JILID 06
“RACUN kelabang loreng?”, berkata Ragasuci terkejut ketika mendapatkan laporan salah seorang perwiranya.
“Kami telah mengirim beberapa prajurit ketempat kejadian”, berkata Perwira itu.
“Kirim utusan dan pengawal ke Gunung Kahuripan menjemput Ayahandaku Gurusuci Darmasiksa. Hanya beliau yang dapat membuat penawar racun kelabang loreng”, berkata Ragasuci memberi perintah. “Hamba segera melaksanakan perintah”, berkata perwira itu berpamit diri.
“Katakan, yang terluka adalah cucunda tercinta Sanggrama Wijaya”, berkata Ragasuci kepada perwira itu menambahkan.
Gunung Kahuripan adalah nama lain dari Gunung Galunggung, tempat Gurusuci Darmasiksa mengasingkan dirinya dari keramaian menjadi orang suci jauh dari kehidupan dunia. Jarak perjalanan dari istana Saunggaluh ke Gunung Galunggung hanya berkisar setengah hari berkuda.
Ketika mendengar Racun Kelabang Loreng, Ragasuci langsung teringat pada Ayahnya yang juga Gurunya yang bukan saja menguasai ilmu kanuragan yang tinggi, namun juga menguasai ilmu pengobatan. Darmasiksa pernah bercerita kepadanya bahwa beliau ketika masih muda pernah berguru kepada seorang sakti yang ahli dalam bidang pengobatan. Guru Darmasiksa itu bergelar Tabib pemberi nyawa. Konon begitu ahlinya pernah menghidupkan orang yang sudah mati.
Kita kembali kepada Raden Wijaya yang tengah berusaha menahan racun kelabang loreng didalam tubuhnya lewat taji Juragan Susatpam yang dengan penuh kelicikan berhasil mengelabui Raden Wijaya hingga salah satu tajinya berhasil melukai bahu kanan Raden Wijaya.
Dengan kekuatan jiwa dan penguasaannya menyalurkan tenaga murni yang bersembunyi di dalam diri, Raden Wijaya telah dapat menahan racun yang ada di dalam dirinya agar tidak masuk lebih jauh lagi kearah jantung. Raden Wijaya telah menutup beberapa jalan darah. Terlihat bahu kanannya sudah berwarna biru tanda bahwa darah disekitar bahu itu tertahan.
Sementara itu Lawe tengah bertempur habis-habisan, ternyata serangan Juragan Susatpam sangat berbahaya dan cukup membingungkan Lawe.
“Punya ilmu tanggung sudah berani mencampuri urusan orang lain”, berkata Juragan Susatpam sambil memutar kerisnya ke arah Lawe.
Kembali Lawe bersiap dan menduga-duga kemana arah keris itu menyerang. Karena sebelumnya keris itu hampir merobek kakinya. Keris di tangan Juragan Susatpam memang nampak begitu aneh, dapat seketika berubah arah tanpa diduga dan ke arah yang tidak dapat disangka-sangka.
Kali ini terlihat keris di tangan Juragan Susatpam menjulur lurus kearah leher Lawe. Maka ketika Lawe bergeser ke samping, keris itu sudah berubah arah mengincar bahunya. Terkejut bukan main Lawe yang sepertinya begitu mudah dibaca gerakannya oleh Juragan Susatpam. Dapat dikatakan pada saat itu Lawe mati langkah. Maka jalan satu-satunya bagi Lawe adalah menjatuhkan dirinya.
Ibarat seekor kucing mempermainkan seekor anak tikus, Juragan Susatpam tidak mengejar Lawe. Sambil tertawa panjang dan bertolak pinggang menunggu Lawe bangkit dan siap untuk melanjutkan pertempurannya.
Lawe sadar bahwa Juragan Susatpam bukan tandingannya, setiap gerakannya dapat segera dibaca dan dapat bergerak dengan cepat dan tidak terdugaduga.
Terlihat Lawe sudah bangkit kembali. Menyadari keterbatasannya, Lawe menjadi lebih berhati-hati lagi. “Mari kita selasaikan permainan ini anak muda”, berkata Juragan Susatpam meminta Lawe menyerang lebih dulu.
Bergerutuk suara gigi-gigi Lawe terdengar sebagai tanda kegeraman dan kesiapannya. Dan dengan dua buah pisau belati ditangan kembali Lawe melakukan serangan-serangan. Namun dengan mudahnya Juragan Susatpam melejit menghindar dan balas menyerang.
Kali ini menyerang dengan cara menyilang mengincar dari bawah perut. Lawe melompat mundur kebelakang, namun tiba-tiba saja keris ditangan Juragan Susatpam berubah arah menusuk lurus. Sekali lagi Lawe harus melemparkan dirinya ketanah langsung menggelinding menghindari apapun yang membahayakannya. Namun Kali ini Juragan Susatpam tidak diam menunggu. Sambil meloncat membidikkan kerisnya ketubuh Lawe yang masih menggelinding ditanah.
Benar-benar serangan yang kejam tanpa ampun.
Dan nasib Lawe memang sudah diujung tanduk !!
Sementara itu Raden Wijaya tengah berperang menahan racun didalam tubuhnya. Terlihat peluh sebesar jagung telah keluar dan jatuh mengalir deras. Wajah dan tubuhnya sudah basah dengan peluhnya.
Namun kegusaran Raden Wijaya kian bertambah manakala pintu pendapa rumah itu terbuka sedikit demi sedikit.
Bukan main kagetnya Raden Wijaya ketika muncul dari balik pintu itu seorang yang sangat dikenal.
“Nasibmu memang jelek anak muda”, berkata orang itu bertolak pinggang didepan Raden Wijaya.
Ternyata orang yang keluar dari dalam rumah itu adalah orang yang selama ini menjadi buronan kerajaan. Orang yang sudah ditalag sebagai musuh besar kerajaan.
Orang itu tidak lain adalah Patih Manohara. Tidak banyak yang tahu bahwa Patih Manohara dan Juragan Susatpam adalah saudara perguruan. Sebagai seorang adik perguruan yang banyak dibantu oleh Patih Manohara ketika dirinya masih sebagai orang penting kerajaan, maka sebagai balas budinya Juragan Susatpam telah bersedia menyembunyikan Patih Manohara dirumahnya. Hanya beberapa orang kepercayaannya yang mengetahui rahasia itu.
Sebagai seorang kakak seperguruan, ilmu Patih Manohara dapat dikatakan selapis tipis diatas Juragan Susatpam. Maka dapat dibayangkan seberapa bahayanya Patih Manohara, adik seperguruannya saja sudah begitu tinggi ilmunya tidak dapat dihadapi Lawe seorang diri.
“Ketahananmu luar biasa anak muda, biasanya yang terkena racun kelabang loreng hanya hitungan kedipan mata nyawanya sudah melayang”, berkata Patih Manohara sambil memandang Raden Wijaya.
“Gusti yang Maha Agung yang menentukan umur seseorang”, berkata Raden Wijaya terlihat begitu tabah.
“Tapi untuk saat ini umurmu ada ditanganku”, berkata Patih Manohara sambil mengeluarkan kerisnya.
“Kamu ingin membunuhku?”, berkata Raden Wijaya “Aku hanya ingin mempercepat kematianmu”, berkata
Patih Manohara. Perlahan mengangkat kerisnya.
Tapi apa yang dikatakan Raden Wijaya, bahwa Gusti Yang Maha Agung lah yang menentukan umur seseorang ternyata benar adanya. Apapun yang akan terjadi, maka terjadilah. Dialah Sang Dalang Agung, yang mengatur segala urusan di panggung alam semesta raya ini.
Tiba-tiba saja Mahesa Amping sudah ada di halaman rumah Juragan Susatpam dan melihat Lawe dalam keadaan bahaya. Maka tanpa bisa diikuti dengan pandangan wadag biasa, Mahesa Amping sudah melesat menyambar keris ditangan Juragan Susatpam yang langsung berpindah tangan. Dan entah dengan cara apa pula kedua pipi Juragan Susatpam langsung biru lebam terkena tamparan tangan dari Mahesa Amping yang begitu cepat dan keras. Terguling-guling Juragan Susatpam merasa terkejut ketika mengetahui bahwa penyerangnya adalah seorang pemuda biasa.
Belum habis rasa terkejutnya, Juragan Susatpam melihat Mahesa Amping dengan mudahnya mematahkan kerisnya menjadi tiga bagian. Juragan Susatpam seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, yang ia tahu bahwa kerisnya terbuat dari bahan campuran besi pilihan. Dan Mahesa Amping telah memperlihatkan sebuah kekuatan yang sangat tidak masuk akal.
Kembali Juragan Susatpam melihat sebuah pameran ilmu tingkat tinggi, patahan ujung keris itu melesat dengan kecepatan yang tidak bisa diukur lagi meluncur dari tangan Mahesa Amping.
Blesss !!!
Patahan keris itu tepat menancap di pergelangan tangan Patih Manohara.
Bukan main terkejutnya Patih Manohara merasakan pergelangan tangannya tertembus sebuah besi tajam. Keris ditangannya pun langsung terlepas tidak mampu dipertahankan lagi. Belum sempat untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja dirasakan sebuah tangan yang kuat telah melemparkannya keluar pendapa. Tubuhnya terlempar dan jatuh dihalaman merasakan beberapa tulangnya terasa remuk.
Raden Wijaya menarik nafas panjang setelah mengetahui Mahesa Amping datang tepat pada waktunya.
Sementara itu Lawe sudah bangkit berdiri. Dilihatnya Juragan Susatpam masih terduduk lesu dengan wajah biru lebam.
Beberapa prajurit telah berdatangan, mereka langsung mengepung Juragan Susatpam.
“Menyerahlah”, berkata salah seorang prajurit yang telah mengepungnya.
Namun sebelum prajurit itu memintanya menyerah, telah terlintas di benak Juragan Susatpan bahwa ia pantas mendapat hukuman atas apa yang telah diperbuat, pertama telah berbuat licik melukai pemuda diatas pendapa dengan racun yang keras, racun kelabang loreng. Kedua adalah dosa yang terbesar, yaitu telah menyembunyikan buronan kerajaan.
Lintasan pikiran itulah yang telah mendorong dirinya berpikir untuk kabur melarikan diri.
Semua memang berlangsung begitu cepat, belum lagi selesai prajurit itu berkata, Juragan Susatpam telah menerjangnya. Sebuah tangan yang keras berhasil mencengkeram pergelangan tangannya, Begitu keras cengkeraman itu hingga pedang di tangan tidak terasa telah terlepas. Menyusul sebuah pukulan tangan terbuka membacok leher sampingnya. Prajurit itu langsung terjengkang pingsan.
Lawe terkejut menyaksikan sergapan Juragan Susatpam yang tidak diduga sebelumnya. Maka bergegas Lawe berlari mengejar Juragan Susatpam.
Ketika berhasil merobohkan seorang prajurit, Juragan Susatpam melihat gerbang halaman rumahnya yang sejajar lurus dengannya adalah sebuah peluang yang besar untuk meloloskan diri dari hukuman yang akan didapatkan bila dirinya berhasil tertangkap. Juragan Susatpam mencoba membuka kesempatan itu berlari menuju gerbang halaman yang terbuka.
Ketika Lawe berusaha mengejar, Juragan Susatpam telah berhasil keluar dari pintu gerbang langsung menerobos beberapa rumah dan kebun yang nampaknya sudah sangat dikuasai setiap jengkalnya.
Lawe dan beberapa prajurit yang mengejarnya telah kehilangan jejak Juragan Susatpam yang sepertinya telah hilang ditelan bumi.
Sementara itu Mahesa Amping diatas pendapa sepertinya tenggelam dalam kekhawatiran keadaan Raden Wijaya yang nampak semakin pucat. Meski berhasil menahan menjalarnya kekuatan racun kelabang loreng yang sangat berbahaya. Kekuatan Raden Wijaya sepertinya terus terkuras.
“Kekuatanku mungkin hanya bertahan satu hari lagi”, berkata Raden Wijaya lemah.
“Bertahanlah”, berkata Mahesa Amping mencoba menguatkan hati sahabatnya.
Sementara itu Lawe dan beberapa prajurit yang telah mengejar Juragan Susatpam telah kembali. Merekapun sepertinya tahu apa yang harus dilakukan. Seorang terlihat tengah mengikat kaki dan tangan Patih Manohara. Sedangkan yang lainnya terlihat tengah membuat sebuah tandu untuk dapat memudahkan membawa Raden Wijaya yang terluka terkena racun yang keras.
“Aku berdoa untuk kesembuhan Raden”, berkata Sungut yang melepas Raden Wijaya yang berbaring diatas tandu ketika akan keluar dari gerbang rumah Susatpam.
Beberapa penduduk menatap penuh heran atas iringiringan para prajurit yang membawa seorang tawanan dan seorang lagi yang berbaring diatas tandu.
Dan iring-iringan itupun semakin jauh dari tatapan mata Sungut yang berdiri terpaku. Wajahnya nampak penuh kegusaran. Hatinya merasa ikut bersalah karena telah melibatkan Raden Wijaya kedalam masalah pribadinya yang berujung pemuda itu telah terluka oleh sebuah racun yang amat keras, racun kelabang loreng.
Ketika iring-iringan itu menghilang di tikungan jalan, Sungut baru beranjak dari tempatnya berdiri.
Sementara itu di Istana, Dara Petak telah mendengar berita tentang keadaan yang menimpa diri Raden Wijaya. Bersama dua saudaranya Dara Puspa dan Dara Jingga sepertinya menunggu penuh dalam kegusaran dan kecemasan.
Dan yang ditunggu pun akhirnya telah datang. Iringiringan itu telah memasuki gerbang istana. Patih manohara segera digiring sebagai tawanan dan dibawa keruangan khusus untuk seorang tawanan dengan penjagaan yang ketat.
“Jangan terlalu mengkhawatirkan diriku”, berkata Raden Wijaya kepada Dara Petak yang menyongsongnya penuh kecemasan.
“Aku berdoa untuk kakang”, berkata Dara Petak penuh duka dan keharuan melihat Raden Wijaya berbaring diatas tandu.
Dan senja di atas Istana Saunggalah sepertinya ikut merundung kedukaan dalam samar cahaya bening tanpa desir angin bergegas pergi ketika sang malam datang menjemput di pintu waktu.
Dan kegelisahan pun sepertinya sedikit mereda manakala datang seorang tua dengan pakaian layaknya seorang Resisuci tua yang begitu sederhana. Orang itu ternyata Gurusuci Darmasiksa yang sangat dinantikan.
Meski pakaiannya sangat sederhana, wibawa dan kharismanya masih terlihat jelas dalam gerak dan sinar matanya.
“Sanggrama Wijaya anakku”, berkata Gurusuci Darmasiksa penuh kasih menatap cucunda tercinta yang telah lama tidak dilihatnya sejak kepergian Lembu Tal dari Pasundan.
“Eyang Darmasiksa?”, berkata Raden Wijaya berusaha ingin bangkit.
“Tetaplah berbaring anakku, aku akan memeriksa lukamu”, berkata Gurusuci Darmasiksa mencegah Raden Wijaya bangkit dan langsung memeriksa luka kecil dibahu Raden Wijaya.
Terlihat Gurusuci mensarik nafas panjang.
“Ketika mendengar dirimu terkena Racun kelabang loreng, hatiku menjadi menciut karena kerja racun itu terbilang hitungan kedipan mata. Ternyata Gusti Maha Kasih, ketahanan tubuhmu sungguh luar biasa dapat menahan lama daya maut racun ini”
“Berterima kasihlah kepada sahabatku yang telah menitipkan hawa murninya didalam tubuhku”, berkata Raden Wijaya menatap Mahesa Amping yang berdiri didekatnya.
“Anak-anak muda yang luar biasa”, berkata Gurusuci Darmasiksa dengan tersenyum ramah kepada Mahesa Amping.
Terlihat Gurusuci Darmasiksa mengeluarkan sebuah guci kecil dari balik pakaiannya. Tangan Gurusuci nampak begitu trampil layaknya seorang tabib yang cekatan. Dengan sebuah pisau kecil yang terlihat begitu tajam dan bersih Gurusuci Darmasiksa mengerat luka kecil dibahu raden Wijaya menjadi lebih dalam. Selanjutnya menaburi serbuk hitam kedalam luka itu yang diambilnya dari sebuah guci kecil.
“Untung aku masih menyimpan bisa ular Gundala putih”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mengeluarkan sebuah bumbung bambu dari balik sabuknya.
Ternyata bisa ular Gundala yang dimaksudkan Gurusuci Darmasiksa sudah berupa benda yang begitu kecil putih sebesar biji beras yang dikeluarkannya dari bumbung bambu kecil. Rupanya benda itu begitu sangat berharga dan berarti bagi Gurusuci Darmasiksa, karena diletakkan dibalik sabuknya sebagai tanda tidak pernah jauh dari badannya dan dibawa dimanapun dirinya berada.
Semua mata tertuju kepada benda ditelapak tangan Gurusuci Darmasiksa. Sebuah benda yang teramat langka pada saat itu, karena bisa ular Gundala adalah sebuah ular dewa dalam cerita kuno para orang tua sebagai obat penawar bisa yang paling kuat. Dan mereka saat itu dapat menyaksikan bisa ular gundala yang telah disarikan dan ada ditangan orang tua itu.
Gurusuci Darmasiksa terlihat meletakkan benda sebesar biji beras itu kedalam mangkuk yang telah berisi air. Tiba-tiba saja air itu berubah warna menjadi warna putih susu. Dan yang sangat mengherankan lagi bahwa seketika itu pula air berwarna putih susu itu seperti bergolak mendidih layaknya air yang dimasak oleh panas api.
“Minumlah anakku”, berkata Darmasiksa sambil memberi tanda kepada Mahesa Amping untuk membatu mengangkat sedikit kepala Raden Wijaya. Dengan tangannya sendiri Gurusuci Darmasiksa mendekatkan cangkir itu di bibir Raden Wijaya yang segera meminumnya.
“Obat penawar ini dibawa oleh sahabatku untuk ibundamu Darmajaya, namun ibundamu tidak mampu bertahan menunggu datangnya obat penawar ini. Mungkin belum berjodoh…..”, Gurusuci darmasiksa sepertinya tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Sepertinya tengah menahan kesedihan dan kedukaan yang berat mengingat kembali hari yang begitu memilukan. Hari saat dimana putri terkasihnya Darmajaya ibunda Raden Wijaya menghembuskan nafas terakhirnya didalam pangkuannya.
Sementara itu Raden Wijaya nampak sudah tertidur. Semua mata tampak begitu cemas melihat badan Raden Wijaya seperti tengah menggigil kedinginan. Namun dari wajah dan tubuhnya keluar peluh seperti orang yang gerah kepanasan.
“Obat penawar bisa itu telah bekerja”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil memandang Raden Wijaya yang masih tertidur. Semua yang ada disitu sepertinya bernafas lega mendengar kata-kata Gurusuci Darmasiksa. “Sebaiknya kita tidak menyesakkan ruangan ini”, berkata Gurusuci Darmasiksa yang ditangkap maksudnya agar keluar dari kamar agar Raden Wijaya dapat beristirahat dengan baik bagi kesembuhannya.
“Biarlah aku menemani Sanggrama disini”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Ragasuci ketika mereka berada di pendapa utama pesanggrahan tempat biasa seorang raja menempatkan para tamu agungnya.”Bukankah saat ini aku adalah tamu agung?”, berkata kembali Gurusuci Darmasiksa sambil memandang sekeliling taman yang nampaknya sudah banyak berubah sejak dirinya mengundurkan diri.
“Aku belum sempat memperkenalkan menantu ayahanda”, berkata Ragasuci sambil memperkenalkan Dara Puspa kepada ayahandanya.
Berturut-turut Ragasuci juga memperkenalkan Dara Petak dan Dara Jingga sebagai adik iparnya.
“Ini Mahesa Amping dan Lawe, saudara seperguruan dari Raden Sanggrama Wijaya”, berkata Ragasuci memperkenalkan Mahesa Amping dan Lawe.
“Kadang nama melambangkan diri pribadi”, berkata Gurusuci Darmasiksa yang teringat kembali atas keterangan Raden Wijaya bahwa Mahesa Amping lah yang telah membantunya menahan menjalarnya Racun didalam tubuhnya lewat pengerahan hawa murninya. Diam-diam Gurusuci Darmasiksa mengukur tingkat ilmu Mahesa Amping yang pasti sudah begitu tinggi hingga mampu menahan hawa racun kelabang loreng yang sangat keras dalam waktu yang begitu lama hingga jiwa Raden Wijaya masih dapat diselamatkan.
Sementara itu diluar istana terdengar sayup-sayup suara kentongan dari padukuhan terdekat berbunyi titir nada dara muluk, malam memang sudah wayah sepi wong.
Ragasuci bersama Dara Puspa dan dua orang adiknya telah berpamit mengundurkan diri untuk beristirahat.
“Kalian harus beristirahat agar tidak ikut sakit”, berkata Gurusuci darmasiksa mengantar kepergian mereka.
Kini tinggalah Gurusuci darmasiksa yang ditemani Mahesa Amping dan Lawe. Sekali-kali mereka bergantian menengok keadaan Raden Wijaya.
Ternyata Gurusuci Darmasiksa adalah orang yang ramah. Tidak sedikitpun terbekas bahwa dirinya pernah menjadi seorang Raja besar di kerajaan Saunggalah yang besar. Dimata Mahesa Amping dan Lawe orang tua itu adalah seorang yang begitu sangat sederhana. Dan Gurusuci Darmasiksa ternyata seorang pencerita yang hebat. Semalaman tidak ada putusnya bercerita tentang petualangannya diberbagai tempat di masa mudanya.
“Sebuah petualangan yang hebat”, berkata Lawe menanggapi cerita yang seru dari Gurusuci Darmasiksa.
“Sekarang giliran kalian yang bercerita kepadaku”, berkata Gurusuci darmasiksa kepada mahesa Amping dan Lawe.
Begitulah mereka akhirnya saling bertukar cerita dan pengalaman mereka hingga pembicaraan mereka mengalir kepada pengalaman pertempuran Lawe dengan Juragan Susatpam. “Yang kuherankan orang itu sepertinya dapat membaca apa yang akan kulakukan”, berkata Lawe mencoba mengingat kembali pertempurannya dengan Juragan Susatpam yang nyaris celaka bila saja Mahesa Amping tidak segera muncul membantunya.
“Dalam ilmu kanuragan ada berbagai tingkat lapisan, pertama ada dalam lapisan tingkat air yang mengalir. Lapisan selanjutnya adalah tingkat bertiupnya arah angin”, berkata Gurusuci Darmasiksa menyampaikan pandangannya.
“Aku belum dapat menangkap apa yang Gurusuci maksudkan”, berkata Lawe yang belum menangkap arah pembicaraan dari Gurusuci Darmasiksa.
Gurusuci darmasiksa tersenyum melihat kepolosan dan kejujuran dari Lawe.
“Lapisan mengalirnya air adalah dimana kita telah mulai dapat mengenal naluri gerak dan arah kecenderungan wadag ini mengikuti gerakan lawan. Kecendrungan bergeser kekanan manakala lawan menyerang arah kiri kita. Kecenderungan merendah manakala lawan menyerang arah atas kita”, berkata Gurusuci Darmasiksa menjelaskan makna lapisan tingkat air yang mengalir.
“Aku baru mengerti, itulah sebabnya gerakanku begitu mudah dibaca oleh lawan, bukankah begitu Mahesa Amping?”, berkata Lawe sambil meminta pertimbangan Mahesa Amping yang tersenyum melihat tingkah Lawe yang seperti seorang anak kecil mendapatkan mainan baru. Begitu bergembira dan bersemangatnya.
“Sudah saatnya dirimu mengenal lapisan tingkat bertiupnya arah angin yang selalu tidak dapat dibaca karena selalu berubah arah”, berkata Mahesa Amping ikut memberikan pandangannya.
“Keberadaan angin dapat dirasakan, namun tidak dapat dilihat oleh indera”, berkata Gurusuci menambahkan.
“Setiap saat aku menunggu latihan peningkatan itu”, berkata Lawe menantang.
“Ditempatku ada banyak alam terbuka untuk berlatih”, berkata Gurusuci Darmasiksa membuat Lawe menjadi begitu bersemangat.
Kembali Lawe meminta pertimbangan Mahesa Amping atas ajakan Gurusuci Darmasiksa untuk berkunjung ketempatnya.
“Tentunya setelah Raden Wijaya dapat melompat kepunggung kudanya”, berkata Mahesa Amping ikut tersenyum melihat semangat Lawe dan kegembiraannya yang polos. Perkataan Mahesa Amping sekaligus sebagai canda yang menyegarkan mengusir rasa kantuk mereka.
Sementara itu tidak terasa malam telah semakin tergelincir jatuh terjerambat oleh semburat merah sang fajar yang telah menyembul diujung ufuk timur lengkung langit.Semburat merah itupun akhirnya telah menjarah hampir merata mewarnai lengkung langit sebagai tanda bahwa tahta penguasa waktu harus segera berganti kepada sang penguasa pagi.
Dan pagipun akhirnya telah menjelang.
Raden Wijaya telah terbangun, merasakan tubuhnya menjadi begitu segar. Ternyata racun kelabang loreng telah punah di tubuh Raden Wijaya.
“Udara di pendapa utama pagi ini sangat menyegarkan”, berkata Gurusuci Darmasiksa mengajak Raden Wijaya keluar dari kamarnya.
“Silahkan menikmati racikan teh mulwo”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya ketika seorang pelayan dalem menyediakan semangkuk minuman hangat hasil racikan Gurusuci Darmasiksa.
“Ternyata daun mulwo dapat menjadi minuman hangat yang menyegarkan”, berkata Lawe setelah meneguk minuman itu.
“Untuk siang dan sore hari, akan kuracikkan minuman yang lain lagi”, berkata Gurusuci darmasiksa sambil tersenyum.
“Nikmatnya berdekatan bersama seorang tabib sakti”, berkata Lawe sambil membayangkan minuman segar lainnya yang akan ia nikmati.
“Apakah kamu sudah tidak berminat lagi menanyakan apakah hari ini Raden Wijaya sudah dapat melompat kepunggung kuda?”, bertanya Mahesa Amping.
“Ada apa dengan pertanyaan itu?”, bertanya Raden Wijaya mendengar namanya dikaitkan.
Mahesa Amping akhirnya menjelaskan maksud pertanyaannya kepada Raden Wijaya.
“Hari ini bila dicoba, aku sudah dapat melakukannya, bahkan sudah dapat berpacu”, berkata Raden Wijaya.
“Melihat perkembangannya, mungkin besok kita sudah dapat kita buktikan”, berkata Gurusuci Darmasiksa memberi perkiraan akan kesembuhan Raden Wijaya.
“Artinya besok kita sudah dapat berangkat ke Gunung Kahuripan?”, bertanya Lawe penuh kegembiraan.
Dan kegembiraan mereka menjadi begitu hangat dan segar manakala terlihat di taman halaman muka pendapa muncul tiga dara berjalan bersama Ragasuci. Warnawarni bunga Cempaka yang tengah berkembang nampak menjadi bertambah indah.
Mereka berempat yang baru datang menyambut kesembuhan Raden Wijaya dengan penuh suka cita.
Kesegaran dan keindahan taman halaman muka pendapa itu sepertinya telah mewakili suasana hati mereka. Warna-warni bunga cempaka yang semakin cemerlang disinari matahari pagi yang hangat, deretan hijau pucuk-pucuk soka merah berbaris lucu mengiringi jalan taman. Dan pohon kemboja putih seperti penjaga setia tumbuh berjejer tiga dalam jarak yang serasi di pinggir dinding menjadikan warna jiwa taman itu semakin manja membuai mata dan hati.
Ternyata Gurusuci Darmasiksa adalah Tabib Sakti. Di tangannya kesembuhan Raden Wijaya menjadi lebih cepat pulih, disamping juga ketahanan tubuh Raden Wijaya ikut mendukung.
Akhirnya dalam waktu dua hari, Raden Wijaya telah terlihat bugar kembali seperti semula. Sesuai dengan rencana, hari ketiganya mereka telah sepakat untuk ikut bersama Gurusuci Darmasiksa berkunjung ke Padepokannya di Gunung Kahuripan.
“Aku masih banyak memerlukan bimbingan dari ayahanda”, berkata Ragasuci ketika melepas keberangkatan Ayahandanya Darmasiksa.
“Pintu padepokan Kahuripan selalu terbuka untukmu, anakku”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Ragasuci dengan penuh senyum. Diam-diam hatinya merasa bangga atas putranya yang tumbuh sebagaimana yang diharapkan, menjadi seorang Raja yang cukup bijaksana.
“Kuharap kalian cepat kembali”, berkata Dara Petak kepada Lawe dan dua orang sahabatnya. Meski sebenarnya lebih tertuju kepada Raden Wijaya.
“Kami akan cepat kembali, karena tidak ada tabib sakti yang dapat mengobati penyakit rindu”, berkata Lawe sambil mengedipkan matanya memberi sebuah tanda yang dapat dimengerti oleh Dara Jingga dan dara petak. Diam-diam mereka tersenyum atas kata-kata Lawe sepertinya mewakili perasaan mereka sendiri dan tentunya dua sahabatnya yang pura-pura tidak mendengarnya.
Akhirnya Empat ekor kuda terlihat keluar dari gerbang istana Saunggaluh. Beberapa pasang mata mengikuti langkah kaki kuda mereka hingga akhirnya telah tidak terlihat lagi menghilang dipersimpangan jalan.
Hari memang masih basah embun, pagi masih terasa dingin. Mereka sepertinya tidak memburu perjalanan, langkah kaki kuda berjalan tidak terlalu cepat, begitulah para pengembara sejati menikmati perjalanan mereka dalam bingkai bukit-bukit biru, melewati kehijauan alam yang subur dan suara angin lembut membelai wajah mereka. Disitulah pengembara sejati menemukan dirinya dalam tatap mata Sang Hiyang Jagad raya yang mengantar mereka masuk dalam kesunyatan diri, alam ketiadaan, alam kehampaan. Dan kesejahteraan telah meliputi mereka.
“Kita akan singgah dulu di Curuk Kembar”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mempercepat langkah kudanya ketika mereka telah tiba dikaki gunung Kahuripan.Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya terpaksa ikut mempercepat langkah kaki kuda mereka agar tidak tertinggal mengiringi langkah kaki kuda Gurusuci Darmasiksa.
Ternyata mereka terlihat melingkari lereng gunung kahuripan. Ketika mereka memasuki sebuah lereng gunung yang cukup terjal, dengan terpaksa mereka harus turun dan menuntun kuda-kuda mereka agar tidak tergelincir.
“Kita menyusuri anak sungai berbatu itu”, berkata Gurusuci menunjuk sebuah anak sungai berbatu yang sudah terlihat dan terdengar suara gemericiknya.
Anak sungai berbatu itu seperti jalan yang menanjak. Terlihat mereka seperti masuk dalam mulut raksasa hitam hutan yang lebat. Sinar matahari masuk lewat dahan dan daun. Suasana diatas anak sungai berbatu itu begitu teduh.
“Suara air terjun telah terdengar”, berkata Lawe ketika mendengar deru air terjun sudah terdengar tanda perjalanan mereka sudah hampir sampai.
Akhirnya mereka tiba juga di Curuk kembar. Sebuah air terjun yang bercabang dua turun dari puncak tebing yang tinggi. Air terjun itu jatuh disebuah kolam yang cukup luas. Embun tipis menyebar kesegala arah berasal dari semburan air yang jatuh membuat wajah dan tubuh basah bila terlalu dekat dengan air terjun itu. Dan meski matahari sudah berada dipuncak cakrawala, suasana di curuk kembar itu begitu teduh karena terlindung pohonpohon yang tinggi dan rindang.
“Tempat yang baik untuk meningkatkan kemampuan diri”, berkata Lawe sambil memandang tanah lapang yang cukup luas berada di sebelah kanan curuk kembar. “Itulah sebabnya aku membawa kalian disini”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
Akhirnya sesuai rencana, mereka memang telah berlatih untuk meningkatkan kemampuan diri, terutama Lawe.
Mahesa Amping memberi contoh beberapa gerakan kepada Lawe. Gurusuci Darmasiksa ikut memberikan beberapa pandangan. Dan Lawe memang termasuk punya otak yang encer, dengan cepat ia dapat memahami setahap-demi setahap pengenalannya atas apa yang disebut bergerak seperti angin yang bertiup.
“Gerakan ini harus dilatih dengan sungguh-sungguh dan perlu waktu”, berkata Mahesa Amping memberikan pengarahan.
Ketika Mahesa Amping dan Lawe tengah berlatih, Gurusuci Darmasiksa menantang Raden Wijaya untuk berlatih.
“Aku ingin tahu setinggi apa kemampuan cucunda”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Raden Wijaya.
Dengan gembira dan semangat Raden Wijaya telah turun berhadapan dengan eyangnya sendiri.
“Cucunda berharap dapat bimbingan dari Eyang”, berkata Raden Wijaya mempersiapkan diri.
Maka tanpa sungkan lagi mereka langsung saling menyerang.
“Luar biasa”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mengimbangi serangan raden Wijaya.
Setahap demi setahap mereka terus meningkatkan kemampuan dan tataran ilmu mereka. Benar-benar sebuah pertempuran yang begitu seru layaknya dua ekor garuda bertempur diudara. Saling berkelebat menyerang dan menyambar semakin lama hingga seperti bayangan hitam saling berkelebat.
“Cukup !!”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mundur kebelakang. “tataran ilmumu lebih dari yang kuduga”, berkata kembali Gurusuci Darmasiksa penuh kekaguman.
“Eyang terlalu memuji”, berkata raden Wijaya
“Aku tidak memuji, tapi berkata apa adanya”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil berjalan mendekati sebuah batu besar dan duduk bersemedi mencoba memulihkan tenaganya yang terkuras.
Sementara itu Lawe masih terus penuh semangat melatih gerakan-gerakan barunya bersama Mahesa Amping.
“Lihatlah bahu lawan, kamu dapat membaca kemana lawanmu akan menyerang”, berkata Mahesa Amping memberikan penjelasan tentang membaca gerakan bahu lawan dengan berbagai kemungkinannya.
“Pada kesempatan lain, kita berlatih membaca gerakan mata lawan”, berkata Mahesa Amping yang disambut dengan tatapan mata seperti tidak percaya.
“Mengapa kamu memandangku seperti itu ?”, bertanya Mahesa Amping sambil tersenyum.
“Kukira setelah dapat membaca gerakan bahu lawan, pelajaran sudah tamat, ternyata masih ada lagi pelajaran membaca mata lawan”, berkata Lawe sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Begitulah sifat ilmu yang tidak ada batas ujungnya”, berkata Mahesa Amping kepada sahabatnya Lawe yang mulai mengerti bahwa menekuni ilmu kanuragan memang tidak ada batas akhirnya, seperti batas cakrawala yang tidak dapat didekati tepinya.
Sementara itu Matahari sudah bergeser ke barat bersembunyi di balik bukit.
“Bergabunglah”, terdengar Gurusuci Darmasiksa memanggil Lawe dan Mahesa Amping.
“Ada yang ingin kuceritakan kepada kalian”, berkata Gurusuci Darmasiksa setelah tiga orang pemuda duduk berkumpul didekatnya.
“Adakah dari kalian yang pernah mendengar tentang Kembang Wijaya”, bertanya Gurusuci.
“Ayahku pernah bercerita tentang kembang itu yang katanya hanya ada di sebuah selatan Nusajawa”, berkata Lawe yang memang pernah mendengar cerita tentang kembang Wijaya.
“Apalagi yang kamu ketahui tentang kembang itu”, bertanya Gurusuci Darmasiksa kepada Lawe.
“Konon katanya siapapun yang mendapatkan kembang itu akan menjadi seorang raja besar”, berkata Lawe.
“Apa yang kamu ketahui tentang keberadaan dan keramat kembang itu adalah benar adanya”, berkata Gurusuci Darmasiksa berhenti sebentar menarik nafas panjang. “Aku akan bercerita tentang rahasia lain dari kembang keramat itu, bahwa kembang itu hanya mekar sekali dimalam hari setiap tiga ratus tahun sekali”, kembali Darmasiksa menghentikan bicaranya menarik nafas lebih panjang membuat Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya tidak sabaran untuk mendengar kelanjutannya.
“Ketika aku turun gunung, kulihat ada bintang api dilangit”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Pertanda apakah dengan kehadiran Bintang Api itu?”, bertanya Raden Wijaya sepertinya tidak sabaran.
Gurusuci tersenyum mendengar pertanyaan itu.”Bintang Api itu hanya muncul tujuh puluh lima tahun sekali”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Apa hubungannya dengan kembang wijaya?”, bertanya Mahesa Amping
“Kembang Wijaya mekar berkembang sepekan bersama kemunculan bintang Api itu”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Sayangnya kembang wijaya itu jauh tumbuh di Pulau Kembang”, berkata Lawe
“Inilah rahasia besar yang akan aku sampaikan kepada kalian, sebuah rahasia keluarga”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Apakah aku dan Lawe boleh mengetahuinya?”, bertanya Mahesa Amping karena menyangkut masalah rahasia keluarga.
“Justru kalian perlu mendengarkannya”, berkata Gurusuci membuat Mahesa Amping menjadi agak lega dan merasa tidak risih lagi namun menjadi penasaran bahwa dirinya diperlukan mendengar rahasia keluarga.
“Dengarlah, bahwa salah seorang buyut kami telah membawa tanaman kembang wijaya itu dari Pulau Kembang kedaratan”, berkata Gurusuci Darmasiksa, terlihat menarik nafas panjang menghentikan perkataannya. “Tahukah kalian, dimana buyut kami itu menanam tanaman keramat itu?”, bertanya Gurusuci Darmasiksa sambil tersenyum menatap wajah ketiga pemuda yang menunggu apa kelanjutan ucapan Gurusuci darmasiksa.
“Buyut kami menanam tanaman itu di curuk kembar ini, tepatnya didalam goa dibalik salah satu air terjun itu”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil menunjuk salah satu dari air terjun.
“Eyang begitu yakin dibalik air terjun itu ada sebuah goa?”, bertanya Raden Wijaya.
“Ayahku pernah bercerita bahwa dirinya pernah masuk kedalam goa itu, ternyata kembang itu masih kuncup, belum mencukupi masa tiga ratus tahun”, berkata Gurusuci Darmasiksa.”Inilah rahasia dan wasiat dari ayahku untuk menjaga Kembang Wijaya itu. Hari ini saatnya seseorang pewaris memiliki kembang keramat itu. Aku berharap anakku berkenan mewakiliku”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Raden Wijaya.
“Cucunda mewakili eyang untuk memiliki kembang itu?”, berkata Raden Wijaya mengulang ucapan Gurusuci Darmasiksa.
“Engkaulah pewaris itu”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Raden Wijaya.
“Bukankah masih ada Paman Ragasuci?”, bertanya Raden Wijaya.
“Ragasuci telah memiliki tahtanya sendiri yang seharusnya menjadi milikmu, saatnya engkau mencari tahtamu yang sebenarnya, tahta yang lebih besar, jauh melebihi tanah Pasundan”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Apapun yang eyang kehendaki, akan cucunda pusakai”,berkata Raden Wijaya penuh hormat.
“Kembang Wijaya adalah lambang cinta, Kembang Wijaya juga lambang kesetiaan. Kepada seorang raja yang bijaksana itulah cinta dan kesetian dipersembahkan”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Cucunda belum dapat menangkap apa yang eyang maksudkan”, bertanya Raden Wijaya.
“Saatnya engkau memilih dari dua orang sahabatmu ini yang akan mewakil dirimu mengambil kembang wijaya yang telah mekar sebagai sebuah persembahan”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada raden Wijaya.
“Amanat ini telah diberikan kepadaku, biarlah aku sendiri yang menanggungnya”, berkata Raden Wijaya
“Sudah menjadi sebuah syarat, tidak dapat diubah”, berkata Gurusuci darmasiksa sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku memilih Mahesa Amping, karena ini menyangkut sebuah pekerjaan yang pasti penuh bahaya yang kita tidak ketahui. Semoga Lawe sahabatku dapat menerimanya”, berkata Raden Wijaya yang akhirnya menerima persyaratan itu dan memilih Mahesa Amping untuk mewakilinya.
Akhirnya Mahesa Amping telah mempersiapkan dirinya. Gurusuci Darmasiksa memberikan beberapa petunjuk kepada Mahesa Amping apa yang harus dilakukannya.
“Ambilah Curuk yang ada di sebelah kanan, dibalik curuk itulah goa itu tersembunyi”, berkata Gurusuci Darmasiksa memeberi petunjuk arah.
Namun belum sempat Mahesa Amping melangkah, tiba-tiba muncul sebuah suara yang bergema yang tidak diketahui dari mana sumber suaranya berasal.
“Biarkan aku yang memiliki Kembang Wijaya itu, kalian akan kukubur semuanya ditempat ini sebagai tumbal”, terdengar suara itu melengking diiringi suara tawanya mirip menyerupai suara ringkik kuda membuat siapapun yang mendengarnya akan berdiri bulu kuduknya. Apalagi hari sudah mulai agak gelap karena senja sudah lama berlalu.
“Ternyata Ki Bancak masih belum berubah, masih suka main sembunyi-sembunyian”, berkata Gurusuci Darmasiksa dengan suara yang dilambari tenaga dalam yang tinggi.
“Kakek keriput, ternyata pendengaranmu masih cukup tajam”, berkata suara itu penuh gusar karena sudah dapat diketahui oleh jati dirinya oleh Gurusuci Darmasiksa.
“Segeralah kamu ke goa di balik curuk itu, kami mampu menangani orang ini”, berbisik Gurusuci Darmasiksa kepada Mahesa Amping yang terlihat ragu dan berat hati.
Namun, akhirnya Mahesa Amping percaya penuh kepada Gurusuci Darmasiksa, meski baru mendengar dari beberapa orang di sekitar istana akan tingkat ilmu Gurusuci Darmasiksa yang diakui sebagai Raja yang mempunyai kemampuan ilmu yang tinggi, dan terus meningkat ilmunya di Padepokan tempatnya mengasingkan diri.
“Hati-halilah sahabat”, berkata Raden Wijaya mengantar langkah Mahesa Amping yang telah berjalan mendekati sebuah curuk.
Terlihat Mahesa Amping telah menghilang dibalik curuk, disaksikan oleh Lawe, Raden Wijaya dan Gurusuci Darmasiksa dengan penuh harapan bahwa Mahesa Amping akan muncul kembali dalam keadaan utuh dan selamat. Namun perasaan hati mereka atas Mahesa Amping hilang seketika manakala dari kegelapan malam dan kerimbunan pepehonan muncul sesosok bayangan hitam yang tidak lain adalah orang yang selama ini bersembunyi yang sudah dikenal jati dirinya oleh Gurusuci Darmasiksa bernama Ki Bancak.
Puluhan tahun yang lalu, antara Gurusuci Darmasiksa dan Ki bancak memang telah ada perseteruan yang tajam. Mereka terlibat dalam masalah cinta segitiga memperebutkan hati seorang putri melayu. Perselisihan mereka diselesaikan dalam pertandingan terbuka yang adil. Gurusuci Darmasiksa berhasil mengalahkan Ki Bancak. Sejak itulah mereka tidak berjumpa kembali, Ki Bancak telah mengasingkan dirinya terus berlatih meningkatkan ilmunya dan sekaligus mendirikan sebuah Padepokan. Diantara muridnya adalah Patih Manohara dan Juragan Susatpam yang sampai saat ini seperti telah menghilang tenggelam ditelan bumi, tidak diketahui rimbanya.
Dari beberapa petugas telik sandi ada dikabarkan bersembunyi di Padepokan Ki Bancak.
“Hari ini kita berjumpa kembali Darmasiksa”, berkata Ki Bancak ketika sosok wajahnya terlihat jelas.
“Semoga kesejahteraan meliputimu Bancak”, berkata Gurusuci Darmasiksa penuh senyum.
“Aku merasakan ilmumu sudah jauh meningkat lewat lontaran suaramu”, berkata Ki Bancak
“Aku pun melihat hal yang sama didalam suara ringkik ketawa kudamu”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Langsung saja ke pokok masalah, kedatangannku kemari hanya untuk membuat sebuah perhitungan atas diri dua orang muridku”, berkata Ki Bancak yang sepertinya mempunyai watak yang sangat terbuka dan tidak suka akan unggah-unggah.
“Ternyata sifatmu masih belum berubah, polos dan tidak bertele-tele”, berkata Gurusuci Darmasiksa. “Ada apa dengan kedua muridmu, hingga kamu muncul setelah lama bersembunyi”.
“Aku mau membuat perhitungan dengan orang yang telah mengalahkan kedua muridku”, berkata Ki Bancak.
“Biarlah aku mewakili sahabatku, bila urusan berkisar pada dua orang muridmu”, berkata Raden Wijaya yang langsung menebak bahwa inilah guru dari Patih Manohara dan Juragan Susatpam.
“Maafkan cucundaku, orang muda memang selalu ingin cepat menyelesaikan masalah”, berkata Gurusuci Darmasiksa yang masih belum dapat meraba seberapa tinggi ilmu Ki Bancak dan tidak menginginkan Raden Wijaya menjadi bulan-bulanan kakek tua yang dulu menjadi lawan perseteruannya yang diketahui saat itu mampu mengimbangi ilmunya.
“Ternyata Darmasiksa tua sudah punya banyak cucu, tidak usah khawatir aku akan meladeni cucumu dan membiarkan dirimu berdiri cemas menjadi seorang penonton”, berkata Ki Bancak gembira melihat Darmasiksa sepertinya terlihat cemas.
“Hari sudah begitu gelap, apakah tidak sebaiknya urusan kita selesaikan besok hari?”, berkata Gurusuci Darmasiksa yang mencoba mengulur waktu, berharap urusan tidak perlu diselesaikan dengan sebuah pertempuran.
“Jangan coba-coba membodohiku, aku sudah ikut mendengar rahasia besar tentang Kembang Wijaya yang keramat itu. Mungkin inilah jodohku menjadi raja besar dan akan menurunkan banyak raja-raja. Urusan kedua muridku ku anggap telah lunas bila saja kalian menyerahkan Kembang Wijaya kepadaku”, berkata Ki bancak menawarkan penyelesaian urusannya.
“Lama mengasingkan diri meningkatkan ilmu telah membuat dirimu berada diatas puncak gunung yang tinggi”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
“Aku menawarkan penyelesaian urusan dengan mudah, tapi nampaknya kamu ingin mencari jalan lain, menyelesaikan secara laki-laki sebagaimana beberapa puluh tahun yang lalu”, berkata Ki bancak penuh percaya diri.
“Tulang-tulangku sudah begitu rapuh, aku tidak yakin dapat melakukan urusan secara laki-laki sebagaimana yang kamu maksud”, berkata Gurusuci merendahkan dirinya.
“Jangan pura-pura merendahkan diri, diam-diam aku sering bertandang ke Gunung Kahuripan sekedar mengintip sudah berapa jauh ilmu yang kamu tingkatkan”, berkata Ki Bancak berterus terang.
Gurusuci Darmasiksa terdiam sejenak. Ucapan Ki bancak membuat dirinya merenung. Yang ditangkap bahwa Ki bancak datang ke Gunung Kahuripan bukan sekedar mengintip ilmunya, tapi sebuah ungkapan kerinduan seorang sahabat untuk melihat keadaan sahabatnya. Dahulu kala mereka memang dua orang sahabat yang selalu bersama. Tapi kemunculan seorang wanita telah memisahkan hati mereka. Tapi hakikat persahabatan memang tidak mudah terpisah, dalam sanubari yang paling dalam mereka mengakui ada gejolak kerinduan masing-masing yang tidak mudah dielakkan, datang setiap saat.
“Entahlah, setelah bertemu denganmu, tulang-tulang tuaku ini sepertinya ingin menjajal sejurus dua jurus ilmu shabatku yang kudengar terus meningkatkan ilmunya”, berkata Gurusuci Darmasiksa dengan senyum penuh persahabatan.
Memandang senyum penuh persahabatan dari Gurusuci Darmasiksa, hati Ki bancak sepertinya telah mencair. Dihadapannya bukan lagi laki-laki yang telah merebut cintanya, tapi seorang sahabat lamanya.
“Ternyata kamu tidak banyak berubah, dulu kita pernah melanglang dunia bersama, menerima setiap tantangan, pedoman kita saat itu siapa jual kita pasti beli. Dan siapapun yang menantang, siapapun yang menjual tantangan, hari ini aku hanya ingin mencoba sejauh mana ilmu sahabatku, semoga tidak berkarat dimakan usia”, berkata Ki Bancak.
“Seperti yang kamu katakan, ilmuku mungkin sudah berkarat, karena lama tidak digunakan”, berkata Gurusuci Darmasiksa melangkah mendekati Ki Bancak.
“Ilmumu yang paling berbahaya adalah merendahkan diri, tapi itu tidak banyak berguna ditanganku”, berkata Ki Bancak sambil melangkah mendekati tanah yang agak lapang, dan Gurusuci Darmasiksa mengikutinya dari belakang.
Sinar rembulan diatas tebing menyinari dua sosok bayangan yang saling berhadapan. Suara deras deru air terjun yang jatuh seperti irama yang ajeg dari gendarang tabuan memecah kebekuan suasana dingin malam di curuk kembar. Dan dua sosok bayangan sudah terlihat saling berkelebat melesat sebagaimana burung wallet hitam disaat senja. Begitu cepat gerakan mereka saling menyerang. Kadang benturan tangan dan kaki tidak dapat lagi terhindar, pada saat itu terlihat dua sosok saling terjengkang kebelakang. Namun kembali mereka bangkit berdiri dan dua bayangan hitam kembali terlihat berkelebat, melesat saling menyambar dan menghindar.
Sebuah tontonan ilmu tingkat tinggi yang begitu cepat. Raden Wijaya dan Lawe sepertinya tidak mampu mengenali siapa Gurususci Darmasiksa dan yang mana Ki Bancak. Keduanya telah berubah sebagai bayangan yang berkelebat begitu cepat.
“Garis ilmu mereka dari perguruan yang sama”, berkata Raden Wijaya yang sudah dapat melihat dasar gerak mereka ternyata mempunyai persamaan yang sangat jelas. Mereka sepertinya bukan tengah bertempur, tapi layaknya dua orang saudara seperguruan tengah berlatih.
Apa yang dilihat Raden Wijaya ternyata tidak meleset, mereka memang berasal dari perguruan yang sama, sehingga begitu mudahnya mereka mengelak setiap serangan dan sepertinya sudah saling membaca kemana arah serangan selanjutnya.
Demikianlah pertempuran antara Gurusuci darmasiksa dan ki bancak terus berlanjut, dan ratusan jurus telah mereka lewati tanpa ada tanda-tanda akan berakhir. Setahap demi setahap mereka terus meningkatkan tataran ilmu masing-masing hingga akhirnya telah sama-sama pada puncak ilmunya masingmasing.
Pertempuran pun menjadi begitu seru. Hawa di sekitar curuk kembar yang semula dingin berubah menjadi hangat. Makin ke inti pertempuran udara menjadi begitu panas. Ternyata kedua orang yang bertempur itu telah melambari dirinya dengan Aji Geni Ngampar. Tubuh mereka telah berubah seperti bola api yang melesat kesana kemari menyambar sasaran yang langsung balas menyerang. Benar-benar sebuah pertempuran yang sangat mengerikan. Layaknya dua dewa bertempur di kegelapan malam dalam iringan deru air terjun yang terus menderu tiada henti.
Desss…desss !!!!, sebuah bayangan hitam tiba-tiba saja melesat memecahkan dua buah serangan yang akan saling beradu ilmu yang sama. Ilmu aji geni ngampar yang dahsyat.
Gurusuci Darmasiksa seperti membentur sebuah gunung batu, dirinya terlempar beberapa langkah kebelang. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ki Bancak.
“Guru!!!”, Gurusuci Darmasiksa dan Ki Bancak berteriak kata yang sama, mata mereka sepertinya tidak mempercayai apa yang mereka lihat.
“Aji Geni Ngampar bukan untuk dipermainkan”, berkata orang yang dipanggil guru oleh Darmasiksa maupun Ki bancak.
“Ampuni Guru, akulah yang bersalah”, berkata Ki Bancak
“Ampun Guru, akulah yang memulai”, berkata Gurusuci Darmasiksa.
Orang yang dipanggil Guru itu terlihat tersenyum. “Rasa persaudaraan diantara kalian ternyata tidak
pernah putus, kalian masih terus saling membela. Lupakanlah perselisihan yang telah berlalu, kuburlah sebagai sebuah kenangan masa lalu. Aku ingin di usia tuaku ini melihat kalian kembali bersatu, saling memaafkan”, berkata orang tua yang dipanggil guru itu.
Gurusuci Darmasiksa dan Ki Bancak sebenarnya sudah lama melupakan perselisihan mereka seiring perjalanan waktu. Mereka sudah menyadari tentang hakikat takdir sebagai garis hidup yang harus di syukuri, pahit dan manisnya.Dan mendengar permintaan dari guru mereka untuk saling memaafkan seperti besi sembrani mereka saling mendekat, tangis kerinduan dua sahabat, dua saudara seperguruan yang lama terpisah terasa begitu mengharukan.
Raden Wijaya dan Lawe langsung mendekat, mereka tidak mengerti apa sebenarnya telah terjadi. Yang mereka ketahui ada bayangan yang tiba-tiba saja datang dan melerai pertempuran keduanya. Masih dalam ketidak mengertian, mereka melihat dua orang yang tengah bertempur itu saling berpelukan, bahkan saling bertangisan.
“Mereka tengah membakar sisa noda hitam dengan tangisannya, dua hati saudara telah kembali bersatu”, berkata orang tua itu kepada Raden Wijaya dan Lawe yang datang mendekat.
“Mari kita bicara ditempat yang lebih hangat”, berkata orang tua itu ketika menghampiri kedua murudnya itu yang masih diselimuti keharuan dan kerinduan yang telah kembali bersatu.
Merekapun telah berjalan mendekati sebuah batu cadas besar yang cukup luas. Disitulah mereka duduk berkumpul.
“Darimana saja guru selama ini?”, berkata Gurusuci Darmasiksa memulai pembicaraan.
“Aku mengikuti garis takdir buyutku, sebagai penjaga Kembang Wijaya”, berkata orang tua itu.
“Jadi guru adalah sang penjaga itu?”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada gurunya.
“Sengaja aku menutup jati diriku yang sebenarnya, buyutmu dan buyutku adalah dua orang sahabat dalam garis hidup yang berbeda, buyutmu harus menjalani hidup sebagai seorang raja, sementara buyutku harus menjalani takdirnya sebagai seorang penjaga setia Kembang Wijaya”, berkata orang tua itu. “itulah sebab dari sebuah akibat, mengapa aku mengambil kalian berdua sebagai muridku”, berkata kembali orang tua itu.”Semula aku harapkan Bancak lah yang akan datang menembus goa untuk mengambil kembang kesetiaannya, namun aku kecewa atas apa yang terjadi diantara kalian berdua”, kembali orang tua itu berkata. Terlihat Gurusuci Darmasiksa dan Ki bancak tertunduk, sepertinya menyesali atas apa yang mereka perselisihkan dimasa lalu.
“Aku gembira setelah mengetahui bahwa yang datang adalah dari golonganmu”, berkata orang tua itu dengan wajah cerah menatap semua mata yang memang tengah memandangnya.
“Maafkan aku Darmasiksa, sebagaimana yang guru katakan, harusnya akulah yang masuk ke curuk itu mempersembahkan Kembang Wijaya kepadamu”, berkata Ki bancak penuh penyesalan.
“Gusti yang Maha Tunggal telah berkehendak lain, itulah yang harus selalu kita jaga dan terima sebagai rasa syukur, bukankah begitu guru?”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil tersenyum.
“Pengenalanmu atas Yang Maha Berkehendak sudah menghampiri”, berkata orang tua itu penuh wajah sukacita dan kebahagiaan.
“Semoga aku dapat mengikuti jejak saudaraku”, berkata Ki Bancak
“Dia yang maha berkehendak, bila kamu berjalan selangkah, dia akan berjalan menghampirimu sepuluh langkah, bila kamu datang dengan berjalan, Dia akan datang kepadamu dengan berlari. Sesungguhnya Gusti yang Maha Berkehendak ada di dalam dirimu lebih dekat dari urat lehermu”, berkata orang tua itu.
“Petuah Guru akan kami pusakai”, berkata Ki Bancak seperti seorang murid yang telah menerima pencerahan yang sangat berharga. Dan hatinya telah terbuka menerima pencerahan itu.
***
Sementara itu kita tinggalkan dulu pertemuan antara guru dan dua orang muridnya yang sudah sekian lama tidak saling berjumpa. Saatnya kita mengikuti perjalanan Mahesa amping yang masuk ke goa yang tersembunyi dibalik curuk kembar.
Ternyata apa yang dikatakan oleh Gurusuci Darmasiksa tentang goa di balik air terjun itu benar adanya. Ketika merasakan air terjun yang deras menerjang keras diatas kepalanya, dengan kemampuan ilmu yang tinggi Mahesa Amping dapat melidungi dirinya dengan melambari wadagnya dengan kekuatan kasat mata, Mahesa Amping tidak merasakan kerasnya terjangan air terjun menghantam diatas kepalanya. Dan akhirnya Mahesa Amping dapat melewati air terjun itu dengan begitu mudahnya.
Mahesa Amping telah berdiri di bibir sebuah goa yang gelap. Dirasakan goa itu cukup tinggi melebihi sedikit diatas kepalanya. Rongga dikiri kanannya juga dirasakan cukup luas, melampau dua tangan yang direntangkan.
Mahesa Amping tidak menyadari bahwa sepasang mata tengah mengawasi, suasana didalam goa itu memang cukup pekat, ditambah lagi keberadaan orang itu tengah merapat di dinding goa yang agak melengkung masuk. Ketika Mahesa Amping melewatinya, orang itu langsung keluar goa dimana dimuka diketahui bahwa orang itu adalah Sang Penjaga.
Hari pada saat itu memang sudah pertengahan malam, tiba-tiba saja suasana didalam goa itu berubah menjadi terang benderang. Berdetak jantung Mahesa Amping manakala mengetahui sumber cahaya yang telah menerangi goa itu ternyata sebuah bunga yang tumbuh diujung goa yang sedang mekar. Itulah Kembang Wijaya yang keramat itu.
Mahesa Amping segera mendekati kembang itu, sesuai petunjuk dari Gurusuci Darmasiksa untuk melakukan beberapa syarat yang diperlukan, antara lain harus datang dalam keadaan penuh hormat layaknya menghadap seorang Raja. Sambil bersimpuh diatas kedua kakinya Mahesa Amping menjura penuh hormat, memohan ijin untuk memetik bunga itu. Konon bilamana seorang yang datang bukan orang yang memang berjodoh, maka bunga itu tidak akan terlepas dari tangkainya. Syukurlah bahwa Mahesa Amping memang orang yang sudah berjodoh, dengan mudah bunga itu terlepas dari tangkainya manakala tangan Mahesa Amping menyentuh dan memetik bunga keramat itu.
Sementara itu, diluar goa semua mata tertuju hanya pada curuk kembar yang sebelah kanan. Mereka berharap Mahesa Amping dapat keluar dengan selamat dan membawa serta Kembang Wijaya. Yang ditunggu akhirnya datang juga.
Dari balik air terjun yang tercurah begitu deras itu menyembul sesosok tubuh yang terlihat jelas yang tidak lain adalah Mahesa Amping. Ditangannya menggenggam setangkai bunga yang nampaknya dilindungi dibalik tubuhnya agar tidak hancur diterjang derasnya air terjun.
Mahesa Amping berjalan semakin mendekat, namun manakala melihat Ki Bancak dan orang tua itu Mahesa Amping menghentikan langkahnya.
“Jangan khawatir, mereka adalah orang kita sendiri”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Mahesa Amping yang nampaknya menjadi ragu.
Mendengar ucapan Gurusuci Darmasiksa, kecurigaan Mahesa Amping menjadi berkurang, apalagi melihat sikap Ki Bancak dan orang itu yang menjura penuh hormat. Maka Mahesa Amping pun membalas hormat itu dan melanjutkan langkahnya mendekati Raden Wijaya.
“Kupersembahkan Kembang Wijaya ini kepadamu”, berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.
“Terima kasih saudaraku”, berkata raden Wijaya sambil menerima Kembang Wijaya dari tangan Mahesa Amping.
“Saatnya kita melakukan sebuah upacara”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mengeluarkan sebuah mangkuk yang sudah dipersiapkan sudah berisi air penuh
“Remas bunga itu didalam mangkuk, minumlah air yang bercampur racikan bunga itu, jangan disisakan”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Raden Wijaya yang langsung mengikuti semua petunjuk dari Gurusuci Darmasiksa.
Mangkuk itu pun sudah seluruhnya diminum oleh Raden Wijaya tanpa tersisa. Gurusuci Darmasiksa mengambil kembali mangkuk itu serta mengisi kembali dengan air. Satu persatu yang ada disitu dipersilahkan meneguk sedikit air yang ada didalam mangkuk.
“Semoga kita mendapat berkah dari mangkuk ini yang pernah dibakai sebagai bejana suci Kembang Wijaya”, berkata Gurusuci Darmasiksa setelah semua meneguk sedikit air yang ada dimangkuk itu, Gurusuci Darmasiksa sendiri adalah orang terakhir yang menghabiskan sisa air di dalam mangkuk itu.
“Mangkuk itu adalah lambang bejana kesetiaan, kita telah meminum dari bejana yang sama. Mulai hari ini hati kita telah dipersatukan untuk menjaga Sang pewaris dunia”, berkata orang tua itu yang tidak lain adalah Sang Penjaga.
“Aku berjanji”, berkata semua yang ada disitu bersamaan.
Sementara itu malam terus merayap mendekati pagi. “Tugas sebagai Sang Penjaga telah berakhir,
bagaimana bila Guru berkenan untuk hidup dan tinggal di Padepokanku”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Gurunya.
“Terima kasih, tugasku sebagai Sang Penjaga tidak pernah berakhir, pada saatnya akan datang seorang pewaris takdir, menggantikan diriku menjadi Sang Penjaga”, berkata orang tua itu.
“Guru akan hidup menyisakan usia selamanya ditempat ini?”, bertanya Gurusuci Darmasiksa kepada gurunya.
“Itulah takdir dan garis hidupku, bila kalian rindu, pintu goa ini selalu terbuka untuk kalian”, berkata orang tua itu penuh senyum kebahagiaan.
Akhirnya dengan perasaan berat hati, Gurusuci Darmasiksa dan Ki Bancak memohon diri untuk meninggalkan orang tua itu. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya ikut memohon doa restunya.
“Adalah sebuah kebahagiaan bila mana umurku masih tersisa menyaksikan penobatanmu Sang Pewaris”, berkata orang tua itu kepada Raden Wijaya yang membalasnya dengan penuh hormat.
Tidak lama kemudia rombongan kecil itupun sudah terlihat menyusuri anak sungai yang berbatu. Jalan menurun membuat perjalanan menjadi semakin cepat. Ketika mereka tiba dimuka lorong sungai, matahari pagi menyambut mereka dengan kehangatannya.
“Akhirnya Ki Bancak datang ke Padepokanku secara terbuka”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada sahabatnya Ki Bancak.
“Bilamana datang kerinduan, aku memang selalu berkunjung secara bersembunyi, hanya untuk melihat keadaan sahabatku”, berkata Ki Bancak sambil tersenyum malu.
“Bila jual beli jurus di Pasundan diartikan berlatih, aku tidak keberatan”, berkata Mahesa Amping yang dapat menangkap maksud Ki bancak yang hanya ingin berlatih, tidak lebih dari itu.
Akhirnya mereka bersama turun dari pendapa mencari tempat yang cukup luas diluar pendapa yang juga biasa dipergunakan para cantrik di Padepokan itu untuk berlatih kanuragan.
“Silahkan Mahesa Amping, kamu yang menjual”, berkata Ki Bancak kepada Mahesa Amping untuk memulai serangan terlebih dahulu.
“Silahkan Ki Bancak menawar jurusku ini”, berkata Mahesa Amping sambil melakukan serangan awal lewat sebuah tendangan yang lurus kedepan menyerang ke arah perut Ki bancak.
“Terlalu murah untuk dihargai”, berkata Ki Bancak sambil memiringkan sedikit tubuhnya bersamaan dengan itu sebuah pukulan mengayun kearah kepala Mahesa Amping.
Sebuah serangan yang tidak dapat dibaca dan diperhitungkan datang begitu tiba-tiba. Tapi mahesa Amping memang selalu siap mengikuti setiap serangan.
Terlihat Mahesa Amping menjatuhkan diri menghindar dan berbarengan dengan itu sebuah tendangan melingkar mengincar kedua kaki Ki Bancak.
Tersentak kagum Ki Bancak melihat gaya Mahesa Amping menghindari serangannya dan langsung membalas menyerang dengan cepat dan tidak diduga.
Terlihat Ki Bancak melompat mengindarkan sentuhan kaki Mahesa Amping dan membalas dengan sebuah kakinya menjulur mengancam kepala Mahesa Amping.
Mahesa Amping membiarkan kaki Ki Bancak mendekati sasaran, namun begitu kaki itu nyaris sekitar satu jari mendekatinya, dimiringkannya sedikit wajahnya dan kaki Ki Bancak lewat menembus angin.
Ternyata tangan Mahesa Amping yang leluasa langsung menghantam kaki Ki Bancak yang masih mengambang. Desss !!!
Kaki Ki bancak sepertinya ditambah kecepatannya membuat badan Ki Bancak ikut berputar. Dan dengan mudahnya Mahesa Amping menendang sendi kaki Ki Bancak dari belakang. Akibatnya kaki Ki bancak tertekuk kedepan mendorong tubuhnya nyaris mencium tanah.
Namun dengan cepat Ki Bancak melakukan lompatan yang indah.
“Jurus yang sangat mahal”, berkata Ki Bancak yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sekarang akulah yang menjual”, berkata Ki Bancak sambil menyerang Mahesa Amping dengan sebuah tendangan kaki meluncur kearah perut Mahesa Amping.
“Terlalu mahal untuk dinilai”, berkata Mahesa Amping sambil memiringkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu meniru apa yang pernah dilakukan oleh Ki Bancak, tangan Mahesa Amping mengayun ke arah wajah Ki Bancak.
Dan ternyata Ki Bancak berbuat yang sama sebagaimana Mahesa Amping menjatuhkan dirinya berbarengan membalas serangan dengan membuat tendangan melingkar mengancam kedua kaki Mahesa Amping.
Kembali Mahesa Amping meniru apa yang pernah dilakukan oleh Ki bancak, dirinya melompat sambil meluncurkan sebuah tendangan kearah wajah Ki Bancak.
Mahesa Amping dapat membaca bahwa Ki Bancak akan melakukan sebagaimana pernah dilakukannya yaitu membiarkan kakinya lewat didepan wajahnya menembus tempat kosong dan langsung akan menghantam kakinya yang berekibat kakinya akan mengayun berputar.
Maka ketika kaki Mahesa Amping yang sepertinya dibiarkan menembus menghantam wajah Ki Bancak hanya tinggal satu jari, tiba-tiba saja Mahesa Amping menarik kembali kakinya berganti dengan sebuah pukulan tangan kosong ke dada Ki Bancak.
Bukkk !!!
Dada Ki Bancak terkena pukulan. Untungnya pukulan itu hanya berlandaskan tenaga wadag. Tapi cukup membuat Ki Bancak terdorong ke belakang.
“Lagi-lagi aku yang tua ini kena ditipu oleh orang muda”, berkata Ki Bancak sambil mencoba berdiri tegak.
Diam-diam Gurusuci Darmasiksa mengagumi gerakan tubuh Mahesa Amping yang sudah begitu sempurna begitu lentur dapat bergerak sesuka hati.
“Semuda ini sudah dapat menguasai gerakan yang begitu sempurna”, berkata Gurusuci Darmasiksa mengagumi diri Mahesa Amping.
Kembali terlihat Mahesa Amping dan Ki Bancak sudah saling menyerang. Kali ini serangan terlihat lebih cepat. Sungguh sebuah perkelahian yang indah untuk dipertontonkan. Layaknya sebagaimana dua ekor garuda bertempur diudara. Saling menyerang dan balas menyerang melesat dan berkelebat begitu cepatnya.
Desssss !!!
Kembali terlihat Ki Bancak terlempar terkena sebuah tendangan dari Mahesa Amping.
“Jurusmu terlalu mahal untuk kuhargai”, berkata Ki Bancak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda mengagumi kehebatan Mahesa Amping. “Aku belum menyerah kalah”, berkata Ki Bancak yang kembali melakukan serangan – serangan.
Kembali terlihat perkelahian yang sangat seru dan begitu indah layaknya sebuah seni pertunjukan. Duel antara dua orang yang memiliki kesempurnaan gerak tubuh yang dibarengi oleh kecepatan gerak, sehingga boleh dibilang sebuah perkelahian yang indah. Semua mata yang melihatnya akan menarik napas panjang manakala melihat sebuah serangan yang cepat dan berbahaya meluncur ke salah satu lawan. Dan nafas pun keluar lega manakala melihat salah satu lawan dapat keluar dari sergapan dan serangan yang layaknya begitu sulit untuk dihindari.
“Tunjukkan kehebatan ilmumu yang lain, anak muda”, berkata Ki Bancak kepada Mahesa Amping.
Selesai bicara Ki Bancak telah melepas ilmu puncaknya, Aji Geni Ngampar. Udara disekitar itupun tiba-tiba saja telah berubah seperti terbakar. Tubuh Ki Bancak adalah sumber panas itu sendiri sudah seperti bara yang menyala, bayangkan bahwa udara di sekitar itu saja sudah begitu panas dan tidak terbayangkan lagi bagaimana bila sumber panas itu sendiri yang menerjang.
Berpikir betapa bahayanya bila serangan pasti akan datang membakar dirinya, Mahesa Amping telah menghentakkan nalar budinya, mengungkap kekuatan terpendam yang tersembunyi lewat kepekaan naluri melindungi setiap ancaman. Tiba-tiba saja dari tubuh Mahesa Amping menguap hawa dingin keluar bagai asap salju yang begitu dingin.
Mahesa Amping tidak lagi merasakan hawa panas yang mencekam, dan melayani setiap serangan Ki bancak sebagaimana semula, bahkan sekali-kali berani membenturkan tangan dan kakinya ketubuh Ki Bancak.
Bukan main kagumnya Ki Bancak yang mendapatkan bahwa Mahesa Amping tidak merasakan apapun dari hawa panas yang membara lewat Aji Geni Ngamparnya.
Gurusuci Darmasiksa berdecak kagum melihat bahwa Mahesa Amping ternyata mampu menandingi ilmu aji geni milik andalan perguruannya.
“Anak muda ini memang dapat diandalkan, setidaknya ilmu Sanggrama Wijaya tidak jauh terpaut dari dirinya”, berkata Gurusuci Darmasiksa dalam hati.
Sementara itu perkelahian memang masih terus berlanjut, saling serang dan berbalas menyerang. Terlihat kelebatan mereka bagai burung cikatan saling menyambar diudara, bahkan kadang begitu cepatnya hingga hanya terlihat bayang-bayang hitam saling melesat dan berkelebatan.
Mahesa Amping menghentakkan tataran ilmunya lebih setingkat lagi. Dampaknya ternyata begitu luar biasa.
Dess !!!!
Dua tangan saling beradu, Ki Bancak merasakan tubuhnya menggigil kaku merasakan hawa dingin yang begitu kuat menyelimuti seluruh tubuhnya. Dan kesempatan sedetik itu dipergunakan Mahesa Amping menendang pinggul Ki Bancak yang terbuka.
Bukk!!!!
Tubuh Ki Bancak terlempar sampai jauh, untungnya Ki bancak punya daya tahan yang kuat dan dapat menjaga keseimbangan tubuhnya dengan jalan jatuh bergelinding ditanah. Namun ketika Ki Bancak telah berdiri tegak kembali, sebuah sorot mata Mahesa Amping telah menghancurkan batu besar di sebelahnya luluh lumat menjadi debu yang halus.
Berdesir seluruh darah Ki bancak membayangkan bahwa seandainya dirinyalah yang menjadi sasaran sorot mata itu.
“Cukup, aku menyerah kalah. Ganjalan dihatiku atas kekalahan dua orang muridku sudah hilang. Bahkan aku mengucapkan terima kasih tak terhingga atas kemurahanmu tidak melumatkan dua orang muridku sebagaimana batu itu”, berkata Ki Bancak sambil mengibas-ngibaskan bagian tubuhnya dari debu halus batu yang hancur berdebu.
“Awalnya aku membawa kalian kemari untuk menambah pegangan dan bekal ilmu. Ternyata tidak ada lagi yang perlu ditambahkan. Aku yakin dimasa mendatang kalian masih dapat berkembang jauh lebih sempurna lagi melebihi kesempurnaan yang baru saja kulihat”, berkata Gurusuci Darmasiksa bangga atas apa yang dilihatnya.
“Apakah kalian telah mencium sesuatu?”, berkata Ki Bancak yang sepertinya tengah mencari sesuatu lewat penciumannya.
“Aku telah mencium sebuah aroma yang membangunkan cacing-cacing diperutku”, berkata Lawe sambil memegang perutnya.
“Ternyata dibandingkan dua orang saudaramu, daya penciumanmu yang paling andal”, berkata Ki Bancak kepada Lawe. “Coba tebak, aroma apa yang kamu rasakan?”, berkata kembali Ki Bancak kepada Lawe. “Seekor gurame panggang yang siap matang”, berkata Lawe sambil tersenyum.
“Ternyata penciuman kita sama, aku pun telah merasakan yang sama”, berkata Ki Bancak sambil menepuk bahu Lawe.
“Ternyata penciuman kalian tuli, hari ini aku meminta seorang cantrikku untuk menyajikan masakan pecak gabus, untuk meyakinkan, mari kita segera kependapa”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mempersilahkan tamunya ke pendapa.
Ketenangan suasana puncak bukit Padepokan yang teduh serta suasana pemandangan yang begitu asri membuat mereka merasakan sebuah tamasya yang panjang. Keramahan dan keterbukaan sikap sepuluh cantrik di Padepokan itu menambah suasana begitu mengesankan dalam keakraban. Mereka seperti berada didalam sebuah keluarga. Tidak terasa hati mereka sudah terikat dalam kesetiaan layaknya seorang saudara.
“Pintu Padepokanku akan selalu terbuka untukmu, saudaraku”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Ki Bancak di regol pintu gerbang.
“Aku juga menanti kunjunganmu, saudaraku”, berkata Ki bancak kepada Gurusuci Darmasiksa.
“Sampaikan salamku kepada juragan Susatpam, semoga hukuman empat tahun menghadap dinding akan mengubah sikap dan perilakunya”, berkata Raden Wijaya yang ikut melepas kepergian Ki Bancak.
“Aku akan terus mengawasi dan membimbingnya, akan kusampaikan salammu anak muda”, berkata Ki Bancak kepada raden Wijaya. Tidak terasa sudah tiga pekan Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping tinggal Di Padepokan Gurusuci Darmasiksa. Lawe telah menggunakan waktu tiga pekan itu untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dirinya dibawah langsung bimbingan Mahesa Amping, Raden Wijaya juga kadang Gurusuci Darmasiksa ikut memberikan bimbingannya. Lawe memang termasuk punya kecerdasan yang tinggi, lewat pengalaman pahitnya dalam perkelahian dengan Juragan Susatpam, akhirnya Lawe dapat memperkaya gerakannya dengan unsur angin. Sebuah gerakan yang menitik beratkan pada perubahan – perubahan yang tidak lagi mengalir tapi kadang berubah arah tidak terduga.
“Kelak bila saatnya tiba, kamu juga akan mengenal apa yang dinamakan dengan unsur api dan unsur tanah”, berkata Mahesa Amping yang merasa bahwa Lawe sudah dapat mengenal unsur angin dengan sangat memuaskan.
Sementara itu dalam tiga pekan terakhir, Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah mendapatkan pengenalan yang lebih gamblang dalam ilmu kejiwaan. Ternyata pengembaraan rohani mereka yang berawal dari pemahaman atas rontal suci Empu Purwa di Padepokan ini sepertinya telah dibawa ke tempat yang lebih jauh dan dalam. Gurusuci Darmasiksa telah membawa mereka ke samudra Rohani yang begitu luas dan dalam. Mereka merasakan semakin masuk kedalam semakin banyak mengenal indahnya samudera Rohani. Sebuah perjalanan yang tidak pernah terbatas ujung dan tidak pernah bertepi.
“Buih dan ombak adalah lautan, manakala buih berkata akulah lautan, itulah sebuah kebodohan”, berkata Gurusuci Darmasiksa menyampaikan bimbingan rohaninya lewat bahasa seloka.
“Kemanunggalan rasa tidak membutakan dirinya, pengakuan akan memenjarakan dirinya untuk sampai kepada yang dituju”, berkata Mahesa Amping membaca seloka Gurusuci Darmasiksa.
“Itulah awal pengenalan atas nama, sifat dan perbuatanNYA”, berkata Gurusuci Darmasiksa
“Semoga kami dapat mempusakainya”, bekata Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang merasa dibawa kedalam perjalanan ruhani yang pernah mereka lewati, namun perjalanan kali ini bukan hanya sekedar lewat, tapi lebih bermakna dalam setiap jengkal langkah.
“Gusti yang maha pencipta telah membaguskan dirimu dengan lenggangmu ketika berjalan, Gusti yang maha hidup telah menentukan kapan saatnya kamu berkedip”, berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
“Petuah ini akan kami pusakai”, berkata Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
“Yang panjang jangan dipendekkan, yang pendek jangan dipanjangkan. Adakan yang ada, jangan mengadakan yang tiada”, berkata Gurusuci Darmasiksa. “Pandai-pandailah kalian bersembunyi ditempat terang, pandai-pandailah kalian bersembunyi ditengah kelapangan”, kembali Gurusuci berkata sambil tersenyum menyampaikan kata-kata yang penuh makna.
“Semoga kami dapat mempusakainya”, berkata Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang seperti seorang dahaga dipadang sahara mendapatkan seteguk minuman yang menyegarkan. Tidak terasa sebulan sudah mereka di Padepokan Kahuripan. Bila saja tidak diingatkan oleh Lawe bahwa mereka masih mengemban tugas sebagai petugas delik sandi, mungkin Mahesa Amping dan Raden Wijaya akan enggan meninggalkan Padepokan Kahuripan. Akhirnya dengan berat hati, mereka menyampaikan keinginannya untuk berpamit diri.
“Sampaikan salam dan kerinduanku kepada ayahmu”, berkata Gurusuci Darmasiksa sambil memeluk Raden Wijaya penuh keharuan.
“Doaku selalu menyertai kalian”, berkata Gurusuci Darmasiksa melepas kepergian mereka.
Terlihat tiga ekor kuda berjalan semakin menjauh diikuti pandangan mata Gurusuci Darmasiksa dan kesepuluh cantriknya. Ketiga ekor kuda itu pun akhirnya tidak terlihat lagi ketika masuk kejalan yang menurun.
Hari masih belum menjadi senja manakala Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah sampai di Istana Saunggalah.
“Ternyata kalian begitu kerasan hingga lupa untuk kembali”, berkata Ragasuci yang menyambut kedatangan mereka yang tentunya bersama dengan tiga dara dari Tanah Melayu yang datang ke Pasanggrahan dimana Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya tengah beristirahat setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang.
Karena menjaga perasaan Dara Petak dan Dara Jingga, terpaksa mereka harus tinggal beberapa hari di Istana Saunggaluh. Akhirnya setelah berlalu hampir sepekan, mereka dengan berat hati menyampaikan permintaan untuk berpamit diri kembali ketanah Singasari. “Kapan kalian datang ke Tanah melayu?”, bertanya Dara Petak mewakili Dara jingga kepada Raden Wijaya dan Mahesa Amping.
“Kami berjanji akan datang, hanya tidak dapat memastikan kapan waktunya”, berkata Raden Wijaya mewakili sahabatnya Mahesa Amping.
“Sebuah kebahagiaan mendapatkan kalian kembali”, berkata Dara Jingga berusaha menahan segala gejolak perasaan di hatinya.
“Tetapkan hatimu pada ketentuan Gusti yang Maha Pencipta Alam Semesta”, berkata Mahesa Amping kepada Dara Jingga.
“Di Tanah Singasari mungkin mereka tengah menunggu kami dalam perasaan penuh kekhawatiran”,berkata Raden Wijaya kepada Ragasuci yang dapat mengerti dan mengijinkan kepergian mereka.
Perpisahan memang sebuah kata yang mengharukan. Gejolak perasaan hati sepertinya dikacaukan oleh kekhawatiran untuk tidak berjumpa lagi. Tapi perpisahan memang harus terjadi.
Terlihat tiga ekor kuda telah berjalan dalam naungan pagi yang cerah meninggalkan regol pintu istana Saunggalah, dibayangi dua pasang mata dan desah isak tangis tertahan. Sepotong belahan hati sepertinya ikut terbawa bersama langkah kaki kuda yang berjalan rancak menapaki jalan tanah yang berbatu dan menghilang disebuah tikungan jalan.
Jalan tanah itu memang masih begitu lengang. Cahaya matahari yang hangat membayangi wajah-wajah mereka. Angin semilir dan bau tanah hutan basah di sepanjang langkah mereka telah membebaskan kembali ingatan mereka akan kemerdekaan seorang pengembara sejati. Entah siapa yang memulai, langkah kaki kuda sepertinya terhentak berlari memacu diri menembus kibasan angin.
Tiga ekor kuda sepertinya saling berpacu menembus batas waktu. Tiga pengembara telah kembali membelah padang pengembaraannya seperti tiga ekor elang mengarungi belantara jagad raya melayang membelah cakrawala yang luas dalam kemerdekaan dan kebebasan yang bersahaya.
Akhirnya di batas senja mereka telah sampai di Bandar Muara Jati. Seorang syahbandar yang mereka kenal telah membawa mereka bertemu dengan seorang juragan besar yang akan berangkat berlayar menuju Churabaya.
Senja itu sebuah jung besar perlahan meninggalkan Bandar Muara Jati. Dan layarpun tertiup angin menyusuri tepian senja membawa tiga pengembara, Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
Tidak ada peristiwa apapun ketika mereka berlayar menuju Bandar Churabaya selain keramahan juragan besar yang telah memberikan mereka tumpangan.
“Apakah kalian tidak ada keinginginan untuk turun menghabiskan sisa malam?”, berkata Juragan besar itu ketika Jung besar mereka telah bersandar di sebuah Bandar kecil yang tidak bernama.
“Terima kasih, biarlah kami berjaga di jung ini”, berkata Mahesa Amping melambaikan tangannya kepada juragan itu dan juga kepada beberapa awak yang juga ikut turun.
Dan sisa malam berlalu bersama suara deru ombak menampar tepian pasir. Angin dingin pun ikut membasahi dinding jung.
Ketika pagi menjelang, kesibukan terlihat di bandar kecil tak bernama itu. Beberapa buruh terlihat tengah menurunkan dan menaikkan beberapa barang. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya sepertinya masih enggan turun dari jung. Hanya di saat perut mereka terasa lapar, akhirnya mereka turun juga dari jung mencari sebuah kedai kecil yang menjual beberapa macam makanan.
“Bandar Churabaya hanya tinggal satu malam lagi”, berkata raden Wijaya sambil memandang ke arah pantai yang sepi sepertinya banyak berharap senja secepatnya datang.
Dan harapan mereka ternyata telah disinggahi, senja akhirnya turun di Bandar kecil tak bernama itu. Sebuah sauh tengah ditarik keatas, ikatan tali pun sudah dilepas ditiang dermaga. Jung besar terlihat merayap menjauhi dermaga, meninggalkan tepian pantai yang sepi.Dan layar pun telah dikembangkan menghanyutkan jung besar melaju mengarungi pesisir utara laut Nusa jawa.
Bandar besar Churabaya memang sepertinya tidak pernah tidur, terlihat kerlap kerlip lampu minyak di beberapa kedai yang masih melayani beberapa pengunjungnya. Di saat itulah Jung besar yang ditumpangi Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping telah merapat di Bandar Churabaya.
“Terima kasih atas tumpangannya”, berkata Raden Wijaya kepada Juragan besar yang memberikan mereka tumpangan.
“Sama-sama, semoga kalian sampai di tempat tujuan dengan selamat”, berkata Juragan Besar itu sambil melambaikan tangannya kepada Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang telah turun berdiri di dermaga bersamaan ikut juga melambaikan tangannya.
“Mari kita beristirahat di kedai”, berkata Mahesa Amping sambil menunjuk sebuah kedai di ujung jalan yang masih buka.
Sebagaimana suasana sebuah Bandar besar di malam hari, suasana dikedai itu juga masih terhitung ramai mengingat hari sudah masuk di pertengahan malam.
“Pesan apa tuan muda?”, bertanya seorang pelayan tua kepada mereka.
“Makanan dan minuman terbaik di kedai ini”, berkata Lawe bergaya sebagai juragan besar.
“Gulai manjangan muda adalah hidangan terbaik kami”, berkata pelayan tua itu menawarkan hidangan terbaiknya yang dibalas anggukan kepala Lawe tanda menyetujuinya.
Pelayan tua itu pun segera kedalam untuk menyiapkan beberapa pesanan.
Namun belum lagi pelayan itu kembali, telinga Lawe nyaris seperti panas mendengar sebuah senda gurau dari empat orang yang nampaknya telah mabuk berat menikmati minuman keras. Senda gurau mereka ternyata memang ditujukan kepada Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
“Gulai Manjangan muda adalah hidangan orang tua yang sudah sepuh”, berkata seseorang yang terlihat layaknya seorang pedagang kaya, terlihat dari pakaiannya berasal dari bahan mahal.
“Atau giginya sudah banyak yang rapuh bolong”, berkata seorang lagi kawannya yang brewokan.
“Atau sakunya yang memang bolong”, berkata kawannya yang kedua sambil tertawa terbahak-bahak disambut dengan gerai tawa ketiga kawannya.
“Apakah yang kalian bicarakan adalah diriku?”, berkata Lawe langsung melabrak orang yang terakhir bicara.
“Ternyata kamu belum tuli dan pikun”, berkata orang itu semakin keras ketawanya dan disambut tawa juga dari ketiga kawannya.
Lawe yang memang gampang tersinggung, tanpa bicara lagi langsung melayangkan tangannya.
“Plokkk !!”
Orang itu merasakan sebelah wajahnya panas. “Beraninya kamu menampar wajahku”, berkata orang
itu.
“Itu masih ringan, biasanya aku suka merobek mulut
orang yang usil”, berkata Lawe ringan.
Sementara itu Mahesa Amping dan Raden Wijaya masih tetap duduk tenang, merasa bahwa Lawe masih dalam keadaan terdendali. Namun tidak demikian perasaan para pengunjung yang kebetulan masih berada didalam yang langsung keluar kedai takut terkena sasaran.
Beberapa prajurit yang sedang meronda melihat ketidak beresan dikedai itu langsung masuk kedalam.
“Siapa berani membuat onar disini !!”, berkata seorang prajurit.
“Orang inilah yang membuat kerusuhan disini, dia telah menampar wajahku”, berkata orang yang ditampar sambil menunjuk kearah Lawe.
Keanehan pun terjadi, prajurit itu nampak tertawa terpingkal-pingkal.
“Aku tidak percaya orang ini telah membuat kerusuhan, pasti kamulah yang telah memulainya”, berkata prajurit itu setelah tertawanya habis.
“Lihatlah, aku wajahku merah ditamparnya”, berkata orang itu penasaran bahwa prajurit itu tidak mempercayainya.
“Bersyukurlah mulutmu tidak dirobeknya, hari ini aku sedang berbuat baik, cepat keluar dari kedai ini”, berkata prajurit itu mengusir orang itu.
Sambil menggerutu orang itu keluar kedai diikuti ketiga kawannya yang merasa ada yang tidak beres dengan prajurit itu.
“Dunia memang begitu sempit”, berkata prajurit itu yang tidak lain adalah Ki Lurah Dadulengit dari benteng Cangu.
“Sang Dewa judi dari benteng Cangu”, berkata Lawe yang sudah mengenali Dadulengit.
“Silahkan kalian kembali meronda, aku akan menemani ketiga kawanku ini”, berkata Dadulengit kepada dua orang prajurit yang datang bersamanya.
“Tolong tambahkan pesanan kami”, berkata Lawe kepada pelayan tua yang telah membawakan pesanan mereka.
“Aku pesan daging kambing bakar”, berkata Dadulengit
“Bukan gulai manjangan muda?”, bertanya pelayan tua itu.
“Apakah kamu melihat aku sudah begitu sepuh?”, bertanya Dadulengit kepada pelayan tua itu.
“Maaf, aku akan menyiapkan pesanan tuan”, berkata pelayan tua itu.
“Jadi benar bahwa gulai manjangan muda hanya untuk orang sepuh?”, bertanya Lawe kepada Dadulengit.
“Khususnya untuk orang tua sepuh yang sudah semper”, berkata Dadulengit sambil tertawa melihat tiga mangkuk gulai manjangan muda didepannya.
“Hati-hati Ki Lurah, orang yang tadi keluar telah mengatakan yang sama”, berkata mahesa Amping sambil tersenyum.
“Ternyata masalahnya ada pada gulai manjangan muda?”, berkata Dadulengit sambil tertawa.Dan semuanyapun jadi ikut tertawa.
“Kalau tidak begitu, mana mungkin kita bisa bertemu”, berkata raden Wijaya.
Tidak lama kemudian pelayan tua sudah membawakan pesanan Dadulengit. Maka merekapun nampak menikmati hidangan itu.
“Pangeran Kertanegara sudah menjadi raja di Kediri?”, berkata Raden Wijaya ketika Dadulengit bercerita tentang beberapa hal sekitar kerajaan Singasari.
“Ternyata kalian sudah terlalu lama meninggalkan tanah Singasari”, berkata Dadulengit.
“Kami memang cukup lama meninggalkan tanah Singasari”, berkata Mahesa Amping. “Sekarang giliran kalian bercerita, kemana saja kalian selama ini”, berkata Dadulengit
Meski tidak seluruhnya, Mahesa Amping bercerita beberapa hal kemana saja mereka selama ini. Sementara itu pertengahaan malam sepertinya telah terkikis terlewati bersama senda gurau pertemuan empat sahabat di dalam kedai.
“Tugasku di Bandar Churabaya masih tinggal sepekan, akan kuperintahkan orangku untuk mengantar kalian sampai ke Benteng Cangu”, berkata Dadulengit yang nampak sudah lesu mengantuk.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dadulengit, pagi itu Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya sudah berada di sebuah jung besar milik seorang juragan kaya kenalan Dadulengit yang kebetulan akan berangkat ke Bandar Cangu.
Perlahan jung besar meninggalkan dermaga, hangat sinar matahari mewarnai air sungai menjadi kuning keperakan tergunting jung besar yang melaju melawan arah arus sungai. Angin pagi yang bertiup ke darat telah mendorong layar tunggal yang telah dikembangkan.
“Prajurit Singasari ada dimana-mana”, berkata Raden Wijaya menunjuk kesebuah gardu ronda yang berdiri di tepi sungai disebuah hutan yang sepi.
“Perompak akan berpikir panjang membuat ulah di sepanjang peraiaran ini”, berkata Mahesa Amping.
Ternyata memang banyak perubahan dan perkembangan di Tanah Singasari. Senapati Mahesa Pukat tugas dan tanggung jawabnya diperbesar, tidak hanya mencakup Bandar Cangu, tapi sepanjang perairan sampai dengan Bandar Churabaya. Dan Mahesa Pukat telah menunjukkan baktinya dengan sungguh-sungguh. Senapati muda ini telah berhasil mengamankan jalur perdagangan antara Bandar Cangu dan Bandar Churabaya. Sebuah karya bhakti yang sangat membanggakan.
“Ada lima jung raksasa”, berkata Lawe ketika mereka telah mendekati Bandar Cangu.
Ternyata setelah pelayaran perdananya, jung Borobudur telah dianggap telah berhasil. Nampaknya Singasari sudah tidak main-main lagi untuk mendirikan kerajaan laut yang tangguh.
Senja yang bening telah menyambut kedatangan Lawe, Mahesa Amping dan raden Wijaya di Bandar Cangu yang telah menjadi lebih ramai dibandingkan ketika mereka meninggalkannya. Banyak jung besar dari berbagai suku bangsa telah merapat di Bandar Cangu.
Ketika Jung telah merapat di Dermaga, ketika pemuda itu sepertinya telah kembali di kampung halamannya sendiri. Tidak sabaran mereka langsung menuju Benteng Cangu.
“Setiap hari kami berdoa untuk keselamatan kalian”, berkata Senapati Mahesa Pukat menyambut kedatangan tiga pemuda di Benteng Cangu.
“Berkat doa kakang Mahesa Pukat, hari ini kami telah kembali dengan selamat”, berkata Mahesa Amping penuh kegembiraan bertemu dengan kakak dan sekaligus gurunya sendiri selain Mahesa Murti.
Kebo Arema yang selama ini tengah mengawasi lima buah jung Borobudur telah datang dari galangan.
“Tiga begundal sakti telah pulang kampung”, berkata Kebo Arena yang baru datang langsung bergabung. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan juga dibantu Lawe langsung bercerita tentang tugas mereka di Tanah Melayu. Banyak hal yang mereka sampaikan, terutama sikap Raja Tanah Melayu yang sedari awal tidak bermasalah dan menerima dengan sikap terbuka dalam hal hubungan perdagangan antar kerajaan. Apa yang terjadi sebelumnya adalah karena sikap para bangsawan dan beberapa saudagar besar yang takut atas persaingan yang terjadi dengan masuknya jung Singasari yang besar dan menang dalam hal muatan barang masuk dalam jalur perdagangan mereka.
“Berita ini harus secepatnya disampaikan kepada Sri Maharaja dan Raja Kertanegara”, berkata Kebo Arema yang merasa gembira mendapat kabar berita gembira itu.
“Aku setuju, agar kiranya kita dapat membuat perencanaan kedepan lebih mapan lagi”, berkata Mahesa Pukat.
“Aku siap mengantar kalian menghadap Sri Maharaja”, berkata Kebo Arema sambil tersenyum.
Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya saling berpandangan mata sepertinya tidak dapat langsung memberikan keputusan kapan mereka akan berangkat.
“Bagaimana bila besok hari”, berkata Kebo Arema menantang.
“Ternyata paman Kebo Arema lebih banyak memikirkan diri kalian, suasana istana singasari akan lebih nyaman untuk tempat beristirahat ketimbang di Benteng Cangu ini”, berkata Mahesa Pukat sambil tersenyum dapat meraba gejolak hati tiga pemuda didepannya terutama Raden Wijaya yang tentunya sangat merindukan keadaan keluarganya di Istana. Kembali Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya saling berpandangan.
“Paman Kebo Arema dan kakang Mahesa Pukat sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri, keputusan apapun adalah kebaikan untuk kami”, berkata Mahesa Amping mewakili dua orang kawannya.
“Banyak hal yang harus kita sampaikan kepada Sri Maharaja, terutama dalam waktu dekat ini menyangkut masalah diperlukan banyak prajurit baru yang akan dijadikan sebagai prajurit pengawal lima buah jung yang sebentar lagi mendekati masa penyempurnaan”, berkata Kebo Arema sepertinya meminta beberapa pendapat.
“Kita punya pengalaman pada waktu mempersiapkan pasukan jung pertama”, berkata Mahesa Amping.
“Sepertinya ketiga begundal ini masih dapat dipercaya sebagai pelatih pasukan baru”, berkata Kebo Arema sambil melirik kepada Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang ditanggapi dengan senyum dan anggukan kepala.
Sampai jauh malam mereka berbincang-bincang dan bercerita. Semua sepertinya ingin melengkapi apa yang terjadi selama mereka saling berpisah, dan kebo Arema tidak lupa menceritakan sepak terjang mereka ketika membantu Raja Kertanegara di Kediri bermain dewadewaan.
“Karena tidak ada kalian, terpaksa kami yang tua ini bermain sebagai dewa bangau putih pelindung raja”, berkata Kebo arema yang disimak oleh ketiga pemuda itu seperti cerita yang begitu seru dan juga lucu.
“Sebuah petualangan yang sangat menyenangkan dan tidak akan terlupakan”, berkata Lawe menanggapi cerita Kebo Arema.
“Bila kami bertiga yang melakoni, mungkin tidak segemilang apa yang telah kalian bertiga lakukan”, berkata Mahesa Amping ikut memberikan tanggapannya.
“Syukurlah, Raja Kediri akhirnya dapat membangun kerajaannya tanpa gangguan yang berarti, berkat Paman bertiga dan tentunya para cantrik Padepokan Bajra Seta”, berkata Raden Wijaya.
“Kehadiran kalian di Tanah Singasari ini begitu sangat menggembirakan, tentunya kami yang tua berharap mendapatkan tugas yang ringan-ringan saja”, berkata Kebo Arema sambil mengelus janggutnya yang memang terlihat sudah berwarna dua.
“Kukira kalian bergembira melihat kami kembali sebagaimana melihat keponakan yang sudah lama tidak kembali, ternyata ………”, berkata Lawe yang tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ternyata ?”, bertanya Kebo Arema tertawa berharap Lawe melanjutkan kata-katanya.
“Terlalu !!!,” berkata Lawe melanjutkan kata-katanya, yang disambut tawa oleh semua yang hadir.
Pagi masih begitu bening, rumput-rumput masih basah berembun manakala empat ekor kuda terlihat keluar dari benteng Cangu.
Mereka adalah Kebo Arema, Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping yang akan mengunjungi Istana Singasari.
Ternyata jalan antara Bandar Cangu menuju Singasari sudah menjadi begitu ramai. Dijalan kerap kali mereka menjumpai gerobak para pedagang yang akan meninggalkan Bandar Cangu atau yang akan menuju ke Bandar Cangu.
“Di sepanjang jalan sudah banyak tempat singgah, sementara jalur ini sudah semakin aman bagi para pedagang”, berkata Kebo Arema memberikan keterangan tentang perkembangan Singasari khususnya jalur perdagangan antara Bandar Cangu dan kotaraja.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kebo Arema, di sepanjang jalan memang banyak ditemui perkampungan baru. Beberapa pedagang nampak tengah beristirahat, bahkan ada yang tengah menurunkan barang dagangannya serta melakukan pertukaran barang antara sesama pedagang. Tentunya sesuai keuntungan yang bagus dari semua pihak.
Di perjalanan mereka juga menemui banyak lahan yang telah dibuka, baik untuk ladang maupun persawahan.
Wajah Singasari sepertinya tengah berseri bersama hamparan hijau padi yang tengah merambat tumbuh. Dan Singasari memang terus tumbuh berkembang dibawah genggaman tangan dingin Sri Maharaja Singasari yang bijaksana Wishnuwardhana dan Ratu Anggabhaya.
Dan tidak terasa perjalanan mereka sudah hampir sampai. Terlihat mereka telah memasuki gerbang kotaraja. Keramaian pun sudah semakin terasa. Hiruk pikuk para pejalan kaki dan gerobak pedagang yang berlalu lalang mewarnai kehidupan Kotaraja. Kereta kencana milik para bangsawan sepertinya tidak ingin terlupakan menjadi pemandangan tersendiri ikut meramaikan suasana kotaraja yang berhawa dingin dan sejuk karena berdiri diatas punggung perbukitan yang hijau. Matahari sudah tergelincir turun dari puncaknya. Kebo Arema, Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya terlihat tengah menuntun kudanya melewati regol pintu gerbang Istana.
“Lama sekali kita tidak berjumpa wahai pengembara tua”, berkata seorang prajurit pengawal yang datang dan telah mengenali siapa empat orang yang baru datang.
“Badanmu nampak semakin tambur”, berkata Kebo Arema yang sudah mengenal hampir seluruh prajurit pengawal di istana Singasari.
Prajurit yang berbadan tambur itu pun memanggil dua orang kawannya untuk membantunya membawa empat ekor kuda untuk dirawat sebagaimana mestinya. Sementara itu Kebo Arema, Lawe dan Mahesa Amping diajak langsung oleh Raden Wijaya ke bangsal istana keluarganya.
Kedatangan keempat orang ini memang sangat mengejutkan, sekaligus sebuah kegembiraan besar melihat putra mereka Raden Wijaya yang sudah begitu lama meninggalkan Istana tiba-tiba saja telah kembali pulang.
“Anakku”, hanya itu yang terucap dari bibir Dyah Lembu Tal sambil memeluk erat putranya.
“Beristirahatlah kalian, nanti malam kita rayakan perjumpaan ini”, berkata Ratu Anggabhaya ikut menyambut kedatangan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan Ratu Anggabhaya, malam itu telah diadakan perjamuan besar sebagai ungkapan kegembiraannya atas kedatangan putra kesayangannya.
Dan sang waktu sepertinya berkejaran menutup hari dengan wajah topeng malam dan menarikan irama penuh suka cita.
Dan yang tidak terduga dalam perjamuan kegembiraan itu, Sri Maharaja Ranggawuni berkenan datang hadir manakala mendengar bahwa ada seorang keponakannya telah kembali pulang.
“Jarang sekali aku melihat ada asap perjamuan besar berasal dari bangsal ini, ternyata ada seorang putra tercinta yang datang”, berkata Sri Maharaja Ranggawuni memulai percakapannya.
“Berbahagialah wahai putraku, Sri Maharaja Singasari telah meringankan kakinya datang dalam perjamuanmu”, berkata Ratu Anggabhaya rmenyambut kedatangan Sri Maharaja
Semua wajah mewakili keceriaannya masing-masing dalam canda dan tawa saling bercerita mengisi lembaran yang terlewat sepanjang jarak perpisahan diantara mereka, ayah, kakek dan putranya. Dan ketiga sahabat pun seakan melengkapi.
“Ternyata langkahku kemari membawa telingaku atas berita besar yang menggembirakan”, berkata Sri maharaja manakala mendengar berita tentang sikap Raja Tanah melayu yang telah menerima hubungan perdagangan dari Tanah Singasari.
“Puji syukur kehadirat Sang Hiyang Gusti Yang Maha Pemurah, kamu telah dipertemukan dengan Eyangmu sendiri, Gurusuci Darmasiksa”, berkata Dyah Lembu Tal manakala mendengar cerita tentang pengembaraan mereka di Tanah Pasundan.
“Beliau juga telah menitipkan salam kepada Ayahanda”, berkata Raden Wijaya kepada Ayahnya Lembu Tal.
“Beliau adalah seorang Raja dan Mertua yang baik selama aku bersamanya di Tanah Pasundan”, berkata Dyah Lembu Tal sepertinya tengah mengenang dan menerawang sepotong kenangan yang indah memasuki hari-hari ketika masih di Tanah Pasundan.
“Kita telah mempunyai ikatan keluarga di Tanah Pasundan, bagaimana bila kita mengikat juga Tanah Melayu dengan sebuah ikatan yang sama”, berkata Sri Baginda Maharaja memberikan sebuah usulan.
Berdebar jantung Mahesa Amping dan Raden Wijaya mendengar perkataan Sri Baginda Maharaja, terlintas dalam pikiran mereka berdua gadis jelita Tanah Melayu yang telah memberikan cintanya kepada mereka. Terlihat mereka berusaha keras menutupi gejolak perasaan hati masing-masing.
“Tanah Melayu adalah pintu gerbang perdagangan raya, dan jalan untuk kesana sudah terbuka”, berkata Kebo Arema memberikan pemikirannya.
“Saatnya layar Jung Borobudur dikembangkan.Sekali dayung tujuh pulau terlewati. Aku menunjuk kembali dirimu melakukan perlawatan resmi ke Tanah Melayu, sekaligus sebagai juru pinang putraku Kertanegara”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Kebo Arema.
Kembali Mahesa Amping dan Raden Wijaya berdebar-debar dalam kecemasan, peluh dingin tiba-tiba keluar mengalir dikening masing-masing.
“Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping telah berjasa membuka jalan emas ini di tanah Melayu. Hamba berharap tiga pemuda ini dikut sertakan”, berkata Kebo Arema kepada Sri Baginda Maharaja. “Aku cuma punya mimpi tentang kerajaan air.Perlu jalan panjang untuk mewujudkannya”, berkata Sri Baginda Maharaja dan diam sebentar sambil menarik nafas panjang, matanya menerawang jauh kedepan. “Kutitipkan pada kalian mimpiku ini”, berkata kembali Sri baginda Maharaja sambil memandang secara berganti kepada Kebo Arema, Mahesa Amping, Lawe dan terakhir memandang lama kepada Raden Wijaya.”Berkenankah kalian menerima titipan mimpiku ini ?”, berkata Sri Baginda Maharaja kepada Kebo Arema dan ketiga orang pemuda di depannya.
“Sebuah kehormatan untuk hamba”, berkata Kebo Arema sambil menjura penuh hormat.
“Titah Paduka akan hamba pusakai”, berkata Mahesa Amping dan Lawe
“Putramu berjanji, Putramu akan berbakti meski harus membawakan matahari untuk membangunkan mimpi Paduka di hari kebenaran, dihari kehidupan yang nyata”, berkata Raden Wijaya penuh semangat dan haru mendapatkan kepercayaan yang tulus dari Sri baginda Maharaja.
“Esok hari, disaat aku terbangun dari mimpi, mungkin belum ada yang dapat kulihat. Namun ketika mataku sudah tidak dapat bermimpi lagi, aku akan melihat kalian telah mengarungi penjuru dunia di tahta kencana kerajaan air yang luas. Disaat itulah jiwaku akan tersenyum”, berkata Sri baginda Maharaja penuh senyum kebahagiaan. Matanya begitu teduh memandang kedepan seperti memandang rembulan dalam kesempurnaan keindahan malam. Dan lamunannya memang telah melayang jauh diantara dermaga-dermaga diujung penjuru dunia, diatas tiang-tiang layar yang tengah berkembang tertiup angin malam, ditengah kebiruan laut yang luas tak bertepi.
“Kembang Wijaya telah mulai tumbuh”, berkata Mahesa Amping berbisik kepada dirinya sendiri.
Inilah perjamuan malam yang selalu dikenang oleh keempat pahlawan besar dari tanah Singasari. Sisa hari selanjutnya telah mereka genapi dengan sebuah persiapan besar, membangun sebuah mimpi.
Dan Sang Pewaris Kembang Wijaya telah mulai terlihat tumbuh berkembang seiring perjalanan waktu.
Tidak terasa sudah dua pekan mereka berada di Istana Singasari. Mereka telah menerima surat kekancingan, diberikan wewenang besar membangun sebuah kekuatan besar armada laut Singasari.
Pagi itu matahari sudah naik diatas bukit menghangatkan bumi. Empat ekor kuda terlihat meninggalkan gerbang batas kota.
Mereka adalah Kebo Arema, Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang tengah melakukan perjalanan ke Bandar Cangu.
Ketika matahari berada di puncak langit, mereka singgah sebentar di sebuah perkampungan baru yang bermunculan seiring dengan telah mulai ramainya jalur perdagangan antara Kotaraja dan Bandar Cangu.
Disaat matahari sudah tergelincir jatuh bergeser dari lengkung langit, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Angin yang sejuk berhembus genit mengayunkan ranting dan daun disepanjang jalan tanah yang teduh dilindungi kerimbunan hutan dikiri kanan jalan menuju Bandar Cangu. Jalan tanah itu seperti menyisakan ribuan jejak kaki. Puluhan gerobak pedagang setiap hari menjejakkan bebannya diatas tanah yang semakin mengeras.
Senja masih jauh dibelakang menunggu sang surya bosan bergantung di lengkung langit. Dan empat ekor kuda terlihat sudah mendekati Benteng Cangu yang kokoh.
“Selamat bergabung kembali di pondok para lelaki”, berkata Mahesa Pukat menyambut kedatangan mereka yang baru tiba di benteng Cangu.
Setelah saling bercerita tentang keselamatan masingmasing, merekapun diberi kesempatan untuk bersihbersih dan beristirahat sejenak sambil menikmati beberapa hidangan yang disediakan.
“Segarkanlah diri kalian, aku masih cukup bersabar menunggu cerita kalian setelah dua pekan di Kotaraja”, berkata Mahesa Pukat sambil tersenyum mempersilahkan mereka beristirahat.
“Sri Baginda Maharaja titip salam kepadamu”, berkata Kebo Arema memulai sebuah pembicaraan.
“Ternyata kalian telah menerima surat kekancingan untuk membangun sebuah armada laut Singasari yang besar”, berkata Mahesa Pukat.
“Tanpa bantuan Senapati muda di Benteng cangu ini, kami tidak dapat perbuat banyak”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat sambil tersenyum dan bermainmain mengelus janggutnya yang sudah berwarna dua.
“Tugas seorang prajurit melayani rajanya, aku siap membantu kalian”, berkata Mahesa Pukat.
“Lima bulan mendatang, lima armada besar jung Singasari telah siap mengarungi lautan bebas. Kita butuh para prajurit baru yang cukup banyak”, berkata Kebo Arema. “Aku akan mengutus beberapa prajuritku keberbagai wilayah untuk membawa para calon prajurit muda”, berkata Mahesa Pukat.
“Barak-barak yang ada harus diperluas lagi”, berkata Raden Wijaya ikut memberikan pemikiran.
“Banyak hal yang harus kita kerjakan mulai esok hari, disamping persiapan keberangkatan pelayaran kita menuju Tanah Melayu”, berkata Kebo Arema.
Maka keesokan harinya, Senapati Mahesa Amping telah mengutus beberapa perwiranya untuk berangkat ke berbagai wilayah di Tanah Singasari untuk mencari beberapa pemuda yang akan dijadikan sebagai prajurit yang kelak akan menjadi bagian dari sebuah pasukan besar armada kelautan.
Sementara itu Kebo Arema bersama Raden Wijaya, Lawe dan Mahesa Amping telah mengunjungi barak para prajurit Jung Singasari. Kepada beberapa prajurit perwira mereka memberi kabar bahwa pekan depan akan berangkat berlayar ke Tanah Melayu.
Bukan main gembiranya para prajurit yang mendengar rencana itu, sudah begitu jemu mereka menunggu kapan saatnya berlayar kembali, merasakan suara ombak dan angin laut. Melihat kembali Bandarbandar besar yang penuh dengan keramaiannya.
“Kami akan mempersiapkan diri”, berkata seorang perwira yang telah ditunjuk menjadi pemimpim di barak itu dengan penuh semangat.
Dalam kesempatan itu, Kebo Arema, Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe telah membuat beberapa gambaran sementara dari rencana mereka untuk memperbesar jumlah barak yang sudah ada sebagai penampungan para prajurit baru yang lebih banyak yang akan bergabung bersama mereka sebagai pasukan armada kelautan Singasari.
Ketika matahari telah tergelincir mencium pucuk hutan kayu diseberang sungai Brantas, mereka kembali ke Benteng Cangu. Kepada Mahesa Pukat mereka menyampaikan beberapa gagasan tentang perluasan barak prajurit armada laut.
“Aku akan mengerahkan sejumlah prajuritku untuk memperluas barak yang ada, sementara kalian dapat memusatkan segenap pikiran untuk mempersiapkan pelayaran panjang ke Tanah Melayu”, berkata Senapati muda itu.
“Kami yang menerima kekancingan, namun tuan Senapati jua yang disibukkan”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat.
Dalam kesempatan itu, Mahesa Amping menyampaikan sebuah keinginan untuk mohon ijin untuk mengunjungi Padepokan Bajra Seta.
“Aku dapat merasakan kerinduanmu, sampaikan salamku kepada Kakang Mahesa Murti”, berkata Mahesa Pukat kepada adik angkatnya mahesa Amping.
Hari masih menjelang senja, Matahari kuning masih bersinar hangat diatas bumi Bandar Cangu. Terlihat Mahesa Amping sendiri dengan kudanya telah jauh memunggungi Bandar Cangu. Hentakan kakinya memberi tanda kepada kudanya untuk berlari.
Sengaja Mahesa Amping mencari jalan pintas yang terdekat, melewati beberapa perbukitan, menenbus hutan dan padang ilalang yang luas. Sesekali memberi kesempatan kudanya untuk beristirahat dan merumput. Setelah itu kembali memacu kudanya menyusuri jalan pintas yang masih dikenalnya untuk menuju Padepokan Bajra Seta.
Setengah harian Mahesa Amping berlari memacu kudanya, sementara kegelapan malam telah menyembunyikan sisa-sisa segenap cahaya yang ada. Bersyukurlah bahwa Mahesa Amping telah keluar dari sebuah hutan yang cukup lebat, dimukanya telah membentang padang ilalang yang luas dibatasi sebuah bukit kecil. Dibalik bukit kecil itulah Padepokan Bajra Seta tidak jauh lagi sudah dapat ditemui.
Diatas langit malam padang ilalang, bulan sabit bersembunyi dibalik kegelapan awan. Taburan bintang di langit malam memberi arti kesunyian abadi. Mahesa Amping menghentikan langkah kudanya disebuah pohon yang cukup rindang yang berdiri layaknya raksasa penjaga padang ilalang, disitulah Mahesa Amping duduk beristrirahat mendinginkan peluh yang masih terasa basah disekujur tubuh setelah seharian penuh memacu kudanya.
Terlihat Mahesa Amping merebahkan tubuhnya diantara akar-akar kayu yang menjalar seperti tangantangan kuat masuk menggenggam bumi. Sebuah nafas yang teratur nyaris tak terdengar keluar masuk dari cupit hidung Mahesa Amping. Pemuda itu sudah tertidur, namun masih dalam kesiagaan dan kewaspadaan yang tinggi. Tidak satupun bunyi disekitarnya yang luput dalam pendengarannya, meski tubuhnya sudah dalam keadaan tertidur. Seperti itulah layaknya seorang yang sudah berilmu tinggi, panca inderanya masih tetap siaga berjaga didalam tidurnya.
Namun malam itu tidak ada apapun yang membuat tidurnya terjaga. Mahesa Amping terlihat perlahan membuka kelopak matanya. Warna langit diujung timur telah memburai cahaya kemerahan, pertanda malam telah mulai bosan menunggui belahan bumi, berpindah kebelahan lainnya.
“Perjalanan kita tinggal sedikit lagi, sahabat”, berkata Mahesa Amping kepada kudanya yang seperti mengerti membiarkan Mahesa Amping duduk diatas punggungnya.
Terlihat perlahan kuda Mahesa Amping melangkah, berjinjat menyentuh tanah yang masih basah berembun, membelah ilalang setinggi badan yang juga masih basah berpeluh rintik embun yang dingin.
Dikeramangan bayi pagi yang dingin, Mahesa Amping sudah sampai diatas bukit kecil. Kokok ayam hutan terdengar saling bersahutan dari hutan kecil diseberang kanan dekat bukit.
Padukuhan terdekat dengan Padepokan Bajra sudah terlihat dikelilingi hamparan sawah luas menghijau, menggoda langkah kuda Mahesa Amping untuk melangkah lebih cepat lagi menuruni bukit kecil, dan berlari kencang dibulakan panjang.
“Mahesa Amping!!!”, berseru dua orang lelaki perpakaian petani menyandang sebuah cangkul di pundaknya
“Aku begitu merindukan Paman berdua”, berkata Mahesa Amping yang telah turun dari kudanya langsung memeluk kedua orang lelaki perpakaian petani yang ternyata tidak lain adalah Wantilan dan Sembaga.
“Kami akan sebentar menyiangi rumput liar di sawah, kami akan segera kembali menemuimu di Pedepokan untuk mendengar cerita darimu yang pasti luar biasa”, berkata Wantilan kepada Mahesa Amping.
“Aku juga menunggu Paman berdua di Padepokan”, berkata Mahesa Amping yang langsung melompat keatas kudanya.
Wantilan dan Sembaga tersenyum mengiringi punggung Mahesa Amping diatas kudanya yang sudah berjalan menuju Padepokan Bajra Seta.
Ketika Mahesa Amping sampai di regol pintu gerbang Padepokan, seorang cantrik berlari menghampirinya.
“Selamat datang saudaraku”, berkata Cantrik itu kepada Mahesa Amping dan langsung memeluknya.
Beberapa cantrik yang tengah berada di halaman Padepokan segera melihat kedatangangan Mahesa Amping, maka beberapa cantrik telah menyongsong kedatangan Mahesa Amping.
Mahesa Amping segera menuju pendapa dimana disitu sudah berdiri Mahesa Murti dan istrinya Padmita yang terlihat tengah menggendong seorang bayi.
“Puji syukur kehadirat Gusti Yang Maha Pengasih, adikku telah kembali”, berkata Mahesa Murti menyambut kedatangan Mahesa Amping.
“Berkat doa Kakang dan Mbakyu, Gusti Yang Maha pelindung telah menjagaku sampai hari ini”, berkata Mahesa Amping menjura penuh hormat kepada Mahesa Murti dn Padmita.”Ternyata aku telah dikaruniai seorang keponakan”, berkata Mahesa Amping saat melihat seorang bayi dalam dekapan Padmita.
“Namanya Mahesa Darma”, berkata Mahesa Murti sambil tersenyum.
“Lekaslah bersih-bersih, kami menunggumu disini”,berkata Padmita yang masih menganggap Mahesa Amping sebagai bocah kecil seperti dulu.
Mahesa Amping segera kepakiwan untuk membersihkan dirinya. Maka ketika dirinya kembali ke pendapa, sudah ada disana Mahesa Semu yang langsung berdiri memeluk dirinya.
“Aku begitu merindukanmu adikku”. Berkata Mahesa Semu begitu haru memeluk Mahesa Amping begitu erat.
Sementara itu dihalaman terlihat Wantilan dan Sembaga berjalan menuju Pendapa.
“Kami tidak jadi kesawah, takut keponakanku yang nakal tiba-tiba saja menghilang pergi dari Padepokan ini”, berkata Sembaga ketika sudah naik ditangga pendapa kepada Mahesa Amping.
“Biarkan Mahesa Amping menikmati hidangan dan sedikit beristirahat, setelah itu baru kita tuntut dirinya untuk bercerita”, berkata Mahesa Murti.
“Kalian masih menganggap Mahesa Amping seperti bocah nakal, kalian tidak melihat kumis diatas bibirnya yang pasti membuat setiap gadis tergila-gila”, berkata Wantilan menggoda Mahesa Amping yang tersenyum menunda suapannya.
“Jangan ganggu adiku yang tengah menikmati makanannya”, berkata Mahesa Semu ikut menggoda.
“Kapan aku akan menyelesaikan makananku, sementara kalian terus menggoda”, berkata Mahesa Amping melotot yang membuat semua yang ada di pendapa tersenyum, mereka masih melihat Mahesa Amping sebagaimana yang dulu, masih begitu lugu, seorang adik kecil yang selalu mendapatkan perhatian penuh dari semua orang dewasa yang ada di Padepokan itu.
Dan beberapa cantrik telah berdatangan hampir
memenuhi pendapa padepokan. Mahesa Amping pun segera bercerita, mulai dari petualangannya di Tanah Gelang-Gelang, pelayaran panjangnya sampai ke Tanah Melayu, dan terakhir tentang perjalanannya di Tanah pasundan.
“Ayahku Mahendra pernah bercerita tentang seorang Raja Pasundan yang telah mengasingkan dirinya menjadi seorang Gurusuci yang sederhana”, berkata Mahesa Murti ketika mahesa Amping bercerita tentang Gurusuci Darmasiksa.
“Beliau adalah seorang yang berilmu tinggi, terutama dalam hal ilmu kajiwan”, berkata Mahesa Amping.
“Jadi pekan depan kalian akan berlayar kembali ke Tanah Melayu?”, bertanya Mahesa Murti ketika mahesa Amping berbicara tentang rencananya berlayar kembali ke Tanah Melayu.
“Aku mohon doa restu”, berkata Mahesa Amping. “Berbahagialah dirimu, Sri Baginda Maharaja telah
mempercayai dirimu sebagai salah seorang yang akan membangun sebuah armada kelautan yang besar”, berkata Mahesa Murti merasa bangga bahwa Mahesa Amping telah menerima kekancingan dari Sri baginda Maharaja Singasari.
“Maaf, besok pagi aku sudah harus meninggalkan Padepokan ini”, berkata Mahesa Amping.
“Kami akan selalu berdoa untuk keselamatanmu”, berkata Mahesa Semu mewakili semua yang ada dipendapa itu.
Sementara itu matahari di atas Padepokan Bajra Seta terus merayap tinggi. Cerita diatantara mereka sepertinya tidak pernah tuntas, mereka saling melengkapi apa saja yang telah terjadi selama jarak dan waktu yang memisahkan diantara mereka.
“Kakang Mahesa Pukat telah bercerita tentang petualangan kalian bermain sebagai Dewa Bangau Putih”, berkata mahesa Amping yang langsung ditanggapi dengan cerita mereka lebih seru dan lebih seru lagi.
Matahari masih menggelantung di lengkung langit sebelah barat. Mahesa Murti mengajak Mahesa Amping ke tepi sungai berbatu. Ada tanah datar luas beralas rumput hijau yang dinaungi beberapa batang pohon waru dan pohon ambon yang rindang.
“Aku yakin, ada beberapa hal yang belum semuanya kamu ceritakan. Aku dapat merasakannya dalam setiap tarikan nafasmu. Itulah sebabnya aku membawamu kemari agar leluasa bagimu untuk mengungkapkannya”, berkata Mahesa Murti setelah mereka duduk bersama diatas sebuah batu besar yang datar ditepi sungai.
Berdesir darah Mahesa Amping diam-diam mengagumi kakak angkatnya sekaligus gurunya yang telah dapat membaca apa yang ada di dalam alam pikirannya.
Maka secara terinci Mahesa Amping bercerita tentang Kembang Wijaya serta tuntunan dari Gurusuci Darmasiksa yang sepertinya telah dikenalnya dalam jalur rahasia rontal Empu Purwa yang pernah diungkapkan oleh Mahesa Murti kepadanya.
“Ternyata kamu sudah menemukan takdirmu, engkau adalah sang penuntun yang akan mendampingi Sang pewaris dalam tahtanya”, berkata Mahesa Murti setelah mendengar cerita Mahesa Amping tentang Kembang Wijaya.
“Perhatikan pohon waru itu”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping yang langsung matanya tertuju kearah pohon waru yang ditunjuk oleh Mahesa Murti.
“Aku yakin bahwa sudah ratusan kali kamu melihat pohon waru itu, namun hanya sebatas penglihatan yang sepintas dan sebatas penglihatan wadag bahwa wujud pohon waru itu agak condong ke arah tepian sungai”, berkata mahesa Murti kepada Mahesa Amping yang berusaha menangkap kearah mana tujuan perkataan Mahesa Murti.
“Selama ini ada yang engkau lewatkan ketika melihat pohon waru itu, perhatikanlah bahwa pohon waru itu mempunyai akar yang cukup panjang masuk hingga kedasar bumi menghisap sari bumi untuk menghidupi batang dan daunnya”, berkata Mahesa Murti
“Melihat apa yang tak terlihat, mendengar apa yang tak terdengar”, berkata Mahesa Amping mencoba menerjemahkan apa yang ingin diungkapkan oleh Mahesa Murti.
“Engkau dapat berada dimana-mana meski tidak berada dimana-mana”, berkata Mahesa Murti masih terus menuntun pengembaraan jiwa Mahesa Amping.
“Ternyata Gurusuci Darmasiksa sengaja membukakan pintu batas alam jagad tak terbatas kepada kami”, berkata Mahesa Amping penuh kegembiraan dapat masuk lebih dalam lagi jauh ke sumber alam jagad raya tak terbatas dan diam-diam mengagumi bahwa pasti gurunya ini telah jauh melampaui karena telah dapat menuntunnya dengan benar. “Engkau telah mengungkapkan segala kekuatan yang ada didalam alam jagad raya tak terbatas sebagai kekuatan yang tak terbatas, janganlah memalingkan dirimu, janganlah menghentikanmu dalam kepuasan dan kegembiraan semu, pengembaraan menuju sumber hidup adalah perjalanan panjang tak terbatas. Dialah Sang Maha Hidup yang akan menuntun perjalananmu”, berkata Mahesa Murti.
“Tuntunan kakang adalah sebuah pusaka tak terhingga”, berkata Mahesa Amping
“Ketika berada dialam jagad raya tak terbatas, kamu dapat membawa inderamu kemanapun kamu inginkan”, berkata Mahesa Murti sambil tersenyum.
“Ilmu Aji Pameling indera, ilmu aji langlang sukma?”, bertanya Mahesa Amping seperti tidak percaya atas apa yang dapat diungkapkan manakala telah berada dialam jagad raya tak terbatas.
“Bakatmu yang terlahir telah membawamu menemukan takdirmu, bawalah indramu kemanapun yang kamu inginkan”, berkata Mahesa Murti.
Maka Mahesa Amping telah mencurahkan dirinya masuk ke dalam alam jagad raya tak terbatas, mencoba membawa indranya ketempat yang jauh, kesebuah tempat di Bandar Cangu.
Mahesa Amping telah melihat jelas, sebagaimana berada ditempat nyata disebuah Jung Singasari yang besar. Tidak terasa langkahnya telah menuntunnya kesebuah kamar perwira yang terbuka. Mahesa Amping tersenyum membuka matanya kembali telah berada diatas batu datar di tepi sungai bersama Mahesa Murti.
“Baru saja engkau membawa inderamu ke Bandar Cangu. Engkau menyaksikan sendiri kelakuan lucu dua sahabatmu Lawe dan raden Wijaya di dalam kamar salah seorang perwira, mereka saling berganti mencoba baju perang perwira”, berkata Mahesa Murti seperti menjadi saksi apa yang telah dilihatnya.
“Tuntunan Kakang adalah pusaka yang tak terhingga”, berkata Mahesa Amping penuh rasa hormat dan terima kasih atas segala tuntunan kakaknya yang telah membuka mata hatinya menembus batas jarak dan waktu.
“Seperti yang telah kukatakan, segala anugerah yang engkau temukan dalam perjalananmu hendaknya janganlah memalingkan dan menghentikan perjalananmu menemukan sumber dari segala sumber kehidupan ini, mengungkap rahasia demi rahasia yang tak terungkap dalam pengembaraan panjang yang tak ada puncaknya, yang tak ada batasnya. Karena Dialah Gusti Yang Maha Tinggi, Yang Maha luas ilmunya”, berkata Mahesa Murti sambil tersenyum penuh kebahagiaan bahwa Mahesa Amping telah dapat mampu menerima dan mengungkapkan dirinya menembus rahasia besar alam jagad raya tak terbatas.
Sementara itu sang mentari sudah terperosok jauh ditepi ujung lengkung langit. Warna senja yang bening melatari tepian sungai berbatu dalam pesona keindahan lukisan alam.
“Mbakyumu mungkin sudah lama menunggu, mari kita kembali ke Padepokan”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping.
Terlihat mereka berdua bangkit dari batu datar di tepian sungai, berjalan ke arah Padepokan Bajra Seta.
“Mahesa Darma sudah kangen sama ayahnya”, berkata Padmita ketika Mahesa Murti dan Mahesa Amping tengah menaiki anak tangga pendapa.
“Mahesa Darma atau ibunya yang kangen?”, berkata Mahesa Amping menggoda yang dibalas senyum oleh Padmita.
Sementara itu Sang Senjakala sepertinya sudah lelah membayangi wajah bumi. Sang Butakala telah bersembunyi di balik kegelapan malam.
“Semoga Gusti Yang Maha Menjaga akan selalu melindungi, dimanapun kita berada”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping dan beberapa cantrik ketika selesai menikmati hidangan makan malam mereka di pendapa Padepokan Bajra Seta.
“Besok aku akan kembali ke Bandar Cangu, bersiap untuk berlayar jauh ke Tanah Melayu. Aku mohon doa restunya”, berkata Mahesa Amping.
“Kami di Padepokan Bajra Seta selalu berdoa untukmu Mahesa Amping”, berkata Mahesa Murti mewakili semua yang hadir.
Ingatan Mahesa Amping tiba-tiba saja kembali ke tepian sungai menjelang senja tadi.”Berada dimanamana tanpa berada dimana-mana”, berbisik Mahesa Amping kepada dirinya sendiri.
“Yang memisahkan diri kita adalah wadag kasar ini, sementara bila hati ini bertaut kepada yang Maha memiliki Alam Jagad Raya tak terbatas, diri kita telah disatukan, diri kita dapat dipertemukan”, berkata Mahesa Murti seperti dapat membaca apa yang dipikirkan oleh Mahesa Amping.
“Dimanapun aku berada, aku akan selalu mempusakainya”, berkata Mahesa Amping penuh rasa terima kasih.
Sementara itu malam seperti berlari membawa Sang kala dikegelapannya, tidak terasa hari sudah dipertengahan malam, terdengar suara kentongan menyauarakan nada dara muluk dari sebuah gardu ronda di padukuhan terdekat. Dan semua yang ada di Pendapa itu telah masuk ke peraduannya masing masing beristirahat untuk menyongsong datangnya sang pagi, esok hari.
Dan ketika semburat warna merah sudah hampir merata memenuhi lengkung langit, Mahesa Amping sudah terjaga dari tidurnya, segera bersih-bersih diri dan langsung menuju ke Pendapa. Ternyata Mahesa Murti sudah terjaga sudah duduk dipendapa mendahuluinya.
“Ternyata Kakang lebih dulu terjaga mendahuluiku”, berkata Mahes Amping kepada Mahesa Murti.
“Semakin tua semakin sedikit tidur, kelak kamu akan merasakannya”, berkata Mahesa Murti sambil tersenyum.
Padmita terlihat datang membawa makanan dan minuman hangat.
“Ada kiriman ubi manis dari pemilik kedai dipojok pasar padukuhan”, berkata Padmita bercanda menggoda Mahesa Amping.
“Anak gadis itu sudah disunting oleh putranya Ki Bekel, meski begitu kadang bila bertemu denganku masih sering menanyakan dirimu”, berkata Mahesa Murti kepada Mahesa Amping yang hanya tersenyum entah apa arti senyumnya, yang jelas pikirannya jauh menerawang ke sebuah tempat yang jauh di tanah seberang, tepatnya di Tanah Melayu.
Sementara itu sang surya sudah merayap naik, sinar matahari pagi sudah merata menghangatkan bumi, ujung kelopak daun bunga tidak mampu lagi menyembunyikan setitik embun. Kicau burung-burung kecil sudah ramai terdengar bersama jerit anak ayam berlari mengejar induknya di halaman Padepokan Bajra Seta.
“Kami semua akan merindukanmu”, berkata Mahesa Murti mewakili beberapa cantrik yang mengantarnya sampai di regol pintu gerbang Padepokan.
“Kerinduan kalian akan kubawa sepanjang jalan”, berkata Mahesa Amping melambaikan tangannya ketika kudanya sudah melangkah perlahan meninggalkan Regol Padepokan.
Berpasang-pasang mata mengantar dan mengiringi kepergian Mahesa Amping bersama langkah kudanya menyusuri jalan tanah panjang yang akhirnya menghilang di sebuah tikungan jalan.
Sebagaimana datangnya, Mahesa Amping kembali melalui jalan pintas, melintasi bukit-bukit kecil dan sebuah hutan panjang. Dahulu bersama Mahesa Murti sering diajak keberbagai tempat yang sangat jarang dilalui oleh orang-orang pada umumnya, dan kembali Mahesa Amping melintasi jalan penuh kenanganini .
Terlihat kuda Mahesa Amping tengah mendaki bukit kecil penuh ilalang, debu mengepul dari belakang kaki kudanya membelah ilalang seperti berpacu mengejar matahari yang terus merayap kepuncak langit.
Ketika Matahari sudah menggelantung di puncak lengkung langit, kuda Mahesa Amping sudah masuk berlindung didalam sebuah kepekatan hutan rimba terus masuk kedalam kerimbunannya.
Dan senja yang bening telah mengantar perjalanan Mahesa Amping menembus padang ilalang di bukit kecil. Di kaki ujung bukit itu bertemu dengan jalan tanah yang datar, jalan menuju Bandar Cangu.
Mahesa Amping memperlambat lari kudanya, perjalanannya sudah hampir mendekat. Namun hari sudah memasuki malam.
“Selamat datang kembali di Benteng Cangu”, berkata seorang prajurit yang membukakan pintu gerbang dan sudah mengenal Mahesa Amping.
Mahesa Amping segera menuntun kudanya ke kandang kuda di belakang.
“Biarlah kuda ini aku yang mengurusnya”, berkata seorang pekatik mengambil tali kuda dari tangan Mahesa Amping.
Mahesa Amping segera bersih-bersih diri, setelah itu langsung menuju pendapa. Ternyata Mahesa Pukat sudah menunggunya.
Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, Mahesa Amping juga bercerita tentang keadaan Padepokan Bajra Seta.
“Kakang Mahesa Murti dan seluruh warga padepokan menitipkan salam untukmu”, berkata Mahesa Amping.
“Semoga keselamatan selalu mewarnai Padepokan Bajra Seta”, berkata Mahesa Pukat menerima titipan salam itu.
Ketika mereka tengah menikmati makanan dan minuman hangat, Kebo Arema, Lawe dan Raden Wijaya telah datang bergabung.
“Kukira kamu besok baru kembali”, berkata Lawe kepada Mahesa Amping. “Aku tidak mau di sebut seorang pemalas, cuma tinggal terima bersih”, berkata Mahesa Amping.
“Sayangnya sudah tidak adalagi yang harus dikerjakan”, berkata Lawe.
“Saat ini kita hanya menunggu kedatangan utusan dari Kotaraja Singasari, apakah Sri Baginda Maharaja akan mengantar kepergian kita”, berkata Kebo Arema.
“Ketika kalian berlayar di tanah Melayu, mungkin aku adalah orang yang tidak sabaran menunggu kedatangan kalian bersama dengan seribu lima ratus calon prajurit yang sudah siap di barak barunya”, berkata Mahesa Pukat mencoba mengingatkan bahwa masih banyak tugas menunggu mereka.
“Tidak dapat kubayangkan, berdiri ditengah ribuan kerumunan prajurit muda”, berkata Raden Wijaya.
“Dengan mengenakan seragam prajurit perwira”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
Lawe dan Raden Wijaya saling berpandangan. “Kalian memang sudah seharusnya menjadi seorang
prajurit, karena kalian sudah melakukan tugas seorang
prajurit Singasari selama ini”, berkata Kebo Arema.
“Tidak cuma sekedar meminjam baju perang seorang perwira”, berkata Mahesa Amping Kembali Lawe dan Raden Wijaya saling berpandangan.
“Aku belum paham apa maksudmu sekedar meminjam baju perang seorang perwira?, bertanya Raden Wijaya menyelidiki dari mana Mahesa Amping mengetahui dirinya dan Lawe pernah mencoba sebuah pakaian perang seorang perwira.
“Kemarin aku cuma bermimpi, kalian meminjam pakaian perang seorang perwira”, berkata Mahesa Amping sekedar membelokkan cerita, dimana kemarin dirinya tengah menerapkan ajian Langlang Sukma.
“Kemarin aku melihat langsung mereka menyelinap di kamar perwira, mencoba sebuah pakaian perang milik seorang perwira”, berkata Kebo Arema sambil tersenyum.
“Paman melihat kami?”, berkata Lawe.
“Aku melihat kalian begitu gagah mengenakannya”, berkata Kebo Arema tersenyum.
Kembali Lawe dan Raden Wijaya saling berpandangan, kali ini sambil tersenyum bersama.
“Aku berpendapat sudah saatnya kalian bergabung sebagai prajurit”, berkata Mahesa Pukat.”melihat jasajasa yang telah kalian berikan bagi Tanah Singasari, Sri baginda Raja langsung menyetujui usulan ini, apakah kalian bersedia?”, bertanya Mahesa Pukat kepada Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping.
“Ayahku seorang prajurit, bila ini sebuah panggilan, aku bersedia”, berkata Lawe.
“Aku terlahir dilingkungan istana, pada saatnya aku akan menerima kekancingan, dan aku sudah siap kapanpun panggilan itu datang”, berkata Raden Wijaya.
“Aku ingin mendengar pernyataan dari Mahesa Amping”, berkata Mahesa Pukat sambil berpaling kearah Mahesa Amping. Semua mata dan telinga sepertinya menunggu apa yang akan dikatakan Mahesa Amping.
Mahesa Amping tidak segera menjawab, sepertinya tengah menimbang-nimbang dua kehidupan yang berbeda, kehidupan di Padepokan Bajra Seta dan kehidupan disebuah barak prajurit seperti yang dilihatnya saat itu di Benteng Cangu. Tiba-tiba terlintas bayangan sebuah peperangan, darah dan denting pedang saling beradu, puluhan mayat bergelimpangan terinjak-injak langkah kaki dan suara mengumpat bersatu dengan jerit menahan sakit yang tak terhingga.
“Bagiku pengabdian ada dimana-mana, meski hanya sebagai seorang petani. Memakai baju prajurit atau tidak bagiku sama saja, kesetiaanku dan pengabdiannku dimanapun aku berada, dimana tanah berpijak, disitulah langit akan kujunjung. Aku akan berbuat apapun mesti tidak harus menjadi apapun”, berkata Mahesa Amping sepertinya membiarkan kata hatinya berbicara.
“Setiap manusia mempunyai garis hidupnya sendirisendiri, berbahagialah orang yang telah memilih kata hatinya sebagai kemerdekaan, mengalir seperti air sungai, tidak ada tekanan dan keterpaksaan”, berkata Mahesa Pukat sepertinya tengah mengenang jauh kebelakang manakala sebuah perjalanan hidup memaksanya menentukan pilihan untuk menjadi seorang prajurit, namun dihati kecilnya sering menggeliat perasaan yang tidak pernah hilang, sebuah ketenangan kehidupan di sebuah Padepokan yang penuh damai. Dan diam-diam dapat membaca warna pilihan Mahesa Amping.
“Aku sependapat dengan Mahesa Amping, kita adalah seorang prajurit meski tanpa mengenakan baju prajurit, bukankah kita telah menerima kekancingan untuk membangun sebuah armada besar prajurit kelautan”, berkata Kebo Arema.
“Langkah kalian bertiga masih begitu panjang”, berkata Mahesa Pukat kepada tiga orang pemuda dihadapannya yang dirasakannya akan menjadi bintang fajar yang cemerlang di kehidupan yang akan datang. “Kami perlu banyak bimbingan”, berkata Mahesa Pukat penuh kerendahan hati.
Sementara itu diatas langit bulan masih belum bulat penuh muncul dari gerumbul hutan bambu. Suara derik malam sudah mulai mengalun bersama suara daun dan dahan yang bergesekan diayunkan angin.
Lawe, Kebo Arema dan Mahesa Pukat sudah lebih dulu masuk keperaduannya, di pendapa hanya tinggal Mahesa Amping dan Raden Wijaya yang masih belum mengantuk.
“Kakang Mahesa Murti berpesan agar kita terus berlatih”, berkata Mahesa Amping.
“Bekal ilmu yang diberikan kepada kita memang harus selalu disempurnakan”, berkata Raden Wijaya.
“Kakang Mahesa Murti telah membukakan tabir rahasia lewat olah kajiwan yang disampaikan Gurusuci Darmasiksa”, berkata Mahesa Amping sambil menjelaskan sebuah rahasia jalan terang menuju alam jagad raya yang tak terbatas sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Mahesa Murti.
Terlihat raden Wijaya langsung melakukan apa yang baru saja diungkapkan oleh Mahesa Amping.
“Pada saatnya kamu akan mengungkapkan sebuah jalan untuk berada dimana-mana tanpa berada dimana mana”, berkata Mahesa Amping.
“Sejenis ilmu langlang sukma?”, berkata raden Wijaya penuh kegembiraan.
“Semua adalah karunia dari-NYA, semoga kita tidak menjadi berpaling”, berkata Mahesa Amping.
“Dengan ilmu itulah kamu menyaksikan kami di kamar seorang perwira?”, bertanya raden Wijaya.
Mahesa Amping tidak langsung menjawab, hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan.
“Aku selalu kalah satu langkah denganmu”, berkata Raden Wijaya sambil tersenyum, diam-diam mengagumi saudara seperguruannya ini yang mempunyai bakat begitu luar biasa.
Demikianlah Mahesa Amping dan Raden Wijaya memang selalu berlatih meningkatkan ilmunya lewat sebuah tata laku rahasia di sepanjang malam disetiap waktu dimanapun mereka berada.
“Kalian belum juga tidur?” berkata seorang peronda yang datang mendekati mereka
“Duluar udara begitu segar dan kami masih belum mengantuk”, berkata Mahesa Amping kepada peronda itu.
Ketika peronda itu pergi, Mahesa Amping dan Raden Wijaya masih tetap di pendapa. Banyak yang mereka bicarakan, saling mengisi dan saling mencocokkan apa saja yang mereka rasakan dalam pengembaraan bathin yang semakin jauh, semakin banyak yang mereka dapatkan, semakin merasa baru sedikit yang mereka dapat ungkapkan. Mereka seperti masuk kedalam lautan samudera yang dalam, semakin masuk kedalam, semakin banyak keindahan yang mereka dapatkan. Dan hari-hari mereka seperti baru dan baru. Begitulah mereka tidak merasakan bahwa ilmu dan kekuatan mereka terus meningkat setingkat demi setingkat jauh melampaui usia muda mereka.
“Ada tamu yang datang”, berkata Mahesa Amping menunjuk kearah pintu gerbang yang terbuka.