Senja Jatuh di Pajajaran Jilid 01

Jilid 01  

Suara tepukan itu iramanya terdengar beraturan. Dan yang lebih khas dari itu, keras menyakitkan karena tepukannya dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat.

Suara itu terus menggema ke segala arah. Dan untuk yang kesekian kalinya, terlihat burungburung beterbangan dari dahan-dahan pohon pinus karena kaget.

Namun manakala ribuan kelelawar melintas di goresan-goresan merah lembayung di ufuk barat, suara tepukan segera berhenti.

"Lanjutkan, Ginggi!" teriak satu suara yang berat.

"Tapi, kelelawar sudah mulai meninggalkan sarang, Aki," jawab suara lainnya agak tinggi melengking.

"Aku katakan, lanjutkan tugasmu, Ginggi!" yang bersuara berat terdengar membentak dan suaranya seperti memukul gendang telinga yang mendengar.

Namun suara tepukan belum terdengar juga.

"Aki, lihatlah! Kedua belah tanganku sudah pecah kulitnya dan ada darah keluar dari lubang pori-porinya. Pedih dan menyakitkan. Tidakkah ini menyiksa diriku?" keluh si suara kecil melengking dengan nada jengkel. Namun dijawab juga oleh suara nada berat tak lebih jengkelnya, "Penderitaanmu dalam melaksanakan tugas latihan ini tidak separah rakyat Pajajaran, Ginggi. Hancur kulit telapak tangan tak seberapa sebab dalam sehari dua hari akan sembuh dengan sendirinya. Tapi hancur hati dan perasaan tak mungkin terobati sampai akhir hayat," kata si suara berat.

Hening sejenak. Terkecuali ada bunyi serangga yang terdengar dari kejauhan. Mungkin datang dari gundukan hutan pinus yang kini mulai dipeluk kabut tipis.

Udara semakin dingin manakala kabut senja jatuh semakin menebal. Namun dua orang aneh yang asyik berdebat itu masih jua tak beranjak. Keduanya bahkan sedang melakukan gerakangerakan aneh di bawah lembah memanjang, sebuah tempat yang paling dingin di puncak gunung, karena tempat itu jadi pusat perjalanan angin. Kedua orang itu mengambil tempat di sela-sela beberapa pohon loa yang besar dan berjanggut. Yang satu duduk bersila dengan punggung tegak serta dada membusung. Usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Ada kumis tebal dan jenggot menggapuy hingga sebatas dada dan semuanya berwarna putih keperak-perakan. Kepalanya diikat kain pengikat berwarna nila namun tak sanggup menyembunyikan rambutnya yang lebat riap-riapan. Kalau lembayung tak begitu tipis, mungkin akan merupakan paduan indah serasi bila warna emas lembayung itu sanggup menerpa warna perak rambut orang tua itu.

Ini sebuah pemandangan aneh. Di senja bercuaca dingin seperti itu, di mana kabut mulai menggayut, tapi dada bidang lelaki itu penuh bersimbah keringat.

Dan yang tak kalah anehnya adalah pelaku satunya lagi.

Lelaki ini usianya jauh lebih muda lagi, barangkali sekitar 15 atau 16 tahunan. Kendati rambutnya sama panjang dan sama tergerai, namun rambut pemuda ini nampak hitam legam dan tebal. Ada sedikit keriting di ujung-ujungnya.

Dia pun sama tak berbaju, kecuali celanapangsi , yaitu celana panjang sebatas betis berwarna nila.

Karena tak berbaju pula, maka nampak dadanya yang bidang pula. Ada tonjolan otot di sepasang lengannya.

Pemuda itu nampak lugu. Wajahnya hampir bulat telur, hidungnya sedikit mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Dan yang paling menonjol dari semuanya, sepasang matanya berbinar bulat.

Rambutnya yang subur hitam nampak tergerai menyapu tanah. Begitu panjangkah hingga sanggup menyapu tanah?

Ouw, ternyata bukan rambut itu yang terlalu panjang. Bisa tergerai menyapu tanah lantaran tubuh pemuda itu posisinya dalam keadaan tak normal.

Anak muda ini ternyata tengah melakukan atraksi. Seraya sepasang telapak tangannya masih bertepuk-tepuk lambat dengan pengerahan tenaga dalam, kaki-kakinya nampak tengah bergayut di dahan pohon loa.

Kalau bertapa dengan kedudukan tubuh terbalik, maka orang Pajajaran bilang itu adalahtapa sungsang . Tapi anak muda itu sebetulnya bukan tapa sungsang, melainkan tengah berlatih ilmu kedigjayaan.

"Aku tidak bilang bahwa kesengsaraanku lebih tinggi dari rakyat Pajajaran. Yang aku perbincangkan adalah soal janji Ki Darma sendiri," gumam anak muda itu masih bergayut.

"Aku memang senang berjanji tapi rasa-rasanya tak ada janji yang tak aku tepati," jawab si lelaki tua.

"Coba, janji apa yang aku langgar, Ginggi?" "Tadi dinihari Aki bilang bahwa latihanku hanya akan berlangsung dari mulai kelelawar pulang sarang hingga mereka kembali ke luar sarang. Nah, sekarang lihatlah di atas awan lembayung, bukankah kelelawar mulai keluar sarang?" tanya anak muda yang ternyata bernama Ginggi itu.

Lelaki tua yang disebutnya Ki Darma itu tertawa terkekeh-kekeh.

"Memang itu yang aku katakan sejak tiga hari yang lalu," jawabnya."Jadi, apanya yang salah?"

"Sekarang, kelelawar mulai keluar sarang!" Ginggi menatap gurunya dengan wajah terbalik. "Memang mulai keluar sarang."
"Ya, tapi mengapa aku disuruh latihan terus!" "Ya harus, sebab kelelawar mulai keluar sarang!"
"Aki licik!" "Kugampar mulutmu bila sekali lagi kau bilang aku licik!" Ki Darma nampak mengangkat tangan seolah mau menampar mulut muridnya.

"Coba kau sebutkan, omonganku yang mana yang kau anggap licik!" tanya Ki Darma lagi. Tangannya tetap mau menggampar mulut Ginggi.

"Baru mulai, tolol! Kan aku bilang, latihan berhenti kalau kelelawar baru keluar dari sarang. Sekarang memang baru mulai!" Ki Darma membentak marah.

"Maksudmu, semua kelelawar mesti keluar dulu?" "Begitulah!"
"Waduh, mati aku! Jadi sampai kapan latihan ini bisa selesai? Lihatlah Aki, bukan lagi ribuan, bahkan puluhan ribu kelelawar sudah keluar dari sarang. Bila harus menunggu kelelawar paling akhir, kapan selesainya?" Ginggi garuk-garuk kepala.

"Tidak musti menunggu semua habis keluar. Satu kelelawar yang datang di rombongan paling belakang, itulah sasaranmu."

"Apa yang harus aku lakukan ?" "Timpuklah dengan buah loa." "Dan musti kena?"
"Dan musti kena!" "Celaka!"
"Dasar anak malas! Tolol kamu!" lagi-lagi Ki Darma membentak. Untuk kesekian kalinya, Ginggi menepuk-nepuk sepasang telapak tangannya, seolah tak mau mentaati apa perintah gurunya. Namun manakala datang lagi serombongan kelelawar di angkasa, sepasang kakinya yang menggayut di dahan pohon loa segera dilepas. Serentak dengan itu dia jumpalitan. Ketika sepasang kakinya menjejak tanah, ujungnya dia hentakan pada tonjolan batu. Maka tubuhnya mumbul lagi ke udara. Dia jumpalitan lagi. Pas tangannya berada di dahan pohon, dia petik satu buah loa. Dan serentak dengan itu dia timpukkan ke udara.

Siuuuut! Plass!

Terdengar suara elahan napas kecewa dari Ki Darma. Ginggi pun menoleh pada gurunya dengan nada kecewa.

"Tapi sedikit lagi hampir kena, Ki …" gumam Ginggi seperti ingin menghibur, entah menghibur siapa. Yang jelas, Ki Darma sudah melengos pergi dan berlari-lari kecil meninggalkan Ginggi dengan cara berloncatan pada tonjolan-tonjolan batu. Ki Darma menaiki lembah dengan cara seperti itu.

Ginggi pun segera mengikutinya namun dengan cara merayap biasa saja. Dan dengan susahpayah, baru bisa menaiki tebing untuk meninggalkan lembah.

"Kalau senja tak semakin meremang, aku yakin, kelelawar itu bisa aku timpuk …" gumam Ginggi seorang diri ketika sudah berada di belakang tubuh Ki Darma.

"Tapi mataku tak pernah terpengaruh siang dan malam. Yang menentukan ke mana harus menyerang adalah kepastian di mana sasaran berada," kata Ki Darma.

"Tapi, Aki…"

"Ya, karena kau tolol tak sanggup menangkap gerakan kelelawar itu!" potong Ki Darma tak mau memberi peluang Ginggi untuk mengemukakan alasan.

"Aku akan sungguh-sungguh berlatih, Ki …"

"Bukan berlatih tapi bertugas. Latihan itu hanya bagian penting dari tugas besarmu!" "Baik, Ki."
"Nanti lewat tengah malam, aku akan bunyikn kentongan selama sepemakan sirih. Sesudah itu aku akan ciptakan suasana sunyi sepemakan sirih pula. Kau musti bisa menulikan telinga di saat ada suara namun juga musti bisa menemukan suara sekecil dan sehalus apa pun di saat sunyi."

"Baik, Ki…"

"Latihan itu akan berlangsung empat-puluh malam lamanya." "Ba…baik, Aki …" kata Ginggi kembali melangkah.
"Diam dulu." "Ya. Aki…"

"Setamat latihan ini kau akan merangkak ke tahap selanjutnya." "Apakah itu, Aki?"
"Kau musti bersila di sebuah ruangan tertutup tak ada cahaya, kecuali cahaya lantera." "Baik, Aki."
"Dan latihan empat puluh malam empat puluh hari!"

"Ba…baik, Aki…" Ginggi menghela napas pelan namun tertangkap oleh telinga gurunya. "Kau mengeluh?"
"Tidak, Aki…"

"Bohong bukan sikapmu. Kalau kau mengeluh, mengeluh kalau kau tidak, tidak." "Aku mengeluh, Aki."
"Lantas, bagaimana tentang latihan ini?" Ki Darma menoleh ke belakang. "Mengeluh bukan berarti tak akan melaksanakan tugas, Ki…" sahut Ginggi. "Tapi akan lebih baik melakukan tugas tanpa keluhan," potong gurunya.
Ginggi mengangguk.

***

Hari semakin kelam. Dan ketika kedua guru dan murid memasuki hutan pinus, suasana sudah benar-benar gelap. Tapi tubuh Ki Darma dengan lincahnya berjalan menyusuri jalan setapak sepertinya di tempat itu diterangi cahaya. Padahal jangankan bisa melihat sekeliling, hanya untuk melihat jari sendiri saja di depan mata, tak mungkin bisa terlihat.

Walau gelap begini, Ginggi pun bisa mengimbangi langkah gurunya. Hanya saja, dia pun bisa melangkah bukan karena punya kemampuan melihat dalam gelap seperti gurunya, melainkan karena naluri saja. Setiap malam dia diajak menyusuri jalan setapak ini di gelap malam dan Ginggi akhirnya jadi hafal betul. Bahwa kendati gelap, dia bisa menduga, sebentar lagi jalan setapak ini akan berkelok dan menaik menuju puncak gunung.

Tiba di punggung puncak, di mana ada sebuh bayangan bangunan gubuk, Ginggi mendahului gurunya dan meloncat ke bale-bale. Tiba di sana langsung menjatuhkan tubuhnya.

"Ambil air!" dengus gurunya. Ginggi masuk ke dalam gubuk. Keluar lagi sudah menenteng tempat air dari buah kukuk kering. Tanpa lirik kiri-kanan pemuda itu sudah menotor lubang kukuk. Glek,glek,glek bunyinya.

"Sialan!" gerutu gurunya.

Mendengar gerutu gurunya ini, Ginggi menyadari kekeliruannya.

"Minumlah, Ki, airnya masih bersisa…" Ginggi menyodorkan kukuk. Tapi gurunya melengos marah.

Namun ketika Ginggi hendak menegak lagi, Ki Darma segera merebutnya. "Sini!"
Dan Ki Darma mencoba menenteng kukuk ke atas mulutnya. Namun baru beberapa saat, air di dalam kukuk sudah kering. Digoyang-goyang beberapa kali, air tak mau keluar.

"Biar aku ambilkan di tempayan…" Ginggi mencoba bergegas. "Tak perlu."
"Kalau begitu, apa yang mesti aku kerjakan untuk Aki?" Ginggi berusaha menghibur. "Bertugas kembali!"
"Walah aku musti latihan lagi" Dan Ki Darma mengangguk. Dia segera duduk di bale-bale. Tegak, mematung.
Ginggi berdiri juga tegak mematung. Hanya sepasang tangannya bersilang di dada. Diterpa angin malam, rambutnya riap-riapan.

"Aku capek sekali, Ki…" katanya dingin.

"Tidak akan secapek rakyat Pajajaran menyimak tindakan rajanya …" gumam Ki Darma.

Ginggi akhirnya menghela napas. Dia pun ikut duduk bersila, berhadap-hadapan dengan gurunya.

"Setiap Aki menugasiku latihan, selalu saja bicara perihal Raja Pajajaran. Apa yang sebetulnya tengah terjadi dengannya, Ki?" Ginggi menyeka keringat di wajahnya dengan punggung tangannya.

Berbarengan dengan hembusan angin malam, Ki Darma pun menghela napas panjang. "Coba kau nyalakan pelita di tengah ruangan," gumam Ki Darma dengan nada datar.

Ginggi berjingkat untuk menyalakan pelita yang minyaknya diambil dari gajih kelelawar serta sumbunya dari serat nenas hutan.

Terlihat percikan api manakala sepasang batu sekepalan tangan saling dibenturkan. Percikan api itu ditampung oleh rambut-ramput pohon enau.

Remang-remang saja api pelita itu namun cukup untuk menerangi ruangan tengah gubuk. Kedua orang itu kembali duduk bersila saling berhadapan.
"Usiamu sudah dewasa. Sejak kau kupungut di jalanan Wilayah Caringin belasan tahun silam, waktu sudah terpaut 10 tahun lamanya. Itu cukup pantas untuk mengukir sejarah hidupmu," tutur Ki Darma.

Ginggi mengerutkan dahi. Bagian dari latihankah penuturan ini?

"Kerapkali Aki selalu mengatakan hal ini. Apakah benar-benar terjadi? Yang aku ingin percayai, bahwa Aki ini adalah orangtuaku sendiri," tutur Ginggi.

"Dasar anak gendeng. Tapi itu juga bagus. Hanya percaya kepada sesuatu yang sudah terbukti kebenarannya memang wajar," tutur Ki Darma tersenyum.

Ginggi masih tetap bersila.

"Nanti kau akan tahu, siapa dirimu sebenarnya bila kelak kau datangi jalan berlumpur di wilayah Caringin. Carilah sebuah tempat di mana dulu pernah terjadi pertempuran kecil tapi sempat memakan korban jiwa," kata Ki Darma kemudian.

Ada kerutan di dahi, menandakan Ginggi tertegun mendengar berita ini. Melihat roman wajah Ginggi, Ki Darma terkekeh-kekeh.
Ginggi menatap gurunya.

"Tapi kalau aku hanya seorang anak kecil yang ditemukan di kubangan lumpur dan Aki tak tahu siapa kedua orang tuaku, lantas bagaimana mungkin Aki tahu namaku. Siapa sih yang memberiku nama Ginggi?" tanya anak muda itu kemudian.

"Aku yang memberimu nama."

"Aku pernah berbincang dengan penduduk di kaki gunung. Katanya Ginggi artinya jin atau iblis, yah sebangsa duruwiksa pembuat kejahatan. mengapa sih, Aki tega memberiku nama jelek seperti itu?"

"Hahaha! Betul sekali, Ginggi adalah siluman yang akrab dengan berbagai kejahatan!" "Senangkah aku berbuat jahat?" "Kau tanyakan sendiri pada dirimu. Sebab pada dasarnya, manusia itu hidup dibekali berbagai pilihan. Apakah kau memilih yang baik atau sebaliknya, bergantung pada pilihanmu itu. Aku pilih Ginggi sebab dunia ini tengah dipenuhi duruwiksa jahat. Manusia jadi pemakan manusia yang lainnya. Ginggi lahir di saat iri dan dengki, aniaya serta fitnah merajalela di bumi Pajajaran. Nama Ginggi akan selalu mengingatkanmu kelak, apakah akan sekalian kau ikut pula terperosok ke dalamnya ataukah akan menjadi pemberantasnya," kata Ki Darma panjanglebar.

"Duruwiksa? Begitu kelamkah bumi Pajajaran sehingga disenangi kaum duruwiksa?" gumam Ginggi.

Ki Darma hanya tersenyum kecut.

"Hidup memang bagaikan berputarnya roda pedati. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Pajajaran sekarang sedang berada pada bagian paling bawah. Sejak Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja tidak lagi memerintah Pajajaran, hampir tak ada kebanggaan yang kita miliki lagi. Ginggi, hanya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja yang kebesarannya bisa disejajarkan dengan eyang-buyutnya, Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Hanya Sri Baduga yang bisa memimpin negara dengan penuh kebijaksanaan. Selama 39 tahun memimpin negri, beliau telah sanggup mensejahterakan rakyat, juga mensejahterakan negri-negri lain. Beliau sanggup memantapkan kehidupan keagamaan padahal di tanah negara ini tengah berlangsung pergeseran kepercayaan. Hanya beliau yang telah sanggup membangun angkatan perang padahal tak pernah berlangsung peperangan. Kendati hubungan dengan Cirebon telah retak, namun dengan mereka tak pernah berlangsung pertempuran. Prabu Sri Baduga Maharaja adalah raja dari semua raja, harum namanya sehingga beliau pun dijuluki Prabu Siliwangi," kata Ki Darma, matanya menerawang ke kejauhan.

"Menurunkah keelokan Kerajaan Pajajaran sesudah Sri Baduga tak berkuasa lagi?" tanya Ginggi penasaran.

"Tidak benar-benar tergelincir. Tapi penggantinya tak mampu mensejajarkan diri dengan pendahulunya."

"Siapakah penggantinya, Aki?"

"Dialah Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja." "Bagaimana cara dia memerintah?"
"Sebenarnya dia baik, hanya sayang ambisinya tak tertahan. Dia penuh ambisi, selalu mempertahankan kehormatan dengan jalan kekerasan. Kau bayangkan Ginggi, selama 14 tahun memerintah, dia memimpin peperangan sebanyak 15 kali. Pertikaian dengan Demak, Banten dan Cirebon tak terelakan. Peperangan pun berlangsung."

"Unggulkah Pajajaran?"

Ditanya seperti ini, Ki Darma nampak mengeluh. Tapi keluhnya tertahan di kerongkongan. Menyakitkan. "Permusuhan dengan Banten, Demak dan Cirebon, membuat kesedihan buat semua orang Pajajaran. Pelabuhan penting tempat perniagaan orang Pajajaran lepas sesudah Banten memisahkan diri. Pajajaran kehilangan Pelabuhan Pontang dan Cibanten. Setahun kemudian,a Pelabuhan Sunda Kalapa pun jatuh direbutnya. Semua wilayah pesisir utara bahkan dikuasai Cirebon, sehingga mulai saat itu, Pajajaran tak lagi menguasai lautan. Sunda bukan negara lautan lagi. Rakyat mencari penghidupan jauh di pedalaman dan hanya menjadi pehuma dan peladang," tutur Ki Darma.

"Apakah kemudian Pajajaran menjadi hancur?"

"Tidak benar-benar hancur. Sebab meski sudah ada kelompok pengkhianat di tubuh Pajajaran, namun masih lebih banyak lagi para ksatria Pajajaran yang berani bertahan demi keutuhan negri. Sang Surawisesa yang putus asa digantikan oleh putranya, yaitu Prabu Ratu Dewata."

"Bagaimana dengan yang lain?" Ki Darma terkekeh masam.
"Entahlah. Aku sendiri bingung menyimak kehidupan ini. Usiaku 15 tahun ketika Sang Prabu Sri Baduga Maharajadiwastu (dilantik) di atas batu keramatSriman Sriwacana Palangka Raja . Aku pun menyaksikan sendiri berbagai perubahan di bumi Pajajaran, sejalan dengan berbagai macam perubahan kebijaksanaan dari para pemimpinnya. Surawisesa pandai berperang, digjaya dan penuh semangat. Namun di bawah kepemimpinannya rakyat menderita karena perang amat berkepanjangan. Limabelas kali peperangan, mengakibatkan banyak anak kehilangan ayah, istri kehilangan suami dan pehuma melepaskan pekerjaannya. Dan penggantinya, Sang Ratu Dewata, malah kebalikannya. Dia tak menyukai bentuk-bentuk kewiraan. Hanya agama dan filsapat saja yang diurusnya. Dia senang tapabrata dan membesarkan kehidupan keagamaan. Sarana agama berdiri di mana-mana tapi kesejahteraan lahiriah rakyatnya sendiri tak diperhatikan. Dia membutakan diri terhadap kehidupan lahiriah termasuk membutakan diri terhadap kehidupan bernegara. Karena kehidupan negara tak tersentuh, maka rakyat jadi terlantar. Pergeseran kehidupan karena hadirnya agama baru bernama Islam, jadi sumber malapetaka di Pajajaran. Dalam upaya menahan kehadiran agama baru, Sang Prabu malah memperkuat agamaKaruhun (nenekmoyang). Dan kebijakan ini malah menimbulkan berbagai pertikaian. Negara-negara kecil yang semula ada di bawah payung Pajajaran semakin banyak yang melepaskan diri dan bergabung dengan Banten atau Cirebon sebab mereka tertarik kepada agama baru. Malah lebih parah dari itu, negara-negara kecil itu berani menyerbu Pajajaran pula. Maka pada zaman Sang Prabu Dewatalah pusatpusat keagaman seperti di Sumedanglarang, Jayagiri atau Ciranjang diserbu mereka. Sang Prabu yang katanya punya cita-cita mempertahankan agama lama yang dianutnya, dalam kenyataanya sama sekali bahkan tidak sanggup mengobarkan perlawanan. Hanya para perwira tua yang sanggup bertahan."

"Tak ada pemimpin baru yang sempurna?"

Ditanya seperti ini, wajah Ki Darma makin muram.

"Dari semua keadaan dan peristiwa, maka pada hari-hari belakangan inilah Pajajaran semakin muram …" kata Ki Darma masih menunduk.

"Apakah semakin menyedihkan?" "Benar-benar amat menyedihkan, Ginggi …"

"Apakah bumi Pajajaran semakin porak-poranda oleh musuh? Apakah semakin banyak anak kehilangan ayah dan kemudian banyak istri kehilangan suami?" Ginggi semakin penasaran mencecar dengan banyak pertanyaan.

Berlatih Melawan Harimau

Dua orang guru dan murid ini masih tetap mengobrol saling berhadapan.

"Tidak ada serbuan musuh. Tidak juga ada orang kehilangan pekerjaan. Bahkan hari ini, di saat rakyat dipimpin oleh Sang Prabu Ratu Sakti, rakyat begitu giat bekerja," kata Ki Darma.

"Giat bekerja?"

"Betul. Kaum peladang seperti tak punya waktu pulang ke rumah sebab waktu telah dihabiskan di ladang. Begitu pun pehuma hampir-hampir lupa kalau dirinya punya rumah sebab seluruh waktunya telah dihabiskan di huma. Kemudian nelayan lebih memilih mati di tepi sungai ketimbang pulang tak membawa hasil," kata Ki Darma lagi dengan nada berat dan sumbang.

"Kalau begitu, itulah masa-masa kemakmuran bagi Pajajaran," potong Ginggi memperlihatkan wajah ceria.

Brak!

Ki Darma malah menggebrak permukaan bale-bale sehingga kulit buah kukuk terlontar ke udara. Sebelum kulit kukuk itu jatuh ke atas bale-bale, Ginggi segera menangkapnya selagi benda itu berada di udara.

Sambil memeluk kulit kukuk di haribaan, Ginggi menatap gurunya dengan heran.

"Tidak makmurkah negri Pajajaran di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti?" tanya Ginggi kemudian.

"Pajajaran memang makmur."

"Nah? Jadi mengapa Aki musti marah?"

"Sebab, kemakmuran nyatanya tidak menghasilkan keadilan bagi rakyat. Rakyat tak sejahtera sebab seluruh kekayaan negara diboyong ke istana!" kata Ki Darma.

"Lho?"

"Semua buah-buahan yang enak-enak ada di kebun istana Tajur Agung. Buah durian dibiarkan jatuh sendiri dan buah semangka dibiarkan membusuk di mana-mana. Petugas dapur istana setiap hari dimarahi karena hampir setiap hari pula bulir-bulir padi dibiarkan membusuk. Itulah saking melimpahnya kekayaan di istana," tutur Ki Darma lagi. "Hanya melimpah-ruah di seputar istana saja?"

"Ya. Dan semua hanya untuk kepentingan orang-orang istana saja. Untuk kemakmuran para bangsawan, kerabat raja dan kaumsantana saja."

"Kaum santana?"

"Ya, kaum santana adalah kelompok pedagang kaya atau petugas negara termasuk kalangan perwira kerajaan…" sahut Ki Darma.

"Jadi, rakyat sendiri dapat bagian apa?"

"Rakyat hanya dapat kewajiban saja dan sangat sedikit bagiannya yang bernama hak."

"Kok bisa-bisanya begitu, ya …" Ginggi berdecak. Bukan decak kagum tapi karena tak habis mengerti.

Ki Darma nampak menghela napas panjang.

Prabu Ratu Sakti yang memimpin negri hari-hari belakangan ini sebenarnya punya tujuan baik. Dia ingin mengembalikan Pajajaran ke zaman keemasan seperti dialami oleh Sri Baduga Maharaja, kakek-buyutnya. Tapi untuk mengembalikan kejayaan negri butuh daya dan tenaga. Harta kekayaan yang melimpah pun amat dibutuhkan. Hanya bedanya, bila dulu kekayaan negri melimpah dihasilkan melalui perdagangan antarnegri, kini kekayaan kas negara harus dihasilkan dari keringat rakyat sendiri. Kemampuan rakyat dipompa habis,seba ditarik setinggi-tingginya."

"Seba?"

"Seba adalah semacam pajak. Setiap penghasilan rakyat musti dipotong, diberikan kepada pemerintah. Pajakdasa dancalagara dilipatgandakan."

"Apakah itu?"

"Dasa adalah pajak tenaga perorangan dan calagara merupakan pajak tenaga secara gotongroyong. Seluruhambarahayat Pajajaran sejak dahulu memang dikenakan pajak-pajak seperti ini. Mereka diwajibkan mengerjakan huma dan ladang milik negara atau tanah-tanah milik para bangsawan. Bisa juga mereka dikenakan pajak negara untuk bertugas mencari ikan di muara dan di laut. Bedanya, dasa dan calagara yang dikerjakan di masa-masa silam, selalu dilakukan dengan hati senang. Rakyat bekerja penuh pengabdian. Mengolah ladang dan huma sambil bersenandung, kendati keringat basah mengucur. Anak-anak pun riang-gembira ikutmarak ataumunday bersama orangtuanya …"

"Apakah marak dan muday itu, Ki"

"Keduanya sama-sama bekerja di muara sungai mencari ikan. Bila hasil ikan memenuhibuleng , yaitu tempat ikan dari anyaman bambu, maka mereka saling berebutan memanggulnya sambil riang-gembira. Ikan yang banyak itu, semua diserahkan kepadawadha , yaitu petugas negara dalam urusan itu. Ya, rakyat senang mengabdi kepada negara. Itu terjadi di zaman Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi …" kata Ki Darma matanya menatap nanar ke taburan bintang di langit.

Ginggi ikut merenung ketika Ki Darma seperti mengumbar lamunan.

"Itulah sebabnya, aku selalu rewel kalau kau malas melakukan latihan …" gumam Ki Darma kemudian.

Ginggi menatap tajam ke arah gurunya. "Tugasku apa, Ki?" tanyanya kemudian.
Ki Darma kembali mengeluh pendek. Wajahnya muram semuram cahaya pelita.

"Terlalu besar dan amat mustahil bila kau seorang diri bisa mengubah keadaan. Namun dengan punya niat suci ikut meringankan beban rakyat, hidupmu telah lebih baik ketimbang duduk berpangku tangan …"

"Ya, apa tugasku?"

"Banyakcutak (camat) atau pemimpinkandagalante (wedana)di wilayah ini yang kerjanya memeras rakyat hanya karena mereka ingin dipuji atasannya. Mereka menyiksa dan memaksa, menghentak mencari jasa. Mereka tertawa bila wilayahnya dipuji sebagai penghasil seba paling baik tapi sama-sekali tak menggubris rakyat yang menjerit karena tercekik. Itulah tugasmu, Ginggi. Tidak akan seluruhnya bisa kau selesaikan. Tapi cobalah sebab mencoba jauh lebih baik ketimbang diam sama-sekali," kata Ki Darma lagi.

Ginggi terpekur mendengar uraian gurunya ini.

"Aku tak tahu apa yang musti dikerjakan. Aku pun bahkan tak tahu dari mana musti mulai …" kata Ginggi berdesah.

"Kau akan mengalami perjalanan amat panjang. Dan sebelum tiba pada perjalanan sesungguhnya, kau akan bersusah-susah di tempat ini dulu. Masih banyak yang harus kau sempurnakan di sini …"

"Urusan kewiraan?"

"Benar, sebab di zaman seperti ini, hanya ilmu kewiraan yang bisa digunakan dalam mempertahankan hidup," tutur Ki Darma.

***

Seperti apa yang diisyaratkan oleh Ki Darma, Ginggi harus menjalani sesuatu yang jadi persyaratan.

Tidak siang tidak malam, setiap hari Ginggi harus memperdalam ilmu kewiraan.

Tapi selama hidupnya, sebenarnya Ginggi belum pernah bertemu musuh. Namun, kian mendalami ilmu yang diberikan oleh Ki Darma, kian jelas pada dirinya, betapa sebenarnya ilmu-ilmu itu hanya diperuntukkan dalam menghadapi musuh. Itu adalah ilmu perkelahian.

Di beberapa bagian, jurus-jurus dan gerakan yang diberikan Ki Darma membuat hati Ginggi bergidik, sebab jurus-jurus itu disiapkan untuk membunuh lawan.

Pada suatu hari Ginggi diawasi Ki Darma untuk memainkan satu dua jurus perkelahian.

Di puncak Gunung Cakrabuana ini, suasana masih dipenuhi embun karena matahari belum memancarkan sinarnya. Namun di tengah tanah lapang berumput hijau, Ginggi dan Ki Darma sudah berdiri tegak.

Puncak Gunung Cakrabuana ini bila dilihat dari kakinya seperti kecil tak berarti. Namun bila berdiri di puncak, tempat tertinggi dari gunung itu sebetulnya merupakan sebuah lapangan yang cukup luas. Kalaulah di sini diselenggarakan latihan perang-perangan, maka dua pasukan besar dengan masing-masing kekuatan seratus prajurit dan saling berhadapan masih mampu ditampung di lapangan puncak gunung ini.

Sekarang, di pagi hari yang sunyi ini, lapangan begitu luas hanya dipakai oleh dua orang saja. Malah yang melakukan gerakan berlatih hanya Ginggi seorang saja, sementara itu Ki Darma sendiri hanya bertindak sebagai pengamat belaka.

Kalau pun ada "orang" ketiga, itu pun hanyalahbebegig saja, yaitu bentuk orang-orangan terbuat dari susunan jerami padi huma dan kepalanya terbuat dari buah kukuk.

Ginggi berdiri di atas tanah berumput dengan kuda-kuda yang amat aneh, yaitu berdiri hanya menggunakan satu kaki kanan saja. Agak doyong ke depan sementara lutut agak sedikit melipat dan ujung telapak kakinya berjingkat. Kedua tangannya bersilang di depan dada.
Tangan kanan terkepal keras dan tangan kiri nampak meluruskan dua jari-jari. Sepasang jarijari ini tepat membelah muka di bagian hidung.

Ginggi menahan napas, memusatkan pikiran dan segera mencoba mengalirkan tenaga dalamnya ke kaki kanan. Manakala terdengar bentakan keras dari mulut Ki Darma, Ginggi pun segera meniru membentak keras. Suaranya melengking tapi akan menyakitkan telinga bila di sana kebetulan ada yang mendengarnya. Namun belum juga usai suara bentakannya, Ginggi menjejak panggung dengan kerasnya. Kaki kanan yang tadi agak doyong serentak bergerak bagaikan per dan badannya melontar ke depan. Secara kilat tubuh pemuda itu meluncur bagaikan anak-panah hendak menancap di tubuh orang-orangan.

Dan manakala tubuh Ginggi tepat berada di atas orang-orangan, kedudukannya nampak terbalik, kepala di bawah kaki di atas. Ginggi melakukan gerakan salto. Namun itulah gerakan serangan paling utuh. Tangan kanan yang tadi terkepal serentak dibuka lebar-lebar dan didorong ke depan mengarah wajah orang-orangan.

Itu adalah gerakan serangan tamparan. Tapi tangan mengembang itu tidak dilanjutkan untuk melakukan tamparan namun untuk menghalangi batas pandangan mata musuh. Serangan sebenarnya yang akan dilakukan adalah melalui tangan kiri. Dua jari tangan yang tajam dan lurus, secara ganas "menerobos" ubun-ubun orang-orangan itu. Crap! Buah kukuk tertembus jari. Secara cepat, jari tangan kiri segera ditarik dan kini giliran tangan kanan ganti menyerang. Telapak tangan itu terbuka lebar dan "menepuk" jidat buah kukuk. Prak, "kepala musuh" pecah berantakan. Tubuh Ginggi jumpalitan beberapa kali untuk kemudian berdiri tegak tiga depa jauhnya. Namun begitu kaki menjejak tanah, tubuh Ginggi menggigil seperti terserang demam.

"Ada apa?" Ki Darma kaget. "Ganas! Ganas!" pekik Ginggi. "Apanya yang ganas?"
"Serangan itu. Gerakan itu amat mematikan. Ganas dan tak manusiawi!" kutuk Ginggi lagi. Ki Darma menghela napas dibuatnya.
"Memang begitulah …"

"Tapi mengapa, Aki bilang orang Pajajaran terkenal berbudi halus. Kok sanggup menciptakan ilmu ganas untuk membunuh orang?"

Lagi-lagi Ki Darma menghela napas panjang.

"Yang penting bagaimana kita memperlakukannya. Ilmu bela diri di mana pun memang ganas sebab dibuat untuk membunuh lawan. Ilmu bela diri Pajajaran selalu mencari urat kematian dari mulai ubun-ubun hingga ujung kaki. Namun apakah mentang-mentang punya ilmu, maka setiap saat kita akan membunuhi orang? Kita pun punya pisau pangot tidak selalu digunakan untuk menorehi kayu. Ilmu kedigjayaan musti engkau miliki bukan untuk mencari-cari lawan namun untuk menjauhi lawan. Kalau engkau diserang lawan, cepatlah berkelit. Kalau tak bisa berkelit, menghindarlah. Kalau tak bisa menghindar, larilah dengan cepat. Tapi kalau masih dikejar dan terpepet, lawanlah dia. Maka di sanalah ilmumu kau gunakan …" tutur Ki Darma panjang-lebar.

Namun Ginggi masih tetap terpengaruhi oleh hasil serangannya tadi.

"Itulah kelemahanmu, Ginggi. Satu saat kelemahan ini akan membahayakan dirimu," kata Ki Darma.

Ginggi tercenung. Ucapan gurunya ini telah beberapa kali dikemukakan. Dan kebenaran katakata itu pernah terjadi.

Suatu saat Ginggi ditugaskan berburu menjangan untuk persediaan makanan.

Di lereng Gunung Cakrabuana yang berhutan lebat banyak didapat bermacam-macam binatang seperti kelinci, menjangan namun juga ada meong congkok, macan tutul dan harimau.

Ketika anak muda itu hendak menangkap seekor menjangan, banyak hambatan menahan dirinya, yaitu perasaannya selalu tak enak. Menjangan itu tak berdosa, mengapa harus dibunuh. Menjangan adalah binatang yang lugu. Dia tak merugikan makhluk lainnya. Tidak pula sanggup membunuh binatang sekecil apa pun. Jadi, mengapa sekarang harus dibunuh?

"Tak selamanya membunuh disebut jahat," ujar gurunya suatu ketika. "Harimau membunuh bukanlah sebuah kejahatan sebab dia perlu makan. Dia pun tidak serakah sebab bilamana rasa laparnya sudah hilang dia tak membunuh lagi," tutur gurunya lagi. "Lagi pula, harimau bukanlah binatang usil. Kalau dia tak diganggu maka dia tak akan mengganggu. Setiap akan bertemu manusia, harimau selalu menghindar, kecuali kalau kepentingannya akan diganggu dan dirinya merasa ada dalam bahaya. Berburu menjangan bukan kejahatan sebab kita butuh makan. Karena di dalam hutan ada menjangan dan dagingnya menyehatkan untuk jadi makanan, maka menjangan diburu," lanjut Ki Darma lagi.

Ginggi mengintip seekor menjangan. Menjangan itu masih muda. Kalaulah dia manusa, mungkin seusia dirinya. Atau barangkali belum pantas untuk dilepas sendiri oleh induknya.

Tapi Ginggi tak tahu mengapa menjangan itu malah berkeliaran sendiri, sebab dengan begitu bakal ada ancaman terhadap nyawanya.

Semula Ginggi akan menimpuk kepala menjangan muda itu dengan batu. Namun karena rasa kasihan, niat itu diurungkannya.

"Dia akan kutangkap hidup-hidup saja dengan menggunakan ilmuSalimpet Haseup ," pikir Ginggi. Ini adalah sebuah ilmu untuk menyeruak di tengah-tengah belukar namun tanpa menimbulkan bunyi keresekan.

Namun belum lagi dia bertindak, dari arah sana ada bunyi keresekan amat halus. Hanya karena pemuda itu pandai menggunakan ilmuHiliwir Sumping , sejenis ilmu untuk mendengar suara dari jarak jauh, maka suara keresekan itu terdengar nyata. Hati Ginggi berdebar.

"Harimau …" bisiknya perlahan.

Dan benar saja, ada tubuh besar berbulu kuning dengan polet garis-garis hitam menerjang ke arah tubuh menjangan bagaikan kilat.

Ginggi harus berani adu cepat, sebab bila terlambat sedikit saja, maka tubuh menjangan muda itu akan jadi santapan koyakan kuku dan taring-taring tajam.

Ginggi menotolkan ujung jari kakinya kemudian tubuhnya melesat mengarah tubuh Si Raja Hutan itu.

Harimau itu perhatiannya tengah tercurah kepada buruannya, sehingga manakala terjangan kaki Ginggi menyerang, dia tak bisa menghindar.

Dukk!

Terdengar suara gerengan keras membelah dada.

Harimau itu pasti kesakitan. Namun Ginggi sadar, sebenarnya kalaulah serangan kakinya tak dikurangi sampai dua pertiganya, maka binatang besar itu pasti akan terluka amat hebat dan barangkali akan tewas. Tapi Ginggi tak mau membunuh binatang itu. Hanya saja akibat dari rasa kasihan inilah maka sebagai imbalannya ada serbuan amat ganas dari Si Raja Hutan. Sang Harimau kini meninggalkan buruannya dan segera mengalihkan serangannya kepada pemuda itu.

Dengan serta-merta tubuh sebesar kerbau itu melesat terbang mengarah tubuh Ginggi. Pemuda itu menghindar ke bawah perut harimau. Maka seandainya akan menamatkan riwayat binatang itu, Ginggi hanya perlu menusuknya dengan ujung jarinya ke arah perut harimau dan binatang itu niscaya akan tersobek perutnya. Namun Ginggi tak melakukan hal itu. Yang dia lakukan hanyalah merapatkan tubuhnya di atas tanah dan perut binatang buas itu bergelisir ke punggung pemuda itu.

Untuk kedua kalinya harimau menerjang keras dengan cakarnya yang tajam. Kembali Ginggi melengos mundur. Namun tak dinyana, binatang itu menotolkan sebelah kakinya ke atas tanah sehingga tubuhnya bisa "terbang" kembali menghampiri pemuda itu. Ginggi tak menyangka akan hal ini. Hanya saja secara tiba-tiba jari beruncing dari kaki depan harimau sudah bergerak cepat hendak mencarut wajahnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar