Pendekar Bunga Matahari Jilid 03 : Penculikan Gadis Peranggi

Penculikan Gadis Peranggi

RUMAH panggung itu berdiri megah di sisi barat tebing Ci Liwung, menghadap ke sungai. Dibandingkan dengan rumah-rumah lain pada deretan yang sama, rumah itu dua-tiga kali lebih besar. Hampir seluruhnya terbuat dari kayu jati sehingga kelihatan sangat kokoh. Atapnya tersusun dari sirap yang juga terbikin dari kayu jati. Tiang-tiang utamanya adalah batang-batang yang besarnya hampir sepelukan orang dewasa, menopang lantai rumah yang tingginya lebih dari tinggi manusia umumnya.

Pagar dari kayu ki hujan, dengan deretan bambu hitam, melingkari sekeliling rumah, menjadikan kediaman itu semacam benteng yang sulit ditembus oleh penyerbu mana pun. Lebih-lebih, di pintu gerbang selalu bersiaga dua atau tiga lelaki bertelanjang dada dengan otot-otot menyembul di lengannya, serta golok tergantung di pinggang mereka.

Biasanya sang tuan rumah, Alfonso Henrique, pada sore hari akan duduk di kursi di beranda, memandang langsung ke sungai, menikmati perahu- perahu yang melaju dari hilir atau dari hulu dan orang-orang, termasuk gadis-gadis perawan, mandi dengan riang gembira di seberang.

Tapi, waktu itu siang hari, dan Alfonso Henrique sedang pergi ke pusat kota Jayakarta. Dia memang seorang saudagar yang sibuk dengan urusan niaganya. Kalau diurut silsilahnya, dia cucu dari seorang pengikut Hendri de Leme, yang pernah diutus oleh Alfonso d’Albuquerque—orang di Tanah Jawa menyebutnya Kongso Dalbo. Alfonso d’Albuquerque adalah Gubernur Bangsa Peranggi yang berkedudukan di Malaka. Dia mengutus Hendri de Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda guna membangun benteng keamanan di Kalapa untuk membendung orang-orang Cerbon.

Sebagian pengikut de Leme kembali ke Malaka, tapi sebagian lagi menetap di Jayakarta, termasuk kakek Alfonso Henrique.

Sebagai orang yang lahir di Tanah Jawa, Alfonso Henrique sebenarnya tidak terlalu mengenal negeri asalnya, Peranggi, tapi dia merasa bahwa dia

tetap berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Karena itu, berbeda dengan sebagian orang sebangsanya, yang mengambil perempuan setempat sebagai istri, Alfonso Henrique tetap mengambil wanita sebangsanya meskipun sama-sama lahir di tanah ini.

Siang itu, di rumah hanya ada Nyonya Alfonso Henrique, anak mereka satu-satunya, Dona Teresa Henrique, beberapa pembantu rumah, serta dua pengawal yang terkantuk-kantuk di beranda. Salah satu di antaranya bergaya seperti sang tuan rumah, duduk melempangkan tubuh di kursi goyang seraya memeremkan mata.

Pada saat itulah, tiga lelaki berbaju hitam-hitam melangkah tanpa suara di luar pagar rumah. Mereka muncul dari arah sungai. Wajah mereka hampir sama, sama-sama dipenuhi dengan bulu sehingga sekilas tampak seperti wajah manusia zaman batu.

Orang pertama merayap dari sebelah kanan, orang kedua dari sebelah kiri, dan orang ketiga langsung menuju gerbang pagar.

Pagar itu hampir setinggi orang dewasa dan ujung-ujungnya runcing. Bagi orang kebanyakan, tentu mustahil meloncati pagar itu. Tapi, bagi ketiga orang itu tampaknya bukan hal yang terlalu sulit meloncatinya. Semula, orang kedua berniat masuk melalui gerbang. Tapi, rupanya gerbang itu dikunci dari dalam. Karena itu, dia memberikan isyarat kepada dua temannya untuk meloncat dalam waktu berbarengan.

Ketiganya mundur beberapa langkah.

Orang kedua, yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka, mengacungkan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah berturut-turut sebagai tanda hitungan. Satu, dua, tiga! Ketika tiga jari sudah mengacung, mereka pun sama-sama melangkah cepat, lalu melenting tinggi, melayang sangat ringan melewati ujung-ujung pagar yang tajam mengancam, dan hinggap di halaman dalam waktu yang bersamaan.

Nyaris tanpa suara.

Tanpa menunggu waktu, orang kedua itu langsung bergegas meniti anak- anak tangga rumah megah itu, diikuti oleh salah seorang anak buahnya. Orang yang satu lagi tetap menunggu di kaki tangga.

Dua pengawal di beranda tidak sempat terperanjat ketika tahu-tahu hantaman di leher masing-masing membuat keduanya tidak sadarkan diri. Sebelum tubuh kedua pengawal itu jatuh terjerembap, dua orang berpakaian hitam-hitam itu menahannya, kemudian meletakkan pelan- pelan tubuh para pengawal itu di lantai beranda tanpa menimbulkan suara.

Tanpa kesulitan, mereka menerobos melalui pintu yang separuh terbuka. “Tooo ...!”
Akan tetapi, teriakan meminta tolong dari Nyonya Alfonso Henrique, yang baru saja keluar dari kamarnya, terhenti ketika tanpa dia pahami apa yang terjadi urat lehernya terasa kaku sehingga otot-otot di sekitar lehernya sama sekali tidak bisa menuruti perintah otaknya. Salah seorang yang berpakaian hitam-hitam itu mendudukkan sang nyonya di kursi sebelum terjatuh di lantai.

Nyonya Alfonso, wanita berusia empat puluhan tahun dan masih menyisakan kecantikannya itu, hanya bisa melihat semua peristiwa di depannya dengan mulut ternganga tanpa bisa digerakkan. Dia sadar sepenuhnya bahwa dua orang itu pastilah hendak berbuat jahat terhadap mereka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena sekujur tubuhnya kemudian, tidak hanya di sekitar lehernya, menjadi kaku.

Ketika satu orang berpakaian hitam-hitam lainnya membereskan para pembantu di bagian belakang rumah, dari sebuah kamar di tengah keluar seorang gadis muda dengan wajah yang penuh kecemasan. Sang gadis, Dona Teresa Henrique, putri satu-satunya Tuan dan Nyonya Alfonso Henrique, juga ternganga memandang ibunya yang terduduk dengan mulut ternganga.

Pemimpin orang-orang berpakaian hitam-hitam itu beberapa kejapan terdiam oleh pesona yang memancar dari kecantikan di hadapannya. Kulitnya putih kekuningan, seakan berpendar memantulkan cahaya dari jendela, hidungnya mancung, lebih mancung daripada hidung putri kerajaan mana pun yang pernah dilihatnya, dan bundaran di bola matanya berwarna hijau kebiru-biruan, seperti warna gunung. Rambutnya tergerai pirang gelap, panjang bergelombang hingga separuh punggung. Tubuhnya tinggi semampai, lebih tinggi dibandingkan dengan gadis muda mana pun yang pernah dilihatnya.

Bidadarikah?

Jangan-jangan, Dewi Tara?

Akan tetapi, dia segera tersadar bahwa dia datang ke rumah ini bukan untuk mengagumi kecantikan Dona Teresa Alfonso.

Dalam beberapa kejapan yang sama, Dona Teresa terpaku oleh kejadian yang tidak pernah disangkanya.

Tidak ingin kehilangan waktu, pemimpin orang-orang berpakaian hitam- hitam itu dalam dua loncatan sudah membekap mulut si gadis, memberikan sentuhan ujung jari di titik saraf di lehernya, kemudian menahan tubuh gadis itu. Harum sekali tubuh gadis ini. Dan lembut. Lelaki itu menarik napas dalam, menghirup wangi rambut gadis itu.

Dipondongnya gadis itu di pundaknya. Terasa lebih berat dibandingkan dengan tubuh wanita kebanyakan Tanah Jawa. Tapi, bukan pekerjaan sulit baginya. Dengan langkah yang ringan, dia pergi meninggalkan rumah itu, diikuti oleh dua anak buahnya. Mereka menuruni tebing, meniti barisan batu yang menjadi landasan, kemudian sama-sama meloncat menuju sebuah perahu kecil yang sudah menunggu.

Pemimpin kelompok itu menurunkan Dona Teresa Alfonso di amben di dalam kabin kecil di tengah perahu. Dua orang anak buahnya segera melepaskan tambatan perahu, kemudian mendayung perahu itu menuju arah hulu dengan tenaga penuh. Memang luar biasa, perahu itu melaju seakan-akan tidak melawan arus air sungai.[]
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar