tertunduk dan suasana kembali hening. Di tengah hening ini terdengar lantunan doa-doa yang rupanya diucapkan seorangwiku (pendeta). Dengan nadanada bergetar meraga sukma, sang wiku membaca doa berpanjang-panjang. Dia berdoa semoga Pakuan beserta Pajajaran tetap berdiri dengan kokoh sentosa, raja bahagia dan rakyat sejahtera. Bagaimana agar kesejahteraan bisa terangkum secara lahir batin, maka sang wiku memberi petuah:

Suku milang awak urang lamun salah langkah
eta matak urang papa leungeun lamun salah cokot eta matak urang papa ceuli lamun salah denge eta matak urang papa panon lamun salah jeueung eta matak urang papa
irung lamun salah ambeu eta matak urang papa
"Jangan terlalu lama berhenti, agar tidak terlanjur, agar tidak terpengaruh penglihatan, agar tidak terpengaruh oleh pendengaran, ujar-ujar jangan khilaf, ingat-ingat jangan lupa," ujar sang wiku.

Selanjutnya sang wiku kembali berdoa untuk kesejahteraan Pajajaran beserta seluruh penghuninya :

Hati tiba tak diajak

Hati datang tak diundang Yang setia selalu berhasil Suka tanpa mengenal duka Kenyang tanpa mengenal lapar Hidup tanpa mengenal maut Bahagia tanpa mengenal papa Baik tanpa mengenal buruk
Pasti tanpa mengenal kebetulan Moksa, lepas
Tanpa mengenal ulangan hidup

"Itulahpurohita (pendeta tinggi negara) Ki Raga Suci. Dia sudah menjadi purohita Pakuan sejak zaman Sang Susuhunan Sri Baduga Maharaja," tutur lelaki setengah baya di samping Ginggi.

Ginggi tak sempat mengiyakan omongan orang itu, sebab tiba-tiba semua ambarahayat berteriak gemuruh. Semuanya mengucapkan selamat pada Raja. Panjang umur dan hidup sejahtera! Sang Susuhunan Prabu Sakti Sang Mangabatan berdiri sejenak, melambai-lambaikan tangan ke segala penjuru dengan senyum dan mata berbinar terang.

Masih terus melambaikan tangan dan sepasang matanya mengerling kesana-kemari sebab gemuruh ambarahayat belum juga reda.

PurohitaKi Raga Suci mengangkat tangan memberi aba-aba agar ambarahayat berhenti dan memberikan kesempatan kepada Raja untuk berbicara. Dan semu orang yang ada di seputar alun-alun mendadak diam seperti kenasirep . Ribuan ambarahayat menyorotkan mata tanpa berkedip ke arahbalandongan di mana Sang Prabu berdiri.

"Tak ada masa sekarang bila tak ada masa lalu. Namun juga masa lalu bisa berlanjut karena ketegaran masa sekarang," ujar Sang Prabu dengan suara halus namun mengandung wibawa yang tinggi.

"Puluhan tahun Kerajaan Pajajaran berdiri, bahkan ratusan tahun Kerajaan Sunda ini tetap utuh. Kita tetap kokoh, kita tetap berdiri dan sanggup bertahan dari gangguan musuh karena setiap generasi yang diberi tanggung jawab untuk mempertahankan negri sanggup menjaga dengan baik. Pajajaran tetap ada karena selalu memiliki raja yang kuat dan rakyat yang setia. Oleh sebab itu, aku sebagai Susuhunan Pakuan, tetap menyuruh kalian ambarahayat, agar selalu setia kepadaku. Kesetiaanmu padaku, hanya berarti kalian mempertahankan keberadaan Pajajaran," ujar Sang Prabu.

Ambarahayat masih diam terpana mendengarkan ujar-ujar Sang Prabu Ratu Sakti.

"Pajajaran masih tetap besar. Tapi Pajajaran juga tengah prihatin. Wilayah kekuasaan kita sekarang tidak seutuh masa-masa lalu. Wilayah Pajajaran di pantai utara dan barat telah direbut musuh, sehingga perdagangan kita terganggu dan penghasilan negri berkurang. Musuh bisa merebut wilayaah kita satu-persatu barangkali karena mereka kuat, tapi juga bisa berarti karena tidak semua ambarahayat bersetia penuh kepada negara. Aku dengar di wilayah timur beberapa negri kecil yang dulu ada di bawah Pakuan sudah berpaling kepada kekuatan agama baru. Mereka sudah tidak membayarseba ke Pakuan. Dengan demikian penghasilan negara semakin kecil jua. Itulah sebabnya, semua ambarahayat harus semakin setia terhadap Pakuan. Aku selalu memerintahkanmuhara untuk terus meningkatkan hasil seba dari kalian karena keadaan yang kian mendesak ini. Kalau kalian tak mengeluh olehseba yang ditarik semakin tinggi olehmuhara , maka kalian akan menjadi ambarahayat yang berarti sebab telah berkorban demi kebesaran Pajajaran!" kata Sang Prabu dengan suara yang ditinggikan.

Ambarahayat masih tetap diam. Ginggi melirik ke samping, lelaki setengah baya nampak menunduk sambil berpangku tangan.

"Kita akan tetap berusaha mempertahankan kebesaran Pajajaran. Pakuan akan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya di wilayah timur Sungai Citarum. Beberapa daerah Kandagalante yang ada di timur sudah aku setujui untuk menambah kekuatan prajurit dan jagabaya. Itu untuk menjaga rongrongan dari kekuasaan Demak dan Cirebon. Pembentukan kekuatan di wilayah-wilayah timur akan semakin ditingkatkan sebab barangkali kelak bukan sekadar bertahan saja tapi pun akan berusaha mengembalikan hak-hak kita yang telah hilang," seru Sang Prabu. "Sekarang Pajajaran memiliki seratus ribu prajurit dan seribu orang perwira pengawal raja. Jumlah prajurit akan selalu ditingkatkan dan seribu perwira pengawal raja harus selalu memiliki cadangan. Dan hari ini saatnya menguji ketrampilan. Akan ada ujian tingakat bagi prajurit-prajurit pandai. Bila benar-benar ketangguhan dan kemampuannya meningkat dan lulus dalam ujian, maka prajurit itu akan diangkat menjadi perwira kerajaan!" ujar Sang Prabu.

Terdengar sorak-sorai di kiri kanan alun-alun karena ratusan prajurit berteriak-teriak sambil menacung-acungkan senjatanya masing-masing.

"Juga akan ada ujian ketangkasan bagi ambarahayat yang akan menyediakan dirinya menjadi prajurit Pakuan!" kata pula Sang Prabu.

Kini sorak-sorai terdengar lebih membahana sebab keluar dari mulut ambarahayat yang jumlahnya ribuan di seputar alun-alun itu.

"Nanti para senapati dan perwira yang akan mengatur tata-cara uji ketangkasan ini," kata Sang Prabu mengakhiri pidatonya. Beliau kembali melambai-lambaikan tangan dan disambut gemuruh tepukan ambarahayat.

Sang Prabu kembali duduk di singgasana yang diikuti oleh suara tetabuhan bertalu-talu dengan irama penuh semangat.

Berbareng dengan itu, dari bawahbalandongan berturut-turut naik para wanita yang berpakaian indah-indah dengan wajah molek-molek. Mereka duduk berjajar rapi tepat di belakang Sang Prabu.

"Paman , banyak wanita cantik berderet di belakang Sang Prabu, siapakah mereka?" tanya Ginggi menatap tak habis-habisnya kepada deretan wanita jelita itu.

"Itulah para bidadari, putri-putri istana penghuni Taman Mila Kancana, berselampai sutra Cina, beramben corak manikam dan bersanggul penggetar cinta!" kata lelaki setengah baya itu. Ginggi mengangguk dan amat setuju dengan ungkapan indah penduduk Pakuan ini.

Apalagi di saat gemerlap dengan segala kebesarannya, sedangkan di hari-hari kelabu, ambarahayat Pajajaran selalu memuji-muji eloknya penghuni Pakuan.

Ginggi sejak tadi hanya memperhatikan ke arah balandongan saja di mana Sang Prabu beserta para putri cantik berada. Padahal di kiri kanan balandongan masih terdapat panggungpanggung bertenda yang banyak digunakan orang untuk duduk berderet. Dan Ginggi tersentak kaget sebab di antara deretan orang, terdapat beberapa orang yang dikenalnya dengan baik.

Di sana ada Ki Banaspati. Dia menggunakan pakaiansenting (bedahan lima) terbuat dari kain beludru hitam. Kepalanya ditutup bendo dari kain batik corak alas-alasan.

Tidak bersua hampir sepuluh bulan lamanya, tidak ada perubahan di wajah Ki Banaspati. Tubuhnya masih tetap tegap dan dadanya bidang. Alis matanya kini agak tebal hitam. Ki Banaspati duduk sejajar dengan para hadirin lainnya. Dan melihat penampilan dan jenis pakaian yang digunakannya mereka, semuanya pasti terdiri dari kaum bangsawan dan pejabat semata.

Ketika mata Ginggi mengarah ke jajaran paling pinggir, pemuda itu kembali terkejut. Bagaimana tak begitu, sebab di sana duduk seorang pemuda anggun. Sama menggunakan pakaiansenting beludru hitam, tapi menggunakan bendo yang di depannya dipasang ornamen warna emas. Pemuda berkulit putih dengan hidung mancung tapi kalau ketawa selalu mengatupkan bibirnya, siapa lagi kalau bukan Suji Angkara?

Ginggi bingung, ada Ki Banaspati, ada Suji Angkara. Mereka duduk sejajar di panggung kehormatan bersama para pejabat negara lainnya, padahal keduanya jelas bermusuhan setelah peristiwa di wilayah Sagaraherang itu.

Bagaimana bisa mereka kini sama-sama berada di sana? Ginggi teringat, sebetulnya sepuluh bulan lalu dia diperintah Ki Banaspati untuk mengejar dan membunuh Suji Angkara. Hingga kedua orang itu bertemu di Pakuan, Ginggi tak pernah melaksanakan perintah Ki Banaspati. Marahkah Ki Banaspati bila kelak bertemu lagi dengannya?

Ginggi mundur beberapa tindak dan mencari tempat berdiri di belakang kerumunan orang banyak.

Sekarang juru bicara acara mengumumkan, bahwa sebelum diadakan uji ketrampilan, akan diawali dulu dengan latihan perang-perangan dengan menampilkan kebolehan siasat pertempuran yang jadi kebanggaan Pajajaran dan Kerajaan Sunda sejak ratusan tahun yang silam. Akan dilakukan oleh seribu perwira pengawal raja dan dibantu pasukan prajurit.

Penonton berteriak riuh. Beberapa di antaranya bersuit-suit nyaring saking gembiranya diberi suguhan demonstrasi perang-perangan ini.

Ginggi pernah menerima penjelasan dari Ki Rangga Guna bahwa Pajajaran secara turuntemurun memiliki duabelas ilmu siasat perang, yaituMakara-Bihwa, Lisang-Bihwa, CakraBihwa, Suci-Muka, Bajra-Panjara, Asu-Maliput, Merak-Simpir, Gagak-Sangkur, Luwakaturun, Kidang-Sumeka, Babah-Buhaya danNgaliga-anik.

Menurut juru bicara, pasukan akan menampilkan siasat bertempur yang amat terkenal yang diberi nama Merak-Simpir.

Suara gamelan bertalu-talu. Penabuh gendang dan gambang demikian semangat menabuh alat musiknya. Pemegang gong dan kempul, kendati menabuh alatnya tak sesering gendang dan gambang, tapi setiap kali melakukan tugas bagiannya, mereka memukul alat yang dipegangnya dengan mantap dan pasti sehingga menjadi pelengkap pembawa semangat.

Siapa Melukai Ki Banen?

Ketika suara gamelan bertalu-talu itulah keluar sebuah barisan berseragam lengkap turun ke lapangan alun-alun yang diringi tempik sorak penonton. Pasukan yang turun, membentuk dua kelompok yang seolah-olah saling bermusuhan. Satu pasukan dengan jumlah lebih besar terdiri dari ratusan prajurit. Mereka semua bertelanjang dada, kecuali sepasang tangan bergelang tulang hitam, begitu pun lehernya berkalung tulang. Semua bercelanasontog hitam dengan ornamen perak di ujung bagian kakinya. Rambutnya panjang-panjang tapi digelung rapih ke atas. Mereka bersenjata tombak dan pedang di tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri.

Di lain fihak, pasukan yang menjadi lawannya berpakaian lebih gagah lagi. Jumlahnya masih ratusan tapi di bawah jumlah lawannya. Mereka menggunakanbaju zirah (baju terbuat dari sisik-sisik logam yang tak tembus senjata tajam) yang dilapisi rompi beludru hitam berornamen gemerlap. Celana sontog hitamnya sedikit tertutup kain batik kebat yang dikenakan terlipat dan ujungnya menggapuy di depan seperti yang biasa digunakan oleh para ksatria. Mereka bersiap tanpa menggunakan senjata apa pun.

Melihat penampilan mereka, kendati jumlahnya tak persis seribu, tapi Ginggi yakin, inilah pasukan seribu perwira pengawal raja.

Sekarang dua pasukan sudah saling berhadapan. Satu di ujung alun-alun sebelah kiri panggung, satunya lagi di ujung kanan.

"Merak-simpir!!" teriak perwira kepala. Maka secepat kilat pasukan pengawal membentuk formasi. Formasi ini membentuk ekor burung merak yang tengah membeber. Pasukan paling depan terdiri perwira berjejer sepuluh orang. Namun barisan ini terus berlapis-lapis dengan jumlah berlipat. Pada lapis bagian kedua, jumlahnya ada duapuluh orang. Lapisan ketiga tambah lagi menjadi tigapuluh orang berjajar. Begitu seterusnya hingga barisan atau lapisan paling akhir, jumlah pasukan ada sekitar enampuluh perwira berjajar rapi ke samping.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar