Pendekar Bunga Matahari Jilid 13 : Hangatnya Cinta di Tengah Laga

Hangatnya Cinta di Tengah Laga

MATAHARI makin rebah di balik rapatnya pepohonan hutan. Kehangatannya makin pudar disapu tiupan angin sore dari arah gunung. Namun, pertempuran di lahan kosong di tengah hutan itu makin memanas.

Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling bahu-membahu menciptakan paduan serangan maut dan pertahanan rapat menghadapi paduan serangan ketiga lawan mereka. Meskipun tingkat ilmu Ciang Hui Ling selapis-dua lapis di bawah Jaka Wulung, gerakannya sama sekali tidak mengganggu Jaka Wulung. Sebagai gadis yang cerdas, Ciang Hui Ling mampu menempatkan ilmunya pada tataran yang semestinya, menjadi semacam “kusir kereta” dalam pertempuran antara Arjuna dan Adipati Karna.

Perang dahsyat antara dua saudara kandung itu, konon banyak ditentukan oleh kusir kereta masing-masing, yaitu Kresna dan Salya. Ibaratnya, Ciang Hui Ling adalah “Kresna” bagi Jaka Wulung, bukan “Salya” yang menurut cerita justru secara diam-diam menggagalkan upaya Karna sendiri.

Kudi hyang di tangan Jaka Wulung dan pedang di tangan Ciang Hui Ling saling susul menusuk-nusuk setiap lubang pertahanan sekecil apa pun.

Di pihak lain, Lembu Sura, Ki Somali, dan Pendekar Teratai Biru memiliki tingkat ilmu yang setara, dan ketiganya mampu saling menutup dan saling mendukung sehingga menghasilkan pola serangan yang bermacam-macam dan pertahanan yang sulit ditembus. Keris luk sembilan di tangan Lembu Sura, trisula di tangan Ki Somali, dan tombak pendek di tangan Pendekar Teratai Biru tidak kalah dahsyatnya ketika menyerang dua lawannya yang masih muda.

Akan tetapi, lama-kelamaan ketiga pendekar golongan yang lebih tua itu penasaran karena serangan mereka tidak pernah sekali pun mengenai salah satu lawannya. Setiap kali keris, trisula, atau tombak pendek itu menusuk, selalu kudi hyang Jaka Wulung atau pedang tipis Ciang Hui Ling lebih dulu mengancam.

Sesekali terjadi benturan di antara senjata-senjata itu, menimbulkan suara nyaring dan memercikkan bunga api yang menyilaukan, tapi kudi hyang dan pedang tipis itu seakan-akan tidak terpengaruh oleh benturan-benturan itu. Keduanya terus melesat-lesat seperti sepasang burung walet yang sedang menikmati kegembiraan di udara, tapi sekaligus menyambar- nyambar laksana sepasang elang yang tidak kenal penghalang.

Meskipun perlahan, lama-kelamaan paduan cinta Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling lebih unggul dibandingkan dengan ketiga lawannya meskipun tipis. Sesekali bahkan ujung kudi hyang Jaka Wulung mampu menyentuh pundak dan lengan Lembu Sura, yang gerakannya paling lambat dibandingkan dengan Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru. Sentuhan itu hanyalah berupa goresan kecil, tapi dengan cepat membuat keseimbangan pertarungan itu menjadi timpang.

Baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling memanfaatkan keadaan itu dengan terus mendesak dan menyudutkan Lembu Sura, tanpa mengabaikan Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru yang tetap berbahaya.

Setidaknya, tiga sentuhan kudi hyang Jaka Wulung menggores tubuh Lembu Sura dan dari luka-luka kecil itu menetes-netes cairan merah. Meskipun luka-lukanya kecil, nyeri yang dirasakan Lembu Sura membuat gerakannya tidak lagi selaras dengan gerakan Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru. Akibatnya, keselarasan serangan ketiga orang itu menjadi rusak. Kadang, keris di tangan Lembu Sura justru menghalangi trisula Ki Somali sehingga nyaris terjadi benturan di antara mereka sendiri.

Melihat apa yang terjadi pada ketiga lawannya, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menambah gencar serangan mereka, terutama kepada Lembu Sura. Meskipun Ki Somali dan Pendekar Teratai Biru sudah berupaya saling membantu untuk menghalangi serangan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, serangan kedua pendekar belia ini sulit dibendung.

Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, di tengah bunyi siutan dan dentingan senjata mereka, Jaka Wulung menangkap suara lain dan sekilas matanya yang tajam menangkap sebuah benda melesat cepat mengarah punggung Ciang Hui Ling. Sebuah benda tipis keperakan yang berputar sangat cepat.

Segitiga bersisi tajam!

Jaka Wulung terkesiap. Dalam sekejap, Jaka Wulung berhitung bahwa dia tidak akan punya kesempatan untuk menolong Ciang Hui Ling, karena pada saat itu Jaka Wulung berada di garis yang agak jauh di depan si gadis.

“Awas, Lingling!” teriak Jaka Wulung.

Ciang Hui Ling baru menyadari adanya bahaya ketika segitiga maut itu sudah tinggal beberapa jengkal lagi dari punggungnya.

Ciang Hui Ling hanya mampu berkelit sejengkal menjauh dari garis lintasan segitiga maut itu.

Sreeet!

Sebuah goresan menyobek baju kuning Ciang Hui Ling dan menggores permukaan kulit punggungnya. Seketika punggungnya diserang hawa panas, sekaligus dingin. Rasanya hawa panas-dingin itu seperti demam. Tubuhnya menggigil.

Jaka Wulung segera memahami bahwa senjata segitiga maut itu dilumuri racun pada bagian ujung tajamnya. Jaka Wulung hanya berharap racun itu bukan jenis yang mematikan.

Pertempuran beberapa jenak terhenti.

Jaka Wulung memandang tajam orang yang baru saja melemparkan segitiga mautnya dengan dada yang penuh kemarahan. Dia seorang lelaki berusia pertengahan tiga puluhan tahun.

Berjejalan kata dalam tenggorokannya, tapi hanya satu kata yang terucap dari bibir Jaka Wulung, “Curang

Si pelempar segitiga maut itu tertawa terbahak-bahak. Jenis tawanya sama dengan tawa yang mengandung tenaga dalam yang kuat beberapa waktu sebelumnya.

“Dan tawamu busuk seperti kepala babi yang kau lemparkan,” ucap Jaka Wulung lagi.

Dalam sekejap, tawa si pelempar maut itu lenyap.

“Oh, bagaimana kau tahu aku yang melemparkan kepala babi itu?” “Dari baumu.”
Orang itu kehilangan kata-kata.

“Kakang Maesa Sura, kau terlambat membantu,” desis Lembu Sura dengan wajah yang menyeringai menahan perih akibat luka-luka di tubuhnya.

Maesa Sura, si pelempar segitiga maut, berkata tanpa menoleh kepada Lembu Sura, adik seperguruannya, “Ah, kau, masih seperti anak-anak saja.”

Dan kemudian, terdengar tawa yang serupa dari orang yang muncul sekitar sepuluh langkah di belakang Maesa Sura. Munding Wesi berdiri di sebelahnya. Orang itu tertawa, jenis tawa yang sama, tapi terdengar lebih kuat dan mengandung tenaga dalam yang lebih dahsyat. Namun, dia segera menghentikan tawanya karena segera menyadari bahwa sebagian orang yang berada di lingkaran pertempuran itu adalah kelompoknya juga— terutama Munding Wesi, yang kelihatan gemetar mendengar tawanya.

“Sudahlah, anak-anak, jangan bertengkar di sini,” kata lelaki itu. Usianya sekitar enam puluh tahun, rambutnya nyaris putih semua, tergerai lurus sampai ke pundak, dan diikat kain hitam, tapi tubuhnya tegap seperti masih berusia tiga puluhan tahun. “Cepat selesaikan pertempuran ini. Kita masih punya banyak tugas penting.”

Maesa Sura dan Lembu Sura tersadar oleh kata-kata lelaki tua itu, yang tidak lain adalah guru mereka, Ki Sura Menggala, seorang yang konon memiliki darah Menak Jingga, entah keturunan yang keberapa. Ki Sura Menggala dan Maesa Sura baru belakangan datang untuk memperkuat kelompok yang dipimpin Munding Wesi.

Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri saling membelakangi dengan punggung yang hampir bersentuhan. Keduanya sadar bahwa secara keseluruhan, kelompok Munding Wesi sekarang memiliki kekuatan yang tidak mungkin dikalahkan. Kedatangan Maesa Sura, yang secara licik menyerang dengan segitiga mautnya, telah mengubah perimbangan kekuatan. Belum lagi gurunya, yang tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada kedua muridnya.

Tempat itu berada di tengah hutan, jauh dari keramaian atau orang mana pun. Tapi, baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling tidak berpikir tentang keajaiban, misalnya adanya pertolongan dari langit. Keduanya menumpukan nasib mereka di pundak mereka sendiri.

Tanpa kata, bahkan tanpa bertatap muka, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling saling menguatkan. Rasa ngilu yang merejam lengan Jaka Wulung dan rasa nyeri yang menusuk-nusuk punggung Ciang Hui Ling boleh jadi akan turut menentukan nasib mereka. Namun, lihatlah, wajah mereka sama-sama tabah. Cinta yang tumbuh di dada mereka sekali lagi menjadi kekuatan yang tidak terkatakan. Setidaknya, kekuatan hati bahwa apa pun nasib yang akan menimpa mereka nanti, mereka tidak akan menyesal.

Kedua pendekar belia itu bahkan percaya, kalaupun keduanya harus gugur dalam pertempuran nanti, mereka akan bertemu lagi kelak, di alam yang berbeda dengan dunia yang mereka tinggali sekarang.

“Lingling,” bisik Jaka Wulung tanpa menoleh. Kudi hyang tergenggam erat di depan dadanya, teracung menunjuk langit. “Mari kita sambut pertempuran ini dengan rasa gembira.”

“Lebih dari itu, Jaka,” pedang tipis tergenggam erat di tangan Ciang Hui Ling, menyilang di depan dadanya. “Aku akan menyambutnya dengan rasa bahagia.”

“Lingling ...,” genggaman kudi hyang di tangan Jaka Wulung makin erat, “aku mencintaimu.”

Ingin rasanya Ciang Hui Ling membalikkan badannya, lalu mendekap Jaka Wulung dengan sepenuh hatinya. Namun, tentu saja itu tidak mungkin. Empat orang kali ini mengepung mereka. Lembu Sura, Ki Somali, Pendekar Teratai Biru, dan Maesa Sura.

Ciang Hui Ling hanya bisa membalas bisikan Jaka Wulung, “Aku juga mencintaimu.”

Dada kedua pendekar belia itu dipenuhi rasa hangat. Mereka menikmatinya, tapi hanya beberapa jenak. []
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar