Rata dengan Tanah
AKAN tetapi, bahagia dan duka hanyalah dua wajah dari satu keping mata uang. Bedanya setipis kulit jangat.
Bahkan, dari jauh Ciang Hui Ling sudah merasakan ada sesuatu yang janggal. Asap hitam mengepul menodai langit biru. Dari mana asap itu berasal?
Daerah tempat tinggal Ciang Hui Ling dan gurunya tidak terlalu jauh dari tepi Ci Liwung, terletak di tanah yang agak tinggi, semacam bukit kecil, yang dikitari pepohonan besar. Tempat itu sangat sejuk dan nyaman. Tan Bo Huang, guru Ciang Hui Ling, sudah memperhitungkan bukit kecil itu sebagai tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari Pelabuhan Kalapa, tapi juga cukup terpencil sebagai tempat untuk menyepi.
Terpencil, karena di sekitar pondok itu tidak ada rumah penduduk. Rumah terdekat dari tempat itu terletak kira-kira lima ratus depa jauhnya.
Udara di sekitar pondok mereka sangat bersih. Tidak pernah ada orang yang membakar hutan di sekitar tempat itu.
Kalau begitu, dari mana asap itu berasal? Apakah dari sekitar pondok tempat tinggal Tan Bo Huang?
Asap apakah?
Hampir di luar sadarnya, Ciang Hui Ling menambah tenaga untuk mendayung perahu mereka. Jaka Wulung melakukan hal yang sama untuk menyeimbangkan arah perahu meskipun dengan lengan yang masih ngilu karena terserempet peluru.
Perahu dengan cepat melaju.
Tanpa perlu bertanya, Jaka Wulung pun bisa menebak bahwa asap yang membubung itu telah menggelisahkan Ciang Hui Ling.
Semakin dekat, asap itu makin jelas membuat langit menghitam. Membubung tinggi, lalu mengarah ke barat mengikuti arah angin, melintasi Sungai Ci Liwung.
“Cepat ke pinggir, Jaka!”
Ciang Hui Ling dan Jaka Wulung cepat meminggirkan perahu mereka. Bahkan, sebelum perahu benar-benar merapat, tanpa mengatakan apa pun lagi kepada Jaka Wulung, Ciang Hui Ling sudah lebih dulu meloncat ke darat, kemudian meloncat-loncat di antara bebatuan, lalu dengan satu lentingan tinggi, gadis itu tiba di bibir tebing, sebelum sekejap kemudian hilang dari pandangan.
Jaka Wulung lebih dulu menurunkan jangkar perahu sebelum berlari mengikuti ke mana Ciang Hui Ling menghilang.
Tanah agak mendaki dan pepohonan rapat seperti menghalangi. Tapi, Ciang Hui Ling tidak memedulikannya. Dia terus berlari cepat, bahkan seperti terbang saja layaknya, menuju sumber asap berada.
Jaka Wulung mengikuti di belakangnya.
Dan akhirnya, tibalah mereka di tempat yang dituju.
Pagar kayu rebah dan patah-patah. Pepohonan tumbang. Perdu-perdu berantakan. Rerumputan tidak lagi berbentuk, seakan-akan baru saja diinjak-injak gerombolan gajah. Dan di tengah lahan itu, sisa api masih menyala, berkobar dari puing-puing kayu yang belum lama masih berupa tiang dan dinding pondok. Sebagian besar kayu itu sudah hangus menjadi arang. Hanya sebagian kecil yang masih terbakar.
Pondok itu, pondok Tan Bo Huang, benar-benar rata dengan tanah. Ciang Hui Ling mematung menyaksikan pemandangan itu.
Air mata berlinang membelah kedua pipinya.
Sehelai daun kering yang separuhnya terbakar terbang melayang dan jatuh di dekat kakinya.
“Dua kali, Jaka.”
Jaka Wulung menoleh menatap wajah Ciang Hui Ling yang bersimbah air mata. Jemarinya perlahan menggenggam jemari gadis itu dengan erat, memberikan kekuatan bagi yang sedang mengalami duka mendalam.
*****
SEKITAR tujuh atau delapan tahun lalu, saat baru berusia kira-kira delapan tahun, Ciang Hui Ling menyaksikan pemandangan yang sama. Rumah yang terbakar habis, rata dengan tanah, tidak tersisa sepotong pun perabot rumah, bahkan hanya sepotong kayu.
Itulah rumah orangtua Ciang Hui Ling di tepi Sungai Ci Sanggarung di sisi timur wilayah Cerbon. Pemandangan itu tidak pernah bisa dilupakan.
Pemandangan yang sangat menyedihkan. Sebab, semenjak itulah, Ciang Hui Ling tidak pernah tahu bagaimana nasib orangtuanya.
Hanya nasib baiklah yang membuat dirinya selamat. Dia kemudian diselamatkan oleh seorang lelaki yang entah dari mana datangnya.
Ciang Hui Ling sudah pasrah mengenai nasibnya.
Untunglah, yang membawa pergi dia adalah Tan Bo Huang, seorang pendekar gagah yang kemudian mengasuhnya di tepi Sungai Ci Liwung. Beberapa waktu kemudian, Ciang Hui Ling baru tahu bahwa Tan Bo Huang adalah sahabat baik kedua orangtuanya, seorang pendekar yang sudah harum namanya dengan julukan Naga Kuning dari Ci Liwung.
Tan Bo Huang kemudian mendidik Ciang Hui Ling, mencurahkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepada gadis itu. Tan Bo Huang juga kerap membawa si gadis kecil mengembara ke berbagai tempat, termasuk naik perahu berlayar sampai ke Malaka.
Dari Tan Bo Huang pulalah, Ciang Hui Ling mengetahui gambaran mengenai siapa sebenarnya orangtuanya. Samar-samar dia memang masih ingat wajah ayah dan ibunya, tapi siapa mereka, dia belum pernah diceritai.
Orangtua Ciang Hui Ling sedang dalam perjalanan di laut menuju Kalapa ketika berkenalan dengan Tan Bo Huang. Mereka berasal dari negeri Tiongkok. Keduanya berasal dari daerah yang tidak jauh dari muara Sungai Kuning dan terkenal dengan julukan Sepasang Pedang Sakti. Bertahun-tahun, mereka malang melintang di dunia persilatan Tiongkok, terutama di sepanjang Sungai Kuning. Mereka sangat ditakuti oleh para bajak sungai yang sebelumnya merajalela di sungai besar di Tiongkok itu. Kehadiran Sepasang Pedang Sakti membuat Sungai Kuning wilayah yang aman.
Akan tetapi, lama-kelamaan Sepasang Pedang Sakti, yang telah menjadi suami-istri, merasa jenuh dengan kehidupan mereka yang selalu penuh dengan pertumpahan darah. Mereka menginginkan sebuah kehidupan yang tenang, mengundurkan diri dari dunia persilatan. Terutama karena keduanya sangat mendambakan kehadiran anak-anak. Mereka merasa usia di atas tiga puluh tahun sudah cukup untuk menjalani kehidupan yang sewajarnya dialami kebanyakan warga.
Karena itu, mereka memutuskan hidup berbaur dengan warga masyarakat biasa di sebuah kampung kecil tidak jauh dari pantai selatan Tiongkok. Hampir setahun, mereka hidup sebagai petani, kadang-kadang pergi melaut mencari ikan. Tapi, tidak lama kemudian, sejumlah orang menemukan kediamannya dan datang hendak membalas dendam. Sepasang Pedang Sakti berhasil membunuh sebagian di antara mereka. Tapi, sebagian lain meloloskan diri.
Karena merasa kehidupan di kampung itu terusik, Sepasang Pedang Sakti memutuskan pergi menyeberang laut menuju negeri lain. Dari kabar yang sampai ke telinga mereka, mereka mendengar sejumlah negeri yang kehidupannya aman dan damai di Jawa Dwipa, antara lain Banten, Pajajaran, Cerbon, dan Demak.
Mereka berniat merintis kehidupan baru di Tanah Jawa, seraya mencoba menelusuri kerabat keturunan pengikut Ceng Ho yang sudah menetap di Jawa.
Demikianlah, mereka pergi menyeberangi lautan, naik perahu dari Tiongkok ke Malaka, kemudian dari Malaka ke Jawa. Mereka sempat mampir di Pelabuhan Kalapa, tapi kemudian meneruskan perjalanan ke Muara Jati.
Dalam perjalanan itu, mereka benar-benar melepaskan pakaian yang biasa dikenakan para pendekar. Mereka berpakaian seperti umumnya para pelancong. Pedang sakti yang biasanya tidak lepas dari punggung mereka dibungkus dengan kain dan disimpan bersama barang bawaan mereka, terutama pakaian.
Akan tetapi, kerap kali kenyataan tidaklah sesuai dengan harapan.
Dalam perjalanan di Selat Malaka, perahu yang mereka tumpangi diserang oleh sekelompok perompak. Selat ini memang terkenal dengan para perompaknya yang kejam. Belasan, atau mungkin puluhan, kelompok perompak selalu mengadang perahu-perahu yang sekiranya berpenumpang para saudagar kaya. Para perompak itu umumnya orang-orang berpenampilan kasar dengan ilmu silat yang di atas rata-rata orang kebanyakan. Dengan berbekal ilmu silat tinggi dan senjata lengkap yang mereka bawa, mereka selalu menguras harta dan perbekalan yang dibawa perahu-perahu yang menjadi mangsa.
Para perompak itu bahkan berani menjarah perahu mewah yang berpenumpang para pejabat negara, terutama yang diperkirakan pengawalannya kurang. Hanya satu perahu yang mereka hindari, yaitu perahu yang berisi bala tentara. Biasanya mereka menghindari perahu seperti itu karena kekuatan mereka kalah. Lagi pula, perahu seperti itu tidak membawa banyak harta yang banyak.
Hari itu, para penumpang baru saja menikmati pemandangan matahari terbenam ketika tiga perahu menempel ketat dari kanan dan kiri serta belakang. Tidak lama kemudian, belasan orang berkulit gelap dan berwajah seram berloncatan ke geladak perahu dan mengancam setiap penumpang. Bahkan, para pengawal perahu tidak mampu berbuat banyak. Setelah melakukan perlawanan tidak sampai lima jurus, para pengawal yang jumlahnya empat atau lima orang itu bertekuk lutut.
Dengan leluasa, perompak-perompak itu pun menjarah barang-barang berharga milik para penumpang.
Pada saat itulah, terjadi kegaduhan di dekat buritan. Terdengar pekikan- pekikan keras diselingi suara dentingan dari senjata yang berbenturan. Di bawah langit yang mulai temaram, terjadi pertempuran seru di bagian belakang perahu itu. Mula-mula tidak jelas siapa yang sedang bertempur. Tapi, lama-lama makin kelihatan seorang lelaki berpakaian putih bertempur melawan enam perompak sekaligus. Sungguh luar biasa lelaki itu. Dengan hanya bersenjatakan pedang yang sedang-sedang saja panjangnya, dia tanpa kesulitan melayani keroyokan enam lelaki yang perawakannya rata-rata lebih tinggi dan lebih besar.
Selain bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi di atas rata-rata para pengeroyoknya, lelaki itu juga tidak segan-segan membenturkan pedangnya pada apa pun jenis senjata lawan-lawannya, kelewang, tombak, gobang, dan sebagainya.
Dengan ringannya, dia melenting dari satu titik ke titik yang lain, menyelinap di antara senjata-senjata lawan yang terulur hendak melumat tubuhnya. Dia bergerak seakan-akan tidak menginjak lantai geladak perahu, tak ubahnya seperti burung walet yang sangat gesit melejit-lejit.
Tidak hanya pedangnya yang tergenggam di tangan kanan, tangan kiri dan kedua kakinya pun terus-menerus mencari sasaran dengan tata gerak yang amat selaras. Dalam belasan jurus, lelaki itu sudah mampu merobohkan
dua perompak. Yang satu terluka menganga di lengannya dan hanya bisa mengerang di dinding kabin. Yang satu lagi tak kuasa menahan tendangan keras lelaki itu sehingga membentur pagar perahu, berputar sekali, lalu tak ayal melayang jatuh ditelan ombak laut.
Melihat ada perlawanan dari seorang penumpang yang tidak dikenal, pemimpin perompak itu marah, lalu meloncat menghadapi lelaki berpedang itu.
“Siapa kau, berani melawan gerombolan Tengkorak Hitam?”
Lelaki itu tidak menjawab, tetapi segera bersiap menghadapi sepak terjang pemimpin kelompok yang memang sangat terkenal dan paling ditakuti di seantero Selat Malaka itu.
Tiga orang perompak menyertai sang pemimpin untuk mengeroyok seseorang yang telah dengan nekat melakukan perlawanan.
Pemimpin perompak Tengkorak Hitam itu, seorang lelaki berwajah legam dengan garis codet di kedua pipinya, memang layak menjadi pemimpin gerombolan orang-orang berwatak kejam itu. Tata ilmu silatnya benar- benar di luar kewajaran tata gerak silat umumnya. Jurus-jurusnya sangat kejam, seperti ikan hiu yang melabrak apa pun yang menjadi penghalang di hadapannya. Pedang besar di tangannya meliuk-liuk menyobek udara, menimbulkan suara siulan yang menebarkan ancaman kematian.
Akan tetapi, sampai beberapa jurus, pedangnya tidak juga mengenai lawannya yang selalu bergerak dengan lincah seperti ikan terbang menghindari terkaman hiu.
“Siapa kau, hah?” Suara pemimpin gerombolan Tengkorak Hitam itu kembali menggelegar, sambil tidak henti-hentinya menerjang melancarkan sabetan pedangnya.
Lelaki itu dengan enteng menghindarinya dengan meloncat mundur. Dia masih mengukur seberapa besar kekuatan pemimpin kelompok itu sehingga dia memilih untuk menghindari benturan pedang.
“Namaku Tan Bo Huang, kalau kau mau tahu. Dan kau siapa?”
Pemimpin kelompok Tengkorak Hitam itu tergetar juga mendengar nama
yang disebutkan lelaki itu. Tapi, dia menggeretakkan gigi tidak peduli. “Persetan dengan siapa kau. Kau boleh saja menyebut Naga Kuning di selokan kecil bernama Ci Liwung itu, tapi di tengah laut ini, kau hanyalah ular kecil! Bersiaplah mampus di tangan naga sesungguhnya, aku Badri si Naga Laut Selat Malaka!”
Dalam beberapa jurus kemudian, Tan Bo Huang mengakui bahwa nama Naga Laut Selat Malaka bukanlah nama yang kosong. Dengan jurus-jurus yang buas dan kejam, sesuai dengan lingkungan hidupnya sehari-hari, Badri si Naga Laut benar-benar menjadi momok bagi kapal atau perahu mana pun yang lewat Selat Malaka tanpa pengawalan yang cukup. Dengan pedang besarnya, dia membabat ke sana kemari, seperti badai Laut Tiongkok Selatan.
Enam atau tujuh anak buah Badri si Naga Laut tidak mau tinggal diam. Mereka kembali mengeroyok Tan Bo Huang dengan jurus-jurus yang sama kasarnya. Begitulah memang watak para perompak. Mereka selalu bertempur dalam kelompok besar untuk segera menyelesaikan pertempuran. Mereka tidak punya waktu banyak untuk bermain-main. Lebih cepat lawan menyerah, itu lebih baik. Dan untuk itu, tidak ada cara yang lebih baik selain melakukan pengeroyokan.
Menghadapi keroyokan tujuh atau delapan perompak yang dipimpin oleh kepala perompak sendiri, Badri si Naga Laut, perlahan-lahan Tan Bo Huang terdesak juga. Dia harus mengerahkan segenap ilmunya untuk menghindari atau mengadang setiap senjata yang tidak pernah berhenti mengancamnya. Jengkal demi jengkal, Tan Bo Huang harus mundur. Para pengeroyok itu tampaknya tanpa mendapat aba-aba pun sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
Mereka harus mendesak lawannya terus mundur hingga ujung buritan. Kalau sudah sampai di sana, kepastian akan nasib Tan Bo Huang hanyalah tinggal menunggu waktu. Mereka tidak akan memberikan ruang bagi Tan Bo Huang untuk kembali merangsek ke depan. Satu-satunya ruang yang tersedia bagi Tan Bo Huang hanyalah laut luas yang siap menelannya.
Badri si Naga Laut terbahak-bahak melihat kemenangan yang sudah di depan mata. “Kha-kha-kha ...! Mau menghindar ke mana lagi kau, Ular Badut!”
Tan Bo Huang menggeretakkan gigi. Dia sama sekali tidak takut
menghadapi kematian. Kehidupannya yang panjang selalu diwarnai dengan pertempuran yang hanya memberikan dua pilihan: membunuh atau dibunuh. Apa yang disesalinya adalah dia harus bertempur sendirian menghadapi para perompak itu. Dia juga menyesal karena tidak bisa menyelamatkan perahu dan penumpangnya dari penjarahan kejam para perompak.
Karena itu, seraya berseru keras, Tan Bo Huang memainkan pedangnya dengan kecepatan yang berlipat. Kaki dan tangannya pun terus berupaya mencari celah di antara keroyokan lawannya. Beberapa saat keroyokan para perompak itu tertahan. Tapi, tidak lama. Badri si Naga Laut juga menyadari bahwa lawannya sudah tiba di titik puncak ilmunya, sementara dia masih segar bugar. Ditambah dengan pertempuran di perahu adalah pertempuran yang tidak asing lagi baginya, meski di bawah langit yang makin temaram, Badri si Naga Laut pun meningkatkan serangannya. Pedangnya terus berkelebat dengan ganas dan penuh tenaga.
Pada saat yang sama, anak-anak buah Badri si Naga Laut pun meningkatkan serangan mereka. Meskipun sekilas terlihat kasar, karena terbiasa bertempur bersama-sama, mereka mampu bahu-membahu saling mendukung membentuk serangan maut yang tidak pernah berhenti mengancam kedudukan Tan Bo Huang.
Satu serangan ujung pedang anak buah Badri si Naga Laut tidak dapat dihindari Tan Bo Huang. Pahanya terasa perih. Mungkin tidak terlalu dalam. Tapi, luka itu menjadi titik awal rapuhnya pertahanan Tan Bo Huang. Jurus demi jurus, dia makin terdesak ke belakang, hingga akhirnya sampai di pagar buritan. Tidak ada lagi ruang bagi Tan Bo Huang untuk bertahan.
“Bersiaplah menjadi santapan para hantu laut, kha-kha-kha ...!”
Badri si Naga Laut siap melancarkan serangan pamungkas untuk menuntaskan nasib Tan Bo Huang. Pedang besarnya mengibas dari kiri dengan tenaga yang luar biasa dahsyat ....
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring, disertai bunyi dentang memekakkan telinga yang membuat gerakan pedang Badri si Naga Laut tertahan, bahkan tergetar sehingga nyaris lepas dari tangannya.
Entah dari mana datangnya, sesosok lelaki kini berdiri tegak di hadapan
para perompak itu dengan pedang di tangan, berdiri agak ke depan dari Tan Bo Huang. Para perompak itu beberapa jenak terpaku seperti patung dengan mulut menganga. Bayangkan, hanya dalam satu gerakan, dalam ruang yang sangat sempit di buritan perahu, lelaki itu mampu menghalangi gerak pamungkas pedang besar Badri si Naga Laut!
Dalam temaram senja, tampak bahwa lelaki itu berpakaian ala pesilat Tiongkok dengan baju dan celana yang serbalonggar. Rambutnya panjang dan dikucir hingga mencapai separuh punggung. Matanya yang sipit memandang tajam satu per satu para perompak di depannya, terutama Badri si Naga Laut.
“Maaf, Tuan Pendekar, aku terlambat beraksi. Namamu sudah kudengar hingga daratan Tiongkok,” ujar lelaki itu, dengan bahasa Melayu yang kurang begitu jelas karena logat Tiongkoknya yang kental.
“Ah, namaku bukanlah apa-apa,” kata Tan Bo Huang. “Kau pasti memiliki nama yang lebih masyhur.”
Belum sempat lelaki itu menyebutkan namanya, Badri si Naga Laut menggeram marah melihat kedatangan lelaki itu, yang telah menggagalkan usahanya untuk menuntaskan nasib Tan Bo Huang.
“Persetan dengan kau! Ayo maju semuanya! Kawan-kawan, gempur!”
Serentak kini para perompak itu mengeroyok dua lelaki itu, dua pendekar dengan darah yang sama, tapi asal yang berbeda. Yang satu berasal dari Tanah Jawa, yang lain berasal dari tanah Tiongkok. Tapi, dalam sekejap tampaknya terjadi saling kesepahaman di antara mereka. Menghadapi jurus-jurus ganas para perompak, keduanya bahu-membahu dengan jurus yang kelihatannya memiliki akar yang sama.
Badri si Naga Laut merasakan bahwa kedatangan lelaki ini telah mengubah peta pertempuran. Sepak terjangnya benar-benar tidak kalah lincah dan lihai dari Tan Bo Huang. Melawan Tan Bo Huang sendiri saja mereka harus mengerahkan kemampuan untuk mendesak, kini ditambah dengan orang yang memiliki tingkat ilmu yang seimbang, maka justru para perompaklah yang mulai terdesak dengan cepat.
Karena itu, Badri si Naga Laut berseru keras. “Kawan-kawan yang di depan, ayo bantu ke sini!”
Akan tetapi, seruan Badri si Naga Laut sama sekali tidak bersambut. Dia mengerutkan keningnya. Rupanya, di bagian depan geladak terjadi pula satu lingkaran pertempuran. Mula-mula tidak jelas, tapi lama-kelamaan mata tajam Badri si Naga Laut bisa mengenali bahwa lima anak buahnya tengah bertempur seru dengan seorang bertubuh kecil dan langsing serta rambut yang panjang berkibaran ... seorang wanita!
Badri si Naga Laut tidak sempat memikirkan atau menduga-duga siapa wanita itu karena dia harus mengerahkan segala ilmunya untuk menghadapi terjangan dahsyat dua lelaki bermata sipit itu. Tan Bo Huang, meskipun sudah terluka di pahanya, masih tetap ganas menyabet- nyabetkan pedangnya. Lelaki yang baru datang itu, dengan tenaga yang masih segar bugar, melenting-lenting lincah dan ujung pedangnya menusuk-nusuk setiap lubang pertahanan para pengeroyoknya.
Belum sampai sepuluh jurus kemudian, secara hampir bersamaan ujung pedangnya dan ujung pedang Tan Bo Huang berhasil mematuk masing- masing seorang perompak anak buah Badri si Naga Laut. Kedua perompak itu memekik dan senjata mereka terlepas dari tangan masing-masing.
Jatuhnya dua perompak itu dengan cepat membuat pertempuran menjadi timpang. Tan Bo Huang dan pendekar asal Tiongkok itu terus mendesak para perompak dan memberikan ancaman melalui ujung-ujung pedang mereka.
Sekilas, Badri si Naga Laut melirik ke geladak depan, berharap anak-anak buahnya sudah menyelesaikan pertempurannya melawan seorang perempuan. Tapi, apa yang dilihatnya sungguh meleset jauh dari harapannya. Meskipun hanya seorang perempuan mungil dan bersenjatakan pedang yang sedang-sedang saja, perempuan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapi keroyokan lima perompak anak buah Badri si Naga Laut.
Sebaliknya, pedang pendekar perempuan itu terus berkelebatan, dan kelima perompak tersebut hanya berupaya menghindar atau mencoba membenturkan senjata mereka untuk mencegah ujung pedang maut itu mematuk tubuh mereka. Hanya tinggal menunggu waktu bagi si pendekar wanita itu untuk merobohkan salah seorang perompak.
Benar saja, beberapa saat kemudian terdengar pekik nyaring seorang perompak. Pergelangan tangannya putung. Bagian telapak tangannya, yang
masih menggenggam sebilah golok, mencelat jauh dan jatuh tercebur ke laut, menjadi santapan ikan pemakan daging.
Melihat rekan mereka mengalami nasib buruk, keempat perompak lainnya menjadi keder bukan main. Serangan mereka menjadi tidak keruan. Mereka berharap pemimpin mereka, Badri si Naga Laut, akan segera datang membantu sekaligus membinasakan perempuan ini. Di mata mereka, Badri si Naga Laut adalah lelaki yang tidak akan terkalahkan oleh siapa pun di dunia, apalagi di daerah kekuasaan mereka di Selat Malaka.
Mereka tidak mengerti mengapa Badri si Naga Laut tidak segera datang menolong. Apalagi ketika mereka mendengar dari arah buritan pekikan nyaring seorang perompak yang dadanya sobek menganga oleh kibasan pedang Tan Bo Huang.
Tan Bo Huang dan pendekar Tiongkok itu sekarang tinggal berhadapan dengan lima perompak, termasuk Badri si Naga Laut. Kelima perompak itu sudah keder dari tadi, dan kini semangat mereka makin mengempis. Apa yang ada dalam kepala mereka bukan lagi bagaimana caranya merobohkan dua lawannya, melainkan bagaimana cara melepaskan diri dari pertempuran itu.
Sambil melakukan gerakan yang membabi buta, Badri si Naga Laut berseru keras:
“Munduuuuuur ...!”
Seraya melemparkan pedangnya ke arah Tan Bo Huang yang sedang memburunya, Badri si Naga Laut meloncat melintasi pagar perahu, kemudian terjun dengan dua tangan terjulur lebih dulu, mencebur ke laut. Tan Bo Huang tidak sempat mengejar Badri si Naga Laut karena dia harus menangkis pedang kepala perompak itu lebih dulu.
Ketika Tan Bo Huang memburu ke pagar perahu, kepala perompak itu sudah mencebur ke laut, dan berenang menuju kapalnya. Sisa-sisa laskar perompak itu secara hampir bersamaan mengikuti jejak sang pemimpin, sama-sama melompat ke laut, menyelamatkan diri, menuju perahu mereka. Tanpa menunggu waktu, perahu para perompak itu segera meluncur menjauh dan akhirnya lenyap tertutup kabut.
Beberapa jenak kemudian, suasana menjadi hening.
Bulan kelihatan samar, muncul dari balik awan di cakrawala.
Hanya terdengar erangan para perompak yang terluka. Mereka kemudian diurus oleh para pengawal perahu.
Para pengawal dan penumpang mengucapkan terima kasih kepada Tan Bo Huang dan sepasang pendekar dari negeri Tiongkok.
“Namaku Ciang Bun. Dan ini istriku, Cu Ling Wei,” kata lelaki yang telah membantu Tan Bo Huang sambil merangkul pundak istrinya. “Kami selama ini dikenal dengan julukan Sepasang Pedang Sakti.”
Tan Bo Huang mengangguk-angguk. “Ah, pantas saja. Nama kalian juga sudah lama terbawa angin hingga ke sudut terpencil di Ci Liwung,” katanya.
Sepasang Pedang Sakti itu sama-sama tersenyum mendengar kata-kata Tan Bo Huang yang bernada seloroh.
Mereka bertiga dengan segera menjadi akrab. Mereka bahkan membuat ikatan menjadi saudara. Karena umur Tan Bo Huang lebih tua dua tahun dibandingkan dengan Ciang Bun, dua sejoli itu memanggil Tan Bo Huang saudara tua.
Menyembul rasa iri di dada Tan Bo Huang melihat betapa serasinya pasangan pendekar dari Tiongkok itu. Yang lelaki sangat tampan dan yang perempuan sangat cantik. Dengan ilmu silat yang sama-sama tinggi, pantaslah jika siapa pun yang melihat mereka akan menjadi iri sekaligus kagum.
Tan Bo Huang segera menepis rasa iri itu. Ah, tiba-tiba dia teringat dua peristiwa menyedihkan dalam hidupnya. Pertama, dia pernah saling mencintai dengan adik seperguruannya, Chen Lian. Tapi, dengan berat hati, dia memutuskan hubungan mereka karena adik seperguruannya itu memiliki sifat-sifat yang jahat. Yang kedua, kemudian dia jatuh cinta kepada seorang gadis asal Banten. Tapi, hubungan mereka juga kandas karena orangtua gadis idamannya menolak, dengan alasan berbeda bangsa dan agama, Tan Bo Huang memutuskan untuk tidak akan kawin sepanjang hidupnya. Sungguh keputusan yang sangat menyedihkan. Tapi, Tan Bo Huang sudah mengambil keputusan demikian dengan hati yang bulat.
Saat itulah, Sepasang Pedang Sakti menuturkan keinginannya untuk tinggal di Tanah Jawa. Mereka juga mengungkapkan alasannya mengapa ingin menghabiskan masa tuanya jauh dari tanah kelahiran mereka.
Di Pelabuhan Kalapa, Tan Bo Huang dan Sepasang Pedang Sakti saling berpisah. Tan Bo Huang hendak pulang dulu ke pondoknya di pedalaman Ci Liwung, sedangkan berdasarkan petunjuk dari Tan Bo Huang, Sepasang Pedang Sakti memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Muara Jati, salah satu pelabuhan di Cerbon.
Tidak lama kemudian, sepasang pendekar dari Tiongkok itu tinggal di Astana Japura, hidup membaur dengan masyarakat setempat. Mereka mengubah kebiasaan dalam hal berpakaian dan penampilan.
Mereka tinggal dengan penuh ketenteraman selama hampir dua tahun.
Akan tetapi, pada tahun ketiga, mulailah muncul gangguan terhadap kehidupan mereka yang sudah tenteram.
Pada suatu hari, tiga orang berpenampilan kasar muncul di halaman rumah Sepasang Pedang Sakti. Salah seorang di antara mereka adalah lelaki dengan wajah berhias codet di kedua pipinya.
Badri si Naga Laut.
Dua lainnya, tidak lain adalah kakak-kakak seperguruan Badri si Naga Laut. Terjadi pertempuran yang sangat seru, dua melawan tiga. Sepasang Pedang Sakti melawan Badri si Naga Laut dan dua kakak seperguruannya. Badri si Naga Laut adalah seorang pemimpin perompak Tengkorak Hitam yang sangat terkenal karena keganasannya di kawasan Selat Malaka. Mendengar namanya saja, para nakhoda perahu akan gemetar, apalagi para penumpang biasa.
Dua kakak seperguruannya, dua lelaki kembar yang lebih dikenal dengan sebutan Iblis Kembar Gunung Marapi, adalah orang-orang yang sangat ditakuti di kawasan Minang Kabau. Ilmu silat mereka memang tidak seganas Badri si Naga Laut, tapi tingkatannya lebih tinggi karena terus- menerus meningkatkan ilmu mereka, dibandingkan dengan Badri si Naga Laut, yang telanjur lebih suka merampasi harta orang di Selat Malaka.
Kekalahan memalukan di tangan Tan Bo Huang dan Sepasang Pedang
Sakti di kawasan yang mereka kuasai, Selat Malaka, sungguh membuat Badri si Naga Laut menyimpan dendam kesumat yang terus membara. Iblis Kembar dari Gunung Marapi sebenarnya enggan berurusan dengan orang yang tidak pernah bertempur dengan mereka, apalagi kalau harus pergi jauh dari Minang Kabau. Tapi, Badri si Naga Laut terus mengarang kisah bahwa ketiga pendekar bermata sipit itu, terutama Sepasang Pedang Sakti, telah menghina Badri si Naga Laut sebagai orang yang hanya bermulut besar.
“Bila perlu, jika kau punya kakak seperguruan, majulah bersama mereka, carilah aku sampai ketemu,” begitulah kilah Badri si Naga Laut mengarang cerita bahwa seakan-akan Sepasang Pedang Sakti sesumbar demikian.
Tentu saja, Iblis Kembar itu percaya kepada adik seperguruan mereka. Penghinaan seperti itu di mata mereka tidaklah terampunkan sebelum mereka bisa membalaskan sakit hati mereka.
Karena itu, mereka terus mencari kabar mengenai keberadaan Sepasang Pedang Sakti. Tentu saja tidak mudah mencari orang yang mereka buru di Tanah Jawa. Tapi, berkat ketekunan mereka, yang dilandasi rasa dendam yang makin lama makin membara, mereka kemudian bisa mengendus di mana Sepasang Pedang Sakti berada, dan akhirnya, benar-benar menemukannya di Astana Japura.
Iblis Kembar dari Gunung Marapi adalah dua lelaki yang memiliki wajah sama-sama menyeramkan meskipun kalah seram dibandingkan dengan Badri si Naga Laut. Sorot mata mereka sangat tajam, seakan-akan iblis yang selalu siap menerkam. Perawakan mereka sama-sama tinggi besar, dengan cambang yang lebat di depan telinga mereka. Senjata mereka sama, yaitu kelewang yang panjangnya lebih dari setengah depa.
Demikianlah, terjadi pertempuran yang sangat sengit di sebuah tanah kosong tidak jauh dari kediaman Sepasang Pedang Sakti selama ini, di pinggir perkampungan. Ilmu Iblis Kembar dari Gunung Marapi benar- benar selalu menimbulkan ancaman kematian bagi siapa pun. Kelewang mereka berkelebatan ke sana kemari mencari mangsa. Sekadar terkena imbasan anginnya pun, orang akan mencium aroma kematian yang sangat pekat.
Akan tetapi, Sepasang Pedang Sakti bukanlah pendekar yang tarafnya
seperti kebanyakan orang. Meski sudah mengundurkan diri dan jarang berlatih, mereka sebelumnya sudah sampai taraf tinggi sehingga mereka mampu melayani ganasnya ilmu Iblis Kembar dari Gunung Marapi ditambah Badri si Naga Laut. Pedang di tangan mereka meliuk-liuk mencari sasaran yang pertahanannya lemah.
Setelah bertempur puluhan jurus, barulah kelihatan siapa yang lebih unggul.
Sepasang Pedang Sakti perlahan-lahan mendesak ketiga lawannya. Bahkan, tidak lama kemudian, pedang Ciang Bun menembus dada salah seorang dari si Iblis Kembar, sedangkan pedang Cu Ling Wei menebas tangan kanan Badri si Naga Laut. Dengan susah payah, salah seorang Iblis Kembar yang masih hidup dan Badri si Naga Laut yang luka parah, berhasil menyelamatkan diri.
Sepeninggal kedua lawannya yang melarikan diri, kehidupan Ciang Bun dan Cu Ling Wei tidak lagi tenteram. Mereka selalu saja didatangi orang- orang yang hendak membalas dendam. Tidak hanya dari orang-orang di wilayah Nusantara, tapi juga dari negeri Tiongkok sendiri.
Dari sini, tampak betapa aroma dendam dari negeri Tiongkok tidak kalah pekatnya dibandingkan dengan dendam orang-orang Nusantara.
Melihat perkembangan yang tidak menguntungkan ini, Sepasang Pedang Sakti memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang baru. Bukan berarti mereka takut menghadapi orang-orang yang mencari mereka, melainkan mereka mulai berpikir untuk memiliki keturunan. Usia mereka terus beranjak dan mereka menginginkan anak-anak yang bisa meneruskan mengangkat nama keluarga dan leluhur mereka.
Mereka bergerak ke arah timur, menjauh dari keramaian wilayah Cerbon yang terus berkembang. Di sebuah sungai yang cukup besar, Ci Sanggarung, mereka bergerak ke hulu. Mereka kemudian menemukan tempat terpencil di kaki Gunung Indrakila. Tempatnya subur karena banyak mata air. Mereka pun hidup tenang dengan mengolah tanah di sekitar tempat tinggal mereka. Orang-orang yang tinggal tidak jauh dari mereka tidak ada yang tahu asal-usul mereka, kecuali bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang ramah kalau bertemu dengan siapa pun. Hanya Tan Bo Huang yang tahu kediaman mereka. Meskipun tergolong jarang, Tan Bo Huang beberapa kali muncul sekadar untuk saling bercerita
dan melepas kangen di antara mereka.
Pasangan Ciang Bun dan Cu Ling Wei, yang sudah melepas julukan mereka Sepasang Pedang Sakti, sangat bahagia ketika Cu Ling Wei akhirnya mengandung. Tidak berapa lama kemudian lahirlah anak mereka, seorang putri yang cantik, yang mereka beri nama Ciang Hui Ling. Mereka memutuskan akan benar-benar meninggalkan dunia persilatan yang ternyata lebih banyak menimbulkan dendam kesumat yang tidak putus- putus. Mereka sama sekali tidak mengajari Ciang Hui Ling ilmu silat apa pun. Mereka mengajari putri cantik mereka ilmu sastra meskipun pengetahuan mereka akan sastra sangat terbatas. Kalau Ciang Hui Ling sudah cukup umur, Ciang Bun dan Cu Ling Wei berniat membawa putri mereka ke pusat wilayah Cerbon, membiarkan si anak menuntut ilmu sastra dari para cendekiawan Cerbon yang sangat terkenal ke mancanegara.
Akan tetapi, sebelum niat itu terlaksana, tatkala Ciang Hui Ling berumur sekitar delapan tahun, kebahagiaan keluarga kecil yang sederhana itu harus berantakan.
Saat itu, Cu Ling Wei tengah mengandung anak kedua mereka. Anak mereka, Ciang Hui Ling, sedang bermain di halaman pondok mereka, sedangkan Ciang Bun sedang pergi mencari kayu ke hutan. Sebenarnya, hutan itu tidak jauh dari pondok mereka. Tapi, Ciang Bun terlambat datang untuk menyelamatkan pondok mereka.
Ciang Bun terkesiap ketika dilihatnya asap mengepul dari arah pondok mereka. Dia berlari cepat dan meninggalkan begitu saja kayu yang baru saja dia kumpulkan. Tapi, meskipun sudah mengerahkan ilmu lari cepatnya, Ciang Bun terlambat. Rumahnya sudah rata dengan tanah. Istri dan anaknya tidak ada di tempat.
Ciang Bun meraung histeris sebelum berlari untuk mencoba mengejar para penculik istri dan anaknya. Apa yang ada dalam pikirannya, istri dan anaknya dibawa oleh sekelompok orang, entah siapa. Istrinya sama sekali tidak mampu membela diri karena sedang hamil tua. Semenjak itu, nasib Ciang Bun dan istrinya yang sedang mengandung tidak diketahui.
Ciang Bun tidak tahu bahwa Ciang Hui Ling justru selamat karena bersembunyi di balik gerumbul perdu tidak jauh dari halaman pondok mereka.
Nasib baik masih melindungi Ciang Hui Ling karena saat itu muncul Tan Bo Huang yang hendak berkunjung ke pondok Ciang Bun. Apa yang didapati Tan Bo Huang ketika itu adalah pondok Ciang Bun yang sudah menjadi arang hitam dan abu kelabu, hanya menyisakan bara-bara kecil dan asap yang tipis, dan Ciang Hui Ling yang sedang menangis sendiri.
Tan Bo Huang membawa Ciang Hui Ling ke pondoknya di Ci Liwung. Bertahun-tahun dia mendidik Ciang Hui Ling ilmu silat yang tinggi. Selama itu, Tan Bo Huang kerap membawa muridnya bepergian, bahkan hingga mengarungi Selat Malaka dan Laut Tiongkok Selatan. Namun, jejak Ciang Bun dan Cu Ling Wei tidak juga ditemukan.
Dan kini, untuk kali keduanya Ciang Hui Ling menyaksikan pemandangan yang sangat menyedihkan. Pondok Tan Bo Huang rata dengan tanah dan tidak diketahui ke mana pendekar gagah berjuluk Naga Kuning dari Ci Liwung itu.
*****
“KALAU kau dari Ci Sanggarung, berarti kita sebenarnya bertetangga. Aku dari Ci Pamali.”
“Ya.”
“Dan kita sama-sama anak yang tidak jelas orangtua. Tapi, rupanya harus kita lupakan dulu hal itu.”
“Ya, aku sekarang punya urusan lain yang lebih penting.” “Kita.”
Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung, seakan-akan hendak meyakinkan diri, tidak salah dengar kata-kata pemuda itu. Jaka Wulung mengangguk sambil mengulurkan tangannya. Tangan keduanya bergenggaman.
Air mata belum kering dari wajah Ciang Hui Ling, tapi sekarang senyum sudah menghiasi lagi wajahnya.
Entah apa yang terjadi kalau tidak ada pemuda itu, pikirnya. Tentulah dia akan benar-benar sebatang kara.
“Ayo,” kata gadis itu.
Akan tetapi, Jaka Wulung bergeming.
Ciang Hui Ling memandang Jaka Wulung dengan mata yang nyaris memicing.
Tiba-tiba, Jaka Wulung menubruk Ciang Hui Ling. Gadis itu tidak menyangka sama sekali sehingga keduanya kemudian berguling sekali, sebelum terjatuh di tanah dalam posisi berpelukan.[]