Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Jilid 09

JILID 09

TERLIHAT Mahesa Amping mengeluarkan sebuah bubu bambu yang selalu dibawanya dibalik ikat pinggangnya. Ternyata didalam bubu bambu kecil itu berisi bubuk racikan obat. Mahesa Amping terlihat tengah melarutkan bubuk racikan obat itu dengan air yang ada di mangkuk. Dan dengan tangannya meneteskan air itu ke bibir orang yang pingsan itu.

Tidak lama kemudian, terlihat wajah orang yang pingsan itu yang semula putih pucat terlihat sudah mulai berwarna memerah. Mahesa Amping terlihat memegang lengan orang itu.

“Denyut nadinya telah normal kembali”, berkata Mahesa Amping sambil menarik nafas lega sebagai tanda bahwa orang yang terkena bisa racun ular api itu dapat diselamatkan.

Melihat perubahan di wajah orang yang pingsan itu, beberapa orang yang ada di pendapa itu ikut menarik nafas lega, merasa kawannya akan sembuh dan dapat diselamatkan. “Dimana aku?”, bertanya orang yang pingsan itu ketika membuka matanya melihat banyak orang di sekelingnya.

“Kamu baru saja selamat dari bisa racun ular api”, berkata Ki Sukasrana kepada orang yang baru siuman itu.

”Minumlah obat ini sampai habis”, berkata Mahesa Amping sambil memberikan mangkuk berisi obat racikannya kepada orang yang baru siuman itu yang sudah dapat duduk bersandar dinding kayu.

Terlihat orang itu meminum obat racikan di sebuah mangkuk yang diberikan Mahesa Amping dan kembali bersandar di dinding kayu, wajahnya terlihat semakin segar tidak pucat lagi sebagaimana sebelumnya.

“Terima kasih anak muda, kamu telah menyelamatkan anak buahku”, berkata K Sukasrana yang melihat anak buahnya sudah menjadi lebih segar dari sebelumnya.

“Diujung barat kampung ini kulihat ada hutan kecil, carilah jamur kayu merah di hutan itu, mudah-mudahan penyembuhannya akan menjadi lebih cepat lagi”, berkata Mahesa Amping sambil menyebut beberapa tumbuhan yang banyak tumbuh di sekitar perkampungan itu sebagai bahan campuran obat.

“Aku tidak menyangka bahwa teman mudaku ini adalah seorang tabib”, berkata Ki Ketut Areng

“Aku hanya punya sedikit ilmu”, berkata Mahesa Amping merendahkan dirinya.

“Antarlah Tole ke rumahnya, jangan lupa untuk mencarikan jamur kayu merah dan beberapa bahan tumbuhan untuk obat”, berkata Ki Sukasrana kepada keempat anak buahnya untuk mengantar Tole yang sudah dapat berdiri, meski masih sedikit lemas.

Sementara itu matahari diatas perkampungan nelayan itu sudah cepat naik ke puncaknya, untungnya di depan rumah Ki Sukasrana berdiri tumbuh sebuah pohon jamblang yang berdahan dan berdaun cukup lebat sehingga sinar matahari tidak langsung masuk menyengat kulit di siang hari itu.

“Kalian pasti sudah sangat lapar”, berkata Ki Sukasrana sambil berdiri tersenyum.

Ternyata Ki Sukasrana masuk kedalam untuk menengok Nyai Sukasrana yang sudah hampir selesai menyelesaikan beberapa masakan. Ki Sukasrana telah kembali ke pendapa menemani tamunya. Tidak lama berselang terdengar pintu pringgitan berderit dan muncul seorang perempuan yang ternyata adalah Nyai Sukasrana yang sekilas masih nampak sisa-sisa kecantikannya ketika masih muda dulu.

“Silahkan kisanak makan seadanya, hari ini kami cuma memasak lawar, pepesan ayam dan mangut lele”, berkata Nyai Sukasrana kepada Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng.

“Terima kasih, kami telah merepotkan nyai”, berkata Ki Ketut Areng kepada nyai Sukasrana yang hanya tersenyum dan kembali lagi masuk kedalam menghilang dibalik pintu pringgitan.

Dan sang waktu ternyata begitu cepat berlalu, tidak terasa matahari sudah rebah turun sedikit ke barat. “Pintu rumahku selalu terbuka untuk kalian”, berkata Ki Sukasrana mengantar Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng menuruni tangga pendapanya. “Semoga di pertemuan berikutnya, buah jamblang itu sudah banyak yang masak”, berkata Mahesa Amping menunjuk ke arah pohon jamblang di depan rumah Ki Sukasrana.

“Semoga tidak ada hambatan dalam perjalanan kalian”, berkata Ki Sukasrana dari atas pendapanya.

Demikianlah Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng telah kembali ke Bandar kecil itu. Bahtera yang mereka tumpangi masih terlihat merapat di sebuah dermaga.

Ketika matahari sudah berbaring diujung barat bumi, di batas senja bahtera itu telah bertolak meninggalkan Bandar Tanah sempit-sempit.

Sang malam terlihat begitu kelam mewarnai langit laut selat Bali, tapi masih ada beberapa bintang sebagai tanda bahwa hari tidak akan turun hujan.

Bahtera itu berlayar diatas hamparan laut sunyi. Kadang terlihat kerlap-kerlip lampu centing bergoyang diatas jukung berlayar tunggal nelayan yang tengah mencari ikan, mereka memang terlahir sebagai nelayan, hidup berkeluarga dan beranak pinak melahirkan para nelayan muda di masa yang akan datang. Sebuah kehidupan malam di tengah lautan yang begitu sunyi, menjaring ikan untuk kehidupan keluarganya. Dan mereka tidak pernah jemu untuk melakoninya. Adalah sebuah kebahagiaan tak terkira manakala pulang dari melaut membawa banyak ikan di kaping bambu. Itulah kebahagiaan yang tidak dapat dibeli, sebagaimana seorang petani melihat panen jagungnya.

“Besok menjelang pagi kita sudah tiba di Bandar Buleleng”, berkata Ki Ketut Areng kepada Mahesa Amping yang tengah melihat dua orang lelaki diatas jukungnya terapung di tengah laut malam. Sementara itu angin bertiup begitu dingin, tidak terasa bahtera telah melewati selat Bali. Di sebelah kanan bahtera membujur gundukan tanah hitam. Itulah Balidwipa disaat malam kelam seperti bayi raksasa yang tengah tertidur.

“Ketika bertolak dari Bandar Cangu, aku tidak merasakan apapun. Namun manakala Bahtera sudah mulai menyentuh pesisir Bali, hati ini seperti tersentaksentak, ingin rasanya aku terjun berenang ketepian dan berlari pulang”, berkata Ki Ketut Areng sambil menatap pesisir tepian pantai Bali yang terlihat masih menghitam, hanya terlihat kerlip beberapa lampu-lampu kecil berasal dari lampu lenting rumah penduduk di tepi pantai seperti melihat gundukan tanah hitam bertabur bintang-bintang.

“Mari duduk bersandar, malam masih sangat panjang”, berkata Mahesa Amping kepada ki Ketut Areng yang masih berdiri memandang jauh ke tepi pesisir pantai.Tidak lama kemudian Ki ketut Areng telah mengikuti Mahesa Amping bersandar di dinding geladak.

Malam di atas kepala mereka seperti payung langit raksasa, dalam kekerdilannya, bahtera sepertinya tidak bergerak. Dan Ki Ketut Areng tidak terasa telah bergeser rebah berbaring dan akhirnya telah tertidur. Tinggalah Mahesa Amping yang masih terjaga bersandar di dinding geladak. Dan tidak terasa Mahesa Amping telah bergeser berbaring dan akhirnya ikut tertidur.

Terkejut Mahesa Amping ketika membuka matanya, langit diatas bahtera sudah terang, ternyata sang pagi sudah datang menjelang.

“Hari sudah pagi”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Ketut Areng yang juga telah ikut terbangun.

Setelah merapikan pakaian dan ikat kepalanya, terlihat Mahesa Amping berdiri dipinggir geladak bersama Ki Ketut Areng memandang tak jemu pulau Bali yang hijau terbungkus pohon-pohon hutan yang besar, tinggi dan kerap rapat.

Bahtera semakin merapat ke pantai mendekati tepian. Diujung timur terlihat tiang-tiang layar bahtera berjajar. Ke arah itulah bahtera yang ditumpangi Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng bergerak menghampirinya.

Bahtera itu telah hampir merapat di sebuah dermaga kayu yang panjang, seorang lelaki terlihat dengan beraninya melompat dari geladak sambil membawa tambang besar. Dan ketika kakinya telah menyentuh lantai geladak, dengan cekatan mengikat tali di sebuah tonggak kayu.

Bahtera telah merapat dan bersandar di Bandar Buleleng yang cukup ramai sebagaimana suasana di Bandar-bandar besar di tanah jawa.

“Terima kasih untuk tumpangannya”, berkata mahesa Amping kepada saudagar pemilik bahtera. “Tunggulah bahtera kami bilamana kamu akan kembali ke tanah Jawa”, berkata saudagar itu kepada Mahesa Amping.

Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng telah menginjakkan kakinya di dermaga. Terlihat beberapa orang tengah membawa kuda yang akan diangkut berlayar, mungkin ke sebuah tempat yang jauh.

“Rumahku tidak begitu jauh dari sini”, berkata ki Ketut Areng dengan wajah begitu ceria merasakan udara kampung halamannya sendiri. Ternyata rumah Ki Ketut Areng memang tidak begitu jauh dari Bandar Buleleng, hanya terpisah dengan sebuah hutan kecil.

Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng sudah mendekati sebuah regol gerbang Kademangan Kabukbuk. Sebuah Kademangan yang paling dekat dengan  Bandar Buleleng.

Tidaklah aneh bila Kademangan itu cukup ramai menjadi tempat persinggahan orang-orang Bali pedalaman yang akan membawa berbagai dagangannya ke Bandar Buleleng diantaranya adalah ternak kuda sebagaimana yang mereka lihat tengah diangkut berlayar di Bandar buleleng.

Di pintu regol, Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng disambut gembira oleh seorang gadis yang ternyata putri tunggal Ki Ketut Areng.

“Ibu masih belum pulang ke pasar”, berkata gadis itu kepada ayahnya Ki Ketut Areng.

Mahesa Amping dipersilahkan bersih-bersih di pakiwan. Setelah itu Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng terlihat beritirahat bercakap-cakap di rumah bambu, sebuah bangunan yang bertiang bambu terbuka dan terpisah dari bangunan utama.

Rumah Ki Ketut Areng memang terlihat asri, ada beberapa tanamam bunga yang terawatt apik di halaman dan tiga buah pohon jepung merah berdiri disisi kiri pagar dinding batu.

Tidak lama kemudian datanglah dari regol pintu halaman seorang wanita sambil menjungjung keranjang diatas kepalanya yang ternyata adalah Nyai Ketut Areng yang baru pulang dari pasar.

Ki Ketut Areng memperkenalkan Mahesa Amping kepada istrinya. Dan hari itu keluarga Ki Ketut Areng sepertinya merayakan kebahagiaannya dengan memasak berbagai hidangan. Hari itu Mahesa Amping bermalam dirumah Ki Ketut Areng, sudah menjadi kebiasaan Mahesa Amping bangun di awal pagi.

“Wanita bali memang terbiasa melakukan kerja keras seperti membajak sawah dan mencangkul”, berkata Ki Ketut Areng yang dapat membaca keheranan Mahesa Amping melihat istri dan putrid Ki Ketut Areng pagi-pagi sudah keluar rumah membawa pacul dan arit ke sawah.

“Apa kerja laki-laki Bali?”, bertanya Mahesa Amping. “Berjudi menyabung ayam”, berkata Ki Ketut Areng

sambil membelai leher ayam kesayangannya yang sudah lama ditinggalkannya.

“Nikmat sekali terlahir sebagai pria Bali”, berkata mahesa Amping sambil tersenyum.

Hari itu Ki Ketut Areng mengajak mahesa Amping ke rumah kenalannya seorang pedagang kuda, Mahesa Amping memang sengaja meminta Ki Ketut Areng mencarikannya seekor kuda yang baik.

“Kuda ini asli Sumbawa, beruntung aku belum membawanya kepasar”, berkata kenalan Ki Ketut Areng seorang pedagang kuda.

Malam itu bulan bersinar bulat penuh menyinari halaman rumah Ki Ketut Areng. Semilir angin menggoyangkan bunga dan daun kemboja di sudut halaman rumah. Mahesa Amping dan Ki Ketut Areng terlihat masih berbincang-bincang seputar rencana perjalanan mahesa Amping ke Puri Besakih.

“Puri Besakih hanya berjarak dua hari perjalanan berkuda”, berkata Ki Ketut Areng memberikan gambaran arah menuju Puri Besakih. Sebagai seorang pedagang batu aji, pengenalan Ki ketut Areng tentang berbagai daerah di Tanah bali memang cukup luas.

“Puri Besakih terletak dilereng Gunung Agung, berjalanlah mengambil arah matahari terbit disebelah kananmu”, berkata Ki Ketut Areng menambahi penjelasanya.

Sementara itu angin di depan halaman Ki Ketut Areng semakin dingin, bunga-bunga kemboja merah terlihat banyak berserakan.

“Saatnya beristirahat”, berkata Ki Ketut Areng mengajak Mahesa Amping beristirahat karena esok hari akan melakukan perjalanan panjang.

Malam diatas rumah Ki Ketut Areng berlalu dalam sunyi, hanya suara gemeriaicik air yang terdengar tiada henti berasal dari sungai kecil disebelah rumah Ki Ketut Areng.

Dan disaat pagi sudah terang bumi, Mahesa Amping pamit diri untuk melanjutkan perjalanannya.

“Aku berdoa untukmu, semoga tidak ada halangan dan hambatan diperjalananmu”, berkata Ki Ketut Areng melepas keberangkatan Mahesa Amping.

Terlihat Mahesa Amping menuntun kudanya keluar dari regol pintu halaman Ki Ketut Areng.Dan dengan lincahnya telah melompat diatas kudanya.

“Kuda yang baik”, berkata Mahesa Amping sambil menepuk perut kudanya. Mendapat perintah dari tuan barunya kuda itu seperti mengerti telah melangkahkan kakinya berjalan perlahan.

“Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu”, berkata Ki Ketut Areng sambil melambaikan tangannya.

Mahesa Amping berkuda diatas jalan Kademangan yang sudah ramai orang berlalu lalang untuk pergi ke sawah atau pergi ke pasar.Ketika telah keluar dari regol pintu gerbang Kademangan Kabukbuk, terlihat Mahesa Amping mengambil arah kekanan menyusuri jalan yang sepertinya sudah mengeras, sebagai tanda sering dilewati gerobak kuda memuat barang penuh muatan.Sementara itu Matahari pagi mengintip dari selasela daun dan dahan pokok-pokok pohon kayu yang tinggi menjulang disepanjang perjalanannya. Harum tanah hutan basah yang tertiup angin begitu menyegarkan.

“Aku ingin mencoba sejauh mana kekuatan nafasmu”, berkata mahesa Amping kepada kuda barunya sambil menjejakkan kakinya keperut kudanya.

Ternyata kuda itu adalah kuda yang pintar, tahu perintah tuannya. Maka terlihat kuda itu telah berlari begitu cepatnya.

“Kuda pintar”, berkata Mahesa Amping yang merasa gembira dibawa kudanya berlari cepat.

Diatas puncak bukit tanah datar yang dipenuhi ilalang, Mahesa Amping memperlambat laju kudanya. Dihadapannya nun jauh disana terlihat sebuah gunung berkabut di puncaknya dan berwarna biru terlihat dari jauh.

“Itulah Gunung Batur sebagaimana yang dikatakan Ki Ketut Areng”, berkata Mahesa Amping dalam hati melihat sebuah gunung membujur tinggi dihadapannya.

Sementara itu Matahari diatas puncak bukit tanah datar sudah berada dipuncak langit, terang menyengat kulit.

“Mari kita mencari tempat teduh”, berkata Mahesa Amping sambil menjejakkan kakinya di perut kudanya. Dan kuda itu pun kembali menghentakkan empat kakinya berlari ke arah yang diinginkan Mahesa Amping, berlari ke arah gerumbulan hutan hijau.

Terlihat Mahesa Amping bersama kudanya seperti membelah padang ilalang yang luas berlari menuruni bukit ilalang. Dihadapannya menanti hutan hijau menjanjikan keteduhan.

Dan Mahesa Amping bersama kudanya terlihat sudah memasuki hutan hijau itu, sengatan matahari di siang itu telah berganti dengan kesejukan suasana hutan hijau bersama harum angin segar membawa wewangian daundaun muda.

Mahesa Amping memperlambat laju kudanya, mencoba menikmati suasana segar didalam kerindangan hutan hijau yang lebat dipenuhi pohon-pohon kayu besar yang menjulang tinggi.

Namun pendengaran Mahesa Amping yang tajam telah mendengar sesuatu yang aneh, sebuah suara dua senjata beradu tidak jauh darinya. Maka Mahesa Amping segera mempercepat lari kudanya, keingintahuannya begitu besar untuk mengetahui apa yang telah terjadi di balik tikungan jalan di tengah hutan itu.

Denting suara senjata beradu sudah semakin dekat, ternyata ada sebuah pertempuran, tapi Mahesa Amping tidak dapat membedakan siapa lawan dan siapa kawan diantara orang-orang yang tengah bertempur.

Namun lama kelamaan Mahesa Amping dapat membedakan dua kelompok yang sedang bertempur itu dari pakaiannya. Satu kelompok memakai kain poleng menutupi bagian pinggangnya, sementara kelompaok lainnya hanya menyelendangkan kain poleng itu dileher atau melintang antara leher dan dada.

Mahesa Amping melihat kelompok yang memakai kain poleng dipinggangnya kalah jumlah, mereka hanya sepuluh orang lelaki menghadapi sekitar lima belas orang lawannya.

Mahesa Amping melihat dua orang kelompok kain poleng di pinggang telah keluar dari pertempuran karena terluka cukup parah. Sebagai seorang yang mempunyai perasaan halus, Mahesa Amping merasa kasihan kepada kelompok berpakaian poleng dipinggangnya yang kewalahan menghadapi kelompok yang lebih banyak. Namun Mahesa Amping masih takut salah bertindak.

Ketika seorang lagi dari kelompok kain poleng dipinggang terlempar dan terluka cukup parah, akhirnya Mahesa Amping telah menemukan cara menghentikan pertempuran itu.

Terlihat Mahesa Amping turun dari kudanya dan mengikat kudanya di sebuah batang pohon yang tersembunyi. Mahesa Amping melangkahkan kakinya mendekati pertempuran itu.

Ternyata diam-diam Mahesa Amping telah merapalkan salah satu kesaktiannya, sejenis ajian ilmu Kawah aji ari-ari. Sebuah ilmu yang dapat merebut pikiran banyak orang.

Ternyata ajian sakti Mahesa Amping kali ini hanya tertuju kepada orang-orang yang berpakaian poleng melilit dilehernya.

“Hentikan pertempuran !!!”, berkata Mahesa Amping dengan suara yang dilambari tenaga sakti menjadi seperti menggema dan terasa menghentak dada siapapun yang mendengarnya. Seketika pertempuran itu menjadi terhenti, semua orang menatap arah suara, menatap Mahesa Amping yang tengah melangkah mendekati pertempuran yang terhenti.

Orang-orang yang berpakaian poleng di pinggangnya telah melihat Mahesa Amping sebagai seorang pemuda biasa, namun kegentaran mengisi hati mereka manakala menangkap sorot mata yang tajam penuh ketenangan.

Sementara orang-orang yang berpakaian poleng di leher dan seadanya terlihat melotot seperti melihat sesosok hantu yang menakutkan.

Ternyata mereka memang melihat hantu sebenarnya, di hadapan mereka tengah berjalan menghampiri sesosok hantu yang berbadan tinggi sekitar dua kali orang dewasa dengan wajah mayat pucat menakutkan ditumbuhi dua buah gigi caling yang keluar menakutkan dari sela-sela bibirnya.

“Hantu leak !!!!”

“Hantu Leak !!!!”

Berteriak beberapa orang berpakaian poleng di lehernya sambil berlari sekencang-kencangnya hingga tidak terdengar lagi suara langkah mereka.

Sementara itu orang-orang berpakaian poleng di pinggangnya merasa heran, mengapa tiba-tiba saja semua lawannya telah berlari dengan wajah penuh ketakutan sambil berteriak hantu leak, sebuah hantu yang memang paling ditakuti di tanah Bali.

“Terima kasih, kedatangan anak muda telah menyelamatkan kami dari kekalahan yang sia-sia”, berkata seorang diantara mereka yang ternyata adalah pimpinan dari kelompoknya, ”namun kami heran mengapa mereka lari dalam keadaan takut”, berkata kembali orang itu penuh rasa penasaran.

“Mungkin mereka takut melihat hantu sebenarnya, hantu yang cuma mereka yang melihatnya”, berkata Mahesa Amping sekenanya sambil tersenyum.

Pemimpin orang-orang itu tidak mendesak Mahesa Amping mengatakan yang sebenarnya, namun di hati kecilnya pasti anak muda itu telah melakukan sesuatu yang membuat lawannya berlarian meninggalkan pertempuran.

“Apapun yang anak muda telah lakukan, kami sebagai orang berbudi tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga”, berkata pimpinan itu.”Bolehkah kami mengetahui namamu wahai anak muda”, berkata kembali pimpinan orang-orang itu.

Mahesa Amping dapat mengukur seseorang lewat tutur katanya, dan Mahesa Amping merasa berhadapan dengan orang-orang dari golongan baik dan berbudi.

“Namaku Mahesa Amping, kebetulan aku lewat hutan ini ketika kalian sedang bertempur”, berkata Mahesa Amping menyampaikan jati dirinya.

“Pasti anak muda bukan orang asli Bali, karena semua orang telah mengenal kami sebagai rombongan kesenian Jagur, orang-orang Bali memanggilku dengan sebutan Ki Dalang Bancak”, berkata pimpinan orangorang itu memperkenalkan dirinya bernama Ki Dalang Bancak.

Mahesa Amping termangu-mangu, baru menyadari bahwa dirinya berhadapan dengan sebuah rombongan kesenian dan memang melihat ada seperangkat alat gamelan di sekitar mereka. Sementara itu dari sebuah gerumbul semak-semak keluar dua orang gadis dengan wajah masih diliputi sisasisa ketakutan.

“Mereka adalah dua orang putri kami”, berkata Ki Dalang kepada Mahesa Amping yang memandang sebentar kedua gadis itu yang baru saja keluar dari tempat persembunyiannya.

“Bolehkah aku memeriksa tiga orang kawan kalian yang terluka?”, berkata Mahesa Amping sambil melangkah mendekati tiga orang yang terluka yang sedang dipapah oleh beberapa orang.

“Silahkan”, berkata Ki Dalang Bancak sambil mengiringi Mahesa Amping.

“Kebetulan aku membawa obat pemampat darah, bubuhkanlah bubuk obat ini di tempat yang terluka”, berkata Mahesa Amping kepada salah seorang anak buah Ki Dalang Bancak.

Ternyata obot bubuk pemberian Mahesa Amping sangan manjur, luka-luka dari ketiga orang itu dalam waktu cepat sudah tidak mengeluarkan darah lagi.

“Ternyata anak muda adalah seorang tabib”, berkata Ki Dalang Bancak kepada Mahesa Amping.

“Aku bukan seorang tabib, hanya punya sedikit pengetahuan tentang pengobatan”, berkata Mahesa Amping merendah.

“Anak muda pasti seorang pengembara dari tempat yang jauh, sebentar lagi malam akan menjelang. Sebuah kebahagiaan bilamana anak muda mampir bermalam di Padukuhan kami yang tidak jauh dari hutan ini”, berkata Ki Dalang bancak menawarkan kepada Mahesa Amping untuk singgah di Padukuhannya.. “Hari memang akan menjelang malam, tawaran ki Dalang Bancak sebuah kehormatan, aku tidak berani menolaknya”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Dalang Bancak.

Ki Dalang Bancak diam-diam mengagumi Mahesa Amping, “Seorang anak muda yang santun”, berkata Ki Dalang Bancak didalam hatinya melihat dan tutur kata Mahesa Amping yang teratur dan santun.

Terlihat sebuah iring-iringan kecil menyusuri jalan hutan di penghujung senja itu. Mahesa Amping terlihat menuntun kudanya berjalan beriringan dengan Ki Dalang Bancak.

Sambil berjalan, Ki Dalang bancak bercerita asal muasal terjadinya pertempuran. Diceritakan oleh Ki Dalang Bancak bahwa mereka baru saja pulang dari sebuah acara potong gigi di sebuah padukuhan  Buleleng.

“Orang-orang yang menyerang kami adalah anak buahnya saudagar Made Ontrak yang kaya raya namun tidak pernah puas dengan seorang istri. Beberapa hari yang lalu telah mengutus anak buahnya melamar salah seorang putriku, namun dengan tegas kutolak lamarannya. Karena kami punya adat istiadat yang berbeda, beristri lebih dari satu wanita adalah sebuah perbuatan tabu”, berkata Ki Dalang Bancak bercerita sepanjang perjalanannya.

“Jadi hari ini anak buah Made Ontrak bermaksud membawa pergi putri putri Ki Dalang?”, berkata mahesa Amping yang sudah mulai mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Dalang Bancak, Padukuhan mereka memang tidak jauh lagi dari hutan tempat dimana mereka bertempur.

Terlihat iring-iringan itu telah memasuki gerbang padukuhan, berjalan di atas jalan tanah yang rata. Terlihat rumah-rumah penduduk dipadukuhan itu yang berjejer rapi, terbuat dari kayu jati yang sudah dihaluskan. Di halaman muka mereka masing-masing mempunyai sebuah pura pemujaan dan dapat dipastikan setiap halaman menanam dua atau tiga pohon jipun.

“Inilah gubukku”, berkata Ki Bancak berhenti dimuka sebuah rumah yang sangat berbeda dibandingkan rumah-rumah yang ada disekitarnya, rumah itu nampak lebih luas, disisi kanannya terlihat sebuah sanggar dengan empat buah tiang terukir dan sebagai bangunan terbuka.

Beberapa orang berpamit diri untuk kembali kerumahnya masing-masing.

“Besok aku akan kerumah tiga orang kawanmu yang sakit, ada beberapa racikan yang akan kuberikan kepada mereka”, berkata Mahesa Amping kepada orang-orang yang berpamit kepada Ki Dalang Bancak untuk kembali kerumah mereka.

“Silahkan masuk kerumah kami”, berkata Ki Dalang Bancak mempersilahkan Mahesa Amping masuk ke rumahnya.

Sementara itu hari sudah menjelang malam ketika Mahesa Amping bersama Ki Dalang Bancak dan kedua putrinya memasuki regol halaman muka.

“Pura Besakih adalah pancer dari Sembilan pura yang ada di tanah bali ini.Jadi penguasa pura Bali adalah penguasa Tanah Bali”, berkata Ki Dalang Bancak bercerita tentang Pura Besakih ketika Mahesa Amping mengatakan tujuannya ke Bali kali ini mengarang cerita telah ditugaskan oleh gurunya melakukan pendarmaannya di Pura Besakih.

“Penguasa Pura Besakih memperlakukan diri sebagai paramasiwa”, berkata Mahesa Amping menanggapi cerita Ki Dalang Bancak.

“Nenek moyang kami mempunyai kepercayaan bahwa pusat bumi ada di Bali”, berkata Ki Dalang Bancak. Mendengar penyataan terakhir dari Ki Dalang Bancak, pikiran Mahesa Amping jauh melambung, didalam hatinya mengagumi nalar budi Maharaja Kertanegara tentang Tanah Bali.

“Ternyata Maharaja Kertanegara mempunyai pandangan yang jauh, kekuatan dan kepercayaan warga tanah Bali adalah sebuah ancaman bagi perkembangan Singasari di masa yang akan datang”, berkata Mahesa Amping dalam hati menyatukan cerita Ki Dalang Bancak dengan tugas yang diemban dari Maharaja Singasari.

“Orang luar tidak ada yang menyadari kekuatan Tanah Bali bila bersatu padu, bayangkan sebuah bala prajurit yang besar dengan cepat dapat terwujud bilamana seluruh pecalang disetiap padukuhan dikumpulkan”, berkata Ki Dalang Bancak menyampaikan rahasia kekuatan Tanah Bali yang sebenarnya.

“Berapa orang pecalang disetiap padukuhan ?”, bertanya Mahesa Amping

“Bisa mencapai tiga puluh orang, bahkan bisa lebih tergantung jumlah warga disetiap padukuhan”, berkata Ki Dalang menjawab pertanyaan Mahesa Amping.

“Akan menjadi sebuah kekuatan yang besar bila seluruh pecalang bersatu di Tanah Bali ini”, berkata Mahesa Amping membenarkan ucapan Ki Dalang Bancak.

“Menghindari pertempuran terbuka”, berkata Mahesa Amping dalam hati yang diam-diam membuat sebuah rancangan bagaimana seharusnya menguasai Tanah Bali.

“Empat hari lagi adalah bulan purnama sasih kedasa, semua penduduk tanah Bali akan berduyun-duyun menyampaikan sujud baktinya pada Tuhan di Pura Besakih dalam upacara Batara turun Kabeh”, berkata Ki Dalang Bancak kepada Mahesa Amping.

“Artinya kita dapat bertemu kembali di Pura Besakih”, berkata mahesa Amping.

“Bila kamu mengundurkan sehari dua hari perjalananmu, kita dapat berangkat bersama ke pura Besakih”, berkata Ki Dalang bancak.

“Kebetulan aku punya keperluan lain, harus berangkat esok pagi”, berkata mahesa Amping berusaha mengelak untuk pergi bersama untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, terutama berkaitan dengan tugas delik sandinya yang seharusnya menghindari hubungan langsung dengan orang kebanyakan.

Sementara itu terdengar pintu pringgitan berdenyit, terlihat salah seorang putri Ki dalang Bancak keluar dari pintu pringgitan itu sambil membawa sebuah kendi tanah liat.

“Masih ada sisa minuman brem untuk menghangatkan pembicaraan kalian”, berkata gadis itu sambil tersenyum dan kembali lagi menghilang dibalik pintu pringgitan. “Istriku sudah lama meninggal, di rumah ini kami cuma bertiga”, berkata Ki Dalang Bancak  yang sepertinya dapat membaca pikiran Mahesa Amping yang sejak kedatangannya tidak melihat adanya seorang ibu dirumah itu.

“Jadi Ki Dalang Bancak seorang duda?”, berkata Mahesa Amping.

“Khusus di Kademangan ini kami memegang adat untuk tidak beristri lebih dari satu, kami hanya melakukan upacara perkawinan satu kali untuk seumur hidup”, berkata Ki Dalang Bancak menjelaskan tentang hukum adat istiadatnya.

“Apakah ada hukuman bilamana melanggar adat itu?”, bertanya Mahesa Amping.

“Kami punya tempat khusus, sebuah tempat pengasingan untuk mereka yang melanggar aturan adat itu”, berkata Ki Dalang Bancak menjawab pertanyaan Mahesa Amping.

Sementara itu seteguk demi seteguk brem didalam kendi tanah liat itu tidak terasa sudah semakin tiris, bersama dengan surutnya cahaya bulan yang masih belum bulat sempurna bergeser ke barat.

“Saatnya beristirahat, tidak terasa malam sudah jauh larut”, berkata Ki Dalang bancak menawarkan Mahesa Amping untuk beristirahat.

Demikianlah akhirnya Mahesa Amping bermalam di bilik yang telah disediakan. Dipembaringan pikiran Mahesa Amping terus berpikir, terutama tentang pecalang yang terdapat di setiap Padukuhan sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Dalang Bancak.

“Mungkinkah penguasa Bali diam-diam telah membangun sebuah kekuatan?”, bertanya Mahesa Amping dalam hati.

Mahesa Amping masih juga belum dapat memejamkan matanya, pikirannya semakin jauh, terbayang beberapa peperangan yang pernah disaksikannya, suara senjata beradu, teriakan kasar, darah berceceran dimana-mana, suara rintihan memilukan.

“Dalam suasana perang, manusia seperti lupa akan persaudaraan, lupa sebagai sesama makhluk yang seharusnya saling menyayangi, rasa kasih telah hilang menjadi rasa dendam dan haus darah. Dalam Susana peperangan manusia seperti binatang buas dihutan, bahkan lebih buas dari binatang buas sekalipun”, berkata Mahesa Amping dalam hati ketika bayangan peperangan telah muncul kembali menemui alam pikirannya.

“Sri Maharaja Singasari bertekat memperluas kerajaannya sebagai pendarmaan siwa budha, sementara penguasa Bali merasa berdiri sebagai pusat bumi sebagai paramasiwa”, berkata Mahesa Amping dalam hati sambil tersenyum.

“Puji syukur kehadiratmu wahai Gusti sang Hyiang Jagat bumi yang selalu menjaga hati ini, telah kau cerahkan hati ini dari kesalahan yang terkecil, pengakuan atas diri ini”, berkata Mahesa Amping dalam hati yang telah menemukan sebuah hakekat hati, Dewata nawa sanga adalah pekerjaan hati, milik Sang Hyiang Jagat Raya, tersesatlah jalan para yogi yang mencari nirwana didalam dunia fana.

Akhirnya Mahesa Amping telah kembali dalam kesadaran pikirannya, menghadirkan dan menyatukan akal budinya, menyerahkan hatinya kepada Gusti Sang Maha Karsa yang membawanya kedalam alam ketiadaan, alam kesunyatan. Terlihat nafasnya begitu teratur, nyaris tak terdengar.

Akhirnya, sang pagi telah datang. Ditandai dengan suara kokok ayam jantan yang terdengar sayup-sayup dari tempat yang sangat jauh saling bersahutan hingga akhirnya begitu jelas terdengar dari belakang rumah Ki Dalang bancak.

Sebagaimana yang dijanjikan, Mahesa Amping pagi itu diantar sendiri oleh Ki Dalang Bancak menemui tiga orang yang kemarin terluka. Mahesa Amping telah memberikan mereka obat dari beberapa tetumbuhan yang ada disekitar Padukuhan itu.

“Racikan obat ini berguna untuk pemulihan”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Dalang bancak ketika mengunjungi salah satu dari orang yang terluka.

Ketika hari telah terang bumi, matahari sudah merayap diatas cakrawala, Mahesa Amping mohon pamit diri untuk melanjutkan perjalanannya.

“Senang berkenalan dengan kalian”, berkata Mahesa Amping sambil melompat diatas kudanya.

“Pintu rumahku selalu terbuka untukmu anak muda”, berkata Ki Dalang Bancak melepas keberangkatan Mahesa Amping yang telah berada diatas kudanya.

“Aku akan merindukan brem hangat Ki Dalang Bancak”, berkata Mahesa Amping sambil menepuk perut kudanya.

Terlihat kuda Mahesa Amping perlahan berjalan di sepanjang jalan Padukuhan diiringi tatap mata Ki Dalang dan dua orang putrinya sampai akhirnya Mahesa Amping dan kudanya menghilang disebuah tikungan jalan. “Menurut ayah, apakah pemuda itu masih layang?”,bertanya putri tertua dari Ki Dalang Bancak.

“Aku lupa menanyakannya”, berkata Ki Dalang Bancak tidak tahu maksud dan arah pertanyaan putrinya.

“Kenapa ayah tidak menanyakannya?”, berkata sang putri kembali

“Bila bertemu kembali, pasti kutanyakan”, berkata Ki Dalang tersenyum mulai menangkap maksud dan arah pertanyaan putrinya.

Sementara itu Mahesa Amping bersama kudanya telah keluar dari regol gerbang padukuhan, melewati bulakan panjang dan hutan bambu.

Segerombolan burung manyar terlihat bermain diatas sebuah rumpun bambu, mungkin dibatang-batang bambu itu banyak serangganya. Sementara itu seekor kadal berlari terusik langkah kaki kudanya.

Langit diatas hutan bambu itu begitu cerah, bergerumbul awan berwarna kapas dilangit biru dalam cahaya matahari yang terus mendaki merayap diatas cakrawala.

Gemericik suara air dari sungai kecil di hutan bambu itu sepertinya memanggilnya, Mahesa Amping terlihat telah turun dari kudanya, memberikan kesempatan kudanya beristirahat meneguk sepuasnya air jernih yang mengalir di sungai berbatu di hutan bambu itu dan membiarkan kudanya memamah rerumputan yang tumbuh di sepanjang sungai kecil itu.

Matahari sudah berada diatas puncak cakrawala, namun kerimbunan hutan bambu dan semilir angin di siang itu telah memberikan keteduhan. Di sebuah batu besar Mahesa Amping terlihat bersandar menunggu kudanya yang masih terus memamah rumput-rumput muda yang segar.

Namun tiba-tiba saja Mahesa Amping mencium sebuah harum daging bakar yang sangat menggoda.

Keingintahuannya telah memaksanya berdiri dan berjalan menghampiri kudanya. Terlihat Mahesa Amping telah berjalan menuntun kudanya tengah mencari sumber aroma daging bakar yang begitu menggoda.

Mahesa Amping telah menemukan sumber aroma itu, dihadapannya terlihat seorang tua tengah memanggang dua ekor ayam hutan.

Terperanjat Mahesa Amping melihat wajah orang tua itu, sebuah wajah yang sangat dikenalinya.

“Empu Nada!!”, berteriak Mahesa Amping merasa gembira di tempat yang asing ini dapat bertemu dengan orang yang dikenalnya.

Orang tua yang dipanggil Empu Nada itu mengangkat wajahnya, menatap Mahesa Amping penuh selidik. “Orang yang kamu sebut itu adalah saudaraku, bahagia diriku mendengar kembali nama saudaraku yang telah lama tidak kuketahui rimbanya”, berkata orang tua itu. 

Mahesa Amping menatap wajah orang tua itu dengan lebih teliti, memang sangat mirip dengan Empu Nada yang dikenalnya. “Apakah orang tua dihadapanku saudara kembar Empu Nada yang bernama Empu Dangka?”, bertanya Mahesa Amping penuh kehati-hatian takut salah mengenal orang.

“Ternyata saudara kembarku telah bercerita tentang diriku kepadamu, pasti kamu sangat dekat dengannya. Benar Anakmas, namaku adalah Bratadangkadewa, saudara kembar orang yang anakmas kenal yang bernama Bratanadadewa”, berkata orang tua itu yang ternyata adalah Empu Dangka.

“Namaku Mahesa Amping, senang dapat berjumpa dengan saudara kembar Empu Nada”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan dirinya.

“Mari duduk bersama, seekor ayam hutan ini  memang untukmu”, berkata Empu Dangka penuh senyum keramahan.

“Jadi Empu Dangka memang sengaja menungguku disini?”, bertanya mahesa Amping.

“Benar, aku sudah melihat bagaimana kamu menakut-nakuti orang-orang yang tengah bertempur”, berkata Empu Dangka sambil menyerahkan seekor ayam panggang yang sudah matang kepada Mahesa Amping.

“Terima kasih”, berkata Mahesa Amping sambil menerima ayam panggangnya.

Maka kedua orang yang baru bertemu itu terlihat tengah menikmati ayam hutan bakar.

“Ayam bakar yang nikmat”, berkata Mahesa Amping. “Rasa laparlah yang membuat kenikmatan ayam

bakar itu”, berkata Empu Dangka.

Ketika mereka telah menyelesaikan makan siang yang nikmat itu, Mahesa Amping memulai pertanyaannya.

“Ketika kami pulang dari Tanah Madhura bersama Pangeran Kertanegara, kami tidak menemui Empu Dangka di Hutan Porong, kemanakah Empuh ketika itu?, bertanya Mahesa Amping.

“Aku memang tidak pernah betah hidup dalam satu tempat, ketika itu aku telah melanglang buana mengikuti langkah kaki, ternyata langkah kakiku membawaku ke Balidwipa ini”, berkata Empu Dangka menjelaskan kemana dirinya setelah dari hutan Porong tempat terakhirnya bersama Pangeran Kertanegara.

“Ada berita gembira, Pangeran Kertanegara telah menjadi Maharaja Singasari”, berkata Mahesa Amping diam sebentar melihat kegembiraan diwajah Empu Dangka. “Berita yang lebih menggembirakan lagi adalah bahwa Empu Bratanaddewa telah dikukuhkan oleh Sri baginda Maharaja Kertanegara untuk menjadi Gurusuci pendeta istana”, berkata Mahesa Amping melanjutkan.

“Sebuah berita yang sangat menggembirakan”, berkata Empu Dangka sepertinya merasa bahagia mendengar dua kabar yang sangat membahagiakannya itu.

“Ternyata Empu Dangka tidak pernah keluar dari Balidwipa ini hingga ketinggalan kabar tentang perkembangan Singasari”, berkata mahesa Amping.

“Benar, di Balidwipa ini hatiku ini seperti telah kepincut, aku seperti telah menemukan rumahku sendiri”, berkata Empu Dangka menyampaikan perasaan hatinya tentang pulau Dewata.

“Aku baru beberapa hari di Balidwipa ini, apa yang membuat Empu Dangka kerasan di Balidwipa ini”, berkata dan bertanya Mahesa Amping.

“Para pendahulu, penetap pertama di Balidwipa ini ternyata telah menata Balidwipa dengan apiknya”, berkata Empu Dangka. “pengembaraan jiwaku sepertinya tidak pernah terpuaskan, setiap saat jiwaku sepertinya telah meneguk pengetahuan baru, mengenal alam baru setiap kali mendaki setiap pura yang ada di bali Dwipa ini yang ternyata ditata begitu apik dan serasinya mengikuti alam dan tempatnya berdiri berdasarkan tuntunan Dewata Nawa Sanga, Sembilan penguasa disetiap penjuru angin dengan satu pancer di pura Pusering Jagad“, berkata Empu Dangka.

“Jadi yang menjadi pancer adalah Pura Pusering Jagad, bukan Pura Besakih?”, bertanya Mahesa Amping.

“Itulah yang amat kusayangkan, penguasa di Pura Besakih telah mencoba menggeser kedudukan pancer yang sudah ditetapkan oleh pendahulunya”, berkata Empu Dangka.

“Dampak apa yang dapat terjadi bilamana pergeseran dan perubahan tempat itu terjadi?”, bertanya Mahesa Amping

“Keserasian dan keselarasan di bumi ini akan terganggu, akan timbul berbagai kekacauan yang berujung kepada peperangan antara para penguasa Pura”, berkata Empu dangka.

“Balidwipa ini begitu dekat dengan Kerajaan Singasari, kekakacauan di balidwipa akan mempengaruhi tatanan dan kemapanan di Tanah Singasari”, berkata Mahesa Amping mencoba menilai dan mengungkapkan wawasannya.

“Anakmas benar, kekacauan di Balidwipa dapat mempengaruhi kemapanan Singasari”, berkata Empu Dangka membenarkan pandangan Mahesa Amping.

“Apakah ada usaha dari para penguasa selain penguasa pura Besakih untuk mengingatkannya?”, bertanya Mahesa Amping.

“Mereka merasa tidak mampu menandingi kesaktian penguasa Pura Besakih yang bernama Adidewa Lamcana”, berkata Empu dangka. Sebagai seorang yang tengah bertugas sebagai seorang delik sandi, Mahesa Amping memang sangat berhati-hati. Mahesa Amping telah dapat membaca di pihak mana Empu Dangka berada. Maka akhirnya Mahesa Amping bercerita tentang rencana dan tugas yang tengah diembannya saat ini dari Sri Baginda Maharaja Kertanegara.

“Aku berpihak kepada junjunganmu Sri Baginda Maharaja Kertanegara, semoga pencerahan hatinya terus bercahaya, memuliakan keinginnya mengembalikan tatanan dan keserasian Balidwipa”, berkata Empu Dangka menyampaikan persetujuannya.

“Aku yang muda mohon petunjuk dari Empu Dangka”, berkata Mahesa Amping.

“Dengan senang hati”, berkata Empu Dangka penuh senyum.

“Dimana Empu Dangka bertempat tinggal selama di Balidwipa ini?”, bertanya Mahesa Amping.

“Dibawah cakrawala langit, dihamparan bumi yang luas”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum.

“Pengembara sejati”, berkata Mahesa Amping. “Mengikuti kemana langkah kaki”, berkata Empu

Dangka.

“Termasuk juga mengikuti dan menunggu kehadiranku disini”, berkata Mahesa Amping.

“Aku hanya ingin mengenal seorang pemuda yang telah menguasai ajian Kawah aji ari-ari”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum.

“Artinya semalaman Empu Dangka menungguku di hutan bambu ini”, berkata mahesa Amping. “Sekedar mengikuti kata hati, mengenalmu lebih dekat”, berkata Empu Dangka menyampaikan perasaannya saat itu.

“Kata hati itulah yang telah mempertemukan kita”, berkata Mahesa Amping.

Sementara itu tidak terasa matahari telah beranjak bergeser kebarat mengintip dari sela-sela batang dan daun bambu.

“Kita menanti hari upacara Dewata Turun Kabeh di tempat yang paling dekat, diperkampungan para pemburu”, berkata Empu Dangka setelah mendengar rencana Mahesa Amping untuk mengunjungi Pura Besakih.

“Kupercayakan diri ini bersama pemandu terbaik di pulau dewata”, berkata Mahesa Amping sambil menuntun kudanya mengikuti langkah kaki Empu Dangka.

“Dihadapan kita adalah hutan Trunyam, perkampungan para pemburu ada ditengah hutan Trunyam itu”, berkata Empu Dangka sambil menunjuk sebuah hutan lebat dihadapan mereka.

Hutan Trunyam yang lebat itu dibatasi padang ilalang yang luas yang kadang diselingi batu karang gundul berkapur yang dipenuhi lumut dan jamur.

Diujung senja Mahesa Amping dan Empu Dangka baru sampai di bibir hutan Trunyam itu. Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka telah masuk kedalam hutan Trunyam itu menghilang ditelan kegelapan hutan diujung senja saat sinar matahari begitu lemah cahayanya tidak mampu menembusi lorong-lorong gerumbul pepohonan yang kerap dan lebat di hutan Trunyam itu. “Orang di Tanah Jawa takut berjalan dimalam Jum’at Kliwon, sementara itu di Balidwipa yang ditakuti adalah malam Rabu Wage”, berkata Empu Dangka ketika mereka telah masuk lebih dalam lagi di kegelapan hutan Trunyam.

“Bukankah hari ini adalah Malam Rabu Wage?”, berkata mahesa Amping yang menyadari bahwa hari itu adalah malam Rabu Wage.

“Apakah hatimu telah diliputi perasaan takut?”, bertanya Empu Dangka.

———-oOo———-

“Urat takutku sudah putus, apalagi berjalan bersama Empu Dangka”, berkata Mahesa Amping yang tersenyum, namun senyumnya tidak terlihat tertutup keremangan hutan Trunyam.

Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka telah memasuki hutan Trunyam lebih dalam lagi. Ternyata Empu Dangka sepertinya telah mengenal jalan-jalan setapak di hutan itu. Sambil menuntun kudanya Mahesa Amping mengikuti langkah kaki Empu Dangka.

Sementara itu hari telah menjadi malam, suasana didalam hutan itu menjadi begitu gelap.

“Apakah kamu mencium bau kemenyan?”,bertanya Empu Dangka

“Benar, bau kemenyan itu semakin sangat dan keras”, berkata Mahesa Amping.

“Bau kemenyan itu berasal dari pohon menyan yang banyak tumbuh dihutan ini, terutama di tempat pemakaman para suku Trunyam itu”, berkata Empu Dangka menjelaskan sumber bau kemenyan itu yang ternyata berasal dari pohon menyan yang banyak tumbuh di hutan itu. ”Kepercayaan mereka berbeda dengan penduduk umumnya di Tanah Bali ini, dan mereka tidak mengabukan jenasah saudaranya, tapi meletakkannya secara utuh di pemakaman khusus dibawah pohon kemenyan yang banyak tumbuh dihutan ini”, berkata kembali Empu Dangka yang sepertinya begitu mengenal kehidupan para suku Trunyam.

“Meletakkan begitu saja sebuah mayat?”, bertanya Mahesa Amping tidak mengerti dan baru mendengar sebuah cara pemakaman yang aneh.

“Kelak kamu akan menyaksikannya sendiri”, berkata Empu Dangka yang terus melangkah berjalan.

Kita tinggalkan dulu Mahesa Amping dan Empu Dangka yang tengah berjalan didalam hutan Trunyam. Kita mendahului mereka melihat dari dekat keadaan perkampungan suku Trunyam.

Suku Trunyam umumnya adalah para pemburu, mereka menggantungkan kehidupan mereka di hutan Trunyam secara turun temurun, merekalah penduduk asli Balidwipa sebenarnya.

Pada saat itu mereka hanya terdiri dari tujuh puluh kepala keluarga yang tinggal di hutan Trunyam, beberapa orang asli suku trunyam ada juga yang telah keluar dan membaur dengan penduduk luar menjadi petani atau sebagai pedagang sebagaimana umumnya penduduk Balidwipa.

Rumah-rumah mereka sangat sederhana dari kayu yang masih kasar dengan atap yang terbuat dari alangalang kering. Namun kerukunan dan keguyupan diantara mereka sangat mengagumkan, mereka seperti keluarga besar yang saling tolong menolong. Mereka mempunyai lumbung bersama dan juga berburu bersama untuk dinikmati dan dimakan bersama.

Sudah dua pekan ini para warga suku Trunyam merasakan kegelisahan dan kegundahan. Dua pekan  lalu warga suku Trunyam ini geger dengan hilangnya sebuah mayat dari salah satu saudara wanita yang mati secara tidak wajar, mati gantung diri.

Kejadiannya bertepatan di malam Rabu Wage atau malam buda cemeng, sebuah malam yang sangat dikeramatkan oleh orang Bali pada umumnya sebagaimana orang jawa mengkramatkan Malam Jumaat Kliwon. Malam itu hari belum larut malam, beberapa lelaki suku Trunyam masih belum tidur diluar rumah mereka.

Terjadilah sebuah pemandangan yang begitu menakutkan, mereka melihat dengan mata kepala sendiri sebuah keranda berjalan sendiri, seperti melayang terbang terbawa angin. Mereka umumnya adalah para lelaki pemberani, tapi melihat sebuah keranda yang berjalan sendiri telah menggugurkan keberanian mereka, dua dari lima orang lelaki yang tengah berbincangbincang diluar rumahnya itu seperti tidak bisa bergerak, tubuhnya seperti kaku dengan perasaan penuh  ketakutan yang sangat.

Sementara seorang lelaki lainnya bukan hanya tidak bisa bergerak, tapi juga langsung terkencing-kencing membasahi pakaian bawahnya.

Pada keesokan harinya terjadi kegemparan melanda para suku Trunyam, mereka telah kehilangan mayat perempuan yang telah meninggal dua hari yang lalu, mati dalam ketidakwajaran, mati dengan jalan bunuh diri. Mereka pun telah menyatukan kehilangan mayat itu dengan cerita tentang sebuah keranda bambu yang berjalan terbang sendiri.

“Mungkin hantu Leak yang membawa pergi Wariga Alit”, berkata salah seorang suku Trunyam menyebut hantu Leak dan nama mayat gadis yang hilang itu.

Semua orang akhirnya berpikir sama, mempercayai bahwa Wariga Alit dibawa Hantu Leak. Dan sejak itu warga suku Trunyam merasa gelisah, takut bila hantu Leak itu akan datang mengambil mayat lainnya, mayat saudara mereka yang diletakkan begitu saja dibawah pohon Menyan.

Dan hari ini adalah malam Rabu Wage, malam buda cemeng, hari dua pekan yang lalu mereka kehilangan mayat saudara perempuan mereka.

Malam itu memang sangat dingin, cahaya bulan yang belum bulat penuh meremangi malam gelap di perkampungan suku Trunyam. Suara srigala terdengar mengaung panjang sayup menambah keseraman dan kegelisahan orang-orang suku Trunyam yang masih belum dapat memejamkan mata meski dari awal malam sudah naik kepembaringannya.

Tidak ada satupun lelaki suku Trunyam yang keluar rumah dimalam itu, namun ternyata masih ada satu lelaki yang tidak percaya dengan cerita keranda yang terbang meluncur sendiri.

Lelaki itu bernama Ki Tolu Cemeng, kepala Suku Trunyam ayah Wariga Alit, mayat gadis yang hilang itu.

Terlihat Ki Tolu Cemeng tengah bersembunyi diatas sebuah pohon ambon didepan rumahnya yang berbatang besar dan bercabang banyak. Sejak awal malam Ki Tolu Cemeng sudah berada diatas pohon itu. Firasatnya mengatakan di malam itu akan menemui kembali  keranda mayat yang menghebohkan warganya itu.

Ternyata firasat Ki Tolu Cemeng sangat kuat, yang sangat dinantikannya itu ternyata datang kembali.

———-oOo———-

Di keremangan malam yang sunyi, dari atas dahan pohon ambon, Ki Tolu Cemeng melihat sebuah keranda yang tertutup kain panjang seperti terbang meluncur sendiri tanpa ada yang mengusungnya.

Ketika keranda itu telah melewati pohon ambon, Ki Tolu Cemeng perlahan turun dari pohon langsung mengikuti dari belakang keranda yang meluncur sendiri. Tidak terlihat sedikit pun rasa takut diwajahnya, Ki Tolu Cemeng terus membuntuti keranda itu.

Ternyata keranda itu menuju ke arah pemakaman.

Suara burung celepuk yang terdengar semakin menjauh di keremangan malam yang sunyi menambah suasana seperti dipenuhi keangkeran yang mencekam. Tapi semua itu tidak membuat nyali Ki Tolu Cemeng surut, bahkan semakin membuat dirinya menjadi penuh gairah menyingkap keinginan tahuannya lebih jauh lagi.

“Seandainya yang membawa keranda itu hantu Leak, aku akan menantangnya berkelahi”, begitu tekad Ki Tolu Cemeng berkata sendiri didalam hatinya sambil terus membuntuti keranda itu.

Akhirnya keranda itu telah sampai di tanah pemakaman. Keranda itu sudah tidak bergerak lagi,

Bergerutuk suara gigi Ki Tolu Cemeng penuh kemarahan setelah melihat sendiri apa yang ada dihadapannya, namun Ki Tolu Cemeng berusaha menahan kesabarannya agar dapat mengetahui apa yang akan tejadi selanjutnya, maka Ki Tolu Cemeng telah memilih tempat yang sangat gelap untuk bersembunyi.

Ternyata dari balik kain penutup keranda keluar empat orang lelaki, merekalah empat hantu leak jadijadian. Mereka melempar begitu saja keranda di tanah dekat mereka.

“Hari ini kita telah membuat takut orang-orang suku liar itu”, berkata salah seorang dari keempat orang lelaki itu.

“Dua pekan lalu kita sudah membuat gundah gulana calon mertuamu yang angkuh itu”, berkata salah seorang yang lain dari keempat lelaki itu.

“Aku belum puas sebelum orang tua itu ikut bunuh diri”, berkata seorang yang paling muda diantara keempat lelaki itu.

“Bila tidak mati bunuh diri, kita akan mebunuhnya”, berkata seorang lelaki yang pertama kali bicara, sepertinya salah seorang pemimpin kelompok itu.

“Dengan sekali tepuk, dua pulau terlalui. Dendammu kepada kepala suku itu akan terlaksana, dan tugas mengusir suku Trunyam dari hutan ini juga akhirnya akan terlaksana”, berkata pemimpin mereka.

Sementara itu, di tempat yang terpisah, mahesa Amping dan Empu Dangka telah menyaksikan semuanya dari tempat yang tersembunyi. Mendengar pembicaraan empat orang yang bermain hantu-hantuan bahkan melihat dengan jelas Ki Tolu Cemeng yang tengah bersembunyi “Apakah kamu melihat ada orang yang tengah mengintai empat hantu keranda itu?”, berbisik Empu Dangka kepada mahesa Amping.

Mahesa Amping tidak menjawab pertanyaan Empu Dangka, hanya menganggukkan kepalanya.

Sementara itu Ki Tolu Cemeng sudah tidak tahan lagi menguasai amarahnya yang sepertinya telah mengisi penuh rongga ddanya.

“Ketut Wuye, ternyata ini semua perbuatanmu!!”, berkata setengah berteriak melepas kemarahannya keluar dari persembunyiannya.

Bukan main kagetnya keempat hantu leak jadi-jadian

itu.

Namun melihat hanya Ki Tolu Celeng seorang diri

yang muncul dari persembunyiannya, keempat orang itu sepertinya telah menguasai dirinya kembali.

“Sangat kebetulan sekali, Ki Tolu datang menyerahkan nyawa”, berkata lelaki yang paling muda yang sudah dikenal oleh Ki Tolu Cemeng bernama Ketut Wuye.

“Aku bersyukur tidak jadi punya anak mantu lelaki sepertimu”, berkata Ki Tolu Cemeng penuh kebencian.

“Anak gadis Ki Tolu Cemeng mencintaiku”, berkata Ketut Wuye dengan senyum mengejek

“Kamu telah mengguna-gunainya”, berkata Ki Tolu Cemeng masih dengan penuh kebencian sambil tangannya telah melayang menyambar wajah pemuda itu.

Tapi ternyata pemuda itu bukan orang yang mudah dirobohkan hanya dalam satu gerakan, terlihat pemuda itu telah bergeser surut bersamaan dengan itu balas menyerang Ki Tolu Cemeng.

“Ternyata calon mertuaku sudah bosan hidup, ingin menyusul anak gadisnya”, berkata Ketut Wuye sambil melepaskan tendangannya.

Terjadilah pertempuran yang seru antara Ki Tolu Cemeng dengan Ketut Wuye. Saling hantam dan saling tendang. Kadang Ki Tolu Cemeng terlempar menghantam batang pohon menyam yang banyak tumbuh disekitar perkelahian mereka, namun dalam serangan yang lain, Ketut Wuye yang jatuh menggelinding di tanah.

Sebuah perkelahian yang seimbang bila saja ketiga kawan Ketut Wuye tidak ikut campur membantu. Dan sepertinya tidak sabaran.

“Kita habisi orang tua ini”, berkata seorang lelaki yang nampaknya pemimpin kelompok ini memberI tanda kedua orang kawannya untuk mengeroyok Ki Tolu Cemeng.

Maka kasihan sekali melihat Ki Tolu Cemeng harus menghadapi empat orang sekaligus, beberapa pukulan telah berhasil menerobos beberapa bagian tubuhnya.

Namun Ki Tolu Cemeng tidak sedikit pun jera dan mundur, bahkan semakin pukulan datang bertubi-tubi menghantam tubuhnya, semangatnya semakin bertambah, tekadnya telah bulat berkelahi sampai habis tenaga di badan.

———-oOo———-

“Hari ini aku bertemu empat ekor cecurut yang cuma berani mengeroyok orang tua”, berkata Ki Dangka yang muncul keluar dari persembunyiannya merasa kasihan bahwa Ki Tolu Cemeng tidak dapat berbuat banyak menghadapi keempat pengeroyoknya.

Keempat orang pengeroyok Ki Tolu Cemeng sangat kaget melihat ada orang yang tiba-tiba datang mengatakan mereka sebagai empat orang cecurut. Perkelahian untuk sementara jadi terhenti.

Namun melihat yang datang hanya seorang tua renta yang lebih tua dari Ki Tolu Cemeng telah mengembalikan kekagetan mereka.

“Ternyata kita kedatangan macan ompong yang bosan hidup”, berkata salah seorang pimpinan mereka.

Belum habis orang itu berbicara, entah dengan cara apa yang jelas gerakan Empu Dangka tidak dapat diikuti oleh mata wadag. Sebuah tamparan yang keras menghantam wajah orang itu yang langsung tersungkur ke belakang dengan dua giginya langsung tanggal. Dari bibirnya terlihat keluar sedikit darah segar.

Ketiga kawannya merasa pemimpinnya salah  langkah dan apa yang menimpanya hanya sebuah kebetulan. Maka ketiganya tanpa aba-aba telah langsung menyerang Empu Dangka dan meninggalkan Ki Tolu Cemeng seorang diri yang merasa ada kesempatan untuk sedikit beristirahat mengatur nafas.

Ternyata ketiga lelaki itu terlambat menyadari tengah berhadapan dengan siapa, sebagaimana pemimpinnya, kali ini mereka juga tanpa mengetahui bagaimana Empu Dangka memulainya, tiba-tiba saja merasakan sebuah tamparan yang keras menghantam wajah mereka yang langsung tersungkur kebelakang, masing-masing merasakan nyeri pada bagian dalam mulut mereka. Dan begitu mereka membuka mulut, dua buah gigi depan mereka telah tanggal copot dari akarnya bersama sedikit darah dari gusi yang robek terluka.

“Apakah kalian masih punya tenaga?”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum. “Apakah kalian masih ingin bermain dengan macan ompong?, berkata kembali Empu Dangka.

Keempat orang itu nampaknya langsung mengerti telah berhadapan dengan orang tua yang bukan orang sembarangan, karena dengan sekali gebrak tanpa diketahui dengan cara apa mereka sudah tersungkur dengan masing-masing telah tanggal gigi depan mereka.

“Ampuni kami tuan”, berkata pemimpim mereka mewakili kawan-kawannya dengan wajah penuh takut tidak berani menatap langsung Empu Dangka.

“Aku serahkan kepada Ki Tolu Cemeng, apakah dirinya mau memaafkan kalian”, berkata Empu Dangka yang ternyata sudah mengenal Ki Tolu Cemeng.

“Aku hanya ingin mereka mengembalikan mayat putriku”, berkata Ki Tolu Cemeng sambil menatap tajam keempat lelaki itu, terutama pemuda yang bernama Ketut Wuye.

“Kalian dengar sendiri, cepat kalian bawa kembali mayat yang telah kalian curi”, berkata Empu Dangka setengah membentak kepada keempat lelaki itu yang tidak berani mengangkat wajahnya.

“kami akan segera mengembalikannya”, berkata pemimpin mereka dengan penuh rasa takut.

Sementara itu terlihat Mahesa Amping telah keluar dari persembunyiannya, sambil menuntun kuda mendekati Empu Dangka.

Kehadiran Mahesa Amping awalnya sangat mengagetkan Ki Tolu Cemeng, tapi melihat sikap Empu Dangka yang tidak menunjukkan hal apapun, Ki Tolu Cemeng telah menyimpulkan bahwa Mahesa Amping adalah kawan Empu Dangka.

Singkat cerita, terlihatlah iring-iringan sebuah  keranda yang dipikul empat orang lelaki diikuti di belakangnya Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Tolu Cemeng menuju perkampungan suku Trunyam.

Malam sudah wayah sepi uwong ketika iring-iringan itu telah sampai di tengah kampong suku Trunyam. Ki Tolu Trunyam membangunkan beberapa warganya. Maka dalam waktu singkat seluruh warga suku Trunyam telah terbangun dan bergerumbul mengerumuni keempat lelaki bersama kerandanya.

“Ternyata keranda yang kita temui bukan hantu sungguhan”, berkata salah seorang lelaki yang dua pekan lalu basah kuyup pakaian bawahnya melihat hantu keranda.

Sebagaimana yang diminta oleh Ki Tolu Cemeng, keempat orang lelaki hantu jadi-jadian itu yang diiringi hampir semua lelaki dewasa suku Trunyam pada malam itu juga telah mengambil kembali mayat yang mereka curi disebuah tempat dan membawanya kembali ketempatnya semula di tanah pemakaman suku Trunyam.

Setelah mengembalikan mayat anak gadis Ki Tolu Cemeng, keempat orang lelaki itu telah diamankan disebuah tempat dan dijaga dengan ketat agar tidak dapat melarikan diri.

“Besok pagi baru kita tanyakan, siapakah dalang di belakang mereka”, berkata Empu Dangka kepada Ki Tolu Cemeng. “Terima kasih, entah apa yang terjadi atasku bila saja Empu Dangka tidak datang membantu”, berkata Ki Tolu Cemeng menjura kepada Empu Dangka penuh rasa terima kasih.

“Sang Hyiang Widi telah melangkahkan kakiku ke Hutan Trunyam”, berkata Empu Dangka dengan sedikit senyumnya.

Sementara itu hari sudah sampai dipenghujung malam, langit diatas perkampungan Trunyam sudah berwarna kelabu kemerahan sebagai tanda sang pagi akan datang menjelang.

Terlihat Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Tolu Cemeng tengah duduk diatas rumput basah di depan rumah Ki Tolu Cemeng karena rumah mereka tidak punya teras pendapa.

Mereka masih berbincang-bincang seputar kejadian tentang keranda jadi-jadian itu. Seorang lelaki terlihat membawa minuman hangat kepada mereka.

———-oOo———-

Tanpa disadari langit diatas mereka sudah menjadi terang, sinar matahari pagi sudah datang menembus sela-sela dahan dan dedaunan yang rindang. Terlihat beberapa wanita membawa bumbung bambu diatas kepalanya menuju ke sebuah kedung, mungkin mereka akan mandi dan pulangnya membawa air didalam bumbung bambu untuk persediaan air dirumahnya.

“Kami bukan petani yang baik”, berkata Ki Tolu Cemeng ketika seorang lelaki membawakan mereka rebusan jagung yang masih hangat.

Terlihat mereka menikmati rebusan jagung yang masih hangat itu.

“Air putih yang sangat segar, terasa ada sedikt rasa manis”, berkata Mahesa Amping setelah meneguk sedikit air dari bejana bambu.

“Air itu kami sadap dari bambu tua, air itulah yang kami minum setiap pagi”, berkata Ki Tolu Cemeng sambil tersenyum kepada Mahesa Amping.

Sementara itu hari sudah terang tanah, sebagaimana yang telah mereka sepakati semula untuk menanyakan kepada keempat orang lelaki yang telah mereka amankan disebuah tempat yang dijaga dengan sangat ketat.

Ki Tolu Cemeng memerintahkan beberapa lelaki suku Trunyam untuk membawa satu persatu secara  bergantian dari keempat orang yang telah menggelisahkan kehidupan suku Trunyam.

Dengan cara seperti itu akhirnya mereka dapat mengorek keterangan bahwa mereka sesungguhnya hanya seorang suruhan. Dalang dibelakang mereka ternyata seorang senapati Kuturan bernama Made Sangaran, seorang pejabat kepercayaan Raja Adidewa Lamcana penguasa Puri Besakih.

“Kita belum dapat mendakwa apa yang diperbuat oleh Senapati kuturan Made Sangarans itu sebagai perintah langsung penguasa Puri Besakih”, berkata Empu Dangka berpendapat.

“Apa yang dapat aku lakukan terhadap keempat orang suruhan itu?”, bertanya Ki Tolu Cemeng kepada Empu Dangka meminta pendapatnya.

“Melepaskannya”, berkata Empu Dangka “Melepaskannya?”, bertanya Ki Tolk Cemeng meminta penjelasan dari Empu Dangka.

“Dengan melepasnya, tidak ada alasan dari Penguasa Puri Besakih berbuat kekerasan terhadap  suku Trunyam ini”, berkata Empu Dangka. “Sekaligus sebagai bukti bahwa orang-orang suku Trunyam sebagai manusia yang beradab, bukan suku liar sebagaimana tanggapan mereka”, berkata kembali Empu Dangka menjelaskan pertimbangannya mengapa harus melepaskan keempat tawanan mereka itu.

“Sebuah pertimbangan yang baik, kami akan melepaskan mereka hari ini juga”, berkata Ki Tolu Cemeng menyetujui usulan Empu Dangka.

Akhirnya pada hari itu juga mereka telah melepas keempat tawanan mereka.

Sementara itu Mahesa Amping dan Empu Dangka masih di perkampungan Suku Trunyam. Dihari kedua mereka baru meninggalkan perkampungan suku Trunyam. Mahesa Amping menitipkan kudanya kepada Ki Tolu Cemeng.

“Kami akan singgah kembali”, berkata Empu Dangka kepada Ki Tolu Cemeng yang mengantar mereka sampai dimuka jalan setapak di depan rumahnya.

“Bila kalian tidak datang singgah, kuda itu menjadi milikku”, berkata Ki Tolu Trunyam bercanda.

Pada hari itu suasana pagi telah terang tanah, matahari pagi sudah bergeser naik menerangi perkampungan suku Trunyam. Mahesa Amping dan Empu Dangka sudah meninggalkan perkampungan suku Trunyam. Terlihat mereka tengah menyusuri hutan Trunyam kearah selatan. “Kita melambung ke Timur melewati pinggang Gunung Batur”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping

“Kupercayakan langkah kakiku kepada sang pemandu”, berkata Mahesa Amping sambil terus mengikuti langkah kaki Empu Dangka.

Di sebuah tanah tebing yang tinggi mereka berhenti sebentar, dibawah mereka terhampar luas Danau Batur yang indah dikelilingi gerumbul pepohonan yang rimbun menghijau. Sebuah pesona lukisan alam yang indah, membawa jiwa hanyut dalam ketentraman siapapun yang memandangnya.

“Sekarang aku baru mengerti, kenapa Empu Dangka tidak pernah kembali lagi ke Jawadwipa. Balidwipa seperti serpihan sorga yang jatuh di bumi”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka yang menanggapinya dengan senyum penuh arti.

“Bila ada yang bertanya dimana kampung halamanku, maka dengan bangga kukatakan Balidwipa sebagai kampung halamanku kedua”, berkata Empu Dangka sambil memandang jauh ke arah Danau Batur yang begitu mempesona.

Matahari telah turun ke arah barat ketika mereka menuruni lembah gunung Batur. Terlihat mereka telah memasuki sebuah hutan lembah yang kerap.

“Setelah melewati dua gundukan bukit itu, kita sudah ada dikaki Gunung Agung”, berkata Empu Dangka memberikan gambaran perjalanan mereka.

Demikianlah akhirnya mereka telah sampai dikaki Gunung Agung ketika hari sudah jatuh diujung senja. Terlihat mereka tengah memasuki sebuah padukuhan kecil dikaki Gunung Agung itu.

“Kelihatannya kalian datang dari tempat yang jauh”, berkata penjaga banjar kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Benar, kami dari tepian Buleleng bermaksud berjiarah di Pura Besakih”, berkata Empu Dangka.

“Besok kami juga akan ke Pura Besakih, mengikuti upacara Batara Turun Kabeh”, berkata penjaga Banjar itu.

Demikianlah, Mahesa Amping dan Empu Dangka malam itu bermalam disebuah padukuhan kecil di kaki Gunung Agung.

“Kebetulan kami baru panen ketela pohon”, berkata penjaga Banjar sambil meletakkan beberapa potong ketela rebus dan dua buah minuman hangat.

“Terima kasih, kami telah merepotkan”, berkata Mahesa Amping kepada penjaga Banjar itu yang tidak menjawab, hanya sedikit tersenyum sebagai arti bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kewajaran.

“Cuma ini yang dapat kami berikan”, berkata penjaga Banjar itu sambil mempersilahkan Mahesa Amping dan Empu Dangka menikmati hidangan yang telah disediakan. “Bila ada keperluan lain, jangan sungkan mengetuk pintu rumahku”, berkata penjaga Banjar itu ketika pamit kembali ke rumahnya.

Malam itu bulan bersinar bulat penuh bagai sinar perawan yang siap ke pelaminan, begitulah orang-orang tua berkata tentang sinar bulan yang indah cemerlang di waktu purnama bulat penuh.

“Pergantian penguasa di Jawadwipa silih berganti, sementara di Balidwipa terjadi kelanggengan yang lama”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang masih belum mengantuk.

“Adakah sesuatu yang membuat perbedaan itu?”, bertanya Mahesa Amping

“Perbedaannya terletak pada tempat kekuasaan itu sendiri”, berkata Empu Dangka

“Aku yang bodoh ini belum dapat menangkap apa yang dimaksud dari perkataan Empu Dangka”, berkata Mahesa Amping yang masih belum menangkap perkataan Empu Dangka.

“Kekuatan penguasa Di Jawadwipa terletak didalam istana, sementara kekuatan Balidwipa bersumber diluar istananya”, berkata Empu Dangka menjelaskan.

“Mungkinkah diluar pura ada sebuah kekuatan?”, bertanya Mahesa Amping

“Para pecalang adalah salah satu contoh kekuatan diluar pura”, berkata Empu Dangka.

“Aku baru dapat mengerti”, berkata Mahesa Amping. “Penghuni  Tanah  Bali  ini  telah  diikat  jiwanya  oleh

sebuah    keyakinan    bahwa    kehadiran    sebuah  pura

merupakan sumber dan pusat segala kehidupan. Kelangsungan kehidupan sebuah pura adalah hidup dan matinya kehidupan mereka”, berkata Empu Dangka memberikan sebuah pandangan mengenai kehidupan masyarakat di Tanah Bali.

“Apakah Empu Dangka tengah menggambarkan sebuah kekuatan sarang lebah?”, berkata Mahesa Amping.

“Seperti itulah bila saja dapat digambarkan kekuasaan sebuah pura atas masyarakat di sekitarnya”, berkata Empu Dangka yang diam-diam mengagumi daya tangkap dan daya nalar dari pemuda dihadapannya itu.

Malam di Padukuhan kaki bukit Gunung Agung memang sangat dingin, ditandai dengan bulan purnama sasih kedasa yang turun sempurna satu tahun sekali.

Terlihat Empu Dangka telah mendahului tidur, sementara Mahesa Amping masih terlihat bersandar didinding Banjar berjaga secara bergantian menghindari hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi. Namun sampai menjelang di ujung malam, tidak terjadi apapun yang mengganggu keberadaan mereka.

“Mengapa anakmas tidak membangunkan aku”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang masih bersandar di dinding Banjar.

“Kulihat Empu Dangka tidurnya begitu nyenyak”, berkata Mahesa Amping.

“Masih ada sisa malam untuk beristirahat meluruskan badan”, berkata Empu Dangka meminta Mahesa Amping untuk beristirahat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Empu Dangka, malam memang masih tersisa. Terlihat Mahesa Amping telah meluruskan badannya, merasakan nikmatnya berbaring. Tidak begitu lama Mahesa Amping sudah tertidur nyenyak.

Sementara itu sambil bersandar di dinding Banjar Empu Dangka tersenyum melihat Mahesa Amping yang begitu cepatnya dan sangat mudah sudah tertidur nyenyak.

Namun ternyata Mahesa Amping tidak cukup lama tertidur, karena sang pagi akhirnya telah muncul mendatangi bumi yang ditandai suara ayam jantan terdengar sayup dari tempat yang begitu jauh saling bersahutan membangunkan Mahesa Amping.

Warna pagi saat itu memang masih gelap dan berembun, namun jalan didepan Banjar desa itu sudah terlihat mulai ramai dilalui beberapa orang. Hampir setiap wanita menjunjung bakul di kepalanya.

“Mereka akan berangkat ke Pura Besakih”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping.

Demikianlah, setelah bersih-bersih diri, Mahesa Amping dan Empu Dangka telah berbaur bersama semua orang Padukuhan berjalan kaki mendaki Gunung Agung menuju Pura Besakih. Rombongan pejalan kaki  itu semakin lama semakin banyak bergabung dengan orang-orang dari berbagai Padukuhan lainnya. Berduyun-duyun ratusan orang menyusuri Jalan setapak menuju Pura Besakih itu sudah begitu padat dan mirip ular panjang yang tengah berjalan.

Kabut turun menghalangi pandangan mata, ratusan orang yang berjalan mendaki Pura Besakih tidak surut terus berjalan. Wajah-wajah mereka dipenuhi suasana kegembiraan.

Tidak terasa, akhirnya Mahesa Amping dan Empu Dangka yang berjalan bersama ratusan orang telah sampai di pelataran tanah datar. Dihadapan mereka berdiri Pura Besakih dengah megahnya diatas undakan tanah tinggi, ada undakan anak tangga dari batu yang tinggi untuk dapat sampai ke Pura Besakih.

“Sebuah benteng Istana yang elok”, berkata Mahesa Amping sambil memandang penuh kekaguman atas suasana pemandangan lukisan alam penuh kedamaian dalam sosok bangunan batu berundak dikelilingi kehijauan warna alam di sebuah lereng Gunung Agung. “Prajurit Singasari akan datang menguasai pura agung ini”, berkata Mahesa Amping dalam hati masih menikmati keelokan pura Besakih yang berdiri tinggi dihadapannya.

“Pura Basuki adalah pura huluning jagat, berdiri diatas Gunung Agung yang tinggi. Semoga pasukan Maharaja Kertanegara dapat menghormati bangunan suci ini”, berkata Empu Dangka yang sepertinya dapat membaca apa yang tengah dipikirkan oleh Mahesa Amping.

Tidak terasa langkah kaki Mahesa Amping dan Empu Dangka telah terbawa oleh arus yang terus berlipat dari ratusan orang yang terus bergerak menapaki tangga  batu menuju lawang batu di puncak anak tangga.

Akhirnya bersama kerumunan orang yang terus bergerak, Mahesa Amping dan Empu Dangka telah sampai di puncak tangga dan melangkah melewati lawang pintu pura. Mereka telah sampai di Pura Penataran Agung, sebuah pura yang berada di tengah beberapa pura yang ada diatas tanah berbukit itu.

“Inilah istana Raja Adidewa Lancana”, berkata Empu Dangka ketika berada di pura Penataran Agung tempat semua umat sedharma melakukan upacara Batara Turun Kabeh.

Terlihat semua upakara yang dibawa dari berbagai padukuhan telah diletakkan di Bale Pasemuan. Satu persatu semua orang telah duduk menghadap Bale Gajah. Dan mereka dengan penuh hidmat mendengar pitutur langsung dari Sang Ratu Agung, Raja Adidewa Lancana.

Sebagai puncak upacara Batara Turun Kabeh adalah pelaksanaan membawa berbagai upakara dan wewalungan kerbau yang akan ditawur di puncak Gunung Agung. Terlihat sebanyak empat puluh orang yang dipimpin oleh seorang Jero Mangku tengah berjalan menuju ke puncak Gunung Agung, ke puncak kepundan gunung tertinggi di Tanah Bali itu.

“Mereka membawa berbagai upakara dan wewalungan kerbau untuk ditawurkan di puncak kepundan Gunung Agung”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping. “Dimanakah istana Raja Adidewa Lencana”, bertanya Mahesa Amping ketika mereka tengah bermaksud meninggalkan Pura Penataran Agung.

Empu Dangka tidak menjawab, hanya memberi pertanda ke arah utara dari tempat mereka berdiri.

“Sebuah istana yang asri penuh ketenangan”, berkata Mahesa Amping memandang kepada sebuah pura yang dikelilingi dinding batu bersusun rapih serta diukir dan terlihat begitu agung berdiri diatas ketinggian sebuah tanah bukit.

“Pura ini menghadap arah timur laut, sebuah perlambang Dewa Sambhu salah satu penguasa sembilan penjuru mata angin”, berkata Empu Dangka ketika mereka tengah keluar meliwati lawang pintu Pura Besakih.

Sementara itu matahari telah mulai  menaik, menyinari dan menghangatkan pagi di Pura Besakih. Mahesa Amping dan Empu Dangka terlihat bersama beberapa orang tengah menuruni jalan setapak di lereng pegunungan Gunung Agung yang masih teduh dalam kehijauan dan kerapatan hutan kayu.

“Bukankah harusnya kita berbelok kekanan?”, bertanya Mahesa Amping kepada Empu Dangka. “Kita harus melihat suasana kaki gunung Agung dari sisi yang lain”, berkata Empu Dangka menjelaskan arah perjalanan mereka.

“Jadi kita tidak kembali keperkampungan Trunyam?”, bertanya Mahesa Amping.

“Maaf, kuda anakmas memang harus direlakan”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum.

“Aku bertanya tentang arah, kenapa Empu Dangka menjawabnya tentang kuda?”, bertanya kembali Mahesa Amping.

“Aku hanya sekedar menerka-nerka”, berkata Empu Dangka sambil lalu.

“Kali ini tebakan Empu Dangka meleset jauh”, berkata Mahesa Amping sambil mengikuti langkah kaki Empu Dangka yang masih terus berjalan.

Semakin turun kebawah, iring-iringan orang yang pulang dari Pura Besakih semakin berkurang, satu persatu telah berbelok arah menuju Padukuhan mereka masing-masing. Hingga akhirnya di jalan setapak itu hanya tertinggal Mahesa Amping dan Empu Dangka berdua. 

Sementara itu matahari diatas langit telah condong kebarat, Mahesa Amping Dan Empu Dangka masih terus menyusuri jalan setapak yang masih menurun ke bawah dikaki gunung Agung yang penuh tetumbuhan dan pepohonan yang lebat. Cahaya matahari tua yang semakin rebah kearah barat bumi sudah semakin redup.

Pandangan mata di hutan sekitar Mahesa Amping dan Empu Dangka sudah semakin tersamar dan menjadi semakin buram manakala kabut sore di kaki gunung Agung turun menutupi segenap pandangan mata. “Di ujung senja kita sudah tiba di pintu  lawang sebuah Kademangan”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang terus mengikutinya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Empu Dangka, mereka telah melihat sebuah pintu lawang yang menjadi tanda batas antara hutan dan sebuah Kademangan.

“Kita memasuki Kademangan Rendang, sebuah Kademangan yang cukup besar”, bekata Empu Dangka ketika mereka melewati sebuah pintu lawang yang terbuat dari batu hitam yang tersusun rapih diukir dengan cara yang halus dan telaten berdiri dikiri dan kanan jalan.

Namun ketika mereka mendekati sebuah banjar desa, mereka melihat kerumunan orang di Banjar desa. Rasa keingintahuan mereka begitu tinggi, tidak terasa mereka sudah ada diantara kerumunan itu.

Terlihat dua orang wanita muda dan seorang wanita yang sudah berumur tengah duduk sambil menggarukgaruk beberapa bagian tubuhnya yang terlihat sangat gatal menyakitkan.

Terlihat ketiga wanita itu beberapa bagian tubuhnya sudah berwarna merah karena digaruk dengan kerasnya dan berkali-kali.

“Ada apa dengan tiga orang wanita itu ?”, bertanya Empu Dangka kepada seorang pemuda didekatnya.

“Sore tadi mereka turun mandi di sungai, selesai mandi mereka merasakan gatal yang sangat”, berkata pemuda itu.

“Apakah sudah ada tabib yang mengobati?”, bertanya kembali Empu Dangka

“Ki Tabib Jaran Wungu sejak pagi tadi telah berangkat ke Pura Besakih, sampai saat ini belum pulang, biasanya Ki Tabib menginap di rumah anaknya di padukuhan dekat Pura Besakih”, berkata pemuda itu.

“Mohon maaf, siapa kerabat terdekat dari ketiga wanita ini”, berkata Empu Dangka kepada beberapa orang yang berkerumun.

“Aku suami dan ayahnya”, berkata seorang lelaki yang sudah berumur.

“Aku mohon ijin, mudah-mudahan dapat mengobatinya”, berkata Empu Dangka kepada lelaki itu yang terlihat sudah sangat putus asa, terlihat dari wajahnya yang begitu putus asa.

“Silahkan, aku berterima kasih atas kesediaan kisanak”, berkata lelaki itu yang merasa ada sebuah harapan meski belum mengenal siapa Empu Dangka.

Empu Dangka langsung mendekati seorang wanita yang sudah berumur yang masih terus menggaruk badannya yang gatal tidak pernah hilang.

Ternyata penglihatan mata Empu Dangka sangat tajam, hanya sekali pandang sudah melihat keganjilan yang ada di tubuh wanita itu.

Terlihat Empu Dangka menggosok-gosokkan tangannya dengan sebuah tanah yang diambil didekatnya. Setelah sebagian tangannya telah merata dengan tanah merah, dengan hati-hati tangan Empu Dangka mengambil sesuatu benda halus yang menempel di tubuh wanita itu. 

“Istri dan dua orang anakmu terkena bulu daun pulus”, berkata Empu Dangka sambil memperlihatkan sebuah bulu halus kepada seorang lelaki yang mengaku suami dan ayah dari ketiga wanita itu.

“Ditempat asalku, kami menyebutnya daun pulus, sementara di Tanah Bali ini beberapa orang menyebutnya sebagai daun Lateng.

“Kedua nama daun itu baru kali ini aku mendengarnya”, berkata lelaki itu yang baru mengenal dua nama daun yang disebutkan oleh Empu Dangka.

“Lumuri seluruh tubuh istri dan anakmu dengan tanah merah, setelah itu bersihkan dengan air bersih yang bukan berasal dari sungai tempat mereka mandi”, berkata Empu Dangka kepada lelaki itu.

Lelaki yang sudah putus asa itu langsung mengikuti semua petunjuk Empu Dangka dengan membawa istri dan anaknya ke rumahnya yang ternyata bersebelahan dengan banjar desa. Dua orang lelaki tetangga dekatnya terlihat mengumpulkan tanah merah dan membawanya kerumah keluarga yang kemalangan itu.

Beberapa orang yang awalnya telah berkerumun di banjar desa itu terlihat menunggu hasil pengobatan yang dianjurkan oleh Empu Dangka. Hampir semua orang matanya tertuju ke arah lawang gerbang rumah keluarga yang kemalangan itu.

Akhirnya yang mereka tunggu ternyata datang juga, dari arah lawang gerbang rumah keluarga itu, seorang lelaki suami dan ayah para wanita itu telah datang dengan wajah terang, tidak lagi suram sebagaimana sebelumnya.

“Terima kasih, istri dn anak-anakku sudah hilang rasa gatalnya”, berkata lelaki itu sambil menyalami Empu Dangka penuh rasa terima kasih.

“Bersyukurlah kepada Sang Hyiang Widi yang telah membawa langkah kakiku ke Kademangan ini”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan lelaki itu yang telah terbebas dari rasa cemas dan kekhawatiran itu.

“Atas nama warga kademangan, aku menghaturkan terima kasih kepada tuan tabib”, berkata seorang yang berwajah bersih nampaknya sudah berumur namun dari gaya bahasanya sepertinya seorang yang terhormat.

“Aku bukan tabib, hanya sedikit mengenal beberapa tumbuhan” berkata Empu Dangka merendahkan dirinya.

“Aku Demang di sini, bolehkah aku mengenal nama orang tua?”, berkata orang itu.

“Ternyata aku berhadapan dengan Ki Demang, orang-orang memanggilku dengan sebutan Empu Dangka. Kebetulan sekali aku dan anakku melewati Kademangan ini”, berkata Empu Dangka kepada orang itu yang ternyata adalah Ki Demang.

“Kalian pasti datang dari tempat yang jauh, mari beristirahat dirumahku”, berkata Ki Demang mengajak Empu Dangka dan Mahesa Amping kerumahnya.

Beberapa orang nampak menjadi begitu hormat kepada Empu Dangka, mungkin ikut merasa berterima kasih telah berhasil menyembuhkan istri dan dua gadis anak tetangganya. Dengan penuh hormat mereka berpamit kepada Empu Dangka dan Ki Demang kembali kerumah mereka masing-masing.

“Sebaiknya kalian tidak mandi dulu di sungai, besok aku akan memeriksa keadaan sungai kalian”, berkata Empu Dangka kepada orang-orang itu.

“Mari ke rumahku”, berkata Ki Demang meminta Empu Dangka dan Mahesa Amping mengikutinya. Malam itu di Kademangan Rendang hujan turun rintik-rintik.

“Di Kademangan Rendang ini hampir setiap hari hujan, mungkin karena berada dikaki Gunung Agung”, berkata Ki Demang kepada Empu Dangka dan Mahesa Amping di bale tamu yang ada didepan teras rumahnya sebagaimana umumnya rumah yang ada di tanah Bali.

“Besok pagi aku akan memeriksa keadaan sungai”, berkata Empu Dangka

“Besok aku akan meminta Ki Jagaraga menemani kesungai”, berkata Ki Demang.

“Hanya orang yang sangat dengki dan sakit hati yang telah berbuat jahat menabur daun pulus di sungai”, berkata Mahesa Amping ikut berbicara.

“Kita harus menemukan orang itu agar tidak kembali menimbulkan korban”, berkata Ki Demang.

“Aku berkeyakinan bahwa pelakunya pasti bukan orang Kademangan ini”, berkata Empu Dangka memberikan pandangannya.

“Benar, warga kademangan ini begitu rukun dan saling menyayangi, mereka tidak mungkin sampai hati mencelakai keluarga dan kerabatnya sendiri”, berkata Ki Demang membenarkan pandangan Ki Dangka.

“Kalau begitu kita harus melakukan penyelidikan secara tersembunyi, siapa tahu kita dapat menangkap basah perbuatannya itu”, berkata Mahesa Amping.

Demikianlah, malam itu Mahesa Amping dan Empu Dangka bermalam dirumah Ki Demang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali terlihat tiga orang lelaki keluar dari lawang pintu halaman Ki Demang. Mereka adalah Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Jagaraga yang pagi itu telah dihubungi Ki Demang untuk menemani Empu Dangka memeriksa keadaan sungai.  Sungai itu ternyata tidak begitu jauh mengalir membelah Kademangan Rendang yang berasal dari beberapa mata air yang bersumber dari Gunung Agung. Sungai itu begitu jernih dan berbatu.Empu Dangka, Mahesa Amping dan Ki Jagaraga terlihat berjalan menyusuri sungai jernih berbatu itu. Kadang mereka harus melompat dari batu ke batu.

Masih belum begitu jauh mereka berjalan, disebuah tikungan sungai mereka menemukan tiga tangkai daun pulus dibenamkan didalam air dibawah sebuah batu.

“Dari sinilah orang itu telah menyebarkan bulu daun pulus itu”, berkata Empu Dangka sambil mengambil tiga tangkai daun pulus yang terbenam di dalam sungai.

“Apakah mungkin orang itu akan kembali melakukan kejahatannya”, bertanya Mahesa Amping.

“Orang itu mungkin masih ada di  sekitar Kademangan ini, memasang telinganya menghitung jumlah korban”, berkata Empu Dangka.

“Mudah-mudahan orang itu belum puas melihat baru tiga orang yang menjadi korbannya”, berkata Ki Jagaraga.

“Kita berharap yang sama”, berkata Empu Dangka “Sekarang apa yang harus kita perbuat?”, bertanya Ki

Jagaraga.

“Bersembunyi disekitar sungai ini, menunggu kedatangannya”, berkata Mahesa Amping.

Maka akhirnya mereka sepakat untuk bersembunyi disekitar sungai, ditempat yang tersembunyi yang tidak mudah terlihat.

Untuk memberi kesan bahwa perbuatannya belum diketahui, Empu Dangka mengembalikan tiga tangkai daun pulus ketempatnya semula.

Terlihat Mahesa Amping, Empu dangka dan Ki Jagaraga tengah mencari pohon yang tinggi. Akhirnya mereka menemukan sebuah pohon yang sangat cocok sebagai tempat bersembunyi namun dapat melihat dengan jelas keadaan di sekitarnya.

“Menunggu diatas pohon sampai sore hari sungguh melelahkan, kita perlu berjaga secara bergilir”, berkata Empu Dangka.

“Aku setuju, biarlah aku yang dapat giliran  kedua. Aku akan datang disiang hari menggantikan kalian”, berkata Mahesa Amping.

Akhirnya sesuai kesepakatan, Mahesa Amping telah kembali Ke Kademangan, sementara itu Empu Dangka dan Ki Jagaraga mendapat giliran pertama naik keatas pohon sebagai tempat untuk melakukan pengintaian.

Mahesa Amping tidak menyusuri sungai sebagaimana berangkatnya, tapi ia sengaja berjalan masuk ke hutan di pinggir sungai itu.

Ternyata pernyataan Mahesa Amping untuk secara bergiliran berjaga diatas pohon hanya sebuah alasan untuk melindungi Ki Jagaraga. Yang sebenarnya adalah bahwa Mahesa Amping telah menemui sebuah jejak langkah.

Dengan langkah perlahan Mahesa Amping terus mengikui jejak langkah kaki itu yang ternyata menuju ke arah hutan dalam.

Sebagai seorang yang banyak belajar di dalam pengembaraannya, baik mengenal jejak dan arah, Mahesa Amping dapat membaca bahwa jejak langkah kaki itu hanya tertinggal satu hari, terlihat dari dahan semak kecil yang patah tidak lagi bergetah. Perlahan tapi pasti, Mahesa Amping seperti memegang tali tersembunyi yang tertinggal lewat jejak langkah kaki itu.

Mahesa Amping ternyata seorang pencari jejak yang ulung, dari jejak kaki ditanah basah dapat dibaca berat badan orang yang tengah dikuntitnya itu. Mahesa Amping juga dapat mengukur seberapa tinggi orang yang akan ditemuinya lewat sebuah dahan yang patah.

Mahesa Amping masih terus mengikuti jejak langkah kaki itu, baik lewat jejak tanah yang terinjak maupun semak yang rusak terkuak.

“Semoga tidak ada orang lain yang merusak jejak yang kuikuti ini”, berkata Mahesa Amping berharap jejak yang diikutinya itu tidak rusak oleh jejak orang lain.

Tapi Mahesa Amping berkeyakinan bahwa hutan di sisi sungai itu jarang sekali dilalui orang.

Tiba-tiba saja langkah Mahesa Amping terhenti.

Tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri, terhalang semak dan batang pohon besar, Mahesa Amping melihat seorang lelaki yang sudah tidak muda lagi meski belum dapat dikatakan sudah tua tengah bersandar di sebuah batu besar. Wajah dan pakaian orang itu begitu lusuh dan kotor.

“Orang ini sangat cocok sekali dengan gambaran jejak yang kuikuti, berbadan kokoh dan tinggi besar”, berkata Mahesa dalam hati memperhatikan seorang lelaki yang tidak begitu jauh darinya.

“Orang inikah yang telah membuat sebuah kesusahan menyebarkan bulu daun pulus?”, berpikir Mahesa Amping sambil mencari jalan bagaimana caranya menyibak dalang penyebar daun pulus itu.

Terlihat Mahesa Amping mengotori wajah dan pakaiannya.

Tiba-tiba saja Mahesa Amping mengambil pisau belatinya dari balik pakaiannya dan langsung melompat kearah orang itu yang tengah bersandar di sebuah batu besar. “Kamu pasti orang Kademangan Rendang, kamulah orang pertama yang kubunuh hari ini”, berteriak Mahesa Amping sambil menunjuk-nunjuk wajah lelaki itu dengan pisau belatinya.

“Setan alas, orang gila,baru datang sudah marahmarah tidak karuan”, berkata lelaki itu sambil berdiri tanpa sedikitpun terlihat rasa takut menghadapi Mahesa Amping yang memgang senjata belati tajam.

“Hari ini kamulah orang Kademangan Rendang yang pertama kubunuh”, berkata Mahesa Amping sambil tertawa mirip pemuda kurang waras.

“Aku bukan orang Kademangan Rendang!!”, berteriak orang itu lebih keras dari tawa Mahesa Amping.

“Bohong!!”, berkata Mahesa Amping lebih keras lagi. “Kamu berkata seperti itu karena takut kubunuh”, berkata kembali Mahesa Amping sambil menjulurkan belatinya kehadapan wajah orang itu.

“Terserah percaya atau tidak, aku bukan orang Kademangan Rendang”, berkata orang itu yang sepertinya telah kesal sekali melihat Mahesa Amping yang akan membunuhnya.

“Aku akan membunuhmu!!”, berteriak Mahesa Amping sampil menghujamkan belatinya ke arah leher orang itu.

“Orang gila!!”, berkata orang itu sambil mengelak sedikit merunduk dan bersamaan dengan itu kakinya telah melambung tepat bersarang diperut Mahesa Amping.

Ternyata Mahesa Amping diam-diam telah melambari tubuhnya dengan kekebalan. Meskipun terlihat perutnya terkena tendangan dari orang itu, dirinya tidak merasakan apapun. Namun meski begitu Mahesa Amping telah berpura-pura terlempar jatuh.

“Aku akan mencabik-cabik tubuhmu”, berkata  Mahesa Amping sambil berdiri dengan wajah penuh murka.

Kembali Mahesa Amping menyerang orang itu dengan gerakan yang kasar dan brutal, menyerang kearah perut orang itu.

“Anak gila!!”, berkata orang itu sambil  sedikit bergeser kesamping. Kembali sebuah tendangan yang lebih keras lagi dari sebelumnya langsung bersarang di pinggang Mahesa Amping.

Mahesa Amping terlihat seakan-akan terpelanting kesamping.

“Kusayat kulitmu sebelum mati”, berkata Mahesa Amping sambil bangkit berdiri.

Kembali Mahesa Amping mendekati orang itu dengan berlari sambil menyilangkan belatinya kearah tubuh orang itu.

“Anak gila!!”, berkata orang itu sambil tangannya menyambar pergelangan tangan Mahesa Amping yang tengah menggenggam belati.

Tangan orang itu terlihat begitu cepat, pergelangan tangan Mahesa Amping seperti dicengkerang sebuah tangan yang kuat, belati ditangan Mahesa Amping terlepas dan bersamaan dengan itu tiba-tiba saja dengan tenaga yang kuat melempar Mahesa Amping hingga terpelanting mencium tanah.

Terlihat orang itu mendekati Mahesa Amping yang masih tengkurap diatas tanah basah.

“Apa yang membuatmu begitu dendam dengan orang Kademangan Rendang”, berkata orang itu sambil tangannya mencengkeram leher Mahesa Amping.

“Lepaskan”, berkata Mahesa Amping berusaha memberontak.

Namun cekalan tangan orang itu begitu kuat, Mahesa Amping tidak dapat bergerak sedikitpun. “Cepat ceritakan!!”, berkata orang itu masih mencekal leher Mahesa Amping.

“Bagaimana aku bisa bicara, sementara mulutku tertutup tanah”, berkata Mahesa Amping yang memang masih menghadap tanah.

“Katakan, kenapa kamu begitu benci dengan orang Kademangan Rendang!!”, berkata orang itu sambil melepas cekalannya.

Mahesa Amping bebalik badan, duduk dengan wajah menghadap orang itu. “Aku benci orang Kademangan Rendang karena mereka kikir, bukannya memberikan sedekah makanan, mereka mencaci maki diriku dengan mengatakan diriku pemalas. Bahkan lebih kejam lagi mereka membiarkan anak-anak kecil melempari diriku dengan batu”, berkata Mahesa Amping dengan wajah penuh kesal.

Tiba-tiba saja orang itu tertawa panjang. “Wahai orang Kademangan Rendang, hari ini telah bertambah musuhmu”, berkata orang itu diujung tawanya. “Kamu juga memusuhi orang Kademangan Rendang?”, bertanya Mahesa Amping

“Benar, aku senang melihat mereka susah”, berkata orang itu.

“Apa yang telah kamu lakukan?”, bertanya lagi Mahesa Amping.

“Kutaburkan sungai mereka dengan bulu daun pulus, kemarin sore aku sudah baru melihat tiga orang yang telah menjadi korban. Sore ini aku akan kembali melakukannya”, berkata orang itu sambil tertawa bangga.

“Kenapa kamu tidak membunuh mereka satu persatu?”, bertanya kembali Mahesa Amping.

“Bodoh, membunuh mereka sangat mudah, tapi aku ingin menyiksa mereka”,berkata orang itu.

“Apakah kamu membenci orang Kademangan Rendang karena mereka menolak permintaan sedekah?”, bertanya Mahesa Amping

“Aku bukan pengemis sepertimu, yang kubenci bukan orang Kademangan, tapi Demangnya yang sangat sombong”, berkata Orang itu.

“Apa yang disombongkan Ki Demang terhadapmu?”, bertanya Mahesa Amping.

“Demang sombong itu tidak mengakui diriku adalah saudaranya”, berkata orang itu sambil memukulmukulkan tangannya dengan kepalan tangannya sendiri.

“Jadi kamu bukan orang Kademangan Rendang?”, bertanya Mahesa Amping memancing.

“Berapa kali kukatakan bahwa aku bukan orang Kademangan Rendang!?”, berkata orang itu dengan mata melotot seperti hendak menelan bulat-bulat wajah Mahesa Amping.

“Aku akan kembali ke Kademangan Rendang, membunuh mereka satu persatu”, berkata Mahesa Amping berdiri dan memungut kembali pisau belatinya yang terjatuh.

“Dengan caramu, kamu tidak dapat membunuh satupun orang Kademangan Rendang”, berkata orang itu sepertinya mengejek Mahesa Amping yang diketahui tidak mengerti sedikit pun jurus kanuragan.

“Aku akan memilih anak-anak kecil”, berkata Mahesa Amping sambil berjalan meninggalkan orang itu yang terlihat bertolak pinggang menganggap Mahesa Amping sebagai pemuda bodoh dan kurang waras.

Ketika merasa sudah jauh dari orang itu, mahesa Amping berbelok arah kembali ke tepi sungai tempat dimana Empu Dangka dan Ki Jagaraga tengah bersembunyi.

“Ki Jagaraga sebaiknya kembali ke Kademangan, biarlah kami berdua yang berjaga”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jagaraga.

“Baiklah, aku kembali ke Kademangan, perutku memang sudah terasa berbunyi kukuruyuk”, berkata Ki Jagaraga sambil turun dari atas pohon tempat mereka bersembunyi.

Setelah Ki Jagaraga sudah tidak kelihatan, Mahesa Amping bercerita kepada Empu Dangka apa yang telah ditemui dan dialaminya.

“Ternyata kamu berotak encer”, berkata Empu Dangka setelah mendengar cerita Mahesa Amping.

“Masih ada waktu untuk menyiapkan sebuah siasat baru”, berkata Mahesa Amping sambil menjelaskan kepada Empu Dangka apa yang akan dilakukannya untuk menjebak orang yang telah menebarkan bulu daun pulus di sungai.

“Semoga usaha kita berhasil”, berkata Empu Dangka ketika Mahesa Amping yang bermaksud kembali ke kademangan Rendang.

Matahari di siang itu telah menerangi sungai jernih berbatu disebuah hutan perbatasan Kademangan Rendang.

Di tempat persembunyiannya, diatas sebuah pohon besar Empu Dangka menunggu kedatangan Mahesa Amping.

Dan yang ditunggu akhirnya datang juga. Mahesa Amping telah datang kembali bersama Ki Demang.

“Aku takut Ki Demang tidak menyetujui rencana kami”, berkata Empu Dangka kepada Ki Demang yang telah datang bersama Mahesa Amping.

“Aku percaya kepada kalian”, berkata Ki Demang sambil tersenyum.

“Maaf, aku harus mengikat Ki Demang”, berkata Mahesa Amping yang telah menyiapkan sebuah tali temali dari kulit kayu yang kuat, mengikat Ki Demang ke sebuah pohon.

“Aku akan kembali keatas pohon sebagai pengintai”, berkata Empu Dangka sambil naik kembali keatas sebuah pohon sebagai pengintai bila saja orang yang mereka tunggu datang ketempat itu.

Waktu terus berlalu, tidak terasa matahari telah bergeser kebarat. Cahaya matahari diatas sungai itu telah menjadi teduh karena terhalang ranting dan daun yang rindang. Suara gemericik air sungai yang mengalir menabrak batu-batu besar yang berserakan sepanjang sungai terus berbunyi tidak pernah putus. Kadang juga terdengar suara burung liar terdengar silih berganti di hutan tepian sungai itu. Terlihat juga dua ekor tupai berekor panjang saling berkejaran.

Mahesa Amping terlihat duduk bersandar disebuah pohon tempat dimana Ki Demang terikat sepanjang tubuhnya. Tidak ada satupun suara yang terlepas dari pendengaran Mahesa Amping. Bahkan suara kadal yang merayap ditanah tidak luput dari perhatian dan pendengaran Mahesa Amping yang peka dan tajam.

Sementara itu diatas pohon, Empu Dangka masih terus mengintai, siap memberi tanda kepada Mahesa Amping manakala orang yang ditunggu sudah terlihat.

Akhirnya penantian panjang mereka memang harus berakhir.

Berawal ditandai dengan sebuah ranting yang jatuh tepat dihadapan Mahesa Amping.

Terlihat Mahesa Amping dengan belati ditangannya tengah mengancam Ki Demang yang terikat di sebuah pohon.

“Berbicaralah dengan keras”, berbisik Mahesa Amping kepada Ki Demang.

“Dasar anak gendeng, kau kira aku takut mati?”, berteriak Ki Demang sepertinya memaki-maki Mahesa Amping.

“Terlalu enak untukmu mati dengan cepat, aku akan menyayat tubuhmu dan memeraskan jeruk limau agar kamu merasakan kepedihan yang sangat”, berkata Mahesa Amping cukup keras.

“Hentikan!!” Tiba-tiba saja ada suara dari seberang sungai.

Ternyata orang itu telah datang langsung meminta Mahesa Amping berhenti melakukan penyiksaan yang kejam kepada Ki Demang. Dan dengan cekatan melompat dari batu-kebatu menyeberangi sungai. Terlihat ditangannya menggenggam tiga tangkai ranting daun pulus.

Orang itu melempar begitu saja daun pulus dan langsung mendekati Mahesa Amping.

“Kenapa kamu memintaku untuk berhenti?”, bertanya Mahesa Amping. “Bukankah kamu sangat membenci orang ini?”, bertanya kembali Mahesa Amping kepada orang itu.

“Aku memang membencinya, tapi tidak bermaksud membunuhnya, hanya sekedar menyakiti hatinya”, berkata orang itu.

“Bila aku yang membunuhnya, apa urusanmu?, berkata Mahesa Amping sambil bermaksud melakukan sayatan di leher Ki Demang.

“Hentikan, bila kamu melukainya, kamu akan kubunuh”, berkata orang itu kembali meminta Mahesa Amping untuk tidak melakukan apapun kepada Ki Demang.

“Apa urusanmu melarangku?”, bertanya Mahesa Amping sambil menatap tajam orang itu.

“Tidak ada urusan”, berkata orang itu sambil tangannya sudah menjulur bermaksud memegang tangan Mahesa Amping untuk ditarik menjauh dari Ki Demang.

Namun Mahesa Amping tidak memberikan tangannya dengan mudah, terlihat Mahesa Amping bergeser kesamping.

Melihat tangannya tidak berhasil merenggut tangan Mahesa Amping, maka tangan sebelahnya telah menyerang Mahesa Amping dengan sebuah tamparan.

Kembali Mahesa Amping tidak membiarkan tangan orang itu menampar wajahnya, maka dengan sedikit merunduk, tamparan itu lepas diatas kepalanya menemui tempat kosong.

Sebagai seorang yang ahli dalam kanuragan, dua kali serangannya dapat dihindari oleh Mahesa Amping membuat dirinya sangat penasaran, maka orang itu telah kembali membuat sebuah serangan yang lebih cepat dan keras dengan sebuah tendangan tajam tertuju ke tubuh Mahesa Amping.

Kembali Mahesa Amping dapat lolos dari serangan keras dan tajam itu dengan melompat kesamping.

“Anak ini bisa jadi telah kesambat hantu penunggu hutan ini”, berkata orang itu merasa heran kepada Mahesa Amping yang selalu dapat menghindari serangannya, sementara pagi tadi dengan mudah dirinya menghajar anak itu.

Orang itu dengan penuh penasaran telah meningkatkan tataran ilmu dan kecepatan geraknya kembali menyerang Mahesa Amping dengan pukulan  dan tendangan yang beruntun.

Lagi-lagi Mahesa Amping dengan mudah melesat kesana-kemari, tidak ada satu pun tendangan dan pukulan orang itu yang mengenai tubuhnya.

“Ternyata dirimu telah disambat penunggu hutan ini”, berkata Orang itu dengan wajah keheranan bercampur penasaran. Mahesa Amping tidak menjawab, dengan senyum geli telah bersiap menghadapi serangan orang itu yang terlihat telah mempersiapkan dirinya lebih matang lagi menganggap Mahesa Amping bukan pemuda yang tadi pagi telah dengan mudah dihajarnya. “Biarlah orang itu menganggap diriku telah kena sambat hantu penunggu hutan ini”, berkata Mahesa Amping sambil terus berjaga menghadapi serangan selanjutnya.

Ternyata yang diperhitungkan Mahesa Amping tidak meleset jauh, orang itu kembali melakukan serangannya kearah Mahesa Amping dengan serangan yang luar biasa berupa tendangan dan pukulan yang beruntun tajam dan penuh dengan segala tipuan yang berbahaya.

Mahesa Amping tidak dapat lagi hanya dengan menghindar, menghadapi serangan yang gencar penuh dengan tipuan itu harus dihadapinya dengan balas menyerang.

Maka perkelahian itu telah terjadi begitu seru dan menegangkan, saling menyerang dan balas menyerang. Tempat perkelahian merekapun telah bergeser tidak lagi di tepian sungai yang sempit itu, tapi meluas ketengah sungai berbatu itu. Melompat dari satu batu besar ke batu besar lainnya.

Ki Demang yang melihat pertempuran diatas sungai berbatu sangat tegang dan kagum, ternyata kedua orang yang bertempur itu adalah dua orang ahli kanuragan. Sebagai seorang yang juga telah mempelajari kanuragan, melihat pertempuran itu seperti disuguhi sebuah tontonan yang seru yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Begitu banyak gerak tipu dari kedua pihak yang membuatnya kadang menarik napas panjang, akhirnya meresa lega karena salah satu lawan dapat keluar dari sebuah terjangan serangan yang begitu keras dan cepat.

Sementara itu Empu Dangka dari atas pohon tempat persembunyiannya juga menyaksikan pertempuran yang seru itu.

“Ternyata Mahesa Amping bukan cuma bisa menjadi hantu Leak, dalam kanuragan dapat juga diandalkan”, berkata Empu Dangka memperhatikan perkelahian yang seru dari atas pohon persembunyiannya.

“Kamu benar-benar kesambat hutan alas ini”, berkata orang itu sambil terus meningkatkan tataran ilmunya karena Mahesa Amping tidak dengan mudah ditundukkannya.

“Kamu benar, akulah hantu alas ini”, berkata Mahesa Amping sekenanya sambil menghindar dan balas menyerang.

Dan pertempuran sudah menjadi semakin seru, masing-masing telah meningkatkan tataran ilmunya ditingkat puncaknya. Gerak mereka sudah semakin cepat hingga sepertinya tidak mampu lagi dilihat dengan pandangan wadag. Mereka seperti bayangan yang terbang melenting dari satu bongkah batu ke batu lainnya diatas sungai yang jernih dan dangkal.

“Aku jadi tidak sabaran”, berkata Empu Dangka yang telah turun dari pohon persembunyiannya.

Mahesa Amping yang mendengar ucapan Empu Dangka sempat menoleh ke arah Empu Dangka, merasa bahwa Empu Dangka telah keluar dari pakem sandiwara yang telah direncanakannya bersama.

“Tanganku sudah gatal untuk membunuh dua orang bersaudara yang mudah ditipu”, berkata Empu Dangka sambil mendekati arah pertempuran. “Ternyata kalian pengecut, bukalah ikatanku dan kita bertempur secara lelaki”, berkata Ki Demang berteriak.

Mahesa Amping yang mendengar teriakan Ki Demang cukup terkejut, dengan sekali hentakan telah berdiri dihadapan Empu Dangka.

“Aku jadi tidak mengerti apa yang akan Empu Dangka lakukan”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

“Ini semua adalah rencanaku, membunuh para putra Ki Sumangkar”, berkata Empu Dangka dengan suara yang keras.

“Empu Dangka telah melibatkan aku dalam rencana yang busuk ini?”, berkata Mahesa Amping yang merasa dibohongi.

“Kamu menyingkirlah, biarlah aku sendiri yang menundukkan putra Ki Sumangkar seorang ini”, berkata Empu Dangka sambil mengedipkan sebuah matanya memberi tanda kepada Mahesa Amping.

Mahesa Amping baru tersadar setelah menerima tanda dari Empu Dangka, ternyata Empu Dangka masih dalam sandiwara meski diluar pakem rencana semula.

Terlihat Empu Dangka telah mengurai cambuknya yang telah dilepasnya tersembunyi melingkar di pinggangnya.

“Wahai Ki Sumangkar, meski aku tidak sempat membunuhmu, tapi dendamku hari ini telah terpenuhi, membunuh dua orang putramu sekaligus”, berteriak Empu Dangka dengan suara bergema memenuhi udara di sekitar tepian sungai didalam hutan itu.

“Siapa kamu orang tua, dan apa kesalahan ayah  kami sehingga kamu begitu bernafsu untuk membunuh kami”, bertanya orang itu yang sangat penasaran bahwa Empu Dangka telah menyebut nama ayahnya.

“Itu bukan urusanmu, bersiaplah untuk mati hari ini”, berkata Empu Dangka sambil bersiap diri melakukan sesuatu dengan cambuknya.

Tiba-tiba saja Empu Dangka tanpa berucap apapun telah menghentakkan cambuknya di udara.

Gelegar !!!!!!!!!

Terdengar suara mirip halilintar bergema memekakkan telinga, langit sepertinya telah runtuh menggoncang bumi, sekejab suasana ditepian sungai itu menjadi gelap gulita.

Ketika suasana kembali normal, Mahesa Amping melihat Empu Dangka tengah berdiri sambil memegang ujung cambuknya.

“Anakmas telah mampu menghadapi aji cambuk halilintarku”, berkata Empu Dangka memandang kagum kepada Mahesa Amping yang masih berdiri tegak tidak tergoncang sedikitpun.

Ternyata tenaga tersembunyi yang ada didalam tubuh Mahesa Amping telah bekerja dengan sendirinya melindungi dirinya.

Sementara itu apa yang terjadi dengan Ki Demang dan saudaranya itu ?

Mahesa Amping telah melihat orang itu telah tergeletak di pinggir sungai, sementara itu Ki Demang dalam keadaan terikat di sebuah pohon terlihat kepalanya terkulai lemah tak bergerak.

“Jangan khawatir, mereka hanya pingsan”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping. Segera Mahesa Amping mendekati orang itu,  ternyata sebagaimana yang dikatakan oleh Empu Dangka, tubuh orang itu masih hangat sebagai tanda bahwa orang itu cuma pingsan.

Mahesa Amping juga memeriksa keadaan Ki Demang, ternyata Ki Demang juga mendapatkan keadaan yang sama dengan saudaranya, masih terkulai pingsan.

Terlihat Mahesa Amping menarik nafas lega, diamdiam mengagumi aji cambuk halilintar yang dilontarkan lewat tangan Empu Dangka.

“Mungkin Empu Dangka telah melontarkan sepersepuluh kuatannya”, berkata Mahesa Amping dalam hati.

“Maaf, aku telah keluar pakem”, berkata Empu Dangka penuh senyum kepada Mahesa Amping.

“Untuk selanjutnya kuserahkan peran dalang kepada Empu Dangka”, berkata Mahesa Amping yang merasa bahwa Empu Dangka telah mempunyai sebuah rencana tersendiri.

“Tolong ikat kaki tangan saudara ki Demang itu, dekatkan dibawah pohon dekat Ki Demang.”

Sambil mengikat kaki tangan orang itu, Mahesa Amping merasa penasaran darimana Empu Dangka mengenal nama orang tua mereka.

“Aku dapat mengenal jurus mereka, itulah jurus Ki Sumangkar sahabatku”, berkata Empu Dangka menerangkan tentang sahabatnya yang bernama Sumangkar yang pernah bercerita kepadanya bahwa telah mempunyai dua orang istri di Bali dan Di Jawa dan juga sama-sama melahirkan dua orang lelaki. Dan dua keluarganya itu memang tidak pernah tahu keadaan masing-masing karena Ki Sumangkar telah merahasiakannya.

“Kita tunggu mereka berdua siuman”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping ketika telah meletakkan saudara Ki Demang berdekatan dengannya.

Diam-diam Mahesa Amping memperhatikan silih berganti kedua saudara lain ibu itu, ternyata mereka punya banyak kesamaan. Akhirnya keduanya telah terlihat siuman, telah sadar kembali.

“Harusnya Empu Dangka bersikap adil, satu nyawa dibayar satu nyawa, pilihlah satu diantara mereka”, berkata Mahesa Amping yang telah memulai sandiwaranya dalam kendali Empu Dangka tentunya.

“Kamu benar, satu nyawa untuk satu nyawa, aku akan memilih siapa diantara mereka yang akan kubunuh menebus hutang saudaraku yang terbunuh oleh Ki Sumangkar”, berkata Empu Dangka sambil menggenggam pisau belati milik Mahesa Amping yang dipinjamnya.

“Orang tua, pilihlah aku, biarlah saudaraku tetap hidup”, berkata saudara Ki Demang.

“Mengapa kamu rela menjadi banten untuk saudaramu?”, bertanya Empu Dangka kepada Saudara Ki Demang.

“Karena aku cuma sebatang kara, sementara saudaraku telah mempunyai istri dan keturunan”, berkata Saudara Ki Demang.

“Amararaja, ternyata hatimu begitu mulia. Maafkan bila beberapa hari yang telah lewat aku tidak mengakui dirimu sebagai saudaraku. Pada saat itu aku masih kaget dan belum dapat menerima bahwa ayahku mempunyai pendamping lain selain ibuku”, berkata Ki Demang merasa terharu menyaksikan sikap saudaranya yang memilih berkorban demi dirinya.

“Terima kasih atas pengakuannmu, jauh dari pengembaraanku ke tanah Bali ini adalah melihat bahwa didunia ini aku masih punya seorang saudara. Hari ini bila aku mati, aku akan mati bahagia telah mendapatkan pengakuan darimu”, berkata orang itu yang ternyata bernama Amararaja.

“Jadi Ki Demang telah mengakui bahwa orang ini adalah saudara sedarah dari Ki Demang?”, bertanya Empu Dangka kepada Ki Demang.

“Hari ini aku merasa bahagia, ternyata saudara sedarahku telah rela menjadi banten untuk diriku. Aku telah banyak mendapatkan kemanisan hidup ini, biarlah kamu pilih aku yang akan melunasi hutang nyawa saudaramu”, berkata Ki Demang pasrah.

“Amararatu, aku ini sebatang kara, tidak ada yang mencari dan menangisi nyawaku”, berkata Amararaja kepada saudaranya Amararatu.

“Saudaraku, aku sudah puas menjalani hidup dan kehidupan ini, aku rela berbagi nyawa untukmu”, berkata Ki Demang.

“Orang tua, cepat kamu bunuh aku”, berkata Amararaja.

Tiba-tiba saja Empu Dangka tertawa. Suara tawa Empu Dangka yang dilambari tenaga dalam itu sepertinya bergema memenuhi udara di sekitarnya.

“Hari ini dua jiwa sedarah telah dipertemukan. Kalian telah mendapatkan perasaan persaudaraan yang sejati, perasaan untuk melindungi, perasaan untuk saling berkorban yang dilandasi kecintaan sejati”, berkata Empu Dangka.

Terlihat Amararaja dan ki Demang saling berpandangan, merasakan apa yang diucapkan oleh Empu Dangka adalah benar adanya sebagaimana yang mereka saat itu.

Ki Demang dan Amararaja semakin tidak mengerti manakala belati Empu Dangka telah membuka tali ikatan mereka.

“Mengapa orang tua tidak membunuhku?”, bertanya Amararaja kepada Empu Dangka.

“Tanyakanlah kepada anak muda ini, kenapa aku tidak jadi membunuhmu”, berkata Empu Dangka.

“Maafkan kami, semua yang kami lakukan adalah cuma sebuah sandiwara”, berkata Mahesa  Amping penuh senyum.

Terlihat Ki Dalang menarik nafas lega, ternyata semua ini adalah sebuah sandiwara meski berlanjut dalam pakem berbeda dari awal rencana semula.

“Ternyata kalian adalah pemain watak”, berkata Ki Dalang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara itu langit diatas sungai jernih berbatu di hutan itu telah tenggelam diujung senja. Suara gemericik air sungai sepertinya telah membelah kesunyian, membelah dan mencairkan kecanggungan dua saudara sedarah seayah itu.

Terlihat empat sosok lelaki di keremangan sandikala tengah menyusuri sungai berjalan ke hilir menuju Kademangan Rendang. Kadang suara tawa  mereka telah menggema mengisi keredupan malam yang sebentar lagi akan turun menyelimuti bumi.

“Perkenalkan, ini saudaraku”, berkata Ki Demang memperkenalkan Amararaja kepada Ki Jagaraga ketika mereka bertemu di Banjar Desa.

“Para kerabatku biasa memanggilku sebagai Ki Amararaja”, berkata Ki Amararaja memperkenalkan dirinya kepada Ki Jagaraga.

“Aku melihat semua urusan telah dapat diselesai dengan baik, kubaca dari keceriaan wajah kalian”,berkata Ki Jagaraga melihat keceriaan wajah keempat orang yang ditemuinya.

“Besok akan kuceritakan semuanya, saat ini kami ingin beristirahat dulu”, berkata Ki Demang mohon diri kepada Ki Jagaraga.

Ketika mereka memasuki lawang pintu halaman rumah Ki Demang, dua orang wanita menyambut kedatangan mereka.

Ternyata mereka adalah Nyi Demang dan putrinya yang seharian gelisah menunggu Ki Demang yang lama tidak cepat kembali.

“Nyai ingat orang yang dua hari yang lalu datang kemari?”, berkata Ki Demang kepada istrinya sambil memberi jalan kepada Ki Amararaja agar istrinya melihat jelas wajahnya.

“Aku ingat, dua hari yang lalu datang kerumah ini”, berkata Nyi Demang mengingatnya.

“Perkenalkan saudaraku bernama Ki Amararaja”, berkata Ki Demang memperkenalkan saudaranya Ki Amararaja kepada istrinya.

“Ternyata aku punya keponakan yang cantik”, berkata Ki Amararaja ketika melihat gadis cantik putri Ki Demang.

“Ini putriku, namanya Ni Wayan Aolani”, berkata Ki Demang memperkenalkan putrinya kepada saudaranya Ki Amararaja, juga kepada Mahesa Amping dan Empu Dangka.

“Wajah paman Amararaja lebih muda dan lebih ganteng dibandingkan ayah”, berkata Ni Wayan Aolani membandingkan wajah ayah dan pamannya.

“Mungkin ayahmu terlalu banyak berpikir”, berkata Ki Amararaja merasa bangga dikatakan lebih muda dan lebih ganteng.

“Ayahmu lebih ganteng sedikit”, berkata Empu Dangka ikut bicara.

“Maksudnya ayahmu sedikit gantengnya”, berkata Ki Demang merendah yang disambut tawa gembira dari semua yang ada di rumah itu.

Akhirnya Ki Demang mempersilahkan Ki Amararaja, Mahesa Amping dan Empu Dangka bersih-bersih diri bergantian di pringgitan.

Sementara itu sang dewi malam telah bergantungan di puncak pohon Kemboja yang menari tertiup angin malam yang genit dipojok halaman rumah Ki Demang.

Terlihat Mahesa Amping, Ki Amararaja, Empu Dangka dan Ki Demang telah berkumpul di Saung Bambu sebelah kiri halaman rumah.

“Maaf, kami masak terburu-buru, mungkin bebek betutunya masih alot”, berkata Nyi Demang sambil meletakkan hidangan malam kepada para tamunya.

“Masih ada persediaan brem ketan hitam, semoga dapat menghangatkan malam yang dingin”, berkata Ni Wayan Aolani sambil meletakkan minuman brem dan sebakul nasi putih hangat.

“Kenapa cuma dipandang?”, berkata Ki Demang ketika Nyi Demang dan Putrinya telah masuk kembali kedalam rumah mempersilahkan ketiga tamunya menikmati hidangan yang telah disediakan.

“Anggap saja di rumah sendiri”, berkata kembali Ki Demang memberi semangat kepada ketiga tamunya yang mulai menyiduk nasi putih hangat dan bebek betutu yang sangat menggoda selera itu.

Ketika hari terus merangkak perlahan mengikis malam, mereka masih berada di saung depan halaman rumah, bercakap-cakap sambil memandang bintang yang bertebaran di langit.

“Aku baru melihat ada kunang-kunang terbang setinggi pohon kelapa”, berkata Ki Amararaja sambil menunjuk jauh kedepan.

Yang dilihat oleh Ki Amararaja adalah lima buah cahaya kerlap-kerlip berjalan setinggi pohon kelapa menjadi perhatian semua yang ada di saung bambu itu.

“Itu bukan kunang-kunang biasa, mereka adalah para manusia Liya-ak yang tengah menikmati keindahan suasana malam”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum.

“Aku terlahir di tanah Bali ini, baru tahu ada manusia Liya-ak yang dapat berujud sebagai kunang-kunang. Apakah mereka yang juga disebut sebagai manusia Leak?”, bertanya Ki Demang yang merasa tertarik tentang Manusia Liya-ak yang dikatakan oleh Empu Dangka. “Keduanya berasal dari aliran ilmu yang berbeda, manusia Liya-ak telah melepaskan segala amarah yang menyelimuti jiwanya hingga menemukan anugerah pencerminan wajah dan sifat sang Hyiang Tunggal. Sementara itu para manusia Leak adalah para pemuja kegelapan”, berkata Empu Dangka kepada Ki Demang.

“Dalam kehidupan sehari-hari, apakah ada tanda yang dapat membedakan kehadiran mereka?”, bertanya Ki Demang.

“Tidak ada perbedaannya, mereka tetap butuh makan nasi jagung sebagaimana kita”, berkata Empu Dangka sambil tersenyum.

Sementara itu lima buah cahaya seperti kunangkunang telah menghilang dari pandangan mereka. Dan malam telah merangkak jauh dipenghujung malam.

Pagi itu langit begitu bening diatas bumi  Kademangan Rendang. Mentari belum muncul, hanya selembar cahaya merahnya menguas warna awan menjadi kuning kemerahan di ujung timur bumi, warna daun dan rerumputan menjadi begitu jelas kehijauannya, alam semesta pagi yang bening dan jernih itu begitu elok rupawan bagai perawan wangi keluar dari sungai setelah mandi.

“Kademangan Rendang ini akan merindukan kalian”, berkata Ki Demang mengantar Empu Dangka dan Mahesa Amping keluar dari regol rumah.

“Semoga dalam pengembaraanku dapat berjumpa kembali dengan kalian”, berkata Ki Amararaja yang juga ikut mengantar.

“Terima kasih untuk segala kehangatan yang kami rasakan di rumah ini”, berkata Empu Dangka kepada Ki Demang dan Ki Amararaja.

Ki Demang dan Ki Amararaja masih terus memandang kearah Empu Dangka dan Mahesa Amping yang telah melangkah di jalan tanah Kademangan yang sudah mulai ramai. Di sebuah kelokan jalan Empu Dangka dan Mahesa Amping akhirnya menghilang tidak terlihat lagi.

“Mereka adalah para pengembara sejati, terbang bebas merdeka seperti elang di langit luas”, berkata Ki Demang ketika Empu Dangka dan Mahesa Amping sudah menghilang di kelokan jalan.

Sementara itu langit pagi sudah terang disinari cahaya mentari yang hangat. Terlihat dua orang lelaki melangkahkan kakinya begitu ringan menyusuri jalan setapak. Langkah kaki mereka sepertinya berayun bebas, tidak perlahan namun juga tidak melaju terburuburu. Mereka adalah Empu Dangka dan Mahesa Amping yang berjalan sambil menikmati alam pemandangan  yang elok di daratan Balidwipa. Kadang terlihat mereka diantara jalan pematang sawah pegunungan hijau yang luas berundak seperti tangga alam pendakian raksasa menuju puncak gunung. Kadang juga langkah kaki mereka harus merambat perlahan menembus sebuah hutan pegunungan yang lebat jauh dari keramaian manusia.

Matahari sudah cukup tinggi diatas cakrawala langit, namun cahayanya redup terhalang kerimbunan dahan dan daun hutan kayu yang lebat. Tanah dihutan itu sepertinya tidak pernah tersentuh cahaya sepanjang hari. Sementara hembusan angin yang masuk diantara dedaunan membawa semerbak harum tanah hutan yang lembab. “Ternyata begitu mudah mengundang kalian”, berkata seorang tua yang tiba-tiba saja datang menghadang langkah kaki Mahesa Amping dan Empu Dangka.

Empu Dangka dan Mahesa Amping terperanjat, namun mereka dengan cepat dapat menguasai perasaan hatinya.

Di belakang orang tua itu bermunculan empat orang pemuda yang berpakaian cukup rapih.

“Siapakah kalian dan apa keperluan kalian menghadang perjalanan kami?”, berkata Empu Dangka penuh ketenangan.

“Jangan berpura-pura, pasti kalian para pemuja kegelapan yang tengah mencari kami”, berkata orang tua itu sambil tersenyum.

“Kami cuma pengembara yang kebetulan lewat hutan ini”, berkata Empu Dangka dengan penuh ketenangan memandang wajah orang tua di depannya.

Selintas Empu Dangka dan orang tua itu saling pandang. Tidak sedikit pun terlihat kegarangan diwajah orang tua itu.

“Maaf, aku telah salah menerka kalian”,  berkata orang tua itu percaya dengan apa yang dikatakan Empu Dangka.

Namun tiba-tiba saja terasa angin di sekitar hutan itu bergulung-gulung, beberapa daun kering beterbangan.

“Sudah kuduga, penampakan lima buah cahaya di Kademangan Rendang sebuah upaya memancing kehadiran kami”, terdengar suara entah dari mana sumbernya bercampur dengan suara tertawa tinggi yang menggetarkan dada. ”Wahai para manusia Liya-ak, saat ini kalianlah buruan kami”, kembali terdengar suara dari berbagai arah.

“Lekas nampakkan wujudmu, kami tidak sabar untuk membasmi manusia Leak di bumi ini”, berkata orang tua itu dengan suara yang tidak kalah tingginya menggetarkan suasana di sekelilingnya.

“Aku juga sudah tidak sabar untuk memakan hati manusia Liya-ak”, berkata seseorang yang entah dari mana datangnya sudah ada dibawah pohon kayu besar. Melihat penampilannya yang memakai pakaian terusan yang kotor dengan wajah yang juga kotor membuat siapapun yang memandangnya akan meninggalkan perasaan seram. Sementara matanya berkilat bercahaya seperti mata yang begitu kejam dan penuh kebengisan.

“Jangan takut kami akan mengeroyok, mari kita lakukan tradisi perkelahian yang jujur sebagaimana para buyut kita”, berkata orang tua itu yang disebut manusia Liya-ak mendekati seseorang yang ternyata adalah manusia Leak.

“Memakan jantung manusia Liya-ak akan menambah kekuatan”, berkata Manusia Leak sambil mengusap air liurnya yang tidak terasa keluar menetes bersama lidahnya yang sepertinya sengaja dijulur-julurkan, sebuah tingkah laku yang sangat menjijikkan.

“Membunuh manusia Leak adalah sepuluh kebajikan”, berkata manusia Liya-ak dengan mata penuh kebencian memandang manusia Leak dihadapannya.

Ternyata manusia Leak telah melakukan apa yang dikatakannya, tiba-tiba saja seperti terbang meluncur dengan kepala didepan menyambar ke arah dada manusia Liya-ak.

Nyaris dada orang tua itu terkoyak sambaran dan terkaman manusia Leak dengan ketajaman giginya bila saja dengan gerakan yang cekatan meloncat terbang ke samping sambil menjulurkan kakinya balas menyerang manusia Leak.

Sepertinya manusia Leak itu sudah membaca apa yang dilakukan musuhnya, masih dalam keadaan terbang belum lagi menjejakkan kakinya dibumi, seperti ular besut tubuhnya begitu liat langsung berubah arah meluncur menerkam leher orang tua itu.

Kembali orang tua itu melenting ke samping sambil membalas menyerang ke arah tubuh manusia Leak dengan begitu cepat dan tidak kalah bahayanya.

Demikianlah dua orang dari dua aliran ilmu yang saling bermusuhan entah sejak kapan di daratan Bali itu telah saling menyerang dan balas menyerang. Semakin lama semakin cepat dan begitu menegangkan.

Sementara itu Empu Dangka menarik tangan Mahesa Amping bergeser agak menjauh. Tidak terasa dada mereka berdua agak berdebar menyaksikan dua kekuatan ilmu yang berbeda meski berasal dari tempat yang sama yaitu sebuah negeri yang sangat jauh dari Tanah Hindu.

Sebagaimana Empu Dangka dan Mahesa Amping, keempat pemuda yang mengiringi orang tua itu juga telah bergeser menjauh. Mereka juga dengan wajah yang tegang menyaksikan pertempuran itu.

Tiba-tiba saja manusia Leak itu telah melenting kebelakang sekitar sepuluh langkah. Terlihat manusis Leak telah dalam keadaan duduk bersila dengan lengan rebah diatas paha dan telapak tangan terbuka keatas. Ternyata orang tua yang dikatakan sebagai manusia Liya-ak juga melakukan yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh manusia Leak.

“Mari kita lanjutkan pertemburan ini di alam tak terbatas”, berkata Manusia Leak yang tiba-tiba saja keluar dari ubun-ubunnya sebuah cahaya bulat bersinar berwarna kemerahan.

Berbarengan keluarnya cahaya kemerahan dari ubun-ubun manusia Leak, dari mulut orang tua itu juga telah keluar sebuah cahaya bulat bersinar kehijauan. Yang terjadi kemudian adalah sebuah pemandangan yang luar biasa, dua buah cahaya bulat saling berkejar diudara, yang satu bersinar kemerahan sementara yang lainnya bersinar kehijauan. Bahkan kadang dua cahaya itu saling bertabrakan menimbulkan suara yang berdentam keras seperti suara guntur mengguncang bumi.

Sementara dua cahaya saling bertempur, keempat pemuda yang menjadi pengikut manusia Liya-ak telah melakukan hal yang sama sebagaimana orang tua dan manusia Leak. Mereka berjejer duduk bersila. Rupanya mereka telah mengosongkan dirinya, terlihat empat buah cahaya bulat bersinar kehijauan diatas kepala masingmasing.

“Mereka telah keluar dari rangka jasadnya”, berkata Mahesa Amping yang diam-diam telah mengendapkan segala akal budinya, melihat dengan mata bathinnya. Yang dilihatnya saat itu adalah sebagaimana pertempuran sebelumnya ketika mereka beradu ilmu dengan jasad mereka. Ternyata mata wadag hanya mampu melihat cahaya bulat yang saling menyerang, sementara dengan mata bathin, Mahesa Amping dapat melihat mereka bertempur sebagaimana jasad kasar bertempur. Diam-diam Empu Dangka mengagumi pemuda disebelahnya ini yang telah mampu menggunakan mata bathinnya, sebuah pertanda orang bersangkutan telah berada dalam tingkat kesempurnaan ilmu yang tinggi.

“Manusia Leak itu dari tataran tingkat utama”, berkata Empu Dangka yang sepertinya sangat mengenal tingkat dan tataran kedua orang yang tengah bertempur itu. ”Aku pernah melihat manusia Liya-ak dari tataran tingkat utama bertempur dengan manusia Leak yang juga ada di tingkat tataran ilmu yang sama”, berkata kembali Empu Dangka sambil terus mengawasi jalannya pertempuran.

“Aku juga melihat orang itu itu telah menjadi bulanbulanan manusia Leak”, berkata Mahesa Amping yang juga menghawatirkan nasib lawan manusia Leak.

“Kita tidak dapat datang membantu, pertempuran mereka adalah perkelahian hidup dan mati yang telah berlangsung ratusan tahun diantara dua perguruan yang telah saling bermusuhan”, berkata Empu Dangka kepada Mahesa Amping yang masih mengkhawatirkan lawan manusia Leak yang terlihat sudah semakin tersudut kewalahan menghadapi serangan manusia Leak yang semakin gencar dan telah berada dipuncak tataran ilmunya.

“Bagaimana bila ada yang datang membantu?”, berkata Mahesa Amping kepada Empu Dangka.

“Aku belum pernah melihat ada orang luar yang datang melerai pertempuran mereka, atau membantu salah satu pihak”, berkata Empu Dangka.

“Aku akan datang membantu”, berkata Mahesa Amping yang langsung meloncat mendekati arah pertempuran. Empu Dangka menarik nafas panjang, disebelahnya jasad wadag Mahesa Amping masih duduk bersila.

“Biarlah aku yang menyelesaikan pertempuran yang sudah tidak seimbang ini”, berkata Mahesa Amping kepada orang tua yang terlihat hampir saja terkalahkan menghadapi serangan-serangan gencar dan berbahaya dari Manusia Leak.

“Kamu yang akan menggantikan takdirnya?”, berkata Manusia Leak menatap tajam Mahesa Amping.

“Anak muda, kenapa kamu menggantikan takdirku ini?”, bertanya orang tua itu kepada Mahesa Amping.

“Takdir milik yang Maha Kuasa Sang Hyiang Widi”, berkata Mahesa Amping penuh ketenangan. ”Menyingkirlah, aku yang akan menghadapinya”, berkata kembali Mahesa Amping kepada orang tua itu.

Maka orang tua itu telah menyingkir bergabung dengan kelompoknya empat orang pemuda. Entah kenapa melihat tatapan mata Mahesa Amping dirinya telah langsung mempercayainya.

Ternyata kepercayaan orang tua itu terhadap Mahesa Amping tidak sia-sia. Terlihat Mahesa Amping  telah dapat mengimbangi serangan-serangan manusia Leak yang sangat berbahaya.

Bukan main geramnya manusia Leak itu yang baru pertama kali bertemu dengan lawan tanding yang begitu tangguh. Tidak satupun ditemui celah yang dapat ditembus, sebaliknya beberapa pukulan telah bersarang di beberapa tubuhnya.

Manusia Leak itu terlihat semakin putus asa, maka diterapkannya ilmu simpanannya yang jarang sekali dipergunakan, sebuah aji yang sangat menyeramkan. “Aji sekati nyawa”, berkata Empu Dangka yang melihat bagaimana manusia Leak telah mengetrapkan aji simpanannya. Timbul kekhawatirannya terhadap Mahesa Amping, dapatkah pemuda itu menghadapi ajian ilmu purba yang selama ini hanya pernah didengar dari orangorang tua jaman dulu.

Siapapun yang menyaksikan apa yang dilihat dihadapannya akan terbungkam sepertinya tidak mempercayai apa yang terjadi.

Apa sebenarnya yang terlihat dan terjadi???

Yang tengah terjadi adalah putusnya dua tangan dan dua kaki serta kepala dari tubuh manusia Leak. Yang sangat meyeramkan adalah kelima anggota tubuh yang terlepas itu secara bersamaan menyerang Mahesa Amping.

Untungnya Mahesa Amping telah dapat menguasai ilmu meringankan tubuh kelas tinggi dan nyaris telah sampai ditataran puncak kesempurnaaannya. Maka tidak satupun serangan yang dapat langsung mengenai tubuh Mahesa Amping.

“Ilmu meringankan tubuh yang sempurna”, berkata Empu Dangka kepada dirinya sendiri manakala melihat tubuh Mahesa Amping melenting kesana kemari seperti belalang kecil melesat menghindari setiap serangan lima buah anggota badan manusia Leak yang terpisah namun serentak melakukan serangan.

Kembali manusia Leak itu menggeram, tidak satu pun serangannya mengenai tubuh lawannya, bahkan setahap demi setahap Mahesa Amping telah menguasai pertandingan terlihat balas melakukan serangan yang tidak kalah berbahayanya. Sementara senja diatas hutan belantara itu telah datang menyelimuti bumi. Kegelapan telah mengelilingi pandangan mata. Namun pertandingan yang tidak memerlukan mata wadag antara manusia Leak dan Mahesa Amping masih terus berlangsung.

Manusia Leak itu sepertinya sudah begitu geram, segala tenaga dikerahkan namun tak satupun serangan dapat mengenai tubuh Mahesa Amping yang begitu cepat menghindar melenting dan balas menyerang. Beberapa pukulan Mahesa Amping telah bersarang di berbagai anggota badan yang terpisah itu.

Mahesa Amping diam-diam mengagumi semangat tempur dari manusia Leak yang tidak mengenal rasa putus asa. Maka diam-diam telah menerapkan ilmu simpanannya yang jarang sekali dipergunakan, hanya dalam keadaan terpaksa.

Dalam sebuah serangan kepungan yang cepat dari lima anggota tubuh manusia Leak, Mahesa Amping melenting ke udara.

Masih dalam keadaan melenting diudara, terlihat sebuah seleret cahaya keluar dari sorot mata Mahesa Amping.

Ternyata sinar kilat cahaya yang begitu cepat datangnya dari sorot mata Mahesa Amping tertuju kesebuah salah satu lengan manusia Leak.

Akibatnya membuat siapapun yang melihatnya akan terperanjat menahan nafas tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Sebuah lengan manusia Leak hangus terbakar tergeletak diatas tanah.

“Apakah kamu masih menunggu satu persatu anggota tubuhmu hangus terbakar?” berkata Mahesa Amping dihadapan sebuah kepala yang terpisah.

“Ternyata kisanak belum mengetahui aturan dari pertempuran di alam tak terbatas ini. Kuakui ketinggian ilmu kisanak melampaui tataran ilmuku, untuk itu sesuai aturan pertempuran ambillah nyawaku kapanpun engkau mau”, berkata kepala yang terpisah itu sepertinya telah mengakui kekalahannya.

Dan tiba-tiba saja seluruh anggota badan manusia Leak itu menghilang. Ternyata manusia Leak itu telah kembali ke jasad kasarnya.

Bersamaan dengan itu pula Mahesa Amping telah kembali ke jasad kasarnya yang masih duduk bersila di sebelah Empu Dangka.

Terlihat Mahesa Amping berdiri dan melangkah mendekati Manusia Leak yang tengah tertunduk menanti tindakan Mahesa Amping untuk melepas nyawanya.

“Aku tidak akan mengambil nyawamu, nyawamu bukan milikku, dialah Sang Hyiang Widi pemilik segala yang hidup”, berkata Mahesa Amping kepada Manusia Leak dihadapannya yang masih tertunduk pasrah.

“Ajaran kami kekalahan adalah kematian”, berkata manusia Leak itu perlahan.

“Itulah ajaran kegelapan, lihatlah dunia di sekelilingmu, lihatlah kehidupan yang tercurah yang diberikan oleh Yang Maha Hidup, Yang Maha Kasih, yang telah menjadikan alam ini penuh dengan kedamaiannya. Jadilah manusia yang berarti itulah kehidupan yang sebenarnya”, berkata Mahesa Amping kepada manusia Leak.

“Bila aku punya arti bagi kehidupan ini, itukah pertanda aku punya kehidupan?”, bertanya manusia  Leak itu mengangkat wajahnya perlahan kepada mahesa Amping.

“Manusia yang tidak punya arti dalam kehidupannya adalah manusia yang telah lama mati meski masih bernyawa”, berkata Mahesa Amping.

“Sang kegelapan telah mengisi seluruh benakku dengan kekuasaan yang tak terbatas, menjadikan tangan ini sebagai pencabut nyawa demi keinginan segala dendam. Tapi hati ini sedikit pun tidak merasakan kebahagiaan. Semakin meluaskan segenap kebencian keseluruh bumi, semakin jiwa ini tak pernah terpuaskan. Namun manakala tuan berkata tentang Yang Maha Hidup, Yang Maha Kasih, jiwa ini sepertinya telah terkubur. Kulihat sedikit cahaya dalam kegelapan di rongga hati ini yang sepertinya memberikan sedikit pengharapan sebuah kebahagiaan yang belum pernah kurasakan, sebuah rasa yang baru kali ini datang, sebuah rasa yang bukan kepuasan, kegembiraan, tapi sebuah ketenangan jiwa, merasakan ada di dalam genggaman Yang Maha Hidup, Yang Maha Kasih”, berkata manusia Leak perlahan kepada Mahesa Amping.

“Pergilah kemanapun kamu pergi, Yang Maha Hidup ada dimanapun kamu berada, disaat pagi dan petang, dalam keadaan kamu berdiri, duduk dan berbaring. Dia Yang Maha Hidup akan berlari kepadamu manakala kamu berjalan menghadapnya”, berkata Mahesa Amping kepada manusia Leak.

“Tuan telah memberikan kepada hamba sebuah tuntunan yang belum pernah sekalipun kudengar, kupersembahkan jiwa ini berbakti selamanya kepada tuan”, berkata manusia Leak itu sambil bersujud dihadapan Mahesa Amping. “Bangkitlah, mulai hari ini kita bersaudara”, berkata Mahesa Amping sambil mencoba mengangkat tubuh manusia Leak untuk berdiri.

Bukan main gembiranya manusia Leak itu  mendengar perkataan Mahesa Amping.

“Namaku Jaran Waha, benarkah tuan mengangkat hamba ini sebagai saudara?”, berkata manusia Leak itu yang telah memperkenalkan dirinya bernama Jaran Waha.

“Namaku Mahesa Amping, mulai hari ini kita bersaudara”, berkata mahesa Amping mengulang perkataannya sepertinya meyakinkan kepada Jaran Waha atas apa yang diucapkannya.

“Terima kasih, sebuah kebahagiaan menjadi saudaramu”, berkata Jaran Waha sambil memeluk tubuh Mahesa Amping penuh kegembiraan.

Orang tua dan empat orang pemuda yang bersamanya telah mendengar dan menyaksikan apa yang telah terjadi menjadi merasa terharu.

“Wahai anak muda, pemahamanmu mengenai kebenaran begitu tinggi, kami menjadi malu pada diri sendiri, selama ini kami hanya mengenal membasmi kejahatan adalah sebuah pembunuhan, ternyata kebenaran sejati adalah menghidupkan kehidupan itu sendiri “, berkata orang tua itu. ”Perkenalkan kami dari perguruan Panca Agni, namaku Ki Arya Sidi. Dan keempat pemuda yang bersamaku adalah para muridku empat orang Pangeran muda putra Raja Puri Pusering Jagad di Pejeng”, berkata orang tua itu memperkenalkan dirinya dan keempat muridnya.

“Bahagia diri ini dapat berkenalan dengan seorang guru dari perguruan Panca Agni dan juga keempat muridnya”, berkata Mahesa Amping menjura penuh hormat.

“Kami berhutang budi padamu anak muda, semoga kami dapat membalasnya”, berkata Ki Arya Sidi kepada Mahesa Amping.

“Hutang budi itu kuanggap telah selesai manakala tidak ada permusuhan lagi antara perguruanmu dengan saudaraku ini”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Arya Sidi.

“Aku juga akan mengikat persaudaraan denganmu anak muda, apakah dirimu berkenan?”, bertanya Ki Arya Sidi menunggu jawaban dari Mahesa Amping.

“Dengan tangan terbuka dan wajah kebahagiaan menerima Ki Arya Sidi sebagai saudara. Itu artinya kita bertiga telah terikat tali persaudaraan”, berkata Mahesa Amping sambil memeluk Ki Arya Sidi dengan penuh kegembiraan.

“Mari Ki Jaran Waha, kita bertiga adalah saudara”, berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang langsung mendekat.

Maka terlihat mereka bertiga saling berpelukan sebagaimana saudara yang disaksikan oleh keempat pemuda para murid Ki Arya Sidi dan juga tentunya Empu Dangka yang masih duduk di tempatnya.

“Aku lupa memperkenalkan sahabat perjalananku”, berkata Mahesa Amping yang telah memperkenalkan Empu Dangka kepada semua yang ada dihutan itu.

Sementara itu suasana di hutan itu sudah begitu gelap, sang malam telah menyelimuti bumi.

“Tempat tinggalku tidak jauh dari sini, mudahmudahan kalian berkenan mampir ditempatku yang sederhana”, berkata Ki Jaran Waha menawarkan semua yang ada untuk singgah di tempat tinggalnya.

“Maafkan kami saudaraku Ki Jaran Waha, Pejeng sudah tidak begitu jauh lagi, biarlah kami melanjutkan perjalanan kami dimalam hari ini”, berkata Ki Arya Sidi. “Bila kalian ada di sekitar Pejeng, datang singgahlah ke Padepokan kami”, berkata kembali Ki Arya Sidi.

“Kami akan berkunjung ke Padepokan Panca Agni, karena kebetulan kami akan melewati Pejeng”, berkata Empu Dangka kepada Ki Arya Sidi.

“Terima kasih, kami akan menunggu kedatangan kalian”, berkata Ki Arya Sidi sambil berpamitan bersama keempat muridnya melanjutkan perjalanannya.

Demikianlah, akhirnya Mahesa Amping dan Empu Dangka mengikuti Ki Jaran Waha berjalan kearah tempat tinggalnya.

Setelah mereka berjalan menyusuri hutan  yang gelap, sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Jaran Waha bahwa tempat tinggalnya memang tidak begitu jauh.

Akhirnya mereka telah sampai di kediaman Ki Jaran Waha. Ternyata kediaman Ki Jaran Waha adalah sebuah goa yang ada didalam hutan itu sendiri. Bila saja datang tidak bersama Ki Jaran Waha, tidak seorangpun dapat menemui goa itu.

----------oOo----------
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar