Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Jilid 11

JILID 11

“Ternyata tuan-tuan adalah tamu yang tengah kami nantikan”, berkata penjaga itu sambil mengajak Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi menemui Dewa Bakula.“Kita langsung ke Bale Guru”, berkata kembali penjaga itu.

Pura Indrakila memang cukup luas, terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah. Sambil berjalan penjaga itu memberikan penjelasan tentang beberapa tempat. Suasana di sekitar Pura Indrakila terlihat tertata apik dan sangat asri.

“Selamat datang di Pura Indrakila”, berkata Dewa Bakula menyambut kedatangan para tamunya di pendapa Bale Guru.

Mahesa Amping, Empu Dangka maupun Ki Arya Sidi sangat merasa heran melihat perubahan sikap dari Dewa Bakula yang terkesan sangat tidak sombong lagi sebagaimana yang mereka kenal sebelumnya.

“Hari ini adalah hari terakhirku di Balidwipa, besok aku akan kembali ke Tanah Hindu”, berkata Dewa Bakula setelah para tamunya telah duduk bersamanya di pendapa.

“Apakah karena adanya perjanjian diantara kita,maka tuan pendeta kembali ke Tanah Hindu?”, bertanya Mahesa Amping kepada Dewa Bakula. “Kalau memang karena itu sebabnya, aku dapat melepas perjanjian yang telah kita tetapkan. “Bukan itu anak muda”, berkata Dewa Bakula dengan wajah penuh senyum. “Meski kekalahanku itu telah memberikan diriku banyak pelajaran, diantaranya adalah berpikir jernih tentang keberadaan kami para pendeta dari Tanah Hindu ini”, berkata Dewa Bakula melanjutkan perkataannya.

“Tuan Pendeta telah menemukan dan membedakan kepamrihan, aku berdoa untuk kemerdekaan jiwa tuan yang tengah memasuki alam Tatwa selanjutnya”, berkata Empu Dangka ikut menanggapi pernyataan dari Dewa Bakula

“Terima kasih”, berkata Dewa Bakula sambil menjura.

Namun ketika mereka asyik bercakap-cakap, datanglah seorang penjaga sambil membawa sebuah anak panah yang patah, simbol sebuah tantangan.

“Seseorang memintaku memberikannya  kepada salah seorang diantara tuan-tuan yang bernama Mahesa Amping. Pesannya akan ditunggu kehadirannya di bukit Sembul nanti malam”, berkata penjaga itu.

Terlihat Dewa Bakula menarik nafas panjang. “Maafkan  saudara  tuaku  Dewa  Palaguna,  ternyata

dirinya tidak bisa menerima kekalahanku”, berkata  Dewa

Bakula yang sudah menduga bahwa tantangan itu berasal dari Dewa Palaguna.

“Gusti yang Maha Pengasih telah memberikan keluasan ilmunya dalam berbagai tingkat yang berbeda kepada setiap jiwa manusia yang terlahir, perbedaan itulah sebagai sarana kita saling mengenal dan untuk dapat bermawas diri”, berkata Empu Dangka.

“Terima kasih, bahagia aku berada diantara kalian yang ternyata telah melihat cakrawala alam Tattwa yang luas tak terhingga”, berkata Dewa Bakula kembali menjura.

“Apakah tuan pendeta akan ikut bersama kami ke Bukit Sembul?”, bertanya Ki Arya Sidi yang sedari awal tidak banyak cakap.

“Aku akan datang mengantar kalian ke Bukit Sembul”, berkata Dewa Bakula dengan penuh kepastian.

Tidak terasa hari telah terlihat menjelang sore, matahari dibatas barat bumi tengah memancarkan cahayanya yang lembut. Dan awan di cakrawala langit Pura Indrakila nampaknya begitu putih bersih. Tanaman bunga dan rumput hijau di halaman Bale Guru yang tertata asri seperti tengah menari bersenandung mandi kehangatan dan kelembutan cahaya matahari sore.

Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Arya Sidi nampaknya tengah menikmati keindahan suasana di Bale Guru itu. “Sebelum ke Bukit Sembul, kita singgah ke Puri Dalem. Baginda Raja Indrakila telah merestui semua keputusanku, aku akan memperkenalkan dirimu kepadanya”, berkata Dewa Bakula kepada Mahesa Amping.

“Terima kasih memperkenalkan diriku kepada Penguasa Pura Indrakila ini”, berkata Mahesa Amping perlahan.

Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya, Dewa Bakula telah meminta Mahesa Amping datang bersamanya ke Puri Dalem menghadap Baginda Raja Indrakila.

“Kami menunggu di pendapa ini”, berkata Empu Dangka kepada Dewa Bakula dan Mahesa Amping yang tengah menuruni anak tangga pendapa Bale Guru hendak menghadap Raja Indrakila di Puri Dalem. Ki Arya Sidi dan Empu Dangka mengiringi langkah Mahesa Amping dan Dewa Bakula yang terlihat tengah berjalan menyusuri jalan setapak dan menghilang disebuah tikungan jalan.

“Kehadiran Mahesa Amping adalah sebuah anugerah yang besar bagi Pura Indrakila”, berkata Empu Dangka kepada Ki Arya Sidi di pendapa Bale Guru. Sepertinya berusaha mengisi kesunyian sejak ditinggal Mahesa Amping dan Dewa Bakula yang tengah menghadap di Puri Dalem astana Raja Indrakila.

“Sebagaimana kehadirannya di Padepokan Panca Agni”, berkata Ki Arya Sidi membenarkan perkataan Empu Dangka.

Sementara itu waktu terus berlalu, matahari di atas langit Bale Guru Pura Indrakila telah bergeser semakin surut. Tanaman bunga dan rumput hijau yang tertata asri dihalaman Bale Guru nampaknya telah lelah menari dan bersenandung. Bunga Soka kuning di pojok halaman nampak buram tidak tersinar matahari lagi, pucuk-pucuk rumput hijau terlihat merunduk menanti senja yang akan datang mengunjungi.

“Hari telah menjelang senja”, berkata Empu Dangka sambi pandangannya menyapu halaman Bale Guru.

“Akhirnya mereka telah kembali”, berkata Empu Dangka yang melihat Mahesa Amping dan Dewa Bakula muncul dari sebuah tikungan jalan setapak.

“Bukit Sembul tidak jauh, kita berangkat menjelang senja berakhir”, berkata Dewa Bakula yang telah duduk bersama di pendapa Bale Guru menyampaikan kapan waktunya berangkat ke Bukit Sembul. Bukit Sembul memang tidak begitu jauh dari Pura Indrakila. Diatas puncak bukitnya ada sebuah tanah lapang yang luas. Para Sisya Pura Indrakila pada hari-hari tertentu biasa menggunakannya sebagai sanggar terbuka.

Ketika senja berakhir, terlihat empat orang lelaki menuruni tangga pendapa Bale Guru. Purnama tak sabar mengintip diantara rimbunan pohon-pohon kayu besar yang tumbuh di beberapa tempat di Pura Indrakila. Suasana diujung senja itu begitu bening dan teduh. 

Kempat lelaki itu tidak keluar lewat regol pintu depan Pura Indrakila, tapi berjalan kearah timur dari Bale Guru memasuki hutan kecil yang tidak begitu lebat. Tidak begitu lama mereka akhirnya telah tiba di Bukit Sembul tengah menaiki sebuah gumuk kecil dan akhirnya mereka telah sampai diatas puncak bukit sembul yang tenyata adalah sebuah padang rumput yang lapang.

Benderang cahaya bulat bulan purnama telah menerangi tanah lapang itu. Terlihat seorang yang bertelanjang dada dengan rambutnya yang panjang terurai berdiri menyambut kedatangan mereka.

“Lama aku menunggu kedatangan kalian”, berkata orang itu yang ternyata adalah Ki Jaran Waha.

“Bila ada Raja Leak, pasti amanlah kita”, berkata Ki Arya Sidi merasa gembira bertemu kembali dengan saudara angkatnya itu.

“Jangan khawatir, para pengikutku telah siap menjalankan tugasnya berjaga-jaga”, berkata Ki Jaran Waha dengan senyumnya yang mengembang.

Sementara itu bulan purnama bulat telah bergeser terus kepuncak cakrawala langit malam. Taburan jutaan bintang menambah keindahan suasana diatas puncak Bukit Sembul. Akhirnya yang mereka nantikan datang juga. Dari sisi lain terlihat dua orang muncul dalam bayang tersamar terus mendekati mereka. Semakin nampak jelas siapa gerangan yang mendekati mereka. Ternyata adalah Dewa Palaguna bersama seseorang yang terlihat sudah begitu tua terlihat dari kerut-kerut wajahnya yang mulai kendur.

“Guru!!!”, berkata Dewa Bakula sambil menjatuhkan dirinya bersujud dihadapan seorang yang datang bersama Dewa Palaguna

“Bangkitlah Bakula, aku ingin berkenalan dengan orang yang telah mengalahkanmu”, berkata orang itu kepada Dewa Bakula.

Dewa Bakula bangkit berdiri dengan wajah penuh keraguan.

“Aku bertanding dengan adil, aku sudah menerima kekalahanku dengan wajar. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi”, berkata Dewa Bakula dengan wajah masih penuh keraguan apa kiranya yang akan dilakukan guru dan saudara tuanya itu.

“Kamu boleh menerima kekalahan itu, tapi aku belum dapat menerimanya”, berkata Dewa Palaguna kepada Dewa Bakula dengan suara lantang sepertinya menyalahkan dan meremehkan Dewa Bakula yang mudah menyerah.

“Aku sependapat dengan saudara tuamu, menyingkirlah”, berkata orang tua yang dipanggil guru itu kepada Dewa Bakula.

“Aku mendengar ada yang ingin berkenalan denganku”, berkata Mahesa Amping maju menghadap orang tua itu dengan menjura penuh hormat. “Ternyata kamu memang masih muda belia”, berkata orang tua memandang Mahesa Amping dari ujung kaki sampai keatas kepala. Perkenalkan namaku Aanjav, aku sudah mendengar tentang dirimu lewat muridku Palaguna”, berkata orang itu sambil menatap Mahesa Amping dengan matanya yang begitu tajam sepertinya ingin menelisik kemampuan Mahesa Amping.

Tapi Mahesa Amping bukan anak muda sembarangan, kilatan cahaya mata Aanjav yang tajam itu seperti menembus sebuah samudra yang dalam.

Terkejut Aanjav merasakan tabrakan tatapan mata Mahesa Amping.

“Muridku telah kamu kalahkan, biarlah aku yang tua ini mencoba mengenal beberapa jurus darimu”, berkata Aanjav kepada Mahesa Amping.

“Hanya untuk mengenal beberapa jurus, bukan sebuah pertandingan hidup mati”, berkata Mahesa Amping dengan penuh ketenangan.

“Tapi jangan salahkan diriku bila ada yang mati”, berkata Aanjav penuh percaya diri.

“Aku telah siap, maksudnya………bukan siap mati”, berkata mahesa Amping dengan senyum dikulum.

“Tataplah purnama diatas langit sepuasnya, besok mungkin kamu sudah tidak dapat lagi memandangnya”, berkata Aanjav yang kurang senang dengan gurauan Mahesa Amping.

“Hari ini aku telah menatap rembulan, bila besok tidak lagi menatap rembulan, itu artinya aku tertidur disore hari”, berkata Mahesa Amping tidak menghiraukan orang tua dihadapannya yang tidak suka bergurau.

“Aku tahu bahwa kamu tengah mengungkit kemarahanku, apapun ucapanmu tidak akan mempengaruhiku”, berkata Aanjav dengan mata yang tajam sepertinya telah dapat membaca arah pikiran dari Mahesa Amping.

“Aku tidak bermaksud apapun, hanya sekedar merenggangkan ketegangan” berkata Mahesa Amping masih dengan kepercayaannya dirinya yang tinggi.

Namun diam-diam Mahesa Amping mengagumi sikap orang tua dihadapannya itu yang tidak mudah diungkit kemarahannya.

“Keluarkanlah senjatamu”, berkata Aanjav kepada Mahesa Amping.

Mahesa Amping terlihat dengan penuh ketenangannya mengurai senjata cambuknya dari pinggangnya.

Sementara itu semua yang melihat Mahesa Amping dan Aanjav tengah mempersiapkan diri untuk bertarung sepertinya mengerti bahwa pertarungan yang dahsyat akan terjadi di tanah lapang bukit Sembul itu, terlihat mereka semuanya mencari tempat menjauh.

“Mari kita lihat apakah cambukmu mampu menahan serangan tongkatku”, berkata Aanjav sambil memutar tongkatnya diatas kepalanya.

Wutttt… ,,

Tiba-tiba terdengar suara angin yang cepat berasal dari tongkat Aanjav yang meluncur menghantam ke arah pinggang Mahesa Amping.

“Pukulan yang kuat !!”, berkata Mahesa Amping yang bergeser mundur menghindari hantaman tongkat  panjang Aanjav yang kuat dan cepat itu. Baru saja Mahesa Amping bergeser mundur, tongkat Aanjav telah berubah arah menusuk ke arah perut, kembali Mahesa Amping bergeser mundur ke belakang. Namun kali ini cambuk Mahesa Amping ikut bergerak.

Wutttt… ,

Cambuk Mahesa Amping nyaris menghantam leher Aanjav.

“Arah serangan yang baik”, berkata Aanjav sambil merunduk menghindari serangan cambuk Mahesa Amping.

Degggggg… ,

“Bagaimana yang ini?”, berkata Mahesa Amping sambil menghentakkan cambuknya dengan cara sendal pancing mematuk ke arah leher Aanjav.

“Luar biasa”, berkata Aanjav sambil bergeser badannya kekanan menghindari patukan cambuk Mahesa Amping yang datang tidak terduga dan begitu cepatnya.

Kali ini Aanjav balas menyerang dengan mengibaskan tongkatnya ke arah kaki Mahesa Amping. Dengan cepat Mahesa Amping melompat dan balas menyerang dengan memutarkan cambuknya kearah badan Aanjav bagian atasnya.

Tidak ada cara lain bagi Aanjav selain menangkis serangan Mahesa Amping dengan tongkatnya.

Duarrr… !!!!!

Dua buah senjata beradu mengeluarkan suara yang terdengar begitu keras dan memercikkan bunga api di keremangan malam diatas tanah lapang Bukit Sembul.

Dua buah senjata yang hanya terbuat dari kayu pilihan dan yang satunya sebuah cambuk dari bahan jengat ketika beradu memercikkan bunga api adalah sebuah tanda bahwa pemilik kedua senjata itu telah memiliki tenaga cadangan yang sangat dahsyat.

“Kali ini Mahesa Amping mendapatkan lawan yang sepadan”, berkata Empu Dangka dalam hati yang menyaksikan pertempuran itu dengan mata yang sepertinya tidak pernah berkedip.

Ternyata perhitungan Empu Dangka sangat beralasan. Aanjav di tanah asalnya sangat disegani. Bahkan namanya sudah terkenal tidak hanya terbatas di Tanah Hindu. Beberapa Datuk sesat di daratan Cina yang terkenal akan ketinggian ilmunya akan berpikir ulang untuk berhadapan langsung dengan Aanjav yang dikenal dengan sebutan “Pendeta bertongkat seribu ”.

Kedua murid Aanjav, Dewa Bakula dan Dewa Palaguna diamdiam mengagumi ketinggian ilmu Mahesa Amping. Kedua muridnya ini sudah tahu betul kedahsyatan ilmu gurunya, namun kali ini ada seorang yang masih muda telah mampu melayaninya dengan baik.

“Pertempuran yang dahsyat”, berkata Ki Jaran Waha kepada Ki Arya Sidi yang berdiri di sebelahnya.

“Pertempuran semakin cepat”, berkata Ki Arya Sidi yang melihat pertempuran sudah semakin cepat.

Sebagaimana yang dilihat oleh Ki Arya Sidi, pertempuran memang sudah semakin cepat. Mahesa Amping dan Aanjav telah meningkatkan tataran ilmunya selapis demi selapis. Seranganserangan mereka sudah tidak dapat lagi terlihat oleh pandangan kasat mata.  Yang terlihat hanyalah dua bayangan hitam saling menyerang dan balas menyerang. Yang lebih dahsyat lagi terlihat pada pada arena tempat mereka bertempur yang sudah menjadi rata. Rumput dan alangalang hangus terbakar menjadi abu dan beterbangan menjauh tertiup angin pukulan yang keras.

Ternyata Mahesa Amping dan Aanjav telah menyalurkan tenaga dari dalam dirinya berupa hawa panas yang luar biasa pada masing-masing senjatanya. Terasa pada setiap angin serangan dan desis pukulan mereka. Jarak tempur mereka terus bergeser tidak lagi berdekatan, karena jarak arah serangan tidak sebatas di ujung tongkat dan di ujung cambuk, tapi sudah bertambah sedepa melebihi senjata mereka masingmasing berupa angin serangan yang sangat panas. Mahesa Amping memanfaatkan kelenturan senjata cambuknya, sementara itu Aanjav yang terkenal dengan sebutan “Pendeta bertongkat seribu telah memainkan tongkatnya dengan kecepatan yang luar biasa. Pertempuran dua dewa kanuragan ini pun menjadi begitu sengit, seru dan keras.

Kadang-kadang tidak dapat dihindari terjadi benturan senjata. Akibatnya adalah terlihat percikan bunga api layaknya dua benda berujud wesi aji pilihan saling beradu dengan kerasnya.

Pertempuran telah terlihat semakin seru dan meneganggan. Hawa panas telah menyebar seluas arena pertempuran diantara mereka.

Sementara itu malam telah semakin larut, belum juga ada tanda-tanda siapa yang akan memenangkan pertempuran itu. Tidak ada setitik keringat pun terlihat di wajah-wajah mereka. Sepertinya mereka telah menguasai ilmu pernapasan tingkat tinggi, tidak merasakan kelelahan sedikit pun. “Pantas bila kedua muridku tidak dapat menandinginya”, berkata Aanjav dalam hati sambil melayani serangan Mahesa Amping yang dahsyat datang beruntun.

Sementara itu Mahesa Amping terus berpikir keras bagaimana caranya mengalahkan ilmu Aanjav ini yang memang sudah ada pada tataran yang tinggi. Tidak terlihat celah sedikit pun dari jurus-jurus yang dikeluarkan, meski Mahesa Amping pernah melihatnya ketika menghadapi Dewa Bakula dan Dewa Palaguna. Tapi jurus Aanjav dari kedua muridnya ini jauh lebih sempurna lagi.

“Anak ini bergerak seperti setan”, berkata dalam hati Aanjav menghadapi Mahesa Amping yang telah menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang nyaris sempurna, ditambah lagi Mahesa Amping sepertinya mampu membaca kemana arah senjata tongkatnya akan berpindah serangan.

Hanya dengan kematangan ilmunya yang telah banyak berpengalaman menghadapi berbagai lawan dari berbagai ilmu aliran yang berbeda yang membuat Pendeta bertongkat seribu ini mampu menghadapi dan mengimbangi anak muda lawannya itu.

“Luar biasa!!!”, berkata kembali Aanjav dalam hati ketika Mahesa Amping telah mampu menghadapi serangannya dengan jarak pendek, sepertinya tidak merasakan apapun hawa panas yang telah dikerahkan lewat serangan tongkatnya.

Diam-diam Pendeta bertongkat seribu mengagumi Mahesa Amping yang masih muda namun sudah berilmu tinggi. Biasanya hanya dari golongan tua saja yang mampu melayaninya. Pertempuran masih terus berlangsung dan nampaknya kian seru. Butiran-butiran keringat sudah terlihat di wajah Mahesa Amping maupun pada Aanjav sebagai tanda mereka telah mengerahkan seluruh tenaganya dengan keras.

“Hanya orang gila yang mampu berbuat ini!!!!”, berkata dalam hati Aanjav dengan dada yang berdebar.

Ternyata Mahesa Amping tengah membolak-balikkan kekuatan hawa panas dan hawa dingin silih berganti dengan perubahan yang cepat.

Empu Dangka yang melihat kecerdikan Mahesa Amping hanya tersenyum kecil, sebuah cara yang tidak umum dan tidak semua orang dapat melakukannya.

Empu Dangka melihat perubahan pertempuran, Aanjav sepertinya agak terganggu dengan cara yang dilakukan oleh Mahesa Amping lewat pengerahan hawa panas dan hawa dingin yang berubah dengan cepat dan tidak menentu.

“Dewa mana yang mengendap didalam jiwa anak ini”, berkata dalam hati Aanjav dengan perasaan galau.

Galau memenuhi perasaan Aanjav sang pendeta bertongkat seribu ini.

Galau juga memenuhi perasaan Dewa Palaguna yang melihat gurunya seperti setengah terdesak. Sebagai orang yang berada diluar arena pertempuran dapat merasakan sebuah tekanan akibat dari perubahan hawa panas dan hawa dingin yang silih berganti tak menentu. Dewa Palaguna dapat  membayangkan tekanan yang lebih keras lagi akan dialami oleh gurunya yang tengah bertempur itu.

Ki Jaran Waha dan Ki Arya Sidi terlihat mundur menjauh karena merasakan tekanan perubahan hawa panas dan hawa dingin yang dihentakkan oleh kekuatan dari dalam diri Mahesa Amping.

“Bila saja anak muda ini telah mengerahkan kekuatannya seperti ini ketika bertempur melawanku, mungkin aku sudah tidak lagi melihat purnama malam ini”, berkata Dewa Palaguna merasa bersyukur Mahesa Amping ternyata telah bersikap lunak kepadanya sambil menarik nafas panjang.

“Ketika berupaya menghentakkan kekuatan yang ada didalam dirinya beberapa hari yang lalu, Mahesa Amping belum melepaskan seluruh kekuatannya”, berkata Empu Dangka yang baru melihat kekuatan Mahesa Amping yang sebenarnya sambil mundur beberapa langkah menghindari tekanan akibat perubahan kekuatan hawa panas dan hawa dingin yang silih berganti yang dikerahkan Mahesa Amping dalam menghadapi Aanjav yang berilmu tinggi.

Kegalauan menghantui seluruh perasaan Aanjav, ternyata Mahesa Amping telah merambati kekuatannya semakin ke puncaknya. Pikiran Aanjav telah bercabang, disamping menghadapi serangan cambuk Mahesa Amping yang sangat cepat dan beruntun, juga berusaha melambari dirinya dengan hawa panas dan hawa dingin yang silih berganti .

Terlihat tubuh Aanjav melenting jauh ke belakang. “Cukup!!!”, berkata Aanjav sambil mengangkat  kedua

tangannya sebagai tanda untuk menghentikan pertempurannya. Sebagai seorang yang ahli dan mempunyai pengalaman yang cukup banyak dapat mengetahui apa yang terjadi bila saja lawannya dengan kekuatan  yang  semakin  tinggi  dan  berubah ubah   itu akan mengakibatkan seluruh urat halus darah akan pecah, sebuah dampak yang sangat mengerikan !!!!!!

Mahesa Amping terlihat masih berdiri ditempatnya. “Terima kasih telah berbuat lunak kepadaku”, berkata

Aanjav kepada  Mahesa Amping  sambil menjura  dalam.

“Hari ini aku mengakui dan menerima kekalahan muridmuridku”, berkata Aanjav kepada mahesa Amping.

“Hanya manusia yang berjiwa layaknya samudera yang dapat menerima sebuah kekalahan”, berkata Mahesa Amping kepada Aanjav dengan senyum penuh persahabatan.

“Senang berkenalan denganmu wahai anak muda”, berkata Aanjav kepada Mahesa Amping, sepertinya mereka tidak habis bertempur.

Semua yang menyaksikan pertempuran itu terlihat bernafas lega setelah beberapa saat darah mereka seperti berhenti begitu tegangnya.

“Mereka adalah sahabat Mahesa Amping”, berkata Dewa Bakula kepada Gurunya sambil memperkenalkan Empu Dangka, Ki Arya Sidi dan Ki Jaran Waha yang juga baru dikenalnya.

“Hari ini aku berkenalan dengan orang-orang luar biasa dari Balidwipa”, berkata Aanjav penuh senyum keramahan. Akhirnya mereka menyadari bahwa Dewa Palaguna tidak ada diantara mereka.

“Palaguna belum dapat menilai sebuah kekalahan dengan sebenarnya”, berkata Aanjav sambil menarik nafas dalam menyesali sikap dan perbuatan muridnya yang sudah cukup berumur yang seharusnya sudah dapat berbuat bijak.

Sementara itu cakrawala langit malam sudah semakin hanyut surut dibawa sang waktu, dan sang dewi rembulan sudah letih menjaga bumi berbaring pucat di tepian ujung barat cakrawala langit malam yang sebentar lagi akan berganti pagi.

Benar!!!, bintang fajar telah terlihat tersenyum denngan cahayanya yang gemerlap sebagai tanda pagi akan segera menjelang.

“Mari kita bersama ke Pura Indrakila”, berkata Dewa Bakula mengajak semuanya beristirahat di Pura Indrakila.

“Terima kasih, aku tidak ikut singgah. Penampilanku akan membuat gempar para penghuni Pura Indrakila”, berkata Ki Jaran Waha pamit diri langsung kembali ke tempat kediamannya.

Terdengar Ki Jaran Waha bersuit panjang, maka terlihat beberapa orang keluar dari persembunyiannya. Ternyata Ki Jaran telah menempatkan beberapa pengikutnya untuk berjaga-jaga bilamana ada sebuah kecurangan dari pihak lain.

Dengan diiringi pandangan mata semua yang ada di puncak bukit Sembul itu, Ki Jaran Waha dan pengikutnya telah menuruni puncak Bukit Sembul dan akhirnya menghilang ditelan bumi di sebuah tanah yang menurun terjal.

Tidak lama kemudian semua yang tersisa di tanah lapang bukit Sembul itu pun bergerak menuruni bukit menuju Pura Indrakila.

Mereka berjalan beriring dinaungi langit yang telah bersemburat warna merah merata sebagai tanda sebentar lagi sang mentari akan datang menjaga bumi.

Pagi masih begitu gelap manakala mereka telah sampai di Pura Indrakila. Sebagaimana keluarnya, mereka pun masuk dari sebelah sisi kiri Pura Indrakila langsung menuju Bale Guru.

“Beristirahatlah, aku akan memberitahukan pelayan”, berkata Dewa Bakula ketika mereka tengah manaiki tangga pendapa Bale Guru.

“Semoga Gusti Yang Maha Agung selalu menaungi perjalananmu”, berkta Empu Dangka mengantar ki Arya Sidi yang tengah menuruni anak tangga pendapa Bale Guru.

Diiringi pandangan mata Mahesa Amping dan Empu Dangka, terlihat Ki Arya Sidi menghilangan di tikungan jalan setapak terhalam pohon rengon yang besar.

Sementara itu matahari pagi sudah bergeser naik memancarkan cahayanya yang menyilaukan di ujung timur bumi. Awan cerah seperti kapas mengambang mengisi seluruh cakrawala diatas Bale Guru Pura Indrakila.

Seperti biasa, dipagi itu Mahesa Amping dan Empu Dangka turun ke sanggar untuk memberikan beberapa pengarahan yang diperlukan kepada para Sisya.

“Daya tangkap dan penalaran dari setiap Sisya ternyata tidak sama”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka disela-sela kesibukannya memberikan pengarahan kepada para Sisya.

“Disitulah letak keadilan Gusti Yang Maha Agung”, berkata Empu Dangka dengan senyum dikulum.

“Jadi adil itu bukan berarti sama rata ?”, bertanya Mahesa Amping

“Benar, adil menurut kita tidak sama dengan adil menurut Sang Hyiang Gusti Yang Maha Agung”, berkata Empu Dangka masih dengan senyumnya yang menyejukkan.

Pembicaraan mereka terhenti manakala datang seorang pelayan Puri Dalem Astana menemui mereka.

“Baginda Raja berkenan akan mengunjungi sanggar”, berkata pelayan itu.

“Kami akan menanti kedatangan tuan Baginda”, berkata Mahesa Amping kepada pelayan itu.

Pelayan itu pun terlihat melangkah pergi meninggalkan mereka. Tidak lama berselang, Baginda Raja Indrakila memang telah berkenan datang ke sanggar melihat-lihat kegiatan latihan para Sisya bersama Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Terima kasih telah mengembalikan warna ilmu di Pura Indrakila ini sebagaimana yang telah diturunkan nenek moyang kami secara turun temurun”, berkata Baginda Raja Indrakila merasa gembira melihat tata gerak ilmu kanuragan yang diajarkan Mahesa Amping.

“Apakah tuanku melihat beberapa hal yang berbeda?”, bertanya Mahesa Amping memancing kejelian mata Baginda Raja Indrakila.

“Benar apa yang kamu katakan, aku melihat beberapa hal yang berbeda secara mendasar”, berkata Baginda Raja yang sejak semula melihat ada beberapa perbedaan.

“Itulah hasil pengembangan dan kesempurnaannya”, berkata Mahesa Amping tanpa menerangkan bahwa dialah sebenarnya yang telah menyempurnakan ilmu perguruan Panca Agni.

Akhirnya, secara sederhana Mahesa Amping menjelaskan beberapa hal yang merupakan kesempurnaan dari ilmu perguruan Panca Agni kepada Baginda Raja Indrakila.

Sebagai seorang yang telah lama menggeluti ilmu perguruan Panca Agni sejak usia belia, penjelasan Mahesa Agni membuat Baginda Raja Indrakila semakin tertarik.

“Bila tuanku bersedia, hamba dapat merincinya di sanggar tertutup”, berkata Mahesa Amping mengajak Baginda Raja Indrakila ke sanggar tertutup yang saat itu tidak digunakan oleh para Sisya.

Ketika sudah berada didalam Sanggar tertutup, Mahesa Amping menjelaskan secara terinci beberapa celah kekurangan yang ada pada ilmu perguruan Panca Agni. Dan dengan secara terinci pula Mahesa Amping menjelaskan beberapa kesempurnaan dan pengembangan ilmu perguruan Panca Agni. Kadang Mahesa Amping menjelaskan dengan langsung memperagakannya.

Seperti anak kecil mendapatkan mainan baru, Baginda Raja Indrakila langsung menjalankan jurus-jurus pengembangan perguruan Panca Agni dengan penuh semangat.

“Selama ini aku berlatih tapi tidak melihat kekurangannya”, berkata Baginda Raja Indrakila penuh kegembiraan mengakhiri beberapa jurus yang berbeda sebagai hasil pengembangan ilmu perguruan Panca Agni.

“Dengan beberapa kali latihan pasti akan luluh mendarah daging”, berkata Mahesa Amping kepada Baginda Raja Indrakila.

“Pekan depan aku akan mengunjungi kalian, apakah latihanku sudah ada peningkatan”, berkata Baginda Raja Indrakila kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka ketika mereka keluar dari sanggar tertutup.

“Dengan senang hati kami menanti kunjungan Tuanku”, berkata Mahesa Amping yang mengantar Baginda Raja Indrakila kembali ketempatnya di Puri dalem.

Sekumpulan burung manyar kuning terbang melintas halaman Bale Guru, sementara itu matahari sore masih setia menjaga bumi berbaring di ujung barat dengan cahayanya yang semakin redup.

“Apakah anakmas tidak pernah berpikir untuk membawa keluarga di Balidwipa ini?”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping ketika mereka tengah duduk di pendapa Bale guru menanti saat senja datang.

Mahesa Amping tidak segera menjawab, matanya jauh memandang kedepan malampaui rerumputan di halaman muka pendapa Bale Guru. Ternyata angan Mahesa Amping telah jauh berkelana sampai ke Tanah Melayu.

“Setelah tugas yang diembankan kepadaku selesai, aku akan membawa mereka ke Balidwipa”, berkata Mahesa Amping perlahan.

“Balidwipa adalah sebuah hunian yang indah, terutama untuk sebuah keluarga”, berkata Empu Dangka sambil melirik Mahesa Amping ingin tahu apa isi hati Mahesa Amping dan yang dipikirkannya.

Sekilas suasana di Bale Guru menjadi begitu sepi. Mahesa Amping dan Empu Dangka sepertinya tengah ada didalam pikirannya masing-masing.

“Entah kenapa pada saat-saat tertentu yang kubayangkan adalah sebuah keluarga kecil, sebuah gubuk mungil berdiri di dekat sebuah persawahan”, berkata Mahesa Amping yang akhirnya menyampaikan apa yang dipikirkannya.

Empu Dangka tersenyum mendengar apa yang dipikirkan oleh Mahesa Amping.

“Bukan rumah besar seorang perwira besar di kotaraja dengan sejumlah pelayan yang selalu siap melayani?”, bertanya Empu Dangka kepada Mahesa Amping sepertinya tidak perlu jawaban dari Mahesa Amping.

Mahesa Amping memang tidak segera menjawab, hanya terlihat tarikan nafasnya yang panjang. Empu Dangka tidak mencoba mengungkit apa sebenarnya yang tengah dipikirkan oleh anak muda yang telah mempunyai ketinggian ilmu yang sudah melebihi puncak Gunung Agung itu.

Sementara sang Sandikala telah datang mewarnai cakrawala langit di atas Bale guru Pura Indrakila. Pandangan alam menjadi begitu bening tanpa semilir angin sedikit pun. Pohon-pohon besar di sekitar Bale Guru seperti seonggok raksasa tinggi besar tengah memandang langit. Hamparan rumput hijau di halaman Bale guru seperti rebah bersujud menanti datangnya sang raja malam yang gelap.

Sang Raja malam akhirnya memang datang juga membawa layar kegelapannya menyelimuti hamparan bumi.

“Ki Arya Sidi mungkin besok baru datang kembali”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping ketika mereka masih duduk diatas pendapa Bale Guru yang telah diterangi pelita biji jarak dengan cahayanya yang temaram menggantung di sudut tiang kanan dan kiri pendapa Bale Guru.

“Secepatnya kita harus menyerahkan pembinaan para Sisya di Pura Indrakila ini kepada Ki Arya Sidi”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

“Mengapa harus secepatnya?”, bertanya Empu Dangka “Secepatnya kita harus melaporkan tugas di Balidwipa ini ke Singasari”, berkata mahesa Amping

“Kita??, kamu saja kalii??”, berkata Empu Dangka penuh canda

“Bukankah saudara kembar Empu dangka sudah menjadi Pendeta Guru Istana di Singasari dan Empu Dangka ingin menemuinya?”, berkata Mahesa Amping tanpa meminta jawaban langsung dari Empu Dangka.

“Anakmas benar, aku akan datang bersamamu ke Singasari”, berkata Empu Dangka dengan wajah berbinar terlihat cahaya matanya yang bening telah berkaca, mungkin menahan getar kerinduan untuk bertemu kepada satu-satunya saudaranya yang juga satu-satunya keluarganya yang masih hidup di dunia ini.

Dering dengung malam terdengar ajek mengiringi suasana malam yang gelap dan sepi disekitar Bale Guru Pura Indrakila. Kadang terdengar suara katak menjerit, mungkin suara terakhirnya ketika berada di ujung taring seekor ular yang malam itu telah mendapatkan santapannya.

“Hari sudah jatuh malam, mari kita masuk beristirahat”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.

Semilir angin malam membasuh daun-daun dan ranting pepohonan di sekitar Bale Guru Pura Indrakila. Cakrawala langit terlihat sedikit berkabut, tidak ada satu pun bintang yang nampak hadir. Itulah sebuah tanda alam akan datangnya hujan. Dan tidak lama kemudian hujan pun datang juga, tidak begitu besar, hanya rintikrintik gerimis kecil, dan sepajang malam itu gerimis kecil mengisi sisa hari yang panjang hingga datangnya pagi.

Hujan gerimis turun merata hampir di seluruh Balidwipa. Gerimis juga mengguyur Bukit Pejeng Gundul. Pagi itu terlihat enam orang lelaki tengah berjalan menuju regol gerbang Padepokan Panca Agni.

“Kutitipkan Padepokan ini kepadamu”, berkata Ki Arya Sidi sambil memeluk erat Ki Nyoman, orang yang selama ini begitu setia melayani dirinya.

“Semoga tuan dapat menjaga kesehatan”, hanya itu yang terucap dari bibir Ki Nyoman, tenggorokannya terasa tersumbat untuk mengatakan hal yang lain.

“Jarak Pura Indrakila tidak begitu jauh, bila ada waktu datanglah ke Pura Indrakila”, berkata Ki Arya Sidi melepaskan pelukannya.

Terlihat Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya tengah berjalan menjauhi Padepokan Panca Agni diiringi tatapan mata seorang pelayan tua yang setia Ki Nyoman. Akhirnya kelima orang yang selama ini dilayaninya itu telah menghilang di sebuah jalan menurun.

“Mereka adalah orang-orang yang baik, bumi akan menerima mereka dimanapun tanah dipijak”, berkata Ki Nyoman sambil menarik nafas panjang menghentakkan kesedihan hatinya.

Hari itu memang hari pasaran ketika mereka tengah mendekati sebuah pasar di disebuah padukuhan yang mereka lewat. Sementara matahari pagi terlihat begitu terang memancarkan cahayanya.

“Sudah lama rasanya tidak minum dawet”, berkata Dewa Ketut Akasa yang melihat penjual dawet dimuka pasar.

Ki Arya Sidi tersenyum mendengar Sisya terkecilnya bicara tentang sebuah dawet.

“Mari kita mampir sejenak merasakan nikmatnya sebuah dawet”, berkata Ki Arya Sidi mengajak para sisyanya mampir meminum dawet.

Bukan main gembiranya Ketut Dewa Akasa mendengar suara gurunya yang memberikan kesempatan mampir ke penjual dawet.

“Buatkan kami empat, pak tua”, berkata Wayan Dewa Bayu sisya tertua dari keempat sisya itu.

Terlihat pak tua penjual dawet dengan terampil membuat empat mangkuk dawet pesanan, gula aren dan santannya ada dalam tempat terpisah. Ketut Dewa Akasa terlihat menelan ludahnya ketika melihat pak tua tengah melelehkan gula aren cair ke mangkuk satu persatu.

“Silahkan menikmati”, berkata Pak Tua penjual dawet mempersilahkan ke empat mangkuk pesanannya.

“Kurang satu”, berkata Nyoman Dewa Teja yang terlihat sangat teliti.

“Tadi pesannya empat mangkuk”, berkata Pak Tua penjual Dawet.

“Aku yang salah, aku yang memesan empat mangkuk yang seharusnya lima mangkuk”, berkata Wayan Dewa Bayu langsung mengakui kesalahannya.

“Biarlah aku yang menunggu pesanan terakhir”, berkata Made Dewa Apah, saudara kedua mereka yang terlihat sering banyak mengalah dan sangat bijaksana.

Ki Arya Sidi diam-diam tersenyum melihat ragam watak keempat sisyanya.

“Sikap satria telah terlihat dalam diri mereka”, berkata Ki Arya Sidi sambil menikmati minuman dawet yang terasa sangat begitu nikmat.

Ketika mereka tengah menikmati minuman dawet, tiba-tiba saja berlari kearah mereka seorang anak kecil sebaya dengan Ketut Dewa Akasa sambil menangis.

“Paman, hasil penjualan taliku dirampas semuanya”, berkata anak itu kepada pak tua penjual dawet.

“Mengapa kamu tidak melawannya?”, berkata Pak Tua penjual Dewet terlihat sangat kesal

“Mereka terlalu besar untuk dilawan”, berkata anak itu masih menangis.

“Apa yang terjadi pak tua?”, bertanya Nyoman Dewa Teja merasa ingin tahu apa yang terjadi atas anak itu.

“Anak ini adalah keponakanku, setiap hari pasaran ibunya selalu membuat tali dari pelepah pisang untuk dijual di pasar ini. Anak inilah yang menjualkan tali-tali itu. Tapi seperti kemarin, anak-anak brandal telah merampas hasil penjualannya”, berkata Pak Tua penjual dawet memberikan penjelasannya.

“Itulah mereka yang telah merampas hasil penjualanku”, berkata tiba-tiba anak itu sambil menunjuk empat orang anak tanggung yang tengah berjalan akan keluar pasar.

“Ijinkan aku menemui mereka”, berkata Ketut Dewa Akasa kepada Ki Arya Sidi yang seperti tidak menghadapi suatu yang besar mengijinkan anak itu dengan menganggukkan kepalanya. Diam-dia merasa bangga melihat jiwa satria telah tumbuh didalam diri anak sekecil itu.

“Serahkan jajanan itu semua kepadaku”, berkata Ketut Dewa Akasa dihadapan empat anak tanggung itu.

Keempat anak tanggung itu tertawa tidak tertahan mendapatkan seorang bocah yang lebih kecil dari mereka tengah menggertak mereka.

“Apakah kamu akan merampok kami?”bertanya salah seorang dari mereka yang terlihat bertubuh paling tinggi dan kurus.

“Benar aku akan merampok kalian”, berkata Ketut Dewa Akasa dengan gaya penuh keberanian.

“Anak ini memang perlu disumbat mulutnya”, berkata anak yang paling tinggi kurus itu sambil melangkah mendekati Ketut Dewa Akasa dan langsung melayangkan tangannya menampar kearah wajah Ketut Dewa Akasa.

Ternyata Ketut Dewa Akasa bukan anak kecil sembarangan, selama ini telah berlatih bersama ketiga saudaranya dengan cara yang sesungguhnya menghadapi sebuah perkelahian.

Terlihat Ketut Dewa Akasa membiarkan tangan anak itu mendekati wajahnya dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Maka ketika tinggal sedikit lagi tangan anak tinggi kurus itu mengenai wajahnya, Ketut Dewa Akasa telah memiringkan sedikit kepalanya.

Tangan anak tinggi kurus itu mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu sedikit terhuyung.

Ketut Dewa Akasa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan cepat kakinya telah bergeser menekuk siku kaki anak tinggiu kurus itu. Akibatnya sungguh luar biasa, anak tinggi kurus itu terjungkal kedepan jatuh mencium bumi. Jajanan ditangannya terlihat tercecer di tanah. Terlihat anak tinggi kurus itu bangkit berdiri kembali dengan mata merah penuh kemarahan.

“Kucekik kau sampai mati!!”, berkata anak itu sambil menjulurkan kedua tangannya ke arah leher Ketut Dewa Akasa.

Dibiarkan tangan anak tinggi kurus itu menyambar lehernya, namun baru saja tangan itu menyentuh kulit lehernya, kedua tangannya telah mencengkam dengan keras kedua tangan anak tinggi kurus itu.

Tangan kecil Ketut Dewa Akasa ternyata sudah terlatih. Buktinya anak tinggi kurus itu terlihat meringis merasakan tangannya tercekal begitu keras.

Dan Ketut tidak hanya sampai disitu, dengan tangan kecilnya memelintir tangan anak tinggi kurus itu kearah keluar dan melemparkannya. Ketika tangan itu terbuka lebar, sebuah tangan mungil Ketut Dewa Akasa telah bersarang keperut anak tinggi kurus itu.

Ki arya Sidi yang melihat dari kejauhan menggelenggelengkan kepalanya.

“Harusnya tangan itu mengarah kedada, tapi anak sekecil itu sudah punya jiwa pengasih”, berkata Ki Arya Sidi dalam hati merasa bangga seorang sisyanya telah mempunyai jiwa welas asih.

“Ayo bangkit berdiri, apakah kamu masih kuat?”, bertanya Ketut Dewa Akasa kepada anak tinggi kurus itu yang sepertinya masih belum sanggup berdiri.

“Berikan kembali apa yang sudah kamu rampas dari anak kecil penjual tali, atau kamu ingin terjungkal seperti kawanmu?”, berkata Ketut Dewa Akasa kepada ketiga anak lainnya.

Ternyata ketiga anak itu berjiwa pengecut, tidak ada sedikit pun pembelaan kepada kawannya yang masih menahan rasa sakit di perutnya.

“Hanya sekepeng inilah yang kami dapatkan dari anak kecil penjual tali itu”, berkata salah seorang anak sambil menyerahkan sekepeng logam.

“Sisanya telah kamu belanjakan jajanan itu”, berkata Ketut Dewa Akasa dengan suara dibesarkan layaknya seorang pendekar besar.

“Benar”, berkata anak itu sambil menganggukkan kepalanya dibenarkan juga oleh kedua kawannya.

“Pergilah, kali ini kalian kumaafkan. Mulai hari ini aku tidak mau mendengar lagi anak kecil penjual tali itu dirampas miliknya”, berkata Ketut Dewa Akasa.

Terlihat ketiga anak itu berjalan cepat meninggalkan seorang kawannya yang terlihat perlahan bangkit berdiri. Anak tinggi kurus itu perlahan berdiri dan berjalan kearah ketiga kawannya yang sudah lebih dulu meninggalkannya.

Ketut Dewa Akasa telah kembali ke tempat penjual dawet.

“Aku hanya mendapatkan sekepeng, berapa kepeng milikmu yang dirampas?”, berkata Ketut Dewa Akasa kepada anak kecil penjual tali itu.

“Tiga kepeng”, berkata anak kecil itu.

“Ini dua kepeng milikku untukmu, mudah-mudahan besok kamu tidak diganggu lagi”, berkata ketut Dewa Akasa sambil menyerahkan dua kepeng miliknya kepada anak kecil penjual tali itu.

“Terima kasih”, berkata anak itu penuh kegembiraan. “Akan kubelanjakan untuk bahan jamu ibuku yang sedang sakit”, berkata kembali anak kecil itu menuju ke pasar yang masih ramai sambil membawa beberapa ikat tali jualannya yang masih tersisa.

“Aku sangsi apakah kamu dapat melayani ketiga anak itu sekaligus”, berkata Made Dewa Apah menggoda adiknya.

“Aku tidak takut selama yang kubela adalah sebuah keadilan”, berkata Ketut Dewa Akasa penuh semangat.

“Adikmu benar, jiwa satria selalu menegakkan keadilan di muka bumi ini”, berkata Ki Arya Sidi kepada keempat Sisyanya.

Sementara itu matahari terus merayap, suasana pasar terlihat tidak lagi seramai sebelumnya.

“Mari kita melanjutkan perjalanan”, berkata Ki Arya Sidi kepada para Sisyanya.

Terlihat Ki Arya Sidi bersama para Sisyanya telah keluar dari Padukuhan itu dan terus melangkah menyusuri pematang sawah yang luas membentang.

“Padi ini baru berumur dua pekan, masih lama menunggu waktunya panen”, berkata Ki Arya Sidi sambil melihat hamparan sawah yang luas.

Akhirnya mereka telah mendekati sebuah bulakan panjang yang sepi.

“Apakah arah kita menuju bukit didepan kita?”, bertanya Wayan Dewa Bayu kepada Ki arya Sidi.

“Benar, setelah mendaki bukit itu, kita sudah mendekati Pura Indrakila”, berkata Ki Arya Sidi. Namun begitu mereka memasuki bulakan  panjang itu, terdengar suara beberapa orang tengah bertempur. Ki Arya Sidi memberi tanda kepada para Sisyanya untuk melihat apa yang terjadi didepan mereka dengan cara bersembunyi mengendap di beberapa semak dan alang alang. Ketika mereka sudah semakin mendekat, ternyata memang telah terjadi sebuah pertarungan yang cukup sengit. Ada tujuh orang tengah bertarung. Terlihat ada satu orang dikeroyok oleh dua orang.

“Kita belum dapat menentukan siapakah yang patut kita bela”, berkata Ki Arya Sidi perlahan sambil matanya terus mengawasi jalannya pertarungan.

“Tapi kita dapat terlambat membela mereka yang perlu dibela”, berkata Made Dewa Apah penuh kekhawatiran.

“Kalian tetaplah bersembunyi, aku akan mencoba turun ke arena pertarungan”, berkata Ki Arya Sidi yang langsung keluar dari persembunyiannya.

“He he he ada tontonan yang asyik”, berkata Ki Arya Sidi sambil mendekati salah seorang dari dua orang yang tengah mengeroyok.

“Orang gila, enyahlah kamu”, berkata orang itu merasa terganggu dengan kehadiran Ki Arya Sidi yang berlakon layaknya orang gila.

“Aku ingin ikut berkelahi, tidak enak melihat dua orang melawan satu”, berkata Ki Arya Sidi sambil tertawa terkekehkekeh.

“Dasar orang gila”, berkata salah seorang  diantaranya yang langsung melayangkan golok tajamnya kearah leher Ki Arya Sidi.

Gerakan orang itu masih terhitung sangat lambat dimata Ki Arya Sidi. Maka dengan cepat tangan Ki Arya Sidi sudah dapat mencekal pergelangan orang itu. Dan dengan gaya orang gila betulan, Ki Arya Sidi menubrukkan tubuhnya ke arah orang itu, tentunya dengan sedikit melambari tenaga dalam. Akibatnya cukup mengejutkan, tubuh orang itu langsung terpental bersama terlepasnya golok tajam yang ada ditangannya. Ternyata orang itu tidak mampu bangkit lagi, terlentang ditanah sepertinya sudah pingsan.

Melihat kawannya jatuh pingsan, bukan main marahnya orang yang satunya. “Kuhabisi dulu nyawamu orang tua edan”, berkata orang itu yang langsung menyerang senjatanya kearah leher Ki Arya Sidi.

“Tidak kena, tidak kena”, berkata Ki arya Sidi dengan suara terkekeh mengelak setiap serangan orang itu yang terus mengejarnya merasa penasaran.

Kembali Ki Arya Sidi menabrakkan tubuhnya kearah orang itu, Bruk……., Terdengar suara tubuh saling beradu.

Anehnya Ki Arya Sidi masih tetap berdiri, sementara orang yang ditubruknya terjengkang mencium tanah dan tidak bergerak lagi. Orang yang sebelumnya dikeroyok terlihat termangu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, orang tua didekatnya telah merobohkan kedua lawannya dengan begitu mudah. Namun belum lagi rasa aneh hilang dari perasaannya, orang tua itu telah mendekati dua pertempuran lainnya.

Terlihat orang itu seperti wajah orang terlolong tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata Ki Arya Sidi sudah dengan mudahnya merampas semua senjata dari empat orang yang tengah bertempur.

“Senjata bagus, senjata bagus”, berkata Ki Arya sidi bersama suara tawanya yang terkekeh-kekeh.

“Orang tua edan, kembalikan senjataku”, berkata seorang yang berwajah garang mendekati Ki Arya Sidi bersama dengan kawannya.

Belum sempat kedua orang itu mendekat, Ki Arya Sidi terlihat membalikkan badannya membelakangi mereka. Dan ketika kedua orang itu sudah mendekat untuk menghajar orang tua yang dianggapnya edan itu. Maka tiba-tiba saja Ki Arya Sidi berjongkok membelakangi. 

Apa yang dilakukan oleh Ki Arya Sidi selanjutnya??? Dengan tangan menempel ditanah, dua kaki Ki Arya Sidi menendang kearah belakang tepat menghantam kedua dada lawannya secara bersamaan.

Benar-benar sebuah gerakan yang tidak terduga.

Kedua orang itu langsung terlempar jatuh terlentang.

Dan ternyata kedua orang itu sudah tidak bergerak lagi pingsan untuk waktu yang lama.

“Terima kasih pak tua edan, kamu telah mempermudah pekerjaan kami”, berkata salah seorang yang telah dibantu oleh Ki Arya Sidi. Sementara kedua kawannya terlihat memeriksa apapun yang terselip dibalik pakaian keempat orang lawannya yang tengah pingsan.

“Aku mendapatkannya”, berkata salah seorang  sambil memperlihatkan sebuah kotak perhiasan.

“He he he…., ternyata kalian adalah perampok”, berkata Ki Arya Sidi masih bergaya orang gila sambil menggaruk-garuk kepala.

“Pak Tua edan, sekarang pergilah menjauh sebelum kami berubah pikiran untuk membunuhmu”, berkata salah seorang diantara mereka yang nampaknya pemimpin dari kedua kawannya.

“Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa kalian membunuhku”, berkata Ki Arya Sidi sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Aku akan membunuhmu!!”, berkata pemimpin perampok itu sambil mengambil sebuah golok yang tercecer di tanah dan langsung menyerang Ki Arya Sidi.

Ki Arya Sidi membiarkan golok itu semakin dekat dengan kulit lehernya, maka ketika baru saja golok itu akan menyentuh kulitnya, tiba-tiba saja Ki Arya Sidi bergeser sedikit. Bukan main kagetnya orang itu terbawa tenaganya sendiri condong kedepan. Maka kembali Ki Arya Sidi menabrakkan badannya ke tubuh orang itu yang tentunya dengan sedikit melambari dirinya dengan tenaga dalam. Akibatnya seperti keempat orang lawannya, orang itu terpental terpelanting jatuh pingsan.

“He he he….”, Tertawa Ki Arya Sidi sambil memberi tanda agar kedua orang yang tersisa maju melawannya.

Tapi kedua orang itu menjadi begitu jerih membayangkan dirinya akan ikutan jatuh pingsan bila melawan orang tua yang dianggapnya edan itu. Terlihat bukannya maju melawan, melainkan mundur semakin menjauh dan lari begitu kencang takut dikejar oleh Ki Arya Sidi.

“Keluarlah kalian dari persembunyian”, berkata Ki Arya Sidi memanggil keempat sisyanya.

Terlihat keempat Sisyanya telah keluar dari persembunyiannya dan mendekati Ki Arya Sidi.

“Ikatlah orang itu”, berkata Ki Arya Sidi kepada Wayan Dewa Bayu. Maka Wayan Dewa Bayu telah mengikat salah seorang perampok yang masih pingsan itu dengan sebuah kulit kayu yang ada tumbuh disekitar mereka.

“Serahkan kotak perhiasan ini kepada salah seorang dari keempat orang itu yang masih pingsan”, berkata ki Arya Sidi sambil mencari tempat persembunyian.

Terlihat keempat para Sisya tengah menyatukan keempat orang yang pingsan tergeletak diberbagai tempat. Juga seorang perampok yang sudah dalam keadaan terikat. Para Sisya tidak perlu menunggu lama, beberapa waktu kemudian orang-orang yang pingsan itu telah terlihat siuman.

“Siapa kalian”, berkata salah seorang yang baru tersadar dari pingsannya kepada para Sisya.

“Kami kebetulan lewat, dan melihat kalian telah tergeletak disini”, berkata Nyoman Dewa Bayu mewakili ketiga saudaranya.

“Dimana orang tua edan itu”, berkata salah seorang yang lain sambil matanya menyapu semua tempat mencari-cari sementara orang yang dicarinya tidak ditemuinya.

“Mungkin maksud kisanak adalah seorang lelaki yang sudah cukup berumur?”, berkata Nyoman Dewa Bayu kepada orang itu.

“Benar, seorang lelaki tua”, berkata orang itu membenarkan. “Apakah kamu melihatnya ?”, bertanya orang itu kepada Nyoman Dewa Bayu.

“Aku melihatnya tengah mengikat orang itu”, berkata Nyoman Dewa Bayu sambil menunjuk seorang perampok yang masih terikat. “Orang tua itu juga menitipkan kotak ini kepada kami, katanya ini milik salah seorang diantara kalian”, berkata Nyoman Dewa Bayu sambil menyerahkan kotak kepada salah seorang diantaranya.

“Terima kasih, ternyata kalian adalah orang-orang jujur”, berkata salah seorang kepada para Sisya dengan wajah penuh gembira melihat isi didalam kotak tidak berkurang sedikit pun.

Akhirnya salah seorang diantaranya bercerita tentang apa yang terjadi. Berawal dari perjalanan mereka menuju Kademangan Pejeng dalam rangka mengantar saudara mereka yang akan melaksanakan upacara pernikahan. Namun ditengah jalan telah dicegat oleh tiga orang perampok dan juga bertemu dengan orang tua aneh  yang telah membuat mereka pingsan hanya dengan membenturkan tubuhnya.

“Kami berasal dari Padukuhan Kendal di lereng bukit Pura Indrakila”, berkata orang itu mengakhiri ceritanya.

“Kebetulan sekali, tujuan perjalanan kami  adalah Pura Indrakila”, berkata Made Dewa Apah ikut bicara.

“Singgahlah ketempat kami bila kalian ada waktu, mungkin kami dapat menjamu kalian sebagai ungkapan rasa terima kasih”, berkata salah seorang yang terlihat paling muda diantara keempat orang diantaranya.

“Kepada orang tua itulah kalian berterima kasih, sementara kami hanya kebetulan lewat”, berkata Nyoman Dewa Bayu.

“Apakah kalian melihat kemana perginya orang tua yang ….. agak kurang waras itu?”, bertanya seorang yang paling tua.

“Waktu kami temui katanya akan mengejar dua orang perampok kearah sana”, berkata Nyoman Dewa Bayu menunjuk sebuah arah. “Syukurlah, berarti kita tidak akan bertemu lagi dengan orang tua itu”, berkata salah seorang yang sedari tadi tidak pernah bicara, mungkin masih terbayang bagaimana rasa sakit yang tidak terkira yang telah membuatnya pingsan.

Sementara itu Nyoman Dewa Bayu dan ketiga adiknya hanya tersenyum dalam hati mengingat semua ulah gurunya Ki Arya Sidi.

“Bagaimana dengan seorang perampok ini?”, bertanya Made Dewa Apah meminta pertimbangan.

“Biarlah kami yang membawanya untuk diserahkan kepada Ki Buyut di Padukuhan terdekat.

Demikianlah akhirnya keempat orang itu telah melanjutkan perjalanan mereka sambil membawa seorang tawanan.

Ketika keempat orang itu sudah jauh berlalu, maka muncullah Ki Arya Sidi dari persembunyiannya.

“Hari ini aku telah salah menilai orang, kukira ketiga orang yang berpakaian ala bangsawan itu adalah orang baik, ternyata perampok tengik”, berkata Ki Arya Sidi sambil mengibaskibaskan pakaiannya yang ternyata banyak dihinggapi semut hitam.

“Guru tidak pernah mengajarkan kepada kami jurus gaya katak menendang kebelakang”, berkata Ketut Dewa Akasa kepada Ki Arya Sidi.

“Itu memang tidak ada dalam jurus perguruan kita”, berkata Ki Arya Sidi sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Tapi dampak dari jurus itu benar-benar jempolan, dua orang langsung pingsan”, berkata Nyoman Dewa Teja sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. “Betul, sebuah jurus maut yang baru kulihat”, berkata Wayan Dewa Bayu menambahkan.

Sementara itu Ketut Dewa Akasa dengan lincah mencoba meniru gerakan yang mereka sebut sebagai jurus maut itu. Maka tertawalah semuanya melihat gerakan Ketut Dewa Akasa.

“Tidak baik memperolok guru sendiri, mari kita melanjutkan perjalanan”, berkata Ki Arya Sidi sambil tersenyum mengajak keempat Sisyanya melanjutkan perjalanan mereka.

Mentari baru saja bergeser sedikit dari puncaknya ketika Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya tengah melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda, sementara itu cakrawala langit biru terlihat begitu cerah dipenuhi awan putih berarak tertiup angin seperti gumpalan kapas besar yang terus berubah bentuk.

Terlihat mereka akhirnya telah sampai di kaki sebuah bukit yang dipenuhi pohon pohon kayu yang lebat. Untuk sementara mereka merasa terlindung dari sengatan sinar matahari disiang hari itu.

Ki Arya Sidi dan keempat Sisyanya telah mendaki bukit itu menembus semak dan alang-alang yang tumbuh disekitar pohonpohon besar yang tinggi menjulang. Keadaan di hutan bukit kecil itu begitu teduh dan jalan mereka kadang berliku menghindari semak kayu berduri.

“Bukankah ini jalan yang tadi pernah kita lewati?”, berkata Nyoman Dewa Taja yang dikenal sangat teliti.

“Benar, kita telah berputar arah kembali di tempat yang sama”, berkata Wayan Dewa Bayu membenarkan ucapan adiknya.

“Mungkin kita perlu beristirahat membuka bekal kita”, berkata Ki Arya Sidi sambil memandang berkeliling.

“Dipasar aku sempat membeli Brem ketan hitam”, berkata Made Dewa Apah sambil membuka bekalnya.

“Pantas kita tersasar berputar-putar di tempat yang sama!!”, bekata Ki Arya Sidi tiba-tiba yang membuat semua mata para Sisya tertuju kepadanya memandang penuh pertanyaan.

Ki Arya Sidi pun akhirnya bercerita bahwa orang tuanya wanti-wanti mengingatkan agar tidak membawa brem ketan hitam bila akan melakukan perjalanan jauh. Pada suatu waktu diam-diam dirinya membawa brem ketan hitam dari rumah ketika akan melakukan sebuah perjalanan jauh bersama ayahnya. Hal yang aneh pun terjadi, mereka berdua tersesat di sebuah hutan yang sering mereka lalui hingga hari senja mereka berdua tidak juga menemukan jalan keluar.

“Marah besar ayahku ketika mengetahui bahwa aku membawa brem ketan hitam dalam perjalanan”, berkata Ki Arya Sidi.

“Apa yang dilakukan Ayah guru pada saat itu?”, bertanya Ketut Dewa Akasa sepertinya penasaran.

“Ayahku mengambil sebagian brem ketan hitamku dan melemparkannya keempat penjuru”, berkata Ki Arya Sidi. “Kata Ayahku para makhluk halus sangat menyukai Brem ketan hitam, itulah sebabnya mereka menahan kita ”, berkata Ki Arya Sidi menjelaskan.

Wayan Dewa Bayu, Made Dewa Apah, Nyoman Dewa Teja dan Ketut Dewa Akasa merasakan bulu tengkuknya berdiri mendengar cerita Ki Arya Sidi, sepertinya merasakan ada makhluk halus yang berdiri didekat mereka. Sabil tersenyum Ki Arya Sidi mengambil sedikit brem ketan hitam milik Made Dewa Apah  dan melemparkannya keempat penjuru arah.

“Silahkan kalian menikmati dan jangan ganggu kami lagi” berkata Ki Arya Sidi setelah melemparkan brem ketan hitam diempat penjuru.

Setelah itu Ki Arya Sidi mempersilahkan keempat Sisyanya untuk menikmati bekal yang mereka bawa.

Perut keempat bersaudara itu ternyata memang sudah cukup lapar setelah setengah harian berjalan, maka terlihat mereka benar-benar menikmati bekal makanan mereka.

Setelah beristirahat yang cukup, akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Entah apa karena para makhluk halus hutan itu sudah kebagian brem ketan hitam, atau karena mereka sudah cukup beristirahat. Perjalanan mereka tidak berputar-putar lagi tapi dapat melintasi bukit itu dan telah sampai dikaki bukit tempat Pura Indrakila berdiri.

Mereka tidak singgah di Padukuhan yang mereka lewati tapi langsung mendaki bukit Pura Indrakila karena hari sudah mendekati senja. Akhirnya diujung senja mereka telah sampai di Pura Indrakila.

“Selamat datang di Pura Indrakila”, berkata Mahesa Amping menyambut kedatangan Ki Arya Sidi bersama keempat Sisyanya. Setelah menyampaikan berita keselamatan masing-masing, merekapun bercerita sepanjang perpisahan diantara mereka.

“Guruku menemukan sebuah jurus maut di perjalanan, namanya jurus katak menendang kebelakang”, berkata Ketut Dewa Akasa kepada Mahesa Amping.

Semua tertawa ketika Ki Arya Sidi menjelaskan apa yang dimaksud dengan jurus katak menendang kebelakang. Diamdiam Mahesa Amping melihat Ketut Dewa Akasa seperti cermin dirinya ketika masih kecil, mempunyai otak yang cukup encer dan bakat yang baik. Mahesa Amping diam-diam mulai menyukai anak kecil ini.

Pembicaraanpun seketika terhenti manakala seorang lelaki tua yang bertugas melayani di Bale Guru itu muncul sambil membawa minuman hangat dan setumpuk ubi rebus.

Sementara itu waktu terus berlalu, malam telah menyelimuti Bale Guru itu yang hanya diterangi cahaya dua buah pelita.

“Ki Made Rangu akan mengantar kalian untuk beristirahat”, berkata Mahesa Amping sambil masuk kedalam memanggil Ki made Rangu mengantar empat bersaudara itu beristirahat di tempat yang telah ditentukan untuk para Sisya di Pura Indrakila itu.

“Mudah-mudahan mereka dapat cepat berbaur bersama para Sisya lainnya”, berkata Empu Dangka ketika keempat Syisa itu telah diantar oleh Ki Made Rangu ketempatnya beristirahat.

“Kehadiran mereka mungkin bisa memecut semangat para Syisa yang ada sebelumnya, karena mereka sudah berlatih lebih lama”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi dan Empu Dangka.

Seekor burung celepuk terdengar berbunyi dari pohon asam disamping Bale Guru, suaranya terdengar lagi ditempat yang semakin jauh. Sementara itu angin malam semilir menggoyangkan api pelita menjadikan cahaya di pendapa Bale Guru seketika menjadi buram.

“Nampaknya Ki Arya Sidi sudah lelah mengantuk”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum kepada Ki Arya Sidi yang terlihat memang sudah begitu lelah mengantuk.

Akhirnya mereka pun telah masuk kedalam biliknya masingmasing untuk beristirahat.

Ki Arya Sidi sudah langsung terlelap tidur, sementara itu Mahesa Amping masih belum dapat memejamkan, diawali bayangan Ketut Dewa Akasa yang lucu, angan Mahesa Amping melayang jauh sampai ke tanah Melayu dimana istri tercintanya Dara Jingga ada disana. Terlihat Mahesa Amping tersenyum sendiri, namun tidak lama kemudian yang terdengar adalah suara keluar masuk nafasnya yang halus beraturan. Mahesa Ampingpun akhirnya sudah jauh tertidur pulas.

Sementara itu sang malam terus menyusut selimut kegelapannya dan bumi telah terjaga dari mimpinya manakala terdengar lirih dari jauh suara ayang jantan bersahut-sahutan semakin mendekat.

“Aku akan melaksanakan pemilahan para sisya menjadi tiga kelompok”, berkata Mahesa Amping menyampaikan sebuah rencananya kepada Ki Arya Sidi dan Empu Dangka.

“Aku setuju, dengan demikian akan mempermudah dalam pembinaannya”, berkata Ki Arya Sidi menyukai rencana Mahesa Amping.

Maka pada pagi hari itu Mahesa Amping memberitahukan perihal pemilahan itu kepada semua para sisya. Mahesa Amping langsung menguji satu persatu para sisya di Pura Indrakila itu untuk menentukan ditingkat mana mereka ditempatkan. Keempat bersaudara dari Padepokan Panca Agni pun tidak lepas dari pengujian itu meski mereka telah berlatih lebih matang dibandingkan dengan para Sisya di Pura Indrakila.

Ketika Ketut Dewa Akasa masuk ke sanggar tertutup untuk melakukan sebuah ujian pemilahan, diam-diam Mahesa Amping mengagumi ketangkasan anak kecil itu. Mahesa Amping melihat Ketut Dewa Akasa tidak tertinggal jauh dibandingkan ketiga saudaranya yang sudah terlebih dahulu masuk dalam ujian pemilahan.

“Anak ini hanya kalah sedikit dalam hal tenaga”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka dan Ki Arya sidi yang tengah melihat Ketut Dewa Akasa tengah melakukan gerakan jurus perguruannya.

“Bagaimana menurutmu suasana di Pura Indrakila ini?”, berkata Mahesa Amping kepada Ketut Dewa Akasa yang telah menyelesaikan semua ujian pemilahan di sanggar tertutup.

“Sangat menyenangkan, tidak sepi sebagaimana di Bukit Pejeng”, berkata Ketut Dewa Akasa.

Mahesa Amping tersenyum mendengar jawaban Ketut Dewa Akasa dan mempersilahkan Ketut Dewa Akasa keluar dari Sanggar tertutup agar peserta lainnya dapat segera masuk.

Akhirnya seluruh sisya telah melakukan ujian pemilahan, sebuah ujian yang sangat ketat karena bukan hanya dilihat penguasaan jurus, tapi bagaimana mengatur pernafasan yang baik serta kemahiran mereka dalam hal kekuatan dan keseimbangan diatas alat peraga yang ada di sanggar itu. “Sekarang kalian boleh beristirahat, besok aku akan menyampaikan pengumuman ujian pemilahan ini”, berkata Mahesa Amping yang mempersilahkan para Sisya untuk beristirahat.

Bukan main gembiranya para Sisya bahwa hari itu mereka tidak perlu berlatih sampai senja.

Sementara itu matahari terlihat telah bersembunyi dibalik kerimbunan daun dan dahan pohon rengat yang tumbuh disisi barat sanggar. Suasana menjadi begitu teduh.

“Mari kita kembali ke pendapa untuk membicarakan hasil dari ujian pemilahan ini”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi dan Empu Dangka.

Akhirnya dua puluh empat sisya di Pura Indrakila itu telah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai dengan tingkat tataran ketangkasan yang mereka miliki.

Pada keesokan harinya, telah diumumkan kepada para Sisya dikelompok mana mereka ditempatkan.Ternyata Wayan Dewa Bayu dan ketiga adiknya masuk dalam kelompok pertama.

“Aku telah mengumumkan kepada kalian hasil dari ujian pemilahan ini, adakah diantara kalian yang merasa keberatan?”, bertanya Mahesa Amping kepada para Sisya di sanggar terbuka.

Ternyata dari kelompok kedua ada yang mengacungkan tangannya, badan Sisya itu terlihat agak bongsor seusia Wayan Dewa Bayu.

“Maaf guru, aku sangsi apakah anak kecil itu lebih baik dari pada kami?”, berkata pemuda itu sambil menunjuk kepada Ketut Dewa Akasa.

Mahesa Amping tersenyum memandang pemuda itu yang dikenalnya bernama Putu Risang Kamasa yang berasal dari Pura Lempuyang.

“Saudaramu Putu Risang Kamasa telah mencontohkan kepada kalian keberaniannya menyampaikan kejujuran perasaannya, itulah sikap jiwa satria yang merdeka”, berkata Mahesa Amping yang disambut sorak para sisya sambil mengelu-elukan sikap Putu Risang Kamasa. 

“Adakah diantara kalian yang masih keberatan dengan hasil ujian ini selain Putu Risang Kamasa?”, berkata lagi Mahesa Amping setelah suara para Sisya sudah agak mereda.

Terlihat tidak ada satupun yang mengangkat tangan. “Penilaianku   atas  diri   kalian   tidak   mengenal pilih

kasih.  Mari  kita  buktikan  apakah  Putu  Risang Kamasa

lebih baik dari saudaranya Ketut Dewa Akasa”, berkata Mahesa Amping sambil meminta Putu Risang Kamasa dan Ketut Dewa Akasa tampil maju kedepan.

Terlihat Ketut Dewa Akasa dan Putu Risang Kamasa sudah maju kedepan dan saling berhadapan.

Diam-diam Mahesa Amping mengagumi sikat Ketut Dewa Akasa yang nampak begitu tenang, sementara itu sikap putu Risang Makasa sangat meremehkan anak yang lebih muda dihadapannya.

“Bersiaplah saudara kecilku”, berkata Putu Risang Kamasa kepada Ketut Dewa Akasa

“Sejak berdiri disini aku sudah siap”, berkata Ketut Dewa Akasa dengan sedikit senyumnya.

Maka belum habis Ketut Dewa Akasa berbicara, sebuah tendangan telah meluncur dari kaki kanan Putu Risang kamasa. Ketut Dewa Akasa sangat hapal sekali dengan jurus serangan itu, belum lagi kaki itu menyentuh tubuhnya, terlihat Ketut Dewa Akasa melompat kesamping dengan berbarengan sebuah tangannya yang mungil telah bergerak berlawanan arah memukul pinggang lawannya.

Tidak terpikir lawan kecilnya mampu mengelak dan balas menyerang membuat Putu Risang Kamasa agak kaget dan langsung menjatuhkan dirinya kesamping bergelinding dan dengan cekatan telah berdiri kembali dengan wajah yang tidak percaya atas apa yang dapat dilakukan oleh saudara kecilnya itu yang baru datang bergabung di Pura Indrakila.

Dari pembukaan serangan itu Putu Risang Kamasa sudah mulai sadar bahwa anak kecil dihadapannya itu ternyata sudah cukup terlatih.

“Jangan berbangga dulu saudara kecilku, kita baru mulai”, berkata Putu Risang Kamasa sambil melangkah mendekati Ketut Dewa Akasa langsung melancarkan pukulan jurus berantai.

Tiga kali diserang, tiga kali Ketut Dewa Akasa mengelak. Namun di akhir serangan itu Ketut Dewa Akasa telah balik membalas serangan itu.

Ternyata Putu Risang Kamasa mulai berhati-hati dan mulai membuat perhitungan yang matang tidak lagi menganggap Ketut Dewa Akasa dengan sebelah mata.

Maka duel pertarungan diantara mereka menjadi begitu seru dan menegangkan.

Mahesa Amping yang menyaksikan pertarungan itu terlihat penuh senyum. Diam-diam mengagumi ketenangan Ketut Dewa Akasa dan penguasaan mengendalikan pernafasannya, sementara itu dilihatnya Putu Risang Kamasa terlalu “boros” mengumbar kekuatan dan tenaganya.

Tiga puluh jurus telah berlalu, mereka terlihat saling menyerang dan balas menyerang. Sepertinya mereka sudah sangat hapal betul dan dapat membaca langkah lawannya.

Pertarunganpun semakin seru dan menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik.

Terlihat Mahesa Amping masih tersenyum.

“Ketut Dewa Akasa telah menguasai olah pernafasannya dengan baik”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi yang berada didekatnya melihat Ketut Dewa Akasa masih tetap penuh tenaga, sementara Putu Risang Akasa sudah basah seluruh tubuhnya dengan keringat yang terus mengalir deras.

“Anak itu seperti seekor tikus cerdik tengah menggoda seekor kucing besar”, berkata Ki Arya Sidi penuh kebanggaan.

“Pukulan Putu Risang Kamasa sudah mulai mengambang lemah”, berbisik perlahan Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi.

“Kesabaran anak itu sudah tinggal memetik panen”, berkata Empu Dangka yang ikut memberikan tanggapan mendengar bisik-bisik anatara Mahesa Amping dan Mi Arya sidi.

Ternyata penilaian ketiga orang piawai dalam ilmu kanuragan ini tidak meleset jauh, terlihat Putu Risang Kamasa memang sudah semakin lemah. Sementara itu Ketut Dewa Akasa memang sudah menanti kesempatan itu cukup lama. Maka pada sebuah serangan beruntun yang dilakukan oleh Ketut Dewa Akasa agak terlambat untuk dihalau dan dielakkan. Maka perut, pinggang dan pangkal pahanya telah merasakan pukulan dan tendangan yang kuat dari Ketut Dewa Akasa.

Putu Risang Kamasa terlihat terhuyung kesamping dengan nafas yang hampir putus merasakan kerasnya pukulan Ketut Dewa Akasa pada bagian perutnya.

Terlihat Ketut Dewa Akasa hanya berdiri dan tidak menyusul Putu Risang Kamasa dengan serangan lainnya.

“Aku menyerah”, berkata Putu Risang Kamasa sambil masih memegangi perutnya dengan kedua tangannya. Kali ini bukan merasakan pukulan diperutnya, tapi merasakan nafasnya sudah menjadi megap dan tersengal-sengal.

“Berbaringlah lurus di tanah, nafasmu akan kembali normal”, berkata Ketut Dewa Akasa sambil mendekati Putu Risang Kamasa membantunya berbaring di tanah.

Dengan beberapa kali tarikan nafas panjang, Putu Risang Kamasa merasakan nafasnya mulai kembali teratur.

“Apakah kamu sudah merasa baikan?”, berkata Mahesa Amping yang datang mendekati Putu Risang Kamasa dengan berjongkok disisinya.

“Kubantu kamu berdiri”, berkata kembali Mahesa Amping sambil menarik tangan pemuda itu.

“Terima kasih guru, hari ini aku mendapat pelajaran yang sangat begitu mahal”, berkata Putu Risang Kamasa yang sudah berdiri sambil mengusap peluh diwajahnya.

“Apa yang kamu dapatkan ?”, bertanya Mahesa Amping kepada Putu Risang Kamasa dengan senyum penuh kasih sayang. “Manabung tenaga”, berkata Putu Risang Kamasa perlahan.

Mahesa Amping mempersilahkan Ketut Dewa Akasa dan Putu Risang Kamasa ketempatnya masing-masing.

“Hari ini saudaramu Putu Risang Kamasa sudah tidak sangsi lagi atas penilaiannya pada Ketut Dewa Akasa. Pemilahan yang aku lakukan adalah agar kalian dapat memacu diri lebih baik lagi”, berkata Mahesa Amping kepada para Sisya.

Demikianlah hari-hari Mahesa Amping dibantu Empu Dangka dan Ki Arya Sidi telah membimbing para Sisya di Pura Indrakila. Pemilahan dua kelompok ternyata telah mempermudah dalam pembinaan serta mempercepat proses pematangan dan peningkatan yang dirasakan langsung oleh para Sisya satu persatu.

Sementara itu ada rencana dari Mahesa Amping dan Empu Dangka untuk melepaskan pembinaan para Sisya sepenuhnya kepada Ki Arya Sidi. Itulah sebabnya Mahesa Amping dan Empu Dangka sering mencari alasan untuk meninggalkan Pura Indrakila antara dua sampai tiga hari. Biasanya Mahesa Amping dan Empu Dangka melanglang keberbagai tempat di Balidwipa melaksanakan tugas sandinya menilai setiap keadaan di setiap tempat.

“Ki Arya Sidi dan Ki Jaran Waha dapat kita rangkul sebagai kawan, manakala rencana penguasan Balidwipa ini benar-benar akan dilakukan”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping dalam perjalanan pulang menuju Pura Indrakila setelah melanglang ke berbagai tempat di Balidwipa.

“Yang perlu dijelaskan kepada Ki Jaran Waha dan Ki Arya Sidi adalah maksud dan tujuan penguasaan Singasari atas Balidwipa tidak semata perluasan kekuasaan, tapi sebuah tugas suci  mengembalikan setiap Pura di Balidwipa sebagai payung ruhani umatnya”, berkata Mahesa Amping.

“Semoga mereka dapat menerimanya dengan hati terbuka”, berkata Empu Dangka penuh harapan.

“Selama ini kulihat mereka punya pandangan yang sama”, berkata Mahesa Amping

“Pada saatnya kita harus jujur tentang keberadaan kita sebenarnya”, berkata Empu Dangka.

Sementara itu hari sudah terang, matahari sudah mulai merambat naik kepuncaknya ketika Mahesa Amping dan Empu Dangka telah tiba di Bale Guru setelah empat hari pergi melanglang.

“Kali ini kalian melanglang lebih lama”, berkata Ki Arya Sidi yang menyambut mereka di pendapa Bale Guru.

Setelah menyampaikan keselamatan masing-masing, merekapun saling bercerita tentang berbagai hal.

“Dari hari kehari, perkembangan para Sisya terus meningkat”, berkata Ki Arya Sidi bercerita tentang para Sisya di Pura Indrakila.

“Kulihat pada dasarnya mereka adalah anak-anak muda yang berbakat”, berkata Mahesa Amping menanggapi perkataan Ki Arya Sidi.

Pembicaran mereka terputus manakala Ki Made Rangu keluar dari pintu sambil membawa makanan dan minuman. Terlihat Mahesa Amping tengah menuang kendi air kedalam mangkuknya.

“Makan siang yang nikmat”, berkata Empu Dangka menatap hidangan yang ada.

“Selama melanglang kalian pasti jarang mendapatkan hidangan yang lengkap”, berkata Ki Arya Sidi penuh senyum.

Demikianlah, mereka terlihat tengah menikmati hidangan yang dibawa Ki Made rangu dengan penuh kegembiraan.

Setelah beristirahat yang cukup, mereka bermaksud turun ke sanggar. Namun rencana mereka tertahan manakala terlihat tiga orang mendekati Pendapa Bale Guru.

Ternyata yang datang adalah Raja Indrakila bersama dua orang pengawalnya.

“Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengganggu”, berkata Raja Indrakila dengan penuh senyum naik keatas pendapa.

“Adalah sebuah karunia kehadiran Tuan baginda ke tempat kami”, berkata Ki Arya Sidi mewakili dua orang sahabatnya.

“Beberapa hari yang lalu aku dapat kabar bahwa kalian telah pergi melanglang”, berkata Raja Indrakila ketika sudah duduk bersama di pendapa Bale Guru.

“Hanya sekedar mengganti suasana biar tidak jenuh terlalu lama di sebuah tempat”, berkata Empu Dangka kepada Raja Indrakila.

“Apa yang kalian dapatkan selama melanglang di Balidwipa?”, bertanya Raja Indrakila yang telah mulai banyak mengenal Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Kami melihat sepanjang pesisir Balidwipa telah dipenuhi para saudagar dari Tanah Hindu”, berkata Empu Dangka sambil menatap Raja Indrakila untuk mengetahui sejau mana pandangannya mengenai hal itu.

Terlihat Raja Indrakila menarik nafas dalam. “Bahkan mereka saat ini telah merambah ke daratan”, berkata Raja Indrakila menyambung perkataan Empu Dangka.

“Mereka mendapat tempat tersendiri di Pura Besakih”, berkata Mahesa Amping ikut menyampaikan tanggapannya.

“Aku tidak sepaham dengan Raja Adidewalancana dari Pura Besakih atas kebijakannya menjalin kerjasama hanya kepada para saudagar dari Tanah Hindu. Kebijakan sepihak yang dapat membunuh kemerdekaan untuk berdagang kepada siapapun”, berkata Raja Indrakila menyampaikan pendapatnya.

“Kebijakannya juga telah membentur para pedagang dari Tanah Singasari”, bekata mahesa Amping menambahkan sepertinya memancing pandangan yang lebih luas dari Raja Indrakila.

“Itulah yang kukhawatirkan akan terjadi, Raja Singasari akan mengirim pasukannya yang terkenal kuat ke Balidwipa ini”, berkata Raja Indrakila penuh kekhawatiran.

“Bila Raja Singasari datang ke Balidwipa untuk mengembalikan kemerdekaan perdagangan, dimanakah Tuan Baginda akan berpihak”, bertanya Empu Dangka kepada Raja Indrakila.

“Aku berpihak pada Singasari bilamana hal itu terjadi”, berkata Raja Indrakila penuh kepastian.

“Keberpihakan tuan Baginda berarti berseberangan dengan Raja Adidewalancana dari Pura Besakih”, berkata Empu Dangka kepada Raja Indrakila. “Aku siap menghadapi apapun selama keberpihakanku kepada sebuah kebenaran”, berkata Raja Indrakila penuh keberanian.

“Perkataan dan pernyataan tuan Baginda telah didengar langsung oleh seorang perwira tinggi dari Singasari”, berkata Empu Dangka penuh senyum.

Raja Indrakila dan Ki Arya Sidi sepertinya belum menangkap arah perkataan Empu Dangka.

“Aku belum dapat menangkap apa yang Empu Dangka maksudkan”, bertanya Ki Arya Sidi kepada Empu Dangka penuh ketidak mengertian.

“Mahesa Amping yang kalian kenal selama ini adalah seorang perwira tinggi Kerajaan Singasari”, berkata Empu Dangka perlahan penuh senyum.

Semua mata tertuju kepada Mahesa Amping, sepertinya berharap dari bibirnya menyampaikan sebuah pernyataan.

“Berita tentang para saudagar dari Tanah Hindu yang telah menguasai sepanjang pesisir Balidwipa telah sampai ke istana Singasari. Itulah sebabnya aku diutus langsung oleh Raja Kertanegara untuk membuktikan tentang kebenaran berita itu”, berkata mahesa Amping membenarkan pernyataan Empu Dangka.”Maafkan bila selama ini aku telah menyembunyikan jati diriku yang sebenarnya”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi dan Raja Indrakila.

“Aku merasa gembira, akhirnya raja besar dari Singasari menaruh perhatiannya di Balidwipa ini”,  berkata Raja Indrakila.

“Peperangan pasti akan terjadi, namun aku akan memberikan beberapa pertimbangan dari Raja Kertanegara agar tidak terjadi banyak korban dari pihak manapun”, berkata Mahesa Amping.

“Terima kasih, aku yakin dari pengamatanmu selama ini bahwa tidak semua tempat di Balidwipa ini untuk diperangi”, berkata raja Indrakila.

“Tuan Baginda benar, kami hanya ingin mengembalikan Balidwipa sebagai daerah perdagangan yang merdeka. Yang kami akan perangi adalah penguasa Pura Besakih dan para saudagar dari Tanah Hindu yang selama ini telah mengaburkan kekuasaan sebuah pura pada tempatnya”, berkata Mahesa Amping.

“Aku yakin kamu adalah orang kepercayaan khusus dari Raja Kertanegara, semoga beliau mendengar nasehatmu”, berkata Raja Indrakila yang diam-diam merasa bangga bahwa dihadapannya adalah seorang utusan raja Kertanegara yang namanya sudah banyak didengar begitu besar.

“Tuan Baginda tidak perlu khawatir untuk hal itu, karena dihadapan kita sendiri adalah orang yang sangat dihormati oleh Sri Baginda Maharaja Singasari”, berkata Mahesa Amping sambil melemparkan pandangan matanya kearah Empu Dangka yang hanya sedikit tersenyum.

Semua mata ikut Mahesa Amping memandang kearah Empu Dangka.

“Empu Dangka sendiri adalah seorang guru dari Raja Kertanegara”, berkata mahesa Amping dengan penuh senyum.

“Ternyata dihadapanku adalah orang-orang yang terdekat dari Raja Kertanegara yang besar”, berkata Raja Indrakila seperti tidak percaya atas apa yang didengarnya itu.

“Ternyata kalian berdua begitu pandai menyembunyikan jati diri kalian sebenarnya kepada diriku”, berkata Ki Arya Sidi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.

“Maafkan kami, semua ini karena tugas rahasia yang kami emban”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi dan Raja Indrakila.

“Siapapun diri kalian, yang jelas telah membawa perubahan yang besar di Pura Indrakila ini”, berkata Raja Indrakila.

“Aku telah terlanjur mengenal kalian, diriku begitu yakin atas apapun perjuangan kalian pasti berada diatas segala kasih dan kebenaran. Ijinkan diriku berada dipihakmu dan siap membantu”, berkata Ki Arya Sidi dari perasaan hati yang paling dalam.

“Karena jati diri kami telah kalian ketahui, kami akan kembali ke Singasari untuk menyampaikan hasil pengamatan kami”, berkata Empu Dangka.

“Bagaimana dengan para Sisya di Pura  Indrakila ini?”, bertanya Ki Arya Sidi.

“Aku terlanjur jatuh cinta pada Tanah Bali, aku pasti akan datang kembali”, berkata Mahesa Amping yang ditanggapi rasa gembira baik Ki Arya Sidi maupun Raja Indrakila.

Sementara itu mentari di cakrawala langit telah bergeser turun ke barat bumi terhalang kerimbunan daun dan dahan pohon yang tumbuh disekitar bale Guru.

“Awalnya aku datang kemari untuk meminta pertimbangan kalian atas latihanku beberapa hari ini, tapi saat ini aku merasa malu meminta kepada orang-orang terdekat dari Raja Kertanegara”, berkata Raja Indrakila kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Kami bukan siapa-siapa, kami masih siap melayani tuan Baginda”, berkata Mahesa Amping.

“Terima kasih, mudah-mudahan masih ada waktu sebelum kalian kembali ke Singasari”, berkata Raja Indrakila sekalian menyampaikan maksudnya untuk kembali ke Puri Dalem Astana.

“Bukankah kita akan turun melihat para Sisya berlatih?”, berkata Ki Arya Sidi ketika Raja Indrakila telah tidak kelihatan kembali ke kediamannya.

Ki Arya Sidi, Mahesa Amping dan Empu Dangka telah mendatangi sanggar. Beberapa Sisya tengah berlatih di Sanggar terbuka, sebagian lagi berlatih disanggar tertutup.

“Anak-anak muda yang penuh semangat”, berkata Empu Dangka gembira melihat para Sisya berlatih dengan penuh semangat.

“Mereka adalah pemimpin Balidwipa di masa yang akan datang”, berkata ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.

Ketika senja sudah mulai turun menyelimuti bumi, para sisya telah kembali ke tempatnya. Mahesa Amping, Ki Arya Sidi dan Empu Dangka telah kembali pula ke Bale Guru.

Cahaya temaram menerangi Bale Guru lewat dua buah pelita yang berjajar ditiang pendapa. Angin semilir melepas redup cahaya dua pelita itu bergoyang. Hamparan rumput hijau di muka halaman bale Guru sudah tidak terlihat jelas.

“Ternyata semua sudah kalian rencanakan”, berkata Ki Arya Sidi kepada Empu Dangka dan Mahesa Amping.

“Apa yang telah kami rencanakan ?”, bertanya Mahesa Amping pura-pura tidak mengerti apa perkataan dari Ki Arya Sidi.

“Merencanakan agar aku akhirnya dapat diterima oleh para Sisya di Pura Indrakila ini”, berkata Ki Arya Sidi sambil menuangkan sebuah kendi air ke dalam mangkuknya. Mahesa Amping dan Empu Dangka tidak menanggapi perkataan Ki Arya Sidi, terlihat mereka hanya tersenyum dikulum.

“Kami hanya ingin mengembalikan perguruan Panca Agni sebagaimana leluhur dari Ki Arya Sidi telah mencitacitakannya, sebagai candradimuka bagi semua calon penguasa Pura di Balidwipa”, berkata Empu Dangka dengan penuh senyum.

“Bukankah cita-cita itu telah kembali  terwujud?, hanya pindah tempat dari Bukit Gundul Pejeng ke Pura Indrakila”, berkata Mahesa Amping menambahkan.

“Sebenarnya aku masih memerlukan kehadiran  kalian disini”, berkata Ki Arya Sidi setelah sambil meletakkan kembali mangkuk minumannya yang masih tersisa.

“Aku pasti akan kembali, sebagaimana pernah kukatakan bahwa aku telah jatuh hati pada Tanah Bali, aku merasakan bahwa Balidwipa ini sebagai tanah kelahirannku kedua”, berkata Mahesa Amping.

Sementara itu pelita diatas pendapa Bale guru itu sudah menjadi begitu redup, mungkin Ki Made Rangu lupa mengisi minyak buah jarak diwaktu sore. Angin malam semilir mengusap kulit tubuh. Lantai kayu sudah sedikit berembun. “Mari kita beristirahat”, berkata Empu Dangka mengajak Ki Arya Sidi dan Mahesa Amping masuk untuk beristirahat ke biliknya masing-masing.

Pagi itu kabut turun menyelimuti Pura Indrakila begitu pekat bagai gerumbul kapas membalut menghalangi dan membatasi jarak pandang penglihatan mata. Itulah sebagai tanda alam bahwa sepanjang hari udara di bumi Pura Indrakila akan dipayungi kecerahan.

“Hari ini aku berniat akan memilih beberapa sisya untuk ditingkatkan kemampuannya mengenal dasar mengungkapkan tenaga yang ada didalam diri”, berkata Mahesa dipagi itu kepada Ki Arya Sidi dan Empu Dangka ketika mereka bersama menikmati minuman hangat diatas pendapa Bale Guru.

“Kulihat memang sudah saatnya mereka ditingkatkan”, berkata Ki Arya Sidi menyetujui rencana Mahesa Amping.

“Saranku sebaiknya dipilih perwakilan dari setiap Pura agar tidak ada sebuah kecemburuan”, berkata Empu Dangka memberikan sarannya.

“Saran Empu Dangka akan kuperhatikan”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

Demikianlah, pada hari itu Mahesa Amping memilih delapan orang Sisya terbaik menurutnya yang juga masing-masing merupakan perwakilan dari setiap pura di Balidwipa.

“Hari ini aku telah memilih kalian sebagai sisya yang sudah saatnya untuk dapat ditingkatkan tatarannya untuk mengenal bagaimana menggunakan tenaga yang ada didalam diri”, berkata Mahesa Amping kepada delapan Sisya yang dikumpulkannya didalam sanggar tertutup. Berdebar perasaan para sisya yang pernah mendengar tentang tenaga didalam diri. Selama ini mereka sering mendengar tentang kekuatan yang dapat dilontarkan lewat tenaga yang tersembunyi didalam diri setiap manusia yang sudah terlatih dan mengungkapkan rahasianya.

Sementara itu Mahesa Amping dapat merasakan debar perasaan para sisyanya sebagaimana pernah dirasakannya ketika pertama kali diperkenalkan tentang tenaga dalam oleh gurunya sendiri Mahesa Murti di Padepokan Bajra Seta.

“Untuk dapat mengungkapkan kekuatan yang ada didalam diri, kalian harus menjalani sebuah laku”, berkata Mahesa Amping kepada Para Sisya.

Terlihat wajah para sisya menjadi begitu tegang.

“Aku yakin kalian dapat menjalaninya dengan baik”, berkata Mahesa Amping yang dapat merasakan ketegangan para Sisyanya.

Terlihat wajah dari beberapa Sisya agak mengendur tidak menjadi begitu tegang, sementara beberapa sisya masih merasakan ketegangannya.

“Sebelum menjalani sebuah laku, kalian harus mempersiapkan beberapa hal sehari sebelumnya”, berkata Mahesa Amping sambil menerangkan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksannan sebuah laku.

Para Sisya terlihat begitu seksama menyimak semua penjelasan dari Mahesa Amping.

“Kalian menjalani laku di sanggar tertutup ini selama tiga hari tiga malam, besok setelah senja kuharap kalian sudah mulai menjalaninya”, berkata Mahesa Amping mengahiri penjelasannya kepada para sisya. Demikianlah, pada hari itu kedelapan sisya itu sesuai petunjuk Mahesa Amping telah membuat beberapa persiapan, diantaranya adalah mencari beberapa buah kelapa yang akan diolah secara khusus sesuai petunjuk Mahesa Amping disamping beberapa persiapan lainnya.

“Kakang akan melakukan sebuah laku ?”, bertanya Made Dewa Akasa kepada kakaknya Wayan Dewa Bayu yang tengah membuat beberapa persiapan untuk menjalani sebuah laku.

“Aku akan menjalani sebuah laku selama tiga hari tiga malam”, berkata Wayan Dewa Bayu kepada adiknya.

“Aku berdoa semoga kakang dapat menjalaninya dengan baik”, berkata Made Dewa Akasa penuh perhatian.

“Pada saatnya kamu juga akan menjalaninya”, berkata Wayan Dewa Bayu sambil tersenyum sepertinya dapat membaca apa yang tengah dipikirkan oleh anak itu.

“Sepertinya aku tidak sabar menantikan saat itu datang”, berkata Made Dewa Akasa kepada Wayan Dewa Bayu langsung mengungkapkan perasaannya.

Demikianlah, kedelapan sisya yang terpilih pada hari itu telah melakukan beberapa persiapan lahir dan bathin sesuai petunjuk dari Mahesa Amping.

Dan hari yang penuh mendebarkan itu akhirnya telah tiba. Senja di Pura Indrakila telah berlalu, malam mulai menyelimuti bumi dengan kegelapannya, kedelapan sisya yang telah dipilh langsung oleh Mahesa Amping sudah berada didalam sanggar tertutup yang gelap yang sengaja tidak diterangi pelita.

Setelah melihat para sisya telah bersikap tubuh sesuai dengan petunjuknya, terlihat Mahesa Amping meninggalkan mereka keluar dari sanggar tertutup.

Keesokan harinya, ketika cahaya matahari pagi terlihat menembus celah-celah bilik bambu sanggar tertutup, terlihat kedelapan sisya masih tidak bergerak dalam sikap lakunya.

“Semoga Sang Hyiang Gusti Yang Maha Agung memberi jalan terang kepada mereka”, berkata Mahesa Amping dalam hati ketika pagi itu memeriksa kedelapan sisya di sanggar tertutup yang masih bersikap  laku sesuai petunjuknya.

“Bagaimana menurutmu keadaan mereka ?”, bertanya Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping yang baru saja keluar dari Sanggar tertutup.

“Sampai saat ini mereka masih dapat menjalaninya dengan baik”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi.

Pada hari kedua, para sisya didalam sanggar tertutup masih dalam sikap lakunya.

Sementara itu Wayan Dewa Bayu yang telah pernah menerima berbagai laku selama di Bukit Pejeng sudah lebih dulu dapat menyesuaikan dirinya yang terlihat dari tarikan nafasnya yang nyaris begitu halus tidak terdengar lagi.

“Anak ini sudah mulai menemukan jalan nafasnya”, berkata Mahesa Amping yang datang menjenguk dan memperhatikan kedelapan sisya yang tengah menjalani sebuah laku.

“Bagaimana keadaan para sisya?”, bertanya Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping yang terlihat baru saja menutup kembali pintu sanggar. “Baru Wayan Dewa Bayu saja yang kulihat telah menemui jalan nafasnya, selebihnya masih dalam taraf penyesuaian”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi.

“Kita berdoa semoga Sang Hyiang Jagad Yang Maha Agung memberi jalan terang kepada mereka”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping dan Ki Arya Sidi.

Dan hari yang dinantikan akhirnya telah tiba. Dipagi yang bening, diawali dengan suara ayam jantan yang terdengar lirih dari sebuah tempat yang jauh, Mahesa Amping terlihat perlahan membuka sanggar dan menutupnya lagi. Keremangan pagi itu tidak  menghalangi ketajaman matanya melihat satu persatu dari kedelapan sisya yang tengah menjalani sebuah laku.

“Mereka semua telah menemukan jalan nafasnya”, berkata Mahesa Amping dalam hati setelah memperhatikan satu persatu dari kedelapan sisyanya yang tidak terdengar sedikitpun tarikan nafasnya. Mereka dapat terlihat seperti delapan arca Budha yang tengah bertapa.

“Bukalah mata kalian secara perlahan, namun jangan lepaskan pandangan hati kalian tertuju hanya kepada Sang Hyiang Gusti Yang Maha Agung”, berkata Mahesa Amping dengan suara perlahan tertuju kepada kedelapan para sisyanya.

Terlihat kedelapan sisya itu perlahan membuka kelopak matanya.

“Terima kasih guru, hari ini sisya merasa menemukan sebuah dunia yang berbeda dari hari sebelumnya”, berkata salah seorang sisya yang tidak mampu menahan gejolak perasaan hatinya terlihat bersimpuh sujud dihadapan Mahesa Amping. Terlihat ketujuh sisya telah melakukan hal yang sama sujud di hadapan Mahesa Amping sambil menyampaikan apa yang mereka rasakan.

“Bangkitlah wahai para Sisyaku, aku hanya sebagai perantara. Sujud dan bersyukurlah hanya kepada Gusti Yang Maha Agung yang merestuai jiwa kalian masuk dan mulai mengenal kebesarannya”, berkata Mahesa Amping dengan suara penuh kasih ikut merasa suka cita atas apa yang telah dicapai oleh para sisya dalam menjalani sebuah laku.

Terlihat kedelapan sisya itu bangkit dari sujudnya dengan mata yang basah penuh keharuan dan suka cita.

“Sucikanlah diri kalian dan beristirahatlah, jangan isi perut kalian dengan apapun selain dengan sisa ramuan kelapa yang kalian minum di awal laku”, berkata Mahesa Amping kepada kedelapan Sisyanya. “Aku tunggu kalian disini menjelang matahari datang bergeser dari puncaknya”, berkata kembali Mahesa Amping.

Terlihat kedelapan sisya berdiri dan penuh hormat menjura kepada Mahesa Amping berpamit untuk keluar dari sanggar. Diringi pandangan mata Mahesa Amping, kedelapan sisya itu telah keluar dari sanggar.

“Aku melihat sinar mata mereka begitu penuh suka cita”, berkata Ki Arya Sidi yang datang bersama Empu Dangka menemui Mahesa Amping di sanggar tertutup.

“Mereka telah berhasil menjalani laku dengan baik”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi.

“Sebuah awal yang baik”, berkata Empu Dangka ikut menanggapi.

Akhirnya menjelang matahari telah bergeser dari puncaknya, Mahesa Amping di temani Ki Arya Sidi dan Empu Dangka telah melihat satu persatu dari kedelapan sisya telah datang masuk ke sanggar tertutup.

“Pusatkan segala nalar budimu, hidupkan dan rasakan kekuatan yang tersembunyi mengalir di segala jalan darah tubuhmu, lompatilah galar bambu sebagaimana biasa kalian pernah melakukannya”, berkata Mahesa Amping meminta satu persatu dari kedelapan sisya melakukakn latihan melompati sebuah galar bambu yang ada didalam sanggar tertutup yang biasa mereka lakukan.

Bukan main kagetnya para sisya mendapatkan hasil lompatannya satu setengah kali lebih tinggi dari yang biasa mereka lakukan. Berkali kali mereka melakukannya dengan gembira.

Terlihat Mahesa Amping keluar dari sanggar dan masuk kembali dengan membawa delapan buah kelapa yang sudah tua. “Pecahkan kelapa ini dengan tanganmu”, berkata Mahesa Amping kepada Wayan Dewa Bayu.

Terlihat Wayan Dewa Bayu tengah memusatkan segala nalar budinya, membangkitkan kekuatan tersembunyi dari dalam dirinya dan mengalirkannya ke ujung telapak tangan kanannya.

Prakkk …….!!!

Terdengar suara buah kelapa pecah terhantam sisi dalam telapak tangan Wayan Dewa Bayu.

“Lakukanlah sebagaimana Wayan Dewa Bayu”, berkata Mahesa Amping kepada ketujuh Sisya lainnya.

Terlihat satu persatu dari para sisya melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Wayan Dewa Bayu. Terlihat wajah gembira mereka yang telah berhasil memecahkan kelapa dengan telapak tangan telanjang.

“Mulai saat ini, berlatihlah menjalani laku setiap menjelang tidur, dengan cara itu kekuatan kalian akan terus meningkat” berkata Mahesa Amping kepada para Sisyanya.

“Terima kasih Guru, nasehat Guru akan kami pusakai”, berkata Wayan Dewa Bayu mewakili para Sisya.

“Aku akan berangkat ke Tanah Singasari, kutitipkan kalian kepada Ki Arya Sidi”, berkata Mahesa Amping kepada para Sisya. ”Sekarang beristirahatlah kalian”, berkata kembali Mahesa Amping mempersilahkan para Sisya untuk beristirahat setelah tiga hari tiga malam menjalani sebuah laku.

“Mari kita keluar”, berkata Ki Arya Sidi mengajak Mahesa Amping dan Empu Dangka keluar dari sanggar tertutup.

Di sanggar terbuka mereka melihat para sisya lainnya tengah berlatih.

“Aku mendapat kabar dari Kakang Wayan Dewa Bayu, Guru akan berangkat ke Singasari”, berkata Ketut Dewa Akasa yang tengah berlatih menggunakan sebuah tongkat panjang langsung menghentikan latihannya ketika Mahesa Amping datang mendekatinya.

“Aku akan datang kembali”, berkata Mahesa Amping penuh senyum, entah kenapa dirinya begitu menyukai anak ini.

“Aku hanya khawatir Guru tidak akan kembali dan melupakan aku”, berkata Ketut Dewa Akasa dengan begitu polosnya kepada Mahesa Amping.

“Apa yang kamu khawatirkan bila aku tidak datang kembali?”, berkata Mahesa Amping kepada Ketut Dewa Akasa.

“Aku khawatir tidak ada yang mengajarkanku memecahcan sebuah kelapa sebagaimana dilakukan oleh Kakang Wayan Dewa Bayu”, berkata Ketut Dewa Akasa masih dengan pemikiran seorang bocah yang lugu.

Mahesa Amping tersenyum mendengar pemikiran Ketut Dewa Akasa. Maka diambilnya sebuah batu koral sebesar kepalan tangannya.

Krakkk… ,

Batu koral itu hancur beterbangan menjadi kepulan abu. Terbelalak Ketut Dewa Akasa menyaksikan apa yang telah diperbuat oleh Mahesa Amping.

“Aku akan kembali, dan mengajarkan kepadamu melumatkan sebuah batu keras”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum melihat anak itu sepertinya begitu gembira mendengar apa yang dikatakan oleh Mahesa Amping.

Pagi itu udara berkabut menyelimuti Pura Indrakila ketika Mehesa Amping dan Empu Dangka tengah bersiap akan meninggalkan Pura Indrakila untuk waktu yang cukup lama.

“Aku dan para sisya akan merindukan kalian”, berkata Ki Arya Sidi yang mengantar Mahesa Amping dan Empu Dangka sampai di regol muka Pura Indrakila.

“Doa kami semoga keselamatan menaungi perjalanan kalian”, berkata Raja Indrakila yang ikut mengantar kepergian mereka. Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka telah melangkah semakin menjauh, ketika mereka menemui jalan menurun, Mahesa Amping menoleh kebelakang menatap pura diatas puncak bukit itu masih berkalung kabut putih begitu eloknya, terpesona Mahesa Amping menatap penuh kagum, seperti melihat lukisan nirwana dalam penggambaran para Brahmana.

Langkah Mahesa Amping dan Empu Dangka sudah semakin menjauh, mendekati kaki lereng bukit Pura Indraloka. Seorang lelaki bertelanjang dada dengan dua ekor kuda terlihat sepertinya tengah menanti kedatangan mereka berdua.

“Selamat berjumpa kembali wahai saudaraku”, berkata orang itu penuh senyum diwajahnya yang ternyata adalah Ki jaran Waha.

“Kukira seorang perampok tunggal yang menunggu untuk membegal kami”, berkata Empu Dangka kepada Ki jaran Waha.

“Pasti perampok itu semalam bermimpi rumahnya kebakaran, dia akan mendapat masalah  besar merampok kalian”, berkata Ki Jaran Wahan yang langsung membalas olok-olok Empu Dangka.

“Dari mana Ki jaran Waha mengetahui bahwa kami akan melakukan perjalanan?”, bertanya Mahesa Amping kepada Ki jaran Waha setelah mereka bercerita tentang keselamatan masing-masing.

“Telingaku ada dimana-mana meski aku tidak ada dimanamana”, berkata Ki Jaran Waha penuh kebanggaan.

“Kuda yang bagus”, berkata Mahesa Amping menilai dua ekor kuda yang dibawa Ki jaran Waha.

“Dimana kutaruh mukaku memberikan kuda kacangan kepada kalian”, berkata Ki Jaran Waha sambil menepuk-nepuk dua ekor kuda yang dibawanya.

“Terima kasih untuk dua ekor kuda yang akan menemani kami sepanjang jalan”, berkata Mahesa Amping sambil mencoba melompat ke punggung salah satu kuda yang dibawa oleh Ki Jaran Waha.

“Di Bandara Buleleng seorang pengikutku akan mencarikan kapal dagang yang akan mengantar kalian ke Jawadwipa”, berkata Ki Jaran Waha sambil bertolak pinggang mengantar Mahesa Amping dan Empu Dangka yang sudah berada dipunggung kuda masing-masing.

“Kali ini Ki Jaran Waha salah dengar, tujuan kami adalah Tanah Melaya sebelah barat Balidwipa”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum melihat Ki jaran Waha memukul-mukul sendiri keningnya.

“Aku berpesan mohon kiranya Ki jaran Waha untuk tidak memotong telinga orang yang salah mendengar itu”, berkata Mahesa Amping sambil melambaikan tangannya diatas punggung kudanya.

“Selamat jalan, kami akan merindukan kalian”, berkata Ki Jaran Waha ikut melambaikan tangannya.

Sementara itu cakrawala langit saat itu begitu cerah, mentari sudah beranjak jauh meninggalkan tepi ujung bumi, dua ekor kuda terlihat berpacu melintasi padang ilalang, mendaki perbukitan dan lereng hijau, kadang perlahan menyibak semak hutan hitam yang lebat.

“Tanah Melaya di arah Matahari terbenam”, berkata Empu Dangka memberi petunjuk arah perjalanan mereka. Ketika matahari sudah hampir terbenam, mereka telah memasuki sebuah Padukuhan.

“Kita lewati padukuhan ini, kita akan menemui sebuah rumah pengasingan”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping

“Rumah pengasingan?”, bertanya Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

“Adat di Padukuhan ini memang sangat keras, tabu hukumnya beristri lebih dari satu. Seorang lelaki lelaki yang melanggar harus menerima dikucilkan di sebuah rumah pengasingan”, berkata Empu Dangka  menjelaskan kepada Mahesa Amping.

“Siapa dapat menghalangi datangnya cinta?”, berkata Mahesa Amping tanpa menunggu jawaban dari Empu Dangka.

“Tidak satu pun wanita yang dapat menerima dimadu”, berkata Empu Dangka sepertinya ingin menanggapi perkataan Mahesa Amping.

Ternyata mereka memang tidak ada keinginan membahas masalah itu, sebagaimana dikatakan oleh Empu Dangka, terpisah dari lingkungan padukuhan terlihat sebuah gubuk sederhana berada dipinggir sebuah hutan kecil.

Didepan gubuk itu terlihat seorang lelaki tengah membuat sebuah perapian.

“Apa kabar sahabatku Wayan Tagur”, berkata Empu Dangka sambil menuntun kudanya mendekati lelaki itu.

“Pantas tadi siang ada kupu-kupu besar hinggap lama di tiang gubukku”, berkata lelaki itu yang dipanggil Wayan Tagur oleh Empu Dangka.

“Aku bersama keponakanku”, berkata Empu Dangka memperkenalkan Mahesa Amping sebagai keponakannya kepada Wayan Tagur.

“Tunggulah kalian di bale, aku akan meminta istriku untuk membuatkan minuman hangat untuk kalian”, berkata Wayan Tagur sambil masuk kedalam.

Ternyata Wayan Tagur seorang yang asyik diajak bicara, seorang pendengar yang baik, namun kadang mampu menyampaikan beberapa pandangannya.

“Apakah ada dalam pikiranmu untuk mencoba merantau ke Jawadwipa, daripada hidup disini dikucilkan oleh saudara dan kerabat”, bertanya Empu Dangka kepada Wayan Tagur.

“Kami lahir dan dibesarkan di tanah ini, tidak ada sedikitpun pikiran untuk meninggalkan tanah ini meski dalam suasana pengasingan. Sampai saat ini kami rela dikucilkan sebagai dosa yang harus kami pikul sepanjang hayat”, berkata Wayan Tagur mengungkapkan perasaan hatinya.

Suasana pun sekejab menjadi hening tanpa katakata, diatas bale itu sepertinya masing-masing tengah berbicara pada pikirannya sendiri-sendiri.

Terdengar pintu bambu berderit, terlihat Nyi Wayan Tagur keluar sambil membawa minuman hangat dan setumpuk jagung rebus yang juga nampak masih hangat.

“Kami merepotkan tuan rumah”, berkata Empu Dangka berbasa-basi.

“Kami senang ada tamu di rumah ini”, berkata Nyi Wayan Tagur sambil meletakkan minuman hangat dan jagung bakarnya dan langsung masuk kembali kedalam gubuk.

Sekejap Mahesa Amping menangkap wajah Nyi wayan Tagur yang masih sangat muda dan terpaut jauh bila dibandingkan dengan usia Wayan Tagur  yang terlihat sudah cukup matang. “Silahkan dinikmati, panen jagung kami tahun ini sangat bagus”, berkata Wayan Tagur mempersilahkan kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.

Sementara itu sang malam di gubuk pinggir hutan itu sudah menyebar berbagi kegelapannya. Dengung tenggorek ikut memberi warna irama malam yang sepi itu bersama gemercik suara air menggerus batu hitam dari sungai kecil disamping gubuk yang sederhana itu.

“Aku tidak bisa menemani kalian sampai jauh malam”, berkata Wayan Tagur sambil mempersilahkan tamunya untuk beristirahat tidur diatas bale diluar gubuknya.

Perapian dari batang-batang dan daun jagung kering yang dibakar Wayan Tagur didepan rumahnya terlihat sudah tertinggal onggokan bara, kadang muncul api menjilat keluar manakala datang angin meniupnya.

“Silahkan Empu Dangka tidur lebih awal, mataku masih belum mengantuk”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka sambil melonjorkan kakinya dan bersandar di bilik bambu.

“Bangunkan aku bila datang saat yang cukup untuk bergantian berjaga”, berkata Empu Dangka sambil merebahkan badannya diatas bale bambu.

Mahesa Amping memang belum dapat memejamkan matanya, pandangannya terlihat menyapu halaman muka gubuk itu, sepetak kebun jagung yang baru dipanen menyisakan sedikit ujung batangnya diatas tanah.

“Sebuah gubuk dan kebun yang mungil”, berkata Mahesa Amping dalam hati membayangkan dirinya sebagai seorang petani bersama keluarga kecilnya.

Sementara itu perapian di halaman muka gubuk itu sudah hampir mati tertinggal sedikit bara yang masih menyala dan malam sudah semakin dingin.

Mahesa Amping memang tengah memejamkan matanya, tapi pendengarannya yang tajam masih dapat membedakan bunyi semak yang terinjak oleh seekor kadal. Namun kali ini pendengaran Mahesa Amping terusik oleh suara yang lebih besar lagi, lebih besar dari seekor kera tengah mengendap-ngendap mendekati gubuk itu.

Terlihat perlahan Mahesa Amping membuka matanya tanpa menggerakkan sedikit pun tubuhnya yang masih bersandar di bilik bambu.

Mata Mahesa Amping yang terlatih mampu menembus keremangan malam, dilihatnya ada  tiga sosok tubuh mengendapendap mencurigakannya.

Namun belum lagi Mahesa Amping berbuat sesuatu, dari dalam gubuk keluar Wayan Tagur berdiri di muka halaman.

“Tidak perlu lagi mengendap-endap, aku sudah tahu siapa kalian”, berkata Wayan Tagur membentak-bentak keras.

Mahesa Amping diam-diam mengagumi ketajaman pendengaran Wayan Tagur yang juga telah mendengar apa yang didengarnya.

Mendengar suara Wayan Tagur, ketiga sosok itu langsung keluar dari persembunyiannya.

“Malam ini umurmu tidak akan panjang lagi”, berkata salah seorang dari ketiga orang yang telah datang mendekat.

“Orang mana lagi yang kamu upah malam ini”, berkata Wayan Tagur kepada orang itu yang ternyata masih begitu muda, seusia dan semuda Nyi Wayan Tagur.

“Dua orang kawanku ini paling disegani di Bedugul, sengaja kupanggil kemari untuk menghabisi nyawamu”, berkata Anak muda itu yang terlihat dari pakaiannya pasti seorang yang kaya.

“Ketut Suida, ternyata apa yang telah kuperbuat beberapa hari yang lalu tidak membuatmu jera, kemarin aku masih memandang Ki Demang ayahmu, tapi saat ini aku tidak peduli siapapun dirimu”, berkata Wayan Tagur sepertinya memperingatkan anak muda itu  yang bernama Ketut Suida.

“Jangan sesumbar, kemarin yang kubawa hanya begundal kelas teri. Malam ini pasti kamu akan menyesal seumur hidup telah merebut kekasihku”, berkata Ketut Suida dengan jumawanya.

“Ketut Suida, sampai hari ini kamu masih menganggap aku merebut kekasihmu ?”, berkata Wayan Tagur berusaha menahan kemarahannya.

“Kamu telah mengguna-gunainya, itulah yang membuat aku tidak terima”, berkata Ketut Suida kepada Wayan Tagur.

“Matamu mungkin sudah terbalik, cinta Astari berpaling kepadaku karena telah melihat sendiri kedokmu yang sebenarnya, lelaki perusak pagar ayu yang tidak bertanggung jawab”, berkata Wayan Tagur yang sepertinya sudah kehabisan kesabarannya.

Mendengar dirinya disebut sebagai lelaki perusak pagar ayu telah membuat wajah Ketut Suidi menjadi memerah.

“Enyahkan orang itu!!”, berkata Ketut Suidi memerintah kepada kedua orang upahannya.

Maka terlihat dua orang yang dikatakan dari Bedugul itu telah langsung menerjang Wayan Tagur.

Ternyata Wayan Tagur bukan orang sembarangan, terlihat dengan gesit mengelak serangan dua buah golok tajam dan langsung balas menyerang dengan sebuah keris ditangannya.

Maka terjadilah perkelahian yang seru antara Wayan Tagur dan dua orang penyerangnya.

Semula Mahesa Amping ingin turun membantu, tapi dilihatnya Wayan Tagur ternyata mampu menghadapi dua orang sekaligus dengan baik, bahkan dengan pengetahuannya tentang ilmu kanuragan, Mahesa Amping dpat menilai bahwa tataran ilmu Wayan tagur masih diatas kedua orang penyerangnya.

Terlihat dalam waktu yang begitu singkat, kedua orang penyerangnya sudah semakin terdesak.

Sretttt……,

Sebuah keris Wayan Tagur telah berhasil membabat paha kaki kanan dari salah satu penyerangnya. Terlihat orang itu melompat menjauh dengan wajah meringis menahan rasa sakit yang sangat. Sementara itu kawannya berlari mendekatinya.

“Kerisku ini sudah kuwarangi dengan racun yang keras”, berkata Wayan Tagur sambil mengangkat kerisnya tingi-tinggi.

“Berikan penawarnya, kami akan pergi tanpa perhitungan apapun”, berkata kawannya yang sepetinya mempercayai apa yang dikatakan oleh Wayan Tagur.

“Jangan percaya sesumbarnya, dia hanya menggertak”, berkata Ketut Suida kepada salah seorang upahannya.

“Tuan muda, kami bukan anak kemarin yang tidak mengetahui tentang warangan”, berkata orang itu yang melihat kawannya sudah menggigil kedinginan.

“Siapapun yang termakan kerisku ini, umurnya tidak melebihi dari semalaman”, berkata Wayan Tagur dengan suara keras penuh tantangan dan ancaman.

“Berikanlah penawarnya, kami akan pergi tanpa mengungkit kembali apa yang terjadi malam ini”, berkata kawannya itu dengan suara penuh permintaan.

“Baiklah, hari aku masih berbelas kasihan, aku akan memberikan penawarnya”, berkata Wayan tagur mendekati Nyi Wayan Tagur yang ternyata sudah lama keluar dari biliknya mendengar ada keributan.

Terlihat Wayan Tagur berbisik kepada istrinya. Berselang kemudian istrinya masuk kedalam dan keluar lagi sambil membawa sebuah bubu kecil dan memberikannya kepada suaminya

Wayan Tagur membuka bubu kecil itu dan mengeluarkan tiga butir obat sebesar kelereng.

“Kuberikan penawarnya, lekaslah menghilang dari pandangannku sebelum aku berubah pikiran”, berkata Wayan Tagur sambil memberikan tiga butir obat penawar.

“Terima kasih”, berkata orang itu sambil menerima obat penawar dari Wayan tagur dan tanpa mempedulikan Ketut Suida, orang itu telah berjalan memapah kawannya yang berjalan terpincang-pincang menahan rasa perih yang sangat akibat sayatan keris Wayan tagur. 

Melihat orang upahannya yang akan pergi, Ketut Suida sepertinya tidak berpikir panjang langsung balik badan hendak kabur.

Namun gerakan Ketut Suida telah ditangkap basah oleh penglihatan Mahesa Amping yang jeli.

Creppp…..,

Sebuah belati pendek yang selalu dibawa oleh Mahesa Amping terlihat telah menancap masuk ke betis Ketut Suida. Terlihat anak muda itu langsung terjerambat.

“Belatiku ini telah kuwarangi dengan racun ular tedung yang terkenal bisanya”, berkata Mahesa Amping kepada Ketut Suida sambil mendekatinya.

Terlihat Ketut Suida dengan mata terbelalak tengah mencabut belati kecil yang menancap tidak begitu dalam.

“Kasihanilah aku, berikan padaku penawarnya”, berkata Ketut Suida penuh memelas sambil melempar jauh-jauh belati yang menancap di pahanya dengan rasa penuh jerih ketakutan memandang belati itu. “Siapapun dirimu, bermurahlah padaku, aku tidak ingin mati”, berkata kembali Ketut Suida dengan wajah penuh memelas.

“Kulihat racun warang belatiku sudah mulai bekerja, tubuhmu sudah mulai kedinginan”, berkata Mahesa Amping kepada Ketut Suida.

Terlihat Ketut memeriksa tubuhnya, apa yang dikatakan oleh Mahesa Amping ternyata dapat dirasakannya, dirinya terlihat menggigil.

“Aku akan memberikan kepadamu penawarnya, namun berjanjilah untuk tidak mengganggu keluarga Wayan Tagur sampai kapanpun”, berkata Mahesa Amping dengan wajah penuh wibawa. “Aku berjanji, aku berjanji”, berkata Ketut Suida kepada Mahesa Amping penuh kegembiraan.

“Obat penawarku hanya mampu menahan racun ular tedung selama tiga bulan, aku akan menitipkan obat penawarku kepada Wayan Tagur, mintalah kepadanya setiap tiga bulan sekali”, berkata Mahesa Amping sambil mengeluarkan dari sabuknya sebuah arang kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya dari bekas kayu sisa perapian.”Buka mulutmu lebar-lebar”, berkata kembali Mahesa Amping.

Tanpa pikir panjang terlihat Ketut Suida telah membuka mulutnya lebar-lebar. Bersamaan dengan itu tangan Mahesa Amping telah menjentikkan arang hitam langsung masuk kedalam mulut Ketut Suida.

“Telanlah”, berkata Mahesa Amping kepada Ketut Suida yang langsung menelan arang hitam kecil yang ada dimulutnya.

Glekk…, terdengar air liur Ketut Suida membawa arang hitam masuk ketenggorokannya.

“Enyahlah dari pandanganku sebelum aku berubah pikiran”, berkata Mahesa Amping dengan suara penuh wibawa.

Terlihat Ketut Suida bangkit berdiri dan terpincangpincang melangkah pergi setengah berlari.

“Aku baru mendengar kalau belatimu ternyata diwarangi”, berkata Empu Dangka yang datang menghampiri Mahesa Amping sambil pandangannya mengikuti langkah Ketut Suida yang sudah hampir menjauh dan akhirnya menghilang terhalang belukar yang tinggi tumbuh sekitar pohon ngablang.

“Aku hanya meniru apa yang dikatakan tentang kerisnya”, berkata Mahesa Amping sambil tersenyum menatap Wayan Tagur yang langsung ikut tersenyum.

“Ternyata keponakanmu cukup tajam penglihatannya, kerisku ini kadang kupakai juga untuk berburu burung belekuk, mana mungkin kuwarangi”, berkata Wayan Tagur penuh senyum.

“Obat apa yang kamu berikan kepada mereka?”, bertanya Empu Dangka kepada Mahesa Amping dan Wayan Tagur.

“Istriku mengeluarkan obat cacing kering penurun panas”, berkata Wayan Tagur menjelaskan tentang obat yang dikeluarkan dari bubu kecilnya.

“Obat penawar yang kuberikan hanya sebuah arang sisa perapian”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

“Ternyata malam ini aku dikelilngi oleh dua orang penipu ulung”, berkata Empu Dangka yang dibalas oleh tawa berkepanjangan dari Mahesa Amping dan Wayan Tagur.

Sementara itu temaram warna malam yang dingin telah membasahi tanah halaman ladang jagung didepan gubuk yang baru saja selesai dipanen. Malam sebentar lagi akan berlalu.

“Semoga keselamatan selalu menaungi perjalanan kalian”, berkata Wayan Tagur mengantar kepergian Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Semoga kesejahteraan selalu hadir dalam keluargamu”, berkata Empu Dangka balas menyampaikan kata salam perpisahan.

Sementara itu matahari pagi baru saja beranjak naik mengintip diujung bumi. Pagi begitu cerah dalam warna hijau yang bening, rerumputan, ilalang dan  bunga bakung yang tumbuh berkembang disepanjang jalan sepertinya tengah menari bermandi kehangatan matahari pagi.

Terlihat dua orang berkuda membelakangi matahari pagi, debu-debu terlihat mengepul dibelakang kaki kuda mereka.

Mereka adalah Mahesa Amping dan Empu Dangka yang tengah melanjutkan perjalanannya ke Tanah Melaya, sebuah perkampungan nelayan di pesisir barat Balidwipa.

Matahari belum sampai di puncaknya manakala mereka telah berhadapan dengan bibir pantai yang luas, terlihat mereka tengah berkuda menyusuri bibir pantai berpasir putih. Kadang ombak kecil menyapu dan membasahi kaki-kaki kuda mereka.

“Aku punya kenalan di Tanah Melaya”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.

Akhirnya kuda-kuda mereka telah membawa mereka mendekati sebuah perkampungan nelayan yang terlihat dirimbuni pohon kelapa.

Terlihat mereka telah turun dari kudanya ketika telah sampai di kampung nelayan. Seorang lelaki didepan gubuknya yang tengah memperbaiki jalanya menganggukkan kepalanya ketika dilewati oleh Mahesa Amping dan Empu Dangka yang berjalan sambil menuntun kuda. 

“Orang-orang yang ramah”, berkata Mahesa Amping berbisik kepada Empu Dangka.

Langkah kaki mereka berhenti didepan sebuah gubuk dimana tengah duduk seorang lelaki setengah tua diatas bale-bale bambu.

“Kukira ada saudagar besar datang ke gubukku”, berkata lelaki itu yang sepertinya sudah sangat mengenal Empu Dangka langsung turun dari Bale-bale bambu.

“Kukira Ki Subali sudah tidak mengenali diriku lagi”, berkata Empu Dangka kepada orang itu yang dipanggilnya sebagai Ki Subali.

Udara memang cukup terik diatas perkampungan nelayan itu yang berpasir putih.

“Mari naik dan bicara diatas bale-bale”, berkata Ki Subali mempersilahkan dua orang tamunya naik keatas bale-bale yang cukup lebar untuk mereka bertiga.

“Perkenalkan ini keponakanku, namanya Mahesa Amping”, berkata Empu Dangka kepada Ki Subali memperkenalkan Mahesa Amping sebagai keponakannya.

Terlihat Ki Subali memanggil seorang pemuda yang sedang membelah kayu. Ternyata Ki Subali meminta anak muda itu naik mengambil buah kelapa didepan rumahnya.

“Tolong ambilkan yang muda untuk tamuku”, berkata Ki Subali kepada pemuda itu.

Dengan ringannya anak muda itu memanjat pohon kelapa didepan rumah Ki Subali. “Awas Ki Subali”, berkata Anak muda itu dari atas pohon sambil menjatuhkan beberapa buah kelapa.

“Mudah-mudahan dapat melepas dahaga kalian”, berkata Ki Subali kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka sambil menyerahkan buah kelapa yang sudah dipangkas ujung pangkalnya agar mudah untuk diminum dan diambil dagingnya. “Terima kasih Kampur, bawalah untukmu”, berkata Ki Subali kepada pemuda itu yang dipanggilnya bernama Kampur yang baru saja turun dari atas pohon kelapa tengah mengibasngibaskan dada dan pundaknya dari debu batang kelapa yang menempel.

Anak muda itu sudah kembali ketempatnya membelah kayu, Ki Subali sudah kembali naik keatas bale-bale menemani tamutamunya.

“Kukira Empu Dangka tidak akan singgah lagi ke gubukku”, berkata Ki Subali kepada Empu Dangka.

“Aku perlu bantuanmu untuk mengantar kami menyeberang ke seberang”, berkata Empu Dangka langsung menyampaikan keperluannya kepada Ki Subali.

“Dengan senang hati aku akan mengantar kalian”, berkata Ki Subali langsung menerima permintaan Empu Dangka.

“Ada satu lagi, mudah-mudahan Ki Subali tidak keberatan”, berkata Empu Dangka kepada Ki Subali.

“Mudah-mudahan aku dapat memikulnya”, berkata Ki Subali sambil tersenyum

“Tidak berat, aku bermaksud memberikan dua ekor kuda itu untuk Ki Subali”, berkata Empu Dangka kepada Ki Subali.

“Memang tidak berat, bahkan sangat ringan untuk membawanya kepasar ternak”, berkata Ki Subali yang disambut tawa panjang dari Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Aku tidak melihat Nyi Subali…..”, bertanya Empu Dangka kepada Ki Subali.

“Sudah dua minggu ini istriku di seberang menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Kebetulan sekali setelah mengantar kalian aku akan singgah kerumah mertuaku itu”, berkata Ki Subali menjelaskan keberadaan Nyi Subali kepada Empu Dangka.

Sementara itu tidak terasa sang waktu telah menarik layar cakrawala langit diatas panggung bumi menjadi warna sore yang teduh. Terlihat matahari kuning bulat masih menggelantung rebah ke barat mendekati ujung laut biru yang datar.

Dan senjapun ternyata lepas berlalu, mentari sudah lama tenggelam di balik bumi, cakrawala langit malam diatas hamparan laut biru bergelombang dipenuhi taburan bintang.

Terlihat sebuah perahu nelayan terapung dipermainkan ombak. Angin laut yang kuat telah mengembangkan layarnya terus melaju. Ada tiga orang lelaki ditemani cahaya lentara perahu yang temaram bergoyang kekiri dan kekanan. Mereka adalah Mahesa Amping, Empu Dangka dan Ki Subali yang tengah mengarungi selat Bali menuju Tanah Jawa.

“Nasib kita sedang baik, lihatlah bintang sulo bawi bersinar begitu terang, itu tanda angin timur masih akan terus berhembus hingga fajar”, berkata Ki Subali yang pandai membaca berbagai bintang.

Hamparan laut biru terhampar bagai permadani bergelombang. Perahu berlayat tunggal itu begitu kerdil terapung dibawa aingin timur yang terus berhembus.

Sebagaimana yang dikatakan Ki Subali, menjelang fajar mereka telah melihat gundukan hitam ratan tanah membujur. Itulah daratan tanah Jawa.

Berdesir detak hati Mahesa Amping menatap hamparan tanah hitam di bawah cakrawala langit yang masih buram. Ada kegembiraan yang melompat-lompat, hati dan perasaan Mahesa Amping sepertinya merasakan laju perahu begitu lambat.

Layar perahu itu sudah digulung, terlihat Ki Subali dengan penuh ketenangan kadang mengayuh mengarahkan perahu berada dibelakang gelombang. Perahu nelayan itu pun terus melaju dibawa ombak mendekati daratan pantai.

“Kita berada di pantai kampung mandar”, berkata Ki Subali kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka  sambil melompat kelaut dangkal.

“Istri Ki Subali orang mandar?”, bertanya Mahesa Amping sambil membantu Ki Subali merapatkan perahunya kedaratan yang lebih dangkal.

“Benar, istriku orang mandar, aku sendiri keturunan Melayu”, berkata Ki Subali sambil mengikat perahunya disebuah tonggak kayu pohon kelapa yang terpenggal.

“Orang Mandar dan orang Melayu adalah keturunan pelaut, darah mereka mungkin berwarna biru”, berkata Empu Dangka. “Mungkin juga darah mereka rasanya asin”, berkata kembali Empu Dangka yang disambut derai tawa dari Mahesa Amping dan Ki Subali, sepertinya mereka telah melupakan semalaman digoyangkan gelombang dan kebosanan.

Sementara itu sang mentari telah muncul mengintip diujung bumi dalam warna kuning elok membias memancar diatas warna biru laut.

“Warna pagi yang indah”, berkata mahesa Amping dalam hati sambil memandang cahaya matahari yang baru terbit diujung tepi laut yang jauh. “Tidak jauh dari sini ada sebuah kedai”, berkata Ki Subali kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Tunggulah kalian dikedai ini, aku akan segera kembali”, berkata Ki Subali ketika mereka tiba dikedai yang bermaksud untuk singgah kerumah mertuanya sambil melihat istrinya.

“Janganlah diri kami membuat Ki Subali tergesagesa, kami tidak sedang berburu waktu”, berkata Empu Dangka kepada Ki Subali.

Langkah Ki Subali sudah tidak terlihat lagi terhalang sebuah gubuk yang berdiri di tikungan jalan. Sementara itu Mahesa Amping dan Empu Dangka memesan minuman hangat kepada pemilik kedai.

“Serabinya masih hangat”, berkata pemilik kedai itu menawarkan serabi yang memang terlihat masih berasap.

Ternyata kedai itu semakin terang pagi semakin banyak didatangi orang, beberapa nelayan yang baru saja kembali dari melaut, atau beberapa wanita yang hanya berkemben selembar kain datang membeli beberapa jajanan, mungkin untuk suami dan anaknya.

“Meski sudah jauh dari tempat asalnya, orang  Mandar tetap memegang adatnya”, berkata Empu Dangka yang sudah banyak melanglang keberbagai pulau.

Sementara itu cahaya matahari pagi sudah semakin hangat, warna pagi sudah begitu terang ketika mereka melihat Ki subali sudah datang kembali.

“Bagaimana keadaan mertua dan istrimu?”, bertanya Empu Dangka kepada Ki Subali yang baru datang dari rumah mertuanya. “Kulihat mereka dalam keadaan sehat tidak kurang apapun”, berkata Ki Subali penuh senyum.

Terlihat Ki Subali mengambil tempat duduk, namun tidak memesan apapun karena sudah merasa kenyang disuguhi makanan dirumah mertuanya.

“Bila kalian merasa sudah cukup beristirahat, kita dapat melanjutkan perjalanan”, berkata Ki Subali kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.

Terlihat Mahesa Amping, Empu Dangka dan  Ki Subali tengah melangkahkan kakinya kearah pantai.Sementara itu matahari pagi diatas cakrawala langit sudah bergeser mengangkat wajahnya seperempat naik permukaan hamparan laut biru.

Ombak pantai berduyun-duyun membasahi kaki mereka yang tengah mendorong perahunya menjauhi pasir dangkal.

Terlihat Ki Subali adalah orang terakhir yang melompat kedalam perahunya manakala kedalaman air dirasakan telah cukup tinggi.

Semilir angin diatas perahu sepanjang pesisir pantai jawa itu berhembus menyejukkan. Dan perahu kecil itu terlihat laju dikayuh Mahesa Amping dan Ki Subali menyusuri tepian pantai timur Jawadwipa. Kadang mereka singgah menepi disebuah pantai untuk sekedar melepas kepenatan, setelah itu mereka kembali melanjutkan perjalanan dalam terik matahari atau gelapnya langit malam bertaburan bintang.

Akhirnya,pagi itu mereka telah tiba di Muara Sungai Porong, matahari pagi di belakang punggung mereka bersinar hangat. Hari memang telah terang pagi. Beberapa bocah lelaki terlihat tengah bermain berlari diatas pasir putuh yang lembut.

“Paman Kebo Arema pernah tinggal disini”, berkata Mahesa Amping menunjuk sebuah perkampungan nelayan.

“Kebo Arema seperti raja kecil di perkampungan ini, kita bisa meminjam namanya”, berkata Empu Dangka ikut memandang perkampungan nelayan yang terdiri dari gubuk-gubuk kecil dari bilik bambu dan beratap daun alang-alang yang berjurai. Perkampungan itu sendiri berada dibawah bukit hutan yang hijau. Sebuah pemandangan yang indah berada antara hamparan laut yang luas dan pemandangan bukit tinggi yang hijau.

“Kami kerabat Kebo Arema, kami perlu sebuah jukung untuk sampai ke Sungai Brantas”, berkata Empu Dangka kepada seorang lelaki di depan gubuknya yang tengah menjemur dendeng ikan.

“Kalian kerabat Paman Kebo Arema?”, bertanya lelaki itu sambil tersenyum memandang tiga orang asing dihadapannya.

“Benar, kami kerabatnya”, berkata Empu Dangka penuh senyum keramahan kepada lelaki itu.

“Paman Kebo Arema adalah dewa penolong bagi warga di perkampungan ini, membantu kerabatnya adalah sebuah kebanggaan untuk kami”, berkata  lelaki itu sambil bercerita tentang sepak terjang Kebo Arema selama tinggal di perkampungan mereka. ”Saudaraku punya dua buah jukung, mungkin dapat meminjamkannya untuk kalian”, berkata lelaki itu sambil mengajak Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Subali kerumah saudaranya.

Ternyata nasib mereka sedang mujur, saudara lelaki itu bersedia memberikan jukungnya.

“Berhati-hatilah, di hutan porong air sungai cukup deras dan berbatu”, berkata saudara lelaki itu yang bersedia memberikan jukungnya.

“Terima kasih telah mengingatkan kami”, berkata Mahesa Amping kepada saudara lelaki itu.

“Kapan kalian berangkat?”, bertanya lelaki yang mengantar ke rumah saudaranya setelah kembali lagi kerumahnya.

“Setelah beristirahat yang cukup, siang ini kami akan berangkat”, berkata Empu Dangka kepada lelaki itu.

“Beristirahatlah disini”, berkata lelaki itu memperkenalkan dirinya bernama Ragil.

Dengan penuh keramahan Ragil menjamu ketiga tamunya beristirahat di gubuknya.

“Tangkapan ikan di musim ini cukup melimpah”, berkata Ragil bercerita tentang beberapa hal kehidupan seorang nelayan.

Ketika matahari condong sedikit dari puncaknya di Muara Sungai, Mahesa Amping dan Empu Dangka tengah mempersiapkan dirinya untuk melanjutkan perjalanannya.

“Terima kasih Ki Subali telah mengantar kami sampai di Mura Sungai Porong ini”, berkata Empu Dangka kepada Ki Subali yang siang itu juga akan kembali Ke seberang, ke tanah Melaya di Balidwipa.

“Sampaikan salam kami kepada Paman Kebo Arema”, berkata Ragil kepada Mahesa Amping dan  Empu Dangka yang telah berada diatas jukungnya.

“Aku akan sampaikan salammu”, berkata Empu Dangka sambil melambaikan tangannya dari atas jukung yang mulai bergerak bergeser dari bibir sungai.

Diiringi pandangan mata Ki Subali dan Ragil, jukung yang dinaiki Mahesa Amping dan Empu Dangka telah bergerak menjauh hingga akhirnya semakin kabur tinggal bayangan hitam dari pandangan mereka karena Mahesa Amping dan Empu Dangka sudah semakin jauh dari Muara Sungai Porong masuk dalam kerimbunan hutan Porong yang lebat dipenuhi batangbatang pohon kayu yang besar dan tinggi dan kerap dirayapi semak belukar, hutan itu sepertinya tidak pernah dijamah oleh tangan manusia.

“Selama manusia tidak merusaknya, selama itu pula hutan ini menjaga dan memberi kehidupan manusia di dunia”, berkata Empu Dangka sambil menyapu pandangannnya di sekitar hutan yang begitu kerap.

“Gusti Yang Maha Kasih telah memberikan hutan, gunung dan lautan untuk kehidupan manusia”, berkata Mahesa Amping ikut memandang jauh kedalaman hutan yang lebat.

“Matahari sudah semakin condong”, berkata Empu Dangka mengingatkan Mahesa Amping bahwa cahaya diatas sungai itu sudah semakin gelap , cahaya matahari semakin terhalang kerapatan hutan porong yang lebat.

“Sungai semakin dangkal dan berbatu”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka dapat menangkap kekhawatirannya.

Akhirnya ketika cahaya diatas sungai porong itu sudah begitu gelap, mereka merapatkan jukungnya disebuah tepian.

“Kita bermalam disini”, berkata Empu Dangka sambil duduk disebuah bebatuan dibawah sebuah pohon kayu besar.

Terlihat Mahesa Amping membuat perapian, membuka bekal yang mereka bawa dan mengumpulkan beberapa umbi-umbian tanaman sejenis talas  yang cukup banyak tumbuh di sekitar tepi sungai itu.

“Kamu seperti ayahku, hanya memilih kimpul mitoha”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang sudah mengumpulkan beberapa umbi yang disebut Empu Dangka sebagai kimpul Mitoha.

“Aku menyukainya karena rasanya sangat pulen”, berkata Mahesa Amping menyampaikan alasannya memilih umbiumbian yang dikumpulkannya.

Demikianlah, mereka menghangatkan diri di tepian sungai hutan porong itu yang sangat lebat dan gelap.

Ketika pagi telah datang menjelang, cahaya matahari telah masuk diantara kerap dahan dan daun menyinari sungai porong yang jernih berbatu.

“Kita lanjutkan perjalanan”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.

Terlihat sebuah jukung sudah mulai bergerak menyusuri sungai di hutan porong yang cukup deras dan berbatu. Dengan mahirnya Mahesa Amping mengrahkan jukungnya menghindari batu-batu besar yang ada dihadapan mereka.

“Air sungai sudah semakin dalam”, berkata Mahesa Amping yang melihat air sungai yang disusurinya sudah semakin dalam dan tidak berbatu.

“Kita semakin mendekati sungai Brantas”, berkata Empu Dangka yang begitu kenal dengan keadaan disekitarnya. Karena pernah hidup lama didaerah ini dan dikenal oleh penduduk disekitarnya sebagai nelayan bercaping yang banyak menolong sesamanya, terutama dari para begal yang dulu banyak dan sering mengganggu.

Sementara itu matahari terus bergerak dan bergeser ke barat membuat bayang-bayang semakin memanjang dan memudar. Akhirnya menjelang senja mereka telah sampai di sebuah pertemuan sungai.

“Kita telah sampai di muka sungai pemisah dua raja”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping ketika jukung mereka telah memasuki sebuah sungai yang jauh lebih luas.

“Sungai Brantas”, berkata Mahesa Amping perlahan mewakili kegembiraan hatinya.

“Kita sama-sama merindukannya”, berkata Empu Dangka yang dapat menangkap perasaan hati Mahesa Amping.

Cahaya senja diatas Sungai Brantas terlihat begitu teduh, sebuah jukung melaju dikayuh oleh  sebuah tangan yang kuat dan penuh semangat.

“Dipertengahan malam kita baru dapat beristirahat”, berkata Empu dangka sambil memasang lentera diujung jukungnya, sementara itu cahaya didepan mereka memang telah begitu gelap.

Terlihat mahesa Amping mengayuh jukungnya agak menepi, pandangan matanya yang tajam masih dapat melihat arah dan suasana meski malam telah menyelimuti pemandangan di atas sungai Brantas dan hutan dikiri kanannya.

“Kita menepi”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka tengah menepikan jukungnya di pinggir sebuah hutan.

Seperti biasa Mahesa Amping membuat perapian  dan membuka bekal perjalanan mereka.

“Dendeng ikan cucut dari Ragil masih ada”, berkata Mahesa Amping sambil membuka bekalnya.

Sementara malam dihutan tepian sungai Brantas itu telah menjadi begitu kelam bergayut suara kesunyian yang ajeg mengisi setiap waktu. Kadang terdengar lolongan sekumpulan anjing hutan memanggil kawankawannya, atau jerit seekor tikus sebagai suara dan nafas terakhirnya ketika berada dimulut seekor ular.

Namun semua suara itu tidak mengganggu Mahesa Amping dan Empu Dangka yang terlihat merebahkan dirinya bersandar pada sebuah pokok kayu pohon besar ditepian sungai Brantas itu.

Dan sang malam akhirnya pasrah menyerahkan kelanggengannya manakala sang fajar datang mengambil alih kuasa waktu yang ditandai dengan penampakan semburat warna kemerahan mengisi ujung timur lengkung langit, warna bumi pagipun  menjadi begitu bening dan teduh.

Mahesa Amping dan Empu Dangka terlihat sudah berada di jukungnya kembali. Udara pagi yang sejuk dan segar mengiringi perjalanan mereka membelah air sungai Brantas yang jernih. Kadang mereka bertemu dengan satu dua perahu kayu milik para saudagar yang terlihat bermuatan barang dagangan.

“Kakang Mahesa Pukat telah membuat gardu penjagaan di sepanjang sungai Brantas ini”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

“Aku pernah mendengar namanya sebagai Senapati yang tangguh dari Bandar Cangu”, berkata Empu  Dangka kepada Mahesa Amping. ”Jadi orang itu saudara tuamu?”, berkata kembali Empu Dangka.

“Kakang Mahesa Pukat juga guruku”, berkata  Mahesa Amping dengan begitu bangganya.

“Beruntunglah Singasari memiliki para ksatria seperti kalian”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang masih terus mengayuh jukungnya sepertinya ingin membawanya secepatnya terbang ke Bandar Cangu.

“Perkampungan penduduk tumbuh semakin banyak di sepanjang sungai Brantas ini”, berkata Mahesa  Amping ketika jukung mereka melewati beberapa perkampungan di sepanjang Sungai Brantas.

“Sungai Empu Baradah ini telah menjadi berkah bagi manusia disekitarnya”, berkata Empu Dangka sambil menyapu pandangannya dihamparan sawah yang luas di tepi sungai Brantas yang mereka lewati.

Sementara itu matahari pagi sudah semakin naik, cahayanya membias diatas air sungai seperti pelangi bertaburan warnawarni. Mahesa Amping masih terus mengayuh jukungnya, sepertinya tidak terlihat sedikitpun kelelahan dalam sinar raut wajahnya.

“Kita telah sampai”, berkata Mahesa Amping ketika matanya menangkap ujung-ujung tiang layar bahtera besar di ujung jauh sudut pandangnya menambah semangatnya untuk mengayuh jukungnya lebih kuat lagi.

Ujung-ujung tiang bahtera itu menjadi semakin mendekat. Mahesa Amping dan Empu Dangka telah mendekati dua buah bahtera besar Singasari yang tengah bersandar di sebuah dermaga yang besar.

“Sebuah bahtera yang sangat besar dan indah”, berkata Empu Dangka sambil memandang dua buah bahtera besar didepan matanya.

“Itulah Jung Singasari yang kami banggakan”, berkata Mahesa Amping penuh kebanggaan kepada Empu Dangka.

“Kalian pantas membanggakannya”, berkata Empu Dangka sambil matanya tidak pernah melepas pandangannya kearah dua bahtera besar yang semakin menjadi dekat.

Akhirnya mereka merapatkan jukungnya didermaga

itu.

Beberapa prajurit yang tengah berada disekitar

dermaga itu menyambut kehadiran Mahasa Amping dengan perasaan penuh suka cita.

“Lama sekali tuan Rangga tidak hadir bersama kami”, berkata salah seorang prajurit muda ketika bertemu dengan Mahesa Amping.

Satu persatu Mahesa Amping melayani hampir semua prajurit yang datang menyapanya.

“Selamat datang wahai sahabatku”, berkata seorang pemuda seusia Mahesa Amping dengan pakaian lengkap seorang perwira.

“Selamat bertemu kembali wahai penjaga Singasari yang gagah”, berkata Mahesa Amping kepada pemuda itu yang ternyata adalah Rangga Lawe sahabat dekatnya.

Merekapun saling menanyakan keselamatan mereka masingmasing.

Ketika pandang mata Rangga Lawe bertemu dengan Empu Dangka, ada sedikit keheranan terlihat dari gurat wajah Rangga Lawe.

“Beliau ini bukan Empu Nada, tapi saudara kembarnya”, berkata Mahesa Amping yang mengerti keheranan dari Rangga Lawe dan langsung memperkenalkan Empu Dangka kepadanya.

“Mari kita ke atas, ke Balai Tamu”, berkata Rangga Lawe mengajak Mahesa Amping dan Empu Dangka menuju rumah kayu yang megah dipinggir sungai  Brantas yang disebut sebagai Rumah Balai Tamu.

“Nampaknya Raden Wijaya tengah menerima seorang tamu”, berkata Mahesa Amping menatap kearah pendapa Balai tamu.

“Hampir setiap hari kami menerima tamu”, berkata Rangga Lawe penuh senyum sambil terus melangkah menaaiki pendapa balai tamu diiringi Mahesa Amping dan Empu Dangka dibelakangnya.

“Lihatlah, siapa yang bersamaku”, berkata Rangga Lawe kepada Raden Wijaya ketika sudah sampai diatas pendapa.

“Sebuah kegembiraan melihat dirimu kembali”, berkata Raden Wijaya sambil memeluk Mahesa Amping penuh keharuan layaknya seorang sahabat dekat bertemu setelah sekian lama berpisah.

Sebagaimana Rangga Lawe, Raden Wijaya merasa kenal dengan orang yang datang bersama Mahesa Amping.

“Perkenalkan, ini saudara kembar dari Empu Nada”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan Empu Dangka kepada Raden Wijaya.

“Ternyata aku bertemu dengan guru Paman Kebo Arema dan Baginda Maharaja Singasari”, berkata Raden Wijaya penuh santun dan penghormatan.

Tamu dari Raden Wijaya ternyata memaklumi suasana pertemuan itu, orang itu pun berpamit diri.

“Maaf, urusanku sudah selesai, aku mohon pamit diri”, berkata orang itu kepada Raden Wijaya  serta semua yang ada di pendapa Balai Tamu.

Setelah tamu itu turun dari pendapa, kembali suasana penuh kegembiraan lebih terbuka lagi, mereka saling bercerita beberapa hal seiring selama perpisahan mereka.

“Aku tidak melihat Paman Kebo Arema”, berkata Mahesa Amping menanyakan keadaan kebo Arema.

“Paman Kebo Arema baru saja keluar, mungkin ada sedikit urusan di Benteng Cangu”, berkata Rangga Lawe kepada Mahesa Amping.

“Setelah beristirahat, aku akan ke Benteng Cangu sekalian bertemu Kakang Mahesa Pukat”, berkata Mahesa Amping.

“Kita semua akan mengantarmu ke Benteng Cangu”, berkata Rangga Lawe menyambung perkataan Mahesa Amping.

Pembicaraan mereka tiba-tiba tertahan manakala dari balik pintu keluar seorang pelayan membawa minuman dan hidangan untuk mereka.

“Silahkan dinikmati hidangannya”, berkata Rangga Lawe memberi kesepatan Mahesa Amping dan Empu Dangka memulai mengambil hidangan yang tersedia.

“Baru kali ini aku dipersilahkan oleh seorang yang bernama Lawe”, berkata Mahesa Amping yang disambut gerai tawa semuanya. “Ini untuk pertama dan terakhir, besok kamu bukan tamu lagi”, berkata Rangga Lawe yang membuat suara ketawa kembali menyambung berkepanjangan.

Demikianlah, mereka saling bersenda gurau sambil menikmati hidangan diatas pendapa Balai Tamu. Empu Dangka dapat menilai begitu dekatnya persahabatan ketiga pemuda yang ada bersamanya itu.

“Mereka tiga serangkai sahabat sejati dan sehati”, berkata Empu dangka dalam hati menilai keakraban ketiga pemuda dihadapannya itu sambil ikut menikmati senda gurau mereka yang sepertinya tidak ada batas perbedaan warna-warni pangkat dan derajat keturunan.

Sementara itu di hutan seberang sungai Brantas, sekumpulan burung pengelana terlihat turun bertengger di beberapa ranting. Satu dua burung-burung muda terlihat tengah mencari perhatian dihadapan para burung betina dengan memegarkan bulunya yang halus putih sambil membuat sebuah suara kicau yang merdu. Sebagian lagi terlihat tengah meneguk air ditepian sungai Brantas penuh kepuasan setelah melewati perjalanan panjangnya.

“Kita akan menemui kemarau panjang”, berkata Empu Dangka dengan pandangan jauh kedepan memandang burung-burung pengelana di seberang sungai Brantas.

“Saat yang baik untuk membawa prajurit berlayar menuju Balidwipa”, berkata Mahesa Amping ikut memandang ke hutan di seberang Sungai Brantas.

Dan waktu pun terus berlalu, matahari diatas Sungai Brantas telah mulai tergelincir surut kebarat.

“Mari kita ke Benteng Cangu, menemui Senapati Mahesa Pukat dan Paman Kebo Arema”, berkata Raden Wijaya.

Maka terlihat mereka tengah menuruni anak tangga Balai Tamu dan melangkah menuju Benteng Cangu yang letaknya tidak begitu berjauhan.

Tidak begitu lama mereka telah sampai di pintu gerbang Benteng Cangu. Seorang pengawal yang melihat kedatangan mereka langsung membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan masuk.

Sementara itu Mahesa Pukat dan Kebo Arema yang tengah berada di atas pendapa Benteng Cangu telah melihat kedatangan mereka yang semakin mendekat.

“Guru….”, berkata Kebo Arema sambil menuruni anak tangga pendapa.

“Bangkitlah anakku”, berkata Empu Dangka menyentuh punggung Kebo Arema untuk bangkit berdiri.

Maka suasana benar-benar menggembirakan, banyak sekali yang mereka percakapkan sepanjang berbagai hal selama perpisahan waktu diantara mereka.

“Kamu telah melaksanakan tugasmu dengan baik”, berkata Mahesa Pukat kepada Mahesa Amping yang telah bercerita cukup panjang mengenai perjalanan tugasnya di Balidwipa.

“Saran dan pandangan Kakang Mahesa Pukat sangat diharapkan”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Pukat berharap mendapat berbagai masukan.

“Apakah kamu tidak ingin menerima saran dan pandanganku?”, berkata Kebo Arema sambil mengelus janggutnya yang panjang penuh senyum.

“Saran dan Pandangan dari Kakang dan Paman sangat diharapkan”, berkata Mahesa Amping mengulang kembali perkataannya.

Demikianlah, mereka bersama saling memberikan beberapa pandangan berdasarkan apa yang telah diamati Mahesa Amping selama berada di Balidwipa.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar