Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Jilid 07

JILID 07

“Selamat datang di Benteng Cangu”, berkata Raden Wijaya menyambut kedatangan orang pertama yang mendekati Pendapa.

Ternyata orang itu adalah Ratu Anggabhaya datang bersama Lembu Tal. Mereka datang ke Benteng Cangu bersama beberapa pengawal.

“Kami berangkat dari Kotaraja sudah menjelang sore”, berkata Ratu Anggabhaya setelah duduk bersama di pendapa.

Mahesa Pukat dan Kebo Arema telah dibangunkan dari tidurnya dan langsung bergabung di Pendapa Benteng Cangu.

Setelah menyampaikan kabar keselamatan masingmasing, Ratu Anggabhaya menyampaikan maksud kedatangannya sebagai wakil utusan dari Kotaraja yang akan ikut bersama mengantar keberangkatan Jung Singasari berlayar ke Tanah Melayu untuk melakukan sebuah pinangan.

“Ada berita dari Tanah Kediri, Raja Kertanegara bersedia menerima usulan pinangan ke tanah Melayu”, berkata Ratu Anggabhaya.

“Sebuah kebahagian berlayar bersama kalian”, berkata Raden Wijaya penuh kegembiraan membayangkan sebuah perjalanan panjang bersama kakek dan ayahnya sendiri.

Sementara itu hari sudah sedikit lagi menyisakan malamnya, namun masih ada waktu untuk beristirahat sejenak. Semua yang hadir dipendapa itu telah masuk keperaduannya masing-masing, melewati sisa malam mereka sekedar memejamkan mata dan berbaring.

Pagi di Benteng Cangu diawali dengan munculnya semburat warna merah diujung timur bumi. Semburat warna merah itu terus menjalar mewarnai seluruh lengkung langit tua.Pada saat itu, segala yang ada diatas bumi mulai terlihat jelas, meski masih berbalut warna kesuraman.Udara di tepi pagi itu masih begitu dingin, burung-burung masih menyembunyikan kepalanya didalam kehangatan bulu-bulunya ditengah kerimbunan semak dan dahan pepohonan.

Mulailah terdengar sayup-sayup suara ayam jago dari tempat yang begitu jauh saling bersambut menjadi terdengar semakin jelas mendekat, mungkin suara ayam jago milik penduduk sekitara yang terdekat.

Itulah awal pagi di Benteng Cangu, beberapa prajurit terlihat telah bertukar jaga di panggung penjagaan. Di Barak-barak prajurit sudah kembali terdengar suara canda, dan di dapur umum sudah terlihat asap mengepul keluar lewat celah-celah atap dan pagar bilik bambu.

“Inilah warna pagi di Benteng Cangu”, berkata Mahesa Pukat kepada Ratu Anggabhaya dan lembu Tal di pendapa bersama Raden Wijaya, Mahesa Amping, Kebo Arema dan juga Lawe.

Pada hari itu tidak banyak yang mereka lakukan selain memeriksa beberapa hal kesiapan dalam pelayaran mereka.

Ratu Anggabhaya dan Lembu Tal mengunjungi pembangunan barak-barak baru sekaligus melihat anjungan dimana lima buah jung Singasari masih dalam penyempurnaan. Dan hari yang dinantikan, akhirnya datang juga.

Pagi itu hari sudah hangat tanah, Jung Singasari terlihat mulai merenggang perlahan menjauhi dermaga. Seperti raksasa besar dan kuat, jung Singasari bergoyang menimbulkan ombak dan riak besar menampar tepian tanah sungai.

Air sungai mengalir membawa Jung Singasari menyusuri sungai Brantas yang berliku panjang. Hangatnya sinar matahari pagi sepertinya memberi semangat para prajurit dalam tugas pengawalannya, berlayar ke Tanah Melayu.

Dari sinilah catatan sejarah besar pelayaran jung Singasari dimulai, sebuah tinta emas tentang sebuah keagungan dan kejayaan para pelaut singasari yang berani meniti setiap penjuru dermaga dunia.

Kembali sebagaimana pelayarannya yang pertama, kehadiran raksasa Jung Singasari yang besar pada jamannya itu selalu menjadi perhatian orang disetiap Bandar yang disinggahi.

Sebagaimana pelayarannya yang pertama, Jung Singasari juga singgah dibeberapa Bandar besar di sepanjang pesisir utara laut Nusajawa. Di setiap Bandar besar itu mereka telah menjalin persahabatan dalam perdagangan yang saling menguntungkan.

“Disinilah pusat kerajinan perak dari salaka yang terkenal”, berkata Raden Wijaya kepada Ratu Anggabhaya ketika jung Singasari merapat singgah di Bandar Rakata.

“Cukup lama aku di Tanah Pasundan, tapi langkah kakiku saat itu belum sempat berkunjung di daerah ini”, berkata Lembu Tal ketika mereka berjalan-jalan disekitar Bandar Rakata.

Ketika senja mulai turun, terlihat beberapa prajurit tengah membuka tali temali jung Singasari dari tonggak dermaga. Jung Singasari telah bergerak menjauhi Dermaga Bandar Rakata.

Bulan bulat penuh menggantung diatas langit laut sunda. Lima layar telah berkembang penuh mengantar Jung Singasari seperti angsa raksasa berenang di danau besar Laut Sunda yang penuh ombak tinggi dan kuat. Dan Jung Singasari sepertinya dapat menaklukkannya.

“Dihadapan kita ada jung perompak”, berkata Kebo Arema yang telah memberi tanda lewat pelita suarnya, namun jung itu tidak jua membalasnya. “Kita lihat apakah para perompak itu punya nyali besar berhadapan dengan kita”, berkata Kebo Arema.

Namun jung itu terlihat menjauh, ternyata benar apa yang dikatakan Kebo Arema, para perompak itu berpikir dua kali untuk menghadang angsa raksasa itu.

“Mereka menjauh”, berkata Mahesa Amping yang dapat melihat lewat kemampuan penglihatannya yang tajam melihat jung bajak laut itu telah menjauhi Jung Singasari.

Laut Selat Sunda pada saat itu memang terkenal dengan para bajak lautnya yang ganas. Namun sosok Jung Singasari telah menggetarkan nyali mereka untuk mendekat.

Langit malam masih menyelimuti cakrawala diatas hamparan laut gelap manakala mereka telah melihat bayangan swargabumi seperti raksasa hitam yang tertidur.

“Mungkin setelah kembali dari Tanah Melayu, kita akan singgah di pantai seputih itu”, berkata Kebo Arema sambil menunjuk arah daratan yang masih samar yang ternyata adalah pantai Seputih dimana dalam pelayaran perdana mereka pernah menyinggahinya.

“Begitu teduh dan menyejukkan hati”, berkata Ratu Anggabhaya di anjungan sambil memandang kemunculan sinar fajar yang mengintip diujung bumi sebelah timur.

“Para pelaut menyebutnya sebagai wajah dewi pagi”, berkata Kebo Arema.

Sementara itu angin masih bertiup kuat menghempas lima layar yang berkembang menyusuri pesisir swargabumi yang mulai terlihat dibawah sinar matahari pagi sebagai gerumbul hutan hijau sepanjang mata memandang.

“Bila angin bertiup bagus seperti ini, menjelang sore kita sudah tiba di Selat Banca”, berkata kebo Arema.

“Aku pernah mendengar bahwa Pulau Banca dan puluhan pulau disekitarnya sebagai sarang para bajak laut”, berkata Lembu Tal.

“Benar, pulau Banca dan sekitarnya adalalah momok yang menakutkan bagi para pedagang, tapi saat ini sudah menjadi persinggahan yang nyaman”, berkata Kebo Arema.

“Apakah kita akan bersinggah di Pulau Banca?”, bertanya Raden Wijaya.

“Kita akan singgah bermalam disana, paginya angin timur akan mengantar kita memasuki sungai Musi”, berkata Kebo Arema sepertinya sangat mengenal sekali setiap liku perjalanan di Swargadwipa.

“Di Jung Singasari ini kamulah rajanya, kami akan mengikuti kemanapun layar kau arahkan”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Kebo Arema sambil tersenyum.

Sebagaimana yang diperkirakan Kebo Arema, Mentari saat itu sudah rebah hampir jatuh diujung cakrawala. Kemudi ganda jung singasari terlihat diarahkan kesebuah pulau yang masih terlihat menghitam.

“Kita tengah mengarah ke pulau Banca”, berkata Kebo Arema sabil menunjuk kearah sebuah pulau yang semakin jelas telihat garis pantainya.

Ternyata ada beberapa jung besar yang telah singgah merapat di dermaga. Dan Jung Singasari perlahan merapat disebuah dermaga yang telah disediakan.

“Pulau dengan pantai yang indah”, berkata Ratu Anggabhaya memuji keindahan pantai alam pulau Banca yang memang sangat menawan. Sebuah pantai berpasir putih terlihat sepanjang mata memandang diantara puluhan pohon kelapa seperti penjaga yang berdiri setia. 

Sebagaimana di Bandar sebelumnya yang mereka singgahi, di pulau Banca Jung Singasari juga telah menjadi perhatian. Semua orang di Bandar Cangu itu memuji keindahan dan kemegahan angsa raksasa itu dimana ukurannya memang merupakan Jung terbesar yang ada pada jaman itu.

“Ternyata tuan datang bersama istana terapung ini”, berkata seorang berwajah perlente menyalami kedatangan Kebo Arema. Sepertinya mereka sudah saling mengenal.

“Perkenalkan ini sahabatku, pemilik pulau Banca ini, namanya Gagak Seta”, berkata Kebo Arema memperkenalkan sahabatnya kepada Ratu Anggabhaya, Lembu Tal, Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe.

“Tuan Kebo Arema terlalu meninggikan, aku cuma pedagang kecil di Pulau Banca ini”, berkata Gagak Seta merendah.

Dari pakaiannya, dapat diketahui bahwa Gagak Seta memang seorang yang cukup kaya. Dan Gagak Seta memang seorang yang rendah hati. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kebo Arema, Gagak Seta memang orang yang sangat disegani di Pulau Banca. Dari kilatan matanya dapat ditangkap bahwa Gagak seorang yang berilmu cukup tinggi.

Mengapa Gagak Seta begitu hormat kepada Kebo Arema?

Ada cerita tersendiri dibalik persahabatan mereka, sebagaimana pernah diceritakan dimuka tentang latar belakang Kebo Arema, bahwa semasa mudanya Kebo Arema adalah seorang Pendekar yang sangat ditakuti oleh semua Bajak Laut. Di sepanjang Pesisir Nusajawa sampai jauh ke semananjung Malaka namanya menjadi momok yang menakutkan khususnya bagi para Bajak.

Diantara para bajak laut itu, tersebutlah sebuah nama Gagak Seta sebagai salah seorang Bajak Laut yang sangat ditakuti oleh para pedagang yang hendak masuk ke Bandar Sriwijaya melewati selat Banca.

Beberapa pedagang datang menemui Kebo Arema, mereka bercerita tentang seorang Bajak laut yang berilmu sangat tinggi bernama Gagak Seta.

Sebagai seorang pendekar, Kebo Arema merasa terpangil. Maka dengan penuh keberanian, berangkatlah Kebo Arema mendatangi sarang penyamun itu di Pulau Banca seorang diri.

Maka terjadilah perkelahian yang begitu sengit antara Kebo Arema dan Gagak Seta yang berakhir dengan kalahnya Gagak Seta.

Kebo Arema tidak membunuh Gagak Seta, bahkan telah menyadarkan Gagak Seta bahwa perbuatannya selama itu sangat tidak terpuji.

Gagak Seta menyadari kesalahannya dan berjanji untuk bergabung bersama Kebo Arema untuk mengamankan selat Banca dari segala ancaman para Bajak Laut.

Sejak saat itu, selat Banca menjadi daerah yang aman. Dan Kepulauan Banca tidak lagi menjadi sarang para Bajak Laut. Dan sejak saat itu para pedagang yang berlayar dari laut timur pasti singgah dan menjatuhkan sauhnya di Pulau Banca setelah melakukan pelayaran yang panjang sebelum melanjutkan pelayaran mereka ke Bandar Sriwijaya.

Dan para penghuni Pulau banca mendapat berkah dari persinggahan para pedagang, Gagak Seta termasuk diantaranya menjadi seorang pedagang yang cukup berhasil. Disamping namanya sangat disegani dan dihormati, Gagak Seta adalah seorang pedagang yang cukup kaya raya di Pulau banca.

Begitulah awal dan akhir sebuah cerita persahabatan antara Kebo Arema dan Gagak Seta.

“Kalian adalah tamuku, mari beristirahat di gubukku”, berkata Gagak Seta mengajak Kebo Arema dan kawankawannya berkunjung kerumahnya.

“Ternyata gubuk di Pulau Banca ini adalah sebuah rumah yang megah”, berkata Kebo Arema ketika mereka sudah sampai di rumah Gagak Seta yang ternyata memang sebuah rumah panggung yang sangat megah, hampir seluruh bahan bangunan terbuat dari kayu jati yang mengkilat. Beberapa bagian berupa ukiran yang begitu indah, seperti pada lispang, pintu, jendela bahkan papan pagar pendapa telah dihias dengan seni ukir yang begitu halus mempesona.

“Silahkan menikmati hidangan ala kadarnya”, berkata Gagak Seta mempersilahkan tamunya menikmati makanan dan minuman hangat yang disediakan.

Setelah masing-masing bercerita tentang keselamatannya dan beberapa hal keadaan ditempat masing-masing, Kebo Arema langsung bercerita tentang rencana pelayarannya.

“Disamping menjajagi beberapa usaha perdagangan antar nagari, kami bermaksud akan melakukan pinangan di tanah Melayu”, berkata Kebo Arema

“Ternyata kalian adalah rombongan peminang”, berkata Gagak Seta penuh senyum.

“Kami bermaksud untuk meminang putri Raja Melayu”, berkata ratu Anggabhaya ikut menjelaskan.

Sementara itu hari sudah menjelang malam. Angin laut semilir bertiup menjadikan pelepah dan daun kelapa yang banyak tumbuh di pulau Banca itu seperti sebuah tangan yang melambai-lambai.

Sebagai orang-orang yang sudah biasa tinggal di hawa perbukitan yang sejuk dan dingin, mereka memang harus membiasakan dirinya di dalam suasana hawa pantai yang cukup menggerahkan. Itulah sebabnya mereka masih tetap di pendapa meski hari sudah masuk dipertengahan malam. Namun rasa kantuk akhirnya mengalahkan segalanya, satu persatu telah masuk kedalam bilik yang telah disediakan untuk mereka beristirahat.

Dan ketika pagi masih buta, warna lengkung langit masih berbayang kemerahan, semuanya telah terbangun.

“Terima kasih telah berbagi malam kepada kami”, berkata Kebo Arema kepada sahabatnya Gagak Seta yang mengantar tamu-tamunya sampai di Dermaga.

“Pulau Banca ini selalu menunggu kedatangan kalian”, berkata Gagak Seta melambaikan tangannya.

Sauh telah diangkat diburitan, tali temali telah dilepas dari tambatan, Jung Singasari telah beranjak menjauhi dermaga.

“Angin laut bertiup cukup kuat”, berkata Kebo Arema setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk membuka layar.

Dan lima layar telah berkembang ditiup angin laut.

Diatas laut biru langit sudah berwarna merah terang.

“Bila angin bertiup cukup bagus, kita akan sampai di Bandar Sebukit menjelang mentari menjadi semakin tinggi”, berkata Kebo Arema ketika Jung Singasari terlihat tengah memasuki sebuah muara besar, muara sungai Musi.

Ternyata Jung Singasari bukan satu-satunya jung yang masuk ke muara sungai Musi di pagi yang bening itu. Beberapa jung terlihat memasuki jalur yang sama. Sebuah gambaran bahwa perairan sungai purbakala ini telah dilewati berbagai jung dari belahan penjuru dunia.

“Setiap jung membawa cirinya sendiri sebagai tanda dari mana mereka berasal, dan jung kita adalah yang terbesar”, berkata Kebo Arema penuh  kebanggaan diatas anjungan.

Akhirnya sebagaimana yang diperkirakan oleh Kebo Arema, jung Singasari telah mendekati Bandar Sibukit, Bandar Sriwijaya yang besar. Dan merapat untuk pertama kalinya di sebuah dermaga.

“Akhirnya kita dapat menyaksikan jung Singasari itu merapat di Bumi Sriwijaya”, berkata seorang buruh kepada kawannya yang pernah mendengar cerita tentang jung besar dari Singasari.

“Silahkan kalian melihat-lihat kota tua Sriwijaya, sementara aku akan menemui beberapa pedagang dibandar ini”, berkata Kebo Arema mempersilahkan Ratu Anggabhaya dan rombongan kecilnya turun ke darat.

“Semoga peruntunganmu baik wahai saudagar besar”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Kebo Arema yang membalasnya dengan penuh senyuman disebut sebagai seorang Saudagar besar.

Ternyata Kebo Arema bukan cuma lihai membaca bintang dan arah angin, namun Kebo Arema juga seorang pedagang ulung. Banyak para pedagang yang ditemui kebo Arema menjadi tertarik dan langsung melakukan perjanjian dagang yang tentunya saling menguntungkan.

Keunggulan jung Singasari adalah dapat membawa barang sepuluh kali lipat banyaknya dibandingkan kebanyakan jung besar pada saat itu. Dan Kebo Arema dengan mudah membuat persaingan berpihak kepadanya dengan harga jual yang jauh lebih murah.

Ketika Kebo Arema tengah melakukan tugasnya sebagai seorang saudagar besar, Ratu Anggabhaya dan rombongan kecilnya sudah memasuki kota tua Sriwijaya.

“Kita cari sebuah kedai, sinar matahari disini sepertinya begitu menyengat”, berkata Lembu Tal mengajak untuk singgah kesebuah kedai.

“Kedai itu nampaknya begitu ramai dikunjungi banyak orang, pasti sebuah kedai istimewa”, berkata Lawe menunjuk kesebuah kedai di muka sebuah pasar yang memang tengah ramai dikunjungi banyak orang.

Merekapun segera masuk dan mencari tempat duduk yang ternyata masih tersedia. Seorang pelayan mendatangi mereka menanyakan pesanan apa yang diinginkan.

“Aku pesan masakan istimewa di kedai ini”, berkata Lawe menyampaikan pesanannya.

Tidak lama berselang seorang pelayan telah kembali membawa makanan dan minuman pesanan mereka.

“Selamat menikmati tuan”, berkata pelayan itu penuh hormat.

Namun baru saja pelayan itu ingin melangkah, seorang yang berwajah kasar telah mendekatinya.

“Katakan pada junjunganmu, Rang Brewok meminta sedikit sangu keamanan”, berkata orang itu kepada pelayan.

“Hari ini sudah ada dua orang yang sama sebagaimana tuan”, berkata pelayan itu.

“Mulai besok jangan kamu berikan apapun yang mereka pinta, karena hanya aku seorang yang berhak mempunyai wewenang dipasar ini”, berkata orang itu.

“Mereka juga berkata sebagaimana tuan katakan”, berkata pelayan itu. “Jangan banyak cakap, lekas jumpai saja junjunganmu”, berkata orang itu yang sudah mulai tidak sabaran.

“Aku akan menyampaikannya”, berkata pelayan itu sambil melangkah menuju kedalam.

Tidak lama berselang, pelayan itu telah kembali bersama junjungannya, entah apa yang dibicarakan diantara mereka dan berapa yang diberikan kepada orang itu, yang jelas orang yang mengaku bernama Rang Brewok itu telah meninggalkan kedai itu.

Semua itu telah menjadi perhatian Ratu Anggabhaya dan rombongannya.

“Tanah Sriwijaya sudah lama tidak bertuan, pemerasan merajalela dimana-mana”, berkata Ratu Anggabhaya.

Setelah merasa cukup beristirahat, mereka keluar dari kedai melihat-lihat suasana pasar yang ramai. Mereka juga berjalan melihat-lihat suasana padukuhan terdekat.

“Ada upacara sabung ayam”, berkata Lembu Tal menunjuk kesebuah keramaian.

“Kukira upacara sabung ayam hanya milik orang Nusajawa”, berkata Lawe.

“Sebagai tanda bahwa orang Tanah Swargadwipa serumpun dengan kita, bangsa Galuh Agung”, berkata Ratu Anggabhaya yang mempunyai wawasan yang luas tentang sejarah leluhur bangsa Galuh Agung.

“Degungnya pun kulihat sama, ada ukiran naga diatasnya”, berkata Lawe memperhatikan seperangkat gamelan. “Degung itu perlambang naga dan matahari, mereka meletakkannya masih disisi bagian paling tinggi, artinya mereka masih menghargai penguasa bumi ini, meski yang kita ketahui bahwa Tanah Sriwijaya sudah lama tidak bertuan”, berkata Ratu Anggabhaya memberi makna tentang lambang dari Degung.

“Naga dan Matahari adalah lambang Dewa Siwa”, berkata Raden Wijaya

“Itupun dapat diartikan bahwa persembahan umum mereka ditujukan kepada Dewa Siwa”, berkata Ratu Anggabhaya.

“Artinya kepercayaan mereka sama dengan kita”, berkata Lembu Tal sambil terus melangkah mendekati arena sabung ayam yang ternyata masih baru akan dimulai.

Ada dua ekor ayam tengah dipersiapkan untuk diadu. Keduanya terlihat mempunyai tubuh yang sama kokohnya, satu ekor ayam berwarna merah, sementara satu ekor lagi berwarna hitam sampai keparuh dan kakinya berwarna hitam, sepertinya keturunan ayam Cemani.

Kedua ekor ayam itu terlihat tengah dipasang sebuah pisau kecil di tajinya.

Akhirnya kedua ekor ayam itu sudah dilepas saling berhadapan. Maka terjadilah perkelahian yang seru antara kedua ayam itu. Mereka saling melompat menerjang lawannya.

Terlihat seekor ayam yang berwarna merah terhuyung ke samping diterjang ayam cemani hitam. Kembali ayam cemani itu melakukan serangan, untuk kedua kalinya sebuah sabetan pisau membeset leher ayam berwarna merah.

Darah mengucur di leher ayam berwarna merah, tanpa ada serangan apapun, ayam itu terlihat seperti meregang, dan akhirnya tewas menggelepar.

“Apakah kamu melihat ada kecurangan dalam adu dua jago itu”, berbisik Lembu Tal kepada Mahesa Amping.

“Benar, ayam cemani itu diberikan pisau yang mengandung tuba”, berkata Mahesa Amping perlahan.

“Ayam merah itu akan dihidangkan setelah upacara ini, bahaya siapapun yang memakannya”, kembali Lembu Tal berbisk kepada Mahesa Amping. ”Lakukanlah apapun untuk mencegahnya”, berkata Lembu Tal memberi tanda agar Mahesa Amping melakukan sebuah tindakan.

Maka tanpa memikirkan akibat apapun, Mahesa Amping telah masuk ke tengah arena sabung ayam. Semua mata melihat heran ke arah Mahesa Amping, mereka berpikir sama, apa yang hendak dilakukan pemuda itu.

“Ada kecurangan dalam sabung ayam ini”, berkata Mahesa Amping di tengah-tengah arena.

Seorang pemilik ayam cemani terbelalak matanya mendengar ucapan Mahesa Amping.

“Kamu menuduhku telah berbuat kecurangan?”, berkata orang itu sambil tangannya menunjuk kearah tubuh Mahesa Amping.

“Benar, aku menuduhmu telah melakukan kecurangan”, berkata Mahesa Amping dengan penuh ketenangan. “Bukankah semua telah melihat bahwa ayamku telah melakukan sebuah kemenangan?”, berkata orang itu yang sepertinya meminta dukungan dari semua orang.

“Ayammu belum tentu memenangkan pertandingan bila saja tidak ada tuba di pisau tajinya”, berkata Mahesa Amping sepertinya tidak merasa gentar menyampaikan sebuah kebenaran.

“Kamu harus membuktikan ucapanmu”, berteriak orang itu sambil tangannya menunjuk-nunjuk kearah Mahesa Amping.

“Berikan kepadaku dua ekor ayam”, berkata Mahesa Amping kepada orang-orang didekatnya. Dua orang terlihat membawa dua ekor ayam yang diminta oleh Mahesa Amping.

“Aku akan membuktikannya”, berkata Mahesa Amping sambil membuka pisau taji dari kaki ayam berwarna merah yang sudah mati.

“Kalian dapat melihat bahwa ayam segar ini tidak akan mati meski sedikit tubuhnya dilukai dengan pisau taji ini”, berkata Mahesa Amping sambil melukai sedikit bagian tubuh dari salah satu ekor ayam yang diberikan kepadanya.

“Berikan kepadaku pisau taji ayammu”, berkata Mahesa Amping kepada seorang pemilik ayam Cemani yang nampaknya mulai merasa ketakutan.

Salah seorang penonton nampaknya menjadi tidak sabaran langsung mendekati pemilik ayam cemani.

“Berikan pisau taji ini, kita harus dapat membuktikannya”, berkata penonton yang tidak sabaran itu sambil membuka ikatan pisau taji dari kaki ayam cemani dan langsung memberikannya kepada Mahesa Amping.

“Jangan kamu gunakan tanganmu untuk makan sebelum meyakinkan bahwa tanganmu sudah menjadi bersih”, berkata Mahesa Amping kepada seorang yang memberikan pisau taji.

“Lihatlah, aku akan melukai seekor ayam yang masih hidup ini, dalam waktu singkat ayam ini akan mati”, berkata Mahesa Amping kepada semua orang yang ada di arena sabung ayam itu.

Pemilik ayam cemani terlihat wajahnya sudah semakin pucat.

Ternyata Mahesa Amping telah berhasil membuat sebuah bukti. Seekor ayam yang dilukai oleh pisau taji milik ayam merah masih tetap hidup. Sementara ayam yang dilukai oleh pisau taji milik ayam cemani nampak terhuyung-huyung seperti mabuk. Dan akhirnya semua dapat menyaksikan bahwa ayam itu terlihat terkapar, mati.

“Bunuh anak muda itu”, berkata tiba-tiba pemilik ayam cemani kepada dua orang didekatnya.

Dua orang yang ada di dekat pemilik ayam cemani itu sudah menerjang Mahesa Amping. Dua buah senjata badik telanjang meluncur mengincar leher dan dada pemuda itu.

Entah dengan cara apa Mahesa Amping melakukannya, dua buah badik sudah berpindah tangan berada dikedua tangannya, sementara kedua orang penyerangnya terlempar kebelakang jatuh terhuyung.

“Kamparu, beraninya kamu merusak acara penikahan kami”, berkata seorang yang sudah cukup umur kepada pemilik ayam Cemani. “Aku memang sudah terlanjur kecewa kepadamu, aku ingin membunuh calon menantumu lewat ayam yang mati itu”, berkata pemilik ayam cemani itu berterus terang.

“Aku memilih pemuda itu karena taat dan rajin bekerja dibandingkan dirimu yang hanya mengejar kesenangan, sering merusak pagar ayu”, berkata orang tua itu.

“Saat ini tidak ada penguasa di Sriwijaya, dengan kekayaanku semua dapat kubeli, termasuk kamu”, berkata pemilik ayam Cemani itu sambil memberi sebuah tanda. Tiba-tiba saja lima orang berwajah kasar dan garang telah mendekatinya.

Mahesa Amping tidak yakin bahwa orang tua itu akan mampu menghadapi lima orang upahan yang terlihat sangat bengis dan garang.

“Aku yang telah membuka urusan ini, serahkanlah semua kepadaku”, berkata Mahesa Amping kepada orang tua itu yang nampaknya agak gentar melihat kelima orang upahan pemilik ayam cemani itu.”Menepilah”, berkata Mahesa Amping kepada orang tua itu untuk keluar arena.

“Bunuh anak muda itu”, berkata pemilik ayam cemani kepada lima orang upahannya.

Maka arena sabung ayam telah berubah ajang, telah berganti menjadi perkelahian manusia dengan manusia. Bedanya tidak satu lawan satu, tapi satu orang menghadapi lima orang.

Kali ini Mahesa Amping tidak ingin tergesa-gesa menyelesaikan pertempurannya, dengan telaten menghadapi setiap serangan dengan hanya menghindar. Semua mata sepertinya menghawatirkan keadaan Mahesa Amping.

“Kasihan pemuda itu sudah masuk kedalam urusan Rangkayo Kumaru”, berkata seorang yang berada paling depan kepada kawannya.

“Bila saja aku punya kemampuan, aku akan turun membela pemuda itu”, berkata kawannya.

Pertempuran di tengah arena sabung ayam sudah semakin seru, bukan main geramnya kelima orang upahan itu yang tidak pernah mampu menembus pertahanan Mahesa Amping, semua serangan selalu dapat dihindarinya. Mereka masih menganggap bahwa semua hanya sebuah kemujuran. Mereka tidak menyadari bahwa Mahesa Amping telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya tingkat tinggi yang nyaris sempurna.

Lima orang upahan itu benar-benar sudah bernafsu untuk menyelesaikan perkelahiannya, mereka merasa malu, nama mereka sepertinya takut tercoreng bilamana tidak segera menyelesaikan anak muda yang sepertinya tidak punya keistimewahan sedikitpun.

Kelima orang itu sepertinya punya tekat yang sama, seperti digerakkan perasaan yang sama, mereka menyerang secara bersama.

Lima buah senjata terhunus siap menyincang tubuh Mahesa Amping.

Semua orang menahan nafasnya, pikirannya sudah jauh kedepan dalam bayangan bahwa anak muda itu akan tersayat lima buah senjata tajam yang nampaknya berkilat selalu diasah ketajamannya.

Semua orang memang mempunyai pikiran masingmasing, ternyata ada seorang yang punya pikiran berbeda. Orang itu berwajah tikus, lengkap dengan kumisnya yang lurus panjang tidak berjanggut.

“Lima orang itu tidak akan mampu menghadapi Manusia Dewa”, berkata orang berwajah tikus itu.

Ternyata orang berwajah tikus itu sudah mengenali diri Mahesa Amping yang pernah menghebohkan dan menunjukkan kesaktiannya di Tanah Melayu.

Pikiran orang berwajah tikus itu sepertinya sudah membaca apa yang akan dilakukan Mahesa Amping menghadapi kelima orang upahan.

Benar !!, Mahesa Amping sudah jemu bermain.

Ketika kelima orang upahan itu menyerang serentak bersama-sama, dengan kecepatan yang tidak lagi dapat dilihat dengan pandangan wadag, tubuh Mahesa Amping telah melenting keatas melampaui tubuh salah satu penyerangnya. Dengan sebuah tendangan mendorong pantat salah satu penyerang itu yang langsung menabrak kawannya didepan. Akibatnya memang sangat lucu dan menggelikan. Kelima orang penyerang itu saling bertabrakan satu dengan yang lainnya.

“Aku disini sahabat”, berkata Mahesa Amping yang masih berdiri tegap memberi kesempatan kelima penyerangnya bersiap diri.

Wajah kelima orang upahan itu benar-benar seperti wajah setan merah, matanya melotot, nafasnya seperti memburu, rasa malu bercampur penasaran membuat mereka menjadi begitu kalap. Tanpa aba-aba sedikitpun mereka sudah langsung menerjang tubuh Mahesa Amping seperti berlomba.

Kembali Mahesa Amping melakukan aksinya, dengan menggunakan ilmu kecepatan tingkat tinggi serta sepersepuluh kekuatannya karena tidak menginginkan kelima orang penyerangnya mati konyol, Mahesa Amping telah menghajar kelima penyerangnya, masing-masih dapat jatah satu pukulan telak di tubuhnya

Semua orang seperti tidak percaya atas apa yang mereka saksikan, kelima orang berwajah garang itu semuanya telah berbaring merintih kesakitan.

“Masih adakah sisa orang upahanmu?”, berkata Mahesa Amping kepada pemilik ayam Cemani yang bernama Rangkayo Kamparu.

“Seratus orang cecurut tengik tidak akan mampu menandingi Manusia Dewa”, berkata seorang berwajah tikus yang tiba-tiba saja telah berada di tengah arena sabung ayam.

“Tengku Sancang dari Pulau We” berbisik salah seorang kepada kawannya yang sudah mengenal orang berwajah tikus itu yang akhir-akhir ini sering berkeliaran di sekitar Bandar Sebukit bersama para pedagang dari Semenanjung Malaka.

Ternyata Tengku Sancang adalah orang yang sangat disegani di sepanjang jalur perdagangan selat Malaka. Para Bajak Laut berpikir sepuluh kali untuk mengganggu pelayarannya apalagi berani lawan muka dengannya. Disamping berilmu tinggi, Tengku Sancang adalah pedagang besar yang sangat kaya. Lengkaplah rasa segan orang terhadapnya.

“Apakah ki sanak adalah orang upahan pemilik ayam cemani”, berkata Mahesa Amping ragu melihat penampilan Tengku Sancang yang perlente juga tidak garang. “Rangkayo Kamparu adalah keponakanku, tapi aku berdiri disini tidak ada urusan dengan sabung ayam ini, aku hanya ingin mengenal lebih dekat kehebatan ilmu Manusia Dewa”, berkata Tengku Sancang sambil  memilin kumisnya yang panjang jatuh melebihi bibirnya. 

“Aku cuma ingin meluruskan kecurangan di arena sabung ayam ini, jadi tidak ada tambahan urusan lainnya”, berkata Mahesa Amping berusaha menghindari urusan menjadi panjang.

“Semakin kamu menghindar, semakin diriku menjadi penasaran. Selama ini aku tidak pernah menjual ilmuku, kecuali hanya membeli siapapun yang berani mengusikku.Tapi kali ini biarlah aku yang datang menjual ilmu, bersiaplah”, berkata Tengku Sancang sambil mengeluarkan senjata andalannya, sebuah rencong panjang.

Mahesa Amping tidak dapat mengelak lagi, apalagi melihat orang dihadapannya telah melepas senjatanya. Adalah sebuah penghinaan meninggalkan orang yang telah menelanjangi senjatanya.

“Mudah-mudahan diriku dapat membeli rasa penasaranmu”, berkata Mahesa Amping telah bersiap diri dan tidak ada keinginan untuk mengeluarkan senjata.

“Namumu sudah melangit di sepanjang Selat Malaka setelah kejadian di Tanah Melayu, nyaris membenamkan namaku, itulah urusan yang ingin kuselesaikan hari ini”, berkata Tengku Sancang.

“Ternyata ada banyak yang kalian tutupi selama di Tanah Melayu, pasti ada sebuah kejadian yang sangat luar biasa yang tidak kalian ceritakan kepadaku”, berkata Lembu Tal kepada anaknya Raden Wijaya sambil matanya tidak pernah lepas ketengah arena sabung ayam dimana Mahesa Amping dan Tengku Sancang telah saling berhadapan.

“Aku sudah sering mendengar tentang kehebatan ilmu anak muda itu, tapi baru hari ini aku melihat sendiri kehebatannya dalam bergerak yang menurutku nyaris begitu cepat, dan nyaris begitu sempurna melampaui perkiraannku semula”, berkata Ratu Anggabhaya

“Bila ada kesempatan, hamba siap menuturkan cerita selengkapnya”, berkata Lawe sambil tersenyum.

Sementara itu diarena sabung ayam, pertempuran sudah berlangsung. Tengku Sancang sudah memulai serangannya dengan langsung melayangkan rencongnya keleher Mahesa Amping.

Melihat awal serangan itu, Mahesa Amping dapat mengukur kekuatan lawan. Angin serangan itu datang begitu kuat sebagai tanda bahwa lawannya mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa. Dan Mahesa Amping tidak berani bermain-main sembarangan. Dengan hatihati menghindari setiap serangan dan balas menyerang. Mahesa Amping telah melambari dirinya dengan kekuatan kasat mata, seandainya senjata itu mengenainya tidak akan melukainya, tapi Mahesa Amping tidak akan menyodorkan tubuhnya sia-sia, dirinya masih bisa menyelinap dalam setiap sergapan bahkan membalas serangan tidak kalah dhsyatnya.

Lingkaran sabung ayam sepertinya menjadi lebih luas dari semula, abu yang beterbangan memaksa semua orang mundur dengan sendirinya. Tapi semua orang tidak berusaha meninggalkan tontonan yang menegangkan itu, melebihi tontonan sabung ayam yang paling seru sekalipun yang pernah mereka saksikan.

Mahesa Amping, Tengku Sancang telah melewati ratusan jurus, merekapun telah meningkatkan tataran ilmunya setahap demi setahap. Pertempuran menjadi semakin seru dan begitu cepat. Kadang yang terlihat adalah dua bayangan yang saling berkelebat.

“Kamu belum mengeluarkan senjata?”, berkata Tengku Sancang merasa diremehkan dihadapi Mahesa Amping dengan tanpa senjata.

“Aku merasa belum perlu mengeluarkan senjata”, berkata Mahesa Ringan membuat Tengku Sancang semakin menjadi panas mendengarnya.

“Kamu akan menyesal”, berkata Tengku Sancang sambil menerjang dengan rencongnya ke tubuh Mahesa Amping.

Mahesa Amping menyadari bahwa serangan datang dengan kekuatan berlapis setingkat lebih tinggi dari tataran sebelumnya, maka Mahesa telah mempersiapkan dirinya, meningkatkan tataran ilmunya lebih setingkat lagi agar dapat mengimbangi kemampuan lawan.

Kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit, lebih seru dan lebih dahsyat dari sebelumnya.

Rencong ditangan Tengku Sancang berputar keras seperti gasing menerjang kemanapun Mahesa Amping menghindar. Untungnya ilmu meringankan tubuh Mahesa Amping sudah melampaui tataran tertinggi, sambil menghindar masih dapat mengancam pertahanan lawan.

“Baru kali aku berhadapan dengan orang yang begitu licin seperti anak muda ini”, berkata Tengku Sancang yang diam-diam mengagumi ilmu Mahesa Amping yang masih saja mengimbangi perlawanannya meski sudah diterapkan segala tataran kemampuannya yang tertinggi.

Tiba-tiba saja tubuh Tengku melenting kebelakang. Mahesa Amping menyadari pasti Tengku Sancang ingin berbuat sesuatu yang berbahaya. Maka Mahesa Amping telah bersiap melepas segala kemampuannya dalam batas kesadarannya yang tinggi.

Benar saja dugaan Mahesa Amping !!

Tiba-tiba saja dirasakan tanah tempat berpijaknya terasa bergoyang.

Ternyata semua orang di sekitarnya merasakan hal yang sama. Serentak semua orang dengan penuh rasa takut dan gentar berlari menjauh. Anehnya ketika mereka menjauh, getaran tanah yang bergoyang tidak lagi mereka rasakan.

“Ilmu Aji abu-abu”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya.”Hanya orang yang mempunyai pikiran yang kuat yang mampu menggerakkan alam khayal orang di sekitarnya”, berkata kembali Ratu Anggabhaya yang sepertinya tidak berpengaruh atas apa yang terjadi.

Mendengar keterangan Ratu Anggabhaya, Raden Wijaya, Lembu Tal dan Lawe segera memusatkan alam pikirannya, menyerahkan akal dan budinya kedalam kebesaran Sang Hyiang Gusti Sejati, Gusti Yang Maha Karsa.

Sementara itu Mahesa Amping telah dapat menguasai dirinya, permainan pikiran sudah bukan barang asing bagi dirinya. Tapi Mahesa Amping adalah pemuda yang cerdas, juga cerdik. Dihadapan Tengku Sancang sepertinya terpengaruh, merasakan seakanakan dirinya terkejut atas apa yang terjadi. Terlihat Mahesa Amping seperti orang yang tengah berusaha tegak mengimbangi tanah yang bergoyang seperti tengah terjadi gempa besar. “Sebentar lagi namaku akan menjulang kelangit, manusia dewa dapat kukalahkan”, berkata Tengku Sancang sambil tertawa melihat Mahesa Amping sudah masuk dalam perangkap pikirannya.

Tengku Sancang tidak melepas kesempatan yang ada, langsung melakukan serangan sebagaimana sebelumnya, berharap pikiran Mahesa Amping menjadi bercabang dengan pengaruh tanah yang terasa bergoyang.

Tapi Mahesa Amping ternyata masih saja dapat mengimbanginya, masih juga melakukan tekanan yang tidak kalah dahsyatnya, meski dengan berpura-pura terpengaruh dengan keadaan di sekitarnya sebagaimana orang yang tengah menghadapi sebuah gempa sungguhan.

Tengku Sancang merasa tidak sabaran, dihentakkan segenap kekuatan pikirannya.

Maka luar biasa dampak penguasaaan alam pikiran itu, semua orang menyaksikan angin puyuh besar menyambar tubuh Mahesa Amping dan terus mengejarnya kemanapun dirinya menghindar.

Mahesa Amping menghadapi dua serangan, serangan angin puyuh yang seperti bernyawa terus mengejarnya, juga serangan rencong Tengku Sancang yang juga sedahsyat putaran angin puyuh menyerang dan mengejarnya.

Menghadapi angin puyuh, Mahesa Amping sudah menyadari sebagai sebuah kekuatan palsu yang bersumber dari kekuatan pikiran Tengku Sancang. Mahesa Amping masih berusaha bersandiwara seakanakan berpengaruh. Namun diam-diam telah menerapkan ajian yang sama. Kekuatan akal pikiran Mahesa Amping adalah kekuatan yang berlandaskan pada kekuatan alam tak terbatas, maka kekuatan akal pikiran Mahesa Amping tidak disadari oleh Tengku Sancang berbalik telah memperangkapnya.

Tengku Sancang merasa gembira melihat Mahesa Amping telah digulung oleh angin puyuh buatannya, Mahesa Amping telah dibawa terbang tinggi.

Tapi matanya terbelalak melihat Mahesa Amping bersama Angin puyuhnya datang bersama-sama turun. Mahesa Amping seperti dewa terbang mengejar dirinya dengan kecepatan yang tidak dapat dihindari. Angin puyuh buatannya sendiri telah melemparkan dirinya terhempas jauh.

Tengku Sancang seperti tidak percaya atas apa yang terjadi pada dirinya. Bermula dengan kekuatan pikirannya telah mampu bermain-main dengan sebuah angin puyuh buatan, namun pada saat terakhir angin puyuh itu telah menjadi barang nyata berbalik menyerangnya bahkan mampu menghempaskan dirinya terlempar jauh.

Mahesa Amping tidak mengejar Tengku Sancang yang terjengkang, membiarkan Tengku Sancang berdiri dan mempersiapkan dirinya.

“Tengku Sancang !!!”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang dilambari tenaga saktinya terdengar seperti bergema menghentakkan dada Tengku Sancang. ”Kamu tidak akan berhasil merusak pikiranku, aku dapat mendatangkan gempa sungguhan, aku mampu membawa angin puyuh sungguhan, bahkan aku dapat membawa bongkahan hujan es yang begitu dingin yang akan membekukan jantungmu”, berkata kembali Mahesa Amping dengan suara yang telah dilambari tenaga sakti terasa menghentak-hentak dada tengku Sancang.

Tengku Sancang berusaha meningkatkan ketahanan tubuhnya, namun hentakan suara itu sepertinya tidak mudah dibatasi, seperti langsung mencekik rongga dadanya yang terasa menjadi sesak.

“Ilmu anak muda ini memang sudah seperti dewa”, berkata Tengku Sancang seperti sudah merasa putus asa, tidak ada kepercayaan diri lagi untuk melawan pemuda dihadapannya.

“Apakah pertempuran ini masih dilanjutkan?”, bertanya Mahesa Amping yang berdiri tidak jauh darinya.

Tengku Sancang menatap mahesa Amping seperti menatap seorang dewa. Dilihatnya mata Mahesa Amping seperti dua bola api yang menyala.

Terbelalak Tengku Sancang sampai jantungnya terasa berhenti ketika menyaksikan sendiri dari kedua bola mata Mahesa Amping keluar cahaya seperti kilat menyambar.

Tengku Sancang masih dapat bernafas lega, cahaya kilat itu hanya menyambar sebuah batu sebesar kepala disampingnya. Seperti tidak percaya apa yang telah dilihatnya, batu sebesar kepala itu hancur hilang berganti sebagai serbuk debu yang beterbangan.

“Aku memang bukan tandinganmu, aku menyerah kalah”, berkata Tengku Sancang sambil membayangkan dirinya yang akan menjadi sasaran dari cahaya kilat kedua mata Mahesa Amping.

“Aku serahkan keponakanmu kepadamu, bila disuatu waktu kudapati ulahnya yang menyusahkan sesama, maka kesalahan akan kujatuhkan kepadamu”, berkata Mahesa Amping, kali ini begitu lembut penuh wibawa. “Aku akan berusaha mengurus keponakanku, itu adalah hukuman teringan yang kudapat dibandingkan hilangnya nyawaku dengan tubuh hancur berdebu tanpa pemakaman”, berkata Tengku Sancang seperti telah mendapat kembali hadiah satu nyawa untuknya.

“Kami akan berlayar ke Tanah Melayu, suatu waktu mungkin akan berlayar sampai ke tempat asalmu. Aku berharap kita berjumpa kembali dalam suasana yang berbeda, setidaknya sebagai seorang sahabat”, berkata Mahesa Amping.

“Tersanjung diriku bila saja kita bertemu di tempat asalku, aku akan memperkenalkan kepada semua kerabatku bahwa engkau adalah sahabatku. Aku akan menantikan kedatanganmu”, berkata Tengku Sancang penuh kegembiraan.

“Saatnya aku menyalami seorang sahabat”, berkata mahesa Amping sambil mengulurkan tangannya.

Tengku Sancang menyambut tangan itu, menggenggamnya penuh keakraban.

Banyak orang bernafas lega menyaksikan dua orang yang semula saling menyerang itu telah saling bersalaman.

“Sampai berjumpa kembali sahabat”, berkata Tengku Sancang sambil memanggil keponakannya Rangkayo Kamparu meninggalkan tempat itu diringi tatapan banyak orang.

“Kamu telah menyelesaikan urusan ini dengan penuh bijaksana”, berkata lembu Tal yang datang menghampirinya.

“Ayahku tidak akan memaafkan dirinya, bila saja kamu bernasib buruk di arena itu. Bukankah ayah yang menyuruh Mahesa Amping turun ke arena itu?”, berkata Raden Wijaya

“Tanpa disuruh pun, aku yakin Mahesa Amping akan turun dengan sendirinya”, berkata Lembu Tal berusaha mengelak.

“Sebenarnya sebelum Mahesa Amping turun ke arena, aku sudah ada niat”, berkata Lawe sambil bergaya seperti layaknya seorang gagah membuat Ratu Anggabhaya, raden Wijaya dan Lembu Tal tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan ulah Lawe yang masih senang berguarau.

Sementara itu beberapa orang yang ada disekitar itu sudah berkumpul kembali untuk mengikuti sebuah upacara pernikahan.

“Kami akan merasa terhormat bilamana tuan-tuan menghadiri upacara pernikahan anak-anak  kami”, berkata seorang tua yang sudah dikenal oleh Mahesa Amping sebagai orang tua yang disuruhnya menepi dari arena sabung ayam menghindari perkelahian dengan lima orang upahan yang beringas.

“Menyaksikan sebuah pernikahan adalah sebuah rahmat, begitulah pendeta Brahmana mengajarkan umatnya”, berkata ratu Anggabhaya mengajak rombongannya menerima undangan tuan rumah yang ramah.

Sebagaimana orang asing yang melihat sebuah upacara yang berbeda, mereka benar-benar menikmati dan menyaksikan sebagai tayangan istimewa. Yang sangat berkesan adalah sebuah acara berbalas pantun, semua yang hadir berusaha tampil menunjukkan keahliannya sebagai ahli pantun yang tidak pernah mau menyerah. Untungnya para keluarga calon pengantin cukup bijaksana, mereka akhirnya mengalah kepada pihak calon pengantin pria, demi puncak acara yang mereka tunggu dan sebuah hidangan besar yang sangat dinantikan.

Ketika hari sudah masuk menjelang malam, Ratu Anggabhaya dan rombongannya berpamit diri kembali ke Bandar Sebukit untuk bermalam disana.

Bandar sebukit memang tidak pernah tidur sebagaimana suasana Bandar besar pada umumnya. Para buruh terlihat masih memanggul barang dari jung menuju gudang penyimpanan atau kadang datang dari arah sebaliknya.

“Hari ini kita untung besar, dagangan yang kita bawa sudah habis terjual, berganti dengan barang dagangan yang banyak dibutuhkan di Tanah Singasari”, berkata Kebo Arema dianjungan tempat mereka berkumpul menghabiskan malam di Bandar Sebukit.

“Sebentar lagi lima jung Singasari telah siap berlayar mendatangi Bandar-bandar besar ketimur dan kebarat, membawa berbagai barang dagangan, kembali membawa keberuntungan”, berkata Ratu Anggabhaya penuh keyakinan.

“Bendahara terus menghitung harta kerajaan yang bertambah, para petani bergembira menikmati panen di tanahnya, para pedagang berkeliling membawa peruntungannya. Sementara para ksatria sepanjang hari berpesta bersama keluarganya, menjaga nagari tanpa peperangan”, berkata Lembu Tal membacakan sebuah puisi salah seorang pujangga terkenal jaman itu.Empu Bara Kembara.

Dan sang waktupun berlari menggulung malam, membangunkan pagi yang terkantuk dalam selimut angin dingin. Beberapa nelayan setelah semalaman suntuk menjaring udang terlihat tengah mendayung jukungnya pulang membawa harapan kepada keluarganya. Sepasang angsa berenang menyusuri tepian sungai  Musi yang mulai hangat disinari cahaya matahari pagi.

“Kita berangkat menjelang siang”, berkata Kebo Arema.

“Masih ada waktu menikmati pagi di Bandar sebukit yang hangat”, berkata Ratu Anggabhaya.

Sebagaimana yang dikatakan Ratu Anggabhaya, mereka memang masih sempat berjalan-jalan disekitar Bandar Sebukit, melihat-lihat berbagai jung besar dari berbagai penjuru dunia dan berbagai bangsa.

Akhirnya, ketika Matahari telah hampir beranjak dipuncak Cakrawala, Jung Singasari telah meninggalkan Bandar Sebukit, hanyut terapung diatas Sungai Musi yang luas dan panjang. Terlihat gerumbul hutan hitam membatasi tepian sungai, Kadang juga melintasi perkampungan nelayan dengan rumah-rumah panggung yang kecil berbilik kayu hitam.

“Kita akan tiba diujung muara Sungai Musi menjelang malam, semoga angin laut bertiup cukup bagus untuk mengantar kita sampai di Tanah Melayu”, berkata Kebo Arema menjelaskan arah perjalanan mereka.

Jung Singasari yang besar terlihat seperti kotak kayu hitam terapung di tengah kolam yang luas. Sungai Musi memang sebuah sungai yang sangat luas. Sebuah pohon kelapa yang tinggi akan terlihat kecil sebesar telunjuk jari dari seberang tepi sungai lainnya. 

Setelah menempuh perjalanan panjang diatas sungai Musi yang luas, Jung Singasari telah mendekati Muara disaat hari telah menjadi gelap.

Lampu suar telah dinyalakan dianjungan dan di buritan. Dan temali layarpun telah dilepaskan berkembang. Jung Singasari telah melaju terapung diatas laut purbakala dalam kelam malam dan iringan debur ombak yang saling mengejar dibelakang buritan.

Dibawah sisa malam, dari sisi kiri Jung Singasari, daratan Swargadwipa terlihat bagai raksasa hitam tidur terbujur panjang. Namun warna kelam malam bukan warna abadi, perlahan sang waktu telah mengubahnya menjadi warna merah buram menyala, dan akhirnya ketika sang fajar muncul diujung timur bumi, semua menjadi terlihat jelas, lengkung langit berawan kelabu diatas bukit barisan yang jauh berwarna biru. Barisan ombak bergiliran mencium bibir tepian pantai berpasir putih berlatar hijau kerimbunan hutan pohon-pohon kayu besar purbakala yang tinggi.

“Muara sungai Batanghari ada dibalik bukit batu karang itu”, berkata Kebo Arema sambil menunjuk kearah sebuah batu karang yang tinggi menjulang.

Jung Singasari telah melewati bukit batu karang, warna air laut terlihat berwarna hijau abu-abu sebagai tanda tidak jauh lagi akan menemui sebuah muara besar.

“Kita sudah mendekati muara sungai Batanghari”, berkata raden Wijaya begitu gembiranya.

Ternyata muara sungai Batanghari memang sudah begitu dekat, terlihat tiga buah jung besar tengah memasuki bibir muara sungai Batanghari, terlihat juga beberapa jukung para nelayan yang baru pulang melaut ikut meramaikan suasana Muara sungai itu. Angin laut berhembus lembut, cahaya perak sinar matahari membias seperti warna pelangi diatas warna air berwarna kehijauan. Jung Singasari sudah memasuki bibir muara sungai Batanghari yang lebar dan panjang. Semakin masuk kedalam, semakin banyak menemui sungai yang bercabang membelah daratan menjadi sebagai sebuah pulau.

“Tanah seribu pulau, itulah nama lain untuk Tanah melayu”, berkata Kebo Arema kepada Ratu Anggabhaya sambil melihat beberapa cabang sungai yang berliku.

Sementara itu ketika matahari telah bergeser sedikit jatuh dari puncaknya, Jung Singasari telah mendekati Bandar Melayu. Terlihat tiang-tiang layar jung besar bergoyang dipermainkan gelombang air sungai di sepanjang dermaga.

Akhirnya Jung Singasari telah merapat di tepi dermaga.

“Jung raksasa itu pastilah Jung Singasari dari Bandar Cangu, jauh lebih besar dari apa yang pernah kubayangkan”, berkata seorang pedagang India kepada kawannya ketika melihat jung Singasari merapat di Dermaga.

“Dengan Jung sebesar itu, aku berani mengarungi lautan yang keras”, berkata kawannya.

Sementara itu diatas Jung Singasari terlihat beberapa kesibukan kecil, beberapa prajurit dengan cekatan melompat ketepi dermaga, membawa tali temali untuk diikatkan ditonggak-tonggak dermaga. Di buritan dua orang prajurit tengah menurunkan tali jangkar, meyakinkan bahwa jangkar benar-benar sudah jatuh sampai kedasar sungai. “Kami menunggu kabar dari kalian bertiga”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe yang akan turun lebih dulu.

Telah disepakati sebelumnya, bahwa ketiga pemuda itu akan menjadi penghubung yang akan mengabarkan kepada pihak Istana Tanah Melayu bahwa utusan dari Kerajaan Singasari akan datang berkunjung menghaturkan sebuah pinangan.

“Ada baiknya bila kita menemui Datuk Belang, mungkin beliau dapat membantu serta memberikan beberapa pertimbangan”, berkata raden Wijaya ketika mereka sudah hampir mendekati kotaraja Tanah Melayu.

Rumah Datuk Belang memang tidak jauh dari Kotaraja.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu  jauh, akhirnya mereka telah sampai di rumah Datuk Belang, sebuah rumah panggung yang besar.

“Mudah-mudahan beliau ada dirumah”, berkata Mahesa Amping sambil tertus melangkah mendekati anak tangga.

Seorang yang seumur Datuk Belang telah menyongsong mereka, ternyata seorang pelayan Datuk Belang yang sudah mereka kenal.

“Selamat berjumpa kembali”, berkata Pelayan tua itu. ”Sebentar sore Datuk Belang dan Pranjaya pasti kembali, saat ini mereka masih ada diistana menghadap Sri baginda”, berkata kembali pelayan tua itu.

“Tentu ada urusan yang sangat penting sampai Sri baginda memanggil mereka”, berkata mahesa Amping kepada pelayan tua itu.

“Mungkin”, berkata pelayan tua itu sambil tersenyum dan pamit untuk menyiapkan makanan dan minuman kepada meraka.

“Tidak usah repot-repot Paman”, berkata Lawe yang dibalas oleh pelayan tua itu dengan penuh senyum.

Sementara itu hari memang sebentar lagi menjelang sore, mereka tidak menunggu begitu lama. Datuk Belang dan Pranjaya yang ditunggu akhirnya telah datang.

Bukan main senangnya Datuk Belang dan Pranjaya melihat kehadiran ketiga pemuda itu ada dirumahnya.

Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, Raden Wijaya langsung menyampaikan maksud dan tujuan mereka yang sesungguhnya.

“Jadi kalian datang bersama utusan Raja Singasari untuk meminang seorang putri Raja Melayu”, berkata datuk belang setelah mendengar semua perkataan Raden Wijaya.

“Mungkin Datuk belang dapat memberi beberapa pertimbangan untuk kami”, berkata Raden Wijaya.

“Sepengetahuanku, hanya ada dua putri di istana, Dara Petak dan Dara Jingga. Siapakah diantara mereka yang akan dipinang untuk Raja Singasari?”, bertanya Datuk Belang sambil memandang Raden Wijaya dan Mahesa Amping secara bergantian. Diam-diam Datuk Belang sudah mengetahui perasaan yang ada dihati kedua pemuda ini kepada kedua putri Raja Melayu.

Datuk Belang tersenyum mendapatkan tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

“Apakah pertanyaanku begitu sulit?”, bertanya Datuk Belang masih dengan penuh senyum.

“Pertanyaan Datuk memang begitu sulit untuk dapat kami menjawabnya”, berkata raden Wijaya seperti orang yang tidak berdaya.

“Bila pertanyaanku yang pertama ini begitu sulit, aku akan memberikan sebuah pertanyaan kedua, semoga pertanyaan kedua ini tidak sulit untuk dijawab”, berkata Datuk Belang sambil memandang Mahesa Amping dan Raden Wijaya secara bergantian.

“Semoga saja tidak serumit pertanyaan pertama”, berkata Raden Wijaya tidak sabaran untuk mendengar pertanyaan kedua dari datuk Belang.

“Dengarkan”, berkata Datuk Belang. “Bersediakah kalian berdua menjadi suami dari dua orang putri Dara Petak dan Dara Jingga, seandainya ayahandanya datang kepada kalian, meminang kalian berdua ?”

“Meminang kami?”, bertanya Mahesa Amping.

“Aku ingin jawaban dan bukan balas bertanya”, berkata Datuk Belang. “Bukankah kalian sudah tahu adat di Tanah Melayu, pihak wanitalah yang akan datang meminang”, berkata kembali Datuk Belang.

“Dua pertanyaan yang datuk sampaikan kepada kami memang begitu sulit untuk dapat kami jawab, pertanyaan pertama menyangkut kepentingan perasaan pribadi kami, sementara pertanyaan kedua berkaitan erat dengan tugas kami sebagai utusan Sri baginda Maharaja Singasari, dan kami tidak ingin terjebak dalam perselingkuhan antara tugas dan pribadi”, berkata Mahesa Amping mewakili sahabatnya Raden Wijaya.

“Sudahlah ayah, dua orang tamu kita sudah begitu pening, jangan berputar-putar”, berkata Pranjaya yang kasihan melihat Mahesa Amping dan Raden Wijaya seperti orang kebingungan. “Baiklah kalau begitu. Aku akan memberikan pertanyaan ketiga, untuk menjawabnya dibutuhkan sebuah keberanian”, berkata Datu Belang sambil memandang Mahesa Amping dan Raden Wijaya bergantian. Bibirnya masih menyungging sebuah senyum.

“Mudah-mudahan kami dapat menjawabnya”, berkata Raden Wijaya.

“Sebelum kusampaikan pertanyaanku, aku akan sedikit bercerita”, berkata Datuk Belang.

Sebagaimana yang dikatakan, Datuk Belang pun akhirnya bercerita.

Dahulu kala, ayahanda Srimat Tribhuwanaraja bersahabat dengan seorang pendeta suci bernama Empu Mraten. Kepada sahabatnya ayahanda Tribhuwanaraja telah berjanji bahwa salah satu putranya akan diberikan kepada sahabatnya itu yang kelak akan dididik menjadi pendeta suci.

Namun janji ayahanda Tribhuwanaraja tidak dapat dilaksanakan, karena beliau hanya berputra tunggal.

Ketika Tribhuwanaraja dinobatkan sebagai Raja, Empu Mraten datang untuk mengingatkan janji ayahandanya dengan mengatakan bahwa bila janji ini tidak dilaksanakan akan membawa malapetaka besar di Tanah Melayu.

“Aku hanya berputra tunggal”, berkata Ayahanda Tribhuwanaraja penuh kebingungan kepada sahabatnya Empu Mraten.

Ketika masalah ini disampaikan kepada Tribhuwanaraja, sebagai seorang anak yang berbakti ia mencoba memberikan sebuah usulan. “Permaisuriku tengah mengandung, seorang putra atau seorang putri, aku akan memberikannya kepadamu sebagai pengganti diriku”, berkata Tribhuwanaraja kepada Empu Mraten.

Akhirnya Empu Mraten menerima usulan itu. “Bilamana    anakmu    seorang    putra,    aku    akan

menjadikannya   sebagai   seorang   Srimat,   namun bila

anakmu seorang putri, aku akan mengembalikannya setelah dia dewasa. Yang datang mengambil anakmu adalah seorang perjaka yang mampu mengalahkan ilmuku”, berkata Empu Mraten memberikan beberapa persyaratan.

Beberapa bulan kemudian Sang permaisuri melahirkan anak pertamanya. Dan ternyata anak yang dilahirkan itu adalah seorang putri.

Sampai disitu Datuk Belang mengakhiri ceritanya, penuh senyum memandang kepada Mahesa Amping dan raden Wijaya.

“Pertanyaan ketiga, siapakah diantara kalian yang dapat mewakili untuk mengambil putri Tribhuwanaraja dari tangan Empu Mraten?”, bertanya Datuk Belang.

“Aku bersedia mewakili mengambil putri Raja”, berkata Mahesa Amping langsung menawarkan dirinya.

“Terima kasih, kamu telah menjawab langsung pertanyaanku yang ketiga. Berarti pula bahwa dua buah tugasku yang kuemban dari Tribhuwanaraja telah kutunaikan”, berkata Datuk Belang.

“Aku belum dapat menangkap perkataan Datuk yang terakhir”, berkata Raden Wijaya.

“Tadi pagi aku dipanggil Sri Baginda Raja, beliau memberikan dua buah tugas kepadaku, tugas pertama adalah datang ke Singasari untuk meminang kalian berdua. Tugas selanjutnya adalah meminta kalian mengambil kembali putrinya dari pendeta suci Empu Mraten. Kedatangan kalian adalah berkah tak terkirakan untuk kami. Kalian datang seperti pucuk dicinta ulampun tiba”, berkata Datuk Belang dengan mata berbinar-binar penuh kegembiraan.

“Dimana kami dapat menjumpai Empu Mraten ?, bertanya Mahesa Amping.

“Mereka tinggal disebuah kuil suci bernama kuil Muaro, berjarak sekitar setengah hari perjalanan dari Kotaraja. Pranjaya dapat menjadi petunjuk jalan yang baik untuk kalian”, berkata Datuk Belang.

Semua mata memandang kepada Pranjaya. Baru disadari bahwa Pranjaya ternyata telah memakai busana seorang prajurit lengkap Tanah Melayu.

“Kamu sudah menjadi seorang prajurit?”, berkata Lawe.

“Benar, namaku sekarang adalah Hang Pranjaya, Sri Baginda Raja telah mengaruniakan kepadaku sebagai Senapati prajurit perang”, berkata Pranjaya penuh kebanggaan.

“Tanah Melayu ini akan menjadi aman dibawah lindungan seorang senapati perangnya yang berilmu tinggi”, berkata Raden Wijaya memberi selamat kepada Pranjaya.

“Bukankah Sri Baginda Raja pernah meminta kalian sebagai panglima prajuritnya?”, berkata Pranjaya.

“Dan sekarang dua dari pemuda ini tidak akan menolak pinangan Sri Baginda Raja untuk kedua putrinya”, berkata Datuk Belang yang ditanggapi penuh tawa semua yang ada di panggung pendapa.

Dan haripun terus berlalu membawa sang waktu berjalan melewati malam.

Pagi itu matahari sudah merayap mengintip dari selasela hutan galam ketika sebuah jukung terapung diatas sebuah anak sungai Musi. Diatas jukung itu duduk dua orang pemuda yang terlihat bersama mendayung dengan kayuhnya membawa jukung melaju meluncur membelah air sungai yang jernih.

Dua orang pemuda diatas jukung itu ternyata Mahesa Amping dan Pranjaya. Mereka tengah melakukan perjalanan menuju Kuil Suci Muaro yang terletak di pulau kecil bernama Pulau Muaro. Dikuil itulah tempat tinggal Empu Mraten sebagai guru suci membagi ilmu bersama murid-murid setianya.

Pulau Muaro adalah sebuah bukit kecil yang dikelilingi oleh sebuah sungai. Di puncak bukit kecil itulah sebuah kuil berdiri megah dihiasi taman hutan alam yang asri dibawahnya menambah keelokan kuil seperti sebuah persinggahan milik para dewa-dewi.

“Kuil Muaro sudah terlihat”, berkata Pranjaya sambil menunjuk ke sebuah arah.

“Kuil diatas bukit, sebuah kuil yang indah”, berkata Mahesa Amping sambil tak jemu memandang kuil diatas bukit yang memang seperti lukisan alam yang indah.

Akhirnya jukung mereka telah menepi di Pulau Muaro. Terlihat mereka tengah mendekati sebuah anak tangga batu. Itulah jalan satu-satunya menuju kekuil Muara yang berada diatas puncak bukit kecil itu.

“Apakah anak muda berdua akan melakukan persembahan?”, bertanya seorang yang sudah begitu tua dipintu masuk kuil penuh keramahan. Orang tua itu sebagaimana para penghuni sebuah kuil pada umumnya, memakai kain kasar berwarna putih yang sudah kusam melilit beberapa bagian tubuhnya.

“Kami datang bukan untuk melakukan persembahan, kami datang untuk menemui Guru Suci Empu Mraten”, berkata Pranjaya juga dengan penuh hormat.

Orang tua itu memandang Mahesa Amping dan Pranjaya sambil tersenyum.

“Teruslah kalian berjalan, ketika kalian menemui sebuah kolam ikan, berbeloklah kekanan hingga kalian menemui sebuah altar batu, tunggulah disitu”, berkata orang tua itu.

Mahesa Amping dan Pranjaya mengikuti arah yang ditunjukkan orang tua itu. Akhirnya mereka menemui sebuah altar yang menghadap sebuah taman kecil. Sebuah taman kecil yang indah yang sepertinya terawat dengan baik.

Tidak lama kemudian muncullah orang tua yang mereka temui di pintu kuil, hanya bedanya orang tua itu memakai pakaian yang lebih baik, masih bersih dan belum menjadi kusam.

“Mungkin kalian menjadi bingung, orang yang kalian temui di muka kuil itu adalah saudara kembarku, bukankah kalian mengatakan kepadanya ada urusan denganku?”, berkata orang itu dengan penuh  ramah yang ternyata adalah Guru Suci Empu Mraten Sendiri.

Mahesa Amping dan Pranjaya memang melihat kesamaaan itu, maka dengan penuh hormat mengucapkan salam kepada orang tua dihadapannya itu.

“Mari kita bicara diatas altar”, berkata Empu Mraten mempersilahkan dua orang tamunya duduk diatas sebuah batu altar yang bersih dan begitu licin, mungkin sudah puluhan tahun dipakai sebagai tempat pertemuan dan sudah sering diduduki.

Mahesa Amping dan Pranjaya langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka di kuil Muaro itu.

“Jadi kalian adalah utusan Tribhuwanaraja untuk membawa kembali putrinya”, berkata Empu Matren penuh senyum.

“Benar, untuk itulah kami datang ke kuil ini”, berkata Mahesa Amping membenarkan.

“Pastinya kamu sudah tahu persyaratan yang telah disepakati”, berkata Empu Matren kepada Mahesa Amping sambil menatap tajam seperti tengah mengukur sejauh mana tingkat ilmu pemuda itu.

“Diriku menjadi salah satu persyaratan itu”, berkata Mahesa Amping.

“Aku yakin Tribhuwanaraja tidak akan salah memilih orang”, berkata Empu Mraten masih memandang tajam kearah Mahesa Amping.

“Semoga aku dapat mengemban tugas ini dengan baik”, berkata Mahesa Amping.

“Aku akan mengujimu dengan sebuah pertanyaan, siapakah yang lebih bodoh dari keledai dungu ?”, bertanya Empu Matren.

Mahesa amping diam sejenak, pertanyaan itu mengingatkan dirinya kepada Mahendra. Disaat masih kecil sering dibacakan kepadanya berbagai kitab kuno, dan terakhir lewat Gurusuci Darmasiksa pengenalannya terhadap isi kitab-kitab kuno itu menjadi semakin kaya  dan semakin tembus pandang.

“Yang paling dungu dari seekor keledai dungu adalah buih ombak yang mengaku sebagai lautan”, berkata Mahesa Amping yang ingat pada salah satu syair dalam sebuah kitab kuno.

“Luar biasa, aku senang dengan kamu anak muda, ternyata kamu sudah mendalami sebuah kitab kuno yang sangat rahasia, hanya para brahmana yang diperkenankan menelitik kitab kuno itu”, berkata Empu Matren gembira Mahesa Amping telah mampu menjawab pertanyaannya.

Terlihat Mahesa Amping bernafas lega, pertanyaan Empu Matren ternyata menguji sejauh mana tingkat pemahamannya mengenai ajaran Tatwa.

“Anak muda, apakah kamu dapat bersembunyi di tempat terang”, bertanya kembali Empu Matren yang sepertinya menguji Mahesa Amping sejauh mana pengenalannya pada ilmu kejiwan.

Terlihat Mahesa Amping tersenyum, terlintas hari-hari terakhir pertemuannya dengan Gurusuci Darmasiksa di Padepokan Kahuripan.

“Aku bahkan dapat bersembunyi di tengah lapangan”, berkata Mahesa Amping dengan penuh senyum.

“Ternyata Tribhuwanaraja tidak salah mengutus orang”, berkata Empu Matren merasa puas sekali.

“Anak muda, ayahanda Trubhuwanaraja adalah sahabatku, tahukah kamu mengapa dirinya akan menyerahkan putranya kepadaku?”, bertanya Empu Matren kepada Mahesa Amping.

Mahesa Amping menggelengkan kepalanya tanda tidak mengetahuinya. “Ayahanda Tribhuwanaraja kalah taruhan kepadaku, beliau tidak dapat memecahkan jurus ilmu yang kuciptakan sendiri bernama jurus tapak suci teratai terbang”, berkata Empu Matren.

“Mari kita ke sanggar terbuka”, berkata Empu Matren bangkit dari duduknya mengajak Mahesa Amping dan Pranjaya mengikutinya.

Terlihat mereka memasuki kuil lebih kedalam, ternyata ditengah bangunan kuil ada ruangan terbuka. Sebuah ruangan yang cukup luas untuk sebuah sanggar tempat berlatih olah kanuragan. Beberapa cantrik langsung menghentikan latihannya ketika mereka melihat kedatangan Empu Matren, Pranjaya dan Mahesa Amping.

“Persiapkan dirimu anak muda”, berkata Em Matren yang sudah terlihat berdiri kokoh diatas kedua kakinya.

“Aku sudah siap”, berkata Mahesa Amping yang juga telah berdiri berbuat yang sama menyalurkan tenaganya di atas kedua kakinya yang sepertinya menapak dengan kuat diatas lantai tanah sanggar terbuka.

Tiba-tiba saja tubuh Empu Matren melenting terbang menyerang dengan cepat kearah tubuh Mahesa Amping.

Menghadapi serangan awal yang keras dan cepat itu, Mahesa Amping bergerak menghindar dengan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris sempurna. Namun Empu Matren tidak melepasnya, terus memburu kemanapun Mahesa Amping bergerak menghindar.

Serangan demi serangan Empu Matren terlihat begitu cepat dan sangat berbahaya, kadang seperti menjepit dalam dua sisi serangan yang bersamaan, namun Mahesa Amping selalu dapat menghindar. Pertempuran terlihat begitu seru dan menjadi begitu cepat, terlihat tubuh-tubuh mereka melesat begitu cepat seperti dua ekor burung sikatan bertempur diudara saling berkejaran.

Empu Matren menjadi begitu penasaran, sudah puluhan jurus dikeluarkannya belum juga dapat mengalahkan Mahesa Amping yang selalu menghindar dan tidak melakukan balas menyerang.

Ternyata Mahesa Amping tidak hanya menghindar, diam-diam membaca setiap gerakan Empu Matren, memahat dan menyimpannya didalam benaknya. Mahesa Amping memang mempunyai daya ingat yang luar biasa, hanya dengan sekali pandang ia dapat mengingat semua jurus yang dilakukan oleh Empu Matren.

Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Empu Matren.

Wajahnya yang sudah berkeriput ternyata tidak sebanding dengan kekuatan dan kecepatan bergeraknya yang nampak begitu kuat dan sangat cekatan.

“Luar biasa, semuda ini sudah dapat menguasai ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna”, berkata Empu Mraten dalam hati sambil terus memburu kemanapun Mahesa Amping menghindar.

“Pengulangan yang ketiga”, berkata Mahesa Amping dalam hati telah dapat menyimpan dan menghapal seluruh jurus yang dilakukan oleh Empu Matren.

Ternyata Mahesa Amping telah dapat mencerna seluruh jurus yang dikeluarkan Empu Matren yang diciptakannya sendiri bernama Tapak Suci Teratai Terbang.

“Luar biasa”, berkata Empu Matren yang tiba-tiba saja mendapatkan serangan dari Mahesa Amping. Empu Matren seperti tidk percaya dengan apa yang dilihatnya, Mahesa Amping telah menyerangnya dengan jurusnya sendiri.

Ternyata Mahesa Amping sambil bertempur telah berhasil mengubah setiap jurus milik Empu Matren menjadi lebih sempurna.

Terlihat Empu Matren telah menghadapi jurusnya sendiri, bahkan menjadi lebih sempurna ditangan Mahesa Amping. Meski sebagai seorang pencipta, Empu Matren sudah mengenal betul jurus-jurusnya, maka tidak heran bila Empu Matren dapat menghindar dan balas menyerang. Pertempuran mereka seperti sebuah latihan dari dua orang saudara seperguruan.

“Sempurna”, berkata Empu Matren yang nyaris terkena serangan Mahesa Amping yang diluar dugaannya telah mengubah jurusnya dengan lebih sempurnya.

“Aku tidak pernah mewariskan ilmuku kepada siapapun selain kepada murid-muridku”, berkata Empu Matren sambil melenting kebelakang menghindari serangan Mahesa Amping yang tidak pernah diduganya.

“Hari ini Empu telah mewariskan ilmu itu kepadaku”, berkata Mahesa Amping yang tidak segera memburu dan menyerang Empu Matren yang melenting kebelakang.

“Aku ingin tahu sejauh mana kamu dapat menyerap jurusku”, berkata Empu matren sambil kembali melakukan serangan.

Maka sebagaimana sebelumnya, sebuah pertempuran kembali terjadi dengan jurus yang nyaris sama.

Mendapatkan jurus ciptaannya dilakukan oleh orang lain, bahkan menjadi lebih sempurna, membuat Empu Matren menjadi begitu bersemangat seperti anak kecil mendapatkan mainan baru. Berkali-kali tidak sengaja keluar pujian mengagumi perubahan jurusnya yang menjadi begitu indah dan sempurna.

Hingga akhirnya sebuah pukulan berhasil menembus pertahanan Empun Matren, tangan kanan Mahesa Amping berhasil menghantam pinggang Empu Matren yang terbuka.

Tubuh Empu Matren terlihat terdorong kesamping dan jatuh terguling, Mahesa Amping tidak menyalurkan seluruh kekuatannya.

Dan Mahesa Amping juga tidak memburu lawannya. “Cukup, aku menyerah kalah”, berkata Empu Matren

yang telah bangkit berdiri kembali.

“Kukira selama ini jurusku sudah begitu sempurna, terima kasih telah membuka mataku yang sudah lamur ini”, berkata Empu Matren sambil menjura penuh hormat kepada Mahesa Amping yang merasa berterima kasih dan gembira melihat sendiri jurusnya menjadi lebih sempurna dan begitu indah.

“Jarang sekali aku melihat seseorang yang mempunyai hati seluas samudera seperti Empu Matren, melihat dan menghargai setiap karsa, bukan dari siapa dan dari mana karsa itu berasal”, berkata Mahesa Amping sambil membalas penjuraan hormat dari Empu Matren.

“Mari kita kembali ke altar perjamuan”, berkata Empu Matren menggandeng bahu Mahesa Amping mengajaknya kembali ke Altar perjamuan yang diikuti Pranjaya di belakangnya. Dengan penuh keramahan Empu Matren menjamu tamunya Mahesa Amping dan Pranjaya. Kepada seorang cantrik yang melayani perjamuan itu Empu Matren meminta untuk memanggil Dara Kencana.

“Sebagaimana yang pernah kukatakan, akan datang seorang utusan yang datang untuk membawamu kembali kepada orang tua kandungmu sendiri”, berkata Empu Matren kepada seorang gadis jelita yang datang bersimpuh dihadapannya. Ternyata gadis jelita itu adalah Dara Kencana, putri Tribhuwanaraja yang selama ini diasuh dan dibesarkan di Kuil Muaro.

“Hari sudah senja, bermalamlah di kuil ini,besok aku baru mengijinkan kalian kembali”, berkata Empu Matren kepada Mahesa Amping dan Pranjaya.

“Persiapkanlah dirimu, besok kamu akan melakukan sebuah perjalanan”, berkata Empu Matren kepada Dara Kencana yang berpamit mohon diri beristirahat.

Dan malam pun telah datang menyelimuti kuil Muaro, cahaya bulan temaram menaburkan sinarnya jatuh mencumbu rumput-rumput hijau yang manja menghias taman altar perjamuan.

Banyak hal yang mereka percakapkan, dan Empu Matran semakin mengenal Mahesa Amping sebagai sosok pemuda yang sangat tinggi pemahaman dan pengenalannya atas ilmu kejiwan. Dan mereka sepertinya telah menemukan kawan berbincang yang cocok satu dengan yang lainnya, seperti gayung bersambut, seperti seikat kacang diatas nampan jamuan, seperti keranjang menemukan kembali pikulannya yang lama hilang, membawa mereka kepasar rahasia makna yang ramai, mendulang keuntungan harta kekayaan samudera bathin kejiwaan yang begitu luas tak mungkin dapat dikeringkan hanya dalam percakapan semalam, bahkan sepanjang usia perjalanan diujung kematian.

Ketika bulan bulat penuh rebah dibawah bukit kecil pulau Muaro, sisa malam yang terasa dingin telah mengingatkan mereka untuk beristirahat.

“Hari sudah jauh malam, saatnya kalian untuk beristirahat”, berkata Empu Matren mempersilahkan Mahesa Amping dan Pranjaya beristirahat ditempat yang telah disediakan.

Dan sang waktu akhirnya datang mengubah warna cakrawala lengkung langit, mendatangkan pagi bersama sang fajar yang masih malu bersembunyi mengintip diujung bumi.

Kicau burung diatas kuil Muaro seperti nyanyian pagi yang merdu telah membangunkan penghuninya. Embun pagi di ujung rumput hijau seperti butiran mutiara menggeliat dibelai sang surya yang sudah merata meyirami cahayanya mengusir sisa-sisa dingin malam.

“Perbaktian kepada Sang Hyiang Tunggal tak terbatas tempat dan waktu, dimanapun wajahmu berpaling, dimanapun dirimu berdiri, kamu dapat melakukan persembahan dalam bhakti”, berkata Empu Matren kepada Dara Kencana yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.

“Semoga kesejahteran selalu membimbing perjalanan kalian”, berkata Empu Matren ketika Mahesa Amping, Dara Kencana dan Pranjaya telah bersiap diatas jukungnya.

Dan sebuah jukung telah meluncur membelakangi kuil Muaro diiringi puluhan mata yang terus mengikutinya hingga akhirnya telah menghilang tidak dapat terlihat lagi dipersimpangan cabang sungai yang berkelok.

Dua orang pemuda tengah mengayuh jukungnya menyusuri anak sungai Musi yang berkelok-kelok dilindungi hutan kayu yang rimbun. Seorang Dara Cantik duduk diantaranya menatap kedepan, membiarkan angin pagi meniup rambutnya yang terbang terurai.

Mahesa Amping, Pranjaya dan Dara Kencana tengah melakukan perjalanannya diatas sebuah jukung di pedalaman sungai hutan belantara yang kelam. Baru ketika matahari sudah merayap tinggi mengintip di selasela daun dan batang pohon kayu hutan yang kerap, jukung mereka telah keluar dari anak sungai Musi, masuk dalam perairan sungai Musi yang luas dan panjang.Terlihat dua buah jung besar beriringan melawan arus sungai purbakala itu.

“Mereka telah kembali”, berkata Ratu Anggabhaya dari anjungan melihat sebuah jung merapat didermaga.

“Seorang putri yang cantik luar biasa”, berkata Lembu Tal yang melihat seorang gadis bersama Pranjaya dan Mahesa Amping berdiri diatas jukung tengah melangkah menjejakkan kakinya di ujung bibir dermaga.

Sementara itu Raden Wijaya dan Lawe sudah turun lebih dahulu langsung menyongsong kedatangan sahabatnya itu dan menggiringnya dengan berbagai pertanyaan.

“Berkat doa kalian semua, perjalanan kami diberikan banyak kemudahan”, berkata Mahesa Amping sambil menjawab beberapa pertanyaan Lawe.

“Akan lebih baik bila ceritamu disimpan dulu, mungkin akan terasa nikmat bila ceritamu mengalir bersama minuman segar dan sepiring lemang berkuah gulai”, berkata Raden Wijaya yang memaklumi kelelahan dua orang sahabatnya serta Dara Kencana yang baru tiba dari perjalanan panjangnya.

Dan merekapun terlihat menuju kesebuah kedai langganan mereka di simpang jalan yang ramai.

“Mudah-mudahan kami tidak ketinggalan alur cerita”, berkata Ratu Anggabhaya yang menyusul kemudian bersama Lembu Tal dan Kebo Arema.

“Cerita belum dimulai, menunggu datangnya nasi lemang berkuah gulai”, berkata Lawe dengan warna garis wajahnya yang selalu penuh keceriaan.

Akhirnya sambil menikmati hidangan yang disediakan di kedai itu, Mahesa Amping bercerita sekitar perjalanannya ke kuil Muaro dan perjumpaannya dengan Empu Matren. Sebelum memulai ceritanya, Mahesa Amping memperkenalkan Dara Kencana kepada semua yang ada di kedai itu.

“Jadi kalian semua berasal dari Tanah Singasari?”, berkata Dara Kencana yang sudah mulai tidak merasa canggung lagi.

Sementara itu mentari diatas Bandar Sebukit telah bergeser surut, angin membawa pergi awan hitam berkabut jauh kehilir sungai.

Seiring perjalanan waktu yang terus berlalu, sebuah iring-iringan kecil terlihat tengah berjalan membelakang Bandar Sebukit.

Iring-iringan itu menjadi perhatian banyak orang sepanjang jalan antara Bandar Sebukit menuju Kotaraja.

“Diantara mereka pasti ada seorang pembesar dari Kerajaan Singasari”, berkata seseorang yang nampaknya banyak mengenal berbagai tanda kebesaraan dari berbagai kerajaan kepada seorang kawannya ketika iring-iringan kecil bersama sekitar sepuluh orang prajurit yang berjalan membawa berbagai umbul-umbul kebesaran kerajaan Singasari melewati mereka.

Jarak antara Bandar Sebukit dengan Kotaraja memang tidak begitu jauh. Kotaraja tempat istana Tanah Melayu adalah sebuah dataran perbukitan yang cukup luas dikelilingi sungai, salah satunya adalah Sungai Musi.

Tribhuwanaraja dan Permaisurinya menyongsong kedatangan iring-iringan kecil itu di depan pintu gerbang istana yang sudah diberitahukan terlebih dahulu lewat beberapa utusan yang telah datang mendahului.

Dara Kencana telah dipertemukan kembali kepada orang tuanya. Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan.

Terlihat sang permaisuri memeluk erat putri sulungnya yang terkasih, sepertinya tidak ingin melepaskannya lagi, tidak ingin kehilangan kembali.

“Aku tidak bermimpi, aku memang tidak sedang bermimpi”, berkata Sang permaisuri sambil terus memeluk putrinya.

“Ibunda tidak bermimpi”, berkata Dara Kencana berusaha mengendalikan perasaan hatinya yang ikut terbawa arus keharuan yang begitu sangat.

“Kembali kedatanganmu membawa karunia kebahagiaan untuk kami”, berkata Tribhuwanaraja memeluk Mahesa Amping sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.

Dan iring-iringan dari kerajaan Singasari disambut penuh kehormatan dan keramahan, mereka dijamu di rumah panggung serapat, sebuah tempat khusus Baginda Raja menerima dan menjamu para pejabat istana dan tamu-tamu terhormatnya.

“Sempurnalah segala suka cita kegembiraan kita, aku akan meminang dua orang putra kalian untuk kedua putri tercintaku, Dara Petak dan Dara Jingga”, berkata Tribhuwanaraja disebuah perjamuannya.

“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, dengan segenap penghormatan yang besar mendapatkan karunia pinangan dari penguasa tanah Melayu yang besar, kami menyerahkan kedua putra kami”, berkata Ratu Anggabhaya mewakili kepala keluarga pihak lelaki menerima pinangan Tribhuwanaraja.

“Lain ladang lain pula ilalang, kamipun menerima persimpangan adat diantara kita sebagaimana keluasan hati tuan-tuan yang menerima persimpangan adat yang berbeda dengan hati lapang. Untuk dan atas nama darah persaudaraan yang abadi, kami serahkan putri terkasih Dara Kencana sebagai kapur sirih dan pinang hiasan kasih sayang, menerima pinangan sang penguasa Singasari Raya”, berkata Tribhuwanaraja menerima pinangan utusan kerajaan Singasari yang diwakili langsung oleh Ratu Anggabhaya.

Dan gending gamelan kebahagiaan sepertinya mengiringi suara hati dalam kecap suka cita perjamuan diatas rumah panggung serapat itu.

Sepekan kemudian telah dilangsungkan sebuah upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan perayaan besar selama tujuh hari tujuh malam, dihadiri segenap warga dan pembesar istana, seluruh raja-raja bawahan Kerajaan Melayu Raya, dan beberapa utusan Kerajaan sahabat terdekat.

Didalam catatan kuno seorang pujangga pengembara, perayaan besar itu terjadi dipertengahan musim penghujan. Pada saat itu para pelaut memenuhi daratan, mendamparkan sauhnya di Bandar-bandar besar yang ramai menanti datangnya musim panas kembali, memanggil kerinduan para pelaut untuk mengembangkan layar menyusuri pesisir pantai, menembus selat raya dan mengarungi samudera.

Selama tinggal di Istana Melayu, Mahesa  Amping dan Raden telah banyak memberikan perubahan yang berarti, terutama dalam peningkatan tataran ilmu para prajurit Tanah Melayu. Bersama Pranjaya mereka telah melatih sepasukan prajurit khusus. Pengalaman mereka sebagai pelatih para prajurit muda pengawal jung Singasari di Bandar Cangu telah mengajarkan mereka berbuat lebih baik lagi meningkatkan kemampuan para prajurit di tanah Melayu, baik secara perorangan maupun kemampuan mereka di medan perang secara berkelompok.

Sementara itu Ratu Anggabhaya, Lembu Tal dan Kebo Arema banyak mengisi waktu mereka berkunjung kerumah Datuk Belang. Hampir sepanjang malam mereka terlihat dan terlibat dalam pembicaraan yang hangat, melupakan kejemuan. Dan datuk Belang adalah tuan rumah yang baik, mendapatkan kunjungan para tamu yang baik pula. Dan sepanjang malam rumah panggung besar itu tidak pernah sunyi dari kehangatan dan kegembiraan.

Diatas langit ribuan burung pengembara terbang kearah selatan, itulah bahasa alam pergantian musim penghujan akan berganti.

“Semoga persaudaraan kita abadi”, berkata Tribhuwanaraja menyampaikan salam perpisahannya kepada iring-iringan kecil yang dipimpin langsung oleh Ratu Anggabhaya.

“Kesetiaanku adalah penantian kesabaran yang abadi, doa keselamatan akan selalu kupanjatkan untuk kakang Wijaya”, berkata Dara Petak melepas suaminya Raden Wijaya.

“Terbanglah, tempatmu adalah puncak-puncak gunung tinggi dibelantara samudera raya. Aku akan menjaga putramu, membesarkannya untuk dapat membawaku pergi mencari jejakmu”, berkata Dara Jingga kepada Mahesa Amping penuh senyum kebahagiaan, tidak ada air mata setetespun. Dara Jingga tidak menginginkan kesedihannya akan membawa keraguan langkah suaminya Mahesa Amping.

Dan siang itu Jung Singasari terlihat perlahan bergerak meninggalkan dermaga Bandar Sebukit mengikuti aliran sungai Batanghari yang hangat disinari matahari musim panas yang cerah.

Senja telah menanti Jung Singasari di muara besar sungai Batanghari. Dan layarpun terlihat telah terkembang membawa jung Singasari menyusuri pantar Swarnabumi yang damai.

Setelah dua hari dua malam berlayar di lautan, mereka telah melewati muara sungai Musi. Terlihat jung Singasari tengah mengarah ke Pulau Banca.

“Pulau Banca adalah tempat persinggahan yang  tepat untuk mengisi persediaan air tawar dan pangan kita selama berlayar”, berkata Kebo Arema menjelaskan mengapa harus singgah di pulau Banca.

Demikianlah mereka memang telah bersandar di dermaga Pulau Banca.

“Selamat datang saudaraku”, berkata Gagak Seta, juragan besar Pulau Banca menyambut kedatangan mereka.

“Musim melaut telah kembali, kulihat banyak jung besar bersandar di pulaumu”, berkata Kebo Arema kepada Gagak Seta.

“Rejekiku akan datang bersama datangnya musim melaut”, berkata Gagak Seta tersenyum.

“Tapi aku tidak melihat barang daganganmu menumpuk diujung sana?”, bertanya Kebo Arema yang tidak melihat barang dagangan gagak Seta yang sebelumnya dilihatnya selalu menumpuk tinggi, mulai dari beras dan berbagai sayuran yang biasanya dibutuhkan untuk persediaan selama dalam pelayaran yang jauh.

“Sudah dua hari ini para pedagang dikepulauan Banca ini tidak berani datang menyeberang”, berkata Gagak Seta yang tiba-tiba saja warna garis wajahnya yang biasanya periang berubah menjadi sedikit masam.

“Apakah ada gangguan dari para perompak?”, bertanya Kebo Arema merasa ikut prihatin.

“Sudah tidak ada lagi perompak yang berkeliaran di kepulauan banca ini”, berkata Gagak Seta sambil menggelengkan kepalanya.

“Jadi apa yang mengganggu mereka?”, bertanya Kebo Arema semakin penasaran.

“Ular naga besar berkaki enam”, berkata Gagak Seta “Apakah kamu sudah pernah melihatnya ?”, bertanya

kembali Kebo Arema.

“Aku baru mendengar dari orang-orang yang selamat, yang nyaris dibantai ular besar itu”, berkata Gagak Seta sedikit bercerita. ”Hari ini kami di Pulau Banca ini bermaksud mendatangi sarang ular naga itu”, berkata kembali Gagak Seta.

“Kami akan ikut menyertai”, berkata Kebo Arema kepada Gagak Seta.

“Terima kasih, kami memang butuh orang-orang yang mempunyai keberanian”, berkata Gagak Seta merasa gembira atas penyertaan Kebo Arema.

“Sampai lupa mengajak kalian singgah dirumahku, mungkin banyak yang harus kita bicarakan sebelum mendatangi pulau sarang naga besar itu”, berkata Gagak Seta sambil mengajak rombongan Kebo Arema singgah dan beristirahat dirumahnya.

Setelah tiba di rumah panggung Gagak Seta, seperti biasa mereka bersih-bersih dan beristirahat sejenak menikmati hidangan dari tuan rumah yang cukup ramah.

Akhirnya pembicaraan kembali kepada sesosok ular naga berkaki enam. Dan gagak Seta bercerita sedikit tentang ular naga berkaki enam itu.

Gagak Seta bercerita bahwa beberapa puluh tahun yang lalu, ketika kepulauan Banca ini digunakan sebagai sarang para perompak. Ada sekelompok bajak laut yang berhasil menjarah sebuah jung besar yang membawa banyak barang dagangan.

Disebuah pulau mereka membuka berbagai barang hasil jarahannya itu. Dan salah satu barang jarahannya itu adalah sebuah peti kayu yang besar.

Bukan main kagetnya para perompak itu ketika membuka peti kayu besar itu yang ternyata adalah seekor ular naga berkaki enam. Para bajak laut semuanya berlari meninggalkan pulau itu. “Sampai saat ini tidak ada yang berani mendekati pulau itu”, berkata Gagak Seta mengakhiri ceritanya.

“Dan baru sekarang Ular naga itu mengganggu manusia?”, bertanya Raden Wijaya yang tertarik mengenai cerita ular naga berkaki enam itu.

“Benar, baru kali ini ular naga itu mengganggu, mungkin makanan di pulau itu sudah menipis habis”, berkata Gagak Seta.

“Mungkin ular naga tua yang terusir dari kelompoknya, aku pernah mendengar cerita itu”, berkata Mahesa Amping ikut memberikan pikirannya.

“Banyak kemungkinannnya, kita harus datang kesarangnya, memastikan apa sebenarnya yang telah terjadi”, berkata Gagak Seta.

Akhirnya diputuskan besok pagi mereka akan berangkat ke sarang pulau naga itu. Gagak Seta akan mengajak tiga orang lelaki yang berani dari pulau Banca, sementara itu Kebo Arema mengajak Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe menyertainya.

Keesokan harinya, ketika matahari sudah bangkit beranjak diujung timur pulau Banca yang terlindung barisan pohon kelapa yang kokoh berdiri bercanda bersama hembusan angin pantai bertiup sepanjang hari. Tiga buah jukung kecil meninggalkan pulau Banca. Mereka adalah para lelaki pemberani yang akan menuju ke pulau naga.

Tidak ada hambatan apapun ketika mereka telah mendekati Pulau Naga yang sudah puluhan tahun tidak ada seorangpun yang berani mendekatinya.

Terlihat tiga buah jukung telah sampai dipantai pulau naga. Delapan orang lelaki melompat menjejakkan kakinya dipasir putih pantai yang telah hangat terbakar sinar matahari. Semua mata tertuju kepada sebuah hutan kayu yang rimbun dihadapan mereka, pohon-pohon kayu raksasa yang besar tinggi menutup seluruh daratan pulau naga itu.

“Berhati-hatilah”, berkata Kebo Arema berjalan dimuka mendekati hutan kayu yang lebat itu.

“Lihatlah, ular naga besar itu masuk dari tempat ini”, berkata salah seorang lelaki dari pulau Banca yang ikut menyertai mereka melihat sebuah semak yang terkuak, beberapa ranting kecil nampak patah.

“Kita masuk lewat jalan ini”, berkata Gagak Seta.

Jejak itu memang cukup besar, memudahkan mereka untuk berjalan menembus hutan yang penuh semak belukar itu.

Mereka belum masuk begitu jauh menembus kerapatan belukar hutan, tiba-tiba saja langkah kaki mereka terpaksa berhenti.

Nafas mereka sepertinya tertahan, tidak jauh dari mereka terlihat dua sosok ular naga berkaki enam diatas sebuah belumbang. Panjang ular naga itu mencapai sekitar sepuluh meteran, badannya sebesar sepelukan orang dewasa.

“Ular naga yang besar”, berbisik Kebo Arema seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Belum habis perkataan Kebo Arema, tiba-tiba saja mereka melihat kedua naga besar itu seperti gelisah.

“Menyingkir jauh-jauh”, berkata Kebo Arema yang melihat dua ekor naga besar itu melangkah mendekati mereka. Maka dengan sigap mereka berlari menjauh.

Ternyata kedua ekor naga besar itu tidak mengejar mereka, tapi terus berjalan dengan keenam kakinya mengikuti jejak yang sepertinya jalan mereka untuk menuju kepantai.

Menyadari bahwa kedua ekor naga besar itu tidak mengejar mereka, maka dengan keberanian yang teguh kedelapan orang pemberani itu terus membuntuti arah langkah kedua ekor naga itu.

Kedua ekor naga besar itu telah mencapai pantai, ternyata kegelisahan mereka karena ada seekor naga besar lain yang terlihat baru saja tiba diujung pasir  pantai.

Dua ekor naga besar terlihat menunjukkan taringtaring mereka, sepertinya sebuah bahasa mengusir naga besar yang baru datang.

Naga besar pendatang baru terlihat ikut mempertunjukkan taringnya.

Sementara itu delapan pasang mata dengan nafas tertahan menunggu apa yang akan terjadi, ternyata seekor naga besar pendatang baru cukup cerdas untuk tidak melayani tantangan kedua naga besar yang sepertinya telah bersiap menerkam lawannya. Terlihat naga besar pendatang itu perlahan mundur, perlahan menghilang masuk kedalam laut yang dalam.

Melihat lawannya pergi masuk kedalam laut, kedua ekor naga besar itu terlihat telah kembali masuk kedalam hutan.

“Sebagaimana yang pernah kamu katakan, naga besar yang terakhir kita lihat adalah naga besar yang terusir dari kelompoknya”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.

“Binatang liar dihutan ini masih banyak, tidak akan habis hanya untuk dua ekor naga besar itu”, berkata Gagak Seta.

“Dapat disimpulkan, bukan dua ekor naga besar itu yang sering menggangu penduduk, tapi seekor naga yang terbuang dari kelompoknya, seekor naga besar yang sedang marah”, berkata Raden Wijaya ikut memberikan sebuah kesimpulan.

“Naga itulah yang harus kita binasakan”, berkata sesorang lelaki Pulau Banca yang terlihat begitu geram, mungkin karena salah satu korban adalah saudaranya sendiri.

“Kita pancing naga besar itu”, berkata Gagak Seta “Dengan apa?”, bertanya Lawe.

Maka gagak Seta menyampaikan beberapa hal yang dapat dimengerti dan semua nampaknya menyetujui rencana Gagak Seta itu.

“Ketika Naga besar itu menunjukkan dirinya, kita arahkan dirinya ke darat. Kita dapat leluasa bergerak dibandingkan berada diatas air”, berkata Gagak Seta menyampaikan beberapa rencananya.

Terlihat delapan orang telah keatas jukungnya masing-masing. Terlihat mereka mendayung berputar putar sekitar tempat terakhir naga besar itu masuk kedasar laut dalam.

Cukup lama mereka berputar putar, yang ditunggu sepertinya tidak akan pernah muncul.

Ketika rasa kecewa dan putus asa mulai menjangkiti beberapa orang, terlihat dari wajahnya yang nampak lelah. Tiba-tiba saja mata mereka semua tertuju pada satu tempat dimana air laut disekitarnya sepertinya bergolak.

Seekor naga besar yang ditunggu telah menyembul dari permukaan laut, air laut disekitarnya sepertinya langsung bergelombang.

Tanpa aba-aba apapun, ketiga jukung itu telah meluncur kedarat. Dengan sigap kedelapan orang itu telah melompat menjejakkan kakinya di pasir pantai yang landai.

Sebagaimana yang mereka perhitungkan, naga besar itu mengejar mereka sampai ke pantai.

Kedelapan orang itu telah melepaskan senjatanya masing masing, perlahan mereka mundur mendekati daratan yang tidak lagi berpasir.

Ular naga berkaki enam itu terus mengejar mereka. Dan sebuah sabetan ekornya tiba-tiba saja nyaris menghantam tubuh Gagak Seta yang berada paling dekat dengannya.

Dengan gesit gagak seta melompat menghindar. Namun sabetan ekor naga besar itu terus melaju, seorang lelaki putra pulau Banca tidak dapat mengelak sabetan yang datang begitu cepat itu, tubuhnya terlempar sampai dengan puluhan kaki jauhnya. Lelaki itu nampak meringis menahan rasa sakit yang sangat,  tulang rusuknya terasa remuk dan patah.

“Lindungi orang itu”, berkata Mahesa Amping kepada Lawe.

Terlihat Lawe berlari mendekati orang itu yang masih menahan rasa sakitnya tidak mampu bangkit berdiri, dengan kedua tangannya Lawe segera menyeret orang itu menjauhi serangan naga besar yang buas itu.

Ternyata Naga besar itu adalah makhluk cerdas, tahu kelemahan lawan. Tiba-tiba saja makhluk besar itu merayap dengan cepat mengejar Lawe yang tengah menyeret seorang yang terluka.

Mahesa Amping merasakan bahaya besar tengah mengancam sahabatnya, pada saat itu Lawe memang tidak dalam keadaan siap menerima terkaman.

Tanpa berpikir panjang, tubuh Mahesa Amping seperti terbang melesat jauh dan hinggap tepat dileher makhluk melata yang besar itu.

Crattttt !!!!!

Dua buah belati kembar senjata andalan Mahesa Amping telah menembus dua mata naga besar itu. Dan dengan hitungan kejapan mata, tubuh Mahesa Amping telah bergerak melesat menjauh dan berdiri dengan kedua belati pendeknya yang terlihat berlumur darah segar. 

Tubuh naga besar itu berguling-guling merasakan sakit yang sangat pada kedua matanya, terdengar suara mencicit panjang keluar dari mulutnya yang bertaring menyeramkan.

Suara mencicit panjang itu seperti sebuah aba-aba, serentak lima orang telah bergerak dengan senjatanya masing-masing.

Dengan lompatan panjang, Kebo Arema berhasil merobek leher naga besar itu. Bersamaan dengan itu, sebuah keris Raden Wijaya telah menghujam dalam diperut naga besar itu. Sementara itu Gagak Seta dengan golok panjangnya yang tajam, nyaris membuntungi kaki depan makhluk mengerikan itu. Namun malang bagi kedua lelaki asal pulau Banca yang ingin ikut membantai naga besar itu. Dalam keadaan kalap dan terluka makhluk itu telah mengayunkan ekornya, kedua orang itu seperti terhantam benda keras yang kuat, mereka terlempar jauh dan sepertinya tidak terlihat bergerak lagi. Ternyata mereka telah jatuh pingsan.

Mahesa Amping segera mendekati kedua orang itu. “Syukurlah, hanya pingsan”, berkata Mahesa  Amping

dalam hati setelah meyakinkan bahwa nyawa keduanya

masih dapat tertolong.

Sementara itu Naga besar itu masih berkelepar meronta kesana kemari, terlihat darah mengalir dari luka robekan pedang Kebo Arema dilehernya yang cukup dalam dan melebar hampir dapat dikatakan setengah dari lingkaran badannya yang besar sepelukan tangan. Darah juga terlihat keluar dari perut dan kaki depannya yang nyaris hampir kutung.

Lama juga ular naga besar berkaki enam itu bertahan dari sisa hidupnya. Namun perlahan tapi pasti kekuatan makhluk besar itu semakin surut karena kehabisan darah.

Akhirnya tidak ada lagi gerakan, ular naga berkaki enam itu sudah tidak kuasa mempertahankan kematiannya, tergeletak dipantai dengan tubuh kotor berbaur debu pasir putih. Ombak air laut sekali kali terlihat membasahi bangkai ular naga besar itu, perlahan bergeser mendekati bibir laut.

“Bagaimana dengan kedua ular naga yang ada di hutan itu”, bertanya Mahesa Amping kepada Gagak Seta ketika mereka sudah ada diatas jukung menjauhi bibir pantai Pulau naga. “Mudah-mudahan mereka tidak membahayakan penduduk kepulauan ini”, berkata Gagak Seta sambil memandang pulau naga yang sudah semakin menjauh.

“Semoga hanya satu ekor naga yang tersisih dari kelompoknya”, berkata Mahesa Amping sepertinya berharap cuma naga itu satu-satunya yang telah meresahkan penduduk kepulauan Banca.

“Aku juga berharap yang sama”, berkata Gagak Seta tersenyum kepada Mahesa Amping.

Senja sudah terlihat tua manakala jukung-jukung mereka kembali di Pulau Banca.

“Syukurlah kalian telah kembali dengan selamat”, berkata Ratu Anggabhaya bersama Lembu Tal dan Dara petak menyambut kedatangan mereka kembali dari perburuan ular naga berkaki enam yang meresahkan penduduk kepulauan Banca.

Dan malamnya, sambil beristirahat sebuah cerita tentang perburuan ular naga menjadi sebuah pembicaraan yang menarik. Sementara itu rembulan telah melenggut bersembunyi di balik batang-batang pohon kelapa, ombak laut pasang datang dan pergi berlari berkejaran sepanjang pantai.

Malam berlalu di Pulau Banca bersama suara ombak yang bersatu dengan gesekan suara daun nyiur kering dan angin pantai seperti degung gamelan pengantin pengantar tidur, damai membuai jiwa dalam ketenangan yang sunyi.

Tidak terasa, sang pagi pun akhirnya telah datang menjelang.

Terlihat jung Singasari telah bergerak perlahan meninggalkan dermaga Pulau Banca. Persediaan air tawar dan pangan telah mengisi lambung jung, dan pelayaran panjang telah dimulai kembali.

“Sudah saatnya kalian menentukan arah jalan, meniti kehidupan untuk hari depan yang panjang”, berkata Ratu Anggabhaya kepada Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe.

Saat itu malam telah datang memayungi anjungan jung Singasari diatas hamparan laut buram, tidak seorangpun yang melihat perubahan wajah Mahesa Amping, pikirannya seperti terapung-apung diantara berbagai banyak jalan kehidupan. Mahesa Amping seperti berdiri di banyak persimpangan jalan. Terbayang sebuah keluarga kecil ditengah sawah ladang saat memetik panen jagung raya.Terbayang pula wajah para cantrik disisa malam yang teduh bersenandung tentang ujar-ujar kitab kuno. Dan lamunannya melambung tinggi, mendapati sebuah wajah penuh senyum, wajah senapati muda lengkap dengan pakaian kepangkatan seorang prajurit.

Tiba-tiba saja Mahesa Amping seperti dibawa pergi bersama lamunannya, terjerambat ditengah kecamuk peperangan besar, mendengar rintihan, mendengar umpatan-umpatan kotor, dan meihat mayat bergelimpangan diatas genangan darah manusia. Salah satu mayat itu adalah wajah prajurit muda yang kemarin masih bersamanya berlatih memegang pedang, dan wajah mayat yang lain lagi adalah seorang prajurit tua yang pekan lalu asyik bercerita kepadanya bahwa istrinya yang sudah lama dinikahi ternyata telah hamil muda.

“Aku yakin kalian bertiga akan menjadi kebanggaan prajurit Singasari”, berkata Ratu Anggabhaya yang langsung membuyarkan semua lamunan Mahesa Amping.

“Setelah tiba di Tanah Singasari, aku akan membicarakannya langsung kepada Sri baginda Raja”, berkata kembali Ratu Anggabhaya tanpa memperhatikan perubahan wajah Mahesa Amping yang masih seperti terapung-apung dipermainkan gelombang laut buram kehidupan yang bersimpang.

“Aku memilih jalanku, atau jalan yang memilih tanpa pilihan?”, berkata Mahesa Amping dalam hati.

Sementara itu Jung Singasari telah melewati Selat Sunda, langsung menyisir pantai utara Nusajawa. Sebagaimana ketika bertolak dari Tanah Singasari, Jung Singasari juga telah singgah di beberapa Bandar besar yang ada di Nusajawa, disamping untuk saling bertukar barang dagangan, mereka juga memenuhi lambung jung dengan berbagai persediaan selama pelayaran.

Di Bandara Churabaya mereka singgah sebentar sekedar menanti angin laut. Di malam semilir angin yang bertiup mendorong layar terkembang membawa mereka pulang ke kampung kerinduan. Bumi Singasari Raya.

Dipagi yang cerah, Jung Singasari telah kembali ke sanggarnya, telah merapat di dermaga Bandar Cangu yang ramai.

Ratu Anggabhaya, Lembu Tal dan Dara Kencana dikawal oleh sekitar dua puluh orang prajurit langsung berangkat ke Kotaraja.

“Di Benteng Cangu tugas telah menantiku”, berkata raden Wijaya ketika mengantar Ratu Anggabhaya dan Lembu Tal memberikan alasan tidak dapat menyertainya ke Koraraja.

“Salam untuk Sri Baginda Raja, aku berjanji akan membawa keuntungan berlipat”, berkata Kebo Arema kepada Ratu Anggabhaya turut mengantar keberangkatan iring-iringan utusan raja itu.

Setelah iring-iringan utusan kerajaan itu sudah jauh meninggalkan Bandar Cang,terlihat Kebo Arema, Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Lawe telah melangkahkan kakinya menuju Benteng Cangu.

“Selamat datang wahai para pelaut”, berkata Mahesa Pukat yang menyongsong kedatangan mereka menuruni tapak kaki tangga pendapa.

“Selamat berjumpa kembali Senapati muda Singasari”, berkata Kebo Arema.

Setelah bercerita tentang keselamatan masingmasing, merkapun saling berceritat entang berbagai hal, berbagai pengalaman selama dalam pelayaran. Sementara Mahesa Pukat bercerita tentang berbagai hal, terutama tentang lima buah jung Singasari yang sudah mendekati kesempurnaaan, juga tentang seribu lima ratus prajurit muda siap menerima tempaan lahir dan bathin.

“Para prjurit muda itu sudah mengisi barak-baraknya, siap menerima tempaan dan pendadaran”, berkata Mahesa Pukat bercerita tentang beberapa hal yang berkaitan dengan persiapan penempaan prajurit muda.

“Terima kasih untuk semuanya”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat yang telah banyak membantu.

Kebo Arema, Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya memang sudah tidak sabar lagi untuk melihat barak-barak baru serta lima buah jung baru yang sudah mendekati kesempurnaannya. Setelah beristirahat yang cukup mereka langsung menuju barak-barak baru, juga melihat lima buah jung raksasa yang sudah mendekati kesempurnaan. Baru setelah matahari menukik diujung senja, mereka kembali ke Benteng Cangu untuk membuat beberapa rencana yang akan dilakukan keesokan harinya.

Sejak saat itu, hari-hari mereka tercurah dalam penempaan para prajurit muda. Pengalaman pertama mereka membina para prajurit baru sebelumnya menjadi pengalaman yang berharga untuk melakukan lebih baik lagi. Para prajurit muda memang sengaja dilatih dalam berbagai medan, kadang mereka dibawa ke hutan belantara, kadang mereka dibawa berlayar jauh menyusuri sungai Brantas. Diharapkan mereka akan menjadi prajurit yang tangguh, di daratan dan di lautan.

Di hutan belantara mereka dilatih menguasai alam, bersembunyi dan menyerang lawan di kegelapan dan kepekatan hutan. Sementara di lautan luas mereka dilatih menghadapi serangan badai, membaca bintang, menggulung layar dan kemudi dan berperang di perairaan dalam berbagai gelar peperangan.

Secara bertahap kemampuan kanuragan mereka terus ditingkatkan, baik dalam pertempuran secara perorangan maupun secara berkelompok. Ternyata mereka adalah para prajurit muda yang berbakat, setelah beberapa bulan ditempa dan digembleng dengan cara yang baik tanpa melupakan segi dan nilai-nilai kemanusiaan, mereka telah terbentuk sebagai prajurit yang tangguh. Prajurit khusus yang dapat berperang disegala medan, di darat dan dilautan.

Seiring dengan perjalanan waktu, lima buah jung singasari telah selesai siap diarungi. Mulailah para prajurit muda dilatih di medan yang sebenarnya, medan tugas prajurit pengawal kerajaan laut Singasari Raya. Tiga ratus prajurit yang sudah berpengalaman, yang merupakan prajurit khusus pertama telah dibagi dalam enam kelompok di enam jung yang berbeda. Enam orang yang paling cakap dipercayakan sebagai kepala kelompok yang bertanggung jawab sebagai kepala pengawal Jung.

“Saatnya kerajaan laut Singasari memperkenalkan diri kepenjuru dunia”, berkata Kebo Arema pada suatu malam di pendapa Benteng Cangu membuat sebuah rencana pelayaran yang panjang.

Sejak saat itu, jung Singasari banyak terlihat di sepanjang pesisir Nusajawa sampai ke Tanah Melayu. Mereka adalah para pelaut yang tangguh dan pemberani. Para bajak laut berpikir tiga kali untuk mendekati mereka. Dan para saudagar di setiap Bandar yang disinggahi merasa senang berbagi keuntungan dengan mereka.

“Pekan depan kita akan mencoba berlayar ke arah timur matahari, berlayar sampai ke Tanah Gurun”, berkata Kebo Arema menyampaikan rencananya.

“Merintis jalur perdagangan baru ?”, bertanya Mahesa Pukat kepada Kebo Arema.

“Menyatukan jalur perdagangan dari timur ke barat”, berkata Kebo Arema sambil menjelaskan beberapa hal keuntungan dengan menyatukan jalur perdagangan.

“Benteng Cangu ini akan terasa sepi tanpa kehadiran kalian”, berkata Mahesa Amping sambil menatap Kebo Arema, Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya secara bersamaan.

“Harus ada yang tetap mengawasi armada besar Jung Singasari selama pelayaran kami ke daerah timur”, berkata Kebo Arema. Akhirnya disepakati, Raden Wijaya dan Lawe ditugaskan sebagai pemimpin tertinggi armada besar Jung Singasari, mempunyai wewenang penuh untuk mengambil berbagai pertimbangan dan keputusan besar. Sementra itu Mahesa Amping ditunjuk untuk mendampingi Kebo Arema, merintis jalur pelayaran baru ke arah timur.

Ketika keputusan ini disampaikan kepada para prajurit pengawal jung singasari, mereka menerima dan berjanji akan mematuhi segala perintah dan keputusan.

“Kita harus mohon doa restu dari Sri Baginda Maharaja di Kutaraja”, berkata Kebo Arema.

Keesokan harinya, keempat orang pentolan armada besar laut Singasari ini telah memacu kudanya berangkat ke Kotaraja untuk mohon doa restu dri Sri Maharaja Singasari.

Mereka tiba di Kotaraja bersamaan dengan hari Maguntur Raya. Disaksikan bersama para pejabat istana, di Balai Maguntur raya Kebo Arema menyampaikan laporan khusus tentang berbagai hal  menyangkut tentang Armada besar jung Singasari di hadapan Sri Maharaja Singasari.

Sri Maharaja Singasari menerima laporan Kebo Arema dengan penuh gembira dan suka cita, impiannya tentang kerajaan laut telah menjadi kenyataan.

“Armada jung Singasari telah membawa kemakmuran yang besar, pemikiran dan rencanamu untuk menyatukan jalur perdagangan laut dari timur ke barat adalah pemikiran yang cerdas, doa dan restuku menyertai kalian”, berkata Sri Baginda Maharaja Singasari di ruang rapat balai magunturan raja. Setelah keluar dari balai Maguntur raya, mereka tidak langsung kembali ke Bandar Cangu. Mereka berempat menyempatkan waktu beristirahat semalam di pesanggrahan Ratu Anggabhaya, memohan restu dan nasehat langsung dari Ratu Anggabhaya. Keesokan harinya baru mereka berempat berangkat menuju Bandar Cangu.

“Selamat jalan para pendekar laut sejati”, berkata Ratu Anggabhaya melepas keberangkatan mereka.

Kotaraja saat itu sudah memasuki pergantian musim panas, di pagi yang hangat itu terlihat empat ekor kuda keluar dari gerbang kota menyusuri jalan tanah yang terbuka kearah Bandar Cangu.

Lengkung langit bertebaran awan putih, matahari musim panas terasa lebih menyengat cahayanya membakar bumi. Diiringi debu yang mengepul dibelakang kaki-kaki kuda, empat orang berkuda terlihat rancak melarikan kudanya diatas jalan tanah yang kering, mereka adalah Kebo Arema, Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang tengah menembus hari menuju Bandar Cangu. Keceriaan nampak menyelimuti wajah mereka. Dibenak hati masing-masing masih terbayang wajah Sri Baginda Maharaja yang penuh suka cita dan perasaan gembira mendengar laporan Kebo Arema di ruang Balai Maguntur Raya. Ibarat arah matahari, tugas “kekancingan” membangun armada besar laut Singasari sudah menapak di arah puncak matahari. Setengahnya lagi adalah menunggu datangnya senja kesempurnaan.

Dan senja akhirnya telah tiba menyambut langkah kaki kuda mereka di padukuhan terdekat dari Bandar Cangu yang ramai.

“Selamat datang kembali di Benteng Cangu”, berkata Mahesa Pukat menyambut kedatangan Kebo Arema, Lawe dan Mahesa Amping yang baru tiba dari Kutaraja.

Setelah bersih-bersih dan beristirahat sejenak, barulah mereka berkumpul kembali di pendapa Benteng Cangu, banyak yang mereka bicarakan sepanjang malam, antara lain tentang rencana keberangkatan pelayaran menuju daerah timur.

Dan rembulan sepotong nampaknya begitu lelah mengegelantung diatas langit benteng Cangu. Suara burung celepuk terdengar panjang dan semakin menjauh hilang ditelan kesunyian malam.

Hari-hari berlalu menunggu saat keberangkatan pelayaran ke daerah timur nampaknya sudah hampir tiba. Beberapa prajurit yang ijin ke kampung halamannya bertemu dengan keluarganya masing-masing nampaknya hampir dapat dipastikan telah berdatangan berkumpul kembali di barak-barak mereka.

Dan pagi itu terlihat sebuah jung besar bergerak perlahan meninggalkan dermaga Bandar Cangu. Kebo Arema, Mahesa Amping dan tiga ratus prajurit pengawal melambaikan tangannya kepada orang-orang yang berdiri di sepanjang Bandar Cangu melepas kepergian mereka, melepas para pelaut sejati, pejuang perintis daerah baru bagi kemakmuran dan kejayaan Singasari.

“Selamat jalan sahabat”, berkata Lawe melambaikan tangannya mengiringi jung Singasari yang terus melaju membelakangi Bandar Cangu yang akhirnya hanya terlihat buritan bahteranya yang semakin menjauh hilang diujung batas mata memandang.

Raden Wijaya dan Lawe mulai merasakan ketidak hadiran dua orang terdekatnya ketika langkah kaki mereka beranjak dari tepi dermaga Bandar Cangu, ketika tiba di benteng Cangu, dan ketika datang berkunjung ke barak prajurit pengawal jung Singasari keesokan harinya.

Tapi perasaan itu tidak dibiarkan membeku, justru perasaan itu telah menggerakkan hati dan semangat mereka untuk dapat berkarya, membuat berbagai kesibukan baru.

Ternyata berawal dari sinilah sifat dan sikap kepemimpinan Raden Wijaya mulai terlatih.

Dimulai dari pembangunan balai tamu yang besar ditengah barak-barak prajurit tempat Raden Wijaya dan Lawe dapat menerima para tamunya dari berbagai kalangan, sekaligus tempat mereka beristirahat.

Raden Wijaya dan Lawe nampaknya berkeinginan keluar dari ketergantungan Benteng Cangu yang selama ini banyak membantu.

Mahesa Pukat diam-diam memuji keputusan Raden Wijaya dan Lawe, Armada laut Singasari adalah kesatuan dan kekuatan yang besar, balai tamu yang besar dan megah adalah citra perwakilan wibawa kesatuan mereka.

“Terima kasih atas pengertian dan dukungan dari Paman Senapati”, berkata Raden Wijaya atas dukungan dan simpatik yang besar dari Mahesa Pukat.

Setelah balai tamu berdiri dengan megahnya di tengah barak-barak prajurit, kembali Raden Wijaya menunjukkan bakat kepemimpinannya yang cemerlang. Raden Wijaya telah membuat kesepakatan dagang bersama berbagai kalangan terutama para bangsawan Singasari.

Dibawah kepemimpinan Raden Wijaya, lima bahtera Jung Singasari tidak pernah sepi dan selalu sarat penuh membawa berbagai barang pulang dan pergi sepanjang jalur perdagangan antara Bandar Cangu dan Tanah Melayu. Dan armada jung Singasari sudah mulai dikenal oleh para saudagar besar sebagai armada dagang yang paling disegani, dapat menjaga keamanan barang perdagangan sampai di tempat tujuan.

Kekuatan armada laut Singasari telah ikut memicu kemakmuran di dalam nagari, berbagai hasil pertanian, berbagai hasil kerajinan yang berlimpah dapat diperdagangkan keluar nagari ke berbagai tempat yang jauh sampai ke Tanah Melayu.

Di saat musim pasang laut, armada jung Singasari dapat melayari sampai jauh kedaerah pedalaman hulu sungai diberbagai banyak Nagari, dipedalaman hulu sungai Citarum di tanah Pasundan, di pedalaman hulu sungai Musi dan dipedalaman hulu sungai Batanghari di Tanah Melayu.

Lewat tangan kepemimpinan Raden Wijaya, pilarpilar istana kerajaan laut Singasari telah mulai terbangun.

Sementara itu, dilangit malam dibawah cahaya bulan dan bintang terlihat sebuah bahtera dengan tujuh buah layar terkembang penuh tengah melaju diatas lautan luas, kadang bahtera itu bergoyang dipermainkan gelombang laut.

*****

Sementara itu, jung Singasari yang sedang melawat ke timur sudah mencapai suatu perairan luas dengan beberapa pulau kecil

“Kita telah memasuki perairan Masalembo, para pelaut menamakan daerah ini sebagai neraka laut”, berkata seorang yang nampak gagah diatas anjungan kepada seorang pemuda didekatnya. Ternyata dua orang itu tidak lain adalah Kebo Arema dan Mahesa Amping di atas Jung Singasari.

“Kenapa para pelaut menyebut daerah ini sebagai neraka laut?”, bertanya Mahesa Amping penuh penasaran.

“Hantu badai sering datang dengan tiba-tiba sebagai pusaran puting beliung yang menakutkan menyeret dan menenggelamkan sebuah bahtera hingga kedasar laut dalam ”, berkata Kebo Arema sambil matanya menatap jauh kedepan, sepertinya takut ucapannya didengar oleh hantu badai yang baru saja disebutnya.

Ternyata ucapan Kebo Arema sepertinya didengar oleh hantu badai yang paling ditakuti, tiba-tiba saja terdengar suara angin bergemuruh berasal dari lambung kanan jung Singasari.

“Putar kemudi membelakangi arah badai”, berteriak Kebo Arema kepada dua orang yang telah siap siaga memegang kemudi ganda yang menjadi ciri khas jung Singasari.

Terlihat juru mudi itu dengan sigap telah memutar arah tepat bersamaan dengan datangnya gelombang besar mendorong bahtera yang seperti terbang begitu tinggi melambung.

Disinilah para prajurit merasakan berhadapan dengan keganasan laut yang sebenarnya, namun berkat latihan yang sering mereka lakukan terutama dalam menghadapi datangnya badai laut, mereka seperti diuji dengan medan yang sebenarnya, disinilah para prajurit awak jung Singasari dituntut untuk melakukan apa yang harus mereka lakukan. Tanpa mengenal gentar beberapa prajurit berlari mendekati tali tiang layar, dengan cepat mereka berhasil menurunkan tiang layar. Dan jung Singasari telah selamat dari gulungan angin yang berputar lewat diatas jung Singasari yang tengah meluncur terhempas menukik menuruni gelombang pasang.

Jung Singasari telah terhempas menampar air laut dibawahnya mengangkat air laut naik mengisi dan membasahi hampir sepanjang geladak seperti hujan besar tercurah dari langit. Satu jam lebih seluruh awak jung Singasari diguncang gelombang, disinilah mereka diuji untuk dengan tangkas mengarahkan bahtera mengikuti kemana arah gelombang datang, dan Kebo Arema adalah pengarah dan pemandu mereka yang sangat dipercaya.

“Pertahankan arah, belakangi ombak gelombang”, berteriak Kebo Arema dengan suaranya yang keras ditengah suara gemuruh angin gelombang ombak laut yang datang mengejar.

Akhirnya setelah sekian lama bermain dan bertarung dengan gelombang, mereka merasakan gelombang sudah tidak datang dan mengejar lagi, sepertinya makhluk gelombang pasang telah telah bosan mengoyak-ngoyak bahtera itu, mungkin telah jauh dari area perburuannya.

“Kita telah jauh keluar dari jalur mata angin, kembangkan kembali layar penuh”, berkata Kebo Arema memberi perintah kepada prajuritnya yang langsung dilaksanakan dengan trampil dan penuh cekatan. Dan semuanya sepertinya telah memahami dan mengerti apa yang harus dilakukan sesuai dengan tugasnya masingmasing.

“Pertahankan arah, kita telah kembali pada jalur mata angin”, kembali Kebo Arema berkata kepada dua orang yang bertugas menjaga kemudi kembar.

Badai pasti berlalu, demikianlah para awak bahtera itu merasakan makna yang sebenarnya. Sebuah makna yang bukan sekedar kata-kata, tapi mereka memang merasakan dan menghadapinya dalam kehidupan nyata, melewati saat yang begitu mencekam, merasakan tubuh terhempas dan tergoncang bersamaan dengan guyuran tumpahan air asin laut menampar wajah.

“Berbahagialah, tidak semua orang merasakan apa yang baru saja kita alami, merasakan nyawa akan hilang, merasakan hidup akan berakhir”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping dan beberapa prajurit yang ada dianjungan yang diketahui baru pertama kali ini merasakan keganasan gelombang badai yang sesungguhnya.

“Inilah pelajaran pertama, dan kalian telah melewatinya dengan benar”, berkata kembali Kebo Arema.

Sementara itu diujung timur cakrawala langit, semburat warna merah mencium ujung tepian laut sebagai tanda sang dewi pagi akan datang menjelang.

Kearah semburat warna merah itulah bahtera itu mengarahkan kemudinya, mengarahkan layar harapan.

Seekor elang laut terlihat terbang mengambang berputar putar, itulah bahasa alam sebagai tanda bahwa daratan sudah semakin mendekat.

“Sebentar lagi kita akan menemui daratan”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping sambil matanya menatap dan mengikuti arah elang laut yang tengah berputar-putar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kebo Arema, terlihat bayangan hitam daratan diujung pandangan yang jauh. Sebuah pemandangan yang indah, sebuah  harapan yang indah setelah sekian lama jiwa terasa jenuh memandang hamparan laut luas yang sepertinya tidak bertepi.

“Daratan!!”, berteriak seorang prajurit melepas rasa kegembiraannya. Bahtera itu terus melaju mendekati bayangan hitam yang semakin nampak jelas.

Akhirnya daratan tidak lagi sebagai bayangan hitam, tapi sudah terlihat jelas sebagai gerumbul hutan bakau yang subur hijau menutupi tepian bibir laut. Beberapa nelayan terlihat tengah mengayuh jukungnya dan melambaikan tangannya kearah bahtera besar yang baru dilihatnya untuk pertama kalinya.

“Dengan bahtera sebesar itu kita dapat mencari ikan ditempat lebih jauh lagi”, berkata seorang anak lelaki tanggung kepada seorang lelaki tua, mungkin ayahnya.

“Dengan bahtera itu kita tidak perlu menepi, berlayar sepanjang masa”, berkata lelaki tua sambil tersenyum, matanya mengagumi bahtera yang tengah melaju dekat jukungnya yang kecil terguncang-guncang terkena sayap ombak bahtera besar.

“Inilah daratan Bone, kampung para pelaut”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping di anjungan.

Akhirnya bahtera telah memasuki sebuah teluk besar, terlihat sebuah perkampungan nelayan yang besar.

Perlahan jung Singasari mendekati sebuah dermaga besar. Tiga orang prajurit dengan penuh cekatan melompat ke tepi dermaga, dan dengan sigap pula menyambut ujung tali yang dilemparkan kearahnya dari atas Bahtera.

“Inilah Bandar Bacukiki”, berkata Kebo Arema memperkenalkan nama Bandar tempat bahtera mereka saat itu telah merapat.

“Bandar yang sepi”, berkata Mahesa Amping yang melihat Bandar itu tidak seperti layaknya Bandar-bandar besar yang pernah dikunjunginya.

“Kitalah yang akan meramaikannya kelak”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping. ”Bandar Bacukiki ini adalah gerbang utama menuju Tanah Gurun, selama ini para pelaut mandar menyembunyikan Pulau Gurun, sebuah daratan yang kaya akan pala dan lada, apakah kamu sudah menangkap kemana arah pembicaraanku?”, bertanya Kebo Arema kepada Mahesa Amping.

“Kita memutuskan mata rantai para pelaut Mandar, membawa pala dan lada dari Tanah Gurun langsung ke Tanah Melayu dengan harga yang bagus”, berkata Mahesa Amping.

“Aku senang punya kawan seperjalanan yang otaknya sangat encer”, berkata Kebo Arema sambil menepuk-nepuk bahu Mahesa Amping. ”Mari kita turun melihat keadaan Bandar Bacukiki”, berkata kembali Kebo Arema.

Ketika mereka berdua telah turun di dermaga, seorang yang sudah cukup berumur namun masih  terlihat kegagahannya telah mendatangi mereka.

“Siapakah diantara tuan yang menjadi pimpinan bahtera besar ini”, bertanya orang itu.

“Akulah pemimpin bahtera besar ini, putra Karaeng Tuku yang pernah menyelamatkan sepuluh pelaut Mandar di Pulau Wangi-wangi’, berkata Kebo Arema dengan bahasa asli mandar yang cukup kental kepada orang yang datang menyapanya.

Terlihat orang itu tertegun sebentar mendengar ucapan Kebo Arema, dahinya terlihat semakin bertambah kerutan seperti tengah mengingat-ingat sesuatu dengan kuat.

“Aku belum pikun, dihadapanku pasti Karaeng Taka, putra penguasa Pulau Wangi-wangi yang telah menyelamatkan selembar nyawaku ini”, berkata orang itu setelah merasa ingatannya telah menemukan sebuah kenangan yang sudah lama terlupakan.

“Benar, aku Karaeng Taka. Ternyata Paman Malarangeng masih gagah seperti dulu yang kukenal”, berkata Kebo Arema yang ternyata mengenal orang dihadapannya.

“Tidak kusangka, hari ini aku bertemu dengan putra Karaeng Tuku yang dulu masih kecil dan sangat nakal”, berkata orang itu yang di panggil Paman Malarangeng penuh kegembiraan menyalami erat tangan Kebo Arema serta mengguncang-guncang bahunya seperti layaknya orang yang lebih tua kepada seorang bocah.

“Mari ikut berkunjung ke rumahku, keluargaku akan senang dapat mengenal putra penyelamatku dari Wangiwangi”, berkata Paman Malarangeng mengajak Kebo Arema dan Mahesa Amping ke rumahnya.

Ternyata rumah Paman Malarangeng tidak begitu jauh dari dermaga, sebuah rumah panggung yang besar.

Di rumah panggung itu Kebo Arema diperkenalkan kepada semua keluarga dan kerabatnya, berkali-kali Paman Malarangeng menyebut nama Kebo Arema sebagai putra yang penyelamat dari Wangi-wangi. “Orang Mandar adalah para pembuat jung yang cakap, melihat Bahtera besarmu aku jadi iri, ternyata bukan hanya orang mandar satu-satunya yang cakap dalam membuat sebuah jung besar”, berkata Paman Malarangeng.

“Paman Malarangeng tidak usah berkecil hati, bahtera besar itu adalah karya para putra mandar”, berkata Kebo Arema kepada Paman Malarangeng yang langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ternyata karya orang kita sendiri”, berkata Paman Malarangeng sambil masih mengangguk-anggukkan kepalanya tanda penuh kekaguman dan kebanggaan.

“Kami membawa banyak barang berbagai senjata dan alat pertanian, mudah-mudahan berguna untuk orang-orang disini”, berkata Kebo Arema kepada Paman Malarangeng.

“Kebetulan sekali, kami disini tengah membangun kekuatan, orang-orang suku dalam sering datang menyerang”, berkata Paman Malarangeng.

“Kulihat perkampungan besar ini tidak begitu kaya, apa yang mereka harapkan?”, bertanya Kebo Arema.

“Mereka tidak mencari harta, tapi mencari para wanita”, berkata Paman Malarangeng.

“Ternyata perang lama”, berkata Kebo Arema sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tahan keberangkatan kalian hingga tiga hari, kami akan memuat bahtera kalian dengan kebutuhan yang cukup selama pelayaran menuju Tanah Gurun”, berkata Paman Malarangeng.

Hari itu juga Kebo Arema telah memerintahkan beberapa prajurit untuk menurunkan berbagai senjata dan alat pertanian. Pada jaman itu Singasari memang terkenal sebagai daerah pengrajin alat-alat pertanian dan berbagai senjata.

“Aku memang pernah mendengar bahwa di Tanah Singasari banyak ahli pembuat alat dan senjata”, berkata Paman Malarangeng sambil memeriksa berbagai senjata. “Ringan dan kuat”, berkata kembali Paman Malarangeng sambil menimang-nimang sebuah golok panjang.

Dan tidak terasa senja telah turun di Bandar Bacukiki, puluhan kalelawar terlihat telah keluar dari sarangnya meski hari masih bening, mungkin sudah tidak sabar setelah seharian menunggu datangnya malam.

Malam itu Kebo Arema dan Mahesa Amping beristirahat di rumah Paman Malarangeng. Banyak yang mereka percakapkan sambil menunggu datangnya rasa kantuk tiba.

“Perkampungan ini sangat terbuka, memudahkan musuh menyerang dari banyak tempat”, berkata Kebo Arema memberi penilaian tentang keadaan perkampungan Bandar Bacukiki.

“Mungkin kamu punya saran untuk itu”, berkata Paman Malarangeng meminta saran kepada Kebo Arema.

“Membangun rumah pantau yang tinggi, yang dapat melihat kedatangan musuh dari tempat yang jauh”, berkata Kebo Arema.

“Sebuah usul yang baik”, berkata Paman Malarangeng menyetujui usul dari Kebo Arema.

“Aku juga punya seorang kawan yang dapat melatih sebuah pasukan khusus”, berkata Kebo Arema sambil melirik Mahesa Amping.

“Kami menghaturkan ribuan terima kasih, pasukan khusus itu akan menjaga dan melindungi wanita-wanita kami”, berkata Paman Malarangeng yang sudah menbayangkan sebuah pasukan yang kuat.

Keesokan harinya, Paman Malarangeng telah mengumpulkan semua lelaki yang ada. Ternyata mereka umumnya telah mempunyai dasar kanuragan yang lumayan. Maka dengan telaten Mahesa Amping meningkatkan tataran mereka tanpa merubah apapun yang telah mereka miliki. Mahesa Amping memberikan beberapa bentuk latihan yang harus mereka lakukan, baik latihan yang akan meningkatkan tataran ilmu secara perorangan maupun secara berkelompok.

“Waktu yang ada memang sangat singkat, Paman Malarangeng harus mengawasi mereka untuk selanjutnya”, berkata Mahesa Amping kepada Paman Malarangeng.

“Ketika kembali dari Tanah Gurun, kuharap kalian punya waktu yang cukup”, berkata Paman Malarangeng yang bersedia mengawasi latihan-latihan yang telah diberikan oleh Mahesa Amping.

Dan waktu memang terasa begitu singkat, tiga hari telah berlalu, selama itu para lelaki di perkampungan Bandar Bacukiki telah mempelajari beberapa hal yang dapat meningkatkan kemampuan mereka, baik secara perorangan maupun secara berkelompok, meski dibutuhkan waktu yang cukup untuk melatihnya.

Senja itu langit sudah berwarna bening kelabu, puluhan kalelawar telah memenuhi angkasa Bandar Bacukiki. Terlihat tiga orang prajurit tengah melepaskan tali temali tambatan dermaga. “Kami menunggu kedatangan kalian kembali”, berkata Paman Malarangeng melambaikan tangannya bersama beberapa lelaki di dermaga Bandar Bacukiki.

Dan Bahtera besar itu terlihat perlahan bergerak bergeser menjauhi dermaga Bandar Bacukiki, menyusuri hutan bakau yang subur menutupi bibir pantai lengkung teluk Bone.

Malam itu bulan bulat kuning bergelantung diatas langit bersama jutaan bintang berkelip mengawani sebuah bahtera yang tengah terapung diatas hamparan laut luas seperti tidak bertepi. Tujuh tiang layar terlihat sudah mengembang ditiup angin yang sepertinya tidak pernah lelah bertiup sepanjang malam.

Dan rembulan telah mengiringi bahtera besar itu berlayar menuju ke pulau pelabuhan berikutnya hingga diujung sisa malam.

Temaram warna merah menyala terlihat diujung sebuah pulau hitam.

“Arahkan layar ke pulau hitam itu”, berkata Kebo Arema kepada juru mudinya.

Dan bahtera besar itu telah mengarahkan layarnya ke arah pulau yang terlihat kelam bermahkota cahaya warna merah menyala.

Cahaya warna merah itu sudah semakin buram karena harus berbagi cahayanya mengisi seluruh lengkung langit. Sebuah bahtera elok berlayar tujuh terlihat terapung ditengah lautan luas menuju sebuah pulau yang semakin terlihat jelas.

“Kita sudah masuk keperairan Pulau Wangi-Wangi”, berkata Kebo Arema sambil matanya tidak melepas sedikitpun daratan di depannya, tidak sebagamana biasanya bila bahtera hampir mendekati sebuah tempat untuk berlabuh, kali ini terlihat raut wajah Kebo Arema begitu tegang, sepertinya ada sebuah kenangan kelam mengisi seluruh benak dan pikirannya.

Lamunan Kebo Arema telah tersungkur jauh melampaui waktu yang begitu jauh, terlempar dalam kenangan kelam ketika dirinya harus keluar meninggalkan pulau wangi-wangi tempat dirinya dibesarkan. Terbayang jelas ketika di suatu hari Ayahnya telah menyuruhnya keluar dari Pulau Wangi-wangi.

“Kamu adalah putra tunggalku, pergilah sejauh kamu bisa. Datanglah kembali setelah kamu telah menjadi seorang lelaki”, berkata Ayah Kebo Arema kepada dirinya.

Kebo Arema masih mengingat jelas, hari itu Pulau Wangi-wangi telah didatangi segerombolan orang, salah seorang diantaranya adalah pamannya sendiri. Pamannya adalah seorang buangan dari pulau Wangiwangi karena telah melakukan sebuah dosa yang tidak dapat diampuni, telah menodai seorang gadis. Dan gadis itu adalah sepupunya sendiri, sebuah garis perkawinan yang ditabukan oleh orang pulau Wangi-wangi.

Hari itu Paman Kebo Arema datang untuk merebut kekuasaan ayah Kebo Arema. Meski ayah Kebo Arema adalah orang yang kuat dan disegani di pulau Wangiwangi, namun menghadapi gerombolan itu pasti tidak akan mampu melawannya. Menghadapi suasana yang sulit dan berbahaya itu, ayahnya telah meminta Kebo Arema segera meninggalkan Pulau Wangi-wangi untuk menghindari hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi.

Kebo Arema tidak pergi jauh, hanya meyeberang ke sebuah pulau terdekat. Dari beberapa nelayan yang juga dikenalnya sebagai penghuni pulau Wangi-wangi didapat sebuah berita menyedihkan, Ayahnya telah terbunuh. Dan Pamannya telah menjadi penguasa pulau wangiwangi bersama gerombolannya.

“Pulau Wangi-wangi saat ini seperti neraka, pamanmu dan gerombolannya telah berlaku diluar batas kemanusian, mereka seperti raja besar yang harus dilayani, merebut semua wanita yang diinginkannya”, berkata nelayan itu mengakhiri ceritanya kepada Kebo Arema.

Sejak saat itu Kebo Arema telah mengembara jauh, dihati kecilnya ada sebuah tekad untuk kembali menuntut balas.

Dan hari itu Kebo Arema telah datang kembali setelah pengembaraannya yang panjang.

Terlihat matahari telah bersembul dari balik daratan pulau Wangi-wangi yang cukup luas. Sebuah daratan yang cukup hijau. Burung-burung kecil berburu ikan di peraiaran yang semakin mendekati daratan.

Dan Bahtera telah menjatuhkan jangkarnya, laut landai tidak memungkinkan bahtera besar itu menepi sampai ke daratan. Terlihat sepuluh jukung kecil keluar dari jung Singarasi mendekati bibir pantai Pulau Wangiwangi.

Lima orang berperawakan tegar sepertinya tengah menanti kedatangan mereka.

Sepuluh buah jung telah merapat dipantai berpasir. Empat puluh lelaki terlihat telah meloncat ke air laut dangkal. Sinar matahari pagi menyinari wajah-wajah mereka yang terus melangkah kedepan.

“Aku hanya ingin bicara dengan pemimpin kalian”, berkata salah seorang dari lima orang lelaki perperawakan kekar dan tegar.

“Akulah pemimpinnya”, berkata Kebo Arema dengan suara menantang keras.

Kelima orang itu terkejut mendengar suara yang tidak menunjukkan rasa gentar sedikitpun.

“Kamu harus tahu aturan di atas pulau ini”, berkata kembali salah seorang dari mereka.

“Selama aturan itu tidak merugikan, kami akan mentaatinya”, berkata Kebo Arema kepada orang itu.

“Aturan kepada siapapun yang singgah di pulau ini adalah menyerahkan setengah barang yang dibawanya”, berkata orang itu dengan suara yang agak sedikit ditinggikan.

“Kami tidak akan menerima aturan itu, niat kami semula hanya singgah, tapi niat kami berubah melihat kesewenang-wenangan aturan di pulau ini”,  berkata Kebo Arema.

“Bila tidak menerima aturan di pulau ini, silahkan tinggalkan tempat ini”, berkata orang itu.

“Kami memang tidak sekedar singgah, kami datang untuk menguasai pulau ini”, berkata Kebo Arema dengan suara yang tidak kalah kerasnya dengan orang itu.

Kelima orang itu kaget dan terkejut mendengar ucapan Kebo Arema yang terkesan seperti menantang perang. Tapi kelima orang itu cukup cerdik, mereka berlima tidak akan mungkin menang menghadapi empat puluh orang yang terlihat sudah siap bertempur.

“Kami akan lapor kepada Pimpinan kami, tunggulah disini, kami akan datang dan mengusir kalian seperti menggebuk seekor anjing kurapan”, berkata orang itu sambil mengajak keempat kawannya pergi.

“Katakan kepada pemimpin kalian, aku putra Kareng Tuku datang untuk menuntut balas”, berkata Kebo Arema kepada kelima orang yang tengah akan pergi meninggalkan mereka.

Salah seorang dari kelima orang yang hendak berlalu itu nampaknya terkejut mendengar sebuah nama disebut oleh Kebo Arema, orang itu terlihat berbalik badan memperhatikan Kebo Arema dari ujung kaki sampai ke kepala.

“Aku akan menyampaikannya kepada pemimpin kami”, berkata orang itu yang langsung berbalik badan mengejar keempat kawannya yang sudah beberapa langkah meninggalkannya.

“Kira-kira berapa kekuatan mereka”, berkata Mahesa Amping yang berdiri didekat Kebo Arema.

“Menurutku tidak melebihi banyaknya lelaki di Bandar Bacukiki”, berkata Kebo Arema.

“Aku pernah melihat kemampuan para lelaki di Bandar Bacukiki, bersiaplah kalian menghadapi perang brubuh yang kasar”, berkata Mahesa Amping kepada semua prajurit yang ikut merapat di pantai pulau Wangiwangi.

Tidak lama kemudian datanglah rombongan orang dari arah daratan.

“Ternyata keponakanku yang datang”, berkata seorang yang nampaknya orang penting di pulau wangiwangi itu.

“Ternyata Paman Karaeng Jagong tidak pernah susut tua”, berkata Kebo Arema menatap tajam seorang lelaki dihadapannya yang di panggilnya sebagai paman Karaeng Jagong.

“Karaeng Taka, ternyata kamu sudah menjadi seorang lelaki”, berkata Karaeng Jagong yang masih mengenali Kebo Arema sebagai putra saudaranya.

“Darah harus dibalas darah, begitulah tutur dari penjunjung adat di pulau ini”, berkata Kebo Arema dengan suara bergetar menahan gejolak dendamnya yang telah lama berlalu dan hadir menghantui di banyak mimpi-mimpinya.

“Dulu aku datang menemui ayahmu untuk membalas sakit hati sebagai orang buangan yang terhina, dan sekarang kamu datang kepadaku sebagai seorang putra yang akan menuntut balas, membeli darah dengan darah”, berkata Karaeng Jagong kepada Kebo Arema yang sepertinya masih meremehkan kemampuan keponakannya itu.

“Aku datang untuk mensucikan pulau ini dengan darahmu”, berkata Kebo Arema masih dengan suara bergetar menahan rasa gusar yang sangat.

“Habisi mereka, bahtera besar akan menjadi milik kita”, berkata Karaeng Jagong memberi perintah untuk menyerang.

Sebagaimana yang dikatakan Mahesa Amping, terjadilah perang brubuh yang sangat kasar. Tapi para prajurit muda Singasari adalah prajurit yang tangguh dan juga sudah terlatih lama. Mereka langsung menghadapi serangan orang-orang pulau wangi-wangi.

Pertempuranpun tidak dapat dihindari lagi, jumlah kekuatan lawan memang berimbang.

Tapi para prajurit Singasari tidak merasa gentar, terlihat mereka sudah dapat menguasai medan pertempuran, penguasaan mereka melakukan peperangan secara berkelompok maupun secara perorangan telah menjadikan mereka lebih menguasai pertempuran. Ditambah lagi diantara mereka ada  Mahesa Amping yang meski tidak menggunakan kemampuan dan kekuatan sebenarnya yang luar biasa melampaui kemampuan orang biasa. Tapi hampir setiap musuh yang datang langsung terpelanting jauh dengan merasakan tulang-tulang rusuknya nyeri patah.

Sementara itu Kebo Arema telah beradu tanding bersama Karaeng Jagong pamannya sendiri. Kebo Arema masih belum menunjukkan kemampuan yang sebenarnya, masih terus mengimbangi serangan Karaeng Jagong sambil mencari kelemahan-kelemahan yang mungkin dapat ditembusi.

Golok panjang Karaeng Jagong nampak berputar menyerang kearah Kebo Arema. Namun dengan gesit dan lincah Kebo Arema melenting sambil membalas serangan lawan dengan lecutan senjata andalannya berupa sebuah cambuk.

Bukan main penasarannya Karaeng Jagong mendapatkan serangannya tidak pernah sedikitpun mengenai sasaran, bahkan dirinya mendapatkan serangan balik yang sangat merepotkan.

Sementara itu para prajurit bersama Mahesa Amping terlihat hampir menguasai medan pertempuran, setengah lawannya telah jatuh bergelimpangan tidak berdaya. Perlahan tapi pasti para lelaki dari pulau Wangi-wangi satu persatu telah keluar dari pertempuran dalam keadaan yang terluka.

“Menyerahlah!!”, berkata Mahesa Amping menggertak sisa lima orang yang sudah terkepung.

Kelima orang itu memang sudah putus asa melihat jumlah lawan yang banyak dan mereka merasakan lawan mempunyai kekuatan melampaui kemampuan mereka.

“Kami menyerah”, berkata salah seorang sambil melempar golok panjangnya yang diikuti oleh keempat kawannya, ikut melemparkan senjatanya.

“Orang-orang lemah”, berkata Karaeng Jagong yang masih sempat melihat anak buahnya yang terakhir melemparkan senjatanya menyerah.

“Harusnya paman juga ikut menyerah”, berkata Kebo Arema yang melihat kegusaran hati Karaeng Jagong.

“Darah ayahmu Karaeng Tuku masih membekas di golok ini, saatnya juga akan dibasahi oleh darah putranya”, berkata Karaeng Jagong sambil menyerang lebih cepat dan kuat, sepertinya telah meluluhkan segala kekuatan dan kemampuannya.

Itulah kesalahan yang paling fatal untuk Karaeng Jagong, ucapannya yang menyebut nama Karaeng Tuku telah membakar amarah didada Kebo Arema.

Dengan kemarahan yang luar biasa, tidak terasa telah mengantar kemampuan Kebo Arema hingga  sampai pada puncak ilmunya tertinggi.

Sepertinya Kebo Arema tidak menyadari apa yang diperbuatnya.

Dess !!

Dess!!

Dess!!

----------oOo---------
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar