Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Jilid 13 (Tamat)

JILID 13

Dipagi harinya, pasukan Singasari masih dijamu oleh Ki Demang. Dalam kesempatan perbincangan Kebo Arema berhasil meyakinkan Ki Demang bahwa Pasukan Singasari bermaksud untuk membersihkan kekuasaan perdagangan yang selama ini dikendalikan lewat penguasa Pura Besakih dan pelindungnya para  saudagar dari Tanah Hindu. “Yakinlah, pasukan Singasari tidak akan  mengganggu ketenteraman warga Balidwipa”, berkata Kebo Arema kepada Ki Demang.

Barulah menjelang matahari sudah semakin menanjak, tanah bumi sudah terang benderang, Kebo Arema dan pasukannya mohon pamit diri.

“Para tawanan akan kami amankan untuk sementara waktu”, berkata Kebo Arema kepada Ki Demang ketika akan berpisah meninggalkan kademangan Padang Bulia.

Demikianlah, pasukan Singasari terlihat telah semakin jauh dari Kademangan Padang Bulia bermaksud kembali ke Tanah Melaya.

“Ada baiknya kamu membawa beberapa orang ke Pura Indrakila, mungkin mereka dapat banyak membantu”, berkata Kebo Arema memberi saran kepada Mahesa Amping.

“Aku akan mengajak Kakang Mahesa Semu, Paman Wantilan dan Paman Sembaga”, berkata Mahesa Amping menyetujui usul dari Kebo Arema.

Akhirnya, disebuah persimpangan jalan mereka terpaksa berpisah.

“Kebersamaan kami hanya sampai disini”, berkata Mahesa Amping ketika berada di persimpangan jalan.

“Jalur sandi kita tidak boleh terputus”, berkata Kebo Arema mengingatkan Mahesa Amping.

“Aku akan memberi kabar dalam dua tiga hari ini”, berkata Mahesa Amping yang berhenti di persimpangan jalan bersama Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga. Sementara itu matahari diatas langit sudah mulai bergeser turun, cakrawala langit biru begitu cerah dipenuhi gerumbul awan putih.

Terlihat bunga-bunga liar dan tangkai ilalang menari tertiup angin yang bertiup sepoi basah.

“Mari kita melanjutkan perjalanan”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga ketika melihat Kebo Arema dan Pasukannya telah mulai menjauh menghilang di sebuah tikungan jalan.

Perjalanan menuju Pura Indrakila memang tidak begitu panjang, apalagi bila berkuda dan berjalan diatas tanah rata yang biasa digunakan oleh para saudagar menarik gerobag kudanya.

Maka menjelang sore hari mereka sudah tiba dibawah kaki gunung Pura Indrakila.

Sementara itu Kebo Arema dan pasukannya juga mengalami kelancaran dalam perjalanannya. Mereka pun memilih jalan tanah rata yang biasa digunakan para saudagar menarik gerobak kudanya.

Baru ketika malam telah mulai turun, Kebo Arema dan pasukannya telah kembali di Hutan Tanah Melaya.

“Hari ini kamu dan semua anak buahmu telah selesai, aku tidak akan menghalangi kemanapun kalian akan pergi”, berkata Kebo Arema kepada Badrun.

Terlihat Badrun menarik nafas panjang, tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya.

“Dimata orang-orang Pura Besakih kami adalah penghianat, mereka akan mencari kami sebagai buronan. Tempat yang paling baik sampai saat ini adalah berdiri bersama tuan”, berkata Badrun dengan wajah penuh harap. Bergantian, saat itu Kebo Arema yang terlihat menarik nafas panjang. Apabila ada Mahesa Amping mungkin dapat berbagi pendapat.

Terlihat Kebo Arema tengah berpikir keras apa yang harus dikatakan kepada Badrun yang masih menunggu jawaban dari Kebo Arema. “Baiklah, kalian ku terima”, berkata Kebo Arema singkat

Bukan main gembiranya Badrun mendengar pernyataan Kebo Arema yang singkat. “Terima kasih tuan”, berkata Badrun penuh kegembiraan.”Aku akan menyampaikan berita gembira ini kepada semua anak buahku”, berkata kembali sambil mohon pamit untuk menemui semua anak buahnya.

Sementara itu, di Pura Besakih berita tentang tertangkapnya gerombolan Barong Asu Ngelawang sudah sampai di telinga mereka.

“Mereka telah membajak orang-orang upahan kita”, berkata Raja Adidewalancana dengan nada penuh kekecewaan.

“Bahkan mereka telah membawa ular-ular itu kerumah kita sendiri”, berkata Dewa Bakula menambahkan.

“Peperangan awal ini telah mereka menangkan, keberpihakan penduduk sudah mereka rebut. Saat ini yang kita harapkan adalah bantuan dari luar”. Berkata Adidewalancana kepada Dewa Bakula.

“Masih ada harapan, pukulan pertama tidak  menjamin sebuah kemenangan”, berkata Dewa Bakula memberi harapan kepada Raja Adidewalancana. “Yang pasti kita harus lebih hati-hati lagi, kekuatan orang-orang Singasari tidak boleh diremehkan”, berkata Adidewalancana.

“Para saudagar dari Tanah Hindu tidak akan meninggalkan kita”, berkata Dewa Bakula memberikan keyakinan kepada Raja Adidewalancana agar tidak begitu khawatir.

Ternyata ucapan Dewa Bakula bukan cuma usapan jempol, lima ratus orang prajurit bayaran pada hari itu telah memasuki perairan Balidwipa lewat pantai baratnya.

Malam telah menyisakan sedikit kegelapannya manakala semburat merah fajar di ufuk timur telah terbangun di cakrawala langit Pura Indrakila. Mahesa Amping terlihat sudah terbangun dan duduk di sisi peraduannya. Telinganya yang tajam mendengar suara burung hantu tidak begitu jauh dari tempatnya.

Terlihat Mahesa Amping telah keluar dari biliknya langsung menuju pendapa Bale Guru. Dikeremangan pagi itu Mahesa Amping melihat di halaman muka seseorang lelaki mendekati pendapa Bale Guru.

“Kukira telingaku yang salah mendengar suara burung hantu menjelang pagi”, berkata Mahesa Amping kepada orang itu yang ternyata adalah Ki Jaran Waha.

“Maaf telah membangunkanmu”, berkata Ki Jaran Waha sambil melangkah menaiki anak tangga pendapa.

Cahaya dua buah pelita dipendapa Bale Guru itu sudah terlihat redup, warna merah cakrawala langit diatas halaman muka Bale Guru sudah mulai merata. “Aku sudah biasa bangun di awal pagi”, berkata Mahesa Amping sambil mempersilahkan Ki Jaran Waha duduk bersamanya.

“Aku datang membawa dua buah berita”, berkata Ki Jaran Waha kepada Mahesa Amping setelah duduk bersama di pendapa.

“Aku tidak sabar untuk mendengarnya”, berkata Mahesa Amping.

Namun belum sempat Ki Jaran Waha menyampaikan beritanya, dari pintu butulan muncul Ki Arya Sidi. “Ternyata sudah ada tamu di pagi hari”, berkata Ki Arya Sidi yang datang menghampiri.

“Konon katanya sarapan pagi di Pura Indrakila sangat istimewa, itulah sebabnya aku mampir kemari diawal pagi”, berkata Ki Jaran Waha penuh senyum memperlihatkan sebaris giginya yang rata dan putih.

Suasana di Pendapa bale Guru itu menjadi lebih ramai lagi manakala Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga ikut bergabung. Mahesa Amping segera memperkenalkan Ki Jaran Waha kepada Sembaga, Wantilan dan Mahesa Semu.

“Mereka bertiga dari Padepokan Bajra Seta”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.

“Mahesa Amping telah bercerita tentang Ki Jaran Waha sebagai seorang tengkulak kuda yang jempolan”, berkata Wantilan bercerita tentang lima puluh ekor kuda kiriman Ki Jaran Waha.

“Aku memilih kuda terbaik untuk kalian”, berkata Ki Jaran Waha penuh gembira mendapat julukan baru sebagai tengkulak kuda. Suasana diatas pendapa Bale Guru Pura Indrakila itu menjadi lebih meriah lagi manakala seorang pelayan membawa minuman dan makanan hangat.

“Akhirnya yang kutungu datang juga”, berkata Ki Jaran Waha sambil memperhatikan pelayan lelaki yang tengah meletakkan makanan dn minuman di pendapa Bale Guru.

“Mudah-mudahan Ki Jaran Waha tidak melupakan berita yang akan disampaikan setelah perutnya terisi”, berkata Mahesa Amping bercanda yang disambut tawa dari semuanya.

Terlihat semua menikmati hidangan pagi itu di pendapa Bale Guru Pura Indrakila.

“Sepagi ini biasanya aku sudah turun ke sawah, sementara disini duduk menikmati hidangan pagi”, berkata Sembaga sambil meneguk wedang sere hangatnya.

Sambil menikmati hidangan pagi itu, akhirnya Ki Jaran menyampaikan dua buah berita penting kepada Mahesa Amping.

“Berita pertama yang kubawa adalah pemberitahuan bahwa aku sudah menyiapkan dua buah lumbung untuk para prajurit Singasari”, berkata Ki Jaran Waha kepada Mahesa Amping

“Terima kasih”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.

“Berita kedua, beberapa orangku telah melihat sebuah jung besar memasuki perairan pantai barat Balidwipa”, berkata Ki Jaran Waha dengan wajah penuh ketegangan kepada Mahesa Amping. Terlihat semua mata di pendapa Bale Guru itu tertuju kepada Mahesa Amping, berharap Mahesa Amping dapat memberikan keputusan dan pandangannya.

“Kita berbagi tugas”, berkata Mahesa Amping setelah berpikir sejenak. Semua yang ada di atas pendapa Bale Guru Pura Indrakila itu sepertinya tidak sabaran menanti perkataan Mahesa Amping selanjutnya.

“Ki Jaran Waha didampingi Kakang Mahesa Semu berangkat ke Bandar Buleleng untuk memandu dimana letak titik lumbung disamping juga untuk menyampaikan bahwa pihak lawan telah mendatangkan kekuatan dari luar”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha dan Mahesa Semu.

Terlihat Mahesa Amping mengalihkan pandangannya ke arah Wantilan dan Sembaga. Diam-diam Sembaga merasa bangga bahwa anak kecil momongannya itu  telah tumbuh dewasa, penuh kepercayaan diri yang tinggi.

“Paman Wantilan dan Paman Sembaga ikut bersamaku kembali ke Tanah Melaya. Mudah-mudahan kita dapat menahan untuk sementara kekuatan lawan yang datang dari luar itu”, berkata Mahesa Amping kepada Wantilan dan Sembaga.

“Kita belum mengetahui berapa besar kekuatan lawan, menurut orang-orangmu berapa perkiraan kekuatan yang akan masuk itu”, berkata Ki Arya Sidi kepada Ki jaran Waha.

“Sekitar lima ratus orang”, berkata Ki Jaran Waha memperkirakan.

“Kekuatan kita di Tanah Melaya saat ini hanya berkisar seratus orang”, berkata Mahesa Amping. “Jumlah tidak selalu mendukung kemenangan”, berkata Ki Arya Sidi.

“Tugas kita hanya menghambat mereka, sambil menanti bantuan dari Bandar Buleleng”, berkata Mahesa Amping penuh percaya diri dan tidak merasa ada beban yang berat.

“Apakah aku dan para Sisya dapat diijinkan ikut bersamamu ke Tanah Melaya?”, bertanya Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping.

“Hanya sebatas untuk menambah pengalaman, kurasa dapat kuijinkan”, berkata Mahesa Amping dengan perasaan berat hati membawa para Sisya ke medan perang. ”Ki Arya Sidi kuminta dapat mengawasi mereka”, berkata Mahesa Amping melanjutkan.

Maka pada hari itu juga Mahesa Amping dan rombongannya telah keluar dari Pura Indrakila menuju Tanah Melaya. Sementara itu Ki Jaran Waha dan Mahesa Semu sudah berangkat lebih dulu melihat titik persedian lumbung dan menyampaikan kabar ke Bandar Buleleng.

Sementara itu di Hutan Tanah Melaya, Kebo Arema sudah mendapat berita tentang akan datangnya dua buah jung lewat orang-orang Ki Subali yang juga telah disebar mengamati keadaan.

“Apakah kamu dapat memperkirakan berapa jumlah mereka?”, bertanya Kebo Arema kepada utusan Ki Subali.

“Perkiraanku berkisar antara lima ratus orang”, berkata orang utusan Ki Subali itu.

“Terima kasih untuk beritanya”, berkata Kebo Arema ketika utusan itu pamit untuk kembali. Terlihat Kebo Arema memanggil Badrun  dan bercerita tentang berita akan masuknya orang-orang upahan sebagaimana dirinya.

“Kamu lebih mengenal mereka dibandingkan aku”, berkata Kebo Arema kepada Badrun.

“Yang pasti mereka akan merapat diujung malam menjelang pagi”, berkata Badrun memperkirakan kapan mereka akan merapat.

“Garis pantai barat Balidwipa ini cukup luas, apakah kamu dapat memperkirakan dimana mereka akan merapat”, bertanya kembali Kebo Arema kepada Badrun.

“Sepanjang pantai barat ini adalah pantai yang landai, mereka akan merapat dengan jukung”, berkata Badrun yang telah punya banyak pengalaman dengan daerah perairan di sekitar pantai barat Balidwipa.

“Kurasa pantai terbaik untuk merapat adalah pantai Tanah Melaya ini”, berkata kembali Badrun melanjutkan penjelasan dan perkiraannya.

“Terima kasih, bersiaplah untuk menyambut kedatangan mereka”, berkata Kebo Arema kepada Badrun.

Maka pada hari itu juga Kebo Arema telah mengumpulkan orang-orangnya yang terdiri para prajurit Singasari, para pengikut Ki Jaran Waha dan anak buah Badrun.

“Hari ini kita akan menghadapi sebuah pasukan yang lebih besar dari kita”, berkata Kebo Arema dengan suara yang lantang penuh kewibawaan. “Kita sambut mereka dengan hujan panah selamat datang”, berkata kembali Kebo Arema memberikan penjelasan secara rinci bagaimana menghadapi mereka. ”Beristirahatlah, masih ada waktu menjelang akhir malam”, berkata Kebo Arema memberi kesempatan pasukannya untuk beristirahat mempersiapkan diri.

Dan waktu pun terus berlalu, di ujung senja suasana hutan diujung pantai Tanah Melaya itu sudah menjadi jauh lebih gelap dibandingkan suasana diluar hutan yang telah redup dan bening. Namun ketika malam telah turun menyelimuti Tanah Melaya, suasana kegelapan sudah menjadi merata.

Didalam suasana malam itulah rombongan Mahesa Amping telah tiba di Hutan Tanah Melaya.

“Pihak lawan akan segera merapat, itulah sebabnya kami datang kemari”, berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema yang menyambut kedatangannya.

“Kami tengah mempersiapkan diri”, berkata Kebo Arema yang menjelaskan rencananya menghadapi pasukan lawan.

“Ternyata Sri Baginda Maharaja Singasari tidak salah mata, meminta Paman Kebo Arema mendampingiku”, berkata Mahesa Amping yang melihat kesiapan pasukan didalam hutan itu.

“Masih ada waktu untuk kalian beristirahat setelah menempuh perjalanan panjang”, berkata Kebo Arema mempersilahkan rombongan Mahesa Amping untuk beristirahat.

Setelah mendapatkan beberapa penjelasan dari Mahesa Amping apa yang harus mereka persiapkan, rombongan yang baru tiba itu terlihat mencari tempat untuk beristirahat.

Dan waktupun terus merambat perlahan menjelajahi perjalanan malam yang terus berlalu dalam kesenyapan dan kesunyiannya. Suara binatang malam kadang terdengar ditingkahi semilir angin dingin menembus lewat celah dahan ranting di hutan Tanah Melaya itu.

“Kami melihat ada dua buah jung besar telah menjatuhkan jangkarnya di perairan pantai Tanah Melaya”, berkata salah seorang yang telah ditugaskan mengawasi daerah perairan sekitar pantai.

“Kembalilah ketempatmu, kami menanti kabar selanjutnya”, berkata Kebo Arema kepada orang itu yang langsung kembali bertugas mengamati perairan.

Terlihat Kebo Arema memeriksa kembali kesiapan pasukannya. Sementara itu malam terus merambat, hampir semua orang didalam hutan itu merasakan perasaan yang mencekam. Berbagai pikiran dan anganangan selalu menyinggahi benak mereka terutama kesepuluh orang muda para sisya dari Pura Indrakila.

“Mereka akan menemui pertempuran yang sebenarnya”, berkata Ki Arya Sidi dalam hati.

Ternyata perkiraan Badrun tidak meleset jauh, disaat dini hari kala hari masih begitu gelap, di keremangan suasana di ujung malam itu orang-orang yang diutus untuk mengamati keadaan perairan telah melihat begitu banyak jukung mendekati kearah pantai.

“Mereka masih jauh dari pantai”, berkata salah seorang petugas kepada kawannya yang terlihat tengah menyiapkan panah sanderannya.

Maka ketika terlihat jukung-jukung kecil itu telah mendekati garis pantai, maka terlihatlah sebuah panah sanderan berapi melesat keudara. Bukan main kagetnya orang-orang yang masih diatas jukungnya itu melihat begitu banyak cahaya obor dikegelapan malam memenuhi garis pantai.

Ternyata Kebo Arema telah memberikan perintah untuk setiap orang membawa dua buah obor. Maka pasukannya menjadi dua kali lipat jumlahnya terlihat dari arah lepas pantai.

Hampir setiap orang diatas jukung itu menjadi gentar, dua tiga jukung yang sudah mendekati garis pantai terlihat berbalik arah diikuti oleh yang lainnya. Maka suasana di garis pantai itu begitu semraut antara jukung yang datang dan yang bermaksud kembali. 

Ditengah kekacauan dan kesemrautan itulah meluncur hujan panah. Dan korban pun terus berjatuhan menimpa para pendatang itu.

Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tegap melompat ke sebuah jukung yang akan berbalik badan, sebuah sabetan pedang merobek leher orang yang terdepan dan langsung roboh berlumuran darah.

“Siapapun yang berbalik arah akan mengalami nasib serupa”, berkata lelaki tegap itu dengan suara yang mengguntur.

Suara lelaki itu ternyata berhasil membuat orangorang yang bermaksud berbalik arah menjadi jerih, apalagi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pedang itu menebas salah seorang daripadanya.

Puluhan jukung terlihat semakin mendekati garis pantai, bersamaan dengan itu pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema telah berlari mendekati tepian pantai. Terlihat orang-orang diatas jukung itu sudah melompat keatas air dangkal, bersamaan dengan itu pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema telah sampai di bibir pantai.

Akhirnya perang brubuh tak dapat lagi dihindarkan, tidak dapat dielakkan lagi. Suara beradunya senjata sudah mulai terdengar bercampur dengan suara riuh teriakan dan sumpah serapah sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah pertempuran di peperangan manapun.

“Tetapkan hatimu”, berkata Ki Arya Sidi sambil membantu salah seorang Sisya yang nampak terdesak mencoba membangunkan kembali semangat dan keberaniannya.

Disisi yang lain, para prajurit Singasari telah menunjukkan kemapanannya dalam bertempur

Sementara itu disisi yang lain lagi, para pengikut Ki Jaran Waha ternyata adalah orang-orang pilih tanding, tidak salah penilaian orang selama ini bahwa satu orang pengikut Ki jaran Waha sepadan dengan sepuluh orang prajurit. Mereka dengan mudahnya melumpuhkan satu persatu lawan mereka yang datang mendekat.

Sampai saat itu pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema masih dapat mempertahankan kedudukan mereka diatas pasir pantai.

Meski terlihat sebagai perang brubuh, pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema masih terus mempertahankan disiplin untuk tidak keluar dari paugeran. Keadaan itu telah membuat pertahanan mereka tetap utuh tidak mudah diterobos oleh lawan mereka yang masih berada diatas air dangkal yang merupakan sebuah kelemahan yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menekan lawan.

Yang paling naas adalah para pendatang yang langsung bertemu badan dengan Mahesa Amping dan Kebo Arema yang berada disisi yang berbeda. Terlihat dua tiga orang langsung terjengkang rebah tidak bergerak lagi terkena sabetan cambuk mereka. Mahesa Amping dan Kebo Arema memaklumi jumlah pasukan mereka yang sedikit, maka mereka telah berusaha mengurangi jumlah lawan mereka.

Meski tanpa pengerahan ilmu puncak mereka, siapapun yang datang menghampiri akan tersapu bersih berhamburan terlempar.

Namun semua itu tidak lepas dari pandangan mata yang tajam seperti mata elang, seorang lelaki yang tegap telah melihat bagaimana Mahesa Amping dan Kebo Arema menghalau pasukannya.

“Aku harus menghentikannya”, berkata orang itu yang langsung berlari kearah Kebo Arema.

“Karaeng Taka”, berkata orang itu ketika berhadapan dengan Kebo Arema yang ternyata mengenalnya.

“Aku sudah menduga orang macam apa yang akan datang di Tanah Melaya ini”, berkata Kebo Arema yang juga telah mengenal sosok lelaki dihadapannya.

“Kita memang selalu ada di tempat yang berbeda”, berkata orang itu sambil melayangkan pedangnya kearah Kebo Arema.

“Karaeng Jabo, terakhir kamu kulepaskan. Tapi tidak untuk hari ini”, berkata Kebo Arema sambil mengelak menghindari sabetan pedang orang yang dipanggilnya dengan sebutan Karaeng Jabo. “Gila!!”, berkata Karaeng Jabo sambil berlompat kebelakang menghindari sambaran cambuk Kebo Arema yang sepertinya terus mengikutinya kemanapun ia menghindar.

“Aku tidak akan melepasmu lagi”, berkata Kebo Arema sambil terus mengejar Karaeng Jabo dengan cambuknya.

Sementara itu Mahesa Amping masih belum mendapatkan lawan yang setanding, kemanapun arah cambuknya tertuju pasti ada korban yang langsung roboh terkena sabetan cambuknya.

“Secepatnya aku harus mengurangi jumlah mereka”, berkata Mahesa Amping dalam hati.

Maka Mahesa Amping telah menghentakkan cambuknya dengan kekuatan yang jauh melebihi tataran sebelumnya.

Apa yang terjadi selanjutnya ???

Setiap kali Mahesa Amping melepas cambuknya, puluhan orang seperti tersibak roboh meski belum terkena langsung ujung cambuknya.Ternyata angin sambaran cambuk Mahesa Amping seperti prahara yang kuat, menghantam siapapun yang mendekat. Dalam waktu dekat sudah puluhan orang roboh jatuh diatas pasir pantai.

Dalam waktu yang singkat pasukan bayaran itu sudah semakin menyusut berkurang.

Sembaga yang tidak jauh dari Mahesa Amping seperti terlolong melihat sepak terjang Mahesa Amping.

“Anak itu belum menumpahkan puncak ilmunya”,berkata Sembaga dalam hati merasa yakin bahwa Mahesa Amping hanya mengeluarkan sepersepuluh dari kekuatan ilmunya.

Mahesa Amping telah mampu memecah pertahanan lawan dan mencerai beraikannya. Beberapa orang menjadi jerih berusaha menghindari Mahesa Amping.

Sementara itu kembali kepada keadaan sepuluh anak muda para sisya dari Pura Indrakila, berkat pendampingan Ki Arya Sidi mereka semakin tatag menghadapi pertempuran. Diawali oleh Wayan Dewa Ayu yang sudah dapat berpikir jernih, satu persatu kawan-kawannya pun telah terbawa dan dapat mencurahkan segala kemampuan yang pernah dipelajari selama ini. Dalam keadaan seperti itu mereka telah berubah menjadi seekor anak macan yang telah mengenal kemampuannya sendiri.

“Lihatlah pedang”, berkata Wayan Dewa Ayu sambil mengayunkan pedangnya kepada seorang lawannya.

Bukan main terperanjatnya lawannya itu, karena belum sempat berbuat apapun pedang Wayan Dewa Ayu telah sampai menggores panjang bagian dadanya.

Terdengar lawan Wayan Dewa Ayu berkata sumpah serapah sebelum akhirnya roboh terjerambat mencium pasir pantai yang basah.

Kawan-kawan Wayan Dewa Ayu yang melihatnya semakin menjadi percaya diri, satu persatu ikut mengambil andil untuk berlomba mengurangi jumlah pihak lawan.

“Kalian jangan terlalu masuk kedalam, tetaplah dalam kesatuanmu dan saling berjaga”, berkata Ki Arya Sidi yang sudah melihat perkembangan para sisyanya namun masih terus mendampinginya. Demikianlah, pertempuran masih terus berlangsung. Ternyata jumlah pendatang yang berlipat itu terlihat sudah semakin menyusut.

Sementara itu Kebo Arema yang tengah bertempur melawan Karaeng Jabo diam-diam ikut mengawasi seluruh pertempuran.

“Aku harus segera menyelesaikannya”, berkata Kebo Arema dalam hati yang sudah lama menguasai jalannya pertempuran hanya untuk berusaha melumpuhkan lawannya hidup-hidup.

Tar !!!!

Terdengar suara cambuk yang dihentakkan oleh Kebo Arema yang dilambari kekuatan tak terhingga dari dalam dirinya.

Tergetar Karaeng Jabo merasakan dadanya seperti terguncang bersamaan dengan hentakan sandal pancing cambuk Kebo Arema keudara.

“Kuberikan kesempatan untukmu lari atau terkubur di pantai ini”, berkata Kebo Arema sambil memegang ujung cambuknya.

“Aku memilih untuk membunuhmu”, berkata Karaeng Jabo sambil menghentakkan segala kejerihannya lewat sebuah lompatan panjang dan pedang ditangan siap membelah badan lawan.

Tapi Kebo Arema lebih memikirkan keadaan pasukannya yang sedikit, maka cambuknya telah bergerak cepat seperti ular air melesat mengejar mangsanya.

Srettttttt !!!! Terlihat dada Karaeng Jabo tergores jejak darah  yang panjang masih dalam keadaan melompat diudara dan jatuh sebelum sempat menggerakkan pedangnya.

Melihat pemimpinnya roboh tergeletak tak bergerak bersimbah darah dan pasir pantai, telah membuat semangat para pendatang sedikit goyah, bahkan ada yang berpikir sangat pendek dan cetek dengan langsung mundur lari mendekati jukungnya.

“Tidak ada yang menuntutku, aku sudah menerima setengah dari upahku”, berkata orang itu sambil mendorong jukungnya menjauhi air yang landai.

Ternyata pikiran itu begitu cepat menular kepada yang lainnya. Maka terlihat beberapa orang melakukan hal yang sama, mundur dan melompat keatas jukungnya.

Akhirnya hanya menyisakan beberapa orang yang karena terpaksa tidak mampu melarikan dirinya.

“Jangan dikejar”, berkata Mahesa Amping kepada seorang prajurit yang bermaksud mengejar lawannya yang telah meninggalkannya berlari mengejar sebuah jukung yang sudah bergerak menjauhi pantai.

Akhirnya beberapa orang yang tersisa dan bertahan itu dengan mudah dapat dilumpuhkan oleh pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema.

“Aku menyerah”, berkata salah seorang yang telah menjadi begitu putus asa melihat dirinya sudah terkepung.

“Kami menyerah”, berkata beberapa orang sambil melemparkan senjatanya.

Demikianlah, hari itu pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema telah berhasil mencegah para prajurit bayaran yang berusaha memasuki Balidwipa. Sementara itu matahari sudah mulai memanjat diatas pantai Tanah Melaya. Pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema terlihat tengah memisahkan beberapa mayat yang tergeletak dan beberapa orang yang terluka dari pihak lawan maupun pihak kawan sendiri.

Beberapa penduduk sudah mulai berani menampakkan dirinya datang ikut membantu.

Dengan penuh kehormatan semua jenasah korban pertempuran itu disempurnakan tanpa membedakan lawan maupun kawan, semua diperlakukan dengan sama sebagaimana mestinya.

“Semua ksatria pernah merasakan perasaan yang kamu alami pada hari pertama pertempuran mereka”, berkata Mahesa Amping kepada Wayan Dewa Bayu yang terlihat termenung menatap sebuah makam.

“Hatiku belum mampu mengendalikan perasaanku sendiri”, berkata Wayan Dewa Bayu penuh penyesalan.

“Perlu sebuah usaha yang panjang, menjadikan hati sebagai mata pedangmu”, berkata Mahesa Amping sambil menggandeng Wayan Dewa Bayu meninggalkan pemakaman itu.

Sementara sisa senja di dalam hutan Tanah Melaya terasa merayap, keletihan dan kelelahan terlihat di hampir setiap wajah. Siapa yang tidak kecut dan terkejut disaat badan begitu lelah mendengar suara derap ratusan kaki kuda terdengar mendekati mereka.

Akhirnya semua terlihat menarik nafas panjang manakala mengetahui bahwa derap langkah kuda itu berasal dari pasukan berkuda prajurit Singasari terlihat dari umbul-umbul dan rontek yang mereka bawa. “Ternyata kami datang terlambat”, berkata seorang perwira yang menjadi pimpinan rombongan itu.

“Kamilah yang harus dipersalahkan, kedatangan kami di Bandar Buleleng sudah terlalu malam”, berkata ki Jaran Waha yang ikut bersama rombongan pasukan berkuda itu dengan wajah buram merasa bersalah.

Dibelakang Ki Jaran Waha terlihat Mahesa Semu mengiringinya juga dengan wajah penuh penyesalan baru datang disaat pertempuran telah usai.

“Tidak ada yang perlu merasa bersalah dan menyesal, justru sebagai pelajaran yang mahal untuk kita dapat memperbaikinya”, berkata Kebo Arema dengan wajah penuh keceriaan memanggil beberapa  orang untuk duduk bersama.

Terlihat Kebo Arema bercerita dengan singkat apa yang telah terjadi di pantai Tanah Melaya.

“Kita perlu pasukan yang kuat yang dapat bergerak dengan cepat”, berkata Kebo Arema layaknya seorang Senapati besar.

“Kurasa hutan Tanah Melaya ini adalah tempat yang baik”, berkata Mahesa Amping memberi masukan.

“Pengenalanmu atas Balidwipa ini tidak diragukan lagi”, berkata Kebo Arema yang langsung menyetujui usulan Mahesa Amping untuk menempatkan lima ratus prajurit Singasari di hutan Tanah Melaya sebagai pasukan khusus yang dapat bergerak cepat menutup setiap gerakan dari luar Balidwipa

Sementara itu waktu pun terus berlalu, malam didalam hutan Tanah Melaya telah begitu gelap dan senyap. Dari jauh sayup terdengar suara srigala mengalun panjang memanggil kawannya untuk memasuki area perburuan.

Namun keletihan dan kelelahan pada beberapa prajurit Singasari itu sudah membuat tidak mendengar suara apapun, tidak merasakan apapun, karena mereka sudah lama tertidur bersama datangnya malam dan kegelapan. Mungkin beberapa diantaranya tengah bermimpi bertemu dengan kekasih pujaan hati, bermimpi bersama istri dan anak tercinta, atau sebuah mimpi buruk bertemu didatangi seorang musuh yang terbunuh dimedan perang. Lepas dari mimpi sebagai bunga tidur, lepas dari indah dan buruknya sebuah mimpi, ternyata kita memang tidak kuasa untuk membuat sebuah mimpi.

Dan akhirnya pagipun datang menutup semua mimpi, membangunkan semua yang tertidur di dalam hutan Tanah Melaya.

“Saatnya kita mengunci Pura Besakih”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping diawal pagi itu.

Mahesa Amping paham apa yang dimaksudkan oleh Kebo Arema. Maka pada pagi itu semua pasukannya telah dikumpulkannya.

“Mulai hari ini kalian harus melepaskan segala peneng dan ciri apapun sebagai tanda keprajuritan Singasari”, berkata Mahesa Amping kepada Pasukannya.”hari ini kita akan keluar dari hutan ini untuk menyebar dan mengunci setiap gerak apapun dari Pura Besakih”, berkata kembali Mahesa Amping memberikan penjelasan tugas-tugas yang harus mereka lakukan serta membagi mereka dalam beberapa kelompok yang akan membaur hidup bersama sebagai orang kebanyakan di berbagai Padukuhan sebagai petugas delik sandi. Kelompok pertama yang meninggalkan hutan Tanah Melaya itu adalah sepuluh orang Sisya dari  Pura Indrakila bersama Ki Arya Sidi.

“Setelah semua berakhir, aku akan bersama kalian kembali”, berkata Mahesa Amping melepas kepergian mereka kembali Ke Pura Indrakila.

Kelompok kedua yang meninggalkan hutan Tanah Melaya selanjutnya adalah Ki Jaran Waha dan para pengikutnya.

“Terima kasih untuk semua dan untuk segalanya”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang bersama pengikutnya telah bersiap-siap akan meninggalkan hutan Tanah Melaya.

“Ucapan terima kasih tidak berlaku untuk seorang saudara”, berkata ki Jaran Waha dengan wajah penuh senyum.

“Aku telah menitipkan diri kalian bersama pasukan Singasari di hutan Tanah Melaya ini”, berkata Kebo Arema kepada Badrun ketika akan meninggalkan hutan Tanah Melaya bersama Mahesa Amping, Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga.

“Mudah-mudahan kami tidak akan mengecewakan tuan yang telah mempercayai kami”, berkata Badrun mewakili semua anak buahnya yang diminta oleh Kebo Arema untuk tetap bersama Prajurit Singasari.

Demikianlah, menjelang matahari bergeser sedikit dari puncaknya, lima orang penunggung kuda terlihat telah keluar dari hutan Tanah Melaya.

Matahari terus membayangi punggung-punggung mereka yang berjalan terus kearah timur. Hingga akhirnya manakala matahari terlihat redup bersandar di ujung tepian bumi di ufuk barat, mereka memasuki sebuah padukuhan kecil untuk sekedar bermalam.

“Inilah banjar kami yang sederhana”, berkata seorang warga yang mengantar Kebo Arema bersama empat orang kawannya ke banjar desa untuk bermalam.

“Terima kasih, bagi kami ini sudah lebih dari cukup, tidak kehujanan dan keanginan”, berkata Kebo Arema sambil mengucapkan terima kasih kepada orang yang mengantarkannya itu.

“Sebentar lagi mereka akan panen padi”, berkata Mahesa Amping yang melihat didepan banjar desa hamparan sawah yang sudah cukup tua menguning.

“Menanam padi seperti merawat seorang bayi, ketika melihat untaian padi tua menguning, ada kebahagiaan yang tidak bisa diukur oleh apapun”, berkata Wantilan menyampaikan perasaan hatinya kepada Mahesa Amping.

“Melihat padi menguning, aku jadi rindu pada Padepokan Bajra Seta”, berkata Sembaga.

“Jujur, perasaan itulah yang sering kurasakan selama ini. Kadang aku merasa telah salah untuk memilih jalanku sebagai seorang prajurit”, berkata Mahesa Amping menyampaikan perasaan hatinya.

“Kita tidak kuasa memilih jalan kita sendiri, apakah dirimu pernah meminta untuk kelahiranmu di muka bumi ini?”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.

Perkataan Kebo Arema telah membuat suasana di banjar desa itu sejenak menjadi hening, semuanya sepertinya tengah menjenguk keberadaan dirinya masing-masing, dan semuanya sepertinya telah terbentur pada tembok tebal ketidak tahuan. “Tidak perlu terlalu jauh, ketika disusui ibu saja kita tidak pernah dapat merasa pernah mengingatnya”, berkata kembali Kebo Arema yang sepertinya dapat membaca apa yang tengah direnungkan oleh keempat kawannya itu.

Sementara itu malam mulai turun membatasi jarak pandang, hamparan sawah yang hijau didepan banjar desa perlahan tersamar dan akhirnya tertutup rapat oleh kegelapan malam yang semakin pekat.

“Jarak pandang dibatasi oleh gelapnya malam, jarak pandang mata hati dan pikiran juga dibatasi oleh waktu ketika ada dan tiada”, berkata Mahesa Amping  dalam hati sambil menatap kegelapan malam.

Pagi itu matahari bersinar begitu cerahnya, cahaya kuningnya telah menyebar menghangatkan bumi. Terlihat disepanjang jalan padukuhan petani ramai memotong padi dengan penuh gembira yang ditingkahi canda beberapa gadis penuh tawa menggilas batang-batang padi runtuh di ujung jemari kakinya.

“Mata para gadis itu melihat kita atau kuda kita?”, berbisik Sembaga kepada Mahesa Amping yang tengah berkuda membelakangi Kebo Arema, Wantilan dan Mahesa Semu di jalan Padukuhan yang sudah ramai.

“Yang ada dalam pikiran mereka adalah lima orang saudagar kaya tengah berkunjung”, berkata Mahesa Amping kepada Sembaga.

“Yang mereka pikirkan adalah seorang saudagar kaya diiringi empat pelayannya”, berkata Wantilan yang mendengar perkataan Mahesa Amping. “Menurutmu siapa kira-kira yang pantas disebut saudagar kaya diantara kita berlima?”, berkata Sembaga kepada Wantilan.

“Yang pasti bukan dirimu”, berkata Wantilan singkat. “Yang pasti juga bukan dirimu”, berkata Sembaga

langsung membalas.

Demikianlah, mereka berkuda sepertinya tidak dibatasi waktu. Dalam setiap kesempatan menikmati pemandangan alam yang indah, sawah yang membentang hijau, warna biru pegunungan yang jauh serta lembah yang dihiasi rimbunnya pepohonan tertiup angin memberi aroma sejuk dan sangat menyegarkan.

“Gunung didepan kita itu adalah Gunung Agung”, berkata Mahesa Amping kepada kawan-kawannya sambil menunjuk kearah gunung yang tinggi didepan mereka.

Kearah Gunung Agung itulah nampaknya arah perjalanan mereka.

“Jalur sandi yang akan kita bangun berada di Kademangan Rendang, sebuah tempat yang paling dekat dengan sasaran kita Pura Besakih”, berkata Mahesa Amping memberikan penjelasan tentang sebuah wilayah yang masuk dalam pengamatan mereka.

Akhirnya diawal senja langkah kaki kuda mereka berhenti disebuah Kademangan yang cukup ramai karena merupakan sebuah persinggahan para pedagang yang membawa hasil bumi dan hutan di Balidwipa.

“Inilah Kademangan Rendang”, berkata Mahesa Amping ketika mereka memasuki jalan Padukuhan utama. Terlihat kuda Mahesa Amping berhenti dimuka sebuah rumah yang paling luas dibandingkan dengan beberapa rumah dikiri kanannya.

Mahesa Amping mengajak semua kawannya untuk masuk ke halaman rumah itu.

“Apakah Ki Demang masih mengenalku?”, berkata Mahesa Amping kepada seorang yang berada diatas Pendapa menyambut kedatangan mereka.

“Mana mungkin kami melupakanmu yang telah mempersatukan kami dua saudara”, berkata orang yang dipanggil Ki Demang sambil mempersilahkan mereka untuk naik keatas pendapa rumahnya.

Setelah menyampaikan beberapa kabar keselamatan masing-masing, Mahesa Amping memperkenalkan Kebo Arema sebagai pedagang kuda dari Bandar Buleleng.

“Selama disini, biarlah kalian tinggal di rumahku”, berkata Ki Demang menawarkan kebaikannya.

“Terima kasih, semoga tidak merepotkan Ki  Demang”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang.

Sementara itu diregol halaman terlihat seorang yang seusia Ki Demang berjalan kearah pendapa rumah.

“Ternyata ada sahabat mudaku”, berkata lelaki itu setelah naik ke pendapa rumah menyapa Mahesa Amping.

“Selamat bertemu kembali Ki Amararaja”, berkata Mahesa Amping menyambut lelaki itu yang ternyata adalah Ki Amararaja saudara seayah lain ibu dari Ki Demang.

Maka Mahesa Amping segera memperkenalkan semua kawannya kepada Ki Amararaja, tentunya sesuai dengan jati diri penyamaran sebagai pedagang kuda dan pembantunya.

“Mudah-mudahan usaha kalian dapat berjalan degan baik”, berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping dan kawan-kawannya.

Sementara itu waktu terus berlalu, sang sandikala terlihat perlahan menyelinap diujung waktu digantikan sang malam.

“Malam ini aku ingin mengajakmu ke Banjar Desa, saat ini kami tengah membentuk para pecalang baru untuk menggantikan beberapa orang pecalang yang sudah mulai tua”, berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping.

“Dengan senang hati”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Amararaja.

Terlihat Mahesa Amping dan Ki Amararaja tengah menuruni anak tangga pendapa rumah Ki Demang. Sementara itu Kebo Arema, Mahesa Semu dan Sembaga masih ditemani oleh Ki Demang. Banyak sekali yang mereka bicarakan, mulai dari masalah kuda sampai dengan keresahan warga Kademangan atas sebuah kabar angin tentang gerombolan Barong Asu Ngelawang.

Ternyata Kebo Arema terlalu piawai untuk urusan bersandiwara melakoni dirinya dihadapan Ki Demang sebagai pedagang kuda yang berpengalaman.

Sementara itu Mahesa Amping di Banjar Desa tengah melihat para pecalang baru tengah berlatih olah kanuragan dibawah bimbingan Ki Amararaja.

“Ada rencana untuk menambah jumlah pecalang di kademangan ini, jumlah yang ada pada saat ini masih belum dikatakan cukup untuk menjaga ketentraman dan ketenangan di Kademangan ini”, berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping sambil melihat beberapa Pecalang muda tengah berlatih.

“Aku tertarik dengan cara orang Balidwipa mengamankan kampungnya dengan cara kemandiriannya ini”, berkata Mahesa Amping memberikan pandangannya tentang pecalang di Balidwipa.

“Meski upah sebagai pecalang tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hidup, mereka tetap menjalaninya dengan penuh kebanggaan”, berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping.

“Bila seorang gadis harus memilih dua orang pemuda, siapa yang dipilihnya bila salah satunya adalah seorang pecalang”, berkata Mahesa Amping sedikit bercanda

“Yang pasti gadis itu akan memilih pecalang, karena biasanya seorang pecalang itu bertubuh kekar, kuat dan ganteng”, berkata Ki Amararaja menimpali canda  Mahesa Amping.

Namun diam-diam Mahesa Amping memperhatikan beberapa anak muda yang akan menjadi pecalang itu memang umumnya mempunyai badan yang kekar berisi dan dapat dikatakan cukup “tampan”.

“Tentu saja sang gadis memilih pecalang, karena pemuda yang satunya disamping buruk rupa juga sebagai pemuda luntang-lantung yang tidak punya sandaran hidup”, berkata Mahesa Amping kepada ki Amararaja.

“Ternyata kamu tidak pernah mau menyerah”, berkata Ki Amararaja sambil tertawa panjang. Udara malam di Kademangan Rendang yang berada disebelah barat lereng Gunung Agung memang cukup dingin. Sementara beberapa pemuda masih tetap semangat terus berlatih, sepertinya sudah terbiasa dengan dinginnya udara malam.

Akhirnya ketika malam mulai masuk dipertengahan mereka baru kembali ke rumah Ki Demang. Ternyata di pendapa tidak ada seorang pun.

“Sepertinya mereka sudah lama tertidur”, berkata Ki Amaraja sambil mengajak Mahesa Amping langsung beristirahat ke bilik yang telah disediakan.

Setelah tiba dibilik Mahesa Amping tidak dapat langsung tidur, terbayang pertempuran kemarin pagi di pantai Tanah Melaya.

Terlihat Mahesa Amping menarik nafas panjang menyerahkan semuanya kepada Gusti Yang Maha Berkehendak.

“Tidak ada satu pun makhluk yang luput dari kehendakmu”, berkata Mahesa Amping dalam hati sambil berbaring di peraduan dan memejamkan matanya.

Sementara itu langit malam diatas Kademangan Rendang dipenuhi taburan bintang. Semilir angin basah menggugurkan bunga-bunga kemboja merah yang berjejer di sebelah kanan pagar batu halaman rumah Ki Demang.

Udara pagi di Kademangan Rendang begitu dinginnya terasa menusuk tulang, Namun Mahesa Amping dan kawan-kawannya sudah keluar dari biliknya dan duduk di pendapa rumah Ki Demang, tentunya Ki Amararaja dan Ki Demang ikut menemani mereka. “Ketika kalian di Pakiwan, bagaimana rasanya air disini?”, bertanya Ki Amararaja.

“Luar biasa dinginnya”, berkata Sembaga langsung menyambut terlihat bibirnya masih biru kedinginan.

Akhirnya ketika matahari pagi sudah mulai naik, udara di Kademangan Rendang sudah mulai hangat, Mahesa Amping dan kawan-kawannya terlihat pamit untuk menemui beberapa peternak kuda yang ada disekitar Kademangan Rendang.

“Mudah-mudahan kami dapat kuda yang baik dan cocok harganya”, berkata Kebo Arema sambil turun dari Pendapa diiringi pandangan mata Ki Demang dan Ki Amararaja.

Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya tengah menyusuri jalan Padukuhan tengah menuju peternakan kuda yang ada di Kademangan Rendang. Pada saat itu di Kademangan Rendang sangat terkenal dengan peternakan kudanya.

Namun ditengah jalan, Mahesa Amping menemui sebuah pelepah kelapa terpotong tiga.

“Ada petugas sandi yang akan menemui  kita”, berkata Mahesa Amping membaca isyarat sandi yang telah mereka sepakati bersama.

Terlihat Mahesa Amping memberi simpul pada salah satu janur sebagai tanda mereka akan menemuinya di pasar terdekat.

“Biarlah petugas itu menunggu kita dipasar terdekat”, berkata Mahesa Amping sambil melompat keatas kuda melanjutkan perjalanannya. Akhirnya mereka telah sampai di sebuah peternakan kuda, seorang lelaki telah menyambut kedatangan mereka.

“Apakah kami dapat bertemu dengan pemilik peternakan ini?”, bertanya Kebo Arema kepada orang itu.

Lelaki yang sudah cukup berumur itu tersenyum mendengar pertanyaan Kebo Arema.

“Kalian telah berhadapan dengan pemilik peternakan ini?”, berkata lelaki itu sambil mempersilahkan Kebo Arema dan kawan-kawannya untuk naik ke Pendapa rumahnya.

Terlihat lelaki itu mengiringi tamunya naik kependapa rumahnya dan mempersilahkan duduk.

“Nampaknya kalian baru pertama kali kepeternakan ini”, berkata pemilik peternakan itu memulai pembicaraan.

Kebo Arema langsung menyampaikan maksud dan tujuannya yakni untuk membeli beberapa ekor kuda.

“Tentunya bila harganya cocok”, berkata Kebo Arema kepada lelaki itu.

Terlihat lelaki itu tersenyum setelah mendengar perkataan Kebo Arema.

“Kalian datang terlambat, kemarin sore semua kudaku telah diborong habis”, berkata lelaki itu sambil tersenyum.

“Telah diborong habis?”, berkata Mahesa Amping “Siapa yang telah membeli semua kudamu?, berkata

Kebo Arema kepada lelaki itu. “Penguasa Pura Besakih, mereka telah memberi panjer”, berkata lelaki itu.

“Bagaimana bila kami membayar dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang telah kalian sepakati?”, berkata Kebo Arema kepada lelaki itu.

Terlihat lelaki itu menarik nafas panjang, sepertinya tengah menimbang-ninmbang. “Maaf, aku tidak bisa mengecewakan pelangganku yang telah membayar panjer”, berkata lelaki itu menolak tawaran Kebo Arema.

“Ternyata kami datang terlambat, dan kita belum berjodoh”, berkata Kebo Arema sambil mohon untuk pamit diri mencari peternak lain disekitar Kademangan Rendang.

“Lain waktu datanglah, aku punya beberapa bibit yang baik”, berkata lelaki itu mengantar tamunya keluar dari pekarangan rumahnya yang terlihat dipenuhi beberapa kuda yang ternyata sudah diborong semuanya oleh penguasa Pura Besakih.

“Ternyata Penguasa Pura Besakih tengah menggalang sebuah kekuatan”, berkata Mahesa Amping ketika mereka sudah berada di sebuah jalan Padukuhan.

“Orang-orang upahan telah merembes masuk ke Balidwipa”, berkata Mahesa Semu ikut memberi kesimpulan.

“Kita tidak dapat menahan mereka yang menyelundup masuk dari berbagai tempat di Balidwipa ini yang cukup luas”, berkata Mahesa Amping merasa prihatin atas penempatan lima ratus prajurit di Hutan Tanah Melaya. “Pasukan itu harus secepatnya ditarik, ikan-ikan yang kita tunggu ternyata lebih cerdik dari yang kita perkirakan”, berkata Kebo Arema.

“Berita ini harus secepatnya sampai di pasukan induk agar mereka dapat mengambil langkah yang tepat”, berkata Mahesa Amping.

“Mudah-mudahan petugas sandi kita tidak jemu menanti kedatangan mereka”, berkata kebo Arema mengajak semuanya untuk menuju kepasar Kademangan Rendang.

Akhirnya tidak begitu lama mereka telah sampai di Pasar Kademangan Rendang, saat itu hari sudah menjelang siang dan para pengunjung dipasar itu sudah jauh berkurang. Ketika di Pasar Kademangan Rendang, sengaja Mahesa Amping dan kawan-kawannya berada ditempat yang mudah terlihat. Ternyata usaha mereka berhasil, seorang petugas sandi telah melihat mereka dan datang mendekati.

“Kalian lama sekali”, berkata petugas sandi itu. “Apakah ada pikiranmu untuk pergi sebelum bertemu

dengan kami?”, bertanya Mahesa Amping sambil tersenyum.

“Itu sama artinya lari dari tugas”, berkata petugas sandi itu sambil mengajak semuanya ke sebuah kedai di ujung pasar.

Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya telah menambatkan kudanya di sebuah galar panjang dimuka kedai itu dan langsung masuk kedalam kedai. Seorang pelayan datang menghampiri mereka dan menawarkan beberapa masakan. “Nasi jagung kuah kari”, berkata Sembaga memesan sebuah masakan yang baru didengarnya di Balidwipa.

“Yang lainnya?”, berkata pelayan itu sambil melayangkan pandangannya selain Sembaga.

“Semua pesan nasi jagung kuah kari”, berkata mahesa Amping kepada pelayan itu.

“Dan ayam bumbu merah”, berkata Sembaga menambahkan.

“Yang lainnya?”, berkata pelayan itu sambil melayangkan pandangannya selain Sembaga.

“Semua sama seperti pesanan kawanku ini”, berkata Mahesa Amping kepada pelayan itu.

Maka pelayan itu itu terlihat masuk kedalam untuk menyiapkan pesanan tamunya.

*****

“Pasukan induk hari ini telah mencapai lumbung pertama”, berkata petugas sandi itu menyampaikan beritanya.

“Kekuatan dari luar tidak dapat dibendung, secepatnya menarik pasukan yang ada di hutan tanah Melaya”, berkata Mahesa Amping menukar berita kepada petugas sandi.

“Besok siang kita bertemu kembali, kami akan mengamati kekuatan lawan lebih dekat lagi”, berkata Kebo arema kepada petugas sandi itu.

Sementara itu pembicaraan mereka terhenti karena pelayan kedai itu sudah terlihat mendekati mereka bersama pesanan mereka. “Ternyata aku tidak salah pesan”, berkata Sembaga sambil menikmati nasi jagung kuah kari pesanannya.

Terlihat mereka menikmati hidangan dikedai itu.

Matahari di atas Pasar Kademangan Rendang telah lama turun di puncak cakrawala langit, terlihat lima ekor kuda bersama penunggangnya tengah keluar melintasi gapura pasar Kademangan Rendang. Mereka adalah Mahesa Amping dan kawan-kawannya.

Ketika mereka hendak memasuki rumah Ki Demang, terlihat ada dua orang tamu Ki Demang tengah menuruni anak tangga pendapa. Kedua tamu itu terlihat begitu angkuh, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka manakala bersisipan jalan dengan Mahesa Amping dan kawan-kawannya dihalaman rumah Ki Demang.

“Ternyata Ki Demang baru saja menerima tamu”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang dipendapa bersama Ki Amararaja.

Ki Demang tidak langsung menjawab, terlihat menarik nafas panjang dan menundukkan kepalanya.

“Dua orang yang bertamu itu adalah utusan Penguasa Pura Besakih”, berkata Ki Amaraja mewakili Ki Demang menjawab pertanyaan Mahesa Amping.

“Ada keperluan apakah mereka datang ke rumah ini?”, berkata mahesa Amping menyelidik.

“Mereka meminta Kademangan ini menyiapkan lima puluh orang anak muda atau lelaki yang masih kuat untuk menghadapi prajurit Singasari yang akan menyerang Pura Besakih”, berkata Ki Demang kepada Mahesa Amping. “Parajurit Singasari akan menyerang Pura Besakih?”, bertanya Mahesa Amping pura-pura baru mendengarnya.

“Kedua tamu itu yang mengatakannya”, berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping

“Bukankah dalam kegiatan pemugaran Pura, dari Kademangan ini selalu mengirim tenaga bantuan?”, bertanya kembali Mahesa Amping.

“Kerja bakti di pura tidak sama dengan peperangan, apalagi menghadapi prajurit Singasari yang kutahu sangat kuat dan berpengalaman. Apalah artinya pemuda dari Kademangan ini yang baru sedikit mengenal kanuragan dan tidak punya pengalaman bertempur”, berkata Ki Amararaja menyampaikan kegusaran hatinya.

“Apa yang Ki Demang dan Ki Amararaja ketahui tentang pasukan Singasari yang akan menyerang Pura Besakih itu?”, bertanya Kebo Arema berusaha menyelidik ada dimana keberpihakan mereka berdua.

“Berdasarkan kabar angin yang kudapat, pasukan Singasari akan datang menyerang Pura Besakih dan tidak akan mengganggu warga Balidwipa kecuali yang berpihak kepada Penguasa Balidwipa”, berkata Ki Demang kepada kebo Arema.

“Hanya itu?”, bertanya kembali Kebo Arema

“Bukan hanya itu”, berkata Ki Demang kepada Kebo Arema

Terlihat Ki Demang menarik nafas panjang sepertinya ingin mengurai sebuah jawaban kata yang panjang.“Selebihnya adalah bahwa Singasari bermaksud membersihkan jalur perdagangannya dari kekuasaan para saudagar dari tanah Hindu dimana Penguasa Pura Besakih telah bersekutu dan menjadi boneka hidup dari para saudagar Tanah Hindu”, berkata Ki Demang menyampaikan wawasannya yang diketahuinya tentang sebuah perselisihan antara Singasari dan penguasa Pura Besakih.

“Jadi siapapun yang memenangkan peperangan ini, warga tidak mendapatkan keuntungan apapun?”, kembali Kebo Arema bertanya.

“Perang ini perang mereka berdua, perang untuk kepentingan mereka”, berkata Ki Demang kepada Kebo Arema.

“Aku punya penilaian berbeda dengan Ki Demang”, berkata Kebo Arema kepada Ki Demang.

“Perbedaan dalam hal apa?”, bertanya Ki Demang kepada Kebo Arema.

“Aku sebagai pedagang kuda melihat sebuah harapan besar dengan peperangan ini, karena selama ini kami sebagai pedagang tidak boleh menjual barang kami keluar Balidwipa selain kepada para saudagar dari Tanah hindu dengan harga yang mereka sendiri tentukan. Padahal setahuku harga kuda di Tanah Jawa lebih tinggi, juga nilai hasil hutan lainnya. Tapi tidak satu pun kapal dagang yang berani memasuki perairan Balidwipa ini karena akan berhadapan dengan perompak yang ada dibelakang mereka”, berkata Kebo Arema memberikan wawasannya.

“Kamu pedagang, wawasanmu pasti lebih luas”, berkata ki Demang mengakui wawasan Kebo Arema.

“Aku belum sempat mengatakan apa harapanku dengan adanya peperangan ini’, berkata Kebo Arema sengaja tidak melanjutkannya. “Aku ingin dengar”, berkata Ki Demang kepada Kebo Arema.

Terlihat Kebo Arema tidak langsung menjawab, tapi mengangkat cangkir minumannya yang sudah tinggal sedikit dan meneguknya sampai habis.

“Harapanku bahwa peperangan ini dimenangkan oleh pasukan Singasari, para saudagar Tanah Hindu akan menghilang di perairan Balidwipa. Dan kami para pedagang dapat menjual barang kami kepada siapapun dengan harga sesuai persaingan yang sehat. Kukira kemakmuran tidak hanya berpihak kepadaku, juga berpihak pada para pedagang di pedalaman Balidwipa ini”, berkata Kebo Arema seperti layaknya seorang pedagang sungguhan.

“Wawasanmu kuakui sangat dalam dan luas”, berkata Ki Amararaja yang ikut menyimak kata-kata Kebo Arema yang begitu piawai dalam nada dan tekanan suaranya.

“Terima kasih telah memberikan masukan yang berarti kepadaku, wawasanku tentang peperangan ini menjadi lebih luas, sehingga aku dapat tidak sekedar melangkah apalagi salah langkah”, berkata Ki Demang.

“Apakah Ki Demang sudah punya keputusan?”, bertanya Mahesa Amping

“Keputusanku adalah harapanku bagi kemakmuran warga Balidwipa”, berkata Ki Demang.

“Apakah Ki Demang sudah memutuskan untuk membuat sebuah langkah?”, giliran Kebo Arema yang bertanya kepada Ki Demang.

“Untuk tidak mengirim seorang pun ke Pura Besakih”, berkata Ki Demang dengan suara yang mantap “Artinya Ki Demang saat ini sudah berada dipihak Singasari?”, bertanya Mahesa Amping.

“Untuk saat ini dapat dikatakan demikian, namun secara pasti aku berpihak bagi kemakmuran warga Balidwipa”, berkata Ki Demang menyampaikan garis pandangnya secara luas lagi.

“Aku sependapat dengan Ki Demang, tidak mengirim seorang pun ke Pura Besakih justru sebagai kecintaan kita kepada Tanah leluhur”, berkata Ki Amararaja ikut memberikan pandangannya.

“Jadi Ki Demang dan Ki Amararaja tidak takut bahwa Kademangan Rendang ini adalah para pembangkang?”, bertanya Kebo Arema kepada Ki Demang dan Ki Amararaja.

“Untukku selama itu sebuah kebenaran, aku tidak takut untuk memperjuangkannya”, berkata Ki Demang mewakili Ki Amararaja yang sepertinya punya pandangan yang sama.

“Artinya Ki Demang dan Ki Amararaja telah berdiri bersama kami di tempat yang sama”, berkata Kebo Arema sambil menarik nafas panjang akhirnya dapat mengungkapkan keberpihakan Ki Demang dan Ki Amararaja.

“Aku belum dapat menangkap arah perkataanmu tentang berada ditempat yang sama”, bertanya Ki Demang kepada Kebo Arema.

“Artinya Ki Demang dan Ki Amararaja berada di pihak Singasari, kebetulan sekali bahwa kami adalah bagian dari Pasukan Singasari yang tengah bertugas mengamati pihak lawan”, berkata Kebo Arema membuka jati diri mereka yang sebenarnya. “Jadi kalian bukan pedagang kuda dari Buleleng?”, berkata Ki Demang kepada Kebo Arema.

Kebo Arema menjawabnya dengan menganggukkan kepalanya perlahan.

“Ki Demang dan Ki Amararaja di pendapa ini telah duduk bersama dengan seorang prajurit perwira yang sangat disegani dan dihormati di seluruh tanah Singasari, orang yang sudah lama kalian kenal yang tidak lain adalah tuan Rangga Mahesa Amping”, berkata Kebo Arema memperkenalkan Mahesa Amping sebagai prajurit Singasari.

“Ternyata selama ini aku berteman dengan seorang perwira dari Singasari”, berkata Ki Amararaja sambil memandang kearah Mahesa Amping yang membalasnya dengan menganggukkan kepalanya membenarkan semua perkataan Kebo Arema atas dirinya.

“Keberpihakan Ki Demang dan Ki Amararaja adalah salah satu jembatan untuk mencapai sebuah kemenangan”, berkata Mahesa Amping yang nampaknya telah mendapatkan sebuah siasat baru.

“Kami siap menjadi jembatan itu”, berkata Ki Demang kepada Mahesa Amping.

“Ki Demang dapat mempersiapkan lima puluh orang untuk Pura Besakih”, berkata Mahesa Amping.

“Orang-orang muda yang baru mengenal satu dua jurus kanuragan?, aku keberatan”, berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping.

Mahesa Amping tersenyum mendengar perkataan Ki Amararaja, terlihat Mahesa Amping mengatur pernafasannya untuk mengatakan sesuatu. “Kita tidak mengirim satu pun orang Kademangan Rendang, karena yang akan kirim adalah para prajurit Singasari”, berkata Mahesa Amping sambil memandang kearah Ki Demang dan Ki Amararaja.

“Aku dapat menangkap maksudmu, Kademangan Rendang ini hanya sebagai jembatan untuk menyusupkan para prajurit Singasari ke sarang lawan”, berkata Ki Amararaja yang dapat menangkap maksud dan siasat dari Mahesa Amping.

“Sebuah usulan yang cemerlang”, berkata Kebo Arema setuju dengan siasat itu.

“Utusan penguasa Pura Besakih telah memberi batas waktu dua hari dari sekarang”, berkata Ki Demang menyampaikan batas waktu pengiriman lima puluh orang Kademangan Rendang.

“Hari ini juga kita harus melepas berita untuk menarik sebagian pasukanku yang tersebar di jalur sandi, mereka adalah para prajurit muda pilihan”, berkata Mahesa Amping.

“Sisanya?”, bertanya Kebo Arema

“Para pengikut Ki Jaran Waha”, berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema.

“Apakah aku yang tua ini dapat bergabung bersama kalian?”, berkata Ki Amararaja menawarkan dirinya sendiri.

“Bukankah mereka membutuhkan lelaki yang masih kuat?”, berkata Mahesa Amping balik bertanya kepada Ki Amararaja.

“Artinya aku dapat diterima?”, bertanya kembali Ki Amararaja “Ki Amararaja menjadi perwakilan Kademangan Rendang”, berkata Mahesa Amping kepada Amararaja yang terlihat gembira dapat diikutkan sebagai penyusup di sarang lawan.

“Kakang Mahesa Semu bersama Paman Wantilan dan Paman Sembaga dapat tugas untuk menuntun pasukanku menuju Kademangan Rendang”, berkata Mahesa Amping membagi tugas.

“Ternyata mereka bertiga bukan pembantumu, melainkan saudaramu”, berkata Ki Amararaja yang mendengar bagaimana Mahesa Amping menyebut satu persatu saudara perguruannya dari Padepokan Bajra Seta.

“Mereka bertiga adalah saudara seperguruanku dari Padepokan Bajra Seta”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Amararaja.

“Kalian ternyata para pemain sandiwara yang jempol”, berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga yang hanya tersenyum. “Meski dalam lakon kalian harus diam manut layaknya seorang pembantu pedagang kuda kaya”, berkata kembali Ki Amararaja yang ditanggapi semua yang mendengarnya dengan tertawa.

“Bagaimana menurut Ki Amararaja lakonku sebagai pedagang kuda?”, bertanya Kebo Arema masih dalam suasana canda tawa.

“Permainanmu dapat dikatakan nyaris sempurna”, berkata Ki Amararaja kepada Kebo Arema.

Akhirnya pada hari itu juga Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga terlihat sudah mendahului keluar dari rumah Ki Demang untuk menjalankan tugasnya menuntun para prajurit untuk berkumpul di Kademangan Rendang.

Berselang tidak begitu lama Mahesa Amping dan Kebo Arema ikut keluar dari rumah kediaman Ki  Demang.

“Semoga keselamatan bersamamu wahai tuan Rangga Mahesa Amping”, berkata Ki Amararaja mengantar Mahesa Amping dan Kebo Arema yang terlihat menuruni anak tangga pendapa.

“Panggil aku sebagaimana biasa Ki Amararaja memanggilnya”, berkata Mahesa Amping sambil melayangkan senyumnya.

Diiringi pandangan mata Ki Amararaja dan Ki Demang, dua ekor kuda dan penunggangnya terlihat keluar melewati regol pintu halaman kediaman Ki Demang dan akhirnya menghilang terhalang pohon ambon besar yang rindang di pinggir jalan Padukuhan utama.

“Ketiga orang yang dipanggil kakang dan paman oleh Mahesa Amping pastilah orang-orang yang berilmu tinggi”, berkata Ki Amararaja kepada saudaranya Ki Demang.

“Sementara kita memperlakukannya sebatas tiga orang pelayan tuan pedagang kuda”, berkata Ki Demang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan tertawa merasa lucu telah dikelabui matanya.

“Bukankah dulu kita juga pernah dikelabui oleh Mahesa Amping dan Empu Dangka?”, berkata Ki Amararaja mengingatkan Ki Demang pada awal pertemuan mereka. Sementara itu matahari di atas cakrawala langit Kademangan Rendang terlihat sudah semakin surut tenggelam mengintip diujung bibir bumi. Pandangan mata tertahan oleh kabut yang terlihat telah turun menyelimuti Kademangan Rendang yang berada disalah satu lereng Gunung Agung.

Terlihat dua orang penunggang kuda telah keluar dari regol gerbang Kademangan Rendang. Mereka adalah Mahesa Amping dan Kebo Arema yang akan melakukan perjalanan menuju Pura Besakih. Jarak dari Kademangan Rendang menuju Pura Besakih memang tidk terlalu jauh, dan sudah ada jalan setapak sehingga memudahkan perjalanan.

Sementara itu sang senja perlahan surut menyeluruk masuk keperaduannya manakala sang malam datang berkuasa diatas tahta singgasana waktu. Dinaungi hutan malam serta cahaya rembulan, Mahesa Amping dan Kebo Arema telah sampai mendekati Pura Besakih dari tempat yang tersembunyi.

“Pura yang indah”, berkata Mahesa Amping memandang Pura Besakih dari jauh dibawah cahaya rembulan yang tengah bergelantung diatas langit malam.

“Pura yang megah diantara pura yang pernah kulihat”, berkata Kebo Arema.

“Mari kita melihat lebih dekat lagi”, berkata Mahesa Amping sambil menambatkan dan menyembunyikan kudanya diikuti oleh Kebo Arema. Terlihat Mahesa Amping dan kebo Arema berjalan mengelilingi Pura Besakih dikegelapan malam.

“Sepertinya pura ini dibangun sebagai sebuah benteng pertahanan yang kuat”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping setelah berkeliling mengamati setiap sisinya.

“Darimana pun kita mendekati, akan menjadi umpan hujan panah”, berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema yang mengamati bangunan pura yang berdiri diatas sebuah tanah berundak yang tinggi berujung sebuah jurang yang diketahuinya sebuah jalan untuk sampai ke puncak kawah Gunung Agung.

“Tapi tidak di kegelapan malam”, berkata Kebo Arema yang telah menemukan jalan untuk melakukan sebuah penyerangan.

“Diiringi sebuah kekacauan kecil dari para penyusup”, berkata Mahesa Amping melengkapi siasat Kebo Arema.

“Kurasa kita sudah menemukan jalannya”, berkata Kebo Arema sambil memberi tanda untuk meninggalkan Pura Besakih.

Terlihat mereka kembali ke tempat dimana kuda-kuda mereka disembunyikan. Dibawah kegelapan hutan malam mereka berjalan menjauhi Pura Besakih seperti dua srigala hitam menyusup menghilang di kegelapan malam. Dibawah malam yang sepi, mereka memacu kudanya berlari memecah udara dingin malam.

Akhirnya menjelang dini hari, mereka telah sampai di hutan tempat kediaman Ki Jaran Waha. Terlihat seorang pemuda diluar goa tengah mengumpulkan beberapa ranting kering.

“Aku akan membangunkan Ki Jaran Waha”, berkata seorang pemuda itu yang langsung masuk kedalam goa.

Tidak lama kemudian Ki Jaran Waha terlihat keluar dari dalam goanya. “Selamat datang wahai saudaraku”, berkata Ki Jaran menyambut kedatangan mereka penuh kegembiraan.

Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, Mahesa Amping langsung menyampaikan tujuannya datang menemui Ki Jaran Waha.

“Besok pagi aku dan para pengikutku sudah ada di Kademangan Rendang”, berkata Ki Jaran Waha memastikan.

“Terima kasih, aku selalu menjadi seorang saudara yang sering merepotkan Ki Jaran Waha”, berkata  Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.

“Kebetulan aku senang direpotkan oleh saudaraku sendiri”, berkata Ki Jaran Waha.

Sementara itu dari dalam goa muncul pemuda pelayan Ki Jaran Waha membawa makanan dan minuman hangat.

“Aku yakin sepanjang malam kuda dan perut kalian belum terisi apapun”, berkata Ki Jaran Waha menawarkan tamunya menikmati sarapan pagi yang dibawa oleh pelayannya.

“Sepanjang malam kami berjalan tanpa berhenti”, berkata Mahesa Amping sambil mengambil sepotong gendruk bakar.

“Gendruk yang paling enak yang pernah kurasakan”, berkata Kebo Arema sambil mengambil potongan gendruk yang kedua.

“Apapun tersedia disini dan aku merasa jadi orang terkaya di hutan ini”, berkata Ki Jaran sambil tertawa menampakkan sebaris giginya yang putih dan rata. “Orang kaya adalah yang tidak punya keinginan apapun, tapi memiliki semua yang dinginkan”, berkata Kebo Arema ikut tertawa.

Akhirnya setelah merasa cukup beristirahat, Mahesa Amping dan Kebo Arema bermaksut untuk pamit diri.

“Besok pagi kita bertemu kembali di Kademangan Rendang”, berkata Ki Jaran Waha ketika melepas tamunya kembali ke Kademangan Rendang.

Sementara itu matahari pagi bersinar terlihat begitu cerah menyambut Mahesa Amping dan Kebo Arema keluar dari hutan tempat kediaman Ki jaran Waha.

Dan jarak mereka dengan hutan itu pun akhirnya semakin menjauh.

Mahesa Amping dan Kebo Arema terlihat memacu kudanya berlari diatas jalan tanah rata. Baru menjelang senja sudah hampir tergelincir mereka terlihat memasuki sebuah gapura pasar Kademangan Rendang yang sudah menjadi begitu sepi.

“Kupikir kalian tidak akan datang”, berkata seorang petugas sandi yang ternyata masih setia menunggu.

Terlihat mereka memasuki sebuah kedai yang masih buka.

“Sebenarnya kami ingin tutup, tapi kalau cuma minuman hangat kami masih dapat menyediakan”, berkata pemilik kedai itu yang langsung masuk kedalam.

Tidak lama kemudian pemilik kedai itu sudah datang kembali sambil membawa minuman hangat.

“Pasukan induk hari ini sudah bergeser ke lumbung kedua”, berkata petugas sandi itu menyampaikan beritanya. “Sasaran hanya dapat didekati dimalam hari”, berkata Mahesa Amping yang menjelaskan keadaan Pura Besakih yang berada di lereng gunung.

“Besok kami mencoba menyusup ke sarang lawan”, berkata Kebo Arema kepada petugas sandi itu.

“Sebuah usaha yang sangat berbahaya”, berkata petugas sandi itu setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap apa yang akan dilakukan oleh para penyusup di dalam sarang lawan.

“Pasukan induk harus menunggu waktu yang tepat untuk melakukan penyerbuan”, berkata Kebo Arema ikut memberikan penjelasannya.

Sementara itu pemilik kedai terlihat membawa pelita yang diletakkannya didepan kedai, diluar kedai suasana memang sudah menjadi gelap.

“Tetaplah kalian berbincang, kedai ini tidak pernah kututup karena aku tidur di kedai ini”, berkata pemilik kedai itu tidak keberatan mereka masih berbincang di dalam kedai.

“Terima kasih Pak Tua, kebetulan kami sudah selesai dan akan kembali ke rumah”, berkata petugas sandi itu mewakili Mahesa Amping dan Kebo Arema pamit kepada pemilik kedai itu.

Terlihat Mahesa Amping dan Kebo Arema sudah berada di jalan padukuhan utama mendekati rumah kediaman Ki Demang.

“Pasti kalian sangat lelah setelah melakukan perjalanan panjang”, berkata Ki Demang menyambut kedatangan mereka diatas pendapa rumahnya bersama Ki Amaraja. “Kami akan bersih-bersih dulu”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang yang langsung segera ke Pakiwan diikuti oleh Kebo Arema.

Udara malam di Kademangan Rendang cukup dingin, dibawah cahaya pelita yang tergantung di sudut tiang pendapa terlihat empat orang tengah berbincangbincang.

“Sekitar lima puluh orang berkumpul di Kademangan Rendang, apakah tidak menimbulkan banyak pertanyaan?”, berkata Mahesa Amping memikirkan hari esok dimana lima puluh orang akan bertemu dan berkumpul di Kademangan Rendang.

“Kekhawatiranmu cukup beralasan”, berkata Ki Demang ikut memikirkannya.

“Kita belokkan mereka ke hutan adat di ujung Padukuhan Bacang”, berkata Ki Amararaja mengusulkan.

“Aku setuju, mereka tidak perlu berkumpul di Kademangan ini, dari hutan adat dapat langsung ke Pura Besakih”,berkata Ki Demang menyetujui usulan Ki Amararaja.

“Apapun masalahnya, bila dipikirkan bersama akan menemukan jalan keluarnya”, berkata Kebo Arema ikut menyetujui rencana itu.

Sementara itu sang malam masih berdiri diatas roda waktu yang terus berputar. Udara dingin kadang menyergap kulit tubuh bersama semilir angin malam datang dan pergi diatas pendapa rumah Ki Demang.

“Mari kita beristirahat, angin diluar sudah begitu dingin”, berkata Ki Demang mengajak semua masuk kedalam untuk beristirahat. Sesaat kemudian, suasana pendapa rumah Ki Demang sudah terlihat lengang diterangi cahaya temaram dari pelita yang menggantung di sudut tiang pendapa.

Turun lewat anak tangga pendapa, suasana halaman rumah Ki Demang lebih lengang lagi, sinar cahaya oncor yang ada dipinggir regol pintu pagar hanya mampu menerangi kayu regol dan sedikit pagar batu.

Sementara itu jalan tanah yang melintasi rumah kediaman Ki Demang sudah tidak dapat terlihat tertutup seluruhnya oleh kegelapan malam. Jalan tanah itu begitu lengang, sepi dan gelap.

Malam yang lengang, sepi dan gelap serta udara dingin berkabut telah menyelimuti Kademangan Rendang sepanjang malam. Semua orang sudah lama tertidur terlelap menarik kaki dan kepalanya lebih rapat lagi masuk kedalam kain sarungnya.

Perlahan sang malam akhirnya bergeser semakin menjauh pergi ke balik bumi lain digantikan kehadiran sang pagi yang ditandai dengan suara ayam jantan yang sayup terdengar jauh dan semakin lama semakin jelas keras saling bersahut.

Dipagi yang bening itu, jalan padukuhan utama sudah mulai dilewati satu dua orang, mungkin satu dua orang pedagang yang berjalan menuju ke pasar.

Sekumpulan burung camar terbang melintas diatas halaman rumah Ki Demang yang sudah nampak terang.

“Udara pagi di Kademangan ini begitu sejuk”, berkata Kebo Arema diatas pendapa sambil memandang seekor ayam jago yang tengah mengejar seekor anak ayam jantan muda yang baru disapih oleh induknya. “Biarlah aku bersama Ki Amararaja menanti disini , mungkin tidak semua orang lewat jalan simpang ujung Padukuhan Bacang”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.

“Baiklah, aku dan Ki Demang yang berangkat”, berkata Mahesa Amping sambil berdiri dan melangkah menuruni anak tangga pendapa diiringi Ki Demang dibelakangnya.

Terlihat Mahesa Amping bersama Ki Demang tengah berjalan di jalan Padukuhan utama menuju Padukuhan Bacang. Beberapa orang menyapa Ki Demang.

“Ada sedikit keperluan ke Padukuhan Bacang”, berkata Ki Demang sekedar menjawab dan memenuhi beberapa orang yang menyapa dan ingin tahu ada keperluan apa Ki Demang sepagi itu sudah berkeliling.

“Melihat ladang Di Padukuhan Bacang”, berkata lagi Ki Demang asal menjawab kepada beberapa orang yang tengah menebang serumpun bambu dipinggir jalan yang menghambat saluran air.

Akhirnya Mahesa Amping dan Ki Demang sudah berada di persimpangan jalan di ujung Padukuhan Bacang, sebuah Padukuhan yang berada di ujung utara dan berbatasan dengan sebuah hutan adat. Jalan simpang di ujung Padukuhan itu memang masih sepi, belum banyak orang yang melewatinya. Maka yang ditunggu Mahesa Amping dan Ki Demang ternyata mulai berdatangan. Mereka berjalan terpisah.

“Teruslah kalian berjalan kearah hutan seberang itu, tunggulah kami disana”, berkata mahesa Amping kepada tiga orang prajurit yang datang pertama kali. Begitulah Mahesa Amping mengarahkan pasukannya ke hutan adat. “Hampir semua pasukanku sudah masuk di Hutan Adat”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang.

“Artinya masih ada beberapa orang yang  masuk lewat jalan lain langsung ke rumahku”, berkata Ki Demang memperkirakan.

“Ada Ki Amararaja dan Paman Kebo Arema disana”, berkata Mahesa Amping.

Apa yang dikhawatirkan oleh Ki Demang ternyata menjadi kenyataan. Beberapa orang ternyata memang lewat jalan lain, diantaranya Ki Jaran Waha sendiri bersama para pengikutnya.

“Selamat datang Ki Jaran Waha”, berkata Kebo Arema turun dari pendapa menyambut kedatangan Ki Jaran Waha bersama tiga orang pengikutnya yang sudah masuk ke halaman rumah Ki Demang.

Dengan singkat Kebo Arema menjelaskan bahwa tempat berkumpulnya berada di hutan adat.

“Aku tahu jalan menuju ke hutan itu, biarlah salah seorang diantara kami mundur kebelakang untuk memberitahukan kawan-kawannya yang masih ada di perjalanan”, berkata Ki Jaran Waha yang langsung memerintahkan salah seorang pengikutnya mundur kembali kebelakang.

“Kami akan segera menyusul”, berkata Kebo Arema kepada Ki Jaran Waha.

Akhirnya tidak terasa semua orang yang ditunggu sudah berada di hutan adat. Termasuk Ki Amararaja dan Kebo Arema yang datang menyusul. “Ingat bahwa kita adalah orang-orang dari Kademangan Rendang”, berkata Mahesa Amping mengingatkan.

“Petani yang baru belajar memegang pedang”, berkata Ki Jaran Waha menambahkan membuat semua merasa geli mendengarnya.

Sementara itu matahari sudah terlihat merayap naik di hutan itu.

“Mari kita berangkat”, berkata Mahesa Amping dengan suara lantang.

Maka berjalanlah rombongan itu keluar dari hutan adat itu menuju Pura Besakih. Terlihat rombongan itu seperti semut berjejer menyusuri jalan setapak yang cukup keras sering dilalui orang manakala berjalan menuju Pura Besakih.

“Pura Besakih sudah terlihat”, berkata salah seorang prajurit yang melihat ujung meru berundak sebelas yang sudah terlihat dari jauh.

Akhirnya mereka telah sampai di puncak sebuah  bukit tempat dimana bangunan pura itu berdiri. Dan rombongan itu terlihat berhenti di muka sebuah tangga yang tinggi menuju pintu gerbang Pura Besakih.

Dari atas rombongan itu memang sudah terlihat, dua orang petugas pengintai telah melihat mereka.

“Periksa siapakah mereka yang baru datang itu”, berkata seorang yang terlihat penuh wibawa ketika menerima laporan dari petugas pengintai.

Maka terlihat seorang penjaga Pura tengah menuruni anak tangga yang tinggi itu tempat satu-satu jalan menuju Pura Besakih. “Siapakah pimpinan kalian?”, bertanya penjaga itu ketika sudah berada di hadapan rombongan Mahesa Amping.

“Aku Demang Amararatu membawa lima puluh orang Kademangan Rendang untuk berbakti”, berkata Ki Demang kepada penjaga itu.

“Bakti kalian diterima oleh Penguasa Pura Besakih”, berkata penjaga itu sambil memberi tanda kepada Ki Demang untuk membawa rombongannya naik ke tangga seribu.

Satu persatu rombongan itu menaiki anak tangga seribu dan akhirnya sampai satu persatu melewati lawang gapura.

“Tunggulah kalian disini”, berkata penjaga itu meminta rombongan menunggu di Bale Pelataran tamu yang berhadapan dengan sebuah anak tangga batu yang tidak lebih tinggi dari tangga seribu.

Terlihat semua rombongan duduk bersimpuh penuh hikmat mencontoh sikap Ki Demang. Mahesa Amping memperhatikan beberapa orang memantau keadaah diluar Pura, sementara itu pasukan panah terlihat bersembunyi disepanjang pagar batu dengan busur dan anak panah yang siap sedia.

“Hujan panah akan melumatkan siapapun yang datang mendekat”,berkata Mahesa Amping dalam hati.

Akhirnya seorang penjaga datang bersama dengan seorang yang terlihat sepertinya atasannya.

“Aku Demang Amararatu membawa lima puluh orang Kademangan Rendang untuk berbakti”, berkata Ki Demang sambil menjura penuh hormat sepertinya sudah terbiasa datang ke Pura Besakih. “Bakti kalian diterima oleh Penguasa Pura Besakih”, berkata orang yang bersama penjaga itu sambil memberi tanda kepada Ki Demang untuk membawa rombongannya masuk ke lawang Pura lebih dalam lagi.

Akhirnya rombongan dari Kademangan Rendang itu telah sampai di puncak tanah yang lapang.

“Aku Jero Mangku Sanga, mulai saat ini akulah pimpinan kalian selama di Pura Besakih ini”, berkata orang itu yang mengaku sebagai Jero Mangku Sanga dengan suara yang keras dan parau.

Terlihat seorang yang lain datang mendekati Jero Mangku Sanga itu.

“Aku perlu sepuluh orang petugas untuk membantu di dapur umum”, berkata orang itu.

“Aku akan memilih diantara mereka”, berkata Jero Mangku Sanga sambil memeriksa satu persatu rombongan dari Kademangan Rendang.

“Pak tua, sebaiknya kamu keluar dari rombongan ini”, berkata Jero Mangku Sanga kepada Ki Amararaja.

Maka terlihat Ki Amararaja keluar misahkan diri dari rombongannya.

“Orang setua kamu pantasnya di dapur umum”, berkata Jero Mangku Sanga kepada Ki Jaran Waha.

Terlihat Ki Jaran Waha dengan tanpa menyanggah apapun ikut memisahkan diri mendekati Ki Amararaja.

Selanjutnya Jero mangku Sanga memeriksa satu persatu orang-orang dari Kademangan Rendang yang sebenar adalah para penyusup.

Akhirnya Jero Mangku Sanga dapat memilih delapan orang lagi yang kesemuanya adalah para pengikut Ki Jaran Waha yang umumnya adalah orang-orang yang berilmu cukup tinggi, pengikut papan lapis atas yang setia yang dari segi usia memang sudah tidak dapat dikatakan sebagai pemuda lagi.

“Bawalah kesepuluh orang ini bersamamu”, berkata Jero mangku Sangan kepada kawannya.

Maka terlihat kawan Jero Mangku Sanga membawa kesepuluh orang dari rombongan yang akan ditugaskan sebagai pembantu juru masak di dapur umum.

“Menjelang senja kalian berkumpul kembali disini, Raja Adidewalancana berkenan memberikan wejangan”, berkata Jero Mangku Sanga sambil menunjukkan sebuah barak yang kosong untuk mereka beristirahat.

“Maaf, apakah aku sudah diperbolehkan kembali ke Kademanganku”, bertanya Ki Demang kepada Jero Mangku Sanga.

“Penguasa Pura Besakih tidak akan melupakan baktimu, silahkan kamu kembali”, berkata Jero Mangku Sanga kepada Ki Demang sambil melangkah meninggalkan mereka.

Sebelum berangkat Ki Demang menghampiri Mahesa Amping untuk pamit diri.

“Buatlah hubungan kepetugas sandi di Pasar Kademangan”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang sambil memberikan beberapa tanda rahasia.

“Dari sini aku akan langsung ke pasar Kademangan”, berkata Ki Demang kepada Mahesa Amping.

Terlihat Ki Demang melangkahkan kakinya turun menapaki tangga pura Besakih, tidak seorang pun menghiraukan lelaki tua itu keluar dari Pura Besakih. Sementara itu waktu sepertinya terus perlahan berputar searah perjalanan matahari yang semakin turun menggelantung di barat cakrawala langit.

“Berbanjarlah sesuai tempat asal kalian”, berkata  Jero Mangku Sanga mengumpulkan pasukannya yang bersal dari beberapa Kademangan yang berada disekitar lereng Gunung Agung.

Terlihat orang-orang yang berasal dari Kademangan itu berbanjar sesuai tempat asal mereka bergabung dengan sekitar tujuh ratus orang prajurit bayaran yang terlihat dengan bahasa dan pakaian mereka.

Ternyata Jero Mangku Sanga bukan seorang pemimpin tunggal, bersamanya ada delapan orang yang berpakaian sebagaimana Jero Mangku Sanga kenakan. Terlihat berada di kesatuannya masing-masing.

Suasana menjadi sunyi dan lengang manakala terlihat sebuah iring-iringan pengawal berjalan bersama seorang yang memakai tahta dikepalanya. Disampingnya berjalan bersama seorang yang berjubah pendeta.

“Pendeta Guru Dewa Palaguna!!”, berkata Mahesa Amping dalam hati mengenal orang berjubah itu. Diamdiam bersyukur berada dibagian tengah dari rombongannya.

“Selamat datang para putra Kademangan, para putra lereng Gunung Agung. Bakti kalian telah diterima oleh para dewa yang menjaga kawasan suci ini”, berkata Raja Adidewalancana dengan suara yang tinggi yang menandakan sebuah kekuatan tenaga dalam yang kuat yang dimiliki.

“Selamat datang juga kepada para lelaki pemberani dari berbagai penjuru nagari”, berkata kembali Raja Adidewalancana yang disambut gemuruh tujuh ratus prajurit bayaran dengan penuh kebanggaan disebut sebagai para lelaki pemberani.

“Hari ini para prajurit Singasari dengan segala keangkuhannya akan merebut kekuasaan pura Besakih milik para dewa. Mereka akan berhadapan dengan para dewa. Keangkuhan mereka akan dihancurkan oleh para dewa”, berkata Raja Adidewalancana dengan suara penuh semangat. “Para dewata telah berdiri dibelakang kita !!”, berkata kembali Raja Adidewalancana yang disambut oleh gemuruh suara semua orang yang mendengarnya.

Sementara itu di waktu yang sama Ki Demang telah berada di Paras Kademangan yang sudah sepi. Hanya ada beberapa kedai yang masih buka, itu pun karena pemiliknya tinggal dan tidur disitu.

“Aku kawan Rangga Mahesa Amping, apakah kamu yang bernama Sukra?”, berkata Ki Demang kepada seorang lelaki yang berdiri didepan sebuah kedai dengan tanda-tanda tertentu yang sama sesuai yang ditunjukkan oleh Mahesa Amping kepadanya.

“Benar, namaku Sukra”, berkata orang itu yang tidak lain adalah petugas sandi.

Ki Demang langsung menyampaikan berita bahwa Mahesa Amping dan pasukannya telah masuk menyusup ke sarang lawan.

“Aku sendiri yang mengantar mereka sampai ke Pura Besakih”, berkata Ki Demang meyakinkan.

“Hari ini pasukan induk telah bergerak kembali mendekati sasaran”, berkata petugas sandi itu menyampaikan berita terakhir. “Untuk saat ini hubungan kita terputus, Pura Besakih tidak mudah didekati pada saat seperti ini”, berkata Ki Demang kepada petugas sandi itu.

“Benar, untuk saat ini hubungan kita terputus”, berkata petugas sandi itu menyayangkan hal terputusnya berita antara kelompok Mahesa Amping dan pasukan induk.

“Mudah-mudahan besok ada perkembangan baru, aku akan datang lagi menemuimu”, berkata Ki Demang.

“Aku disini dipasar ini sepanjang hari”, berkata petugas sandi itu.

“Sebagai apa kamu dikedai ini?”, berkata Ki Demang kepada petugas sandi itu.

“Pemilik kedai ini menerima diriku sebagai pembantunya”, berkata Sukra dengan wajah penuh senyum.

“Baik-baiklah kamu bekerja”, berkata Ki Demang kepada Sukra ketika akan melangkah pergi.

Sementara itu di Pura Besakih kunjungan Raja Adidewalancana diakhiri dengan upacara restu dewa yang dilakukan oleh Pendeta Guru Dewa Palaguna menyiram air kelapa kesegala penjuru arah.

Setelah upacara itu berakhir, iring-iringan Raja Adidewalancana berkenan meninggalkan altar  kembali ke Pura Dalem Astana.

Semua pasukan telah diperintahkan kembali ke baraknya masing-masing untuk beristirahat.

Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Ki Demang, Pura Besakih telah memperketat penjagaannya. Siapapun tidak dapat leluasa bergerak masuk dan keluar Pura Besakih saat itu.

“Malam ini aku ingin menghirup udara diluar Pura Besakih bersamamu”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang mendapat tugas membawa ransum untuk semua pasukan.

“Aku akan menjemputmu”, berkata Ki jaran Waha penuh kepastian.

Maka menjelang malam di Pura Besakih, disaat semua orang tertidur nyenyak . Terlihat dua bayangan melesat terbang begitu cepatnya kesebuah tepian jurang. Sebuah tempat yang tidak ada penjagaan sama sekali karena menurut perkiraan tidak ada seorangpun yang akan mengorbankan dirinya terjun kejurang itu.

Tapi ternyata kedua bayangan itu terlihat telah terjun ke bawah jurang yang terjal itu. Siapapun akan terkesima bahwa kedua bayangan itu tidak langsung terjun meluncur kebawah, tapi terlihat berpijak beberapa kali di beberapa tonjolan batu karang dan akhirnya seperti melayang terbang turun kebawah dengan begitu ringannya.

Akhirnya kedua bayangan itu sudah tidak terlihat lagi, telah menghilang ditelan kelamnya malam.

Sementara itu di Kademangan Rendang, Ki Demang malam itu masih juga belum dapat memejamkan matanya. Meski sudah berbaring diperaduan, pikirannya selalu tertuju kepada pasukan Mahesa Amping yang saat itu telah masuk menyusup di Pura Besakih.

“Apa jadinya pasukan kecil itu seandainya kehadiran mereka tercium oleh pihak lawan”, berkata Ki Demang dalam hati sambil berbaring diperaduannya. Namun telinganya yang tajam tiba-tiba saja mendengar suara burung Prenjak berbunyi jelas sekali diluar biliknya.

“Mahesa Amping?”, berkata dalam hati Ki Demang ingat akan salah satu isyarat rahasia yang telah disampaikan oleh Mahesa Amping.

“Aku akan keluar sebentar Nyi”, berkata Ki Demang kepada Nyi Demang yang terbangun melihat Ki Demang turun dari peraduannya.

Ketika Ki Demang membuka pintu utama, maka dilihatnya sudah ada dua orang duduk di pendapa rumahnya.

“Ternyata kamu Mahesa Amping”, berkata Ki  Demang kepada salah satu dari kedua orang yang ada dipendapa rumahnya yang tidak lain adalah Mahesa Amping bersama Ki Jaran Waha.

“Aku tidak lama Ki Demang, hanya ingin menyampaikan berita kepada pasukan induk”, berkata Mahesa Amping sambil menyampaikan dengan rinci tentang gerakan mereka besok malam.

“Tadi sore aku sudah bertemu dengan petugas sandimu, beritanya pasukan induk sudah bergerak mendekati Pura Besakih”, berkata Ki Demang kepada Mahesa Amping.

“Maaf, kalian belum kusediakan minuman”, berkata Ki Demang ketika Mahesa Amping dan Ki Jaran Waha mohon pamit diri kembali ke Pura Besakih.

“Terima kasih Ki Demang, Nyi Demang lama menunggu didalam”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang langsung melangkah menuruni anak tangga pendapa. Diiringi pandang mata Ki Demang yang dalam malam tersamar masih dapat melihat Mahesa Amping dan Ki jaran Waha tengah berjalan di halaman rumahnya. Tapi keduanya tiba-tiba saja melesat seperti burung camar laut terbang melompati pagar batu halaman rumahnya dan menghilang ditelan kegelapan malam.

Ki Dalang terlihat menarik nafas dalam mengagumi kedua tamunya yang ternyata memiliki ilmu yang mumpuni, dapat berlari cepat seperti angin dan terbang cepat layaknya burung camar laut menangkap ikan dipermukaan air.

Ketika masuk ke biliknya, Ki Demang tidak mengatakan apapun kepada Nyi Demang yang ternyata sudah tertidur.

Sementara itu di Pura Besakih, kembali dua sosok bayangan melesat dari tepian jurang dan berendap di kegelapan malam yang berkabut, akhirnya kedua bayangan itu telah menyusup masuk ke sebuah barak tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali para penghuni barak itu sendiri yang tidak tidur menunggu dan menjaga kedatangan mereka.

“Pasukan induk sudah bergerak mendekati Pura Besakih, besok malam kita bergerak bersama menguasai Pura Besakih ini”, berkata Mahesa Amping kepada kawan-kawannya.

“Saatnya kita beristirahat”, berkata Ki Jaran Waha yang terlihat merapatkan kakinya didalam kain sarungnya siap-siap untuk tidur.

Terlihat dua orang petugas ronda malam melewati barak mereka, maka perlahan mereka merebahkan diri berbaring layaknya orang yang sudah lama tertidur. Tapi ketika penjaga itu telah menjauh melewati barak mereka, tidak ada satupun yang bangun. Ternyata udara yang dingin dan berkabut membuat mereka semakin merapatkan kaki dibalik kain sarungnya, dan tertidur melepaskan kepenatan dan kelelahan berharap besok pagi terbangun dengan badan yang kembali segar.

Pagi itu Mahesa Amping telah terbangun diantara hiruk pikuk beberapa orang yang terlihat berlalu lalang sesuai kepentingannya masing-masing diatas puncak Pura Besakih tempat dimana barak-barak darurat telah didirikan menampung pasukan yang cukup besar sekitar seribu orang.

“Siapkan semua orangmu, nanti malam kita bergerak”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha di pagi itu yang tengah mengantar ransum untuk semua orang di barak-barak.

“Kami akan melakukannya dengan cara kami”, berkata Ki Jaran Waha dengan sebuah senyumnya.

***

Sementara itu di Pura Dalem Astana, Raja Adidewalancana tengah mendapat laporan bahwa pasukan Singasari telah berada di Kademangan Rendang.

“Mereka tidak akan mampu memasuki Pura Besakih”, berkata Raja Adidewalancana dengan wajah penuh keyakinan kepada pembantu setianya bernama Jero Mangku Sapta

“Pasukan pemanah telah kami siagakan”, berkata Jero Mangku Sapta menjelaskan beberapa hal yang telah mereka persiapkan.”kami juga telah memenuhi hutan dengan beberapa ranting kering tersembunyi yang siap membakar mereka”, berkata kembali Jero mangku Sapta kepada Raja Adidewalancana.

“Para Dewa akan memanggang tubuh mereka sampai hangus, itulah hukuman bagi para penyerang Pura Besakih”, berkata Raja Adidewalancana dengan penuh keyakinan bahwa Dewa Perang akan berpihak kepadanya.

Ternyata keyakinan Raja Adidewalancana cukup beralasan, disamping lokasi Pura Besakih yang mirip dengan sebuah benteng yang kokoh, juga kecerdikan mereka yang telah membuat sebuah jebakan besar, sebuah jebakan yang sangat berbahaya siapapun yang akan menyerang Pura Besakih. Beberapa ranting kering telah mereka tempatkan diberbagai tempat tersembunyi siap menjadikan hutan sekeliling Pura Besakih sebagai lautan api.

Sementara itu sebagaimana yang telah diketahui bersama oleh pihak dari Pura Besakih, ternyata pasukan induk dari Singasari yang dipimpin oleh seorang Senapati muda Mahesa Bungalan memang telah sampai di Kademangan Rendang. Agar tidak mengganggu dan meresahkan warganya, pasukan induk itu telah membuat barak-barak darurat di luar Padukuhan di sebuah tempat yang cukup lapang yang cukup aman.

“Apakah aku berhadapan dengan Ki Demang Amararatu?”, berkata Mahesa Bungalan bersama dua orang perwiranya ketika datang ke rumah Ki Demang.

“Tuan tidak salah menyebutnya, itulah namaku sebenarnya”, berkata Ki Demang yang menemui Mahesa Bungalan di Pendapa rumahnya. “Terima kasih atas segala bantuan yang Ki Demang lakukan kepada kami”, berkata Mahesa Bungalan kepada Ki Demang.

“Semua yang aku lakukan semata-mata untuk kepentingan warga Balidwipa dimasa yang akan datang”, berkata Ki Demang

“Secara pribadi, aku sangat membenci peperangan dimanapun”, berkata Mahesa Bungalan membuka sebuah awal pembicaraan dengan sebuah nada suara yang halus.

Diam-diam Ki Demang mulai menyukai orang dihadapannya ini, seorang Senapati yang tidak menonjolkan kekuasaannya sebagaimana yang biasa dilihat dan ditemui dari beberapa pejabat Pura Besakih.

“Tapi kita harus melihat tujuan dari peperangan itu sendiri”, berkata Ki Demang menanggapi pembicaraan Mahesa Bungalan.

“Selama masih ada jalan selain peperangan, kita harus mengupayakannya”, berkata Mahesa Bungalan kepada Ki Demang.

“Masih adakah upaya menghindari peperangan ini?, sementara segelar sepapan pasukan Singasari sudah siap selangkah lagi”, berkata Ki Demang.

“Masih ada satu kesempatan, meminta Penguasa Pura Besakih menyerahkan diri”, berkata Mahesa Bungalan.

“Sebuah permintaan yang sangat mahal, aku belum yakin apakah Penguasa Pura Besakih dapat mengabulkannya”, berkata Ki Demang. “Tidak ada salahnya berupaya selama masih ada kesempatan”, berkata Mahesa Bungalan dengan suara yang datar penuh ketenangan.

“Tuan benar, sebuah upaya selama ada kesempatan”, berkata Ki Demang sepertinya ikut menyetujui.

“Hari ini kami sudah mengirim seorang utusan perdamaian itu”, berkata Mahesa Bungalan kepada Ki Demang.

“Aku berharap utusan itu kembali membawa sebuah kabar baik”, berkata Ki Demang.

“Kita mempunyai harapan yang sama”, berkata Mahesa Bungalan dengan wajah penuh senyum.

Diam-diam Ki Demang sangat mengagumi kepribadian Mahesa Bungalan yang sangat penuh ketenangan sepertinya tidak menghadapi sebuah urusan besar.

“Kita serahkan semua kepada Gusti Yang Maha Kuasa, Gusti Yang Maha Berkehendak. Kemarin, hari ini dan besok adalah urusannya, kita hanyalah sebuah wayang yang ada didalam genggamannya”, berkata Mahesa Bungalan seperti tahu apa yang ada didalam pikiran Ki Demang.

“Dengan pasrah berserah diri, jiwa dan pikiran kita menjadi jernih”, berkata Ki Demang menambahkan.

Sementara itu dari dalam Nyi Demang terlihat membawa beberapa makanan dan minuman.

“Silahkan dinikmati”, berkata Nyi Demang mempersilahkan tamu-tamunya kemudian  masuk kembali ke dalam rumahnya. Sambil mencoba menikmati hidangan yang disediakan, perbincanganpun berlanjut dalam berbagai macam perbincangan, mulai dari panen padi sampai dengan perdagangan kuda.

“Aku sangat menyukai kuda, bahkan pernah ada niat menjadi peternak kuda”, berkata Mahesa Bungalan.

“Sebuah niat yang baik, jauh dari sebuah peperangan”, berkata Ki Demang menambahkan.

Sementara itu ditempat berbeda, seorang utusan Singasari telah diterima di Pura Dalem Astana.

“Senapatimu telah mengirim rontal ini hanya untuk menghinaku”, berkata Raja Adidewalancana setelah membaca sebuah rontal yang dibawa oleh utusan itu.

“Berikan rontal ini kepada Senapatimu, katakan kepadanya bahwa Raja Adidewalancana tidak akan gentar menghadapi siapapun”, berkata Raja Adidewalancana setelah menulis rontal balasan.

“Hamba akan membawa pesan tuan”, berkata utusan itu sambil pamit diri untuk keluar dari Pura Besakih.

Terlihat utusan itu telah keluar dari Pura Besakih dengan berkuda langsung menuju Kademangan Rendang.

Jarak antara Pura Besakih dan Kademangan Rendang hanya sepenginangan, Sementara itu matahari dilangit cakrawala telah semakin merayap  naik mendekati puncaknya. Terlihat seorang prajurit berkuda tengah mendekati Kademangan Rendang langsung menuju pasukan induknya.

”Senapati Mahesa Bungalan tengah berada di  Rumah Ki Demang”, berkata seorang perwira atasan utusan itu memberitahukannya. “Aku akan menemuinya langsung”, berkata utusan itu kepada atasannya untuk menemui Senapati Mahesa Bungalan.

“Aku akan menugaskan seorang prajurit untuk menemanimu”, berkata perwira atasannya itu sambil memanggil seorang prajurit untuk menemani utusan itu kerumah Ki Demang.

Sementara itu dirumah Ki Demang terlihat Mahesa Bungalan dan dua orang perwiranya masih berada bersama Ki Demang diatas pendapa tengah berbincang berbagai hal. Ternyata Ki Demang adalah seorang yang pandai mengisi cerita dalam setiap perbincangan, terlihat kadang mereka tertawa bersama mendengar cerita dan tanggapan Ki Demang yang menggelikan.

“Akhirnya prajurit yang kita nantikan telah sampai”, berkata Mahesa Bungalan ketika melihat dua orang prajurit masuk dan melangkah di halaman Ki Demang.

“Aku membawa rontal Raja Adidewalancana untuk tuan”, berkata salah seorang prajurit itu setelah naik kependapa menemui Mahesa Bungalan.

“Terima kasih, kembalilah kalian ke pasukan induk”, berkata Mahesa Bungalan ketika telah menerima rontal yang diberikan oleh utusan itu.

=PURA BESAKIH MILIK PARA DEWA, SIAPAPUN YANG DATANG MENDEKAT SEBAGAI MUSUH AKAN TERBAKAR =

“Raja Adidewalancana bukan hanya yakin atas keberadaan Pura Besakih yang berujud sebagai benteng yang kuat, disekitar hutannya juga telah menyiapkan berbagai jebakan”, berkata Mahesa Amping setelah membaca langsung rontal yang ditulis oleh Raja Adidewalancana.

Mahesa Bungalan memberi kesempatan dua orang perwiranya dan Ki Demang untuk membaca rontal yang dikirim oleh Raja Adidewalancana.

“Tugaskan lima orang prajurit yang ahli dalam membaca jejak bersamamu untuk memeriksa keadaan sekitar hutan di Pura Besakih”, berkata Mahesa Bungalan kepada salah seorang perwiranya.

”Segera kami akan memeriksanya”, berkata salah seorang perwira yang ditugaskan untuk memeriksa keadaan hutan disekitar hutan Pura Besakih sambil pamit diri langsung ke pasukan induknya untuk membawa lima orang prajurit yang ahli didalam membaca berbagai jejak.

Sementara itu diam-diam Ki Demang mengagumi kecerdikan Senapati muda dihadapannya itu setelah membaca rontal dari Raja Adidewalancana.

“Ternyata Senapati muda ini telah memasang  dua kail bercabang bersama utusan perdamaiannya itu”, berkata Ki Demang dalam hati mengagumi kecerdikan Senapati muda dihadapannya itu.

“Mungkin kami terlalu lama mengganggu ketenangan Ki Demang”, berkata Mahesa Bungalan yang bermaksud untuk keluar dari rumah Ki Demang.

“Aku tidak merasa terganggu, bahkan kehadiran tuan Senapati telah banyak memberikan ketenangan di rumah ini”, berkata Ki Demang kepada Mahesa Bungalan.

“Terima kasih untuk hidangannya”, berkata Mahesa Bungalan bersama seorang perwiranya ketika telah turun dari pendapa rumah Ki Demang. Sementara itu diwaktu yang sama, Mahesa Amping dan pasukan kecilnya yang telah berada menyusup di Pura Besakih terlihat masih dibaraknya.

“Ransum siang telah siap”, berkata Ki Jaran Waha yang datang ke barak Mahesa Amping.

“Dalam kehidupan selanjutnya, mungki Ki Jaran Waha akan menjelma sebagai seorang juru masak”, berkata Mahesa Amping sambil menerima ransum besar dari Ki jaran Waha.

“Menurutku justru dalam kehidupanku sebelumnya, aku pernah menjadi seorang juru masak”, berkata Ki Jaran Waha sambil tersenyum sepertinya menikmati tugas yang diberikan atas dirinya sebagai juru masak di Pura Besakih.

“Kulihat kesiagaan di Pura Besakih sudah semakin ketat”, berkata Mahesa Amping yang diam-diam memantau keberadaan para prajurit disetiap tempat dalam setiap kesempatan.

“Tanganku menjadi tidak sabaran menanti saat malam”, berkata Ki Jaran Waha.

“Atau Ki Jaran Waha sudah bosan menjadi juru masak?”, bertanya Mahesa Amping menggoda.

Ki Jaran tidak langsung menjawab hanya melemparkan senyumnya dan langsung melangkah ke barak lain sambil membawa ransum untuk dibagikan.

Sementara itu diwaktu yang tidak begitu berbeda di Kademangan Rendang terlihat Mahesa Bungalan tengah menunggu laporan dari perwiranya yang saat itu telah ditugaskan memeriksa keadaan sekitar hutan Pura Besakih. Akhirnya menjelang saat matahari mulai turun ke barat memancarkan cahayanya yang menjadi semakin redup, perwira itu bersama kelima orang prajuritnya telah kembali ke Kademangan Rendang langsung menghadap Mahesa Bungalan.

“Yang tuan Senapati khawatirkan ternyata terbukti”, berkata perwira itu yang sudah datang menemui Mahesa Bungalan di barak khususnya.

“Apa yang kalian temui di hutan sekitar Pura Besakih itu ?”, bertanya Mahesa Bungalan kepada perwiranya.

“Mereka telah memasang ranjau api diberbagai tempat disekitar hutan itu”, berkata perwira itu. ”Kami telah memunahkannya, semoga tidak ada lagi yang tersisa”, berkata kembali perwira itu.

“Bagus, persiapkan dirimu dan pasukanmu, nanti malam kita bergerak melakukan penyerangan”, berkata Mahesa Bungalan kepada perwiranya itu.

Sementara itu waktupun terus bergeser, matahari senja sudah terlihat di cakrawala langit belahan barat menyinari bumi dengan cahaya yang semakin redup. Kabut perlahan telah mulai turun menyelimuti puncak Pura Besakih yang berada di tanah tinggi lereng Gunung Agung yang menjulang bagai raksasa hitam  menyanggah langit berdiri diatas bumi.

Langit senja pun akhirnya perlahan menghilang berganti kekelaman dan kegelapan malam. Udara malam yang dingin di puncak Pura Besakih terlihat menjadi begitu hening, beberapa orang terlihat sudah berada di baraknya masing-masing. Sementara itu jarak pandang sudah mulai terbatas, kabut begitu pekat menggulung puncak Pura Besakih. Disaat seperti itulah terlihat Ki Jaran Waha telah mempersiapkan dirinya duduk bersila sempurna memejamkan matanya. Sementara semua pengikutnya terlihat telah melakukan hal yang sama.

“Lindungilah mereka”, berkata Mahesa Amping kepada pasukannya yang tahu apa yang akan dilakukan Ki jaran Waha bersama semua pengikutnya.

“Aku mengajak Paman Sembaga melihat-lihat keadaan”, berkata Mahesa Amping kepada Sembaga.

Maka dibawah kabut yang pekat, terlihat Mahesa Amping dan Sembaga telah menyusup berendap diberbagai tempat mengamati persiapan lawan. Ternyata tidak satu pun tempat yang tidak dijaga oleh para pemantau. Bersama mereka terlihat pasukan pemanah yang telah siap dengan busur dan anak panahnya.

“Apakah Paman Sembaga merasakan semangat diri mulai surut dan rasa kantuk yang berat?”, bertanya Mahesa Amping kepada Sembaga di sebuah tempat yang terlindung oleh kegelapan malam.

“Apa yang kamu katakan sudah mulai menjangkiti diriku”, berkata Sembaga yang merasakan semangatnya seakan surut bersama rasa kantuk yang sangat berat.

“Ki Jaran Waha telah menyebarkan gendam keseluruh penghuni Pura Besakih”, berkata Mahesa Amping kepada Sembaga yang langsung menguatkan dirinya dengan memusatkan semua panca indera dan pikirannya kedalam pencitraan hati yang suci, mengheningkan rasa dan segala cipta.

“Ajian peluluh sukma”, berkata Mahesa Amping kepada Sembaga sambil tersenyum. “Ajian peluluh sukma!!”, berkata Dewa Palaguna dalam hati yang langsung melesat terbang memeriksa keadaan diluar.

Bukan main terkejutnya Dewa Palaguna  menyaksikan hampir semua orang yang ditugaskan memantau keadaan telah tertidur, juga para pasukan pemanahnya.

“Aku harus memusnahkan sumbernya”, berkata  Dewa Palaguna dalam hati mencoba mencari sumber kekuatan gendam yang kuat itu.

Belum sempat melangkah, Dewa Palaguna terperanjat melihat sebuah panah sanderan melesat kelangit malam seperti api terbang memecah kegelapan malam.

“Semoga pasukan induk melihatnya”, berkata  Mahesa Amping kepada Sembaga setelah melepas panah sanderan dari busurnya.

“Serang !!!!!”

Terdengar suara yang mengguntur dari kegelapan malam bersama dengan derap langkah kaki yang terlihat muncul berlari menuju ke arah tangga seribu yang terbentang tinggi.

“Kubunuh kalian semua!!!”, berkata Dewa Palaguna ketika sampai di puncak Pura Besakih bermaksud menemuai sumber ajian peluluh sukma itu berasal. Namun yang dihadapinya adalah sekumpulan pasukan kecil yang siap melindungi Ki Jaran Waha dan pengikutnya.

“Mereka bukan tandingan tuan pendeta”, Tiba-tiba saja Dewa Palaguna mendengar suara dari arah belakangnya. Bukan main terkejutnya Dewa Palaguna ketika melihat sesosok tubuh yang pernah dikenalnya yang tidak lain adalah Mahesa Amping yang tengah berdiri tersenyum memandangnya.

“Kita berjumpa kembali tuan pendeta”, berkata Mahesa Amping penuh percaya diri.

“Jangan terlalu percaya diri”, berkata Dewa Palaguna yang langsung menerjang ke arah Mahesa Amping dengan tongkatnya.

Mahesa Amping tidak membiarkan tongkat itu menyentuh tubuhnya, terlihat Mahesa Amping melenting kesamping dan balas menyerang Dewa Palaguna dengan tendangan yang meluncur tajam.

Ternyata Dewa Palaguna terlalu picik, mengetahui bahwa dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda dihadapannya itu yang diketahui mempunyai ilmu yang sangat mumpuni yang telah mengalahkan gurunya. Maka Dewa Palaguna bukan sekedar menghindar, tapi melenting jauh masuk mendekati Ki Jaran Waha yang tengah melepaskan ajian ilmunya.

Bukan main terkejutnya Mahesa Amping melihat Dewa Palaguna yang mencoba mendekati Ki Jaran Waha. Seorang prajurit yang menghadangnya langsung terjengkang tidak mampu menghentikannya.

Terlihat tangan Dewa Palaguna hanya tinggal beberapa jengkal lagi dari batok kepala Ki jaran Waha yang telah buta tuli tidak melihat dan mendengar apapun karena masih melepaskan ajian peluluh sukma bersama para pengikutnya.

Semua mata para pasukan yang ditugaskan melindungi Ki Jaran Waha dan pengikutnya itu seperti putus asa, tidak cukup bagi mereka melangkah menghentikan tangan Dewa Palaguna yang nyaris menghantam batok kepala Ki Jaran Waha.

Kebo Arema, Ki Amararaja, Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga juga tidak dapat berbuat apa-apa untuk menahan tangan licik Dewa Palaguna.

Jalan satu-satunya adalah terbang dan melesat seperti kilat. Tapi siapa yang punya sayap??

Namun belum lagi tangan Dewa Palaguna nyaris menghancurkan batok kepala Ki Jaran Waha, terdengar suara keras keluar dari mulut Dewa Palaguna menahan rasa sakit yang sangat.

Achhh !!!!

Terlihat tangan Dewa Palaguna tertahan dan tercium aroma sengit daging terbakar.

Ternyata Mahesa Amping telah melepaskan ilmu andalannya lewat sorot matanya telah menyambar tangan Dewa Palaguna. Seketika tangan itu terbakar terkena seleret cahaya yang terpancar dari sorot mata Mahesa Amping.

Ternyata suara desah menahan rasa sakit yang sangat itu telah membangunkan Ki Jaran Waha. Bukan main terkejutnya Ki Jaran Waha melihat Dewa Palaguna dengan tangan tertahan kearah kepalanya. Maka dengan diluar sadarnya sebagai seorang yang sudah berilmu tinggi tiba-tiba saja tangannya bergerak kearah tepat di dada Dewa Palaguna.

Bukk !!!!

Terdengan suara dada yang terhantam tangan yang dilambari kekuatan tenaga dalam yang sangat kuat dari dalam diri Ki jaran Waha yang terlepas begitu saja berawal dari keterkejutan yang sangat.

Pukulan itu memang sangat mematikan, terlihat tubuh Dewa Palaguna limbung terjengkang menimpa seorang pengikut Ki Jaran Waha yang terdekat.

Bersama dengan sadarnya Ki Jaran Waha, ajian peluluh sukmanya telah ikut habis.

Sementara itu setengah pasukan pimpinan Mahesa Bungalan telah meresap masuk ke Pura Besakih, bukan main terkejutnya pasukan pemanah yang baru terbangun dari tidurnya melihat pasukan lawan tengah mendekatinya.

“Lepaskan panah api”, berkata seorang pasukan pemanah yang ditugaskan untuk membakar hutan disekitar Pura Besakih.

Maka terlihatlah puluhan panah berapi melintas diudara langit malam yang gelap dan masuk kedalam hutan.

“Gila !!!, panah api kita tidak membakar apapun dihutan sana”, berkata seorang pemanah api yang melihat hutan didepannya tidak juga terbakar.

Ternyata mereka tidak tahu bahwa segala rantingranting kering yang mereka pasang sebagai bahan pencetus api kebakaran hutan itu telah dipunahkan oleh pasukan Singasari. Akibatnya tidak satupun panah api yang dapat membakar hutan.

Sementara itu para pasukan pemanah yang tengah terkejut dan baru tersadar dari tidurnya tidak ingin menjadi makanan pedang dari sejumlah prajurit Singasari yang semakin mendekat. Terlihat beberapa orang pasukan pemanah itu telah melepaskan anak panahnya kearah pasukan Singasari. Ada beberapa anak panah yang tepat menembus tubuh lawan, tapi pasukan lawan yang datang seperti ombak itu terus maju menerjang, maka tanpa ampun lagi pasukan pemanah itu termakan tebasan pedang yang tajam berkilau. Darah terlihat memuncrat dari beberapa tubuh yang terkena kibasan pedang. Darah terlihat memercik menodai dindingdinding batu Pura Besakih. Dan darah terlihat sudah mengalir merambas tanah dan batu lantai di Pura Besakih.

Sementara itu dipuncak pura besakih, telah terjadi pertempuran yang kurang seimbang antara pasukan Pura Besakih yang baru tersadar dari rasa kantuknya dengan pasukan kecil Mahesa Amping yang telah menghadang mereka turun menjaga pintu tangga seribu yang tengah dimasuki para pasukan Singasari.

Terlihat pasukan kecil Mahesa Amping dengan gagah berani menyumbat pintu pergola menuju arah bawah. Ternyata tidak mudah menembus pasukan kecil Mahesa Amping yang telah membentuk lingkaran gelar perang Cakra Buyha, maka siapapun yang datang mendekat akan hancur binasa.

Kekuatan pasukan kecil Mahesa Amping sempat memang membuat keputus asaan beberapa orang kepercayaan yang setia kepada Raja Adidewalancana. Akhirnya mereka memerintahkan sebagian pasukannya melewati dinding pagar batu.

Terlihat beberapa orang sudah berhasil melompati dinding batu, tapi pasukan Singasari hampir dapat dipastikan telah seluruhnya merembes masuk siap menghadapi lawan yang akan datang mendekat. Bahkan sebagian pasukan telah mencapai puncak Pura Besakih datang membantu pasukan kecil Mahesa Amping yang tetap bertahan menutup jalan keluar.

Maka terlihatlah sebuah pertempuran di berbagai tempat, mayat sudah mulai terlihat bergelimpangan di berbagai tempat dari kedua belah pihak, dan darah pun terlihat mengalir membasahi lantai Pura Besakih itu.

“Buka gelar barisan kalian, biarkan pasukan induk memasuki medan perang”, berkata Mahesa Amping kepada pasukannya ketika melihat pasukan induk sudah mulai merembes masuk.

Maka terjadilah pertempuran brubuh diatas puncak Pura Besakih antara pasukan Singasari yang sudah mulai datang bergelombang memasuki puncak pura Besakih dengan orang-orang yang sebagian besar adalah para prajurit bayaran.

Ternyata tidak mudah menghadapi pasukan Singasari yang kuat. Satu persatu pasukan lawan mulai berguguran, pasukan singasari ternyata begitu tangguh. Dimana sebagian prajuritnya adalah orang-orang yang sudah memiliki pengalaman bertempur yang matang. Meski mereka bertempur menghadapi perang brubuh, kedisiplinan mereka masih tetap dipertahankan, mereka masih tetap dalam kelompoknya untuk saling membantu.

Pasukan Pura Besakih sudah semakin cepat menyusut manakala terlihat dua buah cambuk menyapu siapapun yang datang mendekat.

Gelegar !!!!

Terdengar suara cambuk yang dihentakkan keudara menimbulkan suara seperti guntur dilangit malam menyiutkan dan menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Ternyata suara cambuk itu berasal dari seorang lelaki yang sudah cukup berumur yang tidak lain adalah Kebo Arema. Tidak ada sutupun gerakannya yang luput dari sasaran. Ujung-ujung cambuknya telah menjatuhkan beberapa lawan yang datang mendekat.

Gelegar !!!!

Terdengar lagi suara yang sama yang ternyata berasal dari seorang pemuda yang tidak lain adalah Mahesa Amping. Suara gelegar kedua ini semakin terasa meruntuhkan semangat pihak lawan. Meski hanya melepaskan sepersepuluh kekuatannya, cambuk ditangan Mahesa Amping telah berhasil menyapu puluhan tubuh lawan yang langsung terjengkang tidak mampu berdiri lagi merasakan tulang tubuh  seperti remuk patah.

Disisi yang lain, Ki Jaran Waha bersama pengikut lapisan utamanya telah membuat jerih pihak lawan. Mereka seperti barisan obor ditengah kumpulan semutsemut hitam. Pihak lawan seperti tergilas pasukan yang kokoh terus bergerak.

“Beruntunglah bahwa kami tidak meracuni makananmu”, berkata Ki Jaran Waha ketika menempeleng seorang yang berwajah bringas yang sangat sombong sering membuat ulah ketika dirinya mengantarkan ransum ke baraknya.

“Barisan juru masak ini ternyata adalah orang-orang yang berilmu tinggi”, berkata seorang lagi dalam hati dengan perasaan jerih menghindari berhadapan langsung dengan Ki Jaran Waha dan pengikutnya.

Tapi beberapa orang tidak lagi dapat kesempatan menghindar, langsung terkibas terjengkang tersapu bersih oleh Ki Jaran dan pengikutnya yang bertempur dengan trengginas tanpa pilih tebu. Semua diterjang runtuh.

Ternyata semua tidak luput dari pengamatan Mahesa Bungalan yang dengan seksama mengapati semua medan pertempuran.

“Tekan lawan agar menyerah”, berkata Mahesa Bungalan kepada seorang perwira penghubung.

Maka perwira penghubung itu secara berantai telah menyampaikannya kesemua pasukan agar melakukan penekanan agar pihak lawan menyerah tanpa menambah korban.

“Senapati kita adalah seorang yang penuh kasih”, berkata seorang prajurit yang telah mendengar perintah untuk tidak banyak menambah korban.

“Menyerahlah”, berkata seorang pajurit Singasari ketika bertiga mereka mengepung seorang musuh yang sudah terluka.

“Aku menyerah”, berkata orang yang sudah  terluka itu seperti mendapat sambungan nyawanya yang hampir terlepas.

Maka terlihat orang itu tanpa perlawanan menerima dirinya diikat sebagai tawanan perang.

Sementara itu disisi yang lain, seorang lelaki tertawa mendengar tawaran sepuluh orang prajurit yang tengah mengepungnya untuk menyerahkan diri.

“Kalianlah yang seharusnya menyerah”, berkata lelaki itu sambil tertawa.

Ternyata lelaki itu bukan sedang membual, ucapannya itu langsung dibuktikan. Kesepuluh prajurit itu terjungkal dan terlempar kocar-kacir keberbagai tempat terkena pukulan dan tendangannya. Satu orang prajurit terlihat mengejang karena terkena sabetan keris lelaki itu yang nampaknya mengandung racun yang sangat keras.

“Siapa lagi yang ingin merasai kerisku?”, berkata lelaki itu sambil mengacungkan kerisnya tinggi-tinggi.

Beberapa prajurit yang melihat kawannya mati kejang terkena goresan keris itu menjadi berdebar dan jerih.

“Keris jigja lekuk sembilan itu sangat indah, sayang telah di waluri racun yang kuat”, berkata seseorang yang muncul datang mendekat yang tidak lain adalah Mahesa Bungalan.

“Aku juga menyayangkan bila keris pusakaku ini hanya melukai seorang prajurit rendahan”, berkata lelaki itu menatap tajam Mahesa Bungalan.

Terkejut lelaki itu ketika tatapan matanya beradu mata Mahesa Bungalan. Mata lelaki itu seperti tertarik kesebuah sumber mata air yang dalam tak terbatas.

“Aku Senapati Singasari, mudah-mudahan diriku ini layak menjadi lawanmu”, berkata Mahesa Bungalan dengan penuh rasa percaya diri yang tinggi.

“Hanya Raja Singasari yang patut menjadi lawanku”, berkata lelaki itu penuh jumawa.

“Sri Baginda Maharaja Singasari telah berkenan memberikan tanda kebesarannya kepadaku, mewakili dirinya dan atas namanya aku datang di Balidwipa ini”, berkata Mahesa Bungalan yang mulai tidak menyukai kesombongan lelaki itu.

“Itu artinya bahwa rajamu sangat takut berhadapan langsung denganku”, berkata lelaki itu masih dengan sikap yang sangat jumawa. “Kalau boleh tahu, siapa gerangan dihadapanku ini yang menyetarakan dirinya dengan tuanku Sri baginda Maharaja Singasari?”, berkata Mahesa Bungalan dengan suara bergetar menahan diri atas kesombongan lelaki dihadapannya itu.

“Pasang telingamu tajam-tajam, kamu berhadapan dengan Penguasa Pura Besakih”, berkata lelaki itu yang ternyata adalah Raja Adidewalancana yang berharap Mahesa Bungalan terkejut mendengar siapa dirinya.

Tapi Mahesa Bungalan seperti tidak merasa terkejut, sedari awal sudah menduga bahwa lelaki dihadapannya ini sudah terbiasa dikelilingi oleh banyak orang yang memujanya.

“Ternyata hamba berhadapan dengan tuan Raja Adidewalancana”, berkata Mahesa Bungalan layaknya seorang hamba kepada rajanya.

“Kukira kamu akan langsung lari mendengar namaku”, berkata Raja Adidewalancana kepada Mahesa Bungalan.

“Hamba seperti mendapat sebuah kehormatan berhadapan langsung dengan tuanku”, berkata Mahesa Bungalan masih dengan sikap hormat.

“Bersiaplah mati terhormat merasai keris pusaka ini”, berkata Raja Adidewalancana sambil mengayunkan kerisnya dengan cepat mengarah keleher Mahesa Bungalan.

Mahesa Bungalan merasakan pamor keris itu lewat anginnya yang lewat sangat dekat dari kepalanya ketika bergeser sedikit menghindari sambaran ayunan keris Raja Adidewalancana yang keras dan cepat. Melihat Mahesa Bungalan dapat menghindar begitu mudahnya pada serangan pertamanya, secepat kilat Raja Adidewalancana menyusul dengan serangan kedua yang nyaris lebih keras dan lebih cepat dari sebelumnya.

Kembali Mahesa Bungalan dapat menghindar, namun kali ini langsung balas menyerang Raja Adidewalancana dengan sebuah sabetan pedang mengarah pada dua kaki Raja Adidewalancana.

Terkejut Raja Adidewalancana mendapatkan serangan balik yang tidak kalah cepatnya dari serangannya. Terlihat Raja Adidewalancana melompat sambil menjulurkan kerisnya menusuk cepat kearah dada Mahesa Bungalan yang terbuka. Kembali Mahesa Bungalan dengan cepat mengelak keluar dari serangan Raja Adidewalancana sambil balas menyerang menghindari serangan beruntun yang berakibat membahayakan diri sendiri.

Demikianlah serang dan balas menyerang antara Mahesa Bungalan dan Raja Adidewalancana berlangsung dengan cepat. Semakin lama menjadi semakin kuat dan cepat karena keduanya setahap demi setahap terus meningkatkan tataran ilmunya masingmasing.

“Senapati muda ini ternyata sangat alot”, berkata Raja Adidewalancana dalam hati merasa penasaran bahwa Mahesa Bungalan masih dapat mengimbangi serangannya.

Sementara itu pertempuran diberbagai tempat dan sisi sudah mulai nampak mengendur, satu persatu pihak lawan dari Pura Besakih terlihat putus asa menghadapi pasukan Singasari yang berjumlah melebihi jumlah mereka. Hingga akhirnya pasukan Singasari telah dapat menguasai jalannya pertempuran. Satu persatu pihak lawan roboh, satu persatu pihak lawan menyerah melemparkan senjatanya.

Dan akhirnya pasukan Singasari sudah benar-benar memenangkan jalannya pertempuran, menguasai setiap tapak Pura Besakih tanpa ada lagi perlawanan.

“Menyerahlah !!”, berkata seorang prajurit bersama lima orang kawannya kepada seorang lawannya yang terlihat sudah terluka.

Orang yang sudah terluka di beberapa bagian tubuhnya itu terlihat sudah tidak mampu lagi mengangkat senjatanya.

“Aku menyerah”, berkata orang yang terluka itu dengan suara yang lemah sambil melepaskan senjatanya dari genggaman tangannya.

Bersamaan dengan semua itu, semburat warna merah sudah terlihat hampir merata memenuhi cakrawala langit diatas Pura Besakih. Sang Fajar nampaknya sudah bersiap menampakkan dirinya menghiasi wajah bumi pagi.

“Kakang Mahesa Bungalan masih bertempur”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu sambil melangkah mendekati arena pertempuran.

“Lawannya adalah Raja Addewalancana”, berkata Mahesa Semu kepada Mahesa Amping ketika telah benar-benar mendekati arena pertempuran.

Ternyata sebagaimana yang dilihat oleh Mahesa Amping dan Mahesa Semu, cuma ada pertempuran tunggal di Pura Besakih itu yaitu antara Mahesa Bungalan dan Raja Adidewalancana. Raja Adidewalancana telah merasa dipuncak ilmunya, namun belum juga dapat mengalahkan seorang Senapati muda.

“Kakang Mahesa Bungalan masih belum meningkatkan tataran ilmunya yang sebenarnya”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu yang berada didekatnya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping, ternyata Mahesa Bungalan masih belum meningkatkan tataran ilmunya lebih tinggi lagi. Nampaknya Mahesa Bungalan masih ingin menjajagi sampai dimana kekuatan lawan.

Sementara itu beberapa orang terlihat mendekati arena pertempuran antara Mahesa Bungalan dan Raja Adidewalancana yang semakin seru. Mereka bergerak semakin cepat, tanah dan batu kadang terlempar beterbangan tergilas terjangan kaki mereka yang kadang turun menghentak bumi.

Arena itu akhirnya telah menyerupai sebuah arena yang melingkar, semua orang menyaksikan pertempuran itu dengan perasaan yang tegang. Hampir semua orang berharap Senapatinya dapat mengalahkan lawannya.

Raja Adidewalancana mulai merasa putus asa, Mahesa Amping ternyata lawan yang tangguh.

“Senapati muda ini benar-benar tangguh”, berkata Raja Adidewalancana yang mulai merasa putus asa setelah sekian jurus dan meningkatkan tataran ilmunya masih belum dapat juga menundukkan dan mengalahkan lawannya. Sementara itu udara pagi sudah mulai menghangat, cahaya matahari sudah bersinar terang menyinari dan menerangi Pura Besakih.

“Menyerahlah tuan, orang-orang Pura Besakih semua sudah menyerah”, berkata Mahesa Bungalan kepada Raja Adidewalancana.

“Jangan terlalu percaya diri, akulah yang akan menghabisi nyawamu dan semua orangmu”, berkata Raja Adedewalancana sambil berloncat menerkam kearah Mahesa Bungalan dengan keris ditangan siap menghujam tubuh Mahesa Bungalan.

Mahesa Bungalan telah melihat nafas dan tenaga Raja Adidewalancana sudah mulai mengendur. Dan nampaknya Mahesa Bungalan ingin segera mengakhiri pertempuran itu.

Maka dibiarkannya keris itu meluncur menuju tubuhnya. Akhirnya dengan perhitungan yang matang dan kecepatan yang diluar perhitungan Raja Adidewalancana, tiba-tiba saja kaki Mahesa Bungalan menyepak keras punggung telapak tangan Raja Adidewalancana yang masih menggenggam kerisnya.

Akibatnya sungguh diluar jangkauan pikiran Raja Adidewalancana, punggung telapak tangannya merasakan panas yang tidak terkira bercampur dengan rasa ngilu dan nyeri. Maka tanpa sadar keris ditangannya telah terlepas dan terlempar jauh.

“Menyerahlah”, berkata Mahesa Bungalan kepada Raja Adidewalancana yang terlihat memegang tangannya yang masih sangat sakit. Tapi Raja Adidewalancana menjawabnya dengan melompat terbang seperti rajawali terbang menerkam mangsanya.

Dengan tenang Mahesa Bungalan bergeser dengan kecepatan yang tidak dapat dibaca oleh mata Raja Adidewalancana.

Akibatnya terjangan Raja Adidewalancana mengenai tempat kosong.

Brakkkk !!!

Terlihat tanah dan batu berhamburan terhantam terjangan Raja Adidewalancana.

“Aku disini tuanku”, berkata Mahesa Bungalan sambil melempar pedangnya.

Terlihat mata Raja Adidewalancana begitu nanar penuh kemurkaan. Seperti seekor banteng yang terluka langsung menerjang Mahesa Bungalan.

Tapi Mahesa Bungalan telah bergerak dengan cepat, tidak banyak orang yang dapat mengikuti gerak Mahesa Bungalan yang telah menerapkan ilmu peringan tubuh yang sudah mendekati puncak kesempurnaannya. Yang banyak orang lihat adalah tiba-tiba saja Mahesa Bungalan telah berpindah tempat seperti tidak melangkah.

Kembali Raja Adidewalancana menemui tempat kosong meluncur berguling-guling terbawa tenaganya sendiri.

“Aku disini tuanku”, berkata kembali Mahesa Bungalan sambil berdiri tegak dihadapan Raja Adidewalancana yang tengah rebah telentang ditanah. Ternyata Raja Adidewalancana sudah kehabisan nafas dan tenaga.

“Jangan permalukan aku, bunuhlah aku”, berkata Raja Adidewalancana dengan nafas yang memburu.

“Tidak semua kematian di medan perang sebuah kehormatan, mengakui dan menerima sebuah kekalahan jauh lebih mulia”, berkata Mahesa Bungalan kepada Raja Adidewalancana.

“Kamu benar anak muda, selama ini aku merasa paling kuat, selama ini aku merasa sangat berkuasa, dan selama ini aku merasa semua orang memujaku. Tapi hari ini aku dikalahkan oleh seorang Senapati muda sepertimu. Baru kali ini aku merasakan kelemahanku, baru kali ini aku meresakan kenistaanku. Ternyata kelemahan dan kenistaan telah menyempurnakan perjalanan hidupku mengenal pemilik kekuatan dan kemuliaan yang sebenarnya”, berkata Raja Adidewalancana berusaha bangkit duduk bersila mengatur nafasnya. Matanya terlihat terpejam.

Mahesa Bungalan membiarkan Raja Adidewalancana mengembalikan tenaganya.

“Aku menyerahkan diriku kepadamu, saat ini aku adalah tawananmu”, berkata Raja Adidewalancana ketika merasakan nafasnya tidak lagi memburu, sedikit demi sedikit dirasakan tenaganya mulai datang kembali, meski belum pulih seutuhnya.

“Kami akan tetap menghormati tuan, menjaga seluruh keluarga di Pura Dalem Astana”, berkata Mahesa Bungalan kepada Raja Adidewalancana ketika akan melangkah diiringi sejumlah prajurit Singasari menuju Pura Dalem Astana. Sementara itu matahari pagi telah bergeser semakin naik, semilir angin sejuk mengurangi panas cahaya matahari pagi. Beberapa orang prajurit terlihat tengah mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan baik kawan maupun dari pihak lawan.

“Makamkan mereka disebelah bukit kecil itu, agar semua yang datang ke Pura Besakih dapat melihat dan berdoa untuk mereka”, berkata Mahesa Bungalan memberi petunjuk dimana sebaiknya mayat-mayat itu dimakamkan.

Para prajurit Singasari nampaknya telah melupakan kelelahannya, meski setelah sepanjang malam bertempur, hari itu terlihat sibuk mengurus pemakaman kawan-kawan mereka yang tidak lagi dapat kembali selamanya, tidak akan ditemui lagi oleh sanak keluarganya, istri dan kekasih pujaan hatinya di kampung halamannya, di tanah Singasari.

Para prajurit Singasari juga telah memperlakukan mayat-mayat musuhnya sebagaimana mestinya dalam pemakaman yang terpisah dengan penuh penghormatan sebagaimana pemakaman kawan-kawan mereka.

Sementara itu beberapa orang yang terluka juga diperlakukan dengan sama, tidak melihat kawan maupun lawan. Terlihat Mahesa Amping bersama kawankawannya dari Padepokan Bajra Seta yang sedikit banyak mengenal ilmu pengobatan tengah mengobati beberapa orang yang terluka.

“Jaga lukamu agar tidak terkena air, mudah-mudahan akan membantu menjadi lekas kering”, berkata Mahesa Amping kepada seorang yang terluka dibagian pangkal pahanya yang cukup dalam. Kesibukan ternyata tidak juga terhenti, beberapa perwira terlihat membagi tugas kepada prajuritnya. Ada yang mendapat tugas memperbaiki barak-barak yang hancur, menjaga keamanan sekitar Pura Besakih dan tentunya ada beberapa orang prajurit yang bertugas di dapur umum.

“Kenapa tidak menunggu besok pagi?”, bertanya Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang bermaksud untuk pamit diri kembali ketempat kediamannya.

“Aku takut pengikutku akan menyusutkan ransum persediaan”, berkata Ki Jaran Waha bercanda.

“Kami tidak akan melupakan apa yang telah kalian perbuat untuk kami”, berkata Mahesa Bungalan yang ikut mengantar Ki Jaran Waha dan pengikutnya yang akan meninggalkan Pura Besakih.

“Kebahagiaan kami adalah telah berbakti bagi kehidupan dan kemakmuran Balidwipa”, berkata Ki Jaran sambil melangkah meninggalkan Pura Besakih diikuti oleh para pengikutnya.

Sementara itu waktu terus berlalu dan berganti, wajah senja yang bening tidak lagi menghiasi Pura Besakih karena malam yang gelap telah datang menyelimutinya. Taburan jutaan bintang dilangit malam telah menjadi hiasan malam diatas bumi Pura Besakih. Hawa dingin begitu terasa menusuk kulit.

“Aku mempercayakan pengawalan Raja Adidewalancana dan permaisurinya kepada Kebo Arema”, berkata Mahesa Bungalan di Pendapa Bale Guru di Pura Besakih tengah membicarakan rencana untuk membawa Raja Adewalancana dan permaisurinya ke Singasari sebagai bukti bahwa Balidwipa telah ditaklukkan. “Paman Wantilan, Paman Sembaga dan Kakang Mahesa Semu dapat mendampinginya”, berkata Mahesa Amping ikut mengusulkan.

“Aku setuju, kehadiran tiga orang cantrik utama Padepokan Bajra Seta sebanding dengan lima puluh orang prajurit”, berkata Kebo Arema menyetujui usulan  itu sambil melirik kepada Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga yang juga ada dihadapannya.

“Kami merasa tersanjung dikatakan sebanding dengan lima puluh orang prajurit, yang pasti kami akan segera pulang melihat urusan di tanah Bali ini sepertinya sudah selesai”, berkata Mahesa Semu mewakili Sembaga dan Wantilan.

“Badrun dan anak buahnya juga dapat diandalkan“, berkata Kebo Arema menambahkan jumlah orang yang akan ikut bersamanya mengawal tawanan kehormatan yaitu Raja dan permaisuri Pura Besakih.

“Raja dan permaisuri Pura Besakih adalah tawanan kehormatan kita, semoga kalian dapat menjaga memperlakukan mereka dengan baik”, berkata Mahesa Bungalan.

Demikianlah, hingga jauh malam banyak sekali yang mereka perbincangkan.

“Malam sudah menjadi begitu dingin”, berkata Mahesa Bungalan yang pamit untuk memeriksa keadaan prajuritnya.

“Aku ikut menemani Kakang Mahesa Bungalan”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Bungalan.

Maka terlihat Mahesa Bungalan dan Mahesa Amping tengah menuruni anak tangga pendapa Bale Guru. Di sebuah kelokan mereka tidak terlihat lagi. Terlihat Mahesa Bungalan dan Mahesa Amping menemui beberapa prajurit di gardu penjagaannya yang dibuat secara darurat di beberapa tempat di Pura Besakih agar dapat mengawasi dan menjaga Pura Besakih dari hal-hal yang tidak diinginkan

“Selamat malam tuan Senapati”, berkata seorang prajurit kepada Mahesa Bungalan merasa bangga pimpinannya telah datang menjenguk.

“Mudah-mudahan petugas di dapur umum tidak lupa mengirim ransum ke gardu ini”, berkata Mahesa Bungalan kepada prajurit itu.

“Ransum itu sayangnya sudah lewat”, berkata salah seorang prajurit lainnya.”Maksudku sudah lewat perutku”, berkata prajurit itu menyambung ucapannya yang belum selesai yang ditanggapi derai tawa dari semua yang mendengarnya.

Canda prajurit itu telah menghangatkan suasana dingin malam di Pura Besakih yang terus berkabut.

“Mari kita beristirahat, hari sudah begitu larut malam”, berkata Mahesa Bungalan kepada Mahesa Amping setelah merasa cukup memeriksa keadaan prajuritnya diberbagai tempat di Pura Besakih.

Demikianlah malam yang dingin di Pura Besakih sepertinya telah menyirep sebagian penghuninya tertidur pulas. Namun ada beberapa orang yang terluka parah semalaman tidak dapat memejamkan matanya sedikitpun. Rintihan mereka kadang cukup mengganggu kawan disebelahnya yang sudah lama tertidur.

Akhirnya sang malam perlahan meninggalkan bumi berganti pagi. Pagi di Pura Besakih ditandai dengan kabut yang pekat. Selapis-demi selapis kabut akhirnya tersibak menghilang bersama semakin benternya sinar matahari menembus udara pagi di Pura Besakih.

Terlihat sekumpulan orang berkuda di Pura Besakih yang akan melakukan sebuah perjalanan jauh.

“Kutitipkan segala isi di Pura Besakih ini kepadamu wahai Senapati Muda”, berkata Raja Adidewalancana kepada Mahesa Bungalan yang turut mengantar kepergiannya ke Singasari.

“Akan kujaga pesan tuan sebagaimana aku menjaga diriku”, berkata Mahesa Bungalan kepada Raja Adidewalancana.

“Sampaikan salamku kepada semua sahabat di Tanah Singasari”, berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema, Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga yang ikut mengawal Raja Adidewalancana dan permaisurinya ke Singasari.

Awan langit pagi diatas Pura Besakih yang cerah tiba-tiba saja berubah menjadi mendung kelabu bersama keluarnya iring-iringan Raja Adidewalancana dan para pengawal Singasari menuruni anak tangga seribu.

Langit mendung diatas Pura Besakih akhirnya tak tertahan menitikkan hujan gerimis kecil seperti ikut berduka mengiringi kepergian seorang punguasa Pura Besakih yang pasrah dan rela menjalani kehidupan yang berbeda sebagai manusia biasa, sebagai seorang tawanan perang yang harus dikucilkan jauh dari tempatnya, jauh dari tanah tempat kelahirannya.

Terlihat beberapa pelayan Pura dalem Astana menitikkan air matanya mengiringi kepergian tuannya yang sudah tidak terlihat lagi terhalang kerimbunan batang pohon kayu yang tumbuh tersebar mengelilingi Pura Besakih.

“Hujan gerimis seperti ini biasanya akan lama sekali”, berkata Mahesa Bungalan kepada Mahesa Amping mengajaknya kembali ke Bale Guru Pura Besakih yang untuk sementara menjadi tempat resmi selama di Pura Besakih menjalani tugasnya sebagai seorang Senapati untuk mengatur segala sesuatunya setelah peperangan berakhir di Balidwipa.

Hujan gerimis kecil akhirnya reda juga. Tanah basah darah peperangan terlihat sudah hilang terbawa air  hujan, matahari kembali bersinar menerangi Pura Besakih, menerangi meru berundak tempat arca dan pelinggih berdiri menjadi saksi bisu perjalanan manusia, dalam perang dan damai.

Cuaca diatas cakrawala langit Pura Besakih terlihat begitu cerah. Bangunan Pura Besakih seperti lukisan alam yang elok begitu indah di kaki lereng Gunung Agung yang dikitari kabut abadi.

Hari itu adalah purnama ke tujuh setelah usainya penaklukan Balidwipa, sebuah iring-iringan prajurit Singasari terlihat memasuki gapura Pura Basakih dengan membawa umbul-umbul dan panji-panji kebesaran Singasari. Bersama mereka berjalan didepan memimpin barisan seorang yang sudah terlihat begitu tua namun masih nampak tegar dan gagah penuh wibawa dengan belitan jubah pendeta yang tidak lain adalah Empu Dangka yang telah resmi diangkat sebagai Pandita Guru Istana Singasari.

Barisan itu berhenti di altar persinggahan. “Selamat datang di Pura Besakih wahai pendeta guru yang bijaksana”, berkata Mahesa Bungalan kepada Empu Dangka.

“Selamat bertemu kembali wahai tuan Rakrian Demung Sasanabungalan”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Bungalan yang telah menjabat resmi sebagai seorang Demung, pejabat perwakilan Singasari di Balidwipa.

Para prajurit Singasari yang baru tiba itu dipersilahkan beristirahat, sementara Empu Dangka terlihat berjalan bersama Mahesa Bungalan ke Pura Dalem Astana.

“Sri Maharaja Singasari telah menitahkan diriku menjadi Pendeta guru suci di Balidwipa ini, mengajarkan kitab tattwa kepada semua orang, membangun pura di berbagai tempat. Pura dan Tattwa bukan hanya milik para Bhirawa dan para raja”, berkata Empu Dangka di Bale Witana kepada Mahesa Bungalan.

“Sebuah tugas yang mulia”, berkata Mahesa Bungalan.

“Aku juga membawa sebuah kekancingan untuk Anakmas Mahesa Amping”, berkata Empu Dangka.

“Saat ini Mahesa Amping masih menjalankan tugasnya sebagai perwira tinggi pasukan telik sandi di Balidwipa ini. Dari Pura Indrakila Mahesa Amping mengatur seluruh pasukannya, jalur telik sandinya telah terbangun dengan baik. Mahesa Amping telah banyak membantu kami, meredam setiap gerakan yang tersembunyi”, berkata Mahesa Bungalan kepada Empu Dangka. ”Tugas baru apakah yang akan diemban untuk Mahesa Amping dari Sri Maharaja Singasari?”, bertanya Mahesa Bungalan kepada Empu Dangka. “Sebagaimana diriku seorang pendeta pengembara, Mahesa Amping telah dianugerahi menjadi seorang Senapati agung, membangun kekuatan angkatan perang yang mandiri di berbagai tempat di Balidwipa”, berkata Empu Dangga menjelaskan tugas Mahesa Amping di Balidwipa selanjutnya. “Membangunkan jiwa-jiwa muda sebagai seorang pecalang muda yang siap membela dan melindungi buminya dari setiap gangguan di segenap Kademangan Balidwipa”, berkata Empu Dangka.

“Sebuah gagasan yang luar biasa, Balidwipa akan menjadi sebuah bumi tanpa prajurit, tapi Balidwipa juga akan menjadi sebuah pulau yang paling aman dan tentram sepanjang masa”, berkata Mahesa Bungalan memuji gagasan itu yang akan menjadi tugas baru Mahesa Amping.

Demikianlah, perlahan dibawah kendali seorang Demung yang bijaksana, kemakmuran mulai berpijak merata di seluruh penjuru, keamanan dan ketentraman jiwa sepertinya mulai hidup berkembang sejalan.

Rakrian Demung Sasanabungalan telah mempersatukan kembali Balidwipa dan Jawadwipa yang terpisah, yang dulu pernah ada terikat dalam satu daratan pulau yang satu. Dan mereka memang terlahir dari satu keluarga, dari satu tanah air yang satu.

(TAMAT)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar